PENDEKAR SADIS




PENDEKAR SADIS JILID 1 :
PAGI yang sangat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga begitu indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa kegembiraan dan kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan sinarnya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak. Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran tenggelam dalam kegelapan malam, menimbulkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang terkecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di udara mau pun yang berjalan dan merayap di atas bumi. Matahari pagi yang demikian indahnya, sinar keemasan yang menerobos lewat di antara gumpalan-gumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seakan-akan mengingatkan kita bahwa kegelapan dan kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi, tetapi hanya sementara saja. Demikian pula dengan sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan. Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Bila kita sudah menilai bahwa yang siang itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan susah. Sebaliknya, bila kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita akan menemukan keindahan dalam kegelapan dan kesunyian malam itu! Pagi hari yang sangat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua makhluk, kecuali manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan keakuannya. Manusia terlampau mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Pada waktu menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara di dunia ini, tetapi pada waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk dan lupa diri! Pada pagi hari itu, pemandangan di dalam hutan di lereng bukit amatlah indahnya. Dari ujung daun-daun dan rumput sampai kepada awan, semua seakan-akan tersenyum riang bersama cahaya matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang laki-laki, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di mana pun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam kedukaan. Wanita itu masih sangat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah serius dan gagah. Meski pun dia memanggul tubuh seorang pria pada pundaknya, namun langkahnya yang tegap serta ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Memang sebenarnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, walau pun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya. Tubuh laki-laki yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda, bahkan masih sangat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si! Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu saja dia adalah seorang Pangeran di kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Dan hal ini selain diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Sebagai pangeran di utara, pria ini bernama Pangeran Oguthai, dan sebagai pangeran Kerajaan Beng-tiauw dia bernama Pangeran Ceng Han Houw. Ceng Han Houw ini adalah seorang pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka sekali mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, bahkan telah berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di samping ambisinya yang sangat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin untuk merampas tahta Kerajaan Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah pimpinan Pangeran Hung Chih yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat bukan main ketika terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan sangat mencintanya itu. Isterinya inilah yang membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran di mana suaminya mengalami kegagalan, terus melarikannya siang malam hingga pada pagi hari itu, dengan tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis. Hampir dia tak kuat melangkah lagi, akan tetapi terus dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya yang sudah lebih mendekati mati dibandingkan hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, karena itu harapan satu-satunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu. Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga. Sudah selama dua hari dua malam ini dia melakukan perjalanan, hanya sesekali berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan air ke dalam perut suaminya, sebab suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tak sadar. Dan selama itu dia sendiri hanya minum sedikit air saja! Maka, saat dia mendaki lereng bukit ini, sepasang kakinya sudah gemetar sehingga dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk menguatkan dirinya. Bagaimana pun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masih terlihat ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan, tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia lalu berloncatan naik ke atas puncak. Pondok itu kecil dan sederhana, pintunya pun terbuka! Maka Ciauw Si yang telah merasa betapa matanya berkunang dan kepalanya pening, terus melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, "Mohon... mohon Locianpwe sudi... menolong suami saya..., lantas tergulinglah isteri setia ini bersama tubuh suami yang dipanggulnya, roboh ke hadapan kaki pria tua yang duduk bersila itu. "Siancai... siancai...! Di dunia ini jarang sekali ditemui wanita seperti dia ini..." Kakek itu berkata lembut, lalu turun dari atas pembaringan dan dengan tak mudah karena dia telah tua dan tenaganya sudah lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang lalu merebahkan mereka di atas pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggelengkan kepala dan menarik napas panjang memandang pada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan kelihatan sungguh menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu nampak terkejut sekali. "Aihhh...? kacau dan remuk keadaan di dalam tubuh orang muda ini! Hemm...? aku tak tahu apakah aku akan dapat mengobatinya? sungguh hebat, kenapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan kepandaian?!? Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggelengkan kepala, kemudian dia memeriksa keadaan Ciauw Si lantas mengangguk-angguk. Terlalu lelah, terlalu berduka dan gelisah, menderita kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan? Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw sangat berbahaya, maka kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, mengirisnya tipis-tipis kemudian menggodoknya di dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah kering. Sambil mengipasi api arang, dia lantas bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan. Siapakah kakek renta ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang telah lama bertapa di puncak bukit yang sunyi itu, menjauhkan diri dari dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati. Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, setiap kali ada orang sakit datang kepadanya, maka dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya sangat manjur sehingga sebentar saja namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Oleh karena dia tidak pernah mau mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan senyum saja. Setelah godokan obat itu masak, dia mendinginkannya dahulu di atas cawan lalu dengan hati-hati dia memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tidak lama kemudian Ciauw Si sadar dari pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya, dia cepat bangkit duduk. "Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan" "Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa" Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu pula, Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah. "Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih mempunyai bubur, di meja itu..." Ciauw Si telah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, harap jangan memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia?" Dia pun menoleh ke arah suaminya yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat. Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus lantas mengangkatnya bangun. "Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang" Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil yang penuh rempah-rempah dan obat-obatan. "Harap Locianpwe katakan, bagaimana dengan dia?" dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan, mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali. "Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah. Terus terang saja, keadaannya sangat parah, luka-luka di dalam tubuhnya sangat hebat. Akan tetapi, tentu saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan sanggup menyembuhkannya atau tidak. Betapa pun juga, aku hendak mencobanya" "Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih..." Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena pengharapannya timbul kembali. "Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe yang dapat menyembuhkannya" "Apamukah dia itu?" "Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam..." "Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ahh, engkau harus makan dulu, nah, kau makanlah bubur ini, kemudian istirahatlah. Nanti masih banyak waktu bagi kita untuk bicara" Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu. Diam-diam dia menduga-duga apa yang telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya pasangan suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orang-orang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih senang menolong dan berhubungan dengan penduduk dusun yang sederhana dari pada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang mempunyai kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai, bahkan saling membunuh itu, kebiasaan yang membuat dia merasa jijik sekali. Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus tetap sehat agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah sampai di sini, melihat Han Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Han Houw di sampingnya? Kini dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka! Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiri pun juga menentang. Dia maklum bahwa tak ada seorang pun di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan sesudah dia merasa dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki. Dan dia sangat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak, jahat atau tidak. Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si dan mulailah dia makan bubur dengan sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap, tenaganya pulih kembali sesudah dia makan bubur dan minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok piring dan membersihkan meja dan ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak, agaknya karena pengaruh obat yang tadi telah diminumkan oleh kakek itu, maka hatinya terasa lapang dan dia pun menanti kembalinya kakek ahli obat itu. Sesudah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun dan akar obat. Ciauw Si menyongsongnya, kemudian membantunya membawa rempah-rempah itu memasuki pondok. "Engkau sudah makan??" Ciauw Si mengangguk. "Terima kasih Locianpwe?" Ketika kakek itu memasuki pondok dan melihat pondoknya bersih dan rapi, dia tersenyum girang, lalu dia langsung memeriksa keadaan Han Houw. "Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya" "Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe" Kakek itu memandangnya dengan heran. "Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?" "Dengan pengerahan sinkang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya" "Ahhh, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk mencoba mengobatinya" "Mengapa, Locianpwe?" Kakek itu menarik napas panjang. "Terus terang saja, keadaannya sangat parah, entah mengapa keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu. Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat serta perawatan alam yang wajar. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh..." "Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,..." kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat disembuhkan. "Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu hingga keadaannya sampai sedemikian rupa?" Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia segera mengambil keputusan untuk menceritakan keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah orang luar biasa yang diharapkannya akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini. "Locianpwe, saya hanyalah seorang anak durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai" "Ahhh, Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu. Pengakuanmu sebagai anak durhaka tadi justru menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik, lanjutkan ceritamu..." "Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini, lalu kami menikah di luar persetujuan keluarga saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran, dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang kegagalan cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu dan terus terang saja, saya sendiri juga tidak setuju dengan semua yang sudah dia lakukan itu, akan tetapi Locianpwe, saya... saya cinta padanya..." Dan Ciauw Si pun menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seakan-akan pantang bagi wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata. Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kekaguman pada kepala yang menunduk itu, juga terkandung perasaan iba yang besar. "Berbahagialah dia yang sudah mendapatkan cinta kasih seorang wanita sepertimu, cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara mengobatinya, berikut obat-obat apa yang harus kau berikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin pula bertahun-tahun baru dia akan dapat sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang sangat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu..." Demikianlah, kakek itu mulai membuat ramu-ramuan obat-obatan sambil dia mengajarkan kepada Ciauw Si mengenai obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguh pun keadaan tubuhnya masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas pangeran ini merasa amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan mengalami kesengsaraan sebagai akibat dari pada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang ingin dijangkaunya. Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu kelihatan indah cemerlang, jauh lebih indah dari pada apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak berdaya cipta, dan tak akan maju! Apakah benar demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu? Cita-cita ialah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih baik, lebih menyenangkan dari pada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada yang bercita-cita ingin menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya dibandingkan keadaannya sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan dapat mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti dapat mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanya merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu didapatkan, maka apa yang didapat itu hanya akan mendatangkan kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan, kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari cita-cita atau ambisi itu saja. Apakah sesungguhnya kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu? Apa bila kita mau meneliti diri sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan pada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran kata 'kemajuan' bagi kita tidak lain adalah uang dan kedudukan! Apakah seseorang maju kalau dia sudah memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita! Bahagiakah seseorang bila mana dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Apa bila kita menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya ternyata akan berbunyi: TIDAK! Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu manusia tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan, korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu. Dan apakah artinya semua 'kemajuan' lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih antar manusia di dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua 'kemajuan' yang serba hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, bahkan lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihat kelicikan-kelicikan dalam perdagangan. Lihat perbedaan-perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Lihat negara ini berlimpah-ruah, negara itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati kemudian membusungkan dada dan mengatakan bahwa kita manusia ini telah 'maju'. Betapa menyedihkan! Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia kemudian mencari sebuah rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa-sisa perhiasan yang menempel di tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana dan di situlah dia merawat suaminya sambil menggunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya hingga cukup untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan. Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, meski pun dia hidup sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak amat segar sehingga kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu bening berseri, murah senyum. Di tempat ini dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan hidup mereka secara wajar. Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang mempunyai kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian tubuhnya yang sudah rusak hingga dia tak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sinkang seperti dulu. Kepandaian, yaitu ilmu-ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apalah artinya bila sinkang-nya sudah lenyap dan hanya tersisa sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmu-ilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang dahulu dia dapatkan dari pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga, dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab itu. Seperti isterinya, dia pun mulai bisa merasakan ketenteraman hidup, mendapat ketenangan batin tinggal di tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari. Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasehat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum dengan pengetahuan bekas Pangeran itu yang cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah serta kesusasteraan. Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk meramal, dia pun tertawa. "Ahh, kalau begitu, tolonglah engkau tunjukkan garis nasibku, Locianpwe," katanya sambil bangkit duduk dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu supaya dia dapat duduk di pembaringan. Yok-sian juga tertawa melihat kegembiraan di wajah tampan dari Pangeran muda itu. "Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng belaka, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang belum tiba" "Aku juga hanya sekedar iseng mau tahu saja, Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu meramal apa bila tidak mau melihat garis nasib orang" kata Han Houw sambil menyodorkan tangan kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk iseng-iseng melihat garis tangan suaminya dan dia lantas duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira. Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangan Pangeran itu dan tak lama kemudian dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia berkata, "Pangeran, dari garis-garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh dan selamat dari bahaya maut ini" Suami isteri itu saling pandang dengan gembira, dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, "Ahh, tanpa melihat garis tangan sekali pun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya. Bukankah Locianpwe sendiri yang telah mengobati dan juga menyelamatkan diriku" "Ah, jangan mencela dan memandang rendah!" Ciauw Si menegur suaminya. "Locianpwe, harap teruskan membaca garis nasibnya" Kakek itu terus menyusuri garis-garis pada telapak tangan Han Houw, kemudian, tanpa mempedulikan teguran Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, "Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera" Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka pun saling pandang dengan penuh arti. Semenjak Han Houw terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tak mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai seorang putera? "Tapi... tapi... katanya ragu. "Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib, sungguh jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang lebih penting lagi" Kakek itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang. "Ada apakah, Locianpwe" tanya Ciauw Si khawatir. "Inilah kebaikannya ilmu meramal," akhirnya kakek itu berkata, "manusia dapat bersikap hati-hati menghadapi bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar mengancam bila Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati keluarga" "Yang Locianpwe maksudkan, keluarga yang mana?" Ciauw Si bertanya khawatir, ada pun Han Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini. "Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu datang melalui keluarga. Maka sebaiknya jika ji-wi (kalian berdua) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu dan hubungan keluarga" Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam di dalam hati Clauw Si. Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguh pun untuk waktu itu dia sama sekali tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Kini ayah kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk berjumpa dengan siapa pun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini. Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin membaik hingga kedua kakinya pun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati kebenaran. Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia sudah sembuh sama sekali! Dia telah sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami yang normal, dan dapat berjalan, bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguh pun tenaga sinkang-nya telah banyak hilang sehingga biar pun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa-sisa tenaga sinkang yang tidak berapa kuat itu, dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dulu dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi sangat kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang mencintanya itu menghiburnya sehingga mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang sunyi itu. Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami isteri itu lalu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka Han Houw bersama Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lantas merawat dan mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka. Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan bahwa dia amat cerdik di samping mempunyai wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi, sudah merasa cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, memiliki para tetangga orang-orang dusun yang amat jujur dan hidupnya bersahaja, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka. Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa, dan tahu-tahu delapan tahun sudah lewat semenjak Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Sesudah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini mempunyai wajah yang sangat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga tampak manis seperti wajah seorang anak perempuan saja! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya sendiri. Biar pun dia sendiri sudah kehilangan sinkang-nya, akan tetapi tentu saja Han Houw tahu bagaimana caranya mendidik serta melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang sangat disayangnya. Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun. Bukan hanya ilmu silat, bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah bundanya menghendaki agar putera mereka ini kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, namun juga seorang ahli dalam kesusasteraan, sehingga patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan keluarga Cin-ling-pai! Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu sudah mendengar penuturan orang tuanya bahwa sebetulnya ayahnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw, yaitu salah seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya ialah Permaisuri Khamila di utara. Ada pun ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan sesuatu dalam batin Thian Sin, sebab itu semenjak mendengar mengenai keturunan ini, dia merasa bahwa dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat dari pada semua anak di dalam dusun itu. Dia tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang lemah tertindas dan harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong. Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sangat sederhana berwarna kuning, memegang tongkat dan sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya, berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan dan bundar, sepasang matanya mengeluarkan sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam. Memang dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, akan tetapi pengetahuannya sudah cukup banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang dikehendaki oleh pendeta itu. Apa lagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup. "Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan lewat di tempat ini" tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa, maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum. "Benar, dugaanmu, sahabat kecil..." "Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?" Dia memandang ke arah mangkok kosong di tangan kanan hwesio itu. "Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini" "Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu pada ibu untuk menyediakan makanan" "Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, jika engkau suka mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng" Dia lalu menyerahkan mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur. "Anak baik... anak baik...!" Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa sukanya kepada anak itu. Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia cepat-cepat berkata, "Ibu... Ibu... Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!" Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang kini usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak amat muda dan cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. "Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio yang minta sedekah? Engkau kelihatan amat tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apa lagi hanya seorang hwesio minta sumbangan..." "Tetapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!" Dia memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya. Ciauw Si masih tersenyum saat menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan mukanya berubah penuh keheranan pada saat dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu. "Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie!" Ciauw Si termangu-mangu. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam masakan sayuran tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu keluar, Ciauw Si tidak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang. Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah setelah dia melihat Thian Sin datang membawa mangkoknya yang sudah terisi, akan tetapi pada saat dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang anak itu, dia pun memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula ketika Ciauw Si melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan kedua matanya terbelalak. Sejenak mereka berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum lagi, agaknya hanya sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget. "Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua, bukankah engkau Ciauw Si, adikku?" "Seng-koko..." Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu sambil menangis sesenggukan. "Seng-ko? bagaimana engkau... engkau bisa menjadi begini?" Ciauw Si kemudian menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang. "Ini kehendak Tuhan... kehendak Tuhan pun terjadilah" kata hwesio itu yang kemudian berdoa. "Berkah Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia puteramu?" Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di dekat ibunya. "Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?" anak itu sudah bertanya dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng, seorang pendekar perkasa. "Betul, anakku, dia ini adalah Toapek-mu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku" 'Ceng?" Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran, karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan adiknya ini. Hwesio itu dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai. Bila dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya malah lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio! Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai. Memang dia pun tak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai oleh karena dara yang dicintanya itu, yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Walau pun kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi hal-hal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya! Lalu, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai yang difitnah hingga menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw hingga akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw! Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cin-ling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun kemudian pergi meninggalkan dunia ramai, ikut bersama hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula. Semua ini sudah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-to-tang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking tekunnya mempelajari agama, maka setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah yang lalu dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para hwesio lainnya, Hong San Hwesio juga sering mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan pelajaran agama sambil mendatangkan penerangan kepada banyak orang, dan di samping itu juga tekun berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan belaka. Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya mempunyai she Ceng, Ciauw Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. "Mari kita duduk dan bicara dengan leluasa, koko" Lie Seng atau lebih tepat kalau kita sebut Hong San Hwesio sudah kembali memperoleh ketenangannya ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya. Melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia memuji syukur dan merasa ikut berbahagia. "Seng-ko, bagaimana mendadak engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun Eng!" Mulut itu masih tersenyum, dan memang peristiwa yang dahulu pernah membuat hatinya berdarah itu kini sudah tak membekas lagi. "Dia sudah bebas dari kesengsaraan, dia sudah meninggalkan dunia yang penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini," jawabnya lembut. "Ahhh...!" Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. "Dan... sejak itu... engkau lalu menjadi hwesio?" "Ya, semenjak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, permusuhan, dendam, kebencian, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia" Adik itu memandang kepada kakaknya, dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri itu, dia pun tak lagi merasa berduka dan sekarang wajahnya malah berseri. "Memang aku hidup berbahagia, koko! Lihat, inilah keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh dari pada segala macam kekerasan dan permusuhan" Hong San Hwesio meraih pundak anak itu, lantas memangkunya sambil mengelus-elus kepalanya. "Anak baik... anakmu ini sungguh baik sekali..." dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak dikiranya sama sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang hwesio! "Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi...?" "Ceng Han Houw adalah suamiku, koko," jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia tidak akan heran apa bila melihat wajah itu terkejut. Akan tetapi kini dia malah agak heran namun juga lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguh pun ada sinar keheranan pada pandang mata yang lembut itu. "Ya, aku sudah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kami. Dan... koko... perjodohan antara kami juga tak ada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng sehingga aku mengalami penderitaan batin yang hebat. Hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguh pun putus dengan keluarga" Kemudian Ciauw Si lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw karena dianggapnya suaminya itu benar, dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cin-ling-pai. Kemudian betapa keluarga Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan suaminya, maka sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua tahun. "Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap sebagai mimpi buruk saja. Sekarang kami bertiga hidup penuh bahagia di tempat sunyi ini" Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang perubahan yang terjadi dalam batin hwesio ini hebat bukan main. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw, padahal Pangeran itulah yang dahulu menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw! "Bersyukurlah pada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Di mana adanya suamimu sekarang?" "Tadi dia sedang mencangkul di sawah," kata Ciauw Si. Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang dulu demikian tinggi kedudukannya, kini mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya. "Itu ayah pulang..." Thian Sin cepat turun dari atas pangkuan Toapek-nya lalu menuding keluar, menyambut ayahnya yang datang memanggul cangkul. "Ehh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio" Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran. Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya memberi hormat. "Selamat bertemu, Pangeran," katanya hormat. "Ehhh, siapakah... suhu?" Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkejut disebut pangeran oleh hwesio itu. "Dia ini adalah kakakku Lie Seng," Ciauw Si yang merasa gembira dengan pertemuan ini cepat memperkenalkan setelah keharuan mereda. "Lie Seng?" Ceng Han Houw terkejut bukan kepalang dan memandang dengan mata terbelalak keheranan. "Pendekar Cin-ling-pai itu!" "Omitohud.... bukan pendekar melainkan seorang hwesio yang mengemis sedekah," kata Hong San Hwesio sambil menjura. Tiba-tiba Ceng Han Houw tertawa bergelak, suara ketawa yang bebas dan wajar saking gelinya. "Ha-ha-ha-ha, betapa dunia ini sudah berubah banyak! Pendekar Cin-ling-pai Lie Seng yang gagah perkasa kini sudah menjadi seorang hwesio peminta-minta sedekah! Dan aku, seorang pangeran, lihat, kini menjadi petani miskin sederhana. Ha-ha-ha-ha!" Mereka saling pandang dan setelah melihat betapa pangeran itu bicara sewajarnya dan sejujurnya, sama sekali tidak ada tanda-tanda mengejek, Hong San Hwesio juga tertawa sehingga suasana pertemuan itu menjadi semakin gembira. "Mari, duduklah, Lie-toako... ehhh, apakah aku harus menyebut suhu? Bagaimana ini?" tanya Han Houw bingung. "Meski dia menjadi hwesio seratus kali pun, dia tetap saja kakakku Lie Seng. Di dunia ini aku hanya mempunyai seorang kakak, apakah itu pun akan diambil dariku? Tidak, engkau panggil saja dia Toako" "Bolehkah itu, Lie-toako?" tanya Han Houw. Hong San Hwesio tersenyum. "Apakah artinya nama? Pinceng boleh disebut apa pun, dan karena engkau adalah Moihu-ku (adik iparku) maka tentu saja engkau boleh menyebut pinceng Toako" Tentu saja Ciauw Si melarang kakaknya makan makanan dari mangkok tadi dan sebagai gantinya dia pun cepat mengeluarkan masakan-masakan tanpa daging, kemudian mereka makan bersama sambil bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan. Thian Sin kelihatan amat sayang kepada Pekhu-nya, demikian pula Lie Seng juga sayang sekali pada Thian Sin yang dipujinya sebagai seorang anak yang memiliki tulang baik sekali. Selesai makan, mereka duduk di ruangan depan. "Koko, engkau harus bermalam di sini, tinggal di sini barang seminggu!" Ciauw Si berkata dengan suara menuntut. "Ya, tinggallah di sini, Toako, dan anggap saja seperti di rumah sendiri," kata Han Houw. "Terima kasih, aku akan tinggal di sini barang beberapa hari sebelum kembali melanjutkan perjalananku. Kalian tentu tahu bahwa seorang hwesio memiliki tugas untuk menyebarkan pelajaran agama serta memberi penerangan kepada yang sedang kegelapan. Selain itu, Kuil Thian-to-tang masih membutuhkan bimbinganku" Hong San Hwesio menolak halus. Akhirnya Ciauw Si terpaksa mengalah dan tidak dapat memaksa kakaknya untuk tinggal terlalu lama di situ dan mereka berjanji bahwa kakak itu akan tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya. "Seng-koko, semenjak tadi engkau belum menceritakan tentang bagaimana matinya Sun Eng," tiba-tiba Ciauw Si bertanya. "Sun Eng siapa!" Ceng Han Houw bertanya, suaranya lirih dan dia menahan perasaan kagetnya, lalu memandang kepada Hong San Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang, kemudian balas memandang kepada wajah pangeran itu, akan tetapi pandang matanya tetap lembut dan tenang. "Si-moi, dia sudah mati, sudah terbebas dari pada kekejaman dunia, kiranya tak perlu dibicarakan lagi. Dia tewas dalam usahanya yang amat baik, dan pinceng sudah lupa lagi bagaimana dia mati" Jantung di dalam dada Han Houw berdebar keras sekali. Dia yakin bahwa kakak kandung isterinya ini tahu apa yang sudah terjadi dengan diri Sun Eng, dan tahu pula siapa yang menyebabkan kematian wanita itu, akan tetapi pendekar yang sudah menjadi hwesio ini benar-benar tidak menaruh dendam, bahkan tidak nampak sedikit pun rasa penasaran di dalam pandang matanya! "Sun Eng itu... masih apakah dengan Lie-toako?" Dia memberanikan diri bertanya kepada isterinya. Dengan suara amat terharu Ciauw Si berkata. "Dia adalah isterinya yang sangat dicintai Seng-koko dan juga amat mencintanya, keduanya saling mencinta bahkan Seng-ko tidak mempedulikan larangan semua keluarganya. Seperti keadaan kita" Wajah pangeran itu berubah menjadi pucat ketika dia memandang kepada Lie Seng atau Hong San Hwesio. Isterinya malah! Cepat dia bangkit berdiri dan menjura dengan penuh keharuan dan penuh penyesalan, akan tetapi dengan sikap yang jujur dan suara gemetar, "Lie-toako, aku... aku ikut menyesal sekali atas mala petaka yang menimpa dirimu" Lie Seng atau Hong San Hwesio itu bangkit berdiri, tersenyum sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Omitohud, kehendak Tuhan tidak mungkin dapat dielakkan. Yang sudah lewat tak baik untuk dibicarakan. Batin harus kosong dari segala kenangan karena kenangan hanya mendatangkan kekeruhan. Semoga Thian memberkahi kita semua!" Pelarian dari duka merupakan hal sia-sia belaka. Hiburan-hiburan untuk menutupi duka juga merupakan pelarian. Dengan demikian, mungkin duka akan tidak terasa, akan tetapi hal itu hanya berlangsung sejenak saja, seperti api di dalam sekam. Api duka itu masih belum padam, hanya tertutup tetapi masih membara di sebelah dalam. Sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Kalau hiburan itu sudah mereda, maka duka akan muncul kembali sehingga kita terpaksa sibuk mencari-cari hiburan yang lain lagi. Mengapa kita harus lari dari kenyataan? Jika timbul duka atau takut atau kesengsaraan yang lain lagi, mari kita hadapi dengan penuh kewaspadaan! Mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat dengan penuh kewaspadaan berarti mempelajari segala sesuatu tentang kehidupan manusia di dunia ini! Hong San Hwesio tinggal selama tiga hari di rumah adik kandungnya dan kehadirannya selama tiga hari itu sangat membahagiakan hati keluarga itu. Dia memberi tahu pula di mana dia menjadi hwesio kepala dari sebuah kuil dekat kota raja. Setelah lewat tiga hari dia pun berpamit untuk melanjutkan perjalanan lantas dia meninggalkan dusun itu diantar oleh Han Houw, Ciauw Si dan Thian Sin sampai ke pinggir dusun. *************** Dua tahun telah lewat lagi dan kini Thian Sin telah berusia sepuluh tahun. Semakin besar, anak ini menjadi semakin mengerti keadaan dan sering kali dia bertanya kepada ayah dan ibunya mengapa dia tidak diajak menghadap nenek-neneknya. "Kata ibu, nenek masih hidup, baik ibu dari ibu mau pun ibu dari ayah. Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan nenekku? Kenapa pula aku tidak boleh bertemu dengan keluarga ayah dan ibu?" Mendengar puteranya merengek itu, Ceng Han Houw tidak mampu menahan hatinya lagi. Selama ini, dia sudah berusaha menahan-nahan keinginannya untuk pergi mengunjungi ibu kandungnya. Dia merasa sangat rindu kepada ibunya itu dan ingin melihat bagaimana keadaan ibunya. Maka dia lantas mengajak isterinya untuk pergi berkunjung kepada Ratu Khamila, ibu kandungnya. "Akan tetapi, bukankah kita telah mengambil keputusan untuk tidak berhubungan dengan keluarga kita lagi dan hidup menyendiri di sini" Han Houw menarik napas panjang, "Memang benar, isteriku, dan bagaimana pun rinduku terhadap ibuku, agaknya aku masih akan dapat bertahan. Akan tetapi kita harus kasihan kepada anak kita. Betapa akan senangnya kalau dia bertemu dengan ibuku, juga betapa akan bahagianya hati ibu kalau melihat cucunya" Ciauw Si mengerutkan alisnya. "Tapi... tapi... mendiang Yok-sian...!" "Ahh, isteriku, aku percaya akan ramalan itu kalau kita pergi ke kota raja, di mana banyak orang yang memusuhiku. Akan tetapi kalau mengunjungi ibu kandungku di utara, apakah bahayanya? Lagi pula, ibuku sangat sayang kepadaku, dan mempunyai kekuasaan besar di sana, bahkan Raja Sabutai sendiri tidak berani bertindak sembarangan, maka siapakah yang akan berani mengganggu kita?" Walau pun merasa ragu, akan tetapi melihat suaminya kelihatan begitu rindu kepada ibu kandungnya, dan melihat pula Thian Sin yang sudah mendengar akan maksud kepergian itu menjadi demikian gembira, akhirnya Ciauw Si mengalah dan menyetujui. Bukan main gembiranya Han Houw mendapat persetujuan isterinya. Dia seolah-olah menjadi seperti kanak-kanak yang dijanjikan hadiah besar, begitu girangnya sehingga berhari-hari dalam persiapan itu dia nampak luar biasa gembiranya. Demikian pula dengan Thian Sin yang ikut terbawa oleh kegembiraan ayahnya, kelihatan penuh semangat. Melihat keadaan suami dan puteranya ini, tentu saja Ciauw Si menjadi semakin tidak tega dan demikianlah, pada suatu hari mereka bertiga berangkat menuju ke utara! Mereka tidak mau mengambil jalan melewati Lembah Naga, pertama karena hal itu akan memakan waktu lebih lama dan jaraknya menjadi lebih jauh, juga terutama sekali karena pasangan suami isteri itu tak mau mendekati Lembah Naga lagi, tempat yang hanya akan menimbulkan kenangan pahit saja bagi mereka. Mereka langsung menuju ke kerajaan kecil yang dikuasai ayah tirinya, yang sering berpindah tempat dan kini berada di sebelah timur Huhehot. Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan amat menarik bagi Thian Sin, tanpa ada halangan sesuatu berkat kepandaian suami isteri itu, biar pun Han Houw kini tidaklah sehebat dulu, tibalah mereka di kerajaan kecil itu yang lebih tepat merupakan sekelompok besar suku-suku campuran di utara yang dahulu dipimpin oleh Raja Sabutai yang terkenal perkasa. Mereka disambut oleh Permaisuri Khamila dengan banjir air mata, dan Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama isteri dan puteranya segera diajak masuk ke dalam istana kecil Sang Permaisuri. Di situ Han Houw mendengar bahwa Raja Sabutai telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya kini diangkat seorang adik misannya Raja Sabutai yang bernama Agahai, terhitung paman dari Han Houw yang semenjak mudanya telah menjadi pembantu Raja Sabutai yang paling setia. Puteri Khamila merangkul puteranya sambil menangis. Dalam tangisnya ini samar-samar dia menyesalkan kepergian puteranya karena kalau tidak, tentu puteranya ini yang kini menggantikan Raja Sabutai, bukan Agahai! Puteri Khamila yang cantik dan agung itu kini ternyata amat lemah dan sering sakit, terutama sekali karena memikiran puteranya yang tadinya disangka telah tewas karena gagal dalam pemberontakannya. Raja Agahai yang maklum akan kelihaian Han Houw menerimanya dengan ramah, malah dengan sikap manis menawarkan kedudukan tinggi kepada Han Houw kalau saja dia mau tinggal di situ dan membantu raja. "Kami sangat membutuhkan bantuanmu, Pangeran," antara lain raja ini berkata, "karena kita harus dapat menundukkan kembali suku-suku dan kelompok-kelompok kecil di utara sebelum mereka itu dikuasai oleh suku Mongol. Kita harus menjadi bangsa yang besar dan mengembalikan kejayaan mendiang ayahmu" Akan tetapi Han Houw hanya menghaturkan terima kasih dan tidak menerima penawaran ini, karena dia sudah berjanji kepada isterinya bahwa kedatangan mereka itu hanya untuk menengok Puteri Khamila, dan sama sekali tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi. Han Houw dan isterinya tinggal di tempat itu selama hampir sebulan. Kemudian mereka berpamit dan diantar oleh tangisan Puteri Khamila, mereka meninggalkan kerajaan kecil itu dengan membawa bekal yang diberikan oleh Raja Agahai, bahkan mereka diberi tiga ekor kuda yang amat baik untuk melakukan perjalanan pulang. Perjalanan itu sangat berkesan dalam hati Thian Sin, dan diam-diam dia merasa bangga dapat melihat sendiri bahwa ayahnya adalah seorang pangeran, bahwa dia merupakan keturunan darah bangsawan, tidak seperti anak-anak lain di dalam dusunnya. Akan tetapi, terpengaruh oleh pendidikan ayah bundanya, kebanggaan ini hanya disimpannya dalam hati saja sehingga pada lahirnya, anak ini tidak menyombongkan keadaan keturunannya. Ciauw Si merasa girang sekali melihat bahwa suaminya sudah benar-benar insyaf dan sudah benar-benar tidak mempunyai ambisi lagi seperti dulu. Hal ini dapat dibuktikannya dengan sikap suaminya pada waktu diminta oleh Raja Agahai untuk tinggal di sana dan membantu raja itu. Akan tetapi, nyonya muda beserta sekeluarganya ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam mereka dan sedang diatur oleh orang-orang yang tidak suka kepada mereka. Tanpa mereka sangka sama sekali, Raja Agahai merasa khawatir sekali melihat munculnya Han Houw. Tadinya dia sendiri menyangka bahwa pangeran itu telah tewas pada waktu gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apa lagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencana untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia khawatir sekali kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak terlebih dahulu. Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka pada orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Maka dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat. Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang dulu telah memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai beserta pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang amat berbahaya itu! Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun. Kedatangan dua orang tua itu menarik perhatian karena dusun itu memang agak terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tak terlalu menaruh perhatian. Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Dengan sikap hormat pemilik warung mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu kemudian mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas. Hari itu memang agak panas, apa lagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu pun bertanya, "Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?" Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguh pun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya. Ada pun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, kelihatan kokoh kuat walau pun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut. "Kami memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata Juling. Pada saat itu, ada seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah, "Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah. Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Walau pun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa sesungguhnya orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain. Ayah bundanya juga tidak pernah merasa keberatan, karena memang ayahnya hendak menyembunyikan keadaan dirinya sehingga tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai Ceng-siauwya atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja. "Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu sedang kehabisan tao-co," katanya sambil menyerahkan panci kecil. "Baik... baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam," kata pemilik warung sambil tersenyum ramah. Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya, "Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu padamu" Mendengar nada suara yang agak sombong ini, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apa lagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi. "Hemmm, bertanya tentang apakah!" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun agak kasar sungguh pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan. "Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?" Pemilik warung itu terkejut bukan main, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu kini memandang dengan mata terbelatak dan jantung berdebar. Siapa lagi yang dimaksudkan oleh orang itu kalau bukan ayahnya. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak? "A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, di manakah rumah pangeran pemberontak itu?" kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi. A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran. "Apakah ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "Di dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!" Tiba-tiba Si Mata Juling yang kelihatan lemah lembut itu menggebrak meja. "Krakkk!" Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali dia bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling. "Kau berani mengatakan kami gila? Ehh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu itu, atau ingin kuhancurkan seperti ujung meja itu?" Si Mata Juling mengancam. Tentu saja tukang warung itu menjadi ketakutan. Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tidak mampu bergerak dan cengkeraman itu amat kuat, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai. "Maaf... maafkan saya..." katanya gugup. "Katakan dahulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!" Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri. "Plak! Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. "Hayo katakan!" Akan tetapi, tepat pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan kepalang karena pukulan itu tidak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras sehingga mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri, bahkan luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu. "Dukkk!" Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu amat terkejut karena dia merasa lengannya agak tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam! "Ehh, bocah setan, siapa kau?!" bentaknya. "Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa" Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang sekaligus terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak baru sepuluh tahun usianya dan tubuhnya sedang, malah agak kurus, kulit mukanya halus bagaikan kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sinkang!....


PENDEKAR SADIS JILID 2 :
SIAPAKAH dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti, untuk pergi menyelidiki dusun di mana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw. Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa. Mereka adalah tentara-tentara kasar yang sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak mereka selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali. Di dusun itu mereka bersikap kasar, sebab mereka memandang rendah kepada pangeran yang kabarnya pemberontak itu. Kini, mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget. Sebenarnya dua orang perwira tinggi ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun sudah mempunyai kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan mereka pun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Namun kini, sikap mereka lain ketika menghadapi anak itu. “Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!” kata Si Tinggi Besar muka hitam. “Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?” “Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?” Dua orang itu girang bukan kepalang. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!” Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw. Sebetulnya tugas mereka hanya untuk menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya. Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, karena itu mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima banyak hadiah. Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi amat marah. “Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!” Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu. Di antara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari tandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapa pun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya. “Plakkk!” Lengan tangan Thian Sin yang kecil mungil tertangkap oleh tangan berjari panjang dan besar-besar itu. Namun, dengan kecepatan luar biasa Thian Sin mempergunakan sebelah tangan lagi memukul ke arah sambungan siku dari tangan yang memegangnya. Cepat sekali pukulan ini sehingga Si Tinggi Besar berteriak kaget. Tangannya kesemutan karena yang terkena pukulan adalah tepat pada sambungan siku bawah, maka tentu saja pegangannya terlepas ketika anak itu menarik lengannya dan membuat gerakan memutar ke belakang! “Bocah setan!” Si Tinggi Besar muka hitam berseru marah bukan main. Sambil mengembangkan kedua lengannya yang besar dan panjang itu dia menubruk ke arah Thian Sin dengan cepat. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika tubrukannya itu luput, mengenai tempat kosong karena anak itu sudah menggeser ke tempat lain secara cepat dan aneh sekali! Dia menubruk lagi, lebih cepat, akan tetapi kembali tubrukannya luput dan anak itu telah berhasil mengelak dengan baiknya. Dengan kemarahan makin meluap dan rasa penasaran yang membuat mukanya menjadi semakin hitam, Si Tinggi Besar itu menubruk dan menubruk lagi, seperti orang mengejar-ngejar ayam yang terlepas dan amat gesitnya. Akan tetapi anak itu sulit sekali ditangkap, tubuhnya licin bagaikan belut dan kakinya bergerak-gerak aneh dengan langkah-langkah yang membuat tubuhnya menyelinap ke sana-sini dan semua tubrukan itu tidak mengenai sasaran. Tidaklah aneh karena anak kecil itu sudah mahir sekali mempergunakan langkah-langkah yang dinamakan langkah Pat-kwa-po yang diajarkan oleh ayahnya kepadanya. Melihat kawannya tidak juga berhasil menangkap anak itu, Si Mata Juling membantu dan mencegat. Kalau saja Thian Sin sudah lebih besar dan memiliki tenaga lebih kuat, dengan kombinasi langkah Pat-kwa-po dan ilmu pukulan dari apa yang telah dimilikinya, tentu dia akan mampu melawan dua orang ini. Akan tetapi, betapa baiknya langkah Pat-kwa-po itu, kedua kakinya masih terlalu pendek untuk mengatur langkah-langkah secara cukup sempurna bagi orang dewasa, maka tentu saja langkah-langkahnya kurang lebar dan sekarang dicegat oleh Si Mata Juling, akhirnya dia tertangkap, pundaknya dicengkeram dan dia diangkat ke atas oleh Si Mata Juling! “He-heh-heh, engkau hendak lari ke mana, anak pemberontak?” Si Mata Juling mengejek dengan bangga karena akhirnya dia dapat berhasil menangkap bocah itu. “Hayo cepat ajak kami ke rumah orang tuamu!” Meski pun dia telah ditangkap dan cengkeraman pada pundaknya itu mendatangkan rasa nyeri, namun Thian Sin menegangkan tubuhnya dan memandang dengan mata melotot, lalu membentak, “Aku tidak sudi!” “Ehhh, bocah setan! Apakah kau sudah bosan hidup?” Si Mata Juling mengancam sambil memperkuat cengkeramannya. “Siapa takut mampus?!” Thian Sin juga membentak. Melihat ini, A-coan, pemilik warung itu cepat maju berlutut di hadapan Si Mata Juling dan berkata dengan suara memohon, “Harap ji-wi tidak mengganggu dia… apa bila ji-wi ingin mengetahui rumah orang tuanya, biar saya yang mengantar…” “Paman A-coan!” Thian Sin membentak. Akan tetapi Si Tinggi Besar sudah menangkap lengan A-coan dan berkata dengan suara penuh ancaman. “Awas, kalau kau bohong, kupatahkan kedua lenganmu ini!” Kemudian dia mengerahkan sedikit tenaga sehingga membuat pemilik warung itu meringis kesakitan karena lengannya seperti akan patah-patah rasanya. “Baik… baik… tidak bohong… tidak bohong…” Dua orang kakek itu kemudian keluar dari dalam warung, Si Tinggi Besar menyeret tubuh A-coan sambil memegang lengannya, ada pun Si Mata Juling masih mengangkat Thian Sin di atas kepala sambil mencengkeram pundaknya, bagaikan orang membawa seekor kucing saja. A-coan menjadi penunjuk jalan menuju ke rumah Han Houw dan semua penghuni dusun yang melihat peristiwa ini menjadi terkejut dan heran, lantas mengikuti mereka dari jauh, tidak tahu harus berbuat apa. Ada beberapa orang di antara mereka yang setia kawan, hendak menyerbu untuk menolong A-coan dan Thian Sin, akan tetapi banyak pula yang mencegah niat ini ketika melihat betapa pemilik warung dan anak itu telah berada dalam kekuasaan kedua orang kakek asing itu sehingga kalau mereka menyerbu, dikhawatirkan dua orang tawanan itu akan celaka. Maka mereka hanya mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu sama sekali tidak peduli bahwa para penghuni dusun mengikuti dari belakang dengan pandang mata penuh kemarahan, sebab tentu saja mereka sama sekali tidak memandang mata kepada para petani dusun itu. Ketika rombongan yang diikuti banyak orang ini sampai di pekarangan rumah Han Houw, nampaklah seorang wanita cantik keluar dari rumah itu dan seketika dia terbelalak kaget saat melihat Thian Sin masih diangkat oleh seorang kakek bermata juling dan pundaknya dicengkeram. Wanita itu bukan lain adalah Lie Ciauw Si. Tentu saja dia kaget dan marah sekali melihat ini. Dua orang kakek itu memandang rendah pada Ciauw Si, maka mereka tetap melangkah masuk sampai jarak mereka dari tempat nyonya itu berdiri tinggal lima meter lagi. Mereka berhenti dan Si Tinggi Besar menghardik A-coan, “Inikah rumah pangeran pemberontak itu?!” “Saya… saya tidak tahu pangeran mana… tapi inilah rumah orang tua anak itu…” A-coan berkata dan dia lalu didorong pergi oleh Si Tinggi Besar hingga tubuhnya terbanting dan terguling-guling sampai jauh. Sambil merintih pemilik warung ini lantas tertatih-tatih pergi menjauhkan diri, mencampurkan diri dengan para penghuni dusun yang sekarang berdiri menonton di luar pekarangan. Mendadak nyonya yang cantik itu mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang mengejutkan semua orang dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan kini meluncur turun ke arah kepala Si Mata Juling, dengan kedua tangan membentuk cakar garuda dan menyerang dengan dahsyatnya! Bukan main kagetnya Si Mata Juling melihat ini, dan cepat dia mempergunakan tangan kanan untuk melindungi kepalanya. Akan tetapi pada saat itu pula, Thian Sin yang melihat ibunya sudah turun tangan, dan melihat pula betapa tangan kanan kakek itu sudah tidak mengancamnya, cepat menggerakkan kakinya menendang sekerasnya. “Dukkkk!” dengan tepat sepatu kecil itu menghantam hidung yang agak pesek itu dengan cukup keras. “Auhhh…!” Si Mata Juling terkejut sehingga cengkeramannya terlepas. Thian Sin langsung meloncat turun dan cepat lari ke depan, sedangkan tamparan tangan Ciauw Si menyerempet pundak Si Mata Juling yang sudah kesakitan karena hidungnya berdarah itu, maka tubuhnya terjengkang. Si Tinggi Besar muka hitam cepat menubruk ke arah nyonya cantik itu untuk membantu temannya, akan tetapi tiba-tiba Ciauw Si memutar tubuh dengan kaki kiri menyambar ke depan. “Ngekkk!” Cepat sekali gerakan kaki dengan tubuh memutar itu sehingga Si Tinggi Besar tidak lagi sempat mengelak dan perutnya yang gendut besar itu kena ditendang oleh ujung sepatu Ciauw Si. “Aduhhh…!” Dia terpelanting dan memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini dua orang kakek itu bangkit berdiri, Si Mata Juling menyusut darah yang mengucur dari hidungnya, sedangkan Si Tinggi Besar menekan-nekan perutnya yang tertendang. Mereka marah dan malu bukan main. “Srattt! Srattt!” Keduanya menggerakkan tangan ke bawah baju dan tercabutlah dua batang golok tajam. Ciauw Si sudah merangkul anaknya dan cepat memeriksa. Melihat bahwa puteranya itu tidak terluka, hatinya lega dan kemarahannya mereda. “Ibu, mereka ini orang-orang kejam yang menuduh ayah pemberontak!” Thian Sin berkata sambil menuding ke arah dua orang kakek itu. Ciauw Si terkejut sekali. Agaknya terjadi sesuatu yang gawat sehingga pemberontakan suaminya yang terjadi lebih sepuluh tahun yang lalu itu kini disebut-sebut orang, pikirnya. Maka dia lalu mendorong puteranya ke belakang. “Kau mundurlah,” bisiknya dan kini dia menghadapi kedua orang kakek itu, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi tetap saja dia tidak merasa kenal dengan mereka. “Siapakah kalian? Dan apakah keperluan kalian datang ke sini?” dia bertanya kepada dua orang yang sudah memegang golok dengan sikap mengancam itu. Akan tetapi dua orang perwira yang kasar itu sudah terlalu marah dan malu, dan bagai mana pun juga, mereka masih terlampau memandang ringan kepada nyonya muda yang cantik itu. Mereka telah dibikin malu di hadapan banyak orang, yaitu para penghuni dusun yang bergerombol di luar pekarangan, maka mereka menjadi amat penasaran dan marah, sehingga pertanyaan Ciauw Si itu tidak mereka jawab. Bahkan sebaliknya mereka lantas mengeluarkan suara gerengan seperti dua ekor biruang terluka dan mereka lalu memekik panjang dan menerjang nyonya itu dengan golok diputar dan dibacokkan! Tentu saja para penghuni dusun memandang dengan muka pucat. Meski mereka semua dapat menduga bahwa tetangga mereka itu bukanlah orang-orang dusun sembarangan, akan tetapi mereka tidak mengira bahwa nyonya cantik itu pandai ilmu silat. Tadi mereka melihat betapa nyonya itu dapat ‘terbang’ bagaikan burung, akan tetapi kini melihat dua orang kakek galak itu menerjang dengan golok diputar seperti itu, mereka merasa ngeri dan mengkhawatirkan keselamatan wanita itu. Sementara itu, melihat ibunya dikeroyok dan diancam, Thian Sin cepat lari memanggil ayahnya yang dia tahu berada di ladang! Para penghuni dusun yang tadinya khawatir kini menjadi terbelalak kagum melihat betapa nyonya cantik itu dengan sangat mudah mengelak dari sambaran dua batang golok yang berupa dua gulung sinar putih itu. Ke mana pun golok membacok, selalu hanya mengenai angin belaka. Tubuh nyonya itu terlalu gesit dan ringan sehingga gerakannya jauh lebih cepat dari pada sambaran dua batang golok. Lie Ciauw Si adalah cucu luar sekaligus juga murid mendiang ketua Cin-ling-pai. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai yang hebat-hebat seperti San-in Kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus dan Thai-kek Sin-kun yang penuh dengan jurus-jurus sakti yang halus sekali itu, bahkan sudah menguasai ilmu silat pedang Siang-bhok Kiam-sut yang pernah mengangkat tinggi nama Cin-ling-pai. Maka, menghadapi serangan kedua orang kasar ini tentu saja terlalu ringan baginya. Dia membiarkan kedua orang lawannya itu menyerang sepuasnya. Setelah mengelak dan berloncatan dengan cepat selama kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba saja dia lantas mengeluarkan pekik dahsyat yang menggetarkan jantung kedua orang penyerangnya. Gerakannya luar biasa cepatnya sehingga tidak nampak oleh para penonton, bahkan dua orang itu sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kanan mereka menjadi lumpuh, golok pada tangan mereka terlepas dan sambaran tangan halus menampar leher mereka, membuat mereka terpelanting dengan kepala pening dan mata berkunang-kunang! “Isteriku, jangan membunuh orang…!” Tiba-tiba terdengar suara mencegah. Ciauw Si yang telah akan menyusulkan pukulan itu meloncat ke belakang dan menengok. Kiranya Han Houw dan Thian Sin sudah berada di situ. Han Houw mengerutkan alisnya ketika dia memandang kedua orang kakek yang juga tidak dikenalnya itu. Kemudian dia memandang kepada para penduduk dusun yang berkumpul di luar pekarangannya, maka dihampirinya mereka. “Harap saudara sekalian kembali ke tempat kerja masing-masing. Tidak ada apa-apa di sini, hanya ada sedikit kesalah pahaman.” Mereka semua amat menghormat Han Houw yang selalu bersikap ramah dan selalu siap menolong mereka, maka sesudah mereka menyatakan syukur bahwa keluarga itu tidak sampai celaka, semua penghuni itu meninggalkan tempat itu. Sesudah semua orang pergi, Han Houw menghampiri dua orang yang masih pening dan masih duduk di atas tanah, tidak berani bangkit itu. Kini mereka berdua maklum bahwa sesungguhnya mereka bukanlah lawan wanita itu, apa lagi kini suaminya sudah datang! Pantas saja mereka hanya disuruh menyelidik, ada pun fihak atasan sudah mengerahkan pasukan untuk menangkap keluarga ini. Kiranya merupakan keluarga yang sakti! “Hemm, kalian berdua ini siapakah dan apa sebabnya kalian mencariku dan memancing keributan?” Dua orang itu sudah mati kutunya sehingga tidak berani banyak lagak lagi. Si Mata Juling berlutut sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat, diturut oleh temannya yang tinggi besar. “Harap paduka ampunkan hamba berdua yang hanya utusan… apakah… apakah paduka Pangeran Ceng Han Houw…?” “Hemmm, kalau betul mengapa? Kalian mau apa?” tanya Han Houw sambil memandang tajam. “Ampun… ampun, hamba hanya utusan untuk membuktikan apakah benar paduka yang tinggal di sini… dan… ahhh, hamba berdua telah lancang karena tidak menyangka bahwa betul-betul paduka sekeluarga maka hamba berani kurang ajar… mohon ampun…” Diam-diam Han Houw terkejut sekali. Apa maksud Kerajaan Beng ingin menyelidikinya? Dia lalu mengerutkan alisnya. “Mengapa kalian disuruh menyelidiki?” “Hamba… hamba tidak tahu… hanya ada utusan dari kota raja yang memerintahkan kami berdua untuk menyelidiki…” Han Houw merasa sebal menyaksikan sikap pengecut dari dua orang ini. Dia tahu bahwa dua orang macam ini sama sekali tidak ada harganya, merupakan orang-orang pengecut yang biasanya memang berlaku kejam dan sewenang-wenang terhadap sesamanya yang lebih rendah. Hanya orang-orang pengecut yang pada dasar batinnya menderita ketakutan sajalah yang dapat bertindak kejam dan sewenang-wenang. “Pergilah kalian!” katanya. Ketika dua kali kakinya bergerak, maka tubuh dua orang itu pun terpental dan bergulingan sampai keluar pintu pekarangan! Mereka segera bangkit sambil merangkak-rangkak, lalu menjura berkali-kali dan melarikan diri dari tempat itu seperti seekor anjing dipukul! Melihat ini, Thian Sin bertepuk tangan. “Bagus, bagus, dua ekor anjing itu memang patut ditendangi!” Han Houw memegang lengan puteranya, cepat ditariknya masuk ke dalam rumah. “Thian Sin, tadi ayah bundamu terpaksa saja melakukan hal itu untuk membikin mereka jera dan takut, akan tetapi sebenarnya kami tidak menyukai kekerasan itu. Sudah cukup banyak kekerasan membuat kami dulu hidup menderita, karena itu engkau ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau menggunakan ilmu silat untuk melakukan kekerasan. Mengerti?” Bentakan ayahnya ini membuat Thian Sin terkejut dan takut, maka dia pun mengangguk. Pada malam hari itu, sesudah Thian Sin tidur di kamarnya sendiri, Pangeran Ceng Han Houw mengajak isterinya bercakap-cakap mengenai peristiwa itu. “Aku khawatir peristiwa belasan tahun yang lalu akan terulang,” Ciauw Si berkata sambil menarik napas panjang. “Jangan-jangan kaisar masih mendendam dan menganggap kita sebagai pemberontak-pemberontak. Akan tetapi mengapa baru sekarang mereka datang mengganggu kita kalau memang kaisar masih marah kepadamu? Apa yang menimbulkan bencana ini?” Ceng Han Houw mengerutkan kedua alisnya. “Aku sendiri tidak tahu dan sukarlah untuk menduga sebabnya. Lebih baik kita bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan, isteriku. Malam ini dan seterusnya, kita harus berjaga-jaga dan kalau terpaksa kita harus tidur bergantian.” “Ya, dan terutama kita harus menjaga keselamatan anak kita.” Akan tetapi malam itu suami isteri ini sama sekali tidak dapat tidur karena hati mereka gelisah. Dan menjelang pagi, pada saat mereka masih duduk di atas pembaringan sambil menyelam ke dalam keheningan, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang terlatih baik itu menangkap sesuatu. Bagaikan disengat laba-laba, keduanya sudah bangkit dan turun dari atas pembaringan, kemudian, hanya dengan saling pandang, mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Ciauw Si cepat keluar dari kamar menuju ke kamar puteranya di sebelah, sedangkan Han Houw sudah melayang keluar melalui jendela kamarnya. Hati Ciauw Si terasa lapang ketika dia mendapatkan puteranya masih tertidur nyenak, dan dia lalu duduk di situ, mendengarkan keluar penuh perhatian. Ketika dia mendengar suara bising di luar, seperti ada orang bertempur di arah ruangan depan, dia pun cepat-cepat membangunkan puteranya. Sebagai seorang anak yang sejak kecil sudah terdidik dan digembleng dengan ilmu bela diri yang tinggi tingkatnya, maka begitu terbangun Thian Sin sudah siap dan sudah sadar benar, sepasang matanya menatap wajah ibunya, ada pun telinganya segera menangkap suara tidak wajar di luar itu. “Apa yang terjadi, ibu? Apa yang terjadi di luar itu?” “Sstttt, kita didatangi musuh-musuh, mari ikut aku keluar. Aku harus bantu ayahmu, akan tetapi engkau tidak boleh sendirian saja di sini.” Ciauw Si segera menggandeng tangan puteranya dan mereka lalu berlari keluar. Sementara itu, ketika Han Houw tadi meloncat keluar dari kamar melalui jendela, dengan gerakan sangat ringan dia sudah menuju ke arah datangnya suara, yaitu di depan rumah. Dia memasuki ruangan depan di mana tergantung sebuah lampu yang cukup menerangi ruangan itu karena malam baru saja akan terganti pagi dan keadaan cuaca di luar rumah masih remang-remang dan kelabu. Ketika dia memasuki ruangan itu, tiba-tiba saja Ceng Han Houw meloncat ke samping dan terdengar suara mendesis-desis ketika beberapa ekor ular menyerangnya dari kanan kiri dan depan. Ular-ular beracun yang amat ganas dan terdiri dari beberapa macam ular sendok, dan ada pula yang membunyikan ekornya dengan suara berderik. Han Houw maklum bahwa ular-ular seperti itu amat ganas dan berbahaya, sekali terkena gigitannya, kalau tidak mendapat obat penawar yang tepat dan cepat, tentu nyawa akan melayang. Dia tidak gentar, tidak takut atau pun kaget, melainkan marah sekali karena dia maklum bahwa tidak mungkin di tempat ini dapat datang begitu banyaknya ular berbisa kalau tidak ada orang yang membawanya dan sengaja melepasnya di situ. Ular-ular itu menerjangnya dari bawah. Han Houw cepat mencabut pedang lantas dengan beberapa kali gerakan pedangnya, keenam ekor ular itu berkelojotan dengan tubuh putus-putus! Bau amis memenuhi ruangan itu. Biar pun Han Houw sudah kehilangan sebagian besar tenaga sinkang-nya, namun dia masih cukup lihai, bahkan terlalu lihai kalau hanya menghadapi enam ekor ular saja, apa lagi dia memegang sebatang pedang. “Wirrr…! Siuuuuuttt…!” Han Houw memutar pedangnya. “Tringg! Tringgg…!” Beberapa batang senjata piauw tertangkis dan menancap di dinding ruangan itu. Nampak ronce-ronce hijau bergoyang-goyang pada ujung senjata kecil itu yang tidak ikut masuk ke dalam dinding. Melihat ronce-ronce hijau membentuk bunga itu, Han Houw terkejut lantas berkata lantang, “Hemm, bangsat-bangsat dari Jeng-hwa-pang, keluarlah!” Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Bunga Hijau) adalah sebuah perkumpulan yang dulu pernah menjadi perkumpulan yang amat terkenal dan juga amat ditakuti orang. Pernah merajalela sebagai perkumpulan yang berpengaruh di daerah perbatasan Tembok Besar. Dulunya perkumpulan ini didirikan oleh mendiang Jeng-hwa Sianjin, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw yang menemukan semacam jeng-hwa (bunga hijau) yang hanya tumbuh di daerah perbatasan itu, lalu mempelajari jeng-hwa yang mengandung racun paling hebat itu dan menjadi ahli racun. Ketika Jeng-hwa-pang masih berdiri dengan kokohnya, perkumpulan itu terkenal memiliki pasukan yang kuat dan mereka merupakan ahli-ahli racun yang amat kejam. Akan tetapi semenjak Jeng-hwa-pang yang kini dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Gan Song Kam, yaitu salah seorang murid Jeng-hwa Sianjin, diobrak-abrik oleh Kim Hong Liu-nio, suci dari Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu kehilangan pamornya dan bahkan lalu mengundurkan diri dari keramaian kang-ouw. Apa lagi sesudah ketuanya itu tewas di tangan Ceng Han Houw, maka perkumpulan itu dapat dikatakan bubar. Namun sesungguhnya para tokoh Jeng-hwa-pang masih menaruh dendam atas kehancuran perkumpulan mereka, dan dendam ini ditujukan kepada Ceng Han Houw. Seperti diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga, dendam dari Jeng-hwa-pang ini pernah mengakibatkan kemunculan seorang tosu bernama Tok-siang Sianjin Ciu Hek Lam, yaitu suheng dari mendiang Gak Song Kam atau murid utama mendiang Jeng-hwa Sianjin, dan tosu ini berusaha untuk membalas sakit hati perkumpulannya kepada Ceng Han Houw. Namun dia mengalami kegagalan pula dan melarikan diri. Kini, melihat kemunculan orang-orang dari Jeng-hwa-pang yang dapat diduganya setelah melihat cara penyerangan mereka dengan ular-ular berbisa disusul senjata-senjata piauw dengan ronce bunga hijau, Ceng Han Houw menjadi terkejut dan marah sekali, maka dia lalu membentak dan menantang. Tiba-tiba terdengar suara gedebrugan keras, lalu dari pintu-pintu dan jendela berlompatan masuk tujuh orang yang terlindung oleh perisai lebar di tangan kiri ada pun tangan kanan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang nampak berkilauan saking tajamnya. Begitu berloncatan masuk, tujuh orang itu langsung mengurung Han Houw dan muka mereka berikut hampir seluruh tubuh tertutup dan terlindung oleh perisai baja yang lebar itu, hanya mata mereka saja mengintai dari dua buah lubang yang dibuat di perisai itu! Pakaian mereka serba hijau dan seragam dan gerakan mereka gesit dan tangkas. Han Houw terkejut juga ketika menyaksikan ketangkasan serta kerapian gerakan mereka yang demikian teratur dan rapi, maka tahulah bekas pangeran yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas tentang ilmu silat ini bahwa dia berhadapan dengan semacam bu-tin (pasukan silat) yang lihai. Akan tetapi dia juga merasa heran karena belum pernah dia melihat pasukan seperti ini pada perkumpulan Jeng-hwa-pang. “Siapa kalian?!” dia membentak. Seorang di antara mereka yang berada di hadapannya, menjawab dari balik perisainya, “Ha-ha-ha, Ceng Han Houw, masih ingatkah engkau akan semua dosa-dosamu terhadap Jeng-hwa-pang? Kami diutus Raja Agahai untuk menangkapmu, hidup atau mati!” Setelah berkata demikian, tujuh orang itu segera bergerak, berjalan atau setengah berlari mengitarinya dan menggerak-gerakkan goloknya dengan gerakan yang sama dan saling susul. Melihat ini, Han Houw menjadi marah bukan main. Dia tahu bahwa memang mereka itu merupakan orang-orang Jeng-hwa-pang yang ingin membalas dendam, akan tetapi yang sama sekali tidak disangka-sangkanya adalah bahwa orang-orang Jeng-hwa-pang sudah dipergunakan oleh Raja Agahai untuk menangkapnya, hidup atau mati, pamannya sendiri yang sudah menggantikan mendiang Raja Sabutai menjadi raja? Akan tetapi, mengapa? Bukankah pamannya itu menyambutnya dengan baik ketika dia datang berkunjung? Hampir dia tak dapat percaya dan mengira bahwa orang-orang ini hanya mempergunakan nama raja itu untuk menggertak saja. Akan tetapi karena mereka sudah bergerak, dan dia melihat bahwa menghadapi pengepungan bu-tin yang kuat amatlah tidak baik apa bila dia berada di tempat yang sempit, maka dia kemudian menerjang ke kanan dengan maksud membobolkan kepungan itu sehingga dia dapat meloncat keluar, ke pekarangan di mana tempatnya lebih luas dan akan lebih mudah baginya untuk menghadapi kepungan itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja tujuh buah perisai membentuk benteng baja diikuti tujuh buah golok menyambar dari semua jurusan, membuat Han Houw terpaksa mundur kembali ke tengah ruangan di mana dia dikepung ketat! Pada saat itulah Ciauw Si muncul sambil menggandeng tangan puteranya. Begitu melihat suaminya dikepung oleh tujuh orang yang bersenjata golok besar dan perisai, dan melihat pula bangkai-bangkai ular berbisa berserakan di ruangan itu, Ciauw Si terkejut dan cepat dia meloloskan pedangnya. “Keparat, kalian datang mengantar nyawa!” bentak Ciauw Si. Dia pun segera menerjang ke dalam ruangan itu. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, dan Pek-kang-kiam, pedang baja putih itu berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata menerjang ke arah tujuh orang itu. Melihat munculnya isterinya, dan melihat bahwa puteranya juga berada dalam keadaan selamat, hati Han Houw menjadi tenang dan dia pun sudah menerjang dari dalam sambil memutar pedangnya! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dan mereka adalah murid-murid dari Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Mereka sudah melatih diri dalam barisan Jit-seng Twa-to-tin (Barisan Golok Besar Tujuh Bintang) dan dengan ilmu ini mereka sukar sekali dikalahkan lawan. Akan tetapi, keampuhan mereka adalah mengepung lawan di sebelah dalam, tidak peduli apakah lawan itu seorang atau pun lebih. Gerakan mereka yang teratur, saling bantu dan juga bisa mengadakan perubahan-perubahan yang tak terduga-duga oleh lawan membuat lawan yang terkepung menjadi sibuk dan bingung. Akan tetapi selama ini mereka belum pernah menghadapi dua orang lawan yang menyerang secara serentak atau menghadapi serangan mereka dari dalam dan luar kepungan! Dan lebih lagi, kini yang mereka kepung adalah Ceng Han Houw, seorang yang memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi sungguh pun tenaga sinkang-nya banyak berkurang sesudah dia menderita sakit dan karena itu kepandaiannya menurun lebih setengahnya. Dan lebih lagi, karena kini di luar kepungan terdapat seorang wanita sakti yang juga turut mengamuk. Lie Ciauw Si adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, bahkan sudah menerima ilmu-ilmu dari kakeknya yang sakti itu, maka tentu saja mempunyai ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada ilmu yang dimiliki oleh tujuh orang anggota Jit-seng Twa-to-tin itu. Maka kini tujuh orang yang mengurung itu malah terkurung! Mereka berusaha sedapat mungkin untuk mengatur barisan, akan tetapi tujuh orang itu menjadi sibuk sekali karena menghadapi serangan-serangan dahsyat, baik dari dalam mau pun luar barisan, terutama dari luar karena Ciauw Si sudah mengamuk ketika melihat suaminya dikepung,. “Crokkk…! Aughhhh…!” Pedang Ciauw Si yang meluncur ganas itu menembus perisai baja dan terus menusuk leher pemegang perisai. Robohlah seorang pengeroyok dan tewas seketika. Melihat ini, terkejutlah enam orang yang lain, akan tetapi mereka menjadi semakin ganas walau pun gerakan mereka kini menjadi kacau-balau oleh perasaan tegang dan panik. Hal ini tentu saja lebih memudahkan Han Houw dan Ciauw Si untuk menggerakkan pedang mereka sehingga dalam waktu singkat saja enam orang itu telah roboh semua. Ciauw Si merobohkan seorang di antara mereka tanpa mempergunakan seluruh tenaga hingga pedangnya hanya melukai pundak saja dan lawannya tidak terluka berat. Setelah mereka semua roboh, Ciauw Si cepat menghampiri orang yang terluka itu, karena yang enam lainnya sudah tewas semua! “Ayo lekas katakan yang sebetulnya, siapa yang menyuruh kalian ke sini dan menyerang kami?!” bentak Ciauw Si. Akan tetapi orang itu tidak menjawab dan ketika Ciauw Si mengguncangnya dan hendak memaksanya, dia terkejut bukan kepalang melihat orang itu sudah kaku dan mati! Dari mulutnya mengalir busa kehijauan, maka tahulah dia bahwa orang yang roboh terluka itu ternyata telah tewas oleh racun yang amat ganas dan jahat. Dia tahu pula bahwa racun itu masuk ke jalan darah melalui sebatang jarum yang oleh orang itu sendiri ditusukkan ke lehernya. Ternyata setelah melihat semua temannya tewas, orang yang terluka ini lalu membunuh diri! “Tidak perlu, mereka tadi sudah mengaku bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai untuk menangkapku, hidup atau mati!” kata Han Houw yang tahu akan maksud isterinya. “Apa? Pamanmu sendiri?” Ciauw Si terkejut bukan main dan Han Houw mengangguk. “Lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini lebih dulu!” katanya dan dia cepat memanggil para tetangga. Mereka menjadi terkejut bukan main melihat mayat tujuh orang itu dan bangkai ular-ular berbisa berserakan di dalam rumah itu. Ketika mendengar bahwa tujuh orang itu adalah perampok-perampok jahat, mereka pun merasa bersyukur bahwa suami isteri itu sudah berhasil membasmi mereka dan beramai-ramai mereka lalu mengubur jenazah-jenazah itu. “Sekarang aku menyesal karena ramalan mendiang Yok-sian ternyata benar,” kata Han Houw setelah semua jenazah selesai dikubur. “Maksudmu?” Ciauw Si bertanya. “Mereka itu adalah utusan Paman Raja Agahai. Sekarang aku mengerti mengapa kaisar juga mengirim mata-mata menyelidiki ke sini. Ini semua tentulah perbuatan Raja Agahai. Jadi tepatlah dengan ramalan mendiang Yok-sian dulu bahwa kita tak boleh mengunjungi keluarga karena dari situ datangnya mala petaka.” “Tetapi mengapa pamanmu melakukan hal ini? Ketika kita datang dulu itu, dia bersikap amat baik.” “Sikap palsu! Kini aku mengerti! Tentu dia merasa khawatir kalau-kalau aku akan merebut kekuasaan dari tangannya. Maka dia tentu mengirim berita kepada kaisar bahwa aku kini hidup di sini sehingga kaisar yang mengkhawatirkan aku akan memberontak kembali lalu mengirim utusan. Tidak puas hanya dengan melaporkan kepada kaisar, Raja Agahai yang jahat itu lalu mengirim orang-orang Jeng-hwa-pang yang memang mendendam kepadaku untuk membunuhku.” “Ah, dan dia tentu tidak akan berhenti sampai di sini saja!” kata Ciauw Si. “Demikian pula tentu akan ada lanjutan penyelidikan kaisar.” “Hemmm, boleh jadi. Akan tetapi aku tidak takut dan akan kulawan mereka semua!” kata Han Houw dengan marah. “Aku pun tidak takut, suamiku, dan aku selalu akan membantumu sampai akhir hayatku. Akan tetapi kita harus mengingat Thian Sian…” Diingatkan akan hal ini, Han Houw langsung termangu-mangu dan memandang kepada putera mereka yang duduk di situ dan mendengarkan percakapan antara ayah bundanya itu dengan penuh perhatian. “Aku pun tidak takut!” kata anak itu. Ciauw Si tersenyum bangga dan merangkul puteranya. “Engkau tidak takut, akan tetapi kami khawatir, Thian Sin.” “Dia harus pergi dahulu dari tempat ini, menyingkir. Akan tetapi ke mana…?” Han Houw berkata, dalam suaranya terdengar penuh sesal. Baru kini dia melihat betapa mereka merupakan keluarga yang tidak memiliki siapa-siapa lagi yang boleh diandalkan untuk menolong mereka. Mereka adalah keluarga yang sudah terputus sama sekali hubungan mereka dengan keluarga kedua fihak, malah keluarganya sendiri kini memusuhinya. “Ah, kenapa tidak ke tempat Seng-koko saja?” tiba-tiba Ciauw Si berkata dan wajah Han Houw berseri gembira. Dia menepuk kepala sendiri. “Ah, mengapa aku begini bodoh dan pelupa? Tentu saja! Dialah satu-satunya manusia di dunia ini yang boleh kita percaya, bukan hanya untuk melindungi Thian Sin, bahkan juga untuk mendidiknya!” “Bagus, aku pun setuju sekali kalau dia dikirim ke sana,” kata Ciauw Si. “Aku tidak mau pergi! Aku mau bersama ayah dan ibu!” Tiba-tiba Thian Sin berkata pula dengan lantang. “Thian Sin, engkau tidak boleh membantah perintah ayah dan ibumu! Kami tahu apa yang baik untukmu!” bentak Han Houw. “Ayah dan ibu tidak takut mati menghadapi lawan, apakah aku harus lari dan takut mati?” Thian Sin merengek. Ibunya sudah merangkulnya sambil berkata dengan halus, “Thian Sin, jangan berkeras. Kami mati pun tidak apa-apa asal engkau selamat. Kalau engkau berada di sini dan mati pula bersama kami, habis bagaimana?” “Siapa yang akan mati? Kita tak akan mudah mati begitu saja!” Han Houw berkata keras. “Pendek kata, engkau harus mentaati perintah kami, Thian Sin. Kami akan menghadapi musuh-musuh yang sangat banyak, kami tidak akan dapat leluasa melawan kalau harus melindungimu di sini.” Akhirnya Thian Sin tidak berani membantah pula dan Han Houw lalu memanggil seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tetangga mereka yang baik dan seorang petani yang bertubuh kuat. Suami isteri ini menyerahkan semua harta yang ada pada mereka berupa sedikit perhiasan kepada kakek itu dan minta kepada kakek itu untuk mengantarkan Thian Sin ke Kuil Thian-to-tang di selatan kota raja, menemui Hong San Hwesio ketua kuil itu, kemudian menyerahkan surat dan Thian Sin kepada hwesio itu. Sambil menangis Thian Sin berpamit kepada ayah bundanya, dan pada pagi hari itu juga pergi meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata sayu oleh ayah bundanya. Setelah anak itu pergi jauh sehingga tidak kelihatan lagi, barulah Ciauw Si yang sejak tadi sudah menahan-nahan hatinya itu merangkul suaminya sambil menangis. Sejenak Han Houw membiarkan isterinya menangis, kemudian mengelus rambutnya dan mengajaknya memasuki rumah untuk duduk di ruangan dalam. “Sudahlah, isteriku, tidak perlu kita bersedih, bahkan kita harus bersyukur bahwa anak kita terlepas dari ancaman bahaya.” “Suamiku, apakah tidak lebih bijak kalau kita juga melarikan diri mengambil lain jurusan dari yang diambil anak kita? Apa gunanya kita melawan pasukan, baik dari utara mau pun dari selatan?” cerita silat online karya kho ping hoo Ceng Han Houw menegakkan kepalanya dan sinar matanya bernyala. “Tidak!” Namun dia lalu menghampiri dan merangkul isterinya yang kelihatan sangat pucat. “Dengar baik-baik, isteriku sayang, tidak sekali-kali aku menolak usulmu semata-mata karena keras kepala, sama sekali bukan. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku adalah seorang pangeran, maka amat merendahkan martabatlah kalau aku melarikan diri, apa lagi melarikan diri dari Raja Agahai yang berhati keji itu. Dan ke dua, dan ini merupakan kenyataan penting. Isteriku, apa gunanya bagiku untuk melarikan diri? Yang memusuhiku adalah Raja Agahai di utara dan kaisar di selatan, maka ke manakah aku dapat melarikan diri? Ke mana pun aku lari, tentu akan dikejar dan akhirnya tertangkap juga. Betapa akan celakanya hidup menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar, selalu hidup dalam keadaan ketakutan dan tidak tenang. Lebih baik aku menghadapi bahaya dengan mata terbuka di tempat terbuka ini.” Ciauw Si tidak berkata apa-apa lagi, hanya merangkul suaminya dan perlahan-lahan air matanya membasahi baju di dada suaminya. “Isteriku, tak seharusnya engkau terancam bahaya bersamaku. Sudah terlampau banyak aku menyusahkan dirimu. Sudah terlalu banyak engkau menderita karena aku. Dan baik Raja Agahai mau pun kaisar tidak memusuhimu. Karena itu engkau pergilah menyusul Thian Sin. Engkau tidak boleh membahayakan nyawamu demi membelaku.” “Tidak!” Tiba-tiba Ciauw Si berkata keras sambil merenggutkan badannya dari rangkulan suaminya. “Aku adalah isterimu, mati hidup bersamamu! Bagaimana engkau bisa berkata demikian? Ahhh, apakah engkau masih ragu akan kesetiaanku?” Han Houw cepat memeluknya. “Jangan salah mengerti, isteriku. Sungguh mati, bukan aku meragukan kesetiaanmu, melainkan aku… aku tidak ingin melihat engkau tewas dalam membelaku. Aku… aku ingin agar engkau hidup terus… demi anak kita…” Ciauw Si balas merangkul. “Tidak! Aku harus selalu berada di sampingmu, hidup atau mati! Tentang anak kita… di sana sudah ada Seng-koko yang tentu akan melindunginya.” Han Houw mengenal kekerasan hati isterinya, maka dia pun tidak mau membantah lagi. Dalam keadaan terancam, berduka terpisah dari Thian Sin, juga maklum bahwa nyawa mereka berada di ambang maut, mereka semakin merasa saling membutuhkan, dan ingin melindungi, menghibur. Sampai matahari naik tinggi, mereka tidak mau saling berjauhan, bahkan tidak mau saling melepaskan seperti sepasang pengantin baru saja. Lewat tengah hari terdengarlah derap kaki banyak kuda memasuki dusun itu. Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si segera maklum bahwa saat yang mereka nanti-nantikan dengan hati gelisah telah tiba. Mereka sudah siap untuk itu dan dengan langkah-langkah tenang mereka berdua lantas keluar dari dalam pondok, masing-masing sudah siap mengenakan pakaian yang ringkas dengan pedang tergantung di pinggang. Pasukan berkuda itu datang dari sebelah timur, berbondong-bondong memasuki pintu gerbang dan jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang! Dari pakaian seragam yang rapi itu mudah dikenal bahwa mereka adalah pasukan Kerajaan Beng-tiauw, dipimpin oleh seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi di samping perwira ini terdapat dua orang kakek. Mereka ini juga naik kuda di samping sang perwira, yang seorang bertubuh kurus sekali akan tetapi memiliki sepasang mata yang tajam dan dia memegang sebatang tongkat, pakaiannya penuh tambalan seperti lajimnya pakaian tokoh pengemis di dunia kang-ouw. Memang kakek kurus ini adalah Lo-thian Sin-kai, seorang tokoh besar Hwa-i Kai-pang, sebuah perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh di kota raja. Orang ke dua adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang pula yang bernama Hek-bin Mo-kai, bermuka hitam sekali namun leher serta kedua tangannya berkulit putih. Lo-thian Sin-kai berusia enam puluh tahun lebih, sedangkan Hek-bin Mo-kai kurang lebih sepuluh tahun lebih muda dari suheng-nya. Dahulu Hwa-i Kai-pang adalah sebuah perkumpulan yang pernah menentang pemerintah. Akan tetapi semenjak Pangeran Hung Chih menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Hwa, pangeran yang telah menjadi kaisar ini lebih cerdik dibandingkan Kaisar Ceng Hwa, maka kaisar baru ini lalu mendekati Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) sehingga kini dapat mempergunakan tenaga tokoh-tokohnya yang berilmu tinggi. Melihat pasukan yang terdiri dari seratus orang lebih itu, dan masih dibantu pula oleh dua orang pengemis tua yang melihat pakaiannya saja sudah dikenal oleh Ceng Han Houw sebagai tokoh Hwa-i Kai-pang, maka pangeran dan isterinya itu diam-diam sangat terkejut sungguh pun mereka tidak menjadi gentar dan bahkan merasa marah bukan main melihat betapa kaisar telah mempergunakan pula orang-orang kang-ouw. Sebelum mereka sempat bertanya jawab, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh lalu dari pintu gerbang sebelah barat nampaklah debu mengepul disusul masuknya puluhan orang prajurit dari Raja Agahai yang berjalan kaki dan kurang lebih lima puluh orang prajurit itu adalah prajurit-prajurit pilihan yang bertubuh besar dan berwajah menyeramkan, semua memegang sebatang tombak panjang, yang dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar bermuka penuh brewok. Akan tetapi yang menarik perhatian Han Houw adalah seorang kakek yang berjalan dekat perwira pasukan itu, yaitu seorang yang berjubah kuning, tinggi kurus bermuka pucat dan bermata sipit. Dia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh perkumpulan Jeng-hwa-pang yang mendendam kepadanya karena dia pernah membasmi Jeng-hwa-pang bahkan membunuh ketuanya. Mengertilah dia kini bahwa kakek ini tentu datang untuk membalas dendam, setelah gagal menyuruh tujuh orang tokoh Jeng-hwa-pang yang membentuk barisan perisai dan golok yang menyerangnya malam tadi. Sekarang makin yakinlah dia akan tepatnya dugaannya. Melihat munculnya dua pasukan secara berbareng, dari pintu gerbang timur dan barat ini, dia tahu bahwa memang sudah ada kerja sama antara Raja Agahai dan pasukan kaisar, dan jelaslah bahwa tentu pamannya itu sendiri yang berkhianat. “Kalian ini pasukan-pasukan dari Raja Agahai dan pasukan-pasukan dari Kaisar Kerajaan Beng, ada maksud apakah datang mengunjungi dusun ini?” Terdengar suara Ceng Han Houw membentak lantang. Suara pangeran ini masih mengandung wibawa karena baik fihak tentara Beng mau pun tentara Raja Agahai, sudah mengenal belaka siapa adanya pangeran ini yang disohorkan sebagai orang yang berilmu tinggi, bahkan yang kabarnya adalah jago nomor satu yang tak terkalahkan di dunia ini! Menurut kabar, satu-satunya orang yang sanggup mengalahkannya hanyalah Pendekar Lembah Naga, yaitu adik angkat Pangeran itu sendiri. Karena itu, tentu saja di dalam hati mereka merasa gentar juga, apa lagi karena mereka mendengar bahwa isteri pangeran yang cantik itu pun lihai bukan main. Akan tetapi, Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, termasuk juga Tok-ciang Sianjin Ci Hek Lam, yang merasa dendam kepada pangeran itu, sekarang melangkah maju dengan sikap mengancam. “Ceng Han Houw, engkau pemberontak hina, lekas menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!” kata Lo-thian Sin-kai dengan garang sambil menggerakkan tongkatnya di depan dada. “Ceng Han Houw, pemberontak dan pembunuh kejam! Hutang lama belum kau bayar, tapi sekarang engkau telah menambah hutang tujuh nyawa anak buah kami lagi! Hanya kematianlah yang akan membayar lunas hutang itu!” kata Tok-ciang Sianjin pula sambil meloloskan senjatanya berupa sebatang cambuk baja hitam yang panjang dan melingkar-lingkar. Cambuk itu terbuat dari bahan baja murni dan panjangnya tidak kurang dari dua tombak, merupakan senjata yang sangat ampuh dari tokoh Jeng-hwa-pang ini, terlebih lagi karena senjata itu mengandung racun jahat sekali sehingga terkena lecutan sekali saja, kulit akan pecah, tulang remuk dan darah menjadi terkena racun yang sukar disembuhkan. Sungguh merupakan senjata yang luar biasa keji. Memang Jeng-hwa-pang terkenal sebagai tempat tokoh-tokoh yang ahli dalam penggunaan racun, terutama sekali racun Jeng-hwa (Bunga Hijau) yang sukar diobati dan kabarnya obat pelawan racun Jeng-hwa hanya dimiliki oleh orang-orang Jeng-hwa-pang saja. Ceng Han Houw memandang kepada tiga orang itu sambil tersenyum mengejek. “Hemm, sekali ini kalian bukan datang sebagai tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak mengadu ilmu denganku, melainkan sebagai anjing-anjing penjilat dan tukang-tukang pukul bayaran yang hina. Siapa sudi menyerah kepada anjing-anjing macam kalian? Kalau memang memiliki kepandaian dan berani, kalian majulah!” Mendengar tantangan ini, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi marah sekali dan dia mengeluarkan teriakan nyaring lalu menerjang ke depan, memutar cambuknya sehingga terdengar suara meledak-ledak pada saat ujung cambuk itu mematuk ke arah kedua mata Ceng Han Houw dengan cepat sekali! Akan tetapi, biar pun Ceng Han Houw sudah kehilangan banyak tenaga sinkang-nya, ilmu kepandaiannya masih lengkap dan dia bisa mengenal kedahsyatan serangan ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, dia sudah mampu mengelak sambaran cambuk. Cambuk itu membalik seolah-olah hidup ketika tidak mengenai sasaran dan kini ujungnya meluncur dan menotok ke arah ubun-ubun kepala lawan. Hal ini pun sudah diduga oleh Han Houw, maka dia pun sudah mencabut pedangnya dan menangkis. “Tringgg…!” Terdengar suara nyaring sekali pada saat pedang bertemu ujung cambuk dan nampak api berhamburan. Sinar api ini seakan-akan merupakan isyarat bagi mereka semua, karena dengan suara gemuruh, para anggota pasukan sudah menyerang, didahului oleh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu yang telah menerjang Lie Ciauw Si. Nyonya muda ini sudah mencabut Pek-kong-kiam hingga nampak sinar putih bergulung-gulung ketika dia memutar pedang, menangkis dua batang tongkat dari dua orang kakek tokoh Hwa-i Kai-pang itu kemudian sekaligus membalas dengan dua kali tusukan yang berkelebat seperti kilat menyambar. Dua orang kakek itu cepat memutar tongkat menangkis dan mereka lalu memainkan Ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang merupakan andalan para tokoh Kai-pang. Akan tetapi, dengan gagahnya Ciauw Si lantas menghadapi mereka dan memainkan Ilmu Silat Siang-bhok Kiam-sut yang menjadi ilmu kebanggaan Cin-ling-pai, semacam ilmu pedang yang sangat indah dipandang akan tetapi mengandung gerakan-gerakan yang amat berbahaya bagi lawan. Seperti namanya, Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) sesungguhnya adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan pedang kayu, merupakan ilmu tunggal yang sangat hebat dari pendiri Cin-ling-pai, yaitu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, kakek dari Lie Ciauw Si. Dengan pedang kayunya yang berbau harum, terbuat dari semacam kayu cendana yang aneh, ketua Cin-ling-pai membuat nama besar dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw. Kini, cucu perempuannya mengamuk dengan ilmu Siang-bhok Kiam-sut, walau pun tidak selihai kakeknya yang berpedang kayu, namun ilmu pedang ini membuat dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang menjadi terkejut hingga seketika terdesak mundur. Akan tetapi, pasukan yang berada di belakang mereka lantas maju mengepung, bersama pasukan Raja Agahai yang juga sudah maju mengeroyok. Suami isteri itu lalu dikeroyok oleh hampir seratus orang dalam sebuah pertempuran yang sebetulnya berat sebelah, akan tetapi sekaligus juga mengerikan melihat betapa suami itu mengamuk laksana sepasang naga sakti. Ke mana pun pedang mereka berkelebat, maka robohlah seorang pengeroyok sehingga sebentar saja halaman di depan pondok itu telah banjir darah dan mayat-mayat berserakan. Suara orang-orang mengeluh dan merintih karena luka parah memenuhi tempat itu, dan sepasang suami isteri itu sendiri pun tak terluput dari luka-luka yang terdapat pada hampir seluruh tubuh mereka. Akan tetapi berkat permainan pedang mereka, mereka masih bisa terus bertahan dan hanya menderita luka-luka ringan saja. Andai kata Han Houw masih memiliki sepenuh tenaga sinkang-nya, jika hanya dikeroyok hampir dua ratus orang pasukan itu, kiranya dia beserta isterinya akan dapat menghadapi mereka dan mungkin akan dapat membasmi habis mereka! Akan tetapi sayang baginya, tenaga sinkang-nya sudah banyak hilang setelah dia sembuh dari sakit akibat luka dalam yang sangat parah sehingga kini tenaganya sudah tinggal sedikit. Meski pun ilmu silatnya masih lihai, namun karena tenaga sinkang-nya lemah, hal ini tentu saja mengakibatkan gerakannya kurang cepat dan kurang mantap sehingga tingkatnya kini bahkan masih di bawah tingkat Ciauw Si. Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang sangat tinggi ilmunya, bahkan dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Ciauw Si! Meski pun demikian, kalau dia bertanding melawan Han Houw sebelum pangeran ini menderita luka, kiranya dia takkan mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus saja! Kini, biar pun dia telah dibantu oleh pasukan, namun pertahanan Han Houw dengan ilmu silatnya yang aneh sedemikian rapatnya sehingga sekian lamanya belum juga dia mampu merobohkan pangeran ini biar pun tubuh pangeran itu sudah menderita banyak luka oleh pengeroyokan itu dan sudah hampir dua puluh orang roboh oleh pedang pangeran ini! Di lain fihak, Ciauw Si juga mengamuk, bahkan lebih ganas dari pada suaminya. Dia telah merobohkan tiga puluh orang lebih dan masih terus mengamuk. Akan tetapi, gerakannya makin menjadi lemah karena dia pun sudah menderita banyak luka seperti suaminya dan sudah terlalu banyak mengeluarkan darah. Pada saat dia menengok dan melihat keadaan suaminya tidak lebih baik dari padanya, Ciauw Si pun mengeluh. “Suamiku, jangan kau tinggalkan aku…!” dia berseru lirih. Seruannya ini terdengar oleh Han Houw yang cepat memutar pedangnya membuka jalan darah untuk dapat mendekati isterinya. Ciauw Si tahu akan usaha suaminya ini maka dia pun memutar pedang dengan kuat dan berhasillah suami isteri itu kini menghadapi musuh sambil beradu punggung, dengan saling menjaga, dan memutar pedang di depan untuk menghalau hujan senjata dari depan, kanan kiri dan atas. Suami isteri itu terus melawan dengan penuh semangat, meski pun keduanya sudah tahu dengan pasti bahwa mereka tidak akan dapat lolos dan pasti akan roboh, namun mereka tidak mau menyerah sama sekali dan ingin melawan sampai akhir. “Ciauw Si… isteriku…” Han Houw merintih ketika untuk kesekian kali pundaknya tertusuk tombak lawan. Dia membabat dan seorang prajurit yang menusuknya itu roboh. “Pangeran… suamiku…” Ciauw Si juga merintih karena pahanya kembali kena disambar tongkat sehingga rasanya seperti patah tulangnya. Dia menusuk ke depan, dan ketika tongkat tokoh Hwa-i Kai-pang itu menangkis, dia cepat membalik maka robohlah seorang pengeroyok di sebelah kirinya, akan tetapi dia terguling karena kakinya yang kiri tidak dapat dipakai berdiri lagi. “Si-moi…!” Han Houw berseru. Dengan tangan kiri dia merangkul isterinya, dan tangan kanannya masih diputarnya untuk melindungi mereka berdua. Ciauw Si menguatkan dirinya, dan dia pun lalu menggerakkan pedangnya untuk menangkis ke kanan kiri dan ke atas. Hebat bukan main pertahanan dua orang suami isteri itu, akan tetapi fihak musuh terlalu banyak dan luka-luka mereka dari pundak sampai ke kaki itu terus mengucurkan darah segar hingga membuat mereka merasa lemas sekali. Kini mereka berdua tidak lagi dapat membalas serangan, tidak lagi dapat merobohkan lawan, hanya mampu menangkis terus menerus. Akan tetapi tentu saja tenaga mereka semakin lama semakin lemah dan habis sehingga tangkisan-tangkisan mereka tidak begitu kuat lagi. Mulailah mereka menerima bacokan atau tusukan senjata tajam dan beberapa kali terpukul oleh tongkat. Akhirnya, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si tidak mampu mempertahankan diri lagi. Wajah mereka pucat sekali karena darah mereka hampir habis bercucuran dari luka-luka mereka dan akhirnya robohlah mereka saling rangkul, dengan pedang masih tergenggam di tangan dan nyawa sudah melayang sebelum banyak senjata datang bagaikan hujan, karena mereka telah kehabisan darah! Suami isteri yang luar biasa ini benar-benar telah melawan sampai titik darah terakhir. Sesudah berhasil membunuh suami isteri itu, para anggota pasukan, baik pasukan Raja Agahai mau pun pasukan Kerajaan Beng, bersorak-sorai dan mulailah terjadi kekejaman yang biasa terjadi dalam setiap peristiwa ‘pembersihan’ seperti itu. Mereka lalu memasuki rumah-rumah para penduduk dusun, dan senjata mereka pun berpesta-pora minum darah orang-orang yang sama sekali tidak berdosa apa-apa! Karena Pangeran Ceng Han Houw mereka serbu sebagai seorang pemberontak, maka tentu saja para penduduk dusun yang berada di sana semuanya dianggap sebagai kaki tangan pemberontak pula! Dan terjadilah penyembelihan yang tak kenal kasihan terhadap mereka. Semua pria muda mereka bunuh, dan wanita-wanita mudanya mereka perkosa dan permainkan. Terdengar jerit tangis memilukan di dusun yang biasanya sangat tenang dan tenteram itu. Lewat tengah hari, para pasukan itu mulai pergi meninggalkan dusun sambil membawa mayat-mayat dan teman-teman mereka yang terluka dalam pertempuran ketika mereka mengeroyok suami isteri itu. Keadaan di dusun itu masih memperlihatkan jejak kebuasan mereka. Mayat-mayat para pria muda penduduk dusun itu berserakan, darah mengalir dan membanjir, wanita-wanita muda terisak menangis, ada yang melolong-lolong dan wanita-wanita tua dan kakek-kakek menangisi nasib keluarga mereka, anak-anak kecil juga ikut menangis karena ketakutan. Akan tetapi akhirnya kenyataan membuka mata mereka bahwa tangis saja tidak akan ada gunanya. Maka mulailah para kakek, nenek serta wanita-wanita muda korban perkosaan itu bergerak keluar dari rumah masing-masing dan mengurus mayat-mayat itu sambil mencucurkan air mata. Juga jenazah Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si mereka rawat. Semua peti mati di dusun itu dikumpulkan, namun tidak cukup untuk menampung korban yang jumlahnya belasan orang itu, sehingga terpaksa sedapat mungkin semua kakek di dusun itu lalu membuat peti mati dari papan-papan yang ada, amat sederhana dan tipis. Pada esok harinya, selagi para sisa penghuni dusun itu berkabung, menangisi peti-peti mati dan bersembahyang, muncullah Ceng Thian Sin! Dia datang berlari-lari memasuki dusun itu, dikejar-kejar oleh kakek tua yang tadinya diutus untuk mengantarnya. Ternyata, setelah tiba di tengah jalan, anak itu tidak dapat menahan hatinya dan memberontak, lari pulang seolah-olah ada sesuatu yang menariknya. Ketika melihat rumah orang tuanya penuh kakek, nenek dan anak-anak yang menangisi peti-peti mati yang berjajar memanjang, Thian Sin terhuyung-huyung dengan wajah pucat, menghampiri mereka dan matanya memandang ke arah peti-peti mati itu, satu demi satu. Kemudian dia berteriak-teriak, “Ayaaah…! Ibuuu…!” Dan berlarilah dia memasuki rumah, mencari-cari dan memanggil-manggil. “Ayaaaah…! Ibuuuuu…!” Dia mencari-cari terus dan matanya terbelalak melihat keadaan di dalam rumah orang tuanya yang berantakan, juga di sana-sini nampak darah dan bau darah yang amis. Kemudian dia berlari keluar kembali sambil berteriak-teriak dan melihat semua wanita menangis semakin riuh, dia lantas berteriak kepada mereka dengan suara parau, “Di mana ayah dan ibuku?” Seorang wanita menjerit dan maju menubruknya. “Ayahmu… Ibu…” Dia tidak dapat melanjutkan, hanya menudingkan telunjuknya yang menggigil itu ke arah dua buah peti mati yang berdiri di tengah-tengah. Sepasang mata anak itu terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang ditunjuk, kemudian dengan langkah-langkah gontai dan tubuh menggigil dia menghampiri, matanya seperti kosong dan tak pernah berkedip menatap kepada dua peti itu, bibirnya bergerak gemetar, bertanya dengan suara bisik-bisik penuh ketidak percayaan, “Ayahku… Ibuku… mereka… mereka tewas…?” Ketika melihat semua orang mengangguk dan menangis, Thian Sin menjerit, pekik yang bukan main mengerikan karena amat nyaring dan panjang, keluar dari dasar hatinya yang seperti tersayat. Dia menubruk ke depan dua buah peti itu dan terguling, pingsan! Kematian merupakan suatu peristiwa yang nyata, suatu fakta yang tak dapat dirubah oleh siapa pun, suatu hal yang akan menimpa setiap manusia di dunia ini. Karena peristiwa kematian akan menimpa semua orang, tak peduli dia itu kaisar mau pun pengemis, tak peduli apakah dia itu pendeta mau pun penjahat, maka kita semua tahu bahwa kematian merupakan hal yang wajar. Akan tetapi, mengapa dalam setiap peristiwa kematian selalu menimbulkan duka? Duka itu timbul dari perpisahan, dan setiap perpisahan terasa menyakitkan bila mana di sana terdapat ikatan batin. Ikatan ini tercipta oleh kesenangan atau sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang amat enak sehingga kita tidak ingin terlepas lagi dari yang menyenangkan itu, seperti juga kita tidak ingin dekat dengan yang tidak menyenangkan. Dan sekali waktu yang menyenangkan itu direnggut dari kita, seperti peristiwa kematian, maka kita akan merasa nyeri. Yang menyenangkan itu telah berakar di dalam hati, maka apa bila direnggut oleh kematian, hati kita akan terobek dan menjadi perih. Sebagian besar dari ratap tangis yang ditumpahkan orang di dalam peristiwa kematian adalah ratap tangis karena iba diri, karena perasaan duka ditinggalkan oleh orang yang mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Di mulut kita mengatakan kasihan kepada si mati, namun sesungguhnya di lubuk hati, yang ada hanya rasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggalkan, yang kehilangan sesuatu atau rasa senang dalam hati. Itulah sebabnya mengapa di dalam setiap peristiwa kematian timbul duka cita dan ratap tangis, bukan untuk si mati melainkan karena rasa iba diri dari yang hidup. Kematian terjadi setiap saat, menimpa siapa pun juga. Bahaya yang dapat menimbulkan kematian berada di sekeliling kita dan setiap saat dapat merenggut nyawa kita, melalui kuman-kuman penyakit, melalui kecelakaan, kekerasan dan sebagainya. Mati hanyalah rangkaian dari hidup seperti juga hidup merupakan rangkaian dari mati. Tidak ada kehidupan tanpa ada kematian dan tidak akan ada kematian tanpa kehidupan. Mati yang terjadi sebagai rangkaian dari hidup adalah sebuah proses yang wajar, suatu peristiwa yang sudah semestinya seperti tenggelamnya matahari pada senja hari untuk muncul kembali di pagi hari berikutnya. Akan tetapi, kebanyakan dari kita merasa takut akan kematian! Kematian terasa sedemikian mengerikan, menakutkan, penuh rahasia. Kenapa kita merasa ngeri dan takut menghadapi kematian yang pada suatu saat sudah pasti akan datang kepada kita itu? Karena kita tidak mengenalnya! Karena kita tidak tahu apa akan jadinya dengan kita! Karena kita terikat kuat-kuat kepada segala yang menyenangkan dan yang enak-enak di dunia kehidupan ini. Karena kita tidak rela berpisah dari segala yang menyenangkan itu dan kita merasa enggan memasuki sesuatu yang belum kita ketahui benar apakah akan mendatangkan nikmat atau derita. Kematian adalah terputusnya semua ikatan kita dengan kehidupan di dunia. Makin erat kita terikat secara batinlah kepada hal-hal dan benda-benda yang ada dalam kehidupan kita, semakin takut dan ngerilah kita menghadapi perpisahan dengan semua itu. Bukan kematian yang menakutkan, tetapi perpisahan dengan segalanya itulah! Dengan keluarga yang tercinta, dengan harta benda, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dan dengan segala hal yang dianggap menyenangkan dalam hidup kita. Untuk menginggalkan semua itu, untuk berpisah dengan semua itu! Inilah yang membuat kita merasa tak rela dan berat, dan timbullah kengerian dan ketakutan. Tidak dapatkah kita ‘mati’ selagi hidup ini? Dalam arti kata, mati atau bebas dari segala ikatan batin ini? Kebebasan dari semua ikatan batin akan membebaskan kita dari rasa takut itu pula terhadap perpisahan yang berupa kematian, yang tak mungkin dielakkan itu. Bukan berarti lalu kita menjadi tidak peduli atau tidak acuh kepada keluarga, pekerjaan dan sebagainya selagi hidup. Sama sekali bukan! Melainkan bebas dari ikatan batiniah yang selalu berupa kesenangan itu. Kesenangan dan keinginan untuk selalu menikmati kesenangan dari apa yang kita miliki itulah yang mengikat. Tanpa kebebasan dari rasa takut akan kematian ini, kita akan selalu mencari-cari cara atau jalan agar sesudah mati kita pun akan senang dan enak! Kita akan mencari segala daya upaya untuk mendatangkan rasa terhibur, rasa terjamin bahwa sesudah mati kita akan tetap menikmati kesenangan. Jadi kita akan terjerumus makin dalam lagi ke dalam lingkaran dari pengejaran kesenangan, kita akan terikat makin kuat. Mengejar enak dan senang selama hidup, bahkan sampai kelak sesudah mati di sana! *************** Akibat dari guncangan batin yang sangat hebat, dengan terjadinya peristiwa yang amat mengejutkan serta menyedihkan hatinya, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu roboh pingsan dan ketika siuman, tubuhnya panas sekali dan dia menderita sakit demam. Dia dirawat oleh para tetangga dan tiga hari kemudian, setelah menangis tersedu-sedu di depan kuburan ayah bundanya, maka Thian Sin bersumpah bahwa dia akan membalas kematian ayah bundanya itu. “Ayah, ibu, kelak akan kucari mereka! Akan kubalaskan kematian ayah dan ibu!” katanya berkali-kali. Setelah dibujuk-bujuk oleh Kakek Lai Sui, yaitu kakek yang dimintai tolong oleh mendiang ayah bundanya untuk mengantarkannya kepada pamannya yang menjadi hwesio di dekat kota raja, akhirnya Thian Sin mau juga diajak berangkat melanjutkan perjalanan. “Sebagai anak berbakti, engkau harus memenuhi pesan terakhir ayah bundamu, harus pergi menghadap Hong San Hwesio. Mari kita kumpul-kumpulkan barang apa yang akan kau bawa serta,” kata kakek Lai Sui yang sabar. Akan tetapi Thian Sin tidak mau membawa apa-apa. Dia hanya membawa bungkusan pakaian dan kitab-kitab yang oleh ayahnya telah diberikan kepadanya, kitab-kitab tulisan ayahnya dan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri karena tulisan itu sudah dibuat sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak dapat dimengerti dan dipelajari orang lain, sedangkan kunci rahasianya telah diketahui oleh Thian Sin. “Rumah beserta semua isinya kuserahkan kepadamu, Lai-pek.” kata Thian Sin kepada Lai Sui. “boleh kau pakai dan kau tinggali sampai aku kembali.” Maka berangkatlah mereka menuju ke selatan, suatu perjalanan yang sangat jauh dan sukar, melalui Tembok Besar dan menuju ke kota raja, karena Kuil Thian-to-tang di mana Hong San Hwesio tinggal itu terletak di sebelah selatan kota raja. Akan tetapi karena Lai Sui dan Thian Sin hanya berpakaian sederhana seperti ayah dan anak dusun yang tidak membawa barang berharga, maka perjalanan mereka itu dapat dilakukan dengan aman. Tidak ada penjahat yang mau gatal tangan untuk mengganggu orang-orang miskin yang lewat. Dan di dalam perjalanan ini, kakek Lai Sui-lah yang sering harus berhenti untuk beristirahat, karena betapa pun juga, dia tidak mampu menandingi kekuatan Thian Sin yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayah bundanya itu. Akhirnya, tanpa terjadi sesuatu yang penting di jalan, mereka sampai di depan Kuil Thian-to-tang. Kuil itu berada di lereng dekat puncak bukit yang sunyi, akan tetapi dari lereng itu nampak pedusunan di bagian bawah. Di ruangan depan kuil itu nampak asap hio mengepul dan suasananya amat tenang dan tenteram. Seorang hwesio berusia tiga puluh tahun yang tengah membersihkan halaman di sebelah kanan kuil cepat melepaskan sapunya dan membungkuk-bungkuk menyambut Lai Sui dan Thian Sin yang disangkanya tamu-tamu yang hendak datang bersembahyang, walau pun waktunya masih terlampau pagi bagi tamu untuk bersembahyang. “Apakah ji-wi (kalian berdua) akan bersembahyang?” tanya hwesio itu setelah merangkap kedua tangan di depan dada tanda menghormati, suaranya halus dan sopan. Melihat sikap ini saja Thian Sin telah merasa tertarik dan girang. Betapa bedanya dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, yang rata-rata memandang rendah dan bersikap angkuh pada mereka berdua yang berpakaian seperti orang dusun miskin. Akan tetapi hwesio ini menyambut mereka dengan wajah ramah dan sikap yang sopan, dan memang agaknya beginilah hwesio ini menyambut semua tamu, tanpa membedakan dan membandingkan keadaan pakaian para tamunya. “Maaf, Siauw-suhu, kami datang bukan untuk bersembahyang, tetapi mohon menghadap Hong San Hwesio, Ketua Kuil Thian-to-tang,” kata Lan Sui. Kini hwesio itu memandang kepada Lai Sui penuh perhatian, dari atas sampai ke bawah, lalu memandang kepada Thian Sin, wajahnya membayangkan keheranan karena jarang ada tamu yang datang untuk ketuanya itu. Kemudian dia menjawab. “Sayang sekali, Hong San Hwesio sedang melakukan sembahyang dan doa pagi.” Lai Sui dan Thian Sin lapat-lapat dapat menangkap suara orang berdoa yang diikuti irama ketukan genta kayu yang dipukul. “Kalau begitu, biarlah kami menunggu sampai dia selesai berliam-kheng (membaca doa),” kata Lai Sui. “Silakan duduk di ruangan tamu, Lo-heng, akan tetapi setelah selesai berdoa, biasanya dia lalu duduk semedhi.” “Biarlah, Siauw-suhu, kami datang dari jauh sekali, dan kami telah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, maka menanti sampai setengah hari pun tidak ada artinya bagi kami.” jawab Lai Sui sambil tersenyum. Setelah mempersilakan tamu-tamunya duduk, pendeta itu lalu pergi meninggalkan mereka untuk melanjutkan pekerjaannya. Kemudian, dari pintu belakang dia memasuki kuil dan ketika melihat ketuanya sudah selesai membaca liam-kheng, dia lalu melaporkan tentang kedatangan dua orang tamu itu. “Omitohud…! Sepagi ini sudah ada tamu yang datang mencari pinceng?” kata Hong San Hwesio. “Entah dari mana gerangan mereka?” “Teecu juga tidak tahu, akan tetapi mereka tampak lelah sekali dan mengaku telah datang dari tempat yang jauh sekali, melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya.” “Omitohud…! Kalau begitu tentu mereka mempunyai maksud kedatangan yang sangat penting sekali. Cepat persilakan mereka masuk, akan pinceng terima di sini saja,” hwesio itu berkata dengan serius. Dia menghargai tamu-tamu yang datang dari tempat demikian jauhnya yang tentu membawa berita penting sekali. Tidak lama kemudian, muncullah Kakek Lai Sui dengan Thian Sin. Melihat dua orang ini memberi hormat kepadanya dan berlutut, Hong San Hwesio menatap penuh perhatian, dan dia merasa tidak mengenal kakek itu, akan tetapi wajah anak laki-laki itu tidak asing baginya, hanya dia lupa lagi di mana dia pernah berjumpa dengan anak ini. “Paman, apakah paman lupa kepada saya? Saya Thian Sin yang malang, menghadap paman memenuhi pesan ayah…,” kata Thian Sin, tidak menangis, akan tetapi suaranya mengandung kedukaan besar. Disebut paman oleh anak itu, Hong San Hwesio menjadi terkejut, “Ah, kiranya engkau….” dia meragu. “Dua tahun yang lalu paman mengunjungi kami…” “Ahh, benar, engkau putera Ciauw Si! Siapa namamu? Ya, benar, Thian Sin, Ceng Thian Sin! Dan siapakah Saudara ini?” Lai Sui memperkenalkan diri sebagai utusan keluarga anak itu, kemudian dengan suara terputus-putus karena duka dan haru kakek ini lalu menceritakan betapa keluarga anak itu telah tertimpa mala petaka, diserbu oleh pasukan-pasukan dari kaisar dan dari raja utara, dan mereka telah tewas bersama para penduduk dusun. “Mereka telah merasa akan datangnya mala petaka, maka mereka telah mengutus saya untuk mengantar anak ini ke sini dan menyerahkan surat mereka kepada suhu di sini,” Kakek itu mengakhiri ceritanya. “Ternyata surat ini merupakan pesan terakhir mereka.” Tentu saja Lie Seng atau Hong San Hwesio terkejut bukan main mendengar penuturan itu. Sejenak dia terdiam, kedua alisnya berkerut dan pandang matanya menjadi sayu, lalu sejenak dia memejamkan kedua matanya sambil berdoa untuk kematian adik kandungnya dan adik iparnya itu. Setelah hatinya tenang, dia membuka mata dan memandang kepada Thian Sin, keponakannya itu.....


PENDEKAR SADIS JILID 3 :
ANAK itu nampak berduka, kurus dan pucat, akan tetapi tidak menangis dan di wajahnya jelas terbayang kekerasan dan dendam yang amat hebat. Kembali dia menarik napas, lalu dibukanya sampul surat dari adik iparnya itu. Dia membaca surat terakhir yang ditulis oleh dua tangan itu, tangan adik kandungnya dan tangan moihu-nya, yang isinya minta tolong kepadanya agar suka merawat serta mendidik Thian Sin untuk sementara waktu, karena mereka berdua terancam bahaya. Minta padanya agar mendidik soal kerohanian kepada Thian Sin, di samping membimbing dan mengamati latihan silatnya. Sesudah membaca surat terakhir itu, Lie Seng atau Hong San Hwesio menarik napas panjang dan membisikkan doa-doa. Pada saat menulis surat itu, meski pun adiknya masih belum yakin akan kematiannya, akan tetapi adiknya itu agaknya sudah merasa tidak ada harapan! Dia lalu memandang kepada Kakek Lai Sui dan berkata, “Saudara Lai Sui, engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali dan untuk itu, pinceng menghaturkan banyak terima kasih. Pinceng telah menerima surat dari mendiang adik pinceng dan telah menerima Thian Sin, maka silakan Saudara Lai untuk beistirahat.” Lai Sui cepat memberi hormat. “Terima kasih, suhu. Tetapi, sesudah saya menyerahkan surat dan anak ini, perkenankan saya untuk cepat-cepat kembali ke dusun kami, karena di samping dusun kami sedang tertimpa malapetaka dan dalam keadaan berkabung, juga saya yang telah dipercaya oleh anak ini harus menjaga rumahnya yang ditinggalkan oleh ayah bundanya. Thian Sin, engkau baik-baik saja di sini, memenuhi pesan terakhir dari orang tuamu, ya?” Thian Sin mengangguk dan dia lalu merangkul kakek itu yang duduk di sampingnya, tidak menangis, akan tetapi jelas dia merasa sangat terharu. “Terima kasih, Lai-pek, sungguh engkau baik sekali dan aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu. Kau tolong… tolong kadang-kadang menengok dan merawat makam orang tuaku, ya?” “Tentu saja, Thian Sin, tentu saja, kau jangan khawatir… nah, selamat tinggal, anak baik. Suhu, terima kasih dan saya akan berangkat pulang sekarang.” Lai Sui lalu meninggalkan kuil itu untuk kembali ke dusunnya yang sudah tertimpa mala petaka itu. Oleh karena tidak berkeluarga, maka dia sendiri tidak mengalami kehancuran keluarga. Akan tetapi kehidupan di dusun amatlah akrab antara tetangga, seperti keluarga sendiri saja. Maka kakek ini pun merasakan kedukaan hebat dan dia ingin lekas-lekas pulang. Sementara itu, Hong San Hwesio yang melihat bayangan dendam hebat bukan main di wajah keponakannya itu lalu berkata. “Thian Sin, apakah engkau sudah tahu siapa yang membunuh ayah bundamu?” Anak itu mengangkat muka memandang wajah pamannya yang penuh kelembutan itu, lalu dia menggeleng kepalanya. “Saya belum tahu paman. Akan tetapi kelak akan saya selidiki hal itu! Saya tahu bahwa yang menyerbu rumah kami adalah pasukan dari Raja Agahai dan pasukan dari kaisar. Kelak saya pasti akan menyelidiki siapa yang memimpin penyerbuan itu dan akan saya bunuh mereka semua untuk membalaskan kematian ayah dan ibu!” Dari sepasang mata anak itu memancar api dendam yang hebat, dan diam-diam Hong San Hwesio bergidik dan dia cepat menarik napas panjang. “Omitohud…! Anak yang baik, agaknya engkau sama sekali tak pernah berpikir mau pun bertanya mengapa ayah bundamu sampai mengalami penyerbuan itu?” Sesudah anak itu menggelengkan kepalanya, dengan suara lembut dan sabar Hong San Hwesio lantas menceritakan secara singkat semua perbuatan mendiang Ceng Han Houw yang dahulu pernah hendak menimbulkan pemberontakan. Dia hendak membimbing anak itu agar meneliti diri sendiri dan sadar akan kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Dia hendak membuat anak itu sadar bahwa apa yang terjadi atas diri Ceng Han Houw hanya merupakan akibat dari pada perbuatan-perbuatannya sendiri di masa lampau. Mendengar cerita pamannya itu, Thian Sin termenung dan diam-diam dia terkejut juga. Kiranya ayahnya pernah melakukan dosa-dosa yang besar, bahkan pernah memberontak terhadap kaisar. “Nah, sekarang engkau tentu mengerti, Thian Sin. Tidak ada perbuatan tanpa akibat dan tidak ada akibat tanpa sebab. Yang tidak mengerti akan hal ini akan terjerumus ke dalam lingkaran setan dari sebab akibat, dari balas-membalas, dendam-mendendam! Dan kalau sudah begitu, kita hanya akan menjadi hamba-hamba dari nafsu kekerasan saja, menjadi hamba-hamba dari nafsu dendam dan permusuhan, menciptakan sebab-sebab baru yang nantinya akan mendatangkan akibat-akibatnya pula. Orang bijaksana akan menghentikan berputarnya sebab akibat ini dengan berdiam diri.” “Tapi… tapi… ayah bundaku dibunuh orang… mana mungkin saya akan berdiam diri saja, paman?” Hong San Hwesio lalu memejamkan matanya dan bibirnya bergerak-gerak membaca doa yang berupa ajaran-ajaran Sang Buddha, yang diucapkan satu demi satu sehingga jelas terdengar dan dimengerti oleh Thian Sin. Tiada yang lebih panas dari pada nafsu tiada yang lebih ganas dari pada kebencian tiada yang lebih menjerat dari pada kebodohan tiada yang lebih menghanyutkan dari pada keserakahan, Kesalahan orang lain mudah nampak, kesalahan diri sendiri sukar terlihat orang menyaring kesalahan orang lain seperti menampi dedak namun kesalahannya sendiri disembunyikannya seperti penipu menyembunyikan dadu lemparannya terhadap penjudi lainnya. Setelah mendengarkan nyanyi dan yang berupa ajaran-ajaran dari kitab Dhammapada ini, Thian Sin yang baru berusia sepuluh tahun itu mencoba untuk menangkap artinya, dan dia pun segera membantah, “Akan tetapi, paman. Mereka itu membunuh ayah bundaku, mereka itu sudah melakukan kekejaman dan kejahatan. Kalau perbuatan mereka itu tidak kuberantas, kalau orang-orang kejam semacam itu tidak kubasmi, bukankah mereka akan melakukan kekejaman lebih jauh lagi kepada orang-orang lain?” Hong San Hwesio masih memejamkan sepasang matanya, tersenyum dan berkata sambil merangkapkan kedua tangan. “Omitohud… hatimu penuh dendam dan kebencian, tentu saja tak mungkin dapat berpikir jernih. Nah, kau dengarkanlah, Thian Sin, pelajaran pertama dari ayat-ayat suci.” Tanpa membuka mata, dengan duduk bersila dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka menyembah di depan dada, hwesio itu lantas bernyanyi, membacakan ayat-ayat pertama dari Dhammapada. Segala keadaan kita adalah hasil dari apa yang telah kita pikirkan didasarkan atas pilihan kita dan dibentuk oleh pikiran kita Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran jahat, penderitaan akan mengikutinya, seperti roda gerobak mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Jika seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran murni kebahagiaan akan mengikutinya, seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkannya Dia mencaci maki saya, memukul saya, mengalahkan saya, merampok saya, yang menyimpan pikiran ini, kebencian takkan berakhir, yang tidak mmyimpan pikiran ini, dendam kebencian akan berakhir. Karena kebencian tak dapat dipadamkan oleh kebencian, kebencian hanya musnah oleh cinta kasih inilah suatu aturan yang abadi… Suara nyanyian halus yang keluar dari mulut hwesio yang masih memejamkan matanya itu, entah bagaimana terdengar demikian mempesona oleh Thian Sin sehingga anak ini bagaikan terhanyut, dan tidak lama dia pun duduk bersila seperti hwesio itu, memejamkan mata, merangkapkan kedua tangan, kemudian mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dia merasakan suatu ketenangan yang amat indah dalam hatinya yang semula penuh dengan kebencian dan dendam yang membara! Demikianlah, mulai hari itu juga Thian Sin digembleng oleh Hong San Hwesio dalam ilmu kebatinan dan keagamaan dan karena dia sendiri adalah seorang hwesio yang memeluk Agama Buddha, maka tentu saja dia mengajarkan filsalat kehidupan menurut pelajaran agama itu. Selain setiap hari mempelajari ayat-ayat suci, Hong San Hwesio juga memberi pelajaran kesusasteraan kepada Thian Sin, dan kadang-kadang anak itu juga berlatih ilmu silat di bawah petunjuk pamannya yang dulu sebelum menjadi hwesio juga merupakan seorang pendekar, ahli silat yang berilmu tinggi. Di samping mempelajari ilmu silat, ilmu sastera dan keagamaan dari pamannya, juga dari beberapa orang hwesio yang tinggal di Thian-to-tang itu, Thian Sin belajar menulis sajak dan meniup suling dan dalam kesenian ini ternyata dia memiliki bakat yang kuat sekali. Sungguh patut disayangkan bahwa kita ini semenjak kecil biasanya hanya memperoleh petunjuk-petunjuk saja, bagaimana untuk dapat menjadi seorang yang baik, yang benar, yang sabar dan sebagainya. Seakan kebaikan itu dapat dipelajari! Seakan kebenaran itu mempunyai garis tertentu! Seakan kesabaran itu dapat dibuat! Biasanya, kalau kita mendendam, kalau kita membenci, bila kita marah, kita dinasehati untuk bersabar. Kita dinasehati untuk mengendalikan diri, mengendalikan kemarahan itu, menekannya dengan kesabaran, dengan mengingat bahwa kemarahan itu tidak baik, dan kesabaran itu baik dan sebagainya. Kita diajarkan untuk menjauhi kemarahan, kebencian dan lain-lain itu seperti menjauhi penyakit, dan kita dipaksa agar berpaling kepada kesabaran, cinta kasih antara sesama, kebaikan dan sebagainya. Semua ini membuat kita seperti sekarang ini, penuh dengan teori-teori tentang kebajikan, kebaikan, teori-teori kosong yang sama sekali tidak pernah kita hayati dalam kehidupan, karena penghayatan dalam kehidupan melalui teori-teori ini hanya merupakan peniruan belaka, sedang setiap bentuk peniruan tentu mendatangkan kepalsuan dalam tindakan itu karena di balik itu sudah pasti mengandung pamrih. Sejak kecil kita diajarkan untuk menjadi orang baik sehingga kita selalu ingin disebut baik, kita mempunyai anggapan baik itu searah dengan senang, atau baik itu akan dapat mendatangkan senang di hati. Maka ‘perbuatan baik’ yang kita lakukan itu, jika kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, bukan lain hanyalah merupakan suatu daya upaya atau jembatan bagi kita untuk memperoleh hasil yang menyenangkan itu tadi saja. Hasil yang dianggap akan mendatangkan kesenangan dari perbuatan baik, dan hasil yang menyenangkan itu mungkin saja berupa kesenangan bagi lahir mau pun batin. Mungkin bersembunyi di bawah sadar, namun karena pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada kita semenjak kecil, maka kita selalu berbuat baik dengan harapan agar dapat memperoleh buah dari semua perbuatan itu yang tentu saja akan menguntungkan atau menyenangkan kita lahir batin. Bisa saja kita menyangkal bahwa hal ini tidak benar, akan tetapi setiap perbuatan yang kita anggap sebagai perbuatan kebaikan, yang kita lakukan dengan unsur kesengajaan untuk berbuat baik, sudah pasti mengandung pamrih, walau pamrih itu bersembunyi di bawah sadar sekali pun! Maka, yang penting adalah mengenal apakah perbuatan tidak baik itu! Kita tahu dan mengenal tindakan-tindakan palsu dan tidak baik itu, kita mengenal dan sudah mengalami betapa nafsu-nafsu seperti marah, benci, dendam, iri, serakah itu mendatangkan hal-hal yang amat buruk. Untuk dapat terbebas dari pada dendam, bukanlah hanya sekedar belajar sabar! Memang, dengan kesabaran atau pengendalian diri, kemarahan mungkin dapat berhenti, nampaknya lenyap dan padam, akan tetapi sebenarnya, api kemarahan itu masih belum padam, hanya tertutup oleh kesabaran yang dipaksakan menurut ajaran-ajaran itu tadi. Seperti api dalam sekam. Sekali waktu api itu akan berkobar lagi, mungkin lebih hebat untuk dikendalikan dan ditutup lagi oleh kesabaran, dan lain kali berkobar kembali, lalu ditutup lagi, maka kita pun terseret ke dalam lingkaran setan seperti keadaan hidup kita sekarang ini! Mengapa kita harus lari dari kenyataan kalau sekali waktu amarah atau benci datang? Mengapa kita harus menyembunyikan diri ke balik pelajaran kesabaran untuk melarikan diri dari kemarahan itu? Mengapa kita tidak berani menghadapi kenyataan itu bahwa kita marah? Marilah kita mencoba untuk menghadapinya, setiap kali kemarahan timbul, setiap kali iri hati kebencian, dan sebagainya datang ke dalam batin kita. Kita hadapi semua itu, kita amati, kita pandang, kita pelajari tanpa melarikan diri, tanpa ingin sabar, ingin baik dan sebagainya lagi! Dengan pengamatan ini, dengan kewaspadaan ini, dengan perhatian ini, maka kita akan awas, dan sadar, kita akan melihat bahwa kemarahan dan kita tidaklah berbeda, maka tidaklah mungkin melarikan diri dari kemarahan yang sesungguhnya adalah diri kita sendiri, pikiran kita sendiri, si aku itu sendiri. Kita hadapi saja, amati saja, pandang saja, dan akan terjadilah sesuatu yang luar biasa, yang tidak dapat diteorikan, hanya dapat dihayati, dilakukan pada saat semua itu timbul! Begitu pula dengan Thian Sin. Dia dijejali oleh pelajaran untuk mengendalikan diri, untuk menekan dan menghilangkan dendam yang membara di dalam hati. Memang nampaknya berhasil, nampaknya dia sudah kembali menjadi seorang anak yang riang dan berwajah manis, murah senyum, tampan sekali dan tidak pernah dia menyinggung-nyinggung lagi tentang kematian orang tua dan dendamnya. Namun, benarkah api dendamnya itu telah padam? Hanya kenyataan yang akan menentukan dan menjawabnya. *************** Bangunan kuno yang sebenarnya amat indah itu dari luar nampak menyeramkan karena dikelilingi tumbuh-tumbuhan yang besar dan lebat. Bangunan itu dinamakan orang Istana Lembah Naga! Lembah ini terietak di kaki Pegunungan Khing-an-san, di dekat tikungan Sungai Luan-ho, termasuk daerah Mongol dan berada di luar Tembok Besar. Dulu, sebelum lembah ini dibersihkan oleh pasukan kaisar, kemudian diserahkan sebagai hadiah kepada pendekar sakti Cia Sin Liong, tempat ini merupakan tempat yang ditakuti orang karena selain angker juga menjadi tempat tinggal keluarga mendiang Raja Sabutai yang terkenal kejam. Akan tetapi semenjak pendekar Cia Sin Liong bersama isterinya yang dicintanya, yaitu Bhe Bi Cu, tinggal di istana itu, keadaannya berubah sama sekali. Lembah yang memang amat indah itu tidak ditakuti orang lagi, bahkan kini banyak orang berdatangan untuk tinggal di sekitar lembah, terbentuk dusun-dusun yang cukup makmur karena tanah di sekitar pegunungan itu memang cukup subur. Dan pendekar itu bersama isterinya dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik, bahkan yang melindungi para penghuni dusun itu. Tidak mengherankan apa bila keluarga ini dicinta dan dihormati, dan dusun di sekeliling lembah itu menjadi semakin ramai. Memang pemandangan di lembah itu amat mentakjubkan. Padang rumput luas di bawah kaki lembah yang dahulu dinamakan orang Padang Bangkai dan amat menyeramkan itu, kini sebagian telah menjadi sawah ladang. Tempat-tempat berbahaya yang mengandung lumpur yang dapat menyedot telah ditutup oleh pasukan kaisar saat mereka mengadakan pembersihan di tempat ini sehingga kini padang maut itu tidak pernah mengambil korban lagi. Istana itu sendiri sekarang terawat baik, mempunyai taman bunga dan tembok-temboknya juga tidak penuh lumut seperti dahulu sebelum menjadi tempat tinggal pendekar itu. Kini ada saja penduduk dusun yang beberapa pekan sekali membantu pendekar ini untuk membersihkan bangunan yang kokoh kuat itu. Kini suasananya betul-betul jauh berbeda dibandingkan dengan dahulu pada saat istana ini masih menjadi tempat tinggal sepasang kakek dan nenek iblis yang terkenal dengan nama Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang guru dari mendiang Raja Sabutai. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, untuk terakhir kalinya tempat ini menjadi sarang pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Ceng Han Houw yang dibantu oleh Hek-hiat Mo-li dan yang lain-lainnya, di mana akhirnya terjadi keributan. Sesudah pemberontakan itu dapat dibasmi, dan istana itu diserahkan oleh kaisar kepada pendekar Cia Sin Liong yang berjasa menumpas pemberontakan, maka tempat itu sama sekali berubah keadaannya. Sampai sekarang Lembah Naga sudah menjadi tempat yang indah, yang banyak menarik datangnya para pelancong yang melewati Tembok Besar. Bahkan karena dusun-dusun di sekitarnya semakin ramai dan di sana banyak menghasilkan rempah-rempah dan bahan obat-obatan, banyak pula berdatangan pedagang-pedagang dari sebelah dalam Tembok Besar untuk berdagang, membawa barang-barang keperluan para penduduk dari kota di sebelah selatan, dan ketika pulang mereka membawa rempah-rempah dan bahan-bahan obat. Telah kurang lebih dua belas tahun pendekar Cia Sin Liong dan isterinya tinggal di Istana Lembah Naga itu dan di dunia kang-ouw, tempat ini pun terkenal sebagai istana tempat tinggalnya Pendekar Lembah Naga, demikianlah orang-orang kang-ouw memberi julukan kepada Cia Sin Liong. Dan dari pernikahannya dengan Bhe Bi Cu yang amat dicintanya, pendekar ini sudah memperoleh seorang putera yang mereka beri nama Cia Han Tiong dan yang kini telah berusia sebelas tahun. Semenjak kecil Han Tiong menerima cinta kasih yang berlimpah-limpah dari kedua orang tuanya, bukan pemanjaan melainkan cinta kasih, dan semenjak kecil dia tinggal di tempat yang selalu hening dan tenteram, di antara para penduduk dusun yang hidup sederhana, terbuka, jujur dan tenang. Maka tidaklah mengherankan apa bila keadaan sekelilingnya ini membentuk watak yang tenang dan pendiam kepada diri anak itu. Cia Han Tiong yang mempunyai ayah yang tampan dan gagah, ibu yang cantik manis itu ternyata tidaklah memiliki wajah yang terlalu tampan. Wajahnya biasa saja, wajah yang tidak terlampau menonjol seperti wajah anak-anak lain di dusun itu, tidak terlalu tampan sungguh pun juga tidak dapat dikatakan buruk. Hidungnya agak pesek, matanya sipit, namun wajah yang biasa ini amat menyenangkan karena gerak-geriknya yang lembut, bibirnya yang selalu membayangkan keramahan dan sepasang mata sipit itu memancarkan sinar yang bening tajam. Bila dia bicara, suaranya terdengar tenang, halus dan jelas, dan apa bila dia memandang wajah orang lain, dalam pandangannya itu terdapat rasa suka dan terbuka. Karena itu, sejak kecil Han Tiong amat disuka oleh semua orang yang mengenalnya. Sebagai putera seorang pendekar sakti, tentu saja sejak kecil Han Tiong telah digembleng ilmu oleh ayahnya, juga ayah ibunya mengajarkan ilmu membaca dan menulis sedapat mereka karena mereka pun bukanlah ahli dalam ilmu ini. Di samping berlatih silat setiap hari, Han Tiong suka pula bekerja di ladang, dia suka bercocok tanam, merawat tanaman, dia suka berjalan-jalan seorang diri menikmati pemandangan alam, pada waktu pagi-pagi sekali atau waktu senja, dia merasa sangat dekat dengan alam, menyayang binatang dan sikapnya selalu gembira, yang nampak pada seri wajahnya, sinar mata dan senyumnya, walau pun dia adalah seorang anak yang pendiam dan tidak mau bicara kalau tidak perlu sekali. Bentuk tubuhnya juga sedang saja, dan sikapnya sederhana sungguh pun dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang taihiap, seorang pendekar sakti yang disegani dan ditakuti lawan serta dihormat semua orang. Sikapnya yang sederhana ini justru membuat semua orang merasa suka sekali kepadanya dan ke mana pun Han Tiong berada, orang-orang akan menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira. Setelah Han Tiong berusia sebelas tahun, timbullah kekhawatiran di dalam hati Sin Liong. Biar pun selama ini puteranya menunjukkan sikap yang amat baik dan ternyata memiliki bakat besar dalam ilmu silat, namun dia tahu bahwa puteranya itu kurang memperoleh pendidikan dalam hal sastera dan kebatinan. Dia tidak sanggup untuk mengajarkan kedua hal itu lebih mendalam kepada puteranya. Dia tahu bahwa dia akan menurunkan ilmu-ilmu silat yang dahsyat kepada puteranya, akan tetapi dia tahu pula betapa besar bahayanya memiliki ilmu-ilmu silat dahsyat itu tanpa memiliki dasar watak yang kuat. Betapa banyak orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi lalu menyeleweng di dalam hidupnya, karena merasa mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan, mempunyai kekuasaan atas orang lain, karenanya lalu timbul penyelewengan dan sikap sewenang-wenang. Kalau dia membayangkan puteranya dapat menyeleweng seperti halnya kakak angkatnya, Ceng Han Houw misalnya, dia merasa lebih baik kalau puteranya itu tidak diwarisi ilmu-ilmu yang dahsyat itu. Akan tetapi kalau tidak diwariskan kepada puteranya, lalu untuk apa? Apakah hendak dibawanya sampai mati? Kekhawatiran dalam hati Sin Liong itu memang bukan tanpa alasan. Dalam pengalaman hidupnya, pendekar ini sudah melihat betapa banyaknya orang-orang dengan kepandaian tinggi lebih mudah melakukan penyelewengan dan kejahatan di dalam kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang bodoh seperti orang-orang dusun umpamanya. Orang-orang yang tidak memiliki batin yang bersih sangat mudah menyeleweng. Apa lagi orang-orang yang mempunyai kepandaian silat, mereka mengisi hidupnya hanya dengan perkelahian, permusuhan dan dendam mendendam! Memang demikianlah, kemajuan ilmu pengetahuan bukan mendatangkan berkah dalam kehidupan, bahkan sebaliknya mendatangkan mala petaka apa bila tidak disertai dengan kemajuan di bidang batin. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi kekuasaan yang lebih besar pada manusia, dan tanpa batin yang bersih maka kekuasaan itu akan digunakan oleh manusia untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan kemudian dengan kekuasaannya itu manusia akan membasmi manusia-manusia lain yang menghalang di depan, yang mengganggu usahanya untuk meraih kesenangan pribadi itu. Hal ini nampak dengan jelas di mana pun dalam dunia ini. Kemajuan ilmu haruslah disertai kemajuan batin, kalau tidak, maka kemajuan ilmu itu hanya akan mendatangkan bencana bagi manusia. Kekuasaan yang berada di dalam tangan manusia yang berbatin lemah hanya akan dipergunakan untuk mengumbar nafsu-nafsunya tanpa mempedulikan betapa untuk mencari kesenangan dia mempergunakan kekuasaan dari ilmu itu untuk mencelakakan orang lain. “Lalu apakah yang dapat kita lakukan?” Bhe Bi Cu berkata kepada suaminya pada suatu malam setelah suaminya itu mengeluarkan isi hatinya. “Di tempat seperti ini, mana ada orang yang akan mampu memberi pendidikan batin kepada anak kita? Siapa yang dapat menolong kita…?” “Aku ingat,” tiba-tiba Sin Liong berkata, “ada satu orang yang mungkin akan tepat sekali menjadi pendidik untuk Hai Tiong, entah dia masih berada di sana atau tidak.” “Siapa dia?” Bi Cu bertanya penuh gairah. “Dia adalah saudara misan sendiri, dia cucu luar dari mendiang Kakek Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai.” “Siapa sih?” “Dia Kanda Lie Seng yang sekarang telah menjadi hwesio. Kalau tidak salah, julukannya sekarang adalah Hong San Hwesio dan dia menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja.” “Ahh, bagus sekali kalau begitu! Jadi, anak kita masih keponakannya sendiri.” “Memang sebaiknya kalau kita menyerahkan anak kita kepadanya untuk dididik selama beberapa tahun. Engkau tahu, aku belum berani mengajarkan ilmu-ilmu silat yang terlalu dahsyat kepada anak kita, sebelum dia memiliki dasar kebatinan yang kuat. Biarlah dia belajar di sana selama beberapa tahun dan sesudah dasarnya kuat, baru kita bawa dia pulang.” “Aku setuju, biar pun tidak enak harus berpisah dari anak tunggal kita,” kata isterinya. “Bagus! Kalau engkau setuju, itu baik sekali. Sekarang bersiaplah, dalam pekan ini juga kita berangkat ke selatan bersama Han Tiong. Dia pun perlu memperluas pengetahuan dan pengalamannya dengan perjalanan jauh, bukan hanya terpendam di tempat sunyi ini saja.” “Apakah kita langsung saja ke kuil Thian-to-tang?” “Tidak, kesempatan ini kita gunakan untuk mengunjungi keluarga. Sudah bertahun-tahun kita seperti orang-orang bertapa saja di tempat ini, tidak pernah mengunjungi dunia ramai, tidak pernah mengunjungi keluarga. Maka sekali ini, sekalian membawa Han Tiong pergi merantau dan meluaskan pengalamannya, kita lebih dulu mengunjungi Cin-ling-san, lalu menengok Lan-moi dan Lin-moi di Su-couw, setelah itu baru kita mengantarnya ke kuil Hong San Hwesio atau Lie Seng Koko.” Wajah yang manis itu berseri gembira membayangkan perjalanan itu. Memang harus dia akui bahwa selama berada di Istana Lembah Naga, Bi Cu merasa berbahagia sekali di samping suaminya yang sangat dicintanya, apa lagi setelah terlahir Han Tiong, dan juga hidup sederhana di tempat itu bersama sekumpulan penghuni-penghuni dusun yang jujur dan bersahaja, sungguh amatlah menyenangkan. Belum pernah dia mempunyai perasaan ingin mengunjungi tempat ramai di luar lembah. Akan tetapi begitu kini suaminya hendak mengajak dia beserta putera mereka merantau, hatinya menjadi gembira bukan main lalu nyonya muda ini segera berkemas dan dengan girang dia memberi tahu kabar gembira itu kepada Han Tiong yang menerima kabar itu dengan tenang-tenang saja, walau pun wajahnya menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar. “Sudah lama aku ingin sekali bertemu dengan kakek, ibu,” katanya. “Benarkah kakek Cia Bun Houw adalah seorang pendekar yang tiada tandingannya di kolong langit? Dan bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan yang paling besar di dunia?” Pada saat itu, Sin Liong memasuki ruangan dan mendengar pertanyaan puteranya, maka dia lalu duduk dan menjawab, “Kakekmu memang seorang pendekar sejati yang gagah perkasa, akan tetapi janganlah menganggap bahwa dia seorang pendekar yang tidak ada bandingannya di kolong langit. Gunung Thai-san yang menjulang tinggi menembus awan sekali pun tidak dapat dikatakan sebagai benda yang paling tinggi, karena ada langit di atasnya. Demikian pula Cin-ling-pai, memang merupakan perkumpulan silat yang sangat baik dan terkenal, akan tetapi tidak perlu dikatakan paling besar di dunia. Ingatlah selalu bahwa amatlah berbahaya memandang terlalu tinggi terhadap diri sendiri, anakku. Hal itu akan mendatangkan watak besar kepala, sombong, dan memandang rendah pihak lain.” Anak itu mengangguk dan diam-diam, seperti biasanya, dia mencatat semua kata-kata ayahnya itu di dalam hatinya dan dia melihat kebenaran dalam ucapan itu. “Ayah dan ibu telah banyak bercerita tentang kakek dan nenek di Cin-ling-pai, akan tetapi kata ibu tadi kita akan pergi mengunjungi Bibi Lan dan Bibi Lin, juga mengunjungi Paman Lie Seng di mana aku akan disuruh belajar ilmu. Siapakah mereka itu, ayah?” Memang selama ini Sin Liong hanya menceritakan keadaan Cin-ling-pai pada puteranya, maka tidaklah mengherankan kalau Han Tiong kini bertanya mengenai mereka itu. Maka dengan singkat dia lalu memperkenalkan nama-nama itu kepada puteranya. “Bibimu Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adik tiri ayahmu satu ibu berlainan ayah. Mereka adalah dua orang wanita kembar yang kini sudah menikah dan bertempat tinggal di kota Su-couw. Sudah belasan tahun aku tidak mendengar berita tentang mereka, maka sekali kita keluar dari lembah ini, aku hendak mengajak ibumu dan engkau pergi mengunjungi mereka pula ke Su-couw. Sedangkan pamanmu Lie Seng itu sekarang sudah menjadi seorang hwesio berjuluk Hong San Hwesio, ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja. Dia pun seorang pendekar yang berilmu tinggi di samping dia seorang pendeta yang suci, oleh karena itulah engkau harus belajar darinya barang beberapa tahun, Han Tiong.” Saat menyebut nama adik-adik tirinya itu, diam-diam Sin Liong membayangkan keadaan mereka dan diam-diam timbul perasaan rindunya. Dia amat sayang kepada adik-adiknya itu, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Apakah mereka telah mempunyai anak? Ahh, sungguh lucu rasanya jika membayangkan adik-adiknya itu memiliki anak-anak! Dan tentu saja di dalam hatinya, pendekar ini merasa girang sekali membayangkan betapa akan gembiranya perjumpaannya dengan Kui Lan dan Kui Lin nanti. Tetapi pendekar ini tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini. Sudah hampir tiga belas tahun dia tidak pernah bertemu dengan dua orang adik kandung lain ayah itu. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, Kui Lan dan Kui Lin adalah adik-adiknya seibu berlainan ayah dan mereka berdua telah menikah. Perjumpaan Sin Liong dengan dua orang adiknya ini adalah ketika dia hadir dalam upacara pernikahan mereka. Untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan dua orang wanita kembar ini, sebaiknya kita menengok keadaan mereka di Su-couw. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah Pendekar Lembah Naga, mendiang Kui Hok Boan, yaitu ayah tiri Sin Liong atau ayah kandung Kui Lan dan Kui Lin, bersama anak-anaknya itu pindah ke Su-couw atau lebih tepat lagi di dalam keadaan tidak waras ingatannya dibawa pergi ke Su-couw oleh dua orang puteri kembarnya itu. Kebetulan sekali, puteranya yang bernama Beng Sin, atau kakak satu ayah berlainan ibu dari Lan dan Lin, juga berada di Su-couw dan Kui Beng Sin ini, putera Kui Hok Boan dari wanita lain lagi, juga menikah dengan seorang gadis Su-couw, bernama Ciok Siu Lan, putera seorang piauwsu dari Hek-eng-piauwkiok di Su-couw. Semua ini telah diceritakan di dalam kisah Pendekar Lembah Naga. Kui Lan telah menikah dengan Ciu Khai Sun, seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti tokoh Si Jin Kui. Sedangkan Kui Lin, adik kembarnya, menikah dengan Na Tiong Pek yang masih terhitung suheng dari Bi Cu di waktu mereka masih kecil, karena sejak kecil Bi Cu dirawat dan dididik oleh ayah dari Na Tiong Pek ini. Setelah menikah, Kui Lan ikut dengan suaminya, yaitu Ciu Khai Sun yang tetap tinggal di Su-couw, di rumah yang diberikan pamannya kepadanya. Adapun Kui Lin ikut suaminya, Na Tiong Pek yang memiliki perusahaan piauwkiok juga, yaitu Ui-eng Piauwkiok di kota Kun-ting, Propinsi Ho-pei. Maka berpisahlah dua orang wanita kembar itu ketika mereka menikah. Akan tetapi perpisahan itu tidak lama, hanya berjalan satu tahun. Hal ini adalah karena Ciu Khai Sun agak sulit memperoleh pekerjaan yang cocok dengan kepandaiannya, yaitu kepandaian silat tinggi yang dilatihnya semenjak dia masih kecil. Sedangkan di lain fihak, Na Tiong Pek juga membutuhkan bantuan orang pandai untuk memperkuat perusahaan piauwkiok (ekspedisi, pengawal barang). Oleh karena itu, dalam pertemuan di antara mereka, Na Tiong Pek membujuk Ciu Khai Sun agar ipar ini suka membantunya. Dua orang wanita kembar itu ikut membujuk karena sebagai saudara kembar, tentu saja mereka akan merasa lebih senang kalau dapat hidup bersama, atau setidaknya tinggal di satu kota sehingga lebih mudah bagi mereka untuk saling berkunjung. Akhirnya, Ciu Khai Sun menerima bujukan Na Tiong Pek ini, apa lagi mengingat bahwa baginya, pekerjaan menjadi piauwsu tentu saja sangat cocok, sesuai dengan kepandaiannya. Bukan main girangnya hati Na Tiong Pek setelah Khai Sun bekerja membantunya. Khai Sun adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sangat lihai, jauh lebih lihai dari pada dia sendiri, oleh karena itu, masuknya Khai Sun di Ui-eng Piauwkiok tentu saja memperkuat nama piauwkiok-nya dan dia tidak takut lagi perusahaannya akan mengalami gangguan dari para penjahat karena ada jagoan yang boleh diandalkan. Maka selain memberi upah yang amat besar kepada Khai Sun, dia juga bahkan menarik Khai Sun sebagai pesero, dan menyerahkan kekuasaan kepada Khai Sun sebagai wakil ketua atau orang ke dua di dalam piauwkiok itu setelah dia sendiri. Pada permulaannya, perpindahan Khai Sun ke Kun-ting itu berjalan lancar hingga kedua keluarga ini merasa berbahagia, terutama sekali Kui Lan dan Kui Lin. Sesudah Kui Lan pindah ke Kun-ting dan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh letaknya dari rumah adik kembarnya, setiap hari mereka pun dapat saling berkunjung dan tentu saja bagi mereka berdua yang memiliki pertalian batin yang lebih kuat dari pada saudara-saudara biasa, hal ini amat membahagiakan. Akan tetapi, kehidupan manusia di dunia ini tidaklah kekal, dan kebahagiaan atau yang dianggap sebagai kebahagiaan pun tidak kekal adanya, sungguh pun segala peristiwa itu merupakan akibat dari pada ulah manusia itu sendiri. Khai Sun yang merasa ‘ditolong’ oleh adik iparnya itu, bekerja keras dan tidak mengenal lelah. Dia mengawal sendiri semua barang kiriman yang cukup berharga, apa lagi kalau harus melalui tempat-tempat berbahaya. Beberapa kali rombongan pengawal ini diganggu penjahat, namun gangguan dapat disapu bersih oleh Khai Sun yang gagah perkasa. Tentu saja Na Tiong Pek menjadi girang bukan main dan amat berterima kasih, sehingga setiap kali Khai Sun pulang dari perjalanan jauh setelah mengawal barang berharga, tentu disambutnya dengan pesta kehormatan yang dirayakan oleh mereka berempat bersama para pembantu piauwkiok yang penting-penting saja. Dengan adanya Khai Sun, perusahaan itu memperoleh kemajuan pesat sekali, mendapat kepercayaan dari para bangsawan dan hartawan yang mengirim barang atau melakukan perjalanan bersama keluarga mereka dan membutuhkan pengawalan yang kuat. Tentu saja keuntungan yang mereka peroleh menjadi semakin besar sehingga dalam waktu satu tahun saja Khai Sun sudah mampu membangun rumahnya dan hidup serba kecukupan. Pendeknya dua keluarga ini menjadi semakin makmur. Akan tetapi, hal yang buruk adalah bahwa dengan adanya Khai Sun, Tiong Pek menjadi keenakan dan malas! Dia menyerahkan urusan-urusan penting kepada kakak ipar itu, ada pun dia sendiri bermalas-malasan dan dalam keadaan makmur ini, timbullah pula penyakit yang memang sejak muda mengeram dalam sanubari Na Tiong Pek. Dia mulai mengejar kesenangan, terutama sekali mencari hiburan di antara wanita-wanita cantik dengan mempergunakan hartanya. Memang sejak muda remaja dahulu, Na Tiong Pek memiliki kelemahan terhadap wajah cantik wanita. Kini, setelah makmur dan banyak menganggur, mulailah dia mengumbar hawa nafsunya. Hal ini lambat-laun diketahui oleh isterinya dan Kui Lin mulai merasa sakit hati dan marah. Dengan marah dia menegur suaminya dan setiap kali ditegur oleh isterinya, Na Tiong Pek kelihatan jinak di rumah dan tidak berani banyak keluar. Akan tetapi, diam-diam hatinya tersiksa dan nafsunya bergulung-gulung di dalam batin. Karena halangan ini, maka mulailah dia menujukan pandangan matanya yang ceriwis dan mata keranjang itu kepada Kui Lan! Memang dua orang saudara kembar ini hampir setiap hari saling mengunjungi, bahkan bila mana Khai Sun sedang melakukan tugas mengawal barang yang jauh sehingga sampai beberapa hari meninggalkan rumah, Kui Lan kadang-kadang suka bermalam di rumah adik kembarnya. Wajah keduanya hampir tiada bedanya, dan sesungguhnya, tidak ada sesuatu pada diri Kui Lan yang tidak ada pada diri Kui Lin. Daya tarik, kecantikan dan kemanisan mereka itu sesungguhnya tidak berbeda. Akan tetapi tetap saja Kui Lan lebih menggairahkan bagi Tiong Pek! Memang beginilah watak manusia pada umumnya. Buah pisang yang tumbuh di kebun orang lain nampaknya lebih lezat dari pada buah pisang di kebun sendiri. Bunga mawar di taman orang nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di taman sendiri. Isteri orang nampak lebih menggairahkan dari pada isteri sendiri! Padahal, Kui Lan dan Kui Lin hampir sama segala gerak-geriknya. Semenjak kecil manusia telah terdidik untuk menjangkau yang lebih, yang dianggap lebih menyenangkan dari pada apa yang sudah ada! Oleh karena inilah, tanpa disadari sejak kecil manusia telah terdidik untuk tidak menghargai apa yang telah dimilikinya. Matanya selalu tertuju ke luar, kepada apa yang belum ada, yang belum dimilikinya. Selalu ingin lebih pandai, ingin lebih besar, ingin lebih tinggi, lebih kaya, lebih senang, lebih bahagia, dan segala yang ‘lebih’ lagi. Semua keinginan ini menciptakan perasaan kurang puas dan tidak dapat menikmati apa yang ada, dan semua keinginan ini dihias dengan sebutan-sebutan indah seperti cita-cita, kemajuan dan sebagainya. Padahal, menginginkan sesuatu yang belum ada dan belum dimilikinya ini menjadi pangkal segala macam perbuatan jahat, korupsi, dan sebagainya, karena dorongan keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya itu akan membutakan mata batin sehingga tidak segan-segan lagi untuk melakukan pelanggaran apa pun demi memperoleh yang diidam-idamkannya. Na Tiong Pek mulai dimabuk nafsunya sendiri. Dalam penglihatannya, segala gerak-gerik Kui Lan nampak luar biasa manis dan cantiknya, bagaikan bidadari yang baru turun dari sorga saja! Dengan berbagai akal mulailah dia mendekati Kui Lan, dengan sikap yang luar biasa manisnya, dengan pancingan-pancingan omongan. Akan tetapi, Kui Lan adalah seorang wanita yang mencinta suaminya dan keras hati, dan tidak mudah ditundukkan oleh rayuan dan sikap manis. Juga dia tidak memiliki sangkaan buruk, mengira bahwa memang suami adik kembarnya itu seorang yang manis budi dan amat ramah! Dorongan nafsu birahi yang semakin diperkuat oleh khayal pikirannya, membayangkan betapa nikmat dan senangnya kalau dia dapat berhasil memiliki tubuh Kui Lan, membuat Tiong Pek menjadi semakin nekat. Pada suatu hari, dia melihat Kui Lan seorang diri di ruangan belakang, sedang menyulami kain yang akan dipergunakannya untuk alas meja di rumahnya. Hawa pada siang hari itu agak panas sedangkan isterinya, Kui Lin, tengah tidur siang di kamarnya. Hawa yang panas dan ketekunannya menyulam membuat wajah Kui Lan yang menunduk dan terus memperhatikan sulamannya itu kemerahan dan ada sedikit keringat membasahi dahi dan lehernya. Jari-jari tangannya yang mungil dan runcing itu bergerak cekatan sekali, menggerakkan jarum sulam dan saking asyiknya, wanita muda ini bekerja sambil menggigit bibir bawahnya. Kadang kala dia berhenti untuk menghapus peluh dari dahi dan lehernya, membuka sedikit belahan baju di leher sehingga nampak kulit lehernya yang putih mulus dan berkilat karena agak basah oleh keringat itu. Kui Lan sama sekali tidak sadar bahwa dari balik pintu, sepasang mata mengikuti gerak-geriknya dengan berkilat-kilat penuh nafsu! Mata itu adalah milik Na Tiong Pek yang pada siang hari itu timbul kembali gairahnya, apa lagi melihat isterinya sedang tidur dan wanita yang membuatnya tergila-gila, yaitu kakak kembar isterinya, sedang berada di ruangan itu sendirian saja! Kebetulan sekali Kui Lan juga mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh isterinya! Memang, semenjak Kui Lan tinggal satu kota, apa lagi kalau kebetulan Kui Lan tinggal di rumah Kui Lin selagi suaminya bertugas keluar kota, seperti hari ini, Kui Lan dan Kui Lin hampir selalu mengenakan pakaian yang sama. Inilah kesempatan baik bagiku, pikir Tiong Pek, untuk mempergunakan kesempatan itu, menyampaikan gairah nafsunya dan juga sekaligus untuk ‘menguji’ isi hati Kui Lan! Telah diperhitungkan baik-baik apa yang hendak dilakukan, dan semua kecerdikan serta akal ini timbul pada waktu nafsu mendorongnya dan membuatnya menjadi buta akan segala hal, karena dalam dorongan gairah nafsu, yang ada hanyalah melaksanakan dan memuaskan hasrat keinginannya itu saja! Tentu saja dia tidak berani menggunakan kekerasan terhadap Kui Lan. Pertama, karena wanita ini mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi dan dia sendiri belum tentu akan dapat mengatasinya, apa lagi kalau diingat bahwa suami wanita ini lihai bukan kepalang! Tidak, dia tidak akan begitu bodoh, pikirnya, dan mulailah dia melaksanakan siasat cerdik yang diaturnya dengan cepat itu. Dengan hati-hati sekali, sambil mengindap-indap, degup jantungnya terdengar memenuhi kedua telinganya akibat tegang, dia menghampiri wanita itu dari arah belakang. Hati-hati sekali dia berjalan mengelilingi meja kursi sampai akhirnya dia berdiri di belakang Kui Lan yang masih menyulam dan duduk di atas bangku itu. Tiong Pek menahan napas, lantas dengan tiba-tiba saja dia merangkul leher yang berkulit putih mulus itu, kedua tangan merangkul pundak dan dia berbisik mesra, “Lin-moi, isteriku sayang… ahhh, betapa aku cinta padamu…” Tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Kain yang disulamnya terlepas dan dia cepat mengangkat muka. Akan tetapi, sebelum dia sempat bicara, tahu-tahu Tiong Pek sudah mencium mulutnya yang setengah terbuka, membuat dia tak dapat mengeluarkan suara! Saking kagetnya, Kui Lan seperti menjadi kaku seketika, semangatnya melayang dan dia hampir pingsan! Akan tetapi dia sadar kembali dan cepat dia mendorong dengan kedua tangannya pada dada Tiong Pek kemudian meloncat berdiri, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. “Aih, isteriku… aku… aku ingin sekali…” Tiong Pek terus bersandiwara, masih menikmati ciuman yang dicurinya dan dilakukannya semesra-mesranya tadi. “I-thio… ini aku… Kui Lan…!” Kui Lan akhirnya mampu berkata dan muka yang tadinya merah seperti udang direbus itu berubah pucat sekali ketika dia teringat apa yang sudah dilakukan oleh iparnya itu kepadanya tadi. Tiong Pek pandai bersandiwara. Dia segera terbelalak, melangkah mundur tiga langkah, memandang penuh perhatian, kemudian dia menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kaki Kui Lan! “Ahh… Lan-i… maafkan aku… ampunkan aku… ahhh, kusangka bahwa engkau adalah Lin-moi isteriku… ahhh, sungguh aku menyesal sekali…” Sepasang kaki Kui Lan masih menggigil, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Betapa pun juga, dia telah dapat menguasai dirinya, maklum bahwa iparnya ini sudah keliru sangka dan salah mengenal orang. Memang sering kali iparnya ini keliru, kadang kala mengajaknya bicara sebagai isterinya! Dia tidak tahu bahwa hal itu memang disengaja oleh Tiong Pek yang sesungguhnya dapat membedakan mereka dengan baik! Bahkan sepekan yang lalu, pernah Tiong Pek bicara kepadanya sambil berbisik, “Isteriku, terima kasih semalam tadi engkau sungguh mesra…,” dan tentu saja ucapan itu membuat Kui Lan menjadi merah mukanya dan cepat memperkenalkan diri. cerita silat online karya kho ping hoo Semua kesalahan sangka dari Tiong Pek itu tentu saja membuat Kui Lan mengerti bahwa sekali ini pun Tiong Pek sudah salah lihat, jadi tidak mungkin dia terlalu menyalahkannya! Kini, melihat suami adiknya itu berlutut dan minta ampun, maka lenyaplah kemarahannya, meski pun dia merasa betapa perbuatan tadi sungguh sudah keterlaluan sekali dan akan terjadi geger kalau sampai terlihat oleh orang lain. Bayangkan saja andai kata Kui Lin atau suaminya melihat dia dicium seperti itu oleh Tiong Pek! “I-thio (sebutan untuk suami saudara perempuan), lain kali engkau jangan begitu ceroboh!” tegurnya. “Maaf, I-i… maaf, ah, aku layak mampus! Mataku seperti telah buta… akan tetapi sudilah engkau memaafkan aku dan tidak memberitahukan kebodohanku ini kepada orang lain…” “Tentu saja… asal lain kali engkau jangan begitu ceroboh lagi, I-thio,” kata Kui Lan yang segera meninggalkan laki-laki yang masih berlutut itu. Pengalaman ini membuat gairah nafsu di dalam hati Tiong Pek semakin berkobar-kobar! Dia menganggap bahwa ketidak marahan Kui Lan itu sebagai tanda bahwa wanita itu secara diam-diam memang menyambut cintanya! Dan dia seperti masih terus merasakan kelembutan bibir Kui Lan yang diciumnya tadi. Semakin dibayangkan, semakin mesra dan menyenangkan pengalaman itu, makin mendesaknya untuk mendapatkan yang lebih dari pada itu! Demikianlah terciptanya gelora segala macam nafsu dan gairah. Dari pikiran kita! Pikiran mengunyah-ngunyah pengalaman dalam kenangan, memupuk dan bahkan membumbui dengan khayalan sehingga pengalaman yang menyenangkan itu dianggap semakin hebat lagi, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga mendorong kita untuk mengulangnya. Kenikmatan yang pernah dirasakan itu dikunyah-kunyah, terbayang semakin nikmat dan timbul keinginan untuk mengalami kembali yang membuat kita mengejar-ngejar hal yang merupakan bayangan kesenangan hebat itu. Pikiran adalah sumber segala macam nafsu keinginan, hal ini dapat dilihat dengan jelas. Pikiran yang membayangkan kembali hal-hal yang lalu, mengenang kembali hal-hal yang menyenangkan, dan pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang amat hebat, nikmat dan menyenangkan. Pikiran menimbulkan nafsu-nafsu. Pikiran pula yang membanding-banding, menimbulkan perasan iri. Pikiran pula yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal buruk yang mungkin menimpa kita, menimbulkan rasa takut. Dapatkah kita bebas dari pada pikiran yang mengenang-ngenang itu? Bukan berarti kita tidak harus menggunakan pikiran. Pikiran mutlak perlu bagi kehidupan kita, namun pada tempatnya yang benar, dalam melakukan pekerjaan dan sebagainya. Akan tetapi, sekali kita membiarkan pikiran mengenang-ngenang, membanding-banding, memasuki hati dan merasuk urusan batin, maka akan terjadilah kekacauan dan segala nafsu-nafsu yang menguasai semua tindakan kita akan bangkit. Makin dibayangkan oleh Tiong Pek, makin hebatlah pengalaman tadi, mendorong hatinya untuk memperoleh yang lebih dari itu! Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu-nafsu keinginan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, amatlah kuatnya hingga kadang-kadang membutakan mata kita, mata lahir mau pun mata batin. Yang nampak hanyalah bayangan kesenangan itu saja, yang terlihat amat menyilaukan. Apa lagi karena sudah beberapa pekan ini isterinya sering kali kelihatan tidak senang dan marah-marah padanya, berhubung dengan seringnya dia keluar rumah dan mengumbar kesenangan di luar rumah. Sementara itu, pengalaman tadi membuat Kui Lan menjadi tidak tenang. Ada kemarahan berkobar di dadanya, kalau saja dia tidak yakin benar bahwa Tiong Pek memang salah mengenalnya dan menyangka dia Kui Lin, tentu dia telah turun tangan dan agaknya mau rasanya dia membunuh pria itu! Mengingat akan ciuman yang begitu mesra, begitu penuh nafsu, mukanya menjadi panas sekali rasanya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan marah atau menyatakan kemarahannya secara berterang? Tiong Pek tidak sengaja, jadi tidak bisa terlalu disalahkan. Dan di samping itu, Tiong Pek adalah penolongnya, penolong suaminya yang telah berjasa dalam mengangkat kehidupan suaminya! Dan juga, kalau peristiwa yang terjadi tadi, yaitu peristiwa yang terjadi di luar kesengajaan dan hanya akibat kesalahan Tiong Pek mengenalnya saja, sampai terdengar oleh Kui Lin, bukankah hal itu berarti bahwa dia akan menyakiti hati adik kembarnya itu? Dan mungkin sekali rumah tangga adiknya akan menjadi retak! Dia tahu bahwa suaminya adalah seorang bijaksana dan andai kata suaminya mendengar akan hal itu, dengan hatinya yang amat terbuka dan jujur itu tentu suaminya hanya akan tertawa dan menganggap hal itu sangat lucu. Suaminya amat mencintanya dan dia tahu bahwa cinta suaminya itu bersih, tanpa cemburu seperti cintanya kepada suaminya. Betapa pun juga, peristiwa itu membuat Kui Lan merasa tubuhnya lemas karena terjadi keguncangan di dalam hatinya, terjadi pertentangan-pertentangan serta tekanan-tekanan. Oleh sebab itu, setelah makan malam bersama adik kembarnya, dia terus saja memasuki kamarnya dengan dalih bahwa kepalanya terasa agak pening. Kui Lan tidak ingin gejolak batinnya akan nampak pada wajahnya sehingga Kui Lin yang sangat peka perasaannya terhadap dia itu akan bertanya-tanya. Andai kata pada siang harinya dia tidak sudah berjanji akan tidur di rumah adiknya ini, tentu dia akan pulang saja. Akan tetapi, apa bila mendadak menyatakan pulang padahal suaminya belum kembali dari perjalanan keluar kota, tentu malah akan mendatangkan kecurigaan Kui Lin saja! Demikianlah, sore-sore dia sudah memasuki kamarnya dan kelelahan batin membuat dia bahkan cepat tidur pulas. Kalau Kui Lan dapat tidur nyenyak dengan mudahnya karena batinnya lelah, ada pun Kui Lin juga dapat tidur nyenyak karena tak menyangka sesuatu, adalah Tiong Pek yang gelisah hingga sama sekali tak dapat tidur di samping isterinya. Hati dan pikirannya penuh dengan bayangan peristiwa siang tadi ketika dia mencium bibir Kui Lan! Dan memang semenjak siang tadi dia telah mengatur rencana! Khai Sun sedang bertugas jauh, sedikitnya lima hari lagi baru akan pulang. Dan Kui Lan berada di situ, di dalam kamar sendirian saja, dan melihat gelagatnya siang tadi, agaknya Kui Lan mudah memaafkannya dan tidak marah, tentu wanita itu pun menderita kesepian dan akan mau menerimanya dengan girang biar pun di luarnya kelihatan marah! Sejak siang tadi semua ini terbayang di dalam benaknya dan diam-diam dia pun telah mengatur rencana sebaik-baiknya. Ketika dia melihat bahwa isterinya sudah tidur nyenyak, hal ini mudah diketahuinya dari pernapasan yang halus sejak tadi, dengan hati-hati sekali dia lalu turun dari pembaringan! Ketika itu sudah lewat tengah malam dan keadaan sudah amat sunyi. Hawa yang masuk ke dalam kamar melewati lubang-lubang di atas jendela mendatangkan hawa dingin yang membuat Kui Lin tidur semakin nyenyak lagi. Dengan berjingkat-jingkat akhirnya Na Tiong Pek dapat keluar dari kamarnya, kemudian menghampiri kamar di mana Kui Lan tidur sendirian. Sebenarnya kamar itu tidak berapa jauh letaknya dari kamar Kui Lin, akan tetapi karena nafsu birahi sudah memuncak dan membikin mata buta, Tiong Pek tidak peduli akan semua kenyataan ini. Suasana amat sunyi dan semua pelayan sudah tidur di bagian belakang. Dengan hati-hati dia menghampiri kamar Kui Lan, lantas mendengarkan di dekat jendela kamar. Dia tahu bahwa pembaringan di dalam kamar itu berada di dekat jendela. Dengan mencurahkan perhatiannya, dia dapat menangkap pernapasan halus dan tahulah dia bahwa wanita itu pun telah tidur. Dengan jari-jari tangan gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan dan nafsu, dia kemudian mengeluarkan tiga batang hio (dupa biting) dan dinyalakannya dupa-dupa itu, lalu dupa-dupa yang bernyala itu dia sisipkan di antara celah-celah jendela, dimasukkan ke dalam kamar sehingga kini tiga batang dupa itu melepaskan asapnya yang harum ke dalam kamar. Sambil tersenyum simpul Tiong Pek memegang ujung biting dupa itu di luar jendela. Matanya berkilat-kilat dan bibirnya agak gemetar tanda bahwa hatinya tegang sekali. Sesungguhnya Tiong Pek bukanlah sebangsa penjahat yang suka mempergunakan asap pembius. Tetapi pekerjaannya sebagai piauwsu membuat dia banyak berkenalan dengan penjahat-penjahat dan dari seorang Jai-hoa-cat yang juga seorang maling dia mendapat hio-hio itu. Jai-hoa-cat (penjahat tukang memperkosa wanita) itu mempergunakan asap hio untuk membius pemilik rumah yang akan dimalinginya, atau wanita dalam kamar yang akan diperkosanya. Kini, dalam keadaan buta oleh gejolak nafsu birahi, Tiong Pek mempergunakan alat yang keji ini untuk mengirim asap hio pembius ke dalam kamar Kui Lan! Dia membiarkan hio itu terbakar sampai habis. Dengan girang dia mula-mula mendengar suara Kui Lan terbatuk-batuk, kemudian pernapasan wanita itu terdengar makin berat dan panjang, tanda bahwa wanita itu sudah terbius dan berada dalam keadaan pulas benar-benar! Maka dia pun lalu membuka jendela itu, dan menggunakan sapu tangan basah menutupi hidung dan mulutnya, memasuki kamar dan menggunakan jubahnya untuk mengusir asap yang memenuhi kamar itu keluar. Setelah asap yang mengandung bius itu terbang keluar dan kamar itu bersih kembali, dia lalu menutupkan lagi daun pintu, tetapi dalam keadaan tergesa-gesa dan tegang, dia tidak menguncikan daun jendela, hanya merapatkannya saja. Kamar itu gelap, hanya mendapat penerangan dari luar sehingga agak remang-remang. Dia melihat tubuh Kui Lan sudah rebah terlentang dan hatinya tidak dapat menahan lagi. Ditubruknya wanita itu dengan penuh gairah dan Kui Lan tidak mampu bergerak melawan, bahkan dia berada dalam keadaan tidak sadar sehingga mudah bagi Na Tiong Pek untuk melakukan apa saja sesuka hatinya. Maka terjadilah peristiwa yang kotor dan menjijikkan di dalam kamar itu, menimpa diri Kui Lan yang berada dalam keadaan tidak sadar sama sekali akan apa yang terjadi pada dirinya. Nafsu membuat manusia menjadi lupa segala, dan celakanya, makin dituruti nafsu itu, bukannya dia mereda, bahkan menjadi semakin berkobar dan selalu menghendaki yang lebih lagi dari pada yang telah didapatkannya! Na Tiong Pek lupa diri sehingga sampai malam terganti pagi, dia masih berada di dalam kamar itu. Dia lupa bahwa dia sudah mengusir keluar asap bius sehingga kekuatan obat bius itu tidak bertambah dan kini mulailah Kui Lan bergerak dan mengeluh. Akan tetapi hal ini tidak menakutkan Tiong Pek yang mengira bahwa setelah kini dia berhasil memiliki tubuh Kui Lan tentu wanita ini akan menyerahkan diri dengan suka rela! Maka dia pun masih memeluk tubuh wanita itu. Kui Lan membuka matanya dan mula-mula dia tidak sadar, mengira bahwa dia berada di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi ketika di dalam cuaca yang remang-remang itu dia melihat wajah pria yang merangkulnya, dia pun menjerit dan meronta, lalu bangkit duduk! Dapat dibayangkan betapa kagetnya pada saat dia mengenal Na Tiong Pek dan melihat betapa tubuhnya tidak berpakaian sama sekali, seperti juga tubuh Na Tiong Pek! Seketika tahulah dia apa yang telah terjadi! “Jahanam! Keparat hina-dina… ouhhhh, engkau jahanam laknat…!” Kui Lan menjerit-jerit. Tanpa mempedulikan dirinya yang masih telanjang bulat, dia sudah menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat ke arah kepala dan dada Na Tiong Pek! Mula-mula Na Tiong Pek tersenyum pada saat melihat Kui Lan terbangun, akan tetapi alangkah kagetnya melihat reaksi wanita ini. “I-i… eh, Kui Lan… sssttt, jangan ribut… sudah terlanjur… aku… aku cinta padamu…” “Jahanam…!” Kui Lan menyerang lagi saat pria itu mengelak. Maka kini terjadilah perkelahian di dalam kamar itu, perkelahlan yang terjadi dengan seru antara dua orang yang sama sekali tidak berpakaian! “Ssst, Kui Lan… kau akan mengejutkan semua orang… kita berpakaian dahulu…” Tiong Pek membujuk dan mulai merasa khawatir, akan tetapi Kui Lan terus saja menyerangnya sambil menangis. “Dukkk!” Sebuah tendangan kaki Kui Lan mengenai paha Tiong Pek sehingga pria ini terhuyung ke belakang dan terguling ke atas pembaringan. Kui Lan mengejar, menubruk dengan kedua tangan menghantam sekuatnya. “Bukkk!” Hanya bantal dan kasur yang kena dihantamnya karena Tiong Pek sudah menggulingkan tubuhnya turun dari pembaringan dan sekarang karena dia didesak dan diserang secara bertubi-tubi, dia mencari jalan untuk melarikan diri. Akan tetapi celakanya, Kui Lan terus menyerangnya dan agaknya Kui Lan juga tahu akan maksudnya, maka wanita itu selalu mencegahnya melarikan diri melalui jendela atau pintu. “Kui Lan… aduhhh, Kui Lan… sudah terlanjur… mengapa engkau mengamuk…?” Tiong Pek menjadi takut sekali. “Brakkkkk…!” Mendadak daun pintu terpental dan terbuka, dan tubuh Kui Lin sudah meloncat masuk. Wanita ini membawa pedang dan wajahnya agak pucat. Dia tadi terkejut bukan kepalang saat mendengar suara ribut-ribut, kemudian cepat mengambil pedang dan melihat bahwa suaminya tidak berada di sisinya, maka dia pun cepat berlari keluar. Mendengar suara perkelahian di dalam kamar enci-nya, dia cepat menerjang jendela dan memasuki kamar itu. Biar pun cuaca remang-remang, akan tetapi Kui Lin dapat melihat betapa suaminya yang telanjang bulat itu diserang dengan gencar oleh enci-nya yang juga bertelanjang bulat! “Apa… apa yang terjadi…?” tanyanya dengan suara gemetar. “Enci Lan… apa yang telah terjadi…?” Dia bertanya sambil memandang mereka berganti-ganti, seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan diduganya. Tiba-tiba Kui Lan menangis, mengguguk menutupi mukanya. “Hu-huu-huuuhh… dia… dia membiusku dan… dan… menodaiku… hu-hu-huuuhh…” Pengakuan ini bagai sebatang pedang yang menusuk jantung Kui Lin. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya terbelalak memandang ke arah suaminya. “Kau… kau… jahanam busuk…!” Dan Kui Lin langsung menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah dada suaminya! “Eeiiiiitt… sabar dulu, Lin-moi…!” Tiong Pek mengelak dan dengan gugup menyabarkan isterinya. Akan tetapi alasan apa yang dapat dikemukakannya? Dia tertangkap basah dan tidak mungkin lagi dia mengatakan salah lihat! “Sabar? Manusia berhati binatang, engkau sudah merusak segala-galanya, engkau layak mampus!” Dan Kui Lin kembali menerjang dengan pedangnya. Na Tiong Pek menyambar bangku dan menangkis, kemudian terpaksa balas menyerang. Ketika melihat betapa pria yang sudah menodainya itu malah berani menyerang Kui Lin, kemarahan Kui Lan memuncak dan dia pun menyambar pedang yang digantungkannya di dalam kamar itu. Dia memang masih membawa pedang kalau datang bertamu karena dia sering kali berlatih pedang dengan adik kembarnya. Sekarang tanpa kata-kata lagi dia pun membantu adiknya menyerang Na Tiong Pek! Tentu saja Tiong Pek menjadi bingung bukan main, dan karena bujukan-bujukannya dan permohonan ampunnya tidak berhasil, dia pun lantas melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dengan kecepatan bagai kilat, ujung pedang Kui Lan berhasil menusuk lengannya hingga membuat bangku itu terlepas dari pegangannya dan saat itu, pedang Kui Lin menyambar dan menusuk memasuki perutnya! “Aduhhh…!” Tiong Pek terhuyung dan hendak lari ke pintu, akan tetapi pedang di tangan Kui Lan menyambar dan menusuk dada sehingga menembus jantung! Dia roboh terkapar dan darah bercucuran dari perut dan dadanya. Melihat ini, kedua orang wanita itu saling memandang dan terbelalak. Kemudian Kui Lan melepaskan pedangnya dan berbisik, “Ya Tuhan… kita… kita telah membunuhnya…” Kui Lin bersikap tenang. Dia melemparkan pedangnya dan berkata. “Memang dia sudah layak mampus! Enci Lan, cepat berpakaian!” katanya. Baru teringat oleh Kui Lan bahwa dia masih telanjang bulat, maka sambil terisak dia lalu mengenakan pakaiannya. Dengan air mata bercucuran Kui Lin juga mulai mengenakan pakaian suaminya pada mayat suaminya yang mandi darah. Sesudah selesai, kembali mereka saling pandang dan melihat wajah masing-masing yang pucat dan basah. Serentak keduanya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis sesenggukan dengan hati hancur luluh. Tiba-tiba saja Kui Lan merenggutkan rangkulannya dan melangkah mundur, memandang adiknya dengan dua mata terbelalak, kemudian berkata dengan bisikan parau, “Aku layak mati…” Dia mengambil pedangnya yang berada di atas lantai dan menggunakan pedang itu untuk menggorok leher sendiri! “Enci Lan…!” Dengan cepat sekali Kui Lin sudah menubruk, merampas pedang dan membuang pedang itu ke atas pembaringan. “Apa yang akan kau lakukan ini?” bentaknya. Kui Lan menangis. “Untuk apa aku hidup lagi…? Aku sudah ternoda… bahkan aku telah membunuh suamimu… aku telah menghancurkan kebahagiaanmu… dan aku layak mati, jangan kau halangi aku…” Kui Lan meronta. Akan tetapi Kui Lin memeluknya dengan ketat sambil menangis, tidak mau membiarkan enci-nya melepaskan diri. “Enci Lan, jangan… jangan kau lakukan itu…” “Apa gunanya aku hidup lebih lama? Dia… dia membiusku dengan asap harum… dan dalam keadaan tak sadar dia… dia menodaiku… Adikku, apa gunanya lagi aku hidup dan bagaimana aku dapat menghadapi suamiku?” “Enci Lan, apakah hanya dirimu sendiri saja yang engkau pikirkan?” Tiba-tiba saja Kui Lin melepaskan rangkulannya. “Sekarang, sesudah apa yang terjadi, kau hendak membunuh diri? Enak saja engkau, mau melarikan diri dan kemudian membiarkan aku hidup sendiri menanggung semua aib ini di pundakku? Dia akan mati dalam caci-maki orang, dikatakan manusia jahanam, dan engkau akan mati dalam keadaan terhormat, sebagai isteri yang setia dan baik, tapi aku? Aku akan hidup menjadi cemoohan kanan kiri! Sekejam itukah hatimu padaku, Enci Lan? Apakah kau kira hatiku tidak hancur lebur dengan terjadinya peristiwa ini? Dan aku pula yang telah kehilangan suami, kehilangan rumah tangga, dan kehilangan kebahagiaan? Engkau mau lari meninggalkan aku hidup menderita seorang diri? Nah, kalau memang engkau sekejam itu, lakukanlah niatmu, biar aku yang… hidup… merana dan menanggung semua aib…!” Kui Lin menangis tersedu-sedu, ada pun Kui Lan berdiri dengan muka pucat memandang adiknya. Baru dia sadar bahwa penderitaan batin adiknya itu sebenarnya jauh lebih hebat dari pada dia! “Lin-moi…!” Dia menubruk dan keduanya sudah saling merangkul dan bertangisan lagi. Sementara itu, di luar kamar mulai terdengar suara ribut-ribut karena para pelayan sudah terbangun akibat mendengar suara ribut-ribut itu. Mendengar ini, Kui Lin lantas merangkul kakaknya dengan erat sambil berbisik, “Enci, apa pun yang terjadi sekarang, kita hadapi berdua, hidup atau mati. Setuju?” Kui Lan mengangguk pasrah. “Kalau begitu, serahkan segala-galanya padaku,” bisik Kui Lin lagi dan dia pun membuka daun pintu dan masih dalam keadaan menangis. Juga Kui Lan hanya bisa menangis di belakang Kui Lin. Pada saat para pelayan melihat keadaan dalam kamar itu yang awut-awutan seperti bekas dipakai berkelahi, dan melihat majikan mereka menggeletak di atas lantai mandi darah, mereka menjadi terkejut sekali. Para pelayan wanita menjerit dan menangis. Sambil terisak Kui Lin lalu menceritakan kepada mereka bahwa semalam rumah mereka didatangi penjahat. Penjahat itu hendak mencuri dan memasuki kamar di mana Kui Lan tidur. Kui Lan terbangun dan melawan penjahat sambil berteriak-teriak. Dia dan suaminya terbangun dan membantu Kui Lan. “Akan tetapi penjahat itu lihai sekali, suamiku roboh dan tewas sedangkan kami berdua tidak mampu menangkapnya.” Cerita nyonya majikan mereka itu tentu saja mereka percaya sepenuhnya dan seisi rumah lalu sibuk merawat jenazah itu sehingga pagi hari itu jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti dan semua orang bersembahyang dan berkabung. Peti jenazah itu tidak akan dikubur sebelum Ciu Khai Sun pulang. Selama menunggu pulangnya suaminya ini, jantung Kui Lan berdebar penuh ketegangan, kekhawatiran serta kedukaan. Hanya berkat adanya Kui Lin saja maka wanita ini tidak mengambil keputusan nekat. Rasanya dia tidak sanggup untuk menemui suaminya lagi, namun Kui Lin menghiburnya, bahkan menyatakan bahwa kalau enci-nya tidak sanggup menceritakan kepada suaminya, dialah yang akan menghadapi suami enci-nya itu. Betapa pun juga, nyonya muda ini merasa hatinya hancur dan dia selalu merasa sangat ketakutan, merasa seolah-olah dirinya kotor dan tidak berharga untuk suaminya. Dia telah ternoda, tercemar dan kotor! Bukan itu saja, bahkan dia telah membunuh suami adiknya, dia sudah menghancurkan kehidupan adik kembarnya! Hal ini lebih menyakitkan hatinya lagi, maka nyonya ini selalu mencucurkan air mata, seolah-olah sumber air matanya tidak akan ada habisnya. Memang demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Seperti berputarnya bumi, seperti beredarnya matahari, sebentar terang sebentar gelap. Hidup ini nampaknya seolah-olah begitu penuh dengan penderitaan, kekecewaan, penyesalan, kesengsaraan yang saling tumpang tindih. Ada kadang-kadang datang suka ria, akan tetapi hanya seperti selingan kilat di waktu hujan gelap saja. Manusia hidup seakan-akan dibayangi oleh duka nestapa selamanya. Semua hal yang dikejar-kejarnya mati-matian, dengan pengorbanan macam-macam, malah yang kadang-kadang dalam pengejaran itu tak sungkan-sungkan untuk memperebutkan dengan orang lain, kalau perlu menjatuhkan orang lain, mencelakainya, bahkan membunuhnya, setelah terdapat ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang diharapkannya atau dia bayangkan semula! Si miskin membayangkan bahwa jika dia memiliki banyak harta, hidupnya akan menjadi bahagia. Namun si kaya tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat hartanya! Rakyat kecil membayangkan bahwa jika dia memiliki kedudukan tinggi, maka hidupnya akan menjadi bahagia. Namun para pembesar tidak lagi merasakan kebahagiaan lewat kedudukannya, bahkan sebaliknya, kebanyakan dari mereka justru menderita banyak kepusingan akibat kedudukannya yang tinggi! Si orang awam ingin terkenal, akan tetapi mereka yang telah terkenal merasa terganggu hidupnya oleh ketenarannya! Demikianlah, manusia akan selalu sengsara dan hidupnya tidak berbahagia selama dia diburu oleh keinginan untuk memperoleh sesuatu yang belum dimilikinya. Dan keinginan ini akan terus mengejarnya sampai liang kubur sekali pun, tak pernah terpuaskan karena keinginan itu merupakan penyakit yang akan terus mendorongnya mengejar sesuatu yang baru lagi. Kita selalu menginginkan yang baru, karena yang baru itu menarik dan kita anggap amat menyenangkan. Kita lupa sama sekali bahwa yang baru ini akan menjadi lapuk dan kita akan terus mencari yang lebih baru lagi! Menuruti keinginan takkan ada habisnya, dan tidaklah mungkin bagi kita untuk memiliki segala-galanya di alam mayapada ini. Hanya dia yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka segala-galanya ini adalah untuknya! Atau dengan kata lain, hanya orang yang sudah tidak menginginkan apa-apa lagilah maka dia itu benar-benar seorang kaya raya lahir batin! Tidak menginginkan apa-apa ini dalam arti kata tidak mengejar sesuatu yang tidak ada padanya, tidak menghendaki sesuatu yang tak terjangkau olehnya. Bukan berarti menolak segala sesuatu, bukan berarti acuh tak acuh, bukan berarti mandeg dan menjadi seperti patung hidup. Tiga hari kemudian, datanglah rombongan piauwsu yang dipimpin oleh Ciu Khai Sun dari perjalanan mengawal barang berharga. Tentu saja berita tentang kematian Na Tiong Pek datang bagaikan sambaran petir di siang hari bagi Ciu Khai Sun. Pada saat pengawal piauwkiok menyambutnya di pintu gerbang kota dan menyampaikan berita bahwa Na Tiong Pek sudah tewas oleh penjahat yang menyerbu rumahnya tiga hari yang lalu, Ciu Khai Sun terbelalak, wajahnya pucat dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mendahului rombongan, lari ke rumah Na Tiong Pek. Ketika dia tiba di ruangan depan, melihat peti mati terbujur di situ, dan dia disambut oleh ratap tangis, kemudian melihat isterinya lari terhuyung menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kakinya sambil menangis, melihat pula adik isterinya menangis di belakang isterinya, pendekar ini berdiri dengan muka pucat dan sampai lama dia tidak dapat mengatakan sesuatu. Dia mengepal kedua tinjunya dan akhirnya dia berkata, “Siapa yang melakukan itu? Siapa…?! Aku akan mencari pembunuhnya… hemmm, aku akan mencari pembunuhnya sampai dapat!” Melihat sikap suaminya ini, Kui Lan menangis tersedu-sedu. Barulah pendekar itu merasa heran dan dia segera membungkuk, memegang kedua pundak isterinya dan menariknya berdiri. Akan tetapi sungguh aneh, Kui Lan meronta halus melepaskan diri dan menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis sesenggukan. “Ada… ada apakah…?” Pendekar itu mulai merasakan adanya sesuatu yang luar biasa pada diri isterinya. Tentu saja isterinya ikut pula berduka dengan tewasnya suami adiknya terbunuh orang itu, akan tetapi mengapa isterinya kelihatan begini sengsara? Kui Lin yang tidak ingin urusan itu sampai terdengar orang lain, dan hal ini mungkin akan menimbulkan kecurigaan orang lain kalau sampai Kui Lan tidak mampu mempertahankan perasaannya, segera maju merangkul kakak kembarnya dan berkatalah dia dengan halus kepada suami kakaknya, “I-thio… sebaiknya kita bicara di dalam saja…” Sesudah berkata demikian, dengan setengah memaksa dia menarik tubuh kakaknya lantas membawanya masuk ke dalam. Ciu Khai Sun lalu menghampiri peti mati dan bersembahyang dengan penuh khidmat. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, sedangkan wajahnya yang gagah itu diliputi awan duka, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya kilat oleh kemarahannya terhadap si pembunuh yang belum diketahuinya siapa. Sementara itu, Souw Kiat Hui, yaitu pembantu utama dari Na Tiong Pek yang dahulunya merupakan pembantu utama ayahnya, seorang tokoh Ui-eng Piauwkiok yang amat setia, segera menggantikan sebagai wakil keluarga yang kematian untuk menyambut para tamu yang datang berlayat. Souw Kiat Hui ini juga baru datang karena dia menemani Ciu Khai Sun mengawal barang yang amat berharga itu. Tentu saja dia pun merasa sangat berduka karena Na Tiong Pek baginya sudah seperti keponakannya sendiri. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa ada penjahat yang datang menyerbu ke rumah itu dan hanya membunuh Na Tiong Pek, sedangkan isterinya dan isteri Ciu Khai Sun yang juga kabarnya melawan penjahat itu tak diganggu, lagi pula tidak ada barang berharga yang dilarikan. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebagai seorang piauwsu, tentu saja bukan tak mungkin apa bila ada penjahat yang menaruh dendam terhadap Na Tiong Pek. Akan tetapi yang membuat hatinya merasa penasaran adalah mengapa penjahat itu datang seperti maling dan memasuki kamar isteri Ciu Khai Sun. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bertanya tentang hal ini kepada dua orang wanita kembar itu dan hanya diam-diam merasa amat penasaran sungguh pun dia tidak berani menduga yang bukan-bukan.....


PENDEKAR SADIS JILID 4 :
DAPAT dibayangkan betapa heran dan juga kaget rasa hati Ciu Khai Sun ketika dia tiba di ruangan dalam. Dia melihat Kui Lin langsung menutupkan semua pintu dan jendela, ada pun isterinya, Kui Lan kembali menubruk kakinya dan menangis tersedu-sedu. Sesudah menutupkan semua pintu dan jendela, Kui Lin juga menangis dan duduk di atas bangku tidak jauh dari situ. Jantung pendekar itu mulai berdebar keras dan dia merasa tidak enak. Pasti telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya, kalau tidak demikian, tidak nanti isterinya bersikap seperti ini. Memang harus dia akui bahwa peristiwa kematian Na Tiong Pek itu merupakan peristiwa hebat yang mendatangkan duka dan bingung, akan tetapi kalau tidak terjadi sesuatu yang hebat, tidak mungkin isterinya akan bersikap seperti ini. Kematian Na Tiong Pek saja tidak akan membuat isterinya bersikap seperti ini, apa lagi dia melihat keanehan dalam sikap Kui Lin yang turut pula bersama mereka ke ruangan itu dan bahkan menutupkan semua pintu dan jendela, seolah-olah mereka berdua ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, suatu rahasia yang tidak boleh didengar atau dilihat orang lain! “Lan-moi, ada apakah? Engkau tenanglah dan ceritakan kepadaku,” akhirnya dia berkata sambil mengelus kepala isterinya yang berlutut di hadapannya itu sambil mencoba untuk membangunkan Kui Lan. Akan tetapi Kui Lan tidak mau bangun, bahkan merangkul kedua kaki suaminya lebih erat dan tangisnya makin sesenggukkan, dan di antara isak tangisnya itu terdengar suaranya tersendat-sendat, “Sun-koko… kau… kau bunuhlah saja aku…” Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Khai Sun mendengar kata-kata isterinya ini. Dia terbelalak, mengerutkan alisnya kemudian merangkul isterinya yang masih berlutut. “Ahh… apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau… berkata demikian, isteriku?” “Koko… dia… dia itu…,” Kui Lan terisak-isak sambil menudingkan jari telunjuknya keluar dengan tangan menggigil, “…akulah yang… membunuhnya…” “Aihhh…?” Khai Sun merasa kepalanya laksana disambar kilat hingga dia bangkit berdiri, mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada kepala isterinya yang masih terus menunduk itu. Kui Lin cepat menghampiri enci-nya dan juga berlutut merangkul enci-nya, lalu dengan air mata bercucuran dia menengadah, berkata kepada suami enci-nya. “Bukan! Bukan dia saja yang melakukannya, melainkan kami berdua! Kami berdua yang mengeroyoknya dan membunuhnya!” Mendengar ini, Khai Sun semakin bingung dan heran. Dia berdiri sambil mengepal kedua tinjunya, memandangi mereka bergantian dengan bingung sekali, lalu membentak penuh penasaran, “Apakah kalian sudah menjadi gila? Kalian… kalian yang telah membunuh Na Tiong Pek? Apa artinya ini?” Melihat keadaan pria yang tinggi besar serta gagah perkasa itu seperti marah, Kui Lin khawatir akan keselamatan enci-nya, maka dia pun berkata dengan cepat sambil terisak menangis, “Bukan kami… melainkan dialah yang gila… dia layak mati… karena dia telah memperkosa Enci Lan…!” “Ohhhhh…?” Seketika tubuh Khai Sun terasa lemas seperti dilolosi seluruh urat syarafnya sehingga dia terjatuh duduk kembali ke atas kursinya, mukanya pucat sekali dan matanya memandang ke arah isterinya yang masih sesenggukan di depannya. Tangan kanannya meraba ujung meja lalu mencengkeram ujung meja itu. Ada perasaan marah yang sangat hebat membakar hatinya, namun dia tidak tahu harus menumpahkan kemarahannya kepada siapa. Tanpa disadari, tangannya mencengkeram dan meremas ujung meja yang terbuat dari pada kayu yang keras itu. Terdengar suara berkerotokan dan ujung meja itu hancur menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Agaknya pelampiasan kemarahan ini menyadarkannya. Dengan mata nanar dia membuka tangannya kemudian memandang kepada tepung kayu di dalam genggaman itu, sedangkan dua orang wanita itu masih menangis terisak-isak. Sejenak Khai Sun tidak dapat berkata apa-apa, bahkan tidak dapat berpikir apa-apa, dia seperti kehilangan semangat, merasa tubuhnya bagaikan terapung di dalam mimpi, tidak menentu apa yang harus dipikirkannya. Akan tetapi, memandang ujung meja yang sudah menjadi bubuk di dalam tangannya itu, dia pun sadar kembali dan terdengar dia menarik napas panjang, seakan-akan hendak melepaskan semua ganjalan hatinya melalui napas panjang itu. Setelah tiga kali dia menarik dan membuang napas panjang sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menyedot hawa murni, pikirannya kembali menjadi terang dan tenang, lantas terdengarlah suaranya yang parau dan berat, “Lan-moi, bangkit dan duduklah, dan ceritakan semua yang telah terjadi padaku.” Akan tetapi Kui Lan tidak sanggup mengeluarkan suara kecuali menangis sesenggukan, hingga akhirnya Kui Lin yang merangkulnya itu menariknya bangun dan berkata dengan suara gemetar, “Enci Lan, duduklah… biar aku yang akan menceritakan…” Kui Lin membawa enci-nya duduk di atas bangku di hadapan Khai Sun, dan dia sendiri berdiri di samping enci-nya, merangkulnya kemudian mempergunakan lengan baju untuk menghapus air matanya. Muka wanita itu pucat sekali, matanya cekung tanda bahwa dia menderita tekanan dan kedukaan batin yang amat mendalam. “I-thio Khai Sun, harap kau dengarkan dengan tenang dan jangan menyalahkan Enci Lan karena dia sama sekali tidak berdosa. Mendiang suamiku itulah yang bersalah, dan sudah selayaknya dia tewas. Malam itu… dengan mempergunakan asap pembius, dia membuat Enci Lan tidak sadar dan dia lalu menodai Enci Lan. Ketika paginya Enci Lan sadar, Enci Lan lalu menyerangnya dan aku mendengar ribut-ribut lalu datang dan setelah kuketahui duduknya perkara, aku pun lalu membantu Enci Lan mengeroyoknya hingga akhirnya dia tewas di tangan kami berdua! Nah, itulah apa yang terjadi, I-thio, dan… untuk menjaga nama baik keluarga, terpaksa kami menceritakan bahwa dia terbunuh oleh penjahat…” Mendengar ini, Khai Sun termangu-mangu, perasaannya terasa kosong dan hampa. Dia memang tahu bahwa iparnya, Na Tiong Pek itu, mempunyai watak yang mata keranjang dan suka main perempuan. Akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang itu akan mau dan tega mengganggu isterinya. Kakak dari isterinya sendiri! Melihat bahwa setelah mendengar cerita itu keadaan suaminya seperti orang kehilangan ingatan, Kui Lan menjerit lirih dan dia langsung menubruk kaki suaminya kembali sambil menangis. “Suamiku… kau…kau bunuhlah aku… aku tidak dapat membunuh diri… karena… karena Lin-moi…” Dia terus menangis tersedu-sedu. Khai Sun yang masih merasa pikirannya hampa dan tak tahu harus berkata atau berbuat apa, memandang kepala isterinya dan dengan suara seperti bukan suaranya sendiri dia lalu bertanya. “Mengapa kau minta kubunuh?” Kui Lan menengadah, memandang pada suaminya dengan muka pucat sekali dan basah air mata. “Aku tidak pantas hidup lagi di permukaan bumi ini… aku telah menjadi seorang perempuan ternoda dan kotor… aku tidak pantas menjadi isterimu bahkan tidak pantas bertemu muka denganmu… dan aku… aku sudah membunuh suami Lin-moi… aku sudah merusak hidup Lin-moi…” “Tidak… tidak…!” Kui Lin berseru sambil terisak. “Enci Lan tidak bersalah, dia terbius dan tak berdaya melawan… dan tentang pembunuhan itu… kami berdua yang melakukannya dan memang dia sudah layak mati…! Kalau Enci Lan hendak mengambil nyawa sendiri, berarti hendak melarikan diri dan meninggalkan aku sendirian untuk menanggung aib dan derita! Tidak, kalau Enci Lan harus mati, aku pun tidak sudi hidup lagi di dunia ini…!” “Lin-moi…!” “Enci Lan. Jangan kau kejam kepadaku!” Dua orang wanita kembar itu saling rangkul, dan menangis dengan sedihnya, membuat Khai Sun menjadi makin terharu dan bingung. Tentu saja dia sudah bisa membayangkan apa yang sudah terjadi dan memang dia tidak marah kepada isterinya, bahkan merasa kasihan sekali. Dia adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, yang adil, dan bukan semacam pria yang berpemandangan picik dan cemburu, hanya merasa kasihan kepada isterinya, dan diam-diam menyesal kepada Na Tiong Pek mengapa orang itu sampai hati melakukan hal yang keji itu. “Sudahlah, Lan-moi… aku… aku tidak marah padamu, memang Lin-moi benar… peristiwa ini tidak perlu sampai terdengar orang lain.” Dengan suara tenang pendekar itu menghibur isterinya. Dengan mata merah dan basah Kui Lan memandang suaminya. “Kau… kau tidak benci kepadaku?” Khai Sun menggelengkan kepala dan tersenyum duka. “Apakah aku sudah gila? Tidak, isteriku, aku tidak benci, bahkan aku merasa amat kasihan kepadamu.” Kui Lan masih meragu. “Tapi… tapi aku… aku telah menghancurkan kebahagiaan hidup Lin-moi…” “Sudahlah, Lan-ci. Suamimu sudah mendengar semua dan ternyata suamimu bijaksana sekali, dapat menerima kenyataan pahit ini dengan hati lapang. Kita harus keluar untuk menyambut tamu yang datang berlayat.” “Benar, isteriku, mari keluar agar tidak sampai mendatangkan kecurigaan kepada orang luar,” kata pula Khai Sun. Mereka segera keluar dan dengan wajah lesu dan penuh duka mereka menyambut para tamu yang datang berlayat. Di antara para tamu itu terdapat pula Kui Beng Sin, kakak tiri dua orang wanita kembar itu yang bahkan sudah sejak mendengar kematian Na Tiong Pek itu sibuk ikut mengurus perkabungan itu. Kui Beng Sin adalah putera Kui Hok Boan dari isteri lain dan dia tinggal di kota Su-couw di Ho-nan. Sesudah mendengar berita kematian Na Tiong Pek yang menjadi adik iparnya, maka dia segera berangkat ke Kun-ting dan tiba di sana sebelum Khai Sun kembali dari perjalanannya mengawal barang. Kurang lebih satu bulan sesudah penguburan jenazah Na Tiong Pek, rumah itu kelihatan sunyi dan masih dalam suasana berkabung, meski pun pekerjaan Ui-eng Piauwkiok telah dimulai lagi di bawah pimpinan Khai Sun yang tetap dibantu Souw Kiat Hui. Dan hampir setiap hari Kui Lan berada di rumah itu menemani adiknya. Pada malam itu, sudah jauh malam dan suasana telah sunyi sekali, terjadilah percakapan antara dua orang saudara kembar ini di dalam kamar Kui Lin, dan biar pun percakapan itu terjadi penuh semangat dan kesungguhan, akan tetapi mereka lakukan dengan bisik-bisik sehingga andai kata ada orang berdiri di luar kamar itu pun tidak akan dapat menangkap jelas apa yang mereka bicarakan. “Enci Lan, apa kau sudah menjadi gila? Usulmu itu sungguh tak masuk di akal, sungguh memalukan dan amat merendahkan aku!” “Tenanglah, adikku, dan dengarkan baik-baik, pertimbangkanlah masak-masak sebab aku bukan hanya sekedar mengeluarkan kata-kata tanpa alasan. Hal ini telah kupikirkan sejak peristiwa itu terjadi dan merupakan satu-satunya jalan bagiku untuk bisa terus hidup atau untuk berani menghadapi kehidupanku selanjutnya. Aku tahu bahwa di dalam peristiwa itu engkau tidak menyalahkan aku, akan tetapi perasaan bersalah dalam hatiku terhadapmu sama sekali tidak mungkin kulenyapkan selamanya. Betapa pun juga, peristiwa itu terjadi karena aku, karena adanya diriku, jadi akulah biang keladinya. Kalau tidak ada aku di sini, maka hal itu tidak akan terjadi dan kehidupanmu masih akan tetap bahagia, bukan? Nah, perasaan salahku terhadapmu ini tak akan dapat terhapus kecuali… kecuali kalau engkau sudi mempertimbangkan usulku.” “Gila! Gila dan memalukan, Enci Lan!” “Sama sekali tidak, Lin-moi. Engkau adalah seorang janda, sungguh amat tidak baik jika hidup sendiri, engkau masih muda, engkau perlu seorang pelindung sebagai suami yang baik. Dan engkau adalah adikku, malah adik kembarku hingga di antara kita seolah-olah ada perasaan sehidup semati, bukan? Jika engkau sebagai janda muda, cantik, berharta, hidup sendiri tentu akan banyak pria yang berusaha menggodamu. Kita tidak tahu bagai mana jika sampai engkau kelak terpikat oleh seorang pria yang hanya akan memerasmu. Sebaliknya, keadaan Cui Khai Sun sudah kukenal benar, dia adalah laki-laki yang gagah perkasa, yang baik hati, yang budiman dan setia. Kita… kita berdua akan berbahagia di sampingnya, Lin-moi.” “Memalukan sekali, Dan pula, belum tentu I-thio sudi menerima usulmu itu.” “Serahkan saja kepadaku. Engkau tahu, semenjak terjadinya peristiwa itu, aku tak pernah berani mendekatinya, tidak mau dijamah olehnya. Aku masih selalu merasa diriku kotor, Lin-moi, dan satu-satunya hal yang akan menghapus perasaan itu adalah kalau dia mau mengambilmu menjadi isterinya! Dia adalah seorang bijaksana dan dia tentu akan dapat mengerti apa yang terkandung dalam hatiku.” “Enci, usulmu ini sungguh akan membuat orang sedunia mentertawakan aku. Apa lagi aku sendiri, tanganku sendiri yang bersamamu membunuh suamiku, kalau kemudian aku menjadi… ehhh…, menjadi isteri suamimu, bukankah itu berarti bahwa aku seakan-akan sengaja untuk membunuh suami sendiri agar dapat menikah dengan orang lain?” “Ahh, peduli apa dengan anggapan orang lain, adikku. Yang penting kita tahu benar bagai mana duduk persoalannya dan bahwa engkau sama sekali tidak ada pikiran semacam itu. Dan tentu tidak dilaksanakan sekarang, melainkan sesudah setahun engkau berkabung. Akan tetapi, aku harus lebih dulu mendapatkan persetujuanmu, karena kalau tidak…” “Kalau tidak, mengapa, Enci?” “Kalau engkau tidak mau… aku bukan berwaksud mengancam, atau memaksamu, akan tetapi agar kau ketahui saja bahwa aku tidak akan berani hidup lebih lama lagi kalau saja engkau tidak mau menjadi isteri suamiku, hidup bersama kami selamanya dan dengan demikian menghapus rasa bersalah di dalam hatiku.” “Enci Lan…!” “Aku bersungguh-sungguh, adikku, dan bila engkau mau mempertimbangkan dengan hati tenang, engkau akan mengerti mengapa aku mengajukan usul ini.” “Enci, kasihanilah aku, jangan tergesa-gesa mendesakku… berilah aku waktu untuk dapat mempertimbangkan urusan ini, aku bingung, Enci…” “Baiklah, kau boleh mempertimbangkannya untuk sepekan, sedangkan aku akan bicara dengan suamiku.” Semenjak percakapan dengan kakak kembarnya itu, Kui Lin janda muda yang cantik itu setiap hari nampak termenung dan kadang kala dia menangis seorang diri di kamarnya. Sementara itu, beberapa hari kemudian sesudah Ciu Khai Sun pulang dari pekerjaannya, juga terjadi percakapan serius antara suami isteri ini. “Lan-moi, isteriku sayang, mengapa sekarang engkau selalu menjauhkan diri? Aku… aku rindu padamu, Lan-moi…” kata Ciu Khai Sun yang berusaha hendak merangkul isterinya yang duduk di tepi pembaringan. Namun Kui Lan mengelak dan menggeser duduknya agak menjauh. Mereka sama-sama duduk di pinggir pembaringan dan saling memandang. Khai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir, Kui Lan memandang dengan pandang mata berlinang air mata. “Aku… rasanya aku takkan mungkin dapat melayanimu… aku akan selalu merasa kotor dan hina…” “Aihh, Lan-moi, bukankah engkau isteriku tercinta? Dan aku telah mengatakan kepadamu berkali-kali bahwa aku sudah melupakan peristiwa itu, kuanggap hal itu tak pernah terjadi padamu dan…” “Aku mengerti, dan aku berterima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Akan tetapi, tetap saja di dasar hatiku akan selalu terdapat perasaan kotor dan hina itu, kecuali kalau…” “Kecuali apa, isteriku?” “Kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi…” “Aahhh…! Sudah gilakah engkau?” Seperti juga Kui Lin ketika pertama kali mendengar usul itu, Khai Sun berseru kaget dan memandang kepada isterinya dengan mata terbelalak. Kui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, Sun-ko. Usulku itu telah kupertimbagkan secara masak-masak dan hanya jalan itulah yang akan menghapus semua rasa kotor dan rendah dari lubuk hatiku. Aku telah ternoda oleh suami Lin-moi, maka kecuali kalau engkau mau memperisteri Lin-moi, rasanya tak mungkin lagi aku dapat melayanimu dengan hati bersih dari rasa kotor itu, bahkan rasanya tidak mungkin lagi akan dapat melanjutkan hidup ini yang akan menyiksa batinku.” “Akan tetapi, isteriku! Usulmu ini sungguh gila. Mana mungkin hal itu dapat terlaksana? Bukankah itu malah berarti engkau akan meremehkan dan menghina adikmu sendiri yang sudah tertimpa mala petaka itu?” Kembali Kui Lan menggeleng kepalanya. “Aku mempunyai dua tekanan batin yang tidak memungkinkan aku dapat bertahan hidup terus tanpa obat ini. Pertama, aku akan selalu merasa kotor dan hina di depanmu, Sun-ko. Dan ke dua, aku akan selalu merasa bahwa aku telah menghancurkan kebahagiaan adikku. Dua hal itu hanya dapat terhapus apa bila engkau mau menerima usulku itu, yakni mengambil Lin-moi sebagai isterimu di samping aku.” “Tapi… tapi…” “Hanya itulah jalan satu-satunya yang memungkinkan kita menjadi suami isteri kembali tanpa ada ganjalan hati.” “Tapi… Lin-i…” “Hal ini sudah kubicarakan dengan Lin-moi. Kini Lin-moi telah menjadi seorang janda, dia muda, cantik dan berharta. Maka dia juga memerlukan seorang suami sebagai pelindung, dan satu-satunya orang yang amat pantas menjadi suaminya adalah engkau. Sedang dia pertimbangkan usulku ini dan kalau kalian berdua menghendaki aku dapat hidup seperti biasa kembali, bahkan jika menghendaki aku dapat melanjutkan hidupku, maka penuhilah permintaanku ini.” “Tapi, kau kira aku ini laki-laki macam apa, Lan-moi? Harus menikah lagi dengan wanita lain sedangkan aku amat mencintamu, setia kepadamu…” “Aku tahu, akan tetapi Lin-moi bukanlah wanita lain. Bahkan dia adalah belahan badan dan jiwaku. Kami adalah saudara kembar yang memiliki perasaan sehidup semati. Kalau engkau cinta padaku, Sun-ko, berarti engkau dapat juga mencinta Lin-moi. Hanya inilah satu-satunya jalan, demi kebaikan kami berdua.” Dengan tubuh lemas Khai Sun lalu menjatuhkan diri terlentang di atas pembaringan, dua tangannya menutupi muka. Dia bingung sekali dan menarik napas berulang kali. “Ahhh, alangkah akan malu rasanya di dalam hatiku terhadap mendiang Na Tiong Pek! Seolah-olah aku menggunakan kematiannya untuk mencari kesenangan sendiri! Isteriku, berilah aku waktu… aku harus memikirkan hal ini secara mendalam…” “Baiklah, dan tentu saja pelaksanaannya tidak sekarang, melainkan menanti sampai satu tahun setelah Lin-moi terbebas dari masa perkabungannya. Aku hanya ingin mendapatkan janji persetujuan kalian dulu. Sebelum kalian berjanji setuju, rasanya tidak mungkin aku dapat membiarkan engkau menjamah diriku yang kotor, suamiku.” Begitulah keadaan dua orang kakak beradik kembar Kui Lan dan Kui Lin itu, yang sudah dipermainkan oleh nasib sedemikian hebatnya, sebagai akibat dari perbuatan mendiang Na Tiong Pek. *************** Dan waktu telah berlalu dengan cepatnya sehingga sembilan tahun telah lewat ketika Cia Sin Liong dan isterinya, Bhe Bi Cu serta anak mereka Cia Han Tiong turun meninggalkan Istana Lembah Naga. Mereka hendak mulai dengan perjalanan mereka ke selatan untuk mengunjungi Cin-ling-pai, kemudian hendak menengok Kui Lan dan Kui Lin di Su-couw dan akhirnya untuk melanjutkan mengantar putera mereka kepada Hong San Hwesio. Marilah sekarang kita mengikuti perjalanan keluarga penghuni Istana Lembah Naga itu. Setelah diceritakan di bagian depan, dengan gembira sekali Cia Sin Liong mengajak isteri serta puteranya meninggalkan istana tua itu untuk memulai dengan perantauan mereka. Bukan hanya Han Tiong yang bergembira, tetapi juga Sin Liong dan Bi Cu yang sudah lama sekali, bertahun-tahun sudah selalu berada di Istana Lembah Naga dan sekarang ini hendak melakukan perjalanan yang lama dan jauh sehingga merasa gembira bukan main. Keduanya memang merupakan pendekar-pendekar petualang yang suka merantau, maka sekarang mereka dapat pergi bertiga, tentu saja hal itu merupakan peristiwa yang amat menggembirakan. Atas kehendak Sin Liong dan isterinya, mereka bertiga turun gunung dengan berjalan kaki saja, tidak menunggang kuda. Hal ini selain untuk melatih Han Tiong, juga melakukan perjalanan dengan jalan kaki lebih mengasyikkan, lebih memudahkan mereka untuk dapat menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan, juga mereka hanya membawa bekal sedikit saja, pakaian sekedarnya dan uang untuk biaya dalam perjalanan. Pada saat mereka menuruni bukit dan keluar dari dalam sebuah hutan, mereka itu tiada ubahnya sebuah keluarga petani saja. Pakaian mereka amat sederhana, akan tetapi dari sikap mereka, dengan cara mereka melangkahkan kaki saja orang sudah dapat menduga, bahwa mereka itu bukanlah keluarga petani ‘biasa’ karena langkah-langkah mereka selain tegap juga cepat sekali. Pada jaman itu Cia Sin Liong adalah seorang pendekar besar sehingga namanya sebagai Pendekar Lembah Naga sangat terkenal sampai di seluruh dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sejak menikah dan tinggal di Lembah Naga dia tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, hanya namanya sajalah yang amat terkenal, akan tetapi orangnya jarang ada yang pernah berjumpa. Karena itu, apa bila ada yang melihat keluarga itu melakukan perjalanan sederhana dengan gembira itu, tentu tidak akan ada yang menyangka bahwa itulah keluarga Pendekar Lembah Naga yang amat terkenal kesaktiannya itu! Akan tetapi, justru keadaan mereka yang bagaikan petani sederhana itulah agaknya yang membuat perjalanan itu bisa dilakukan tanpa banyak menarik perhatian sehingga mereka pun dapat melakukan perjalanan dengan aman! Karena jika orang mengenalnya sebagai Pendekar Lembah Naga, tentu akan banyak yang menaruh perhatian. Setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan, perjalanan yang seenaknya dan kadang-kadang berhenti di tempat-tempat indah, maka sampailah mereka di Pegunungan Cin-ling-san! Pegunungan Cin-ling-san ini sebenarnya hanyalah merupakan satu di antara banyak gunung-gunung lainnya yang indah sehingga merupakan pegunungan biasa saja. Tetapi nama pegunungan ini amat dikenal orang karena adanya perkumpulan Cin-ling-pai di puncak pegunungan itu. Nama Cin-ling-pai amat terkenal, sudah puluhan tahun terkenal sebagai tempat keluarga Cin-ling-pai yang sakti. Ketika itu, yang tinggal di puncak Cin-ling-san, di perumahan Cin-ling-pai yang merupakan sebuah pedusunan dikurung pagar tembok tinggi, adalah pendekar sakti Cia Bun Houw bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang mempunyai ilmu tinggi bernama Yap In Hong. Pada waktu itu Cia Bun Houw merupakan seorang kakek setengah tua yang berusia lima puluh dua tahun, namun masih nampak tegap dan tampan laksana orang berusia empat puluh tahun saja, tidak seperti biasanya lelaki yang berumur sekian, kalau tidak perutnya menggendut karena terlalu banyak makan gajih dan daging, tentu menjadi kurus kering karena terlalu banyak pikiran! Isterinya, Yap In Hong, juga masih nampak jelas bekas-bekasnya sebagai seorang wanita cantik, tubuhnya masih ramping dan padat kuat, walau pun rambutnya mulai terhias uban. Akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan menggiriskan karena penuh wibawa dan kadang-kadang dapat menjadi dingin seperti ujung pedang tajam! Seperti dapat kita baca dalam cerita Pendekar Lembah Naga, biar pun semenjak muda suami isteri pendekar sakti ini telah saling berkenalan dan saling jatuh cinta, namun baru sesudah mereka berusia tiga puluh tahun lebih mereka hidup sebagai suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Sebelum itu, selama kurang lebih belasan tahun mereka hidup sebagai kekasih karena perjodohan mereka tidak disetujui oleh keluarga Cin-ling-pai dan hal itu membuat mereka berdua menjauhkan dan menyembunyikan diri selama belasan tahun. Baru pada pertemuan-pertemuan terakhir, ayah pendekar itu, yaitu mendiang Kakek Cia Keng Hong, merestui perjodohan mereka sehingga dengan demikian, setelah dia berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun barulah Yap In Hong melahirkan seorang putera! Kini, putera mereka itu telah berusia empat belas tahun, seorang anak laki-laki yang tampan dan gagah bernama Cia Kong Liang. Cia Sin Liong adalah putera Cia Bun Houw yang terlahir dari seorang wanita bernama Liong Si Kwi, yang lahir di luar nikah akan tetapi yang akhirnya diakui juga oleh Cia Bun Houw, bahkan Yap In Hong juga dapat menerima kenyataan itu kemudian menganggap Sin Liong sebagai anak tirinya, menjadi kakak tiri dari Cia Kong Liang. Karena hubungan yang sangat baik antara Sin Liong dengan ayah kandung dan ibu tirinya, maka kini Sin Liong mengajak isterinya beserta puteranya untuk berkunjung ke Cin-ling-pai. Sesudah mereka bertiga sampai di lereng Cin-ling-san, Sin Liong dan isterinya merasa pangling dengan keadaan di situ. Ternyata keadaan Cin-ling-san kini cukup ramai, banyak dusun baru dibangun di sekitar lereng, dan dari bawah sudah kelihatan tembok putih di puncak, di mana Cin-ling-pai berada. Ternyata bahwa Cin-ling-pai yang tadinya boleh dibilang tak terurus itu kini telah dibangun kembali oleh pendekar Cia Bun Houw bersama isterinya, bahkan mereka sudah memiliki banyak murid sehingga nama Cin-ling-pai sebagai perkumpulan silat yang besar menjadi terkenal kembali. Begitu keluarga ini sampai di pintu gerbang, mereka sudah disambut oleh beberapa orang pemuda yang bertubuh tegap dan nampak gagah, berpakaian rapi, pakaian murid-murid yang belajar ilmu silat. Sin Liong memandang ke arah papan nama yang cukup megah dan besar, dengan huruf-huruf CIN-LING-PAI yang ditulis dengan gaya gagah. Kemudian dia memandang kepada beberapa orang pemuda yang datang menyambutnya dengan sikap hormat dan ramah itu. “Selamat datang di Cin-ling-pai,” kata seorang di antara mereka, agaknya yang memimpin mereka yang bertugas jaga pada pagi hari itu. “Ada keperluan apakah saudara sekalian datang mengunjungi tempat kami?” Pertanyaan itu singkat dan tegas, namun diucapkan dengan sikap hormat dan manis, disertai senyum ramah. Melihat sikap mereka ini, Sin Liong merasa gembira dan juga bangga. Pantaslah apa bila Cin-ling-pai menjadi perkumpulan besar kalau melihat sikap para muridnya seperti ini! “Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai,” jawab Sin Liong dengan ramah pula. Para murid Cin-ling-pai itu saling pandang, kemudian pemimpin para penjaga itu menatap penuh perhatian kepada Sin Liong sambil berkata. “Maaf, ketua kami tak mudah diganggu karena beliau banyak pekerjaan, sebaiknya kalau kami laporkan lebih dulu siapa adanya saudara dan dari mana…?” Sin Liong tersenyum. Sikap mereka ini amat baik dan hormat, dan ucapan itu hanya suatu alasan belaka. Mereka ini bersikap hati-hati dan tentu saja menaruh curiga kepadanya yang belum mereka kenal. Maka Sin Liong tersenyum, lalu berkata, “Baik sekali, harap kalian laporkan kepada ketua Cin-ling-pai bahwa kami bertiga datang dari jauh, dari luar Tembok Besar…” “Kami datang dari Lembah Naga!” sambung Bi Cu yang merasa tidak sabar lagi melihat suaminya bersikap sungkan untuk memperkenalkan diri itu. “Kami ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, dia itu adalah kongkong-ku!” kata pula Han Tiong yang juga tak sabar ingin lekas-lekas bertemu dengan kakeknya, yang didengarnya sebagai seorang pendekar sakti yang amat terkenal itu. Mendengar ucapan Bi Cu dan Han Tiong, maka semua murid Cin-ling-pai terbelalak dan wajah mereka berubah pucat ketika mereka memandang kepada Sin Liong yang hanya tersenyum ramah itu. “Ahh,… apakah… taihiap ini Cia Sin Liong…?” Melihat kegugupan orang, Sin Liong berkata, “Benar, itulah namaku.” “Maaf… maaf… kami tidak mengenal… silakan masuk…” kata mereka. Beberapa orang di antara mereka sudah lari ke dalam untuk menyampaikan berita yang sangat mengejutkan dan menggirangkan hati ini. Semua murid memandang kepada Sin Liong dengan sinar mata penuh kagum. Sudah lama mereka mendengar nama besar Sin Liong, putera ketua mereka yang kabarnya memiliki kepandaian yang bahkan lebih tinggi atau setidaknya tidak kalah oleh tingkat kepandaian ketua mereka dan yang merupakan seorang pendekar yang menjadi penghuni Istana Lembah Naga. Tak pernah disangkanya bahwa pendekar sakti itu ternyata hanya seorang pria, yang biar pun gagah, akan tetapi berpakaian sederhana dan juga bersikap sangat sederhana pula. Hal ini menambah kekaguman mereka karena memang semua murid Cin-ling-pai juga bersikap sederhana, sesuai dengan pengertian mereka tentang hidup sederhana seperti diajarkan oleh ketua mereka. Ketika para murid Cin-ling-pai yang sedang berada di sebelah dalam, yang berlatih silat, yang melakukan pekerjaan masing-masing, mendengar bahwa Pendekar Lembah Naga bersama isteri dan puteranya datang berkunjung, berbondong-bondong mereka berlarian keluar untuk menyambut dan melihat. Cia Bun Houw yang sudah menerima pelaporan para murid Cin-ling-pai, segera keluar bersama Yap In Hong dan putera mereka, Cia Kong Liang yang kini berusia empat belas tahun. Semua murid Cin-ling-pai segera membuka jalan dan berdiri di pinggiran dengan sikap hormat ketika ketua Cin-ling-pai dengan anak isterinya ini keluar menyambut. Sejenak mereka semua saling berpandangan. Sin Liong merasa terharu melihat ayahnya yang sungguh pun masih nampak gagah, namun di atas kedua telinganya sudah nampak rambut putihnya. Ibu tirinya juga masih nampak cantik dan gagah, sedangkan adik tirinya, seorang pemuda berusia empat belas tahun, membuat dia kagum karena Cia Kong Liang memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, memiliki sinar mata yang terang dan lembut. “Ayah…!” Sin Liong segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Bi Cu dan Han Tiong. Mereka bertiga berlutut di depan kaki Cia Bun Houw, kemudian menghormat kepada Yap In Hong pula. “Engkau tentu adikku Kong Liang! Ahh, engkau sudah besar, tegap dan gagah!” kata Sin Liong ketika Kong Liang memberi hormat kepadanya. “Inikah putera kalian?” kata Yap In Hong ketika Han Tiong memberi hormat kepadanya. “Ha-ha-ha, ini tentu putera kalian Cia Han Tiong, bukan? Bagus, bagus… sudah besar dan sehat pula!” kata ketua Cin-ling-pai sambil tertawa lebar dan dia nampak gembira sekali dengan kunjungan puteranya ini. Sambil tersenyum gembira dan bercakap-cakap, mereka lalu memasuki rumah induk yang menjadi tempat tinggal ketua Cin-ling-pai itu, diikuti pandang mata penuh kagum dari para murid Cin-ling-pai. Pada waktu Cia Bun Houw mendengar penuturan puteranya bahwa puteranya itu hendak menyerahkan Han Tiong kepada Lie Seng yang sekarang telah menjadi Hong San Hwesio untuk dididik budi pekerti, maka dia pun mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali, dan aku girang sekali mendengar itu. Aku pun sudah mendengar bahwa keponakanku itu kini telah menjadi ketua Kuil Thian-to-tang di sebelah selatan kota raja dan hidup sebagai seorang hwesio yang saleh. Ahhh…, engkau memang benar, Sin Liong. Berbahaya sekali kalau memiliki kepandaian silat tinggi tanpa disertai kepandaian yang lebih mendalam, yaitu keluhuran batin, sebab ilmu yang dimiliki orang yang batinnya dangkal bahkan hanya akan mendatangkan kerusakan saja kepada manusia. Sayang aku sendiri tidak dapat membantumu. Dalam hal ilmu silat, tentu engkau sendiri sudah lebih dari cukup untuk mendidik puteramu, sedangkan dalam hal ilmu kebatinan, keponakanku Hong San Hwesio itu memang boleh dijadikan guru untuk cucuku ini. Ahhh, aku gembira sekali, karena keadaan sekarang ini sungguh sangat menggelisahkan, dengan munculnya banyak orang pandai yang memasuki golongan hitam.” “Benarkah itu, Ayah? Saya sudah terlampau lama hanya bersembunyi saja, tidak pernah lagi mendengar bagaimana keadaan dunia kang-ouw.” Ayahnya menarik napas panjang. “Aku sendiri pun tidak pernah mau mencampuri urusan luar. Bahkan kepada semua anak murid Cin-ling-pai telah kutekankan dengan keras agar jangan mencampuri urusan luar, jangan menanam bibit permusuhan, sungguh pun hal itu bukan berarti bahwa kita harus diam saja apa bila menyaksikan orang-orang lemah dan benar tertindas oleh si kuat yang jahat. Syukurlah bahwa sampai sekian lamanya, fihak kami belum pernah bentrok dengan mereka. Akan tetapi, mendengar betapa mereka itu semakin diperkuat oleh tokoh-tokoh dari empat penjuru dunia, benar-benar membuat aku merasa khawatir sekali.” “Apakah ada tokoh-tokoh baru yang muncul di dunia kang-ouw, ayah?” tanya Sin Liong, sedangkan Han Tiong sejak tadi diam saja mendengarkan dengan amat tertarik. Ada pun Bi Cu berada di dalam bercakap-cakap dengan Yap In Hong. Pendekar sakti Cia Bun Houw menarik napas panjang. “Akhir-akhir ini, di dunia kang-ouw banyak sekali muncul tokoh-tokoh dengan nama baru. Nama mereka memang baru, akan tetapi sebenarnya mereka adalah tokoh-tokoh tua yang sudah lama menjadi orang-orang pandai, hanya baru sekarang mereka itu bermunculan. Kabarnya di empat penjuru malah bermunculan datuk-datuk kaum sesat yang sekarang seolah-olah menjadi raja-raja kecil di dalam dunia hitam.” “Apakah mereka itu melakukan kejahatan-kejahatan, ayah?” “Aku tak mendengar jelas tentang hal itu, hanya kudengar bahwa mereka itu berpengaruh sekali dan selain memiliki banyak pengikut juga berhubungan baik dengan para pembesar pemerintah. Dan terutama sekali, mereka itu kabarnya memiliki ilmu kepandaian setinggi langit! Betapa pun juga, aku selalu memperingatkan anak murid Cin-ling-pai supaya tidak bentrok dengan fihak mereka. Bukan berarti bahwa kami takut, hanya aku tidak suka jika sampai terjadi permusuhan dan keributan yang hanya akan mengacaukan ketenteraman saja.” Diam-diam Sin Liong dapat mengerti bahwa setelah usianya mulai tua, ayah kandungnya yang dahulu merupakan pendekar yang sangat sakti dan selalu menentang kejahatan ini mulai lebih bijaksana dan tidak hanya menuruti gejolak kemarahan saja. Cia Bun Houw lalu menceritakan kepada puteranya itu tentang para datuk kaum sesat seperti yang sudah didengarnya. Dia hanya mendengar tentang nama-nama mereka yang sesungguhnya. Yang menjadi datuk di sebelah barat dijuluki orang See-thian-ong (Raja Dunia Barat) yang tinggal di kota Sin-ing di Propinsi Ching-hai. Menurut kabar, kepandaian See-thian-ong ini hebat sekali, bukan hanya mempunyai ilmu silat yang luar biasa akan tetapi juga pandai dalam ilmu sihir sehingga amat ditakuti dan di dunia bagian barat dia seolah-olah menjadi raja kecil kaum sesat. Kemudian, di sebelah utara muncul pula seorang tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat yang dijuluki Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara), yang tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si. Di sebelah timur muncul seorang datuk besar yang dianggap sebagai raja kaum sesat di sepanjang pantai timur. Dia dijuluki Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan amat terkenal dengan ilmu silat tinggi dan ilmu di dalam air. Tokoh ini tinggal di pinggir pantai, yaitu di Ceng-to, di Propinsi Shan-tung. Ada pun tokoh selatan, setelah tokoh-tokoh selatan yang lama, yaitu Lam-hai Sam-lo meninggal dunia, kini adalah Lam-sin (Malaikat Selatan) yang tinggal di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan. Itulah mereka yang sekarang merupakan datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru, dan kabarnya mereka itu mempunyai kepandaian yang hebat, memilliki keistimewaan masing-masing dan kabarnya tidak kalah pandai dibandingkan dengan mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. “Ahh…! Kalau begitu mereka itu berbahaya sekali!” kata Sin Liong terkejut. “Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah karena mereka itu telah mampu menempel dan mempengaruhi para pembesar di wilayah masing-masing. Ahh, aku telah terlalu tua untuk mencampuri urusan mereka, dan pula, selama mereka tidak mengganggu kita, perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?” Sin Liong tidak berkata apa-apa. Memang dia juga dapat merasakan kebenaran ucapan ayahnya itu. Betapa banyaknya sudah penderitaan dan bahaya yang dahulu dialami dan dihadapinya selama dia belum tinggal di Lembah Naga. Hidup di dalam dunia kang-ouw, apa lagi jika berurusan dengan kaum sesat, sungguh merupakan kehidupan yang penuh dengan kekerasan, permusuhan dan perkelahian belaka. Akan tetapi, diam-diam Han Tiong mendengarkannya dengan hati sangat tertarik, bahkan di dalam hatinya dia mencatat nama-nama berikut tempat tinggal para tokoh atau kaum sesat seperti yang diceritakan oleh kakeknya tadi. Kong Liang, yang ikut pula mendengarkan percakapan antara ayahnya dan kakak tirinya itu, nampak lebih tenang dan dia memang sudah pernah mendengar tentang datuk-datuk itu, maka dia tidak begitu tertarik lagi seperti Han Tiong. Bahkan dia kemudian mengajak keponakannya itu untuk keluar lalu mereka pun bermain di taman bunga di mana terdapat petak rumput yang luas, tempat Kong Liang berlatih silat. Di tempat ini, dua orang anak laki-laki itu lalu saling memperlihatkan ilmu silat yang sudah mereka pelajari dari ayah masing-masing. Sesuai dengan watak yang selalu ditanamkan oleh ayah masing-masing, keduanya lalu saling memuji dan merendahkan diri sendiri. Cia Sin Liong dan anak isterinya hanya tinggal satu minggu di Cin-ling-pai. Mereka bertiga pergi meninggalkan Pegunungan Cin-ling-san dan menuju ke Su-couw di Ho-nan karena setahunya, Kui Lan yang menikah dengan Ciu Khai Sun tinggal di Su-couw, dan juga Kui Beng Sin tinggal di kota itu, ada pun Kui Lin yang menikah dengan Na Tieng Pek tinggal di Kun-ting. Dia hendak menjumpai Kui Lan lebih dulu, dan juga Kui Beng Sin yang lucu dan ketika masih kecil menjadi sahabat baiknya. Akan tetapi, ketika keluarga ini tiba di Su-couw, mereka tidak dapat menemukan Kui Lan dan suaminya yang sudah pindah dari sana, dan ketika Sin Liong pergi mengunjungi Kui Beng Sin, dia mendengar berita yang amat mengejutkan dari Si Gendut ini. “Apa? Na Tiong Pek tewas terbunuh orang?” Sin Liong mengulang berita itu dengan mata terbelalak kaget. “Siapa yang membunuhnya? Bagaimana terjadinya dan kapan?” Kui Beng Sin yang biasanya gembira itu menarik napas panjang, dan wajahnya nampak sangat berduka. “Sudah lama sekali terjadinya, sudah terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.” Beng Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang kepindahan Ciu Khai Sun dari kota Su-couw ke Kun-ting untuk membantu pekerjaan Na Tiong Pek yang melanjutkan perusahaan piauwkiok ayahnya. Betapa Ciu Khai Sun memperoleh kemajuan dan hidup dengan cukup senang di Kun-ting sebelum terjadi mala petaka itu. “Aku sendiri tidak mengerti siapa pembunuhnya, juga mereka semua tidak ada yang tahu siapa yang telah datang malam-malam ke rumah Na Tiong Pek lantas membunuhnya itu.” cerita silat online karya kho ping hoo Kemudian diceritakannya betapa malam itu ada penjahat yang memasuki sebuah kamar di rumah Na Tiong Pek, di mana Kui Lan tengah menginap karena suaminya sedang pergi mengawal barang-barang berharga ke tempat jauh. Kemudian betapa Kui Lan menyerang penjahat itu, lantas datang Na Tiong Pek dan Kui Lin mengeroyok. Akan tetapi penjahat itu lihai sekali sehingga Na Tiong Pek roboh tewas, sedangkan dua orang wanita kembar itu tidak mampu mengejar penjahat yang melarikan diri. “Kalau Lan-moi dan Lin-moi sudah mengeroyoknya, tentu akan mengenalnya,” kata Sin Liong. “Mereka pun mengatakan bahwa mereka tak mengenal orang itu, yang katanya memakai kedok hitam, apa lagi cuaca dalam kamar itu remang-remang saja. Sampai sekarang pun mereka belum tahu siapa penjahat yang membunuh Na Tiong Pek itu.” Sin Liong mengerutkan alisnya. “Tidak mengherankan kalau sebagai seorang piauwsu, Tiong Pek mempunyai banyak musuh di antara golongan perampok. Akan tetapi sungguh penasaran bila sampai tidak tahu siapa pembunuhnya. Dan sekarang, bagaimana dengan Lin-moi setelah dia ditinggal mati suaminya?” tanya Sin Liong dan hatinya merasa kasihan sekali terhadap Kui Lin, adik tirinya seibu berlainan ayah itu. Tiba-tiba saja sikap Beng Sin berubah dan dia kelihatan seperti orang yang merasa sukar untuk menjawab karena di sana terdapat Bi Cu, isterinya, dan juga Han Tiong, maka dia lalu berkata kepada Sin Liong. “Mari kita masuk sebentar. Sin Liong, ada sesuatu yang hendak kusampaikan kepadamu sendiri saja.” Mendengar ini, Sin Liong merasa heran sekali, akan tetapi dia mengangguk dan setelah menoleh kepada isterinya dia segera mengikuti tuan rumah memasuki ruangan dalam di mana tidak ada orang lain yang akan mendengarkan percakapan mereka. “Beng Sin, urusan apa yang hendak kau katakan kepadaku? Engkau bersikap demikian rahasia.” Beng Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. “Memang bukan hal yang menyenangkan untuk menceritakan hal ini, Sin Liong. Akan tetapi sebagai saudara seibu, engkau juga berhak untuk mendengar sejelasnya. Dengarlah baik-baik. Setelah kematian Tiong Pek, Lin-moi turut bersama Lan-moi dan suaminya yang masih melanjutkan usaha piauwkiok itu. Setahun sesudah kematian Tiong Pek, mereka semua pindah ke Lok-yang. Dan kau tahu apa yang terjadi? Lin-moi… ah, dia kini menjadi isteri dari Khai Sun, mereka berdua menjadi isterinya.” “Ahhh…!” Sin Liong terkejut dan heran, alisnya berkerut. Terdapat keraguan di dalam hatinya, maka dia tidak dapat segera mengambil kesimpulan apakah perbuatan yang mereka lakukan itu benar ataukah tidak. Kui Lin sudah menjadi seorang janda, janda muda yang belum mempunyai putera. Memang dia berhak untuk menikah lagi, sungguh pun hal seperti itu oleh umum pada waktu itu dianggap sebagai hal yang rendah dan memalukan! Akan tetapi, mengapa menjadi isteri Khai Sun? Mengapa menjadi madu dari kakak kembarnya sendiri? “Hemm, lalu bagaimana kabarnya dengan keadaan mereka sekarang?” tanya Sin Liong. Beng Sin menghela napas dan menggeleng kepala. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu lagi. Semenjak aku mendengar tentang hal itu, aku merasa… ehh, segan dan sungkan untuk mengunjungi mereka, dan… agaknya karena itu pula mereka meninggalkan Kun-ting dan pindah ke Lok-yang.” “Kalau begitu aku akan mengunjungi mereka ke Lok-yang,” kata Sin Liong. Dan memang begitulah. Beberapa hari kemudian dia dan anak isterinya telah tiba di kota besar itu dan tidak sukar bagi mereka untuk mencari kantor ekspedisi Ui-eng Piauwkiok yang cukup terkenal di kota itu. Karena Sin Liong maklum bahwa pertemuannya dengan adik-adiknya, terutama dengan Kui Lin, tentu akan mendatangkan suasana yang tidak enak, maka dia menyewa kamar di sebuah hotel di kota Lok-yang, kemudian sesudah mendapatkan persetujuan Bi Cu yang juga merasa tidak enak mendengar keadaan Kui Lin, Sin Liong meninggalkann isteri dan puteranya di hotel dan dia sendiri lalu pergi mengunjungi Ui-eng Piauwkiok. Dari jauh sudah kelihatan papan nama Ui-eng Piauwkiok yang besar dengan bangunan kantor yang cukup megah, sedangkan keluarga Ciu Khai Sun tinggal di sebuah rumah yang cukup megah dan indah di sebelah kiri kantor itu. Dari seorang piauwsu penjaga dia mendapat keterangan bahwa Ciu-piauwsu berada di rumah di sebelah kiri itu, maka Sin Liong lalu langsung menuju ke rumah yang cukup besar dan nampak sunyi itu. Sebuah rumah yang terawat rapi, di pekarangan depan penuh dengan petak rumput dan bunga-bunga indah. Akan tetapi dia tidak memperhatikan semuanya ini karena pandang matanya sudah tertuju ke arah beranda depan rumah itu, di mana dia melihat Ciu Khai Sun sedang duduk di atas kursi dalam suasana santai, bersama dua orang wanita cantik yang dikenalnya sebagai Kui Lan dan Kui Lin! Tidak nampak orang lain di situ, hanya mereka bertiga, seorang suami dengan dua orang isterinya. Melihat hal ini, dada Sin Liong terasa panas dan tidak enak, dan ada kemarahan terhadap mereka, terutama terhadap Kui Lin! Ketika dia memasuki pintu gerbang dan berjalan dengan tegap melalui pekarangan depan menuju ke beranda itu, mereka bertiga menengok dan segera menghentikan percakapan, memandang ke arah pria yang memasuki pekarangan rumah itu. Dan sesudah Sin Liong tiba di dekat, mereka serentak bangkit berdiri. “Liong-ko…!” Kui Lan dan Kui Lin berseru dengan suara hampir berbareng, dan mereka sudah meloncat dari tempat duduk, menyambut Sin Liong dan setelah mengangkat kedua tangan memberi hormat, Kui Lin lalu memegang tangan kanan Sin Liong sedangkan Kui Lan memegang tangan kiri Sin Liong, dan kedua orang wanita ini memandang kepada kakak mereka dengan pandang mata penuh keharuan dan air mata sudah bercucuran di atas pipi mereka. “Liong-koko, betapa rinduku kepadamu!” kata Kui Lin. “Bagaimanakah tahu-tahu engkau datang muncul di sini, koko?” tanya Kui Lan. Sementara itu, Ciu Khai Sun sudah melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata. “Cia-taihiap, sungguh aku merasa girang sekali dengan kunjunganmu ini!” Sejak dahulu, tokoh muda Siauw-lim-pai ini memang sangat menghormati Sin Liong dan amat kagum akan kepandaian Sin Liong, oleh karena itu, biar pun Sin Liong adalah kakak seibu dengan isterinya, dia tetap menyebutnya taihiap (Pendekar Besar). Akan tetapi Sin Liong hanya sedikit mengangguk untuk membalas penghormatan itu dan sikapnya dingin sekali, juga terhadap kegirangan dua orang wanita kembar itu. Dia hanya memandang mereka, terutama kepada Kul Lin dengan alis berkerut. Karena pernah hidup serumah sampai bertahun-tahun di waktu mereka masih kecil, maka tentu saja Sin Liong dapat membedakan dua orang wanita kembar ini. Melihat sikap Sin Liong, Lan Lan dan Lin Lin saling pandang dan agaknya mereka dapat mengerti, maka Kui Lan lantas menarik tangan Sin Liong dan berkata, “Liong-ko, silakan duduk, agaknya engkau datang berkunjung dengan urusan penting sekali.” “Duduklah, koko,” kata pula Kui Lin. “Cia-taihiap, silakan duduk,” Ciu Khai Sun juga menyambung. Biar pun dengan hati enggan, akhirnya Sin Liong duduk pula. “Aku telah mencari kalian ke Su-couw dan bertemu dengan Beng Sin…,” dia berkata, suaranya dingin. Khai Sun dan kedua orang isterinya saling bertukar pandang, kemudian Kui Lin berkata, “Liong-koko, engkau mendengar dari Sin-ko tentang diriku, bukan? Apa yang kau dengar darinya?” Sekarang Sin Liong memandang kepada adiknya ini dengan sinar mata bengis dan penuh teguran, kemudian berkata, “Aku hanya mendengar tentang seorang isteri yang suaminya mati terbunuh orang, kemudian si isteri itu tidak mencari pembunuh suaminya melainkan menikah lagi dengan suami enci-nya. Benarkah ini?” Melihat sikap yang bengis itu, Kui Lin menutupi mukanya dan terisak. Hal ini membuat Sin Liong menjadi semakin penasaran dan dia menggebrak meja. “Brakkk…!” “Lin-moi, benarkah ini? Ciu Khai Sun dan Lan-moi, apa artinya semua ini?” Pendekar itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya mencorong menakutkan. Kui Lan menjadi ketakutan dan dia pun menangis sambil merangkul adiknya. Dua orang wanita kembar yang maklum akan kemarahan kakak mereka itu langsung menangis dan seperti hendak saling melindungi. “Ciu Khai Sun, apa artinya ini? Engkau yang mempunyai kepandaian tinggi, melihat suami adik iparmu dibunuh orang, kenapa tidak mencari pembunuh itu sampai dapat melainkan mengambil adik ipar itu menjadi isterimu? Apakah perbuatan macam itu patut dilakukan oleh seorang pendekar?” Pertanyaan ini penuh teguran serta penyesalan, dan sekarang pandang mata pendekar itu diarahkan kepada Ciu Khai Sun penuh kemarahan. Akan tetapi tokoh muda Siauw-lim-pai itu tetap tenang saja. Dia pun bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi tegap itu berdiri tegak, kedua matanya menentang pandang mata Sin Liong dengan tabah, lalu dia menjura dan berkata, “Cia-taihiap, biar diriku ini akan kau bunuh sekali pun, aku tidak akan mau bicara tentang hal ini. Silakan taihiap bertanya kepada mereka sendiri.” Melihat sikap ini, diam-diam Sin Liong terkejut dan heran. Jelaslah bahwa dari sikapnya, murid Siauw-lim-pai ini tidak mempunyai simpanan perasaan bersalah sama sekali! Dia tahu betapa Ciu Khai Sun amat kagum dan menghormatnya, maka kalau murid Siauw-lim-pai itu menyimpan perasaan bersalah, tentu tidak seperti itu sikapnya! “Liong-ko, jangan kau salahkan suami kami, dia sama sekali tak bersalah dalam hal ini…” kata Kui Lan. “Akulah yang bersalah, Liong-ko,” kata Kui Lin. “Tidak! Sama sekali tidak, Lin-moi juga sama sekali tidak bersalah. Satu-satunya orang yang bersalah dalam urusan ini adalah Na Tiong Pek!” Mendengar kata-kata Kui Lan itu, Sin Liong menjadi semakin kaget dan heran. Dia lalu mengerutkan alisnya dan menatap wajah Kui Lan dengan pandang mata tajam, kemudian menoleh kepada Kui Lin. Sekarang dua orang wanita itu tidak menangis lagi, melainkan membalas pandangannya dengan tabah. Pandang mata orang-orang yang sama sekali tidak bersalah! “Apa pula ini? Na Tiong Pek dibunuh orang, kalian malah hendak menyalahkan dia yang sudah mati? Bukannya mencari siapa pembunuhnya, malah…” “Tidak perlu lagi dicari pembunuhnya, karena kami berdualah pembunuhnya!” tiba-tiba Kui Lin menjawab. Jawaban ini membuat Sin Liong terbelalak hingga dia memandang wajah dua orang adiknya itu dengan muka berubah agak pucat, kemudian menjadi merah sekali. “Kalian… kalian sudah gila…?” tanyanya gagap. “Tidak, Liong-ko. Bukan kami yang gila melainkan Na Tiong Pek! Pada suatu malam dia membius Enci Lan dengan asap bius, kemudian dia menodai Enci Lan! Nah, kami berdua lalu mengeroyoknya dan membunuhnya!” “Ohhh…!” Sin Liong merasa lemas saking kagetnya mendengar ini dan dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Terbayang olehnya ketika masih remaja, Na Tiong Pek pernah mengganggu Bi Cu dan hendak memaksa Bi Cu untuk dicium sehingga pernah dia turun tangan dan menghajar Na Tiong Pek. Sejak remaja pria itu memang berwatak mata keranjang dan kiranya watak itu masih terus berkembang sehingga dia tidak segan-segan untuk memperkosa kakak iparnya sendiri! “Mengertikah engkau sekarang, Liong-ko?” Kui Lan kini melanjutkan keterangan adiknya, “Aku telah ternoda, walau pun itu terjadi di luar kesadaranku, akan tetapi hampir saja aku membunuh diri kalau suamiku tidak begitu bijaksana untuk memaafkan serta melupakan semua itu. Tentu saja kepada orang lain kami tidak mau menceritakan aib itu, dan kami mengatakan saja bahwa Tiong Pek tewas oleh penjahat yang tak kami kenal. Kemudian, akulah yang membujuk-bujuk Lin-moi untuk menjadi isteri suamiku, agar kami bertiga tak berpisah lagi, dan kami bertiga hidup rukun dan bahagia. Salahkan itu, Liong-ko? Apakah engkau lebih suka melihat Lin-moi menjadi janda kembang, digoda dan dihina oleh setiap orang pria mata keranjang? Adakah yang lebih tepat dari pada suamiku untuk menjadi suaminya seperti sekarang ini?” Sin Liong tidak mampu menjawab dan pada saat itu masuklah dua orang anak berlari-lari dari belakang, diikuti oleh dua orang pengasuh wanita tua. Dua orang itu berusia kurang lebih lima enam tahun, yang lelaki berusia enam tahun dan yang perempuan lima tahun. Wajah mereka begitu serupa seperti dua anak kembar saja dan mirip dengan Kui Lan dan Kui Lin! Anak laki-laki itu sudah lagi menghampiri Kui Lan dan merangkul pangkuan wanita ini, sedangkan anak perempuan itu lari merangkul Kui Lin. Mereka tertawa-tawa dan agaknya mereka tadi memang berlomba lari untuk menghampiri ibu mereka. Melihat ini, Sin Liong mengerti bahwa tentu anak laki-laki itu putera Kui Lan dan anak perempuan itu puteri Kui Lin. “Mereka anak-anak kalian…?” Akhirnya dia dapat bertanya dan semua kekakuan, semua kemarahan lenyap sudah dari suaranya. Melihat sikap Sin Liong yang sudah tidak marah lagi, barulah Khai Sun menjawab sambil tersenyum. “Yang tua melahirkan yang muda, yang muda melahirkan yang tua.” Tentu saja jawaban ini sengaja diucapkan seperti itu agar tidak diketahui oleh dua orang anak itu, akan tetapi Sin Liong mengerti maksudnya. Kiranya tadi dia salah sangka, anak laki-laki yang merangkul Kui Lan itu adalah putera Kui Lin, sedangkan anak perempuan yang lebih muda dan merangkul Kui Lin itu justru puteri Kui Lan! “Hayo kalian memberi hormat kepada pamanmu! Ini adalah Paman Cia Sin Liong!” kata dua orang wanita kembar itu kepada anak-anak mereka dan kini wajah mereka berseri gembira sungguh pun masih ada bekas air mata pada pipi mereka. “Paman, saya Ciu Bun Hong memberi hormat!” kata anak laki-laki itu dengan sikap gagah. “Paman, saya Ciu Lian Hong memberi hormat!” sambung anak perempuan itu dengan gaya lucu dan manja. Sin Liong meraih keduanya dan merangkul mereka. “Anak-anak baik…,” katanya terharu. Baru dia sadar bahwa kemarahannya tadi sebetulnya tiada gunanya sama sekali. Bukan hanya bahwa kenyataannya dua orang adiknya itu sama sekali tidak dapat disalahkan, demikian pula Ciu Khai Sun yang tidak dapat dipersalahkan, juga apa gunanya ribut-ribut? Mereka berdua sudah hidup dengan rukun dan sejahtera di samping tokoh Siauw-lim-pai itu, dan masing-masing telah mempunyai seorang anak. Karena mereka masih akan berbicara tentang banyak hal, maka Kui Lan dan Kui Lin lalu menyuruh dua orang anak itu supaya bermain-main di luar. Mereka menjura dan keluar, dan masih terdengar oleh Sin Liong suara mereka. “Aku yang lebih dulu menyentuh ibu Lan!” kata anak laki-laki itu. “Tidak, aku yang lebih dulu merangkul ibu Lin!” bantah adiknya. Sin Liong tersenyum kagum. Agaknya bagi kedua orang anak itu, mereka masing-masing memiliki dua orang ibu yang sama-sama mereka sayang. Betapa bahagianya mempunyai dua orang ibu seperti Kui Lan dan Kui Lin ini, agaknya sedikit pun tidak mempunyai rasa cemburu atau iri, dan seakan-akan mereka itu bersatu hati membagi kebahagiaan berdua! “Liong-ko, kenapa engkau pergi tidak bersama isterimu?” Kui Lin bertanya. “Mereka, isteri dan anakku, datang bersamaku dan menanti di losmen.” “Ahh? Kenapa di losmen? Kenapa tidak diajak ke sini?” Kui Lin menegur. Wajah Sin Liong menjadi merah. “Karena tadinya… ehhh, kupikir… tidak enaklah dengan adanya urusan… tetapi sekarang tentu saja mereka akan kuajak ke sini. Biarlah kuambil mereka.” Keluarga Ciu merasa gembira sekali mendengar bahwa Sin Liong datang bersama Bi Cu dan seorang putera mereka. Oleh karena itu, pada waktu Sin Liong meninggalkan rumah itu untuk menjemput anak isterinya, Kui Lan dan Kui Lin langsung sibuk mempersiapkan segala-galanya untuk menyambut tamu-tamu itu. Dengan hati lapang karena melihat keadaan adik-adiknya itu, Sin Liong bergegas menuju ke losmen di mana anak isterinya menunggu. Dia ingin cepat-cepat menceritakan berita baik tentang adik-adiknya itu kepada Bi Cu. Akan tetapi apa yang dihadapinya ketika dia tiba di losmen? Anak isterinya sudah tidak ada di situ! Sebagai gantinya, pengurus losmen menemuinya dengan wajah pucat dan membayangkan kekhawatiran hebat. Pengurus losmen itu cepat menyerahkan sebuah sampul surat kepadanya, sampul yang panjang dan ditulisi dengan huruf-huruf berwarna merah! PAK-SAN-KUI MENGUNDANG PENDEKAR LEMBAH NAGA UNTUK DATANG BERKUNJUNG! Mata Sin Liong terbelalak memandang sampul itu. Dia pun teringat akan percakapannya dengan ayah kandungnya yang menuturkan tentang munculnya datuk-datuk kaum sesat, di antaranya adalah yang berjuluk Pak-san-kui (Setan Pegunungan Utara) yang kabarnya merupakan datuk kaum sesat di daerah utara itu! Dan kini datuk itu telah mengundangnya untuk berkunjung! Akan tetapi apa yang terjadi dengan anak isterinya? Dengan sikap tetap tenang dia memandang kepada pengurus losmen itu, dan suaranya berwibawa ketika dia bertanya, “Ke mana perginya isteri dan puteraku? Apa yang terjadi dengan mereka? Hayo ceritakan yang sebenarnya!” Pengurus losmen itu tampak ketakutan. Dia berkali-kali menjura dengan hormat. “Maafkan kami semua, sicu…” Kemudian dengan suara terputus-putus pengurus losmen itu mulai menceritakan apa yang telah terjadi selagi Sin Liong tidak berada di situ. Sesudah ditinggalkan oleh Sin Liong, Bi Cu dan puteranya, Han Tiong, duduk di serambi depan losmen itu, melihat-lihat ke arah jalan raya yang cukup sibuk itu. Kemudian datang serombongan orang, laki-laki yang kelihatan kasar dan melihat sinar mata mereka yang kurang ajar, Bi Cu lalu mengajak puteranya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Tidak lama kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dan karena hatinya tertarik, Bi Cu lalu mendengarkan dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit. Terdengar suara keras membentak-bentak pengurus losmen. “Hayo cepat periksa dalam buku tamu, apakah ada tamu yang bernama Cia Sin Liong?” Mendengar ini, tentu saja Bi Cu menjadi terkejut dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dia mendengar suara pengurus losmen itu tergagap-gagap, “Ada… ada… tapi dia sedang keluar.” “Ke mana? Hayo katakan ke mana!” “Tidak… tidak tahu…” “Plakk! Plakk!” Terdengar dua kali suara tamparan yang disusul mengaduhnya pengurus losmen itu. “Sungguh mati, dia keluar tanpa memberi tahu ke mana… ampunkan saya… ampunkan saya…” “Hemm, kalau tidak berterus terang, mana bisa ada ampun?” bentak suara kasar tadi. Mendengar ini, Bi Cu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dibukanya daun pintu dan dia pun melangkah lebar menuju ke ruangan depan di mana terjadinya keributan itu. Dia melihat seorang lelaki tinggi besar yang mencengkeram punggung baju pengurus losmen dengan sikap mengancam, sedangkan para pelayan dan tamu di situ bahkan menjauhkan diri dengan sikap ketakutan. Beberapa orang lain yang agaknya menjadi teman-teman Si Tinggi Besar itu memandang dengan mulut menyeringai seolah-olah sedang menghadapi tontonan yang menyenangkan. “Aku adalah isteri Cia Sin Liong! Siapa yang mencari suamiku?!” Bi Cu membentak sambil melangkah maju. Saking marahnya, nyonya ini tidak tahu bahwa puteranya juga berada di belakangnya, karena tadi Han Tiong mengikuti ibunya. Orang tinggi besar itu cepat memutar tubuhnya sambil melempar tubuh pengurus losmen itu ke sudut. Orang tinggi besar itu memiliki wajah yang menyeramkan, wajah orang kasar dengan kumis tebal melintang dan muka penuh brewok sehingga yang nampak hanyalah sepasang mata bulat besar menonjol keluar, hidung pesek dan gigi besar-besar nampak ketika dia menyeringai. “Bagus! Kebetulan sekali, jadi engkau adalah isterinya?” “Hemmm, engkau orang kasar mengapa hendak mencari suamiku?” bentak Bi Cu yang sudah marah sekali melihat orang ini bersikap kasar terhadap pengurus losmen, bahkan telah menampar sampai muka orang itu matang biru. “Ehem, suamimu yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” tanya orang kasar itu dengan sikap yang amat memanaskan hati Bi Cu. Sementara itu sedikitnya delapan orang teman Si Kasar itu sudah mengurungnya, dan baru dia melihat bahwa Han Tiong juga berada di situ. “Han Tiong, mundurlah!” Bi Cu berkata kepada puteranya, akan tetapi sudah tidak ada jalan keluar lagi karena tempat itu telah terkurung. “Suamiku benar adalah Pendekar Lembah Naga, kalian mau apa?!” Bi Cu membentak. “Ha-ha-ha-ha, tuan besar kami hendak mengundang Pendekar Lembah Naga, tapi Sang Pendekar tidak ada, yang ada hanyalah isterinya yang cantik dan anaknya, maka biarlah kami mengundang isterinya dan anaknya, agar Sang Pendekar dapat menyusulnya nanti! Marilah, nyonya manis, engkau ikut bersamaku menghadap tuan besar!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu mengulurkan tangan hendak mencengkeram, akan tetapi sengaja dia mencengkeram ke arah dada Bi Cu, disambut suara tawa ha-ha he-he oleh para temannya. “Keparat jahanam kau!” Bi Cu mengelak dan dari samping tangannya menampar ke arah muka yang menyeringai lebar itu. Mungkin karena tamparan Bi Cu terlampau cepat atau memang laki-laki itu memandang terlalu rendah, akan tetapi tahu-tahu telapak tangan Bi Cu sudah tepat mengenai pipi orang itu! “Plakkk!” Orang itu terkejut, terhuyung sambil mengusap pipinya yang seketika menjadi bengkak. Matanya melotot dan dia meludah, ludah bercampur darah karena bibirnya telah pecah. “Serbu! Tangkap!” bentaknya marah dan kini dia sungguh-sungguh menyerang dengan pukulan yang keras ke arah Bi Cu. Akan tetapi dengan mudah saja nyonya ini mengelak dan kakinya menyambar. Untung Si Kasar masih cepat meloncat ke belakang sehingga tendangan itu luput, kalau mengenai pusarnya tentu dia tak akan mampu bangun kembali. Dan mengamuklah Bi Cu, dikeroyok oleh sembilan orang-orang kasar. Akan tetapi tiba-tiba Han Tiong berteriak, “Lepaskan aku!” Bi Cu terkejut dan cepat menengok. Kiranya Han Tiong telah disergap dari belakang dan ditangkap orang, dan kini sebatang golok sudah ditempelkan di leher anak itu. Wajah Bi Cu menjadi pucat dan dia menyerbu ke arah puteranya. “Mundur! Kalau engkau melawan terus, anak ini akan kami sembelih lebih dulu!” bentak orang yang menangkap Han Tiong. “Hemm, apa maksud kalian?!” bentak Bi Cu, sedikit pun tidak merasa takut sungguh pun diam-diam dia sangat mengkhawatirkan puteranya. “Sedikit saja kau ganggu dia, kalian akan menyesal dilahirkan di dunia. Akan kukeluarkan semua isi perut kalian, kuhancurkan kepala kalian sampai lumat!” Si Tinggi besar dan teman-temannya merasa jeri juga menghadapi ancaman wanita yang perkasa itu, yang suaranya terdengar nyaring penuh dengan kesungguhan. Tentu mereka percaya bahwa wanita seperti itu, dengan sinar mata seperti itu, pastilah akan sungguh-sungguh berusaha memenuhi ancamannya apa bila mereka sampai berani mengganggu puteranya. “Toanio, kami adalah utusan tuan besar kami untuk mengundang Pendekar Lembah Naga. Untuk memastikan bahwa dia akan datang berkunjung, maka kami mengundang toanio dan kongcu ini untuk ikut bersama dengan kami, baik secara halus mau pun kasar. Boleh toanio pilih. Kalau toanio berdua mau ikut dengan baik-baik, maka kami pun tidak berani bersikap kasar.” Bi Cu berpikir sebentar. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena di situ ada Han Tiong, tentu saja dia tidak boleh bertindak sembrono. Kalau saja sampai terjadi kekerasan, bukan tak boleh jadi kalau puteranya akan celaka. Padahal, suaminya sedang tidak berada di situ dan jika hanya mengandalkan kepandaiannya sendiri saja maka amat berbahayalah bagi puteranya. Sebaliknya, kalau dia menurut dan membiarkan dia beserta puteranya dibawa, tentu nanti Sin Liong akan dapat membebaskan mereka. “Baik, kami ikut asal tidak dilakukan kekerasan!” katanya dengan tegas dan dia pun lalu menghampiri puteranya. Sambil menggandeng tangan Han Tiong, dia lantas keluar diiringkan oleh sembilan orang laki-laki itu dan ternyata sebuah kereta sudah menunggu di luar. Bi Cu beserta puteranya dipersilakan naik kereta yang segera dibalapkan, diikuti oleh mereka yang menunggang kuda, keluar dari pekarangan losmen, ke jalan raya. Demikianlah keterangan yang didapatkan Sin Liong dari pengurus losmen yang mukanya masih biru-biru. Sesudah mendengar penuturan ini, Sin Liong mengerutkan kedua alisnya dan memandang kepada tulisan di atas sampul. Tidak terdapat surat di dalam sampulnya, hanya tulisan tinta merah yang merupakan undangan menyolok dari penulis surat yang menamakan dirinya Pak-san-kui (Setan Gunung Utara) itu. “Di manakah rumah Pak-san-kui ini?” tanyanya kepada pengurus losmen. Pengurus losmen itu menggeleng kepala. “Saya tidak tahu, sicu, bahkan semua orang di sini yang kutanyai tidak ada yang tahu. Sepanjang pengetahuan kami, di kota ini tidak ada jagoan yang berjuluk Pak-san-kui itu. Dan orang-orang tadi pun agaknya orang-orang dari luar kota, suara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari utara.” Hati Sin Liong mulai merasa heran dan bercampur gelisah. Menurut penuturan ayahnya, Pak-san-kui adalah seorang datuk besar di daerah utara dan bertempat tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si. Mengapa kini anak buahnya berada di Lok-yang dan bagai mana pula mengenal dia dan tahu bahwa dia berada di situ, lantas mengirim undangan dengan cara yang kasar seperti itu? Dia teringat kepada Ciu Khai Sun. Ahh, tentu suami Kui Lan dan Kui Lin itu akan dapat memecahkan teka-teki ini, kemudian memberi tahu ke mana dia akan dapat mencari dan menemukan isteri dan puteranya. Dia tahu bahwa Bi Cu tentu terpaksa menyerah demi keselamatan Han Tiong dan juga karena isterinya yakin bahwa dia tentu akan menyusul dan menyelamatkan mereka. Dan dia pasti akan dapat membuktikan kebenaran keyakinan hati isterinya! Sesudah memasuki kamar dan mengambil buntalan pakaian mereka, dengan cepat Sin Liong lalu meninggalkan losmen dan kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Khai Sun dan dua orang isterinya menyambut dengan gembira, akan tetapi mereka memandang heran dan kecewa ketika melihat betapa Sin Liong datang sendirian saja tanpa isteri dan puteranya. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hati mereka ketika melihat wajah Sin Liong yang nampak muram. “Liong-koko, mana dia? Mana isterimu dan puteramu?” tanya Kui Lin. “Mari kita berbicara di dalam,” kata Sin Liong yang masih bersikap tenang, namun pada wajahhya jelas membayangkan kegelisahan. Dengan hati penuh kekhawatiran dan ketegangan, Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bersama Sin Liong masuk ke dalam rumah dan di ruangan dalam, Sin Liong menceritakan kepada mereka tentang apa yang terjadi menimpa isteri dan puteranya di losmen itu. “Inilah sampul undangan itu,” katanya sebagai penutup dan menunjukkan sampul dengan tulisan merah itu kepada mereka. “Sungguh kurang ajar!” seru Kui Lan. “Mengundang dengan cara demikian, orang macam apa dia itu?” seru Kui Lin. Kedua orang nyonya ini tentu saja merasa marah sekali. Akan tetapi, seperti juga sikap Sin Liong, Ciu Khai Sun menghadapi persoalan ini dengan tenang sekali. Dia mengamati sampul itu dan alisnya berkerut. “Hemm… Pak-san-kui…” “Engkau mengenalnya, Moi-hu (adik ipar)?” tanya Sin Liong sambil menatap wajah adik ipar yang lebih tua empat lima tahun darinya itu. Ciu Khai Sun menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah bertemu dengan dia, akan tetapi namanya sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah utara. Dia tidak penah mencampuri urusan kang-ouw dan tidak pernah pula mengganggu pekerjaanku, dan dia terkenal angkuh, merasa bahwa dia memiliki tingkat yang tinggi sekali. Pengaruhnya amat besar, kekayaannya juga amat besar. Dia bergerak di kalangan atas, di antara pembesar-pembesar tinggi, bahkan pengaruhnya terasa sampai di kota raja. Akan tetapi kabarnya dia lihai bukan main hingga terkenal sebagai datuk daerah utara. Sungguh mengherankan sekali. Dia tinggal di kota Tai-goan di Propinsi Shan-si, bagaimana kini dia dapat bergerak sampai ke sini, dan bagaimana dia tahu pula bahwa engkau berada di sini?” “Tai-goan tidak dekat dari sini, agaknya tidak mungkin kalau dia mengirim orang-orang itu dari sana. Sudah pasti dia berada di dekat kota ini atau bahkan mungkin di dalam kota,” kata Sin Liong. “Ahh, benar! Aku ingat sekarang! Di kota ini terdapat seorang pembesar kejaksaan yang baru saja datang, baru pindahan dari Tai-goan. Mengingat bahwa Pak-san-kui itu terkenal mempunyai hubungan baik dengan para pembesar, sangat boleh jadi sekali apa bila dia datang berkunjung kepada Ciong-taijin itu dan kini berada di kota ini. Akan tetapi entah bagaimana dia dapat tahu bahwa engkau berada di kota ini, Cia-taihiap?” “Hal itu dapat kuselidiki, sekarang tolong katakan di mana adanya gedung Ciong-taijin itu? Aku akan menyelidiki ke sana.” “Mari kuantar, taihiap. Aku akan membantumu!” “Jangan, Moi-hu. Engkau adalah orang yang tinggal di kota ini, sangat tidak baik apa bila engkau sampai tersangkut, apa lagi menentang seorang pembesar kota. Kau tunggulah saja di sini, aku pasti akan dapat membebaskan anak isteriku.” Karena alasan ini memang tepat, Khai Sun tidak berani memaksa dan dia lalu memberi tahu di mana letak rumah tempat tinggal pembesar itu. Setelah menerima penjelasan, Sin Liong segera berangkat untuk menyelidiki, diantarkan oleh pandangan mata penuh rasa khawatir dan pesanan agar berhati-hati dari Kui Lan dan Kui Lin. Sin Liong memasuki pintu gerbang depan gedung besar itu dengan hati tabah. Dia tahu bahwa dia memasuki pekarangan seorang pembesar yang berkuasa, akan tetapi karena hal ini menyangkut keselamatan anak dan isterinya, jangankan hanya gedung pembesar kejaksaan, biar pun istana kaisar sekali pun akan dimasuki kalau perlu! Beberapa orang prajurit penjaga langsung maju menghadangnya dan seorang di antara mereka menegurnya, “Hai, siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?” Dengan sikap gagah Sin Liong berkata, “Aku datang untuk bertemu dengan Pak-san-kui! Katakanlah kepada Pak-san-kui bahwa Pendekar Lembah Naga sudah datang memenuhi undangannya!” Enam orang prajurit itu terkejut dan saling pandang. Mereka adalah pengawal-pengawal dari Ciong-taijin, dan karena mereka pun datang dari Tai-goan, maka tentu saja mereka mengenal siapa adanya Pak-san-kui dan mereka pun tahu bahwa datuk itu kini menjadi tamu majikan mereka. Walau pun hanya kabar angin dan tidak secara langsung, mereka sudah mendengar pula bahwa Pak-san-kui mengundang seorang pendekar yang disebut Pendekar Lembah Naga. Maka, ketika mendengar pengakuan Sin Liong mereka menjadi terkejut. “Tunggulah… tunggulah kami melapor dulu…” kata mereka dan seorang di antara mereka segera lari masuk ke dalam. Sin Liong menanti dengan tenang, berdiri tegak seperti patung memandang ke arah pintu rumah gedung itu. Apakah anak dan isterinya berada di dalam gedung itu? Apakah masih dalam keadaan selamat? Tiba-tiba muncul serombongan orang yang berpakaian biasa, orang-orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap angkuh. Mereka keluar dari dalam pintu lantas menghampirinya dengan lagak memandang rendah sambil tertawa-tawa. Seorang di antara mereka, yang bercambang bauk, segera menghadapinya dan memandang dari atas sampai ke bawah, seolah-olah tidak percaya bahwa yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seorang pria biasa saja, dengan pakaian sederhana dan tubuhnya yang sedang. “Engkaukah yang bernama Cia Sin Liong?” tanyanya, nada suaranya seperti kebiasaan seorang pembesar tinggi bertanya kepada seorang rakyat kecil, seperti orang yang duduk di tempat tinggi bertanya kepada orang yang berjongkok jauh di bawahnya. Sin Liong adalah seorang pendekar sakti yang sudah penuh gemblengan hidup, maka dia hanya tersenyum saja melihat tingkah ini, seperti seorang dewasa yang melihat tingkah seorang bocah nakal. Dia sendiri pernah tinggal di istana, pernah menjadi adik angkat seorang pangeran, maka dia banyak mengenal watak pembesar seperti ini. Akan tetapi dia pun dapat menyangka bahwa orang ini hanyalah kaki tangan pembesar, semacam pengawal atau tukang pukul, dan biasanya memang para tukang pukul atau pembantu yang kasar-kasar ini jauh lebih congkak dari pada si pembesar itu sendiri! Memang demikianlah keadaan kita manusia di dalam dunia ini. Kita selalu ingin merasa lebih tinggi dari pada orang lain, lebih pandai, lebih tampan, lebih kuat, lebih berkuasa dan segala macam lebih lagi. Dari manakah timbulnya ketinggian hati atau kecongkakan, keangkuhan dan kesombongan itu? Kita selalu menciptakan suatu gambaran tentang diri sendiri, gambaran yang diambil dari segi baik dan segi lebihnya saja, dan untuk mempertahankan gambaran inilah maka kita bersikap angkuh terhadap orang lain yang kita anggap lebih rendah dari kita. Kalau kita menginginkan untuk memiliki gambaran diri yang demikian tingginya akibat kita melihat kenyataan kita yang rendah, seperti para pembantu pembesar itu. Kenyataannya sehari-hari, mereka itu merupakan bawahan, dan kenyataan itu membuka mata bahwa mereka itu jauh lebih redah dari pada atasan mereka. Oleh karena itu timbul keinginan untuk memiliki gambaran diri yang tinggi, dan hal ini menimbulkan sikap yang congkak seolah-olah dia sudah menjadi seorang yang tinggi kedudukannya seperti yang digambar-gambarkannya itu. Setiap orang ingin menonjolkan diri agar dianggap paling tinggi paling pandai, dan segala macam ‘paling’ lagi. Dan semua ini tentu saja menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri antara kenyataan dan penggambaran, juga konflik keluar menghadapi orang lain. Gambaran diri ini pasti timbul kalau kita tidak waspada, tidak sadar. Sebaliknya, kalau kita mau membuka mata dan setiap saat waspada kepada diri sendiri, menghadapi kenyataannya tanpa memejamkan mata, melihat segala kekurangan dan kekotoran diri sendiri, maka akan nampaklah oleh kita bahwa yang ingin menonjolkan diri itu, yang menciptakan gambaran diri yang tinggi-tinggi itu, bukan lain adalah juga si aku, si pikiran yang menimbulkan segala kekotoran itulah! Penglihatan yang amat jelas ini akan menimbulkan pengertian dan ini adalah kesadaran sehingga kita pun terbebaslah dari cengkeraman si aku yang ingin menonjolkan diri itu dan lenyap pula segala kecongkakan dan kesombongan yang menguasai diri kita.... Terima kasih telah membaca Serial ini.


PENDEKAR SADIS JILID 5 :
Sin Liong tidak merasa heran melihat lagak dan tingkah orang tinggi besar bercambang bauk itu. Dia mengangguk dan berkata. “Benar, aku bernama Cia Sin Liong.” “Hemmmm…” Si Kumis Tebal itu mengurut-urut kumisnya. “Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Pendekar Lembah Naga?” Sin Liong tersenyum pahit, akan tetapi dia mengangguk sebagai jawaban. “Bagus, tuan besar kami memanggilmu, marilah kau ikuti kami untuk menghadap beliau!” setelah berkata demikian, Si Cambang Bauk itu bersama dengan empat orang temannya, segera melangkah lebar keluar dan mereka lalu meloncat ke atas punggung kuda mereka yang sudah tersedia di situ, dan melarikan kuda mereka keluar. “Pendekar Lembah Naga, mari kau ikuti kami! Pendekar Lembah Naga? Ha-ha-ha-ha!” Si Cambang Bauk tertawa bergelak. Sin Liong maklum bahwa mereka itu sengaja hendak menghinanya, atau mungkin juga mencobanya, dan tentu semua itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh atasan mereka, maka dia pun tidak banyak cerewet, lalu melangkah keluar membayangi lima orang yang menunggang kuda itu. Dan mereka lalu menuju ke barat, ke tepi kota di mana terdapat sebuah jembatan yang menyeberangi sebuah sungai yang cukup lebar. Mereka sengaja membalapkan kuda sambil beberapa kali mereka menengok ke belakang dan tertawa bergelak karena tidak lagi melihat bayangan Sin Liong. Mereka menyeberang jembatan lantas membelok ke kiri di mana terdapat sebuah taman bunga yang sunyi dan menghentikan kuda mereka di depan pintu gerbang taman, lalu menuntun kuda mereka memasuki taman menuju ke sebuah pondok di tengah taman itu. Mereka menengok ke belakang dan ketika tidak melihat Sin Liong, maka mereka tertawa makin keras. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka itu berhenti di tengah-tengah setelah mereka melihat ada seorang laki-laki berada di depan mereka, di depan pondok itu dan mereka mengenal laki-laki itu bukan lain adalah Cia Sin Liong yang tadi mereka tinggalkan. Wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak dan bahkan dua orang di antara mereka menggosok-gosok mata mereka karena tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tadi pria itu mereka tinggalkan dan mereka terus membalapkan kuda. Tidak nampak pria itu menyusul atau pun melanggar mereka, bagaimana tahu-tahu pria itu telah mendahului mereka dan berada di tempat itu? Apakah dia seperti siluman yang pandai menghilang? Tentu saja tidak. Mereka tidak tahu betapa Sin Liong menggunakan ginkang, berlari cepat bagaikan terbang, lalu berloncatan ke atas genteng rumah-rumah penduduk mendahului mereka jauh sebelum mereka tiba di jembatan itu. “Nah, di mana adanya Pak-san-kui?” tanya Sin Liong ketika mereka tiba di depannya. “Ada… ada…, mari silakan masuk…” kata Si Cambang Bauk, kini sikapnya agak berbeda dan agak merendah karena dia kini mulai mengerti bahwa orang yang berjuluk Pendekar Lembah Naga ini ternyata bukan hanya bernama kosong belaka. Demikianlah ciri dari orang yang sudah diperhamba oleh gambaran dirinya sendiri. Selalu bermuka-muka dan menjilat-jilat apa bila bertemu dengan orang yang dianggapnya lebih berkuasa, lebih pandai dan lebih dari pada gambaran dirinya sendiri, akan tetapi selalu bersikap congkak, sombong dan menekan kepada orang yang dianggapnya lebih rendah dari pada dirinya sendiri. Seorang penjilat tentulah seorang penindas pula. Dapatkah kita hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat kalau kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat. Apakah kita dapat hidup bebas dari sikap menjilat atasan dan menindas bawahan? Tentu dapat selama kita tidak membangun gambaran diri sendiri sehingga kita bersikap wajar terhadap semua orang dari segala macam tingkat. Dengan diantar oleh lima orang itu, mereka memasuki serambi depan, kemudian hanya Si Cambang Bauk saja yang mengantarnya masuk ke dalam pondok. Dari luar saja sudah terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam pondok itu. Begitu mereka berdua tiba di pintu yang menembus ke ruangan dalam, Si Cambang Bauk berkata dengan nada suara penuh hormat, “Lo-ya, Pendekar Lembah Naga sudah datang menghadap!” Sin Liong yang sudah tiba di pintu itu memandang dengan penuh perhatian. Hatinya lega bukan main ketika dia melihat isterinya dan puteranya berada di antara beberapa orang yang duduk mengelilingi sebuah meja panjang bundar yang berada di tengah ruangan itu, meja yang penuh dengan hidangan yang masih mengepul panas. Isterinya duduk dengan tenang dan wajahnya berseri ketika melihat dia. Puteranya juga duduk dengan anteng, akan tetapi Han Tiong segera berkata ketika melihat dia. “Ayah! Aku tahu ayah pasti datang menyusul kami!” Sin Liong melihat seorang kakek memandang kepadanya sambil tersenyum lebar. Kakek ini berusia kurang lebih enam puluh tahun, berwajah tampan dan bertubuh jangkung. Dia mengenakan pakaian seperti seorang hartawan, tangan kanannya memegang sebatang huncwe yang tidak mengepulkan asap dan sikapnya ramah. Kuncirnya tebal dan panjang dan kepalanya memakai topi terhias sulaman bunga emas. Orang yang duduk di sebelah kiri kakek hartawan ini jelas seorang pembesar, tidak sukar dikenal dari pakaiannya. Orang ini sudah berusia lima puluhan tahun, dengan sepasang mata yang cerdik, mata seorang pembesar yang mudah menjadi berbeda sinarnya kalau melihat tumpukan uang banyak, dan pembesar ini agaknya kelihatan tegang, sebentar dia memandang ke arah tamu yang baru datang, sebentar kemudian ke arah si hartawan itu. Selain dua orang ini dan Bi Cu serta Han Tiong, nampak pula duduk di situ tiga orang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti jago-jago silat dan sikap mereka amat menghormat dan pendiam, sesuai dengan sikap orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Belasan orang pengawal si pembesar dan pengawal si hartawan, hal ini dapat dilihat dari pakaian mereka, berdiri di sekeliling tempat itu melakukan penjagaan. Mendengar seruan Han Tiong yang kegirangan melihat munculnya ayahnya, si hartawan itu tertawa. “Ha-ha, anaknya gagah berani dan ternyata ayahnya juga tidak mengecewakan. Cia-sicu, sudah lama aku mendengar nama besarmu, dan sekarang gembira sekali dapat bertemu. Silakan duduk…” Dia menunjuk ke arah bangku di dekat Bi Cu yang memang agaknya sudah dipersiapkan. Sin Liong lantas memasuki ruangan itu dengan sikap tenang, kemudian dia pun duduk di atas bangku yang telah dipersiapkan untuknya itu. Sejenak dia bertukar pandang dengan isterinya dan dari sinar mata isterinya dia tahu bahwa tidak terjadi sesuatu dengan anak isterinya, hanya isterinya minta kepadanya agar berhati-hati, maka legalah hatinya. Tanpa kata-kata pun, hanya dengan saling bertukar pandang, dia sudah bisa mengetahui isi hati isterinya yang tercinta. “Apakah wan-gwe (tuan hartawan) yang mengundangku ke sini?” tanya Sin Liong sambil mengeluarkan sampul itu, meletakkannya di atas meja di hadapannya. Melihat sikap pendekar itu yang demikian tenang, sama sekali tidak mau memberi hormat kepadanya dan kepada si pembesar, lantas mendengar pendekar itu menyebut wan-gwe kepadanya, kakek hartawan itu tertawa bergelak dan suara ketawanya bergema di dalam ruangan itu sehingga ruangan itu seolah-olah tergetar hebat. Diam-diam Sin Liong terkejut dan kagum. Ternyata kakek ini memiliki khikang yang kuat sekali! Teringatlah dia akan penuturan ayahnya bahwa para datuk itu memiliki kepandaian yang tinggi, bahkan kabarnya tidak kalah tinggi dibandingkan kepandaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Maka dia bersikap hati-hati dan dia pun mengerti mengapa isterinya menghendaki dia berhati-hati. Tentu isterinya juga melihat betapa lihainya kakek itu dan betapa bahaya mengancam di tempat itu. “Ha-ha-ha, sungguh sikapmu gagah sekali, Cia-sicu. Benar, akulah yang mengundangmu ke sini. Aku disebut orang Pak-san-kui dan daerah utara adalah wilayahku. Sudah lama aku mendengar namamu yang besar, akan tetapi karena engkau sudah menjadi orang kesayangan istana, dan engkau bahkan dihadiahi Istana Lembah Naga sehingga engkau tinggal di luar Tembok Besar, maka jelas bahwa Lembah Naga tidak termasuk wilayahku. Sayang aku tidak sempat datang berkunjung ke Lembah Naga, sungguh pun di antara kita terdapat hubungan yang cukup dekat sekali.” Sin Liong memandang heran dan dengan penuh selidik dia menatap wajah yang tampan itu, lalu dia berkata, “Apa yang locianpwe maksudkan?” Wajah tua yang masih tampan itu kelihatan berseri gembira. Agaknya dia senang sekali mendengar pendekar itu mengganti sebutan, tidak lagi wan-gwe tapi locianpwe (sebutan bagi golongan tua yang gagah perkasa), sebab sebutan itu menandakan bahwa Sin Liong mengakui dia sebagai seorang tokoh tinggi dalam dunia persilatan! Dia tidak tahu bahwa sebutan yang digunakan oleh Sin Liong itu bukanlah suatu penjilatan, melainkan karena memang sudah menjadi watak Sin Liong untuk bersikap rendah hati. “Ingatkah sicu kepada mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li?” Ketika dia melihat wajah Sin Liong berubah mendengar nama itu, dia lalu tertawa. “Ya, Hek-hiat Mo-li telah tewas di tangan sicu yang gagah perkasa dan itu memang salahnya sendiri, dia diperalat oleh pemberontak. Ketahuilah bahwa Hek-hiat Mo-li masih terhitung bibi guru luar dariku, sungguh pun di antara kami tidak pernah ada hubungah apa pun. Maka, tentu saja sejak lama aku merasa kagum kepadamu, Cia-sicu, dan ingin sekali aku tahu dan mengenalmu, terutama mengenal kepandaianmu. Sayang bahwa engkau tinggal di Lembah Naga, di luar wilayahku. Kemudian dari teman-temanku aku mendengar bahwa sicu turun gunung, keluar dari Lembah Naga mengunjungi Cin-ling-pai. Ha-ha! Mendengar kesempatan baik muncul itu, tentu saja aku langsung mengutus orang-orangku untuk membayangimu dan sesudah tiba di sini, karena kebetulan sekali aku pun sedang berada di Lok-yang, maka aku sengaja mengundang sicu untuk bertemu.” Diam-dian Sin Liong berpikir. Cara-cara yang dipergunakan oleh orang ini memang aneh dan juga kasar, akan tetapi itulah ciri-ciri sepak terjang seorang datuk kaum sesat dan orang ini pun tak luput dari pada penyakit sombong dan congkak sekali. Betapa pun juga, harus diakui bahwa orang ini sangat lihai dan mempunyai pengaruh yang luas sehingga tahu akan kedatangannya di Cin-ling-pai. Sekarang tahulah dia mengapa kakek ini dapat mengundangnya, tentu ada pula orangnya yang bekerja di losmen itu. “Locianpwe telah mengundangku, bahkan telah mengundang isteri dan anakku pula, untuk kehormatan itu aku menghaturkan terima kasih. Sekarang, setelah kami tiba di sini, apa yang locianpwe kehendaki?” “Ha-ha-ha-ha, pertama-tama hanya ingin berjumpa dan berkenalan. Nah, mari, Cia-sicu, toanio dan kau anak yang baik, ehhh, siapa tadi namamu?” tanya kakek itu kepada Han Tiong. “Namaku Cia Han Tiong,” jawab anak itu. “Nah, marilah kalian bertiga makan minum, menjadi tamuku, atau juga tamu Ciong-taijin yang terhormat.” Orang yang berpakaian pembesar itu pun lalu berkata, “Benar, Cia-sicu, mari silakan. Kita berkumpul sebagai sahabat!” Diam-diam Sin Liong merasa heran sekali dengan sikap orang itu. Apa artinya semua ini? Mula-mula dia diundang secara kasar, yaitu dengan memaksa isteri dan anaknya, lalu di sini diperlakukan dengan hormat! “Terima kasih,” katanya dan dia pun bersama isteri dan anaknya mulai makan minum bersama. “Tadi sudah kukatakan bahwa biar pun antara mendiang Hek-hiat Mo-li dan aku terdapat pertalian perguruan, namun aku sama sekali tidak mencampuri urusannya. Dan engkau sendiri sebagai seorang pendekar di luar Tembok Besar sangat patut menjadi sahabatku, Cia-sicu. Maka biarlah undangan ini bisa juga kau anggap sebagai tanda persahabatanku kepadamu.” Hemm, tentu ada udang di balik batu, pikir Sin Liong. “Terima kasih. Locianpwe sudah bersikap manis budi, kami mengucapkan terima kasih. Hanya ada sedikit hal yang membikin bingung kepadaku.” “Cara aku mengundang anak isterimu, bukan? Ha-ha-ha!” Kembali Sin Liong diam-diam mengakui kelihaian orang ini. Dia harus berhati-hati sekali terhadap orang yang memiliki kecerdikan ini. “Benar, locianpwe. Aku tidak mengerti, dan apakah locianpwe juga mengetahui betapa cara mengundang anak isteriku itu dilakukan oleh anak buah locianpwe?” “Ha-ha-ha, tentu saja! Apa kau kira mereka itu tidak takut mati melakukan sesuatu di luar apa yang kuperintahkan?” “Hemm, kalau begitu, mengapa ada sikap kasar terhadap anak isteriku itu, locianpwe?” tanya Sin Liong, hatinya dipenuhi rasa penasaran mengapa sikap terhadap anak isterinya itu jauh berbeda dengan sikap kakek itu sekarang. Sebelum menjawab, kakek itu mengisi huncwenya dengan tembakau dan salah seorang di antara para pengawal yang berdiri di belakangnya cepat-cepat menyalakan api untuk membakar tembakau di mulut huncwe. Sesudah mengisap-isap dan tembakau itu mulai terbakar, maka asap yang berbau keras mulai tercium di ruangan itu. Kakek ini kemudian menghembuskan asap tipis dari mulutnya, memandang kepada Sin Liong lalu berkata, “Semua itu dilakukan untuk mengujimu, sicu!” “Mengujiku?” “Ya, untuk mengujimu, apakah engkau memang seorang pendekar besar seperti yang namanya kudengar selama ini ataukah hanya seorang pendekar kasar yang mudah sekali menuruti kemarahan hatinya. Akan tetapi ternyata sikapmu sangat mengagumkan, layak menjadi seorang pendekar besar dan lebih patut lagi menjadi sahabatku.” Sesudah makan minum itu selesai, kakek yang berjuluk Pak-san-kui itu memberi tanda dengan tangannya dan para pengawal cepat membersihkan semua bekas makanan dari atas meja, kemudian meja itu pun disingkirkan atas isyarat Pak-san-kui. Melihat ini, Sin Liong dapat menduga bahwa tentu bukan hanya berakhir dengan makan minum saja, dan karena dia tidak ingin membuat bibit permusuhan dengan siapa pun juga, maka dia pun cepat berkata, “Locianpwe, kami bertiga sudah menerima kehormatan dan kebaikan lodanpwe, mudah-mudahan lain waktu kami dapat membalas dan mengundang locianpwe ke Lembah Naga. Sekarang, perkenankan kami untuk meninggalkan tempat ini.” Kakek itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan kirinya ke atas, mengepulkan asap dari mulutnya. “Aha, Cia-sicu, orang-orang seperti kita ini saling mengagumi dalam ilmu silat, tentu saja. Kini kita telah saling jumpa, tanpa melihat ilmu silat sicu yang disohorkan orang di seluruh dunia, mana bisa dibilang lengkap? Sicu, mereka bertiga ini adalah murid-murid kepala dariku, dan boleh dibilang mewakili aku di dalam segala hal, juga untuk mengenal ilmu silat Sicu. Oleh karena itu, marilah sicu perlihatkan kepandaianmu agar perkenalan di antara kita dapat lebih matang.” Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia sudah menduga bahwa memang ke situlah maksud tuan rumah dan tentu saja sedikit pun dia tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan siapa pun juga yang akan menguji kepandaiannya. Akan tetapi, sesudah bertahun-tahun dia mengasingkan diri dari dunia kang-ouw, dia tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk kini menceburkan diri dalam pertikaian dan permusuhan, maka dia pun sama sekali tidak bernafsu untuk mengadu ilmu. “Locianpwe, telah bertahun-tahun aku tak pernah lagi berurusan dengan dunia persilatan dan tidak pernah bertanding, maka kalau locianpwe menghendaki, biarlah aku mengaku kalah saja,” katanya sambil menjura. Melihat ini, Bi Cu mengerutkan alisnya. Memang benar dia tidak pernah diganggu, juga Han Tiong tidak pernah diperlakukan kasar. Akan tetapi, cara menangkap dia serta Han Tiong merupakan hal yang merendahkan sekali. Kalau sekarang suaminya secara begitu saja mengalah dan mengaku kalah, bukankah hal itu akan menanamkan sesuatu yang dapat membuat puteranya akan merasa rendah diri? Dia sendiri tidak menginginkan puteranya menjadi jagoan yang mengandalkan ilmu silat mengangkat diri, akan tetapi lebih-lebih dia tidak menghendaki puteranya kelak menjadi seorang yang rendah diri dan penakut tentunya! “Locianpwe ini sudah menghargai kita karena ilmu silatmu, kalau engkau sekarang tidak melayani permintaannya, bukankah akan sia-sia saja semua kebaikannya itu?” Di dalam ucapan ini tentu saja terkandung dorongan mengingatkan kepada Sin Liong, betapa isteri dan anaknya telah dijadikan tawanan namun disembunyikan di dalam kata ‘kebaikan’ itu. Wajah Sin Liong menjadi merah mendengar ucapan isterinya itu. “Pula sejak tadi Han Tiong menyatakan ingin melihat engkau mengadu ilmu dengan fihak tuan rumah setelah dia diberi tahu bahwa fihak tuan rumah mempunyai banyak jagoan,” sambung pula Bi Cu dengan nada suara mendesak suaminya. “Ha-ha-ha, Cia-sicu terlalu merendahkan diri, dan toanio sungguh patut bangga memiliki suami seperti Cia-sicu. Nah, lekas kalian bertiga perkenalkanlah dirimu kepada Cia-sicu!” katanya sambil menggerakkan huncwenya. Tiga orang laki-laki yang kelihatan seperti jagoan itu, dan yang sejak tadi memang sudah siap-siap, sekarang bangkit dari tempat duduk mereka kemudian memberi hormat kepada Pak-san-kui dengan hormat sekali. “Teecu bertiga mentaati perintah suhu,” kata seorang di antara mereka dan ketiganya lalu menjura kepada Sin Liong. “Kami bertiga mendapatkan kehormatan untuk melayani Cia-sicu. Silakan!” Sin Liong tersenyum. Dia maklum bahwa kakek yang menamakan dirinya datuk dari utara itu, yang merasa menjadi orang nomor satu di utara, tentu saja menjual mahal dirinya sendiri dan sekarang hanya mengutus tiga muridnya untuk maju, karena memang niatnya hanya menjajaki lebih dulu sampai di mana kepandaiannya. Aku tidak boleh terlalu menonjolkan diri, pikir Sin Liong yang cerdik. Bila dianggap terlalu berbahaya bagi kakek ini, tentu datuk sesat ini akan mencari jalan mengalahkannya. Akan tetapi kalau sebaliknya, dia tidak dianggap sebagai saingan berbahaya, mungkin dia akan dapat membebaskan diri dari bibit permusuhan. Maka dia pun lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pak-san-kui. “Harap locianpwe tidak mentertawai kebodohanku. Sudah lama sekali aku tidak pernah bertanding, rasanya kaku dan canggung.” Dan dia pun lalu menuju ke tengah ruangan yang sudah dibersihkan itu, menghadapi tiga orang yang kini sudah siap menantinya. “Hemm, kalian hendak maju berbareng?” Sin Liong sengaja bertanya dengan suara ragu untuk memperlihatkan bahwa dia cukup jeri dan ragu. “Ha-ha-ha, jangan khawatir, Cia-sicu. Murid-muridku ini hanya ingin menguji kepandaian, dan mereka hendak menggunakan silat gabungan yang hanya dapat dimainkan oleh tiga orang.” kata Pak-san-kui sambil mengepulkan asap huncwenya, sikapnya congkak sekali, dan jelas bahwa dia memandang rendah pada Sin Liong setelah melihat sikap pendekar itu. Bi Cu yang sudah mengenal betul watak suaminya sebagai seorang pendekar sakti yang tidak pernah mengenal takut, kini merasa sangat penasaran. Dia tahu bahwa suaminya sengaja bersikap demikian, dan inilah yang dia tidak mengerti hingga membuatnya amat penasaran. Mengapa suaminya tidak robohkan saja mereka semua itu agar mereka mengenal betul siapa adanya Pendekar Lembah Naga? Demikian pikirnya, maka dia memandang semua itu dengan alis berkerut. Sementara itu, ketiga orang jagoan itu sudah melepaskan jubah mereka dan kini mereka hanya memakai pakaian ringkas yang berwarna putih dengan sabuk warna biru. Mereka tampak tegap dan kokoh kuat, dengan sikap pendiam yang membuat mereka berwibawa sekali. Setelah melempar jubah mereka ke sudut ruang, lemparan yang disertai tenaga sinkang teratur sehingga tiga helai jubah itu seolah-olah dibawa dan diatur bertumpuk oleh tangan yang tidak nampak, bertumpuk rapi di sudut, ketiganya lalu menjura lagi kepada Sin Liong lantas dengan loncatan-loncatan di ujung jari kaki mereka sudah membentuk barisan segi tiga! Seorang berdiri di belakang Sin Liong, orang ke dua di depan kanan dan orang ke tiga di depan kiri persis terbentuk segi tiga karena memang tiga orang murid Pak-san-kui ini memiliki ilmu barisan yang khas, yaitu Sha-kak-tin itu. Sin Liong sudah menduga bahwa sebagai murid-murid kepala dari seorang datuk seperti Pak-san-kui yang dikabarkan mempunyai kepandaian hebat itu, tentulah mereka itu bukan merupakan lawan ringan, akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Dia menghadapi sesuatu yang amat sulit, yaitu di satu fihak dia harus dapat mengalahkan mereka ini, tapi di lain fihak dia pun harus tidak terlalu menonjolkan kepandaian sehingga dia harus dapat membuat kesan bahwa dia hanya dapat menang dengan susah payah! “Cia-sicu, awas, kami mulai menyerang!” bentak orang yang berada di sebelah kanan. Diam-diam Sin Liong kagum juga karena melihat sikap ini. Ternyata bahwa murid-murid Pak-san-kui ini merupakan orang-orang yang menghargai kegagahan dan tidak curang, tidak pula kasar seperti para pengawal yang menyambutnya di gedung Ciong-taijin. Akan tetapi dia harus cepat menghindarkan diri dari serangan mereka yang ternyata cukup lihai. Gerakan mereka sangat cepat dan serangan itu mereka lakukan secara bertubi-tubi dan berselang-seling, ada pun kedudukan mereka selalu kembali menjadi pengepungan segi tiga lagi. Sin Liong mulai mengelak atau menangkis, akan tetapi dia sengaja tidak bergerak terlalu cepat, hanya cukup untuk menghindarkan diri saja dan tangkisan-tangkisannya dilakukan dengan tenaga secukupnya pula, hanya untuk mengimbangi mereka. Dan biar pun harus diakuinya bahwa tiga orang ini memiliki kecepatan dan tenaga yang cukup hebat, namun kalau saja dia menghendaki, tiga orang lawan ini sama sekali bukanlah lawan yang terlalu sukar untuk dikalahkan olehnya. Pendekar Lembah Naga ini bukanlah seorang pendekar sembarangan. Bahkan mendiang Ceng Han Houw yang sedemikian lihainya sekali pun roboh olehnya. Semenjak kecil, Cia Sin Liong sudah menerima gemblengan-gemblengan hebat dari orang-orang yang berilmu tinggi. Dia sudah ‘mengoper’ tenaga sinkang ajaib dari mendiang Kok Beng Lama yang dahulu menyerahkan tenaganya kepada bocah yang disayangnya itu sehingga dalam hal tenaga Thian-te Sin-ciang, boleh dibilang bahwa sekarang dialah tokoh utamanya. Juga dia telah mewarisi hampir semua ilmu dari mendiang kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai, Cia Keng Hong. Dari kakeknya ini dia bahkan telah mewarisi ilmu simpanan seperti Thi-khi I-beng, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat. Semua ini masih ditambah lagi dengan ilmu mukjijat yang dahulu dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw, yaitu Cap-sha-ciang yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, karena dia tak ingin membangkitkan rasa penasaran dalam hati datuk sesat baru ini, maka Sin Liong sengaja hanya memainkan Ilmu Thai-kek Sin-kun saja sekedar untuk mempertahankan diri. Bahkan kadang dia membiarkan ketiga orang pengeroyoknya itu melakukan serangan bertubi-tubi sehingga dia nampak terkurung dan terdesak hebat. Sin Liong mengelak dan menangkis sehingga tubuhnya sampai berputar-putar karena tiga orang yang menyerangnya itu menyerang dari tiga jurusan, dan selalu kedudukan mereka adalah segi tiga yang amat kokoh kuat. Menyaksikan ini, diam-diam Bi Cu mengerutkan alis dan kembali dia merasa penasaran. Tentu saja dia mengenal suaminya dan tahu bahwa apa bila suaminya menghendaki, tiga orang lawan itu belum tentu akan dapat bertahan sampai dua puluh jurus, apa lagi sampai mendesak suaminya seperti itu! Dia dapat menduga bahwa memang suaminya sengaja mengalah dan membiarkan dirinya didesak. Akan tetapi isteri yang sangat mencinta suaminya ini tidak mau merusak siasat suaminya, maka dia pun diam saja, hanya nampak tidak puas. Sedangkan Han Tiong yang sejak kecil sudah mempelajari dasar-dasar silat tinggi itu, biar pun baru berusia sebelas tahun, namun dia sudah dapat mengikuti jalannya perkelahian yang cepat itu dan diam-diam dia merasa sangat khawatir karena dalam pandangannya, ayahnya terdesak hebat dan hampir tidak mampu balas menyerang karena ketiga orang lawannya menghujankan serangan bertubi-tubi! Maka tentu saja hatinya merasa khawatir sekali. Memang, dalam pandangan orang lain kecuali Bi Cu yang telah mengenal betul kelihaian suaminya, kelihatannya Sin Liong terdesak hebat. Bahkan Pak-san-kui, datuk utara yang mempunyai kepandaian tinggi itu juga dapat dikelabui. Demikian baiknya Sin Liong dalam menjalankan siasatnya sehingga dia sama sekali tak nampak berpura-pura. Hal ini adalah karena ilmu silat Sin Liong sudah demikian matang sehingga dia dapat mainkan gerakan pura-pura ini dengan sedemikian baik dan wajarnya hingga seorang yang bermata tajam seperti Pak-san-kui, sungguh pun menjadi agak lengah karena congkaknya, dapat tertipu! Kakek itu mengepul-ngepulkan asap huncwenya sambil mengangguk-angguk, tersenyum girang. Kiranya hanya sedemikian saja kepandaian Pendekar Lembah Naga yang banyak dipuji-puji orang sampai ke kota raja! Dia sendiri memang tak berniat untuk memusuhi pendekar ini. Pertama, karena pendekar ini amat dihargai sampai di istana sehingga kalau dia memusuhinya, maka hal itu hanya akan merugikan namanya dan tentu akan mengancam kedudukannya yang baik. Ke dua, dia ingin bersahabat dengan pendekar ini, karena siapa tahu kelak akan dapat diharapkan dan akan dapat ditarik bantuannya untuk menghadapi musuh-musuh atau saingannya. Dia sudah memesan kepada tiga orang muridnya itu agar kalau sampai dapat mendesak pendekar itu, agar jangan sampai melukainya dengan hebat, apa lagi membunuhnya. Kini, melihat betapa tiga orang muridnya itu dapat mendesak Sin Liong, tentu saja dia merasa girang akan tetapi juga agak kecewa. Kalau yang disebut Pendekar Lembah Naga itu hanya seperti ini, apa gunanya dijadikan sahabat? Bantuannya tentu tak akan berharga pula. Akan tetapi, tiba-tiba dia memandang penuh perhatian dan alisnya berkerut. Meski pun tiga orang muridnya itu seperti diketahuinya telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, akan tetapi ternyata mereka belum juga mampu mengalahkan Sin Liong, bahkan kadang kala nampak pendekar itu berbalik mendesak mereka! Kalau begitu hebat juga pendekar ini, pikirnya. Sementara itu, pertandingan telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Tiba-tiba terdengar pendekar itu mengeluarkan suara teriakan lantas dia melakukan serangan yang hebat dan bertubi-tubi ke arah tiga orang lawannya, menubruk dengan nekat. Terjadi serangan-serangan dahsyat dan tubuh mereka berkelebatan, kemudian nampak tiga orang pengeroyok itu terhuyung-huyung dengan muka pucat karena ternyata mereka telah terkena tamparan-tamparan Sin Liong, sedangkan pendekar ini sendiri pun terguling roboh! “Ayah!” Han Tiong berteriak dan lari menghampiri ayahnya. Akan tetapi Sin Liong sudah bangkit berdiri kembali dan merangkul anaknya sambil meringis, memandang Pak-san-kui sambil tersenyum pahit. “Kepandaian murid-murid locianpwe sungguh hebat, aku mengaku kalah,” katanya sambil menghampiri isterinya. Begitu bertemu pandang, tahulah Bi Cu bahwa suaminya memang sengaja membiarkan dirinya kena pukulan dan tahulah pula Sin Liong betapa isterinya diam-diam tidak puas bahkan marah kepadanya! Pak-san-kui tidak menjawab, melainkan menghampiri tiga orang muridnya dan memeriksa bekas tamparan dari Sin Liong. Setelah melihat betapa tiga orang muridnya hanya terluka dagingnya saja yang menjadi matang biru, dia pun tersenyum kembali. Pendekar Lembah Naga itu hanya menang sedikit saja dibandingkan tiga orang muridnya, akan tetapi masih jauh kalau harus melawan dia. Puaslah hatinya karena dia tahu bahwa dia masih lebih lihai dari pada pendekar yang disohorkan hingga ke istana kaisar itu! Juga dia melihat seorang pembantu yang lumayan di dalam diri Sin Liong kalau sewaktu-waktu dibutuhkannya. Maka dia pun cepat menjura. “Ahhh, Cia-sicu terlalu merendahkan diri. Jarang ada orang yang akan mampu bertahan sampai lebih dari seratus jurus terhadap Sha-kak-tin dari tiga orang muridku, apa lagi sampai mengalahkan mereka. Hebat. Sicu hebat dan aku girang sekali telah mengundang sicu dan menjadi sahabat sicu!” Diam-diam Sin Liong mendongkol sekali. Kakek ini sungguh cerdik dan kini menganggap dia sahabat! Dia harus berhati-hati sekali menghadapi kakek seperti ini. Kelak, bila mana ada kesempatan, ingin dia menguji sampai di mana kehebatan kepandaian kakek ini. Sin Liong lalu minta diri. Sekali ini Pak-san-kui tidak menahannya, bahkan mengeluarkan bungkusan-bungkusan uang serta pakaian untuk dihadiahkan kepada Pendekar Lembah Naga, dan juga tiga ekor kuda. Akan tetapi Sin Liong menolak dengan halus dan setelah dibujuk-bujuk, barulah terpaksa sekali dia menerima pemberian tiga ekor kuda itu karena kalau ditolak terus, dia khawatir menimbulkan rasa tidak senang dan kemarahan orang. Maka berangkatlah mereka bertiga, kembali ke rumah Ciu Khai Sun. Keluarga Ciu Khai Sun menyambut dengan girang bukan main karena mereka semua sudah khawatir akan apa yang mungkin menimpa diri Sin Liong dan keluarganya. Kui Lan dan Kui Lin girang sekali menyambut Bi Cu. Tadinya Bi Cu masih kurang senang terhadap mereka karena kematian suheng-nya, Na Tiong Pek, serta menikahnya Kui Lin dengan Ciu Khai Sun. Akan tetapi, pada saat meninggalkan taman itu, Sin Liong sudah menceritakan semuanya hingga Bi Cu berbalik merasa terharu dan juga bersyukur bahwa kini kedua orang kakak beradik kembar itu sudah hidup rukun dan penuh cinta bersama suami mereka. Sin Liong juga menceritakan alasannya kenapa dia terpaksa mengalah dalam perkelahian tadi sehingga Bi Cu dapat mengerti, lebih lagi Han Tiong juga diperbolehkan mendengar sehingga anak itu pun dapat mengerti bahwa ayahnya sama sekali tidak kalah, melainkan mengalah karena melihat keadaan. Anak yang cerdik ini dapat memaklumi dan diam-diam bahkan membenarkan ayahnya. Karena pengalaman yang tidak enak itu, Sin Liong tidak lama tinggal Lok-yang. Beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan kota Lok-yang dan mengajak anak isterinya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Pek-kee-cung, di sebelah utara kota Pao-teng di lembah Sungai Mutiara dekat kota raja *************** “Omitohud… Thian Sin, kenapa pinceng melihat engkau demikian tekun mempelajari ilmu silat sampai jauh malam belum tidur?” Thian Sin yang sedang berlatih silat di belakang pondok di bawah cahaya bulan purnama malam itu, terkejut sekali ketika melihat pamannya muncul secara tiba-tiba itu. Dia cepat menjatuhkan diri berlutut di hadapan hwesio itu. “Paman, ayah dan ibu sendiri yang telah mempunyai ilmu kepandaian setinggi itu, masih dapat celaka akibat perbuatan orang-orang jahat, maka aku hendak mempelajari ilmu silat setinggi mungkin agar kelak tidak sampai celaka seperti yang dialami oleh ayah dan ibu.” “Omitohud… pikiran yang sungguh menyeleweng dari pada kebenaran. Lekas hapus dan keringkan keringatmu lalu masuklah ke pondok, mari kita bicara, anakku.” Hwesio itu lalu melangkah pergi memasuki pondok. Thian Sin menghapus peluhnya dan memakai kembali bajunya karena tadi ketika berlatih, dia melepaskan bajunya agar tidak basah oleh peluh. Tidak lama kemudian dia sudah duduk berhadapan dengan pamannya yang duduk bersila di alas papan, sedangkan Thian Sin juga duduk bersila di atas lantai rendah yang dilapisi papan. “Dengar baik-baik, Thian Sin. Bukan tinggi rendahnya ilmu silat yang dapat mencelakakan orang karena betapa pun tinggi kepandaian seseorang, pada suatu waktu sudah pasti dia akan bertemu dengan orang lain yang lebih pandai lagi dari pada dirinya. Setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di samping kelebihan yang membuat dia unggul atas diri orang lain, pasti terdapat kekurangan yang akan menjatuhkannya. Celaka atau tidaknya seseorang, tersangkut atau tidaknya dia di dalam permusuhan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau pun kepandaian lainnya lagi. Semuanya itu tergantung dalam tangan si orang sendiri. Ilmu bisa saja menjadi alat untuk bermusuhan, saling serang dan saling bunuh, akan tetapi ilmu dapat juga menjadi suatu anugerah bagi manusia. Misalnya ilmu silat. Yang jelas saja, ilmu silat adalah ilmu olah raga yang dapat menyehatkan manusia lahir dan batin karena ilmu ini bukan hanya latihan jasmani belaka, akan tetapi ada juga hubungan yang erat dengan latihan batin. Di samping menyehatkan jasmani dan rohani, juga dengan ilmu ini manusia mampu melindungi dirinya dari bahaya yang sewaktu-waktu mengancam dirinya, ketika bertemu dengan binatang buas, bertemu dengan penjahat yang hendak membunuh dan menyakitinya, dan sebagainya. Dan selain itu, dengan ilmu silat ini pun manusia dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, misalnya penindasan yang dilakukan oleh yang lebih kuat dan sewenang-wenang untuk menindas kaum lemah. Nah, sekali-kali jangan kau menganggap bahwa ilmu silat harus setinggi-tingginya agar tidak terkalahkan! Apa bila engkau tidak ingin mengalahkan orang lain, maka tidak memiliki ilmu silat sedikit pun tidak mengapa.” “Tetapi, paman. Bukankah semua keluarga dari ayah bundaku adalah pendekar-pendekar belaka? Seperti paman sendiri yang menjadi kakak dari ibu, paman mempunyai ilmu silat tinggi. Dan kata ayah, kakek yang bernama Raja Sabutai mempunyai ilmu silat yang tinggi pula. Karena itu, aku juga ingin sekali menjadi seorang pendekar untuk menjunjung nama ayah dan ibu, juga keluarga kita, paman.” “Omitohud… anak ini tidak dapat membedakan mana pendekar dan mana penjahat! Yang menentukan kependekaran seseorang bukan semata-mata tergantung dari ilmu silatnya, anak baik. Melainkan sepak terjangnya, prilaku hidupnya. Betapa pun tinggi ilmu silatnya, jika dia menggunakannya untuk melakukan kejahatan, untuk mengejar kemenangan dan demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, maka perbuatannya itu akan menyeretnya menjadi seorang penjahat! Seorang pendekar adalah orang yang selalu mengutamakan perbuatan yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan, dan sama sekali tidak pernah mementingkan diri sendiri. Setiap perbuatannya ditujukan untuk menentang kelaliman dan membela kaum lemah tertindas.” “Kalau mendiang ayah… apakah dia seorang pendekar, paman?” Sepasang mata anak itu bersinar-sinar tertimpa cahaya lilin, maka di dalam hatinya yang penuh belas kasih itu Hong San Hwesio mengeluh. “Mendiang ayahmu dahulunya memiliki ilmu silat yang teramat tinggi, sehingga sukarlah ditemukan tandingan di dunia kang-ouw, anakku. Sayang sekali, karena tingginya ilmu itu, maka ayahmu terdorong untuk mengejar kedudukan setinggi-tingginya sehingga seperti biasa, orang yang mengejar sesuatu menjadi buta dan tidak segan-segan melakukan apa pun juga demi mencapai tujuan hatinya itu. Tidak, ayahmu tak dapat dinamakan seorang pendekar, Thian Sin. Pamanmu ini hanya bicara sejujurnya, menuturkan segala kenyataan hidup, dan engkau harus pandai belajar menghadapi kenyataan tanpa duka dan kecewa, anakku. Tetapi ayahmu itu mempunyai seorang adik angkat dan dialah yang benar-benar dapat dinamakan seorang pendekar besar. Sekarang pun dijuluki orang Pendekar Lembah Naga.” Sepasang mata yang tadinya agak muram karena mendengar jawaban tentang ayahnya yang mengecewakan hatinya itu kini bersinar-sinar kembali. “Betulkah, paman? Ayah dan ibu tidak pernah bercerita tentang hal itu. Siapakah namanya adik angkat ayah itu?” “Namanya adalah Cia Sin Liong dan dia itu adalah cucu dari kakek buyutmu Cia Keng Hong, pendiri Cin-ling-pai…” “Ahhh…!” Thian Sin berseru heran. “Ibu telah bercerita mengenai kakek buyut Cia Keng Hong, kakek luar dari ibu, dan ibu telah banyak bercerita mengenai keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa, pendekar-pendekar kenamaan seperti paman kakek Cia Bun Houw yang sekarang menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi ibu tidak pernah bercerita tentang pendekar Cia Sin Liong yang masih pamanku sendiri itu. Bukankah dia terhitung pamanku sendiri pula?” “Benar, dia adalah putera kandung paman Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai. Dan selain itu, dia pun merupakan adik angkat mendiang ayahmu. Mungkin karena dahulu ayahmu pernah bentrok dengan pamanmu itu, maka ayah bundamu tidak pernah bercerita tentang dia kepadamu.” “Bentrok? Antara saudara misan dan saudara angkat?” “Omitohud… memang asap tidak dapat dibungkus, rahasia tidak perlu ditutup-tutupi, dan sekali menceritakan yang satu terpaksa harus menceritakan yang lain. Sudah kukatakan kepadamu bahwa ayahmu melalukan penyelewengan, yaitu melakukan pemberontakan, anakku, dan pamanmu itu, Cia Sin Liong, justru merupakan seorang pendekar sejati yang menentang pemberontakan. Maka terjadilah bentrokan antara mereka…” “Dan agaknya… agaknya… dia tentu lebih lihai dari pada ayah!” Kembali hwesio itu menarik napas panjang. “Memang begitulah, akan tetapi hanya sedikit sekali selisihnya. Padahal, sebenarnya mereka itu saling menyayang, dan Cia Sin Liong itu seorang pendekar yang amat gagah perkasa. Sayang ayahmu…” “Hemm, ayah memang orang lemah dan menyeleweng!” Tiba-tiba saja Thian Sin berkata sehingga mengejutkan Hong San Hwesio, akan tetapi lalu anak itu berkata lagi, “Paman, aku ingin sekali bertemu dengan paman Cia Sin Liong!” “Hal itu bukan tak mungkin. Kau belajarlah dengan tenang, terutama mempelajari sastera dan isi kitab-kitab suci yang telah kuajarkan padamu, Thian Sin. Kelak bukan tak mungkin kau akan bertemu dengan dia.” Semenjak hari itu, Thian Sin belajar dengan tekun, dan diam-diam dia mempelajari ilmu silat lebih tekun lagi. Dan karena setiap hari dia menerima wejangan-wejangan dari Hong San Hwesio, maka sesudah setengah tahun dia tinggal di situ, terjadi banyak perubahan pada diri anak itu. Dia menjadi anak yang pendiam, tak banyak bicara, selalu tekun mempelajari kitab-kitab agama serta ilmu membaca dan menulis. Pada waktu malam hari, sering kali dia meniup sulingnya, dan alunan suara sulingnya sering kali terdengar sangat merdu namun seperti mengandung rintihan sehingga kalau mendengar suara ini diam-diam Hong San Hwesio suka terharu dan berdoa untuk keselamatan keponakannya itu. Pada suatu hari, ketika hari masih pagi sekali, seperti biasanya Thian Sin dengan rajinnya menyapu daun-daun pohon membersihkan halaman kelenteng. Dia merasa sangat segar setelah tadi berlatih semedhi lalu mandi air dingin, maka dia menyapu sambil berdendang. Banyak lagu-lagu yang dipelajarinya dari seorang hwesio, maka tentu saja kata-kata lagu itu juga yang mengenai keagamaan, bukan hanya Agama Buddha saja, akan tetapi juga condong kepada Agama To. Kata-kata bijasana tidak berbunga kata-kata berbunga tidak bijaksana, sang budiman tidak melawan yang melawan tidak budiman, sang arif bijaksana tidak terpelajar yang terpelajar tidak arif bijaksana! Suara yang bening itu dinyanyikan perlahan namun satu-satu terdengar amat jelas di pagi hari yang sunyi itu, disambut oleh suara burung yang berkicau dan berlompat-lompatan di ranting-ranting pohon. “Bagus sekali…!” Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. cerita silat online karya kho ping hoo Thian Sin cepat menengok dan dia melihat seorang laki-laki yang berpakaian sederhana, bersikap sederhana pula, lelaki yang berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, mukanya bundar tampan, sepasang matanya tajam. Wajah yang ramah dan mulut yang tersenyum jenaka. “Nyanyianmu indah sekali, sobat kecil. Kalau tidak salah itu adalah ayat-ayat dari To-tik-khing. Semuda engkau sudah menyanyikan kalimat-kalimat itu, apakah engkau tahu pula artinya?” Thian Sin mengira bahwa orang ini tentulah seorang tamu yang hendak sembahyang dan melihat wajah yang tampan dan bersih itu, dia langsung merasa suka. Dia tersenyum dan menjawab dengan lagak seorang hwesio, “Omitohud, dapat mengucapkan tanpa tahu artinya, bukankah itu tiada bedanya dengan burung beo belaka? Aku mempelajari kata-kata nyayiannya, tentulah sambil mempelajari pula artinya.” “Bagus sekali, anak baik. Nah, apakah artinya kalimat pertama: Kata-kata bijaksana tidak berbunga dan kata-kata berbunga tidak bijaksana itu?” Thian Sin sudah hanyak membaca kitab dan karena dia sering kali mendengar wejangan pamannya, sedikit banyak dia sudah kenyang akan kata-kata mendalam dan mulai dapat mengupas arti kata-kata yang terkandung dalam ayat-ayat suci jaman kuno. Dia segera mengerutkan alisnya sehingga wajahnya yang tampan sekali itu kelihatan seperti seorang ahli pikir mencari jawab yang sulit, kemudian dia berkata dengan menggoyang-goyangkan kepala dan tubuh, seperti seorang ahli sajak yang pandai. “Kata-kata yang baik dan bisa dipercaya kebenarannya tidak bersifat membujuk mau pun merayu melainkan jujur dan sederhana, dan kata-kata yang membujuk dan merayu, yang halus memikat, sama sekali tidak dapat dipercaya kebenarannya.” “Bagus, sekarang kalimat ke dua: Sang budiman tidak melawan dan yang melawan tidak budiman?” Laki-laki itu mendesak dan nampaknya dia semakin tertarik dan suka sekali kepada anak laki-laki yang tampan dan pandai ini. “Yang melawan itu adalah sebangsa orang kasar dan suka mempergunakan kekerasan, maka hidupnya akan penuh dengan pertentangan dan permusuhan, karena itu tentu saja orang begitu bukanlah seorang budiman, karena orang budiman tahu bahwa kekerasan hanya menimbulkan permusuhan dan kesengsaraan.” Orang itu nampak semakin girang dan dia maju mengelus rambut yang hitam panjang itu, sinar matanya memandang penuh kagum. “Anak yang amat baik… lanjutkan… lanjutkan, bagaimana dengan kalimat terakhir yang berbunyi: Sang arif bijaksana tidak terpelajar dan yang terpelajar tidak arif bijaksana?” Thian Sin terbelalak dan akhirnya dia berkata sejujurnya. “Wah, yang ini aku sendiri masih bingung dan sewaktu-waktu akan kutanyakan kepada guruku! Apakah engkau tahu bagai mana artinya, paman yang baik?” “Artinya amat mendalam, sobat kecil yang cerdas! Engkau tahu bahwa keadaan terpelajar berarti menyimpan pelajaran-pelajaran di dalam kepala dan hanya mengandalkan segala sesuatu yang dihafal belaka takkan membuat orang menjadi arif dan bijaksana. Keadaan tidak terpelajar berarti bebas dari pengetahuan, dan hanya orang yang batinnya kosong dari pengetahuan saja yang dapat mempelajari segala sesatu yang baru dan karenanya arif bijaksana. Mengertikah engkau, sobat kecil?” Thian Sin menggeleng kepala. “Belum, paman, akan tetapi akan kupikirkan hal itu nanti.” “Bagus! Engkau sungguh seorang anak luar biasa. Siapakah namamu?” “Namaku Thian Sin, she Ceng…” “She Ceng?” Orang itu memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. “Omitohud… selagi bekerja mengobrol, hal itu amat tidak baik, Thian Sin. Selesaikan dulu pekerjaan, baru mengobrol, segala hal harus disatukan satu demi satu baru dapat selesai dengan sempurna…” “Lie Seng Koko…!” tiba-tiba orang itu maju, kemudian memberi hormat kepada Hong San Hwesio yang baru muncul dan menegur Thian Sin. “Apa? Siapa…? Omitohud…!” Hong San Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada dan memandang kepada orang itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, “Kiranya adinda Cia Sin Liong yang datang…!” “Pendekar Lembah Naga…!” Thian Sin berseru dan sekarang dia memandang pada Sin Liong dengan kedua mata terbelalak. Tentu saja Sin Liong juga tercengang mendengar julukannya disebut oleh anak yang amat menyenangkan hatinya itu. “Betul, Thian Sin, inilah pamanmu Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga. Saudaraku Sin Liong, dia ini adalah Ceng Thian Sin, keponakanmu sendiri, dia putera kakakmu mendiang Ciauw Si dan mendiang Ceng Han Houw…” Wajah Sin Liong seketika menjadi pucat mendengar sebutan ‘mendiang’ itu. Sejenak dia bertemu pandang dengan hwesio itu, kemudian dia berlutut mendekati Thian Sin lantas memeluk anak itu sambil memejamkan kedua matanya, hatinya terharu bukan main. “Thian Sin… anakku yang baik… keponakanku…,” demikian bisiknya. “Ayah, siapakah dia?” Tiba-tiba terdengar suara Han Tiong bertanya. Kiranya dia sudah muncul bersama ibunya. Tadi ketika mereka bertiga tiba di depan Kuil Thian-to-tang, Sin Liong mendahului mereka untuk mencari keterangan lebih dahulu apakah benar Lie Seng atau Hong San Hwesio tinggal di kuil itu. Mendengar suara puteranya, Sin Liong tersadar dari keharuan yang mencekam hatinya. Dia bangkit, kedua matanya basah dan dia memandang kepada isterinya dan puteranya. “Lie Seng toako, ini adalah isteriku dan anakku, Cia Han Tiong. Isteriku, inilah Lie Seng toako atau Hong San Hwesio, Han Tiong beri hormat kepada toapek-mu.” Bi Cu dan Han Tiong cepat-cepat memberi hormat dan hwesio itu tersenyum lebar sambil membalas penghormatan itu. “Omitohud… alangkah menggembirakan pertemuan ini. Selamat datang, selamat datang dan terima kasih etas kunjungan kalian… mari silakah masuk, kita bicara di dalam.” Hong San Hwesio mempersilakan Sin Liong dan isterinya memasuki bangunan di sebelah kiri kuil yang menjadi tempat tinggal para hwesio, juga termasuk Hong San Hwesio yang menjadi ketua di sana, dan dengan amat ramahnya dia menggandeng tangan Han Tiong. Ketika melihat Thian Sin hendak kembali bekerja menyapu, hwesio itu berkata, “Engkau pun ikut masuk, Thian Sin. Marilah!” Meski pun agak malu-malu karena kini dia berhadapan dengan pendekar sakti yang sejak lama dikagumi dan menjadi kenangan hatinya itu, namun mendengar ajakan ini wajah Thian Sin berseri dan dia pun ikut masuk bersama-sama. Sesudah mereka semua duduk di ruangan dalam dan disuguhi teh hangat, dengan hati tidak sabar Sin Liong lalu bertanya tentang diri Thian Sin, apa yang sudah terjadi dengan ayah bunda anak itu dan bagaimana Thian Sin berada di situ. Hong San Hwesio menarik napas panjang. “Omitohud…, segala macam sebab di dunia ini berada di telapak tangan manusia sendiri, segala akibat pasti terjadi tanpa manusia dapat berbuat apa pun untuk menolaknya. Segala sesuatu telah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa…” Kemudian diceritakanlah oleh hwesio itu tentang keadaan Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kakek Lai Sui yang mengantar Thian Sin ke kuil itu dan juga dari Thian Sin sendiri. Betapa pasangan suami isteri yang selama bertahun-tahun hidup mengasingkan diri dan tenteram itu diserbu oleh pasukan-pasukan dari utara dan dari kerajaan, dan tewas dikeroyok oleh pasukan kedua fihak. Dan betapa adiknya bersama suaminya yang melihat ancaman bahaya, sebelumnya telah menyuruh tetangga mereka, Lai Sui, untuk mengantarkan Thian Sin ke kuilnya. “Demikianlah cerita ringkasnya, dan sudah setengah tahun kurang lebih Thian Sin berada di sini.” Hwesio itu mengakhiri penuturannya. Tidak karuan rasa hati Sin Liong ketika mendengarkan penuturan hwesio itu. Tadinya hatinya masih selalu menyesal kalau dia teringat betapa dia secara terpaksa sekali harus berhadapan dengan Ceng Han Houw sebagai musuh, bahkan akhirnya dia merobohkan kakak angkat itu dengan pukulan yang dia tahu sangat keras dan ampuhnya. Dia mengira bahwa tentu kakak angkatnya itu telah tewas oleh pukulan itu. Ketika dia berniat mengunjungi Lie Seng, memang sudah ada niat di dalam hatinya untuk menanyakan kepada kakak misan ini mengenai keadaan Lie Ciauw Si dan tentang Ceng Han Houw yang disangkanya tentu sudah tewas itu. Siapa kira, ternyata kakak angkatnya itu tidak tewas, bahkan hidup bahagia dan mempunyai seorang putera! Akan tetapi kegembiraan hatinya mengingat hal ini segera lenyap oleh kenyataan bahwa akhirnya kakak angkatnya itu harus tewas secara menyedihkan, karena sekaligus tewas bersama isterinya, dikeroyok oleh pasukan dari utara dan dari kerajaan! “Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?” Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan. “Apakah engkau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?” Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apa bila mengingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang. “Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupan mereka mulai tenteram dan berbahagia, sesudah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?” Untuk ini Bi Cu tak mampu menjawab. Nyonya ini pun merasa kasihan bila dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu. “Hemm, pinceng sendiri pun tidak tahu mengapa demikian…,” Hong San Hwesio berkata sambil menghela napas. “Aku… aku tahu…” Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak ini pun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung! Sin Liong merangkul pundak anak itu. “Anak baik, ceritakanlah apa bila engkau memang tahu akan hal itu.” Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur. “Dulu ayah dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang dulu telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Memang kami disambut secara baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, setelah setahun berlalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, kiranya ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelas bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dialah yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tak akan dapat melupakan saat orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu, dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai.” Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan sepasang matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata. “Aku tak akan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!” “Omitohud…, Thian Sin, ingatlah…!” dengan suara bernada memperingatkan Hong San Hwesio berkata. Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya terbelalak lantas menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu. “Ahhh… paman… ampunkan saya…!” Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedangkan Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya sudah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan turut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam. “Sudahlah, Thian Sin, hal-hal yang sudah lampau tidak perlu kau ingat lagi. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab-sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan mempergunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka ada baiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!” “Omitohud… itu baik sekali…!” kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan apa bila Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama di antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang sangat baik! “Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya.” Biar pun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan terhadap Thian Sin. Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di hadapan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup saling membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada saat itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun, ada pun Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, karena itu Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik. Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara, kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berdua pun berlutut di hadapan Hong San Hwesio yang segera membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena gembira bahwa Thian Sin telah memperoleh ‘tempat’ yang baik sebagai anak angkat Sin Liong. “Twako, sebenarnya kedatangan kami mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati.” “Ahh, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,” jawab pendeta itu dengan gembira. Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia serta isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu. “Toako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak mempunyai kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi pada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap toako tidak menolak permintaan tolong kami ini.” “Omitohud… bagaimana kau dapat berkata begitu? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!” Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Meski pun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan sangat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun. “Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran toapek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian,” demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu. Bersama dengan Hong San Hwesio, kedua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu hingga keluar pekarangan kuil. Mereka berdua terlihat tenang-tenang saja, dan sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu kelihatan tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali. Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera dia melihat bahwa Han Tiong mempunyai dasar yang jauh lebih kuat dari pada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang mempunyai dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, namun perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apa lagi di dasar batin Thian Sin sudah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang sangat mendalam. Oleh karena itu, walau pun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, akan tetapi segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat. “Kalian harus belajar semedhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin.” Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersemedhi yang baik, duduk bersila dan bersemedhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja pada waktu matahari sedang tenggelam. Di dalam kamar semedhinya yang tenang, Hong San Hwesio mulai melatih kedua orang keponakannya itu duduk bersemedhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan dua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan dua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikit pun tak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf di dalam tubuh seakan-akan mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang hingga hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang. Selain pelajaran bersemedhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengajarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan. Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari dari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tetapi tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya kalau dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga? Karena terbawa oleh Thian Sin yang selalu gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi di dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar. Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling menyayang. Thian Sin memang mempunyai watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguh pun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin. Karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur serta terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau membuat dia tunduk dan jadi penurut. Di samping kakaknya ini, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua dan juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya. Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan dia pun merasa amat lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biar pun Thian Sin amat taat kepadanya, juga dengan sangat tekun mempelajari soal-soal keagamaan, kebatinan serta kesusasteraan, akan tetapi di dasar hati anak ini kadang-kadang terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya. Kalau sampai dendam di dalam hati anak ini kelak bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi dia pun melihat betapa Thian Sin amat sayang, amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andai kata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar. Memang dua orang anak itu rukun sekali. Apa pun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut pula oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah tampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya sering terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang pada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnya pun tenang dan tegap, matang dan biar pun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang asli namun kokoh dan kuat. Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan sepasang kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berbentuk indah, sehingga dia tampan sekali, malah terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang bertemu dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walau pun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan. Sikapnya serta gerak-geriknya juga sangat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa. Akhirnya waktu tiga tahun itu lewat sudah. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa jika tidak diperhatikan. Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu sekarang Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio hingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha mau pun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Berkat latihan-latihan ilmu silat yang terus mereka latih dengan tekun, juga karena mereka sudah mempunyai dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa!....


PENDEKAR SADIS JILID 6 :
KETIKA Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan gerak-geriknya halus, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan. Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu pada saat dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata sudah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang sangat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya! Sin Liong lalu menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada kedua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata, “Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberi tahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka.” Sin Liong merasa girang sekali. “Tentu saja, toako. Memang selama ini tentu toako yang lebih mengetahui perkembangan batin mereka berdua, dan amatlah penting bagiku untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka.” “Tentang Han Tiong, tak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu mempunyai dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni.” “Dan bagaimana dengan Thian Sin?” tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin. “Itulah…, dia adalah seorang anak yang sangat baik, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, dan dia pun cerdas bukan main, bahkan lebih cerdas bila dibandingkan dengan Han Tiong. Tapi justru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama di dalam batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia amat pandai menyelimuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian pula sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, kini engkau telah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau menjadi waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya.” Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Namun dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah mempunyai kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi! “Baiklah, toako. Akan kuperhatikan dia.” “Dan selain itu… pinceng tak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang selalu disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapa pun juga termasuk pinceng itu. Harap kau amati hal itu.” Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw sudah meninggalkan ilmu-ilmu mukjijatnya yang dahulu dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu. Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk turut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio dan menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir. “Semoga ketika mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka.” Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya bagaikan terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu. Pada sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan gembira mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu. Dia pun sangat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang terlampau mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tak segan-segan melakukan hal-hal yang sesungguhnya tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng dari pada kebenaran itu. Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu. *************** Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan hanya mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya mengenai keadaan di daerah itu. “Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai. Menurut cerita ayah, dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka adalah penghuni dusun pertama yang telah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun.” Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi walau pun sederhana. Dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang serta kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu. “Selamat datang, Cia-kongcu!” Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak lelaki sebaya Han Tiong telah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri. “Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!” Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan lagi yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras! Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa bagaikan mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Di dalam mimpi dia sering bertemu dengan bangunan ini! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Cepat digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran! “Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?” Han Tiong bertanya sambil menyentuh pundaknya. Thian Sin menoleh sambil tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan. “Ahhh, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini yang begini kokoh kuat dan… demikian menyeramkan!” “Thian Sin, dahulu bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir…” Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang kenapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu! Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan semua ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu. Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong baru dapat melihat bahwa bakat pada diri Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum sekali, dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguh pun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi dia pun melihat bahwa Han Tiong mempunyai ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmunya, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain. Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun, dan anak ini belum merasa puas apa bila belum mampu memainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini agar segera bisa mempelajari jurus lain. Dia seakan-akan merupakan seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari ilmu silat sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung hingga teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin. Bi Cu sendiri pun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tidak lama kemudian juga merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri. Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat sehingga dengan mudah bisa menundukkan hati orang. Apa lagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan senang bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan mempunyai daya tarik yang luar biasa. Apa lagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenal dan sering membicarakan dirinya dengan hati penuh kagum. Apa lagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Karena Thian Sin belum dewasa benar, maka para gadis itu pun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya berbicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka terhadap Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini. Akan tetapi Thian Sin masih hijau. Maka dia pun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu-malu dan manja hingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Bila terhadap Thian Sin para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda, sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itu pun lenyap apa bila di sana ada Han Tiong. Han Tiong mempunyai wibawa yang sangat terasa oleh siapa pun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar. Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin mau pun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, apa bila pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, maka pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa, memberi penerangan-penerangan hingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya, Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini sangat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapa pun juga! Berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio, agaknya pemuda tanggung ini telah berhasil melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Memang demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi apakah betul dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini? Apakah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau pun dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita? Dari mana timbul nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir mau pun batin, kemudian timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya. Setelah muncul kemarahan, baik dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itu pun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marah pun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukan oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang hingga mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri dari pada kenyataan, yaitu amarah itu. Bagaimana hasilnya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tidak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok supaya nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itu pun tentu akan timbul kembali! Begitu pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya. Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seakan-akan sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup! Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Pada waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Kenapa, kita lari? Kenapa kita tak menanggulanginya secara langsung, mengamati, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu? Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspadaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tiada guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya akan merupakan pengetahuan kosong saja, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, apa bila ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran. Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika. Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar! Dalam pergaulan mereka dengan para muda-mudi di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita. Akan tetapi, dia pun maklum bahwa dia harus mampu mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justru pelajaran ini yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah. Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang sangat cepat, apa lagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka. Memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang sangat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh. Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersemedhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersemedhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, akan tetapi untuk melatih pernapasan dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja. “Pada saat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mukjijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan semedhi di saat-saat seperti itu,” demikian antara lain Sin Liong berkata. Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka. Di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu, tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (semedhi). Pada saat mereka dididik oleh Hong San Hwesio, secara terpaksa mereka hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio itu, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam hal makanan ini pun terdapat perbedaan di antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, sungguh pun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak, sungguh pun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja. Memang sudah nampak perbedaan besar di antara kedua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terlalu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya. Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya, perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka. Dalam usia seperti ini pada umumnya birahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati apa bila melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinar mata yang lain, dengan denyut jantung berbeda dari pada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya. Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah suatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah birahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk pula manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin. Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam maya pada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembang biakan pada setiap jenis makhluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini. Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dahulu terlanda gairah birahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnya yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Sekarang dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin, atau bila mana dia yang suka bermain-main adu jangkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jangkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau pada waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak yang lantas lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu di hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali di dalam renungan! Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang birahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan birahi ini. “Birahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti di dalam tubuh,” demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan. “Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti di dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Birahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin.” Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan betul karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan birahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, ialah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mukjijat hingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembang biakan semua makhluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemukjijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin. Betapa kekuasaan yang tidak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembang biakan manusia dan juga untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapatlah gairah-gairah birahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini akan mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembang biakan manusia. Betapa mukjijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbullah bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andai kata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya. Dorongan itu bahkan sudah ada di dalam diri setiap orang, gairah birahi adalah pembawaan lahir, alamiah. Hubungan kelamin merupakan hal yang suci. Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan serta kesempurnaan ini, dengan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci ini berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara! Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi. Dengan demikian, proses makan mau pun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, adalah hal yang wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut. Seperti juga tuntutan birahi yang menjadi sarana perkembang biakan, bukankah hal ini merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak di dalam makanan, juga rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupakan mukjijat dan anugerah yang berlimpah? Namun sayang, seperti juga dalam gairah birahi, dalam gairah makan pun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, tetapi lebih mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex. Seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka! Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, ada rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali TIDAK berbahaya. Yang berbahaya adalah bila sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan. Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu birahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka dia pun cepat-cepat bersemedhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah birahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan pada suatu malam, di dalam mimpi, gairah birahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah pada saat melihat betapa celananya menjadi basah! Maka teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio dulu memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa, ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu, dan dia menasehati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apa lagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri! Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, dan ditambah khayalan-khayalan mengenai hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang kemudian melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batinnya dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan mengenai hubungan sex, mau pun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani. Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu telah mengatakan bahwa perbuatan itu tidak baik, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, maka dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu. Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan. “Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?” tegurnya dengan halus dan penuh perhatian. cerita silat online karya kho ping hoo Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya. “Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi… aku bermimpi dan… dan aku sudah… celanaku basah…” Dia menerangkan dengan gagap, meski pun biasanya dia tak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkat yang amat disuka dan dihormatinya itu. Berkerut kedua alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Bagaimana pun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasehat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah bermimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga. “Aihh, Sin-te… bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?” Thian Sin mengangguk. “Kemarin aku berbicara dengan beberapa orang kawan di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan isteri kakaknya itu melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah lantas datang khayalan dan kenangan yang kemudian terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Tadi malam aku sudah melakukan semedhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah…” Han Tiong sendiri tak pernah mengalami hal itu, maka dia pun menjadi bingung. “Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasehat ayah.” “Ahh, aku… aku takut, Tiong-ko…” “Kenapa harus takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, hanya dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah.” “Tapi aku… aku malu…” “Mengapa harus malu? Hal itu sudah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lantas diam-diam saja dalam kegelisahan, malah hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasehati bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini.” Sesudah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam. Thian Sin hanya duduk sambil menundukkan muka, tak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali. Mendengar penuturan Han Tiong itu, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik sekali kalau engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, kenapa harus kakakmu yang menceritakannya padaku, bukan engkau sendiri?” Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya, kemudian dengan lirih dia menjawab, “Aku… aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat).” Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan bersikap sungguh-sungguh. “Justru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?” Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu. “Tapi… Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh supaya kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti di dalam tubuh.” Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kau alami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu. Itu bukan merupakan hal yang terlampau hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau hal itu tidak sampai terjadi dan jika engkau lebih mencurahkan perhatian pada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran sastera, mengisi waktumu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu birahi, maka hal ini pun tak akan terjadi, atau tidak sering mengganggumu.” Bukan main leganya rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung. “Betapa pun juga, apa bila hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah.” Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onani pun sering kali dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan hal itu. Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri. Tidak keliru pernyataan pendekar Cia Sin Liong bahwa rasa bersalah yang menimbulkan perasaan takut dan malu itu akan menciptakan perasaan rendah diri dan hal ini jauh lebih berbahaya dari pada perbuatan onani itu sendiri! Oleh karena itu, bagi para pemuda yang merasa mempunyai ‘penyakit’ ini, waspadalah, buanglah jauh-jauh rasa rendah diri yang timbul dari penyesalan, rasa takut, dan malu dan rasa berdosa itu. Akan tetapi, selain itu harus waspada juga bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang timbul dari kebiasaan yang telah mencandu dan bahwa perbuatan akibat kebiasaan itu memang amat tak baik bagi kesehatan hati dan batin. Mengekang atau menekannya tiada guna karena akan selalu timbul, makin dikekang semakin kuat daya rangsangnya sehingga tidak tertahankan, kemudian berbuat lagi, sehabis berbuat menyesal. Demikian selanjutnya. Ini bukanlah berarti bahwa hal itu harus dibiarkan saja berlangsung. Sama sekali tidak, karena jika sampai berlarut-larut, akibatnya amat tidak baik bagi badan dan batin. Akan tetapi kita harus menghadapi hal itu setiap kali dia timbul, setiap kali rangsangan untuk melakukan onani itu timbul, malah sebelum timbul, kita membuka mata dengan waspada dan penuh kesadaran, tanpa ada keinginan untuk menekannya, hanya mengamati saja dengan penuh perhatian, mempelajarinya, menyelidikinya. Itu saja! Dan hal ini hanya dapat dilaksanakan, bukan hanya merupakan teori lapuk, tapi dihayati dan dilaksanakan setiap kali dia timbul. Buka mata, amati dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan. Akan terlihat bahwa pendorongnya bersumber kepada si aku yaitu pikiran yang mengenangkan atau mengingat-ingat, membayang-bayangkan kembali kenikmatan-kenikmatan yang pernah dirasakannya. Si aku yang ingin mengejar kenikmatan inilah yang menjadi pembujuk, pendorong hingga ‘pertahanan’ yang kita bangun itu ambruk dan kita menyerah kepada kehendak si aku, yaitu nafsu ingin memuaskan diri, ingin menikmati. Maka, bila mana kita membuka mata memandang penuh perhatian, tanpa adanya si aku, maka si aku yang mengejar-ngejar kesenangan itu tidak ada, yang ada hanya kewaspadaan yang menimbulkan kesadaran dan pengertian, dan lahirlah tindakan-tindakan spontan yang akan melenyapkan semua kebiasaan itu. Mimpi tentang hubungan sex, mau pun onani, keduanya adalah akibat dari pada si aku atau pikiran yang mengenang dan mengingat-ingat kembali kenikmatan. Kalau ingatan itu bertumpuk di bawah sadar, lalu timbul dalam mimpi. Sedangkan onani dilakukan karena tidak dapat menahan dorongan gairah yang timbul dan mendesak. Hubungan sex adalah sesuatu yang wajar, yang suci. Akan tetapi kalau terdorong oleh pikiran yang mengejar kenikmatan, lalu terjadilah hal-hal yang tidak wajar. Pengamatan diri tanpa pamrih sesuatu akan melahirkan kebijaksanaan mendisiplin diri, bukan disiplin paksaaan melainkan timbul dengan sendirinya sehingga hubungan seks menjadi sesuatu yang indah, dilakukan tepat pada waktunya, tempatnya, keadaannya dan sebagainya. Mendengar ucapan pendekar Cia Sin Liong itu, maka lenyaplah kekhawatiran Thian Sin. Akan tetapi berbareng dengan terjadinya peristiwa itu, mulailah dia menjadi dewasa dan perhatiannya terhadap gadis-gadis sebayanya pun makin besar pula. Akan tetapi pemuda tanggung ini selalu dapat menahan nafsunya, sesuai dengan ajaran kebatinan yang sudah diterimanya dari Hong San Hwesio. Dengan demikian, rasa tertarik itu hanya dilampiaskannya saja melalui kerling memikat dan senyum manis setiap kali dia bertemu dengan gadis-gadis dusun. Tentu saja sikap Thian Sin ini makin menarik para gadis itu dan segera pemuda tampan yang mereka sebut Ceng-kongcu ini menjadi bahan percakapan mereka sehari-hari. Sikap Thian Sin ini terbalik sama sekali dibandingkan dengan sikap Han Tiong yang pendiam, terbuka dan jujur. Pemuda ini ‘alim’ bukan karena paksaan, bukan karena pengekangan batin, akan tetapi memang pikirannya bersih dari pada bayangan-bayangan kesenangan birahi seperti yang digambarkan dalam batin Thian Sin. Pada suatu hari, lewat tengah hari yang panas, dua orang pemuda itu berjalan di dalam hutan. Thian Sin memanggul seekor kijang muda yang berhasil mereka robohkan dalam perburuan itu. Thian Sin-lah yang terus membujuk-bujuk kakak angkatnya untuk berburu hari itu. “Aku ingin sekali makan daging kijang, Tiong-ko. Dan kau pun tahu, ayah ibu suka sekali makan daging kijang pula. Marilah temani aku berburu kijang.” Sesudah terus menerus dibujuk-bujuk, akhirnya Han Tiong yang sangat menyayangi adik angkatnya itu pun setuju, dan hampir seharian penuh mereka berkeliaran di dalam hutan memburu kijang. Memang ada binatang-binatang hutan yang lain, akan tetapi karena dari rumah tadi mereka sudah mempunyai niat untuk berburu kijang saja, maka mereka tidak mau mengganggu binatang-binatang lain. Akhirnya, setelah lewat tengah hari, mereka pun melihat seekor kijang muda yang gemuk. Dengan ilmu berlari cepat mereka mengejarnya hingga akhirnya dapat merobohkan kijang itu dengan sambitan-sambitan batu. Mereka merasa lelah dan haus karena cuaca hari itu panas bukan main. Ketika mereka melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih, mereka lantas berhenti, melempar bangkai kijang itu ke bawah sebatang pohon dan mereka lalu mencuci muka, tangan dan kaki sehingga terasa segar sekali. Rasa sejuk ini kemudian membuat mereka ingin mengaso. “Tempat ini sunyi, sejuk dan indah. Mari kita mengaso sambil berlatih siulian, Sin-te,” kata Han Tiong. Adiknya setuju dan mereka berdua segera duduk bersila di antara semak-semak, di atas rerumputan yang hijau tebal. Bangkai kijang itu mereka simpan pula di atas cabang pohon agar jangan diganggu binatang buas. Di balik semak-semak di pinggir danau itu mereka duduk bersila dan bersemedhi, berdampingan dan Thian Sin duduk di dekat danau, kakak angkatnya di sebelah kirinya. Karena badan lelah, kemudian terasa segar setelah terkena air dingin dan tempat itu pun memang sejuk dan dikipasi angin semilir, maka kedua orang muda itu dapat bersemedhi dengan hening dan tenteramnya sehingga mereka sudah lupa akan waktu. Tanpa mereka sadari, mereka telah duduk berjam-jam sampai matahari mulai condong jauh ke barat dan sinarnya tidak panas lagi. Juga mereka tidak tahu, tidak melihat dan tidak mendengar suara merdu beberapa orang gadis dusun yang berjalan dan bercanda menuju ke danau itu, sambil membawa pakaian kotor. Para gadis itu mulai mencuci pakaian di tepi danau, di atas batu yang menonjol di danau itu sambil bercakap-cakap. Karena kedua orang itu bersemedhi di balik semak-semak, dan karena biasanya tempat itu tidak pernah ada orangnya, maka empat orang gadis itu sama sekali tidak pernah tahu bahwa tidak jauh dari mereka terdapat dua orang muda tengah bersemedhi. Setelah selesai mencuci pakaian, empat orang gadis itu kemudian menanggalkan pakaian mereka untuk dicuci pula. Mereka lantas mandi dengan telanjang bulat karena biasanya mereka juga melakukan hal itu di tempat sunyi ini tanpa ada yang pernah mengganggu mereka. Mereka mandi sambil bercanda, bersiram-siraman, tertawa-tawa dan bernyanyi-nyanyi. Semua suara itu sama sekali tak mengganggu Han Tiong yang masih tekun bersemedhi. Tak nampak segaris kerut pun di wajahnya karena dia tenggelam dalam keheningan yang syahdu. Akan tetapi, suara ketawa merdu gadis-gadis itu agaknya sanggup menembus keheningan yang tadinya memang dapat membuat Thian Sin bersemedhi dengan hening. Sekarang pemuda itu mulai menggerakkan bola matanya hingga bola matanya pun mulai bergerak-gerak. Kini kesadarannya mendorong perhatian melalui telinganya, ditujukan ke arah suara itu dan jantungnya berdebar. Suara gadis-gadis tertawa-tawa dan bersenda-gurau, diselingi suara percik air. Mendengar suara yang datang dari arah kanannya itu, perlahan-lahan dia membuka mata kanannya, sedangkan mata kirinya masih tetap terpejam. Dan mata kanan itu terbelalak ketika dari balik semak-semak dia melihat betapa di sebelah kanan, tak jauh dari tempat dia duduk, ada empat orang gadis dusun yang sedang bermain-main di dalam air, sedang mandi dengan bertelanjang bulat! Wajah Thian Sin menjadi merah. Dia harus mengatur pernapasannya agar tidak terengah-engah. Dia lalu membuka mata kiri, melirik ke arah kakak angkatnya. Han Tiong masih bersemedhi dengan hening dan tekun, sedikit pun tak bergerak dengan pernapasan yang panjang dan halus. Cepat Thian Sin menutupkan lagi mata kirinya dan sekarang hanya mata kanannya yang mengerling ke kanan, ke arah gadis-gadis yang sedang mandi itu. Jantungnya berdebar semakin keras, apa lagi ketika dia melihat bahwa di antara mereka terdapat Cu Ing! Gadis ini adalah kembang dusun di sebelah selatan Lembah Naga, seorang dara remaja yang manis sekali dan sudah beberapa kali Thian Sin bertemu dengan dara manis yang menarik hatinya ini, lebih dari pada dara-dara lainnya. Kalau biasanya di waktu bertemu dengan Cu Ing, dara itu sudah tampak manis, kini dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali itu Cu Ing nampak lebih jelita lagi, dengan kulit tubuhnya yang putih kekuningan, dengan lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan. Sesudah mata kanan Thian Sin meliar ke arah tubuh keempat orang dara itu, akhirnya pandang matanya berhenti dan terpesona pada Cu Ing seorang dan dia hampir tak dapat menahan mulutnya untuk berseru kecewa ketika empat orang dara itu menghentikan dan mengakhiri mandi mereka dan setelah mengeringkan tubuh mereka segera mengenakan pakaian bersih. Karena merasa kurang leluasa mengikuti gerakan-gerakan mereka, maka kini Thian Sin mendoyongkan tubuhnya dan menguak semak-semak agar dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara empat gadis itu melihat gerakan ini. Mata dara itu terbelalak dan dia berseru. “Ada orang mengintai kita!” Tiga orang kawannya cepat menengok ke arah tempat yang ditunjuk dara itu, dan mereka semua melihat Thian Sin! Seperti empat ekor kijang melihat harimau, empat orang dara itu itu cepat-cepat menyambar pakaian dan cucian mereka, lalu melarikan diri pontang-panting dari tempat itu. Akan tetapi karena mereka sudah mengenal siapa pria yang tadi mengintai, maka sambil berlari mereka kadang kala menengok dan mereka tertawa-tawa serta menjerit-jerit penuh rasa geli, ngeri dan juga senang! Jeritan-jeritan ini menggugah Han Tiong dari semedhinya. Dia lantas membuka mata dan melihat betapa adik angkatnya masih bersila dengan antengnya, akan tetapi dari gerakan bola mata adiknya dia dapat menduga bahwa tentu adiknya itu terganggu pula oleh suara jeritan-jeritan tadi. “Sin-te, suara apakah yang menjerit tadi?” Dan Han Tiong lalu memandang ke arah suara yang masih terdengar lapa-lapat. “He? Suara apa? Aku tidak tahu… ah, benar, itu masih terdengar suaranya, seperti suara wanita tertawa…,” kata Thian Sin, pandai sekali dia bergaya seperti orang yang tidak tahu apa-apa. “Ah, senja telah mulai tiba. Tak terasa kita sudah lama juga beristirahat. Mari kita pulang!” kata Han Tiong, tidak mempedulikan lagi suara ketawa itu. Adik angkatnya mengangguk sunyi, mengambil bangkai kijang dan pulanglah dua orang muda itu. Akan tetapi di luar tahu Han Tiong, adik angkatnya berjalan memanggul bangkai kijang sambil melamun, mengenangkan kembali penglihatan yang membuat jantungnya masih tetap berdebar dan tiap kali dia membayangkan Cu Ing, dia lalu tersenyum sendiri. Sejak terjadinya peristiwa itu, mulailah Thian Sin mendekati Cu Ing yang semakin menarik hatinya itu. Dara dusun itu kelihatan manja dan kelihatan seperti jinak-jinak merpati, kalau didekati menjauh malu-malu akan tetapi kalau dari jauh mengerling dan senyum-senyum memikat. Melihat keadaan dua orang muda remaja ini, teman-teman mereka, yaitu para pemuda dan gadis dusun sering kali menggoda mereka. Cu Ing digoda teman-temannya dan hal ini semakin menambah rasa cinta yang tumbuh di hatinya terhadap pemuda yang menjadi idaman semua gadis di sekitar Lembah Naga itu. Di dalam hatinya timbul semacam kebanggaan besar karena bukankah Thian Sin terkenal sebagai pemuda perkasa, murid majikan Istana Lembah Naga, bahkan masih keponakan pula, dan juga putera angkat, dan bukankan pemuda ini terkenal amat tampan, gagah dan memikat hati setiap orang wanita? Sebaliknya, dara yang malu-malu dan manja seperti merpati ini, semakin lama makin mempesona hati Thian Sin sehingga timbullah rasa cinta asmara dalam hatinya. Cinta pertama seorang pemuda yang pada waktu itu baru berusia enam belas tahun! Bhe Cu Ing adalah seorang gadis yang manis, kembang dusunnya dan keadaannya lebih mampu dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis lainnya sebab dia adalah anak tunggal dari Bhe Soan yang dianggap sebagai pemuka atau kepala dari dusun kecil itu. Bhe Soan ini lebih berpengalaman dari pada para penghuni dusun, selain mengenal huruf juga sudah banyak merantau ke luar daerah, pandai bertani dan pandai pula mengatur kerukunan dusun kecil itu. Keadaannya pun lebih mampu dari pada para petani lain. Dara ini sendiri maklum bahwa dirinya sudah tidak bebas, sejak kecil sudah ditunangkan oleh ayahnya dengan pria lain. Akan tetapi karena dia belum pernah melihat tunangannya itu, maka hal itu seolah-olah sudah dilupakannya, apa lagi ketika dia berjumpa dengan Thian Sin dan melihat mata pemuda itu yang penuh kagum dan kemesraan jika ditujukan kepadanya! Dara berusia enam belas tahun ini dengan sepenuhnya jatuh hati kepada Thian Sin. Akan tetapi sebagai seorang gadis dusun, dia malu-malu dan setiap kali bertemu dengan Thian Sin, dia tidak berani memandang langsung. Hal ini terasa lebih lagi setelah semua teman menggodanya sebagai kekasih Thian Sin! Ada rasa malu, rasa bangga, rasa girang yang dicobanya untuk ditutupi dengan muka cemberut marah tetapi bibir tersungging senyuman apa bila teman-temannya menggodanya. Karena rasa malu pulalah maka kedua fihak hampir tidak berani saling pandang, apa lagi saling bertanya kalau ada orang-orang lain. Thian Sin sendiri karena masih ‘hijau’ maka perasaan malu membuat dia yang biasanya pandai bicara itu menjadi pendiam apa bila bertemu gadis itu di depan banyak orang. Sudah beberapa kali Thian Sin berusaha untuk dapat bicara berdua saja dengan Cu Ing, akan tetapi gadis itu tidak pernah bersendirian, selalu ada kawannya sehingga sukarlah baginya untuk dapat bicara berdua. Karena sudah tak dapat menahan dorongan hatinya, maka Thian Sin menjadi nekat dan pada suatu hari, ketika Cu Ing dan beberapa orang kawannya pagi-pagi pergi ke danau kecil untuk mencuci pakaian, diam-diam Thian Sin membayangi mereka. Dari tempat sembunyinya dia mengintai pada saat mereka mencuci pakaian dan mandi, dengan hati-hati sekali sehingga sekali ini tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat melihatnya. “Hi-hik-hik, jangan-jangan ada orang laki-laki yang mengintai kita lagi!” terdengar seorang di antara gadis-gadis itu berkata sambil terkekeh genit. Mendengar kata-kata ini, semua gadis cepat-cepat menutupi tubuh sedapatnya dengan kedua tangan dan mata mereka yang bening itu terbelalak memandang ke kanan dan kiri. Mereka tersenyum geli ketika melihat bahwa tempat itu sunyi saja. “He-he-he, Cu Ing sih lebih senang dilihat kalau yang melihat itu si dia!” “Ih, jorok kau! Bukan aku saja yang terilhat, akan tetapi kalian bertiga juga!” bantah Cu Ing dan wajahnya berubah merah sekali. “Mana bisa? Aku berani bertaruh bahwa pandangan matanya hanya ditujukan kepada Cu Ing seorang! Mana yang lain-lain kelihatan?” goda seorang dara yang mempunyai sebuah tahi lalat besar di punggungnya. “Cu Ing, kapan sih engkau menikah dengan Ceng-kongcu?” goda pula seorang lain. Mendengar pertanyaan yang sifatnya kelakar akan tetapi setengah serius itu, alis yang kecil hitam melengkung itu berkerut. “Aiihh, pertanyaan macam apa yang kau katakan ini? Mana dia mau dengan gadis dusun macam aku? Pula, mana ada fihak perempuan bicara tentang perjodohan?” “Hi-hik, siapa tidak tahu bahwa dia sudah tergila-gila kepadamu?” “Dan engkau tergila-gila kepadanya?” “Siapa sih yang tidak tergila-gila kepada kongcu itu?” Mendengar kelakar teman-temannya, Cu Ing berkata, “Sudahlah, mari kita naik, aku akan pulang.” Sambil tertawa-tawa gadis-gadis itu segera mengenakan pakaian bersih. Wajah mereka nampak segar kemerahan setelah mandi air yang dingin itu, dan terutama sekali, di dalam pandangan Thian Sin, wajah Cu Ing nampak seperti sekuntum bunga mawar hutan yang amat indah permai. Ketika empat orang gadis itu sedang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa di dalam hutan menuju ke dusun mereka, mendadak Thian Sin muncul dari balik sebatang pohon besar dan dengan suara gemetar karena tegang dia memandang kepada empat orang itu dan berkata, “Nona Cu Ing, aku ingin bicara denganmu…” Empat orang gadis itu terbelalak dan tercengang, kaget melihat munculnya pemuda yang tadi menjadi bahan percakapan mereka itu secara tiba-tiba dari belakang pohon. Dan kini sesudah mendengar ucapannya, Cu Ing menundukkan mukanya yang berubah menjadi merah sekali, sedangkan tiga orang temannya tersenyum-senyum. Seorang di antara mereka lalu mengambil keranjang pakaian dari tangan Cu Ing sambil berkata, “Aku pergi dulu, hi-hik…” “Hi-hi-hik…” “Hi-hik…” Ketiga orang gadis itu terkekeh-kekeh dan berlari-lari kecil meninggalkan Cu Ing sambil membawakan cuciannya. Cu Ing tadinya menunduk malu, akan tetapi sesudah melihat teman-temannya lari, dia pun lalu ikut melarikan diri. “Nona Cu Ing…” Akan tetapi panggilan itu agaknya membuat Cu Ing merasa semakin malu, karena itu dia mempercepat larinya. Akan tetapi, saking gugupnya, kakinya tersandung dan tentulah dia sudah jatuh tertelungkup kalau saja Thian Sin tidak cepat-cepat menyambar pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanan. “Cu Ing, tunggulah sebentar, aku ingin bicara denganmu…,” kata Thian Sin dan agaknya kelembutan lengan dalam pegangan tangan kanannya itu membuat dia lupa untuk segera melepaskannya! Cu Ing melihat dengan mata terbelalak kepada tiga orang temannya yang sudah lari jauh dan suara mereka yang terkekeh genit masih terdengar sayup-sayup. Kemudian, merasa betapa tangan kirinya digenggam orang, dia mencoba untuk menariknya, akan tetapi tidak terlepas. Dia mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu agak lama, kemudian Cu Ing cepat-cepat membuang muka ke samping sambil menunduk, mukanya merah sekali dan tubuhnya menggigil, mulutnya menahan senyum dan dia merasa malu sekali! “Cu Ing… mengapa kau lari dariku? Aku… aku ingin bicara denganmu, aku… aku hendak mengatakan bahwa aku… aku cinta padamu…,” kata Thian Sin sambil masih memegangi pergelangan tangan kiri dara itu. Sukar bagi Thian Sin untuk bicara, akan tetapi lebih sukar lagi bagi Cu Ing yang merasa betapa jantungnya berdegup keras sekali, membuat seluruh tubuhnya gemetar dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi akhirnya dia memaksa diri. “Aihhh… kongcu… mana mungkin itu…?” “Cu Ing, aku bersumpah… aku cinta padamu. Kau raba jantungku ini…” Dia membawa tangan itu menempel ke dadanya, akan tetapi karena malu Cu Ing cepat menggenggam tangannya. “Kongcu… lepaskan aku… ahh, aku malu… aku takut…,” bisiknya. “Cu Ing, kenapa mesti malu-malu kalau memang kita saling mencinta? Aku cinta padamu dan aku tahu bahwa engkau pun cinta padaku…” “Bagaimana kongcu bisa tahu…?” Dara itu mendesah lirih sambil menundukkan mukanya yang sebentar pucat sebentar merah itu, dan sekarang, tanpa disadarinya sendiri, jari-jari tangannya membalas genggaman tangan Thian Sin. “Tentu saja aku tahu… dari pandang matamu, dari senyummu…” “Aku… aku takut, kongcu…” “Takut apa? Takut kepada siapa? Ada aku di sini, siapa akan berani mengganggumu, Cu Ing? Aku bersumpah, kalau ada yang berani mengganggu ujung rambutmu saja, aku akan mematahkan tangan orang yang mengganggumu itu!” “Aihhh… kongcu…” “Cu Ing, janganlah kau merendahkan diri sebagai gadis dusun. Biar ada selaksa bidadari turun dari sorga, aku akan tetap memilih engkau seorang. Jangan engkau menyangsikan cintaku terhadapmu, Cu Ing. Kau tadi bilang, bahwa fihak perempuan tidak bicara tentang perjodohan, nah, sekarang akulah yang bicara…” Sepasang mata itu terbelalak memandang ke arah Thian Sin. “Kongcu…! Jadi kau… kau tadi… kembali engkau mengintai…” Wajah yang manis itu menjadi semakin merah. Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Aku ingin sekali melihatmu, ingin sekali bertemu dan bicara denganmu…” “Ihhh…, kau nakal, kongcu!” Tadinya Cu Ing hendak marah, akan tetapi aneh, sesudah dia melihat wajah tampan itu tersenyum, semua kemarahannya langsung lenyap begitu saja dan jantungnya berdebar tegang. Thian Sin sendiri merasakan jantungnya berdebar-debar dan kedua tangannya gemetar ketika dia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berdiri berhadapan, saling berpegang tangan dan saling pandang, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan. Hanya dua pasang mata mereka saja yang saling berbicara dengan getaran-getaran sinar yang mesra. Bahkan bicara tanpa kata melalui pandang mata ini saja membuat Cu Ing tidak dapat bertahan terlampau lama karena dia sudah merasa malu sekali. Maka dia pun lalu menundukkan mukanya, suaranya gemetar ketika dia bicara. “Kongcu… aku… aku mau pulang dulu… teman-teman sudah pulang, nanti ayah marah kepadaku.” “Mari, kuantar kau pulang, Cu Ing…,” kata pula Thian Sin dengan suara yang sama pula gemetarnya. Mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan dan merasa betapa indahnya pagi hari itu. Cahaya matahari pagi seperti menembus dada, menyinari seluruh ruang hati mereka yang gembira. Kaki terasa ringan melangkah, tapi hati terasa berat berpisah. Sesudah tiba di luar dusun tempat tinggal Cu Ing, Thian Sin menarik kedua tangan gadis itu dalam genggamannya, didekatkan sampai menyentuh dadanya. Karena gerakan ini Cu Ing juga tertarik mendekat dan kembali dua pasang mata saling pandang, sekali ini agak berdekatan. “Cu Ing, aku cinta padamu… katakanlah, apakah engkau juga cinta padaku?” Cu Ing tak kuasa mengeluarkan suara, maka sebagai jawabannya dia hanya mengangguk lemah, kemudian cepat menarik kedua tangannya dari genggaman pemuda itu dan berlari memasuki dusun. Sesudah dia terlepas dari pegangan pemuda itu, agaknya mulai timbul keberaniannya maka dia menoleh sambil tersenyum. “Kongcu… besok… pagi-pagi aku ke danau…!” Lalu berlarilah dia dengan senyum masih menghias bibirnya yang merah. Thian Sin juga tersenyum, mengikuti dara itu dengan pandangan matanya, melihat betapa manisnya gadis itu kelihatan dari belakang ketika berlari kecil dengan sikap malu-malu.....


PENDEKAR SADIS JILID 7 :
MULAI hari itu, resmilah di antara muda-mudi pedusunan di sekitar Lembah Naga bahwa Cu Ing adalah pacar Thian Sin! Dan semenjak hari itu pula, Thian Sin sering mengadakan pertemuan berdua saja dengan Cu Ing, yaitu kalau Cu Ing memperoleh kesempatan pergi ke danau untuk mencuci pakaian atau mandi. Akan tetapi, karena Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang masih hijau, maka di dalam pertemuan itu mereka berdua hanya bercakap-cakap dengan lirih dan mesra, dan kemesraan yang terjadi di antara mereka hanya terbatas pada saling sentuh dan saling genggam tangan saja! Akan tetapi, birahi merupakan pendorong yang kuat dan juga merupakan guru alamiah yang sangat pandai. Apa lagi Thian Sin juga kadang-kadang mendengar percakapan dari teman-temannya apa bila mereka bercanda dan mendengar tentang kemesraan antara suami isteri. Oleh karena itu, sentuhan-sentuhan dan saling genggam tangan itu semakin lama dilanjutkan dengan pencurahan kemesraan yang semakin berani dan akhirnya, pada suatu pagi ketika mereka mengadakan pertemuan berdua saja di dalam hutan, Thian Sin merangkul leher Cu Ing dan mencium pipinya. Mula-mula Cu Ing terkejut, akan tetapi darah remajanya bergolak sehingga beberapa kali pertemuan berikutnya, mereka sudah berani saling peluk dan saling berciuman dengan mesra dan dengan sepenuh kasih sayang. Mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang mengintai mereka dari jauh, dengan sinar mata penuh iri hati! Itulah sinar mata dari seorang gadis lainnya, seorang teman baik Cu Ing, yang diam-diam sudah jatuh cinta pula pada Thian Sin, hal yang sama sekali tidak mengherankan karena hampir semua gadis di pedusunan itu tergila-gila belaka kepada pemuda yang tampan, gagah dan ramah serta manis budi ini. Thian Sin dan Cu Ing tidak tahu betapa gadis itu diam-diam pergi melapor kepada Paman Bhe, yaitu ayah kandung Cu Ing. Keluarga ini memang pernah mendengar kabar angin mengenai hubungan puteri mereka dengan Ceng-kongcu, akan tetapi karena mereka itu merasa hormat dan segan kepada keluarga penghuni Istana Lembah Naga, maka mereka pura-pura tidak mendengar berita itu dan mereka percaya bahwa hubungan itu hanyalah hubungan persahabatan saja, mengingat bahwa Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda yang sopan dan terhormat. Akan tetapi, pada waktu mendengar laporan gadis itu betapa puteri mereka mengadakan pertemuan berdua saja dengan Thian Sin, bahkan gadis itu melihat betapa mereka saling berpelukan dan berciuman, keluarga Bhe menjadi terkejut dan marah sekali. Tak mereka sangka akan terjadi hal seperti itu, karena biasanya, setiap kali pergi dari rumah untuk mencuci ke danau, tentu Cu Ing selalu disertai oleh beberapa orang teman, bahkan gadis yang melapor itu sendiri pun menemaninya. Setelah berganti pakaian yang pantas, Paman Bhe itu bergegas pergi mengunjungi Istana Lembah Naga. Dengan wajah mengandung kecemasan, namun sinar mata dipenuhi rasa penasaran, dia lalu mohon bertemu dengan Cia-taihiap, demikian sebutan Cia Sin Liong yang menjadi majikan istana itu. Tidak aneh bagi keluarga Cia untuk menerima kunjungan seorang petani, sebab memang dia selalu membuka hati dan tangan untuk menerima mereka dan siap membantu semua kesulitan para petani itu. Akan tetapi ketika melihat wajah yang serius dari tamunya itu, dia merasa heran dan juga tertarik. “Bhe-toako, ada keperluan apakah maka pagi-pagi engkau datang berkunjung?” tanyanya dengan suara ramah. Petani itu membungkuk dan memberi hormat dengan sikap sungkan yang dibalas dengan penuh keheranan oleh tuan rumah. Pada waktu itu Bi Cu keluar dari dalam, dan melihat bahwa suaminya menerima seorang tamu yang dikenalnya sebagai seorang petani dari sebuah dusun tak jauh dari Lembah Naga, nyonya muda ini pun ikut pula menyambut. Dia tidak tahu betapa kehadiran nyonya ini membuat petani Bhe merasa makin sungkan dan takut-takut untuk mengeluarkan isi hatinya. “Bhe-toako, agaknya ada sesuatu yang amat penting dan ingin kau sampaikan kepadaku. Hayo, katakanlah, kami siap untuk mendengarkan.” Suara pendekar itu terdengar lembut dan ramah sekali sehingga berhasil mengusir rasa sungkan dan takut di hati tamunya. Petani Bhe menelan ludah beberapa kali, barulah kemudian dia berkata. “Maafkan saya, Cia-taihiap, saya… saya datang untuk bicara tentang… tentang… Ceng-kongcu…” Sin Liong dan isterinya saling lirik, hati mereka merasa heran akan tetapi juga khawatir. “Tentang Thian Sin? Apakah yang terjadi?” tanya Sin Liong. Melihat sikap tamunya yang takut-takut itu, Bi Cu ikut bicara, “Ceritakanlah dengan tenang dan jangan takut.” Suaranya manis dan lembut sehingga sekarang rasa takut petani itu menjadi hilang. “Harap taihiap berdua maafkan. Saya terpaksa melaporkan hal ini demi kebaikan kedua fihak. Begini, taihiap. Seperti taihiap mungkin telah mengetahui, saya mempunyai seorang anak perempuan bernama Cu Ing, yang sudah menjelang dewasa. Semenjak kecil, anak saya itu sudah kami tunangkan dengan putera keluarga Sung di dusun selatan. Dengan demikian berarti bahwa anak perempuan kami ini telah menjadi calon isteri orang secara sah.” Sampai di sini, petani itu berhenti bicara, seolah-olah dia masih merasa berat untuk melanjutkannya. “Bhe-toako, apa hubungannya penjelasanmu itu dengan Thian Sin?” Sin Liong mendesak dan ingin tahu sekali. “Taihiap, sudah beberapa hari lamanya ini… terjalin hubungan yang akrab antara Cu Ing dan Ceng-kongcu…” Kembali dia berhenti. Sin Liong tersenyum, senyum untuk menutupi hatinya yang mulai merasa tidak enak, lalu katanya ramah, “Aihhh, Bhe-toako, apa salahnya dengan itu? Antara kami dan toako pun terjalin hubungan akrab, bukan? Maka apa salahnya kalau anak-anak kita juga menjadi sahabat yang baik?” “Tentu saja, taihiap, kalau hanya hubungan akrab, tentu keluarga kami merasa terhormat dan berterima kasih sekali, akan tetapi…” “Akan tetapi bagaimana?” Bi Cu mendesak. “Mereka itu bukan hanya berhubungan seperti sahabat biasa, tapi… menurut keterangan beberapa orang saksi, mereka mengadakan pertemuan berduaan, dan mereka itu saling bermesraan, berpacaran…” “Berpacaran? Apa maksudmu?” Sin Liong bertanya kaget dan heran. “Menurut keterangan mereka yang pernah memergoki dan melihatnya, mereka itu saling peluk, berciuman… saya khawatir sekali, taihiap…” “Huhhh!” Bi Cu mendengus. “Hemmm…!” Sin Liong menggeram. Suasana lantas menjadi sunyi sekali. Petani Bhe itu menunduk, alisnya berkerut, hatinya gelisah. Sin Liong dan Bi Cu juga menunduk, wajah mereka muram. Sampai cukup lama keadaan menjadi sunyi, sunyi yang amat tidak menyenangkan hati mereka. Kemudian Sin Liong menarik napas panjang. “Lalu sekarang, apa yang bendak kau lakukan Bhe-toako?” Sin Liong bertanya, suaranya tetap ramah dan halus, sungguh pun kini bercampur nada prihatin. “Kami merasa khawatir sekali, taihiap. Jika saja anak kami itu belum memiliki calon jodoh yang sah, dan seandainya dia bisa berjodoh dengan Ceng-kongcu, tentu kami sekeluarga akan merasa terhormat, girang dan bangga sekali. Namun anak kami telah bertunangan, maka kalau hubungan itu dilanjutkan, tentu saja selain nama keluarga kami akan rusak, juga nama keluarga taihiap akan terbawa-bawa…” “Kami dapat mengerti akan kekhawatiranmu itu, toako. Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?” “Satu-satunya jalan yang kini dapat kami lakukan adalah mengungsikan Cu Ing ke dusun selatan, ke rumah calon mertuanya, kemudian mendesak calon besan kami untuk segera melangsungkan pernikahan.” Sin Liong mengangguk-angguk tanda setuju. “Baik sekali, lakukanlah itu, Bhe-toako, dan tentang Thian Sin, kami yang akan menasehatinya.” Wajah yang muram dari petani itu kini berseri dan dia bangkit sambil menjura berkali-kali kepada suami isteri itu. “Terima kasih, terima kasih… dan maafkanlah keluarga kami taihiap…” “Ahh, sebaliknya engkaulah yang harus memaafkan kami, Bhe-toako,” jawab Sin Liong. Setelah petani itu pergi, Sin Liong duduk kembali dan termenung. Juga Bi Cu ikut duduk termenung. Sampai lama sekali keduanya tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, kemudian nyonya itu menoleh, memandang suaminya dan melihat suaminya yang duduk dengan wajah muram itu dia kemudian berkata lirih, “Salahkah dia…?” Sin Liong lalu sadar dari lamunannya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata bahwa isterinya itu pun agaknya sama dengan dia, melamun dan mengenang masa lalu, bukan hanya mengenai hubungan antara mereka sendiri, di waktu masih muda remaja dahulu, akan tetapi juga hubungan-hubungan cinta antara tokoh-tokoh dalam keluarga Cin-ling-pai yang banyak menimbulkan pertentangan. “Siapa dapat menyalahkan orang jatuh cinta? Akan tetapi dia masih terlalu muda untuk itu dan dia harus tahu bahwa gadis itu telah menjadi calon isteri orang lain.” Thian Sin kemudian dipanggil. Pemuda ini belum tahu bahwa ayah Cu Ing sudah datang mengadu kepada suami isteri pendekar itu, sebab itu dia datang menghadap paman atau ayah angkat itu dengan wajah berseri-seri. Hubungannya dengan Cu Ing mendatangkan cahaya baru pada wajahnya. Melihat pemuda itu berjalan datang dengan wajah tampan berseri, secara diam-diam Sin Liong merasa sangat kagum dan juga dia harus mengakui bahwa keponakannya ini amat tampan, tiada bedanya dengan mendiang Ceng Han Houw. Teringatlah dia dahulu betapa hampir setiap orang wanita jatuh hati kepada pangeran itu, dan melihat ketampanan Thian Sin, dia pun tidak merasa heran kalau pemuda ini menjadi idaman para gadis di dusun sekitar tempat itu. Dengan wajah berseri-seri Thian Sin memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara halus dan sikap menarik, “Selamat pagi, ayah dan ibu! Ayah memanggil saya, hendak mengutus apakah?” Sejak dia mengangkat persaudaraan dengan Han Tiong, memang pemuda ini menyebut paman dan bibinya itu ayah dan ibu, karena setelah dia menjadi adik angkat Han Tiong, berarti dia telah merjadi anak angkat mereka pula. Sebutan ayah dan ibu yang dilakukan oleh Thian Sin tanpa mereka meminta itu diterima oleh suami isteri ini yang memang menaruh rasa kasihan dan sayang yang terhadap pemuda itu. “Thian Sin, di mana kakakmu Han Tiong?” “Dia sedang membantu para paman yang bekerja di ladang. Apakah perlu saya panggil Tiong-ko ke sini, ayah?” “Tidak usah. Kami memang hendak bicara denganmu. Kau duduklah, Thian Sin.” Mendengar suara yang singkat dan tegas itu Thian Sin merasa terkejut juga, akan tetapi sesuai dengan ajaran ayah angkatnya ini, dia tetap bersikap tenang dan duduk dengan hormat menghadapi suami isteri itu. “Thian Sin, apakah yang telah terjadi antara engkau dan Cu Ing, puteri petani Bhe di kaki bukit itu?” Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini mengejutkan hati Thian Sin. Namun ternyata dia sudah mampu menguasai perasaannya sehingga pada wajah yang tampan itu tak nampak sesuatu, kecuali sepasang mata yang tajam itu terbelalak dan menatap wajah Sin Liong seperti orang terheran. “Tidak terjadi apa-apa antara dia dan saya, ayah.” jawabnya, suaranya tenang dan halus sama sekali tak membayangkan kegelisahan sehingga diam-diam Sin Liong kagum sekali akan ketenangan putera angkatnya itu. Bi Cu yang merasa kasihan melihat putera angkat ini karena dia tahu betapa sakitnya hati kalau diputuskan atau dipisahkan dari orang yang dicinta, bertanya dengan suara lembut, “Thian Sin, apakah antara engkau dan Cu Ing ada hubungan cinta?” Ketika mendengar ayah angkatnya menyebut nama Cu Ing tadi, Thian Sin telah menduga bahwa tentu orang tua itu sudah tahu akan hubungannya dengan gadis itu, oleh karena itu pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap dalam hatinya sehingga tanpa disadarinya sendiri, walau pun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap pada wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk. “Benar, ibu,” jawabnya lirih. Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebenarnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apa lagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidak wajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi. “Thian Sin, tahukah engkau bahwa semenjak kecil Bhe Cu Ing sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?” Thian Sin terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. “Saya… saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah.” “Bagus!” Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. “Nah, apa bila engkau belum tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sejak kecil sudah ditunangkan dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!” Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. “Akan tetapi, ayah…” “Seorang pendekar tak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!” bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. “Thian Sin, tentunya engkau tak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga orang lain, bukan?” Bi Cu berkata halus. “Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah memiliki jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi.” “Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatan sendiri, harus selalu memiliki garis kebijaksanaan, tak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah memiliki calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang amat busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?” Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasehat-nasehat, dia lalu pergi meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandangan mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya. Thian Sin menjadi sedih dan bingung sekali. Apa lagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu sudah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan segera melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Hati Thian Sin terasa hancur. Dia patah hati! Peristiwa ini merupakan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, saat dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di hadapan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores di kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu dari Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi sekarang, sesudah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itu pun berdarah kembali! Dan dia pun tidak sanggup menahan guncangan batin ini sehingga jatuh sakit! Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi mereka pun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sebenarnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian. Sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong! Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau pun ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang telah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah begini, maka mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu. Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka apabila mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut ‘cinta’ mereka itu ‘gagal’ di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan? Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah memiliki anak-anak! Perceraian yang timbul karena rasa cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena kekecewaan masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya ‘cinta’ yang mereka ikrarkan bersama dahulu? Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling ‘mencinta’? Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sebenarnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar ‘mengejar kesenangan’ sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar-kejar itu selalu akan berjalan bersama dengan kesusahan, kepuasan, dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau di dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itu pun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakan ‘cinta’! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini. Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguh pun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun dia pun dapat melihat kenyataan sehingga tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu. “Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu.” Thian Sin tidak menyangka bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya. “Urusan apa yang kau maksudkan Tiong-ko?” “Urusan apa lagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?” “Ahhh…!” Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung. “Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?” Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, “Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat… cinta padanya.” “Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?” “Tentu saja.” “Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya bisa diperoleh melalui kebenaran.” “Betul.” “Nah, sejak kecil gadis kekasihmu itu sudah bertunangan dengan orang lain, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia bertindak benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkau pun akan ikut merasa senang jika melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?” Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini dia pun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, “Aku sendiri masih belum mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa sangat kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali.” Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Baik suka mau pun duka yang timbul dari kepuasan mau pun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Begitu pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun semakin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali. Dia selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan sedikit pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapa pun juga. Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong beserta isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin. Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biar pun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar. *************** Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari dan bulan berganti bulan. Tanpa terasa kini Han Tiong sudah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang. Memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang sangat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapa pun juga. Sedangkan Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang periang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biar pun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga makin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biar pun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai demikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain. Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling Kun-hoat yang diciptakan oleh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai, bahkan sudah mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi I-beng dan juga ilmu mukjijat yang dulu didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlampau berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar kedua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dahulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi I-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri, biar pun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sinkang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya. Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka berlatih silat dan saling serang di dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, ada pun Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya. Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang mengejutkan sekali, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang juga masih termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, pada malam harinya sudah terjadi perampokan! Harta benda yang tidak banyak milik penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Pada jaman itu, peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh bila terjadi di dusun-dusun, namun yang sangat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah karena terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, di lembah itu tak pernah terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga. Sekarang perampok dari manakah yang berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga beserta keluarganya? Sungguh hal ini amat mengejutkan sehingga Sin Liong menganggap mereka bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya! “Ayah, biarkan aku bersama Sin-te mengejar mereka!” Han Tiong berkata dengan sikap tenang. Sin Liong mengerutkan alisnya. Secara diam-diam dia mengukur kepandaian kedua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapa pun lihainya para perampok itu. Apa lagi dia sangat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang sangat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan. “Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Kalian tidak usah membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingatlah, kalian tak boleh sembarangan membunuh orang. Hanya ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja hendak memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!” Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia pun segera mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya. “Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka.” “Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!” kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin sehingga membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Selama ini belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu. Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini menggunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sulit bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang telah melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya mereka melihat belasan orang lelaki yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok di tengah-tengah hutan itu, yang agaknya memang merupakan tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu terlihat lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang sedang bercakap-cakap. Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan amat hati-hati, mengandalkan ginkang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok lalu mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam. cerita silat online karya kho ping hoo Pondok itu cukup luas dan pada bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang sedang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, nampak ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian kedua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengkaran di antara mereka berdua. “Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapa pun juga!” demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring sekali, penuh kemarahan dan tantangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih sangat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menyelimuti tubuhnya yang padat dan langsing, tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biar pun pada saat itu dia sedang marah, tetapi kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, dan diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali. Sedangkan pria itu usianya mendekati lima puluh tahun, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat serta menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang isinya tinggal sedikit. Sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan dia pun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah. “Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?” terdengar lelaki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang. “Aku berhadapan dengan ayah,” jawab dara itu, sikapnya tetap menentang. “Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?” “Ayah, ingatlah dengan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lantas menawan wanita-wanita itu hanya untuk memenuhi tugas ayah sebagai anggota Jeng-hwa-pang saja, untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu? Akan tetapi di dusun itu ayah sudah melakukan pembunuhan-pembunuhan…” “Bukan aku yang melakukannya!” “Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka? Kemudian penawanan kelima orang wanita ini, yang ayah katakan sebagai umpan untuk memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah… ayah hendak… melakukan kekejian…?” “Ahh, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!” Namun dengan sikap tegas dara itu menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan. “Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan mereka pun wanita! Apa bila mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapa pun juga, ayah. Jika perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!” “Ehh…? Kau berani…? Leng-ji, sudahlah. Aku tak mau membiarkan hatiku menjadi marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kau berikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja.” “Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini? Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?” Di dalam suara dara itu terkandung isak dan kedukaan. “Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini.” “Tidak akan kuberikan kepada siapa pun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!” “Apa? Kau berani menentang ayahmu, gurumu?” “Apa boleh buat! Biar ayah atau pun guru, kalau tidak benar, harus ditentang!” Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. “Mata-mata di atas pondok!” “Musuh datang…!” “Kepung! Tangkap!” Han Tiong dan Thian Sin terkejut bukan kepalang dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata sekeliling pondok itu sudah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itu pun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas. “Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi engkau jangan menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang.” “Baik, Tiong-ko!” Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu lantas pemuda ini pun mulai mengamuk dengan hebatnya. Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk bagaikan seekor naga, gerakannya cepat dan kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk sedangkan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini. Wajahnya nampak beringas dengan sinar mata berkilat walau pun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan. “Sin-te, jangan membunuh orang…!” Han Tiong merobohkan seorang perampok. Pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya tadi tidak sampai terluka parah, kemudian mendekati adiknya. Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka lantas mengeroyok lebih ketat, maka kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Han Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka kerepotan karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar serta keras atau tajamnya senjata di tangan saja, namun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu. Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya dan kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan telah merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia segera mencabut golok besarnya dan membentak nyaring, “Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?!” “Tiong-ko, biar aku menghadapi dia!” kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu lalu menyambut dengan bacokan golok yang dengan cepat sekali menyambar ke arah leher Thian Sin, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Akan tetapi dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala, dan berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan. “Ehhh…!” Kepala gerombolan itu amat terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya. “Siapa kau?!” bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, sepasang matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang. “Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar? Nah, kami sudah datang!” kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia telah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, yang membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang. “Tangkap mereka, hidup atau mati!” bentak kepala gerombolan. Kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong. Dan terjadilah pertempuran yang sangat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah mempunyai ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar pun ditambah dua kali lipat lagi pun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja. Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi tetap menjaga jangan sampai membunuh. Sesungguhnya Han Tiong sajalah yang betul-betul melakukan hal ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biar pun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh apa bila dibandingkan dengan para anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, maka Thian Sin menjadi penasaran. Dia segera merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini cepat menyambut dengan goloknya, membacok ke arah kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuhnya, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya. “Mampuslah!” bentak Kepala Gerombolan itu. “Hemmm…!” Thian Sin mendengus. Cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak maka golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu hanya meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh lantas secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi. “Crokkkk!” “Aughhhh…!” Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya! Melihat hal ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apa lagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka. Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring, kemudian menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak. “Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu!” Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi suara yang keluar hanya, “Ti… tidak, tidak…!” “Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?” Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya. “Aughhh… aduhh… ampun… kami disuruh… Jeng-hwa-pang…” “Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita? Kau layak mampus!” “Sin-te, jangan!” Tiba-tiba saja Han Tiong sudah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. “Lepaskan dia!” Thian Sin memandang kakaknya, lalu dia mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang telah ditinggal pergi oleh sisa-sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun dengan terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung. “Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukan orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Sekarang pergilah!” bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung. Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk terlebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang. “Singgg…!” “Hemmm…!” Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia sudah menampar lengan kecil itu. “Plakkk…!” “Aihh…!” Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang sedang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangannya, kemudian dengan gerakan enak saja dia lalu mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja. “Krekkk!” Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai. “Ohhh…!” Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang amat indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia telah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggota gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi pada waktu dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan. “Nona, kami bukan musuhmu. Biar pun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami tadi melihat betapa dengan gagah engkau telah melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan,” kata Han Tiong dengan suara halus. “Hemmm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan sangat baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat…,” kata Thian Sin. “Dia bukan ayahku!” Dara itu berkata dengan suara lantang. “Ehh, bukan? Bagus sekali kalau begitu!” kata Thian Sin tersenyum. “Akan tetapi tadi kami mendengar nona menyebutnya ayah.” Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri dan duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. “Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia… ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayahku dan melarikan ibu beserta aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang sekarang telah meninggal dunia pula. Dan tadi, ketika melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku menjadi semakin benci padanya!” Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apa lagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan keadaan dia! Hal ini saja telah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu. “Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga… bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?” “Ayah tiriku itu adalah seorang anggota Jeng-hwa-pang dan dia sudah diperintahkan oleh ketua Jeng-hwa-pang agar memancing keluar Pendekar Lembah Naga, yaitu dengan cara mengacau dusun itu. Ayah lalu mengumpulkan kawan-kawannya dan aku pun ikut serta, bukan untuk turut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sebenarnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan saja melainkan dengan penuh nafsu, dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku pun menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku lantas menentangnya. Ayah sedang mabuk, bila tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya… agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah semacam dia! Dan aku tidak akan kembali kepadanya…” Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah......


PENDEKAR SADIS JILID 8 :
Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia kemudian bertanya, “Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya, nona?” Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang pada pelupuk matanya. “Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka…” “Sesudah itu…?” Thian Sin mendesak. “Sesudah itu… aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!” “Apakah… apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?” Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini…” Tiba-tiba seorang di antara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. “Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah kau ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami…” Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu. “Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku turut mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu… kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat.” Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Agaknya adiknya ini benar-benar sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing. Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah kedua orang pemuda gagah perkasa itu. “Ahh, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aihh, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi sangat gagah perkasa dan baik, saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggota gerombolan pengacau.” Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan mulai saat itu menganggapnya sebagai pelindung dusun. Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira dan bangga mendengar penuturan dua orang muda itu mengenai hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu sudah putus sebelah lengannya. “Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau juga agak keterlaluan jika membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya sudah cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja.” “Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, dan mengingat betapa dia sudah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka…” “Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Tetapi yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang itu. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini? Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?” “Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?” tanya Han Tiong. “Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang dahulu ikut membunuh ayah bundaku!” tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir sekali karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin. “Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka hingga sekarang mereka masih menaruh dendam. Bagaimana pun juga, mudah-mudahan mereka tidak berani lagi mengacau setelah menerima hajaran kalian.” Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itu pun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka berdua, yaitu Ilmu Thi-khi I-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Ia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin sebab dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi I-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan sehingga diharapkan ilmu itu akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka berlatihlah dua orang muda itu dengan sangat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Akan tetapi di samping menurunkan kedua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, secara diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi I-beng kepada Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena dia pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri, khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi I-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti). Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama semakin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Leng pun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga dia pun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk sebelah tangan, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan ada kalanya ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat sunyi itu, dengan leluasa keduanya saling menumpahkan kerinduan hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, akan tetapi Thian Sin selalu dapat mempertahankan nafsu birahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas pada cumbu-cumbuan dan peluk cium belaka, tak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinahan hubungan kelamin. Maka terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan sekarang seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati sudah melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapa pun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai! Han Tiong juga melihat perkembangan ini, dan Han Tiong inilah yang lantas membisikkan nasehat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. “Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu kemudian melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kau cinta. Maka hati-hatilah engkau.” Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah menjadi merah. “Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu birahi.” Hemmm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong, akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. “Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?” Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut sehingga sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala bagai orang bingung dan berkata, “Menikah? Ahhh, itu… itu… entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku.” “Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te? Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?” Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, “Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?” “Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apa lagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?” “Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?” “Ah, pertanyaanmu amat aneh, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?” “Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko.” “Hemmm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu dapat terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi? Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!” Semenjak percakapan itu, sering kali Thian Sin kelihatan termenung dan menarik napas panjang. Dia juga mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan langsung muncul dan menghantuinya. Dia tak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi dia pun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng. *************** Petani tua itu datang dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk lengkap di serambi depan, Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sangat sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan ini pun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apa pun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Sejak pagi sekali Bi Cu telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka telah menghadapi sarapan besar dengan gembira. Kedatangan petani tua itu tentu saja amat mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia cepat mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu. “Celaka, taihiap… semalam dusun kami kembali didatangi penjahat-penjahat!” kata petani itu dengan suara gemetar. Keluarga itu menjadi terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak. “Ahh, mereka masih berani datang lagi?” seru Han Tiong. “Jahanam-jahanam itu menjemukan!” Thian Sin juga berseru. “Lalu apakah yang mereka lakukan? Perampokan dan pembunuhan lagi?” Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran. “Hanya satu pembunuhan, taihiap… Nona Hwi Leng mereka bunuh…” “Ahhhh…!” Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia sudah meloncat dan lari dari situ. “Sin-te…!” Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata, “Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya.” “Baik, ayah.” Dan pemuda ini pun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu. “Sekarang harap kau ceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman,” kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu. Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki banyak kuda. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing. “Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal.” kata kakek itu melanjutkan. “Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia lalu menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu.” Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seakan-akan dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok. “Lalu bagaimana, paman? Jangan takut, di sini aman,” kata Sin Liong. “Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian… kemudian…” Kakek itu tidak mampu melanjutkan ceritanya lagi dan menutupi mukanya dengan dua tangannya, seolah-olah dia hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya. Sin Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga. “Mereka itu membunuhnya?” tanya Sin Liong kepada petani itu. “Bukan hanya dibunub. Dia disiksa… saya tidak berani lagi melihatnya… dan kami semua tidak berani keluar biar pun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat… mayat Nona Leng sudah tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat…” “Keparat jahanam!” Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal sebab nyonya ini sudah menjadi marah bukan main. Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandangan matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya berubah menjadi merah sekali itu menarik napas panjang untuk menenangkan diri, lalu duduk kembali. “Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?” “Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara besar dan berkata: Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang? Hanya itulah yang saya dengar…” “Hemm, Jeng-hwa-pang lagi…!” Sin Liong berkata. “terima kasih atas laporanmu, paman.” Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, “Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita.” Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut supaya dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang. Akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini telah mempunyai kepandaian tinggi, bahkan lebih lihai dari pada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya. Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu, bagaikan orang gila dia segera menjerit. “Hwi Leng…!” Dan dia segera menghampiri peti mati. Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah. “Brakkk…!” Sekali renggut, tutup peti mati itu pun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biar pun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan lehernya penuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin bisa menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu juga penuh dengan luka-luka goresan pedang. “Hwi Leng…!” Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, lantas dia memekik sangat mengerikan. “Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!” Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu. Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong baru tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah hendak mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali. Maka dia pun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya. Sekali ini Han Tiong berlari cepat bukan kepalang, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang keluar dari daerah itu menuju ke selatan. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu. Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kiranya kekhawatirannya terbukti. Hingga di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tidak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan. Dua belas orang itu semua tewas dalam keadaan sangat mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya, karena itu wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya langsung terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu! “Thian Sin…!” dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin. Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya menggunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang serta tombak malang melintang dan patah-patah. Dia dapat membayangkan betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah. Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apa lagi mayat-mayat yang terbunuh oleh tangan adiknya. Dengan khidmat dia kemudian mengangkat semua mayat itu, lantas memasukkannya ke dalam lubang besar yang sudah dibuatnya. Dalam lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Dia lantas menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya. *************** Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia sudah membunuh seluruh anggota Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada tiga empat orang yang melakukan perlawanan agak keras karena ilmu kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, “Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?!” Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku, maka satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. “Ini untuk Hwi Leng!” dan…. “Prakk!” sekali tampar saja kepala itu tentu pecah! Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanya utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang! Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, dan membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya! Mengingat hal ini, membayangkan betapa dia akan menghancur leburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri-seri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini! Tiba-tiba di dalam benaknya muncul wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasehat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang pernah menasehatkan betapa buruknya jika dendam disimpan di hati. “Tidak, aku tak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!” demikian bibirnya bergerak dan dia pun mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. “Aku adalah anak pendekar, semenjak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka.” Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali karena teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini. Menurut cerita ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang sangat kuat, dan para anggotanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang sangat ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sianjin, yaitu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Belasan tahun yang lalu, ketuanya adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sianjin yang saking lihai dan pandainya mengenai racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan sekarang dia pun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan oleh Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka kepada Cia Sin Liong. Maka tugasnya kali ini selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, sekaligus untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh ketika menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu. Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sianjin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sianjin yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa dia pun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya. Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki ilmu kepandaian yang hanya berselisih sedikit dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, ada pun kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, dan diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara. Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam goa di sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam goa. Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, termasuk kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran yang jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia akan menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka. Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang sangat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga telah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian. “Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?” tanya kepala jaga sambil memandang heran. Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi. Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum, lantas Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. “Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan apa bila saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini adalah markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?” “Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?” Kepala jaga dan teman-temannya mulai memandang dengan sinar mata curiga. “Nama saya Thian Sin dan saya perlu berjumpa dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang sangat penting itu.” Kecurigaan para penjaga itu berkurang dan kepala jaga lalu memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. “Orang muda, memang Jeng-hwa-pang merupakan sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Apa bila ada urusan, sampaikan kepada kami maka kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, kini katakanlah, urusan apa yang ingin kau sampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?” Thian Sin menggelengkan kepala. “Maaf, toako. Urusan ini menyangkut diri pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali.” Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, terlebih lagi karena pemuda remaja ini mengaku datang dengan membawa berita yang sangat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka apa bila mereka mengganggu pemuda ini. “Baiklah,” akhirnya kepala jaga berkata. “Kau tunggulah di sini, biar kami melaporkannya dulu kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?” “Nama saya Thian Sin…” Thian Sin tak mau memperkenalkan she-nya yang sebenarnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang tentunya sangat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus berhati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, maka tipislah harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah. Sementara itu, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang sudah membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, sedang duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang sangat diandalkannya, yaitu Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu. Mereka bertiga sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketua Jeng-hwa-pang ini menjadi marah sekali pada saat mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mengenai pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng. Pasukan itu, ditambah dengan beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman. Dengan perbuatan itu, maka pasukan ini diharapkan akan dapat memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, yaitu musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang. Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali. Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda ‘pelajar’ yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu segera saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah terhadap laporan adanya ‘pemuda pelajar’ itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam cepat memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu, di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan dari pada menemui tamu di luar. Apa lagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar. Tidak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan bila mana saya datang mengganggu sam-wi,” katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang. Diam-diam Thian Sin menyapu ketiga orang kakek itu dengan pandangan matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia pun menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Sengcu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan mukanya hitam, ada pun Gin Thian Sengcu, sute-nya, berusia dua tiga tahun lebih muda, tubuhnya gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri. Karena tamunya ini hanyalah seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sianjin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum sambil berkata, “Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang hendak bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, kini engkau sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kau sampaikan kepada kami?” Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, namun wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. “Apakah saya sedang berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang mulia?” Karena pemuda itu mempunyai wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sianjin mengelus-elus jenggotnya kemudian menjawab sambil tersenyum. “Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku.” “Pinto adalah Kim Thian Sengcu.” “Pinto Gin Thian Sengcu.” Dua orang tosu itu juga merasa amat tertarik dan suka kepada Thian Sin, maka mereka pun masing-masing memperkenalkan diri. “Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin berjumpa dengan kami,” Tok-ciang Sianjin bertanya mendesak. “Sam-wi Locianpwe, sejak lama sekali saya telah mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya memiliki kesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri tentang kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!” “Ha-ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?” Gin Thian Sengcu bertanya sambil tertawa. “Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera… wah, siapa yang dapat mengajarmu?” “Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?” Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali jika dapat mempunyai murid setampan ini. “Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang merupakan gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini.” “Ha-ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Sengcu tadi, engkau boleh menjadi anggota Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang nanti akan melatihmu,” kata Tok-ciang Sianjin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia, kini sudah agak jauh dari wanita, malah dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu. “Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan ingin berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat.” Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka. “Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?” tanya Tok-ciang Sianjin atau Dewa Bertangan Racun itu. “Saya sudah belajar dari banyak guru silat, tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya hendak mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan sekarang saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya.” Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. “Bagus, memang engkau sungguh cerdik. Biarlah kami juga hendak melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu apa bila engkau belajar di sini.” Tok-ciang itu kemudian bertepuk tangan memanggil. cerita silat online karya kho ping hoo Para pengawal datang dan Tok-ciang lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan tampaknya kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, maka makin tak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memamerkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, mau pun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Hanya sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi. “Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini,” Tok-ciang berkata sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seakan-akan dia memanggil seorang murid saja. Secara diam-diam Thian Sin merasa girang karena ternyata dia sudah dapat memperoleh kepercayaan dari ketua Jeng-hwa-pang ini. Sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu melawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan ketiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang. “Baik, locianpwe,” katanya dan dia pun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu. “Kau boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sekali-kali menggunakan pukulan maut,” pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia juga berkata kepada Thian Sin. “Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!” Murid Jeng-hwa-pang itu sudah memasang kuda-kuda dengan gaya yang sangat gagah, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kiri di depan dada dan tangan kanannya di depan pusar. Otot-otot kedua lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan. Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat. “Haiiiiitttttt…!” Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya telah menyerang bagaikan seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin. Pemuda remaja ini berpura-pura kewalahan dan terdesak, akan tetapi dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau sambil terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan bisa mengenainya. Dia pun sambil mengelak balas memukul secara sembarangan saja, maka tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Pada saat ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu mampu menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biar pun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya. Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin pun merasa cukup. Apa lagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, pada saat lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia telah siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu. “Haiiii… ekkk…!” Bentakan orang tinggi tegap itu terpaksa berhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, ada pun pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya sehingga membuat dirinya terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas! Terdengar Gin Thian Sengcu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, maka dia tidak mampu menahan geli hatinya dan dia pun berkata, “Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!” Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin. “Bagus! Kau sudah menang, maka kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!” kata Tok-ciang dengan girang. Biar pun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi. “Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan hanya akan berguru bila saya telah dikalahkan,” kata Thian Sin dengan sikap bandel, bagai sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh. “Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadi pun engkau sudah nyaris kalah dan hanya dapat menang dengan susah payah. Apa bila kami mendatangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah.” “Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru,” jawab Thian Sin. “Panggil saja murid tingkat ke tiga,” Kim Thian Sengcu memberi usul. “Jangan,” kata Tong-ciang “Murid tingkat tiga meski pun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan yang terlampau kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini.” Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja mempunyai kepandaian yang sudah tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng segera dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu. “Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkan dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apa lagi tewas. Ingat, dia adalah calon sute-mu yang termuda,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya. Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya pun berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan dia pun tidak mau banyak cerewet lagi. “Baik, suhu,” Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. “Orang muda, kau jagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!” Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju lantas tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat. Maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang ‘berisi’, dan bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat dia pun mengelak sambil kakinya melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa dia pun telah melawan dengan ‘sungguh-sungguh’. Padahal seperti tadi, tentu saja dia pun hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu terlihat seimbang! Para murid Jeng-hwa-pang, sejak tingkat paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat dua pun baru mempelajari cara penggunaan luar ini karena tingkat sinkang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan di dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkatan pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja dia pun telah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini sangat lihai, karena sepasang tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan tangan itu sampai berhasil mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan! Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang sangat lihai, tetapi karena dia dipesan oleh suhu-nya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apa lagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu. Betapa pun lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apa lagi dia tidak berani mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andai kata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekali pun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga? “Hyaaaattt…!” Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan, ada pun tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin pun mengerti bahwa serangan yang nampak hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu. Karena itu, melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja ini pun terpelanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak diduganya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya sehingga membuat dia terhuyung lantas berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak! Melihat ini, Tok-ciang Sianjin gembira bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Maka tahulah dia sekarang bahwa dia sudah mendapatkan seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat! “Bagus…!” dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung. Pujian ini mengingatkan Thian Sin, sebab itu dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga kini dialah yang didesak. Dia teringat bahwa dia tak boleh tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia pun bisa berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan. Terkena tendangan itu, walau pun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus namun dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi! Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun. Agaknya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak sadar betapa anehnya melihat pemuda yang tadi hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini. “Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!” Ilmu silat ini adalah hasil ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng gembira sekali mendengarkan ucapan suhu-nya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apa lagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia tak berani untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan. Maka, andai kata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia! “Baik, suhu!” jawabnya. Tanpa membuang waktu lagi, dia pun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan serangan yang amat keras dan dahsyat sehingga tiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit! Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seakan-akan gerakan lawan amat membingungkannya. Ciu Hek Lam memandang dengan dua mata terbelalak. Dia memang menyuruh muridnya mempergunakan ilmu itu, bukan hendak mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam dia pun merasa heran dan penasaran sekali, mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu! Sekarang pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak, makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang sangat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah melewatkan dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, mengingat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, maka Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Sesudah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia segera tahu bahwa bila dia menghendaki, maka dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dia lantas mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaslian ilmunya, maka tidak mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak dapat mengenal ilmu silatnya. Andai kata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekali pun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apa lagi kalau dicampur-campur seperti itu! “Plakk!” Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman. Tentu saja Lim Seng menjadi amat marah dan malu, sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidaklah besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal kalau melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Seng masih menang cepat dan menang kuat pula! “Plakk!” Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tampar saja tentu kepala itu akan pecah! Betapa pun juga, tamparan itu sudah cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main. Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawannya dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apa lagi karena secara diam-diam tempat itu sekarang ternyata telah penuh dengan murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk turut menonton pertandingan itu. Dia dihina di hadapan gurunya, juga di hadapan banyak murid Jeng-hwa-pang! Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang sangat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin! “Lim Seng, jangan kau bunuh dia!” Tok-ciang Sianjin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun. Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah, karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menyangka bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu, lantas akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu. “Desssss…!” Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi tubuh Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk kemudian mengeluh panjang pendek dan memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung di pergelangan tangannya. Agaknya keseleo. Semua orang menjadi bengong, malah Tok-ciang juga terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi kenapa hanya sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkilir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang digunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang? Saat dia masih terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka biar pun tak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan sangat baiknya. “Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!” kata orang pertama dari mereka. Tok-ciang Sianjin memandang kepada Thian Sin, kemudian bertanya, “Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?” Thian Sin melangkah maju lantas menjura dengan hormatnya. “Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah.” “Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tak perlu diadakan percobaan lagi,” kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, dan diam-diam merasa kagum sekali. Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Maaf, locianpwe. Saya tak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan.” “Hemm, jadi apa bila aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus mengalahkanmu lebih dulu?” Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya. “Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya akan tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru.” “Hemm, engkau sungguh berhati baja. Bagaimana jika aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?” “Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk.” Sementara itu, Lim Seng sudah mampu berdiri lagi. Dengan muka yang masih merah dan agak bengkak akibat tamparan-tamparan tadi, dan masih sambil memegangi pergelangan tangannya yang salah urat, dia lalu berkata, “Suhu, dia itu mencurigakan sekali!” Akan tetapi Tok-ciang Sianjin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, “Masuklah dan obati tanganmu!” “Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!” kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin. Mendengar ini Tok-ciang Sianjin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena ilmunya menang tinggi. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru menggunakan tenaganya. Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apa lagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri tidak begitu gampang untuk melumpuhkan tin atau barisan itu pada waktu melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu. Sebab itu dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin tak akan berdaya dan sekali telah terkurung, maka tidak akan mampu melepaskan diri lagi sehingga tentu dapat diringkus dan dikalahkan. “Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, cobalah kau hadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?” “Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan.” Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepala, menyuruh kelima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang ringan, maka telah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu pun sudah berloncatan ke depan, kemudian dengan gerakan kaki lincah mereka segera berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Oleh karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur), maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam. Mereka bisa bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini. Lima orang anggota Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi. Setelah mereka mengurung, mereka langsung mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga. Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga ketika mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi kaget dan merasa kerepotan juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke mana pun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan. Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang, “Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!” Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggota Jeng-hwa-pang yang dulu pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga, ayah tiri Hwi Leng yang lengan kirinya sudah buntung pada waktu melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya sudah turut bersama rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut. Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut di dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali. Ketika mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, sudah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu sambil menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu, maka dia pun lalu berteriak. Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah menjadi merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas. “Ha-ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!” Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggota Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena sekali berkelebat pemuda itu telah lenyap! Maka terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini langsung berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah. “Bunuh dia!” Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak mengira bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah bukan main! Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tak mau berpura-pura lagi. Dengan tubuh Loa Song sebagai ‘senjata’ dia langsung menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin! “Prakk! Prakk!” terdengar bunyi berkali-kali. Orang-orang di sana tidak ada yang tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh kelima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala yang tak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk akibat lima kali diadu dengan kepala lima orang! Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap amat angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi. “Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, tapi sekaligus juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!” Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Sengcu dan Gin Thian Sengcu sudah berdiri. “Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!” bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu. Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan bagaikan seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang. Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Untung bagi Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, dua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya sudah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Sengcu sudah menyerang dengan pedangnya, sedangkan Gin Thian Sengcu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin lalu meloncat ke belakang dan karena dari arah belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa beraneka macam senjata, maka dia pun segera mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang menimpanya bagai hujan, dielakkannya dengan gerakan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan. Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya sudah robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh! Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang segera mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu pun meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka dia pun cepat mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin.....


PENDEKAR SADIS JILID 9 :
PADA waktu yang hampir berbarengan, Kim Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan pedangnya, lantas disusul pula oleh Gin Thian Sengcu yang menyerang dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu. Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan kedua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan diri dari kejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apa lagi pada waktu itu dia yang hanya bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapa pun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat bukan kepalang. Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan cahaya dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri setelah melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikit pun! Dan meski pun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai msmpu melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, lalu sebagai balasan dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya bila dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya. Karena dikeroyok tiga orang, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang selalu menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir, akan tetapi dia langsung disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dalam waktu cepat dia mampu merobohkan satu dua orang, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya. “Kurung dia dengan api!” teriaknya. Kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan setiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api itu karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia kembali mendesak ke tengah lantas menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian. “Mampuslah!” Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga saat ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sinkang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah lalu semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah! “Ha-ha-ha!” Tok-ciang Sianjin tertawa bergelak karena dia merasa amat yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup, dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan amat tiba-tiba hingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri. Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tidak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun? Kini Thian Sin sudah marah sekali. Biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka pada pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri. Pada saat dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat saja, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Sengcu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini. “Heiii…?!” Kim Thian Sengcu berteriak aneh ketika mendadak dia merasa betapa tenaga sinkang dari tubuhnya mengalir keluar bagaikan air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu! Dia belum pernah mendengar, apa lagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Sengcu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak. “Prattt!” Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Sengcu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sinkang-nya juga membanjir keluar. Dia berusaha untuk menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sinkang yang mengalir keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Sengcu, karena kakek ini pun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dengan erat dan makin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar. Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi I-beng yang bisa menyedot tenaga sinkang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin menjadi terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut. Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia lalu berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sinkang mereka yang memberobot keluar, membuat kepala mereka terasa agak pening. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat dari pada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka. “Siapkan jala langit!” tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sianjin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu. Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu. Akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini. Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu sudah dipasangi jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali dari bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba saja dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya. Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena dapat mulur dan ulet bukan main. Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu ikut terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, akan tetapi sia-sia belaka dan kini tubuhnya sudah tergantung di udara, terselimut jala yang amat kuat itu, ada pun para anggota Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya. Tok-ciang Sianjin yang sudah menjadi sangat marah setelah melihat demikian banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan sangat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin. “Dukkk…!” Tombak itu seperti mengenai besi saja sehingga terpental dan jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai. Semua orang terkejut sekali. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing. “Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!” Tiba-tiba Tok-ciang Sianjin berkata sambil tertawa. “Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha-ha!” Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung. “Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?” Tok-ciang mengejek. Dia merasa sangat marah apabila melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu. Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, tidak hanya kerugian akibat kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang. “Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!” Thian Sin memaki dan menantang. “Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang sangat berbahaya!” kata Kim Thian Sengcu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi I-beng tadi. Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sianjin cepat mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya, kemudian melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi. Thian Sin telah merasakan hawa panas dari bawah, maka dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya lalu bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari pada jala itu. Jika jala itu lebih dulu terbakar dari pada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun lalu mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan terhadap api dari pada tubuhnya, maka dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya! Meski pun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas sudah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap telah membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikit pun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi. Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin cepat membuka matanya kemudian memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya pada saat dia melihat Han Tiong sedang mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang. “Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!” teriak Thian Sin dengan girang. Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang lalu meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu dilakukan sepenuh tenaga sehingga setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh dan tidak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apa lagi melihat bahwa di sana sudah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri. “Sin-te, jangan membunuh orang!” teriaknya lantang. Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran. “Koko, mereka hampir saja membunuhku!” Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya hingga para anak buah Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sianjin beserta dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu segera berloncatan keluar mengejar. “Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kau bunuh!” kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran. “Baiklah, Tiong-ko…!” Tok-ciang Sianjin telah menerjang maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, ada pun Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi di antara para anak buah Jeng-hwa-pang tidak seorang satu pun yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha menggunakan racun-racun, bahkan telah menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena kedua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu. Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut. Mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka. “Plakk! Plakk!” Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit lantas roboh terpelanting. Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. “Krekk-krekk!” terdengar bunyi tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah! “Sin-te…!” Han Tiong berteriak marah. Tok-ciang Sianjin sendiri sudah terdesak amat hebat dan ketika melihat betapa dua orang pembantunya telah tewas dalam keadaan mengerikan itu, dia pun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat. “Tiong-ko, aku harus membunuh mereka berdua. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau tadi engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!” kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandangan mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia pun segera menunduk. Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak kelihatan seorang pun anggota Jeng-hwa-pang. Mereka semua sudah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang. “Sin-te, berapa banyak orang yang telah kau bunuh? Rombongan yang sudah kau bunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Dan lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!” Thian Sin mengangkat muka dan memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia pun merasa menyesal sekali. “Mereka… mereka membunuh ayahku… ibuku… dan mereka membunuh Hwi Leng! Ahh… Tiong-ko, mereka… mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta… aku menjadi mata gelap, kau maafkanlah aku, Tiong-ko…” Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan. Pemuda remaja ini menangis! Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia sangat sayang kepada adiknya ini dan dia pun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apa lagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu ikut mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu. Betapa pun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimana pun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat. Didekatinya adiknya kemudian dirangkulnya. “Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlampau membiarkan dirimu terhanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata.” Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya. “Terima kasih, Tiong-ko, tentu aku akan memperhatikan nasehatmu. Harap… harap engkau… tak melaporkannya kepada ayah… aku takut akan tegurannya…” Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. “Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?” Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggelengkan kepala, “Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi sudah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sinkang.” “Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka.” “Urus mereka? Siapa?” Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang tubuhnya menggeletak di sana sini. “Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka,” katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan. Thian Sin masih belum begitu mengerti akan tetapi dia mengikuti kakaknya, lantas tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya pada saat Han Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Wajah Thian Sin nampak muram sekali di sepanjang perjalanan. “Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu.” Thian Sin menarik napas panjang. “Aku percaya sepenuhnya padamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran… aku… aku tak dapat melupakan Hwi Leng…” Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia juga tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan akibat kematian Hwi Leng, dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing. Sesudah keduanya sampai di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka. Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua sudah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu hingga ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka. “Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat.” Cia Sin Liong memeriksa luka itu. “Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Ehh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kau bunuh?” Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin lantas berubah, akan tetapi dia cepat menekan perasaan hatinya. “Saya… saya tidak tahu, ayah…, mereka mengeroyok maka saya membela diri sedapat saya…” “Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup.” “Untunglah Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya, dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka…” Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka lalu secara diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong, maka dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu. Hatinya sangat khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin tetapi dia pun kagum melihat keberaniannya ketika sudah tertawan namun masih sangat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong sangat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar mengenai pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang dia menggunakan Thi-khi I-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya. Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya langsung. Dia melihat betapa sejak terjadinya peristiwa Jeng-hwa-pang itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Karena itu, sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, dia pun bisa menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu sudah mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, baik latihan ilmu silat mau pun berlatih siulian untuk menghimpun sinkang. Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong begitu mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin laksana gerakan ombak samudera yang bergelombang dan tidak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Tetapi keduanya mempunyai daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang asyik menonton kedua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan. Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul oleh cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun dengan tenangnya Han Tiong menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang cepat dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan. Thian Sin juga dapat menangkis, maka selanjutnya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu sehingga diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu. Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari sudah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri. Tentu saja mereka masih belum memiliki kematangan pendekar karena mereka masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka! Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas ini pun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka dia pun lantas memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua pergi meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin. “Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu,” kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar. “Ahh, dia seperti mendiang ayahnya, amat lemah menghadapi wanita,” kata Sin Liong. “Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia berjumpa dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, dia pun akan lupa kepada Hwi Leng,” kata Bi Cu dengan hati tidak puas. Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. “Pemuda semacam dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan.” Bi Cu mengerutkan sepasang alisnya. “Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia.” “Tentu saja harus dengan persetujuannya. Ahh, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ahh, aku lupa lagi…” “Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!” kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut. “Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun sudah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu usianya sudah belasan tahun sekarang!” “Benar, akan tetapi usianya paling banyak hanya baru tiga belas tahun, dia masih belum dewasa benar.” “Betapa pun juga, usia belasan tahun tidak dapat dinamakan anak-anak lagi dan apa bila sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, salah seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka…” “Seorang di antara mereka?” “Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andai kata salah seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, maka alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!” “Hemm, lalu maksudmu bagaimana?” “Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?” “Ahh, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, sekarang di dunia kang-ouw muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain…,” kata Bi Cu khawatir. “Ah, justru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka mereka perlu untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukanlah anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kau ingat ini. Sekarang mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan.” Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Bahkan mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja! Mereka menerima banyak nasehat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan. “Kalian ingat baik-baik,” demikian antara lain pendekar itu memberikan nasehat, “sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah yang tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh menggunakan ilmu untuk membunuh orang, betapa pun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan penjahat-penjahat itu sendiri. Di dalam membela orang-orang lemah, tentu saja kalian harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar mau pun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apa lagi membunuhnya. Apakah kalian mengerti?” Biar pun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk. cerita silat online karya kho ping hoo Sesudah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong ketika melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka berangkat dengan hati lapang, laksana dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandangan mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan. *************** Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali, maka Han Tiong ikut merasa gembira pula. Mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka lalu mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap. “Senangkah engkau melakukan perjalanan ini, Sin-te?” “Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa bagaikan seekor burung yang keluar dari sarang, terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?” Han Tiong tersenyum. Jika pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu. “Selama beberapa pekan ini engkau tampak amat berduka dan kecewa di rumah. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?” Thian Sin menggelengkan kepala, membuat kakaknya terheran. “Hwi Leng telah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekali pun. Aku hanya merasa menyesal kalau melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan, baik yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio mau pun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali.” “Ehh? Apa maksudmu?” Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu. “Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka.” “Hemm, aku masih belum mengerti.” “Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andai kata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andai kata dulu aku tidak bersikap alim, andai kata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Begitu pula dengan Hwi Leng, andai kata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!” “Ahh, omongan apa yang kau keluarkan ini, Sin-te?” Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk. “Maafkan aku, Tiong-ko.” Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus, “Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanyalah didasarkan rugi untung, susah senang bagi diri sendiri belaka. Engkau merasa kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal sebab dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sebenarnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal.” Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. “Apa… maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!” Han Tiong menggelengkan kepala. “Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan mengenai Hwi Leng, dia mati pun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Kini aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlampau mementingkan diri sendiri saja.” “Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Agaknya engkau terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena tak semestinya kalau seorang pendekar sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak segi yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahit pun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?” Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. “Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tak akan mengulang kebodohannya lagi.” Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang amat sunyi itu terdengar alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu hingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun. Karena perjalanan itu melewati perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah dahulu di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa kini perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggota Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggota Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan. “Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!” Han Tiong berseru nyaring. Mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat serta sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu. Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. “Kami bukan datang sebagai musuh,” kata Thian Sin. “Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini.” Tiba-tiba seorang di antara para anggota Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ lalu mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut. “Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua…,” kata orang itu. Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin dan tersenyum, “Bangkitlah, kalian tak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?” “Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan sudah meninggalkan kami. Kami hanyalah anggota-anggota yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini,” jawab orang pertama. Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka. Kemudian orang itu menceritakan bahwa sejak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh kedua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka berturut-turut mereka kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang sudah melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang memiliki keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan. Sesudah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka. “Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tak ada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga mempunyai anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang tidak baik dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali pada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apa bila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini.” Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kedua orang pemuda itu kemudian meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi menggunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar. *************** Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, “Ada apakah, Sin-te?” “Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, maka di hadapan kita tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu sebab mereka merasa takut. Akan tetapi kelak, aku yakin sekali bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apa lagi kalau ada yang memimpin mereka.” “Hemmm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?” “Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok itu mereka tentu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat semacam mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!” Han Tiong tersenyum, “Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Apakah engkau lupa akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah orang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, bila kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita memberi obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu juga dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Tapi bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang sangat lemah, baik badan mau pun batinnya. Karena itulah kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan malah membenci mereka.” “Mengasihani orang jahat?” “Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit…” “Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, apakah kita harus mengasihani penjahat itu juga?” Dibantah seperti ini, Han Tiong tak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang amat mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat dari pada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat. “Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, mau pun nona Loa Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil telah berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tak ada yang harus menjadi penasaran. Andai kata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?” “Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat.” Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka dia pun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tak menyenangkan itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan gembira sebab pemandangan pada sepanjang perjalanan yang melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biar pun pada tujuh tahun yang lalu mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja bersama Cia Sin Liong dan isterinya, ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain sudah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Apa lagi Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah pada saat dia baru berusia sebelas tahun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh dan dia sama sekali sudah tak ingat lagi jalannya, maka sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong supaya di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun. “Kalian boleh pergi merantau sampai selama satu tahun,” demikian pesan Cia Sin Liong. “Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian berdua untuk mengunjungi ketiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting adalah mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di kota Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama.” Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena semenjak dulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar. Hal ini tidaklah aneh, karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri. Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lampau agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang juga bisa diperbesar, baik dengan negara-negara barat hingga ke India dan Arab, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai di Kepulauan Indonesia, yaitu Sumatera dan Jawa. Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran serta kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw juga sudah menarik minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah semenjak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang. Biar pun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, akan tetapi dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah. Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya disebabkan pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andai kata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Meski pun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apa lagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan sembarangan memperkenalkan diri dan agar jangan sampai berhubungan dengan pihak kerajaan. Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiri pun adalah seorang pemuda yang batinnya sederhana, tidak suka akan nama besar serta kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati. Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapa pun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biar pun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapa pun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini dia pun tahu pula bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini mengirim pasukan untuk ‘menghukum’ ayahnya sebagai seorang pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa dulu ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya. Meski pun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, akan tetapi keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar yang indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan bermacam pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali. “Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu,” kata Han Tiong kepada adiknya. “Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok,” kata Thian Sin. “Tidak, adikku. Justru kalau kita bermalam di kuil tua atau sebagainya, maka lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw sehingga malah akan menimbulkan kecurigaan karena kita berpakaian seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, hanya menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar dahulu, lalu menyimpan buntalan pakaian, dan baru kita jalan-jalan,” jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui. Memang pemuda ini selalu taat terhadap Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu sudah benar dan tepat. Di dalam hatinya, Thian Sin sangat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dirinya yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama menggunakan ilmu simpanan mereka, maka dia tidak akan menang melawan kakaknya. Biar pun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara kedua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka pernah saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi I-beng dan Cap-sha-ciang, atau lebih lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang, hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa dia pun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi I-beng itu kepada adiknya. Hal ini pun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalau kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya. Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan sesudah mandi serta berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak lagi menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian sebab mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu....


PENDEKAR SADIS JILID 10 :
SETELAH berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan mereka pun memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap. Setelah mereka memasuki rumah makan itu, kiranya restoran itu memiliki ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng. Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan. Beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan pada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat di jalan itu. Dua orang muda itu lalu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk seorang diri di sudut ruangan, menghadapi seguci arak berikut sebuah cawan serta beberapa piring gorengan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, maka dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal. Wajahnya tampan dan kedua matanya amat tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian kedua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Pada waktu dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seorang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim. Maka, sekarang melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia pun merasa tertarik sekali. Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali! Pemuda tampan yang mengenakan pakaian mewah itu juga melirik ke arah kedua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin hingga keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah. Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka. Akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat malah menghampiri meja pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk. “Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagi?” tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat. Pemuda tampan itu telah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata dengan nada suara halus seperti cara bicara seorang terpelajar. “Sampaikan ini kepada pengurus restoran!” Pelayan itu melirik ke atas kertas, sepasang alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini. “Hei, pelayan!” Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum. Pelayan itu cepat-cepat menghampiri sambil membungkuk-bungkuk, sikapnya penuh hormat. “Kongcu memanggil saya?” tanyanya. “Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman,” kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi serta air teh. Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng. Karena maklum bahwa pemuda mewah yang memiliki yang-kim itu biar pun tidak secara langsung memandang pada mereka akan tetapi memperhatikan, maka Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan. Pada saat itu pula, semua tamu yang berada di loteng itu, yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh orang dan kesemuanya pria, serentak menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik, maka Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik serta berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, di samping cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihiasi dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya. Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua telah mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu hanya menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lantas berlari kecil menghampiri dan menjura dengan lemah lembut serta manis gayanya. “Ah, maafkan jika saya terlambat, kongcu,” katanya. Dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu. “Kalian tunggu saja di bawah,” kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya. “Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, sungguh wajar bagi seorang wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias.” “Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya sedang tak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Ehh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu…!” Pemuda itu hanya tersenyum. “Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu.” Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian dia tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis. “Kongcu aneh, mengapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?” “Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini…” Mereka kemudian berbicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum. Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi ‘tamu’ atau sahabat dari pemuda yang mewah itu. Thian Sin dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan. Thian Sin memandang kagum. Dia belum pernah melihat seorang wanita yang secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen! Han Tiong sudah tak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat Thian Sin memandang, pemuda itu tersenyum lebar sambil mengangguk sedikit. Melihat keramahan ini, maka mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu dia pun memutar leher dan menghadapi kakaknya. Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari sana muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki berisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan sambil diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang lelaki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua. Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik. Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka pada saat para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka kemudian mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka. “Hei, apa artinya ini?” Thian Sin berseru. “Maaf, kalian tentu sudah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain,” kata Han Tiong sambil bangkit berdiri. Pengurus restoran itu menjura sehingga mulutnya menjadi semakin lebar bagaikan robek. “Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi semua ini untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!” “Tapi… tapi… kami tidak mengenal dia,” kata Han Tiong. Pengurus restoran masih tetap tersenyum. “Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal sangat royal, membagi uang seperti pasir saja.” Sesudah mengangguk dan membungkuk, maka pengurus restoran itu pun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan. Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, lantas keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih kelihatan mengobrol dengan wanita cantik tadi, seakan-akan tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, dia pun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah. “Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!” kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang. Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar. “Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sekitar sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya.” “Tapi… tapi kami tidak mengenal Anda…” “Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian. Akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini, maka akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi.” Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang semenjak tadi mendengarkan saja kini berkata. “Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona…” Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum lalu mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong. “Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, tentu kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?” Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri. Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai pada waktu membungkuk. “Ahh, saya merasa amat terhormat sekali…,” katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam. Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan tawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang demikian memikat sikapnya, sikap genit walau pun kegenitan itu halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar. Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan, maka muncullah dua orang pelayan yang segera disuruhnya memindahkan bangku-bangkunya ke meja dua orang pemuda itu. Kini mereka berempat duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan dengan cekatan Wi Hong menuangkan arak ke dalam cawan wanita itu dan dua orang pemuda yang menerimanya dengan sungkan. Baik Han Tiong mau pun Thian Sin bukan peminum arak dan walau pun mereka biasa minum arak akan tetapi tidak begitu suka. Akan tetapi, karena sebagai fihak tuan rumah orang itu sudah menuangkan arak, maka terpaksa mereka mengangkat cawan kemudian meminumnya ketika Wi Hong berkata, “Silakan minum demi persahabatan kita!” “Saya sudah memperkenalkan nama saya, yaitu Siangkoan Wi Hong, dan dia ini adalah Siang Hwa, kembang di antara kembangnya daerah hiburan di kota raja. Karena itu saya harap ji-wi sudi memperkenalkan nama agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.” Biar pun mereka belum berpengalaman, akan tetapi istilah ‘kembang daerah hiburan’ itu mengejutkan Han Tiong dan Thian Sin. Jadi wanita cantik ini adalah seorang pelacur? Ah, mereka berkenalan dengan seorang pelacur dan tentulah pemuda itu merupakan seorang pemuda hidung belang, dan kini mereka duduk semeja dengan seorang pelacur! “Nama saya Thian Sin,” kata Thian Sin dengan cepat. “Aihh, she Thian? Jarang saya bertemu dengan orang she Thian!” kata Wi Hong memuji, kemudian memandang kepada Han Tiong. “Dan Anda?” “Saya bernama Cia Han Tiong,” jawabnya sederhana. “She Cia? Ahh, kalau Cia cukup banyak, bahkan amat terkenal karena bukankah keluarga Cin-ling-pai juga she Cia? Wah, jangan-jangan Saudara Cia Han Tiong ini masih keluarga Cin-ling-pai? Tetapi tentu saja bukan, karena kalau keluarga Cin-ling-pai tentu langsung saja ke istana, bukan?” “Kami berdua adalah kakak dan adik angkat,” Han Tiong cepat berkata, hanya asal dapat mengatakan sesuatu saja sehingga dia tidak perlu menjawab benar atau tidaknya ucapan Wi Hong tadi. Wi Hong kembali hendak mengisi cawan arak, akan tetapi Han Tiong menolaknya sambil berkata, “Terima kasih… tapi kami berdua jarang minum arak, bagi kami cukup teh saja.” “Aihhh, pemuda-pemuda yang terpelajar dan hidup bersih menjauhi arak, ya? Bagus, mari silakan makan.” Wi Hong ternyata pandai sekali bicara dan sikapnya amat ramah sehingga mereka mulai makan minum sambil bercakap-cakap, atau lebih tepat lagi Wi Hong yang terus menerus bercakap sedangkan dua orang muda itu hanya lebih banyak mendengarkan saja. “Saya sendiri bukan orang kota raja asli,” antara lain Wi Hong bercerita memperkenalkan dirinya, “saya tinggal di Tai-goan, akan tetapi saya sering berpesiar di kota raja, di mana ayah mempunyai sebuah rumah dan memiliki sebuah cabang toko di kota raja ini. Apakah ji-wi datang dari utara? Logat bicara ji-wi seperti orang utara…” “Kami datang dari dusun, di utara kota raja…” “Ah, agaknya pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian tahun ini, ya? Jangan khawatir kalau memang demikian, saya memiliki kenalan baik yang duduk sebagai anggota panitia ujian…” “Ahhh, sama sekali bukan!” kata Han Tiong dan mukanya menjadi agak merah. Dia dan Thian Sin disangka pelajar-pelajar yang akan menempuh ujian siucai (sasterawan)! “Kami hanya melancong saja, hendak pergi ke rumah bibi kami di Lok-yang dan hanya singgah untuk melihat-lihat di kota raja ini.” “Ji-wi kongcu, harap jangan sungkan, makanlah daging berikut sayurnya. Marilah, jangan malu-malu!” Dengan gaya sangat memikat wanita itu kemudian menggunakan sumpitnya untuk mengambilkan daging dan sayur, lalu diletakkan ke dalam mangkok Thian Sin dan Han Tiong. Dua orang pemuda itu tersipu-sipu, akan tetapi tidak mampu menolak dan mengucapkan terima kasih. Melihat sikap dua orang muda itu demikian malu-malu, Siangkoan Wi Hong tertawa. “Ha-ha-ha, Thian-lote dan Cia-lote, harap jangan malu-malu. Dia ini adalah kembangnya daerah hiburan di kota raja. Bahkan pembesar-pembesar tinggi dan para pangeran pun merindukannya sehingga sering kali dia dipanggil ke istana untuk memberi hiburan. Suara nyanyiannya seperti burung hong dan kalau dia menari, wah, seperti bidadari baru turun dari sorga!” “Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, maka aku bisa remuk!” kata wanita itu sambil tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah. Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena di samping ramah, ternyata wanita itu juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lainnya dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati! Tiba-tiba saja semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng. “Tak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!” terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan. Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat. “Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!” katanya kepada Siangkoan Wi Hong. “Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa,” kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga. Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apa lagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan ini adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka. Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga supaya jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka sudah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walau pun mereka merasa tak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur. Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut, betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau saja melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, malah pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja! Lantas muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya. Rambutnya mengkilap licin akibat terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru. Tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu sedang terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak. Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka yang serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketingglan hati. Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentunya akan terjadi keributan. Apa lagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini. Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah kemudian dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak mau turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton. “Hei, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang di sini? Engkau telah menghinaku, keparat!” Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak sambil telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan. “Sudah… sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat…” Wanita itu mencoba untuk memberi alasan. “Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta di sini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Apakah engkau belum tahu siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamu pun sanggup aku membelinya! Coba kau katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!” “Siauwya, harap maafkan aku…” Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. “Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya…” “Apa kau kira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kau kira aku tak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan turut bersamaku. Sekarang juga, mengerti?! Kalau tidak…” Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya kemudian tangan kanannya yang besar itu diangkat dan ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu. “Brakkk…!” Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat hingga mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong. Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkannya karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dapat membuka mata, dia segera melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong. “Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!” bentak pemuda bermuka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu. “Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, dan aku mengundang Siang Hwa pun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong?” “Tringgggg…!” Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan bunyi itulah sebagai penutup kata-katanya tadi. Si Muka Bopeng menjadi semakin marah. “Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu…?” “Tringggg…!” Yang-kim itu disentil kembali. “Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu…” “Tranggg…” “Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!” “Cringgg…!” Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti berbicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu. “Bocah kepar… aughhhh…!” Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba saja pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, maka bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu telah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya. “Aahhh… aukkk… kekkk…!” Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik. Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat. “Blukk!” Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar lalu menggelinding di atas lantai. “Hajar dia! Hantam dia…!” Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan. Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu hendak maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat sehingga dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu. “Plokk! Plokk!” Demikian cepatnya daging ini menyambar sehingga kedua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka maka potongan daging itu tidak masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap! “Ha-ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?” Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa. Dia segera melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu. “Plak-plak-plak…!” “Aduhhh… auuw… aduhh…!” Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia pun berjingkrak-jingkrak sambil menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu. Dua orang jagoan tukang pukul itu amat marah ketika mereka diserang dengan sepotong daging karena mereka merasa terhina dan malu sekali. “Singgg…! Singgg…!” Mereka mencabut pedang mereka. Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal, penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin masih bersikap enak-enakan saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka. Dua orang kakak beradik ini tadi sudah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa walau pun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, mereka tidak perlu khawatir akan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir saja pingsan. Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa langsung merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan sehingga pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu! “Ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu. Akan tetapi, pada saat itu pula Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya. Pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat! Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam dia pun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu. Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim hingga terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang sangat merdu, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu! Tiba-tiba saja ketiga orang kasar itu juga menghentikan gerakan mereka, wajah mereka berubah pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, semua menotok ke arah tangan yang memegang pedang. Terdengar suara berkerontangan pada waktu tiga batang pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya masing-masing kemudian jatuh ke atas lantai! Sambil masih duduk di atas bangkunya, Siangkoan Wi Hong menggerakkan kakinya, menginjak ke arah ketiga batang pedang itu satu demi satu. “Krek-krek-krek!” terdengar suara dan tiga batang pedang itu telah patah-patah! Melihat ini, Ji Lou Mu beserta dua orang pembantunya memandang terbelalak dan muka mereka seketika menjadi pucat! Tahulah mereka bahwa pemuda ini sama sekali bukan tandingan mereka! Akan tetapi Ji Lou Mu yang melihat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang, tidak mau mengalah begitu saja. “Kau tunggulah saja di sini, pembalasanku akan segera datang!” “Tring…! Trang…!” Siangkoan Wi Hong menjawab dengan suara yang-kimnya dan sekali ini terdengar suara ketawa di sana-sini. Agaknya para tamu restoran itu merasa lega dan timbul keberanian mereka melihat pemuda bopeng galak itu dapat dikalahkan. Mendengar ini, sambil mendengus Ji Lou Mu berkata kepada kedua orang pembantunya. “Mari pergi!” Akan tetapi baru saja dia dengan dua orang tukang pukulnya tiba di atas tangga, tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Siangkoan Wi Hong telah menghadang di depan mereka sambil tersenyum. “Mengapa kalian tergesa-gesa sekali? Kalau memang tergesa-gesa, biarlah aku mempercepat kepergian kalian.” Tangannya bergerak cepat sekali dan dia sudah menepuk punggung Ji Lou Mu dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, pemuda bopeng itu terpelanting dan terguling-guling ke bawah loteng melalui anak tangga itu. Dan dua orang pembantunya juga mengalami hal yang sama. Tiga orang itu bergulingan ke bawah panggung, diikuti suara tawa para tamu yang berada di atas loteng. Sambil merangkak, ketiga orang itu segera pergi dari restoran itu dengan muka pucat dan tubuh babak-belur. Pemilik restoran tergopoh-gopoh naik ke atas loteng, lantas menangis dan menjatuhkan diri di depan Siangkoan Wi Hong yang duduk kembali di atas bangkunya. “Ah, Siangkoan-kongcu, bagaimana ini… ahh, selamatkan kami dan restoran kami…” “Aihhh, engkau ini kenapa sih?” Siangkoan Wi Hong menegurnya sambil minum arak dari cawannya. “Kongcu belum tahu, Ji-siauwya tadi adalah putera dari Ji-ciangkun, kapten dari pasukan pengawal istana! Wah, celaka, tentu restoran ini akan diobrak-abrik, akan dibakar.” “Hemmm, aku tidak takut.” “Benar, kongcu memang tidak takut, akan tetapi bagaimana dengan kami? Kami tentu akan dihukum, dibunuh… ahhh…, tolonglah, kongcu!” “Hemmm, dia itu putera kapten pasukan pengawal apakah? Pasukan Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Baju Emas) atau pasukan Gi-lim-kun (pasukan pengawal pribadi kaisar)?” “Bukan, akan tetapi pasukan istana bagian luar.” “Hemm, yang dipimpin oleh Panglima Giam?” “Benar, kongcu.” “Jangan khawatir. Panglima Giam itu sahabatku, dan aku akan menunggu di sini sampai ayah si kerbau dungu itu datang. Bangkitlah, dan suguhkan arak berikut daging kepada semua tamu yang kini berada di loteng ini, atas namaku yang akan membayarnya. Hayo saudara-saudara, kita berpesta sebagai rasa terima kasihku atas bantuan moral saudara-saudara!” katanya dengan ramah kepada semua tamu dan belasan orang itu yang segera menyambutnya dengan sorak gembira. “Siang Hwa, mari bernyanyilah!” Siangkoan Wi Hong mengajak pelacur cantik itu. Akan tetapi ternyata wanita itu masih pucat sekali dan tubuhnya masih gemetar, mana mungkin dia dapat bernyanyi? Tentu suaranya akan menggigil pula! Tetapi sementara itu Siangkoan Wi Hong sudah memainkan yang-kimnya dengan jari-jari tangan yang gapah sekali hingga terdengarlah nyanyian yang-kim yang merdu. Diam-diam Thian Sin merasa kagum sekali dan dia merasa menyesal kenapa dia tidak membawa sulingnya. Tentu dia akan meniup sulingnya untuk mengimbangi bunyi yang-kim itu. “Hayo, Siang Hwa, apakah kau masih takut?” pemuda itu membujuk, akan tetapi wanita itu masih belum sadar kembali dan masih ketakutan. “Ha-ha-ha, penakut. Lihat, dua orang saudara muda ini tenang-tenang saja. Sungguh luar biasa mereka ini, patut dipuji dengan nyanyian,” sambil terus memainkan yang-kimnya, tiba-tiba saja pemuda itu sudah menyanyikan lagu yang dibuatnya pada saat itu juga! Dua anak burung baru keluar dari sarang mereka masih belum berpengalaman dan muda belia namun demikian tenang dan gagah perkasa pasti bukan anak burung biasa belaka setidaknya tentu anak burung garuda! Han Tiong dan Thian Sin terkejut dan juga kagum. Pemuda yang bernama Siangkoan Wi Hong ini tampan dan kaya, royal dan pandai bergaul, memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi mengagumkan, dan kini ternyata sangat pandai menggubah nyanyian seketika dan langsung menyanyikannya, dan nyanyian itu berisi pujian bagi mereka berdua, akan tetapi sekaligus seperti sudah mengenal rahasia mereka! Benar-benar seorang yang amat lihai dan karenanya amat berbahaya. Akan tetapi Thian Sin yang sejak tadi memang sudah kagum sekali, timbul kegembiraan hatinya pada saat mendengar nyanyian ini. Dia sendiri adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, bahkan dia pun merupakan seorang yang amat berbakat dan ahli membuat sajak, karena itu dia merasa digerakkan dan didorong oleh sikap Siangkoan Wi Hong yang menggembirakan itu. Bagaikan tidak sadar dia lalu menjawab nyanyian itu dengan nyanyiannya, nyanyian yang sederhana saja sehingga amat mudah diikuti oleh suara yang-kim, akan tetapi suaranya terdengar nyaring dan merdu, juga gagah, tidak kalah bagusnya dari suara Siangkoan Wi Hong tadi! Lemah lembut, ramah dan baik budi sebagai sahabat yang menarik hati dengan sumpit menyuguhkan hidangan berarti dengan sumpit pandai membela diri dengan yang-kim pandai menghibur hati membuat sajak dan bernyanyi memuji sungguh seorang pendekar yang pantas dihargai! Sepasang mata Siangkoan Wi Hong terbelalak dan dia pun bertepuk tangan memuji, lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya, “Sungguh hebat, Thian-lote! Sungguh hebat! Aku terima kalah!” Dan dia pun minum arak secawan itu. Sementara itu, melihat sikap mereka, Siang Hwa sudah pulih kembali keberaniannya dan tak lama kemudian bernyanyilah wanita ini, diiringi suara yang-kim dan memang benarlah keterangan Siangkoan Wi Hong tadi. Wanita ini selain cantik manis, juga memiliki suara nyanyian yang merdu sekali. Suasana di loteng restoran itu menjadi riang gembira karena para tamu yang tadi diberi hadiah suguhan arak dan daging gratis itu, dan kini disuguhi nyanyian merdu lagi, sudah pada bertepuk tangan, mengiringi irama nyanyian karena mereka pun telah mulai mabuk. Hanya Han Tiong yang masih nampak tenang dan serius, meski pun kegembiraan itu juga membuat wajahnya yang tampan membayangkan kejujuran dan kebaikan hati itu berseri. Akan tetapi, pandang matanya terhadap Siangkoan Wi Hong kadang-kadang amat tajam penuh selidik dan dia pun merasa gembira melihat Thian Sin mengetuk-ngetukkan sumpit pada meja untuk mengikuti irama lagu yang dinyanyikan oleh Siang Hwa dengan sangat indahnya. Dia tahu bahwa agaknya adik angkatnya itu menemukan ‘dunianya’ karena belum pernah dia melihat adiknya segembira itu, sungguh pun adiknya itu pun, seperti juga dia, hanya minum sebanyak dua cawan arak saja dan sama sekali tidak mabuk seperti para tamu di loteng itu, juga seperti Siangkoan Wi Hong yang agaknya juga sudah mabuk. Sampai kurang lebih dua jam mereka bersenang-senang dan para pelayan restoran sibuk menambahkan daging dan arak yang terus diminta. Tiba-tiba para pelayan berlarian dan para tamu yang duduk di pinggir loteng dan menjenguk ke bawah menjadi pucat. Biar pun sebagian besar dari mereka itu sudah mabuk, akan tetapi melihat orang-orang berpakaian seragam dan naik kuda mengurung restoran itu, mereka tahu apa yang akan terjadi. “Celaka, restoran itu dikurung pasukan! Wah, kita semua akan ditangkap!” “Mungkin dibunuh!” “Dituduh pemberontak!” cerita silat online karya kho ping hoo Siangkoan Wi Hong mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata, suaranya nyaring dan tenang, “Saudara-saudara semua, duduklah di tempatnya masing-masing dan jangan bergerak, jangan panik. Serahkan semua kepada aku orang she Siangkoan, sebab akulah yang bertanggung jawab. Jangan khawatir, tak akan terjadi apa-apa. Kalau ada di antara saudara yang sampai tewas dalam peristiwa ini, aku akan menebusnya dengan seribu tail perak yang akan kuserahkan kepada keluarganya! Siang Hwa, bernyanyilah lagi…” “Aku… aku tidak sanggup… kongcu…” Siang Hwa menggelengkan kepala dan mukanya sudah pucat lagi, telinganya dipasang baik-baik untuk mendengarkan derap kaki kuda dan ringkik mereka di bawah loteng. “Siangkoan-toako, biarlah aku yang bernyanyi,” tiba-tiba Thian Sin berkata. “Bagus!” Siangkoan Wi Hong memuji dan Thian Sin segera bernyanyi, nyanyian gembira. Kaisar dan para pembesar berpesta-pora dalam kemewahan gedung istana siapa berani mengganggunya? Kita rakyat biasa dengan hidangan seadanya bergembira ria apa salahnya? Eh, tahu-tahunya dikepung pasukan tentara yang katanya pelindung rakyat jelata Hayaaaaa...! Baru selesai dia bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara gaduh banyak kaki naik ke tangga dan muncullah seorang komandan pasukan yang berusia lima puluh tahun lebih, bersikap galak, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian indah mengkilap, diikuti oleh belasan orang pasukan pengawal yang kesemuanya mengenakan pakaian seragam dan masing-masing memegang sebatang pedang mengkilap di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. “Jangan bergerak semua yang berada di loteng!” komandan itu membentak dengan suara terlatih sehingga terdengar mengandung wibawa. “Siapakah di antara kalian yang sudah berani memukul Ji-siauwya?” Sepasang mata komandan itu dengan tajamnya menyapu ruangan, jelas kemarahan hebat membayang di wajahnya yang kurus. Sunyi senyap di tempat itu sesudah pertanyaan ini. Sunyi yang menegangkan dan Siang Hwa mulai tak dapat menahan isaknya yang ditahan-tahan. Dengan tenang Siangkoan Wi Hong bangkit dari tempat duduknya, kemudian melangkah ke depan menghadapi kapten pasukan itu sambil menjawab, “Akulah orangnya!” Komandan itu memandang kepada pemuda itu seolah-olah pandang mata seekor singa yang hendak menerkam mangsanya. Tangan kanannya telah meraba gagang pedangnya dan kini anak buahnya telah maju, siap membantu komandan mereka bila diperintahkan. “Hemmm, engkaukah Ji-cianbu (kapten Ji) yang memimpin pasukan ini? Lihat baik-baik, Cianbu, lupakah engkau padaku? Bukankah seminggu yang lalu engkau juga hadir ketika Giam-ciangkun menjamuku sebagai tamunya? Aku datang dari Tai-goan, sudah lupakah engkau?” Sementara mata yang tadinya marah itu semakin terbelalak dan wajah itu berubah agak pucat sesudah dia teringat lagi dan tangan yang sudah meraba pedang itu menjadi lemas dan tergantung di sisi. Kemudian dia menjura. “Ahh, kiranya Siangkoan-kongcu! Ahh, maaf… akan tetapi mengapa kongcu…” “Hemm, puteramu yang tidak tahu diri, Cianbu. Semua orang di sini dapat menjadi saksi. Puteramu yang datang membikin kacau dan menggangguku, menyerangku. Terpaksa aku menghajarnya.” Suara pemuda itu kini penuh wibawa dan kereng. Mendadak wajah yang tadinya marah itu kini berubah menjadi penuh kekhawatiran dan kedukaan, dan suara yang tadi kereng memerintah itu kini berubah penuh permohonan. “Siangkoan-kongcu, harap suka mengasihani kami… kongcu tolonglah putera kami itu…” “Hemm, jika aku tidak mengampuni mereka, apakah kau kira mereka itu sekarang masih hidup?” kata Siangkoan Wi Hong dengan sikap yang membayangkan ketinggian hati dan memandang rendah kepada kapten itu. “Kongcu, sudah kuperiksakan pada tabib istana… katanya tak ada harapan… keracunan hebat, tolonglah, kongcu, kami hanya mempunyai seorang putera saja…” Siangkoan Wi Hong menggerakkan hidungnya dengan sikap menghina. “Jika sudah tahu puteranya hanya seorang, kenapa tidak dididik sebaiknya menjadi orang yang berguna?” Dia membentak. Perwira itu menjura dan mengangguk-angguk, mengucapkan kata-kata yang maksudnya mohon pertolongan. Siangkoan Wi Hong mengangguk. “Baiklah!” Dia lalu merogoh saku jubahnya, melemparkan kantong berisi uang yang nyaring bunyinya ke atas meja. “Siang Hwa, kau bayar semua hidangan, dan sisanya untukmu.” Wanita itu mengambil kantung uang, kemudian menjura. “Terima kasih, kongcu,” katanya dengan suara merdu. “Ji-wi lote, kuharap akan dapat bertemu lagi dengan kalian. Sungguh aku merasa gembira sekali dapat berkenalan dengan kalian. Thian-lote, engkau sungguh hebat. Di dalam hal bernyanyi dan bersajak, aku mengaku kalah. Sampai jumpa pula.” Dia lalu melangkah turun dari loteng dengan sikap dan lagak yang sembarangan, sambil mengangguk dan tersenyum ke kanan kiri kepada orang-orang yang memandang dirinya dengan penuh kagum. Yang-kim itu dipanggulnya bagaikan seorang prajurit memanggul tombak, sambil jemari tangan kirinya yang memanggul itu mempermainkan kawat-kawat yang-kim sehingga terdengar bunyi trang-tring nyaring. Tidak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda dari tempat itu ketika perwira dan pasukannya itu mengiringkan Siangkoan Wi Hong yang juga diberi seekor kuda pilihan. Barulah sekarang para tamu berisik membicarakan pribadi pemuda yang sangat hebat itu dan dari pembicaraan-pembicaraan ini tahulah Han Tiong dan Thian Sin bahwa Siangkoan Wi Hong memang seorang pemuda yang kaya raya dan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan para pembesar tingkat tinggi di kota raja. Oleh karena itu, tentu saja seorang perwira berpangkat cianbu sama sekali tidak berani menentangnya, karena komandan tertinggi pasukan itu, yaitu atasan dari Ji-cianbu sendiri adalah sahabat baik pemuda itu, bahkan pada minggu yang lalu Ji-cianbu melihat sendiri betapa atasannya menjamu pemuda itu dengan penuh kehormatan. Siang Hwa membayar semua harga hidangan dan sisa uang itu dibawanya pulang, diantar oleh dua orang pelayannya dengan naik kereta. Han Tiong mengajak adiknya untuk pergi meninggalkan restoran dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin memuji-muji pemuda itu. “Bukan main! Sungguh membuat aku kagum sekali. Orang she Siangkoan itu benar-benar hebat, seorang pendekar tulen yang patut dikagumi!” “Memang dia hebat, Sin-te, kaya raya, pengaruhnya besar, ilmu silatnya lihai dan dia juga pandai main yang-kim, pandai bersajak dan bernyanyi. Akan tetapi sayang, hatinya kejam bukan main.” “Ehh…?” Thian Sin menoleh kepada kakaknya dengan pandang mata heran. “Dia kejam? Justru sebaliknya. Dia baik sekali, ramah dan suka menolong…” “Itulah, adikku. Suka akan sesuatu atau tidak suka akan sesuatu secara berlebihan akan membuat orang kehilangan kewaspadaan. Bila mana engkau menyukai seseorang secara berlebihan, yang nampak dari orang itu hanyalah baiknya saja, sebaliknya kalau engkau membenci orang secara berlebihan, yang nampak darinya hanya buruknya saja. Namun sebaliknya, apa bila kita bebas dari ikatan suka dan tidak suka, maka barulah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan. Tidak tahulah engkau betapa dia tadi memberi pukulan-pukulan maut kepada tiga orang itu? Tepukan-tepukan yang membuat tiga orang itu jatuh ke bawah tangga adalah pukulan yang akan membunuh tiga orang itu. Tidakkah perbuatan itu ganas dan kejam sekali?” Thian Sin mencoba membantahnya, “Tapi… mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang. Si Bopeng itu sangat sombong, ada pun dua orang yang lain adalah kaki tangannya, mereka jahat, sudah layak dipukul!” “Hemm, dan layak dibunuh pula?” Thian Sin tak menjawab. Dia memang benci sekali kepada mereka bertiga yang sombong dan sewenang-wenang itu, akan tetapi tidak terdapat dalam pikirannya untuk membunuh mereka. Betapa pun juga, dia tetap membela, “Tiong-ko, hendaknya engkau bersikap adil. Coba andai kata Saudara Siangkoan itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, apakah bukan dia yang sudah menggeletak tanpa nyawa, menjadi korban keganasan orang she Ji itu?” “Kalau memang terjadi demikian, tentu kita turun tangan melindunginya. Dan andai kata terjadi dia dibunuh oleh mereka, tentu bukan dia yang kukatakan kejam, melainkan orang she Ji dan dua temannya.” “Tapi dia hanya membela diri, Tiong-ko!” “Hemm, kau melihat jelas bahwa pukulan maut itu dilakukan bukan untuk membela diri. Dia dengan mudah dapat mengalahkan mereka bertiga tanpa harus menurunkan tangan maut! Adikku, bagaimana pun juga, kita harus berusaha menyelamatkan nyawa orang itu. Mereka terkena pukulan sinkang yang kuat sekali, tetapi agaknya kita masih akan dapat menolong mereka. Kita coba saja!” “Ahh, kita menolong orang jahat itu?” “Bukan, adikku. Kita bukan menolong orang-orang jahat, bukan membantu orang-orang jahat, melainkan mencoba untuk menolong orang-orang yang diancam maut. Marilah!” Terpaksa Thian Sin mengikuti kakaknya dan sesudah bertanya-tanya, dengan mudahnya mereka dapat menemukan rumah gedung dari Ji-cianbu, yakni perwira pengawal istana itu. Teringat bahwa tadi orang she Siangkoan juga diajak pergi oleh Ji-cianbu ke tempat ini, dan kini nampak banyak pengawal dengan kuda mereka menanti di depan gedung. Han Tiong lalu mengajak adiknya mengambil jalan memutar, kemudian mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk melompati pagar tembok, memasuki taman dan dengan loncatan-loncatan tanpa menimbulkan suara mereka telah naik ke atas wuwungan rumah dan mengintai ke dalam dari atas genteng. Mereka melihat Siangkoan Wi Hong tengah duduk berhadapan dengan Ji-cianbu di dalam ruangan yang luas dan di sana terdapat tiga buah pembaringan di mana rebah terlentang tiga orang yang tadi membikin ribut di restoran. Wajah mereka pucat agak kehijauan dan ketiganya mengeluh lirih dan bergerak lemah. “Hemm, mengapa begini lama?” terdengar Siangkoan Wi Hong bertanya, nada suaranya mengandung ketidak sabaran. Dengan gugup perwira itu bangkit dan menjura, “Harap kongcu bersabar… tentu kongcu maklum betapa sukar bagi kami untuk mengumpulkan uang lima puluh tail emas dengan pangkat dan gaji kecil seperti saya… sabarlah, karena tentu isteri saya sedang mencari pinjaman ke sana-sini…” “Ha-ha-ha-ha, Ji-cianbu, tak perlu lagi engkau bersandiwara di depanku. Siapa yang tidak mengetahui keadaan para pembesar di kota raja? Gajimu boleh jadi memang kecil dan tidak seberapa, seperti gaji para pembesar lainnya, bahkan pembesar tinggi sekali pun berapa sih gajinya? Akan tetapi lihat gedung-gedung kalian, lihat isi rumah kalian, lihat isi gudang kekayaan kalian! Jika hanya mengandalkan gaji kalian, biar kalian bekerja sampai tujuh turunan sekali pun tidak mungkin dapat mengumpulkan kekayaan sebesar itu. Lalu dari mana? Ha-ha-ha, semua orang pun sudah tahu, hanya kalian saja orang-orang tolol yang mengira bahwa tidak ada orang yang tahu. Sudahlah, cepat sediakan jumlah yang kuminta, itu masih terlalu murah untuk mengganti tiga nyawa. Kalau tidak, aku akan pergi, karena aku masih mempunyai banyak urusan!” “Baikiah, baiklah…” Ji-cianbu lalu bertepuk tangan dan ketika seorang pengawal masuk, dia berbisik, “Cepat, minta kepada hujin untuk cepat datang membawa uang itu.” Siangkoan Wi Hong sudah mengentrang-ngentrang yang-kimnya, sikapnya acuh tak acuh dan kepada pemuda ini, Ji-cianbu menjura dan bertanya, “Yakin benarkah kongcu bahwa kongcu akan dapat menyembuhkan anakku?” “Cringgg!” Bunyi kawat paling kecil dari yang-kim itu begitu nyaringnya sehingga Ji-cianbu terkejut dan melangkah mundur. “Aku yang memukul, tentu saja aku dapat menyembuhkan!” Tak lama kemudian muncullah seorang nyonya setengah tua tergopoh-gopoh membawa bungkusan kain kuning yang berisi uang. Ji-cianbu mengambil bungkusan ini dari tangan isterinya dan menyerahkannya kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda itu menerimanya, sambil tersenyum dia membuka kantung itu dan melihat isinya yang ternyata uang-uang emas, berupa potongan-potongan besar yang berkilauan. Dia menimang-nimang dengan tangan seperti hendak memeriksa beratnya, lalu memasukkan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar. Setelah itu dia berkata, “Buka baju mereka!” Ji-cianbu memanggil pengawal dan dia bersama dua orang pengawal lalu membuka baju Ji Lou Mu dan dua orang tukang pukulnya. Ketika tubuh mereka dibalikkan, di punggung mereka nampak cap tangan menghitam, jelas sekali bagaikan dilukis dengan tinta. Itulah bekas tangan Siangkoan Wi Hong ketika menepuk punggung mereka satu demi satu itu! Siangkoan Wi Hong menghadapi mereka, lalu dengan cepat jari-jari tangannya menotok beberapa jalan darah pada sekitar punggung, kemudian dia menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung yang terluka. Tak lama kemudian, nampak asap atau uap mengepul dari punggung yang ditempeli telapak tangan itu, seolah-olah dibakar! Ji Lou Mu mengeluh dan mengerang kesakitan, tetapi dihardik oleh Siangkoan Wi Hong. “Pengecut, diamlah! Masa menderita nyeri sedikit saja sudah merengek cengeng?” Dibentak seperti itu, Si Muka Bopeng terdiam dan menahan nyeri sampai mukanya penuh keringat. Tidak lama kemudian Siangkoan Wi Hong melepaskan tangannya dan ternyata tanda hitam itu telah lenyap. “Kau telan ini sehari sekali, tiga hari berturut-turut,” katanya sambil menyerahkan tiga butir pil hitam kepada Ji Lou Mu yang menerimanya dan kini pemuda muka bopeng itu sudah mampu duduk dan menghaturkan terima kasih. Dengan sikap tak acuh Siangkoan Wi Hong mengobati pula dua orang tukang pukul itu. Mereka tidak berani mengeluh sungguh pun jelas bahwa mereka menderita nyeri hebat. Akhirnya mereka pun disembuhkan dan masing-masing diberi tiga butir pil hitam. “Nah, aku pergi sekarang. Biarlah ini menjadi pelajaran bagi puteramu agar lain kali jangan bersikap sembarangan dan sewenang-wenang!” Setelah berkata demikian, dengan diantar oleh Ji-cianbu yang membungkuk-bungkuk dan berkali-kali menyatakan terima kasih, pemuda itu memanggul yang-kimnya lantas keluar dari gedung itu. Dia menolak ketika diberi kuda dan melangkah ke jalan raya lalu berjalan seenaknya pergi dari situ. Sejak tadi, Han Tiong dan Thian Sin melihat semua peristiwa itu dan diam-diam Thian Sin merasa kaget sekali. Melihat betapa Siangkoan Wi Hong yang dikaguminya itu memeras meminta uang emas sebelum mau mengobati Ji-kongcu dan dua orang tukang pukulnya! Segera sesudah Siangkoan Wi Hong pergi, mereka pun diam-diam meloncat turun dari atas genteng melalui bagian belakang gedung dan pergi dari tempat itu. “Hemm, lima puluh tail emas…!” Han Tiong bersungut-sungut. Thian Sin maklum bahwa kakaknya mencela perbuatan Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi semenjak tadi memang ada dua hal yang bertentangan berada di dalam benaknya. Yang pertama dia sendiri juga mencela perbuatan pemuda tampan itu yang melakukan pemerasan, akan tetapi di lain fihak dia pun merasa geli dan kagum karena perbuatan itu dapat pula diartikan sebagai hukuman terhadap pembesar itu yang seperti hampir semua pembesar di jaman itu, merupakan koruptor-koruptor besar yang memeras keringat rakyat dan harta milik negara. “Akan tetapi, uang itu adalah uang hasil korupsi pembesar itu, Tiong-ko. Sudah layak bila orang macam Ji-cianbu itu dihukum seperti itu.” Han Tiong menoleh dan memandang pada adiknya dengan alis berkerut. “Sin-te, apakah dengan kata-kata itu engkau hendak maksudkan bahwa engkau membenarkan perbuatan orang she Siangkoan itu.” “Tidak, koko. Dia melakukan pemerasan dan itu sama saja dengan perampokan. Akan tetapi aku setuju kalau orang-orang seperti keluarga Ji itu diberi hajaran agar mereka itu dapat sadar dari perbuatan-perbuatan mereka yang tidak baik.” Lega rasa hati Han Tiong saat mendengar jawaban adiknya itu. “Di kota raja ini banyak terdapat orang pandai, tepat seperti yang diceritakan ayah. Baru orang she Siangkoan itu saja sudah memiliki kepandaian begitu hebat, belum lagi tokoh-tokoh tuanya. Maka kita harus berhati-hati, Sin-te, sedapat mungkin jangan sampai terlibat dengan mereka seperti yang telah terjadi tadi.” Mereka melanjutkan perjalanan ke losmen di mana mereka menyewa kamar. “Betapa pun juga, orang she Siangkoan itu amat menarik hati. Aku ingin sekali mendapat kesempatan untuk mencoba kepandaian silatnya.” “Hemm, kurasa dia merupakan lawan yang cukup tangguh. Lihat saja suara yang-kimnya. Kalau saja dia mau, dia dapat menyerang lawan dengan suara yang-kimnya, itu saja telah membuktikan bahwa dia memiliki khikang yang amat kuat. Dan ketika dia meloncat untuk menghadang tiga orang itu jelas nampak kelihatan ginkang-nya, kemudian pada waktu dia mengobati mereka bertiga itu, dia mampu menggunakan sinkang untuk membakar racun pukulannya sendiri. Hemm, dia seorang lawan yang tangguh sekali!” “Justru karena itulah aku ingin sekali mencobanya, Tiong-ko, akan tetapi sebagai sahabat, bukan sebagai musuh.” Pada saat mereka sampai di depan losmen, bukan pengurus atau pelayan losmen yang menyambut mereka di depan pintu, akan tetapi Siangkoan Wi Hong! Sambil tersenyum ramah pemuda tampan itu berdiri menyambut mereka sambil menjura. “Selamat malam, sahabat-sahabatku yang baik,” kata pemuda itu. Dan terpaksa dua orang kakak beradik ini membalas penghormatan orang tapi diam-diam merasa heran bagaimana orang itu dapat mengetahui tempat mereka bermalam! Setelah sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan dengan Siangkoan Wi Hong, maka tampaklah betapa pemuda itu bertubuh agak jangkung, lebih tinggi dari pada mereka berdua. “Siangkoan-toako, bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa kami bermalam di losmen ini?” tanya Thian Sin, tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya bertemu dengan orang ini. “Ha-ha-ha!” Deretan gigi yang teratur bagus itu berkilat ketika dia tertawa dan sinar lampu depan losmen menimpanya. “Sudah kukatakan bahwa di kota raja ini aku memiliki banyak sekali kenalan, maka apa sukarnya mencari tahu di mana kalian bermalam!” “Saudara Siangkoan Wi Hong, sesungguhnya ada keperluan apakah yang membuat anda bersusah payah datang ke sini dan menanti kami berdua?” Han Tiong bertanya, sikapnya terbuka dan ramah, akan tetapi dari pandang matanya terpancar cahaya yang membuat Siangkoan Wi Hong merasa gugup. Siangkoan Wi Hong cepat menutupi kegugupannya dengan senyumnya yang manis, “Ah, setelah mendengar bahwa kalian tinggal di sini, aku lalu cepat-cepat datang ke sini untuk menawarkan kamar di dalam rumahku kepada kalian. Sebagai sahabat-sahabatku yang sangat baik, tidak semestinya kalau Anda berdua tinggal di tempat ini. Marilah, ji-wi lote, mari ikut bersamaku, aku mengundang ji-wi untuk tinggal di rumahku selama ji-wi berada di kota raja.” Dengan mengembangkan lengannya orang she Siangkoan itu berkata sambil tersenyum, sikapnya ramah dan menyenangkan sekali sehingga Thian Sin telah menoleh ke arah kakaknya kemudian memandang kakaknya dengan sinar mata penuh persetujuan menerima undangan itu. Akan tetapi sambil tersenyum Han Tiong berkata dan menjura. “Banyak terima kasih atas segala kebaikan loheng (kakak). Akan tetapi kami tidak berani banyak mengganggu. Kami akan merasa lebih leluasa bermalam di kamar losmen ini dari pada di rumah Siangkoan-loheng, oleh sebab itu harap loheng tak kecewa dan juga tidak menganggap kami kurang terima. Sesungguhnya kami merasa tidak enak sekali untuk menerima banyak kebaikan darimu. Tidak, Siangkoan-loheng, kami akan bermalam di sini saja dan sekali lagi terima kasih.” Di bawah sinar lampu losmen itu, Siangkoan Wi Hong menatap wajah Thian Sin dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa Thian Sin melirik ke arah kakaknya tetapi segera menunduk, maka tahulah dia bahwa sang adik angkat itu amat tunduk kepada sang kakak angkat. Dia pun tersenyum. Dari sinar matanya, dia maklum bahwa orang seperti Han Tiong yang memilki sinar mata bagaikan naga itu adalah seorang yang berhati teguh dan sekali mengeluarkan kata-kata sudah pasti tidak akan mudah dibelokkan lagi. Maka dia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan membujuk seorang pemuda seperti Han Tiong dan dia pun menjura. “Baiklah, jika ji-wi tidak mau tinggal di rumahku, harap ji-wi suka berjanji untuk sekali-kali singgah di rumahku sebelum pergi meninggalkan kota raja. Toko dan rumah ayah berada di sebelah kanan pasar, di seberang Jembatan Ayam Putih. Asal ji-wi menanyakan rumah she Siangkoan setiap orang pun di sana akan dapat menunjukkan di mana adanya rumah kami.” Han Tiong merasa bahwa dia keterlaluan kalau menolak undangan singgah ini, maka dia pun menjura kemudian berkata, “Baiklah, Siangkoan-loheng, kami berjanji akan singgah ke rumah loheng sebelum kami melanjutkan perjalanan ke selatan. Mudah-mudahan kami tidak terlalu mengganggu.” “Ha-ha-ha, Cia-lote terlalu sungkan. Nah, sampai jumpa!” Orang itu lalu pergi memanggul yang-kimnya, berjalan melenggang seenaknya, diikuti pandang mata dua orang pemuda Lembah Naga itu. Mereka lalu memasuki kamar dan masih berkesan tentang pertemuan dengan Siangkoan Wi Hong yang tidak disangka-sangkanya itu, “Orang itu sungguh aneh dan mencurigakan sekali,” kata Han Tiong. “Aku gembira dapat berjumpa dengan dia dan kita sudah berjanji hendak singgah. Koko, kalau kita singgah di rumahnya, kesempatan itu akan kupergunakan untuk mengajaknya mencoba ilmu silat.” “Tidak, Sin-te. Jangan kau lakukan hal itu. Ketahuilah bahwa orang seperti dia itu tentu amat terkenal di tempat ini, apa lagi kita pun tahu bahwa dia mempunyai kenalan banyak pembesar-pembesar istana. Kalau engkau sampai mengadu ilmu dengan dia, sudah tentu engkau akan berusaha untuk menang dan sekali engkau menang darinya, apa kau kira kita masih dapat menyimpan rahasia kita? Tentu semua di kota raja akan tahu dan akan sukarlah menyimpan rahasia bahwa kita datang dari Lembah Naga, apa lagi kalau sampai diketahui bahwa engkau she Ceng…” “Hemmm, aku tidak takut!” kata Thian Sin penasaran. She-nya sama dengan she kaisar! Tetapi dia tidak takut ditangkap atau dibunuh seperti yang terjadi pada ayahnya. Dia akan melakukan perlawanan! “Siapa bilang engkau takut adikku? Akan tetapi kita harus dapat bersikap cerdik dan tidak sembarangan menuruti nafsu. Apa sih perlunya mencoba orang seperti dia itu? Ingat, kita pergi merantau ini untuk meluaskan pengetahuan, dan bukan untuk memancing terjadinya keributan. Kukira engkau tidak akan suka untuk membikin pusing dan susah kepadaku, bukan?” Ditanya demikian, Thian Sin memegang lengan kakaknya “Ah, tentu saja tidak, Tiong-ko. Apa kau sangka aku sudah gila ingin menyusahkanmu? Maafkan aku, biarlah kucabut lagi keinginanku untuk mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong kalau memang engkau tidak menyetujuinya. Aku hanya akan melakukan sesuatu dengan persetujuanmu, Tiong-ko dan kau tentu tahu akan hal ini.” Demikianlah, dengan hati lega melihat adiknya yang telah ‘tenang’ kembali itu, Han Tiong lalu mengajak adiknya tidur. Namun baru saja mereka akan pulas, mendadak pintu kamar mereka diketuk orang! Sebagai ahli silat tingkat tinggi, sedikit suara itu sudah cukup untuk membuat mereka sadar benar dan berloncatan turun dari tempat tidur. Dengan amat hati-hati Han Tiong membuka pintu kamar dan dua orang pria dengan tubuh sempoyongan memasuki kamar sambil tertawa-tawa. Ketika melihat Han Tiong dan Thian Sin, dua orang itu lalu saling pandang. “Eh, kenapa begini? Mana dua orang nona manis itu? Heh-heh, sobat-sobat, lekas keluar, kalian telah menempati kamar kami, dan ke mana perempuan-perempuan manis itu kalian sembunyikan?” “Hayo keluar!” kata orang ke dua kemudian mereka mengambil sikap mengancam hendak mengusir Han Tiong dan Thian Sin dengan kekerasan. “Keparat pemabukan!” Thian Sin membentak dan sudah hendak turun tangan, akan tetapi lengannya dipegang oleh Han Tiong. “Mereka ini sedang mabuk, perlu apa dilayani?” katanya kepada adiknya. Kemudian dia melangkah maju menghadapi kedua orang itu. “Saudara-saudara salah masuk, ini adalah kamar kami, harap kalian suka keluar lagi.” Sambil berkata demikian, dengan halus Han Tiong mendorong mereka keluar. “Apa?! Kau hendak memukul?” seorang di antara mereka membentak dan orang itu telah mengayun tangan memukul ke arah Han Tiong. Akan tetapi pemuda ini hanya mengelak sedikit dan dia terus mendorong mereka keluar dari kamar tanpa membalas. Setelah keduanya tak dapat bertahan dan terdorong keluar, dia lalu menutupkan lagi pintu kamarnya. Dua orang itu menggedor-gedor dari luar, akan tetapi Han Tiong mendiamkan saja dan dia melarang Thian Sin yang marah-marah ingin menghajar mereka itu. Akhirnya dua orang mabuk itu pergi juga. “Tiong-ko, engkau terlalu sabar!” Thian Sin mencela. “Orang-orang mabuk kurang ajar itu sepatutnya diberi hajaran biar kapok!” “Adikku yang baik, bukankah engkau tahu bahwa mereka itu mabuk dan tidak sadar? Kita yang tidak mabuk dan yang sadar sepatutnya kalau mengalah.” “Tapi tadi mereka memukulmu!” “Memang, dan itulah kalau orang mabuk. Apa bila aku yang tidak mabuk balas memukul, habis lalu apa bedanya antara dia yang mabuk dan aku yang tidak mabuk? Adikku, bukan berarti bahwa aku sabar, melainkan karena mana mungkin aku marah terhadap orang mabuk?” Mereka tidur kembali dan malam itu tidak terjadi hal-hal menarik. Pada keesokan harinya, mereka berdua melanjutkan pesiar mereka untuk melihat-lihat kota raja yang amat ramai itu. Mereka pergi ke pasar dan Han Tiong bersama adiknya membeli beberapa macam buah-buahan yang belum pernah mereka makan atau bahkan lihat sebelumnya. Dengan dua tangan membawa keranjang-keranjang berisi macam-macam buah, mereka berjalan kembali ke losmen. Pada waktu mereka tiba di sebuah mulut gang yang sempit di dekat pasar, tiba-tiba saja seorang pemuda tinggi besar menabrak Han Tiong. Karena tak menyangka-nyangka, biar pun dia dapat mengatur kakinya sehingga tidak sampai jatuh, namun dua buah keranjang terisi buah-buahan itu lantas terbuka keranjangnya sehingga buah-buahan itu berceceran dan menggelinding di atas tanah! “Heii, di mana matamu?!” bentak pemuda tinggi besar itu. Dari belakangnya datang lima orang pemuda lain, juga bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, berlagak bagaikan jagoan-jagoan muda yang banyak terdapat di kota-kota besar. Dengan angkuh mereka lalu menginjak-injak buah-buahan yang berserakan di jalan itu. “Heiii, itu buah-buah kami…!” Thian Sin membentak marah, tapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lantas dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi. “Harap kau maafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka sudah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku sudah ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli.” Sejenak Si Tinggi Besar itu menatapnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh kelima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, namun anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka. “Ahh, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!” Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka. Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya. “Apa maksudmu Sin-te?” “Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap demikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah perbuatan kita tadi tidak menimbulkan buah tertawaan karena sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?” Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu dia berkata, suaranya tenang dan tegas, “Adikku yang baik, engkau pun tahu bahwa justru seorang pendekar adalah orang yang tak mudah marah menurutkan perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula?” “Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!” Thian Sin membantah. “Mereka itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka gila dan kita pun akan menjadi gila pula. Mereka adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri dan menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya, dan sama jahatnya?” “Tetapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!” Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. “Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita? Apa bila semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi, tentu setiap hari akan terjadi keributan dan para pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanya orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Jika kita mau melayani, berarti kita ini malah membantu pengacauan mereka. Sudahlah, kita anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku.” Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya karena dia pun melihat kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sungguh tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang sedemikian remehnya. Justru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah ‘masak’. Maka hatinya pun menjadi dingin dan tenang kembali. “Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan kiranya penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamaian hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau kita terlalu lama berdiam di lempat seperti ini.” “Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita sudah berjanji untuk singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong.” Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula dia pun tahu bahwa adiknya ini diam-diam sangat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu, maka dia pun berkata, “Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san.” Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu sudah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja....


PENDEKAR SADIS JILID 11 :
TERNYATA sepagi itu Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan rumahnya sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Dan hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya yang-kimnya ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini menjadi senjata yang sangat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya Han Tiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira. “Ah, selamat pagi, selamat pagi! Girang sekali hatiku mendapat kunjungan kalian berdua! Silakan duduk… ehh, tidak, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah.” Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya lantas mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman. Siangkoan Wi Hong memesan supaya dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata, “Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang bersama dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!” Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak menyangka sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka! Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan serta malu-malu ketika para pelayan datang dan membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam. Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah dari pada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tidak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walau pun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati! Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran kenapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya lalu berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai ‘bunga’ pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biar pun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang pernah dibacanya, maka Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi, seperti juga halnya pelacur yang dulu pernah menemani kongcu ini di rumah makan. Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak ‘alim’, padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim! Melihat betapa kikuk sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana. Dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tak lagi membolehkan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya. “Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi saat engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?” Thian Sin tidak mampu menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini. Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan juga jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini sangat gagah perkasa, selain juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya. Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu. “Ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang sudah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!” Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak sinar kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, “Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?” “Aku memang sengaja memukul anaknya serta tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!” “Mengapa loheng menganggap mereka busuk?” Thian Sin mendesak sambil memandang kagum. “Tidakkah busuk mereka itu? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang amat sombong dan kasar, dan dia telah biasa bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Ada pun ayahnya… hemm, coba bayangkan, petugas berpangkat kapten seperti dia sanggup membayarku lima puluh tail emas secara tunai! Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahun pun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai pemuda yang sewenang-wenang, maka tidakkah pantas apa bila mereka itu dihajar?” Kembali Siangkoan Wi Hong tertawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan. “Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris saja tiga orang itu terbunuh…,” Han Tiong berkata mencela halus. Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. “Agaknya saudara Cia Han Tiong tidak mengerti tentang jiwa pendekar! Lagi pula, andai kata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?” Han Tiong menunduk dan tak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu lalu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, “Maaf jika saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu.” “Hemm… Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) dan suruh dia menanti di sana. Aku akan segera datang!” kata Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi pada saat itu Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu, oleh karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar! Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok. Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah, dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, “Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?” Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, “Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku.” “Apa? Apa maksudmu dengan itu?” Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali. “Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku amat kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan…” Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong segera menyambung, “Bukan dua orang pendekar seperti yang kau sangka?” Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian dia bangkit berdiri dan menjura, “Maaf, sesudah melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Tetapi ternyata mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka aku mohon maaf. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin turut menonton adu pibu ataukah tidak?” Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiri pun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sebenarnya sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka dia pun mengangguk dan menjawab, “Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat.” “Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!” pemuda itu berkata dengan sikap gembira karena betapa pun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini. Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, lalu memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruang tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan binatang-binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat. Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti karung-karung pasir, batu-batu besar untuk diangkat, dan sebagainya. Di sebelah kiri, di dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat ketiga orang pemuda itu memasuki ruangan. Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, sebagian rambutnya telah putih, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin. Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan kedua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lantas duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, “Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?” Yang ditanya hanya mengangguk, tetapi tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. “Silakan duduk, Lo-enghiong.” Kakek itu nampak tak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, dia pun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiri pun lalu duduk menghadapi kakek itu. “Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?” Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranya pun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, “Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!” Memang Siangkoan Wi Hong agaknya telah maklum, maka jawaban itu sama sekali tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia lalu berkata. “Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak bertemu dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghiong?” “Siangkoan-kongcu, harap kongcu tak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu.” “Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kau maksudkan, Lo-enghiong?” Nampaknya kakek itu semakin tidak sabar. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. “Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun, namun kongcu telah mencemarkan dia! Pertangungan jawab apa lagi kalau bukan minta agar kongcu bersedia mengawininya?” Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tidak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang! Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. “Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapa pun…” “Kongcu masih hendak menyangkal? Cucuku sudah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai laki-laki jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!” Kakek itu membentak marah. “Siapa yang menyangkal?” Dia lantas menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. “Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak mana pun, telah memadu kasih. Ehh, sekarang tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia…” “Siangkoan-kongcu! Aku adalah seorang tua, tak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tidak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?” Kakek itu bangkit berdiri. Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan kedua alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. “Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah seorang lelaki yang berani mempertanggung jawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan mana pun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!” “Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina orang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?” Kakek itu membentak. “Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?” “Siangkoan Wi Hong! Jangan menyangka bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tak tahu diri jika aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera seorang locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh dan dapat kau cemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa memang aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, namun untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawaku sekali pun! Apa bila engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap bila engkau tetap menolak, maka biarlah kutebus dengan nyawaku!” Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek kemudian berkata, “Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?” “Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau seorang di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah.” “Bagus sekali, memang aku pun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!” Sesudah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh pemuda itu sudah melayang ke tengah ruangan itu, lantas dia menggapai dengan sikap menantang sekali, “Mari, Kang-thouw-kwi!” Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, lalu dengan langkah lebar dia pun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata, “Kang-thouw-kwi, kita akan bertanding sebagai dua orang sahabat atau sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat.” “Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai seorang lelaki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan sudah menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!” Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. “Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!” Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali pada waktu tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu laksana gerakan seekor harimau buas yang mempergunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram. Dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang sangat kuat! Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah. Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut tukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah menjadi rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya pernah menjadi tawanan Pak-san-kui, sungguh pun menjadi tawanan yang kemudian diperlakukan manis bagaikan tamu-tamu agung. Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat dari wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, juga mendengar betapa pemuda itu sudah mencemarkan gadis cucu kakek itu, maka Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walau pun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu. Ada pun Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai seorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah kepada orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong. “Heiiiiittttt…!” Untuk ke sekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya pada waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong, karena itu semua serangannya itu adalah serangan maut yang sangat dahsyat dan berbahaya. Namun pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan ginkang yang lebih sempurna, dia selalu berhasil mengelak serta menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan pada kekebalan tubuhnya sehingga sungguh pun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka. “Hemmm, ternyata engkau masih dapat bertahan juga?” kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung selama lima puluh jurus dan melihat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya. Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan. Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan sebuah di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia harus terhuyung setelah terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja. Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagai seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat ini, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini segera berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap yang angkuh sekali. Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah! Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau pun menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Maka mereka dapat menduga bahwa pemuda itu pun memiliki sinkang yang sangat kuat dan dengan tenaga sinkang yang memenuhi perutnya, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka. Akan tetapi kalau tenaga sinkang-nya itu tidak jauh lebih kuat dari pada tenaga dorongan kepala lawan, maka banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya. Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan dia pun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan sepenuh tenaganya karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya semakin kencang dan sesudah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lantas meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu. Akan tetapi begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong telah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan yang tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas! Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seakan-akan memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Dia pun maklum akan kelihaian pemuda ini, maka dia segera mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apa lagi sesudah sepasang lengannya lumpuh tertotok itu. Akan tetapi, bagaimana pun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya bagaikan direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil. Dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, maka dia akan tewas! Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada dalam bahaya, apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih terus mengerahkan sinkang untuk membunuh kakek itu, ada pun tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit. Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya dan menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu. “Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?” Thian Sin berkata lirih sambil menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol. “Plakk-plakk-plakk!” Tiga kali dia menepuk dan akibatnya hebat bukan main. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya. Kini dia berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang barusan tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin. Ia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke dalam perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa amat dingin sampai menusuk jantung. Maka dia kaget sekali sehingga terpaksa melepaskan korbannya. Begitu terlepas kakek itu lalu terguling, namun sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan! Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong segera menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong. “Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja.” Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia telah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, “Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia.” Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, “Lo-enghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa secara sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu.” Sekarang kakek itu sudah terbuka matanya, sudah tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan kepalang. Tepukan-tepukan di pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya kemudian sampai di kepalanya hingga membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka dia pun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong. “Aku tua bangka yang tidak ada gunanya memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap.” Maka dia pun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tidak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu. Sesudah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti. “Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh.” Dia pun menatap tajam kepada Han Tiong, kemudian berkata. “Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah beberapa tahun yang lalu?” Han Tiong tahu bahwa kini sudah tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Maka dengan tenang dia pun berkata, “Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu.” “Dan aku adalah Ceng Thian Sin!” Thian Sin menyambung cepat. “She Ceng…?” Siangkoan Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu. “Benar!” “Kalau begitu… mendiang Ceng Han Houw…” “Dia adalah ayahku!” “Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!” Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu benar-benar lancang sekali mengenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi oleh pemerintah itu sungguh sangat berbahaya. Maka dia cepat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong. “Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan.” Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, “Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!” “Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!” Han Tiong membantah dan menolak. Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. “Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asalkan orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, dua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang dahulu namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimana pun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!” Setelah berkata demikian dan sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali. Dari pintu belakang lalu bermunculan enam orang. Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka. “Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira,” kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira. “Tetapi, kongcu, perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!” kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu. Sepasang mata Siangkoan Wi Hong yang biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba saja mendelik dan suaranya terdengar ketus, “Tolol! Kalian maju berenam pun jangan harap akan menang!” Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama. Sementara itu, Thian Sin sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!” Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia pun mengangguk, akan tetapi lalu berkata dengan suara penuh peringatan, “Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!” Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lantas memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin. Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapa pun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu. Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, “Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!” Si Tinggi Besar menjadi marah. “Serbu…!” dia memberi aba-aba. Lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu utama Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan mereka pun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka. Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia pun menahan kemarahannya dan tak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi, teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang! “Krekk!” Terdengar bunyi nyaring setiap kali dia menangkis, dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tak dapat menyerang lagi. Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang pada pemuda itu dengan kedua mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, dan sekali tangkis telah mematahkan lengan lima orang penyerangnya! Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar telah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia telah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin. Apa bila dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini. Akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini. Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menunggu sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lantas tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang. “Krokkk!” Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan… tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh. Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena jika teman-temannya itu hanya menderita patah tulang pada sebelah lengan saja, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Dengan sebelah tangan saja, terpaksa teman-temannya membantu dan menggotongnya keluar dari tempat itu! Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Dia lantas teringat akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu maka diam-diam dia pun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, “Ahh, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!” Akan tetapi Han Tiong telah menjura kepadanya, “Saudara Siangkoan, harap engkau suka memaafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita.” Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang sangat cerdik. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia pun melakukan pilihan. Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunannya ini lebih condong untuk menjadi satu golongan dengan dirinya, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai sehingga akan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sebisa mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Han Tiong harus dimusuhinya! “Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tapi tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat dibandingkan kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah. Oleh karena itu aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!” Terang bahwa pemuda hartawan itu sekarang menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong langsung menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan.” “Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?” “Terserah penilaianmu,” jawab Han Tiong tenang. Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. “Siapa bilang kami takut padamu?” bentaknya. “Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!” Thian Sin tak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, “Tak perlu kakakku yang turun tangan, aku pun sudah cukup untuk menandingimu!” Biar pun hatinya sangat menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapa pun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapa pun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya serta kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan terhadap semua orang. “Baik sekali, biariah kita bermain-main sebentar, Saudara Ceng!” Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya telah melakukan serangan. Dengan tangan terkepal, tangan itu cepat menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin! Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu lajunya seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga, ada pun tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan. “Dukkk!” Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar. Pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang sangat kuat, dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu. “Dukkk!” Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat. Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi telah merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sinkang-nya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi. Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga serta kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin. Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga ini pun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, karena itu dia pun segera menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya. Maka terjadilah serang menyerang, saling pukul, elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama semakin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang jika pertemuan antara kedua lengan itu sangat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik dalam hal kecepatan mau pun tenaga. Setelah lewat lima puluh jurus dan belum juga mampu mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru betul-betul terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tak kalah olehnya! Dia kemudian mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua telapak tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas. “Brettt-brettt…!” Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget. Serangan lawan yang sangat cepat dan aneh itu biar pun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya hingga membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguh pun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka. Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas semacam itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan seorang manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukannya menghadapi manusia burung yang datang dari atas. Setelah berhasil merobek baju pada kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan dia pun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali. “Wuuutt… wuuuttt…!” Angin menyambar-nyambar hebat saat dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat. Siangkoan Wi Hong terkejut bukan kepalang karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur. “Sin-te, jangan…!” Han Tiong memperingatkan. Thian Sin lalu sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawannya terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan. Maka dia pun cepat mengubah gerakannya dan sekarang dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Dengan ilmu silat yang amat tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung semua serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapa pun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu. Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan juga ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea hingga kemudian terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu. Selain gerakan-gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang sangat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang! Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan telah beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sinkang-nya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran. Pada waktu dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat-cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakkannya. “Plakk!” Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin. “Ahhhhhh…!” Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sinkang-nya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan. Dalam kagetnya itu, pemuda ini mengerahkan sinkang untuk menarik kembali tangannya. Akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sinkang-nya tersedot keluar. “Thi-khi I-beng…!” teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin telah menyambar kemudian menampar punggungnya. “Bukkk!” Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia pun roboh, lalu muntahkan darah segar. Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang di punggungnya itu walau pun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, akan tetapi telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlampau parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan. Melihat ini, Han Tiong cepat-cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu totokan dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat. “Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua,” katanya. Dia memberi isyarat kepada adiknya kemudian mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu. Siangkoan Wi Hong masih terlampau kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia sudah dikalahkan, karena itu dia pun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai dari pada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya. Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan dia pun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak menggunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita kerugian sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesal pun tak ada gunanya. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi. Dengan hati penuh rasa penasaran dan penyesalan, maka pada hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, ke tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya. *************** Han Tiong dan Thian Sin yang baru saja meninggalkan kota raja, sekarang merasa amat gembira dan takjub menikmati pemandangan alam yang begitu indahnya di Pegunungan Cin-ling-san. Setelah berhari-hari mereka tinggal di kota raja yang demikian sesak dengan manusia, yang demikian bising dan di mana mereka menemukan masalah-masalah yang tidak enak sekali, sekarang tempat yang berhawa sejuk dan segar, bersih dan hening itu nampak teramat indah dan menyenangkan! Memang sesungguhnyalah, kita harus mengakui adanya kenyataan betapa ulah manusia, yaitu diri sendiri, sudah membuat dunia ini menjadi suatu tempat tinggal yang kotor dan tidak enak ditinggali. Alam yang begitu sejuk, segar dan bersih seperti yang terdapat di pegunungan atau di dusun-dusun sunyi, langsung berubah menjadi panas, pengap dan kotor setelah penuh oleh manusia. Banyak memang terdapat makhluk hidup di dunia ini, namun, betapa pun nyaring suara makhluk-makhluk itu, tidak ada yang seperti suara manusia ketika mereka saling bicara. Suara manusia pada umumnya sudah dipenuhi dengan nafsu, penuh dengan keinginan mengejar senang, penuh dengan kedukaan, penuh dengan kemarahan, kebencian! Kalau kita memasuki sebuah pasar yang penuh manusia, mendengarkan suara, manusia dalam pasar itu, lalu membandingkannya dengan suara burung-burung dan binatang-binatang di dalam hutan, akan nampak perbedaan yang teramat besar. Kita tidak pernah dapat menikmati hidup, tidak pernah dapat menikmati sebuah tempat. Yang tinggal di kota ingin lari ke gunung, lari dari kebisingan dan menganggap bahwa keheningan akan lebih menyenangkan. Sebaliknya, kalau dia sudah tinggal di gunung, dia pun masih akan menderita karena merasa kesepian dan ingin kembali ke kota! Jarang terdapat orang yang benar-benar dapat menikmati keindahan alam, dan kalau pun ada, hanya dapat dihitung dengan jari saja agaknya! Kita baru dapat menikmati keindahan alam apa bila kita tidak membanding-bandingkan, apa bila pikiran kita kosong, tidak dipenuhi kesibukan, apa bila di dalam pikiran kita tidak terdapat gambaran tentang si aku dan tentang apa yang kusenangi dan tidak kusenangi. Keindahan dan kebahagiaan bukan berada di luar diri kita, keindahan dan kebahagiaan hanya terdapat di dalam jiwa yang bebas, bebas dari ikatan suka dan tidak suka yang menjadi permainan pikiran, yaitu pencipta si aku. *************** Senja itu memang indah bukan kepalang! Han Tiong dan Thian Sin yang kebetulan datang dari arah timur bisa sepenuhnya menikmati keindahan senja itu. Kata-kata tidaklah cukup untuk menggambarkan keindahan pada saat itu, keindahan senja tak dapat digambarkan, hanya dapat dirasakan. Seolah-olah terbuka pintu sorga dalam dongeng-dongeng nun jauh di langit barat. Langit yang pada kakinya seperti terjadi kebakaran, memerah jingga di lereng belakang bukit. Makin tinggi makin muda warna merah itu sampai menjadi warna setengah merah setengah kuning, dengan dilatar belakangi warna kebiruan, biru yang mengandung sedikit kehijauan, maka terjadilah percampuran warna antara merah, kuning dan biru, tiga warna pokok yang dapat membentuk segala macam warna yang sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata. Di antara langit yang dicoreng-moreng bermacam warna itu, di antara awan-awan yang menghitam kelabu dan yang membentuk bermacam corak dan bentuk yang melampaui segala yang dapat dikhayalkan otak, nampak sinar-sinar kuning emas dari matahari senja yang sudah mulai bersembunyi di balik puncak Gunung Cin-ling-san. Makin jauh matahari tenggelam, makin remang-remang cuaca dan keremangan itu seperti mendatangkan suatu keheningan yang baru, keheningan yang ajaib menyelimuti seluruh permukaan bumi. Pohon-pohon mulai menyembunyikan diri, menarik diri dari penonjolan di waktu siang, membuat persiapan untuk tenggelam dalam kegelapan yang segera akan tiba. Sebatang pohon yang-liu yang tinggi nampak di kejauhan, terpencil sehingga merupakan sesuatu yang hitam menentang keindahan berwarna-warni itu, dengan cabang-cabangnya yang melengkung indah dan halus, seakan-akan menunduk serta menghormati suasana yang hening, sedikit pun tidak bergerak, tidak seperti pada saat-saat lain di mana pohon yang-liu itu merupakan pohon yang paling luwes menari-nari lemah gemulai tertiup angin berdesir. Beberapa burung yang merupakan kelompok terbang mendatang dari selatan, seolah-olah merupakan seekor makhluk besar yang bergerak sambil mengeluarkan bunyi bercicit-cicit nyaring karena gerakannya yang seirama. Anehnya gerakan terbang dan bunyi bercicit itu sama sekali tidak mengganggu keheningan, bahkan merupakan bagian dari keheningan yang maha mendalam itu, sehingga terdapat perpaduan yang aneh di antara yang hening dan yang bising, yang diam dan bergerak. Keadaan yang tadinya diam dan hening seperti keadaan mati kini mengandung gairah dan bunyi yang menjadi pertanda hidup sehingga di dalam kematian itu terkandung kehidupan dan di dalam kehidupan itu pun terkandung kematian, keduanya tak terpisahkan lagi. Dua orang kakak beradik itu juga merupakan bagian dari pada keheningan maha luas itu dan mereka seperti dua titik tenggelam ke dalam suatu keluasan yang membuat mereka tidak ada artinya lagi, yang berarti hanyalah keluasan itu sendiri, keheningan itu sendiri di mana mereka tergulung. Hingga beberapa lamanya mereka berdua terpesona, melangkah tanpa terasa, namun dengan batin yang sadar akan semua itu, dan kebahagiaan yang mukjijat memenuhi rongga dada. “Ahh, tanpa terasa kini hari telah mulai gelap. Mari kita mempercepat langkah, itu puncak Cin-ling-san sudah kelihatan dari sini, Sin-te,” kata Han Tiong dan kata-kata ini bagaikan menyeret mereka kembali ke dalam alam dunia fana. “Mari, Tiong-ko,” jawab Thian Sin singkat, hatinya masih penuh pesona. Baru saja sampai di luar pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Cin-ling-pai, mereka telah disambut oleh para murid Cin-ling-pai yang sedang melakukan penjagaan. Karena kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda dewasa dan ketika dia dulu mengunjungi Cin-ling-pai dia masih kecil, pula karena waktu itu malam telah tiba dan tempat itu hanya diterangi dengan beberapa buah teng yang tergantung di pintu gerbang, maka tidak ada murid Cin-ling-pai yang mengenalnya. “Berhenti!” bentak murid Cin-ling-pai dan beberapa orang murid langsung mengepung dua orang pemuda itu, “Siapakah kalian dan ada perlu apa malam-malam begini datang ke sini?” Melihat sikap mereka yang gagah itu, Han Tiong tersenyum. “Agaknya saudara-saudara tak lagi mengenalku. Beberapa tahun yang lalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu, aku pernah datang bersama ayah dan ibu untuk berkunjung kepada ketua Cin-ling-pai.” “Ehhh, siapakah engkau…?” pemimpin para penjaga itu bertanya sambil mencoba untuk mengenal wajah yang nampak tenang dan jujur itu. “Kami datang dari Lembah Naga!” kata Thian Sin yang sudah tidak sabar lagi. Kini semua murid Cin-ling-pai terkejut dan makin mendekat untuk melihat wajah mereka. Mereka masih belum dapat mengenali Han Tiong, bahkan sama sekali tidak mengenal wajah Thian Sin yang tampan itu. “Lembah Naga…?” tanya mereka gagap. “Ketua Cin-ling-pai Cia Bun Houw adalah kakek kami,” kata Han Tiong. “Ohhh…! Jadi kongcu ini adalah putera Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong…?” Han Tiong mengangguk dan para murid Cin-ling-pai itu dengan gembira lalu mengiringkan Han Tiong dan Thian Sin masuk, ada pun beberapa orang anak murid Cin-ling-pai sudah lebih dulu berlari-lari ke dalam untuk memberi kabar gembira itu kepada ketua mereka. Tidak lama kemudian, nampak Kakek Cia Bun Houw bersama Nenek Yap In Hong keluar menyambut. Cia Bun Houw telah menjadi seorang kakek yang usianya enam puluh tahun, sedangkan Nenek Yap In Hong telah berusia lima puluh delapan tahun. Akan tetapi ketua Cin-ling-pai itu masih tampak sehat dan segar, sedangkan isterinya pun mempunyai tubuh yang langsing dan biar pun rambutnya sudah banyak yang putih, tapi garis-garis mukanya masih jelas membayangkan bekas-bekas kecantikan dan kegagahan. Biar pun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah jumpa dengan kakek dan neneknya itu, dan biar pun mereka sudah menjadi tua, namun Han Tiong masih mengenal mereka dan cepat dia pun maju menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di hadapan dua orang tua itu. Thian Sin juga mengikuti perbuatan kakaknya, karena betapa pun juga, kakek yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai ini adalah paman dari ibunya. Ketika tadi mendengar laporan bahwa ada tamu dua orang pemuda yang mengaku datang dari Lembah Naga dan mengaku bahwa ketua Cin-ling-pai adalah kakeknya, segera Cia Bun Houw dan Yap In Hong bergegas keluar dengan gembira. Mereka sudah menduga bahwa tentu Cia Han Tiong yang datang, hanya mereka agak merasa heran mengapa ada dua orang pemuda. Setahu mereka, Han Tiong tidak mempunyai adik. Yap In Hong tersenyum memandang kepada Han Tiong. Cucu ini sudah menjadi seorang pemuda yang bersikap gagah dan wajahnya membayangkan kejujuran serta ketenangan, sedangkan sinar matanya tajam penuh wibawa. “Aihh, engkau tentu Han Tiong! Sudah menjadi seorang pemuda dewasa sekarang! Bagai mana dengan ayah-bundamu? Mereka baik-baik sajakah?” “Terima kasih, ayah dan ibu dalam keadaan baik-baik saja dan mereka menitipkan salam hormat kepada kakek dan nenek berdua,” jawab Han Tiong dengan sikap hormat. “Han Tiong, siapakah pemuda ini?” tanya Cia Bun Houw. Dia bersama isterinya memandang kepada wajah yang tampan, cahaya mata yang tajam penuh membayangkan kecerdikan dan sikap yang lemah lembut dari pemuda yang juga berlutut di dekat Han Tiong itu. “Dia ini adalah adik angkat saya, akan tetapi sebenarnya dia pun masih keluarga sendiri, karena dia ini adalah putera tunggal mendiang Bibi Lie Ciauw Si. Namanya adalah Ceng Thian Sin.” “Ahhh…!” Yap In Hong menahan seruannya. Cia Bun Houw juga terkejut lantas terbayanglah olehnya akan segala yang dialami oleh keponakannya, Lie Ciauw Si itu. “Dia she Ceng, jadi dia adalah keturunan dari Ceng Han Houw?” Kemudian disambungnya dengan suara lirih, “Dan Lie Ciauw Si telah meninggal dunia?” Thian Sin cepat memberi hormat. “Benar sekali, Ceng Han Houw dan Lie Ciauw Si adalah mendiang ayah-bunda saya.” Cia Bun Houw merasa terharu dan dia cepat membangkitkan pemuda ini sedangkan Yap In Hong juga memegang pundak Han Tiong menyuruhnya bangun. “Mari, mari kita bicara di dalam…,” kakek dan nenek itu berkata dengan ramah dan mereka pun lalu memasuki rumah induk Cin-ling-pai yang cukup besar itu. Setelah mandi dan makan malam, dua orang pemuda Lembah Naga itu baru dipersilakan memasuki ruang duduk di mana telah menunggu kakek dan nenek mereka. Tadinya Han Tiong mengira bahwa tentu dia akan bertemu dengan Cia Kong Liang, pamannya yang sebaya dengan dia hanya tiga tahun lebih tua, akan tetapi ketika dia tidak melihat adanya pemuda yang telah dikenalnya itu di ruangan duduk, dia yang bersama Thian Sin sudah disuruh duduk, segera bertanya, “Kongkong, di manakah adanya Paman Cia Kong Liang? Mengapa sejak tadi saya tidak melihatnya?” “Ahhh, pamanmu? Dia baru kemarin berangkat pergi ke Bwee-hoa-san untuk menengok bibinya, yaitu Enci Cia Giok Keng yang kabarnya sakit,” jawab Cia Bun Houw. Mendengar disebutnya nama Cia Giok Keng ini, Thian Sin mengerutkan alisnya kemudian sambil memandang pada kakaknya dia berkata, suaranya lirih dan mengandung getaran haru. “Bukankah… beliau itu… nenekku, ibu mendiang ibuku? Ah, Tiong-ko, betapa ingin hatiku untuk berjumpa dengan nenekku itu… sudah begitu sering aku mendengar tentang beliau dari ibu…” Dia berhenti berbicara karena teringat bahwa dia berada di depan ketua Cin-ling-pai dan isterinya, dan betapa kekanak-kanakan sikapnya tadi. Akan tetapi Cia Bun Houw mengelus jenggotnya, diam-diam merasa terharu juga teringat akan riwayat kehidupan pemuda yang amat tampan ini. “Sungguh baik sekali bila engkau mempunyai keinginan itu di hatimu, Thian Sin. Memang sudah sepatutnyalah jika engkau pergi mengunjungi nenekmu. Beliau sudah tua dan kunjunganmu sebagai wakil mendiang ibumu tentu akan menggirangkan hatinya.” Kedatangan dua orang pemuda itu sungguh merupakan hal yang sangat membahagiakan hati Cia Bun Houw beserta isterinya sehingga hampir semalam suntuk mereka berempat bercakap-cakap dalam ruangan itu, di mana kakek dan nenek itu minta kepada Thian Sin untuk menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa keluarga Ceng Han Houw yang menyedihkan itu. Cia Bun Houw dan isterinya hanya dapat saling pandang sambil kadang-kadang menarik napas panjang ketika mendengar betapa Pangeran Ceng Han Houw tewas dalam sebuah pengeroyokan dan betapa isterinya Lie Ciauw Si, dengan gagah perkasa sudah membela suaminya sampai tetes darah terakhir. “Ibumu adalah seorang isteri yang hebat!” demikian komentar kakek dan nenek itu kepada Thian Sin setelah mereka mendengar penuturannya. Mereka sama sekali tidak memberi komentar apa-apa mengenai diri Pangeran Ceng Han Houw. Dan Thian Sin bukan seorang bodoh. Dia amat cerdik dan dia pun sudah tahu apa yang terkandung dalam hati kakek dan nenek itu setelah mendengar ceritanya. Dia tahu bahwa di dalam pandangan mereka, di dalam pandangan semua keluarga Cin-ling-pai, ayahnya hanya seorang laki-laki yang berambisi besar dan tidak segan-segan untuk memberontak, sehingga kematian ayahnya merupakan kematian seorang pemberontak yang telah wajar menerima hukuman, sebaliknya kematian ibunya adalah kematian seorang wanita gagah perkasa yang setia dan mencinta suaminya! Mendengar betapa neneknya, Cia Giok Keng, yang hidup berdua dengan suaminya, yaitu pendekar Yap Kun Liong di puncak Bwee-hoa-san kini sudah berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun itu, Thian Sin merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat bertemu lagi dengan neneknya yang sudah tua itu. Maka kemudian diambil keputusan bahwa dua orang pemuda itu pada besok pagi-pagi akan berangkat ke Bwee-hoa-san menyusul Cia Kong Liang yang telah menuju ke pegunungan itu pada hari kemarin. *************** O


PENDEKAR SADIS JILID 12 :
SEBAIKNYA kita mengikuti dulu perjalanan Cia Kong Liang. Seperti kita ketahui, suami isteri pendekar ketua Cin-ling-pai itu hanya mempunyai seorang putera, yaitu Cia Kong Liang. Ada pun Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga, adalah putera dari ketua Cin-ling-pai itu dari seorang wanita yang lain. Sebagai putera tunggal, tentu saja semenjak kecil Cia Kong Liang digembleng oleh ayah bundanya yang berilmu tinggi dengan bermacam ilmu silat. Dari ayahnya, dia digembleng dengan ilmu-ilmu khas dari Cin-ling-pai seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat dan lain sebagainya, dan dari ayah bundanya itu dia juga menerima ilmu Thian-te Sin-ciang yang hebat, karena merupakan gabungan dari Thian-te Sin-ciang kedua orang tuanya, bahkan ibunya juga mengajarkan penggunaan Siang-tok-swa (Pasir Harum Beracun). Akan tetapi, sesuai dengan watak seorang pendekar, pemuda ini tidak mau menggunakan pasir beracun, akan tetapi kepandaian itu bisa dilakukan dengan segala macam pasir atau tanah. Pendek kata, segala macam tanah kalau sudah berada di tangan pemuda ini dan digunakannya sebagai senjata rahasia, maka merupakan serangan yang amat berbahaya bagi lawan. Cia Kong Liang bertubuh tegap dan gagah sekali. Pakaiannya tidak mewah, akan tetapi juga tak terlalu sederhana dan selalu rapi. Sinar matanya yang tajam pada wajahnya yang tampan gagah itu mengandung keangkuhan, seolah-olah dia memandang rendah kepada orang lain, memandang orang lain dari tempat ketinggian! Memang sesungguhnyalah bahwa pemuda Cin-ling-pai ini memiliki watak yang agak tinggi hati. Dia tidak sombong, tetapi agak memandang rendah kepada orang lain. Dia berwatak pendekar, dan merasa dirinya seorang pendekar perkasa, putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal dan disegani, karena itu tidaklah mengherankan kalau ketinggian hati menyentuh batin pemuda yang perkasa dan masih belum masak ini, sungguh pun usianya sudah dua puluh dua tahun. Kong Liang melakukan perjalanan seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepanjang perjalanannya. Dia sedang mewakili ayah bundanya untuk dua urusan. Pertama adalah menengok pasangan suami isteri pendekar Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kakek dan nenek yang menjadi kakak dari ayah dan ibunya itu, dan kedua kalinya dia harus mewakili ayah bundanya, bahkan mewakili Cin-ling-pai untuk hadir dalam pesta ulang tahun dari datuk persilatan dari pantai timur, yaitu Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) yang juga mengirim undangan kepada ketua Cin-ling-pai. Masih banyak waktu, pikirnya, karena hari ulang tahun itu masih lebih dari satu bulan lagi. Karena perjalanan yang dilakukan seenaknya itu, maka dua hari kemudian barulah Kong Liang tiba di Bwee-hoa-san. Hati pemuda ini lega melihat betapa paman dan bibi tuanya itu dalam keadaan selamat, walau pun memang benar bibi tuanya nampak lesu dan tidak bersemangat. Yap Kun Liong yang dahulu amat terkenal sebagai seorang pendekar yang berilmu tinggi, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya telah tujuh puluh enam tahun. Rambutnya sudah hampir putih semua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi agak kurus itu masih dapat berdiri tegak dan gerak-geriknya masih sigap dan ringan. Demikian pula, Cia Giok Keng, puteri pendiri Cin-ling-pai itu pun masih nampak sigap, akan tetapi pada saat itu wajahnya agak pucat dan nampak tidak bersemangat, lesu bagaikan orang yang tidak sehat. Yap Kun Liong dan isterinya merasa girang sekali melihat kedatangan keponakan mereka itu dan setelah Kong Liang menceritakan tentang keadaan orang tua mereka yang berada dalam keadaan selamat dan sehat, Yap Kun Liong lalu berkata, sikapnya sangat tenang akan tetapi alisnya berkerut, “Kong Liang, tentu saja kami merasa sangat gembira melihat engkau datang berkunjung dan menjenguk kami dua orang tua yang kesepian ini. Akan tetapi, selain kegembiraan kami, juga hati kami merasa risau karena engkau datang sebelum urusan kami selesai. Kami harap saja engkau tidak akan terlibat dalam urusan kami ini.” Pemuda itu menatap wajah paman dan bibinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Memang sejak tadi dia dapat menduga bahwa tentu ada sesuatu yang merisaukan hati mereka terutama sekali hati bibinya. “Paman, urusan apakah yang membuat risau hati paman dan bibi berdua?” Dia merasa heran bagaimana ada urusan yang dapat merisaukan hati paman dan bibinya yang gagah perkasa ini, apa lagi dalam usia setinggi itu dan berada di tempat yang demikian sunyi. Seharusnya tak mungkin lagi mereka itu menemui urusan-urusan yang bisa menimbulkan kesukaran. Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Karena bibimu sedang kurang sehat, ditambah dengan munculnya urusan ini, sungguh menimbulkan ketidak tenteraman juga.” “Kong Liang, setua ini kami masih diancam oleh orang-orang jahat. Aku telah siap untuk menghadapi mereka dengan kekerasan, akan tetapi pamanmu ini sudah menjadi lemah, dia tidak setuju sehingga timbullah pertentangan di antara kami,” tiba-tiba Cia Giok Keng berkata sambil melirik ke arah suaminya. Kong Liang telah mendengar bahwa bibinya ini mempunyai watak yang keras pada waktu mudanya, dan agaknya, biar pun sekarang sudah tua, tapi kekerasan dalam menghadapi musuh itu masih nampak, berbeda dengan pamannya yang agaknya telah menjadi orang yang tidak bersemangat untuk menghadapi kekerasan. “Paman dan bibi, apakah yang sudah terjadi? Siapakah musuh yang berani mengancam ji-wi (anda berdua)?” Yap Kun Liong memandang kepada isterinya, kemudian menoleh ke arah keponakannya lantas berkata, “Kong Liang, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu, akan tetapi oleh karena engkau sudah dewasa dan kebetulan engkau berada di sini, biarlah engkau ketahui semuanya. Nah, dua hari yang lalu kami menerima surat ini, kau bacalah sendiri.” Cia Kong Liang menerima gulungan surat itu, segera membukanya dengan sikap tenang, sikap yang mengagumkan paman serta bibinya yang mengamati semua gerak-geriknya. Kemudian dibacanya surat itu, dengan alisnya yang tebal itu berkerut, sepasang matanya bersinar-sinar saat dia membaca surat itu, dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa akan tetapi pandang matanya berkilat mengejutkan ketika dia menatap wajah paman dan bibinya berganti-ganti. Kemudian, untuk meyakinkan hatinya, dia lantas membaca sekali lagi. Pada hari ke tiga setelah surat ini dibaca sebelum matahari terbit, Yap Kun Liong beserta Cia Giok Keng akan mati berikut semua makhluk bernyawa yang berada pada kalian, sebagai pembayar hutang! Tertanda, KETURUNAN PADANG BANGKAI. “Paman dan bibi, apa artinya surat ini? Siapa pengirimnya dan mengapa dia mengirimkan surat seperti ini?” Akhirnya Kong Liang bertanya, suaranya tetap tenang akan tetapi pada pandang matanya terkandung kemarahan terhadap si penulis surat. Yap Kun Liong menghela napas. “Siancai (damai)… sungguh tak kusangka bahwa setua ini kami masih saja dicari musuh dan dimusuhi oleh orang. Kami sendiri tidak tahu siapa penulis surat ini, akan tetapi melihat yang menandainya, kiranya mudahlah diduga bahwa mereka ini tentu keturunan atau segolongan dengan Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) dan isterinya, Coa-tok Sian-li (Bidadari Racun Ular), suami isteri yang dulu pernah menjadi majikan dari Padang Bangkai di dekat Lembah Naga. Kurang lebih empat puluh tahun yang lalu, dalam suatu pertandingan pada waktu kami membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak, yaitu pasukan liar Sabutai, kami sudah menewaskan mereka, aku merobohkan Ang-bin Ciu-kwi ada pun bibimu itu menewaskan isterinya, yaitu Coa-tok Sian-li. Kami sama sekali tidak menyangka bahwa urusan empai puluh tahun yang lalu itu akan berekor sampai sekarang. Ah, usia setua ini, sudah mendekati akhir usia, masih saja dimusuhi orang.” Kembali kakek itu menarik napas panjang. “Aku tidak takut!” tiba-tiba Nenek Cia Giok Keng berkata. “Biar pun sudah tua begini, aku tidak akan undur selangkah pun dalam menghadapi musuh!” “Aihh… sudahlah, engkau sedang tidak sehat, mengapa harus menuruti perasaan marah? Kemarahan amatlah tidak baik bagi orang-orang tua seperti kita,” suaminya menghibur. “Paman dan bibi harap jangan khawatir. Serahkan saja urusan ini kepada saya. Tiga hari berarti besok pagi kalau surat ini sudah dua hari paman terima. Bila mana musuh datang, biarlah saya yang akan menghadapi mereka!” kata Kong Liang dengan sikap gagah. “Engkau tidak perlu ikut campur, anakku.” “Tapi, paman. Bukankah mereka itu mengaku keturunan dari Padang Bangkai? Dan kalau sekarang yang menghadapi adalah saya, sebagai keturunan paman pula, bukankah hal itu sudah adil dan selayaknya? Dahulu, penghuni Padang Bangkai lawan paman dan bibi, sekarang keturunan mereka biarlah saya yang menghadapinya.” Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Kong Liang, menurut kata hati bibimu, kita harus melawan dan bibimu memang benar, biar pun kami berdua sudah tua, akan tetapi karena selama ini kami hidup dalam sehat maka kiranya kami masih dapat melidungi diri sendiri. Akan tetapi, sampai sekarang aku masih merasa menyesal kalau kuingat betapa dahulu aku menanam banyak sekali benih-benih permusuhan sehingga sampai di hari tua masih saja dimusuhi orang.” “Tetapi itu sudah kewajiban paman dan bibi sebagai pendekar-pendekar! Kita harus selalu menentang kejahatan!” Yap Kun Liong menggeleng kepalanya. “Semenjak ribuan tahun kita dibuai oleh khayalan seorang pendekar, anakku. Akan tetapi, bagaimana hasilnya? Dulu sudah banyak sekali orang-orang yang kita anggap jahat itu kita basmi, kita bunuh, akan tetapi kejahatan tetap saja merajalela sampai sekarang! Kita bisa membunuh orangnya dengan kekerasan, akan tetapi kejahatan tidak mungkin dapat terbasmi oleh kekerasan.” “Tapi, kebenaran hanya dapat ditegakkan melalui kekerasan!” “Memang demikian pendapat kalangan pendekar pada umumnya. Akan tetapi begitukah sebenarnya? Apakah semua kekerasan yang dilakukan untuk membasmi kejahatan dapat berhasil? Kurasa tak mungkin! Kejahatan adalah kekerasan, maka membasminya dengan kekerasan hanyalah berarti melakukan kejahatan dalam bentuk lain. Bayangkan saja. Kita menganggap seorang pembunuh itu jahat lantas kita menentangnya dan membunuhnya! Berarti kita pun menjadi pembunuh yang tidak ada bedanya dengan pembunuh yang kita bunuh!” “Tapi, paman!” Kong Liang membantah. “Walau pun keduanya itu sama membunuhnya, akan tetapi alasannya sungguh berbeda! Penjahat membunuh karena dia hendak berbuat jahat demi keuntungan dirinya sendiri, namun seorang pendekar membunuh justru untuk menolong orang lain terbebas dari pada kejahatan selanjutnya!” Yap Kun Liong tersenyum. “Memang demikianlah anggapan setiap orang pendekar. Dulu pun kami berdua beranggapan demikian, bahkan bibimu ini masih sulit melihat kejahatan walau pun anggapan seperti itu tidak benar. Apa pun alasannya, melakukan kekerasan, melakukan pembunuhan, sudah pasti mengandung kebencian dan juga pembunuhan. Dan setiap kebencian itu sudah pasti mendatangkan pertentangan dan permusuhan yang tiada hentinya. Tidak mungkin memadamkan api dengan api lain. Tidak mungkin melenyapkan kekerasan dengan kekerasan pula.” “Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang selalu menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar supaya rakyat bisa hidup dengan tenang dan makmur?” “Kejahatan memang dapat ditundukkan dengan kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya bersifat sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, lalu datang hendak menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lainnya! Kebencian lain. Perdamaian tak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam sudah bernyala di dalam hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas. Damai semacam itu hanya untuk sementara saja.” Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali sehingga akhirnya dia bertanya. “Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?” Yap Kun Liong tersenyum. “Jangan bertanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanya penyadaran lewat batin, agaknya hanya cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, jika menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini.” Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali. “Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi apa bila mereka itu datang dan hendak membunuh paman serta bibi berdua?” Akhirnya dia pun bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran. “Engkau jangan sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarlah aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan supaya mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini.” “Hemmm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?” Cia Giok Keng bertanya penasaran. “Tenanglah, biarlah aku menghadapi mereka. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik.” Karena Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinya pun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa girang sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya girang karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia sangat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi. Malam itu Yap Kun Liong bisa tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya para musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Apa bila mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim peringatan dahulu, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri. Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, pada malam itu beberapa kali bangun kemudian keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekeliling pondok sunyi itu. Kemudian, sesudah lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus oleh kabut. Hawa amat dingin dan suasana demikian sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di sebelah timur, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak. “Kukuruyuuuuukkk…!” Mendadak keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, akan tetapi yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari. “Kukuru… kokkk!” Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah. Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersemedhi. Dia tadi dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang terputus di tengah-tengah, mengerti bahwa hal itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali. Tiba-tiba saja terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, mendadak gonggong itu pun terhenti. “Kokk…!” tiba-tiba terdengar bunyi lantas suasana menjadi sunyi bukan main. Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang sangat menyeramkan. Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang segera turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam dan memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya lantas dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar sambil berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang. Pada saat dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing! Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya sudah datang, dan sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan. Mula-mula mereka membunuh semua ayam-ayam di dalam kandang, kemudian membunuh anjing yang agaknya bisa mencium kedatangan mereka tadi. Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas bukan main. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak. “Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!” terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang. “Bagus sekali, orang she Yap sudah siap menerima kematiannya!” terdengar suara wanita yang amat nyaring, kemudian berturut-turut dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang! Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun. Pakaiannya terbuat dari sutera yang halus tetapi potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat. Rambutnya digelung dan terhias dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas. Seorang dara yang manis sekali dan dia pun sama sekali tak nampak seperti orang jahat karena selain manis dia pun berwajah ramah penuh senyum, sungguh pun pada saat itu dia memandang pada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian. Sedangkan tiga orang lainnya adalah laki-laki yang berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka memperlihatkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan dan kekerasan. Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar pada tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, ada pun yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek ini pun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka. Kalau dara itu hanya tersenyum sambil memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata, “Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!” Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya supaya jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka. “Sekarang cu-wi berempat sudah datang,” katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu, “dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?” Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga. “Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang hendak membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!” dara itu berkata dengan suaranya yang nyaring. “Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!” kata kakek yang telinga kirinya buntung. Yap Kun Liong mengangguk-angguk. “Memang, tidak perlu kusangkal lagi bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami kemudian tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi, dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andai kata kami gugur pada saat mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga harus mendendam dan sakit hati atas kematian kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tiada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat dari perbuatan mereka sendiri dan bahkan bisa dijadikan contoh agar nona sendiri tak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?” “Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!” bentak kakek bertelinga satu. “Hemm, pengecut kau! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?” bentak kakek berjenggot panjang. Yap Kun Liong tetap tenang, “Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut dengan kematian lagi. Tanpa kalian bunuh pun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini.” So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan dia pun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu bisa menyelamatkan diri. Dan akhirnya anak perempuan ini lalu menikah dengan salah seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat. Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ditewaskan oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Kebetulan sekali ayahnya adalah seorang anak buah dari See-thian-ong. Lalu pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan dia lantas diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, walau pun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu. Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang berisikan ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan. Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari semua ilmu itu, mereka kemudian terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Namun pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan akhirnya mereka bertiga ditundukkan hingga menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling. Dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu ketiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang tempat tinggalnya sudah diketemukan oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu. “Nona So, apa bila nona memang masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan dari pada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku. Aku tidak akan melakukan perlawanan.” Mendengar kata-kata ini, dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang sikapnya begini agung dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan. Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tua bangka pengecut!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong. Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang sudah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sinkang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mukjijat Thi-khi I-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga jika dia menghendaki, tentu saja dengan mudahnya dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya. Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka dia pun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sinkang yang melindungi tubuhnya. “Bukkk!” Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sinkang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Semenjak tadi Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan kepalang dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Pada saat itu pula nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda itu langsung menangkis pukulan dua orang kakek itu. “Plakk! Plakk!” Kedua orang kakek itu terkejut ketika merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah. “Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?” Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan jari telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung. Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biar pun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san. Kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu! Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah berjumpa dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, kemudian mereka cepat menangkis serangan ke dua itu. Sementara itu, dengan terheran-heran Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga telah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut pedang masing-masing kemudian menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu. “Bagus, kalian berdua ingin menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!” bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong. Pemuda ini cepat mengelak dan segera balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak. “Manusia-manusia berwatak iblis!” Thian Sin berteriak marah sekali kemudian membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang. Pada mulanya, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, sangat terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu. Kemudian mereka merasa khawatir sekali saat melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu. Dan akhirnya mereka terheran-heran sesudah melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka sudah mengenali pukulan Thian-te Sin-ciang! Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong serta Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri karena dia mulai mengenal Han Tiong. “Ehh, bukankah dia itu Han Tiong?” teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya. “Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!” kata Cia Giok Keng girang. Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka dia pun menjadi girang sekali melihat bahwa salah seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri. Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, amat jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya. Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu mempunyai ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Cia Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong. Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena meski pun bertangan kosong, ternyata kedua orang pemuda itu mampu menghadapi dua orang lawannya yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan penuh khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiri pun pantang untuk melakukan pengeroyokan. “Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!” teriaknya. “Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!” jawab Han Tiong. Dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah terhadap Han Tiong. Maka dia pun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat dari pada gerakan pedang lawan. Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia pun menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini. Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi telah menyambar dengan ganas tetapi ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang kemudian melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya. “Plakkk!” Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya. “Sin-te, jangan membunuh orang!” Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun cepat ditarik kembali. Pada waktu Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat adanya kesempatan baik lantas menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar. “Desss…!” Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu pun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan dia pun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi. “Plakkk!” Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali. Hanya karena dia teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itu pun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu. Kakek itu segera bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, seperti juga kakek yang tadi terpukul pergelangan tangannya itu pun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin mampu bertempur kembali setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah. Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia amat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sute-nya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati sekali. “Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,” katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya. “Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, kini siapakah yang akan menghadapi aku?” katanya sambil mencabut pedangnya. Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan kedua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia langsung meloncat ke depan lantas memegang lengan Han Tiong. “Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!” “Paman,” kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula. Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang segera diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan, menyuruh mereka agar berdiri dan sekarang mereka semua menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung. Kakek itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata. “Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!” Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, meski dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekali pun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka dia pun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya. Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek yang buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah memainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat! Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yang mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang. Oleh karena itu, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali apa bila dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut, maka kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali. Memang Cia Kong Liang memiliki gerakan yang sangat tangkas dan kuat, dia pun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah langsung mendesak sangat dahsyatnya, sedikit pun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus. cerita silat online karya kho ping hoo Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut, maka kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain sangat indah juga aneh. Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, walau pun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itu pun sudah pasti tak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia memainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan. Memang, sungguh pun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga sudah berusia agak lanjut pada waktu memperoleh dia sebagai keturunan tunggal. Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apa lagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biar pun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang. Thian Sin dan Han Tiong merasa terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum yang sangat halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan, maka racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir. Akan tetapi Cia Kong Liang benar-benar tak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya hingga lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, begitu cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang! “Ihhh…!” Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis. Terdengar bunyi berdencingan ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya kemudian menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya! Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras, “Kong Liang, jangan…!” Akan tetapi pedang telah digerakkan, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan oleh tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya terluka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun sehingga perlu harus cepat-cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat. “Hemm, sungguh sayang para paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian berdua mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku,” kata dara manis itu. Tidak nampak dia menggerakkan kakinya, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Hal ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa pada waktu tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu ginkang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja. Kini dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, kelihatan gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata, “Biarlah aku menghadapi nona ini!” “Sin-te, jangan lancang!” Han Tiong mencela adiknya. “Kalian mundurlah,” kata Kong Liang yang masih terus memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju. “Nona ini agaknya mempunyai kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!” Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya. Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguh pun dia masih terus memandang wajah dara yang sangat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itu pun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikit pun dia tidak gentar. “Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tak ingin membunuh atau pun terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?” Dara itu bertanya. “Aku sudah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.” Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar. Apa lagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali. Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Ternyata dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai dari pada tiga orang kakek yang telah kalah tadi. Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut sekali, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka dia pun menjawab cepat, “Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua sudah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup karena berani menentang paman dan bibiku.” Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di hadapannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antara mereka adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena telah terlanjur, maka dia tidak akan undur lagi. “Siapa pun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!” tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itu pun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh. “Bagus, bersiaplah engkau!” bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun! Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali kemudian balas menyerang, dan sekali serang juga telah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semuanya telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya. “Tranggg…!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak. Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi. “Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesaikan urusan pribadiku ini.” Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang. “Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak pernah menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, sekarang aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja.” Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apa lagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan sangat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apa lagi setelah tadi mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi di dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya lantas berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi. “Sudahlah, mari kita pergi dari sini!” “Tetapi… tetapi… dendam kita…,” kakek yang buntung telinga kirinya membantah. “Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau mendengar bujukan kalian lagi!” kata So Cian Ling dan dia pun lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itu pun berlari pergi. Baru sekarang, setelah semua pengacau itu pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata, “Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi.” “Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,” kata Han Tiong dengan sikap merendah, kemudian memandang pada Kong Liang sambil berkata, “Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!” Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong. “Siapakah temanmu ini, Han Tiong?” “Ya, siapakah dia ini?” Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu. Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata. “Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap.” Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah berkata dengan hati terharu, “Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” “Ehh…?” Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya. “Cucuku…! Ahhh, cucuku, tidak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si…” Suaranya mengandung isak tangis. “Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku…?” Ditanya tentang ibunya, tentu saja jantung Thian Sin terasa seperti ditusuk. Dia langsung menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih. “Maafkan nek… mereka… ayah dan ibu kini telah tiada…” Sepasang mata tua itu terbelalak dan muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat. “Apa…? Bagaimana…?” Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat-cepat menghampiri kemudian memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu. “Mari kita bicara di dalam…” Keadaan menjadi menyedihkan pada waktu tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok. Sesudah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan lantas mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu melihat Thian Sin duduk di dekat situ, dia pun segera menangis dan teringat lagi. “Ah, Ciauw Si… Ciauw Si anakku… mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku…” Thian Sin menggigit bibirnya berusaha menahan supaya jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya. “Sudahlah, kematian akan datang kepada siapa pun juga, muda mau pun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya.” Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang amat tertekan, “Cucuku, ceritakan bagaimana ibumu sampai tewas…” Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita mengenai pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng mau pun pasukan dari Raja Agahai di utara yang membantu, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng, kemudian bersama Han Tiong belajar di bawah asuhan pamannya itu, sehingga akhirnya dia turut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga. Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong lalu berkata, “Hemm, segala macam perbuatan manusia tak ada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tak akan lepas dari pada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas dari pada sebabnya dan kita tak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat dari pada perbuatan suaminya, maka hal itu pun tidak perlu disesalkan.” “Akan tetapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!” Yap Kun Liong memegang lengan isterinya. “Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang sudah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?” “Ahh, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang memang sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang…” “Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka sudah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,” kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri. “Cucuku…!” Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis. Betapa pun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan di dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek serta nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali. Giok Keng merasa gembira bukan main dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh. Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya. Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan ketiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia pun tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak memiliki anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi ke luar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng. Maka apa bila dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tidak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini? Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini mempunyai kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol hingga jauh melampaui kedua orang pemuda lainnya. Sebaliknya dia pun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasehat-nasehat dan menanamkan jiwa kependekaran pada pemuda ini, dan dia pun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia sudah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang sangat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat! Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian, karena telah tiba saatnya bagi Cia Kong Liang untuk mewakili kedua orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao di Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga lalu meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu! *************** Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk turut ke kota Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut. “Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu di dalam pesta perayaan itu tentu akan hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw serta tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu sangat penting bagi kalian orang-orang muda,” demikian Yap Kun Liong berkata. Han Tiong dan Thian Sin memang juga hendak meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka lalu melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan pada sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, walau pun Kong Liang disebut paman oleh mereka, akan tetapi usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun. “Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta supaya kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka bila kalian salah bertindak sedikit saja akan dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku.” “Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan menonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?” Thian Sin hanya mengangguk. Akan tetapi karena dia memang kadang-kadang merasa mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seakan-akan menganggap mereka berdua masih ‘hijau’ dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata. “Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biar engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja.” Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan. *************** Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur. Sebenarnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang dahulu pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas sehingga namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, mau pun Korea. Dia adalah seorang ‘samurai’ Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang. Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, yaitu salah seorang pengikut Daigo II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji. Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini lalu melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama dengan keluarganya. Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi cita-cita bekas panglima itu tak pernah padam, yaitu agar sekali waktu keturunannya dapat kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur! Di sepanjang pantai timur Tiongkok, Tung-hai-sian ini dikenal dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini pergi meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya. Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada saat itu sedang diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi semua usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat. Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan dia pun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut. Dan karena dia terlahir di pulau kosong, juga oleh kakeknya digembleng oleh segala macam ilmu, maka dia pun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang. Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dirinya berhasil mengumpulkan banyak harta. Pada usia empat puluh tahun dia menghentikan pekerjaannya membajak kemudian bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam ‘datuk’ yang menerima ‘bagi hasil’ dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea. Itulah sebabnya, dalam usia kurang lebih lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan. Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya, dan untuk itu dia lalu mendirikan perkumpulan yang diberinya nama Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), yakni sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan, namun seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini sebab setiap penjahat yang tidak mau tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti. Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh. Dia dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seakan-akan menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam ‘pajak’ kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu. Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambar pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tidak ada seorang pun penjahat berani mengganggunya. Dan untuk memperoleh bendera kecil ini tentu saja perusahaan itu harus membelinya dengan harga yang sangat mahal. Juga Tung-hai-sian menanamkan banyak modal pada perusahaan-perusahaan besar di kota-kota pelabuhan besar sehingga kekayaannya semakin bertambah. Tung-hai-sian Bin Mo To ini mempunyai banyak isteri atau selir, jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang. Akan tetapi di antara para isterinya itu, hanya isteri ke dua sajalah yang mempunyai seorang anak perempuan. Isteri ke dua itu adalah seorang wanita Korea dan diperisterinya saat dia masih tinggal di Korea, bahkan anaknya pun terlahir di Korea. Anak itu baru berusia tujuh tahun ketika dia pindah ke Ceng-tao dan kini anak itu sudah berusia tujuh belas tahun, seorang anak perempuan yang cantik, bertubuh tinggi langsing seperti ibunya, berani dan tangkas dan lincah seperti ayahnya. Dara ini diberi nama Bin Biauw, dan tentu saja sebagai seorang puteri Tung-hai-sian yang menjadi pendiri serta ketua perkumpulan Mo-kiam-pang, Bin Biauw ini adalah seorang ahli pedang. Demikianlah sedikit riwayat dari Tung-hai-sian dan kini datuk ini mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh, suatu hal yang baru dapat dilakukannya di bumi Tiongkok ini, di mana dia dapat hidup bebas dari pengejaran yang berwajib dan hidup sebagai seorang terhormat! Undangan itu tentu saja mengandung maksud. Pertama, dia ingin memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw sebagai datuk timur yang sepuluh tahun lebih ini tak pernah menemui tanding! Dan selain itu, juga dia hendak mencari-cari jodoh untuk puterinya yang sudah berusia tujuh belas tahun. Tentu saja dia tidak sudi mencari mantu di antara tokoh-tokoh sesat. Puterinya tidak akan menjadi isteri seorang bajingan! Dia sendiri adalah keturunan samurai, keturunan jago dan pendekar kenamaan, sebab itu puterinya harus memperoleh jodoh setidaknya seorang pendekar gemblengan pula! Inilah sebabnya mengapa dia mengundang semua perkumpulan besar kecil di dunia kang-ouw, bukan terbatas pada golongan sesat belaka. Demikian pula sebabnya maka Cin-ling-pai juga menerima undangan yang sekarang diwakili oleh Cia Kong Liang yang mengajak dua orang keponakannya. Rumah gedung milik Tung-hai-sian di kota Ceng-tao itu amat besar, dengan pekarangan depan luas sekali, juga dengan sebuah taman yang sangat indah dan luas di sebelah kiri dan belakang rumah gedung yang seperti istana pembesar tinggi itu. Di sebelah kanan gedung itu terdapat rumah-rumah petak tempat tinggal para murid atau pembantunya, tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang tingkatnya sudah tinggi, ada belasan orang banyaknya. Ada pun para murid lainnya berkumpul di sebuah rumah perkumpulan yang lebih besar lagi, yang berada di jalan itu juga dan tidak begitu jauh dari rumah gedung tempat tinggal Tung-hai-sian. Pada hari yang telah ditentukan itu, para tamu membanjiri kota Ceng-tao dan suasana di gedung keluarga itu amat meriah. Halaman depan yang sangat luas itu dijadikan ruangan tamu yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna. Tempat itu mampu menampung seribu orang, dan tamu yang datang sedikitnya ada lima ratus orang dari bermacam golongan. Boleh dibilang bahwa hampir semua perkumpulan-perkumpulan di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan kotor, apa yang disebut kaum putih dan kaum hitam, mengirimkan wakil, bahkan banyak pula yang ketuanya memerlukan hadir sendiri.....


PENDEKAR SADIS JILID 13 :
Thian Sin dan Han Tiong yang mengikuti Kong Liang hadir di tempat yang luas itu, dari jauh melihat pula hadirnya seorang pemuda pesolek tampan yang membuat mereka amat terkejut karena tidak disangkanya mereka akan melihat pemuda itu di sana. Pemuda itu tak lain adalah Siangkoan Wi Hong. Si pemuda pesolek, pemain yang-kim yang pandai. Agaknya pemuda itu hadir mewakili ayahnya, yaitu Pak-san-kui yang dianggap sebagai datuk utara. Tidaklah mengherankan jika dia disambut sebagai tamu agung, ditempatkan di ruang kehormatan, yaitu panggung yang sengaja dibuat untuk menyambut tamu-tamu yang dihormati. Siangkoan Wi Hong datang bersama tiga orang kakek yang juga dikenal oleh Han Tiong. Dia teringat betapa dulu ayahnya pernah diuji oleh Pak-san-kui, diadu dengan tiga orang kakek itu yang berjuluk Pak-thian Sam-liong, yaitu murid-murid Pak-san-kui yang lihai. Dan tiga orang pemuda itu pun terkejut ketika melihat hadirnya seorang dara manis yang tidak lain adalah So Cian Ling, murid dari See-thian-ong atau keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng itu! Dara cantik manis itu datang mewakili suhu-nya, ditemani oleh seorang murid suhu-nya yang kelihatan gagah dan berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Juga wakil-wakil dari See-thian-ong in memperoleh kursi di panggung kehormatan. Tiga orang pemuda yang mengaku wakil Cin-ling-pai itu tidak mendapat kursi di panggung kehormatan dan hal ini saja menyatakan bahwa datuk kaum sesat itu tidak memandang tinggi kepada fihak Cin-ling-pai! Akan tetapi hal itu tidak mendatangkan perubahan pada wajah Kong Liang yang tampan itu, sungguh pun sebenarnya hati merasa panas sekali! Memang pemuda ini sudah pandai menyimpan perasaannya. Betapa pun juga Han Tiong dan Thian Sin yang merasa lega karena dengan mendapat duduk di golongan tamu biasa mereka tidak harus bertemu muka dengan Siangkoan Wi Hong dan So Cian Ling. Semua tokoh kang-ouw melihat-lihat dan merasa heran kenapa seorang di antara empat datuk, yaitu Lam-sin (Malaikat Selatan) tidak nampak mengirim wakilnya, padahal nama Lam-sin juga amat terkenal sungguh pun jarang ada orang yang pernah bertemu dengan orangnya. Hanya namanya sajalah yang amat terkenal, dan nama itu dibuat terkenal oleh para anggotanya, yaitu golongan pengemis! Lam-sin ini di selatan menjadi ketua dari sebuah perkumpulan pengemis yang terkenal dengan nama yang amat sombong, yaitu Bu-tek Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding)! Dan memang menurut kabar angin, perkumpulan ini memiliki anggota-anggota yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan anggota mereka tidaklah banyak, katanya hanya dua puluh orang lebih namun rata-rata amat lihai sehingga nama Bu-tek Kai-pang itu ditakuti semua orang, apa lagi ketuanya yang hanya dikenal sebagai Lam-sin atau Malaikat Selatan. Lam-sin sendiri tidak pernah keluar, akan tetapi setiap ada pengemis sakti dari Bu-tek Kai-pang melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia kang-ouw, tentu nama Lam-sin semakin terangkat sebab setiap pengemis sakti itu amat menjunjung tinggi nama Lam-sin sebagai guru dan majikan mereka! Pendeknya, sampai kini nama Lam-sin merupakan tokoh misterius yang hanya dikenal nama namun belum dikenal rupanya itu. Pesta ulang tahun itu berjalan dengan amat meriah. Suguhan-suguhan yang dihidangkan adalah masakan-masakan yang mahal, sedangkan araknya juga arak pilihan, pendeknya benar-benar merupakan pesta dari seorang yang kaya raya. Semua ini masih diramaikan dengan hadirnya serombongan penari dan penyanyi yang didatangkan dari Nan-king, yang tentu saja amat mahal bayarannya. Selagi pesta itu berlangsung meriah, tiba-tiba seorang pembantu fihak tuan rumah yang bertugas sebagai pembawa acara bangkit berdiri di atas panggung di mana para penari baru saja mengundurkan diri. Musik pun berhenti dan terdengar suara orang itu lantang, “Dimohon perhatian cu-wi yang mulia! Atas perintah dari fihak tuan rumah, kami memberi tahukan bahwa acara hiburan ditunda untuk memberi kesempatan kepada Bin-siocia yang hendak memberikan selamat kepada Bin-loya (tuan Besar Bin). Hendaknya cu-wi maklum bahwa Bin-siocia adalah puteri tunggal dari Tuan Besar Bin Mo To yang mulia. Sebagai hadiah untuk ayahnya, Bin-siocia berkenan hendak mempertunjukkan tarian pedang!” Tentu saja pengumuman itu disambut dengan tepuk sorak riuh karena para tamu tentu saja ingin sekali melihat ilmu pedang dari puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. Hanya beberapa orang saja di antara para tamu, termasuk para pembesar di Ceng-tao, yang sudah tahu bahwa Bin-siocia adalah seorang dara yang sangat cantik dan manis, dan yang kabarnya mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, paling tinggi di antara anak buah atau murid-murid datuk itu sendiri! Tiba-tiba saja terdengar musik ditabuh, yaitu tambur dan gembreng serta terompet. Selagi tambur dipukul gencar, dari dalam keluarlah seorang dara berpakaian serba merah, baju dan celana merah muda, ikat pinggang merah tua, pita rambut merah tua dan di dadanya terdapat hiasan dari sutera kuning, kedua kakinya mengenakan sepatu hitam yang masih mengkilap. Bukan main cantik manis serta gagahnya dara itu nampaknya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera tipis itu menempel ketat pada tubuhnya, membuat tubuhnya nampak menonjol dan padat menggairahkan, namun juga menimbulkan rasa segan karena sikapnya sangat gagah. Dia berlari keluar, berlari kecil bagaikan seorang penari yang lincah, dan wajahnya yang manis itu tersenyum ketika dia memandang kepada para tamu dan mengangguk sebagai tanda terima kasih karena para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh. Ketika dara itu tersenyum, nampak dua buah lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dan memang dara ini manis sekali. Mulutnya merupakan daya tarik yang paling kuat dari wajahnya, sebuah mulut yang amat indah, dengan bibir melengkung penuh berkulit tipis seolah-olah setiap saat bibir itu akan pecah dan mengeluarkan darah karena bibir itu nampak demikian merah dan basah. Saat dia tersenyum hingga kedua bibir itu agak terpisah merenggang, tampak kilauan gigi putih seperti mutiara. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce berwarna kuning emas. Dara itu adalah Bin Biauw, puteri remaja berusia tujuh belas tahun yang merupakan anak tunggal dari Tung-hai-sian Bin Mo To! Setelah berlari berputaran di atas panggung sambil memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada kepada para penonton yang menjadi tamu, barulah Bin Biauw menghampiri panggung di mana ayahnya duduk. Semua mata kini memandang ke arah tuan rumah. Tung-hai-sian adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berpakaian mewah, di kanan kirinya duduk dua orang wanita setengah tua yang juga berpakaian mewah. Di sebelah kanan itu adalah isterinya yang pertama, sedangkan di sebelah kirinya adalah isterinya yang ke dua atau ibu kandung Bin Biauw. Isteri pertamanya tidak mempunyai anak dan dia adalah seorang wanita Jepang, tidak seperti ibu Bin Biauw yang merupakan wanita Korea, bertubuh tinggi langsing seperti Bin Biauw. Tung-hai-sian sendiri bertubuh pendek tegap dan bersikap gagah, biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun dia masih nampak kuat, hanya kepalanya saja yang telah botak kelimis, hanya ditumbuhi rambut di bagian belakang dari dekat telinga sampai ke pelipis. Ubun-ubun dan atas dahinya sudah tidak ada rambutnya sama sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang samurai yang sarungnya amat indah. Kedua matanya yang lebar itu sangat tajam, dan alisnya hanya merupakan bundaran hitam kecil saja yang ditumbuhi rambut pendek-pendek. Biar pun Tung-hai-sian sudah menjadi datuk dunia persilatan di daratan Tiongkok, bahkan sudah berganti nama dengan nama Bin Mo To sebagai pengganti nama Minamoto, namun di dalam kesempatan gembira merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun itu, kini kakek ini mengenakan pakaian seorang Samurai Jepang! Kakinya juga memakai sandal model Jepang dan dia kelihatan bangga sekali berpakaian seperti itu! Bin Biauw menghampiri ayahnya lantas menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Kakek ini lalu merangkul dan mencium kepala puterinya sambil tertawa gembira. Sesudah mengucapkan selamat dengan suara lirih yang tertindih dengan suara musik, dara itu lalu bangkit dan berlari lagi ke atas panggung. Sesudah menghormat ke empat penjuru, tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat sehingga mengejutkan semua orang. Itu adalah sebatang pedang pusaka yang amat hebat, pikir mereka. Kemudian dara itu mulai bersilat pedang, atau menari pedang karena gerakannya lemah gemulai seperti orang menari mengikuti irama tambur dan gembreng, akan tetapi di dalam gerakan tari lemah gemulai ini terkandung kekuatan yang amat dahsyat, yang menyambar setiap kali pedang berkelebat. Semua orang yang hadir, kebanyakan ahli-ahli silat, dapat melihat betapa ujung pedang itu tergetar setiap kali digerakkan, getaran yang mendatangan suara mengaung! Jelaslah bahwa dara ini bukan sekedar menari biasa. Biar pun tari-tarian itu merupakan gerakan-gerakan yang amat indah, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi langsing, akan tetapi jelas bahwa dara itu sedang mainkan ilmu silat yang selain indah juga amat tangguh sekali! Dan benarlah dugaan mereka karena semakin lama, gerakan itu makin cepat dan ketika bunyi tambur dan gembreng sudah menjadi cepat sekali, dara itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah terbungkus oleh gulungan cahaya pedang putih berkeredepan menyilaukan mata. Semua orang bertepuk tangan memuji karena memang harus mereka akui bahwa jarang mereka menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya. Tiba-tiba Tung-hai-sian mengambil sebatang lilin merah yang bernyala, dan dia langsung melontarkan lilin itu ke arah puterinya sambil berseru. “Sambutlah, anak Biauw!” Tiba-tiba saja bayangan yang dibungkus gulungan sinar itu berhenti dan nampak dara itu berdiri tegak menunggu hingga lilin yang dilontarkan itu tiba di atasnya, kemudian secepat kilat pedangnya bergerak ke kanan kiri… dan lilin bernyala itu nampaknya seperti tertahan oleh sesuatu di udara, dan sesudah dara itu menghentikan gerakannya, barulah lilin itu jatuh ke atas lantai dan… berserakan menjadi belasan potong, sedangkan ujung lilin yang bernyala kini ternyata telah menempel di ujung pedang! Tentu saja kepandaian semacam itu adalah kepandaian yang merupakan keahlian karena dilatih, akan tetapi betapa pun juga, tanpa mempunyai gerakan yang cepat dan kuat, tidak mungkin dapat melakukan seperti itu. Oleh karena itu meledaklah tepuk tangan para tamu yang merasa kagum sekali. “Bagus, kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus sekali!” Mendadak terdengar seruan nyaring mengatasi kegaduhan tepuk tangan itu. Semua orang menoleh, juga Bin Biauw menoleh. Ternyata yang berseru itu adalah Thian Sin! Saking kagumnya, bukan hanya karena melihat ilmu pedang itu melainkan terutama sekali melihat kecantikan dara itu, Thian Sin menjadi lupa diri sehingga dia memuji sambil bangkit berdiri. Melihat ulah adiknya ini, Han Tiong menjadi kaget sekali dan dia maklum bahwa adiknya itu tentu merasa tertarik sekali pada dara yang cantik itu, karena dia pun sudah tahu akan kelemahan hati adiknya terhadap wanita cantik. Sementara itu, pada saat menengok dan melihat pemuda yang sangat tampan itu, muka Bin Biauw menjadi merah, akan tetapi dia menahan senyum dan mengerling malu-malu. Hati siapa tak akan merasa girang dan bangga kalau dipuji, terutama sekali hati seorang wanita yang selalu haus akan pujian, dan lebih-lebih lagi kalau pemujinya adalah seorang pemuda yang demikian gantengnya? Juga Bin Mo To yang bangkit berdiri, dari atas dapat melihat pemuda tampan gagah yang mengeluarkan seruan pujian itu, maka dia lalu tersenyum dan memberi perintah kepada pembawa acara dengan kata-kata lirih. Pembawa acara itu segera bangkit dan menuju ke panggung, kemudian berkata dengan lantang, “Kami menyampaikan permintaan Bin-loya kepada cu-wi yang terhormat, bahwa untuk meramaikan pesta ini dan untuk menguji kepandaian Bin-siocia, maka kepada para pendekar muda yang ingin menambah kemeriahan pesta ini dipersilakan untuk melayani Bin-siocia bermain pedang!” Ucapan itu tentu saja langsung disambut dengan riuh-rendah dan semua tamu tertawa. Pengumuman itu sudah tidak aneh lagi artinya bagi orang-orang kang-ouw. Jika seorang ayah memberi kesempatan kepada orang-orang muda untuk bertanding dengan puterinya, hal itu dapat diartikan bahwa sang ayah hendak mencarikan jodoh bagi puterinya! Hampir semua tokoh kang-ouw tentu saja menghendaki mantu yang lihai bagi puterinya, maka selalu diadakan sayembara pertandingan silat untuk memilih mantu. Dan agaknya datuk wilayah timur ini pun tak mau ketinggalan. Akan tetapi, siapakah yang berani untuk maju? Sebagian besar dari mereka sudah kehilangan nyali menyaksikan permainan pedang dari Bin Biauw tadi, yang memang sangat lihai. Apa lagi kalau diingat bahwa dara itu adalah puteri tunggal dari Tung-hai-sian, mereka merasa lebih sungkan dan segan lagi. Tidak boleh main-main dengan keluarga datuk itu! Semua orang memandang ke arah Thian Sin yang masih berdiri, juga dara itu sendiri memandang kepadanya, agaknya mengharapkan pemuda tampan itu untuk maju. Dan Thian Sin memang sudah merasa gatal tangan dan hatinya untuk maju menandingi nona manis itu, akan tetapi tiba-tiba dia merasa tangannya disentuh dan ditarik oleh kakaknya dan terdengar bisikan Kong Liang, “Thian Sin, kau duduklah!” Thian Sin segera teringat bahwa dia hanya ikut saja dengan pamannya itu dan dia sama sekali tak diperbolehkan bergerak sebelum mendapat perkenan Cia Kong Liang, maka dia pun lalu duduk kembali. Bin Biauw tampak kecewa, akan tetapi tidak demikian dengan Tung-hai-sian, sebab datuk ini tentu saja tidak menghendaki seorang menantu dari golongan rendah, yaitu golongan tamu yang duduk di bawah panggung. Sejak tadi perhatiannya tertuju kepada Siangkoan Wi Hong. Pemuda yang baru pertama kali dilihatnya ini tentu saja amat menarik perhatiannya, apa lagi setelah memperkenalkan diri sebagai putera Pak-san-kui! Pemuda yang cukup gagah dan tampan, terlebih lagi putera Pak-san-kui, sungguh akan merupakan pasangan yang cocok bagi puterinya, setingkat, bahkan segolongan! Maka, diam-diam dia mengharapkan pemuda itu untuk maju menandingi puterinya agar dia dapat melihat kelihaian pemuda itu yang sebagai putera Pak-san-kui dia yakin tentu berkepandaian tinggi. Ternyata tidak ada orang yang berani sembarangan naik ke panggung untuk menyambut ajakan Tung-hai-sian tadi. Banyak di antara mereka yang merasa jeri untuk menandingi ilmu pedang yang demikian lihainya dari Bin Biauw, akan tetapi sebagian besar di antara mereka itu lebih merasa segan terhadap Tung-hai-sian sendiri. Apa lagi mereka yang duduk di bawah panggung, andai kata di antara mereka ada yang merasa kuat melawan Bin Biauw sekali pun, agaknya mereka pun masih harus pikir-pikir beberapa kali untuk berani memamerkan kepandaian di hadapan datuk itu, apa lagi dalam kesempatan di mana hadir begitu banyak tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Pembicara atau pengatur acara tadi sudah menerima bisikan-bisikan dari Tung-hai-sian, maka setelah melihat bahwa di antara para tamu tidak ada yang berani maju dia segera angkat bicara lagi dengan sikap ramah, “Bin-loya sudah memohon kepada cu-wi untuk meramaikan pesta dan melayani Bin-siocia beberapa jurus, apakah cu-wi merasa sungkan? Kami melihat bahwa di sini sudah hadir wakil-wakil dari para tokoh besar, bahkan ada pula wakil-wakil dari See-thian-ong dan dari Pak-san-kui Locianpwe, diharap agar cu-wi yang mewakili kedua locianpwe sudi memberi petunjuk kepada Bin-siocia, selain untuk memeriahkan pesta ini juga hitung-hitung untuk memperkekal persahabatan, demikian pesan Bin-loya.” Mendengar ucapan itu, So Cian Ling sudah bergerak di tempat duduknya, akan tetapi dia dilarang oleh suheng-nya dan sang suheng inilah yang bangkit berdiri. Dia adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya agak pucat dan matanya sipit, pakaiannya sederhana dari kain berwarna kuning. Laki-laki ini bernama Ciang Gu Sik dan merupakan murid pertama atau murid kepala dari See-thian-ong, itu datuk wilayah barat yang terkenal. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, dia masih sedikit di bawah tingkat So Cian Ling, sungguh pun dara itu merupakan sumoi-nya. Hal ini adalah karena So Ciang Ling sangat disayang oleh See-thian-ong sehingga murid wanita inilah yang menerima ilmu-ilmu simpanan Sang Datuk! Bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Ciang Gu Sik sudah terhitung tinggi dan karena sudah percaya penuh terhadap kepandaiannya, maka dia telah dipercaya untuk mewakili See-thian-ong dalam memenuhi undangan Tung-hai-sian itu, ada pun So Cian Ling hanya ikut suheng-nya untuk menambah pengalaman saja. Ketika tadi melihat puteri tuan rumah itu bermain pedang, diam-diam So Cian Ling juga merasa kagum akan keindahan ilmu pedang itu. Akan tetapi dia merasa bahwa dia akan sanggup menandingi ilmu pedang yang indah itu, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli, karena kedatangannya hanya ikut sang suheng dan hanya ingin menambah pengalaman dengan menjumpai orang-orang pandai dari segala fihak. Akan tetapi, ketika dia melihat seorang pemuda di bawah panggung memuji ilmu pedang itu dan dia lalu mengenal Thian Sin sebagai pemuda tampan yang amat menarik hatinya pada saat dia dan para pamannya bertemu dengan pemuda itu di puncak Bwee-hoa-san, diam-diam hatinya merasa… cemburu dan panas! Inilah sebabnya maka dia berniat untuk menandingi Bin Biauw, bukan hanya untuk mengalahkan dara itu, akan tetapi terutama sekali untuk memperlihatkan kepada Thian Sin bahwa dia tidak kalah oleh dara puteri tuan rumah. Akan tetapi suheng-nya melarangnya karena suheng ini maklum bahwa yang dikehendaki oleh tuan rumah adalah majunya tamu-tamu pria! Dia sendiri bukanlah seorang pria yang suka kepada wanita sehingga sampai kini berusia tiga puluh lima tahun dia masih belum menikah. Dia tidak merasa tertarik kepada Bin Biauw, akan tetapi pemuda ini sangat menjunjung tinggi nama gurunya. Oleh karena itu, pada saat nama gurunya disebut-sebut, dia merasa penasaran juga. Kalau dia tidak maju, tentu orang-orang di situ akan mengira bahwa wakil dari See-thian-ong takut untuk menghadapi puteri tuan rumah dan hal itu berarti gurunya akan dipandang rendah. Begitu Ciang Gu Sik bangkit berdiri dan tubuhnya yang tinggi kurus itu melangkah maju ke depan, semua tamu segera memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, juga gembira karena ternyata ajakan atau tantangan itu kini diterima seorang tamu yang duduk di bagian kehormatan. Bin Biauw juga sudah memandang kepada pria itu dan alisnya sedikit berkerut. Dia telah bermufakat dengan ayahnya untuk memilih calon jodoh, dan melihat pria yang maju ini, jelas bahwa dia tidak akan sudi berjodoh dengan orang ini! Sungguh pun dia tahu dan sudah diperkenalkan tadi bahwa pria ini adalah murid kepala dari See-thian-ong! Ciang Gu Sik segera maklum bahwa majunya itu telah diikuti oleh pandang mata semua tokoh kang-ouw yang hadir, dan bahwa majunya itu bukanlah suatu hal yang boleh dibuat main-main karena dia mewakili gurunya, maka dia cepat memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian, kemudian dia menjura ke empat penjuru, dan barulah dia berbicara, ditujukan kepada para tamu, “Cu-wi yang mulia. Sesungguhnya saya tidak akan berani lancang maju ke panggung ini untuk memamerkan kepandaian. Akan tetapi karena tadi wakil dari Bin-locianpwe sudah menyebutkan nama guru kami, yaitu See-thian-ong, maka sebagai wakil beliau dan murid kepala, terpaksa saya maju untuk atas nama suhu membantu memeriahkan pesta ini.” Sesudah berkata demikian, dia lalu membalikkan tubuh menghadapi Bin Biauw, menjura dan berkata, “Maafkan saya yang lancang berani memajukan diri untuk melayanimu, nona.” “Ahhh, aku malah gembira sekali bahwa murid utama dari See-thian-ong Locianpwe mau maju dan memberi petunjuk kepadaku yang bodoh,” Bin Biauw berkata dengan gayanya yang lincah. Sementara itu, pembicara yang mewakili Tung-hai-sian sudah memperoleh bisikan pula dari majikannya, dan dia pun berkata dengan lantang. “Permainan silat bersama diadakan selama lima puluh jurus saja. Kalau selama lima puluh jurus tidak ada fihak yang kalah, berarti bahwa kedua fihak sama kuatnya dan mempunyai tingkat yang sama! Demikianlah keputusan dari Bin-loya!” Bin Biauw tersenyum manis, lalu menggerakkan pedangnya di depan dada dan berkata. “Silakan Ciang-sicu memilih senjata!” Ciang Gu Sik meraba pinggangnya dan mengeluarkan senjatanya yang ternyata adalah sebuah senjata yang disebut Kim-coa Joan-pian (Cambuk Ular Emas), semacam ruyung lemas yang dapat dipergunakan sebagai ikat pinggang, gagangnya berbentuk kepala ular terbuat dari pada emas. “Tarr! Tarrr…!” Pecut itu meledak dua kali di atas kepalanya. “Bin-siocia, saya sudah siap!” katanya dengan tangan kanan yang memegang joan-pian di atas kepala dan tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat dan ditekuk di depan tubuhnya, sikapnya tenang dan kokoh sekali. Bin Biauw tersenyum, lalu membentak. “Lihat serangan!” Pedangnya sudah meluncur dengan cepat membentuk sinar kilat menuju ke dada lawan. “Tar! Tringgg…!” Joan-pian itu berubah menjadi lurus kaku dan menangkis pedang, kemudian meluncur ke samping. Pada saat itu, pedang yang tertangkis sudah menerjang lagi, dan pecut itu dari samping langsung menyambar ke arah pundak serta sambungan siku yang memegang pedang, melakukan totokan untuk mendahului gerakan pedang. “Hemmm…!” Bin Biauw terpaksa mengelak dan dengan sendirinya tusukannya pun batal, dan diam-diam dia tahu bahwa lawannya ini amat tenang dan amat lihai maka dia berlaku hati-hati dan segera memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya diselimuti gulungan sinar pedang yang berkilauan! Melihat ini, murid See-thian-ong itu pun cepat memutar joan-pian di tangannya sehingga nampak sinar keemasan bergulung-gulung. Joan-pian itu memang gagangnya terbuat dari emas murni sedangkan joan-piannya sendiri terbuat dari pada baja diselaput emas maka sinarnya menjadi keemasan. Kini tampaklah pemandangan yang amat indah menyilaukan mata ketika dua gulungan sinar yang putih berkilauan dan keemasan saling sambar dan saling desak. Bagi mata orang yang kurang tinggi kepandaiannya, tentu sukar untuk dapat mengikuti gerakan kedua orang itu. Gerakan mereka amat cepat dan kuat, dan keduanya mengadu kepandaian dengan mengerahkan tenaga dan keduanya berusaha untuk menang karena bagi mereka pertandingan itu merupakan adu kepandaian untuk mempertahankan nama guru mereka masing-masing. Bin Biauw tidak lagi bertanding untuk menguji kepandaian seorang laki-laki yang mungkin menjadi calon jodohnya, akan tetapi hendak mempertahankan nama ayah sekaligus juga gurunya agar tidak kalah oleh murid See-thian-ong datuk dari barat itu. Sebaliknya Ciang Gu Sik sama sekali bukan melawan dara itu karena tertarik kepadanya melainkan juga hendak memperlihatkan bahwa See-thian-ong tidak kalah dari Tung-hai-sian! Jadi pertandingan itu mewakili datuk barat dan datuk timur, masing-masing tak mau kalah. Oleh karena itu, pertandingan itu berjalan hebat sekali dan hal ini dirasakan oleh semua orang, terutama sekali oleh mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang dapat mengikuti jalannya pertandingan itu dengan jelas. So Cian Ling memandang jalannya pertandingan itu dengan alis berkerut. Dia mengerti bahwa suheng-nya itu terus didesak dan dia merasa menyesal kenapa suheng-nya tidak membiarkan dia saja yang maju tadi, karena dia merasa sanggup menandingi puteri dari Tung-hai-sian itu. Biar pun suheng-nya cukup lihai dengan joan-piannya, akan tetapi jika dibandingkan dengan lawan, maka dia itu kalah senjata, dalam arti kata senjatanya kalah ampuh sehingga keunggulan senjata itu sudah membuat lawan dapat lebih menindih dan mendesaknya. Memang kalau hanya dalam lima puluh jurus saja, belum tentu Bin Biauw akan mampu mengalahkan suheng-nya, akan tetapi sekarang jelas tampak oleh semua tokoh kang-ouw bahwa suheng-nya itu sudah terdesak dan lebih banyak menangkis dari pada menyerang! Dan semua orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu sudah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan lebih dari lima puluh jurus, suheng-nya itu tentu akan kalah! Penglihatan So Cian Ling itu memang benar. Dengan ilmu pedangnya yang hebat, Bin Biauw mulai mendesak lawannya dan betapa pun murid See-thian-ong itu berusaha untuk balas menyerang, tetap saja dia harus melindungi diri terlebih dahulu dan sesudah lawan menyerang tiga jurus barulah dia dapat membalas, itu pun dengan satu kali serangan. Dia didesak terus dan main mundur, akan tetapi dia masih mampu mempertahankan sampai wakil Tung-hai-sian berseru, “Lima puluh jurus telah lewat! Kedua fihak tidak ada yang kalah, berarti keduanya sama kuat!” Bin Biauw segera menarik pedangnya dan berdiri sambil tersenyum manis, melintangkan pedangnya di depan dada. Ciang Gu Sik juga menarik joan-piannya, lantas dia menjura. “Ilmu pedang Bin Siocia sungguh amat tangguh!” katanya dengan jujur. “Ah, Ciang-sicu terlalu merendah dan mengalah!” kata Bin Biauw sambil tetap bersenyum. Para penonton menyambut dengan tepuk sorak, dan tentu saja tepuk sorak itu ditujukan untuk memuji Bin Biauw. Dengan muka agak kemerahan, murid See-thian-ong itu kembali ke tempat duduknya, disambut oleh So Cian Ling dengan alis berkerut karena betapa pun juga, peristiwa itu membuat dara ini merasa penasaran dan tersinggung. Bin Biauw masih berdiri di atas panggung. Hatinya merasa penasaran. Mengapa pemuda tampan di bawah panggung tadi tidak berani naik? Kalau pemuda itu yang melayaninya, tentu dia akan merasa gembira sekali! Tapi Kong Liang sudah berbisik-bisik kepada dua orang keponakannya itu. “Janganlah kalian sembarangan bergerak. Di sini terdapat banyak sekali tokoh kang-ouw yang lihai. Dan ternyata tuan rumah tidak menghargai Cin-ling-pai. Hemmm, kalian lihat saja hal ini tak dapat kudiamkan saja!” “Apakah paman hendak melayani nona itu?” Thian Sin berbisik. “Kalau perlu, akan kuperlihatkan bahwa kita tidaklah kalah dengan mereka yang duduk di atas panggung!” Diam-diam Kong Liang merasa penasaran dan marah sekali karena dia dan dua orang keponakannya, meski pun telah mengaku sebagai wakil Cin-ling-pai, tetapi tetap saja dipersilakan duduk di bawah panggung. Ini dianggapnya suatu penghinaan bagi Cin-ling-pai! “Ahh, di sini pun tidak apa-apa, apa sih bedanya dengan di atas panggung, paman?” Han Tiong berkata karena memang di dalam hatinya, dia sama sekali tidak merasa penasaran, tidak seperti Thian Sin yang setuju dengan pendapat paman itu. “Bagi kita pribadi memang tidak ada bedanya, akan tetapi kita sedang membawa nama Cin-ling-pai, dan kalau orang tidak menghormati Cin-ling-pai, maka aku tidak bisa tinggal diam saja!” “Biarlah aku menghadapi nona itu, paman, mewakilimu dan Cin-ling-pai,” kata Thian Sin. “Thian Sin, jangan kau gegabah! Nona itu lihai sekali ilmu pedangnya. Kalau kau mewakili Cin-ling-pai dan sampai kalah, bukankah berarti nama Cin-ling-pai semakin hancur lagi? Pula, apa bila engkau sampai terluka oleh pedang nona itu, bukankah aku akan mendapat marah dari ayah? Aku yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian berdua. Selain nona itu, di sini banyak orang pandai. Lebih baik kalian diam saja dan hanya bersiap-siap membantu kalau ada terjadi kecurangan terhadap diriku.” Thian Sin hendak membantah akan tetapi pandang mata Han Tiong membuat dia segera terdiam. Sementara itu, pembantu Tung-hai-sian sudah berseru lagi dengan suara lantang dan gembira, “Siapa lagi di antara para pendekar yang hendak memeriahkan pesta, silakan maju. Tadi dari fihak Locianpwe See-thian-ong sudah ada wakilnya yang maju, maka oleh Bin-loya diharapkan majunya wakil dari Pak-san-kui Locianpwe dan juga dari Lam-sin Locianpwe yang belum nampak wakilnya. Silakan, silakan. Nona kami masih sabar menunggu!” Siangkoan Wi Hong berbisik-bisik dengan Pak-thian Sam-liong, tiga orang laki-laki gagah yang menjadi murid kepala Pak-san-kui. Mereka bertiga telah setuju kalau Siangkoan Wi Hong maju karena mereka juga tahu bahwa Siangkoan-kongcu mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka sendiri dan lebih pantas kalau kongcu itu yang menandingi puteri tuan rumah, selain untuk mempertahankan nama Pak-san-kui, juga untuk mencoba kalau-kalau berjodoh dengan nona manis puteri Tung-hai-sian itu. “Akan tetapi kalian tahu bahwa aku tak ingin menikah, suheng!” kata Siangkoan Wi Hong berbisik. Tiga orang suheng itu pun tahu akan hal ini. Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang sejak remaja sudah suka bermain-main dengan wanita, bahkan banyak mempunyai selir di mana-mana. Akan tetapi anehnya, pemuda ini tidak pernah mau mengikatkan diri dengan pernikahan, maka meski pun dia kagum melihat kecantikan Bin Biauw, tetap saja dia tidak bermaksud untuk membiarkan diri menjadi calon suami nona itu. Apa bila hanya berkenalan dan bermain-main, tentu dia akan menyambutnya dengan senang sekali! “Kongcu, saat ini soal perkawinan tidaklah begitu penting. Yang terpenting adalah untuk mempertahankan kehormatan ayah kongcu sebagai datuk utara! Kalau kini puteri datuk timur dan murid datuk barat telah memperlihatkan kepandaian, apa kata orang kalau kita diam saja? Disangka bahwa wakil-wakil datuk utara tidak berani muncul!” Siangkoan Wi Hong menarik napas panjang dan dia pun bangkit berdiri. Melihat ini, hati Tung-hai-sian girang sekali. Dia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian putera dari Pak-san-kui itu yang kabarnya merupakan seorang yang selain lihai dan dikenal sebagai datuk, juga seorang yang sangat kaya raya. Kiranya sudah cocoklah kalau dia berbesan dengan Pak-san-kui, akan tetapi lebih dulu dia harus melihat kemampuan pemuda yang tampan dan pesolek itu. Maka dengan girang dia lalu bertepuk tangan, diikuti oleh para tamu yang duduk di ruangan kehormatan, dan wakil pembicara itu lalu berteriak, “Siangkoan-kongcu, putera dari Locianpwe Pak-san-kui berkenan untuk maju meramaikan pesta!” Mendengar ini, maka semua orang memandang dan ketika melihat seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah menuju ke tengah panggung sambil membawa sebuah alat musik yang-kim yang kedua ujungnya berbentuk gagang dan runcing seperti pedang, mereka lalu bertepuk tangan. Akan tetapi Siangkoan Wi Hong menghampiri tempat duduk Tung-hai-sian, lalu menjura dengan hormat. “Paman Tung-hai-sian,” dia berkata dengan sikap ramah dan dia sengaja menyebut ‘paman’ agar lebih akrab. “Saya mewakili ayah, Pak-san-kui Siangkoan Tiang, untuk menyampaikan selamat kepada paman dan semoga paman diberi berkah panjang umur. Sekarang, karena diundang untuk memeriahkan pesta, terpaksa saya berlancang tangan untuk turut memperlihatkan kebodohan. Akan tetapi tentu paman tahu bahwa di antara kita terdapat ikatan persahabatan, oleh karena itu saya tidak setuju bila main-main ini dianggap sebagai pertandingan. Maka biarlah saya menemani saja puteri paman untuk sekedar meramaikan pesta.” Hati Tung-hai-sian makin girang menyaksikan sikap yang ramah dan halus ini. Pemuda ini patut menjadi jodoh Bin Biauw, pikirnya. Dia mengangguk. “Baiklah, dan terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan keluarga Pak-san-kui yang terhormat.” Siangkoan Wi Hong lalu menghampiri panggung, kemudian menjura ke empat penjuru dan berkata lantang. “Kami sebagai wakil dari ayah Pak-san-kui Siangkoan Tiang terpaksa maju melayani Bin-siocia untuk bermain-main sebentar agar fihak kami jangan dianggap tidak bersedia memeriahkan pesta,” ucapannya mendapat sambutan tepuk tangen pula. “Nona, harap jangan bersikap kejam terhadap saya,” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tersenyum manis ketika dia menjura kepada Bin Biauw. Semenjak tadi nona ini memandang kepada tamu ini dan memang dia sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini seorang pemuda yang tampan, gagah dan pesolek. Akan tetapi sejak pertemuan pertama, ketika dia diperkenalkan, dia merasa tidak begitu suka kepada pemuda ini sebab pandang mata pemuda ini kepadanya seolah-olah orang yang bersikap meremehkan! Pemuda ini sangat angkuh terhadap wanita! Sungguh pun pandai bersikap manis dan mengeluarkan kata-kata merayu, namun pemuda seperti ini tentu akan selalu memandang ringan terhadap kaum wanita. “Sebaliknya, saya mohon petunjuk dari Siangkoan-kongcu,” jawabnya dengan ramah pula. Dia sendiri seorang dara yang lincah gembira, maka kalau dia hanya menjadi sahabat, tentu keduanya akan merasa cocok. “Bin-siocia, engkau pandai sekali menari, dan sedikit banyak aku sudah biasa memainkan yang-kim, maka kalau engkau menari pedang dan aku memainkan yang-kim, bukankah cocok sekali?” Siangkoan Wi Hong berkata, lalu dia memegang gagang yang-kim yang seperti gagang pedang itu, mengayunkan benda itu, jari-jari tangan kirinya mengejar dan terdengarlah bunyi ‘tang-ting-tang-ting’ yang berirama dan merdu! Banyak tamu tertawa melihat lagak kongcu ini, dan menyangka bahwa kongcu itu hanya berkelakar saja. Akan tetapi beberapa orang yang tajam pandang matanya, amat terkejut karena dalam suara tang-ting-tang-ting itu terkandung tenaga getaran yang mengejutkan. Jelas bahwa yang-kim itu bukan dibunyikan sembarangan saja! Dan sekarang yang-kim itu mulai menyambar turun dan membentuk kuda-kuda yang kokoh kuat. “Silakan, nona!” Bin Biauw juga sudah dapat menduga akan kelihaian lawan ini. Sebagai putera tunggal Pak-san-kui, sudah pasti pemuda ini lihai sekali, apa lagi ketika yang-kim itu berbunyi tadi dia pun merasakan getaran yang kuat menyerangnya, membuat dia cepat menggunakan hawa murni untuk melindungi dadanya. Sekarang melihat fihak lawan sudah memasang kuda-kuda, dia juga membentak. “Lihat pedang!” Dan pedangnya kemudian menerjang ke depan dengan kecepatan kilat, disusul dengan gulungan sinar pedang yang sudah berkelebatan ke sana-sini bagai halilintar menyambar-nyambar ke atas kepala lawan! “Bagus!” Siangkoan Wi Hong menggerakkan yang-kimnya menangkis. “Tranggg…!” Kemudian dia pun memutar yang-kimnya dan segera nampak sinar bergulung-gulung dan di dalam sinar itu muncul suara yang-kim yang merdu! Kiranya pemuda itu telah mainkan yang-kim, memainkan sebagai senjata ampuh dan juga dengan sentilan-sentilan jari-jari tangan kiri yang membuat yang-kim itu mengeluarkan suara! Dan memang ilmu pedang yang dimainkan Bin Biauw amat indahnya, maka segera nampak perpaduan yang amat indah. Nona itu seolah-olah tidak sedang menyerang, melainkan sedang menari-nari dan mereka itu lebih patut menjadi pasangan, yang wanita menari dan yang pria mengikutinya dengan suara yang-kim! Akan tetapi, sesungguhnya keduanya sedang mengeluarkan kepandaian masing-masing. Diam-diam, Thian Sin dan Han Tiong menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian dan mereka berdua mendapatkan kenyataan bahwa sesudah mempergunakan yang-kim sebagai senjata, putera Pak-san-kui itu ternyata lihai bukan main! Kiranya memang keistimewaannya adalah mempergunakan yang-kim itu sebagai senjata! Kalau dulu pada waktu berhadapan dengan Thian Sin dia mempergunakan yang-kimnya itu, agaknya tidak akan mudah bagi Thian Sin untuk mengalahkannya. Memang hebat pemuda itu. Yang-kimnya bukan hanya merupakan senjata yang ampuh, terbuat dari logam yang dapat dipakai untuk menangkis senjata pusaka, akan tetapi juga suara yang keluar dari yang-kim itu merupakan serangan-serangan ke arah jantung dan batin lawan! Jantung fihak lawan dapat digetarkan lewat suara-suara itu, bahkan dapat dikacaukan pikirannya selagi mereka bertanding! Hal ini agaknya belum diketahui benar oleh Bin Biauw, maka dara ini merasa sangat penasaran ketika melihat betapa semua serangannya gagal oleh tangkisan alat musik lawan. Bin Biauw mulai marah. Harus diakuinya bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi melihat betapa pemuda itu melawannya sambil tersenyum-senyum mengejek dan setiap gerakannya diikuti suara yang-kim sehingga seakan-akan mempermainkannya atau mengejeknya. Hal ini membuat dia penasaran sekali sehingga akhirnya dia menjadi marah. Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan gerakannya berubah semakin cepat sehingga akhirnya Siangkoan Wi Hong menjadi kelabakan dan terdesak juga. Akan tetapi tiba-tiba yang-kim itu mengeluarkan bunyi yang aneh, suaranya nyaring sekali dan makin lama meninggi dan tiba-tiba saja permainan pedang Bin Biauw menjadi kacau-balau! Ternyata suara yang-kim itu merupakan serangan suara yang amat hebat hingga membuat dara itu merasa kacau pikirannya dan pening kepalanya, jantungnya berdebar-debar! Maka, apa bila tadi dia mendesak, sekarang sebaliknya malah gerakan pedangnya menjadi kacau dan kadang-kadang nampak dia terhuyung! Melihat ini, diam-diam Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga girang. Kiranya kepandaian pemuda putera Pak-san-kui itu hebat! Maka dia memberi isyarat kepada pembantunya supaya membiarkan kedua orang muda itu melanjutkan pertempuran karena dia percaya bahwa keduanya mampu menjaga diri dan juga dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan mau mencelakai puterinya. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Dengan bantuan suara yang-kimnya, sekarang keadaannya menjadi berbalik dan apa bila Siangkoan Wi Hong menghendaki, kiranya dia akan dapat mengalahkan Bin Biauw, atau setidaknya mendesaknya dengan hebat. Akan tetapi dia adalah seorang yang cerdik. Sungguh pun dia tidak berniat untuk diambil mantu, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersahabat dengan fihak Tung-hai-sian dan kalau dia dapat berpacaran dengan dara ini, berpacaran saja tanpa ikatan perkawinan, tentu dia akan merasa gembira sekali! Maka dia pun hanya menyerang tanpa mendesak, walau pun sekarang permainan Bin Biauw sudah tidak setangkas tadi karena dia merasa bingung oleh suara yang-kim yang seperti terus menerus menusuk-nusuk telinganya itu. Tiba-tiba saja mendengar suara tambur dan gembreng dibunyikan riuh-rendah. Tentu saja suara ini menelan suara yang-kim dan tiba-tiba Bin Biauw memperoleh ketangkasannya kembali setelah dia tidak lagi terganggu oleh suara yang-kim. Dia merasa penasaran dan marah oleh gangguan yang-kim tadi. Dianggapnya pemuda tadi curang dan berkelahi mengandalkan ilmu siluman dengan suara yang-kim tadi. Kini Bin Biauw kembali mengamuk sehingga kembali Siangkoan Wi Hong terdesak. Pada saat itu pula Tung-hai-sian sendiri melompat ke tempat pertempuran sambil tertawa. “Cukup… cukup… sudah mendekati seratus jurus!” Sungguh hebat kakek ini. Begitu dia ‘masuk’, dia mampu menolak yang-kim dan pedang dengan hawa pukulan tangannya yang dikembangkan ke kanan kiri dan dua orang muda itu terdorong ke belakang! Siangkoan Wi Hong terkejut dan kagum sekali, maklum bahwa tingkat kepandaian kakek pendek ini amat tinggi, barang kali setingkat dengan ayahnya. “Maafkan kebodohan saya!” Siangkoan Wi Hong menjura. Kembali Tung-hai-sian tertawa. “Kepandaian putera Pak-san-kui benar-benar hebat!” kata datuk timur itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Wi Hong untuk menjura kepada kakek itu sambil berkata, suaranya halus dan lantang sehingga dapat terdengar oleh semua tamu. “Paman, saya kira Bin-siocia sudah terlalu banyak bermain pedang dan sudah lelah. Oleh karena itu, apa bila diperkenankan, biarlah saya mewakilinya melayani orang-orang yang masih ingin memperlihatkan kepandaian di panggung ini untuk meramaikan pesta.” cerita silat online karya kho ping hoo Tung-hai-sian tertawa. “Aih, engkau baik sekali, Siangkoan-kongcu, dan kami menghargai sekali bantuanmu untuk meramaikan pesta kami. Akan tetapi siapakah lagi di antara para sahabat yang berada di panggung ini yang masih suka maju memperlihatkan kepandaian dan meramaikan pesta?” “Paman Tung-hai-sian yang terhormat, bukankah di bawah panggung ini masih terdapat banyak sekali tamu yang lihai?” Siangkoan Wi Hong berkata sambil tertawa dan secara sambil lalu dia mengerling ke arah para tamu di bawah panggung sebelah kanan di mana duduk Han Tiong dan Thian Sin. “Bahkan jumlah tamu di bawah itu jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan para tamu yang duduk di atas panggung.” “Aihh, anak yang baik, kau jangan main-main. Sedangkan para tamu yang duduk di atas panggung saja tidak ada yang maju memperlihatkan kepandaian, apa lagi yang berada di bawah panggung.” “Ehh, apakah paman hendak mengatakan bahwa mereka itu hanyalah orang-orang kelas rendahan saja? Ha-ha, tidak kusangka sama sekali bahwa keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw kini hanya menjadi tokoh kelas rendahan saja!” “Keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” Datuk yang bertubuh katai itu berseru kaget dan memandang heran. Bahkan semua tamu yang mendengar disebutnya nama ini menjadi amat terkejut. Mereka lantas memandang ke kanan kiri untuk mencari-cari keturunan orang yang dahulu pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Benarkah pangeran yang amat terkenal itu mempunyai keturunan dan bahkan sekarang hadir di tempat itu? Sementara itu, saat mendengar semua kata-kata itu, Thian Sin tak mampu lagi menahan kemarahannya sehingga tanpa dapat dicegah oleh Kong Liang dan Han Tiong, dia sudah meloncat naik ke atas panggung sambil berteriak. “Siangkoan Wi Hong, siapa yang takut kepadamu? Hayo majulah kalau engkau memang laki-laki!” Melihat majunya pemuda yang amat tampan ini, Tung-hai-sian menjadi terkejut dan juga memandang heran. “Apakah… apakah engkau yang disebut keturunan Pangeran Ceng Han Houw?” tanya kakek itu. “Benar, saya Ceng Thian Sin memang adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw. Tadi orang she Siangkoan ini mengajukan tantangan, nah, saya datang untuk menyambut tantangannya itu!” kata Thian Sin sambil menjura kepada orang tua itu. Tung-hai-sian menjadi sangat gembira. Sebagai seorang datuk persilatan, tentu saja dia pun mempunyai semacam penyakit, yaitu suka sekali menonton pertandingan silat, apa lagi kalau hal itu dilakukan oleh orang-orang yang pandai. Putera Pangeran Ceng Han Houw? Dia sendiri belum pernah bertemu dengan pangeran yang sudah meninggal dunia itu, akan tetapi nama besarnya telah didengarnya, sebagai seorang jagoan yang tak pernah terkalahkan, demikian menurut kabar yang didengarnya. Tentu saja dia memandang pemuda itu dengan sinar mata lain dan dia pun ingin sekali melihat bagaimana kepandaian putera pangeran yang amat terkenal itu. Dan pemuda ini putera seorang pangeran! Meski pun pangeran yang sudah menjadi pemberontak, betapa pun juga putera pangeran, berdarah bangsawan tinggi! Hal ini saja sudah sangat menarik perhatiannya, maka dia segera mundur sambil berkata, “Silakan… silakan…!” Siangkoan Wi Hong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat hadirnya Han Tiong dan Thian Sing sudah timbul akalnya untuk membalas kekalahannya tempo hari, dan kalau mungkin mengalahkan dan menghina pemuda-pemuda itu di depan orang banyak, tetapi kalau tidak mungkin, maka dia ingin mengadu domba antara mereka dengan fihak tuan rumah! Itulah sebabnya maka dia sengaja merendahkan mereka atau memanaskan hati mereka, yang hanya diterima sebagai tamu-tamu rendahan saja oleh Tung-hai-sian! Namun sungguh tak disangkanya bahwa Thian Sin demikian beraninya untuk muncul juga dan mengaku sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan menantangnya! Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut! Memang dia pernah kalah oleh Thian Sin, akan tetapi kekalahannya itu adalah karena dia menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong, dan dia tidak menyangka bahwa putera pangeran itu memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang sangat lihai itu. Sekarang dia memegang yang-kimnya, dan dia tahu bahwa lawannya memiliki Thi-khi I-beng, dia tahu bagaimana harus menghadapinya dan sekali ini dia tidak akan kalah! Maka sambil tersenyum dia lalu menghadapi Thian Sin. “Ha-ha-ha, engkau anak pemberontak, masih berani banyak lagak? Bersiaplah dan lekas keluarkan senjatamu!” Siangkoan Wi Hong menantang. Thian Sin tersenyum mengejek. “Engkau boleh berbesar hati karena memegang senjata yang-kimmu, Siangkoan Wi Hong, akan tetapi aku merasa cukup menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!” Semua orang termasuk Tung-hai-sian, terkejut mendengar ini dan menganggap pemuda keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu terlalu tinggi hati. Menghadapi yang-kim putera Pak-san-kui yang amat lihai itu dengan tangan kosong? Akan tetapi, sikap dan wajah Thian Sin sudah menarik hati Bin Biauw, dan memang tadi pun dia sudah mengharapkan agar pemuda yang memuji ilmu pedangnya ini mau naik ke panggung sebelum Siangkoan Wi Hong muncul. Maka, melihat kini pemuda itu muncul dan mendengar bahwa pemuda tampan itu adalah putera seorang pangeran, dan melihat pula kegagahannya yang hendak melayani Siangkoan Wi Hong yang bersenjata yang-kim dengan tangan kosong, Bin Biauw cepat melangkah maju dan berkata kepada Siangkoan Wi Hong. “Harap Siangkoan-kongcu suka mundur. Aku sendiri akan menghadapi orang she Ceng ini!” Siangkoan Wi Hong pura-pura kaget, sungguh pun di dalam hatinya dia merasa senang. Betapa pun juga, agaknya dia akan berhasil mengadu domba antara Thian Sin dan fihak tuan rumah! “Ahh, tapi aku sudah sanggup untuk menandinginya…” “Siangkoan-kongcu, ingat bahwa engkau tadi bertindak sebagai wakilku, tanpa bertanya apakah aku mau kau wakili ataukah tidak. Dan sekarang aku mau menyatakan bahwa aku tidak ingin kau wakili untuk menghadapi siapa pun yang naik ke panggung ini. Aku hendak menghadapinya sendiri!” Bin Biauw tidak tersenyum lagi, namun memandang Siangkoan Wi Hong dengan mata bersinar-sinar penuh tantangan! Siangkoan Wi Hong menggerakkan pundak seperti orang yang tidak berdaya, kemudian memandang kepada Thian Sin. “Hemmm, agaknya belum tiba saatnya engkau roboh di tanganku, Ceng Thian Sin. Biarlah kita bertemu di lain kesempatan!” Dia lalu menghadapi Bin Biauw dan berkata kepada nona itu, “Silakan, nona. Akan tetapi berhati-hatilah, bocah setan ini berbahaya juga. Awas, jangan sampai dia menggunakan Thi-khi I-beng!” Mendengar disebutnya ilmu mukjijat yang bagi kebanyakan orang-orang kang-ouw hanya merupakan semacam dongeng itu, semua orang terkejut, tidak terkecuali Tung-hai-sian. Akan tetapi Bin Biauw menjadi marah. “Aku tahu bagaimana harus menghadapi lawan-lawanku!” bentaknya dan Siangkoan Wi Hong lalu kembali ke tempat duduknya. Thian Sin menjadi bingung sesudah Siangkoan Wi Hong pergi meninggalkan dia dan kini berhadapan dengan nona manis itu. Dia memandang dengan penuh keraguan, tidak tahu harus berbuat apa. “Akan tetapi… aku… aku tidak hendak melawanmu, nona…” Bin Biauw tersenyum manis. “Apakah engkau menganggap bahwa aku kurang berharga untuk menandingimu dalam ilmu silat?” “Bukan… bukan begitu… tapi…” Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Kong Liang telah berada di atas panggung. Semua tamu terkejut. Itulah gerakan yang amat ringan dan cepatnya, membayangkan ginkang tingkat tinggi! Dan kini semua mata ditujukan kepada pemuda yang bertubuh tegap dan gagah ini, yang berdiri tegak dan memandang kepada Thian Sin lalu berkata, “Thian Sin, kau kembalilah ke tempatmu!” Thian Sin memandang pamannya dan dia segera tahu bahwa pamannya itu marah sekali kepadanya. Lantas teringatlah dia bahwa dia datang sebagai ‘anggota’ rombongan wakil Cin-ling-pai dan bahwa tadi dia meloncat ke atas panggung tanpa perkenan pamannya, maka dia merasa bersalah. Tadi dia berbuat seperti itu karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya ketika nama ayahnya disebut-sebut oleh Siangkoan Wi Hong. Dan kini, berhadapan dengan pamannya yang marah, dia hanya dapat mengangguk saja. “Maafkan, paman,” katanya dan dia pun melompat turun, kembali ke tempat duduknya di dekat Han Tiong yang memegang lengan adiknya dan menyuruhnya sabar dengan satu tepukan tangan pada bahunya. Sementara itu, Cia Kong Liang yang kini telah berdiri di atas panggung, segera memberi hormat ke arah tempat duduk Tung-hai-sian dan ke empat penjuru, ke arah penonton. Sikapnya dingin dan sinar matanya angkuh. Memang semenjak tadi dia sudah marah sekali. Pertama-tama, karena sebagai wakil, apa lagi sebagai putera ketua Cin-ling-pai, dia hanya diberi tempat duduk di bawah panggung. Kemudian, percakapan antara fihak tuan rumah dan putera Pak-san-kui itu sungguh telah menyinggung perasaannya, yaitu bahwa mereka yang duduk di bawah panggung hanyalah tamu-tamu kelas rendahan saja! Hal ini tak mungkin dapat dibiarkannya saja, karena dengan membiarkan hal itu berarti dia mengakui bahwa Cin-ling-pai adalah perkumpulan ‘kelas rendahan’ dan hal ini tentu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw bila mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai dihina dalam pesta datuk kaum sesat itu! Betapa pun juga, dia masih menahan sabar, teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak sembarangan membikin ribut di luar. Akan tetapi, dengan majunya Thian Sin, tak mungkin lagi dia dapat mendiamkannya saja. Thian Sin adalah keponakannya, dan dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan keponakan itu. Juga, dia khawatir kalau-kalau Thian Sin akan celaka jika maju bertanding. Semua itu ditambah lagi dengan rasa penasaran ketika mendengar Siangkoan Wi Hong menyebut-nyebut Ilmu Thi-khi I-beng yang dikatakannya dimiliki oleh Thian Sin. Ia sendiri belum tahu bahwa ilmu mukjijat dari kakeknya, yaitu pendiri Cin-ling-pai itu telah diturunkan kepada Thian Sin, padahal ayahnya sendiri yang kini sedang menjadi ketua Cin-ling-pai juga tidak mewarisi ilmu itu, apa lagi dia! Benarkah ilmu itu telah diwarisi oleh Thian Sin putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya jahat itu? Dia merasa penasaran, maka dia langsung meloncat ke atas panggung dan menyuruh Thian Sin turun, yang diturut oleh keponakannya itu. Sekarang dia harus memberi penjelasan akan sikapnya. “Cu-wi yang terhormat,” katanya ditujukan kepada fihak tuan rumah, berikut juga para tamu. “Saya adalah Cia Kong Liang, datang ke sini untuk mewakili ayah saya, yaitu ketua Cin-ling-pai, memenuhi undangan fihak tuan rumah, bersama dua orang keponakan saya, yang seorang di antaranya adalah Ceng Thian Sin tadi. Nah, sebagai wakil Cin-ling-pai, kami mengajukan diri, bukan untuk memamerkan kepandaian, melainkan memperlihatkan bahwa kepandaian seseorang tak dapat diukur dari kekayaan atau nama besar, juga untuk sekedar membantu memeriahkan suasana pesta. Biarlah kami sekalian menjadi wakil dari para tamu kelas rendahan yang duduk di bawah panggung!” Ucapan Cia Kong Liang ini nadanya keras bukan main, seolah-olah menampar muka tuan rumah sehingga wajah Tung-hai-sian seketika menjadi pucat, kemudian berubah merah. Dia merasa tak enak sekali dan diam-diam menyesalkan para pembantunya yang kurang teliti sehingga pemuda-pemuda wakil dari perkumpulan-perkumpulan besar diberi tempat di bawah, bahkan putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw juga diberi tempat di bawah panggung! Akan tetapi, diam-diam dia pun gembira melihat bahwa pemuda perkasa deri Cin-ling-pai itu mau melayani puterinya. Dengan demikian, kini makin banyak bermunculan pemuda-pemuda yang baik sehingga memudahkan pemilihannya. Mula-mula Siangkoan Wi Hong, lalu putera pangeran itu yang belum sempat disaksikannya sampai di mana tingkat ilmu silatnya sungguh pun dia sudah girang sekali mendengar dari Siangkoan Wi Hong tadi bahwa putera pangeran itu memiliki ilmu mukjijat Thi-khi I-beng. Selain putera pangeran itu, kini putera ketua Cin-ling-pai! Dia sendiri pernah mendengar tentang Cin-ling-pai, akan tetapi karena sudah lama sekali Cin-ling-pai tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka kini nama Cin-ling-pai tidak terkenal lagi dan nama besarnya seolah-olah semakin pudar. Maka kini kemunculan putera ketua Cin-ling-pai menarik perhatian para tokoh kang-ouw, terutama sekali kaum tuanya yang dulu pernah mengalami masa jayanya perkumpulan itu. Sejak tadi Bin Biauw memandang dan memperhatikan Cia Kong Liang dari kepala sampai ke kaki dan dara ini merasa kagum bukan main! Pemuda ini sungguh gagah! Meski pun tidak setampan pemuda putera pangeran tadi, akan tetapi pemuda ini gagah perkasa dan sikapnya demikian penuh wibawa dan matang, kokoh kuat dan penuh keberanian! Kalau saja ilmu silatnya sehebat sikapnya ini, maka dia merupakan seorang pemuda yang sangat hebat! Maka ingin sekali dia menguji kepandaian pemuda ini, apakah selihai ilmu silat Siangkoan Wi Hong yang agaknya memandang rendah wanita itu? Pemuda ini sama sekali tidak memandangnya dengan sikap merendahkan, bahkan memandangnya dengan sekilas saja, dengan pandang mata sopan! “Terima kasih bahwa Cia-enghiong suka memberi petunjuk kepadaku yang bodoh ini,” dia berkata sambil tersenyum manis. Akan tetapi sikap Kong Liang biasa saja, tidak membalas senyum itu, melainkan berkata dengan sikap hormat dan tegas, “Silakan, ilmu pedang nona indah dan lihai, namun saya kira saya akan mampu menjaga diri.” Bin Biauw gembira sekali dan dia sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat. Kong Liang juga segera melepaskan pedang Hong-cu-kiam yang tadinya melingkari pinggangnya sehingga nampaklah sinar keemasan yang menyilaukan mata. Melihat ini, Bin Biauw lalu memuji, “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus! Cia-enghiong, bersiaplah dan lihat serangan!” Dia menyebut eng-hiong (pendekar) kepada pemuda yang berwibawa ini, dan di dalam hatinya, dara ini sudah tunduk kepada putera Cin-ling-pai ini! Bin Biauw sudah menyerang dengan gerakan yang sangat cepat. Akan tetapi Kong Liang tidak pindah dari tempat dia berdiri, bahkan sedikit pun kakinya tidak tergeser. Dia tidak mempedulikan sinar pedang yang bergulung-gulung itu, hanya setiap kali cahaya pedang berkelebat ke arahnya, dia baru menggerakkan Hong-cu-kiam untuk menangkis. “Cringgg…!” Tangkisan pertama itu amat mengejutkan hati Bin Biauw karena seluruh tangan kanannya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sinkang yang sangat kuat dan bahwa pedang tipis bersinar emas itu benar-benar merupakan pedang yang ampuh. Maka dia bersikap hati-hati dan menyerang dengan lebih cepat. Namun, ke mana juga pedangnya menyambar, selalu bertemu dengan sinar emas yang menangkisnya! Padahal pemuda itu sama sekali tidak menggeser kaki. Bahkan ketika dia menyerang dari belakang, sinar emas itu pun telah menangkis di belakang tubuh pemuda itu. Berkali-kali terdengar bunyi berdencing nyaring dan nampaklah bunga api yang berpijaran menyilaukan mata ketika semakin lama semakin sering pula pedang Bin Biauw bertemu dengan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata itu. Hebatnya, pemuda itu selain tak pernah membalas serangan, juga tubuhnya hampir tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya memutar tubuh ke kanan atau kiri dan ke mana pun sinar pedang Bin Biauw datang menyambar, tentu selalu bertemu dengan cahaya emas yang menangkisnya. Dengan ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, Kong Liang mampu membangun pertahanan yang kokohnya bagaikan benteng baja dan tidak mudah ditembus oleh sinar pedang Bin Biauw. Apa lagi dia memang memiliki sinkang yang kuat sekali, sehingga setiap tangkisan yang disertai tenaga membuat lengan dara itu merasa tergetar hebat sekali. Makin lama serangan Bin Biauw menjadi semakin lemah dan belum lima puluh jurus kemudian, ketika Kong Liang memperkuat tenaganya dan menangkis, maka terdengar bunyi keras sekali. “Tranggg…!” Tubuh Bin Biauw terhuyung ke belakang. Dia menghentikan serangannya, dahinya penuh keringat sedangkan wajahnya menjadi merah sekali, mulutnya tersenyum malu-malu dan matanya mengerling tajam melebihi tajam pedangnya, dan dia pun menjura. “Cia-enghiong sungguh pandai, saya mengaku kalah!” Setelah berkata demikian, dara itu lalu mundur dan lari menuju ke tempat duduk ayahnya dengan muka merah dan sikap malu-malu! Melihat hal ini, Tung-hai-sian mengerti bahwa selain pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu memang lebih lihai dari pada puterinya, juga agaknya Bin Biauw sudah jatuh hati kepada pemuda itu, maka mau mengalah sebelum dirinya dikalahkan. Tung-hai-sian pun bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan para tamu yang menyambut kemenangan Cia Kong Liang dengan rasa girang, terutama mereka yang duduk di bawah panggung, karena bagaimana pun juga, tadi Kong Liang mengatakan bahwa dia mewakili para tamu di bawah panggung, dia menghampiri pemuda itu. “Cia-sicu sungguh memiliki ilmu pedang yang sangat lihai. Itukah yang disohorkan orang sebagai Siang-bhok Kiam-sut?” kata datuk itu sambil tersenyum. Secara diam-diam Kong Liang terkejut juga. Menurut ayahnya, selama belasan tahun ilmu pedang ini tak pernah dimainkan di depan umum, apa lagi digunakan dalam pertandingan, maka sekarang begitu melihatnya, padahal hanya dipergunakan sebagai pertahanan saja, kakek ini telah mampu menerkanya dengan tepat, menandakan bahwa kakek ini memang memiliki pengetahuan yang luas sekali. “Pandangan locianpwe sangat tajam dan memang tadi adalah Siang-bhok Kiam-sut dari perkumpulan kami.” “Bagus, bagus… dan maafkan kami yang telah berlaku kurang teliti sehingga sicu beserta rombongan memperoleh tempat duduk di bawah panggung. Sekarang silakan sicu dengan dua orang keponakan sicu untuk duduk di atas panggung, agar kita dapat bicara dengan enak.” Kong Liang adalah seorang pemuda yang angkuh, akan tetapi dia bukan orang yang suka disanjung. Jika tadi dia maju untuk memperlihatkan kepandaiannya, hanyalah agar orang jangan memandang rendah pada Cin-ling-pai, bukan berarti dia ingin disanjung dan dipuji. Andai kata nama Cin-ling-pai tidak disebut-sebut, atau andai kata para tamu yang duduk di bawah panggung tidak dianggap sebagai kelas rendahan, kiranya dia pun akan tetap menahan rasa penasaran dan kemarahannya. Kini, sesudah dia berhasil memperlihatkan kepandaiannya yang tidak usah kalah dibandingkan dengan puteri tuan rumah atau para tamu dari panggung, maka sudah cukuplah baginya. “Terima kasih, locianpwe. Bagi kami, duduk di bawah panggung pun tidak mengapa asal orang tidak memandang rendah terhadap kami yang duduk di bawah!” jawabnya sambil membalas dengan penghormatan, kemudian dia melompat turun dari atas panggung. “Cia-sicu, sebelum pulang aku ingin bicara dengan sicu lebih dulu!” Kakek itu berseru dari atas panggung. “Baik, locianpwe.” jawab Kong Liang yang kembali ke tempat duduknya semula. Dia disambut oleh Han Tiong dengan senyuman, akan tetapi Thian Sin nampak muram wajahnya. Pemuda ini merasa tidak puas dengan sikap pamannya tadi. Cia Kong Liang terlampau sombong dan mengandalkan dirinya sendiri, seakan-akan dia yang paling lihai! Sikap pamannya itu seolah-olah menganggap dia dan kakaknya masih kanak-kanak saja! Dan caranya mencegah dia bertanding dengan Bin Biauw tadi benar-benar membuat dia kecewa dan mendongkol. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap, hanya menunduk saja. Setelah para tamu mulai berpamitan, Thian Sin berkata kepada Han Tiong sengaja bicara keras agar terdengar pula oleh Kong Liang, “Tiong-ko, mari kita pulang. Kita harus segera pergi ke Lok-yang, memenuhi pesan ayah mengunjungi Paman Ciu Khai Sun.” “Engkau benar, adikku. Paman, marilah kita berpamit. Para tamu mulai pulang dan kami berdua masih harus melakukan perjalanan jauh ke Lok-yang.” Kong Liang bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Dia tadi sedang termenung ketika beberapa kali dia memandang ke arah tempat duduk Bin Biauw dan melihat betapa dara itu selalu memandang ke arahnya dan kadang-kadang tersenyum manis. Tadi, pada saat dia naik ke panggung untuk memperlihatkan kepandaian, sedikit pun tidak mempunyai niat untuk memperhatikan dara itu, dan walau pun seperti para tamu lain dia dapat menduga bahwa majunya Bin Biauw ke atas panggung sebenarnya untuk mencari jodoh, namun sedikit pun juga dia tidak mempunyai niat untuk memasuki sayembara yang tidak diumumkan itu. Kini, setelah dia dapat menangkan Bin Biauw dan mendengar ucapan serta melihat sikap Tung-hai-sian, diam-diam dia kemudian mengerti bahwa agaknya fihak keluarga itu tertarik kepadanya dan diam-diam dia pun baru merasa bingung karena sesungguhnya dia sama sekali belum mempunyai pikiran untuk mencari jodoh, sungguh pun ayah bundanya sudah sering mengemukakan keinginan mereka untuk mempunya mantu. Bersama-sama para tamu yang lain mereka bertiga lalu menghampiri panggung di mana Tung-hai-sian menerima para tamu yang berpamit. Ketika melihat Kong Liang dan kedua orang pemuda keponakannya, Bin Biauw bangkit dengan kaget lantas memegang tangan ayahnya. Alisnya berkerut seakan-akan hendak memperlihatkan kekecewaannya melihat pemuda gagah perkasa itu hendak pergi meninggalkan tempat itu. Tung-hai-sian Bin Mo To juga segera melangkah maju menyambut Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin. “Locianpwe, kami bertiga hendak mohon diri dan kami menghaturkan terima kasih atas segala penyambutan Locianpwe sekeluarga,” kata Kong Liang sambil memberi hormat, diturut oleh dua orang keponakannya. “Ehh, Cia-sicu, kenapa tergesa-gesa? Saya ingin bicara dengan sicu… penting sekali…,” kata kakek itu. Akan tetapi pada saat itu terdapat tamu-tamu lain yang datang berpamit, maka dia tidak dapat berbicara dengan leluasa. Sesudah rombongan tamu itu disambutnya dan terbuka kesempatan, barulah Kong Liang berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Maaf, locianpwe, bukan saya tidak bersedia, hanya karena kami masih ada urusan yang harus segera kami selesaikan, maka terpaksa kami tidak dapat menanti lebih lama lagi. Kami mohon diri.” “Cia-sicu… kalau begitu, begini saja. Harap sampaikan hormat dan salamku kepada ketua Cin-ling-pai, ayahmu, dan harap sampaikan pula kepada beliau bahwa dalam waktu dekat ini saya akan datang berkunjung kepada beliau di Cin-ling-san, untuk… bicara… eh, untuk mempererat persahabatan antara kita.” Wajah Kong Liang berubah merah, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Dia tahu apa yang dimaksud oleh kakek itu. Tiada lain tentu hendak membicarakan urusan perjodohan. Apa lagi? Antara Cin-ling-pai dengan para datuk kaum sesat tak ada sangkut-paut dan urusan apa-apa. “Baiklah, tentu nanti akan saya sampaikan, locianpwe. Selamat tinggal, dan… Nona Bin, selamat tinggal dan terima kasih.” Bin Biauw cepat membalas penghormatan pemuda itu. “Sampai berjumpa kembali, Cia… koko…,” kata dara itu dengan sikap manis sekali. Sesudah mereka bertiga meninggalkan tempat itu, di tengah perjalanan Thian Sin tidak dapat menahan perasaan hatinya lagi kemudian berkata sambil tersenyum masam. “Ahh, sekali ini Paman Kong Liang telah berhasil.” Kong Liang memandang kepada putera pangeran itu. “Berhasil? Apa maksudmu?” “Paman tidak hanya sudah mengalahkan pedang Nona Bin, melainkan juga telah berhasil menundukkan hatinya dan juga menaklukkan ayahnya.” “Hemm, Thian Sin, coba jelaskan, apa maksud kata-katamu ini!” “Kenapa paman masih pura-pura lagi? Tung-hai-sian telah menjelaskan sikapnya, hendak datang menemui ketua Cin-ling-pai. Apa lagi kalau tidak hendak membicarakan mengenai urusan pernikahan? Ahh, kionghi (selamat), paman!” Dan Thian Sin benar-benar memberi selamat dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. “Gila!” Kong Liang membentak, mukanya berubah merah. “Apa kau sangka begitu mudah menentukan urusan kawin? Yang penting adalah dua orang yang bersangkutan!” “Wah, sikap Nona Bin sudah jelas. Bukankah tadi dia pun tiba-tiba saja menyebutmu… dengan sebutan koko yang mesra? Dan paman sendiri, ahh, masih pura-pura lagi?” “Thian Sin, jangan sembarangan bicara kau!” Kong Liang yang merasa malu itu menjadi marah, atau pura-pura marah. Melihat ini, Han Tiong yang semenjak tadi memperhatikan adiknya, cepat menengahi dan berkata, “Paman, Thian Sin hanya main-main saja. Sin-te, jangan kau goda paman. Mari kita percepat perjalanan kita yang masih jauh.” Akan tetapi saat mereka baru saja keluar dari kota Ceng-tao dan tiba di kaki pegunungan yang sunyi, mereka melihat beberapa orang berdiri menghadang mereka di tengah jalan sehingga ketiga orang pemuda ini memandang dengan penuh perhatian. Mereka segera mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tetap memanggul yang-kimnya dan seorang dara cantik manis berpakaian mewah yang bukan lain adalah So Cian Ling murid dari See-thian-ong, dara keturunan penghuni Padang Bangkai yang pernah datang untuk membalas dendam terhadap Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng itu! Di samping dua orang muda yang lihai ini nampak tiga orang kakek yang dikenal oleh Han Tiong, yaitu Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek murid-murid Pak-san-kui yang pernah dikalahkan oleh ayahnya beberapa tahun yang lalu. Juga di samping dara manis itu berdiri Ciang Gu Sik, murid kepala See-thian-ong yang berusia tiga puluh lima tahun itu, yang pernah bertanding melawan Bin Biauw dan amat lihai dengan joan-pian berselaput emas itu. Melihat betapa keenam orang itu bersikap mengancam, Kong Liang mengerutkan alisnya kemudian berkata kepada dua orang keponakannya dengan bisikan, “Kalian diamlah saja. Mereka itu lihai, biar aku yang menghadapi mereka apa bila terpaksa aku harus melawan mereka. Kalian boleh melihat saja dan siap-siap saja untuk membela diri kalau diserang.” Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi Han Tiong mengangguk, lantas menyentuh lengan adiknya yang sudah gatal-gatal tangan hendak menantang musuh itu. Dengan sikap yang tenang namun berwibawa, ketabahan yang amat besar, Kong Liang cepat mendahului dua orang keponakannya dan mengambil sikap seolah-olah dia hendak melindungi dua orang pemuda keponakannya itu. Dia berjalan terus sampai tiba di depan enam orang yang menghadangnya, lalu berkata dengan sopan namun tegas, “Harap cu-wi suka minggir dan membiarkan kami lewat.” Bagaimanakah putera Pak-san-kui dan murid See-thian-ong itu dapat berkumpul menjadi satu kemudian menghadang di tempat itu? Memang, di antara empat orang datuk, yaitu See-thian-ong, Pak-san-kui, Tung-hai-sian dan Lam-sin, maka See-thian-ong datuk dari barat dan Pak-san-kui dari utara sudah lama saling mengadakan hubungan seperti rekan seangkatan atau segolongan, sebab itu tidak mengherankan apa bila Siangkoan Wi Hong sudah lama mengenal So Cian Ling. Ketika Siangkoan Wi Hong melihat betapa pemuda putera ketua Cin-ling-pai itu mampu mengalahkan sekaligus menundukkan hati Bin Biauw dan bahkan Tung-hai-sian nampak tertarik untuk mengambil mantu pemuda itu, diam-diam Siangkoan Wi Hong merasa tidak senang sekali. Bukan karena dia sendiri ingin memperisteri Bin Biauw, melainkan karena Tung-hai-sian telah dianggapnya sebagai orang satu golongan dengan ayahnya sebagai datuk timur. Ada pun pemuda itu adalah putera Cin-ling-pai, golongan yang menamakan dirinya ‘kaum pendekar’ dan yang semenjak dahulu telah menjadi fihak yang menentang dan ditentang golongan para datuk. Kalau sampai Tung-hai-sian menjadi besan ketua Cin-ling-pai, tentu hal itu berarti akan melemahkan golongan mereka. Inilah sebabnya maka Siangkoan Wi Hong lalu cepat-cepat menghubungi para murid See-thian-ong mengajak dua orang murid See-thian-ong untuk melakukan penghadangan terhadap tiga orang dari Cin-ling-pai itu. Hal ini disetujui Ciang Gu Sik yang berpemandangan sama dengan Siangkoan Wi Hong, sedangkan So Cian Ling yang pernah berhadapan dengan tiga orang pemuda itu sebagai lawan ketika dia hendak membalas dendam kepada Kakek Yap Kun Liong dan Nenek Cia Giok Keng, juga penuh semangat menyokong maksud ini. Demikianlah, Siangkoan Wi Hong ditemani tiga orang Pak-thian Sam-liong, dan dua orang murid See-thian-ong itu kemudian bersama-sama memotong jalan dan menghadang tiga orang pemuda yang tadi menjadi tamu sebagai wakil Cin-ling-pai itu. “Tring-tranggg…!” Yang-kim di tangan Siangkoan Wi Hong itu berbunyi, disusul suara tawa pemuda tampan pesolek itu. “Ha-ha-ha, sekarang sudah lengkap tiga-tiganya berkumpul di sini, ha-ha-ha! Putera ketua Cin-ling-pai, putera Pendekar Lembah Naga, dan putera Pangeran Ceng Han Houw! Wah, wah, tiga serangkai yang cocok! Pantas saja sikapnya sombong bukan main!” Han Tiong yang pernah berkenalan dengan pemuda ini, bahkan pernah disambut sebagai sahabat dan dijamu makan, merasa tak enak kalau harus bermusuhan dengannya, maka dia sudah cepat berkata, “Saudara Siangkoan, kami adalah orang-orang yang lebih mengutamakan persahabatan, tidak ingin mencari permusuhan, harap engkau tidak mengganggu kami.” “Han Tiong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi orang-orang liar ini!” Cia Kong Liang berkata dengan suara nyaring dan tajam. Memang dia sudah marah sekali menyaksikan sikap Siangkoan Wi Hong tadi. Mendengar ucapan Han Tiong yang dianggapnya terlalu merendahkan diri itu, kemarahannya makin berkobar. Dia sudah melangkah maju di depan Han Tiong dan dia menghadapi Siangkoan Wi Hong dengan sikap penuh wibawa. Sepasang matanya kini mencorong seperti mata seekor naga saja. “Memang benar bahwa kami tidak mencari permusuhan, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut menghadapi siapa pun juga yang hendak memusuhi kami! Kalau aku tidak salah lihat, kalian ini adalah orang-orangnya Pak-san-kui dan See-thian-ong, bukan? Nah, apa maksud kalian menghadang perjalanan kami dan bersikap seperti ini?” Enam orang itu nampak jeri juga saat menyaksikan sikap yang gagah dari putera ketua Cin-ling-pai itu, bahkan Siangkoan Wi Hong yang biasanya tenang dan tertawa-tawa itu, yang biasanya sangat mengandalkan kepada diri sendiri, kini diam-diam merasa gembira bahwa dia mempunyai teman-teman yang lihai karena terus terang saja, kalau dia harus menghadapi pemuda Cin-ling-pai ini seorang diri saja, dia masih akan berpikir panjang. Akan tetapi pada saat itu pula, sebelum ada yang menjawab pertanyaan Kong Liang tadi, terdengar suara keras, “Mana orang Cin-ling-pai? Biar kami menghadapinya!” Dan nampaklah bayangan orang berkelebat dari atas pohon, kemudian dua tubuh yang melayang itu berjungkir balik bagaikan bola-bola besar, berputar-putar dan baru turun di depan Kong Liang. Cara mereka meloncat dari atas dan berjungkir balik itu hebat sekali, seperti permainan akrobatik para pemain sirkus yang terlatih baik saja. Dan ketika semua orang memandang, kiranya mereka itu adalah dua orang laki-laki berpakaian pengemis! Usia mereka sekitar lima puluh tahun, pakaian mereka terbuat dari kain tambal-tambalan beraneka macam dan warna, tetapi pakaian mereka tidak butut seperti pakaian pengemis-pengemis biasa, namun bersih dan agaknya memang hanya merupakan pakaian model pengemis, yaitu berbagai macam kain baru ditembel-tembel sehingga menjadi pakaian. Di punggung mereka, seperti cara orang membawa pedang, terlihat sebatang tongkat, entah terbuat dari bahan apa, hanya kelihatan hitam dan butut. “Aha, kiranya dua orang gagah dari Bu-tek Kai-pang?” seru Siangkoan Wi Hong dengan girang sekali ketika melihat munculnya dua orang kakek pengemis ini. Dia tidak mengenal pribadi semua anggota Bu-tek Kai-pang yang jumlahnya dua puluh empat orang itu, akan tetapi melihat pakaian mereka dan tongkat yang mereka namakan ‘Hok-mo-pang’ (Tongkat Penakluk Iblis) itu, maka tahulah dia bahwa mereka itu adalah dua orang anggota Bu-tek Kai-pang yang dipimpin atau diketuai oleh Lam-sin (Malaikat Selatan), yaitu datuk selatan....


PENDEKAR SADIS JILID 14 :
DUA orang pengemis itu menjura ke arah Siangkoan Wi Hong. Salah seorang di antara mereka, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung hantu, lalu berkata, “Selamat berjumpa lagi, Siangkoan-kongcu dan bukankah sam-wi (tuan bertiga) adalah Pak-thian Sam-liong yang gagah perkasa? Selamat jumpa!” Pak-thian Sam-liong, tiga orang murid Pak-san-kui menjura dengan hormat. “Dan selamat bertemu pula kepada dua orang murid See-thian-ong Locianpwe!” pengemis ke dua, yang mukanya merah sekali, berkata kepada So Cian Ling dan Ciang Gu Sik yang cepat membalas pemghormatan mereka pula. Diam-diam mereka pun merasa terkejut bahwa para pengemis ini telah mengenal mereka, menunjukkan bahwa pengemis-pengemis itu mempunyai mata tajam, atau mungkin sekali mereka sudah lama mengintai ketika terjadi keributan di dalam pesta yang diadakan oleh Tung-hai-sian. Ciang Gu Sik yang pendiam itu membalas penghormatan sambil berkata, “Kami merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan ji-wi dari Bu-tek Kai-pang yang terkenal!” “Akan tetapi kenapa ji-wi tidak terang-terangan hadir dalam pesta ulang tahun Locianpwe Tung-hai-sian?” So Cian Ling bertanya, yang merupakan teguran dan juga sindiran bahwa dia sudah menduga mereka berdua tentu hadir dengan sembunyi. “Dan memalukan fihak tuan rumah dengan kehadiran pengemis-pengemis macam kami?” Jawab si hidung melengkung. “Ahh, mana kami berani?” Han Tiong dan Thian Sin memandang kepada mereka semua itu dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang. Kini mereka berdua sudah berjumpa dengan orang-orang dari empat datuk yang terkenal itu! Dan kini yang menghadang mereka adalah orang-orang atau para murid dari Pak-san-kui, See-thian-ong dan Lam-sin! Akan tetapi Kong Liang sudah merasa amat marah. Pemuda ini biasanya dihormati orang, dan memang sebagai putera ketua Cin-ling-pai tentu saja dia merasa dirinya tinggi, namun sekarang, orang-orang dari golongan hitam atau kaum sesat ini saling bertemu dan bicara gembira, bersikap seolah-olah dia tidak berada di situ, atau dia dianggap sebagai patung atau semut saja! Di dalam pesta dia sudah tidak dihargai, mendapat tempat duduk di bawah panggung, dan kini orang-orang ini pun tidak menghargainya. Sungguh membuat perut terasa panas! “Jalan ini adalah jalan umum! Kalau mau bicara minggirlah dan biarkan kami lewat!” kata Kong Liang. Dia sudah melangkah ke depan kemudian menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah dua orang pengemis yang berada paling dekat dan menghadang jalan. Dorongannya ini disertai tenaga Thian-te Sin-ciang, maka terdengar angin menyambar keras. Kedua orang pengemis itu menggerakkan tubuh mereka mengelak, dan masing-masing telah mencabut tongkat mereka, lalu membentak. “Hemm, inikah putera ketua Cin-ling-pai? Sebelum kau melanjutkan perjalanan, hayo lebih dulu kau hadapi kami!” si hidung melengkung membentak sambil melintangkan tongkat di depan dadanya. Kiranya tongkat itu berwarna hitam mengkilap dan bentuknya mirip seperti tubuh ular. Itu adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada batang tumbuh-tumbuhan di dalam laut yang melingkar-lingkar atau saling lingkar sehingga kalau diambil dan dikeringkan menjadi bentuk seperti ular, yaitu semacam kayu akar bahar yang kuat dan ulet sekali, juga yang menurut kepercayaan umum yang tahyul mengandung kekuatan mukjijat! “Akulah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai! Kalian ini jembel-jembel dari mana dan mengapa memusuhi Cin-ling-pai?” “Kami adalah anggota Bu-tek Kai-pang dari Heng-yang. Guru, ketua dan pemimpin kami, yang mulia Lam-sin akan membenarkan sikap kami memusuhi putera Cin-ling-pai! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah musuh golongan kami, akan tetapi engkau putera ketuanya berani sekali menghina dan hendak memperisteri puteri Tung-hai-sian Locianpwe! Sungguh tidak tahu malu dan bosan hidup!” “Pendapat Bu-tek Kai-pang cocok sekalidengan pendapat kami!” kata Siangkoan Wi Hong dengan girang dan sebagai penambah semangat bagi kedua orang pengemis itu. Kini hati pemuda ini menjadi lebih besar setelah muncul dua orang pengemis itu yang memperkuat fihaknya. Wajah Cia Kong Liang menjadi merah sekali mendengar ucapan pengemis itu. Sedikit pun juga dia tidak bermaksud memperisteri Bin Biauw, akan tetapi menyangkal hal ini sama saja dengan membela diri, seolah-olah dia merasa takut. “Jembel busuk lancang mulut. Apa pun yang akan kuperbuat, apa pula sangkut-pautnya dengan kalian? Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan membuat kalian roboh!” “Bagus! Kau coba saja, orang Cin-ling-pai yang sombong!” Dua orang pengemis itu sudah menggerakkan tongkat mereka dan mengeroyok dari kanan kiri. Kong Liang tidak mau memberi hati, karena itu pemuda perkasa ini pun sudah mencabut Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya sehingga nampak sinar emas bergulung-gulung. Seperti sebagian besar dari pada anggota Bu-tek Kai-pang, dahulu dua orang pengemis ini merupakan tokoh-tokoh yang tunduk kepada Lam-thian Kai-ong (Raja Pengemis Dunia Selatan). Akan tetapi semenjak munculnya Lam-sin yang menjatuhkan Lam-thian Kai-ong dan yang mengangkat diri sendiri sebagai Malaikat Selatan kemudian menguasai seluruh pengemis, bahkan Lam-thian Kai-ong yang sudah tua itu dijadikan pembantu utamanya, maka para tokoh pengemis di seluruh wilayah selatan menjadi anggota Bu-tek Kai-pang. Jumlah mereka tidak banyak, hanya ada dua puluh empat orang karena Lam-sin tak mau mengambil pengemis sebagai anggotanya tanpa diuji dahulu. Ujian yang sangat berat dan hanya para tokoh yang benar-benar memiliki kepandaian tinggi sajalah yang berhasil lulus dan jumlah mereka tidak lebih dari dua puluh empat orang untuk seluruh wilayah selatan! Tentu saja, dengan para anggota yang memiliki kepandaian tinggi itu, maka nama Bu-tek Kai-pang menjadi terkenal sekali. Dan seperti para anggota lain, dua orang tokoh ini pun amat lihai, terutama sekali dalam menggunakan tongkat akar bahar hitam itu karena mereka semua telah mempelajari ilmu tongkat ciptaan ketua baru mereka, yaitu Lam-sin. Sejenis ilmu tongkat yang diberi nama Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Mereka berdua itu sengaja diutus oleh Lam-sin untuk mewakilinya memenuhi undangan Tung-hai-sian. Akan tetapi karena watak Lam-sin ini yang paling aneh di antara keempat datuk, dan selalu ingin merahasiakan dirinya, maka dia pun memesan kepada dua orang wakilnya itu untuk hadir secara bersembunyi saja! Baru sesudah terjadi sesuatu, dua orang pengemis itu memperlihatkan diri, dan mereka memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Siangkoan Wi Hong, yaitu kalau sampai Tung-hai-sian memilih putera Cin-ling-pai sebagai menantu, maka kekuatan empat datuk akan menjadi retak dan hat itu amat membahayakan mereka sendiri. Karena inilah maka dua orang pengemis ini lalu turun tangan menentang. Akan tetapi, kali ini mereka berdua bertemu dengan batu karang. Begitu tongkat-tongkat mereka itu bertemu dengan Hong-cu-kiam, keduanya terkejut sekali karena lengan tangan mereka yang memegang tongkat itu tergetar hebat sehingga hampir saja tongkat mereka terlepas dari pegangan! Maka mereka lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu mereka Hok-mo-pang untuk mengeroyok dan terjadilah perkelahian yang amat seru! Han Tiong memandang dengan ails berkerut, tidak senang dengan terjadinya perkelahian dan permusuhan yang dia tahu dapat menjadi besar ini. Akan tetapi sebaliknya, Thian Sin memandang dengan senyum tenang sehingga So Cian Ling yang memang sudah tertarik kepada pemuda ini, merasa semakin kagum. Dia tahu bahwa pemuda tampan ini, yang kabarnya adalah putera Pangeran Ceng Han Houw yang dulu terkenal sebagai seorang perayu wanita yang tampan dan juga seorang jagoan tanpa tanding sehingga pernah menggemparkan dunia persilatan, adalah seorang pemuda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Ingin sekali dia berkenalan lebih intim dengan pemuda ini, akan tetapi sayangnya keadaan membuat mereka harus berdiri saling berhadapan sebagai lawan. Sementara itu, perkelahian antara Kong Liang yang dikeroyok oleh dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang terjadi dengan serunya karena sekarang dua orang pengemis itu makin penasaran. Mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga, dan juga mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengalahkan orang muda itu. Akan tetapi, kiranya masih harus membutuhkan sedikitnya enam orang seperti mereka untuk dapat mengalahkan Cia Kong Liang, pemuda yang telah mewarisi kepandaian ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang perlahan-lahan, sinar pedang berwarna keemasan itu semakin kuat dan makin menindih sinar dua batang tongkat hitam mereka. Melihat betapa dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang itu takkan menang, maka diam-diam Siangkoan Wi Hong langsung memberi isyarat kepada tiga orang suheng-nya yang juga menjadi anggota atau anak buah ayahnya, Pak-thian Sam-liong. Tiga orang laki-laki gagah yang merupakan murid-murid kepala Pak-san-kui ini, walau pun termasuk golongan kaum sesat, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi sehingga segan melakukan hal yang dianggap rendah seperti misalnya pengeroyokan, karena mereka itu menganggap kedudukan mereka tinggi sehingga malu untuk mengeroyok, bukan karena memang benar-benar berwatak jantan atau gagah. Maka, melihat isyarat sute mereka yang juga merupakan tuan muda mereka, ketiganya saling pandang, lalu mereka melepaskan jubah masing-masing sehingga nampak pakaian mereka yang ringkas, putih-putih dengan sabuk biru dan pada punggung masing-masing nampak sebatang pedang. “Ji-wi Sin-kai, mundurlah, biar kami yang menggantikan ji-wi!” kata salah seorang di antara mereka kepada dua orang pengemis yang sudah terdesak hebat itu. “Kami belum kalah!” teriak seorang di antara kedua pengemis itu sambil mencoba untuk membalas serangan lawan dengan tongkatnya. Melihat kebandelan dua orang pengemis itu, Pak-thian Sam-liong merasa dongkol sekali. Sudah jelas terdesak dan tinggal menunggu mampus saja, mengapa masih berlagak, pikir mereka. “Orang she Cia, lawanlah kami Pak-thian Sam-liong apa bila engkau memang jagoan!” Mereka berteriak, kini menggunakan akal lain, menantang putera ketua Cin-ling-pai itu. Kong Liang juga amat mendongkol bahwa sampai begitu lamanya dia belum juga berhasil merobohkan dua orang lawannya, padahal dia sudah mendesak mereka dengan hebat. Kini mendengar tantangan Pak-thian Sam-liong, dia lalu berseru keras. “Jika kalian sudah bosan hidup, majulah sekalian, siapa takut kepada orang-orangnya Pak-san-kui?” Tantangan ini terlalu tekebur, pikir Han Tiong yang mengerutkan alisnya. “Paman, biarkan aku yang menghadapi mereka!” katanya karena dia mengkhawatirkan pamannya kalau sampai dikeroyok lima! “Han Tiong, jangan! Biarkan aku sendiri merobohkan mereka!” jawab Kong Liang tegas, ucapan yang menunjukkan wataknya yang angkuh, tidak mau dibantu dan seolah-olah dia sudah yakin akan menang sehingga dia menggunakan kata-kata ‘merobohkan’ mereka. Han Tiong tidak berani membantah dan Thian Sin tersenyum kepadanya ketika melihat Pak-thian Sam-liong kini sudah terjun ke dalam medan pertempuran membantu dua orang kakek pengemis. Karena mereka tadi ditantang, jadi mereka pun tidak segan-segan lagi untuk mengeroyok! “Tiong-ko, di fihak mereka masih ada lainnya, mengapa tidak sikat mereka ini saja? Orang she Siangkoan ini agaknya masih belum kapok! Hayo Siangkoan Wi Hong, kalau engkau ingin kurobohkan untuk ke dua kalinya, majulah engkau!” Siangkoan Wi Hong tertawa untuk menyembunyikan rasa marah dan malunya pada waktu diingatkan akan kekalahannya melawan pemuda ini di depan orang-orang lain, terutama di depan para murid See-thian-ong dan Lam-sin. “Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jika engkau mampu mengalahkan yang-kimku ini, biarlah engkau boleh membuka mulut lebar!” Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan So Cian Ling yang sudah maju menyambut Thian Sin sambil berseru kepada Siangkoan Wi Hong, “Siangkoan-kongcu, biar aku saja yang menghadapi dia ini!” Kemudian tanpa banyak cakap lagi So Cian Ling menerjang dan menyerang dengan pedangnya yang bersinar putih! Thian Sin cepat mengelak dan menegur dengan suara penuh sesalan. “Hemm, kukira engkau sudah sadar ketika kita saling berjumpa di Bwee-hoa-san, ternyata sekarang engkau kembali memusuhi kami tanpa sebab!” Akan tetapi So Cian Ling sudah menyerang kembali sambil berkata, “Orang she Ceng, keluarkanlah senjata dan kepandaianmu!” Dara ini memang merasa amat tertarik kepada Thian Sin, kagum dia melihat ketampanan, kegagahan dan juga sikap Thian Sin, maka sekarang dia hendak melihat sampai di mana ilmu kepandaian pemuda ini. Pernah dia melihat Thian Sin mengalahkan salah seorang di antara ketiga orang pewaris ilmu-ilmu kakeknya, akan tetapi memang tingkat kepandaian tiga orang paman itu masih rendah, ada pun dia sendiri belum menguji sampai di mana kelihaian Thian Sin. Oleh karena itu, melihat kesempatan ini dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dan segera menandingi Thian Sin, biar pun di dalam hatinya dia sama sekali tidak membenci atau memusuhi Thian Sin. Bahkan sebaliknya, dia ingin sekali mengenal Thian Sin lebih dekat, sebagai sahabat baik! Akan tetapi Thian Sin masih tidak mau mengeluarkan pedang pemberian neneknya, yaitu Gin-hwa-kiam. Pedang itu dianggapnya sebagai benda pusaka warisan neneknya. Dan dia menganggap bahwa lawannya ini, murid See-thian-ong, bukankah lawan yang perlu dia hadapi dengan pedang. Dengan sangat gesitnya dia mengelak ke kanan kiri dari sambaran pedang yang bersinar putih itu, dan sambil mengelak dia pun balas menyerang dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, karena tamparan itu mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang. “Wuut-wuuut-singgggg…!” Pedang di tangan So Cian Ling bergerak cepat sekali dan menyambar-nyambar dengan kuatnya. Akan tetapi Thian Sin dapat mengelak lebih cepat lagi dan pada saat pedang itu masih meluncur menyambar dengan tusukan kilat ke arah lehernya, tangan kirinya cepat menangkis. “Ehhh…?” So Cian Ling terkejut dan berusaha menarik pedangnya karena dia tidak ingin pedangnya bertemu dengan tangan kosong pemuda itu, membayangkan betapa tangan itu tentu akan robek atau putus apa bila bertemu dengan pedang pusakanya. Akan tetapi gerakannya kalah cepat dan pedang itu bertemu dengan tangan kiri Thian Sin. “Plakkk!” Dara itu terpekik dan segera meloncat ke belakang. Tangan itu seperti daging yang amat lunaknya, terasa oleh tangannya yang memegang pedang, akan tetapi sama sekali tidak terluka. Dia memandang kagum bukan main. Tahulah dia bahwa pemuda ini telah memiliki tenaga sinkang yang tingkatnya sudah amat tinggi sehingga bukan hanya dapat membuat tangan menjadi sekeras baja, akan tetapi juga membuat tangan itu menjadi selemas kapas dan tidak mungkin dapat terluka! Itulah tingkat sinkang yang baginya masih terlalu tinggi dan mungkin hanya gurunya saja yang sudah mencapai tingkat itu! “Engkau hebat…!” katanya berbisik, namun cukup untuk dapat terdengar oleh Thlan Sin. Pemuda ini merasa mukanya agak panas karena merasa malu dan juga senang sekali mendapat pujian lawannya. Maka dia pun lalu mencoba ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dipelajarinya dari Yap Kun Liong. Dan benar hebat ilmu ini, apa lagi dimainkan oleh orang yang sudah memiliki tingkat ginkang dan sinkang seperti dia! Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun adalah ilmu silat tingkat tinggi yang tak mungkin bisa dikuasai sepenuhnya oleh Thian Sin yang baru mempelajarinya selama sebulan saja! Akan tetapi, karena memang pada dasarnya pemuda ini sudah memiliki ilmu-ilmu silat tinggi, terutama sesudah dia menguasai Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang merupakan biang ilmu-ilmu silat tinggi, gerakannya sudah amat cepat dan juga hebat ketika dia mainkan Pat-hong Sin-kun sehingga dia dapat membalas serangan pedang lawan dengan sama cepat dan seringnya. Hal ini sangat mengagumkan Cian Ling sehingga berkali-kali dara ini mengeluarkan suara memuji. Siangkoan Wi Hong semenjak tadi menonton pertandingan ini dan hatinya merasa makin tidak senang mendengar betapa Cian Ling memuji-muji pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Pemuda putera Pak-san-kui ini tadinya selalu merasa bahwa di dunia ini tak akan ada pemuda yang melebihi dia! Akan tetapi, dia harus mencatat kenyataan pahit ketika dia dikalahkan oleh Thian Sin dan kini, selagi dia ingin membalas kekalahannya itu dengan mengandalkan yang-kimnya sebagai senjatanya yang paling diandalkan, didahului oleh Cian Ling dan mendengar betapa Cian Ling memuji-muji Thian Sin. “Bocah sombong!” teriaknya dan dia sudah menerjang maju. “Plakkk!” Ujung yang-kim yang menyerang Thian Sin dengan hebatnya itu tersampok miring dan ternyata yang menangkis itu adalah tangan kiri Han Tiong yang berkata dengan tenang, “Saudara Siangkoan yang gagah, apakah tidak malu untuk melakukan pengeroyokan?” Kemarahan Siangkoan Wi Hong makin berkobar-kobar, “Keparat, siapa takut berhadapan dengan putera Pendekar Lembah Naga?” Setelah berkata demikian, yang-kimnya lantas bergerak cepat sekali sehingga mengeluarkan suara berdering dan yang-kim itu langsung menyambar ke arah kepala Han Tiong. Dengan sikapnya yang selalu tenang dan waspada itu, dengan sangat mudah Han Tiong mengelak hingga belasan kali sambil diam-diam dia mempelajari gerakan-gerakan senjata aneh itu. Hanya kadang-kadang saja dia membalas dengan tamparan Thian-te Sin-ciang untuk menahan serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya dan amat berbahaya itu. Sementara itu, melihat betapa sumoi-nya yang berpedang, yang dia tahu mempunyai ilmu kepandaian lebih tingi dari pada dia sendiri itu, belum juga mampu mendesak lawannya yang bertangan kosong, dan mendengar betapa sumoi-nya itu memuji-muji lawan, Ciang Gu Sik juga menjadi penasaran dan marah. Diam-diam perjaka tua yang berusia tiga puluh lima tahun ini tergila-gila pada sumoi-nya, maka kini melihat adanya tanda-tanda bahwa sumoi-nya tertarik kepada pemuda ganteng yang lihai ini, tentu saja dia merasa cemburu dan iri hati. Maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut joan-pian terselaput emas itu dan nampaklah sinar keemasan ketika joan-pian itu bergerak menyambar dan menyerang Thian Sin. “Suheng! Jangan main keroyok! Aku tidak perlu bantuan!” Cian Ling berseru kaget melihat gerakan suheng-nya. Akan tetapi Ciang Gu Sik tidak mau peduli, bahkan mempercepat gerakannya menyerang Thian Sin dengan senjatanya. Akan tetapi dengan mudahnya Thian Sin mengelak, malah dua kali dia menangkis dengan tangan telanjang, membuat ujung cambuk baja terselaput emas itu membalik sehingga mengejutkan pemegangnya. Sementara itu, Cia Kong Liang telah dikeroyok oleh lima orang, yaitu dua orang pengemis dari Bu-tek Kai-pang bersama tiga orang Pak-thian Sam-liong! Pendekar muda putera dari ketua Cin-ling-pai ini mengamuk dengan pedangnya, namun karena lima orang lawannya itu tergolong tokoh-tokoh yang lihai, maka dia terkepung rapat oleh Pak-thian Sam-liong yang masing-masing memegang pedang dan dua orang pengemis yang masing-masing memegang tongkat. Kong Liang terpaksa harus memutar pedangnya dan mainkan Siang-bhok Kiam-sut, ilmu pedang yang luar biasa itu dan yang memang merupakan ilmu pedang yang sangat kuat dalam pertahanan. Seluruh gulungan sinar pedangnya seolah-olah menyelimuti tubuhnya, merupakan benteng baja yang kokoh kuat sehingga semua serangan lima orang lawan itu selalu tertangkis dan tidak pernah berhasil menembus benteng gulungan sinar keemasan yang amat kuat itu. Betapa pun juga, tidaklah mudah bagi Kong Liang untuk dapat balas menyerang karena lima orang pengeroyoknya itu benar-benar dapat bekerja sama dengan baiknya, terutama setelah Pak-thian Sam-liong membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), dibantu pula oleh dua orang kakek pengemis yang lihai. Juga pertandingan antara Siangkoan Wi Hong dan Han Tiong berlangsung dengan seru dan tampaknya seimbang. Padahal, sebetulnya bukanlah demikian. Memang harus diakui bahwa setelah dia mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu yang-kim, Siangkoan Wi Hong kini jauh lebih lihai dari pada ketika dia dengan tangan kosong melawan Thian Sin, bagai seekor harimau tumbuh sayap. Akan tetapi, dia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan putera Pendekar Lembah Naga itu, terlebih lagi dalam kehebatan ilmu silat yang dipelajari oleh putera pendekar sakti itu. Biar pun Han Tiong bertangan kosong, akan tetapi jika dia menghendaki, dia akan dapat mendesak lawan dengan serangan-serangan ampuhnya. Namun Han Tiong sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk merobohkan lawan. Antara dia dengan Siangkoan Wi Hong tidak ada permusuhan apa pun, dan dia pun tidak membenci pemuda ini, maka mengapa dia harus merobohkan dan melukainya? Dia lebih banyak bertahan saja sambil mencoba untuk mengalahkan lawan tanpa melukainya, dan tentu saja hal ini tidak mudah mengingat bahwa Siangkoan Wi Hong merupakan seorang lawan yang cukup pandai, bahkan berbahaya sekali. Berbeda dengan Han Tiong, begitu Ciang Gu Sik maju mengeroyoknya, Thian Sin segera menghadapinya dengan kekerasan. Sejak tadi dia sudah mainkan Pat-hong Sin-kun untuk menghadapi Cian Ling, sekalian hendak melatih ilmu silat baru ini, dan begitu dia melihat Ciang Gu Sik memasuki medan perkelahian dan menyerangnya dengan hebat, dia cepat mencoba ilmu barunya yang dipelajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Pek-in-ciang. Begitu dia mengerahkan sinkang dan menggunakan pukulan dengan tangan kirinya sambil mengerahkan Pek-in-ciang, maka nampaklah uap mengepul dari telapak tangannya. Itulah sebabnya ilmu ini dinamakan Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih). Ciang Gu Sik adalah murid pertama See-thian-ong, sungguh pun tingkat kepandaiannya masih di bawah So Cian Ling, namun dia memiliki banyak pengalaman pertempuran dan termasuk seorang tokoh pandai. Akan tetapi dia terkejut ketika merasa betapa uap putih itu menyambar dahsyat, membuat ujung joan-pian yang dipergunakan untuk menyerang itu membalik! Pada saat itu pula Cian Ling telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin sambil membentak nyaring, bentakan yang dikeluarkan supaya pemuda itu mendapat peringatan terlebih dahulu sebelum dia menyerang karena majunya suheng-nya yang mengeroyok ini sudah membuat hatinya tidak enak. Thian Sin yang ingin sekali memamerkan kepandaiannya masih tetap mempergunakan Pek-in-ciang, mendorongkan tangannya yang mengeluarkan uap putih itu ke arah pedang sehingga pedang itu pun menyeleweng. Akan tetapi Thian Sin masih kurang pengalaman dan tidak tahu bahwa Pek-in-ciang akan lebih tepat dan ampuh apa bila digunakan untuk melawan orang yang bertangan kosong. Kini dia mengandalkan Pek-in-ciang menghadapi dua lawan yang bersenjata, tentu saja kurang tepat karena Pek-in-ciang itu baru ampuh kalau bertemu dengan tubuh dan tangan lawan, sedangkan jika untuk menghadapi senjata tajam yang keras, maka hanya mampu mendorongnya sedikit saja. Maka kini dia dihujani serangan dan akhirnya ujung joan-pian di tangan Ciang Gu Sik itu berhasil melecut pundaknya, kemudian ujung joan-pian yang digerakkan secara lihai itu terus melilit lehernya! “Aihh…!” Cian Ling memekik kaget dan menahan tusukan pedangnya. Akan tetapi sesaat kemudian, bukan Thian Sin yang mengeluh, melainkan Gu Sik sendiri. “Auhhhh… ahhh, lepaskan…!” Murid See-thian-ong ini terbelalak, napasnya terengah dan dia terus menarik-narik joan-piannya yang melingkari leher Thian Sin! Sungguh suatu pemandangan yang sangat aneh. Jelas nampak betapa joan-pian itu tadi mengenai pundak Thian Sin, bahkan ujungnya seperti seekor ular melilit leher pemuda itu. Akan tetapi mengapa bukan pemuda itu yang menderita, sebaliknya malah Gu Sik yang memegang gagang cambuk atau joan-pian itu? Ternyata bahwa Gu Sik merasa betapa tenaga sinkang di dalam tubuhnya tersedot keluar melalui joan-pian, membanjir keluar dan hal ini tentu saja amat mengejutkannya. Semakin dia mengerahkan tenaga untuk membetot joan-pian itu, maka semakin hebat pula tenaga sinkang-nya membanjir keluar. Hal ini sangat mengejutkan dan mendatangkan kengerian sehingga akhirnya dia berteriak-teriak minta dilepaskan! Thian Sin telah melangkah dekat dan tangan kirinya menampar. “Plakk!” Tubuh Gu Sik terpelanting dan joan-pian itu terlepas dari tangannya. Akan tetapi Thian Sin masih teringat akan larangan kakaknya untuk tidak membunuh, maka tamparannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang itu hanya diarahkan ke pundak lawan sehingga Gu Sik tidak sampai menderita luka parah yang membahayakan nyawanya. Pada saat Gu Sik berteriak-teriak tadi, Cian Ling sangat terkejut dan dia ingin membantu suheng-nya. Akan tetapi dia pun tak ingin mencelakai Thian Sin, karena itu tangan kirinya yang maju dan mencengkeram ke arah pundak pemuda itu. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak mengelak, bahkan membiarkan saja pundaknya dicengkeram. Dia melanjutkan dengan menampar Gu Sik dan membiarkan tangan dengan jari-jari yang kecil meruncing itu mencengkeram pundak. “Ehhh…!” Cian Ling juga mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa sinkang-nya tersedot secara hebat sekali melalui tangannya yang mencengkeram. Dan pada saat itu, Thian Sin sudah melangkah dekat dan tangannya bergerak untuk menampar! Cian Ling terkejut bukan main, maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia yang telah tersedot sinkang-nya itu saking kagetnya tidak mampu berbuat apa-apa, hanya memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya. Justru daya tarik kewanitaan So Cian Ling terletak pada hidung dan terutama matanya. Mata itu jeli dan indah sekali, dan melihat sepasang mata itu menatap kepadanya seperti itu, Thian Sin yang sudah menggerakkan tangan itu tiba-tiba saja mengubah gerakannya sehingga tangannya tidak jadi menampar, melainkan… meraba dan mengelus dagu yang halus itu lalu mencubitnya dan melangkah mundur melepaskan tenaga Thi-khi I-beng. Cian Ling mengeluh lirih kemudian meloncat ke belakang. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin dan kedua kakinya masih gemetar teringat akan bahaya maut tadi, sementara itu mukanya merah sekali teringat betapa pemuda itu mengelus dan mencubit dagunya! “Ahhh… kau… kau…” dan dia tersenyum malu-malu, lantas menundukkan mukanya yang menjadi semakin merah. “Kenapa kau… tidak memukulku…?” bisiknya. “Aku tidak bisa memukul wanita…,” kata Thian Sin. Tepat pada saat itu juga, Han Tiong juga sudah mendesak Siangkoan Wi Hong. Kalau dia menghendaki, kiranya belum sampai lima puluh jurus dia tentu akan mampu merobohkan pemuda putera Pak-san-kui itu. Akan tetapi Han Tiong tidak ingin merobohkan orang, apa lagi membunuhnya. Pada saat Thian Sin hendak membantu kakaknya agar lawan dapat segera dikalahkan, tiba-tiba saja terdengar suara halus, “Tahan, jangan berkelahi…!” Kemudian muncullah Tung-hai-sian bersama Bin Biauw serta belasan orang anak buah Tung-hai-sian. Melihat betapa Kong Liang dan lima orang pengeroyoknya masih terus berkelahi, kakek cebol itu cepat memasuki medan perkelahian, kemudian dengan tenang dia beberapa kali menggerakkan dua tangannya. Terdengar seruan-seruan kaget, juga Kong Liang sendiri cepat mencelat ke belakang karena dari dua tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa dinginnya dan kuatnya, yang membuat para pengeroyoknya terhuyung ke belakang dan dia sendiri harus meloncat ke belakang apa bila tidak mau terdorong oleh hawa dingin yang amat kuat itu. Tahulah putera ketua Cin-ling-pai ini bahwa kakek cebol itu sungguh memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa. “Tahan, jangan berkelahi di antara orang sendiri. Ada urusan boleh dibicarakan dengan baik!” kata pula Tung-hai-sian. Sementara itu, sejak tadi Han Tiong telah melompat mundur meninggalkan lawannya ada pun Siangkoan Wi Hong juga tak berani melanjutkan perkelahian setelah melihat adanya Tung-hai-sian yang melerainya. Hanya Kong Liang sajalah yang tadi tak peduli dan terus memaksa lima orang lawannya untuk melanjutkan pertempuran. Di antara lima orang itu, sudah ada dua orang dari Pak-thian Sam-liong dan seorang dari pengemis-pengemis Bu-tek Kai-pang yang terluka oleh pedang Kong Liang, sungguh pun bukan luka yang berat. Sedangkan Kong Liang kelihatan mandi keringat karena dia tadi harus terus memutar pedangnya secepat mungkin supaya dapat membendung serangan bertubi-tubi dari lima orang pengeroyoknya. Tung-hai-sian memandang kepada Kong Liang dan dua orang keponakannya, kemudian kepada para murid tiga datuk dari barat, utara, dan selatan itu, akhirnya menarik napas panjang. “Hemmm, ternyata para wakil dari sahabat-sahabat See-thian-ong, Pak-san-kui, dan Lam-sin yang berkelahi di sini menghadapi wakil Cin-ling-pai. Kalian semua adalah tamu-tamu kami, maka kami harap menghabisi urusan dan tidak berkelahi di wilayah ini. Tentu kalian tahu bahwa kami tidak menghendaki tamu-tamu kami yang terhormat sampai ada yang terganggu di wilayah kami.” Ucapannya itu halus tetapi mengandung ketegasan seorang datuk yang merasa bahwa kekuasaan atas wilayahnya dilanggar. “Maaf, locianpwe. Kami dari Cin-ling-pai sama sekali tak mau mencari permusuhan, akan tetapi kalau dalam perjalanan pulang kami dihadang dan ditantang, tentu saja kami tidak akan undur selangkah pun!” jawab Kong Liang dengan sikap gagah. Tung-hai-sian menoleh kepada Siangkoan Wi Hong, dan pemuda ini pun segera berkata dengan suara mengandung rasa penasaran, “Paman, semenjak dahulu Cin-ling-pai adalah musuh kita, apakah sekarang paman hendak mengubah keadaan itu? Apakah kita harus tunduk kepada manusia-manusia sombong yang secara tidak tahu malu mengangkat diri mereka sebagai pendekar-pendekar?” Tung-hai-sian menarik napas panjang. Sebagai seorang datuk, dia sudah mengerti akan maksud kata-kata itu dan tahu pula akan isi hati para putera dan murid tiga orang datuk itu. Mereka ini tentu merasa tidak rela kalau melihat dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai yang dianggapnya sebagai golongan putih yang selalu dianggap musuh oleh golongan hitam! Akan tetapi, jika bicara tentang urusan pribadinya dengan orang-orang muda yang hanya merupakan murid-murid tiga orang datuk lain itu pun terlampau rendah baginya. Dia akan bicara kalau yang dihadapinya itu tiga orang datuk itu sendiri. Maka dia pun lalu berkata, suaranya lantang sekali dan penuh wibawa. “Cu-wi, kami tidak peduli dari golongan mana, akan tetapi sekali menjadi tamu kami maka keselamatannya harus kami lindungi selama mereka berada di dalam wilayah kami! Kami harus menjaga nama sebagai tuan rumah yang baik, sebab itu selama menjadi tamu kami maka semua urusan pribadi untuk sementara tidak ada! Tamu tetaplah tamu yang harus diterima dengan baik dan keselamatannya adalah keselamatan kami pula. Oleh sebab itu, kami melarang siapa pun juga untuk menggunakan kekerasan di dalam wilayah kami. Di luar wilayah kami, hal itu bukan urusan kami lagi. Harap cu-wi mengerti dan mentaati hal ini!” Cia Kong Liang menjura sambil menghindarkan pandang mata penuh kemesraan disertai senyum simpul manis sekali dari Bin Biauw, lantas dia berkata, “Kami dari Cin-ling-pai pun sama sekali tak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Nah, kami mohon diri, locianpwe.” Tung-hai-sian yang diam-diam merasa suka untuk memiliki seorang mantu yang demikian lihai, halus dan sopan, segera mengangguk dan balas menjura. “Selamat jalan, Cia-sicu, dan sampai jumpa.” “Selamat jalan, Cia-koko…,” kata Bin Biauw, suaranya merdu merayu dan sikapnya manis sekali. Terpaksa Kong Liang menjawab, “Selamat tinggal, nona.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Tiong dan Thian Sin mengikuti paman mereka itu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. cerita silat online karya kho ping hoo Sesudah tiga orang pemuda itu pergi, barulah kini sikap dan cara mereka bicara sungguh berlainan sekali dibandingkan dengan tadi pada saat mereka bicara di hadapan tiga orang pemuda itu atau di dalam pesta. Sekarang sikap orang-orang muda itu tidak sehalus dan sesopan tadi, dan juga sikap mereka lebih terbuka. Kong Liang, Han Tiong dan Thian Sin tentu akan merasa terheran-heran apa bila mereka bertiga itu mendengarkan percakapan antara mereka itu sekarang. “Paman Tung-hai-sian!” kata Siangkoan Wi Hong dengan sinar mata memandang penuh teguran. “Kita adalah golongan srigala atau harimau. Apakah patut kalau srigala berbesan dengan golongan anjing atau harimau berjodoh dengan kucing? Dan kini datuk timur ingin berbesan dengan ketua Cin-ling-pang? Huh, betapa menyebaikan!” “Ha-ha-ha-ha, agaknya locianpwe dari timur kini sudah mulai lemah dan jeri menghadapi Cin-ling-pai, maka ingin berbaik dengan mereka!” Seorang di antara dua pengemis Bu-tek Kai-pang juga berkata, nada suaranya mengejek. “Kalian ini cacing-cacing busuk!” Tiba-tiba Bin Biauw yang tadinya bersikap sangat halus dan sopan itu kini memaki-maki. “Urusan perjodohanku apa perlunya kalian turut bicara? Apakah kalian ini nenek moyangku yang akan mencampuri urusan jodohku?” Tung-hai-sian memegang tangan puterinya untuk menyabarkannya, kemudian dia berkata sambil memandang bergantian kepada Siangkoan Wi Hong dan pengemis itu, “Jika tidak ingat bahwa kalian mewakili Pak-san-kui dan Lam-sin, tentu mulut kalian yang lancang ini sudah kurobek-robek! Siapa yang mau berbesan dengan Cin-ling-pai? Andai kata hal itu kulakukan juga, apakah aku harus menyembah-nyembah minta ijin dari datuk lain terlebih dahulu? Sudahlah, kalian pergi dari sini dan jangan membuat aku marah.” “Hemmm, aku akan lapor kepada ayah, lihat apa pendapatnya tentang keanehan ini!” kata Siangkoan Wi Hong yang segera mengajak tiga orang suheng-nya pergi dari situ. “Orang-orang lelaki memang mulutnya busuk!” tiba-tiba So Cian Ling mengomel. “Mereka sendiri seenaknya memilih perempuan, akan tetapi melarang perempuan memilih lelaki! Huh, menyebalkan!” Dan dia pun lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ciang Gu Sik. “Kami pun akan membawa oleh-oleh cerita lucu dan bagus untuk pimpinan kami. Selamat tinggal, locianpwe!” kata dua orang pengemis itu yang segera berlari pergi pula dari situ. Tung-hai-sian tidak menjawab karena sopan santun memang tidak berlaku di dalam dunia mereka, kecuali hanya untuk berpura-pura di hadapan tamu-tamu lain. Di antara golongan mereka sendiri, sopan santun hanya dianggap sebagai lelucon yang menggelikan, suatu kepura-puraan palsu. Bin Biauw masih merasa dongkol sekali dengan sikap orang-orang yang agaknya hendak menghalangi perjodohannya dengan putera Cin-ling-pai yang membuatnya tergila-gila itu, maka dia pun lalu pergi dengan sikap marah, diikuti oleh ayahnya dan orang-orangnya. *************** Sementara itu, di tengah perjalanan, Ciang Gu Sik mengomeli Cian Ling. “Sumoi, sikapmu tadi benar-benar memalukan. Engkau hendak main gila dengan putera Pangeran Cen Han Houw itu!” Cian Ling berhenti melangkah, sepasang matanya menatap tajam. Matanya masih indah, akan tetapi kini dari sepasang mata itu bersinar sesuatu kemarahan yang menyeramkan. “Suheng, dia itu gagah dan tampan dan aku suka kepadanya! Apa salahnya kalau timbul birahiku melihatnya dan kalau aku ingin bermain cinta dengan dia, engkau mau apakah?” Suaranya penuh nada tantangan, dadanya yang sudah membayangkan tonjolan di balik pakaiannya itu dibusungkan, bibirnya tersenyum mengejek. Wajah Ciang Gu Sik menjadi merah, akan tetapi sebentar kemudian kembali lagi menjadi warna aslinya, yaitu pucat seperti wajah orang berpenyakitan. “Mau apa? Aku hanya ingin membunuhnya!” “Hi-hi-hik! Mau membunuhnya? Silakan kalau engkau mampu, suheng!” “Tentu saja aku mampu! Aku tadi kalah karena kaget oleh ilmu silumannya. Ilmu itu tentu yang dinamakan Thi-khi I-beng. Aku akan bertanya kepada suhu bagaimana cara untuk menundukkan Thi-khi I-beng itu!” “Sesukamulah! Aku sih ingin menundukkan hatinya. Hemmm… dia ganteng dan menarik sekali!” Dara itu lalu berloncatan ke depan melanjutkan perjalanannya. *************** Memang mengejutkan jika melihat sikap datuk Tung-hai-sian dan para murid datuk-datuk yang lain itu. Mereka begitu kasar, akan tetapi juga blak-blakan mengucapkan segala hal yang terkandung di dalam hati mereka, tanpa peduli akan tata susila dan kesopanan lagi. Bagi mereka, kesopanan adalah sesuatu hal yang palsu, kepura-puraan dan kemunafikan yang menggelikan. Pandangan mereka itu bagaikan bumi dengan langit, sama sekali menjadi kebalikan dari pandangan golongan yang menamakan diri mereka golongan bersih atau kaum pendekar. Mereka mengutamakan kesusilaan, kesopanan dan kebudayaan. Bagi seorang pendekar, kehormatan lebih berharga dari pada jiwanya sendiri. Nama baik didahulukan, nama baik pribadi yang mengembang menjadi nama baik keluarga dan mungkin dikembangkan lagi menjadi nama baik golongan. Manakah yang benar di antara kedua pandangan ini? Keduanya mengandung kebenaran dan kekeliruan, seperti pada umumnya segala hal di dunia ini. Sekali dinilai, maka akan nampak kebenarannya, baik buruknya, untung ruginya dan sebagainya lagi. Yang paling penting bagi kita adalah membuka mata, waspada sehingga mengenal apa yang menjadi kenyataan, apa yang palsu di dalam segala hal. Karena kewaspadaan ini akan menimbulkan kesadaran dan pengertian yang selanjutnya akan mendatangkan tindakan seketika, yaitu melepaskan yang palsu itu, seperti jika kita melihat dan mengerti bahwa yang kita genggam adalah kotoran lantas kita melepaskan kotoran itu tanpa dipikirkan lagi! Semenjak kecil, kita diajar oleh orang tua, oleh guru, oleh masyarakat di sekeliling kita, untuk bersopan-sopan untuk bersusila. Kita diperkenalkan kepada hal-hal yang dianggap tidak sopan dan tidak bersusila, hal-hal yang dianggap sopan dan bersusila. Ditekankan pada kita hingga mendalam sekali bahwa yang tidak sopan itu tidak baik dan yang sopan itu baik, dan sebagainya. Ditekankan pula bahwa hidup haruslah baik dan sebagainya. Tekanan-tekanan inilah yang mendorong kita untuk menjadi baik! Supaya dianggap baik! Dan keinginan baik ini yang melahirkan kepalsuan, kemunafikan, sehingga kita pandai sekali berpura-pura, lain mulut lain di hati. Kita terdorong oleh keinginan supaya ‘menjadi orang baik’ termasuk orang sopan, bersusila dan sebagainya, sehingga kita melakukan hal-hal yang palsu, berpura-pura berlawanan dengan isi batin sendiri, hanya demi supaya dianggap sebagai orang baik. Maka kemudian timbullah sikap manis di mulut pahit di hati, penghormatan-penghormatan yang sifatnya menjilat-jilat, dan kepalsuan-kepalsuan di dalam hampir setiap gerak-gerik kita dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kita mau membuka mata dengan waspada dan memandang dengan sewajarnya dan sejujurnya pada diri sendiri, maka akan nampaklah semua kepalsuan ini. Sikap dan ucapan kita terhadap isteri atau suami, terhadap pacar, terhadap anak atau orang tua, terhadap sahabat, terhadap orang-orang lain. Bahkan sikap kita pada saat sembahyang misalnya, terhadap Tuhan! Kita adalah orang-orang munafik. Tapi beranikah kita melihat kenyataan ini? Melihat kenyataan ini bukan berarti bahwa kita harus hidup bebas semau gue, seperti golongan para datuk, bisa bersikap dan bicara sesuka hatinya, bersikap kasar dan keras sekali terhadap orang lain. Sama sekali bukan demikian! Melainkan melihat kenyataan akan kepalsuan kita agar kita tidak palsu lagi, agar kita bebas dari sikap pura-pura itu. Agar kalau kita menghormat seseorang, maka penghormatan itu datang dari lubuk hati, agar kalau mulut kita tersenyum, agar kalau kita mengucapkan kata-kata sayang kepada isteri atau suami, pacar atau anak, batin juga penuh dengan kasih sayang itu! Belajar hidup dalam keadaan utuh! Betapa indahnya ini! Utuh dalam arti kata SATUNYA HATI, KATA DAN PERBUATAN! Alangkah akan indahnya! Bebas dari segala kepalsuan dan kepura-puraan. Dapatkah… atau lebih tepat lagi, maukah kita mulai sekarang juga, saat ini juga? Kehidupan akan mengalami perubahan yang luar biasa hebatnya dan ini hanya dapat dibuktikan dengan penghayatan, bukan dengan teori belaka! Dua orang pemuda itu memandang kepada Kong Liang yang berdiri di depan mereka, di sebuah persimpangan jalan, dan jika Han Tiong memandang kepada pamannya dengan bayangan perasaan heran dan iba, maka sebaliknya Thian Sin mengerutkan alisnya dan kelihatan penasaran sekali. “Akan tetapi, mengapa paman mencela kami? Bukankah kami berdua membantu paman menghadapi musuh yang mengeroyok paman?” Thian Sin mencoba membantah dengan suara yang bernada penasaran. “Kalian sungguh gegabah sekali! Fihak lawan begitu lihai, bagaimana kalau sampai kalian terluka atau lebih celaka lagi, terbunuh dalam perkelahian itu? Akulah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan kalian,” Kong Liang mengomel. “Tetapi kami dapat menjaga diri, paman,” Han Tiong berkata dengan tenang, sama sekali tidak terdengar penasaran seperti adiknya. “Hemm, betapa pun, aku sendiri cukup untuk melayani dan mengalahkan mereka semua. Tanpa bantuan kalian pun, kalau tidak keburu Tung-hai-sian datang, mereka semua akan roboh oleh pedangku.” Dua orang pemuda dari Lembah Naga itu tidak membantah lagi. “Maafkan kami, paman.” akhirnya Han Tiong berkata. “Dan sekarang kami hendak melanjutkan perjalanan kami ke Lok-yang. Harap sampaikan hormat kami kepada ayah bunda paman.” “Tolong sampaikan pula hormat beserta terima kasihku kepada mereka, terutama kepada nenek, paman,” kata pula Thian Sin. Kong Liang mengangguk. “Baik, nanti akan kusampaikan. Dan hati-hatilah kalian di dalam perjalanan. Kalian belum memiliki banyak pengalaman dan di dunia ini banyak orang jahat yang amat lihai, maka hindarkanlah bentrokan-bentrokan dengan orang-orang kang-ouw.” Dia menasehati dengan sikap seperti seorang dewasa menasehati anak-anak yang masih bodoh. Setelah mereka berpisah, dua orang pemuda Lembah Naga itu melanjutkan perjalanan ke Lok-yang. Diam-diam Thian Sin merasa heran bila mengenangkan sikap Cia Kong Liang. Pamannya itu harus diakui seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan kakaknya, maka sepatutnyalah jika Han Tiong kakaknya itu yang menjadi paman sedangkan Kong Liang yang menjadi keponakan. Sikap kakaknya yang pendiam dan penuh wibawa, yang selalu merendahkan diri dan tak suka menonjolkan kepandaian, juga yang selalu menghindarkan kekerasan itu jauh lebih ‘matang’ dibandingkan dengan sikap Kong Liang yang gagah perkasa namun mentah itu. “Tiong-ko, kenapa sikap paman Kong Liang seperti itu?” Akhirnya dia tak dapat menahan rasa penasaran di dalam hatinya dan bertanya kepada kakaknya. Han Tiong menarik napas panjang dan menjawab sambil lalu, “Sudahlah, adikku, Paman Kong Liang itu memang paman kita akan tetapi dia pun masih muda.” Dari jawaban ini saja Thian Sin merasa betapa kakaknya sungguh lebih ‘tua’ dan matang dibandingkan dengan Cia Kong Liang, dan dia pun merasa yakin sekali bahwa dalam hal kepandaian pun kakaknya itu agaknya tak akan kalah dibandingkan dengan putera ketua Cin-ling-pai. *************** Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai. Seperti sudah kita ketahui, di kota inilah Ciu Khai Sun tinggal bersama dua orang isterinya, yaitu wanita kembar Kui Lan dan Kui Lin, bersama dua orang anak mereka, yaitu Ciu Bun Hong putera Kui Lin yang telah berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan Ciu Lian Hong puteri Kui Lan yang kini sudah berusia enam belas tahun. Ciu Khai Sun, jagoan lihai murid Siauw-lim-pai ini hidup berbahagia dengan keluarganya, membuka perusahaan pengawalan barang yang bernama Ui-eng Piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Garuda Terbang). Mereka melanjutkan perusahaan yang tadinya dipegang oleh mendiang Na Tiong Pek, yaitu suami Kui Lin yang pertama. Sesudah dipimpin oleh Ciu Khai Sun yang dikenal sebagai anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak orang mempercayainya untuk mengawal barang-barang yang berharga atau keluarga mereka yang dikirim atau pergi ke tempat jauh melalui daerah-daerah berbahaya. Bendera kecil yang bergambar seekor burung garuda terbang itu menjadi amat terkenal di kalangan liok-lim, yaitu para bajak sungai dan para perampok hutan, dan tak ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu semua rombongan yang dikawal oleh piauwsu (pengawal) dari Ui-eng Piauwkiok. Baru melihat kereta-kereta yang pada bagian atasnya ditancapi sebuah bendera kecil bergambar burung garuda terbang itu saja, para penjahat sudah mundur kembali dan tidak berani mengganggunya. Tentu saja bukan merupakan hal yang mudah untuk mendapat nama besar yang ditakuti oleh para penjahat ini. Selama bertahun-tahun Ciu Khai Sun turun tangan dan mengawal sendiri setiap pengiriman barang berharga dan entah sudah berapa puluh kali dia harus mempergunakan kepandaiannya menundukkan para perampok untuk merampas kembali barang-barang yang dirampok mereka. Setelah melihat kegagahan pimpinan Ui-eng Piauwkiok ini, barulah kemudian perusahaan itu memperoleh nama besar dan sampai bertahun-tahun selama ini, tak pernah mendapat gangguan di dalam perjalanan. Oleh karena itu, Ciu Khai Sun yang sudah berusia empat puluh enam tahun itu, selama beberapa tahun ini hanya mengandalkan nama besarnya dan membiarkan semua barang atau keluarga dikawal oleh para pembantunya. Sedangkan dia sendiri lebih banyak berada di rumah, menerima tamu-tamu yang hendak mempercayakan barang-barang mau pun keluarga mereka untuk dikawal, dan semua sisa waktunya dipergunakan untuk melatih silat kepada dua orang anaknya, yaitu Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. Semua ilmu silat yang dimilikinya dia ajarkan kepada dua orang anaknya itu sehingga mereka menjadi dua orang muda yang pandai. Sekarang Ciu Bun Hong sudah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bertubuh tinggi besar seperti ayahnya. Ada pun Ciu Lian Hong kini telah menjadi seorang dara remaja berusia enam belas tahun yang amat cantik jelita, dengan tubuh yang sedang dan langsing, seperti ibunya. Kecantikan Lian Hong memang mengagumkan sekali sehingga dia amat terkenal di kota Lok-yang, terkenal sebagai ratu di antara semua dara karena cantiknya. Orang tuanya amat mencintanya dan mereka bertiga, yaitu ayahnya beserta dua orang ibunya, merasa bangga sekali akan dia. Juga dalam hal ilmu silat, dia tak kalah bila dibandingkan dengan kakaknya, sedangkan dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia bahkan meninggalkan kakaknya itu jauh di belakang. Memang, Lian Hong adalah seorang dara yang amat mengagumkan, seorang dara pilihan dan selain menjadi kebanggaan orang tuanya, juga menjadi kembang mimpi para muda di Lok-yang. Akan tetapi sampai dia berusia enam belas tahun, orang tuanya masih belum dapat menentukan jodohnya. Agaknya bagi tiga orang tua dara ini, tidak ada seorang pun pemuda yang pantas menjadi jodoh puteri mereka, setidaknya, selama ini mereka sudah menolak entah berapa banyak lamaran yang datang. Ada pun Lian Hong sendiri agaknya sama sekali belum memikirkan soal perjodohan. Cia Han Tiong pernah berkunjung ke Lok-yang dan dia masih teringat akan tempat tinggal kedua orang bibinya itu. Ternyata kini rumah gedung itu semakin besar dan megah, dan kantor yang berpapan Ui-eng Piauwkiok dengan huruf-huruf besar itu pun agaknya sudah diperbesar. Dari keadaan rumah serta kantor ini saja Han Tiong sudah dapat mengerti bahwa perusahaan pamannya itu telah memperoleh kemajuan pesat, maka diam-diam dia pun merasa gembira. Pagi telah melarut menjelang siang ketika dua orang pemuda Lembah Naga ini memasuki pekarangan rumah gedung keluarga Ciu. Han Tiong memandang dengan wajah berseri dan senyum gembira ketika dia mengenal kedua orang bibinya itu yang sedang duduk di ruangan depan, dan dia sendiri pun bingung karena tidak dapat membedakan mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin! Mereka begitu sama, bukan hanya bentuk wajah mereka, bahkan bentuk tubuh mereka pun tiada bedanya. Ada pun dua orang nyonya kembar itu, yang sekarang sudah menjadi nyonya setengah tua berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun, menghentikan percakapan mereka dan memandang dengan heran ketika melihat ada dua orang pemuda memasuki pekarangan rumah mereka. Biasanya, semua tamu tentu akan datang ke kantor di sebelah dan kalau ada yang hendak bertemu dengan Ciu Khai Sun sendiri, tentu ada pegawai kantor yang melaporkan kepada majikannya, kemudian Khai Sun akan menemui tamu itu di kantor pula. Memang ada beberapa orang sahabat baik yang langsung datang ke rumah untuk berkunjung kepada keluarga itu, akan tetapi kini dua orang wanita itu sama sekali tidak mengenal dua orang pemuda yang datang ini, maka keduanya memandang heran. Dengan wajah gembira Han Tiong segera melangkah ke depan dan langsung menjura dengan hormatnya kepada mereka, diikuti pula oleh Thian Sin. “Saya harap selama ini bibi berdua dan keluarga berada dalam keadaan baik-baik saja,” kata Han Tiong dengan sikap halus. “Siapa kalian…?” tanya Kui Lan. “Dan ada keperluan apakah?” sambung Kui Lin. Han Tiong tentu saja tidak tahu yang mana bibi pertama dan mana bibi ke dua. “Ahh, harap bibi berdua suka memaafkan kami kalau kami membikin kaget. Agaknya bibi tidak mengenal saya. Saya adalah Cia Han Tiong…” “Han Tiong…?” “Putera Sin-koko…?” Dua orang wanita itu melangkah maju dan mereka segera memegang kedua tangan Han Tiong dengan wajah gembira sekali. “Aihhh, sudah menjadi seorang dewasa!” “Dan gagah benar kau, Han Tiong!” “Mana mungkin kami dapat mengenalmu, dulu ketika kau datang, engkau masih kecil dan sekarang telah menjadi begini besar!” Han Tiong menjadi bingung. Dia tidak tahu yang mana Bibi Lan dan mana Bibi Lin yang bicara saling sambung itu. “Maaf… maaf… saya sendiri juga tidak dapat mengenal dan membedakan di antara bibi berdua…” Kedua orang wanita itu tersenyum lebar. Bagi mereka tidaklah aneh melihat kebingungan orang yang tidak dapat membedakan antara mereka. “Aku Bibi Lan,” dan kata Kui Lan. “Dan aku Bibi Lin,” kata yang kedua. “Dan siapakah pemuda ini?” Kui Lan dan Kui Lin memandang pada Thian Sin yang sejak tadi hanya diam saja, hanya melihat pertemuan antara Han Tiong dan dua orang bibinya itu. Dia sudah tahu bahwa kedua orang wanita itu adalah adik-adik tiri dari ayah angkatnya dan merupakan dua orang wanita kembar. Akan tetapi dia sendiri sudah dapat mengenali perbedaan antara kedua orang wanita itu, sungguh pun memang pada lahirnya mereka itu serupa benar. Thian Sin memiliki pandangan yang amat tajam dan dia sudah melihat bahwa perbedaan yang cukup besar antara mereka itu terdapat pada pandang mata mereka. Yang mengaku sebagai Bibi Lan itu mempunyai sinar mata yang mengandung keriangan atau kelincahan, sebaliknya yang mengaku sebagai Bibi Lin itu memiliki sinar mata yang lebih dalam, dan juga pendiam dan lebih tenang. Dan hanya kalau keduanya dilanda kegembiraan seperti ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah keponakan mereka, maka keduanya sukar dibedakan karena sinar mata mereka itu keduanya berseri-seri. “Dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si.” Han Tiong memperkenalkan dan kembali Thian Sin menjura. Karena dia menjura sambil menundukkan muka, maka dia tidak melihat betapa sejenak wajah kedua orang wanita itu berubah dan mata mereka agak terbelalak saat mendengar nama Ceng Han Houw. Thian Sin hanya mendengar saat kakaknya segera menyambung kata-katanya dengan agak tergesa-gesa. “Thian Sin ini juga menjadi saudara angkat saya dan putera angkat dari ayah, maka dia boleh dibilang juga menjadi keponakan bibi berdua pula.” “Ahhh… syukurlah kalau begitu,” kata Kui Lin. “Dia tampan sekali!” puji Kui Lan. “Mari-mari, kita masuk saja. Pamanmu sedang melatih silat kepada Bun Hong dan Lian Hong.” Dengan ramah dua orang wanita itu lalu mengajak Han Tiong dan Thian Sin memasuki gedung dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam. Kui Lan sudah berlari ke belakang untuk mengabarkan tentang kedatangan dua orang muda itu kepada suaminya dan dua orang anak mereka. Tidak lama kemudian wanita itu datang kembali bersama suaminya dan dua orang anak mereka. Han Tiong dan Thian Sin cepat-cepat bangkit dari tempat duduk mereka lantas menghormat kepada laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu. Ciu Khai Sun sudah berusia empat puluh enam tahun, sebagian rambutnya sudah mulai memutih, akan tetapi dia masih terlihat gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat. Pendekar yang gagah perkasa ini menerima penghormatan Han Tiong dan Thian Sin dengan wajah berseri sambil tertawa. Dia memegang kedua pundak Han Tiong. “Ah, engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa Han Tiong!” katanya dengan ramah sekali, kemudian menoleh dan memandang kepada Thian Sin. “Dan ini Ceng Thian Sin, adik angkatmu? Tampan dan gagah dia!” Hati Thian Sin merasa lega bahwa tidak nampak keheranan ketika mendengar bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, seperti yang sering kali dia lihat bila mana dia diperkenalkan sebagai putera pangeran itu. “Tiong-koko!” kata Bun Hong sambil maju memberi hormat. “Hai, engkau sudah menjadi seorang pemuda yang lebih tinggi dari pada aku!” Han Tiong berseru gembira sambil membalas penghormatan pemuda yang bertubuh seperti ayahnya itu. Memang Bun Hong nampak gagah perkasa seperti ayahnya, apa lagi pada waktu dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian berlatih silat sehingga nampaklah bentuk tubuhnya yang kekar. “Tiong-koko!” Dara itu memberi hormat dan memanggil pula. Han Tiong memandang dan jantungnya langsung berdebar. Belum pernah dia merasakan jantungnya berdebar seperti ini kalau dia bertemu dengan seorang dara. Akan tetapi gadis ini memang luar biasa sekali, sukar baginya untuk menggambarkan bagaimana cantiknya. Semua bagian tubuh dara itu, dari rambutnya yang agak kusut karena habis berlatih silat, dahinya yang masih agak basah oleh peluh, sampai kepada cara dia berdiri dan memberi hormat, semua itu mempunyai daya tarik yang demikian mempesonakan sehingga untuk sekejap Han Tiong seperti terpesona dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, dengan kekuatan hatinya dia dapat juga membuat dirinya bergerak dan keluar dari pesona yang melumpuhkan itu. “Ahh, adik Lian Hong! Engkau pun sudah menjadi seorang gadis yang dewasa…!” hanya demikian saja dia mampu berkata, sesudah menahan sekuat hatinya agar mulutnya tidak mengatakan “yang sangat cantik jelita” sungguh pun hatinya meneriakkan demikian. Kemudian dia teringat Thian Sin dan menyambung kata-katanya, “O ya, Bun-te dan Lian Hong-moi, perkenalkan dia ini adalah Ceng Thian Sin, adik angkatku, juga boleh dibilang sute-ku sendiri sebab dia pun menjadi anak angkat dan murid ayah. Sin-te, inilah adik Bun Hong dan Lian Hong yang sering kuceritakan kepadamu.” Akan tetapi sudah semenjak tadi sepasang mata Thian Sin seperti melekat pada diri Lian Hong! Semenjak dara itu muncul, dia sudah memandang wajah dan tubuh dara itu dan dia laksana melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Kedua matanya hampir tidak dapat dikejapkan lagi, karena dia sudah terpesona. Banyak sudah dia melihat wanita cantik, akan tetapi belum pernah rasanya dia bertemu dengan seorang dara seperti ini bahkan dalam mimpi pun belum. Begitu melihat, dia telah jatuh cinta sepenuhnya. Sesungguhnya, kurang tepatlah apa bila dikatakan bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang cantiknya melebihi wanita-wanita lain atau seorang yang tanpa cacad. Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa bukan hal jarang seorang wanita berubah menjadi bidadari tanpa cacad di dalam pandang mata pria, apa bila pria itu telah jatuh cinta atau sudah tergila-gila. Setiap gerakan, setiap bagian tubuh, bahkan apa pun juga yang menempel pada wanita yang menjatuhkan hati seorang pria, akan nampak cantik dan indah tanpa cacad! Rambut kusut melingkar-lingkar yang bagi umum akan nampak kacau, bagi orang yang jatuh hati akan nampak sebagai penambah manis yang menggairahkan! Dan demikian selanjutnya. Hal itu bukanlah semata-mata terjadi pada diri seorang wanita yang sudah menjatuhkan hati seorang pria. Segala keindahan itu bukanlah melekat kepada sesuatu yang berada di luar, melainkan diciptakan oleh rasa peka akan keindahan, yaitu yang bersumber di dalam batin kita sendiri. Keindahan bukannya melekat pada sang bunga, melainkan orang yang memiliki rasa keindahan sajalah yang dapat melihat betapa indahnya bunga itu. “Sin-te…!” Dengan suara halus Han Tiong menegur. Thian Sin terkejut dan cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat sambil menundukkan mukanya yang berubah merah. Akan tetapi dia memang seorang pemuda yang pandai membawa diri, maka dengan riang dia berkata, “Maaf, maafkan, karena sesungguhnya saya terkejut sekali. Tiong-ko pernah menceritakan tentang adik berdua masih kecil-kecil, dan kiranya adalah seorang pemuda dan seorang dara yang sudah dewasa. Maafkan…” Mereka semua tertawa dan dengan ramah Khai Sun lalu mempersilakan mereka duduk. Seorang pelayan datang sambil membawa minuman, dan Han Tiong yang menjadi pusat perhatian dan pertanyaan harus menjawab hujan pertanyaan yang diajukan oleh keluarga itu. Dengan sikap hormat Han Tiong segera menyerahkan surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu. Lalu, sesudah membaca surat itu, wajah pendekar ini berseri-seri dan sambil tersenyum dia menyerahkan surat itu kepada kedua orang isterinya yang membacanya secara bergilir kemudian menyimpan surat itu. Di samping mengabarkan keselamatan dan memperkenalkan dua orang pemuda itu, isi surat dari Pendekar Lembah Naga itu adalah juga mengajukan usul kepada keluarga Ciu untuk menjodohkan puteri keluarga Ciu dengan seorang di antara mereka. Pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati semua anggota keluarga di Lok-yang itu. Di dalam kegembiraan Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya itu terdapat kebingungan dan keraguan pula, karena sungguh tidaklah mudah bagi mereka untuk memilih salah seorang di antara Han Tiong dan Thian Sin! Apa bila melihat keadaan lahiriah, jelas bahwa Thian Sin jauh lebih tampan dibandingkan dengan Han Tiong. Dan tentang sikap, walau pun Thian Sin tidak sependiam seperti Han Tiong, akan tetapi dia tergolong pemuda yang sikapnya sopan dan pandai membawa diri, bahkan ramah sekali dibandingkan dengan Han Tiong yang hanya bicara kalau perlu saja. Akan tetapi, bila mana mengingat ayah mereka, tentu saja hati keluarga ini lebih condong memilih Han Tiong. Han Tiong adalah putera dari Pendekar Lembah Naga, sehingga tidak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, Thian Sin adalah putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang demikian jahatnya! “Kita tidak boleh menilai seseorang dari keadaan ayahnya atau ibunya!” kata Kui Lin dan ucapan ini tentu saja didukung seratus persen oleh Kui Lan. Bukankah mereka berdua pun anak kandung dari seorang ayah yang tidak dapat dibilang mempunyai watak yang baik? Ciu Khai Sun adalah orang yang bijaksana, maka dia pun mengerti isi hati kedua orang isterinya itu. Dia mengangguk-angguk menyatakan setuju. “Maka sepatutnyalah kalau membiarkan Lian Hong menentukan pilihannya sendiri,” kata Kui Lan. Ciu Khai Sun kembali mengangguk. “Apa yang kalian katakan memang benar dan tepat. Betapa pun juga, kita sebagai orang tua tentu saja tidak boleh menutup mata bila melihat puteri kita melakukan pilihan yang keliru. Sudah sepatutnya kalau kita membantunya dan memperingatkan dia kalau dia salah pilih agar kelak dia tidak menyesal. Memang sangat sukar untuk memilih di antara dua orang pemuda itu. Keduanya gagah perkasa dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat lihai dari Pendekar Lembah Naga. Dan kitalah yang untung besar kalau dapat mempunyai menantu seorang di antara mereka. Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan membuka mata lebar-lebar untuk melihat, siapa di antara mereka itu yang lebih cocok untuk menjadi suami anak kita.” Selama beberapa hari sejak dua orang pemuda Lembah Naga itu tiba di rumah keluarga Ciu, hubungan antara mereka dengan Bun Hong dan Lian Hong menjadi amat akrabnya. Kedua orang saudara she Ciu itu minta petunjuk dalam hal ilmu silat kepada mereka, dan dua orang pendekar muda Lembah Naga itu pun dengan senang hati memberi petunjuk. Terutama sekali Thian Sin yang dengan pandainya berusaha menarik hati Lian Hong atau memperlihatkan sikap yang amat mesra dan baik terhadap diri gadis itu.....


PENDEKAR SADIS JILID 15 :
MELIHAT sikap Thian Sin itu, seperti biasa Han Tiong menahan diri. Han Tiong lebih banyak mendekati Bun Hong untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat, dan membiarkan Thian Sin lebih mendekati Lian Hong. Hal itu adalah karena memang Thian Sin jauh lebih pandai bergaul dibandingkan dengan Han Tiong, apa lagi bergaul dengan wanita. Thian Sin mempunyai bakat untuk itu, dan dia tidak malu-malu untuk bersikap manis terhadap para wanita, tidak seperti Han Tiong yang selalu merasa malu-malu, terutama sekali malu bila mana diketahui orang lain bahwa dia hendak bermanis-manis terhadap wanita. Apa lagi pemuda ini mempunyai perasaan yang amat peka. Melihat betapa Thian Sin tak menyembunyikan perasaan suka terhadap Lian Hong yang mudah dilihat dari sikapnya, maka dia pun langsung mundur teratur, sungguh pun harus diakuinya di dalam hatinya sendiri bahwa dia telah jatuh hati kepada dara itu.! Kurang lebih dua minggu kemudian, pada suatu senja ketika keluarga itu bersama kedua orang tamunya berkumpul makan malam sambil bercakap-cakap, datanglah seorang tamu dari Su-couw yang membawa kabar yang sangat mengejutkan. Tamu itu adalah seorang pegawai Pouw-an Piauwkiok di Su-couw, yaitu perusahaan pengawal atau ekspedisi yang dipimpin oleh Kui Beng Sin. Piauwsu (pengawal) dari Su-couw itu menceritakan bahwa Kui Beng Sin yang mengawal sendiri sebuah kereta yang penuh berisi barang-barang berharga milik seorang pembesar di Su-couw yang sedang dikirim ke selatan, yaitu ke Sin-yang, telah diganggu gerombolan perampok yang mengakibatkan kereta itu dilarikan perampok. Kui Beng Sin terluka cukup parah dan sebagian besar anak buah piauwkiok itu telah tewas. Mendengar laporan itu, Ciu Khai Sun langsung mengerutkan alisnya. “Di mana terjadinya perampokan itu dan apakah sudah diketahui siapa perampoknya?” “Perampokan itu terjadi dekat kota Sin-yang, yaitu di sebelah utara kota itu, di hutan yang berada di lembah Sungai Luai. Kui-piauwsu sendiri turut mengawalnya mengingat bahwa barang-barang itu amat berharga, akan tetapi tetap saja dia beserta semua pembantunya tidak kuat menghadapi gerombolan yang amat kuat itu.” “Hemm… di lembah Sungai Luai? Setahuku di sana biasanya aman, tidak ada perampok, dan andai kata ada juga, seharusnya para perampok itu telah mengenal bendera Pouw-an Piauwkiok,” Ciu Khai Sun berkata sambil mengelus jenggotnya. Sebagai seorang piauwsu tentu saja dia mengetahui daerah itu, yang masih termasuk daerah Propinsi Ho-nan dan tidak jarang anak buahnya mengawal barang melalui daerah selatan itu. “Itulah yang mengejutkan, Ciu-piauwsu,” kata orang itu. “Agaknya gerombolan perampok itu merupakan gerombolan baru di daerah itu yang datang dari lain tempat. Menurut para anggota Pouw-an Piauwkiok yang berhasil menyelamatkan diri, gerombolan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki setengah tua yang mempunyai kepandaian yang tinggi sekali, dan anak buah mereka pun tidak lebih hanya sepuluh orang saja tetapi rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.” “Engkau harus menolong Beng Sin-toako,” kata Kui Lan juga Kui Lin mendesak suaminya untuk menolong. Kui Beng Sin adalah kakak tiri dua orang wanita kembar ini, satu ayah berlainan ibu. Oleh karena itu, mendengar akan malapetaka yang menimpa diri kakak tiri mereka itu, tentu saja mereka membujuk suami mereka untuk menolongnya. “Barang-barang milik pembesar itu berharga sekali, dan inilah yang sangat menyusahkan Kui-piauwsu. Pembesar itu menuntut penggantian, dan agaknya, biar seluruh harta milik Pouw-an Piauwkiok dijual sekali pun, belum tentu akan bisa menggantikan harga barang-barang itu yang nilainya ribuan tail emas. Dalam keadaan terluka parah Kui-piauwsu harus menghadapi semua ini dan dia benar-benar merasa tak berdaya. Kemudian kami teringat akan hubungan keluarga dengan Ciu-piauwsu, karena itu kami memberanikan diri untuk menyampaikan berita ini.” Cim Khai Sun mengangguk-angguk. “Pulanglah, dan kami akan mempertimbangkan apa yang kiranya akan dapat kami lakukan.” Sesudah orang itu pergi, Kui Lan dan Kui Lin menangis. Mereka merasa kasihan dan juga khawatir sekali mendengar akan kemalangan yang menimpa kakak tiri mereka itu. Pada saat itu, Thian Sin berkata, “Harap paman dan bibi suka menenangkan hati. Biarlah saya yang akan berangkat mengejar perampok-perampok keparat itu, membasmi mereka sambil merampas kembali barang-barang yang mereka rampok untuk menolong Pouw-an Piauwkiok.” “Benar apa yang dikatakan oleh Sin-te, paman,” Han Tiong berkata. “Biarlah kami berdua pergi mengejar perampok-perampok itu.” “Aku ikut!” kata Lian Hong. “Aku pun ikut!” kata Bun Hong. Ciu Khai Sun tersenyum dan dua orang isterinya memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga itu dengan kagum. “Ah, kalian anak-anak baik. Bagaimana mungkin aku dapat membiarkan kalian yang pergi menghadapi perampok-perampok lihai itu? Ayah kalian tentu akan marah apa bila sampai terjadi sesuatu dengan kalian dan bagaimana tanggung-jawabku?” “Tidak, paman,” kata Han Tiong, suaranya tegas. “Malah sebaliknya, jika ayah mendengar bahwa kami diam saja melihat mala petaka yang menimpa diri Paman Kui Beng Sin yang sudah saya kenal itu, tentu ayah akan sangat marah terhadap kami. Biarkan kami pergi, paman.” “Aku tanggung bahwa kami akan dapat merampas kembali barang-barang yang mereka rampok itu, paman!” kata Thian Sin tegas. Ciu Khai Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Tentu saja dia percaya sepenuhnya kepada mereka berdua, karena dia yakin bahwa kepandaian mereka, melihat cara mereka memberi petunjuk kepada Lian Hong dan Bun Hong, tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri. “Baiklah, kalau begitu, biar kupersiapkan pasukan piauwsu untuk membantu kalian.” “Tidak perlu, paman. Biar kami berdua pergi sendiri saja,” jawab Han Tiong. “Ayah, aku ikut!” kata pula Lian Hong. “Aku juga, biarkan kami ikut bersama Sin-ko dan Tiong-ko!” sambung Bun Hong. “Aihhh, anak-anak, apa kalian kira dua orang kakakmu itu hendak pergi pelesir?” Kui Lan mencela. “Kalian ini seperti anak kecil saja. Dua orang kakakmu hendak menempuh bahaya, masa kalian hendak ikut?” Kui Lin juga mengomel. “Selama ini Ayah sudah mengajarkan ilmu silat, dan kini terbuka kesempatan bagi kami untuk menambah pengalaman, kenapa kami tidak boleh ikut?” Lian Hong membantah. “Benar, kita hanya boleh turut dengan rombongan piauwsu saja, dan hanya memperoleh kesempatan berhadapan dengan segala pencopet, maling dan perampok kecil saja. Ayah, sekarang Sin-ko dan Tiong-ko hendak melakukan urusan besar, menghadapi perampok-perampok lihai, maka biarlah kami meluaskan pengalaman dan ikut dengan mereka,” kata Bun Hong. “Setidaknya kita tak boleh enak-enak saja membiarkan mereka pergi menghadapi bahaya sendiri!” Lian Hong menambah pula. Ciu Khai Sun menarik napas panjang. “Kalian ini benar-benar seperti anak-anak kecil saja. Menurut pelaporan, perampok-perampok itu sangat lihai sehingga para piauwsu Pouw-an Piauwkiok sampai banyak yang tewas, bahkan Saudara Kui Beng Sin sendiri pun sampai terluka parah. Jangan kalian main-main, ini bukan urusan kecil.” Melihat wajah Lian Hong yang cemberut dan mendekati tangis karena kecewa mendengar pencegahan ayahnya itu, Thian Sin lalu berkata, “Paman, sayalah yang akan melindungi adik Lian Hong dan menjamin keselamatannya, dan akan bertanggung jawab apa bila ada apa-apa menimpa dirinya!” Ucapannya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan hati sehingga suami dan dua orang isterinya itu diam-diam saling lirik. Juga Han Tiong terkejut mendengar pernyataan yang membayangkan keadaan hati adiknya itu, akan tetapi merasa tak enak mendengar betapa adiknya itu hanya berjanji melindungi Lian Hong saja. Maka dia pun cepat berkata dengan suara tenang. “Benar, paman. Dan saya akan melindungi adik Bun Hong. Kami berdua yang menjamin keselamatan mereka.” Mendengar ucapan dua orang pemuda dari Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali. “Kami akan berhati-hati, ayah!” kata Lian Hong. “Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan jika perlu membantu,” sambung Bun Hong. Akhirnya, keluarga itu merasa tak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi kedua orang anak mereka. Bila mereka berkeras tidak mengijinkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar! “Baiklah, baiklah…” Akhirnya Ciu Khai Sun berkata hingga dua orang anaknya itu girang sakali. Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan. *************** Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin, dan mereka lebih senang duduk di luar mengelilingi api unggun besar dari pada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biar pun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka dan makan daging panggang dan roti yang halus. “Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini.” “Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!” Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara tawa ringan. Akan tetapi ucapan mereka juga bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu. Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikap penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi. “Hemmm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?” tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam. “Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati.” “Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, maka kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?” kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan. “Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan,” kata salah seorang anak buah. “Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu bila diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa toako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?” Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, “Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorang pun di antara kita yang terluka parah.” “Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!” kata pula pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok. “Akan tetapi, mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?” seorang anak buah bertanya. “Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dahulu sampai ke Sin-yang tanpa ada orang lain yang tahu. Jika sudah selamat, barulah keadaan betul-betul beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalkan tempat persembunyian ini. Tapi sebelum lewat tengah malam, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba saja mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu. “Ahhh, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!” kata Si Muka Hitam raksasa. “Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!” “Toako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!” kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya. “Sute, kau bodoh! Justru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Mari kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian serta bekal mereka, dan mengenai gadis itu… ha-ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memang perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap.” Semua orang setuju, kemudian tertawa-tawa dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu. Keempat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong! Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong lalu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya. Mereka segera berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan walau pun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu. Yang berjalan paling depan adalah seorang pria tinggi besar bagai raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya hanya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok hingga kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang kelihatan oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar! “Agaknya merekalah orang-orangnya,” kata Thian Sin lirih. “Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain,” kata Han Tiong. Kini dua belas orang itu telah tiba di hadapan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi terus menatap dengan pandang mata penuh kekurang ajaran pada Lian Hong, sekarang berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan apa bila kalian ingin selamat!” Si Tinggi Besar ini, sungguh pun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen. Namun, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan telah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, Ciu Bun Hong memandang dengan ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkellaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar. Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi semua sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat. “Mereka bukan perampok,” bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya. Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya telah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah betul gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin. “Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak memiliki apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat.” Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, lalu diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguh pun pada sikap keempat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut. “Ha-ha-ha, kami pun tahu bahwa kalian hanyalah empat orang muda yang sederhana dan agaknya tak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apa pun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya pada kami.” Han Tiong mengerutkan alisnya. “Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apa pun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan…” Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa, kemudian Si Tinggi Besar menudingkan jari telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, “Apakah yang lebih berharga dibandingkan nona manis ini? Kami tak butuh uang, kami sendiri telah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku…!” “Keparat bermulut busuk!” Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu. Sepasang mata pemuda ini mengeluarkan cahaya mencorong dan melihat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga. Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka dia pun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin. “Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini padaku, atau kami harus membunuh kalian bertiga dulu dan baru merampas gadis ini dengan paksa.” “Iblis yang layak mampus!” Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut sebab hatinya sudah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong. Thian Sin menoleh dan begitu melihat sinar mata kakaknya, maka kemarahannya pun lenyap dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur. “Sobat,” kata Han Tiong dengan tenang, “terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu sudah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an Piauwkiok dari Su-couw. Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?” Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lantas bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, oleh karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya sehingga belasan orang itu segera mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi sudah membuktikan bahwa empat orang muda itu merupakan musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu. “Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tidak boleh pergi lagi dari sini dan harus menjadi tawanan kami!” kata Si Tinggi Besar. “Sobat, kalian telah melakukan suatu kekeliruan yang besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an Piauwkiok selalu bersikap baik pada orang-orang kang-ouw? Kenapa kalian sudah mengganggunya dan dengan demikian merusak hubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami, maka kami tentu akan membalas budi itu dan Pouw-an Piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian.” Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini sangat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tak semestinya kakaknya bersikap begini mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat semacam perampok-perampok ini yang bukan hanya sudah merampas barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok, akan tetapi bahkan juga telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauwkiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu. Betapa pun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena apa bila sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu. “Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apa kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, hanya dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian dan siapa pun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dahulu mengalahkan kami!” kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak. “Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!” Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan. “Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!” Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya. “Keparat, engkau bocah kemarin sore benar-benar bermulut besar! Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana jika dalam beberapa jurus engkau kalah?” tanyanya dengan nada mengejek. Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Sekarang dia sudah tenang lagi dan dia merasa alangkah bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu. “Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu.” “Ha-ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu. Ada pun gadis ini… hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!” “Majulah dan jangan banyak bicara!” Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong. Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, “Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!” Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Lagi pula dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, karena itu dia pun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu. Han Tiong mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi dia pun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka dia pun hanya berkata, “Hati-hatilah Hong-moi.” Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi sudah membuat dia tergila-gila itu. “Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari… nona manis, ha-ha-ha!” Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju sambil mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biar pun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya sangat cepat, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang sangat bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, kemudian membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan sehingga mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap. Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Lian Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan meski pun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, akan tetapi kekalahan tenaga itu membuat dia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua! Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi maka dia pun meloncat dan langsung menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, “Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!” Akan tetapi, sungguh dia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja sudah terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka! “Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya.” kata Thian Sin yang telah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok. “Bun Hong-te, kau hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!” katanya pula kepada Bun Hong. Karena melihat betapa kepala rampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong segera meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka. Kepala perampok itu kini mulai maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang amat lihai dan agaknya memang mereka berempat ini merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an Piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka dia pun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang kini masing-masing sudah memegang sebatang golok yang tajam. Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka dia pun berteriak, “Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!” Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan. “Plakkkkk! Desss…!” Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan demikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu sudah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka segera berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya sudah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini. Rata-rata belasan orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya kedua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini sudah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka secara gigih. Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang tadi telah meneriakinya supaya dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan sanggup merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi. Sesudah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok. Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang kuat bukan main sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk. Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin. Pemuda ini membiarkan tangan lawan menyambar sampai dekat, baru tangan kanannya menyambut hingga dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotokan dan akibatnya, begitu dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu menjadi patah-patah. Rasa nyeri laksana ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih! “Krekk! Krekk!” Terdengarlah suara dan ketika Thian Sin mendorong, tubuh kepala perampok itu terguling kemudian dia bergulingan sambil berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya sudah remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana. Sementara itu, biar pun dengan cara lebih lunak, Han Tiong juga telah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Masih ada empat orang yang mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang ini pun sudah terdesak hebat. Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia kembali merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua dan tak dapat bangkit kembali. Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa terkejut dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut! Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti! “Hemmm, tadi sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an Piauwkiok merupakan perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?” Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih terus merintih-rintih kesakitan itu. Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan aksi tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu! “Biar kupaksa dia, Tiong-ko!” Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya. “Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?” Thian Sin maklum juga dengan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala perampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka dia pun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya. Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah sehingga membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi. “Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu apa bila kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!” Thian Sin berkata dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan. “Tapi… tapi…,” orang itu berkata dengan ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu. Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka dia pun tersenyum mengejek dan berkata, “Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tidak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga kedua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi.” Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sinkang-nya sehingga telapak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu. Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi. “Tidak… jangan…” “Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tidak dapat mencari dan menemukannya!” “Di dalam… goa… di dalam hutan ini…” “Di mana letaknya itu?” bentak Thian Sin. “Sin-ko, aku tahu di mana letak goa di dalam hutan ini. Mari!” kata Bun Hong. Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong. “Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hong pergi mencari barang-barang itu, ada pun aku akan menjaga dan mengurus mereka ini.” “Aku akan membantumu, Tiong-ko.” kata Lian Hong. Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan dia pun segera mengajak Bun Hong mencari goa itu. Mereka memasuki hutan, dan tidak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah goa di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok. Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin maka tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Akan tetapi dia pun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu. Sesudah mereka memasuki goa, benar saja, di dalam goa yang besar itu terdapat dua gerobak barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan dapat menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari goa. Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lantas memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi. Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong sedang mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki serta tangan yang patah tulangnya. Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut. “Tiong-ko, kenapa kau lakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tak layak manusia-manusia binatang ini ditolong, apa lagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!” Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. “Sin-te, jangan begitu. Betapa pun juga, mereka adalah manusia-manusia sedangkan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Mereka pun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?” cerita silat online karya kho ping hoo Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. “Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi… ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!” Han Tiong menarik napas panjang. “Mungkin saja mereka lakukan hal itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal seperti yang mereka lakukan. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu.” “Lalu mereka ini mau diapakan?” desak Thian Sin. “Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah memang demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka.” Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatikan oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar di antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu. Semua perampok kemudian digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobak yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang. Pada sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan yang aneh ini sehingga dalam waktu sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu sudah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang sudah dirampok. Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an Piauwkiok. Keempat orang muda itu, terutama Han Tiong dan Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian. Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali. Apa lagi saat dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, maka rasa gembiranya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali. “Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!” katanya dengan bangga sekali. Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke kota Su-couw bersama isteri-isterinya hingga pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin benar-benar merupakan pertemuan yang sangat menggembirakan. Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang sangat berhasil dari empat orang muda itu. Dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taijin, yaitu pembesar di Su-couw yang menjadi pemilik barang-barang berharga yang sudah dirampok namun berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang dapat memperoleh barang-barangnya kembali dan sekalian untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang. Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sin, sudah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja sudah ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu. Para anak buah Pouw-an Piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lainnya dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka yang sedang menjamu tamu-tamu agung itu. Pada akhirnya, tamu yang dinanti-nanti, Phoa-taijin, datang juga, dengan diiringi oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal sering memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang sangat dermawan! Orang tak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apa lagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang itu didapatkan. Dari mana pun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang tentulah akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati! Padahal, bila mana orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan kepalang bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja hingga seratus tahun sekali pun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu. Memang Phoa-taijin seorang yang luar biasa pandai, tidak hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai sekali mengambil hati orang-orang hingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan. Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar serta pandang matanya berseri-seri. Dia segera disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena walau pun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja juga mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini. Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira, kemudian dia pun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, “Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu sudah berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwau di Lok-yang, benarkah itu?” Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lantas disambungnya. “Kami mendengar dari penuturan Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu.” Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu. “Ahh, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak saya pun hanya ikut saja, taijin,” kata Ciu Khai Sun merendah. Kui Beng Sin tertawa. “Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!” Dia lalu menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini sudah duduk kembali. “Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!” Baik Ciu Khai Sun mau pun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberi tahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlampau bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah ‘orang luar’ dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarang nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya. Dahulu pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan sudah menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, sangatlah tidak enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu! Akan tetapi, Kui Beng Sin sudah menceritakan hal itu, semua sudah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru, “Ahhh, siapa kira dua orang muda remaja ini telah mempunyai kepandaian yang demikian hebatnya.” Pesta itu berlangsung dengan gembira dan setelah Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin lantas mengucapkan terima kasih dan biar pun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, akan tetapi pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikit pun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an Piauwkiok. ************** Beberapa hari kemudian Han Tiong dan Thian Sin berpamitan kepada keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun sudah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong, kemudian menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya di dalam bungkusan pakaiannya. Mereka berdua menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong. “Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja,” kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota. “Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi… kuharap… kita akan bisa saling bertemu kembali dalam waktu dekat…,” kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan di dalam suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu. “Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah,” kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda lantas mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan. Melihat adiknya masih melambalkan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum, “Tiong-ko tak akan lama pergi, tentu akan segera ada kabar dari keluarga Cia.” Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. “Ihhh, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?” Bun Hong hanya tertawa, akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena dia pun lebih senang kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong dari pada apa bila adiknya memilih Thian Sin. Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin memiliki watak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, ada pun Han Tiong mempunyai watak yang sangat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen! Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya. Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui apa bila Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong. Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata, “Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia mempunyai ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan dia pun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!” Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia memang jatuh cinta kepada Lian Hong, tapi dia pun melihat dengan jelas pula betapa adiknya ini pun mencinta mati-matian kepada dara itu! Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin cepat menoleh, memandangnya kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?” Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam dia pun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu. “Maksudmu?” Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguh pun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup. “Ehh, Tiong-ko, kau sedang melamunkan apa sih sehingga tidak mengerti apa yang baru saja kutanyakan? Aku tadi bicara mengenai Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi.” “Apa? Hong-moi…? Ahh, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?” “Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan alangkah akan bahagianya seorang pria yang kelak dapat menjadi suaminya.” Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong. “Ahh, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita mana pun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya.” Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka meski pun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, akan tetapi perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan tampak seolah-olah mereka tak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya. Seperti orang yang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti pada sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat. Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian mereka pun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka. Akan tetapi sebenarnya mereka itu belum tidur walau pun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas. Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lantas mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan sangat hati-hati dia lalu mengeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dia membuka sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu yang lantas dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu. Dua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong! Thian Sin memejamkan sepasang matanya dan merasa seakan-akan semua isi kamar itu terputar-putar. Dia cepat berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak. Dimasukkannya kembali surat itu ke dalam sampulnya lalu disimpannya kembali di dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu. Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak. Pada saat dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan dia pun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang sudah terjadi di luar. Thian Sin sama sekali bukan berjalan-jalan di luar seperti yang disangkanya! Setelah tiba di luar rumah penginapan, pemuda itu segera mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkang-nya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat dari pada ketika siang tadi mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang dengan berkuda karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat. Dia tidak mau menunggang kuda karena tak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke kota Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu. Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Ternyata tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Semenjak dia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja hingga dia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda yang siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya. Dia tidak tahu bahwa ada bayangan yang berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya. Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju. Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi gembira sekali. Gadis itu belum tidur! Maka dia pun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali. Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong, “Siapa…?” “Ssttt… aku, Hong-moi… aku Thian Sin…” “Hehh…? Sin-ko…? Ada apa… mengapa…?” “Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!” Bisik pula Thian Sin. Daun pintu kamar itu pun dibuka dari dalam, lantas keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang kini nampak lebih cantik dari pada biasanya! Lian Hong sudah mengenakan pakaian ringkas yang ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya sedikit kusut sebab tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu. “Sin-ko, kau di sini…? Apa yang terjadi dan…” “Ssttt… mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu.” Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari sana, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Lian Hong mengikutinya dengan ragu-ragu dan hati heran, akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi. Dia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu. “Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara,” kata Thian Sin. Melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi semakin terheran-heran. Akan tetapi dia pun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar. “Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian sudah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?” “Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku.” “Ehhh… apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kau maksudkan dengan kata-katamu itu? Aku sungguh tidak mengerti!” “Artinya, Hong-moi, bahwa aku… aku cinta padamu.” Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biar pun mereka duduk berhadapan dan hanya terhalang oleh sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing. Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari pemuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, sebab sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya. Dia hanya merasa terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, sekarang datang kembali pada malam hari untuk menyatakan cintanya! Melihat dara itu hanya terdiam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang. “Hong-moi, lebih baik aku berbicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, semenjak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan jika aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, walau belum boleh dikatakan mencinta, Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkau pun mencintaku?” Sesudah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Dia merasa sulit untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apa lagi pertanyaan tentang cinta! “Sin-ko… bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa sangat kagum dan suka padamu…” “Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?” “Aihhh…!” Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu. “Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah…” “Ahh, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan… ahhh, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka… mana mungkin aku dapat menjawab sendiri…?” “Hong-moi, marilah kita berbicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawabanmu yang berterus-terang sangat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu sudah menitipkan surat pada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau memang lebih mencinta Tiong-ko dari pada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kau pilih antara kami berdua? Siapakah yang lebih kau cinta?” Lian Hong menundukkan mukanya. Dia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang dia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan dia pun telah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa dia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya lantas mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga. “Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat.” “Tapi… tapi… jika engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kau beratkan, Hong-moi…? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!” Thian Sin mendesak. Lian Hong menarik napas panjang. Memang sesungguhnya dia merasa bingung dan amat sulit untuk mengakui hal itu di hadapan yang bersangkutan. Di depan kakaknya, dia dapat mengaku terus terang dengan hanya sedikit rasa canggung saja, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat mengaku terus terang di hadapan orang yang bersangkutan? Apa lagi karena dia tahu bahwa pengakuannya tentu akan menyakitkan perasaan hati Thian Sin karena dia memilih Han Tiong! Akan tetapi dia teringat bahwa Thian Sin, seperti juga Han Tiong, adalah seorang pemuda yang gagah perkasa lahir dan batin, maka tentu akan dapat menerima segala kenyataan, betapa pahit sekali pun. Dan terhadap seorang pendekar seperti Thian Sin, tidak baiklah kalau tidak berterang terang. Maka dara ini lalu menarik napas panjang, mengambil keputusan tetap dan terdengarlah jawabannya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian. “Sin-ko, baiklah, aku akan berterus terang sebab engkau menghendakinya. Sebenarnya, semenjak engkau dan Tiong-ko berada di sini, melihat kegagahan kalian berdua, aku merasa sangat tertarik dan terpikat. Terus terang saja, belum pernah aku memiliki perasaan terhadap seorang pria seperti perasaanku terhadap kalian berdua. Dan apa bila ditanya siapakah di antara kalian yang lebih kusukai, akan sulitlah aku untuk menjawabnya. Kalian mempunyai daya tarik yang sama kuatnya bagiku dan andai kata aku disuruh memilih di antara kalian, aku akan menjadi bingung sekali. Akan tetapi, terus terang saja, ada sesuatu yang membuat aku lebih condong kepada Tiong-ko. Yaitu… maafkan aku, Sin-ko, karena… karena aku menyaksikan keganasanmu terhadap para gerombolan itu. Engkau… engkau agak kejam, Sin-ko. Dan Tiong-ko begitu bijaksana…” Hening sekali saat itu sesudah Lian Hong menghentikan kata-katanya. Dara itu langsung menundukkan mukanya. Biar pun dia tidak dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas di dalam cuaca yang suram itu, akan tetapi dia tetap tidak berani mengangkat mukanya. Sementara itu, Thian Sin mengepal tinju dan merasa penasaran. Kalau hanya hal itu yang membuat Lian Hong memilih Han Tiong dari pada dia, sungguh membuatnya penasaran! “Akan tetapi, Hong-moi. Aku bersikap ganas dan kejam terhadap penjahat! Dan memang demikian watak seorang pendekar sejati, bukan? Kalau sebagai pendekar-pendekar yang mempertahankan kebenaran dan keadilan kita tidak menghukum keras penjahat-penjahat itu, tentu di dunia ini semakin banyak kejahatan merajalela dan para penjahat tidak akan takut melakukan segala macam kejahatan yang paling keji sekali pun karena tak ada yang ditakutinya lagi!” “Maaf, Sin-ko. Aku tak dapat membantahmu, akan tetapi aku merasa lebih setuju dengan sikap Tiong-ko yang tidak menundukkan kejahatan dengan kepandaian akan tetapi malah menundukkan hati para penjahat itu dengan kelembutan dan cinta kasih. Aku tidak dapat melupakan betapa Tiong-ko dengan perasaan penuh kasih mengobati para penjahat itu, dan kalau engkau melihat pandang mata para penjahat itu terhadap Tiong-ko… ahhh, aku tidak dapat melupakan itu dan saat itulah yang meyakinkan hatiku bahwa aku akan hidup tenang dan bahagia di samping Tiong-ko…” “Akan tetapi, jika penjahat-penjahat itu dimanjakan, tentu mereka tak akan pernah merasa kapok! Terlalu enak bagi mereka yang jahat dan keji itu memperoleh pengampunan dan memperoleh perlakuan yang lunak. Tiong-ko terlampau lemah dan kelemahan hatinya itu sewaktu-waktu bahkan akan mencelakainya sendiri!” Dalam hatinya Lian Hong merasa tidak setuju, akan tetapi dia tidak mampu membantah atau menjawab, maka dia pun hanya mendengarkan saja semua kata-kata Thian Sin yang berusaha membenarkan sikap dan tindakannya.....


PENDEKAR SADIS JILID 16 :
PENDAPAT Thian Sin itu mungkin sekali juga menjadi pendapat umum atau kebanyakan dari kita, yaitu yang berpendapat bahwa tindakan kekejaman terhadap orang-orang yang bersalah atau yang melakukan kejahatan adalah tindakan yang betul. Biasanya, tindakan itu kita namakan keadilan! Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah itu apa bila kita menyiksa seorang yang kita namakan penjahat, bahkan jika kita membunuhnya, maka penyiksaan atau pembunuhan itu dapat dinamakan keadilan? Sebaiknya jika kita menyelidiki persoalan ini lebih dahulu sebelum kita memberinya suatu nama seperti keadilan! Kita selidiki apa perbedaan antara perbuatan kejam dan dianggap adil! Apakah dasar yang mendorong ke arah tindakan yang kejam, menakuti orang, menyiksa orang? Atau bahkan membunuh orang? Semua perbuatan kejam itu tentu mempunyai dasar yang sama, yaitu kebencian. Kebencianlah yang membuat seseorang melakukan tindakan kejam, baik itu dinamakan kejahatan mau pun keadilan. Kebencian di dalam hati ini tentu saja meniadakan cinta kasih. Siapa pun yang melakukan tindakan kejam, baik dia itu dinamakan penjahat atau pun pendekar, pada dasarnya sama saja, yaitu melampiaskan kebencian. Ini bukanlah berarti bahwa kejahatan atau kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang kita namakan jahat itu harus didiamkan saja! Sama sekali tidaklah demikian. Akan tetapi, alangkah jauh bedanya antara hukuman yang sifatnya mendidik dengan hukuman yang sifatnya membalas dendam! Balas dendam adalah akibat kebencian yang melahirkan perbuatan-perbuatan kejam seperti menyiksa dan membunuh. Namun sebaliknya, hukuman yang sifatnya mendidik tidak dapat dinamakan kekejaman karena tidak dilakukan dengan hati yang membenci. Jeweran pada telinga anak dari seorang ayah bisa merupakan hukuman mendidik, bisa pula merupakan pelampiasan kebencian. Apa bila si ayah itu marah, jengkel pada waktu menjewer, maka perbuatannya itu adalah perbuatan yang didorong oleh rasa kebencian. Sebaliknya, jika jeweran itu dilakukan tanpa kebencian, maka itu adalah perbuatan yang mengandung maksud mendidik. Antara dua jeweran yang sama ini terdapat perbedaan bumi langit. Biasanya, kata keadilan hanya dipergunakan oleh mereka yang dipenuhi kebencian untuk menuntut balas. Jelaslah bahwa segala macam perbuatan yang didasari oleh kebencian, maka perbuatan semacam itu sudah pasti kejam dan jahat. Sebaliknya, perbuatan apa pun yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu pasti benar dan baik. “Jika bukan para pendekar yang membasmi orang-orang jahat, habis siapa lagi? Sebagian besar para pejabat pemerintah malah menjadi sahabat-sahabat para penjahat! Karena itu mana mungkin kita mengandalkan para pejabat untuk membasmi kejahatan? Siapa yang akan membela dan melindungi rakyat dari penjahat-penjahat yang keji? Siapa lagi kalau bukan para pendekar yang harus membasmi habis para penjahat keji serta pembunuh-pembunuh itu?” “Sin-ko, aku tak mengerti urusan ini, akan tetapi dengan membunuhi dan membasmi para pembunuh, bukankah itu berarti kita telah menciptakan segolongan pembunuh lain?” “Ahh, tidak bisa! Para pendekar tentu saja tidak akan membunuhi rakyat atau orang-orang yang benar, hanya akan membasmi orang-orang jahat!” Lian Hong tak bicara lagi karena sebetulnya dia pun tidak mengerti benar akan apa yang sedang diperdebatkan oleh Thian Sin yang dikecewakan hatinya itu. Dia hanya tidak suka akan kekejaman yang diperlihatkan oleh Thian Sin, sebaliknya dia setuju dan kagum akan kebijaksanaan dan kelembutan yang dilakukan oleh Han Tiong terhadap para penjahat. Mendadak Thian Sin berhenti bicara dan dia meloncat berdiri dengan demikian cepatnya hingga Lian Hong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda itu sudah memegang lengannya dan berbisik, “Awas… ada banyak orang…” Dia pun mengajak Lian Hong lari menyusup ke dalam taman, di balik semak-semak lantas mengintai keluar. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka pada saat melihat banyak sekali orang telah mengepung rumah dan taman itu. Orang-orang itu merupakan sebuah pasukan besar karena pakaian mereka seragam! Dan di antara banyak pasukan itu, Thian Sin melihat banyak pula orang yang berpakaian biasa dan gerakan mereka gesit dan tangkas, tanda bahwa mereka ini memiliki ilmu silat yang lihai! Dan yang membuat mereka merasa lebih kaget lagi adalah pada saat melihat betapa di antara pasukan itu ada yang mulai membakar rumah itu! Segera terjadi kegaduhan ketika keluarga Ciu terbangun dan menyerbu keluar rumah mereka yang mulai terbakar itu. Ciu Khai Sun meloncat ke luar dan berteriak dengan nyaring. “Siapa membakar rumah?! Ehh, apa artinya semua pasukan ini?” “Tangkap pemberontak…!” “Tangkap anak pemberontak Ceng Han Houw…!” “Basmi pemberontak dan pengkhianat…!” Teriakan-teriakan itu terdengar riuh dari seluruh penjuru rumah di mana terdapat pasukan yang besar jumlahnya dan sekarang pasukan-pasukan itu sudah maju menyerbu. Mereka itu sama sekali bukan hendak menangkap pemberontak seperti yang mereka teriakkan, melainkan mereka itu langsung menyerang Ciu Khai Sun bersama kedua orang isterinya dan juga Bun Hong yang sudah berdiri di depan pintu! Tentu saja keluarga itu langsung bergerak untuk membela diri karena mereka tidak diberi kesempatan lagi untuk bertanya atau pun memprotes. Pasukan itu telah menyerbu secara membabi-buta, bahkan dibantu oleh beberapa orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan yang berpakaian biasa, bukan pasukan pemerintah. Ciu Khai Sun, Kui Lan, Kui Lin serta Bun Hong terpaksa melawan dan mengamuk untuk mempertahankan nyawa mereka karena para penyerbu itu menyerang untuk membunuh, bukan untuk menangkap. Percuma saja semenjak tadi Ciu Khai Sun berteriak-teriak untuk mencoba menghentikan mereka. Agaknya mereka memang sudah menerima perintah untuk membunuh seluruh penghuni rumah yang mereka bakar itu. Bahkan di antara para penyerbu itu ada pula yang sudah menyerbu masuk melalui pintu samping lantas merampoki segala macam barang yang berada di dalam rumah. Dan mereka tidak peduli, siapa saja yang nampak dalam rumah itu, sampai pelayan-pelayan, mereka bunuh dengan bacokan-bacokan golok. Sementara itu, ketika melihat betapa pasukan itu membakar rumah, Thian Sin dan Lian Hong menjadi terkejut dan marah sekali. Apa lagi setelah Lian Hong mendengar teriakan-teriakan ayahnya, juga teriakan-teriakan kedua ibunya dan kakaknya yang agaknya telah melawan para penyerbu. “Keparat!” teriaknya dan dia pun segera lari hendak menuju ke depan hendak membantu ayah bundanya. Akan tetapi di sana sudah muncul pula banyak pasukan yang langsung menyerangnya. Melihat ini, Thian Sin mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah menerjang maju menyambut pasukan yang menyerang Lian Hong itu, lalu dengan sekali terjang dia sudah merobohkan tiga orang prajurit! Dalam waktu singkat saja, Thian Sin sudah dikepung oleh banyak prajurit, juga oleh beberapa orang berpakaian preman yang lihai. Thian Sin mengamuk dan hatinya khawatir sekali karena dia tidak melihat Lian Hong yang terpisah dengan dia dalam pengeroyokan demikian banyaknya pasukan. Karena merasa sangat khawatir akan keadaan keluarga Ciu, terutama keselamatan Lian Hong, Thian Sin menjadi marah bukan main. Apa lagi dia tadi telah mendengar teriakan-teriakan itu, yang katanya hendak menangkap pemberontak, putera dari pemberontak Ceng Han Houw. “Di sinilah aku! Di sinilah Ceng Thian Sin, putera Ceng Han Houw!” bentaknya nyaring dan kakinya merobohkan seorang pengeroyok yang hendak membacoknya dari belakang. “Jangan ganggu orang lain, inilah aku putera Ceng Han Houw!” Maka terjadilah perkelahian yang sangat hebat. Tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dan dibantu oleh beberapa orang yang lihai-lihai, mengepung dan mengeroyok Thian Sin. Thian Sin sudah merobohkan belasan orang, akan tetapi pengeroyoknya tidak berkurang, bahkan mengepungnya semakin ketat. Dengan kemarahan meluap-luap, apa lagi karena rumah itu sudah terbakar dan semakin berkobar, Thian Sin langsung mencabut pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya dan mulailah dia mengamuk dengan pedangnya ini, dibantu tamparan-tamparan tangan kirinya atau dengan tendangan-tendangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh kedua kakinya. Hebat bukan main sepak terjangnya sehingga para pengeroyoknya banyak yang roboh. Darah muncrat-muncrat dari tubuh para pengeroyoknya yang kena disambar sinar perak pedangnya, dan kini yang mengeroyoknya hanyalah orang-orang yang tidak mengenakan pakaian seragam, melainkan orang-orang berpakaian preman yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. Di antara mereka itu ada pula yang berpakaian pengemis, yang mengingatkan Thian Sin pada para anggota Bu-tek Kai-pang, anak buah Lam-sin, datuk selatan itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang rata-rata berilmu tinggi mengeroyoknya, dengan berbagai macam senjata. Namun Thian Sin tak menjadi gentar dan dia terus mengamuk. Akan tetapi sekarang dia merasa gelisah sekali karena dia tidak tahu bagaimana dengan keadaan keluarga Ciu, terutama Lian Hong! Oleh karena itu, sambil melawan dia mulai mengalihkan gelanggang pertempuran menuju ke depan rumah, di mana dia tadi mendengar teriakan-teriakan keluarga Ciu. Pada waktu melihat gerakan ini, para pengepung itu mengira bahwa Thian Sin hendak melarikan diri, maka mereka pun mengejar dan tetap mengepungnya, bahkan kini agaknya perkelahian hanya terpusat di sini karena tidak lagi terdengar perkelahian di tempat lain. Ketika dia tiba di depan rumah, Thian Sin terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Api yang berkobar membakar rumah itu cukup menerangi tempat itu hingga dengan jelas dia dapat melihat mayat-mayat berserakan banyak sekali, mayat-mayat pasukan yang berpakaian seragam dan di antara mereka itu terdapat pula mayat Ciu Khai Sun, kedua isterinya, dan Bun Hong! Hampir saja Thian Sin menjerit ketika dia melihat ini dan dia meloncat ke arah mayat Ciu Khai Sun dengan cepat sekali, berjongkok dan memeriksa. Akan tetapi sebatang tombak menyambar dari belakang, disusul bacokan pedang dari samping. “Tranggg… desss! Creppp!” Dua orang itu memekik dan roboh, seorang terkena tamparan tangan kiri Thian Sin dan yang ke dua tertusuk lambungnya oleh pedang Gin-hwa-kiam. Thian Sin cepat memeriksa kedua orang isteri Ciu Khai Sun dan juga mayat Bun Hong. Semuanya sudah tewas! Tewas dengan tubuh penuh luka-luka, tanda bahwa mereka itu telah mengamuk dengan mati-matian dan hal ini pun dapat dibuktikan dengan banyaknya korban, yaitu mayat-mayat pasukan pengeroyok yang berserakan di sekeliling tempat itu! Keluarga ini sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan, namun harus diakui tewas dalam keadaan gagah perkasa. Dan semua itu dikarenakan dia! Bukankah pasukan itu datang untuk mencari dia sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw? Dan dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diri Lian Hong! “Hai, keparat semua! Inilah Ceng Thian Sin putera Ceng Han Houw! Majulah dan terima pembalasanku!” Kemudian dia pun mengamuk lagi. Sepak terjangnya amat menggiriskan karena tidak ada lawan mana pun yang sanggup menahan sambaran pedangnya, pukulan tangan kirinya atau tendangan kakinya! Dia dikepung, dikeroyok, akan tetapi yang mawut adalah para pengeroyok itu sendiri. Banjir darah terjadi di dekat rumah yang terbakar itu. Entah sudah berapa jam lamanya Thian Sin mengamuk. Seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringatnya sendiri dan basah oleh darah musuh. Makin lama semakin banyak saja pihak pengeroyok yang roboh tewas. Sedikitnya, sejak dia mulai mengamuk tadi, ada tiga empat puluhan orang yang roboh di tangan Thian Sin akan tetapi dia masih seperti seekor harimau yang haus darah saja, tidak mengenal puas. Bahkan dia menjadi semakin buas dan sepak terjangnya makin menggiriskan. Akhirnya para pengeroyok itu menjadi gentar. Mereka maklum bahwa apa bila dilanjutkan, agaknya pemuda ini akan membunuh mereka semua sampai tidak ada seorang pun yang ketinggalan! Maka, larilah mereka, dan sisa pasukan pemerintah juga melarikan diri ketika melihat orang-orang yang lihai itu tidak berani melawan lagi. Thian Sin mengejar kemudian merobohkan sebanyak-banyaknya orang yang mungkin dia lakukan. Akhirnya dia bisa menangkap seorang perwira yang mencoba untuk menyelinap ke tempat gelap. Dibantingnya perwira itu ke atas tanah. “Ngekkk…!” Dan perwira itu merintih, tulang pundaknya patah. Thian Sin cepat menempelkan pedangnya yang berlumuran darah itu ke leher perwira itu. “Cepat ceritakan mengapa pasukan melakukan ini!” Ketika dia melihat perwira itu meragu, dia menekan pedangnya dan kulit leher itu pun terobek sedikit dan berdarah. “Baik… baik… kami hanya menjalankan perintah… mula-mula komandan kami menerima laporan dari… dari Su-couw…” Thian Sin adalah pemuda yang cerdik sekali. Saat mendengar disebutnya kota Su-couw, dia pun langsung menghubungkan tentang perampokan barang-barang kawalan Pouw-an Piauwkiok itu dengan peristiwa hebat ini. Dia lantas teringat bahwa yang mendengar akan keadaan dirinya, yaitu sebagai orang luar, bahwa dia adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, hanyalah seorang saja, yaitu Phoa-taijin. “Phoa-taijin…?!” Dia membentak dengan sikap mengancam. “Ya… ya benar…!” “Mengapa? Hayo cepat katakan, mengapa dia melakukan ini?!” bentaknya. Perwira itu menggeleng-gelengkan kepala karena memang dia tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa Phoa-taijin melaporkan mengenai adanya putera pemberontak Ceng Han Houw di rumah ketua Ui-eng Piauwkiok di Lok-yang, kemudian komandannya langsung bertindak mengepung rumah itu. Anehnya, Phoa-taijin dari Su-couw itu juga mengirim bala bantuan berupa dua puluh lebih orang-orang yang berilmu tinggi di antaranya ada beberapa orang pengemis. “Tidak… tidak tahu…,” perwira itu berkata, namun kata-katanya berhenti di tengah jalan karena Thian Sin sudah menggerakkan pedangnya dan perwira itu tewas seketika dengan leher hampir putus! Malam itu juga, baru lewat tengah malam, Thian Sin telah berada di atas gedung tempat tinggal Phoa-taijin! Semenjak mengamuk tadi, dia tak pernah lagi menyimpan pedangnya yang masih berlepotan darah dan kalau saja ada sinar menerangi wajahnya, orang tentu akan merasa ngeri melihat wajah yang tampan itu kini penuh dengan kekejaman, penuh dengan kemarahan, dan sinar matanya mencorong penuh dendam bagaikan mata iblis di dalam dongeng! Thian Sin tidak ingin langsung turun tangan, melainkan hendak menyelidiki terlebih dahulu mengapa pembesar ini melakukan hasutan supaya keluarga Ciu dibasmi. Kalau memang niatnya hanya hendak menangkap dia sebagai putera Ceng Han Houw, kenapa pasukan itu bertindak demikian? Membakar dan menyerang sampai seluruh anggota keluarga Ciu terbasmi habis? Tiba-tiba dia melihat tiga orang yang berpakaian preman dan seorang komandan pasukan memasuki rumah itu dengan sikap tergesa-gesa. Dia dapat menduga bahwa tentu mereka ini adalah orang-orang yang tadi ikut menyerbu rumah keluarga Ciu dan sekarang dengan tergopoh-gopoh mereka tentu hendak melapor kepada Phoa-taijin! Maka dia pun cepat-cepat menyelinap, meloncat turun dari atas, memasuki pekarangan belakang, lantas menyelinap ke dalam melalui tembok belakang. Akhirnya dia pun dapat mengintai dari belakang jendela, ke dalam ruangan di mana dia mendengar orang bicara dengan suara perlahan tapi terdengar serius sekali. Jantungnya berdebar penuh amarah yang ditahan-tahannya ketika dia mengenal suara Phoa-taijin yang sedang bicara dengan suara mengandung penyesalan besar. “Apa? Anak pangeran pemberontak itu tidak berhasil ditangkap atau dibunuh dan bahkan telah membunuh banyak orang? Dan puteri Ciu-piauwsu juga dapat lolos? Ah, bagaimana kalian ini? Pasukan seratus orang juga ditambah orang-orang yang terkenal sebagai anak buah tiga datuk See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui, masih tak mampu merobohkan seorang pemuda remaja seperti anak pemberontak she Ceng itu? Sungguh celaka, kalian tiada guna sama sekali!” “Tapi, taijin. Keluarga Ciu sudah dapat dibasmi, kalau lolos seorang anak perempuan saja mengapa? Dan tentang pemberontak she Ceng itu, memang dia lihai sekali…,” terdengar suara orang lain. “Saya masih belum mengerti kenapa taijin memusuhi keluarga Ciu?” seorang lain dengan suara serak. “Bodoh, apakah kau tidak mendengar betapa keluarga Ciu dan dua orang keponakannya itu yang sudah menggagalkan siasat kami ketika kami menyuruh orang-orang menyamar sebagai perampok untuk merampok barang-barang yang sebelumnya telah kusuruh kawal Pouw-an Piauwkiok? Jika mengandalkan orang-orang bodoh seperti kalian, mana mungkin kita berhasil mengumpulkan harta untuk menyokong gerakan kawan-kawan di utara?” Thian Sin mengerutkan alisnya. Biar pun hanya secara samar-samar saja, dia kini dapat menduga bahwa para perampok itu adalah orang-orangnya Phoa-taijin sendiri yang diutus untuk menyarnar sebagai perampok lantas merampas barang-barangnya sendiri! Mungkin dengan maksud memeras Pouw-an Piauwkiok untuk bertanggung jawab dan mengganti barang-barangnya yang berharga. Dan karena kemudian barang-barang itu ditemukan kembali, usaha itu gagal oleh dia dan Han Tiong yang menjadi tamu keluarga Ciu, maka pembesar itu kini melakukan serangan balasan dan kebetulan dia mendengar tentang putera Pangeran Ceng Han Houw, maka hal itu kemudian dijadikan dalih untuk melaporkan bahwa di rumah Ciu-piauwsu terdapat putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw. “Aku berada di sini!” Tiba-tiba Thian Sin tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan dia sudah menerjang jendela itu. “Braakkkkk…!” daun jendela itu pecah dan dia pun sudah meloncat ke dalam. “Pembesar keparat she Phoa! Inilah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, datang untuk mengirim nyawa kotormu ke neraka jahanam!” Namun empat orang yang berada di dalam kamar itu, yaitu tiga orang berpakaian preman dan seorang berpakaian komandan sudah mencabut senjata masing-masing dan segera menubruk dan menyerangnya dengan ganas, akan tetapi juga dengan hati gentar ketika mengenal bahwa yang menerobos masuk ini bukan lain adalah pemuda putera pangeran pemberontak yang amat lihai itu. Melihat serangan empat orang ini, Thian Sin sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan mengerahkan tenaga sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi lunak bagaikan karet, lunak akan tetapi kuat sekali. Maka begitu tiga batang pedang dan sebatang ruyung itu menimpa tubuhnya, tenaga sinkang itu menyambut empat senjata itu dan langsung dia mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga daya pukulan yang mengandung tenaga sinkang empat orang itu tersedot seketika. Empat orang itu berteriak kaget, maka mereka cepat mengerahkan tenaga untuk menarik kembali senjata masing-masing. Namun, mereka tidak mengenal Thi-khi I-beng, semakin mereka mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga sinkang mereka tersedot. Dan pada saat itu pula sinar pedang perak berkelebat, maka robohlah empat orang itu dengan mandi darahnya sendiri dan tewas seketika. Phoa-taijin telah melarikan diri melalui sebuah lorong. Akan tetapi tiba-tiba saja bayangan Thian Sin menyambar dan tahu-tahu pemuda ini sudah menangkap tengkuk si pembesar yang segera menjerit-jerit seperti seekor anjing tersiram air panas. “Ampun… ampun… taihiap…!” “Keparat jahanam! Engkau telah mengerahkan orang-orang untuk membunuhku, ya? Nah, ini aku Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Sekarang kau mau apa?!” “Ampuun… aku… aku hanya menjalankan tugas sebagai pejabat pemerintah. Aku harus membantu pemerintah… dan karena… ayahmu dulu pernah memberontak maka… aku… aku…” “Cacing busuk! Kalau begitu, mengapa bukan hanya aku saja yang hendak dibunuh, akan tetapi seluruh keluarga Ciu juga kau basmi? Engkau membalas sebab kami mengagalkan siasatmu ketika menyuruh orang-orang merampok barang-barangmu sendiri dari tangan Pouw-an Piauwkiok itu, ya? Hayo cepat katakan, siapa itu kawan-kawanmu yang berada di utara…” Wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, akan tetapi sinar matanya nampak penuh harapan pada waktu pembesar itu memandang kepada wajah Thian Sin kemudian kepada apa yang berada di belakang pemuda itu melalui atas pundak Thian Sin. Pemuda ini cukup waspada. Tatapan mata pembesar itu membuatnya cepat mencurahkan perhatian pendengarannya ke belakang maka tahulah dia bahwa ada dua atau tiga orang bergerak di belakangnya. Dia menanti sampai angin serangan mereka menyambar dekat dan tanpa menoleh dia menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam ke belakang. Tiga orang itu menjerit dan roboh mandi darah! Melihat ini, Phoa-taijin berlutut dan tubuhnya menggigil ketakutan. “Hayo jawab!” “Mereka… mereka itu… ah… para datuk kaum kang-ouw… telah bersekutu… eh, dengan mereka yang bergerak di utara… orang-orang bangsa Mancu…” “Siapa para datuk itu? Hayo jawab, cepat!” “See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui…” “Hemm, juga Tung-hai-sian?” “Tidak… tidak… belum, sedang dihubungi… dia yang keras kepala…” “Setan, mampuslah kau!” Thian Sin menggerakkan pedangnya beberapa kali. Terdengar tulang terbacok beberapa kali yang disusul jerit-jerit melengking dari pembesar itu dan pada waktu Thian Sin meninggalkannya dan meloncat pergi, yang tertinggal pada Phoa-taijin itu hanyalah sebuah tubuh tanpa kaki tanpa tangan telinga dan tanpa hidung. Tubuh yang menjadi amat pendek akibat kedua kakinya terputus sebatas paha dan kedua lengan terputus sebatas pundak itu bergerak-gerak aneh dan mandi darah. Sungguh merupakan pemandangan yang bukan main mengerikan. Matanya melotot dan mulutnya mengeluarkan suara aneh, seperti tangis setengah tawa. Menyeramkan sekali. Kini Thian Sin sudah dikepung lagi dan kembali dia mengamuk. Kiranya para pengawal di rumah pembesar Phoa itu sudah memanggil bala bantuan sehingga kini tidak kurang dari tiga puluh pasukan keamanan kota Su-couw telah mengeroyoknya. Namun Thian Sin tak mau melarikan diri, hal yang sebetulnya mudah baginya. Tidak, dia tidak akan lari, dia akan mengamuk sampai semua pengeroyoknya terbasmi habis! Tubuhnya telah lelah sekali, dan batinnya tertekan hebat karena kematian keluarga Ciu dan lenyapnya Lian Hong, akan tetapi kemarahannya membuat dia lupa akan segala itu, dan dia mengamuk seperti seekor harimau yang haus darah. Pakaiannya telah robek-robek terkena senjata sejak dia mengamuk di Lok-yang tadi, akan tetapi tidak dipedulikannya, karena tubuhnya yang dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang membuat senjata-senjata itu tidak melukai kulit dagingnya. Dan memang sepak terjang Thian Sin hebat bukan main. Walau pun pengeroyoknya kini merupakan orang-orang yang baru saja terjun ke dalam gelanggang pertempuran, masih segar badannya, namun sebentar saja sudah ada enam orang yang roboh mandi darah oleh sambaran pedangnya. “Inilah Ceng Thian Sin! Inilah dia putera Pangeran Ceng Han Houw! Hayo majulah kalian semua anjing-anjing keparat kalau ingin kuantar nyawa kalian ke neraka!” Thian Sin terus mengamuk sambil berteriak-teriak. “Sin-te…!” Sesosok bayangan berkelebat lantas sebuah tangan yang kuat menangkap pergelangan tangan kanan Thian Sin. Teriakan-teriakan Thian Sin tadilah yang sudah mendatangkan Han Tiong! Ketika Han Tiong mendusin dari tidur nyenyak dan tidak melihat Thian Sin, dia merasa terkejut dan juga terheran-heran sekali. Ke manakah adiknya itu yang belum juga pulang? Dia lalu keluar dan merasa semakin heran karena tak menemukan adiknya di luar rumah penginapan kecil itu. Di luar sunyi sekali karena malam telah larut. Dua ekor kuda mereka masih ada. Hatinya terasa tidak enak maka dia pun kembali ke dalam kamarnya, menyalakan lilin dan mengambil sampul surat yang tadi telah dibaca oleh Thian Sin. Meski pun dia tahu bahwa perbuatannya ini sungguh melanggar aturan, yaitu melihat isi surat yang ditujukan kepada ayahnya, akan tetapi karena khawatir dengan keadaan Thian Sin, maka dia memaksakan diri mengambil surat itu dan membacanya. Kedua tangannya gemetar ketika dia membaca tentang ikatan jodoh antara dia dan Lian Hong. Hatinya gembira dan girang sekali, akan tetapi juga berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat kepada Thian Sin. Maka mengertilah dia sekarang mengapa Thian Sin kelihatan gelisah. Akan tetapi, ke manakah perginya adiknya itu? Kudanya masih ada dan pakaian adiknya juga masih terbungkus dan berada di atas meja. Mendadak dia merasa khawatir sekali, membayangkan betapa dalam kekecewaannya itu Thian Sin kembali ke Lok-yang untuk memprotes ikatan jodoh itu! Siapa tahu! Thian Sin memiliki watak aneh dan keras. Dugaan ini makin kuat ketika dia menanti-nanti namun adiknya belum juga pulang. Maka dia pun mengambil keputusan nekad untuk pergi menyusul adiknya. Dia lantas membawa buntalan-buntalan pakaian, kemudian menitipkan dua ekor kuda itu pada penjaga rumah penginapan dan dengan cepat dia lalu mengerahkan ilmu berlari cepat, menyusul adiknya yang disangkanya tentu pergi ke Lok-yang itu. Tidak pernah disangkanya sama sekali betapa waktu itu, ketika dia sedang berlari cepat sekali menuju ke kota Lok-yang dan baru sampai di pertengahan jalan, adiknya itu sedang mengamuk mati-matian di luar rumah keluarga Ciu yang terbakar! Namun ketika akhirnya Han Tiong tiba di kota Lok-yang, dia hanya melihat nyala api berkobar itu dari arah rumah keluarga Ciu dan mendengar orang-orang yang terlihat panik di luar rumah-rumah mereka sambil bicara simpang siur tentang penyerbuan pasukan di rumah Ui-eng Piauwkiok! Dapat dibayangkan betapa cemas rasa hati Han Tiong mendengar itu, maka dia langsung mempercepat larinya ke arah rumah keluarga Ciu. Dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan hancur hatinya sesudah dia melihat puluhan mayat berserakan di antara puing-puing dan di luar rumah yang masih terbakar, dan di antara mayat-mayat itu dia melihat mayat Ciu Khai Sun, Kui Lan dan Kui Lin serta Ciu Bun Hong! Tentu saja Han Tiong langsung menubruk mayat-mayat itu dan dia bahkan menangis. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuhnya dipegang oleh beberapa buah tangan yang kuat dari belakang dan kanan kirinya. Han Tiong menoleh dan melihat bahwa yang menangkapnya adalah tangan-tangan dari tiga orang prajurit. Melihat bahwa pakaian para prajurit yang sudah menjadi mayat berserakan di tempat itu, maka tahulah dia bahwa mereka ini merupakan teman-teman dari orang-orang yang telah menyerbu, membakar rumah dan membunuh keluarga Ciu. Maka dia pun cepat meloncat dan sekali menggerakkan tubuhnya, tiga orang yang memegangnya itu lalu terpelanting. Mereka bangkit kembali dan mencabut senjata, bahkan kini banyak berdatangan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di tempat itu sehingga Han Tiong sudah terkepung. Akan tetapi pemuda ini tidak mengamuk seperti yang telah dilakukan oleh adiknya tadi, dia lalu menghindarkan semua serangan, mengelak, menangkis, kemudlan menangkap seorang di antara mereka dan melarikan diri ke tempat gelap. Para prajurit mengejar-ngejarnya, namun tak seorang di antara mereka mampu menyusul sehingga sebentar saja Han Tiong telah pergi jauh sambil membawa seorang yang sudah ditotoknya. Di sebuah tempat sunyi Han Tiong melepaskan orang itu dan membebaskan totokannya. “Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau engkau suka memberi tahukan apa yang telah terjadi.” Melihat sikap Han Tiong yang halus itu, si prajurit tidak takut lagi. Oleh karena itu dia pun segera menceritakan dengan singkat bahwa pasukan diutus oleh komandan mereka, atas laporan dari Phoa-taijin untuk menangkap pemberontak yang katanya keturunan Pangeran Ceng Han Houw, di rumah Ciu-piauwsu. Akan tetapi, para pembantu yang dikirim oleh Phoa-taijin dan rata-rata amat lihai itu, begitu datang lalu langsung saja membakar rumah dan menyerbu sehingga terjadi pertempuran hebat yang akhirnya mengakibatkan keluarga Ciu tewas semua. “Dan keturunan Pangeran Ceng Han Houw itu sendiri?” Han Tiong mendesak, jantungnya berdebar tegang karena dia seperti melihat bekas amukan adiknya. Siapa lagi yang dapat mengamuk seperti itu, membunuh puluhan prajurit, kalau bukan adiknya? “Pemuda itu luar biasa, menyeramkan sekali. Siapa yang dekat dengannya tentu mati!” “Di mana dia sekarang?” “Tidak tahu… tidak tahu, dia telah pergi menghilang begitu saja.” “Dan di mana pula Nona Ciu? Puteri dari keluarga Ciu yang tewas itu?” “Tidak tahu… hanya kabarnya berhasil lolos…” Han Tiong lantas menotok orang itu sampai pingsan dan dia pun lalu cepat melarikan diri menuju ke Su-couw. Dia menduga bahwa tentu adiknya itu pun sudah melakukan seperti yang dia perbuat tadi, yaitu memaksa seorang prajurit supaya menceritakan keadaannya dan sesudah mendengar bahwa semua penyerbuan itu gara-gara Phoa-taijin yang secara kebetulan mendengar bahwa Thian Sin adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu adiknya itu pergi ke Su-couw. Maka dia pun cepat menyusul ke sana dengan hati berat dirundung duka kalau dia membayangkan kembali mayat-mayat keluarga Ciu. Tak disangkanya akan terjadi hal seperti itu. Kalau saja dia mengundurkan kepergiannya satu hari saja, kalau saja dia masih berada di sana ketika terjadi penyerbuan, siapa tahu dia akan mampu mencegah terjadinya malapetaka hebat itu. Akan tetapi semua telah terjadi. Keluarga Ciu sudah tewas dan sekarang yang terpenting adalah mencari Thian Sin dan Lian Hong, dua orang yang dia harapkan mudah-mudahan masih dalam keadaan selamat. Ketika dia tiba di Su-couw, langsung dia mencari rumah gedung Phoa-taijin dan sungguh kebetulan sekali dia mendengar teriakan Thian Sin yang menantang-nantang. Cepat dia meloncat ke atas genteng dan melayang ke dalam. Melihat keadaan Thian Sin, di bawah sinar lampu yang cukup terang di pelataran itu, Han Tiong bergidik! Pakaian adiknya sudah robek-robek dan penuh dengan darah! Pedangnya juga berlepotan darah dan sinar mata adiknya itu seperti bukan manusia lagi! Maka, tanpa membuang waktu lagi, dia meloncat turun lantas menangkap pergelangan tangan kanan adiknya. “Sin-te, ingatlah…!” Dia berkata lagi. Thian Sin menoleh dan melihat kakaknya, dia merintih, kemudian roboh pingsan di dalam pelukan Han Tiong. Han Tiong cepat memondong tubuh adiknya, lalu menyambar pedang Gin-hwa-kiam dan membawa adiknya itu lari sambil memutar-mutarkan pedangnya untuk menangkis semua senjata yang menyambar ke arah mereka. Berkat ketangkasannya, Han Tiong berhasil cepat melarikan diri keluar dari Su-couw dan langsung dia melarikan diri ke dalam hutan di lereng gunung. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi orang yang mengejar mereka, dia segera menurunkan tubuh Thian Sin di bawah sebatang pohon besar. Dia memeriksa tubuh adiknya itu. Tidak ada luka, baik luka luar mau pun dalam. Adiknya pingsan karena lelah, karena tertekan batinnya. Maka dia pun lalu mendiamkannya saja, dan dia pun duduk bersila di dekat adiknya untuk mengatur pernapasan karena dia sendiri juga tertekan dengan kedukaan dan kekhawatiran. Baru saja terang tanah, Thian Sin mengerang dan tiba-tiba meloncat bangun. Ketika Han Tiong juga ikut meloncat berdiri, Thian Sin tiba-tiba menyerangnya dengan hebat, dengan pukulan-pukulan mematikan. Baiknya Han Tiong telah bersikap waspada, maka dia dapat mengelak dan menangkis beberapa kali sambil berseru, “Sin-te, sudah gilakah engkau sehingga tak mengenalku lagi? Kau lihatlah baik-baik, aku adalah Han Tiong!” Tiba-tiba saja Thian Sin menghentikan serangannya, memandang pada wajah Han Tiong, kemudian dia pun menjadi lemas, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis mengguguk seperti anak kecil! Han Tiong juga ikut berlutut sambil merangkul adiknya, diam-diam dia menyusut beberapa butir air matanya. “Adikku… ahhh, Sin-te… tenangkanlah hatimu. Aku tahu… aku sudah melihatnya… akan tetapi, kita harus dapat menenangkan hati kita, Sin-te.” “Tiong-ko… aduh, Tiong-ko… betapa aku tidak akan sedih? Semua itu adalah gara-gara aku! Keluarga Ciu binasa karena aku! Karena aku yang menjadi anak pangeran terkutuk itu!” “Sin-te! Jangan bicara yang bukan-bukan. Ceritakan, apa yang telah terjadi dan mengapa engkau berada di Lok-yang dan Su-couw?” Thian Sin menenangkan hatinya, kemudian duduk bersila sejenak. Han Tiong membiarkan adiknya, bahkan dia pun lalu duduk bersila. Akhirnya terdengar Thian Sin menarik napas panjang dan suaranya telah menjadi tenang kembali ketika dia bercerita. “Tiong-ko, maafkanlah aku, Tiong-ko. Aku… aku malam tadi telah membaca surat titipan Paman Ciu untuk ayah…” “Aku sudah tahu, adikku.” “Kau tahu? Dan kau diam saja…?” Han Tiong tersenyum duka. “Keinginan tahu dari seorang muda bukanlah kesalahan yang terlalu besar, lupakanlah saja, Sin-te.” “Lupakanlah? Ahh, Tiong-ko, engkau tidak tahu alangkah jahat adikmu ini. Aku membaca surat itu, isinya mengikatkan perjodohan antara engkau dan Hong-moi. Dan aku menjadi penasaran! Aku yang tak tahu diri ini! Aku penasaran dan aku kembali ke Lok-yang. Aku harus bicara dengan Hong-moi!” “Ahhh…!” Han Tiong terkejut sekali dan hatinya cemas. Apakah yang telah dilakukan oleh adiknya ini? Itulah yang dicemaskannya. “Aku berhasil memanggil Hong-moi keluar, kemudian kami bicara panjang lebar. Dan dia memang cinta kepadamu, Tiong-ko, dia memilih engkau karena… karena aku… hemmm, aku orang yang kejam dan jahat!” “Sin-te, jangan berkata demikian. Kau seperti merasa penasaran!” “Pada waktu itu memang aku penasaran! Dan selagi kami bicara, lantas terdengar suara ribut-ribut dan pasukan anjing jahanam itu sudah menyerbu. Mereka terus berteriak-teriak, katanya hendak menangkap aku, anak seorang pemberontak, tapi kenyataannya mereka membakar rumah dan menyerbu. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Melihat Paman Ciu sekeluarganya melawan, aku pun lalu mengamuk. Akan tetapi, eh… betapa hancur hatiku melihat mayat-mayat mereka berempat…” Dan pemuda itu segera memejamkan matanya dan mengerutkan alisnya, menahan gelombang duka yang menyerangnya. “Aku pun sudah melihat mereka, Sin-te. Dan… dan… Hong-moi, bagaimana dengan dia?” tanya Han Tiong, suaranya agak gemetar. “Tidak tahu, Tiong-ko… tidak tahu… dia lenyap begitu saja… aku tidak tahu ke mana dia pergi… ahhh, hal itu membuatku semakin sedih karena mala petaka yang menimpanya itu adalah karena aku. Aku harus mencarinya sampai dapat, Tiong-ko!” “Jangan, Sin-te. Urusan yang telah terjadi ini terlalu besar. Ingat, pasukan pemerintah ikut mencampuri dan setelah engkau membunuh sekian banyaknya prajurit, tentu pemerintah takkan tinggal diam saja. Tentang Hong-moi, ke mana engkau hendak mencarinya? Tidak ada jejak darinya…” “Kalau perlu, aku akan siksa semua prajurit yang ada di Lok-yang, dan memaksa mereka itu mengaku di mana adanya Hong-moi!” “Hemm, perbuatan itu bodoh, Sin-te. Kukira Hong-moi berhasil melarikan diri. Apa bila dia tertawan misalnya, tentu engkau atau aku juga sudah mendengarnya. Engkau tidak boleh sembarangan pergi mencarinya setelah apa yang terjadi malam tadi, Sin-te.” “Habis, apakah kita harus mendiamkan saja Hong-moi terancam bahaya hingga tidak kita ketahui bagaimana nasibnya? Begitu kejamkah engkau, Tiong-ko? Dan dia… dia adalah calon isterimu sendiri!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada berteriak penuh rasa penasaran. Han Tiong menarik napas panjang. “Sin-te, haruskah aku menunjukkan atau memamerkan rasa dukaku akibat kematian keluarga Ciu dan kegelisahanku akibat hilangnya Hong-moi? Kita harus bersikap tenang di dalam menghadapi segala hal, Sin-te. Saat ini, pemerintah tentu sudah mendengar tentang peristiwa itu dan mata-mata tentu sedang disebar untuk mencari kita. Menghadapi persoalan yang besar ini, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali melaporkannya kepada ayah dan minta pendapat ayah bagaimana selanjutnya kita harus bertindak. Kita tak boleh bertindak sembarangan. Ingat, kita menghadapi pemerintah yang tidak mungkin kita lawan begitu saja, Sin-te.” Akhirnya, biar pun dengan hati penuh rasa penasaran, Thian Sin mentaati kakaknya. Dia bukannya takut, tetapi merasa segan untuk membantah dan membikin susah atau marah kakaknya yang amat dikasihinya ini. Biar pun pilihan Lian Hong kepada kakaknya itu sedikit banyak mendatangkan rasa iri hati dan juga menghancurkan perasaannya yang telah jatuh cinta kepada dara itu, akan tetapi dia tidak dapat membenci kakaknya ini. Dia terlalu sayang dan terlampau kagum terhadap kakaknya sehingga tidak mungkin dia membencinya, bahkan sekarang pun dia tidak mau membantahnya terus karena tidak mau menyusahkan hati kakaknya yang dia tahu sangat sayang kepadanya itu. Maka, dengan cepat, setelah mengambil kuda mereka, dua orang muda ini pun melakukan perjalanan pulang ke Lembah Naga. *************** Dapat dibayangican betapa kaget rasa hati Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu, isterinya, ketika mereka berdua melihat dua orang putera mereka itu datang dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka sambil menangis! Han Tiong dan Thian Sin menangis! Tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa hebatnya maka dapat membuat dua orang muda yang tak pernah menangis ini sekarang mengguguk sambil berlutut di depan mereka, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Melihat keadaan dua orang muda itu, Bhe Bi Cu telah menjadi gelisah sekali. Dia berlutut pula di dekat Han Tiong dan mengguncang-guncang pundak putera kandungnya itu. “Apakah yang telah terjadi? Tiong-ji… ada apakah? Kenapa kalian menangis? Thian Sin, ceritakanlah, apa yang telah terjadi?” Melihat kegelisahan isterinya, Cia Sin Liong Si Pendekar dari Lembah Naga itu segera menyentuh pundaknya dengan halus, memberi isyarat dengan pandangan matanya agar isterinya itu tenang kembali. Bi Cu yang melihat pandang mata suaminya, menahan tangis dan duduk kembali sambil memandang dua orang muda itu dengan khawatir sekali. Kini Sin Liong yang berkata-kata dengan suara yang penuh wibawa. “Han Tiong! Thian Sin! Kalian ini pemuda-pemuda macam apa? Hanya dapat menangis seperti anak-anak kecil! Lupakah kalian bahwa nafsu kedukaan, seperti juga nafsu-nafsu lain, hanya akan melemahkan batin kita dan menghilangkan kewaspadaan? Tidak ada hal yang bagaimana pahit sekali pun yang akan dapat meruntuhkan ketenangan hati seorang pendekar! Hayo hentikan tangis kalian itu dan berceritalah dengan tenang!” Dua orang muda itu memejamkan kedua mata dan menahan napas, dan akhirnya mereka berdua dapat menenangkan hati mereka sehingga tidak terisak-isak lagi meski pun kedua mata mereka masih basah. Kemudian Han Tiong menceritakan perjalanan mereka dan semua yang pernah mereka alami, mulai dari pengalaman mereka di kota raja, lalu pertemuan mereka dengan putera Pak-san-kui yaitu Siangkoan Wi Hong, juga kunjungan mereka berdua ke Cin-ling-san lalu kunjungan ke Bwee-hoa-san, tempat kediaman Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng. Di bagian ini, Thian Sin membantu kakaknya, bahkan dia menceritakan kegembiraannya karena berjumpa dengan neneknya, ibu dari mendiang ibunya dan betapa neneknya itu telah memberikan Gin-hwa-kiam kepadanya, dan betapa mereka berdua sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari kakek dan nenek itu. Pendekar Lembah Naga dan isterinya tertarik sekali mendengarkan penuturan dua orang muda itu, apa lagi ketika mereka menceritakan tentang kunjungan mereka ke dalam pesta ulang tahun Tung-hai-sian di Ceng-tao bersama Cia Kong Liang, tentang peristiwa yang terjadi di dalam pesta ulang tahun yang dikunjungi oleh wakil-wakil para datuk itu. Kemudian dua orang pemuda itu menceritakan kunjungan mereka ke Lok-yang di mana mereka telah berjumpa dengan keluarga Ciu dan menyerahkan surat yang dititipkan oleh Pendekar Lembah Naga kepada mereka. Dan begitu menceritakan keadaan mereka di Lok-yang, sikap dan suara dua orang muda itu berubah dan kedukaan menyelimuti wajah mereka sehingga mudah bagi Sin Liong dan isterinya untuk menduga bahwa tentu terjadi sesuatu di Lok-yang. Membayangkan betapa terjadi sesuatu atas diri keluarga dua orang adiknya, adik seibu berlainan ayah, yaitu Kui Lan dan Kui Lin, berdebar juga rasa jantung pendekar itu dan kegelisahan mulai menyelimuti hatinya. Akhirnya cerita dua orang muda itu sampailah kepada peristiwa yang mengerikan itu, dan untuk ini, Thian Sin yang merasa betapa dialah yang bersalah dan menjadi biang keladi peristiwa itu, hanya menundukkan kepalanya dan membiarkan kakaknya yang bercerita. “Sungguh tidak pernah kami sangka bahwa peristiwa perampasan kembali barang-barang kawalan Paman Kui Beng Sin itu akhirnya mendatangkan akibat yang amat hebat, ayah.” Han Tiong melanjutkan ceritanya dengan suara agak gemetar. “Pada malam terakhir kami berada di kota Lok-yang, secara tiba-tiba saja pasukan pemerintah menyerbu, membakar rumah Paman Ciu dan menyerang secara membabi-buta! Kami berdua tentu saja segera membantu keluarga Ciu, mengadakan perlawanan, tetapi fihak musuh terlampau banyak, bahkan pasukan itu dibantu oleh orang-orang pandai yang ternyata adalah anak buah dari tiga datuk sesat See-thian-ong, Lam-sin, dan Pak-san-kui. Dan di dalam pertempuran itu, rumah keluarga Ciu terbakar habis dan Paman Ciu Khai Sun, kedua Bibi Kui Lan dan Kui Lin, juga Ciu Bun Hong… mereka berempat itu… ahhh, mereka semua tewas…!” “Ohhhhh…!” Bi Cu menjerit dan terbelalak, mukanya pucat sekali. “Hemmm…!” Cia Sin Liong memejamkan kedua matanya seakan-akan hendak menolak penglihatan yang nampak akibat cerita puteranya itu. Sejenak keadaan hening sekali dan dua orang muda itu pun menundukkan muka. “Tapi mengapa? Mengapa?” Akhirnya Sin Liong berkata. “Aku yang bersalah, ayah! Karena kesalahankulah maka hal itu terjadi! Karena aku putera pangeran pemberontak Ceng Han Houw maka hal itu terjadi! Mereka itu berteriak-teriak hendak menangkap putera pangeran pemberontak, akulah yang sudah berdosa. Keluarga Ciu tewas semua karena aku seorang! Aku anak keturunan pangeran terkutuk…!” “Thian Sin!” Cia Sin Liong membentak dengan kereng. Akan tetapi Thian Sin yang seperti merasa dikejar-kejar dosa itu seolah-olah tidak mendengar bentakan ayah angkatnya. “Aku telah berteriak bahwa aku di situ, supaya mereka jangan mengganggu keluarga Ciu. Aku telah mengamuk, aku juga telah membunuh puluhan orang prajurit, akan tetapi tidak mampu untuk menyelamatkan mereka. Ayah, ibu, aku telah membasmi mereka sebanyak mungkin, kemudian aku memaksa mereka mengaku dan ternyata yang menghasut adalah Phoa-taijin! Pembesar laknat itu ternyata telah mengatur sendiri untuk merampok barang-barangnya yang dikawal oleh Paman Kui Beng Sing supaya dapat mengumpulkan uang pengganti. Dia… dia bersekongkol dengan para datuk, dan mereka sedang berhubungan dengan orang-orang di utara, dengan bangsa Mancu yang katanya hendak memberontak. Aku telah menyiksa pembesar itu, memaksanya supaya dia mau mengaku, dan aku telah menghukumnya, membuntungi kaki tangannya, telinganya, hidungnya…” “Sin-te…!” Han Tiong berseru. “Biarlah, Tiong-ko, akulah yang berdosa, memang aku yang telah menyebabkan keluarga Ciu terbasmi. Akan tetapi kematian mereka telah diantarkan oleh kematian puluhan orang musuh, dan akan masih banyak lagi, lebih banyak lagi penjahat-penjahat yang pasti akan kubunuh untuk membalaskan kematian mereka! See-thian-ong, Lam-sin, Pak-san-kui dan semua penjahat di dunia ini akan kubasmi untuk membalaskan sakit hatiku ini!” “Thian Sin! Diam kau!” Tiba-tiba Sin Liong membentak, bentakan yang disertai dengan pengerahan tenaga khikang sehingga ruangan itu tergetar. Thian Sin sendiri yang langsung diserang itu melonjak dan kaget sekali. Dia memandang wajah ayah angkatnya, melihat sepasang mata yang laksana mata naga itu, dan dia pun sadarlah. Dia menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali sambil merintih minta maaf. Mereda kemarahan Sin Liong setelah melihat Thian Sin minta-minta maaf seperti itu dan terbayanglah wajah Pangeran Ceng Han Houw. Dia menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini, akan tetapi juga khawatir. “Sudahlah, engkau patut selalu ingat bahwa ketenangan batin seorang pendekar tak akan tergoyahkan oleh peristiwa apa pun juga. Bila mana engkau menuruti perasaan dan nafsu dendam kau biarkan menguasai batinmu, maka engkau pun akan menjadi sama jahatnya dengan mereka. Han Tiong, teruskan ceritamu.” Wajah pemuda ini agak pucat oleh sikap Thian Sin yang penuh emosi tadi. Dia tadi sudah berusaha untuk menyembunyikan segala perbuatan Thian Sin di Lok-yang, akan tetapi di dalam kedukaan dan kemarahannya, Thian Sin malah mengakui sendiri sehingga dia pun tidak akan banyak bicara lagi. “Ayah, melihat Sin-te sedang mengamuk di rumah pembesar di Su-couw itu, aku segera memaksanya pergi. Keluarga Ciu tewas semua, kecuali Adik Ciu Lian Hong yang lenyap entah ke mana. Mungkin sekali dia berhasil melarikan diri, karena jika dia tertawan, tentu kami telah mendengarnya. Sin-te hendak nekat mencarinya, akan tetapi karena peristiwa itu hebat sekali, dan membawa pasukan pemerintah yang banyak tewas di tangan Sin-te, maka aku memaksanya untuk pulang dan melaporkannya kepada ayah. Dan ini… ini… adalah surat yang sebelum peristiwa itu terjadi, pada pagi harinya, diberikan oleh Paman Ciu Khai Sun untuk disampaikan kepada ayah.” Han Tiong menyerahkan surat itu kepada ayahnya. Pada wajah yang gagah dari pendekar sakti yang telah mulai menua ini, tampak keharuan ketika dia membaca surat tulisan adik iparnya yang telah tewas! Tulisan seseorang yang sudah mati, berarti pesannya yang terakhir. Pesan untuk menjodohkan Lian Hong dengan Han Tiong! Jadi Han Tiong yang dipilih oleh keluarga itu, keluarga yang terbasmi habis, kecuali Lian Hong seorang. “Han Tiong… kau harus… harus mencari Lian Hong, calon isterimu itu sampai dapat. Dan sekarang juga!” akhirnya dia berkata. “Ah, dia baru saja datang!” bantah isterinya yang tidak rela melepaskan puteranya untuk pergi lagi pada hari dia kembali dari perantauannya selama hampir setahun itu. Suaminya menyerahkan surat itu kepada isterinya. Bhe Bi Cu membacanya dan dia pun merasa terharu sekali. “Bagaimana pun juga, jangan sekarang kau pergi, Tiong-ji, kau baru saja tiba dan belum beristirahat, juga belum menyediakan perlengkapan. Kini kau melakukan perjalanan yang tak tentu tujuannya, mencari tunanganmu yang belum kau ketahui jejak kepergiannya.” “Kau boleh bersiap-siap, Han Tiong. Akan tetapi demi ibumu, biarlah kau berada di rumah selama dua hari, namun besok lusa engkau harus berangkat mencarinya hingga dapat. Ini merupakan tugas suci bagimu.” “Baik, ayah.” Kemudian pendekar itu memandang Thian Sin lalu berkata, “Engkau perlu untuk berlatih lagi, Thian Sin. Ilmu silatmu sudah cukup, terlebih lagi engkau telah menerima petunjuk-petunjuk dari kakek dan nenekmu. Akan tetapi, apa bila menyaksikan sepak terjangmu di Lok-yang dan Su-couw, dan juga sikapmu tadi, engkau sungguh masih harus berlatih diri dengan keras untuk memperkuat batinmu. Ingat, Thian Sin, kelemahan batin merupakan suatu yang sangat gawat bagi seorang pendekar, karena hal itu kelak bisa mencelakakan dirimu sendiri. Nah, mulai sekarang juga engkau harus lebih banyak berlatih semedhi dan menguasai nafsu itu, bukannya diperbudak atau sewaktu-waktu engkau bisa dikuasainya sehingga melakukan perbuatan secara membuta, hanya menurutkan dorongan nafsu saja. Mengerti?” “Tapi… tapi, ayah… saya ingin sekali membantu Tiong-ko mencari Hong-moi…” “Tidak! Dengan kelemahan batinmu seperti sekarang ini, engkau bukannya membantu, bahkan mungkin saja menimbulkan kekacauan yang lain dan malah bisa menggagalkan tugas suci Han Tiong yang cukup berat. Engkau tinggal di rumah dan berlatih semedhi!” Thian Sin hanya mengangguk dan menundukkan mukanya, tak membantah lagi. Setelah mendengarkan penuturan Han Tiong lebih lanjut mengenai segala yang mereka tanyakan tentang perjalanan mereka berdua selama hampir setahun ini, kedua orang muda ini lalu mengundurkan diri untuk beristirahat. Akan tetapi pada keesokan harinya, ketika Han Tiong bangun pagi-pagi sekali, ternyata Thian Sin sudah tidak ada di dalam kamarnya dan jika melihat pembaringannya, memang pemuda itu agaknya tidak tidur sama sekali. Thian Sin telah pergi tanpa pamit! Agaknya kepergian itu dilakukan malam tadi sehingga setelah ketahuan kini, tentu sudah amat jauh karena sudah semalam melarikan diri. Cia Sin Liong menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Ahh, kukira akan dapat menundukkannya, apa lagi sesudah dia digembleng pula oleh Lie Seng Koko, siapa kira dia masih seperti seekor kuda binal yang sukar untuk ditundukkan. Melihat sikapnya kemarin… hemm, sungguh aku merasa khawatir sekali. Han Tiong, jika nanti engkau berangkat mencari tunanganmu, engkau juga perhatikan kalau-kalau dapat menemukan jejaknya dan kalau bisa, kau bujuklah dia agar mau pulang atau biarlah kau perbolehkan dia turut bersamamu dan membantumu. Kulihat hanya kepadamu sajalah dia itu dapat tunduk.” “Baik, ayah,” jawab Han Tiong yang diam-diam merasa prihatin sekali. Dia tahu bahwa hati adiknya itu hancur, bukan hanya akibat kematian keluarga Ciu, akan tetapi juga karena patah hati. Adiknya itu mencinta Lian Hong, lantas melihat kenyataan betapa Lian Hong dijodohkan dengan dia tentu saja hati Thian Sin menjadi sakit. Biarlah dia tidak perlu menceritakan hal itu kepada ayah bundanya, dan kelak, kalau Lian Hong sudah bisa ditemukan, baru dia akan bicara tentang hal ini kepada ayah bundanya. Bila perlu dia akan mengalah dan mundur, membiarkan Thian Sin berbahagia di samping Lian Hong. Tentu saja kalau gadis itu memang menghendakinya, yang penting sekarang adalah menemukan dara itu. TIGA hari kemudian, barulah Han Tiong berangkat, dibekali cukup uang berikut nasehat-nasehat dari ayah bundanya yang mengantar kepergiannya dengan tatapan mata prihatin. Dan karena Han Tiong sendiri tidak tahu di mana adanya Lian Hong atau pun ke mana perginya, maka satu-satunya jalan baginya hanyalah mengunjungi Lok-yang kembali, atau setidaknya dia akan mencari di sekitar daerah Propinsi Ho-nan. Memang tepat dugaan Han Tiong. Malam itu juga Thian Sin nekat minggat meninggalkan Lembah Naga karena patah hati! Dia merasa tak perlu lagi tinggal di Lembah Naga. Untuk apa? Lian Hong telah menjadi calon isteri kakaknya, dan malah dia tidak boleh membantu kakaknya mencari dara itu! Kalau dia tinggal di Lembah Naga, setiap hari dia hanya akan menyesali dirinya sendiri saja. Tidak, dia harus pergi! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu peninggalan dari ayahnya. Dia memang putera kandung Pangeran Ceng Han Houw yang dicap pemberontak. Dia memang anak orang jahat, dan sekarang dia telah menjadi pemberontak pula sesudah membunuh pasukan pemerintah. Biarlah dia hidup sendiri dengan segala kejelekannya. Dan dia akan membalas dendam kematian keluarga Ciu, juga dendamnya sendiri. Telah terlampau sering hatinya dibikin sakit oleh para penjahat dan betapa dia selama ini selalu menahan-nahan dendamnya. Telah beberapa kali dia harus merasa kecewa dalam hidupnya. Ayahnya dan ibunya dibunuh orang, dan karena teringat bahwa ayah bundanya dibunuh oleh pasukan pemerintah itulah maka malam itu dia mengamuk dan membunuhi para prajurit itu dengan penuh kebencian, jadi bukan semata-mata karena ingin membela keluarga Ciu. Berapa kali dia patah hati karena putus cinta. Pertama dengan Cu Ing yang dipisahkan darinya dengan paksa. Ke dua, dia kembali kehilangan Loa Hwi Leng yang terbunuh oleh orang-orang Jeng-hwa-pang. Ia merasa sakit hati dan mendendam kepada banyak orang! Kepada pasukan kerajaan yang membunuh orang tuanya serta membunuh keluarga Ciu, lalu kepada Raja Agahai, pamannya di utara yang ikut pula mencelakakan orang tuanya, kepada Jeng-hwa-pang, kepada See-thian-ong, kepada Lam-sin, Pak-san-kui dan masih banyak lagi, dan pendeknya, kepada semua penjahat di dunia ini! “Aku akan basmi mereka!” berkali-kali dia berkata ketika dia lari di malam hari itu, menuju ke selatan dan dengan cerdik dia mengambil jalan liar, bukan jalan umum karena dia tahu bahwa mungkin sekali kakaknya akan menyusul dan mencarinya. Dia harus pandai menyembunyikan diri dan tak boleh sampai berjumpa dengan kakaknya, karena dia tahu bahwa kalau sampai dia berhadapan muka dengan Han Tiong, maka dia tidak mungkin dapat membantah lagi kalau kakaknya itu mengajaknya pulang. Kali ini kepergiannya memang sudah direncanakan semenjak dia pulang dan menghadap ayah angkatnya bersama Han Tiong. Oleh karena itu dia tidak lupa membawa kitab-kitab peninggalan ayahnya. Selama ini dia belum sempat mempelajarinya sama sekali, karena ayah angkatnya melarangnya. “Ilmu milik mendiang ayah kandungmu itu memang hebat, Thian Sin, akan tetapi sayang, ilmu itu mengandung pengaruh yang sangat tidak baik. Sifat ayahmu banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmunya itulah.” Demikian ayah angkatnya berkata. Selama ini dia mentaati dan tidak pernah menyentuh kitab-kitab itu. Akan tetapi, kini dia membawa kitab-kitab itu dan dia harus mempelajarinya. Dia sudah pernah membalik-balik lembarannya dan dapat mengerti dengan mudah. Juga kunci-kunci rahasia kitab itu masih diingatnya dengan baik. Semua kitab tulisan ayah kandungnya itu memang mengandung rahasia-rahasia yang hanya dapat dipecahkan olehnya dengan menggunakan kunci-kunci rahasia yang pernah diajarkan ayahnya kepadanya. cerita silat online karya kho ping hoo Pertama-tama dia akan mencari Pak-san-kui. Datuk kaum sesat ini ialah ayah Siangkoan Wi Hong dan kini, tanpa adanya Han Tiong di sisinya, dia akan menghajar Siangkoan Wi Hong kemudian akan membunuhnya! Juga dia akan menantang Pak-san-kui yang sudah mengirim anak buahnya ikut mengeroyok dan membunuh keluarga Ciu Khai Sun. Dia telah banyak mendengar tentang Pak-san-kui, bahkan ayah angkatnya sudah banyak bercerita mengenai datuk kaum sesat dari daerah utara ini. Dia tahu bahwa Pak-san-kui tinggal di kota Tai-goan, di Propinsi Shan-si dan ke sanalah dia kini menuju. Pada saat itu, Ceng Thian Shin sudah berusia sembilan belas tahun. Wajahnya memang tampan sekali dan gerak-geriknya halus. Kalau dilihat sepintas lalu saja, dia lebih pantas menjadi seorang pemuda pelajar yang lemah. Siapa yang menyangka bahwa pemuda ini menyembunyikan ilmu silat yang amat hebat, banyak macam ilmu silat tinggi dikuasainya dan dia merupakan seorang pendekar sakti yang amat lihai. Pedang Gin-hwa-kiam pemberian neneknya disembunyikannya di balik jubahnya, dan dia lalu melakukan perjalanan cepat menyusup-nyusup hutan, naik bukit dan menuruni jurang, mengambil jalan liar agar tidak sampai dapat disusul oleh kakaknya. *************** Pak-san-kui adalah seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, hampir tujuh puluh tahun malah, dan dia memang diakui sebagai datuk oleh golongan hitam atau kaum sesat di deerah utara. Namanya adalah Siangkoan Tiang dan di kota Tai-goan di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar, dia lebih dikenal sebagai Siangkoan-wangwe (hartawan Siangkoan). Rumah gedungnya besar bagai istana, dikelilingi pagar tembok yang tebal seperti benteng dan di depan pintu gerbangnya selalu terdapat penjaga-penjaga yang berpakaian seragam kuning, pakaian ahli-ahli silat yang gagah. Pak-san-kui Siangkoan Tiang ini tidak seperti para datuk lainnya, tidak mempunyai perkumpulan yang dipimpinnya. Akan tetapi jangan dikira bahwa dia tidak mempunyai anak buah! Dia mempunyai tidak kurang dari lima puluh orang anak buah yang menjadi pesuruh-pesuruh atau para tukang pukulnya yang rata-rata mempunyai ilmu silat lumayan karena tentu saja sebagai seorang datuk, Pak-san-kui tidak sudi mempunyai anak buah yang lemah! Dan meski pun dia tidak mempunyai perkumpulan dan tidak membuka perguruan, namun dia mempunyai kurang lebih sepuluh orang anak buah yang dipilihnya dari semua anak buahnya, yang merupakan orang-orang berbakat, kemudian mengambil mereka sebagai muridnya. Sebagian besar dari anak-anak buah itu adalah bekas-bekas penjahat di daerah utara yang takluk kepada datuk ini. Murid-murid kepala yang paling diandalkan oleh Pak-san-kui adalah Pak-thian Sam-liong, tiga orang kakek berusia lima puluh tahun yang terkenal dengan ilmu gabungan mereka, yaitu Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga). Pakaian tiga orang murid kepala ini pun ringkas dan gagah, berwarna putih-putih dengan sabuk biru dan kemana pun mereka pergi, tiga orang ini selalu membawa pedang di punggung mereka. Di bawah murid kepala ini masih terdapat beberapa orang murid lagi yang cukup tangguh. Mereka semua inilah pelaksana-pelaksana yang mewakili Pak-san-kui apa bila berurusan dengan segala golongan di daerah utara. Pak-san-kui bukan hanya terkenal kaya raya, akan tetapi dia juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan para pembesar di kota-kota, sampai di kota raja! Pengaruhnya luas sekali dan dialah, atau setidaknya murid-muridnya yang dipercayalah, yang menjadi semacam jembatan bagi setiap orang yang memerlukan bantuan para pembesar itu. Melalui Pak-san-kui maka pembesar itu suka memberikan jasa-jasa baik terhadap para pedagang dan para hartawan yang membutuhkan bantuan pembesar-pembesar itu dengan imbalan yang cukup besar. Dan semua hubungan itu melalui Pak-san-kui! Tentu saja sebagai jembatan, Pak-san-kui memperoleh tanda terima kasih dari kedua fihak. Selain itu, juga Pak-san-kui telah menundukkan semua gerombolan penjahat sehingga dari mereka ini pun dia memperoleh banyak sumbangan sebagai tanda takluk. Bahkan semua rumah judi, rumah pelacuran, dan rumah pemadatan yang besar-besar, berada di bawah kekuasaan Pak-san-kui. Maka tidaklah mengherankan kalau pengaruhnya besar dan kekayaannya makin lama semakin besar juga. Seperti telah kita kenal, hartawan ini mempunyai seorang putera saja, yaitu Siangkoan Wi Hong yang tampan, halus dan pandai bermain musik, bersajak, akan tetapi juga lihai ilmu silatnya itu. Jarang ada orang yang sempat menyaksikan ilmu silat kakek hartawan ini, namun didesas-desuskan bahwa kepandaiannya bagaikan malaikat, dan huncwe panjang bergagang emas yang selalu dibawanya ke mana-mana itu merupakan senjata yang amat ampuh. Hartawan ini memang lebih patut menjadi hartawan dari pada ahli silat tinggi. Tubuhnya yang jangkung, wajahnya yang terpelihara baik-baik serta tampan, sikapnya yang ramah, pakaiannya yang mewah, semua itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang datuk yang sakti. Amat mudah bagi Thian Sin untuk dapat menemukan rumah gedung Pak-san-kui di kota Tai-goan itu. Setiap orang, siapa pun juga yang ditanyainya, tentu tahu di mana letaknya rumah gedung itu biar pun orang lebih mengenal Pak-san-kui sebagai Siangkoan-wangwe. Tadinya Thian Sin sendiri bingung melihat yang ditanya mengenai Pak-san-kui tidak tahu, tetapi ketika pemilik restoran di mana dia makan mendengar disebutnya Pak-san-kui, dia cepat berkata bahwa yang dicari pemuda itu tentulah Siangkoan-wangwe. Dan Thian Sin segera membenarkan karena dia lantas teringat bahwa nama putera Pak-san-kui adalah Siangkoan Wi Hong. “Ya, benar, Siangkoan-wangwe, di mana rumahnya?” Semua orang dengan cepat lalu memberi keterangan di mana adanya rumah gedung milik hartawan itu, dan di luar tahunya Thian Sin, pemilik restoran diam-diam sudah mengutus seorang pegawainya untuk memperingatkan kepada hartawan itu atau para anak buahnya bahwa ada seorang pemuda tampan asing yang mencarinya. Mudah diketahui bahwa pemuda yang mencari itu tentulah seorang asing yang datang dari jauh. Pertama karena logat bicaranya berbeda, ke dua, kalau pemuda itu orang daerah Tai-goan, tak mungkin tidak tahu di mana adanya rumah Siangkoan-wangwe! Karena adanya laporan inilah maka ketika Thian Sin berhadapan dengan para penjaga pintu gerbang rumah gedung yang berpakaian serba kuning itu dan mendengar bahwa dia minta bertemu dengan Siangkoan-wangwe, dia lalu dipersilakan memasuki pintu gerbang. Akan tetapi begitu dia masuk, daun pintu gerbang dari besi itu ditutup rapat dan dia telah dikurung oleh beberapa orang penjaga yang membawa tombak dan golok! Thian Sin bersikap tenang sekali. Setelah kini merantau seorang diri dan seorang diri pula menghadapi bahaya, dia bersikap tenang. Dia tahu bahwa dia telah berani memasuki goa macan, oleh karena itu dia tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia sudah memperoleh pelajaran pahit dan sekarang dia harus bersikap cerdik. Dia bukan seorang tolol yang nekat mencari mati dengen menantang Pak-san-kui begitu saja. Dia harus pandai bersiasat. Maka, dikepung oleh beberapa orang yang berpakaian kuning itu, dia tersenyum saja. “Hemm, beginikah caranya Pak-san-kui yang terkenal itu menyambut seorang tamu yang hendak bertemu dengannya? Menyambut dengan pengeroyokan bagaikan sikap seorang tukang pukul murahan saja?” katanya mengejek dan sengaja menaikkan nada suaranya, agar terdengar oleh orang-orang yang berada di dalam gedung besar itu! Dan pancingannya itu memang berhasil. Dari dalam gedung muncullah seorang pemuda tampan yang membawa yang-kim, dan bukan lain dia adalah Siangkoan Wi Hong. “Aha, ternyata si pemberontak berani muncul di sini!” kata Siangkoan Wi Hong dengan suara mengejek, akan tetapi dia tersenyum sambil memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata menunjukkan kekagumannya. Memang putera Pak-san-kui ini merasa amat kagum kepada Thian Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang pandai bersajak, penuh keberanian, dan memiliki ilmu kepandaian hebat. Dia sendiri harus mengakui bahwa dia tidak mampu menandingi putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini! Melihat munculnya putera Pak-san-kui itu, Thian Sin tersenyum pula dan membungkuk. “Nah, kalau puteranya yang keluar menyambut masih mendingan! Siangkoan-kongcu, kau jangan sembarangan berbicara tentang pemberontak, nanti engkau bisa mendapat marah dari ayahmu. Di dunia ini ada banyak macam pemberontak, tetapi yang paling berbahaya adalah pemberontak yang bersembunyi dan tidak melakukan pemberontakannya secara berterang!” Thian Sin teringat akan pengakuan Phoa-taijin, karena itulah dia berani menyindir dengan kata-kata itu. Dia merasa yakin bahwa datuk utara, ayah dari pemuda di hadapannya ini tentu bersekutu dengan orang-orang Mancu yang merencanakan pemberontakan. “Bocah sombong! Engkau telah berani memberontak dan mengacau di kota Lok-yang dan Su-couw, dan sekarang berani pula muncul di sini menjual lagak? Tangkap dia!” bentak Siangkoan-kongcu yang sudah meloncat maju. Beberapa orang penjaga segera mengurung pula, siap untuk menyerang Thian Sin yang sudah terkurung di tengah-tengah. Akan tetapi Thian Sin bersikap tenang dan masih tetap tersenyum, sama sekali tidak kelihatan gentar. “Aku tidak percaya bahwa Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui yang terkenal lihai itu kini hendak mengandalkan pengeroyokan anak buahnya yang tidak berarti untuk menyambut seorang tamu yang hendak bicara!” Ucapan ini membuat Siangkoan Wi Hong meragu. Kalau dia melanjutkan pengeroyokan, sungguh sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri di hadapan mata para anak buahnya! Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar suara tertawa dari dalam gedung dan tiba-tiba muncullah seorang kakek bertubuh jangkung yang memegang sebatang huncwe panjang. Biar pun selama hidupnya belum pernah berjumpa dengan Pak-san-kui, akan tetapi Thian Sin sudah memperoleh gambaran tentang datuk ini dari kakaknya yang pernah bertemu ketika masih kecil, maka begitu kakek itu muncul, dia sudah dapat menduganya dan cepat dia menjura dengan sikap hormat, menyembunyikan kebencian hatinya di balik senyuman ramah. “Siangkoan-locianpwe suka keluar sendiri, hal ini berarti suatu kehormatan besar bagiku!” katanya sambil memberi hormat. Kakek itu tertawa sambil matanya terbelalak kagum. “Inikah putera Pangeran Ceng Han Houw yang telah membikin geger dan telah membuntungi orang she Phoa itu? Ha-ha-ha, sungguh pantas menjadi putera pangeran yang pernah merebut gelar Jagoan Nomor Satu di dunia! Hei, Ceng Thian Sin, engkau sungguh menyenangkan sekali, tepat seperti yang telah diceritakan oleh puteraku. Mari, mari, kita ke lian-bu-thia sebab sebelum bicara lebih lanjut aku ingin sekali menguji kepandaianmu.” Thian Sin menyembunyikan kekhawatirannya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat yang berbahaya, dan sekali masuk, entah dia akan dapat keluar lagi atau tidak. Maka sambil tersenyum dia pun berkata, “Saya sama sekali tidak dapat percaya bahwa seorang datuk seperti Siangkoan-locianpwe akan sudi untuk menjebak dan mencelakai seorang pemuda tanpa nama seperti saya ini!” Kakek itu menghembuskan asap dari pipa tembakaunya dan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, berani dan lihai serta cerdik pula! Orang muda, apa kau kira kau akan mampu lolos dari jangkauan huncweku bila mana aku menghendaki nyawamu? Perlu apa aku mesti pakai menjebak seperti perbuatan seorang pengecut? Masuklah dan aku sendiri yang menjamin bahwa tak akan ada yang mengganggumu apa lagi menjebakmu. Kita adalah orang-orang segolongan, atau setidaknya, andai kata mendiang Pangeran Ceng Han Houw sekarang masih hidup, tentu dia merupakan seorang sahabatku yang paling baik.” Lega rasa hati Thian Sin. Ternyata siasatnya ketika dia bicara mengenai pemberontakan sambil menyinggung keadaan Pak-san-kui tadi berhasil. Kakek itu tidak akan memusuhi dirinya, bahkan melihat sikapnya agaknya,akan menariknya sebagai sekutu atau sahabat. Baik, dia akan melihat keadaan dan tidak akan terburu nafsu membalas dendam kematian keluarga Ciu. Sekarang dia tidak memiliki siapa pun juga, maka dia harus pandai menjaga diri sendiri dan berlaku cerdik. “Baiklah, locianpwe, aku percaya penuh kepada ucapan seorang besar seperti locianpwe.” Dan dengan sikap tenang dia pun melangkah masuk mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Siangkoan Wi Hong yang juga amat kagum kepada pemuda remaja ini. Lian-bu-thia itu luas sekali, dindingnya putih bersih dan dihias tulisan-tulisan yang bergaya gagah. Pada sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan senjata-senjata selengkapnya. Juga terdapat alat-alat untuk latihan silat, bahkan ada patok-patok bunga bwee untuk latihan kuda-kuda dan langkah-langkah silat, ada karung-karung terisi bubuk pasir dan bubuk besi untuk latihan mengeraskan tangan dan sebagainya. Hawa dalam ruangan lian-bu-thia (ruangan bermain silat) itu cukup segar sebab dikelilingi jendela beruji besi. Lantainya juga sangat bersih dan tidak licin. Pendek kata, lian-bu-thia yang terawat dan baik sekali. Ketika mereka memasuki lian-bu-thia itu terdapat tiga orang kakek setengah tua yang sedang latihan silat dan mereka ini ternyata adalah Pak-thian Sam-liong! Melihat guru dan juga majikan mereka masuk bersama Siangkoan-kongcu serta seorang pemuda, mereka segera memberi hormat dan mengenakan pakaian mereka yang tadi mereka buka dan mereka hanya memakai celana. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal Thian Sin, mereka terkejut sekali dan memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi dengan sikap gembira sekali, Pak-san-kui cepat melepaskan mantelnya yang terbuat dari bulu tebal dan dia menyerahkan huncwenya kepada salah seorang di antara Pak-thian Sam-liong yang segera mengisinya lagi dengan tembakau dari sebuah kantong tembakau yang diberikan oleh kakek itu kepadanya. Baju sutera hartawan itu kelihatan mewah sekali dan dia tersenyum memandang kepada Thian Sin. “Ceng-sicu, aku sudah mendengar bahwa sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw, engkau memiliki ilmu silat yang hebat sekali!” “Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan, locianpwe,” Thian Sin berkata merendah, sikap yang memperlihatkan kecerdikannya. Sebelum dia tahu sampai di mana kehebatan kepandaian musuh ini, dia harus bersikap hati-hati, pikirnya, apa lagi dia berada di dalam rumah datuk ini. “Hemm, sama sekali tidak dilebih-lebihkan kalau engkau sudah mampu mengalahkan tiga orang muridku dan juga puteraku. Bahkan kabarnya engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, sungguh luar biasa sekali. Semuda ini kabarnya telah memiliki Thi-khi I-beng, benarkah itu?” “Locianpwe terlalu memuji,” kata Thian Sin. “Ha-ha-ha, oleh karena itu, untuk membuktikan apakah benar semua berita yang kuterima itu, apakah benar engkau sedemikian lihainya ataukah hanya murid-muridku dan puteraku saja yang tolol, maka sungguh kebetulan sekali engkau datang. Sebelum kita bicara lebih lanjut, marilah kita main-main barang beberapa jurus dan harap engkau tidak perlu untuk mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu.” Setelah berkata begitu, kakek itu melangkah ke tengah ruangan lian-bu-thia, menggapaikan tangan ke arah muridnya yang tadi mengisi huncwe. Sang murid cepat mengantarkan huncwe gurunya, kemudian dengan penuh hormat lalu menyalakan geretan api dan membakar tembakau pada ujung huncwe sehingga tak lama kemudian nampak asap putih mengepul dan tercium bau tembakau yang harum. Pak-san-kui mengepulkan asap dari hidungnya, kemudian mengangguk kepada Thian Sin. “Ceng Thian Sin, kau majulah dan mari kita main-main!” Thian Sin segera melangkah maju dan tetap bersikap waspada. Memang dia ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaian orang tua ini, seorang di antara para datuk. Kalau dia sanggup menandinginya, maka dia tentu akan membunuh datuk ini untuk membalaskan kematian keluarga Ciu. Akan tetapi kalau datuk ini terlalu pandai dan terlalu lihai baginya, dia akan menggunakan akal. Sambil tersenyum dia lalu menjura dan berkata, “Aku yang muda hanya melayani kehendak locianpwe, silakan, locianpwe!” “Baik-baik, kau siaplah, orang muda!” Mendadak kakek ini melangkah maju, tangan kirinya menyambar sembarangan saja ke arah kepala Thian Sin. Biar pun tangan itu nampaknya hanya menyambar perlahan saja, akan tetapi ada angin sambaran yang amat kuat mendahului tangannya. Thian Sin menggeser kaki ke belakang untuk mengelak, akan tetapi sebelum dia sempat membalas serangan sembarangan itu, tahu-tahu tangan yang sudah dielakkannya hingga lewat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya, bahkan kini dua jari dari tangan itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat! Tentu saja dia terkejut bukan kepalang, karena lawannya itu tidak melangkah maju, akan tetapi bagaimana tangannya masih terus dapat mengejarnya? Pada saat dia menendang sambil meloncat cepat ke kiri untuk mengelak, kiranya lengan kiri kakek itu dapat diulur panjang sampai hampir dua kali panjang lengan biasa! Itulah ilmu yang sangat luar biasa dan amat berbahaya, pikirnya. Karena itu, sambil mengelak tadi dia pun sudah membalas dengan tamparannya, dengan mempergunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang! Dari tangannya sampai terdengar suara bersuit keras saking hebatnya pukulan itu. Memang Thian Sin yang maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan yang amat tangguh, sudah mempergunakan semua tenaganya dalam mengirim serangan balasan ini. Agaknya kakek ini sudah menduga akan tamparan ini. Maka dia pun sengaja menangkis dengan lengan kirinya yang sudah ditarik kembali, tentu saja sambil mengerahkan tenaga karena dia maklum bahwa pemuda ini hebat bukan main. “Dukkk…!” Keduanya tergetar dan terpaksa mundur selangkah. Kakek itu memandang kagum sekali. “Itukah Thian-te Sin-ciang? Bukan main hebatnya!” katanya memuji sambil tersenyum. Sudah lama dia mendengar akan ilmu ini dan hari ini dia benar-benar menghadapi ilmu itu yang dilakukan oleh seorang pemuda gemblengan. Akan tetapi Thian Sin mengira bahwa kakek itu memandang rendah kepadanya, maka dia pun lantas mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hebat, yaitu ilmu pusaka dari Cin-ling-pai. Menghadapi desakan serangan ilmu silat tinggi ini, apa lagi kalau pada setiap pukulannya mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun bergerak aneh, tubuhnya kadang-kadang berputar untuk mengelak dan lagi-lagi tangan kirinya yang dapat terulur panjang itu secara lemas membalas dengan serangan yang tak terduga-duga. “Ha-ha-ha... Inikah San-in Kun-hoat? Bagus sekali!” Thian Sin merasa penasaran. Ilmu silatnya telah dapat dikenal orang, maka dia pun lalu menggantinya dengan gerakan dari ilmu silat yang baru saja dipalajarinya dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun. Pukulan-pukulannya seperti angin cepatnya dan tubuhnya berputaran, menyerang lawan dari delapan penjuru. Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang cepatnya bukan kepalang. “Ehh, ehh, apa ini? Seperti gerakan Pat-kwa…” Kakek itu menebak-nebak heran. Akan tetapi harus diakui bahwa dia lihai sekali karena semua serangan Thian Sin mampu dielakkannya dengan tangkisan atau dengan putaran-putaran tubuh secara aneh, bahkan setiap pukulan selalu dibalasnya dengan kontan. Akan tetapi, Thian Sin juga selalu dapat menangkis semua pukulan itu dan dia tetap waspada karena sebegitu jauhnya, kakek itu belum pernah menggunakan huncwenya untuk menyerang. Padahal, seperti yang pernah dia dengar, huncwe itulah yang merupakan senjata maut kakek itu, maka kini perhatian Thian Sin selalu ditujukan ke arah huncwe itu. Dan dugaannya memang tepat sekali. Ketika kakek itu agak repot menghadapi Pat-hong Sin-kun, tiba-tiba saja setelah mengelak, huncwenya menyambar. Thian Sin cepat-cepat mengelak, akan tetapi pada saat huncwe itu lewat di atas kepalanya, tiba-tiba saja ada api menyambar ke arah mukanya. Api itu keluar dari tempat tembakau dan merupakan bunga api yang menyambar cepat sekali ke arah matanya! Tentu saja Thian Sin menjadi terkejut bukan main dan ketika dengan kecepatan kilat dia melempar tubuh ke belakang, tangan kiri kakek itu yang mulur panjang sudah menampar punggungnya! Tamparan yang dilakukan ketika dia mengelak dari sambaran api sehingga tubuh yang sedang dilempar ke belakang itu tidak mungkin mengelak lagi, bahkan untuk menangkis pun tidak sempat lagi, maka pemuda itu hanya dapat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi punggungnya. “Plakkk!” Thian Sin melompat untuk mengurangi tenaga tamparan itu, dan kakek itu pun berseru heran ketika tamparannya itu merasa betapa kulit punggung itu lemas dan lunak seperti karet. Tahulah dia bahwa punggung itu terlindung oleh tenaga sinkang yang amat kuatnya dan sama sekali tidak terluka oleh pukulannya tadi. Dia menjadi semakin kagum, tahulah dia bahwa Ilmu Thian-te Sin-ciang yang disohorkan oleh dunia kang-ouw itu ternyata tidak kosong belaka. Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang benar dia belum kalah, akan tetapi karena dia sudah terkena satu kali tamparan, maka berarti dia yang terdesak. Kini dia maju dan kembali menyerang dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Begitu dia mulai memainkan ilmu silat yang amat indah dan juga amat kuat ini, kakek itu pun sudah berseru kagum. “Wah, inilah Thai-kek Sin-kun! Bukan main!” Dan dia pun mencoba untuk membobolkan benteng pertahanan ilmu silat itu dengan serangan-serangan huncwenya, sambil mencoba untuk mengacaukan garis pertahanan lawan dengan lengan kirinya yang dapat mulur itu. Akan tetapi, pertahanan Thian Sin amat kuatnya sehingga ke mana pun juga huncwe dan tangan kiri itu menyerang, dia selalu sudah dapat menyambutnya dengan tangkisan kuat atau pun dengan elakan yang indah. Sepasang lengannya berani menangkis huncwe itu karena dilindungi tenaga Thian-te Sin-ciang. Beberapa kali kakek itu memuji. Biar pun dia sudah mengerahkan tenaganya, akan tetapi belum juga dia mampu merobohkan lawan. Memang, dia tidak sepenuhnya memainkan huncwenya, melainkan huncwenya itu lebih banyak hanya digunakan untuk menggertak saja dan dia menyerang dengan tangan kirinya. Hal ini adalah karena dia merasa malu kalau harus merobohkan lawan dengan huncwenya, padahal pemuda itu juga bertangan kosong. Memang hal ini juga yang dimaklumi oleh Thian Sin. Setiap kali kakek ini menggunakan huncwenya, dia memandang silau akibat hamburan api yang muncrat ke sana-sini, dan gerakan huncwe itu memang aneh bukan main, bahkan apa bila kakek itu mau, agaknya pertahanan Thai-kek Sin-kun juga tak mampu mempertahankan dirinya. Akan tetapi kakek itu selalu menahan huncwenya dan melanjutkan dengan serangan tangan kiri yang cukup aneh dan ampuh itu. Sesudah lewat lima puluh jurus, kakek itu kini menggerakkan huncwenya dengan aneh. Huncwe itu diputar-putar, menjadi gulungan sinar api yang menyilaukan mata. Terpaksa Thian Sin mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi huncwe ini, namun kembali dia kecurian! Lengan kiri kakek itu memanjang dan menghantamnya dari belakang, kini bukan ditujukan ke punggung, melainkan ke tengkuknya! Tentu saja hal ini sangat berbahaya, maka pada saat terakhir, Thian Sin sudah mengerahkan Thi-khi I-beng. “Plakkk!” “Aughhhh…!” Kakek itu mengeluarkan teriakan kaget, kemudian disambungnya, “Wah, ini Thi-khi I-beng, ya?” Dan huncwenya menyambar, lalu ada rasa panas pada tengkuk Thian Sin sehingga sesaat tenaga Thi-khi I-beng membuyar dan kakek itu pun sudah berhasil menarik kembali tangan kirinya! Ternyata kakek itu mampu memunahkan Thi-khi I-beng dengan bantuan api huncwenya! “Ha-ha, hebat sekali kau, Ceng Thian Sin! Semuda ini sudah banyak ilmunya yang hebat-hebat! Tapi jangan harap kau akan dapat menangkan aku, orang muda. Lekas keluarkan pedangmu di balik jubah itu, dan mari hadapi huncweku dengan senjata!” Kembali Thian Sin terkejut. Bukan saja kakek ini dapat memunahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi juga tahu akan pedangnya dan menantangnya menggunakan pedang. Apa artinya dia menggunakan pedang kalau Thian-te Sin-ciang, Thi-khi I-beng dan Thai-kek Sin-kun saja tidak sanggup mengalahkan kakek ini? Dan kakek itu agaknya belum mengeluarkan ilmu huncwenya yang sungguh-sungguh! Mengertilah Thian Sin bahwa dia memang masih kalah oleh kakek ini, maka dia menekan rasa penasaran di dalam hatinya lantas dia berkata dengan suara ramah dan merendah, “Saya datang bukan dengan maksud hendak memusuhi locianpwe, mengapa saya harus mempergunakan pedang?” Kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kata-katamu memang enak didengar. Akan tetapi aku sudah mendengar betapa ganasnya engkau menggunakan pedangmu ketika engkau mengamuk di kota Lok-yang dan Su-couw. Nah, orang muda, engkau berpedang dan aku memegang huncwe, kita lihat siapa lebih unggul!” “Ayah, agaknya dia takut kalau-kalau pedangnya akan melukai dirinya sendiri, ha-ha-ha!” Siangkoan Wi Hong tertawa, sengaja membakar hati Thian Sin. Thian Sin sudah siap dengan siasatnya dan menekan semua kemarahan serta kebencian, akan tetapi ternyata dia masih belum kuat. Maka mendengar ejekan ini, tangan kanannya bergerak dan nampaklah sinar perak ketika Gin-hwa-kiam tercabut. Melihat pedang yang tipis dan pendek ini, Pak-san-kui tertawa. “Ha-ha-ha-ha, ternyata pedang seorang wanita! Ehh, Ceng Thian Sin, apakah pedang itu pedang tanda mata dari seorang kekasihmu?” “Harap locianpwe jangan menghina!” Thian Sin berteriak, menahan diri agar tidak memaki kakek itu. “Ini adalah pedang pemberian nenekku! Nah, sambutlah!” Dia pun segera menggerakkan pedang itu dan karena dia tidak mempelajari ilmu pedang khusus, maka dia pun lalu memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kalau dimainkan dengan pedang bisa menjadi Thai-kek Sin-kiam. Gerakannya cukup hebat sehingga begitu pedang diputar nampak gulungan sinar perak. “Hemm!” Kakek itu mendengus dan nampak kecewa, lalu menggerakkan huncwenya dan begitu huncwe bergerak, maka terkejutlah Thian Sin. Sudah diduganya tadi bahwa memang senjata huncwe ini adalah keistimewaan kakek itu, akan tetapi tidak pernah disangkanya huncwe itu demikian hebat. Baru belasan gebrakan saja dia sudah tidak mampu balas menyerang. Gerakan huncwe itu merupakan gulungan api! Dan selain cepat, juga amat aneh sehingga sukar diikuti. Ia mempertahankan diri dengan terus memutar pedang melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba saja, setelah lewat dua puluh jurus, terdengar suara keras sekali dan pedangnya terpental, hampir terlepas dari pegangan tangannya, kemudian huncwe itu tahu-tahu telah datang dekat sekali dengan mukanya, seperti hendak membakarnya, maka dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan baru dapat menghindarkan diri. Kakek itu tertawa. “Orang muda she Ceng, jangan kau terlampau pelit! Yang sejak tadi kau keluarkan adalah ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai. Kenapa engkau tak mengeluarkan ilmu peninggalan dari ayah kandungmu? Jangan dikira aku tidak tahu. Aku sudah mendengar bahwa Ceng Han Houw pernah merajai dunia persilatan karena dia memiliki ilmu silat jungkir balik yang amat lihai. Hayo, kau keluarkanlah ilmu itu dan kita bertanding sungguh-sungguh!” Thian Sin kaget bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa kakek ini tahu pula akan hal itu. “Sayang, aku baru saja pergi meninggalkan Lembah Naga dan belum sempat mempelajari ilmu-ilmu itu. Tunggulah setahun lagi, bila mana aku sudah melatih ilmu-ilmu itu, aku akan mencarimu dan kita bertanding lagi, locianpwe.” “Ha-ha-ha, siapa mau kau bohongi? Kalau engkau kudesak, tentu engkau terpaksa akan mengeluarkan ilmu simpanan itu untuk kulihat!” Sesudah berkata begitu, kembali huncwe maut itu bergerak dengan kecepatan kilat. Thian Sin lalu memutar pedang melindungi dirinya dan berusaha melawan sekuat tenaga. Akan tetapi dia hanya mampu bertahan sampai tiga puluh jurus saja dan tiba-tiba kembali terdengar suara keras. Sekarang huncwe atau gulungan sinar api itu berputar-putar hingga pedangnya seperti ‘terlibat’ dan ikut berputar, kemudian, tiba-tiba saja pedangnya terlepas dan huncwe itu menyambar. Dia mengelak untuk disambut tangan kiri dan dia cepat mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi punggungnya terasa panas dan Thi-khi I-beng itu membuyar, lalu dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi punggungnya yang dicengkeram oleh tangan kiri lawan. Akan tetapi, jari-jari tangan itu meremas dan memutar sedemikian rupa sehingga semua ototnya terkena remasan, kemudian tiba-tiba saja Thian Sin roboh dengan lemas. Kakek itu tertawa dan dengan marah Thian Sin berusaha untuk bangun, akan tetapi setiap kali dia menggerakkan tubuhnya, dia menahan rasa nyeri yang amat sangat di punggungnya dan roboh lagi. Punggungnya itu seakan-akan patah tulangnya. Dengan punggung seperti itu, maka tentu saja dia tak mampu lagi menggerakkan tangan kakinya karena setiap gerakan kaki tangan sudah tentu mengandalkan kekuatan dari punggung. “Ayah, kenapa orang ini tidak dibunuh saja?” Tiba-tiba Siangkoan Wi Hong berkata sambil meloncat maju dengan yang-kim yang berbahaya itu di tangannya. Thian Sin maklum bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah tidak berdaya menghindar dan nyawanya akan melayang. Akan tetapi dia kini rebah terlentang dengan sinar mata terbelalak penuh keberanian, seolah-olah dengan sinar matanya itu dia menantang maut! “Ha-ha-ha-ha, jangan dibunuh. Aku telah berjanji bahwa dia masuk ke sini dalam keadaan hidup, maka keluarnya dari sini pun dalam keadaan hidup. Akan tetapi hidup yang bagai mana? Ha-ha-ha, ingin aku melihat bagaimana wajah Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu itu bila dapat melihat puteranya yang tampan gagah berubah menjadi seorang manusia tapa daksa yang tidak berguna sama sekali.” Thian Sin merasa ngeri juga membayangkan ancaman ini. Tentu kakek itu akan membuat dirinya sebagai seorang manusia dengan cacad yang membuat dia selama hidupnya tidak berguna. Itu lebih hebat dari pada kalau dia dibunuh! Maka dia pun cepat menggunakan akal. “Pak-san-kui, kalau ayahku masih hidup, atau kalau aku sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayahku, aku yakin engkau tidak akan berani bersikap seperti ini!” Pak-san-kui memandang padanya kemudian mengangguk-angguk. “Mungkin sekali, akan tetapi sayang, ayahmu telah tidak ada lagi dan engkau ternyata hanya merupakan murid Cin-ling-pai yang amat baik, sama sekali tidak mewarisi kepandaian ayahmu. Dan engkau sudah membuat Phoa-taijin menjadi manusia yang hidup tidak mati pun tidak, maka aku pun hendak membikin engkau seperti dia.” “Orang macam Phoa-taijin itu tidak dibunuh pun masih untung! Apa gunanya orang seperti dia yang demikian ceroboh? Menggunakan perampok-perampok tolol untuk menjalankan siasat, kemudian membasmi keluarga Ciu. Tahukah locianpwe siapa Ciu Khai Sun? Dia tokoh besar Siauw-lim-pai dan apa artinya itu? Artinya bahwa gerakan sekutu locianpwe itu akan mendapat tentangan yang besar dan kuat. Jika Phoa-taijin cerdik, tentu dia akan mempergunakan orang-orang yang lebih lihai agar usaha merampok itu berhasil baik, dan juga tidak nanti membunuh orang Siauw-lim-pai! Locianpwe, aku adalah putera Pangeran Ceng Han Houw, karena itu aku telahmembunuh sebanyak mungkin pasukan pemerintah. Apa kenyataan ini masih belum cukup membuka mata bahwa aku adalah seorang sekutu locianpwe yang cukup baik, bahkan jauh lebih baik dari pada orang she Phoa yang tolol itu?” Kakek itu mendengarkan dengan alis berkerut, akan tetapi wajahnya mulai berubah dan sinar matanya berseri. “Dan andai kata benar omonganmu, dan aku menjadikan engkau sekutu, lalu apa gunanya engkau bagiku?” “Locianpwe, mendiang ayahku itu adalah seorang jagoan nomor satu di dunia. Locianpwe tentu sudah mendengar pula akan ilmu-ilmu yang dimilikinya, ilmu-ilmu hebat dan mukjijat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga), dan ilmu dengan berjungkir balik yang disebut Hok-te Sin-kun (Silat Sakti Balikkan Bumi).” Wajah kakek itu makin berseri dan dia pun mengangguk. “Hanya dongeng saja! Buktinya, putera tunggalnya pun tidak mampu memainkan kedua ilmu itu!” “Sudah kukatakan bahwa karena selama ini aku tinggal di Lembah Naga dan mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka aku tak sempat mempelajarinya. Akan tetapi kalau locianpwe berminat, bebaskanlah dulu aku kemudian kita dapat bicara.” “Ayah, hati-hati terhadap anak ini, dia pandai bicara pula,” kata Siangkoan Wi Hong. Akan tetapi kakek yang haus akan kepandaian silat yang hebat itu tak peduli, dan dia pun sudah menggerakkan tangan, menotok ke beberapa bagian punggung Thian Sin. Pemuda ini dapat bergerak kembali lalu bangkit berdiri dan menjura. “Locianpwe telah mengambil keputusan yang amat tepat dan akan menguntungkan kedua fihak.” “Ceng Thian Sin, hal ini jelas keuntungan bagi fihakmu, akan tetapi aku tidak melihat apa keuntungannya bagi ayah!” kata Siangkoan Wi Hong. “Siangkoan-toako, engkau tahu bahwa aku bukan seorang laki-laki yang suka berbohong. Aku tidak takut mati, tadi aku hanya menawarkan kerja sama yang baik dan akan dapat menguntungkan bagi kedua fihak. Aku mempunyai kitab-kitab ayahku itu dan kutawarkan kepada Siangkoan locianpwe.” “Di mana kitab-kitab itu?” tanya Pak-san-kui dengan girang. “Nanti dulu, locianpwe. Locianpwe tentu akan dapat mempelajari ilmu-ilmu ayahku itu, hal ini kutanggung dengan taruhan nyawa. Akan tetapi apakah imbalannya? Seorang gagah bukan memberi ilmu dengan cuma-cuma, namun tidak menerima ilmu secara cuma-cuma pula.” “Hemm, apa yang kau kehendaki? Aku sudah membebaskanmu!” “Ah, itu bukan imbalan namanya. Di antara kita tidak ada permusuhan, bahkan mengingat akan keadaanku yang tentu dianggap pemberontak oleh pemerintah, kita ini mempunyai persamaan, bukan? Biar pun locianpwe bekerja di dalam selimut dan aku di luar selimut.” “Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Nah, apa yang kau minta sebagai penukar semua ilmu-ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw?” “Locianpwe, di antara ilmu-ilmu locianpwe, yang amat menarik dan mengagumkan hatiku adalah ilmu huncwe dari locianpwe tadi. Maka, aku mau menukar kedua ilmu peninggalan ayahku dengan ilmu huncwe dari locianpwe.” “Ha-ha-ha, engkau memang cerdik bukan main! Selama hidupku belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmu huncweku ini, dan sekarang engkau ingin mempelajarinya. Ha-ha-ha, baiklah, kita tukar dua ilmu itu!” “Ayah…!” Siangkoan Wi Hong berseru kaget. Sebagai putera datuk itu, dia sendiri belum diberi pelajaran ilmu itu yang menurut ayahnya tidaklah mudah dan di samping harus memiliki bakat yang amat baik, juga membutuhkan waktu yang amat lama sekali dan selain itu harus menjadi ahli menghisap asap tembakau pula! Padahal Siangkoan Wi Hong tidak suka menghisap pipa tembakau, oleh karena itu selama ini dia belum pernah mempelajari ilmu simpanan ayahnya itu. “Aku sudah berjanji!” Ayahnya memotong. “Dan kita masing-masing mempelajari ilmu-ilmu itu selama enam bulan. Setujukah engkau, Ceng Thian Sin?” “Baik, locianpwe. Enam bulan sudah cukup bagiku!” Pemuda itu kemudian menanggalkan jubahnya, tidak melihat betapa Siangkoan Wi Hong tersenyum-senyum karena pemuda ini sudah dapat menangkap siasat ayahnya. Menurut ayahnya, untuk dapat mempelajari ilmu huncwe itu secara sempurna, orang yang berbakat baik sekali pun membutuhkan waktu paling sedikit tiga tahun! Dan kini ayahnya berjanji akan mengajarkan ilmu itu selama setengah tahun saja. Mana mungkin Thian Sin akan dapat menguasainya dalam waktu setengah tahun? Sebaliknya, ayahnya adalah seorang yang bakatnya luar biasa sekali dalam hal ilmu silat. Ilmu silat apa pun, sesudah dilatihnya dua tiga kali saja tentu sudah dapat ditangkap inti sarinya dan dapat dikuasainya! Sekali ini Thian Sin kena batunya dan berjumpa dengan seorang datuk yang selain lihai juga amat cerdik. Akan tetapi, ayah dan anak ini sama sekali tidak menduga bahwa Thian Sin mempunyai kecerdikan yang akan mengejutkan mereka. Walau pun selama ini, sejak kecilnya, Thian Sin dididik oleh orang-orang yang mengutamakan kebajikan dan menjauhi kepalsuan dan kejahatan, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jika dia menghendaki, maka dia mampu menciptakan siasat dan muslihat yang amat cerdik. Dia menerima janji enam bulan itu dengan hati gembira, karena dia merasa yakin bahwa kitab-kitab peninggalan ayahnya itu tidak akan dapat dipelajari oleh siapa pun kecuali oleh dia yang tahu akan kuncinya. Bahkan, makin lama dipelajari orang begitu saja, orang itu akan tersesat semakin jauh. Sedangkan bagi dia, sama sekali dia tak ingin belajar mainkan huncwe itu, melainkan dia ingin mengenal inti gerakannya, mengenal kekuatannya dan juga bagian-bagiannya yang lemah sehingga dia akan lebih mampu menghadapinya kelak! Thian Sin kini merobek pinggiran jubahnya, dan ternyata dua buah kitab tipis digulungnya lantas disembunyikannya di dalam atau di balik jahitan jubah itu, di antara dua kain jubah yang dirangkapkan. “Nah, inilah kitab-kitab peninggalan ayahku, locianpwe. Mulai hari ini juga locianpwe boleh mempelajarinya bersama aku, sebab aku sendiri juga belum sempat mempelajarinya, dan di samping itu harap locianpwe mulai memberi petunjuk kepadaku mengenai ilmu huncwe itu.” Sambil membuka-buka dua buah kitab penuh tulisan tangan disertai lukisan tangan dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang cukup jelas itu, wajah Pak-san-kui berseri-seri kemudian mengangguk-angguk. “Tentu saja, anak yang baik, aku akan mengajarkan ilmu huncwe kepadamu.” Dia merasa gembira sekali karena sedikit keraguannya bahwa kitab itu palsu lenyap oleh pernyataan Thian Sin yang hendak mempelajarinya juga bersamanya. Agaknya pemuda yang gagah perkasa ini teramat jujur, suatu sifat yang amat buruk dan lemah dari kaum pendekar, jauh berbeda dengan mereka dari golongan hitam yang selalu mengutamakan kecerdikan! Demikianlah, mulai hari itu, Thian Sin diterima di dalam gedung besar indah itu sebagai seorang tamu. Bahkan Siangkoan Wi Hong yang tadinya menaruh curiga, setelah melihat betapa penukaran ilmu itu sungguh sama sekali tak merugikan ayahnya bahkan memberi keuntungan, sekarang kembali tertarik lagi kepada Thian Sin dan menganggap pemuda itu sebagai seorang sahabat baik. Malah dia sering mengajak Thian Sin berlatih untuk memperdalam ilmu silatnya, karena dia tahu bahwa pemuda itu memang pandai bukan main. Ayahnya sendiri dengan terus terang mengatakan bahwa andai kata ayahnya tidak memiliki ilmu huncwe yang lihai itu, kiranya akan sukar untuk mengalahkan pemuda ini! Setiap hari Pak-san-kui dan Thian Sin mempelajari ilmu-ilmu dari kitab peninggalan Ceng Han Houw. Mula-mula Ilmu Hok-liong Sin-ciang, ilmu ini adalah ilmu silat yang gerakannya aneh sekali, dan dengan lahapnya, Pak-san-kui menghafalkan jurus-jurus ilmu silat ini yang hanya terdiri dari delapan belas jurus saja, akan tetapi di dalam delapan belas jurus ini terkandung bermacam gerakan yang amat lihai kalau dipakai menyerang. Dalam ilmu Hok-liong Sin-ciang ini, yang dirahasiakan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya diketahui kuncinya oleh Thian Sin adalah bagian yang melindungi tubuh pada waktu menyerang. Memang serangan itu sama kuat dan lihainya, hanya bedanya, ilmu yang asli memiliki bagian yang melindungi tubuh sendiri di waktu menyerang, dan karena bagian bertahan ini dirahasiakan, maka yang dipelajari oleh Pak-san-kui hanyalah bagian untuk menyerang saja dan tanpa disadarinya, tentu saja selagi melakukan serangan ini maka akan ada bagian tubuh yang terbuka dan tidak terlindung. Saking girangnya melihat betapa hebatnya jurus serangan itu, Pak-san-kui tak menyadari bahwa dalam serangan itu mengandung kelemahan yang hebat pula! Hanya dalam waktu satu bulan saja dia sudah mampu menghafal delapan belas jurus itu dan merasa sudah sempurna, tinggal melatihnya saja. Juga Thian Sin memiliki bakat yang sama besarnya dengan Pak-san-kui, bahkan dia tidak kalah cerdiknya. Secara diam-diam dia menggunakan kunci latihan itu sehingga dia dapat melakukan gerakan yang lebih sempurna, karena mencakup segi perlindungan diri pula. Perbedaannya terletak pada letak kaki atau tangan di waktu menyerang. Sebagai contoh, pada jurus ke empat kaki kanan menerjang dari samping dengan menyilang. Pada waktu menendang ini, menurut kitab itu lengan kiri harus diangkat sebagai keseimbangan tubuh, padahal menurut kuncinya, yang diangkat adalah lengan kanan sehingga lengan kiri dapat diturunkan dan menjaga selangkangan yang terbuka dan pada detik tendangan dilakukan tentu saja terbuka dan tidak terlindung. Akan tetapi pada waktu dia melakukan latihan di depan Pak-san-kui, tentu saja Thian Sin tidak memperlihatkan hal ini. Dan kalau Pak-san-kui kelihatan sangat girang karena sudah menguasai semua jurus, Thian Sin sengaja memperlihatkan bahwa dia belum menguasai sepenuhnya dan di sinilah letak kecerdikan pemuda itu! Pada bulan ke dua, karena dia sendiri merasa sudah bisa menguasai Hok-liong Sin-ciang, Pak-san-kui lalu mengajak Thian Sin untuk mulai dengan pelajaran dari kitab ke dua, yaitu ilmu Hok-te Sin-kun! Ilmu ini jauh lebih rumit karena mengandung ilmu bersemedhi yang aneh, yaitu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Thian Sin menurut saja, biar pun dia sendiri belum dapat melatih ilmu Hok-liong Sin-ciang dengan baik. Maka, pada bulan ke dua, mulailah mereka berdua melatih diri dengan siulian menurut kitab pelajaran Hok-te Sin-kun, yaitu jungkir balik. Dan sementara itu, hampir setiap hari Pak-san-kui mengajarkan ilmu silat huncwe itu, karena memang maksudnya bukan ingin mempelajari bagaimana untuk dapat memainkan ilmu silat itu, melainkan hendak mencari kelemahan-kelemahannya. Kakek itu adalah seorang datuk, tentu saja dia pun tidak mau menyembunyikan ilmunya, bahkan dia bermain silat huncwe secepatnya sehingga akan sulitlah bagi Thian Sin untuk mempelajarinya. Dan pemuda ini memang dapat melihat alangkah hebat dan tangguhnya ilmu silat ini, di samping gerakan-gerakannya yang aneh. Akan tetapi dia pun mulai dapat melihat bahwa pada dasarnya, ilmu silat itu adalah ilmu silat pedang yang hebat. Huncwe yang panjangnya sampai tiga kaki itu digerakkan seperti pedang saja, jadi pada hakekatnya tidak berbeda dengan ilmu silat yang-kim yang dimainkan oleh Siangkoan Wi Hong. Ilmu silat yang-kim itu pada dasarnya juga ilmu pedang yang disesuaikan dengan yang-kim. Ilmu huncwe ini pun merupakan ilmu pedang yang disesuaikan dengan huncwe sehingga tusukan pedang menjadi totokan huncwe. Hanya hebatnya, masih ditambah lagi dengan penggunaan panasnya huncwe serta api yang keluar dari mulut huncwe, juga asap yang dapat dipergunakan untuk menyerang lawan. Kunci-kunci yang terdapat dalam ilmu Hok-te Sin-kun ini lebih hebat lagi. Memang kalau dilihat begitu saja, cara Thian Sin bersemedhi tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh Pak-san-kui dalam melakukan latihan menurut kitab itu. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang amat besar. Berjungkir-balik dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas, dengan punggung tegak lurus, merupakan kedudukan tubuh yang baik sekali untuk membantu gerakan perjalanan darah ke dalam otak dan juga untuk ‘menurunkan’ hawa murni dari bawah pusar ke otak melalui punggung. Akan tetapi, perjalanan darah ini harus berjalan dengan wajar, dibantu dengan pernapasan yang panjang dan tanpa paksaan sama sekali, dengan pikiran yang kosong dan membiarkan hawa yang panas dari pusar itu perlahan-lahan menjalar turun sampai ke ubun-ubun kepala. Akan tetapi, apa bila demikian adanya pelajaran yang sesungguhnya, yang kuncinya telah dipegang oleh Thian Sin, kalau menurut kitab yang menyesatkan itu, si pelatih diharuskan menekan tenaga dari tiantan itu turun dan menembus jalan darah secara paksa. Mula-mula Pak-san-kui memang merasa girang sekali karena setelah berlatih seperti itu, dia merasa betapa hawa sakti itu dapat digerakkannya jauh lebih mudah dari pada kalau dia bersemedhi sambil duduk bersila. Akan tetapi, setelah dia berlatih selama seminggu, dia merasa kepalanya agak pening dan sesudah berlatih, maka pandang matanya selalu berkunang-kunang. Sedangkan pada Thian Sin, tidak nampak tanda apa-apa. Akan tetapi dia menghibur diri dan menganggap bahwa ini adalah tanda bahwa latihannya berhasil! Lalu dia pun mulai berlatih dengan ilmu silat aneh Hok-te Sin-kun itu, yaitu bersilat dengan kepala di bawah, menggunakan kedua kaki sebagai penyerang utama dan kedua tangan sebagai penyerang pembantu. Dan karena memang kakek ini sudah memiliki dasar ilmu silat yang tinggi, maka gerakan-gerakan itu tidaklah sukar baginya. Sebaliknya, dengan diam-diam Thian Sin juga mempelajari ilmu silat ini menurut catatan yang sebetulnya, yaitu menurut petunjuk dalam kitab yang telah diubahnya menurut kunci yang sudah dipelajarinya sejak kecil sehingga dia mulai merasakan hasilnya. Tubuhnya menjadi semakin ringan, tenaga sinkang di tubuhnya terasa mengalir dengan cepat dan sangat kuat di seluruh tubuhnya, akan tetapi hal ini tidak dia nyatakan sehingga kakek itu sendiri pun tidak mengetahuinya. Sesudah lewat empat bulan, hampir lima bulan. Thian Sin sudah merasa yakin bahwa dia telah mempelajari dengan teliti dan melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu silat huncwe dari Pak-san-kui. Sekarang dia menganggap bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk memperlihatkan diri dengan sesungguhnya dan mengalahkan kakek itu! Dia sudah tinggal cukup lama di situ dan sudah mendapat tambahan ilmu dengan mempelajari ilmu huncwe yang walau pun tak dapat dikuasainya sepenuhnya akan tetapi telah dipelajarinya gerak-geraknya dan kelemahan-kelemahannya itu. Di samping itu, dia pun telah mempelajari dua ilmu peninggalan ayahnya, biar pun belum sempurna benar, akan tetapi jelas jauh lebih baik dibandingkan Pak-san-kui sendiri yang memperoleh ilmu-ilmu itu dengan cara yang terbalik bahkan tersesat! Dan dia akan memperlihatkan kemenangan atau keunggulannya itu kepada Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong! Maka dia memilih saat ketika putera beserta murid-murid kepala Pak-san-kui itu pada suatu sore menonton latihan-latihan mereka dan memang dia sudah mempersiapkan segala-galanya. Pada saat itu Pak-san-kui sedang bercakap-cakap dengan murid-murid kepalanya setelah menerima laporan tentang segala tugas yang sudah dilakukan oleh murid kepala ini yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Kemudian Pak-san-kui memandang kepadanya dan berkata, “Thian Sin, mari kita berlatih. Diam-diam telah hampir lima bulan engkau di sini dan mari kau perilhatkan apa yang sudah kau peroleh selama ini!” Kakek itu tertawa dan melirik ke arah puteranya. Diam-diam Thian Sin tergetar. Dalam lirikan itu dia seperti melihat sesuatu dan tentu ada apa-apanya di balik ajakan berlatih ini! Apakah di dalam hati kakek itu juga mengandung keinginan yang sama dengan keinginannya sendiri, yaitu hendak menjatuhkannya dalam latihan itu? “Baik, locianpwe!” katanya dan dia mengangkat tempat air minumnya, kemudian minum beberapa teguk air jernih itu, baru dia meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia itu. Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong lalu mengatur tempat duduk, menyingkirkan meja di pinggir dan mereka sendiri lalu duduk menonton karena mereka pun ingin sekali mellhat apa yang selama ini dilatih oleh pemuda itu dan Pak-san-kui. “Mari kita lebih dahulu berlatih ilmu Hok-liong Sin-ciang!” kata kakek itu dengan gembira sambil menyelipkan huncwenya di ikat pinggangnya. Meski pun tembakau di huncwenya masih belum padam, akan tetapi karena tidak dihisap maka asapnya hanya tersisa sedikit saja. Dia telah siap dengan kuda-kuda dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang menurut petunjuk di dalam kitab, wajahnya gembira sekali karena dia yakin bahwa dalam ilmu silat baru ini dia tentu mampu mengalahkan Thian Sin yang dia lihat gerakannya belum sempurna benar, masih kaku. Ia pun tahu bahwa perhatian pemuda itu terhadap Hok-liong Sin-ciang harus dibagi untuk mempelajari ilmu huncwe namun belum ada sepersepuluhnya dipelajari oleh pemuda itu, bahkan boleh dibilang selama ini pemuda itu belum mempelajari apa-apa kecuali hanya menonton saja dia bermain silat dengan huncwenya. Dan dia tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat dikatakan licik karena dia telah mainkan semua jurus simpanannya yang ada dengan huncwenya, tentu saja terlalu cepat sehingga tak mungkin dapat ditangkap semua oleh pemuda itu! Thian Sin hanya mengangguk dan dia pun cepat menyerang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang yang sudah dilatihnya bersama dengan kakek itu. Pak-san-kui mengelak lantas membalas serangan itu dengan gerakan yang sama anehnya, bahkan dari dua tangannya keluar hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan saking kerasnya. Namun, Thian Sin dapat menangkis dan balas menyerang. Mereka saling serang dengan jurus-jurus Hok-liong Sin-ciang itu, dan keduanya ternyata sama tangguhnya. Akan tetapi, Thian Sin segera dapat melihat lowongan-lowongan pada setiap kali kakek itu menyerang. Ia melihat betapa kedudukan kaki atau tangan kakek itu terbalik, maka saat ia melihat kakek itu menggunakan jurus ke sebelas untuk menyerang kepalanya, dengan pukulan tangan kiri dari samping dibarengi pukulan tangan kanan dari atas, padahal seharusnya dari bawah, dia segera melihat lowongan dan sambil mengelak, kakinya menyambar ke arah lambung yang ‘terbuka’. “Plakk! Plakk!” “Aihhhhh…!” Pak-san-kui terhuyung ke belakang, dan biar pun dia tadi dalam gugupnya masih mampu menangkis, tetapi kedudukannya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang. Wajah kakek itu menjadi merah karena jelas nampak oleh siapa pun juga bahwa dalam hal ilmu baru itu dia kalah oleh pemuda ini! “Hyaaaaattt…!” Tiba-tiba dia sudah berjungkir balik dan mainkan ilmu kedua, yaitu Hok-te Sin-kun. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Thian Sin juga menggerakkan tubuhnya berjungkir balik dan mainkan Hok-te Sin-kun. Kini terjadilah pertandingan yang membuat Siangkoan Wi Hong dan tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong menjadi bengong dan terheran-heran bercampur kagum. Dua orang itu telah saling serang mempergunakan sepasang kaki yang dibantu sepasang tangan. Sambaran kaki mereka itu mendatangkan angin yang sangat dahsyat! Itu adalah ilmu yang amat hebat. Mereka semua tidak tahu betapa wajah kakek itu menjadi pucat, sedangkan wajah Thian Sin merah dan nampak berseri-seri, sepasang matanya nampak mencorong. Ini tandanya bahwa tenaga yang digunakan oleh Pak-san-kui adalah tenaga yang terbalik dan salah! Setelah saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba kedua kaki mereka beradu. “Desss…!” Dan akibatnya tubuh Pak-san-kui terdorong dan tentu dia sudah jatuh terbanting kalau dia tidak cepat meloncat bangun. Mukanya pucat sekali dan dia menyeringai karena merasa betapa kepalanya berdenyut pening. Itulah akibatnya karena dia terlalu banyak memakai tenaga terbalik yang akhirnya memukul dirinya sendiri itu! Sebagai seorang ahil silat kelas tinggi, seketika maklumlah kakek ini bahwa selama ini dia tertipu! Bila tidak tertipu, tidak mungkin dalam kedua ilmu itu dia kalah oleh Thian Sin! Pula, pertemuan kaki tadi memberi tahu padanya bahwa dia sudah salah menggunakan tenaga, padahal semua itu menurut petunjuk kitab. Tahulah dia bahwa dia sudah tertipu, maka dengan marah dia lantas berkata, “Thian Sin, sekarang ini mari kita lihat kemajuanmu mempelajari ilmu huncwe!” Sesudah berkata demikian, dia sudah maju menyerang dengan huncwenya!...


Oo
PENDEKAR SADIS JILID 17 :
Thian Sin terkejut sekali, maklum bahwa agaknya kakek ini sudah curiga, buktinya begitu menyerang terus saja menggunakan jurus-jurus maut yang terampuh dari huncwenya! Dia cepat mengelak ke sana-sini, dan karena dia telah memperhatikan dengan teliti ketika dia mempelajari ilmu ini, dia mengenal setiap gerakan dan tahu akan inti kekuatan huncwe itu. Dia segera membalas dengan serangan-serangan Thian-te Sin-ciang karena hanya ilmu inilah yang membuat tubuhnya kebal dan tamparannya cukup kuat untuk membuyarkan serangan huncwe. Agaknya kakek itu juga maklum akan hal ini sehingga tak lagi merasa heran mengapa pemuda itu kini memainkan ilmu silat itu, dan tahulah dia bahwa memang saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh pemuda itu untuk melawannya mati-matian. Maka dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, sekali ini sudah mengambil keputusan untuk membunuh pemuda ini yang dianggap amat berbahaya baginya. “Cringgg…!” Tiba-tiba nampak sinar perak berkelebat dan Thian Sin telah menangkis huncwe itu. Kini, tiba-tiba huncwe itu diputar sedemikian rupa oleh Pak-san-kui hingga tampaklah gulungan sinar api! Ternyata kakek itu telah mempergunakan jurus-jurus yang paling ampuh, yaitu dengan bantuan api huncwenya yang tangguh, dan kini dari mulutnya bahkan menyambar asap hitam yang baunya amat keras! Thian Sin sudah maklum akan hal ini, dan dia sudah menanti-nanti, bahkan bersiap untuk menghadapi jurus ini. Mendadak dia mengeluarkan bentakan dengan suara aneh, lantas dari mulutnya itu menyambar air ke arah kepala huncwe. Itulah air yang tadi diminumnya sebelum dia mulai menghadapi Pak-san-kui! Air itulah yang sekarang digunakannya untuk menghadapi api huncwe lawan. Dia tahu, dan hal ini telah dipelajarinya selama berbulan-bulan, bahwa satu-satunya kelemahan huncwe itu adalah terhadap air! “Cessss…!” begitu kepala huncwe tersiram air, terdengar suara berdesis dan apinya tentu saja menjadi padam. Nampak asap hitam yang baunya keras bukan main. Pada saat itu pula Thian Sin sudah berjungkir balik, pedangnya dilemparkan dari bawah ke arah perut lawan, disusul kedua tangannya menotok ke arah kaki dan kakinya sendiri menyerang ke depan dengan sangat cepatnya! Itu pun merupakan serangan gabungan yang sudah dipelajari dan diperhitungkan selama berbulan-bulan ini. “Tringggg…!” Pedang itu tertangkis oleh huncwe dan Si Kakek meloncat menghindarkan totokan pada kakinya. Akan tetapi dia disambut oleh tendangan kaki. “Blukkk!” Dua kaki Thian Sin menendang dada dengan amat kerasnya dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan terbanting, dan dia pun roboh pingsan! Siangkoan Wi Hong beserta tiga orang kakek Pak-thian Sam-liong berteriak marah dan langsung menyerang dengan senjata mereka. Pemuda itu menggunakan yang-kim untuk menyerang dan dua orang kakek itu menggunakan pedang mereka. Sementara itu, Thian Sin yang mengerahkan tenaga pada waktu merobohkan kakek tadi, merasa tubuhnya tergetar hebat dan napasnya agak terengah. Perlawanan tenaga kakek itu sungguh amat hebat dan dia tahu bahwa kalau dia harus melayani empat orang itu, dia bisa celaka, apa lagi kalau para penjaga nanti datang mengeroyok. Maka dia segera menyambar pedangnya dan menangkis terus meloncat keluar. Gerakan Thian Sin amat cepat sehingga biar pun empat orang itu berteriak-teriak sambil mengejar, namun Thian Sin sudah dapat melarikan diri keluar rumah dan terus berlari dengan cepat. Sementara itu malam telah tiba sehingga kegelapan malam menolong pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Hatinya lega bukan main. Biar pun dia sangsi apakah dia berhasil membunuh kakek itu, namun setidaknya dia sudah merobohkannya dan dia yakin bahwa kalau dia sudah matangkan Hok-liong Sian-ciang dan Hok-te Sin-kun dengan sempurna, sesudah dia tahu akan kelemahan-kelemahan ilmu huncwe maut itu, maka dia tidak perlu takut lagi terhadap datuk utara itu! Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong tak melanjutkan pengejaran, karena mereka sendiri pun masih terlalu kaget akibat melihat betapa Pak-san-kui dapat dirobohkan pemuda itu dan hal ini cukup membuat mereka berhati-hati untuk mengejar pemuda selihai itu, yang menghilang di dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Mereka lalu kembali untuk cepat menolong Pak-san-kui. Kakek itu masih pingsan. Akan tetapi sesudah memeriksanya, hati Siangkoan Wi Hong agak tenang karena ayahnya tidak tewas, melainkan hanya pingsan sungguh pun terluka cukup parah, antara lain dua buah tulang iganya retak-retak! Sesudah siuman, tentu saja kakek itu langsung menyumpah-nyumpah dan berjanji akan mencari pemuda yang telah merobohkannya itu, yang dianggapnya amat curang. Tahulah kini kakek itu bahwa lawannya sungguh seorang pemuda yang selain lihai, juga sangat cerdik seperti setan sehingga ‘tukar menukar’ ilmu itu hanya suatu tipu muslihat saja. Dia memperoleh ilmu yang palsu, ada pun pemuda itu berhasil mencari kelemahan-kelemahan huncwenya sehingga dia dapat dirobohkan. Setelah pengalaman pahit itu, Pak-san-kui menyempurnakan ilmu huncwenya bahkan kini dia pun menggembleng puteranya dengan ilmu huncwe maut, juga dua ilmu dari Thian Sin itu mereka selidiki bersama, mereka cari bagian yang berguna dan oleh Pak-san-kui ilmu-ilmu itu dikembangkan dan dicampur dengan ciptaannya sendiri. *************** Setelah berhasil merobohkan Pak-san-kui, hati Thian Sin terasa agak terhibur juga. Bukan hanya karena dia merasa dapat mengungguli seorang di antara datuk-datuk sesat yang pada waktu itu sedang merajai dunia persilatan, akan tetapi terutama sekali karena sedikit banyak dia sudah dapat membalaskan kematian keluarga Ciu. Ia akan terus berusaha membasmi semua penjahat di dunia ini dengan mati-matian untuk membalaskan semua sakit hati yang bertumpuk dalam hatinya, akan tetapi sebelum dia memulai usaha itu, dia harus yakin lebih dahulu bahwa dia mampu mengalahkan semua penjahat, dan untuk mengukur hal itu, tak ada jalan lain kecuali mengukur kepandaiannya melawan empat datuk kaum sesat! Dan sekarang dia harus dapat mencari See-thian-ong! Dia harus sanggup mengalahkan See-thian-ong pula, sebelum dia mulai dengan usahanya membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi! *************** Siapakah See-thian-ong (Raja Wilayah Barat) itu? Dia adalah seorang kakek yang berusia kurang lebih lima puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkulit agak kehitaman. Dia memang gagah perkasa, kelihatan menyeramkan seperti tokoh Thio Hwi di dalam cerita sejarah Sam Kok dan wataknya juga sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar. Dia seorang yang kasar, apa bila bicara tanpa tedeng aling-aling, terbuka, jujur dan juga wataknya keras, akan tetapi kadang-kadang dia bisa juga bersikap lembut. Hal ini adalah karena dulunya dia seorang bekas pendeta Lama, yaitu pendeta budhis dari Tibet. Karena dia melakukan pelanggaran berat, dia dikeluarkan dari Tibet lantas dengan mengandalkan kepandaiannya, dia merantau ke timur dan terus memperdalam ilmu silatnya di sepanjang perjalanan, bahkan lalu berganti agama dan menganut Agama To yang menjurus ke arah ilmu gaib. Dia malah juga mempelajari ilmu sihir dari para pertapa di sepanjang perjalanan sehingga ketika akhirnya dia sampai di daerah Telaga Ching-hai, dia berkeliaran di sekitar telaga itu dan segera terkenal sebagai seorang yang amat ahli dalam ilmu silat mau pun dalam ilmu sihir. Satu demi satu jago silat dijatuhkannya dan akhirnya tak ada seorang pun ahli silat, baik dari golongan bersih mau pun kotor, yang dapat mengalahkannya dalam waktu satu tahun, selama dia berkellaran di daerah Telaga Ching-hai di Propinsi Ching-hai itu. Akhirnya namanya menjadi makin terkenal sehingga orang-orang menyebut dia sebagai See-thian-ong, nama julukan yang terus dipakainya dan setiap kali memperkenalkan diri, maka dia pun menggunakan nama itulah! Tidak ada seorang pun yang tahu siapa nama sebenarnya, dan dia hanya merupakan seorang kakek raksasa berpakaian seperti tosu yang amat lihai. Akhirnya, beberapa tahun belakangan ini See-thian-ong sudah menetap di kota Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai, bahkan rumahnya bukanlah di dalam kota, tetapi di bagian luar kota Si-ning, dekat telaga dan merupakan daerah yang cukup sunyi. Dan karena dia amat lihai, tentu saja di antara para penjahat yang takluk kepadanya lalu mengangkatnya menjadi guru. Akan tetapi, dalam hal memilih murid See-thian-ong amat teliti. Kalau tidak berbakat, dia tidak mau mengajarkan ilmu silat kepada sembarang orang, dan walau pun akhirnya dia menerima tidak kurang dari lima puluh orang sebagai anggotanya atau pembantunya dan yang disebut juga murid-muridnya, namun dia tidak pernah mau mengajar mereka sendiri dan hanya menyerahkan kepada murid-muridnya yang harus mengajar para anggota atau pembantu itu. Dan di antara murid-muridnya yang termasuk pilihan, pertama-tama adalah So Cian Ling, dara cantik manis pesolek yang lihai itu dan ke dua yang merupakan murid kepala dan bertugas mewakili See-thian-ong di dalam segala hal, adalah Ciang Gu Sik yang berusia tiga puluh lima tahun itu. Akan tetapi, See-thian-ong memiliki watak yang mata keranjang atau suka kepada wanita muda dan cantik! Dia tak pernah menikah, akan tetapi banyak wanita cantik yang menjadi simpanannya. Bahkan muridnya sendiri, So Cian Ling, merupakan salah seorang di antara kekasihnya! Akan tetapi karena wanita ini juga menjadi muridnya, maka jaranglah dia menyuruh murid ini melayaninya. Terlebih lagi karena sebagai pengganti dirinya, So Cian Ling telah banyak mencarikan gadis-gadis cantik untuk gurunya yang tak pernah mengenal puas itu. Seperti juga para datuk lainnya, kehidupan See-thian-ong terjamin oleh para tokoh kaum sesat yang setiap bulan memberi sumbangan kepadanya. Jika tidak memberi sumbangan kepada See-thian-ong, maka jangan harap mereka itu dapat membuka praktek pekerjaan mereka, baik pekerjaan itu merupakan pencurian, pencopetan, perampokan, perjudian, pelacuran dan sebagainya lagi. Pendeknya, nama See-thian-ong merupakan semacam ‘pelindung’ supaya mereka dapat bekerja dengan tenang. Karena sumbangan ini datang dari boleh dibilang seluruh penjahat di daerah Propinsi Ching-hai, maka penghasilan kakek raksasa ini tentu saja amat besar dan membuatnya hidup sebagai seorang yang cukup kaya raya, walau pun dia, berbeda dengan murid-muridnya, selalu nampak berpakaian dan bersikap sederhana. See-thian-ong amat terkenal meski pun dia jarang memperlihatkan ilmu kepandaiannya, kalau tidak amat perlu. Murid-muridnya pun telah cukup untuk ‘membereskan’ setiap fihak yang berani menentangnya. Dan apa bila sekali waktu dia mengeluarkan kepandaiannya, maka akibatnya amat mengerikan! Dalam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat tinggi yang rata-rata sangat ganas, dia memiliki ilmu yang sangat aneh, yaitu tubuhnya dapat menggembung seperti bola karet ditiup dan apa bila tubuhnya sudah menggembung seperti itu, penuh dengan hawa, maka jangankan hanya pukulan dan tendangan, bahkan senjata-senjata tajam tidak akan mampu melukai tubuhnya! Selain ini, juga dia ahli menggunakan senjata toya, tongkat atau sepotong kayu sekali pun. Di samping semua ilmu silatnya, juga dia pandai bermain sihir dan dapat menguasai lawan hanya dengan pandangan mata atau bentakan suaranya yang sangat berpengaruh! Pendeknya, See-thian-ong merupakan tokoh yang amat ditakuti orang karena lawan yang berani menentangnya tentu akan roboh atau tewas dalam keadaan mengerikan. Dan kini, tokoh semacam itulah yang hendak ditentang oleh Thian Sin! Dengan hati penuh keberanian, pemuda ini sampai di telaga besar Ching-hai. Dia berlaku hati-hati sekali dan lebih dulu menyelidiki di mana tempat tinggal datuk itu dan orang macam apa adanya. Dia bermalam di sebuah rumah penginapan dan di tempat inilah dia mencoba untuk mengajak pelayan rumah makan penginapan untuk berbicara tentang See-thian-ong. “Toako, aku adalah seorang pelancong dari daerah utara yang tertarik akan berita tentang keindahan Telaga Ching-hai,” dia memulai pada saat terbuka kesempatan bicara dengan pelayan itu. “Ahh, kongcu tidak salah apa bila memilih tempat ini untuk berpesiar. Pada musim semi seperti ini, Telaga Ching-hai selalu menjadi pusat tempat pelesir dari penduduk di seluruh penjuru di propinsi ini dan terutama penduduk kota Si-ning setiap hari memenuhi telaga. Kongcu dapat berperahu, mengajak penyanyi dan tukang musik, atau kongcu dapat pula bermain judi apa bila kongcu suka, dan ada perahu…,” dia berbisik, “yang menyediakan gadis-gadis cantik…” Thian Sin tertawa, berlagak seperti seorang kongcu tukang pelesir. “Aihh, menyenangkan sekali! Akan tetapi aku juga mendengar berita yang menakutkan, yakni mengenai orang yang bernama See-thian-ong…” Wajah pelayan itu berubah pucat pasi. “Ssstt, jangan kongcu sebut-sebut itu. Akan tetapi sebenarnya tidak menakutkan, asal kongcu tidak menyebutnya dan juga tidak melakukan sesuatu yang mendatangkan keributan. Nama itu bahkan merupakan jaminan keamanan di mana-mana. Karena nama itulah maka di mana-mana tidak ada yang berani melakukan kejahatan. Sudah, kongcu tidak perlu bicara tentang itu…” Melihat sikap pelayan itu, Thian Sin tidak mau mendesak karena maklum bahwa selain pelayan itu tidak akan berani bicara, juga mungkin saja dia dicurigai dan orang yang takut seperti pelayan ini bukan tidak mungkin bahkan melaporkan untuk mencari muka! Dia lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri ke telaga. Mustahil dia tidak akan dapat menemukan tempat tinggal tokoh itu, pikirnya. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi dan dia sudah mandi serta bertukar pakaian bersih sebagai seorang kongcu atau seorang pelajar yang sikapnya halus dan wajahnya amat tampan, pergilah Thian Sin berjalan-jalan menuju ke telaga. Benar saja, biar pun matahari baru saja naik, di situ sudah terdapat banyak orang yang berdatangan untuk pesiar. Telaga itu besar sekali dan airnya sangat jernih, berkilauan laksana cermin menampung sinar matahari pagi yang masih membuat jalur kemerahan panjang di atas air yang belum begitu banyak bergerak karena tukang-tukang perahu masih sedang sibuk menawarkan perahunya di tepi telaga. Orang-orang yang pesiar agaknya masih lebih senang berjalan-jalan di sepanjang telaga, menikmati pemandangan yang indah, baik pemandangan tumbuh-tumbuhan, bunga mau pun pemandangan lain, yaitu para pelancong itu sendiri, terutama gadis-gadisnya. Thian Sin lalu memilih sebuah perahu yang agak butut dan pemiliknya, tukang perahu tua yang kurus, agaknya enggan berebut penumpang dengan rekan-rekannya, maka pemilik perahu itu hanya jongkok di dekat perahu bututnya, menanti datangnya rejeki. Dan rejeki itu pun datang ketika Thian Sin menghampirinya. “Paman yang baik, maukah engkau mengantarku naik perahu berputar-putar di telaga?” Wajah yang keruh itu seketika berseri. Rejeki besar datang! “Tentu saja, kongcu. Perahuku ini meski pun sudah tua, akan tetapi tidak ada yang bocor dan dapat meluncur cepat sekali.” Thian Sin tersenyum. “Aku sedang melancong dan melihat-lihat, bukan hendak berlomba, paman. Tidak perlu cepat-cepat!” Sesudah tawar-menawar harga sewa perahu, akhirnya Thian Sin naik perahu itu, duduk di atas papan yang lebih dulu digosok sampai bersih oleh tukang perahu itu, dan perahu itu kemudian meluncur ke tengah telaga, dipandang oleh rekan-rekan tukang perahu dengan heran mengapa ada kongcu yang memilih perahu butut itu! Di atas telaga itu masih senyap. Akan tetapi, sebuah perahu tunggal di atas telaga yang amat luas itu merupakan pemandangan yang amat indah, mengandung pesona tersendiri dan tentulah akan menjadi obyek yang menggairahkan bagi seorang pelukis atau seorang penyair. Matahari yang masih cukup rendah itu bersinar dari depan, membuat bayangan orang dan perahu mengikuti perahu itu dengan lembut, ada pun perjalanan perahu hanya mengakibatkan permukaan telaga terusik sedikit saja. “Paman, coba bawa perahu ke sebelah kanan sana yang penuh pohon-pohon.” “Tapi di sana sunyi sekali, kongcu.” “Biarlah, aku justru suka akan kesunyian.” Tukang perahu itu lalu mendayung perahunya perlahan-lahan menuju ke kanan, menjauhi pantai yang ramai itu, menuju pantai yang penuh dengan pohon-pohon karena bagian itu merupakan sebuah hutan yang masih liar. Sesudah mereka berada jauh dari keramaian orang, Thian Sin mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang menjadi tujuan utamanya naik perahu milik tukang perahu tua ini. “Paman, di sini sunyi, tidak ada orang yang mendengarkan kita, maukan paman memberi keterangan kepadaku tentang sesuatu?” Kakek yang usianya sudah ada enam puluh tahun itu memandang wajah Thian Sin yang muda dari tampan, lalu bertanya sambil tersenyum, “Keterangan tentang apakah, kongcu? Tentu saja saya mau menjelaskan kalau saya tahu, tapi mengapa mesti mencari tempat yang sunyi?” “Karena setiap orang yang kutanya agaknya tidak ada yang berani menjawab sejujurnya, paman. Aku adalah seorang pelancong yang datang jauh dari utara, dan aku mendengar hal ini menjadi tertarik sekali dan rasanya tak akan puas sebelum mendapat keterangan yang memuaskan.” “Tentang apakah, kongcu?” “Tentang orang yang bernama See-thian-ong…” “Ahh…!” Wajah kakek itu menjadi pucat dan segera menoleh ke kiri kanan dan belakang. “Tidak ada seorang pun manusia di sini, paman. Paman adalah seorang tua yang miskin, siapa yang hendak menyusahkanmu? Karena itulah maka aku tadi memilih dan menyewa perahumu, dan kuharap paman suka memberi keterangan kepadaku, untuk itu aku mau untuk menambah biaya sewa perahu.” Kakek itu menarik napas panjang. “Kongcu benar, tidak ada orang lain di sini, dan aku sudah tua dan miskin. Takut apa? Nah, kongcu hendak bertanya tentang apa?” “Siapakah sebenarnya See-thian-ong itu dan mengapa semua orang takut membicarakan dia?” “Dia adalah seorang tokoh besar di daerah ini, kongcu. Dia menguasai semua orang, dan semua orang agaknya tunduk kepadanya, atau setidaknya kepada anak buahnya karena dia sendiri jarang nampak di luar. Kabarnya dia memiliki kepandaian seperti dewa, malah pandai sihir sehingga semua orang takut. Katanya baru dibicarakan saja dia sudah dapat mengetahuinya, akan tetapi aku tidak membicarakan keburukan orang maka biarlah kalau didengar juga.” “Hemm, di manakah rumahnya, paman?” “Rumahnya tidak jauh dari telaga ini, di sebelah barat telaga, di bagian yang sunyi, yang nampak merah-merah dari sini itu.” Kakek itu menunjuk ke kiri. “Di sana dia mempunyai sebuah rumah besar, dan di sanalah para anak buahnya yang puluhan orang banyaknya itu berkumpul, mereka semua ahli-ahli silat yang lihai, demikian kata orang.” “Semua anak buahnya yang puluhan itu tinggal di sana?” “Ya, di rumah-rumah yang dibangun di sekitar rumah induk tempat tinggal See-thian-ong, merupakan sebuah perkampungan tersendiri. Pernah aku mengirim kayu bakar ke sana. Rumah-rumah yang indah dan mewah, kongcu.” “Dan keluarganya?” “Dia hanya hidup bersama para pembantunya dan kabarnya… dia memiliki belasan orang selir karena katanya, dia tidak pernah beristeri, tidak mempunyai anak…” “Hemm, begitukah?” Thian Sin merasa girang bukan main karena dia sudah memperoleh keterangan secukupnya. Setelah melihat banyak perahu mulai bergerak ke tengah, dan karena semua keterangan yang dikehendakinya telah didapatkan maka dia lalu menyuruh tukang perahu mendayung kembali perahunya ke tepi yang ramai itu. Kini banyak perahu berseliweran dan mulailah terdengar suara musik di antara perahu-perahu itu. Ada suara orang bernyanyi, suara tertawa dan banyak di antaranya nampak perahu-perahu yang indah, dihias dan ditumpangi oleh gadis-gadis cantik yang melambai-lambaikan tangan ke arah pria-pria muda yang berkendaraan sendirian. Mereka terkekeh genit, dan ada pula di antara mereka yang bernyanyi-nyanyi menurutkan irama yang-kim yang dimainkan oleh temannya. Suasana di tempat itu sungguh meriah sekali dan perahu-perahu berseliweran, terutama sekali di sekeliling perahu-perahu pelesir yang ditumpangi wanita-wanita penghibur itu. Karena si tukang perahu tua menduga bahwa tentu saja penyewa perahunya akan suka mendekati perahu itu, dia pun lalu mendayung perahunya mendekat. Dan begitu melihat Thian Sin yang sangat tampan, muda dan sendirian pula di atas perahunya, riuh rendah wanita-wanita itu melambai kepadanya. “Kongcu yang tampan… mengapa sendirian saja…” “Aihh… kongcu seorang manusia ataukah dewa yang baru turun dari kahyangan?” “Mari, kongcu… mari kami layani kongcu bersenang-senang… dengan kongcu, tidak usah bayar pun tidak mengapa…” “Aduh gantengnya…” Bermacam-macam teriakan mereka disertai lambaian tangan, sapu tangan serta lontaran kerling dan senyum memikat ke arah Thian Sin dibarengi gelak tawa genit. Melihat hal ini, beberapa orang muda dalam perahu-perahu yang berdekatan menjadi iri hati. Ada sebuah perahu bercat merah yang ditumpangi empat orang pemuda lantas didayung oleh empat pasang tangan, didayung laju menabrak perahu yang dinaiki Thian Sin. “Ehh… ehh… jangan menabrak…!” Tukang perahu tua berteriak ketakutan. Perahu merah itu jauh lebih besar dan didayung oleh empat orang, karena itu sekali kena ditabrak tentu perahunya akan pecah, atau setidak-tidaknya tentu akan terguling bersama penumpangnya. Bagi dia sendiri bukan soal besar apa bila hanya terguling di telaga, akan tetapi kongcu yang menjadi penumpangnya itu! Melihat hal ini, Thian Sin yang tidak tahu sebabnya mengapa perahu yang lebih besar itu hendak menabrak, menyangka bahwa mereka itu tak sengaja, maka dia pun cepat-cepat merampas dayung dari tangan kakek tukang perahu lantas menodongkan dayungnya ke luar perahu, hendak menyambut perahu besar itu dengan dayung. Tukang perahu tua itu terkejut sekali. Mana mungkin tangan kuat menahan perahu besar yang meluncur cepat itu. Selain tidak kuat, dayung itu bisa patah dan lengan tangan yang memegangnya tentu akan patah pula! “Jangan, kongcu…!” teriaknya. Akan tetapi perahu itu telah datang dan dengan tenang, cepat namun perlahan saja Thian Sin mendorongkan dayungnya, mengenai moncong perahu besar dan… perahu besar itu melenceng lalu meluncur melewati perahu kecil dan hanya berselisih beberapa senti saja akan tetapi tidak menabrak. Melihat ini, tukang perahu yang tadinya sudah pucat itu lalu menarik napas panjang dan mengira bahwa hal itu kebetulan saja. “Aduhhh… kita selamat…,” katanya. “Paman, mereka itu kenapa sih? Lihat, mereka datang lagi!” Tukang perahu itu menengok dan mukanya menjadi pucat lagi. “Celaka, agaknya mereka itu iri kepada kongcu karena ulah perempuan-perempuan itu dan mereka menjadi marah, sengaja hendak menggulingkan perahu kita.” Tukang perahu itu lalu bergegas mendayung perahunya hendak pergi dari situ. “Jangan melarikan diri, paman. Biarkan saja mereka datang,” kata Thian Sin yang menjadi sangat marah setelah dia tahu bahwa keempat orang muda itu memang sengaja hendak menggulingkan perahunya. Kakek itu tertegun, akan tetapi melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, dia menjadi ketakutan. Sementara itu, lari pun tiada gunanya karena perahu merah itu datang dengan cepat sekali, kini meluncur dan hendak menabrak perahu kecil itu dari belakang. Sedangkan para pelancong lain yang berada di perahu masing-masing menonton dengan hati tertarik dan ada di antaranya yang bersorak-sorak seperti menonton pertunjukan yang amat menyenangkan. Dengan gerakan tubuhnya, Thian Sin membuat perahunya berputar sehingga dia duduk di bagian perahu yang kini tepat akan ditabrak. Tukang perahu terkejut bukan main ketika perahunya terputar sedemikian rupa seperti dari bawah digerakkan oleh ikan yang besar dan pada saat itu, moncong perahu merah telah datang dekat sekali. Sekali ini, Thian Sin tidak mempergunakan dayung yang masih dipegang oleh si tukang perahu, melainkan menggunakan tangan kirinya. Akan tetapi dia menanti hingga moncong perahu besar itu telah hampir menyentuh perahunya dan berada demikian dekat sehingga nampak olehnya betapa empat orang pemuda itu melihatnya dengan mulut menyeringai girang. Tiba-tiba jari-jari tangannya menyentuh moncong perahu, lantas dia mengerahkan tenaga, mencengkeram moncong perahu itu dan sekali dia mengangkat dan mendorong, perahu merah itu seperti seekor kuda mengangkat kedua kaki depannya, terangkat lalu terbanting menelungkup dan terguling! Segera terdengar jeritan-jeritan dan teriakan-teriakan kaget. Demikian cepatnya Thian Sin menggerakkan tangannya sehingga tidak ada seorang pun, kecuali si tukang perahu yang duduk dekat dengannya, yang tahu benar bagaimana perahu besar itu tiba-tiba terguling sendiri sedangkan perahu kecil yang ditabraknya sama sekali tidak apa-apa! Empat orang pemuda itu gelagapan dan berteriak-teriak minta tolong, karena mereka tak pandai renang. Akhirnya mereka ditolong oleh tukang-tukang perahu, di bawah sorakan dan tertawaan para pelancong lain. Karena mereka basah kuyup, empat orang pemuda itu tidak banyak lagak lagi, lalu cepat minggir dengan perahu lain dan melarikan diri dari tempat itu! “Ehh, bagaimana bisa terjadi itu?” “Luar biasa sekali!” “Tentu ada setan air yang menolongnya!” “Ahh, dia tentu benar-benar dewa dari kahyangan…!” terdengar seorang wanita penghibur berseru. Semakin ramailah keadaan di situ dan sekarang Thian Sin menjadi pusat perhatian orang, terutama sekali para pelacur itu yang agaknya kini hendak berlomba untuk merebut hati pemuda ganteng yang bernasib amat baik itu sehingga perahunya ditabrak perahu besar malah si penabrak itu sendiri yang terbalik. Pada saat Thian Sin yang merasa jemu itu akan menyuruh tukang perahu membawanya ke pinggir karena perahunya dikepung, tiba-tiba terdengar bentakan wanita yang nyaring dan berwibawa, “Minggir semua!” “Wah, celaka, kongcu…!” Tukang perahu tua itu berbisik dengan muka pucat. Mendengar ini, Thian Sin menoleh ke arah suara itu dan melihat betapa perahu-perahu pada cepat-cepat minggir untuk memberi ruang kepada sebuah perahu kecil yang datang dengan cekatan sekali. “Silakan, nona…!” “Silakan, siocia…!” Suara mereka itu penuh dengan hormat dan Thian Sin memandang seorang dara yang mendayung perahu hitam kecil itu lalu wajahnya segera berseri. Kiranya nona itu adalah So Cian Ling! Tentu saja dia mengenal nona ini, nona cantik manis dengan pakaian yang mewah dan pesolek, dengan wajah yang riang dan lincah, terutama sekali hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang amat jeli, yang pada saat itu menatap wajahnya dan bibir yang merah itu mulai tersenyum ketika perahu hitam itu akhirnya berhenti di dekat perahu yang ditumpangi Thian Sin! Pemuda ini memandang dengan jantung berdebar. Bukan apa-apa, hanya girang karena dia melihat jalan yang terbaik untuk bisa berhubungan dengan See-thian-ong tanpa harus menimbulkan curiga, yaitu lewat dara ini! Bukankah So Cian Ling ini murid tersayang dari See-thian-ong? Thian Sin segera mengangkat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, “Selamat bertemu, Nona So Ciang Ling!” Wajah ini segera menjadi cerah sekali, senyumnya lebar dan gembira. “Aihhhh…! Kiranya benar-benar Saudara Ceng yang muncul di tempat ini! Ahh, siapa lagi yang dapat mendatangkan keributan kalau bukan engkau. Mari, mari… kau pindahlah ke perahuku dan kita mengobrol!” “Akan tetapi… perahu ini kusewa…” “Aihh, sudahlah, kongcu. Tidak mengapa, siocia telah memanggilmu…,” si tukang perahu cepat berkata. “Hei, tukang perahu, engkau beruntung sekali perahumu disewa oleh kongcu ini!” kata So Cian Ling dan dia melemparkan sepotong uang emas kepada tukang perahu itu. Uang itu jatuh ke lantai perahu mengeluarkan bunyi nyaring. “Nah, itu ongkosnya!” “Terima kasih… ahh, terima kasih atas kebaikan siocia yang mulia. Eh, kongcu, cepatlah kau pindah ke perahu siocia…” kata tukang perahu itu sambil mendorong-dorong perlahan ke pundak Thian Sin. Pemuda ini tersenyum, lantas bangkit berdiri dan melompat ke atas perahu So Cian Ling. Akan tetapi pada saat itu pula So Cian Ling mendayung perahunya keras sekali sehingga perahunya meluncur jauh! Semua orang berteriak melihat kejadian ini, juga tukang perahu itu berteriak keras karena mengira bahwa tentu pemuda itu akan jatuh tercebur ke dalam air telaga! Pemuda itu telah maju tidak kurang dari lima meter jauhnya! Akan tetapi mereka melihat betapa pemuda itu mengeluarkan seruan nyaring, kemudian tubuhnya sudah berjungkir balik di udara dan meluncur ke arah perahu nona itu lalu dapat turun dengan enaknya di atas perahu! Melihat ini, semua orang berseru kagum dan So Cian Ling tertawa. “Wah, engkau sungguh nakal!” kata Thian Sin sambil tersenyum karena dia tahu bahwa dara itu memang sengaja mencobanya. Andai kata dia tidak sedang mendekatinya karena dia hendak mengadakan hubungan dengan See-thian-ong lewat nona ini, tentu dia sudah mendongkol dan akan membalas. “Hi-hik, siapa takut kau tercebur?” So Cian Ling lantas mendayung perahunya dan ketika melihat betapa perahu besar yang ditumpangi para pelacur itu menghalang dan para pelacur itu memandang kepada Thian Sin dengan mata melotot penuh kekecewaan bagaikan mata kucing-kucing yang melihat sepotong ikan dibawa pergi, dia lalu mendorong dengan dayungnya sambil berseru, “Minggir! Apa kalian ingin perahumu kujungkirkan?” Nona ini mendorong perlahan, akan tetapi perahu besar itu menjadi terputar-putar cepat sekali. Terdengar jerit-jerit ketakutan dan semua pelacur itu langsung mendekam di atas papan perahu sambil menjerit-jerit karena perahu itu terputar-putar dengan keras, bahkan ada pula yang sampai terkentut-kentut dan terkencing-kencing! Dua orang tukang perahu dengan sekuat tenaga berusaha untuk menghentikan perahunya, namun tidak berhasil. “Sudahlah, kenapa main-main dengan perahu orang yang tak berdosa?” kata Thian Sin sambil dia mendoyongkan tubuhnya ke pinggir perahu. Perahu hitam kecil itu menjadi miring, maka dengan sendirinya terputar mendekati perahu besar yang masih berputar. Dengan tangannya Thian Sin menahan dan seketika perahu besar itu berhenti dari putaran! “Hi-hi-hik!” Cian Ling mendayung perahunya meninggalkan mereka semua, bukan ke tepi, melainkan ke tengah telaga. Cepat sekali perahunya meluncur sehingga sebentar saja orang-orang itu hanya melihat sebuah titik hitam jauh di tengah danau yang luas itu. Semua orang hanya dapat menarik napas panjang dan menduga-duga siapa adanya pemuda itu. “Pantas, kiranya sahabat So-siocia…,” akhirnya mereka berkata-kata, sebentar kemudian tempat itu menjadi ramai kembali. *************** “Kau bilang perahu itu perahu orang yang tidak berdosa?” tiba-tiba Cian Ling memandang Thian Sin dan bertanya, matanya yang jeli itu menyelidiki wajah yang tampan itu. “Tentu saja, apa dosa mereka kepadamu?” “Kepadaku sih tidak, akan tetapi… ehh, tak tahukah engkau siapa mereka itu?” “Mereka? Mereka adalah wanita-wanita yang sedang melancong…” “Aih… jangan kau pura-pura, Ceng Thian Sin!” Cian Ling berkata sambil mengerling tajam dan tersenyum mengejek. Diam-diam Thian Sin terheran-heran dan hampir dia tidak percaya bahwa ini adalah Nona So Cian Ling yang dulu pernah ditemuinya dua kali itu. Dahulu, baik untuk yang pertama kalinya pada waktu dia bertemu dengan Cian Ling yang hendak membalas kepada Kakek Yap Kun Liong dan kedua kalinya pada saat dia bertemu dengan dara ini di dalam pesta Tung-hai-sian, dara ini merupakan seorang gadis gagah perkasa yang keras dan serius. Akan tetapi yang dilihatnya sekarang adalah seorang gadis yang manis dan jenaka, juga yang murah senyum dan sikapnya penuh dengan daya pikat! Bedanya seperti langit dan bumi! “Hayaaa… apa yang kau lihat pada mukaku? Apakah ada kotoran di mukaku?” Cian Ling mengusap mukanya yang berkulit putih halus itu. “Ahh, tidak… hanya… ahh, kenapa kau bilang aku pura-pura?” “Habis, engkau memang pura-pura sih! Apa benar engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah wanita-wanita pelacur?” Thian Sin terbelalak. Memang sejak tadi pun dia sudah terheran-heran akan sikap wanita-wanita itu yang demikian beraninya akan tetapi karena memang dia belum pernah bergaul dengan kaum pelacur dan pertama kali melihat pelacur hanya ketika Siangkoan Wi Hong menjamunya bersama Han Tiong dahulu, maka dia tidak menyangka demikian. “Ah, kiranya begitukah? Aku sungguh tidak tahu. Akan tetapi, andai kata mereka itu benar pelacur-pclacur, habis apa dosanya?” “Wah, apa dosanya? Mereka menjual cinta…” “Berdosakah itu?” “Jelas! Bercinta sih tidak mengapa, akan tetapi kalau dijual, mencinta demi uang, wah, itu namanya hina! Ehh, benarkah engkau belum pernah bergaul dengan pelacur?” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Hemm, untuk apa?” Tiba-tiba saja dara itu terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya centil akan tetapi juga menarik hati sekali. Perahu yang tidak didayungnya itu meluncur tenang di tengah-tengah danau yang sunyi. Thian Sin merasa mendongkol juga karena ditertawakan, tanpa dia ketahui mengapa dara itu tertawa. “Ehh, mengapa engkau tertawa?” tanyanya, suaranya mengandung kemengkalan hatinya. Dara itu menengok memandangnya dan agaknya menjadi semakin geli ketika melihat dia marah. “Ceng Thian Sin, berapa sih usiamu?” tiba-tiba dia bertanya tanpa menjawab pertanyaan mengapa dia tertawa tadi. “Usia? Sembilan belas tahun, mengapa?” “Hemm, benar kata Siangkoan-kongcu…” “Apa yang dikatakan orang itu?” Thian Sin berkata, suaranya dingin. “Dia berkata bahwa engkau adalah seorang pria yang benar-benar belum pernah bergaul dengan wanita pelacur, bahkan dengan wanita mana pun. Bahwa engkau masih perjaka tulen. Benarkah itu?” Wajah Thian Sin menjadi merah sekali laksana udang direbus. Dia merasa ditertawakan dan merasa terbelakang dan dusun sekali. “Kalau benar, habis mengapa?” “Kau memang hebat! Ilmu kepandaianmu sangat tinggi, engkau juga keturunan seorang pangeran, bahkan seorang pangeran yang jagoan dan pernah menggegerkan dunia, dan engkau malah mewarisi ilmu-ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai, tetapi engkau… engkau masih perjaka tulen! Siapa bisa percaya hal itu? Akan tetapi aku percaya dan aku… aku kagum, Thian Sin.” Berkata demikian, dara itu lalu mengacungkan jempolnya dan pada saat tangannya turun, tangan itu diletakkan ke atas paha kaki Thian Sin. Pemuda ini terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, tidak berani berkutik sedikit pun dan seluruh tubuhnya seperti terasa dingin, bulu-bulu di tubuhnya seperti bangkit semua! cerita silat online karya kho ping hoo Melihat keadaan pemuda ini, So Cian Ling yang sejak pertemuan pertama sudah merasa tergila-gila kepada Thian Sin, segera mendekatkan tubuhnya sehingga kehangatan tubuh gadis itu dapat terasa oleh Thian Sin. Lalu Cian Ling berbisik, “Kau… kau takut…?” Thian Sin tetap menegakkan tubuhnya yang duduk di atas perahu, tetapi dia menoleh ke arah muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga terasa kehangatan napas dari mulut dan hidung wanita itu. “Takut apa…?” Dia sudah memberani-beranikan diri, menekan debar jantungnya, namun tidak urung suaranya gemetar dan hampir tidak terdengar, nyaris seperti bisikan saja. Gadis itu tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga nampak deretan gigi yang teratur rapi dan putih bersih. Keharuman yang aneh keluar dari balik baju di lehernya. “Engkau… pemuda yang gagah perkasa, yang sakti, yang tampan, engkau… ehhh, takut kepada wanita, ya? Hi-hik-hik…!” Tersinggung rasa harga diri Thian Sin. Dia pernah bercinta, biar pun hanya saling dekap dan saling berciuman. Dia sudah pernah bercinta, terutama sekali yang terakhir dengan Loa Hwi Leng! Maka, begitu mendengar kata-kata bisikan yang sifatnya mengejeknya itu, dia menjawab penasaran. “Siapa takut kepada wanita? Huhh…!” Cian Ling tertawa geli. “Benarkah? Benar engkau tidak takut padaku? Aku seorang gadis muda cantik, bukan? Dan amat dekat denganmu! Engkau tidak takut?” “Tidak!” “Kalau benar tidak takut, beranikah engkau menciumku?” Thian Sin semakin bingung dan malu, jantungnya berdebar keras. Menghadapi dara-dara sederhana dan malu-malu seperti Hwi Leng dahulu, dialah yang menyerang, dialah yang menggoda dan dialah yang menjadi guru. Akan tetapi kini, berhadapan dengan seorang dara seperti ini, yang begini berani, dia merasa kikuk dan malu-malu. Hal ini membuatnya penasaran karena di lubuk hati Thian Sin terdapat suatu ketinggian hati yang membuat dia enggan kalah oleh siapa pun juga dan dalam hal apa pun juga. “Mengapa aku tidak berani? Akan tetapi, mengapa kita harus melakukan itu?” tanyanya, membayangkan keberanian akan tetapi juga keraguan. Dengan bibir yang masih terbuka dalam senyum, dan mata memandang sayu dari balik bulu-bulu mata yang panjang, penuh daya pikat, dara itu lalu berbisik, “Mengapa? Aihh… karena kita saling menghendakinya, aku cinta padamu, Ceng Thian Sin. Nah, beranikah engkau menciumku?” Kini Thian Sin merasa ditantang, dan pula, dekatnya tubuh yang hangat itu, bibir yang setengah terbuka penuh tantangan itu, pandang mata sayu yang penuh daya tarik itu, telah mendatangkan gairah dalam hatinya. Dia pun lalu merangkul dan mencium, tadinya sekedar memperlihatkan bukti bahwa dia tidaklah begitu ‘dusun’ dan ‘hijau’. Akan tetapi begitu bibir mereka saling bertemu, dia tidak perlu lagi bersandiwara, dan tidak perlu lagi khawatir bahwa dia tak akan dianggap jantan karena Cian Ling yang malah memagutnya, mendekapnya dan menciuminya dengan kemesraan yang menyesakkan napas Thian Sin. Tanpa disadarinya lagi dia sudah dibawa rebah oleh Cian Ling. Kemudian dalam keadaan setengah sadar, karena terbius oleh kenikmatan yang belum pernah dirasakannya, baik ketika bercintaan dengan Hwi Leng sekali pun. Thian Sin membiarkan dirinya hanyut oleh buaian nafsu. Dan dalam hal ini, Cian Ling merupakan seorang guru yang sangat pandai, sangat manis dan yang agaknya tak mengenal puas. Setiap manusia di dunia ini, baik wanita mau pun pria, yang hidup dalam keadaan normal dan biasa, kecuali mereka yang hidup diperuntukkan khusus menjadi pendeta atau yang berpantang senggama, sekali waktu sudah pasti akan mengalami hubungan pertama di dalam hidupnya. Hubungan kelamin antara pria dan wanita untuk pertama kalinya sudah pasti akan terjadi pada setiap orang, dengan berbagai cara dan jalan. Dan agaknya sudah diterima oleh umum sebagai hal yang wajar dan biasa, terutama di dunia timur, bahwa kehilangan keperjakaan seorang laki-laki bukanlah hal yang aneh dan patut diributkan, sebaliknya, kehilangan keperawanan seorang wanita bisa menimbulkan bencana, urusan, permusuhan, pembunuhan, bahkan bisa pula mempengaruhi kehidupan wanita itu selanjutnya! Hubungan antara pria dan wanita, malah hubungan yang menyangkut kelamin sekali pun, bukanlah merupakan hal yang aneh. Hubungan itu adalah wajar saja, bagaikan hubungan antara jantan dan betina pada semua makhluk, baik makhluk bergerak mau pun tidak, baik tanam-tanaman, binatang-binatang, atau manusia-manusia. Jodoh di dalam bentuk pertemuan antara Im dan Yang merupakan kewajaran, karena pertemuan antara jantan dan betina inilah yang menciptakan semua keadaan. Demikian pula hubungan kelamin antara pria dan wanita merupakan kewajaran, bahkan merupakan sarana bagi perkembangan manusia, bagi kelahiran manusia, oleh karena itu sungguh sesat jika menganggap hubungan itu sebagai sesuatu yang kotor! Sama sekali tidak. Hubungan itu adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang bersih dan indah, sesuatu yang wajar dan tidak bertentangan hukum alam. Namun, segala macam perbuatan di dunia ini, apa bila dilakukan dengan dasar mengejar kesenangan, tentu menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang dianggap sebagai sebuah kejahatan. Dan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mengejar kesenangan sudah pasti akan mendatangkan gangguan-gangguan dalam hidup, mendatangkan awal dari pada kesengsaraan. Umpamanya, kegiatan makan adalah suatu gerakan wajar yang merupakan kepentingan hidup, kebutuhan jasmani, dan memang segala kebutuhan jasmani itu pelaksanaannya mengandung kenikmatan. Inilah berkah berlimpahan yang sepatutnya membuat manusia bersyukur. Akan tetapi bila dalam melakukan perbuatan makan ini kita mendasarkannya atas pamrih mengejar kesenangan, yaitu kenikmatan makan tadi, maka akan terjadilah penyelewengan. Kita lantas makan asal enak saja, tanpa mengingat lagi bahwa fungsi makan sebenarnya adalah untuk syarat hidup, untuk perut. Kemudian terjadilah akibat-akibat yang sangat mengganggu seperti sakit perut dan sebagainya yang merupakan awal kesengsaraan! Demikian pula dengan perbuatan sebagai pelaksana hubungan kelamin antara pria dan wanita. Gairah yang ada dalam hubungan seksual adalah wajar. Rasa tertarik antara pria dan wanita adalah wajar. Rasa nikmat yang didapat dalam hubungan itu pun adalah wajar, merupakan satu di antara berkah yang berlimpahan bagi manusia. Namun apa bila kita melaksanakan perbuatan itu dengan dasar mengejar kenikmatan, mencari kesenangan, maka kita telah menyalah gunakan berkah itu. Kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang merupakan penyelewengan-penyelewengan hanya demi mencapai kesenangan belaka, seperti perjinahan-perjinahan dan sebagainya, yang kesemuanya itu dilakukan hanya karena dorongan nafsu birahi belaka, hanya untuk mencari kenikmatan belaka. Dan muncullah akibat-akibat seperti pelanggaran dari norma-norma kesusilaan manusia yang sudah terbentuk. Akibat-akibat itu bermacam-macam, misalnya, kandungan di luar nikah, permusuhan karena memperebutkan wanita, permusuhan karena merasa dilanggar kehormatannya, permusuhan karena perkosaan, penyakit kelamin, dan sebagainya lagi. Kebijaksanaan sajalah yang bisa menertibkan semua ini. Kebijaksanaan yang timbul bila kita berada dalam keadaan waspada dan sadar. Hanya dasar cinta kasih sajalah yang akan menghalalkan semua perbuatan hubungan seksual ini. Dengan cinta kasih, maka segalanya pun baik. Dan cinta kasih itu bukan sekali-kali berarti hubungan seks! Walau pun hubungan seksual merupakan sebagian dari pada cinta kasih antara pria dan wanita dalam hubungan suami isteri, suatu pencurahan dari pada kasih sayang dan kemesraan. Dan sebagai manusia tentu saja kita tak mungkin bisa terlepas dari pada norma-norma kesusilaan, dari pada hukum-hukum yang sudah diterima oleh masyarakat. Kalau hukum itu mengatakan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita barulah benar apa bila dilakukan antara suami dan isteri yang telah menikah secara sah, maka sudah tentu kita tidak mungkin dapat melepaskan dari ketentuan itu. Sebaliknya, andai kata masyarakat kita tidak mengadakan peraturan itu, tentu saja kita pun tidak terikat oleh hukum tentang pernikahan. Semua hukum itu hanyalah menjaga ketertiban lahiriah belaka. Akan tetapi yang terpenting adalah ketertiban menyeluruh yang berpusat kepada batin. Kenikmatan mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk mengikat manusia melalui kesenangan. Mengingat-ingat dan mengenangkan pengalaman yang nikmat akan selalu mendorong manusia untuk mengulang kenikmatan itu. Di dalam perahu kecil itu, yang terapung di permukaan danau yang amat sunyi, Thian Sin terseret dalam buaian yang mendatangkan kenikmatan dan memabukkan. Cian Ling yang merasa telah menemukan sesuatu yang selama ini selalu diimpikan dan dibayangkannya, menggunakan kesempatan itu untuk memuaskan dirinya tanpa mengenal batas, menyeret Thian Sin ke dalam kenikmatan nafsu birahi! Sesudah bertemu dengan Thian Sin dan merasa kagum, suka dan cocok sekali dengan pemuda putera pangeran ini yang selain tampan, gagah serta menyenangkan, juga yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka timbullah rasa cinta dalam hati Cian Ling. Ingin dia dapat mengikat dan memiliki pemuda itu, bukan hanya memiliki tubuhnya, namun juga memiliki hatinya, cintanya. Maka, dengan segala kelembutan kewanitaannya, ditambah segala pengalaman dan siasatnya dalam bermain cinta, kini Cian Ling hendak menaklukkan Thian Sin agar pemuda itu jatuh dan tidak akan mampu melepaskan diri dari cengkeramannya. Akan tetapi, setelah mereka berdua tinggal di dalam perahu itu sampai semalam suntuk, bukannya Thian Sin yang bertekuk lutut, bahkan sebaliknya Cian Ling sendiri yang makin tergila-gila! Pemuda itu memiliki pribadi yang amat kuat, memiliki kejantanan yang bahkan mampu mengalahkan seorang wanita seperti Cian Ling yang telah berpengalaman dalam hal bermain cinta. Maka, sesudah mereka berada di dalam perahu itu, dan hanya ke pinggir untuk mencari makanan, kadang-kadang keduanya berenang-renang di sekitar perahu, kadang-kadang mereka bercakap-cakap, bercanda dan bermain cinta di dalam perahu atau di air yang jernih selama dua hari, maka gadis itulah kadang-kadang menyatakan cintanya. Cian Ling sampai bersumpah menyatakan cintanya kepada Thian Sin. Sebaliknya, pemuda itu hanya tenang-tenang saja sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia menikmati hubungannya dengan Cian Ling, akan tetapi sama sekali dia tidak jatuh cinta. Dia suka kepada gadis itu, tentu saja. Siapakah orangnya, jika dia laki-laki normal, yang tidak suka kepada seorang gadis yang cantik jelita, berkepandaian, dan mempunyai gairah yang demikian besar, dan yang meminta pula? Namun, di dalam pandangan Thian Sin, Cian Ling hanyalah seorang gadis yang di samping menyenangkan, juga merupakan suatu jembatan untuk dia mendekati See-thian-ong! Setelah dua hari dua malam berada di perahu itu, seperti sepasang suami isteri berbulan madu, akhirnya keduanya merasa bosan tinggal di atas danau dan mereka pun mendarat. Ini pun adalah atas kehendak Thian Sin yang ingin dapat bertemu dan memasuki sarang See-thian-ong. Dari Cian Ling, dia sudah mendengar segalanya tentang diri See-thian-ong. Dan menurut penuturan gadis itu, dia pun sudah tahu bahwa selain sangat lihai ilmu silatnya, terutama ilmu tongkatnya, juga See-thian-ong amat pandai dalam ilmu sihir. “Banyak sudah tokoh-tokoh kang-ouw yang mempunyai ilmu silat tinggi, yang tingkat ilmu silatnya mungkin tak kalah atau setidaknya setingkat dengan kepandaian suhu, terpaksa harus tunduk karena ilmu sihir dari suhu,” antara lain Cian Ling berkata. Ketika mereka meninggalkan telaga, Cian Ling mengajaknya ke dalam sebuah hutan yang sangat indah. Hutan itu berada di lereng yang penuh dengan pohon-pohon serta bunga-bunga, dan di tengah-tengah hutan terdapat padang rumput yang tidak tinggi tetapi dapat hidup subur, maka padang rumput itu tebal sekali dan bila mana diinjak rasanya bagaikan menginjak beludru tebal saja. Luar biasa indahnya tempat itu. “Ini adalah tempat yang paling kusuka, Thian Sin. Kalau aku sedang kesal hati, di sinilah aku pergi untuk melupakan semua kekesalan hatiku. Dan sekarang, kau kuajak ke sini! Engkaulah laki-laki pertama yang kuajak ke tempat ini…” Thian Sin tersenyum. Dia duduk di atas rumput, menyandarkan kepalanya di atas kedua pahanya. Mereka saling rangkul dengan sikap mesra. “Cian Ling, engkau seorang gadis yang amat luar biasa. Akan tetapi… bagaimana engkau dapat menjadi murid See-thian-ong? Dan sepanjang pendengaranku mengenai dia, dia itu senang sekali dengan wanita-wanita muda.” Thian Sin setengah memancing supaya bisa mengetahui lebih banyak tentang hubungan antara wanita ini dan gurunya. Cian Ling menarik napas panjang, bagai seekor kucing yang dipangku dan dibelai, sebab dengan pandai Thian Sin menggunakan jari-jari tangannya untuk membelai anak rambut halus di sekitar tengkuk dan dahi itu. “Memang suhu seorang laki-laki yang aneh. Dan tentang wanita, yahhh… dia suka sekali dan setiap hari, maksudku tiap malam, harus ada wanita muda cantik yang mendampingi dia. Dia… dia kuat sekali, akan tetapi dibandingkan dengan engkau, dia bukan apa-apa…” Cian Ling menarik leher pemuda itu lantas menciumnya. Thian Sin membiarkan gadis itu, kemudian melepaskan diri dan berkata lagi, “Dan engkau begini cantik dan muda, mustahil kalau dia melepaskanmu…” “Kau… kau cemburu?” Cian Ling bangkit duduk kemudian memandang tajam, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum. Thian Sin menggeleng kepala sambil menunduk dan melihat gadis itu mengangkat muka memandangnya dari atas pangkuan. “Tidak, aku hanya menduga begitu saja.” Cian Ling menarik napas panjang, nampaknya kecewa sekali. “Aihhh… ingin aku melihat engkau cemburu. Kata orang, cemburu itu tandanya cinta.” Thian Sin hanya tersenyum dan berkata singkat, penuh kecerdikan tersembunyi, “Nona manis, kalau aku tidak cinta padamu, masa aku mau menemanimu seperti ini?” Cian Ling gembira sekali, bangkit duduk dan merangkul leher Thian Sin, lalu menciuminya penuh nafsu. Akan tetapi Thian Sin perlahan-lahan melepaskan diri dan berkata, “Duduklah yang baik dan kita bicara tentang gurumu. Aku ingin sekali mendengar tentang datuk barat itu.” “Bukankah sudah banyak aku bercerita mengenai dia? Memang dugaanmu benar. Orang laki-laki seperti guruku itu, mana mau melepaskan aku? Terus terang saja, dialah yang pertama kali menggauliku. Dia adalah guruku, juga pengganti orang tuaku yang amat baik kepadaku, dan juga dialah laki-laki pertama yang pernah menyentuhku dan mengajariku tentang cinta seperti… seperti aku mengajarimu, Thian Sin.” Gadis itu tersenyum lebar. Thian Sin tidak merasa cemburu, hanya merasa tidak senang dan agak muak mendengar akan hubungan guru dan murid seperti itu. Guru tiada jauh bedanya dengan kedudukan seorang ayah, maka hubungan kelamin antara guru dengan murid sungguh menimbulkan perasaan tidak enak baginya. Akan tetapi karena dia hendak mempergunakan gadis ini sebagai jembatan untuk berkenalan dengan See-thian-ong dan mencari rahasianya agar dia mampu mengalahkannya, maka dia pun tidak memberi komentar atas hal itu. “Cian Ling, coba kau jelaskan. Mana yang lebih berbahaya di antara dua macam ilmunya yang pernah kau beri tahukan kepadaku itu, yaitu ilmu khikang yang membuat tubuhnya penuh dengan hawa sehingga dapat menggembung besar, ataukah ilmu tongkatnya?” “Thian Sin, sungguh menyesal sekali aku tidak bisa menjelaskan secara terperinci, sebab walau pun aku adalah murid tersayang dari suhu dan agaknya di antara semua muridnya akulah yang paling unggul, namun kedua ilmu itu merupakan ilmu simpanan suhu pribadi, belum pernah diajarkan kepada orang lain. Bahkan Twa-suheng Ciang Gu Sik juga tidak diajarkan ilmu itu, padahal dia disebut sebagai murid kepala. Kalau dia diajari dua ilmu itu, tentu aku pun akan kalah olehnya.” “Sayang, aku ingin sekali tahu sampai di mana kehebatan dua ilmu itu.” “Aku hanya bisa memberi tahumu bahwa ilmu tongkatnya dinamakan Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Malaikat Kematian) dan segala macam tongkat atau bahkan sepotong kayu pun bila berada di tangannya dan dimainkan dengan ilmu itu maka akan berubah menjadi senjata yang ampuh. Ada pun ilmu khikang yang bisa membuat tubuhnya menggembung itu disebutnya ilmu Hoa-mo-kang. Bila suhu sudah mengeluarkan ilmu ini, maka tubuhnya menggembung besar seperti balon terisi angin lantas segala macam senjata tidak mampu menembus kulitnya dan di samping itu, juga dengan hembusan khikang melalui pukulan-pukulannya, maka jarang ada lawan sanggup menahannya. Hanya itulah yang kuketahui, kekasihku.” Gadis itu memegang tangan Thian Sin dan bertanya, “Engkau bertanya-tanya tentang suhu, sebenarnya mau apakah?” Thian Sin sudah mempersiapkan diri untuk pertanyaan seperti itu yang memang sudah diduganya sekali waktu akan keluar dari mulut Cian Ling. Maka sambil memeluknya dan merebahkan gadis itu terlentang kembali ke atas pangkuannya, dia pun menjawab, “Cian Ling, engkau tentu sudah pernah mendengar akan riwayatku, kumaksudkan, riwayat mendiang ayahku, bukan?” Gadis itu tertawa dan meraih dagu pemuda itu untuk dibelainya, pandang matanya penuh rasa kagum karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kenyataan yang membuat dia merasa bangga, yaitu bahwa pemuda yang telah menjadi miliknya ini, yang menyerahkan perjakanya, ialah putera Pangeran Ceng Han Houw yang namanya selalu mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya. “Tentu saja! Siapa yang tidak pernah mendengar nama Pangeran Ceng Han Houw yang dulu pernah menggemparkan dunia, seorang pangeran muda yang tampan dan yang telah menjatuhkan hati seluruh wanita di dunia ini, yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan bahkan pernah dianggap sebagai seorang jagoan nomor satu di dunia…” “Itulah yang kumaksudkan. Aku ingin memenuhi keinginan mendiang ayahku, maka akan kuperlihatkan kepada dunia bahwa puteranya ini dapat memenuhi cita-cita ayahnya, yaitu aku ingin mengalahkan semua datuk di keempat penjuru. Dan, aku ingin sekali mencoba kepandaian See-thian-ong dan mengalahkannya.” “Ahh… untuk mengalahkan suhu, sungguh merupakan suatu hal yang sukar bukan main, kekasihku.” “Aku hanya mengharapkan bantuanmu, Cian Ling. Kecuali engkau, siapa lagi yang dapat membantuku dalam menghadapi suhumu itu.” “Tentu saja aku mau membantumu dalam segala hal, akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu untuk menghadapi suhu? Kalau suhu mengeluarkan kedua macam ilmu itu, aku tidak berdaya sama sekali, dan pula… mana mungkin aku dapat melawan suhu yang begitu baik terhadap diriku seperti terhadap anak sendiri?” “Hemm, seperti anak atau seperti kekasih?” “Hi-hik-hik, kau cemburu?” Thian Sin tidak menjawab, melainkan merangkul dan dibalas oleh Cian Ling. Mereka tidak bicara lagi melainkan mengulang kembali apa yang telah sering mereka lakukan di dalam perahu selama dua malam itu. Agaknya tiada bosan-bosannya bagi mereka berdua untuk bermesraan dan menumpahkan rasa cinta birahi mereka. Ketika mereka sedang berkasih mesra, Cian Ling dapat melihat bahwa suheng-nya, yaitu Ciang Gu Sik, datang dan mengintai dari tempat yang tidak jauh dari situ, yaitu dari balik sebatang pohon. Karena Gu Sik datang dari arah belakang Thian Sin yang sedang asyik bermesraan itu, maka pemuda ini tidak melihatnya. Akan tetapi, Cian Ling dapat melihatnya, lantas diam-diam gadis ini tersenyum. Kemudian gadis ini memperlihatkan sikap yang lebih mesra dari pada biasanya, bahkan dia sengaja mengeluarkan suara-suara manja agar terdengar oleh Gu Sik. Ciang Gu Sik, murid kepala dari See-thian-ong itu, seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit sekali. Pakaiannya kuning sederhana dan dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi. Karena dia dekat dengan sumoi-nya, maka tentu saja dia pun tidak dilewatkan oleh Cian Ling sehingga antara suheng dan sumoi ini memang telah beberapa kali terjadi hubungan badan, seperti yang terjadi antara Cian Ling dengan See-thian-ong. Di kalangan mereka, peristiwa seperti ini tidaklah dianggap aneh atau kotor. Mereka adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang sama sekali tidak mau terikat oleh segala macam aturan dan susila. Akan tetapi, jika Cian Ling hanya menganggap suheng-nya itu sebagai seorang di antara para pria yang pernah menggaulinya dan tak begitu mendatangkan kesan dalam hatinya, sebaliknya Gu Sik telah jatuh cinta kepada sumoi-nya ini, mengharapkan kelak sumoi-nya mau menjadi isterinya. Sudah dua hari ini Ciang Gu Sik merasa gelisah. Dia sedang mencari-cari sumoi-nya. Dia mendengar peristiwa di telaga di mana sumoi-nya bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan juga kabarnya mempunyai kepandaian tinggi. Baginya, mendengar sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda lain, bukanlah hal yang aneh sungguh pun dia mulai diamuk cemburu karena dia ingin menguasai tubuh dan hati sumoi-nya itu untuk dirinya sendiri. Akan tetapi biasanya, bila mana sedang bermain gila dengan laki-laki lain, Cian Ling tidak pernah sembunyi-sembunyi, dan bahkan paling lama sehari semalam sumoi-nya itu tentu akan pulang. Tidak pernah ada pria yang dapat menahannya dalam pelukannya selama lebih dari satu hari satu malam. Akan tetapi sekarang, telah dua hari dua malam sumoi-nya tidak pulang, maka timbullah rasa kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau terjadi sesuatu yang buruk pada sumoi-nya. Pada hari ke tiga pergilah dia mencari sumoi-nya. Dia tahu akan padang rumput di dalam hutan yang menjadi tempat kesayangan sumoi-nya itu, maka ke situlah dia pergi. Ketika dia mengintai dan melihat sumoi-nya bermesraan dengan seorang pemuda tampan yang dikenalnya sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dia merasa sangat cemburu. Sumoi-nya itu pernah secara berterang menyatakan tertarik kepada pemuda itu, dan kini mereka telah bercinta-cintaan di tempat itu. Dan sumoi-nya kelihatan begitu mesra dan amat mencinta pemuda itu! Kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, pada saat itu juga dia ingin meloncat dan menyerang, membunuh Thian Sin. Akan tetapi, dia merasa sungkan terhadap sumoi-nya. Oleh karena itu, dia menunggu sampai kedua orang muda itu duduk kembali dalam keadaan pantas, barulah dia muncul sambil membentak marah, “Kiranya si pemberontak Ceng Thian Sin berada di sini!” Dan dia pun sudah meloncat dan mencabut senjatanya, yaitu sebatang joan-pian (ruyung lemas), terbuat dari pada emas. Akan tetapi, Cian Ling meloncat dan menyambut suheng-nya itu dengan berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang, mukanya merah dan pandang matanya mengandung kemarahan, sedangkan Thian Sin masih enak-enak saja duduk bersandar batang pohon, memandang tak acuh. “Suheng, mau apa kau datang ke sini? Apakah engkau hendak menggangguku?” Menghadapi sumoi-nya, Ciang Gu Sik yang berwajah pucat itu menjadi ragu-ragu. “Sumoi, dia itu adalah musuh kita, dan kini dia memasuki wilayah kita tanpa ijin dari suhu!” “Dia bukan musuh. Kau lihat saja baik-baik. Kalau dia musuh masa sikapnya begini baik terhadap diriku? Kami saling mencinta dan harap kau tidak mengganggu. Dia memasuki tempat ini adalah karena ajakanku. Pergilah!” “Sumoi, engkau harus ingat, dia ini di Lok-yang dan Su-couw… telah…” “Sudahlah, suheng. Aku sedang bersenang-senang, kenapa kau berani menggangguku?” “Sumoi, suhu tentu akan marah…” “Suhu tak akan marah padaku. Akan tetapi engkau yang cemburu, yang tolol!” Ciang Ling segera mencabut pedangnya. “Atau engkau hendak mengandalkan joan-pianmu itu untuk memaksa aku melawan?” Melihat ini, Ciang Gu Sik semakin marah. Dua orang kakak beradik seperguruan itu sudah berdiri saling berhadapan dengan senjata di tangan. Thian Sin hanya menonton saja dan sikapnya tenang sambil menanti perkembangan selanjutnya. Akan tetapi, setelah mereka berdua sejenak beradu pandang yang penuh kemarahan, akhirnya Ciang Gu Sik menarik napas panjang dan menyimpan kembali senjatanya. “Baiklah, aku pergi, akan tetapi suhu tentu tidak akan senang bila melihat ini…” Dan sesudah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Thian Sin, laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat. “Suheng, kalau kau melapor yang bukan-bukan kepada suhu, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi!” Cian Ling menyusulkan teriakannya kepada laki-laki itu. Setelah suheng-nya tak nampak lagi, gadis itu lalu menyarungkan pedangnya dan duduk di dekat Thian Sin, merebahkan kepalanya di atas pangkuan pemuda itu kemudian dia pun menarik napas panjang. “Uuhhhhh, laki-laki pencemburu macam dia…!” Thian Sin mengelus rambut gadis itu. “Engkau telah membikin sakit hatinya, Cian Ling.” “Peduli amat! Orang macam dia yang pencemburu itu tidak patut dihadapi dengan manis.” “Akan tetapi dia tentu akan melapor kepada See-thian-ong.” “Apakah engkau takut?” “Hemm, aku tidak takut, karena memang aku ingin sekali mencoba kepandaiannya. Akan tetapi, dia tentu akan datang membawa banyak anak buahnya…” “Ih, engkau belum mengenal betul watak suhuku!” Cian Ling berkata mencela. “Dia adalah seorang datuk yang gagah perkasa dan tinggi kedudukannya. Apakah kau maksudkan dia mau mengeroyokmu? Kau jangan memandang rendah, Thian Sin. Selamanya guruku tak pernah mengeroyok orang!” “Kalau begitu, biar dia datang dan aku akan mencoba kepandaiannya.” “Hemm, engkau akan kalah.” “Kalau begitu, biar engkau melihat aku mati di tangannya.” Cian Ling langsung merangkul. “Ih, kau begitu kejam, mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kalau engkau mati, aku akan merana, aku akan berduka, aku akan kehilangan kekasihku. Aku amat mencintamu dan aku yang akan melindungimu, jangan kau khawatir!” Memang Thian Sin tadi sengaja hendak membuat wanita ini benar-benar tunduk padanya. Dia telah dapat menduga bahwa dengan wajah cantiknya, dengan tubuh mudanya, sedikit banyak wanita ini tentu mempunyai pengaruh terhadap See-thian-ong, malah suheng-nya tadi pun tunduk padanya. Dengan kewanitaannya yang mempunyai daya tarik luar biasa ini, tentu Cian Ling mampu menguasai suheng-nya dan juga gurunya sendiri, kalau benar seperti yang diceritakan Cian Ling bahwa See-thian-ong bukan hanya guru dan pengganti orang tuanya, melainkan juga menganggapnya sebagai kekasih....


PENDEKAR SADIS JILID 18 :
DUA orang muda itu bagaikan lupa akan segala, hanya menuruti gairah nafsu birahi dan mabuk dengan permainan cinta mereka. Mereka itu tak ada ubahnya sepasang pengantin baru yang tahunya hanya makan minum serta bermain cinta. Cian Ling selalu melayani kekasihnya dengan mencarikan buah-buahan, memanggang daging kelinci dan kambing hutan, dan hubungan antara mereka menjadi semakin mesra saja. Dan pada keesokan harinya, ketika matahari meneroboskan cahaya melalui celah-celah daun pohon dan menimpa tubuh mereka, menggugah mereka dari tidur nyenyak karena kelelahan, mereka terbangun dengan hati gembira dan dengan sinar mata saling pandang penuh kemesraan. Thian Sin maklum bahwa kalau dia tidak hati-hati, dia bisa benar-benar jatuh cinta kepada wanita cantik yang menjadi wanita pertama yang pernah memilikinya. Akan tetapi, setelah mereka mandi di sumber air di dalam hutan dan sarapan pagi dengan daging panggang, tiba-tiba saja muncullah See-thian-ong yang memang sudah mereka duga sewaktu-waktu tentu akan muncul juga. Kemunculan datuk kaum sesat wilayah barat ini hebat bukan main. Mula-mula terdengar suaranya, suara yang terdengar berat dan parau, akan tetapi yang datangnya entah dari mana, dan tahu-tahu terdengar suara itu seperti dekat sekali dengan mereka, memanggil nama muridnya. “Cian Ling… di mana kau…?” Mendengar suara ini, wajah gadis itu lantas berubah. Betapa pun juga, diam-diam dara ini memang merasa jeri sekali terhadap suhu-nya yang sakti, sebab itu secara diam-diam dia pun mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Mendengar suara ini, dia pun tidak berani berayal lagi dan cepat-cepat menjawab sambil mengerahkan khikang-nya karena dia tahu bahwa suhu-nya itu masih jauh, mungkin masih berada di luar hutan. “Teecu di sini, suhu…!” Berkata demikian, dia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berhati-hati. Pemuda itu tetap duduk di atas rumput, kelihatan tenang saja walau pun jantungnya berdebar tegang dan seluruh syaraf di tubuhnya telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba ada angin bertiup dari arah selatan. Thian Sin cepat memandang dengan penuh perhatian ke arah itu. Terdengar suara berkerosakan seperti ada binatang buas datang dari tempat itu lalu nampak daun-daun kering berhamburan bagaikan dilanda angin ribut. Melihat ini, Cian Ling sudah menghadap ke arah itu sambil merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil berkata, “Suhu…!” Cara pemberian hormat dari Cian Ling ini sederhana saja, tidak berlutut seperti kebiasaan murid terhadap gurunya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa hubungan antara guru dan murid ini lebih akrab dari pada guru-guru dan murid-murid lainnya. Thian Sin memandang penuh perhatian dan dia kagum juga pada saat melihat bayangan seorang laki-laki tinggi besar datang dengan gerakan yang amat gagah dan tangkas. Apa lagi setelah laki-laki itu berdiri tak jauh dari tempat itu, dia memandang kagum. Tak seperti Pak-san-kui yang berpakaian seperti seorang kakek hartawan, See-thian-ong ini merupakan seorang kakek yang bertubuh tinggi besar dan gagah sekali. Usianya lebih muda dibandingkan Pak-san-kui, belum ada enam puluh tahun, dan tubuhnya yang tinggi besar itu cocok dengan kulit mukanya hitam. Namun, bukan hitam buruk, melainkan hitam legam yang halus dan membuat dia nampak gagah, mengingatkan orang akan tokoh Thio Hwi, yaitu tokoh cerita Sam-kok yang gagah perkasa. Dengan pakaian yang tidak terlalu mewah, mukanya yang hitam itu dihias sepasang mata yang lebar dan bundar, bersinar-sinar bagaikan mata harimau. Dari wajahnya dan gerak-geriknya terbayanglah kejantanan, kegagahan, kekasaran dan watak jujur yang tidak suka berpura-pura. Rambutnya digelung ke atas, model rambut tosu dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat. Inilah dia See-thian-ong yang amat terkenal itu, pikir Thian Sin tanpa bangun dari tempat duduknya. Pemuda ini memang sengaja bersikap tak acuh untuk membangkitkan rasa penasaran di dalam hati datuk itu. “Apakah suhu datang karena dibakar oleh ocehan dari Ciang-suheng?” Cian Ling bertanya dan cara dara itu bertanya demikian terbuka juga menunjukkan bahwa ia memang sudah biasa bersikap biasa seperti itu terhadap gurunya. Semenjak kemunculannya tadi, sepasang mata yang melotot itu sungguh mengingatkan Thian Sin akan mata tokoh Thio Hwi, selalu menatap kepada Thian Sin yang masih duduk di atas rumput. Menurut cerita Sam-kok, sepasang mata Thio Hwi juga selalu terbelalak dan tidak pernah atau jarang sekali dipejamkan sehingga pernah ketika tokoh Thio Hwi itu berjaga sambil tertidur dan sepasang matanya tetap terbelalak, membuat pasukan musuh ketakutan karena mengira bahwa orang gagah ini tidak tidur! “Ha-ha-ha-ha! Siapa mau mendengar ocehan orang? Aku hanya tertarik, mendengar dari suheng-mu, bahwa putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw datang berkunjung! Dia itukah orangnya?” “Benar, suhu, dia adalah Ceng Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia itu. Dia datang karena ingin berkenalan dengan suhu.” “Ha-ha-ha, yang jelas, dia telah berkenalan denganmu! Dan aku tidak bisa menyalahkan engkau, Cian Ling. Dia memang tampan dan ganteng, mungkin seperti itulah ayahnya dahulu, si penakluk wanita itu seperti dikabarkan orang. Akan tetapi jagoan nomor satu di dunia? Ha-ha-ha, hal itu harus dibuktikan dahulu. Orang muda, mendengar engkau putera Pangeran Ceng, mari kau layani aku barang sepuluh jurus. Aku sudah mendengar akan sepak terjangmu selama ini.” Thian Sin bangkit berdiri dan menjura. Dia dapat menilai watak kakek ini. Seorang datuk yang kasar akan tetapi jauh lebih gagah dibandingkan dengan Pak-san-kui yang memiliki sifat licik. Boleh jadi datuk ini kasar dan kejam, tidak pedulian, dan mau menang sendiri saja, akan tetapi setidaknya dia ini jujur dan tidak curang. Tentu kakek ini sudah mendengar tentang dia, mendengar bahwa dia telah mengalahkan murid-muridnya dan juga mengalahkan putera Pak-san-kui maka kini tertarik dan hendak mengujinya. Dia harus berhati-hati. Kalau seorang datuk sakti seperti itu sudah tahu akan keunggulannya, maka tentu datuk itu tak akan berani memandang rendah sehingga akan mengeluarkan kepandaiannya. “Locianpwe, sungguh aku merasa beruntung sekali dapat berhadapan dengan locianpwe, karena sudah lama aku mendengar bahwa locianpwe adalah seorang di antara locianpwe di empat penjuru dunia yang memiliki kesaktian tinggi. Aku yang muda memang sangat mengharapkan petunjuk darimu.” Setelah berkata demikian, Thian Sin menjura dan berdiri dengan sikap menanti, waspada dan tenang. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Ternyata engkau patut menjadi putera pangeran yang pernah menggetarkan dunia kang-ouw itu. Nah, kini bersiaplah, orang she Ceng! Biar muridku menjadi saksi siapa di antara kita yang lebih unggul, aku, See-thian-ong, ataukah engkau, yang menggantikan Pangeran Ceng Han Houw!” Ketika tertawa kakek itu kelihatan jauh lebih muda dari usianya, dan Thian Sin tahu bahwa seorang laki-laki penuh kejantanan seperti ini tentu dapat menarik hati banyak wanita. Akan tetapi, sebelum kakek raksasa itu bergerak, Cian Ling sudah melangkah maju dan menghadapi suhu-nya, lalu berkata, “Suhu…!” “Ehh, ada apa manis?” “Jangan suhu mencelakakan dia…!” “Ha-ha-ha, kau khawatir kalau aku merusak boneka mainanmu sayang? Jangan khawatir, di dunia ini masih banyak pemuda-pemuda yang lebih ganteng dari pada dia.” “Tapi aku… aku cinta padanya, suhu.” Sepasang mata yang sudah lebar itu terbelalak. “Kau…? Cinta…? Uh, betapa bodohnya. Bukankah sudah sering kuajarkan padamu bahwa cinta adalah suatu kebodohan? Bahwa cinta hanya akan mendatangkan kesengsaraan hidup belaka? Aku tidak berjanji apa-apa, dan kita lihat saja bagaimana kesudahannya pibu ini nanti.” Dengan kasar dia kemudian menggunakan tangannya mendorong muridnya ke samping. Terpaksa Cian Ling meloncat ke pinggir lantas memandang dengan alis berkerut karena betapa pun juga, dia tahu akan kesaktian gurunya dan akan keganasan ilmu dari gurunya. Dan dia masih belum puas dengan pemuda itu sehingga tidak ingin kehilangan Thian Sin yang begitu menyenangkan hatinya. Kakek itu menggerakkan tangan yang memegang tongkat, lantas benda itu menancap di atas tanah sampai setengahnya. “Nah, engkau boleh mempergunakan senjatamu pedang itu, akan kuhadapi dengan tangan kosong. Ini baru adil namanya mengingat usiaku lebih matang darimu. Majulah dan keluarkan pedangmu, orang muda.” Manusia sombong pikir Thian Sin. Dia pun tak mau kalah gertak, maka dia mengeluarkan pedangnya, bukan dicabut melainkan mengeluarkan berikut sarungnya dan dia pun lantas menancapkan pedang bersarung itu ke atas tanah. “Locianpwe, aku datang untuk minta petunjuk, dan di dalam adu ilmu haruslah terkandung kejujuran dan keadilan. Apa bila locianpwe tidak mempergunakan senjata, aku pun masih mempunyai tangan dan kaki untuk melayanimu.” Mata kakek itu semakin terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau tabah sekali. Agaknya karena engkau telah menguasai ilmu dari Cin-ling-pai, seperti yang telah kudengar, maka engkau berani memandang ringan kepadaku, ya? Nah, boleh mari kita mengadu tangan dan kaki. Majulah!” “Aku yang muda dan hanya tamu, mana berani maju lebih dulu? Silakan, locianpwe!” Sikap Thian Sin yang selalu berlaku mengalah ini sungguh-sungguh merupakan tamparan bagi See-thian-ong. Biasanya, karena dia memiliki tingkatan yang lebih tinggi, dialah yang mengalah sebagai sikap orang yang kepandaiannya lebih tinggi. Akan tetapi sekarang dia bertemu batunya, seorang pemuda yang bersikap mengalah kepadanya! “Bocah sombong, sungguh engkau tidak mengenal siapa See-thian-ong!” bentaknya dan sikap Thian Sin itu berhasil membuat kakek ini marah. Memang inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Dia tidak ingin kakek itu main-main, akan tetapi ingin memancing agar kakek itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat diukurnya. Setelah mengeluarkan bentakan itu, tiba-tiba saja kakek itu menerjang dan dua lengannya yang berkulit hitam berbulu panjang dan berukuran besar itu menyambar dari kanan kiri. Dua tangannya dengan telapak tangan terbuka menyambar dari kanan kiri seperti orang hendak menepuk lalat, dan yang dijadikan lalatnya untuk dihimpit oleh kedua tangan yang lebar dan kuat itu adalah kepala Thian Sin! “Parrrrr…!” Dua tangan itu saling bertemu ketika dengan gerakan lincah Thian Sin sudah melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, bertemunya kedua tangan kakek itu selain mendatangkan suara nyaring, juga mengepulkan asap lantas tahu-tahu kedua tangan itu sudah meluncur dengan serangan dahsyat dan ganas sekali, yang kanan mencengkeram ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri dengan jari tangan terbuka menusuk ke arah lambung! “Hemmm…!” Thian Sin berseru, kagum karena serangan itu sungguh sangat ganas dan cepat, sebelum kedua tangan datang sudah menyambar angin pukulan dahsyat. Dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, sengaja menangkis kedua lengan itu dengan kedua tangannya. “Plakk! Dessss…!” “Ahhh! Inikah Thian-te Sin-ciang?” Kakek itu berseru kaget ketika merasa betapa kedua lengannya yang disaluri penuh tenaga sinkang itu bisa terpental akibat terkena tangkisan pemuda itu. Maklumlah dia bahwa berita yang didengarnya mengenai pemuda ini tidak kosong belaka. Tenaga Thian-te Sin-ciang tadi saja sudah membuktikan bahwa pemuda ini mempunyai tenaga kuat sekali, jauh lebih kuat dari pada tenaga murid-muridnya yang paling pandai sekali pun. Thian Sin tidak mempedulikan seruan kakek itu dan dia pun cepat membalas serangan lawan dengan ilmu Silat Pat-hong Sin-kun dan setiap sambaran tangannya, dia kerahkan tenaga Pek-in-ciang sehingga kedua tangan itu mengeluarkan uap putih! Dua ilmu ini dia pelajari dari Yap Kun Liong dan kini dia mempunyai kesempatan untuk menggunakannya dalam praktek melawan musuh yang tangguh. Begitu dihujani serangan oleh pemuda itu, See-thian-ong segera menjaga diri, mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan orang. Dia kagum sekali karena dia tidak yakin mengenal ilmu silat itu. “Apa ini? Seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi bukan! Dan uap putih ini… hemm, pernah aku mendengar tentang Pek-in-ciang. Inikah ilmu itu?” Thian Sin mendesak terus tanpa menjawab, kemudian dia bahkan mengeluarkan semua ilmu silat tinggi yang pernah dipelajarinya. Dia mengeluarkan beberapa jurus dari Thai-kek Sin-kun, juga San-in Kun-hoat dengan dibantu tenaga Thian-te Sin-ciang. Kakek itu semakin kagum, karena semua ilmu itu dikenalnya sebagai ilmu-ilmu silat yang benar-benar sangat bermutu. Berkali-kali dia memuji dan dia sungguh-sungguh terdesak, padahal pemuda itu hanya mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat masing-masing itu. Thian Sin juga bukan seorang pemuda bodoh. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang datuk yang sudah memiliki kematangan ilmu silat. Dia tidak mau dipancing seperti ketika menghadapi Pak-san-kui, yaitu dipancing untuk mengeluarkan semua ilmu-ilmunya agar dapat dipelajari oleh datuk itu. Maka dia lalu mencampur-campurkan semua ilmu silatnya sehingga membuat lawannya bingung dan kagum sekali. Oleh karena maklum bahwa dia tidak akan mampu mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang diselang-seling itu dan tahu bahwa kalau dia hanya bertahan saja, besar kemungkinan dia akan terkena pukulan yang cukup ampuh dan berbahaya, kini See-thian-ong mengambil keputusan untuk menyudahi pertandingan. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan yang parau menggetarkan bumi dan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, dan berdiri dengan kedua kaki serta tangan terpentang lebar. Pada saat itu, Thian Sin sudah melakukan serangan pukulan ke arah dada kakek itu. Melihat kakek itu berdiri dengan dada terbuka, mendengar pula betapa menyusul suara teriakan itu dan tubuh Si Kakek mulai menggembung, tahulah Thian Sin bahwa kakek itu sudah mempergunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu yang oleh Cian Ling disebut sebagai Ilmu Hoa-mo-kang. Akan tetapi dia tidak peduli dan memukul terus, untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu itu. Dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyerahkan dadanya untuk dipukul. “Blukkkk…!” Pukulan tangan kanan Thian Sin yang menggunakan Thian-te Sin-ciang sepenuh tenaga itu tepat mengenai dada, dan telinga Thian Sin laksana mendengar suara tambur dipukul lalu tangannya yang memukul itu tadi terpental kembali seperti memukul bola yang amat keras dan kuat. Tubuhnya sendiri sampai terhuyung akibat terbawa oleh tenaga Thian-te Sin-ciang yang membalik kembali melalui tangannya, dan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, dia sudah berloncatan jungkir balik mematahkan tenaga yang membalik itu. “Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu tentang ilmuku tadi, orang muda? Dapatkah engkau melawannya?” See-thian-ong tertawa pula, hatinya merasa puas dan girang saat melihat lawannya terkejut menghadapi ilmunya. “Locianpwe, ilmumu memang hebat, akan tetapi jangan mengira bahwa aku sudah kalah.” Setelah berkata demikian, pemuda itu menerjang lagi ke depan, akan tetapi sekarang dia menggunakan dua tangannya untuk menyerang bagian-bagian tubuh yang tak terlindung oleh Hoa-mo-kang itu, seperti mata, hidung, bagian muka, dan bagian tubuh lainnya yang tulangnya menonjol dan tidak terlindung oleh daging, seperti tulang pundak, tenggorokan, sambungan siku, lutut dan sebagainya. “Ahhh, kau memang cerdik!” Kakek itu berseru dan repot melindungi bagian-bagian yang terserang itu. Akan tetapi karena tubuhnya sudah menggembung, maka mudah saja baginya, dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya, maka bagian-bagian yang terserang adalah bagian yang terlindung hawa Hoa-mo-kang. Dan kini, begitu tubuhnya terpukul, maka otomatis tangannya langsung membalas serangan dari samping. “Bluggg…! Dessss…!” Ketika dengan kekuatan sepenuhnya tangan Thian Sin menyambar ke arah pundak untuk membikin patah tulang pundak kiri, kakek itu cepat miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai dadanya, dan pada saat yang sama tangannya sudah menampar punggung Thian Sin. Tubuh pemuda itu terpelanting, lantas bergulingan saking kerasnya pukulan lawan. Akan tetapi beruntung baginya bahwa dia tadi sedang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tubuhnya pun menjadi kebal akibat terlindung oleh tenaga itu. Dia tidak terluka, sungguh pun guncangan tenaga hantaman yang keras itu sempat membuat isi dadanya tergetar dan napasnya menjadi agak sesak! “Ha-ha-ha!” See-thian-ong tertawa girang dan bangga. Thian Sin menjadi penasaran dan juga marah. Dia telah menerjang kembali, menusukkan telunjuk dan jari tengah ke arah sepasang mata lawan. Ketika lawannya miringkan tubuh, dia menghantam ke arah tenggorokan. Kakek itu menaikkan tubuh dan miring, sehingga kembali pukulan itu luput dan mengenai dada, dan pada saat itu kakek itu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram tengkuk dan punggung Thian Sin dengan jalan merangkulnya bagai seekor beruang. Akan tetapi, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan teriakan keras. “Aughhhhh…!” Kakek itu terkejut bukan kepalan karena begitu kedua tangannya mencengkeram, tenaga Hoa-mo-kang itu memberobot keluar melalui kedua tangannya lantas tersedot masuk ke dalam tubuh pemuda itu! “Thi-khi I-beng…!” teriaknya. Tiba-tiba saja tubuhnya seperti bola terisi penuh angin yang bocor, mengempis kembali lantas seluruh tenaganya lenyap sehingga dengan sendirinya tenaga sedot Thi-khi I-beng juga tidak berguna lagi dan terlepaslah kedua tangan yang melekat itu. Kakek itu cepat melempar tubuh ke belakang dan sebelum pemuda itu dapat menyerangnya kembali, dia telah bergulingan ke arah tongkatnya dan meloncat lagi dengan tongkat di tangan! Mukanya berubah merah sehingga menjadi makin hitam, dan sepasang matanya seperti mengeluarkan api. Peristiwa tadi, dalam satu gebrakan ketika dia dikejutkan oleh Thi-khi I-beng, sungguh merupakan tamparan baginya. Biar pun dia belum dapat dikatakan kalah, namun segebrakan tadi menunjukkan bahwa fihak lawan yang lebih unggul! Tak mungkin dia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda remaja seperti itu. “Orang muda she Ceng, engkau memiliki banyak sekali ilmu tangan kosong yang hebat-hebat, bahkan Thi-khi I-beng yang baru sekarang kusaksikan sendiri sempat mengejutkan hatiku. Nah, aku sudah terlanjur memegang tongkat, mari kita main-main dengan senjata!” Thian Sin maklum bahwa kini kakek itu tentu akan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang menurut Cian Ling merupakan ilmu simpanan kakek itu yang amat hebat di samping Ilmu Hoa-mo-kang tadi. Dia tadi sudah tahu akan Ilmu Hoa-mo-kang yang amat dahsyat, akan tetapi dengan Thi-khi I-beng, dia akan dapat menghadapi Hoa-mo-kang sehingga dia tak perlu lagi takut terhadap ilmu kakek itu. Kini, kakek itu hendak mengeluarkan ilmu simpanannya, maka hal itu baik sekali baginya untuk menguji. Sebelum dia mengambil sikap keras untuk menentang See-thian-ong ini, terlebih dahulu dia harus dapat mengukur sampai di mana kelihaian lawan. Maka dia pun meraih pedang berikut sarungnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan di lain detik sudah nampak sinar perak berkilauan ketika dia mencabut Gin-hwa-kiam dari sarungnya. “Aku akan melayani locianpwe dan mohon petunjuk,” katanya dengan sikap merendah. Akan tetapi karena tadi dalam gebrakan terakhir dia merasa dirugikan, kini melihat sikap merendah itu bagi See-thian-ong seperti ejekan saja, maka sambil mengeluarkan seruan keras dia pun mulai menyerang dengan tongkatnya. Tongkat itu terbuat dari kayu biasa saja, akan tetapi begitu digerakkan oleh tangan yang berukuran besar milik See-thian-ong, berubahlah tongkat itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi aneh, juga gerakan-gerakannya luar biasa anehnya. Tahu-tahu ujung tongkat itu telah melakukan totokan bertubi-tubi sehingga pada waktu Thian Sin menangkis dan mengelak darinya, ujung tongkat itu secara berantai telah melakukan tiga belas kali totokan sambung menyambung ke arah jalan-jalan darah maut di bagian depan tubuh lawan! Thian Sin terkejut bukan main. Tak keliru keterangan Cian Ling. Memang ilmu silat kakek ini menjadi luar biasa hebatnya setelah dia memegang tongkat! Belum pernah dia melihat ilmu tongkat sehebat ini, dan ujung tongkat itu tergetar menjadi banyak sekali. Inilah yang membuat ilmu tongkat kakek itu amat berbahaya, oleh karena ujungnya yang tergetar sehingga kelihatan menjadi banyak itu sukar diketahui mana yang asli dan mana bayangan-bayangannya. Hal ini membuat tongkat itu amat berbahaya. Juga Thian Sin teringat akan ilmu Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum) yang pernah dipelajarinya dari ibu kandungnya. Siang-bhok Kiam-sut juga memiliki dasar yang bisa membuat sebatang pedang kayu sama ampuhnya dengan sebatang pedang pusaka. Akan tetapi gerakannya jauh berbeda dengan ilmu tongkat kakek ini sehingga dia tetap belum dapat menyelami dan dalam gebrakan pertama itu, dia terdesak hebat. Thian Sin berlaku hati-hati sekali, memutar pedang Gin-hwa-kiam dengan Ilmu Thai-kek Sin-kun yang mengandung daya pertahanan sangat kuat untuk dapat melindungi dirinya dari ancaman bayangan ujung tongkat yang amat cepat itu. Melihat betapa ilmu tongkatnya yang sangat dia banggakan itu kembali dapat mendesak lawan, kegembiraan See-thian-ong bangkit lagi. Dia mulai tertawa-tawa dengan girang dan sengaja menggunakan tongkatnya untuk mempermainkan lawan. Memang hebat sekali ilmu tongkatnya itu. Tongkat di tangannya itu seolah-olah hidup dan menyambar-nyambar dari segala jurusan. Memang, dengan mengandalkan kepada daya tahan Thai-kek Sin-kun, Thian Sin masih bisa melindungi dirinya dengan membuat dirinya seperti terkurung benteng baja. Akan tetapi tidak mungkin dalam suatu pertandingan dia hanya membela diri saja tanpa membalas serangan. Akan tetapi, setiap kali dia membalas, bahkan sudah dicobanya Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, tetap saja setiap kali dia menyerang dia malah hampir saja celaka akibat kena disambar tongkat sehingga dia pun harus cepat-cepat kembali berlindung dalam gerakan Thai-kek Sin-kun untuk menyelamatkan dirinya. Memang benar dia pernah mempelajari Siang-bhok Kiam-sut, akan tetapi pada saat mempelajarinya itu, dia masih kecil dan dasar kepandaiannya belum matang sehingga ilmu itu pun kurang terlatih, atau inti sari ilmu itu masih kurang dapat dikuasainya. Sesungguhnya, ilmu silat apa pun juga mengandung daya guna sendiri-sendiri dan hanya kematangan dalam menguasai suatu ilmu itulah yang membuat ilmu itu menjadi berguna dan kuat. Andai kata Thian Sin sudah betul-betul menguasai Siang-bhok Kiam-sut secara sempurna, belum tentu dia akan merasa terdesak oleh Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dimainkan oleh See-thian-ong itu. Ilmu silat hanya merupakan dasar gerakan saja yang mengandung unsur-unsur membela diri atau menyerang. Ketangguhan seseorang bukan tergantung sepenuhnya dari macam ilmu silatnya, melainkan tergantung kepada dirinya sendiri, kepada kematangannya dalam menguasai ilmu yang dimilikinya itu. Tidak dapat dikatakan mana yang lebih kuat di antara Siang-bhok Kiam-sut dan Giam-lo Pang-hoat. Akan tetapi jika yang memainkan Siang-bhok Kiam-sut adalah Thian Sin yang masih mentah dalam ilmu itu, dan yang mainkan Giam-lo Pang-hoat adalah See-thian-ong pencipta ilmu itu, tentu saja Thian Sin kalah jauh! Buktinya, dahulu tokoh Cin-ling-pai yang merupakan pendiri Cin-ling-pai dan orang pertama yang menguasai Siang-bhok Kiam-sut, dengan pedang kayu harumnya dan ilmu pedangnya itu belum pernah bertemu tanding! Kepandaian manusia memang ada batasnya, atau lebih tepat lagi, kemampuan manusia untuk menguasai suatu kepandaian akan ilmu pengetahuan adalah terbatas sekali. Kalau seseorang menghendaki agar dia menjadi ahli dalam suatu ilmu, dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan pikirannya untuk mempelajari dan memperdalam ilmu itu. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau memang pada dasarnya ada minat dan rasa cinta terhadap ilmu tertentu itu. Jadi, syarat bagi seorang ahli membutuhkan tiga dasar, yaitu bakat, minat dan cermat. Bakat dalam arti kata kecenderungan kemampuan alamiah terhadap ilmu tertentu itu, dan bakat ini seolah-olah terbawa lahir oleh seseorang sehingga sebelum dia itu tahu apa-apa tentang suatu ilmu, dia telah memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan orang lain apa bila dihadapkan pada ilmu itu. Minat adalah rasa cinta atau rasa suka akan ilmu yang dipelajarinya itu karena tanpa adanya minat atau rasa tertarik atau rasa suka ini, tentu saja dia tidak akan bersemangat mempelajarinya. Yang terakhir adalah kecermatan, atau ketekunan di dalam mempelajari ilmu itu. Bakat memudahkan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu, lalu minat mendatangkan gairah belajar, dan kecermatan menuntun kepada ketertiban belajar. Kalau ketiganya ini digabungkan menjadi satu, maka akan berhasillah seseorang menjadi ahli. Jika satu saja di antara ketiganya ini tidak ada, maka akan sukarlah untuk menjadi ahli dalam arti kata yang sedalam-dalamnya. Thian Sin adalah seorang pemuda yang memiliki bakat besar sekali dalam hal ilmu silat. Pada saat masih kecil sekali, hal ini dapat nampak jelas. Begitu belajar, secara naluriah gerakannya sudah cekatan dan patut. Dan dia memang mempunyai minat yang sangat besar terhadap ilmu silat. Akan tetapi, pengalamannya membuat dia di dalam usia muda sudah dijejali oleh banyak sekali ilmu silat tinggi sehingga dia tidak sempat untuk mematangkan satu pun di antara ilmu-ilmu itu. Oleh karena ketidak matangan inilah, maka begitu dia berhadapan dengan lawan yang sudah matang ilmunya seperti See-thian-ong ini, dia menjadi kewalahan dan terdesak terus. Cian Ling yang sejak tadi mengikuti jalanannya pertandingan, memandang gelisah setelah melihat pemuda itu terdesak hebat oleh tongkat gurunya. Tadi pada waktu dua orang itu bertanding dengan tangan kosong, berkali-kali Cian Lin menahan seruan kagum melihat betapa pemuda itu bukan saja dapat menandingi gurunya, bahkan mampu mendesak dan bahkan pada gebrakan terakhir gurunya itu nyaris kalah! Akan tetapi, setelah kini gurunya menggunakan tongkatnya, dia melihat betapa Thian Sin terdesak hebat dan sinar pedang perak itu semakin lama menjadi semakin kecil dan suram, didesak dan dihimpit oleh sinar tongkat di tangan suhu-nya yang terus terkekeh-kekeh dengan senang. Dia sudah mengenal gurunya, dan mengenal kekejaman hati gurunya yang tak mengenal ampun itu. Tentu saja dia merasa amat khawatir akan keselamatan Thian Sin. Dia belum ingin kehilangan pemuda yang amat menyenangkan hatinya itu. Melihat betapa gurunya tertawa-tawa dan mendesak terus, bahkan sudah beberapa kali dia melihat ujung tongkat gurunya itu menghajar pangkal lengan kiri serta paha kanan kekasihnya, Cian Ling tidak mampu lagi menahan hatinya. “Suhu, jangan celakai dia…!” “Ha-ha-ha-ha, dia belum kalah, heh-heh-heh, bukankah begitu, orang muda?” Kakek itu mengejek. Akan tetapi dia sungguh kecelik kalau mengira bahwa Thian Sin mengaku kalah. Pemuda ini memang telah terkena beberapa kali pukulan, akan tetapi dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya kebal dan hanya terasa kulit dagingnya saja memar, akan tetapi tidak sampai menderita luka parah sehingga dia masih terus bisa melakukan perlawanan tanpa pernah mengendur sedikit pun juga. Mendengar pertanyaan yang mengandung ejekan itu, dia menahan kemarahannya. “Aku memang belum kalah, locianpwe!” katanya. “Ha-ha-ha-ha, agaknya kalau belum mampus engkau tidak akan merasa kalah!” Kakek itu memutar tongkatnya lebih keras dan Thian Sin terkejut bukan main karena tanpa dapat dihindarkannya lagi, dadanya kena ditotok atau didorong oleh tongkat itu yang bergerak secara aneh sekali. “Dukkk…!” Dia tidak terluka parah karena tenaga Thian-te Sin-ciang melindungi dirinya. Akan tetapi guncangan oleh totokan yang amat keras itu membuat napasnya seperti terhenti sehingga dia terpelanting. “Thian Sin…!” Cian Ling berteriak, akan tetapi pemuda itu sudah bangkit kembali. Thian Sin maklum bahwa kalau dia hanya menggunakan ilmu-ilmunya yang biasa, maka dia tidak akan mampu menang. Teringatlah dia akan ilmu peninggalan ayah kandungnya. Tidak percuma selama ini, terutama ketika berada di rumah Pak-san-kui, dia mempelajari ilmu ayahnya itu dengan tekun, terutama sekali gerakan dari Ilmu Hok-te Sin-kun. Kini, begitu melihat kakek itu sambil tertawa-tawa menubruknya kembali sambil memutar tongkat, tiba-tiba saja Thian Sin mengeluarkan pekik melengking dan tahu-tahu tubuhnya telah berjungkir balik! Dengan gerakan yang aneh sepasang kakinya menendang-nendang menyambut tongkat, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar, dan tangan kanan yang memegang pedang menggerakkan pedang membabat kaki lawan. Dia hanya menggunakan kepala saja untuk menunjang tubuhnya yang sudah berjungkir balik. “Ehh…?” Kakek itu terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkatnya bertemu dua buah ‘tongkat’ lain berupa kaki pemuda itu dan merasa ada sambaran angin dahsyat yang menyerang dari bawah. Dia cepat meloncat, akan tetapi tak sempat mengelak dari hantaman tangan kiri Thian Sin. Pemuda itu tadi mencengkeram, akan tetapi pada saat melihat lawan meloncat, lalu cepat mengubah cengkeramannya itu menjadi pukulan dengan tenaga Hok-liong Sin-ciang yang dahsyat. “Dessssss…!” Perut kakek itu terkena pukulan. Memang kakek itu cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi perut, akan tetapi tenaga Hok-liong Sin-ciang itu adalah tenaga mukjijat maka tubuhnya terlempar dan terbanting roboh dengan keras sekali! “Heiiiii…!” Saking kagetnya kakek itu berseru heran. Akan tetapi saat dia bangkit berdiri, mukanya langsung menjadi merah saking marah dan malunya. Dia sudah terpukul roboh! Dan dia pun pernah mendengar akan ilmu-ilmu aneh dari Pangeran Ceng Han Houw, maka dia menduga bahwa ilmu jungkir balik tadi tentulah ilmu ayah pemuda itu. “Itulah jurus peninggalan ayah kandungku, locianpwe!” Thian Sin berkata dalam keadaan tubuhnya masih berjungkir balik, merasa gembira bahwa jurus ilmu-ilmu silat peninggalan ayahnya demikian ampuhnya sehingga dapat membuat kakek tangguh itu roboh. “Aku belum kalah!” teriak See-thian-ong dan dia pun sudah menerjang kembali, kemudian disambungnya dengan kata-kata yang penuh getaran aneh, “Berjungkir balik seperti itu tentu membuat kepalamu pening!” Tongkat itu telah digerakkan lagi dan kini kakek itu menyerang dengan hati-hati. Thian Sin menyambut dengan kedua kakinya dan mulailah dia melakukan ilmu silat aneh dari ayah kandungnya. Akan tetapi tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan kepalang. Benarlah kata-kata kakek itu tadi, berjungkir balik seperti itu membuat kepalanya terasa pening! Akan tetapi, dia segera teringat bahwa tidak biasa dia merasa pening apa bila memainkan Ilmu Hok-te Sin-ciang, sehingga tahulah dia bahwa kepeningan itu datang dari pengaruh ucapan kakek itu. Sebagai anak angkat sekaligus murid seorang sakti seperti Pendekar Lembah Naga, tentu saja Thian Sin sudah pernah digembleng oleh ayah angkatnya itu tentang bagaimana harus menghadapi kekuatan yang tidak wajar. Cepat dia mengerahkan khikang-nya lantas mengeluarkan suara melengking dan segera kepeningan kepalanya itu menjadi lenyap dan dia pun dapat menyambut serangan lawan dengan baiknya, bahkan dia dapat membalas dengan serangan dari atas menggunakan dua kakinya, dibantu oleh kedua tangannya dari bawah. Kembali kakek itu merasa terkejut. Dia dapat merasakan getaran tenaga khikang dalam lengkingan suara pemuda itu yang membuyarkan pengaruh sihirnya terhadap pemuda itu, dan kini dia kembali kewalahan menghadapi ilmu jungkir balik yang aneh itu. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh seperti orang membaca doa atau mantera, sehingga dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Thian Sin ketika melihat betapa tubuh lawannya itu perlahan-lahan lenyap! Mula-mula nampak suram-suram lalu semakin lama bayangan kakek itu menjadi semakin tipis. Sukar baginya untuk melawan bayangan yang hampir tidak nampak ini dan terpaksa dia meloncat lalu berdiri di atas kedua kakinya lagi sambil memutar pedangnya. Akan tetapi, kini bayangan lawan itu sudah tidak nampak lagi walau pun gerakannya masih terasa dan tertangkap oleh pendengarannya. Thian Sin kaget dan berusaha mengerahkan khikang sambil membentak. Namun sia-sia belaka, kakek itu betul-betul telah menghilang dan masih terus menghujani dirinya dengan serangan. Pemuda ini berusaha mengandalkan pendengaran telinganya untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja tak mungkin dia dapat melawan orang yang pandai menghilang ini, yang memiliki ilmu tongkat demikian aneh dan lihainya. Setelah berhasil mengelak dan menangkis beberapa kali akhirnya lehernya tertotok keras sekali. Sungguh pun dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, tetap saja dia terpelanting keras dan merasa nanar. Dia cepat mengerahkan tenaga Thi-khi I-beng untuk menjaga diri dan membalas pukulan lawan. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya tertotok dan ternyata yang menotoknya itu adalah tongkat yang diluncurkan dan karena tongkat itu tidak dipegang orang, maka tentu saja Thi-khi I-beng tidak dapat menyerap apa-apa dan jalan darah thian-hu-hiat tertotok dengan tepat dan keras, mengakibatkan tubuh pemuda itu menjadi lemas dan lumpuh sama sekali! “Ha-ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau terpaksa harus mengakui keunggulanku, orang muda!” Kakek itu tertawa dan kini kakek itu pun dapat nampak kembali oleh Thian Sin. Pemuda ini memandang dengan sinar mata penuh penasaran. “Locianpwe telah menggunakan ilmu siluman!” katanya memprotes. “Ha-ha-ha-ha, dan sekarang aku akan membuatmu menjadi siluman tanpa kepala!” kata kakek itu. Dia segera memungut pedang Gin-hwa-kiam yang sudah terlepas dari tangan pemuda itu, agaknya bermaksud ingin memenggal kepala Thian Sin. Kakek ini melihat bahwa pemuda itu merupakan seorang lawan yang sangat berbahaya sehingga kelak dapat mengancam kedudukannya, maka dia mengambil keputusan untuk membunuhnya saja. “Suhu, tahan…!” Cian Ling sudah menjerit dan gadis ini sudah menubruk tubuh Thian Sin, melindunginya dari ancaman gurunya. “Suhu tidak boleh membunuhnya!” “Heh-heh-heh, siapa yang melarangku dan mengapa tidak boleh?” “Suhu, dia datang untuk mengadu ilmu dengan suhu sebagai orang muda minta petunjuk, bukan sebagai musuh. Adu pibu batasnya hanyalah kalah atau menang, dia sudah kalah mengapa harus dibunuh? Dan ke dua, suhu tidak boleh membunuhnya karena aku cinta kepadanya!” “Ho-ho-ha-ha-ha! Cintamu hanya sedalam kulit, dan apa susahnya mencari pemuda yang lebih ganteng dari pada dia? Aku membunuhnya bukan karena bermusuhan dengan dia, melainkan mengingat bahwa dia telah memberontak, pernah membikin kacau di Su-couw dan di Lok-yang. Apa bila aku membunuhnya, bukankah itu berarti kita akan memperoleh jasa telah membunuh seorang pemberontak?” “Hemmm, See-thian-ong, harap locianpwe tidak bicara tentang pemberontakan! Siapakah yang memberontak! Antara locianpwe dan aku ada persamaan bukan? Memang aku telah menyiksa si busuk Phoa-taijin itu, orang macam dia mana ada harganya untuk dijadikan sekutu? Akhirnya malah hanya akan mencelakakan sekutu-sekutu saja. Locianpwe, kalau locianpwe, Pak-san-kui Locianpwe dan juga Lam-sin Locianpwe, bersama-sama dengan aku membantu kekuatan dari utara, bukankah kita merupakan persekutuan yang lebih kuat lagi? Mendiang kakekku, Raja Sabutai di utara juga memiliki pasukan yang kuat dan aku dapat mengumpulkan mereka kalau waktunya telah tiba. Akan tetapi, jangan mengira bahwa kata-kataku ini hanya untuk melindungi nyawaku. Kalau locianpwe memang mau membunuhku silakan, aku bukan orang yang takut mati.” Sejenak kakek hitam tinggi besar itu tertegun. Kakek ini paling suka akan kegagahan dan kejujuran dan memang dia sudah kagum sekali terhadap kegagahan pemuda ini. Akan tetapi dia juga khawatir akan kegagahan yang kelak akan mengancam kedudukannya itu. Tiba-tiba dia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Kekalahannya melawan pemuda itu terutama sekali karena pemuda itu memiliki ilmu jungkir balik tadi, ilmu yang dulu pernah didengarnya menjadi ilmu simpanannya mendiang Pangeran Ceng Han Houw. “Ceng Thian Sin, di kalangan kang-ouw dikenal istilah balas membalas budi dan dendam mendendam. Kini nyawamu berada di tanganku, dan kalau sekali ini aku mengembalikan nyawamu, lalu apa yang dapat kau berikan kepadaku sebagai balasannya?” Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia pun tahu bahwa kelemahan satu-satunya bagi para datuk ilmu silat seperti Pak-san-kui dan juga See-thian-ong ini, jika bukan kedudukan tinggi tentu juga ilmu silat. Akan tetapi dia masih pura-pura tidak tahu dan bertanya, “Locianpwe, apakah yang bisa kuberikan kepada locianpwe? Harta milikku hanya pedang itu, dan beberapa macam ilmu silat yang telah dikalahkan olehmu.” “Ha-ha-ha-ha, memang ilmu apa pun yang kau keluarkan, tidak mungkin engkau mampu menandingi See-thian-ong! Akan tetapi, di antara semua ilmu itu, aku tertarik sekali ketika melihat ilmumu berjungkir balik tadi. Nah, bagaimana kalau engkau memberi tahu padaku tentang ilmu jungkir balik itu sebagai pengganti nyawamu?” Thian Sin menghela napas panjang. “Ilmu itu adalah peninggalan dari mendiang ayahku, Pangeran Ceng Han Houw, dan merupakan ilmu pusaka. Akan tetapi karena locianpwe dapat dikatakan orang sendiri, biarlah kuberikan kalau locianpwe hendak mempelajarinya. Bebaskan aku, dan kitab ilmu itu akan kupinjamkan kepada locianpwe.” cerita silat online karya kho ping hoo Girang sekali hati kakek itu. Dia bersikap memandang rendah ilmu itu padahal sebetulnya dia ingin sekali mempelajarinya. Dengan cepat tongkatnya bergerak lalu bagaikan seekor ular mematuk, ujung tongkat itu dua kali mengenai leher dan pundak Thian Sin sehingga pemuda itu seketika dapat bergerak kembali. “Thian Sin, engkau sembuh kembali!” Cian Ling berkata dengan girang sambil memegang lengan pemuda itu. “Dan engkau pun ikut bertanggung jawab, Cian Ling. Karena itu engkau pun berjasa dan engkau boleh minta upah sepuasnya dari pemuda ini, ha-ha-ha! Nah, keluarkanlah kitab itu, Thian Sin.” Thian Sin segera mengeluarkan kitab peninggalan ayahnya itu, kitab pelajaran Ilmu Silat Hok-te Sin-kun dan menyerahkannya kepada See-thian-ong sambil berkata, “Locianpwe, kitab ini adalah tulisan ayah sendiri dan merupakan kitab pusaka bagiku maka aku hanya bisa meminjamkannya kepadamu selama tiga bulan saja. Setelah lewat tiga bulan, harap locianpwe mengembalikannya kepadaku.” “Ha-ha-ha, tentu saja. Tidak ada ilmu yang membutuhkan waktu demikian lamanya untuk kupelajari!” katanya sambil membuka-buka kitab itu. Thian Sin memungut pedangnya dari atas tanah dan menyarungkannya kembali, lantas mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor, dibantu oleh Cian Ling. “Apakah selama suhu mempelajari kitabnya itu dia boleh tinggal bersamaku?” Cian Ling bertanya. Gurunya tertawa. “Tentu saja! Kini dia menjadi tamu kita dan engkau boleh melayaninya sepuasmu, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali melompat kakek itu lenyap di balik pohon-pohon. “Untung engkau selamat, Thian Sin,” Cian Ling berkata sambil merangkulnya. Thian Sin balas merangkul dan menghela napas panjang. “Karena bantuanmu, Cian Ling. Engkau telah menolongku sehingga aku berhutang budi kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasmu.” “Ihhh, masa kau tidak tahu bagaimana harus membalasnya? Asal engkau selalu bersikap manis dan mencintaku, biar harus berkorban nyawa untukmu pun aku rela, kekasihku.” Demikianlah, dengan melalui Cian Ling akhirnya Thian Sin berhasil berhadapan dengan See-thian-ong bahkan sudah berhasil menguji kepandaian datuk itu. Dia pun tahu bahwa kalau datuk itu tidak menggunakan sihir, dia akan mampu melawan dan menandinginya, bahkan mengalahkannya. Hanya ilmu sihir datuk itulah yang sangat berbahaya dan tidak dapat dilawannya, maka jalan satu-satunya untuk dapat mengalahkan datuk dari barat ini hanyalah menghadapi dan mengalahkan sihirnya. Semenjak hari itu, Thian Sin diajak pulang ke Si-ning oleh Cian Ling. Gadis ini tinggal di Si-ning, di mana terdapat sebuah rumah besar milik See-thian-ong, tempat di mana kakek itu tinggal bersama selir-selirnya. Dan di sisi rumah besar itu terdapat pavilyun-pavilyun kecil di mana tinggal So Cian Ling di bangunan kecil sebelah kanan sedangkan Ciang Gu Sik tinggal di bangunan sebelah kiri. Masih ada lagi beberapa orang murid See-thian-ong yang tinggal di bangunan sebelah belakang dan mereka itu menjadi murid merangkap pelayan-pelayan yang mengurus rumah gedung guru mereka. Ciang Gu Sik, murid kepala yang sudah lama jatuh cinta terhadap Cian Ling, tentu saja merasa sangat mendongkol, cemburu dan panas hatinya ketika melihat betapa pemuda putera pangeran itu menjadi tamu dan tinggal bersama dengan sumoi-nya itu. Akan tetapi dia tidak dapat berbuat sesuatu karena hal itu telah disetujui oleh gurunya. So Cian Ling semakin tergila-gila terhadap Thian Sin. Selama petualangannya dengan kaum pria, yaitu semenjak dara itu dipaksa menyerahkan dirinya kepada gurunya, dan kemudian, dengan watak yang terbentuk oleh pendidikan gurunya dia menjadi tidak peduli akan urusan susila dan mendekati pria mana saja yang dikehendakinya, baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta! Bukan cinta nafsu birahi belaka, melainkan sungguh-sungguh jatuh cinta kepada Thian Sin dan timbul keinginan hatinya untuk selamanya tidak akan berpisah lagi dari pemuda itu. Oleh karena inilah maka semua permintaan Thian Sin dilaksanakannya dengan hati penuh kerelaan dan kesetiaan. Juga, ketika Thian Sin bertanya bagaimana dia bisa menghadapi ilmu sihir dari See-thian-ong dapat ‘menghliang’ itu, Cian Ling lalu berusaha sedapatnya untuk memecahkan rahasia gurunya. Dia sendiri memang sudah pernah mempelajari ilmu sihir dari gurunya. Akan tetapi ilmu sihirnya itu hanya terbatas pada mempengaruhi pikiran orang saja. Dengan ilmu sihirnya ini, Cian Ling dapat menundukkan laki-laki yang berani menolaknya, dan membuat lelaki itu bertekuk lutut dan jatuh cinta padanya. Akan tetapi ilmu sihir untuk mempengaruhi pikiran orang lain ini pasti akan terbentur batu pada waktu berhadapan dengan orang yang kuat batinnya. Buktinya, semua ilmu sihir dari See-thian-ong yang bersifat untuk mempengaruhi pikiran orang lain dan bisa membalikkan pandangan atau pendengaran orang lain melalui pikiran, dapat dibuyarkan oleh Thian Sin melalui pengerahan khikang-nya. Akan tetapi, ilmu sihir yang membuat dirinya lenyap dari pandang mata lawan itu berbeda lagi dan Cian Ling sendiri belum pernah mempelajarinya. Menurut suhu-nya, ilmu itu tidak mudah dimiliki orang, melainkan baru dapat dimiliki melalui pertapaan bertahun-tahun dan melalui pantangan-pantangan yang sangat berat. Ilmu itu termasuk ilmu hitam yang dekat dengan kekuatan-kekuatan gaib alam halus atau dengan lain kata-kata ilmu bantuan roh atau setan. Ketika Thian Sin minta kepadanya agar gadis itu suka memberi tahu kepadanya tentang rahasia ilmu menghilang dari See-thian-ong itu, pada mulanya Cian Ling menjadi bingung sekali. “Kekasihku, sungguh mati aku sendiri belum pernah mempelajari ilmu itu. Ilmu itu terlalu jahat dan terlalu sulit dan cara memperoleh ilmu itu amat mengerikan, di antaranya bahkan harus tidur satu peti dengan mayat. Mana aku berani mempelajarinya? Maka aku tidak tahu bagaimana caranya melawan ilmu itu.” Thian Sin kecewa sekali dan dengan sikap marah dia menjawab, “Cian Ling, kalau benar engkau cinta padaku, engkau harus dapat memecahkan rahasia ilmu itu. Aku penasaran sudah dikalahkan suhu-mu hanya karena ilmu itu, maka aku harus dapat menghadapi dan menandinginya. Apa bila engkau tidak dapat memecahkan rahasia ilmu itu kepadaku, apa artinya aku dekat denganmu?” Karena takut kehilangan cinta pemuda itu, Cian Ling minta waktu tiga hari dan pergilah gadis ini menemui gurunya. Dengan segala kepandaiannya merayu, Cian Ling mendekati gurunya. Mula-mula See-thian-ong mentertawakannya. “Heh-heh-heh, apa artinya ini, muridku yang manis? Bukankah engkau mempunyai putera pangeran itu untuk bersenang-senang? Mengapa tiba-tiba engkau mendekati aku Si Tua Bangka?” Cian Ling cepat merangkul leher kakek itu. “Aihh, jangan berkata begitu, suhu. Bukankah sebelum aku berdekatan dengan pria mana pun juga, suhu yang merupakan pria pertama di dalam hidupku? Suhu merupakan suhu-ku, orang tuaku, juga cinta pertamaku. Terlalu lama dengan pemuda itu membuat aku bosan, dan kini aku sudah rindu sekali kepadamu, suhu.” Dengan sangat pandainya, gadis yang muda ini akhirnya membuat datuk itu menyerah ke dalam gelora nafsu yang membuatnya menjadi buta, tidak dapat membedakan lagi mana yang sungguh-sungguh dan mana yang palsu. Lantas dengan sangat cerdiknya, sesudah merayu gurunya selama dua hari, membuat gurunya mabuk karena di dalam hati kecilnya memang datuk ini sangat sayang kepada Cian Ling, gadis ini baru membawa urusan ilmu menghilang itu dalam percakapan. “Aku melihat ilmu menghliang dari suhu itu amat berguna dan hebat. Ahh, kalau saja aku dapat memiliki ilmu itu… betapa senangnya,” kata Cian Ling ketika mereka sedang rebah berdampingan di atas pembaringan dan Cian Ling membelai-belai rambut suhu-nya yang panjang dan sudah bercampur uban itu. “Heh-heh-heh, bukankah telah pernah kukatakan bahwa untuk mempelajarinya amat sulit dan juga memakan waktu lama? Untuk apa ilmu itu bagimu? Ilmu yang kuajarkan padamu sudah cukup.” “Akan tetapi, melihat betapa suhu baru dapat menundukkan putera pangeran itu sesudah menghilang, terasa olehku betapa pentingnya menguasai ilmu itu.” “Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa hanya dengan ilmu itu saja aku baru dapat mengalahkan dia? Hanya karena dia memiliki peninggalan ilmu dari ayahnya, ilmu jungkir balik bernama Hok-te Sin-kun itu sajalah yang membuat dia lihai. Akan tetapi Ilmu Hok-te Sin-kun sudah mulai dapat kukuasai, maka tanpa ilmu menghilang sekali pun sekarang dengan mudah dia akan dapat kutundukkan!” “Tapi… tapi aku ingin sekali mempunyai ilmu menghilang itu, suhu!” “Untuk apa?” “Bayangkan saja alangkah senangnya. Dengan ilmu itu aku akan dapat memasuki rumah orang tanpa diketahui, dan memasuki kamar-kamar para pengantin baru lalu menyaksikan pemandangan yang amat bagus tanpa diketahui orang.” Kata-kata gadis ini bagi orang biasa tentu akan dianggap cabul dan menunjukkan betapa hati gadis itu penuh dengan kecabulan. Akan tetapi tidak demikian anggapan orang-orang di golongan sesat itu. Kakek itu tertawa bergelak, merasa senang sekali. “Ha-ha-ha, sungguh jalan pikiranmu sama benar dengan jalan pikiranku. Dulu, pada saat aku baru saja berhasil memiliki ilmu itu, aku pun suka sekali memasuki kamar pengantin baru dan menikmati pemandangan dari apa yang mereka lakukan, dan kalau aku tertarik, aku lalu menggantikan si pengantin pria setelah membuat dia tidak berdaya. Ha-ha-ha-ha, engkau memang cocok dan berjodoh menjadi muridku. Akan tetapi, sungguh tidak mudah mempelajari ilmu itu. Mana mungkin engkau sanggup bertahan untuk bertapa selama tiga tahun, menjauhi segala kesenangan, menjauhi pria?” “Suhu, apabila aku tidak dapat mempelajari, setidaknya aku harus bisa menghadapi ilmu itu. Bagaimana kalau aku bertemu lawan yang memiliki ilmu menghliang seperti itu? Ihh, betapa mengerikan bila dipikir. Coba bayangkan, andai kata sekarang ini ada musuh yang memiliki ilmu itu berada di dalam kamar ini dan melihat apa yang kita lakukan!” Gadis itu bergidik. Gurunya merangkulnya sambil tertawa. “Andai kata begitu, habis mengapa? Paling-paling orang itu akan iri hati dan ingin, ha-ha-ha-ha. Dan tidak mungkin ada orang yang mampu menggunakan ilmu itu tanpa dapat kulihat. Jangan kau khawatir, Cian Ling.” “Tentu saja, ketika bersama suhu, aku tidak akan takut, akan tetapi aku tidak akan terus menerus berada di dekat suhu. Bagaimana jika aku sedang merantau sendirian kemudian berjumpa dengan orang yang mempunyai ilmu menghilang atau ilmu hitam lain lagi yang lihai?” Akhirnya, sesudah mempergunakan segala macam bujuk rayu melalui kata-kata dan juga melalui tubuhnya yang muda, berhasil juga Cian Ling mendapat rahasia itu dari gurunya. Dengan hati girang dia berpisah dari suhu-nya dan segera menemui Thian Sin yang telah menanti-nantinya dengan hati mulai kesal dan curiga. Karena dia memperoleh rahasia ilmu itu dengan mengorbankan perasaannya dan secara tidak mudah, maka Cian Ling juga menjual mahal. Dia membuat Thian Sin melayaninya dan menyenangkan hati menurut kehendaknya lebih dulu sebelum dia membuka rahasia itu. Dan ternyata rahasia itu tidaklah begitu sukar. “Kalau engkau menghadapi ilmu menghilang atau ilmu hitam lainnya yang semacam, kau ambillah tanah kemudian sebarkan atau sambitkan tanah itu ke arah suara. Kalau terkena tanah, tentu ilmu itu akan buyar dan orangnya akan nampak lagi.” Bukan main girangnya hati Thian Sin. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkannya kepada Cian Ling, dan dengan sabar dia menanti hingga lewat tiga bulan. Dia hendak membiarkan See-thian-ong, seperti juga Pak-san-kui, tersesat dalam mempelajari Hok-te Sin-kun dan kitab tulisan ayahnya yang sengaja membuat kitab dengan rahasia-rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Orang yang mempelajari kitab-kitab itu tanpa mengenal rahasianya dan melatih diri berdasarkan petunjuk-petunjuk di dalam kitab itu, bukan memperoleh ilmu yang hebat melainkan malah merusak dirinya sendiri! Sesudah lewat tiga bulan, dia menemui See-thian-ong, diantarkan oleh Cian Ling. Setelah menjura dengan hormat, Thian Sin berkata. “Locianpwe, waktu tiga bulan telah lewat dan kuharap locianpwe suka mengembalikan kitab itu kepadaku.” Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, kitabmu memang amat hebat. Akan tetapi, apakah engkau sudah bosan berada di sini? Bosan dengan muridku yang manis ini? Cian Ling, mengapa engkau memperbolehkan dia hendak pergi? Apakah engkau juga sudah bosan?” “Suhu, aku hendak pergi merantau bersama dia!” jawab muridnya. “Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin. Aku sudah mempelajari kitab-kitabmu, akan tetapi aku belum pernah mempraktekkannya. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa yang kupelajari itu bukan barang palsu, marilah kita berlatih sebentar dengan ilmu itu.” Thian Sin mengerutkan alisnya. Tak disangkanya kakek ini demikian cerdik. Akan tetapi, dengan tenang dia menjawab, “Bagaimana jika aku tidak mau melayanimu, locianpwe?” “Hemm, kalau engkau tidak mau melayaniku pun akan kupaksa! Engkau harus mau, dan sebelum kita bertanding lagi, jangan harap engkau akan dapat mengambil kembali kitab-kitabmu.” “Maksud locianpwe, kitab-kitabku itu akan dijadikan semacam taruhan? Bagaimana kalau aku menang?” “Ha-ha-ha, kau menang?” Pertanyaan ini kedengaran lucu sekali oleh datuk itu. Sebelum dia mempelajari kitab-kitab milik pemuda itu, Thian Sin sudah dapat dikalahkannya, mana mungkin sekarang dapat menang? “Apa bila kau menang, maka tentu saja engkau boleh membawa kitab-kitabmu dan juga engkau boleh membawa pergi Cian Ling.” “Dan kalau aku kalah?” Thian Sin bertanya. “Jika kau kalah, engkau tidak boleh pergi lagi, harus mau menjadi pembantuku, ha-ha-ha! Senang punya murid putera mendiang Ceng Han Houw!” Ucapan itu terdengar sebagai hinaan terhadap mendiang ayahnya, maka muka Thian Sin berubah merah. “Locianpwe, karena pertandingan antara kita dulu terjadi di tempat sunyi itu, maka sekarang aku menantang locianpwe untuk melakukan pertandingan di tempat itu lagi. Tentu saja kalau locianpwe berani! Dan aku akan menanti di sana sekarang juga!” Sesudah berkata demikian, Thian Sin berlari keluar dari tempat itu untuk pergi ke tengah hutan, di padang rumput yang indah dan sunyi itu. Cian Ling segera mengejarnya sambil memanggil-manggil namanya. Sesudah kedua orang muda itu pergi, See-thian-ong mengerutkan alisnya. Tidak senang hatinya menerima tantangan pemuda itu. Dan hatinya lebih tak senang lagi ketika melihat betapa muridnya itu agaknya benar-benar jatuh cinta kepada Thian Sin. Tidak mengapa baginya apa bila muridnya itu sekali waktu bermain cinta dengan pria-pria lain. Akan tetapi dia pun tak ingin kehilangan Cian Ling untuk selamanya karena selain dia sangat sayang kepada muridnya yang kadang-kadang juga menjadi kekasihnya itu, juga Cian Ling merupakan seorang pembantu yang sangat boleh diandalkan, bahkan lebih lihai dari pada murid kepala di situ, yaitu Ciang Gu Sik. “Gu Sik…!” Tiba-tiba kakek itu berseru nyaring. Muridnya yang setia itu segera berlari masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Teecu berada di sini, suhu.” “Gu Sik, tahukah kau bahwa putera pangeran itu menantangku dan kalau menang dia akan membawa kembali kitab-kitabnya dan juga sumoi-mu akan ikut pergi bersamanya?” Pria muda berwajah pucat itu menghela napas panjang. “Suhu, sumoi masih terlalu muda sehingga dia sangat lemah dan mudah sekali dihanyutkan oleh perasaannya, harap suhu suka memaafkannya.” “Ha, engkau selalu membela sumoi-mu.” “Memang teecu sangat mencintanya dan teecu lebih menghargai sumoi dari pada nyawa teecu sendiri.” “Bukankah itu juga suatu kebodohan?” “Memang, tapi teecu tidak berdaya…” “Sudahlah, memang murid-muridku semua lemah! Sekarang, kumpulkan semua sute-mu, juga cepat undang para tokoh silat di kota ini dan sekitarnya untuk datang ke hutan dekat telaga, berkumpul di padang rumput tengah. Pertandingan sekali ini harus disaksikan oleh banyak orang agar mereka semua melihat bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw yang terkenal itu dapat kutundukkan. Dan dia telah berjanji kalau kalah maka dia akan menjadi pembantuku!” Ciang Gu Sik mengerutkan alisnya. Kalau jadi pembantu, berarti pemuda itu akan terus berada di situ, dan ini berarti bahwa dia akan kehilangan sumoi-nya! “Suhu, kalau dia kalah, bukankah sebaiknya kalau dia dibinasakan saja? Ingat, suhu, jika memelihara macan amatlah berbahaya. Masih kecil dan lemah memang menyenangkan, akan tetapi kalau kelak sudah besar dan kuat, bisa berbahaya bagi yang memeliharanya.” “Ha-ha-ha, aku mengerti maksudmu. Kita lihat saja bagaimana baiknya nanti. Bagiku, dia dibunuh atau tidak bukan soal lagi. Yang penting sekarang ini, mengalahkan dia di depan banyak orang.” “Baik, suhu. Teecu akan mengumpulkan kawan-kawan.” Dan pemuda bermuka pucat itu lalu pergi dengan cepat untuk melaksanakan perintah gurunya. Sementara itu, Thian Sin sudah siap berada di padang rumput di tengah hutan, di mana untuk pertama kalinya dia bertemu dan bertanding dengan See-thian-ong dan dikalahkan kakek itu dengan ilmu sihirnya. Cian Ling menyusulnya dan setelah tiba di tempat itu, dia berkata dengan suara khawatir, “Thian Sin, engkau terlalu ceroboh. Kenapa engkau tidak mau berunding dulu denganku? Engkau menantang suhu dan membikin suhu marah. Berbahaya sekali, apa lagi sesudah suhu mempelajari kitab-kitabmu, berarti dia sudah mengenal ilmu-ilmumu yang paling kau andalkan.” Thian Sin tersenyum tenang. “Lebih baik engkau mengkhawatirkan suhu-mu, Cian Ling. Sekali ini, dia tidak akan dapat menangkan aku!” “Tapi, sungguh amat sulit untuk menangkan suhu, dan kalau kau kalah… sekali ini belum tentu aku akan dapat menolongmu…” “Kalau sampai aku kalah dan dia membunuhku, aku tidak akan penasaran lagi, Cian Ling. Engkau sudah cukup banyak membantuku.” “Dan kalau engkau menang?” “Aku akan meninggalkan tempal ini!” “Dan engkau akan mengajak aku, bukan?” Thian Sin menggeleng kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, Cian Ling. Persahabatan kita sampai di sini saja. Kelak mungkin sekali kita akan bertemu lagi.” “Tetapi… aku… aku tidak mau berpisah darimu, Thian Sin… ahhh, aku akan merana, aku akan merindukanmu, aku cinta padamu…” Thian Sin menggeleng kepalanya dan tersenyum. “Cian Ling, ingatlah bahwa hubungan di antara kita hanya sebagai sahabat, sama sekali tidak pernah ada janji cinta di antara kita dan tidak ada janji bahwa hubungan antara kita ini akan berkelanjutan. Aku mempunyai banyak tugas yang belum kuselesaikan, aku harus pergi, sendirian saja.” Wajah Cian Ling berubah agak pucat. “Aku… aku akan merasa kehilangan…” Hampir dia menangis. Sejak kecil gadis ini hidup di kalangan golongan sesat dan belum pernah dia merasa jatuh cinta kepada seorang pria. Hubungannya dengan para pria sebelum dia bertemu dengan Thian Sin hanyalah hubungan jasmani yang tidak pernah menyentuh hatinya. Akan tetapi, hubungannya dengan Thian Sin ini berbeda sama sekali. Bukan hanya hubungan jasmani yang mencari kepuasan belaka, melainkan lebih mendalam, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan pemuda itu. Thian Sin tersenyum ramah padanya. Bagaimana pun juga, gadis ini sudah berjasa besar kepadanya. Memberinya kenikmatan dan mengajarnya tentang kemesraan, bahkan telah menyelamatkan nyawanya ketika dia terancam maut di tangan See-thian-ong, kemudian bahkan membantunya menemukan kunci kelemahan ilmu sihir kakek itu. Bagaimana pun juga, dia akan selalu menganggap gadis itu sebagai seorang sahabat yang baik, seorang penolong. Akan tetapi tidak mungkin dia menerima gadis ini sebagai seorang kekasih yang selamanya akan mendampinginya. Permainan cinta itu, bagaimana pun juga, akan membosankan. “Tak ada pertemuan tanpa berakhir dengan perpisahan, Cian Ling. Jalan hidup kita saling bersilang, akan tetapi kelak kita tentu akan dapat saling bertemu kembali. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan seorang diri saja, akan tetapi kelak kita pasti akan saling berjumpa kembali, karena bagaimana pun juga, aku tidak akan pernah dapat melupakanmu, Cian Ling.” Sebelum gadis itu menjawab, tiba-tiba saja terdengar suara orang banyak datang dari luar hutan lantas bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, mengurung tempat itu. Melihat bahwa yang berdatangan itu adalah para pembantu serta murid-murid suhu-nya, juga dia melihat bahwa di antara mereka banyak orang-orang kang-ouw dari Si-ning dan sekitarnya, Cian Ling terkejut bukan main. Permainan apa yang akan dilakukan suhu-nya ini, mendatangkan semua pembantu dan kenalan? “Hati-hati… mereka adalah orang-orangnya suhu…,” Cian Ling berbisik. Dan tidak lama kemudian muncullah See-thian-ong! Dia nampak gagah perkasa dengan pakaiannya yang longgar dan sederhana. Rambutnya yang penjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Wajahnya yang hitam mengkilat itu berseri-seri dan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam itu nampak gembira. Memang hatinya gembira sekali, karena dia melihat betapa banyak orang kang-ouw yang berdatangan di tempat itu setelah menerima berita dari muridnya. Dan dia gembira karena sebentar lagi dia akan dapat mengalahkan putera dari Pangeran Ceng Han Houw dengan disaksikan oleh banyak orang. Kalau saja pemuda itu bukan putera Ceng Han Houw, tentu dia tidak akan mau bersusah payah mengumpulkan banyak orang saksi. Akan tetapi, mengalahkan putera pangeran itu bukanlah hal kecil, merupakan berita besar, apa lagi kalau diingat betapa pemuda putera pangeran itu memang lihai sekali, telah mewarisi banyak ilmu-ilmu tinggi dari Cin-ling-pai! Yang ditakutinya hanyalah ilmu jungkir balik peninggalan Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi kini dia sudah menghafal dan mengenal ilmu itu. Dia tidak takut lagi bahkan merasa yakin bahwa dia akan dapat menundukkan lawan jika pemuda itu mengandalkan ilmu-ilmu dari kitab yang telah dipelajarinya selama tiga bulan. Begitu melihat kakek raksasa itu, Thian Sin lalu melangkah maju. Baginya, berkumpulnya banyak orang itu tidak menimbulkan rasa gentar, karena dia merasa yakin bahwa seorang datuk yang berkedudukan tinggi dan mempunyai kesaktian seperti See-thian-ong itu tidak mungkin sudi mengandalkan pengeroyokan untuk menghadapi lawan. Malah mungkin ada untungnya baginya, pikir Thian Sin. Paling tidak, oleh karena banyak orang yang menyaksikan, kakek yang banyak akalnya itu tentu akan merasa malu untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dengan suara lantang dia menyambut kedatangan kakek itu dengan kata-kata yang masih cukup sopan dan halus, namun penuh tantangan. “Locianpwe See-thian-ong sudah menepati janji! Tiga bulan lewatlah sudah dan sekali ini aku akan mengadu ilmu melawan locianpwe, ada pun kitab-kitab yang kutitipkan kepada locianpwe menjadi taruhan! Harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu supaya dipegang oleh orang lain dan siapa yang menang berhak menerima kitab itu.” See-thian-ong tertawa bergelak. Senang hatinya karena pemuda itu tidak menyinggung di hadapan orang-orang banyak bahwa dia telah meminjam kitab-kitab pemuda itu untuk dia pelajari. Memang sengaja Thian Sin bersikap demikian untuk melunakkan hati kakek ini sehingga kakek ini tidak akan mempergunakan siasat curang. Membikin marah kakek ini sebelum mereka bertanding, tentu akan berbahaya karena di dalam kemarahannya mungkin kakek ini tidak akan tahu malu lagi dan mempergunakan muslihat yang dapat membahayakan dirinya. “Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab peninggalan Pangeran Ceng Han Houw ini ternyata tidak begitu hebat seperti yang kukira! Ceng Thian Sin, sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw dan sebagai murid Cin-ling-pai yang telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, engkau sekarang sedang berhadapan dengan See-thian-ong! Tiga bulan yang lalu engkau sudah kukalahkan dan kuampuni nyawamu. Kalau sekali ini engkau berani maju lagi, sama saja halnya dengan engkau mengantar nyawa secara sia-sia. Bagaimana jika engkau mengaku kalah, lalu berlutut delapan kali dan atas nama Pangeran Ceng Han Houw dan atas nama Cin-ling-pai menyatakan tunduk kepada See-thian-ong?” Kata-kata ini dikeluarkan dengan suara keras oleh kakek itu, karena memang maksudnya agar dapat terdengar oleh semua orang. Thian Sin menerima kata-kata itu dengan hati panas, akan tetapi dia tak mau dipengaruhi kemarahan. Dia lalu memandang ke sekeliling dan melihat betapa wajah orang-orang itu tersenyum mengejek, juga melihat betapa Ciang Gu Sik telah berdiri di belakang gurunya sambil memandang kepadanya penuh kebencian, juga tersenyum mengejek. Hanya Cian Ling seorang yang berdiri dengan muka pucat, memandang padanya dengan sinar mata penuh pernyataan cinta dan juga kekhawatiran. Thian Sin menghela napas panjang. Sayang sekali, seorang dara seperti Cian Ling telah terperosok ke dalam pecomberan seperti itu, pikirnya dan merasa heran sendiri mengapa dalam saat seperti itu dia memikirkan keadaan gadis itu. “Locianpwe, kalah atau menang di dalam suatu pibu adalah hal yang wajar dan baru bisa dikatakan kalah atau menang apa bila sudah dibuktikan. Maka, sekarang harap locianpwe suka mengeluarkan kitab-kitabku itu.” “Ha-ha-ha-ha, kitab-kitab semacam ini tidak ada harganya!” Berkata demikian, kakek itu lantas menggerakkan tangannya dan tahu-tahu ada dua buah kitab yang melayang keluar dari lengan bajunya dan seperti dua ekor burung, kitab-kitab itu melayang-layang, seperti hendak mencari tempat mendarat. Melihat ini, semua orang yang berada di situ memandang kagum, dan Thian Sin maklum bahwa peristiwa itu bukanlah ilmu sihir, namun sebuah demonstrasi kekuatan khikang dari See-thian-ong yang dengan kekuatannya yang amat besar telah menguasai kitab-kitab itu sehingga dapat dilayangkan ke mana pun dia suka. “Harap locianpwe berikan kitab-kitab itu kepada Nona Cian Ling yang kupercaya sebagai pemegangnya,” Thian Sin berkata lagi. Kakek itu masih tersenyum lebar dan begitu dia menudingkan telunjuknya, dua buah kitab itu melayang ke arah Cian Ling dengan kecepatan seperti dua buah peluru meriam! Cian Ling terkejut, menggunakan kedua tangan menerima kitab. Dia berhasil menangkap dua buah kitab itu, akan tetapi saking kuatnya tenaga yang mendorong kitab-kitab itu, wanita ini sampai terhuyung ke belakang. “Ceng Thian Sin, engkau yang sudah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai serta ilmu-ilmu dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, nah, kau majulah dan keluarkan semua ilmu-ilmu itu!” kata See-thian-ong. Kini mengertilah Cian Ling mengapa suhu-nya mengumpulkan semua orang kang-ouw di daerah itu. Kiranya suhu-nya hendak mencari saksi untuk memamerkan bahwa dia sudah mampu mengalahkan wakil dari Cin-ling-pai dan putera Pangeran Ceng Han Houw, untuk mengangkat namanya agar lebih tinggi lagi! Juga Thian Sin dapat menduga maksud hati lawannya, maka dia pun tidak mau banyak bicara lagi. “Awas serangan!” Thian Sin membentak nyaring dan dia sudah menggerakkan tubuhnya menyerang dengan jurus dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun yang baru-baru ini dipelajari dari Kakek Yap Kun Liong. Dua tangannya yang mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, juga ilmu yang didapatnya dari kakek sakti itu, kini mengepulkan uap putih yang mengandung kekuatan dahsyat. Akan tetapi, kakek tinggi besar itu sudah siap dengan Ilmu Hok-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung, penuh dengan hawa yang dahsyat bukan kepalang sehingga dia tidak takut menghadapi serangan-serangan berbahaya dari lawannya. Thian Sin hanya memainkan beberapa jurus saja dari Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, dan sesudah beberapa kali mereka saling serang serta mengadu lengan, Thian Sin langsung mengubah lagi caranya bersilat, kini dia mainkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang. Juga ilmu silat yang membuat sepasang lengannya sekuat baja ini dia mainkan beberapa jurus saja, lalu disambung dengan San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun dari Cin-ling-pai. Memang pemuda ini sengaja menahan dahulu dan tidak mengeluarkan ilmu simpanannya yang telah dipelajarinya dari peninggalan ayahnya, untuk mengecoh lawan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Hal ini membuat lawannya sangat penasaran. Justru ilmu-ilmu dari Pangeran Ceng Han Houw yang selama beberapa bulan ini dengan tekun dipelajarinya dari kitab-kitab itulah yang ingin dia lawan dan dia kalahkan. “Ceng Thian Sin, mana itu ilmu-ilmu yang tersohor dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw? Keluarkanlah, aku tidak takut, ha-ha-ha!” Thian Sin memang juga sudah menanti saat ini. Begitu lawannya menantang, dia segera mengeluarkan pekik melengking kemudian tiba-tiba saja dia telah menyerang dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang yang sangat hebat, ilmu ciptaan Bu Beng Hud-couw yang diwarisinya dari ayahnya. Melihat pemuda itu menyerangnya dengan jurus kelima dari Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Ilmu Silat Sakti Menundukkan Naga), kakek itu tertawa. Dia tentu saja mengenal gerakan ini, karena itu cepat dia bersiap-siap menandinginya sebab telah tahu bagaimana caranya menghadapi jurus ilmu silat ini. Akan tetapi, ketika dia sudah bergerak dan merasa yakin akan dapat memecahkan jurus ke lima ini sambil tersenyum mengejek, kakek itu terkejut bukan main! Jurus ini memiliki kelihaian dalam pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan yang mengarah pada lambung lawan, sedangkan gerakan kaki tangan lainnya merupakan pancingan dan hanya gertakan belaka. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya dia waspada terhadap pukulan tangan kiri yang tersembunyi dan tidak terduga-duga itu, yang juga mengandung inti tenaga di dalam jurus itu. Akan tetapi kenyataannya lain sama sekali! Memang tangan kiri pemuda itu melanjutkan serangan seperti yang terdapat di dalam petunjuk kitab Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu, akan tetapi pukulan tangan kiri pemuda ini biasa saja dan ‘kosong’, dan begitu ditangkisnya, tiba-tiba saja dia merasa datangnya hawa pukulan lain dari atas, yaitu dari tangan kanan lawan, yang datangnya berlawanan arah dengan pukulan tangan kiri, sama sekali terbalik! Dia terkejut dan cepat dia membuang diri ke belakang, lantas bergulingan dan meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi dahi. Meski pun dia tadi dapat meloloskan diri, akan tetapi sambaran hawa pukulan dahsyat tadi menyerempet pundaknya yang merasa panas seperti terbakar api! “Inilah ilmu peninggalan ayahku, Pangeran Ceng Han Houw!” Thian Sin membentak keras dan menyerang lagi dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang! Akan tetapi sekarang kakek itu sudah menaruh curiga dan tidak terlampau mengandalkan pengetahuannya tentang ilmu itu. Dan memang kini nyatalah olehnya bahwa semua jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu sama sekali berbeda dengan yang sudah dipelajarinya, walau pun nampaknya saja sama. Hanya ada persamaan pada kulitnya, akan tetapi amat berbeda pada isinya. Seperti emas tulen dengan emas palsu. Tahulah dia bahwa dia telah mempelajari kitab palsu dan marahlah See-thian-ong. Dia sudah dipermainkan dan ditipu oleh pemuda ini! Betapa pun juga, dia merasa sangat penasaran. Pada saat Thian Sin mengubah ilmunya dengan berjungkir balik, yaitu mainkan ilmu silat sakti Hok-te Sin-kun, See-thian-ong yang ingin memamerkan kepandaian kepada semua orang bahwa dia pun dapat mainkan ilmu peninggalan Pangeran Ceng Han Houw, juga segera berjungkir balik untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi kembali dia kecelik, dan sesudah mereka berputar-putar saling serang sampai belasan jurus, See-thian-ong selalu bertemu dengan kenyataan bahwa ilmu berjungkir balik yang dipelajarinya ini pun kosong! Dan kesombongannya untuk memandang rendah lawan ini hampir saja merenggut nyawa datuk dari barat ini!....


PENDEKAR SADIS JILID 19 :
PADA waktu Thian Sin melakukan serangan dengan kaki kanannya yang seperti sebatang cangkul itu menendang dari atas ke arah pusarnya, See-thian-ong yang mengenal jurus ini secara keliru membuat perhitungan. Menurut jurus yang dipelajarinya, jurus ke sebelas dari ilmu Hok-te Sin-kun ini adalah jurus yang kosong, atau jurus yang hanya indah dan kelihatan berbahaya tapi tidak mengandung isi serangan, melainkan untuk memperkokoh kedudukannya untuk melakukan jurus selanjutnya yang merupakan inti serangan. Maka dia pun tak begitu memperhatikan, melainkan menanti datangnya jurus berikutnya, hanya berusaha untuk mendahului lawan, karena itu dia mengira bahwa saat inilah yang paling baik untuk mendahului lawan. Maka, begitu jurus ke sebelas mulai digerakkan oleh Thian Sin dengan menendangkan kaki kanan ke pusar, kakek itu menggereng dan membiarkan saja kaki lawan melayang, dan tangan kanannya lalu mencengkeram ke depan, ke arah tenggorokan lawan, ada pun tangan kirinya menahan tubuh dan kaki kirinya juga menendang ke arah anggota rahasia lawan. Sungguh serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi kakek itu lalu berseru kaget. Kiranya tendangan ke arah pusar yang menurut pelajaran hanya kosong itu, kini berubah menjadi tendangan menotok ke arah pundaknya di mana terdapat jalan darah kin-ceng-hiat pada pundak kiri! Dan untuk menangkis tidak mungkin lagi karena dia sendiri sedang melakukan serangan. Untuk mengelak lebih tidak mungkin lagi, sedangkan serangan lawan itu lebih dahulu datangnya dari pada serangan sendiri. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang. Dari perutnya keluar suara kok-kok-kok dan tubuhnya seketika menggembung. “Desss…!” Jalan darah pada pundaknya terlindung oleh Hoa-mo-kang sehingga tak sampai tertotok, akan tetapi gerakan ujung kaki Thian Sin mengandung tenaga mukjijat dari sinkang yang didapatnya dari latihan berjungkir-balik, maka tubuh kakek yang menggembung itu segera terlempar sampai lima meter dan terbanting lalu bergulingan seperti sebuah bola besar! Maka terkejutlah semua orang yang hadir di sana! Merupakan berita aneh kalau sampai See-thian-ong dikalahkan orang, dan melihat tubuh datuk itu terlempar, terbanting lantas terguling-guling sungguh merupakan kenyataan yang lebih aneh pula. Akan tetapi tidak percuma pula kakek itu disebut datuk dari barat karena dia sudah dapat meloncat bangun kembali. Mula-mula wajahnya yang berkulit hitam itu agak berkurang hitamnya karena pucat, akan tetapi segera berubah menjadi hitam sekali pada saat darah memenuhi mukanya, saking malu dan marahnya. Tahulah dia sekarang bahwa dia benar-benar telah tertipu oleh pemuda yang kini berdiri tegak sambil tersenyum mengejek di depannya itu, dalam jarak kurang lebih enam meter karena dia tadi terpental dan terlempar. “Bagaimana pendapatmu sekarang tentang ilmu peninggalan dari ayahku, yaitu Pangeran Ceng Han Houw jagoan nomor satu di dunia, See-thian-ong?” Sikap Thian Sin sekarang tak lagi hormat seperti tadi, melainkan penuh dengan ejekan. “Sekarang engkaulah yang harus berlutut di depan kakiku dan mengaku kalah.” Tentu saja ucapan ini membuat kemarahan dalam benak See-thian-ong menjadi semakin berkobar. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk ke depan, tangannya memegang senjata yang amat diandalkannya, yaitu sebatang tongkat yang segera dimainkannya dengan Ilmu Tongkat Giam-lo Pang-hoat yang dahsyat itu. Angin bersuitan dari segala penjuru pada saat dia menerjang dan mengamuk. Akan tetapi Thian Sin sudah cepat berjungkir balik. Dia maklum bahwa tongkat itu sangat lihai, maka satu-satunya cara untuk menghadapinya hanyalah menggunakan ilmu simpanannya ini. Dengan Hok-te Sin-kun dia melawan. Terjadilah pertandingan yang sangat seru, juga amat aneh karena yang seorang melayani lawan dengan berjungkir balik. Saking cepatnya gerakan mereka, kadang kala keduanya lenyap sehingga hanya terlihat bayangan mereka saja, membuat para penonton menahan napas. Dan kadang-kadang gerakan mereka itu amat lambat dan dapat diikuti pandangan mata, namun dalam gerakan lambat itu terkandung tenaga yang dahsyat, sampai kadang-kadang terasa oleh para penonton yang berdiri menjauh. Ilmu berjungkir balik dari Thian Sin itu memang merupakan ilmu yang amat disegani dan ditakuti See-thian-ong. Ketika mereka berdua saling bertanding pada pertemuan pertama, datuk itu sudah merasakan kehebatan ilmu ini. Kini, hatinya mula-mula besar karena dia merasa sudah dapat menguasai ilmu aneh itu. Siapa kira, yang dikuasainya hanyalah ilmu palsu. Maka sekrang kembali dia harus menghadapi ilmu aneh yang sangat lihai itu dan akibatnya, dia kembali terdesak hebat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya lenyap! Thian Sin sadar bahwa lawannya sudah menggunakan ilmu hitam. Para penonton yang tidak terbebas dari pengaruh ilmu hitam ini, mengeluarkan suara kaget ketika melihat kakek itu hilang begitu saja, akan tetapi gerakannya masih bisa tertangkap oleh telinga mereka. Thian Sin hanya mengandalkan pada ketajaman telinganya untuk menghindarkan diri atau menangkis. Kedua kakinya bergerak-gerak, akan tetapi tetap saja dia terdesak. “Bukkk!” Sebuah pukulan tongkat mengenai punggungnya dan tubuh pemuda itu terpelanting. “Ha-ha-ha…!” Suara See-thian-ong terdengar tertawa bergelak dan kembali tubuh Thian Sin kena hajar tongkat, kini mengenai pahanya. Thian Sin sudah memperhitungkan dan secepat kilat, tangannya yang berada di bawah sudah meraih dan mencengkeram tanah, lalu dilontarkan ke arah suara ketawa itu. “Ahhh…!” Seketika nampaklah tubuh kakek itu dan secepat kilat Thian Sin menggerakkan tubuhnya, melakukan penyerangan dengan jurus terampuh dari Hok-te Sin-kun! Kakek itu masih belum lenyap rasa kagetnya melihat ilmu hitamnya dipunahkan Thian Sin dan melihat gerakan jurus penyerangan itu, otomatis dia pun bergerak menangkis sesuai dengan apa yang pernah dilatihnya. Dia lupa bahwa yang dilatihnya itu adalah ilmu palsu, maka tentu saja tangkisannya tidak tepat dan baru diketahuinya setelah terlambat. “Dessss…!” Pukulan tangan Thian Sin yang dilakukan dengan tubuh yang tadinya berjungkir balik lalu berputar berdiri lagi, tepat mengenai lambung kiri kakek itu. See-thian-ong berteriak keras lantas tubuhnya terbanting, dari mulutnya tersembur darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah! Akan tetapi, tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, karena dia telah meloncat berdiri lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan agak terhuyung. Pada saat itu, murid utamanya, yaitu Ciang Gu Sik, sudah menerjang Thian Sin dengan mempergunakan senjata mautnya, yaitu senjata joan-pian dari emas. Serangannya diikuti pula oleh para murid See-thian-ong, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi tamu datuk itu ikut pula mengeroyok, tentu saja karena mereka ini ingin berjasa dan mengambil hati Sang Datuk. Melihat ini Thian Sin lalu tertawa dan sekali melompat, tubuhnya sudah melayang jauh meninggalkan tempat itu. “Thian Sin, tunggu…!” Cian Ling hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suheng-nya serta gurunya sudah bendiri di depannya menghadang. Melihat gurunya yang memandang padanya dengan mata mendelik dan mulut berlepotan darah, Cian Ling terkejut dan ketakutan. Sementara itu, orang-orang kang-ouw tidak ada yang berani mengejar Thian Sin yang sudah berlari jauh dan tidak nampak lagi. “Murid murtad!” See-thian-ong membentak marah sekali. “Suhu…!” Cian Ling berkata dengan mata terbelalak ketakutan pada saat melihat gurunya melangkah maju mendekatinya. “Plakkk!” Sebuah tamparan yang keras dari tangan kiri See-thian-ong menyambar pipi kanan dara itu, membuatnya terpelanting keras. “Engkau pengkhianat! Engkau sudah membuka rahasiaku kepadanya, ya?” See-thian-ong membentak marah. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membocorkan rahasiaku?” “Suhu, aku… aku cinta padanya…” “Tidak peduli engkau cinta padanya tapi engkau sudah membocorkan rahasiaku, engkau sudah mengkhianatiku, maka engkau tidak layak hidup lagi!” See-thian-ong melangkah maju menghampiri murid yang kadang kala menjadi kekasihnya itu. Cian Ling berlutut sambil mengangkat muka, memandang ketakutan, ujung bibirnya pecah berdarah bekas tamparan tadi, rambutnya kusut dan pakaiannya kotor. “Mampuslah, murid pengkhianat!” See-thian-ong memukul dengan tongkatnya. “Tranggg…!” Cian Ling menangkis dengan pedangnya yang bersinar putih! Sikap melawan ini sungguh luar biasa. Di kalangan kang-ouw, kiranya jarang ada murid berani melawan gurunya, apa lagi melawan dengan senjata. Akan tetapi See-thian-ong adalah seorang datuk kaum sesat dan di dalam golongan kaum sesat ini memang tak berlaku sopan santun dan tata tertib, sehingga perlawanan seorang murid terhadap gurunya pun bukanlah hal aneh. Apa lagi kalau dipikir bahwa selain murid, wanita muda yang cantik ini pun kadang-kadang menjadi kekasih gurunya itu! “Bagus kau melawan, jangan katakan aku yang kejam!” kata See-thian-ong dan dia pun menyerang lagi lebih hebat. Setiap serangan tongkatnya merupakan serangan maut, dan angin dahsyat menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Cian Ling yang juga melawan sekuat tenaga. “Suhu, jangan bunuh sumoi…!” Tiba-tiba Ciang Gu Sik sudah meloncat ke depan, lantas dengan senjata ruyungnya dia pun membantu sumoi-nya, menangkis serangan gurunya yang selalu mengancam diri sumoi-nya itu. Kini kedua orang murid itulah yang melawan guru mereka, dan meski pun kini ada Gu Sik yang membantu sumoi-nya menangkis serangan-serangan guru mereka, akan tetapi tetap saja Cian Ling terdesak hebat sehingga beberapa kali tongkat See-thian-ong hampir saja menyambar kepalanya dengan pukulan-pukulan maut. See-thian-ong marah bukan main. Dia merasa sakit hati karena dikhianati oleh muridnya sendiri, murid yang terkasih lagi, dan kini melihat Gu Sik membela Cian Ling mati-matian dia menjadi semakin marah. Dia tahu bahwa murid kepala ini mencintai Cian Ling, akan tetapi tidak diduganya bahwa cinta Gu Sik sampai membuat murid itu berani menentang dirinya pula. Untuk merobohkan Gu Sik dia tidak tega. Pertama karena Gu Sik tidak bersalah apa-apa kepadanya, dan kedua, dia pun tahu bahwa Gu Sik adalah seorang murid yang setia dan boleh diandalkan bantuannya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan melihat betapa senjata ruyung dari murid kepala itu sama sekali tidak pernah balas menyerangnya, namun hanya digunakan untuk membantu Cian Ling, yaitu menyelamatkan sumoi-nya itu dari ancaman senjata See-thian-ong. Dihadapi oleh kedua orang murid utamanya, repot juga bagi See-thian-ong untuk dapat merobohkan Cian Ling. Apa lagi karena dia tidak ingin melukai Gu Sik. Oleh karena itu, tiba-tiba dia membentak keras dan dengan sebuah tendangan yang amat cepat dan kuat dia membuat ruyung di tangan murid utama itu terlempar, lantas di lain saat tongkatnya sudah menotok pundak Cian Ling. Gadis itu mengeluh panjang dan roboh terkulai. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya lagi, akan tetapi tiba-tiba Gu Sik menubruk sumoi-nya dan menghalangi suhu-nya. “Suhu, lebih baik bunuh teecu lebih dahulu!” kata Gu Sik dengan sikap berani, melindungi sumoi-nya. “Hemm, Gu Sik, engkau hendak menentang suhu-mu pula? Hendak membela sumoi-mu yang menjadi pengkhianat?” “Suhu, teecu mencintainya…” “Karena dia cantik dan muda?” “Tidak, karena memang teecu mencintainya dan teecu siap membelanya dengan nyawa.” “Jika begitu, aku akan mengubah hukumannya. Minggirlah dan aku perkenankan engkau mengambilnya sebagai isterimu.” “Terima kasih, suhu!” Gu Sik berlutut. See-thian-ong menggerakkan tongkatnya beberapa kali. Terdengar bunyi ‘krek-krek’ dan tulang sambungan pergelangan tangan dan siku kedua lengan Cian Ling patah-patah dan remuk-remuk. Dengan demikian, biar pun dengan pengobatan kedua lengan itu akan dapat bersambung lagi tulang-tulangnya, namun untuk mempunyai ilmu kepandaian tinggi sudah tak mungkin lagi bagi Cian Ling. Sambungan siku dan pergelangan lengan merupakan bagian-bagian terpenting dalam gerakan silat. Kalau hanya patah saja, dapat tersambung lagi dan tulang yang tersambung lagi cukup kuat. Akan tetapi, dalam keadaan remuk seperti itu dan sambungan telah terlepas, walau pun dapat sembuh, tak mungkin dapat menjadi kuat kembali. Kini Cian Ling telah menjadi penderita cacad dan dia tidak lagi dapat mengandalkan ilmu silatnya. Tentu saja, jika dibandingkan dengan wanita biasa, dia masih jauh lebih tangguh kerena dengan gerakan tubuh dan tendangan-tendangan kakinya, dia masih akan mampu mengalahkan dua tiga orang pria biasa. Menerima hukuman seperti itu, yang sangat mengerikan bagi seorang ahli silat, Cian Ling menangis dan pingsan! Gu Sik lalu memondong tubuh sumoi-nya untuk dirawat, dan para orang-orang kang-ouw pun bubarlah, tak ada yang berani bicara, apa lagi membicarakan kekalahan datuk itu! Hanya setelah mereka berada jauh dari tempat itu saja, mereka berani berbicara dengan suara bisik-bisik, menyatakan kekaguman dan keheranan mereka tentang pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang di hadapan mata mereka telah mengalahkan datuk dunia barat itu. Sesudah luka-lukanya akibat hukuman suhu-nya itu sembuh oleh perawatan Gu Sik yang amat teliti, akhirnya terpaksa Cian Ling menerima keputusan See-thian-ong bahwa dia harus menjadi isteri suheng-nya itu. Dia menerimanya dengan setengah terpaksa, karena kalau dia menolak, dia pun tahu bahwa gurunya tentu tak akan mengampuninya lagi dan akan membunuhnya. Melawan pun tiada artinya, dan melarikan diri dari suhu-nya merupakan hal yang sangat tidak mungkin. Ke mana pun dia melarikan diri, akhirnya dia tentu akan tertangkap juga. Jika saja Thian Sin mau membawanya pergi, tentu dia tidak takut menghadapi suhu-nya. Akan tetapi Thian Sin sudah meninggalkannya, berarti Thian Sin tidak mencintanya dan hal inilah yang merupakan sebab ke dua mengapa dia menerima keputusan itu. Dan hal yang ke tiga, karena dia melihat kenyataan betapa Ciang Gu Sik, suheng-nya itu, benar-benar sangat mencintainya, bukan sekedar mencinta wajah serta tubuhnya, bukan pula sekedar cinta birahi seperti yang selama ini dia rasakan dari para pria yang pernah berdekatan dengannya, melainkan cinta yang lebih mendalam lagi. *************** Thian Sin melarikan diri dengan hati girang bukan main. Dia sudah berhasil mengalahkan See-thian-ong! Memang dia tadi melarikan diri, sebab dia menganggap belum tiba saatnya untuk membasmi See-thian-ong dan kaki tangannya. Dia harus terus mempelajari segala macam ilmu, harus terus memupuk ilmu-ilmunya dan memperkuat diri. Setelah dia merasa betul-betul kuat maka barulah dia akan turun tangan dan membasmi seluruh penjahat sampai ke akar-akarnya dan sekaligus mengangkat diri menjadi jagoan atau pendekar nomor satu di dunia, melanjutkan serta memenuhi cita-cita ayah kandungnya. Kemenangannya terhadap Pak-san-kui dan See-thian-ong hanyalah berupa kemenangan tipis, belum mutlak. Sebab itu dia harus terus menggembleng diri, terutama sekali dengan ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya yang belum dilatihnya dengan sempurna. Untuk itu dia harus mencari tempat yang sunyi, tempat keramat dan apa bila mungkin dia harus dapat berjumpa dengan guru dari ayahnya, yaitu yang disebut Bu Beng Hud-couw! Maka, dengan hati mantap Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke Pegunungan Himalaya! *************** Kita tinggalkan dulu Thian Sin, pemuda berhati baja yang hendak menggembleng diri itu, dan mari kita mengikuti keadaan Ciu Lian Hong, dara remaja puteri Ciu Khai Sun dan Kui Lan itu. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, keluarga Ciu telah tertimpa mala petaka yang mengerikan. Keluarga itu terbasmi oleh pasukan pembesar yang jahat dan mengandung niat hendak memberontak. Dalam keributan itu, Lian Hong lenyap tanpa meninggalkan jejak. Apakah yang telah terjadi atas diri dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu? Ketika terjadi keributan, Lian Hong berada di taman bersama Thian Sin. Mereka berdua terkejut dan mengamuk saat melihat betapa pasukan telah menyerbu rumah keluarga Ciu. Dan dalam keributan dan pengeroyokan ini, Thian Sin yang jauh lebih lihai itu sudah lebih dulu menerjang dan memecahkan kepungan. Lian Hong juga mengamuk dan terpisah dari Thian Sin, akan tetapi setelah dia mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya dia berhasil juga mendekati depan rumah di mana tadi ayah, ibu serta keluarganya dikeroyok. Dan ketika dia tiba di tempat itu, dia melihat ayahnya, kedua ibunya, dan juga kakaknya, sudah menggeletak mandi darah dan mereka telah tewas. “Ibuuuu…! Ayaahhh…!” Lian Hong menjerit dan tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi dia lari menghampiri mayat ibunya, menubruk sambil menangis dan saking hebatnya guncangan batin yang dideritanya, dara ini kemudian terguling dan pingsan di dekat mayat keluarganya. Di antara para pengeroyok itu tiba-tiba nampak seorang pengemis muda yang usianya tak lebih dari tiga puluh tahun, bertubuh jangkung dan bermuka pucat, yang segera meloncat dan menyambar tubuh Lian Hong, mengempitnya dan membawanya lari dari situ. Melihat ini, beberapa orang pengemis lain yang ikut membantu penyerbuan itu tertawa. “A-khun, jangan makan sendiri! Bagi-bagi untuk kami!” seorang di antara mereka berseru. Yang lain tertawa. “Jangan khawatir!” jawab pengemis yang disebut A-khun itu dan dia terus membawa lari Lian Hong meninggalkan tempat itu. A-khun adalah seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang turut membantu pasukan di dalam penyerbuan itu, sebab dalam usahanya berhubungan dengan para pemberontak, memang pembesar Phoa-taijin di Su-couw telah berhubungan dengan golongan hitam. Seperti kita ketahui, Bu-tek Kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang diketuai oleh Lam-sin, yaitu datuk wilayah selatan. Para anggota Bu-tek Kai-pang merupakan orang-orang pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan A-khun termasuk satu di antara mereka yang paling lihai. Dengan cepat A-khun melarikan Lian Hong yang masih pingsan keluar kota, kemudian membawa dara itu masuk ke dalam sebuah kuil tua rusak yang berada di pinggir jalan. Malam itu sunyi sekali dan kuil rusak itu memang tak ada penghuninya. Tempat itu siang tadi digunakan oleh orang-orang Bu-tek Kai-pang untuk berkumpul dan bersiap-siap untuk pekerjaan penyerbuan di malam itu. Dengan hati berdebar girang dan tegang, A-khun lalu memasuki kuil itu. Tadi dia melihat kecantikan Lian Hong dan langsung merasa tertarik sekali. Dia tahu siapa dara ini. Puteri dari keluarga yang terbasmi dan dia merasa sayang apa bila dara ini dibunuh begitu saja seperti yang diperintahkan oleh ketua mereka yang bersekutu dengan Phoa-taijin. A-khun memang terkenal mata keranjang dan gila perempuan cantik. Karena itu, melihat kesempatan baik ini, tentu saja dia tidak mau menyia-nyiakan dan bukankah keluarga Ciu telah terbasmi semua? Nona ini pun harus dibunuh, akan tetapi sebelum itu…, dia pun menyeringai ketika merebahkan tubuh gadis itu di atas lantai di bagian belakang kuil. Dengan tenang saja A-khun lantas membuat api dan menyalakan lilin-lilin yang berada di atas meja tua bekas meja sembahyang. Tak lama kemudian, ruangan yang gelap itu kini menjadi terang. Dengan sepasang mata yang bersinar-sinar A-khun memandangi calon korbannya sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya, secara diam-diam memberi selamat kepada diri sendiri sebab sekali ini dia benar-benar memperoleh seorang perawan yang mulus dan cantik! Akan tetapi dia tidak ingin memperkosa wanita yang berada dalam keadaan pingsan. Maka, dengan lembut dia mengurut belakang kepala dan tengkuk Lian Hong. Gadis itu mengeluh, merintih dan membuka mata. Begitu dia membuka mata dan menjadi silau oleh cahaya lilin, dia pun terbelalak, terkejut melihat bahwa dirinya berada di sebuah ruangan yang dindingnya tua dan retak-retak. Ketika mendengar suara di sebelah kanan, dia menengok dan melihat sebuah wajah pucat seorang pria yang berlutut di dekatnya, dia terkejut sekali dan hendak meloncat. Akan tetapi dia didahului oleh totokan jari tangan A-khun yang tepat mengenai jalan darah di kedua pundaknya dan lemaslah tubuh Lian Hong. “Apa…siapa…?” “Nona manis, jangan takut. Engkau kubawa ke sini untuk kuajak bersenang-senang. Kau cantik manis, aku suka padamu…” “Keparat busuk! Engkau… engkau seorang di antara mereka yang membunuh keluarga ibu…!” Dan teringat akan keadaan keluarganya, hampir Lian Hong menjerit. Akan tetapi pada saat itu dia melihat bahaya besar mengancam dirinya, maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak, seperti mata seekor kelinci di hadapan mulut harimau yang siap menerkamnya. “Ha-ha-ha, benar sekali. Nona manis, aku seorang tokoh Bu-tek Kai-pang yang tersohor. Dan malam ini engkau menjadi milikku… ha-ha-ha!” Tangan kanan pengemis itu menjangkau hendak mencengkeram dan merobek baju dari tubuh Lian Hong. Akan tetapi tangan itu berhenti di tengah jalan, tiba-tiba sudah menjadi kaku! “Ehhh…?!” A-khun terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat, memandang kepada tangannya yang terasa nyeri dan kaku, lalu mendekatkan tangan itu ke mukanya dan dia merintih pada saat melihat bahwa pada punggung tangannya itu nampak sebatang jarum menancap. Sebatang jarum kecil merah! Celaka, pikirnya, sekali ini mampuslah aku! “Binatang, berani engkau melanggar laranganku?” tiba-tiba terdengar suara halus merdu, suara halus merdu akan tetapi bagi telinga A-khun terdengar amat menyeramkan seperti suara Malaikat Maut sehingga tubuhnya menggigil ketika dalam keadaan masih berlutut dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya. “Pangcu… am… ampunkan… saya…” Dengan seluruh tubuh menggigil bagai orang yang sedang mendadak diserang demam, A-khun menatap dan menyembah-nyembah. Sementara itu, Lian Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok memandang dengan jantung berdebar tegang dan seram. Dari tempat dia rebah, dia memperhatikan wanita itu. Seorang nenek yang berwajah menyeramkan! Rambut di atas kepala itu lebat sekali, tapi telah putih semua, digelung agak awut-awutan di atas kepala. Kulit mukanya penuh keriput dan bopeng, bahkan sampai pada kulit leher dihias cacad bekas penyakit cacar. Selain itu, tidak nampak lagi kulit bagian tubuh lainnya karena kedua kakinya memakai sepatu boot yang tinggi dan kedua tangannya memakai sarung tangan berwarna hitam. Pakaiannya kasar sederhana, akan tetapi tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang masih ramping dan padat, tanda bahwa nenek tua ini masih mempunyai kesegaran dan kekuatan tubuh. Sulit menaksir usianya, akan tetapi bila melihat rambut yang sudah putih semua dan keriput di mukanya, agaknya usianya tak akan kurang dari tujuh puluh tahun! Hanya sepasang matanya saja yang masih amat tajam, malah bersinar mencorong bagai mata orang-orang sakti. Pada punggungnya tergantung sepasang pedang bersilang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam dari akar yang bentuknya seperti tubuh ular. Dari sebutan yang keluar dari mulut A-khun, Lian Hong bisa menduga bahwa tentu nenek ini merupakan ketua perkumpulan Bu-tek Kai-pang. Dia merasa semakin seram. Apa bila anak buahnya saja seorang manusia binatang semacam A-khun, apa lagi ketuanya! Teringat akan bahaya yang mengancam dirinya, kemudian teringat pula akan bayangan mayat-mayat keluarganya, Lian Hong tidak dapat menahan keluarnya air matanya. Akan tetapi dia pasrah karena kematiannya hanya berarti bahwa dia akan berkumpul dengan keluarganya. “Berapa lama engkau sudah menjadi anggota Bu-tek Kai-pang?” Kembali terdengar suara lembut merdu itu, dan Lian Hong bergidik ngeri melihat betapa bibir nenek itu hampir tidak bergerak ketika mengeluarkan pertanyaan itu, seolah-olah suaranya langsung keluar dari dalam mulut. “Satu… dua… tahun…” “Apa larangan pertama dari perkumpulan kita?” “Berkhianat terhadap perkumpulan.” “Dan ke dua?” “Bicara tentang Pangcu…” “Dan ke tiga?” “Ke tiga… ehhh… ampunkan saya, Pangcu… saya melakukannya karena Pangcu tidak berada di sini, saya… saya tidak tahu Pangcu akan datang…” “Apa larangan yang ke tiga?” suara merdu itu tetap mendesak, dan tubuh nenek itu masih berdiri tegak tanpa bergerak, sepasang matanya yang mencorong itu agaknya tak pernah berkedip. Mengerikan sekali. “Larangan ke tiga… ehhh… memperkosa wanita… akan tetapi, Pangcu, bukankah wanita ini harus dibunuh juga?” A-khun mencoba untuk membela diri. Tangan kiri nenek itu bergerak sedikit dan A-khun mengeluh ketika merasa lehernya kaku dan nyeri. Dia tahu bahwa ada jarum merah yang mengenai lehernya tanpa mampu dia elakkan. “Seluruh anggota Bu-tek Kai-pang boleh melakukan apa saja, merampok, membunuh, akan tetapi tak seorang pun boleh memperkosa wanita. Kau tahu mengapa tidak boleh?” kembali nenek itu bertanya, suaranya terdengar makin merdu dan halus, akan tetapi bagi A-khun makin menakutkan. “Karena… karena… Pangcu adalah seorang wanita pula…” “Karena ibumu yang melahirkanmu juga seorang wanita, keparat! Dan tiada ampun bagi pria yang memperkosa wanita!” Kembali tangan itu bergerak. “Pangcu, ampuuuuunnn…!” Akan tetapi itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulut A-khun, karena tubuhnya sudah terjengkang roboh dan dari antara kedua matanya terdapat tanda merah yang perlahan mengeluarkan darah hitam! Sekarang nenek itu melangkah maju dan menghampiri Lian Hong yang masih terlentang di atas lantai dalam keadaan tertotok lemas. Sejenak dua orang wanita itu saling bertemu pandang dan karena tidak mengharap dapat hidup lagi, Lian Hong menentang pandang mata yang mencorong itu dengan berani. Orang ini adalah ketua para pengemis yang ikut membantu pasukan membunuh keluarga orang tuanya, pikirnya dan sinar matanya penuh kebencian. “Mana pemuda putera Pangeran Ceng Han Houw itu?” tiba-tiba suara merdu itu bertanya sehingga Lian Hong terkejut. Tak disangka-sangkanya nenek itu akan menanyakan Thian Sin, dan baru dia teringat bahwa Thian Sin tadi juga mengamuk bersamanya menghadapi pasukan. “Aku tidak tahu!” jawabnya ketus. “Ahhh, aku ingin sekali melawan dia. Katanya mereka berdua itu lihai, putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu…” Nenek itu berkata, kemudian kelihatan termenung. “Kalau ada Tiong-koko, putera Pendekar Lembah Naga, sekali pukul saja dia tentu akan membunuhmu!” Lian Hong berseru penuh semangat ketika dia teringat kepada pemuda yang dikaguminya itu. Nenek yang tadinya merenung dan menunduk itu, mengangkat muka lantas memandang kepada Lian Hong, sinar matanya bagai kilat menyambar. “Begitukah? Apamukah pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu?” Lian Hong tahu bahwa dia menghadapi kematian, maka dia hendak mempergunakan saat terakhir itu untuk membanggakan dirinya. “Dia adalah tunanganku, calon suamiku!” “Hemm, akan tetapi engkau harus mati bersama keluarga Ciu.” “Siapa takut mati? Aku adalah calon mantu Pendekar Lembah Naga, kematian bukanlah apa-apa bagi seorang gagah. Nenek buruk tua bangka, jika mau bunuh, lekas bunuhlah. Biar aku menyusul orang tuaku!” Lian Hong menantang. Tangan yang bersarung tangan hitam dan memegang tongkat itu bergerak. Tiba-tiba saja tongkat itu melayang ke depan, meluncur menuju ke arah mata Lian Hong! Dara ini sama sekali tidak berkedip, karena dia hendak menyambut maut dengan mata terbuka. “Ceppp!” Ujung tongkat itu amblas ke dalam lantai dan hanya berjarak satu senti saja dari pipi Lian Hong! Kiranya nenek itu hanya menggertak. “Tidak, engkau tak akan kubunuh. Engkau terlalu pemberani, sayang kalau dibunuh. Ehh, maukah engkau menjadi muridku?” Ditanya seperti itu, Lian Hong gelagapan dan tertegun. Baru saja terhindar dari maut dan kini tiba-tiba saja nenek sakti itu menawarkan agar dia suka menjadi muridnya. Nenek itu amat sakti, dan betapa pun juga, pembunuh orang tuanya adalah pasukan yang dipimpin oleh Phoa-taijin. Kalau dia dapat menjadi murid nenek ini dan menguasai ilmu kepandaian yang tinggi, tentu kelak dia akan dapat membalas dendam kematian orang tuanya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada pilihan lain lagi bagi Lian Hong, maka dia pun cepat menjawab, “Jika locianpwe benar-benar hendak memberi petunjuk, tentu saja teecu akan senang sekali.” Nenek itu tertawa, suara tawanya juga merdu dan sekali tangannya bergerak, ada angin menyambar ke arah tubuh Lian Hong. Dara ini terkejut, akan tetapi tiba-tiba saja dia telah dapat bergerak kembali! Dengan girang dia pun lalu berlutut di depan kaki nenek sakti itu. “Muridku yang baik, tahukah engkau siapa aku yang menjadi gurumu ini?” “Kalau teecu tak salah menduga, tentu locianpwe adalah yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan), betulkah?” “Hemm, tahukah bahwa selama ini tidak ada orang yang bertemu denganku namun masih dapat terus hidup? Hanya engkau satu-satunya orang yang dapat bertemu dan berbicara dengan aku, dan bahkan menjadi muridku.” Diam-diam Lian Hong terkejut bukan main. Orang ini sungguh sangat luar biasa, sombong bukan kepalang, agaknya seolah-olah menganggap dirinya betul-betul seorang malaikat, bukan manusia lagi. Akan tetapi dia pun bukan seorang dara yang bodoh, maka dia cepat berkata, “Kalau begitu, sungguh teecu mempunyai keberuntungan besar dan teecu menghaturkan terima kasih kepada subo.” “Hemm, kau kira aku menolongmu karena hendak melepas budi? Uhh, jangan salah kira, ya? Aku melakukan semua ini demi kepentinganku sendiri!” Mendengar suara merdu itu tiba-tiba ketus, Lian Hong semakin terkejut dan heran. Akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menganggap bahwa gurunya ini memang seorang yang memiliki watak yang aneh. “Hayo, kau ikuti aku!” Tiba-tiba nenek itu berkata. Ternyata dia telah mencabut tongkatnya dan sekali mencokel dengan tongkatnya ke arah punggung Lian Hong, dara ini merasa ada hawa dingin memasuki punggungnya, seperti diguyur air es, membuat dia cepat melonjak dan bangkit berdiri. Pada saat itu dia melihat gurunya telah berjalan pergi, maka dia cepat-cepat mengikutinya. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Lian Hong pada waktu melihat bahwa nenek itu membawanya kembali ke Lok-yang! Akan tetapi kekagetan ini bercampur kegirangan karena dia juga ingin melihat kembali keadaan keluarganya yang terbasmi malam itu. Dan ternyata nenek itu memang membawanya kembali ke rumahnya! Akan tetapi, ketika itu malam telah berganti pagi dan semua mayat tak nampak lagi di situ, kecuali sisa-sisa darah yang membuat tempat itu berbau amis dan mengerikan. Ketika tiba di dekat rumah tinggalnya, tiba-tiba nenek itu memegang lengannya dan di lain waktu tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng rumah salah seorang tetangganya! Lian Hong merasa kagum bukan main. Gurunya ini memang sakti dan dengan memegang lengannya bisa membawanya meloncat seperti terbang jelas menunjukkan alangkah lihai ginkang-nya. “Lekas kau beritahukan kepada para tetanggamu bahwa engkau akan pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan agar dua orang pemuda itu dapat menyusulmu!” kata nenek itu ketika mereka berada di atas genteng rumah seorang tetangga keluarga Ciu. Lian Hong masih tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya itu, maka dia hanya memandang bingung. “Tapi… tapi teecu ingin tahu tentang ayah ibu…” Suaranya tertahan oleh isak. “Taati perintahku! Apa kau ingin terlihat oleh pasukan dan dibunuh juga? Hayo cepat kau turun dan katakan kepada tetanggamu seperti yang kuperintahkan tadi!” bentak nenek itu dengan lirih. Lian Hong tidak tahu mengapa gurunya memerintahkan demikian, akan tetapi perintah ini membuat dia makin percaya kepada gurunya. Dengan perintah itu, berarti gurunya tidak bermaksud buruk, bahkan menghendaki agar dua orang pemuda itu dapat menyusulnya. Maka dia pun meloncat turun dan cepat dia menghampiri kelompok keluarga tetangganya yang berkumpul di belakang rumah. Agaknya mereka itu masih ketakutan akan apa yang telah terjadi tadi malam, mala petaka mengerikan yang menimpa keluarga Ciu, tetangga mereka. Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati suami isteri serta tiga orang anaknya itu ketika tiba-tiba mereka melihat munculnya Lian Hong dari arah belakang rumah mereka. “Ciu-siocia…!” Tuan rumah berseru dengan muka pucat, karena dia maklum betapa akan berbahayanya bagi keluarganya kalau saja fihak tentara sampai melihat nona itu berada di tempatnya! Sementara itu, isterinya sudah menangis tersedu-sedu melihat nona itu, merasa kasihan sekali mengingat betapa seluruh keluarga nona itu telah tewas secara mengerikan. “Paman Ong, di manakah… ehh, jenazah mereka…?” Lian Hong menguatkan hatinya dan bertanya. “Jenazah keluargamu telah dibawa pergi oleh pasukan, nona. Kami semua tidak berdaya, tidak ada yang berani mencampuri… maklumlah…” Lian Hong menahan kemarahan dan kedukaannya, mengepal tinju. “Sudahlah, sekarang aku hendak minta tolong kepadamu, Paman Ong…” “Maaf… nona, kami tidak berani…” “Aku hanya ingin agar kalau Kanda Cia Han Tiong, engkau tahu, seorang di antara kedua pemuda tamu yang pernah tinggal di rumah kami baru-baru ini, jika dia datang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa aku pergi ke Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, bersama…” “Cukup!” Terdengar bentakan merdu, lantas tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Lian Hong dan lenyap dari hadapan keluarga Ong yang memandang bengong itu. Tentu saja mereka menjadi ketakutan dan mengira bahwa yang muncul tadi mungkin saja arwah dari nona Ciu, maka mereka pun langsung berlutut dan sampai lama tidak berani mengangkat muka mereka! Sementara itu, Lian Hong sudah dibawa pergi jauh keluar dari kota Lok-yang oleh Nenek Lam-sin. Tadi, dengan menggunakan kesaktiannya yang tinggi, Nenek Lam-sin berkelebat cepat sehingga tak sampai diketahui oleh para penjaga. Setelah keluar dari pintu gerbang, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Lam-sin adalah nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, sebagai datuk kaum sesat dari daerah selatan. Meski pun jarang ada orang pernah melihatnya, akan tetapi namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan di daerah selatan, tidak ada tokoh kang-ouw yang tidak menjadi gentar mendengar nama ini. Apa lagi nama ini didukung dan dijunjung tinggi pula oleh perkumpulan pengemis Bu-tek Kai-pang yang merajai dunia kang-ouw di daerah selatan. Benarkah kini manusia sakti ini mengangkat murid kepada Lian Hong? Sebenarnya tidak demikian. Sebagai datuk golongan hitam, tentu saja tidak ada rasa kasihan di dalam hati seseorang seperti Nenek Lam-sin ini. Seperti semua datuk kaum sesat, bagi mereka yang ada hanyalah kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu berdasarkan perhitungan untung rugi. Oleh karena itu, Lam-sin mengangkat Lian Hong sebagai murid pun hanya merupakan sebuah siasatnya untuk memancing datangnya dua orang pemuda yang baru muncul dan sudah menggemparkan dunia persilatan itu. cerita silat online karya kho ping hoo Dia sudah mendengar dari anak buahnya akan sepak terjang putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga, maka dia pun ingin sekali dapat bertemu dan mengadu ilmu dengan mereka. Apa lagi sesudah mendengar bahwa ada beberapa orang anak buahnya yang tewas oleh putera Pangeran Ceng Han Houw, datuk ini lalu menjadi penasaran sekali. Dengan mengangkat dara itu sebagai murid, maka dia mengharapkan akan bisa bertemu dengan mereka. Selain itu memang ia paling benci melihat pria yang memperkosa wanita. Ini pun bukan berdasarkan keluhuran budi melainkan karena dia sendiri seorang wanita, maka dia tidak suka bahkan membenci sekali pria yang suka memperkosa wanita. Lian Hong yang maklum bahwa dia sendiri tentu menjadi buronan pemerintah, dan karena untuk saat itu dia sendiri tidak tahu siapa yang akan dapat menolongnya dan apa yang dapat dilakukannya. Maka dia pun pasrah kepada gurunya. Memang ada ingatan untuk mencari tunangannya, yaitu Cia Han Tiong. Akan tetapi bagai mana mungkin dia bisa mendapatkan tompat yang amat jauh itu? Dia belum pernah tahu di mana adanya Lembah Naga, yang kabarnya amat jauh di utara, bahkan lewat Tembok Besar utara. Bagaimana kalau dia tidak berhasil menemukan tempat itu? Dan perjalanan sejauh itu, apa lagi harus melalui tempat-tempat berbahaya, kiranya tidak mungkin dapat ditempuhnya dengan selamat dan berhasil. Karena itu, jalan satu-satunya adalah pasrah kepada gurunya, Lam-sin, nenek yang sakti itu. Bila dia sudah mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini sehingga bekal kepandaian padanya cukup kuat, baru dia akan pergi mencari Lembah Naga, di mana tinggal pamannya, yaitu Pendekar Lembah Naga, atau juga yang menjadi calon ayah mertuanya. Karena mempunyai cita-cita seperti ini, di sepanjang perjalanan Lian Hong bersikap taat kepada nenek itu, berusaha untuk melayani subo-nya. Akan tetapi nenek itu benar-benar seorang yang luar biasa sekali. Agaknya tidak pernah suka bertemu orang lain sehingga selama dalam perjalanan, Lam-sin memilih tempat-tempat yang sunyi dan sukar dilalui. Kadang-kadang, apa bila melalui jurang-jurang yang amat curam, Lam-sin menggandeng tangan muridnya yang merasa ngeri dan ketakutan. Walau pun Lian Hong juga seorang dara perkasa, tetapi melakukan perjalanan melalui jurang-jurang maut seperti yang dilalui nenek itu sungguh merupakan pengalaman pertama yang menegangkan. Dan selama dalam perjalanan itu, Nenek Lam-sin jarang sekali bicara. Kalau kemalaman, mereka tidur begitu saja di dalam hutan! Hanya ada satu hal yang sangat mengherankan hati Lian Hong akan tetapi juga menguntungkan. Biar pun nenek itu tidur di sembarang tempat, bahkan kalau malam tidurnya sambil duduk bersila, namun nenek itu sama sekali tidak jorok, bahkan selalu bersih. Kalau terkena kotoran sedikit saja lalu dicuci tangannya yang bersarung tangan hitam. Dan pakaiannya selalu diganti setiap hari! Lian Hong juga diberi dua stel pakaiannya, sehingga gadis itu pun terpaksa mengenakan pakaian Si Nenek yang ternyata mempunyai potongan tubuh yang tidak berbeda banyak dengan dirinya. Selain ini, nenek itu ternyata sangat royal kalau makan! Setiap melewati kota, tentu Lian Hong disuruh membeli bahan-bahan masakan yang mahal-mahal seperti daging kering, ikan kering yang berkualitas tinggi dan mahal, bumbu-bumbu masak yang baik, jamur-jamur dan sayur-sayur. Semua bahan ini dipergunakan untuk dimasak dalam hutan. Akan tetapi kalau kebetulan mereka lewat di kota pada siang atau malam hari, tak jarang Lian Hong harus mengunjungi restoran untuk membeli bermacam-macam masakan yang mahal-mahal kemudian membawanya ke tempat subo-nya menunggu di luar kota. Semua ini masih ditambah lagi dengan arak wangi! Subo-nya adalah seorang wanita yang amat pembersih, dan suka makan! Akan tetapi, hanya itulah saja yang diketahuinya dari nenek keriputan berambut putih itu. Lam-sin jarang bicara dan karena sikapnya yang sangat dingin ini, maka Lian Hong juga tidak berani banyak bertanya. Beberapa pekan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka sampailah mereka di kota Heng-yang. Kota ini berada di Propirisi Hu-nan di selatan, dan menjadi kota pusat perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana juga tinggal Lam-sin. Kembali Lian Hong kagum dan terheran-heran melihat betapa gurunya itu memiliki sebuah rumah yang amat mewah! Bangunannya tidak begitu besar, hanya mempunyai lima buah kamar saja yang kosong, karena hanya sebuah kamar saja yang ditempati nenek itu. Akan tetapi rumah itu penuh dengan perabot rumah yang serba mahal dan halus buatannya, bagaikan perabot rumah istana raja saja, dengan permadani di mana-mana, dan meja kursi yang juga merupakan barang seni yang halus dan mahal, ada pun di dinding penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis-pelukis kenamaan dan tulisan-tulisan indah. Juga di mana-mana terdapat pot bunga, dengan bunga-bunga segar terawat baik yang agaknya didatangkan dari seluruh penjuru Tiongkok! Sungguh pandai sekali orang yang mengatur dan menghias rumah itu, dan kemudian sesudah Lian Hong mendengar bahwa pengaturnya adalah nenek itu sendiri, kekagumannya terhadap nenek itu bertambah. Ketika Lam-sin mengajak Lian Hong memasuki gedung kecil mungil itu, lima orang wanita muda yang cantik-cantik menyambut mereka dengan penuh kehormatan. “Mereka berlima ini adalah pelayan-pelayanku, Lian Hong.” Mendengar keterangan ini, Lian Hong terkejut sekali. Mereka itu begitu muda dan cantik, dan sikap serta pakaian mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa mereka adalah pelayan. “Ini adalah Ciu-siocia yang sudah menjadi muridku, kalian harus melayaninya baik-baik,” terdengar nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya. Lima orang wanita muda itu segera memberi hormat kepada Lian Hong. Mereka serentak berkata dengan sikap ramah, “Selamat datang, Ciu-siocia!” Lian Hong cepat berkata dengan senyum, “Cici berlima baik sekali, terima kasih. Sebagai murid subo, aku juga harus melayaninya, karena itu aku akan membantu pekerjaan cici berlima.” Demiklanlah, karena sikapnya yang baik, maka lima orang pelayan yang ternyata masing-masing mempunyai kepandaian silat yang cukup tinggi sebab mendapatkan pelajaran dari Lam-sin itu merasa suka sekali kepada Lian Hong. Juga nenek Lam-sin merasa suka dan mulai mengajarkan beberapa jurus ilmu silat tinggi kepada dara itu, dan sering mengajak dara itu menemaninya berjalan-jalan keluar kota. Cara hidup nenek itu sungguh aneh sekali. Yang mengenalnya sebagai Lam-sin hanyalah para pelayan dan juga para anggota Bu-tek Kai-pang saja agaknya. Buktinya, kalau dia pergi berjalan-jalan bersama Lian Hong, memasuki pasar atau tempat pelesiran, tidak ada orang yang tahu bahwa nenek itu adalah Lam-sin, datuk dunia selatan yang tersohor. Nenek itu sering kali bertanya kepada Lian Hong tentang diri Ceng Thian Sin dan Cia Han Tiong sehingga diam-diam Lian Hong menjadi heran sekali. “Apakah subo pernah bertemu dengan mereka?” tanyanya. Nenek itu menggeleng kepalanya. “Belum, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka, dan mencoba kepandaian mereka. Ehh, jika menurut pendapatmu, siapa di antara putera Pangeran Ceng Han Houw dan putera Pendekar Lembah Naga itu yang lebih lihai, Lian Hong?” Ditanya tentang dua orang pemuda itu, Lian Hong lalu membayangkan keadaan mereka. Hatinya terharu dan timbul rindunya terhadap Han Tiong yang diam-diam sudah menarik cinta hatinya itu. “Teecu tidak tahu, subo. Mereka itu keduanya sama lihainya, keduanya menerima latihan dari Paman Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga.” Lam-sin sudah banyak mendengar mengenai mereka berdua dari para anak buah Bu-tek Kai-pang, terutama sekali tentang putera Pangeran Ceng Han Houw yang kabarnya amat lihai itu. Kalau saja tak ingin bertemu dengan mereka, terutama dengan putera Pangeran Ceng, tentu dia tak akan membawa Lian Hong sebagai muridnya, melainkan dara itu telah dibunuhnya. Sepasang mata yang jeli dan mencorong dari nenek itu berkilat. “Ya, aku ingin sekali bertemu dengan mereka, menguji kepandaian mereka!” “Tetapi, subo… oleh karena teecu telah menjadi murid, teecu harap subo tidak memusuhi mereka. Mereka berdua adalah putera-putera dari Paman teecu sendiri… dan… dan Han Tiong koko adalah tunangan teecu.” “Siapa yang hendak memusuhi mereka? Aku hanya ingin menguji, apakah benar mereka itu selihai yang dikabarkan orang.” Lian Hong tidak banyak membantah lagi. Diam-diam dia merasa kagum dan juga heran melihat gurunya ini. Nenek ini kelihatan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput ada pun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi sepasang matanya mencorong, jeli dan indah seperti mata orang muda, dan gerak-geriknya sangat gesit, tubuhnya juga amat langsing padat walau pun tertutup pakaian sederhana. Sungguh seorang nenek yang amat aneh, yang mempunyai suara merdu, kadang-kadang dingin sekali, kadang-kadang lemah lembut dan kadang-kadang suara itu, sinar mata itu, mengandung kedukaan besar. Dan kadang-kadang dia bergidik ketika melihat sepasang mata yang mencorong itu, karena mengandung penuh kekejaman. Akan tetapi, di samping semua itu, ia merasa yakin akan kesaktian subo-nya. Oleh sebab itu dia pun belajar dengan tekun, dengan harapan bahwa dia akan bisa mewarisi ilmu silat tinggi agar kelak dia dapat membalas kematian keluarganya. Kalau dia teringat akan ayah kandungnya dan kakaknya, maka Lian Hong tidak dapat menahan kesedihannya lagi dan menangislah dia pada waktu dia tidur sendirian di dalam kamarnya. *************** Pada suatu hari, setelah tinggal di Heng-yang selama kurang lebih tiga bulan, Lian Hong diajak subo-nya untuk pergi berbelanja ke pasar. Memang nenek Lam-sin memiliki suatu kesukaan, yaitu makan enak yang kadang kala dimasaknya sendiri, dan untuk keperluan itu dia suka pergi berbelanja sendiri ke pasar. Seperti biasanya, di dalam pasar ini tidak ada yang mengenal nenek yang diikuti seorang nona muda cantik jelita ini. Selama tiga bulan itu, baru satu kali saja Lian Hong melihat ada orang yang mengenal Si Nenek, yaitu ketika mereka berdua berbelanja di pasar juga. Yang mengenal nenek itu adalah seorang lelaki gagah perkasa yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Begitu melihat nenek itu, lelaki ini lalu menjura dengan sikap amat menghormat sambil berkata, “Maaf, tidak mengira bertemu dengan locianpwe di sini. Harap locianpwe dalam keadaan baik-baik saja.” Dan hebatnya, nenek itu hanya mengangguk sedikit lantas melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mempedulikan penghormatan orang. Setelah cukup jauh, Lian Hong tak dapat menahan diri lagi dan bertanya kepada gurunya siapa gerangan lelaki tadi. Dengan sikap tak acuh, nenek itu hanya menjawab bahwa laki-laki itu adalah seorang guru silat yang paling terkenal di Shao-koan sebelah selatan dan berjuluk Kim-liong-eng (Pendekar Naga Emas)! Diam-diam Lian Hong terkejut. Seorang guru silat paling terkenal akan tetapi bersikap demikian merendahkan diri terhadap gurunya! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa biar pun dia tidak dikenal oleh orang-orang biasa sebab memang selalu menyembunyikan diri, namun nenek itu dikenal baik oleh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan ditakuti sesuai dengan julukannya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan! Pagi hari itu, Nenek Lam-sin asyik sekali memilih sayur sawi kembang yang sangat segar karena baru pagi itu masuk dari desa. Lian Hong turut memilih dan dara ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di antara kumpulan banyak orang yang berbelanja di pasar, terdapat seorang pemuda yang memandang ke arah mereka dengan kedua mata terbelalak, penuh keheranan dan juga perhatian. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong! Seperti yang telah diketahui, pemuda ini meninggalkan Lembah Naga untuk pergi mencari tunangannya yang lenyap dalam keributan ketika rumahnya diserbu pasukan itu. Orang tuanya sendiri yang memerintahkan dia pergi menyelidiki dan mencari Lian Hong. Tentu saja Han Tiong langsung pergi ke Lok-yang untuk menyelidiki. Dengan hati-hati dia mulai menyelidiki, akan tetapi agaknya tidak ada orang yang tahu ke mana perginya Nona Ciu Lian Hong. Yang mereka ketahui hanya bahwa keluarga Ciu itu terbasmi dan tewas oleh pasukan yang menuduh mereka itu keluarga pemberontak. Harta benda keluarga itu disita pemerintah, dan jenazah keluarga itu oleh pemerintah dikubur di kuburan para penjahat di dekat penjara! Mendengar ini, Han Tiong merasa berduka sekali. Akan tetapi ketika secara kebetulan dia bertemu dan bertanya kepada tetangga di sebelah kanan bekas rumah keluarga Ciu yang kini tertutup itu, dengan sikap takut-takut orang she Ong itu memberi tahukan kepadanya akan pesan dari Lian Hong. “Nona Ciu Lian Hong memang meninggalkan pesan kepada seorang kongcu bernama Cia Han Tiong…” “Sayalah Ciu Han Tiong,” kata Han Tiong cepat. Orang she Ong itu mengangguk-angguk. “Memang sudah kuduga, kami pernah melihat kongcu ketika menjadi tamu mereka. Nona Ciu mengatakan bahwa ia pergi ke Heng-yang di Propinsi Hu-nan.” “Apa lagi pesannya?” Han Tiong bertanya, jantungnya berdebar girang mendengar bahwa betapa pun tunangannya itu juga belum tewas! “Tidak ada apa-apa lagi, begitu meninggalkan pesan, dia lenyap begitu saja!” Orang she Ong itu bergidik. Mendengar suara orang itu bergetar dan melihat sikapnya yang ketakutan, Han Tiong lalu mengerutkan alisnya. “Tapi… tapi dia masih hidup, bukan?” Dan betapa kaget hatinya melihat orang itu menggelengkan kepala. “Tidak tahu, kongcu. Entahlah, akan tetapi setelah bicara, ia menghilang begitu saja seperti… seperti setan…” Tentu saja hati Han Tiong terasa amat tidak enak. Akan tetapi dia pun tak percaya kalau nona itu sudah tewas dan arwahnya yang meninggalkan pesan. Tidak mungkin, sungguh pun dia sendiri merasa heran bagaimana nona itu dapat ‘menghilang’. Dia tahu bahwa Lian Hong adalah seorang dara yang mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Mungkin saja dalam kekhawatirannya ketahuan pasukan, nona itu meloncat dengan cepat dan oleh orang ini disangka menghliang. Betapa pun juga, Lian Hong sudah meninggalkan pesan pergi ke Heng-yang. Dia harus pergi menyusul dan mencarinya! Maka tanpa banyak bicara lagi dia lantas menghaturkan terima kasih dan cepat pergi ke selatan, menuju ke kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan. Di kota ini dia bermalam pada sebuah rumah penginapan kecil dan setelah berputar-putar selama tiga hari, akhirnya pada pagi hari itu dia melihat Lian Hong berjalan memasuki pasar bersama seorang nenek! Han Tiong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak langsung menegur, melainkan membayangi dan mengamati penuh perhatian. Dia melihat betapa sikap Lian Hong amat hormat terhadap nenek itu. Dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa nenek itu bukanlah orang sembarangan. Seorang nenek tua yang mempunyai mata mencorong seperti itu, tubuh yang masih sangat segar dan padat, mempunyai gerakan yang demikian gesit dan memiliki wibawa besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya, tentulah bukan orang biasa saja! Tadinya, dia menaruh curiga sesudah mendengar bahwa Lian Hong pergi ke Heng-yang. Jangan-jangan datuk dunia selatan, yaitu yang bernama Lam-sin dan katanya juga tinggal di Heng-yang, memegang peran di dalam hilangnya Lian Hong. Maka kini dia berhati-hati sekali. Siapa tahu nenek itu adalah seorang di antara anak buah Lam-sin! Dia harus mengetahui terlebih dahulu ke mana nenek itu akan pergi bersama Lian Hong. Sementara ini, dia melihat bahwa Lian Hong tidak perlu dibela. Nona itu dalam keadaan sehat dan selamat, walau pun ada kedukaan membayang di wajahnya yang jelita. Kalau Lian Hong sama sekali tidak tahu bahwa Han Tiong berada di dalam pasar itu dan membayangi perjalanannya bersama gurunya, sebaliknya Nenek Lam-sin telah tahu sejak tadi! Tak percuma nenek ini berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) dan menjadi datuk kaum sesat di wilayah selatan. Ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan sikapnya selalu waspada sehingga begitu ada sedikit perubahan saja di sekitarnya dia sudah mengetahuinya sehingga adanya pemuda yang membayanginya itu tentu saja tidak terluput dari pengamatannya. Bahkan dengan sikap yang tidak kentara, dia sudah dapat mencuri lihat wajah pemuda itu kemudian dapat menduga bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Lembah Naga, pemuda yang sering disebut-sebut oleh muridnya, yang bernama Cia Han Tiong! Bahkan sambil berbelanja, nenek ini telah dapat mengirim isyarat rahasia kepada anak buahnya! Jangan dikira bahwa nenek itu sama sekali tidak dikawal! Ke mana pun ia pergi, tentu ada orang-orang Bu-tek Kai-pang yang siap untuk sewaktu-waktu menerima perintah ketuanya ini. Maka tidak sukarlah bagi Nenek Lam-sin untuk memberikan perintahnya kepada anak buahnya yang mengemis di luar pasar dan segera anak buah ini sudah siap melakukan perintah yang hanya diberikan oleh nenek itu melalui gerakan-gerakan jari-jari tangan saja. Nenek Lam-sin bersikap biasa saja. Setelah cukup berbelanja, dibantu oleh Lian Hong, ia membawa belanjaannya keluar dari pasar. Akan tetapi, nenek itu tidak menuju ke utara di mana gedungnya terletak, melainkan menuju ke barat. “Ehh, kenapa kita melalui jalan ini, subo?” tanya Lian Hong heran. “Kau ikut sajalah, aku ingin mengambil jalan ini,” jawab nenek itu dengan suara biasa saja sehingga Lian Hong tak mau membantah lagi, karena ia sudah mengenal watak subo-nya yang memang luar biasa itu. Akan tetapi hati dara ini menjadl makin heran saat melihat bahwa subo-nya mengajaknya keluar kota melalui pintu gerbang, bahkan terus menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah barat kota Heng-yang! “Subo, kenapa kita memasuki hutan?” “Diamlah, nanti engkau akan tahu sendiri,” kata Nenek Lam-sin yang secara diam-diam terus memperhatikan bayangan Han Tiong yang masih mengikuti jauh di belakang. Ia kagum sekali karena tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi sehingga biar pun sejak tadi membayangi mereka, muridnya tidak mengetahuinya. Ia sendiri kalau tidak waspada dan sudah melihatnya semenjak tadi, tentu tidak akan mendengar gerakan pemuda itu. Mereka berdua melewati sebuah padang rumput di tengah hutan dan tak lama kemudian mereka mendengar bentakan-bentakan riuh rendah di belakang mereka. Lian Hong kaget sekali, akan tetapi nenek itu tersenyum dan berkata, “Mari kita melihat apa yang terjadi di belakang itu.” Lian Hong mengikuti gurunya kembali dan pada saat mereka tiba di padang rumput, Lian Hong melihat banyak sekali orang-orang berpakaian pengemis, yaitu para anggota Bu-tek Kai-pang yang mengurung seorang pemuda yang berdiri tegak di tengah-tengah padang rumput. Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Tiong! Melihat pemuda ini, tentu saja Lian Hong menjadi terkejut, terheran, sekaligus juga girang bukan main. Keharuan menyelimuti hatinya dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya melepaskan keranjang terisi barang belanjaan pasar tadi kemudian dia pun telah menjerit dengan tangis, “Tiong-koko…!” Kemudian larilah gadis ini menghampiri pemuda itu yang berdiri di tengah lapangan. “Hong-moi…!” Han Tiong berseru kemudian menerima tubuh yang menubruknya sambil menangis tersedu-sedu itu. “Tiong-ko… ah, Tiong-ko…!” Lian Hong menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, hatinya terasa perih dan sakit sekali, karena dia teringat akan keadaan keluarganya. Baru sekarang ini gadis itu dapat menumpahkan seluruh kedukaan hatinya. Biasanya, dia hanya diam-diam menangis di dalam kamar dan baru sekarang ada orang yang dapat dia sambati. Han Tiong juga merasa terharu, mengelus rambut kepala gadis itu. “Tenanglah, Hong-moi, tenanglah. Segalanya itu telah terjadi… dan agaknya Thian sudah menghendaki demikian. Aku bersyukur bahwa akhirnya aku dapat menemukanmu.” “Lian Hong, ke sini engkau!” Mendadak terdengar bentakan halus merdu dari mulut Nenek Lam-sin. Lian Hong mengangkat mukanya lantas berdiri di samping Han Tiong sambil memegang tangan pemuda itu. “Subo, inilah Tiong-koko, dia… tunangan teecu itu…” “Hong-moi, siapa nenek itu? Subo-mu…?” Han Tiong bertanya heran. “Benar, Tiong-ko. Dia adalah… Lam-sin, penolongku juga guruku…” Bukan main kaget hati Han Tiong mendengar bahwa nenek yang berdiri di depannya itu adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dunia selatan itu. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Lam-sin yang terkenal sekali itu, adalah seorang nenek tua renta, dan lebih tidak disangkanya lagi bahwa Lam-sin yang menolong Lian Hong, bahkan menjadi gurunya. “Hemm, Lian Hong, siapa yang menjadi penolongmu dan gurumu? Ketahuilah, aku tidak membunuhmu dan mengangkatmu sebagai murid hanya untuk memancing datangnya dia ini. Hei, anak muda, apakah engkau yang bernama Cia Han Tiong, putera dari Pendekar Lembah Naga di utara?” Han Tiong yang sudah mendengar bahwa nenek ini adalah penolong dan guru Lian Hong, dan mengingat akan nama besar nenek ini, cepat melepas tangan Lian Hong dan menjura dengan hormat. “Harap locianpwe maaafkan kalau sejak tadi saya telah mengikuti locianpwe, karena saya tidak tahu dan merasa heran ketika melihat Adik Lian Hong berjalan bersama locianpwe. Kini perkenankanlah saya atas nama seluruh keluarga menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menyelamatkan Adik Lian Hong.” “Hemm, Cia Han Tiong, aku memancingmu agar memasuki tempat sunyi ini bukan untuk menerima ucapan terima kasihmu. Lian Hong tiada artinya bagiku. Aku memang hendak mengajakmu bertanding, untuk melihat sampai di mana kebenaran berita yang kudengar bahwa putera Pendekar Lembah Naga memiliki kepandaian yang hebat!” “Ahhh, locianpwe, sedikit kemampuan saya mana dapat dibandingkan dengan kesaktian locianpwe? Harap locianpwe tidak main-main dan biarlah saya mengaku kalah sebelum bertanding.” Han Tiong yang merasa tidak enak untuk melawan penolong Lian Hong lalu menjura dan merendah. Akan tetapi sikap ini membuat nenek itu menggerakkan alisnya yang putih dan mulutnya menyeringai dan mengejek, pandang matanya merendahkan. “Kiranya putera Pendekar Lembah Naga hanyalah seorang pemuda pengecut yang hilang nyalinya begitu bertemu dengan musuh yang pandai! Cia Han Tiong, dulu engkau sudah bersikap gagah-gagahan saat berhadapan dengan beberapa orang anak buahku, apakah sekarang engkau mengaku takut berhadapan dengan aku?” Han Tiong tersenyum. Dia tahu akan watak orang-orang golongan hitam yang selalu ingin menang, sombong, dan mengagulkan diri. Dia tidak bisa mudah dibakar, karena memang sejak kecilnya pemuda ini sudah memiliki pembawaan yang bijaksana. “Locianpwe, di sini tidak ada persoalan berani atau takut. Saya menghormati locianpwe sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi. Apa lagi locianpwe adalah penolong dari Adik Lian Hong dan juga telah mengangkatnya sebagai murid. Oleh karena itu, bagaimana saya berani kurang ajar melawan locianpwe? Lagi pula, di antara kita tidak ada urusan apa-apa, mengapa kita harus saling serang?” “Hemmm, begitukah? Lian Hong, ke sini engkau! Engkau sudah menjadi muridku, maka engkau harus taat padaku!” “Tidak, subo. Teecu akan ikut Tiong-koko pulang!” jawab Lian Hong. “Begitukah? Hendak kulihat apakah engkau akan dapat meninggalkan aku!” Tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan tangan, dan tubuhnya sudah melayang ke depan, tangan itu hendak mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Lian Hong! Gadis ini terkejut dan cepat mengelak dengan meloncat ke belakang, akan tetapi tangan yang bersarung hitam itu terus mengejarnya. “Plakkk!” Nenek Lam-sin tertolak ke belakang oleh tangkisan Han Tiong, lantas dia pun tersenyum mengejek. “Hemm, katanya engkau tidak hendak melawanku!” tegurnya. “Maaf, locianpwe, saya tidak melawan, hanya hendak melindungi Hong-moi.” “Bagus, kalau begitu, lindungilah kekasihmu itu. Kita bertanding untuk memperebutkan Lian Hong!” Setelah berkata demikian, nenek itu menerjang dengan gerakan cepat sekali, menyerang Han Tiong dengan dahsyat. “Plakk! Plakk!” Dua kali mereka beradu lengan dan akibatnya, keduanya langsung tertolak ke belakang, tanda bahwa tenaga sinkang mereka seimbang. Tadi Cia Han Tiong terpaksa menangkis sebab serangan lawan itu sungguh amat dahsyat, merupakan pukulan-pukulan maut yang harus ditangkisnya. “Begitu lebih baik!” kata nenek itu dan kini ia mulai benar-benar menyerang. Han Tiong maklum bahwa dia tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan itu, maka dia merasa tidak enak sekali. Bagaimana pun juga, nenek ini sudah menyelamatkan Lian Hong. Bagaimana mungkin dia dapat melukainya apa lagi merobohkannya? Akan tetapi, begitu nenek itu melakukan serangan bertubi-tubi, dia terkejut bukan main. Setiap pukulan nenek itu mengandung sinkang yang sangat kuat dan memiliki kecepatan bagaikan kilat. Tahulah dia bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh sekali sehingga terpaksa Han Tiong harus mengeluarkan kepandaiannya. Dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk melindungi seluruh tubuhnya dengan sinkang ini, dan juga untuk mengimbangi kekuatan nenek itu. Dan untuk membela diri, dia mainkan Thai-kek Sin-kun. Akan tetapi, semakin lama gerakan nenek itu semakin cepat. Dan ternyatalah oleh Han Tiong bahwa nenek ini mempunyai kelebihan dalam hal ginkang. Tubuhnya berkelebatan bagaikan pandai menghilang saja sehingga kalau saja dia tidak mempunyai gerakan yang mantap dan kokoh, tentu dia sudah kena terpukul. Nenek itu terus berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerang dari semua jurusan dengan kecepatan yang hebat. Dan lebih lagi, nenek itu pandai mainkan ilmu pukulan Bian-kun, yaitu kedua tangannya menggunakan sinkang yang lemas, tangannya seperti kapas saja lunaknya, akan tetapi di dalam kelunakan ini justru terkandung hawa sinkang yang dapat menembus kekuatan lawan sehingga membuat tubuh Han Tiong beberapa kali tergetar! Thian-te Sin-ciang yang demikian kuatnya hampir dapat ditembusi oleh tangan kapas itu! Cepat Han Tiong mengubah gerakannya. Dia masih memainkan Thai-kek Sin-kun untuk menjaga diri, akan tetapi untuk dapat mengurangi kegencaran serangan lawan, terpaksa dia balas menyerang. Bukan menyerang untuk merobohkan lawan, melainkan menyerang untuk memaksa lawan membagi perhatian sehingga tidak terus-menerus menyerang saja akan tetapi juga mempertahankan diri. Betapa pun juga, sikap Han Tiong yang tak ingin mengalahkan ini telah merugikan dirinya sendiri. Lawannya bukan orang lemah, bahkan sebaliknya. Belum pernah dia berhadapan dengan seorang lawan yang setangguh ini. Andai kata dia membalas dan berusaha untuk merobohkan lawan sekali pun, belum dapat dipastikan dia akan menang, apa lagi dalam waktu singkat. Kini, dia hanya mempertahankan dan membela diri, tentu saja dia didesak terus dengan hebatnya! “Plakk!” Sebuah tamparan mengenai pundak Han Tiong. Tubuh pemuda itu terhuyung dan cepat dia menggerakkan jari tangannya, menahan desakan lawan dengan ilmu It-sin-ci. “Ihhh…!” Nenek itu mendengus dan melompat ke belakang menghadapi tusukan sebuah jari tangan yang mengeluarkan suara mendesing itu. Maklumlah ia bahwa totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti) itu amat berbahaya. Akan tetapi ternyata Han Tiong mengeluarkan It-sin-ci tadi hanya untuk menahan desakan belaka, dan tidak melanjutkan serangannya. Pundaknya yang kena tamparan itu pun tidak terluka hebat. Kini nenek itu menerjang lagi dengan lebih hebat. Dia pun sudah berganti ilmu silat dan kedua tangannya yang dibungkus sarung hitam itu membentuk cakar seperti cakar garuda sedang tubuhnya melayang-layang seperti terbang. Jelaslah bahwa ia mainkan ilmu yang mirip dengan serangan burung garuda. Kedua tangannya mencakar-cakar dan tubuhnya berloncatan sehingga serangan-serangannya itu datang dari atas. Han Tiong mengandalkan ilmu yang didapatkan dari Kakek Yap Kun Liong, yaitu Keng-lun Tai-pun. Ilmu ini menambah kekokohan dari semua gerakan silatnya sehingga walau pun dia diserang secara bertubi-tubi, namun dengan kokoh kuat dia dapat membela diri. Akan tetapi tiba-tiba saja nenek itu menggerakkan kepalanya, lantas sebuah benda putih yang mengeluarkan bau harum dan suara bercuitan menyambar ke arah kepala Han Tiong! Pemuda ini terkejut sekali, membuang tubuh atas ke belakang dan membiarkan rambut itu menyambar lewat. Saking kagetnya, dia kurang waspada sehingga sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi Han Tiong sudah meloncat bangun lagi. Dadanya yang terlindung oleh tenaga Thian-te Sin-ciang tidak terluka, hanya terasa sesak sedikit karena terguncang. Dia cepat memandang kepada nenek itu. Kini rambut putih nenek itu terurai dan rambut itu panjang sekali, sampai pinggulnya. Kiranya nenek ini pandai pula mainkan rambut sebagai senjata yang amat ampuh! Han Tiong merasa serba salah. Apa bila mempertahankan diri saja, jelas dia akan celaka karena tingkat kepandaian lawan ini amat hebatnya. Apa bila melawan sungguh-sungguh, dia merasa tidak enak. Dan kini nenek itu sudah menyerang lagi. Karena bingung, Han Tiong lalu mengeluarkan sebuah dari Ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Tubuhnya menyeruduk ke depan, memapaki serangan lawan, dua tangannya mendorong dan mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring. Kedua tangannya itu bergerak memutar ketika mendorong dan terjadilah pertemuan tenaga yang sama-sama kuat. “Desssss…!” Sekali ini, nenek yang tidak menyangka akan hebatnya jurus itu, terpental dan terbanting roboh! Namun dia sudah meloncat lagi dan dengan mata mencorong berkilat-kilat dia pun segera meloncat dan menyerang sambil memutar rambutnya sehingga nampak gulungan sinar putih. Han Tiong menjadi gugup. Tadi dia sudah merasa menyesal telah merobohkan nenek itu dengan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, yaitu ilmu silat simpanannya. Karena perasaan menyesal ini, melihat nenek itu menyerang, dia menjadi gugup, gerakannya terlambat dan kembali dadanya kena didorong telapak tangan nenek itu. “Bukkk!” Sekali ini Han Tiong terbanting keras sesudah terpelanting! Kembali Lian Hong menahan jeritnya dan hatinya baru lega ketika melihat Han Tiong meloncat bangun kembali sambil mengatur nafas. “Hik-hik-hik, begini sajakah kehebatan putera Pendekar Lembah Naga yang tersohor itu? Hemm, sekarang aku akan menghabiskan nyawamu, orang muda!” Dengan kedua tangan dipentang, nenek itu menyerbu dengan lompatan seperti seekor harimau kelaparan. “Dessss…!” Tubuh nenek itu terpental dan dia pun terkejut sekali, berjungkir balik beberapa kali baru dia berdiri tegak dan memandang kepada orang yang sudah menangkisnya tadi. Kiranya, di situ telah muncul dua orang lain, yaitu seorang pria gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih dan seorang wanita cantik dan gagah yang sebaya. “Nenek tua bangka yang sombong, tidak tahu puteraku telah banyak mengalah!” kata pria yang menangkis tadi. “Ayah…! Ibu…!” Han Tiong berseru girang ketika mengenal dua orang itu sedangkan Lian Hong memandang dengan jantung berdebar. Ternyata yang baru datang itu adalah Pendekar Lembah Naga, Cia Sin Liong bersama isterinya, Bhe Bi Cu. Suami isteri ini merasa tidak enak hati ketika Han Tiong berangkat mencari Lian Hong, maka mereka pun segera meninggalkan Lembah Naga dan menyusul putera mereka. Ketika Sin Liong melihat puteranya membayangi nenek yang melakukan perjalanan dengan Lian Hong keluar dari kota Heng-yang, secara diam-diam dia bersama isterinya ikut membayangi dari jauh pula. Seperti juga Han Tiong, dia telah menyelidiki di Lok-yang. Di tempat inilah dia mendengar bahwa penyerbuan itu dibantu oleh beberapa orang pengemis yang lihai, seperti pernah dia dengar dari Thian Sin dahulu. Maka, pendekar ini kemudian melakukan penyelidikan di antara para pengemis dan dia mendengar bahwa para pangemis itu adalah anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang berpusat di kota Heng-yang. Di kota itulah Cia Sin Liong melakukan penyelidikan dan di sini dia dapat melihat puteranya yang kebetulan sedang membayangi Lian Hong bersama Nenek Lam-sin. “Han Tiong, mengapa engkau begini lemah dan selalu mengalah?” Pendekar itu menegur puteranya karena semenjak tadi dia mengikuti pertandingan itu dan tahu bahwa puteranya selalu mengalah dan tidak mau balas menyerang dengan sepenuh hati sehingga terkena pukulan lawan. “Ayah, locianpwe ini adalah Lam-sin Locianpwe yang sudah menyelamatkan Adik Lian Hong,” jawab Han Tiong. Sementara itu, Nenek Lam-sin sudah kehilangan rasa kagetnya dan kini barulah dia tahu bahwa yang menangkisnya itu adalah Pendekar Lembah Naga yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sudah sering didengarnya itu. Diam-diam dia merasa gentar juga.....


PENDEKAR SADIS JILID 20 :
KEPANDAIAN puteranya itu sudah hebat dan dia pun tadi merasa heran kenapa pemuda itu tidak melawannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang baru dia tahu bahwa sebenarnya pemuda itu belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan demikian berarti bahwa pemuda itu memang lihai sekali, dan andai kata melawannya dengan sepenuh hati, belum tentu dia akan dapat menang. Kalau pemuda itu saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi ayahnya dan ibunya ini. “Aih, kiranya aku berhadapan dengan Pendekar Lembah Naga yang terkenal itu? Selamat datang dan selamat berjumpa, Cia-taihiap. Sudah lama kami mendengar akan kebesaran namamu, dan memang kami ingin sekali berkenalan.” Nenek itu berkata dan kini dia tidak merasa rendah untuk mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Cia Sin Liong! “Sesungguhnya, aku hanya ingin menguji kepandaian putera dari Pendekar Lembah Naga, dan kunjungan taihiap sungguh merupakan hal yang amat menggirangkan hatiku.” “Huh, siapa yang sudi berkenalan dengan segala datuk kaum sesat?” Bhe Bi Cu berkata dengan suara menghina. Wanita yang keras hati ini telah marah sekali ketika tadi melihat kesombongan nenek ini yang mendesak puteranya, apa lagi sesudah mendengar ucapan suaminya betapa puteranya ini tadi sengaja mengalah. Cia Sin Liong tidak segalak isterinya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin berkenalan dengan seorang datuk dari kaum sesat yang tadi dilihatnya menyerang puteranya dengan dahsyat dan dengan penuh nafsu membunuh. Maka dia pun membalas penghormatan itu dan berkata dengan suara dingin. “Kami menyusul putera kami untuk mencari Lian Hong. Setelah kini kami bertemu dengan anak itu, kami tidak ingin mengikat persahabatan dengan siapa pun juga.” Melihat sikap yang begini angkuh dari Pendekar Lembah Naga, terdengarlah suara orang menggereng marah. Yang menggereng marah itu adalah para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Ada tiga orang di antara mereka yang dianggap sebagai pimpinan. Jumlah para anggota Bu-tek Kai-pang hanya tinggal dua puluh empat orang saja ketika perkumpulan ini ditundukkan oleh Lam-sin. Dan di antara yang dua puluh empat itu, tiga orang kakek pengemis itu merupakan pimpinan atau murid utama. Sebetulnya, dahulu, sebelum Nenek Lam-sin menguasai dunia selatan dan menundukkan perkumpulan ini sesudah membunuh ketuanya yang berjulukan Bu-tek Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Tanding), anggota perkumpulan ini berjumlah banyak. Lalu muncul Lam-sin yang membunuh banyak anggota kai-pang sekaligus membunuh ketuanya. Yang lain-lain, yaitu sisanya yang tinggal dua puluh empat orang itu, dipimpin oleh tiga orang kakek ini, kemudian takluk dan menyerah. Melihat bahwa mereka dapat menjadi pembantu-pembantunya yang amat baik, nenek itu lalu menerima mereka. Bahkan nenek itu lalu memperbaharui kai-pang itu, mengadakan aturan-aturan baru dan bahkan mendidik mereka dengan ilmu silat yang ampuh. Terutama sekali tiga orang ini telah digemblengnya hingga kepandaian mereka maju banyak sekali. Dan semenjak dipimpin oleh Nenek Lam-sin, perkumpulan ini betul-betul menjadi ‘bu-tek’ (tanpa tanding). Ketiga pengemis inilah yang membuat nama Lam-sin terkenal tanpa Si Nenek itu turun tangan sendiri. Tiga orang pimpinan pengemis itu rata-rata berusia enam puluh tahun, dan mereka bertiga adalah ahli-ahli mainkan tongkat akar bahar yang berada pada punggung mereka itu dengan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, yaitu ilmu tunggal yang diturunkan oleh Lam-sin kepada mereka semua dan yang membuat mereka itu tak pernah dapat dikalahkan lawan. Para pengemis ini sangat taat dan takut kepada ketua mereka, yang mereka tahu amat sakti. Juga mereka itu amat mencinta Lam-sin, karena sejak ada nenek inilah nama dan derajat mereka terangkat dan kehidupan mereka menjadi lebih maju dan makmur. Maka tadi, pada waktu mereka menerima isyarat dari ketua mereka, mereka lalu mengadakan pencegatan dan pengepungan kepada Cia Han Tiong akan tetapi tak berani turun tangan karena belum menerima perintah ketua mereka. Ketika ketua mereka bertanding, mereka hanya nonton dengan keyakinan penuh bahwa ketua mereka tentu akan mampu mengalahkan pemuda lihai itu. Kini, melihat munculnya Pendekar Lembah Naga, dan melihat sikap para keluarga Pendekar Lembah Naga yang demikian angkuh serta merendahkan ketua mereka yang telah bersikap manis, maka tiga orang pimpinan pengemis itu menjadi marah sekali. Mereka menggereng untuk menarik perhatian ketua mereka dan ketika Nenek Lam-sin memandang kepada mereka, seorang di antara mereka memberi isyarat dengan tangan minta ijin untuk menyerang pendekar itu. Lam-sin tersenyum sambil mengangguk sedikit, hampir tidak kentara. “Cia-taihiap, kami tiga orang pimpinan Bu-tek Kai-pang minta petunjukmu!” tiga orang itu berkata dan meloncat ke hadapan pendekar itu sambil mencabut senjata masing-masing, yaitu tongkat akar bahar hitam yang melingkar-lingkar seperti tubuh ular itu. Dengan muka merah Bhe Bi Cu hendak maju, akan tetapi suaminya menahannya dan memegang lengannya, lalu pendekar ini melangkah maju menghadapi ketiga orang kakek itu. “Kami datang bukan untuk mengadu ilmu.” “Pangcu kami telah menerima penghinaan, Pangcu boleh jadi berhati lapang, akan tetapi kami tidak dapat mendiamkannya begitu saja dan harap taihiap suka membuktikan bahwa taihiap pantas bersikap angkuh terhadap Pangcu kami.” “Majulah kalau kalian penasaran!” kata Cia Sin Liong yang masih berdiri tegak dan tetap bersikap dingin. Keadaan menjadi tegang. Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong dan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, sedangkan Nenek Lam-sin juga memandang dengan penuh perhatian. Sepasang mata nenek itu mencorong dan bibirnya yang keriputan menahan senyum. Tiga orang pimpinan pengemis itu saling pandang sejenak, lalu mereka mengangguk dan ada isyarat pada pandang mata mereka. Memang mereka saling memberi isyarat untuk menyerang berbareng. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar tentang nama besar Pendekar Lembah Naga, maka mereka berpikir hanya dengan penggabungan tenaga saja mereka akan dapat menandingi pendekar ini. Tiba-tiba mereka membentak dengan suara gerengan yang mengandung khikang hingga tempat itu tergetar, kemudian bagaikan tiga ekor naga mereka sudah menerjang dari tiga jurusan, mempergunakan tongkat akar bahar mereka untuk menghantam ke bagian tubuh yang berbahaya dari pendekar itu. Pendekar Lembah Naga menghadapi serangan tiga orang itu tanpa memasang kuda-kuda melainkan berdiri tegak saja dan melihat betapa seorang di antara lawan yang menyerang dari kiri menusukkan tongkatnya ke arah lambung, pendekar ini miringkan tubuhnya dan membiarkan dua tongkat lain yang memukul ke arah leher dan dadanya, juga membiarkan tongkat yang tadinya menusuk itu kini menghantam perutnya. Terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu menghantam tubuh pendekar ini, yang disusul suara teriakan-teriakan tiga orang yang memukul itu karena mereka merasa betapa tongkat mereka melekat pada tubuh Si Pendekar lantas tenaga sinkang mereka tersedot keluar dengan kuat sekali! “Thi-khi I-beng! Simpan tenaga kalian…!” Terdengar suara merdu Nenek Lam-sin. Akan tetapi sebelum tiga orang kakek pengemis itu sadar akan hal ini dan melepaskan pengerahan sinkang, tiba-tiba tubuh mereka sudah terangkat dan terlempar ke arah ketua mereka seperti daun-daun kering tertiup angin! Lam-sin mengangkat tangan menahan mereka hingga mereka bertiga itu dapat mendarat dengan lunak, tidak sampai terbanting keras. Muka mereka menjadi pucat sekali. Dalam segebrakan saja mereka telah dikalahkan oleh pendekar itu yang kalau tadi menghendaki tentu telah dapat membunuh mereka. Karena inilah mereka menjadi ragu-ragu dan gentar, hanya memandang kepada ketua mereka yang memberi isyarat dengan pandang mata agar mereka mundur. Sungguh pun selama ini Cia Sin Liong sudah dapat menguasai diri dan jarang dia dapat diserang amarah, namun sekali ini mukanya agak merah ketika dia berkata kepada nenek itu, “Lam-sin, kami datang bukan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti bahwa kami takut. Majulah kalau engkau hendak mencari gara-gara dan penyakit!” Akan tetapi Nenek Lam-sin bukanlah orang bodoh. Ia tahu bahwa kalau ia maju, maka hal itu berarti ia benar-benar mencari penyakit! Pendekar itu amat tinggi ilmunya, dan biar pun belum tentu ia akan kalah namun di sana masih ada isteri pendekar itu yang ia sangka tentu juga amat lihai, belum lagi Cia Han Tiong yang sudah ia ketahui kelihaiannya. Tidak, kalau ia maju, biar pun ia akan dibantu oleh dua puluh empat orang pembantunya, ia benar-benar mencari penyakit dan akan rugi sendiri. Lebih baik bersikap baik terhadap keluarga selihai ini, setidaknya, untuk saat ini di waktu ia berada di fihak yang lebih lemah. “Tidak, Cia-taihiap, aku pun tak ingin bermusuhan dengan keluarga Lembah Naga. Harap taihiap suka memaafkan mereka ini,” katanya sambil menjura. “Jika begitu, sekarang juga kami hendak pergi!” kata Cia Sin Liong yang memberi isyarat kepada isterinya, puteranya dan juga Lian Hong untuk pergi dari tempat itu. Lian Hong memandang kepada nenek itu dan hatinya merasa kasihan juga. Betapa pun juga, nenek itu pernah menyelamatkannya dari mala petaka yang lebih hebat dari pada maut. Melihat betapa nenek itu sekarang terpaksa mengalah dan agaknya tidak berani, maka dia pun merasa kasihan. “Locianpwe, terima kasih atas segala kebaikan locianpwe dan maafkan saya,” katanya, kini tidak lagi menyebut subo. Nenek itu menghela napas panjang. “Lian Hong, nasibmu baik sekali. Engkau akan hidup beruntung bersama mereka. Pergilah,” katanya dan suaranya bernada sedih. Cia Sin Liong mengajak keluarganya pergi, dan di tengah perjalanan barulah keluarganya mendengar penuturan Lian Hong tentang pertolongan yang diberikan oleh nenek itu yang membunuh anggota Bu-tek Kai-pang sendiri. Mendengar ini, Cia Sin Liong lalu menghela napas panjang. “Nenek itu aneh sekali. Kepandaiannya cukup hebat dan tidak berselisih banyak dengan kemampuanku, dan gerak-geriknya seperti bukan penjahat, akan tetapi kenapa ia menjadi datuk kaum sesat?” Pendekar ini dan sekeluarganya tidak tahu betapa sepeninggalnya mereka, nenek itu lalu memberi peringatan kepada para pengikutnya agar mulai saat itu, para pengikutnya tidak melibatkan diri dalam permusuhan dengan orang-orang kang-ouw yang baru. “Kini banyak orang pandai berkeliaran, kalau bertemu dengan muka baru, jangan kalian sembarangan turun tangan melainkan beri tahu kepadaku. Terutama sekali kalau bertemu dengan orang yang bemama Ceng Thian Sin, putera Pangeran Ceng Han Houw itu!” Nenek itu lalu pulang ke rumahnya dan di dalam kamarnya, nenek ini duduk termenung dan menangis! Bila teringat akan sikap keluarga Cia yang amat angkuh dan memandang rendah kepadanya, dia merasa penasaran dan juga berduka. *************** Sementara itu, Cia Sin Liong hendak mengajak isteri, putera dan calon mantunya pulang ke Lembah Naga. Akan tetapi, di tengah jalan Han Tiong tak mau melanjutkan perjalanan. Dari percakapan di sepanjang perjalanan itu dia tahu akan niat hati orang tuanya, yaitu dia akan segera dinikahkan dengan Lian Hong. Tentu saja hal ini meupakan sesuatu yang amat diharapkan, akan tetapi pada saat itu dia belum ingin menikah lebih dahulu sebelum dia berhasil menemukan Thian Sin. Dia merasa amat tidak enak untuk menikah dengan gadis yang dia tahu juga dicinta oleh Thian Sin itu, tanpa kehadiran adiknya yang sangat disayangnya itu. Dia akan enak-enak menikah dan berbahagia, akan tetapi bagaimana nasib Thian Sin dia masih belum tahu. “Ayah dan ibu harap pulang dahulu dan biar Hong-moi ikut bersama ayah dan ibu. Aku sendiri belum akan pulang kalau belum berjumpa dengan Sin-te. Aku harus mencarinya sampai dapat. Aku mengkhawatirkan dia, ayah!” “Dia bukan anak kecil dan dia sudah memiliki bekal kepandaian yang cukup, perlu apa mengkhawatirkan dia?” “Ayahmu benar, Tiong-ji. Engkau harus pulang, jika tidak, tentu Lian Hong akan semakin khawatir dan berduka. Sekarang kita sekeluarga sudah berkumpul, dan kita harus dapat menghibur hati Lian Hong. Mari ikut pulang dan kita segera melangsungkan pernikahan kalian.” “Maaf, ayah dan ibu. Bagaimana mungkin aku bersenang hati kalau Sin-te masih belum kuketahui bagaimana nasibnya. Berilah waktu kepadaku, aku hendak mencarinya sampai dapat, baru aku akan pulang bersamanya dan baru kita bicara tentang pernikahan. Aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengijinkan aku pergi.” Suami isteri itu saling pandang. Mereka tahu akan isi hati putera mereka. Mereka tahu betapa besar kasih sayang putera mereka ini terhadap adik angkatnya. Dan diam-diam mereka pun bangga akan kecintaan dan kesetiaan hati putera mereka ini. Akhirnya Bhe Bi Cu bertanya kepada Lian Hong dengan suara halus, “Ahh, Han Tiong memang keras hati. Bagaimana pendapatmu, Lian Hong?” Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan mukanya saja. Dia teringat akan Thian Sin dan terbayanglah semua peristiwa dalam taman di waktu pemuda itu menyatakan cinta kasih kepadanya. Dan betapa pun juga, dia merasa girang mendengar sikap tunangannya yang sangat menyayangi adiknya itu, yang tidak hanya memikirkan kesenangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dengan suara tegas dia pun menjawab, “Saya kira pendapat Tiong-koko amatlah bijaksana dan saya… dalam keadaan berkabung ini… saya… belum dapat berpikir tentang pernikahan…” Suami isteri itu menarik napas panjang. Mereka merasa amat kasihan kepada gadis yang dalam waktu seketika saja sudah kehilangan segala-galanya, baik orang tuanya, rumah mau pun semua harta miliknya. “Baiklah, Han Tiong. Engkau boleh pergi mencari adikmu. Kami bertiga akan menunggu kembailmu ke Lembah Naga, mudah-mudahan bersama dengan adikmu.” Maka berpisahlah Han Tiong dari orang tua dan tunangannya. Dia pergi mencari adiknya, sedangkan mereka bertiga kembali ke Lembah Naga. *************** Kita kembali mengikuti perjalanan Ceng Thian Sin. Hati pemuda ini merasa besar setelah dia dapat mengalahkan Pak-san-kui dan kemudian See-thian-ong, biar pun kemenangan itu hanyalah kemenangan yang tipis saja dan yang diakhirinya dengan melarikan diri pada saat hendak dikeroyok. Belum tiba waktunya bagi dia untuk benar-benar mengalahkan dan membasmi penjahat-penjahat itu, datuk-datuk kaum sesat itu. Kelak akan tiba saatnya dia membasmi seluruh penjahat dari permukaan bumi ini. Yaitu bila mana ilmunya sudah sempurna sehingga dia menjadi jagoan tanpa tanding atau jagoan nomor satu di dunia ini, seperti yang dahulu dicita-citakan oleh ayahnya. Dengan tekad yang bulat untuk menyempurnakan ilmu kepandaiannya, pergilah Thian Sin ke Pegunungan Himalaya. Dahulu dia pernah mendengar dari mendiang ayahnya bahwa ilmu-ilmu yang ditulisnya di dalam kitab-kitab itu dipelajari mendiang ayahnya dari seorang manusia dewa yang kabarnya bertempat tinggal di Himalaya, akan tetapi belum pernah ada orang yang menjumpainya. Ayahnya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan maha guru yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, melainkan baru bertemu dengan badan halusnya atau bayangannya saja. Dia harus dapat bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, atau setidak-tidaknya menghubungi badan halusnya. Dan untuk itu kini dia harus pergi ke Himalaya, untuk menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan ayahnya dan menemui pertapa-pertapa sakti yang dapat memberi petunjuk selanjutnya kepadanya. Setelah melakukan perjalanan merantau di daerah Pegunungan Himalaya dan beberapa kali menghadapi bahaya-bahaya maut, bukan hanya bertemu dengan binatang-binatang buas, akan tetapi juga terancam kelaparan serta kedinginan yang sangat hebat, akhirnya pada suatu hari Thian Sin diserang angin badai yang amat hebat sehingga dia bergegas mencari tempat perlindungan. Dari bawah dilihatnya sebuah mulut goa di atas puncak. Dengan susah payah, melawan angin yang seolah-olah hendak menerbangkannya ke jurang, angin besar yang membuat pohon-pohon raksasa tumbang, Thian Sin berhasil juga mencapai goa itu dan setelah dia berada di dalam goa, maka selamatlah dia dari serangan angin yang masih menghembus lewat di depan mulut goa sambil mengeluarkan suara mengerikan. Lewat kurang lebih satu jam sesudah angin badai itu mereda, barulah Thian Sin sempat memperhatikan goa yang telah menyelamatkannya itu. Goa itu cukup lebar, ada empat meter lebarnya, dan dalamnya tidak kurang dari lima meter. Dia segera masuk ke dalam dan ternyata goa itu membelok ke kiri. Ketika dia masuk terus ke kiri, pada sudut goa itu, di dalam cuaca yang remang-remang, nampaklah olehnya sesosok tubuh yang kurus kering sedang duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha dan dua tangan terletak di atas lutut. Dia terkejut dan mendekat. Orang itu tidak bernapas lagi! Ketika dia menyentuh lengan yang hanya tulang terbungkus kulit itu, terasa dingin seperti biasa tubuh mayat! Orang ini telah mati! Akan tetapi, kalau sudah mati, mengapa dia tidak roboh dan masih dapat duduk bersila dengan punggung demikian lurus tegak? Dan kulit lengan itu pun masih lemas, belum kaku, belum beku. Cepat Thian Sin meraba pergelangan tangan orang itu. Urat nadinya tidak berdetik lagi. Dia masih penasaran dan meraba dada sambil mengerahkan semua perasaan halusnya. Jantung orang itu masih bekerja, walau pun sangat lemah dan lambat! Orang ini belum mati, sungguh pun tiga perempat mati. Thian Sin cepat mengambil guci kecil berisi arak yang terdapat dalam bungkusan pakaian dan bekalnya. Dibukanya tutup guci dan ditempelkannya bibir guci arak ke bibir kakek itu, dan dengan lembut diangkatnya dagu orang itu agar menengadah. Mula-mula bibir itu mengeras dan seperti melawan, akan tetapi ketika tetes pertama dari arak itu mengenai bibir, tiba-tiba saja bibir itu menyedot dan… guci arak itu menempel pada bibir dan isinya seperti disedot oleh tenaga yang amat kuat sehingga sebentar saja isinya pun habis, semua memasuki perut orang itu melalui mulutnya! Thian Sin terkejut dan maklumlah dia bahwa yang disangka mayat seperempat hidup ini ternyata adalah seorang yang pandai! Maka setelah menurunkan guci kosongnya, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe suka memafkan teecu atas kelancangan teecu,” katanya menghormat. Kakek itu berdahak lalu terbatuk-batuk kecil dan tubuhnya bergerak. Matanya terbuka dan sepasang mata yang mencorong memandang ke arah Thian Sin, lalu terdengar suaranya yang pelan dan kaku, suara orang yang sudah puluhan tahun tidak pernah bicara, “Aih, engkau telah menggagalkan aku memasuki keadaan abadi. Ah, tapi bukan salahmu, melainkan salahnya badan ini yang tidak dapat menahan bau arak. Ha-ha-ha-ha, agaknya inilah karmaku… hemmm…” Hampir semua orang bicara tentang karma. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dirinya, yang terjadi berlawanan dengan yang diharapkannya, lantas dihiburnya dengan pendapat bahwa hal itu sudah menjadi karmanya atau sudah nasibnya. Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan karma itu? Menurut penjelasan kitab-kitab tulisan orang jaman dahulu, karma adalah hukum sebab akibat. Segala akibat mempunyai penyebabnya, dan segala macam perbuatan manusia sudah pasti akan mendatangkan akibat, cepat atau lambat. Itulah hukum karma. Semua perbuatan baik tentu akan berakibat baik, perbuatan jahat akan berakibat jahat bagi yang melakukannya. Atau dengan kata lain, siapa menanam dia akan menuai dan akan makan buah dari pada hasil tanamannya sendiri. Akan tetapi sungguh sayang. Seperti juga segala macam pelajaran kebatinan atau filsafat lain di dunia ini, pengetahuan tentang hukum karma ini pun hanya menjadi pengetahuan mati saja, menjadi teori yang hanya dipakai untuk bahan perdebatan dan membanggakan pengetahuan saja. Orang sudah tahu bahwa apa bila menanam pohon perbuatan jahat akan memetik buah yang buruk, namun orang tetap saja setiap saat menanam pohon perhuatan yang jahat-jahat! Jadi jelas bahwa pengetahuan mati tidak ada gunanya. Dunia sudah penuh dengan segala ajaran ayat-ayat yang suci dan yang menuntun manusia ke arah jalan baik, namun manusia tetap saja bergelimang kejahatan. Karma adalah mata rantai yang tiada habisnya. Sebuah sebab menimbulkan akibat, dan akibat ini berubah menjadi sebab yang mendatangkan akibat lain lagi. Begitu seterusnya dan kita terbelenggu oleh rantai karma atau sebab akibat. Putusnya rantai ini tergantung pada kita sendiri! Seseorang menghina saya. Hal itu dapat saja menjadi sebab yang mengakibatkan saya marah kemudian memakinya. Akibat ini, yaitu saya marah dan memakinya, bisa menjadi sebab lain yang mendatangkan akibat lainnya lagi, yaitu si orang itu marah-marah dan mungkin memukul saya. Dan mulai terjadilah lingkaran yang tiada putusnya dari hukum karma itu, rantai yang sambung-menyambung dan mengikat kita. Akan tetapi, apa bila orang itu menghina saya lantas saya hanya mengamati saja penuh perhatian dan penuh kewaspadaan, juga tidak terjebak dalam permainan si aku, dan tak menimbulkan reaksi, maka mata rantai itu pun akan putus dan tidak berkelanjutan. Jadi, kesadaran setiap saat, pengamatan setiap saat terhadap diri sendiri dan terhadap segala sesuatu yang terjadi setiap saat di sekeliling kita inilah yang penting. Bukan pengetahuan tentang hukum karma lalu bersandar kepadanya. Pengetahuan tentang memetik buah dari perbuatan sendiri ini pun dapat menyesatkan. Dapat mendorong kita untuk melakukan perbuatan baik dengan pamrih agar kelak dapat memetik buahnya yang baik atau lezat. Kalau sudah begini, kalau perbuatan yang kita namakan perbuatan baik itu dilakukan dengan sengaja supaya kelak memperoleh hasil yang menyenangkan, apakah perbuatan itu dapat disebut perbuatan baik lagi? Bukankah itu hanyalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu usaha untuk memetik sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan? Tak ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa yang dilakukannya itu adalah baik. Hanya sinar cinta kasih sajalah yang melahirkan perbuatan baik, perbuatan yang wajar, tak disengaja untuk berbaik-baik melainkan perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Dan cinta kasih ini selalu menimbulkan rasa belas kasih pada sesama. Di mana ada cinta kasih, di situ semua perbuatan yang dilakukan pasti bersih dari pada keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin. “Locianpwe, teecu mohon petunjuk…,” kata Thian Sin dengan girang karena dia merasa yakin sudah berjumpa dengan orang pandai. “Teecu Ceng Thian Sin merasa berbahagia sekali dapat berjumpa dengan locianpwe di sini, harap locianpwe sudi memperkenalkan diri.” Kakek itu menarik napas panjang sambil melonjorkan kedua kakinya yang agaknya terasa pegal-pegal. “Ahh, apa artinya nama? Jika orang-orang macam aku masih mencari nama, perlu apa mengasingkan diri di tempat seperti ini. Orang muda, engkau sudah menyeret aku kembali ke dunia penuh perasaan ini, dan kini aku merasa lapar sekali, perutku minta diisi. Apa engkau membawa makanan untukku?” “Ahhh, ada, locianpwe.” Thian Sin cepat membuka bungkusannya dan mengeluarkan roti kering yang dibawanya bersama daging kering. Kakek itu cepat-cepat menyambar roti serta daging kering lalu makan dengan lahapnya, dipandang oleh Thian Sin yang merasa kagum karena kakek itu sanggup menghabiskan seperempat potong saja. Dia pun menyerahkan guci air yang segera diminum oleh kakek itu dengan lahap. Setelah kenyang, baru kakek itu bicara. “Kedatanganmu yang tiba-tiba ini mendatangkan dua hal bagiku, orang muda. Pertama, engkau kembali mendatangkan kehidupan bagi tubuh yang hampir mati ini, dan ke dua, engkau menarik kembali semangatku dari alam yang sangat nikmat. Akan tetapi biarlah, memang agaknya aku masih harus bertahan hingga beberapa lama lagi. Apa maksudmu, seorang pemuda remaja seperti engkau datang ke tempat sunyi seperti ini?” “Locianpwe, terus terang saja, teecu pergi merantau ke Pegunungan Himalaya ini untuk mematangkan ilmu, dan di samping mencari guru-guru yang pandai juga teecu ingin sekali bertemu dengan seorang locianpwe yang berjuluk Bu Beng Hud-couw.” Kakek itu tertawa. “Bu Beng Hud-couw? Ha-ha-ha, aku pun bernama Bu Beng, dan entah ada berapa ribu pertapa di daerah ini menggunakan nama Bu Beng. Orang-orang macam kita sudah tidak mengenal nama, maka disebut Bu Beng (Tanpa Nama).” Mendengar hal ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan merasa kecewa, juga penasaran. “Akan tetapi, locianpwe, yang disebut Locianpwe Bu Beng Hud-couw itu benar ada, beliau adalah guru dari mendiang ayah teecu, bahkan teecu telah mempelajari ilmu-ilmu ciptaan beliau. Teecu ingin bertemu dan menghadap beliau untuk memperoleh penjelasan tentang ilmu-ilmu itu.” “Oho, sungguh menarik. Coba kau ceritakan lebih jelas lagi, barang kali aku akan dapat menolongmu.” Mendengar ini, dengan hati girang Thian Sin lantas bercerita tentang Bu Beng Hud-couw seperti yang pernah dia dengar dari ayahnya, dan tentang ilmu-ilmu yang diwariskannya. Kakek itu mengagguk-angguk, lalu berkata, “Tentang ilmu silat, aku orang tua tidak tahu banyak. Akan tetapi tentang kemunculannya seperti yang dialami oleh mendiang ayahmu, ahhh, hal itu mudah saja. Setiap orang pun dapat saja mengalaminya kalau memang kemauannya cukup keras.” “Locianpwe, kalau begitu teecu ingin mohon petunjuk agar teecu dapat bertemu dengan Sukong.” Kakek itu tertawa lagi dan nampak betapa mulutnya sudah tidak punya gigi sebuah pun, akan tetapi tadi dia masih mampu makan roti dan daging kering! “Mudah saja… ha-ha-ha-ha, memang engkau berjodoh denganku, orang muda. Aku bisa mengajarimu bagaimana agar engkau bisa memanggil yang bernama Bu Beng Hud-couw itu! Tapi, untuk apa engkau hendak memanggilnya?” “Untuk meminta penjelasan tentang ilmu-ilmu yang diciptakannya dan yang sedang teecu pelajari.” “Apakah engkau tidak dapat mempelajarinya dengan baik?” “Teecu telah mempelajarinya, dan teecu kira sudah benar, hanya saja teecu belum puas kalau belum memperoleh petunjuk langsung dari beliau, seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayah teecu.” “Bagus, bagus! Mudah saja, ha-ha-ha, mudah saja.” Dia berhenti sejenak, lalu bertanya lagi, “Berapa usia Bu Beng Hud-couw itu?” “Entahlah, menurut ayah, beliau adalah manusia dewa yang tak dapat mati, usianya tentu sudah tiga ratus tahun lebih.” Kakek itu tertawa geli. “Mana ada manusia yang tidak bisa mati? Dewa sekali pun bisa mati! Tetapi tidak mengapalah. Nah, mulai sekarang, engkau boleh menggunakan bagian depan goa ini, bersemedhi dan mengerahkan seluruh perhatianmu, memusatkan kepada bayangan Bu Beng Hud-couw, sambil mengulangi mantera, seperti yang akan kuajarkan kepadamu.” “Tapi teecu belum pernah melihatnya, bagaimana dapat membayangkannya?” “Bodoh, siapa pernah melihatnya? Kau bayangkan saja seorang kakek yang sepantasnya berusia tiga ratus tahun dan sepatutnya disebut Bu Beng Hud-couw, tentu dia pun akan muncul.” Demikianlah, mulai saat itu juga Thian Sin bertapa di dalam goa di puncak, menerima petunjuk dari kakek tanpa nama yang kurus kering itu. Dia bersemedhi dengan tekunnya, mencurahkan segenap perhatian, ditujukan pada bayangan seorang kakek yang menurut dia sepatutnya menjadi Bu Beng Hud-couw, sambil bibirnya dan terus sampai ke hatinya, membisikkan mantera terus-menerus, diulang-ulang. Mantera adalah pengulangan kata-kata yang dianggap suci atau dianggap mengandung arti yang mendalam. Dan suara yang diulang-ulang ini memang mengandung pengaruh yang demikian hebatnya bagi batin manusia. Setiap orang dapat membuktikannya sendiri pengulangan suara yang terus-menerus, apa lagi pengulangan kata-kata yang dianggap suci, mendatangkan pengaruh yang amat hebat, yang dapat membius dan melumpuhkan batin, membuat batin menjadi hening, dan mempunyai daya kekuatan yang menyihir diri sendiri. Di dalam keadaan hening seperti ini, seluruh perhatian Thian Sin terus diarahkan kepada bayangan seorang kakek yang selalu diharap-harapkan. Seperti yang pernah dialami oleh mendiang ayahnya, Ceng Han Houw, dua puluh tahun yang lalu, kini Thian Sin juga dapat ‘berjumpa’ dengan seorang kakek yang dianggapnya sebagai Bu Beng Hud-couw, yang memberi petunjuk padanya dalam mempelajari ilmu-ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga semedhi dengan jungkir balik. Selama enam bulan Thian Sin menggembleng diri di dalam goa itu, bukan hanya untuk menyempurnakan latihannya atas semua ilmu peninggalan ayah kandungnya, akan tetapi juga melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah dilihatnya dari pengalamannya pada saat melawan Pak-san-kui mau pun See-thian-ong. Di samping ini, dia pun menerima petunjuk dalam menghimpun kekuatan sihir oleh kakek penghuni goa itu yang merasa suka kepada Thian Sin yang pandai mengambil hati. Enam bulan lewat dengan sangat cepatnya dan pada suatu pagi, Thian Sin berpamit dari kakek pertapa yang tidak dikenal namanya itu, meninggalkan goa turun dari puncak. Akan tetapi, kalau ada orang melihatnya enam bulan yang lalu dan membandingkannya dengan keadaannya pada pagi hari ini, orang itu tentu akan terheran-heran. Thian Sin yang menuruni puncak di pagi hari ini sungguh jauh berbeda dengan Thian Sin enam bulan yang lalu. Memang dia masih tampan sekali, masih rapi pakaiannya, masih gagah sikapnya. Akan tetapi ada perbedaan pada pandang matanya yang mencorong itu, ada sesuatu yang menyeramkan dan aneh pada pandang matanya dan ada sesuatu yang berbeda pada mulutnya yang selalu tersenyum itu, karena senyumnya itu bukan senyum yang hangat, melainkan senyum dingin, senyum seperti orang memandang rendah atau mengejek. Gerak-geriknya lebih halus dari pada enam bulan yang lalu, sikapnya lebih tenang dan matang, kini penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Dan ketika dia menuruni puncak itu, larinya cepat seperti terbang saja! Tujuan pertamanya adalah mengunjungi neneknya, yaitu Sang Ratu Khamila, ibu kandung dari ayahnya. Paman dari ayahnya, yaitu Raja Agahai yang sekarang menjadi raja, adalah seseorang yang bertanggung jawab atas kematian ayah bundanya. Raja Agahai adalah salah seorang di antara musuh-musuh besarnya yang harus dibalasnya lebih dulu! Maka tanpa merasa ragu lagi berangkatlah Thian Sin menuju ke daerah di sebelah utara Tembok Besar itu. Dia tidak mau melewati Lembah Naga, akan tetapi mengambil jalan memutar dari barat, melalui Propinsi Tibet, Ching-hai dan Kan-su. Daerah yang amat luas, melalui banyak padang pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat. Perjalanan yang sangat jauh dan sukar, namun ditempuhnya dengan seenaknya saja. Di mana pun dia berada, setiap kali bertemu dengan penjahat-penjahat yang melakukan perbuatan jahat, Thian Sin tidak pernah tinggal diam. Dia tentu turun tangan dan memberi hajaran yang amat keras, bahkan amat kejam kepada para penjahat. Dia akan menyiksa, membikin cacad, membunuh secara yang amat kejam dan mengerikan kepada penjahat-penjahat yang ditemukannya dalam perjalanannya. Oleh karena itu, maka dalam waktu sebentar saja namanya telah menjadi sangat terkenal sehingga mulai muncullah julukan Pendekar Sadis! Dan memang Thian Sin pantas sekali disebut Pendekar Sadis. Di luarnya dia kelihatan sebagai seorang pelajar yang halus dan sopan santun. Sikapnya, gerak-gerik mau pun tutur-sapanya amat ramah-tamah, wajahnya pun amat tampan. Juga suara suling yang ditiupnya amat halus dan merdu, mudah menggugurkan hati gadis yang mana pun juga. Akan tetapi, apa bila dia sudah turun tangan terhadap penjahat, celakalah penjahat itu, karena penjahat itu akan mengalami mala petaka mengerikan, kalau tidak mati, setidaknya tentu akan cacad dan tersiksa hebat! Pada suatu hari, tibalah Thian Sin di kota Si-ning, yaitu kota besar di Propinsi Ching-hai, setelah satu pekan lamanya dia berpesiar di Telaga Ching-hai atau yang juga dinamakan Telaga Koko Nor yang amat luas dan indah. Di telaga itu, ketika dia pesiar selama satu pekan, dia pun menghajar banyak penjahat sehingga namanya menjadi semakin terkenal. Bahkan pada waktu dia melanjutkan perjalanan ke Si-ning, berita tentang nama Pendekar Sadis sudah mendahuluinya sehingga para penjahat dan bahkan para orang kang-ouw di daerah Si-ning sudah mendengarnya belaka. Nama itu sudah menimbulkan kegemparan! Dalam usahanya menentang para penjahat, memang Thian Sin tidak pernah mau berlaku setengah-setengah, juga dia tidak perlu menyembunyikan diri, walau pun dia jarang mau memperkenalkan nama aslinya. Pada pagi hari itu, sesudah dia memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan di kota Si-ning, Thian Sin lantas keluar berjalan-jalan. Seorang pemuda tampan laksana seorang siucai yang lemah lembut dan sopan. Takkan ada yang mengira bahwa pemuda tampan ini adalah Si Pendekar Sadis yang namanya membuat semua penjahat panas dingin dan juga merah mukanya saking marah dan dendamnya. Pada waktu dia berjalan melalui sebuah gedung po-koan (bandar judi) di mana diadakan perjudian, ada sesuatu yang menarik hatinya hingga membuatnya menahan langkahnya, kini melangkah perlahan-lahan sambil memandang penuh perhatian. Biasanya Thian Sin tidak pernah mempedulikan rumah-rumah perjudian seperti itu. Dia tahu bahwa bandar-bandar judi adalah orang-orang yang selalu bermain curang, menipu uang para penjudi. Akan tetapi dia tak peduli karena kalau ada orang menjadi korban judi yang curang, maka hal itu adalah kesalahan si orang itu sendiri. Sekarang, dia tertarik karena melihat seorang kakek yang mukanya pucat dan wajahnya membayangkan kegelisahan besar, setengah memaksa dan menarik-narik lengan seorang gadis cilik memasuki po-koan itu. Gadis itu usianya paling banyak lima belas tahun, berwajah manis akan tetapi kelihatan ketakutan dan agaknya hendak menolak diajak masuk. Akan tetapi kakek itu membujuk dan kadang-kadang membentaknya. Dari percakapan mereka, Thian Sin bisa mendengar bahwa kakek itu adalah ayah dari si dara remaja. Hatinya tertarik sekali dan mencium sesuatu yang tidak wajar. Maka, sesudah dua orang itu memasuki rumah perjudian, dia pun lalu menyelinap ke belakang rumah besar itu dan pada lain saat dia sudah meloncat melampaui pagar tembok di belakang rumah judi, lalu menyelinap ke dalam dengan kecepatan seperti bayangan setan saja. “Ayah, aku takut…” Dara remaja itu berbisik ketika dia diajak ayahnya memasuki rumah perjudian itu. “Hussshhh… tidak apa-apa, jangan takut.” “Ayah, aku takut, biar aku pulang saja. Ahh, di sana banyak orang, semua laki-laki…” “Siapa bilang? Ada juga wanitanya yang main judi. Eh, anakku, apakah engkau tidak mau menolong ayahmu? Kalau engkau tidak menolongku, tentu aku celaka dan segera masuk penjara…” Sesudah dibujuk oleh ayahnya, anak perempuan itu memberanikan diri dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki rumah di samping, bukan ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang sedang asyik berjudi sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan masuknya kakek dengan anak perempuan itu. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki muda yang kurus dan mukanya seperti tikus, matanya juling. Dia tersenyum ketika melihat kakek itu, lalu menegur, “Eh, engkau sudah kembali, A Piang? Dan dia ini… dia inikah anakmu?” Senyumnya menyeringai dan matanya makin menjuling. “Benar, di mana cukong?” tanya A Piang kepada seorang tukang pukul rumah judi itu. “Terus saja, dia sudah menanti di dalam kamarnya,” kata Si Juling menyeringai. Kakek yang bernama A Piang itu lalu menarik tangan anaknya diajak ke belakang dan tak lama kemudian dia telah mengetuk pintu sebuah kamar. Di depan kamar itu terdapat dua orang yang sedang duduk berjaga-jaga dan tak peduli ketika mereka melihat bahwa yang datang adalah A Piang bersama seorang anak perempuan yang kelihatan ketakutan. “Siapa di luar?” terdengar suara berat di dalam kamar. “Saya… saya A Piang…,” kakek itu menjawab. “Hemmm, sudah habis-habisan mencariku, ada apa?” tanya suara itu tanpa menyuruhnya masuk atau membuka pintu. “Saya datang… ehh, mengantar anak perempuan saya…” Hening sejenak. Lalu terdengar suara itu berseru kepada seorang di antara dua penjaga itu. “A Siong, bagaimana anaknya itu? Cukup berhargakah?” Seorang di antara dua penjaga itu memandang kepada gadis itu, kemudian menjawab, “Lumayan juga, loya. Masih muda sekali!” “Bagus. Masuklah, A Piang, kamarku tidak dikunci,” terdengar suara itu. Sambil menarik tangan puterinya, A Piang mendorong daun pintu dan mereka memasuki sebuah kamar yang sangat besar dan mewah, kamar yang berbau asap tembakau karena hartawan pemilik rumah judi itu sedang asyik menghisap huncwe (pipa tembakau) yang mengeluarkan asap tebal. Dia adalah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun. Bajunya yang tebal dan indah itu terbuka kancingnya karena agak panas di dalam kamar itu sehingga nampaklah kulit dadanya yang berbulu. Sepasang matanya lebar dan berkilauan, apa lagi ketika dia memandang kepada gadis itu. “A Piang berapa banyak hutangmu kepada bandar?” Laki-laki itu bertanya, tetapi matanya terus menatap gadis itu dengan penuh perhatian. “Empat puluh lima tail… loya…” “Hemm, dan engkau hendak gadaikan anakmu ini untuk berapa banyak dan untuk berapa hari?” “Tadi saya… saya sudah memberi tahu pembantu loya… saya butuh enam puluh tail… dipotong hutang dan sisanya saya hendak pakai untuk mencoba peruntungan saya lagi… dan biarlah anak saya bekerja sebagai pelayan di sini selama satu bulan…” “Sebulan? Dan anakmu sudah mau?” cerita silat online karya kho ping hoo Kakek A Piang segera menoleh kepada anaknya yang menunduk. “Kui Cin… kau dengar sudah… kau tolonglah ayahmu, kau hanya sebulan bekerja di sini lalu kujemput pulang, nak. Kau dengarlah dan taati semua perintah loya ini… maukah engkau menolongku, nak? Kalau tidak, tentu ayahmu akan masuk penjara…” Kui Cin, gadis itu, lalu mengangguk. Tentu saja dia mau menolong ayahnya. Kalau cuma bekerja sebagai pelayan, apa lagi hanya satu bulan, tentu saja dia sanggup. Sejak kecil dia sudah biasa bekerja keras. “Baiklah, ayah, asal sebulan kemudian ayah menjemputku di sini.” “Nah, anak saya sudah mau, loya. Dia anak yang berbakti dan baik…” “Bagus, jadi aku harus menambah lima belas tail lagi. Nih, terimalah!” Majikan rumah judi itu lalu menyerahkan sejumlah uang yang diterima dengan jari-jari menggigil oleh Kakek A Piang. “Tapi, anakmu tentu sudah tahu bahwa bekerja di sini. Dia harus mentaati semua perintahku. Dia tidak boleh membantah dan harus melakukan segala pekerjaan yang aku perintahkan. Mengerti?” “Mengerti, loya, mengerti. Engkau akan taat, bukan, Kui Cin?” “Baiklah, ayah. Aku akan bekerja keras di sini.” “Nah, pergilah, dan mudah-mudahan rejekimu baik sekali ini dan bisa menang, A Piang!” kata majikan itu. A Piang lalu menepuk pundak puterinya beberapa kali dan pergilah dia keluar dari dalam kamar itu. Daun pintu ditutupkan lagi dari luar oleh para penjaga dan A Piang yang sudah gila judi itu tidak segera membawa sisa uang itu pulang, namun langsung saja memasuki ruangan lebar di mana terkumpul banyak orang yang sedang berjudi itu. Semenjak jaman purba sampai sekarang, perjudian merupakan semacam penyakit yang amat berbahaya bagi manusia. Ada pula yang menganggap perjudian sebagai permainan, sebagai kesenangan atau iseng-iseng saja yang sama sekali tidak membahayakan. Akan tetapi segala macam kesenangan yang dapat menyesatkan manusia selalu dimulai dengan iseng-iseng. Dari iseng-iseng ini lambat laun lantas menjadi kebiasaan yang tidak mudah dilepaskan. Oleh karena dalam kesenangan berjudi ini terdapat permainan dengan harapan-harapan sendiri, dan ada hubungannya dengan keuntungan berupa uang secara langsung, maka besar sekali pengaruh dan kekuatannya untuk membuat orang menjadi mabok dan lupa segala. Perjudian merupakan permainan dari pengumbaran nafsu manusia yang terbesar, yaitu nafsu tamak ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Orang yang kalah berjudi selalu akan berusaha untuk membalikkan kekalahannya itu dengan bayangan-bayangan kemenangan sebesarnya sehingga kekalahannya itu dapat diraihnya kembali. Orang yang sedang menang berjudi selalu akan berusaha untuk sebanyak mungkin bisa menambah kemenangannya itu. Dan dalam perjudian ini, ketamakan dan kebesaran si aku dikembang biakkan menjadi sangat luas. Di antara teman baik, saling membayar makanan dalam jumlah agak besar pun akan dilakukan dengan senang hati dan rela, namun di dalam perjudian, walau pun jumlah sedikit saja sudah cukup untuk membuat kedua orang kawan baik itu menjadi cekcok dan bentrok, tidak mau saling mengalah. Judi memupuk iri hati dan kekejaman, memperkuat dan memperbesar si aku, memupuk nafsu ingin menang sendiri. Alangkah banyaknya sudah contoh-contoh dalam kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga yang berantakan akibat kepala keluarganya kegilaan judi. Orang-orang yang tadinya hidup jujur dan setia, dapat berubah menjadi curang dan jahat sesudah dia menjadi penjudi, tentu saja kalau dia sudah menjadi korban dan menderita kalah terus-menerus. A Piang adalah seorang duda yang hanya mempunyai seorang anak, yaitu Kui Cin. Dia dan anaknya berdagang kecil-kecilan di pasar dan kehidupan mereka sebenarnya sudah dapat dibilang cukup, bahkan hasil perdagangan kecil-kecilan itu lebih untuk dimakan dan dipakai. Akan tetapi, celaka sekali, A Piang terpikat oleh perjudian dan beberapa bulan kemudian, dia sudah menjadi setan judi yang malas untuk bekerja lagi. Kui Cin berusaha sebisa mungkin untuk mengingatkan ayahnya dan mengurus pekerjaan mereka. Akan tetapi kekalahan demi kekalahan menimpa diri A Piang sehingga akhirnya semua dagangannya habis di meja judi tanpa dia dapat berbelanja lagi. Perdagangan itu terhenti dan kini, perabot-perabot rumah mulai tanggal satu demi satu, sampai akhirnya rumah pun digadaikan! Mula-mula dimulai dengan kemenangan-kemenangan kecil bagi A Piang. Dan memang demikianlah biasanya racun mulai menguasai manusia di dalam perjudian. Kemenangan merupakan pancingan beracun. Setelah merasakan enaknya kemenangan dan merasakan masuknya uang mudah, orang menjadi malas untuk bekerja, karena bekerja memeras keringat, hasilnya tidak seberapa, sedangkan menang berjudi, sambil bersenang-senang memperoleh uang yang amat mudah. Setelah makin lama makin besar kekalahannya, makin besar pula nafsu menguasai diri A Piang untuk memperoleh kembali segala apa yang telah hilang itu, yang telah kalah. Apa pun juga akan dilakukannya agar dapat memperoleh modal berjudi lagi, karena dia selalu membayangkan dalam setiap awal perjudian bahwa sekali itu dia akan menang besar. Namun berkali-kali hasilnya merupakan kebalikan. Dia kalah terus. Sampai akhirnya dia terlibat hutang dengan bandar judi dan mulai bingung ketika ditagih oleh tukang pukulnya karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi. “Jika sudah tidak punya apa-apa lagi kenapa berani berjudi terus dan berani berhutang?” Demikian tukang pukul itu mengancamnya. “Kalau engkau tidak sanggup mengembalikan hutangmu yang empat puluh lima tail itu, engkau akan dipukuli setengah mati, kemudian dilaporkan dan dijebloskan ke dalam penjara!” Tukang pukul itu tidak segera menyiksanya karena mengingat A Piang merupakan seorang langganan lama dari rumah perjudian itu. “Aku… aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, semua sudah kujual, bahkan rumahku yang kosong sudah kugadaikan pula…,” A Piang meratap. “Engkau bisa pinjam dulu dari seseorang keluargamu.” “Aku tidak mempunyai keluarga…” “Mustahil orang tidak mempunyai keluarga!” “Aku hanya hidup berdua dengan seorang anak perempuanku… ahh, kasihanilah aku dan berilah kesempatan…” “Seorang anak perempuan? Berapa usianya?” Tiba-tiba tukang pukul itu tertarik. “Empat belas… lima belas tahun.” “Bagus, kalau begitu engkau dapat menggadaikan anakmu itu kepada cukong kita!” kata si tukang pukul mata juling itu. Sepasang mata A Piang langsung terbelalak. “Apa?! Menggadaikan anak perempuanku? Jangan bicara sembarangan engkau!” “Siapa yang bicara sembarangan? Engkau bisa menggadaikan anakmu itu untuk selama satu bulan, atau menyewakan dia selama sebulan kepada majikan perjudian, dan engkau bisa mendapatkan sedikit modal untuk berjudi.” “Apa… apa maksudmu?” “Mudah saja. Engkau menyewakan anakmu itu agar… eh, bekerja melayani majikan, dan engkau akan memperoleh uang dari majikan.” “Melayani majikan? Menjadi pelayan? Benarkah, apakah loya mau menerima anakku itu sebagai pelayan untuk selama satu bulan? Berapa dia mau memberikan untuk itu?” “Berapa kau butuh?” “Hutangku empat puluh lima, kalau dia mau menambah lima belas lagi untuk modal judi, biarlah anakku bekerja sebulan di sini… anakku tentu mau menolongku, dia anak baik…” “Kalau begitu, besok pagi-pagi bawalah anakmu itu ke sini untuk menemui loya, aku akan melaporkannya. Dan kalau berhasil, jangan lupa padaku, A Piang.” Demikianlah awal mulanya mengapa A Piang lantas mengajak anak perempuannya pergi menemui majikan rumah perjudian itu. Semalam dia membujuk anaknya dan akhirnya Kui Cin mau juga untuk menolong ayahnya. A Piang bukanlah seorang anak kecil. Dia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik semua itu. Akan tetapi dasar hati ayah ini telah kecanduan judi sehingga di dunia ini tidak ada apa-apa lagi yang penting kecuali berjudi mengejar kekalahannya, maka dia pun tidak begitu peduli. Bahkan sempat timbul pikiran bahwa jika anak perempuannya disuka oleh majikan rumah judi itu, tentulah dia akan enak! Siapa tahu dia malah akan diangkat menjadi kuasa rumah perjudian itu! Memang mengerikan sekali akibat seorang yang gila judi. Dan cerita ini bukan dongeng belaka. Bahkan sudah sering terjadi ada orang rela menjual isterinya, anaknya dan siapa saja. Mau mempergunakan uang siapa saja untuk berjudi. Banyak pula yang berusaha mengelak, berusaha melepaskan kebiasaan berjudi, namun tidak dapat. Timbul pertanyaan besar dalam benak para penjudi yang sudah melihat akan bahayanya perjudian dan ingin melepaskannya namun tidak mampu, yaitu: Bagaimanakah caranya agar terbebas dari penyakit judi ini? Hendaknya diketahui benar bahwa kegemaran berjudi bukan datang dari luar, melainkan dari diri sendiri, dari dalam batin. Timbul karena adanya harapan dan keinginan untuk dapat memenangkan banyak uang, untuk memperoleh uang secara mudah, untuk dapat memperoleh kembali kekalahan-kekalahan yang lalu. Judi hari ini adalah kelanjutan dari judi kemarin dan yang lalu. Sekali batin telah waspada dan sadar, maka batin akan dapat membikin putus tali lingkaran setan itu. Melepaskan ingatan akan kalah dan menang. Kalau terdapat pikiran bahwa akan berjudi sekali lagi, sekali lagi saja lalu berhenti, maka dia tidak akan dapat berhenti! Begitu melihat kepalsuannya lalu berhenti! Sampai di situ, sekarang juga, saat ini juga, dan tidak mengingatnya lagi, atau menatapnya, mengamati diri sendiri penuh kewaspadaan, maka kebiasaan itu pun akan terhentilah. Bukan melarikan diri dari kebiasaan. Melarikan diri percuma saja karena kebiasaan itu dapat dilakukan di mana pun juga. Yang penting, terbebas dari kebiasaan ini, dengan jalan menghadapinya dengan penuh kewaspadaan, mengamatinya sehingga seluruhnya kelihatan, latar belakangnya, sebab-sebabnya. Kui Cin adalah seorang anak perempuan yang baru berusia hampir lima belas tahun. Dia masih terlalu murni dan polos, tidak tahu bahwa manusia merupakan makhluk yang amat kotor dan jahat, yang pandai menyembunyikan segala kekotorannya ditopengi kebersihan. Dia mengira bahwa tuan yang berada di dalam kamar ini telah menolong ayahnya, dan dia pun siap untuk melakukan pekerjaan betapa berat pun untuk membalas budi. “Siapa namamu?” terdengar pria itu bertanya. Semenjak tadi Kui Cin berdiri sambil menunduk, dan kini dia memberanikan diri menjawab lirih, “Nama saya Kui Cin, loya.” “Coba angkat mukamu dan pandang aku.” Kui Cin merasa malu-malu dan takut sekali. Lebih baik dia disuruh bekerja berat dari pada menerima perintah ini. Akan tetapi dia pun segera mengangkat mukanya dan memandang wajah yang bermata tajam itu. Wajah seorang lelaki yang kelihatan galak, dengan kumis melintang dan mulut tersenyum menyeringai, dan sepasang mata liar bagai menelanjangi dirinya. “Ke sinilah kau, Kui Cin.” Gadis itu lalu melangkah maju, kedua kakinya agak gemetar. Entah mengapa, dia seperti mendapat firasat buruk, seakan-akan merasa ada bahaya mengancamnya. Sesudah tiba dalam jarak dua meter dari orang yang duduk di atas pembaringan itu, dia pun berhenti dan menunduk. “Majulah mendekat.” “Di… di sini saja, loya…” “Eh, baru diperintah mendekat saja sudah hendak membantah, ya? Apa lagi kalau disuruh melakukan pekerjaan berat!” Orang itu membentak. Kui Cin terkejut dan seperti didorong dari belakang, dia pun melangkah maju beberapa tindak sampai dia berdiri dekat di depan laki-laki itu. “Engkau manis…!” kata orang itu sambil menyentuh dagunya. “Ahh, loya…!” Kui Cin berkata dengan suara gemetar. “Sayang pakaianmu agak kotor. Kui Cin, kau buka dan tanggalkan semua pakaianmu itu!” Dara itu terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia lalu mundur dan menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak…! Tidak mau…!” Orang itu melepaskan huncwenya dari mulutnya dan menggoyang-goyang huncwe sambil tersenyum. “Hemmm… Ingat, engkau harus mentaati semua perintahku. Ingatkah engkau janjimu tadi?” “Tapi… tapi… saya akan mentaati semua perintah untuk bekerja. Pekerjaan apa pun akan saya lalukan, bukan… bukan ini…” “Taat tetap taat, dan ini pun pekerjaan namanya. Hayo tanggalkan semua pakaianmu, ini perintah pertama!” “Tidak…! Tidak…!” “Hemmm, apakah engkau lebih suka melihat aku memaksamu dengan kekerasan? Ingat, engkau sudah disewakan selama sebulan. Selama satu bulan engkau adalah milikku dan engkau harus mentaati apa pun yang kuperintahkan. Tahu? Hayo ke sini dan tanggalkan seluruh pakaianmu!” “Tidak…! Ohh, ayaaahh…!” Kui Cin lalu melarikan diri menuju ke pintu. Akan tetapi baru saja pintu terbuka, tukang pukul tinggi besar sudah menghadangnya dan Kui Cin didorong kembali ke dalam kamar, pintu lalu ditutup dan tukang pukul itu berdiri di situ dengan sikap mengancam. “Tutup pintunya dan jaga di luar. Anak ini minta bermain kucing-kucingan!” kata si majikan sambil tertawa dan meletakkan huncwenya di atas meja. Kemudian sambil tertawa dia maju mencoba untuk menangkap Kui Cin. Gadis ini menjerit dan mengelak, lalu berlari ke sana-sini dalam kamar itu. Agaknya hal ini menambah kegembiraan dan gairah majikan itu, karena permainan seperti itu telah sering dilakukannya. Dia senang mengejar-ngejar sampai akhirnya, karena kamar itu tidak terlalu luas, gadis itu akan dapat ditangkapnya juga dan dia sendiri yang membuka pakaiannya satu demi satu. Menghadapi perlawanan seperti ini menambah gairahnya. Muka Kui Cin menjadi pucat dan dia berusaha berlari terus dan mengelak dari tubrukan-tubrukan itu, membuat pengejarnya merasa makin gembira. Jeritan-jeritannya, teriakannya memanggil ayahnya tidak terdengar oleh telinga ayahnya yang sedang menghadapi meja judi dan ruangan itu pun sudah cukup bising dengan suara orang. Hanya dua orang penjaga di luar pintu itu saja yang mendengar jeritan-jeritan kecil itu, seolah-olah suara yang sudah sering mereka dengar itu merupakan pendengaran yang mengasyikkan dan menggembirakan pula. Biasanya, gadis yang dikejar-kejar majikan mereka itu tidak akan mampu terlampau lama mengelak terus. Mereka yang berdiri di luar pintu tentu akan segera mendengar gadis itu menjerit, lalu mendengar suara kain dirobek-robek, dan dilanjutkan dengan pendengaran suara gadis itu merintih-rintih dan menangis, berikut suara-suara lain yang menimbulkan gairah mereka. Akan tetapi, kini jeritan-jeritan itu tiba-tiba berhenti dan mereka mengira bahwa gadis itu telah terpegang, seperti seekor tikus yang tadinya dikejar-kejar kini telah diterkam kucing yang mengejarnya. Mereka menanti, tentu akan terdengar kain robek-robek, akan tetapi, tidak terdengar hal itu, bahkan kini terdengar suara majikan mereka mengeluarkan jeritan yang mengerikan. Dua orang tukang pukul itu terkejut sekali, mata mereka terbelalak! Di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang berpakaian seperti seorang siucai, pakaiannya indah dan rapi, rambutnya ditutup sebuah topi pelajar yang indah, ada pun tangan kirinya memegang sebatang kipas yang dipakainya mengipasi tubuhnya, dan bibirnya tersenyum. Ketika mereka mengerling, gadis itu meringkuk di sudut kamar seperti seekor kelinci yang ketakutan, pakaiannya masih utuh akan tetapi tubuhnya menggigil ketakutan, sedangkan majikan mereka itu sudah meringkuk di atas pembaringan dalam keadaan ketakutan pula, agaknya tadi telah dilemparkan ke atas pembaringan karena orang itu meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang menjendol pada bagian dahinya. Saat melihat dua orang tukang pukulnya masuk, majikan po-koan itu memperoleh kembali keberaniannya. Dia tadi terkejut bukan kepalang karena pada saat dengan hati girang dia berhasil menangkap Kui Cin, merangkulnya dan mencengkeramnya seperti seekor kucing menerkam tikus, siap untuk mencabik-cabik pakaiannya, tiba-tiba saja muncul pemuda itu. Muncul seperti iblis karena tidak tahu dari mana masuknya. Melihat pemuda itu seorang siucai lemah, dia lalu berusaha memukul, akan tetapi sekali tampar saja, dia seperti disambar geledek dan tubuhnya terlempar ke atas pembaringan, kepalanya terbentur dinding hingga kepalanya menjadi pening. Dia terkejut, kesakitan dan ketakutan, akan tetapi begitu melihat dua orang penjaganya masuk, dia lantas berseru, “Tangkap penjahat ini! Bunuh dia!” Dua orang penjaga itu sudah mencabut golok masing-masing dan menubruk dari kanan kiri, mengirim bacokan serta tusukan yang dahsyat ke arah pemuda itu. Mereka adalah penjaga-penjaga pilihan yang pada pagi hari itu bertugas jaga di depan kamar majikan mereka, dan pemuda ini dapat memasuki kamar tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah membuat mereka amat penasaran dan marah, maka begitu menerima perintah, mereka hendak merobohkan pemuda itu dengan sekali serang saja. Akan tetapi, entah bagaimana mereka sendiri pun tidak mengerti, tiba-tiba saja mereka merasa kedua kaki mereka lumpuh dan tak dapat dihindarkan lagi keduanya lantas roboh terguling! “Hemm, tukang-tukang pukul memilki tangan yang sangat kejam!” Pemuda itu mencokel dengan kakinya, maka sebatang golok yang tadi terlepas dari tangan tukang pukul segera melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan, kemudian tampak cahaya berkilat beberapa kali disusul teriakan-teriakan mengerikan dari dua tukang pukul itu. Darah pun bercucuran membasahi lantai. Kui Cin dan majikan rumah judi itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat ketika melihat betapa dua orang tukang pukul itu mengaduh-aduh dan bergulingan di atas lantai, bermandikan darah mereka sendiri yang bercucuran dari kedua lengan mereka yang sudah buntung karena tangan mereka sudah terpisah dari lengan! Pemuda itu telah membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukul itu! Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi majikan rumah judi sambil tersenyum, dan anehnya, golok yang membuntungi empat buah tangan tadi sama sekali tak bernoda darah! Hal ini saja sudah membuktikan alangkah hebatnya gerakan golok tadi, demikian cepatnya membuntungi pergelangan tangan! Dan kini terdengar ucapannya yang halus dan seperti orang bersajak. “Memetik buah dari pada kejahatannya sendiri, itu sudah adil namanya! Engkau ini cukong mata keranjang, entah sudah berapa banyak gadis tak berdosa yang telah kau perkosa di tempat terkutuk ini?” Dan dengan langkah perlahan pemuda itu menghampiri majikan itu yang menjadi ketakutan dan berlutut menyembah-nyembah di atas pembaringan. “Taihiap… ampunkan saya… ampunkan saya… engkau boleh mengambil berapa banyak pun uangku, tapi jangan… jangan membunuhku…” Dan salah seorang di antara dua tukang pukul yang tadi merintih-rintih itu tiba-tiba berseru dengan suara penuh ketakutan. “Pendekar… Pendekar Sadis…!” Mendengar ini, majikan itu menjadi semakin ngeri ketakutan. “Celaka, mati aku…” Tubuhnya menggigil, celananya mendadak menjadi basah. Memang orang yang ketakutan setengah mati dapat saja terkencing seketika. Dia sudah sering mendengar tentang nama yang baru saja muncul di dunia kang-ouw ini, sebagai nama seorang pendekar pembasmi kejahatan yang kejam bukan main. Dan tadi dia telah melihat betapa orang ini membuntungi kedua tangan dua orang tukang pukulnya begitu saja, dengan darah dingin! “Ampun… ampunkan aku…” Dia terus meratap. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, hanya tersenyum. “Betapa seringnya engkau sendiri mendengar ratapan minta ampun dari gadis-gadis yang kau perkosa, akan tetapi pernahkah engkau mengampuni mereka? Engkau malah makin bergairah dan makin senang jika mereka itu minta-minta ampun, menangis dan meronta-ronta, bukan? Nah, hukumanmu harus kau terima!” Golok itu pun menyambar, didahului tamparan tangan kiri yang mengenai pundak majikan rumah judi itu. Tubuh majikan itu terjengkang, golok itu menyambar kemudian majikan itu menjerit, tubuhnya berkelojotan di atas pembaringan, dan dari celananya di antara kedua pahanya bercucuran darah karena alat kelaminnya telah disambar golok hingga buntung! Bagi orang ini tentu saja kecil sekali harapan untuk terus hidup. “Kau keluarlah dari sini dan pulanglah,” Thian Sin berkata kepada gadis itu yang masih menggigil ketakutan. Karena dua orang tukang pukul dan majikannya itu kini menjerit-jerit, dengan tenang Thian Sin melemparkan golok ke atas tanah dan keluar dari dalam kamar, tidak mempedulikan lagi gadis cilik itu. Dengan sikap tenang-tenang saja dia melangkah menuju ke ruangan judi! Sebelum tiba di ruangan judi itu, dia sudah disambut oleh lima orang tukang pukul yang mendengar jeritan-jeritan tadi. Melihat seorang pemuda asing keluar dari dalam kamar, lima orang itu menjadi curiga dan membentak, “Siapa engkau?! Apa yang terjadi?!” Salah seorang di antara mereka cepat-cepat berlari ke dalam kamar di mana dia melihat majikannya berkelojotan dan dua orang rekannya merintih-rintih. Dan gadis cilik itu sudah menyelinap pergi. Maka dia pun lantas berteriak-teriak dan lari kembali sambil mencabut senjata. “Loya telah dibunuh orang dan dua orang teman kita dilukai!” teriaknya. “Setiap perbuatan jahat akan berakibat dan akibatnya akan menimpa diri sendiri! Mereka sudah menerima hukuman dari perbuatan mereka sendiri!” kata Thian Sin dengan suara lembut dan bibir masih tersenyum. “Apakah kalian berlima ini juga tukang-tukang pukul?” “Bunuh penjahat ini!” teriak salah seorang di antara mereka dan lima orang tukang pukul itu sudah mencabut golok masing-masing dan serentak mereka menyerang Thian Sin....


PENDEKAR SADIS JILID 21 :
PEMUDA ini tentu saja memandang rendah kepada segala tukang pukul kasar seperti itu. Dengan tenang-tenang saja dia kemudian mengelak ke kanan kiri sehingga golok-golok itu menyambar-nyambar merupakan sinar-sinar menyilaukan, akan tetapi pada lain saat terdengarlah teriakan susul-menyusul dan lima orang tukang pukul itu pun sudah roboh semua. Sebelum mereka sempat bangun berdiri, Thian Sin sudah menyambar sebatang golok dan seperti tadi, dia menggerakkan goloknya membuntungi semua tangan mereka. Keadaan sungguh menyeramkan. Tangan-tangan yang buntung berserakan di tempat itu dan lantai banjir darah yang bercucuran dari lengan-lengan buntung itu. Lima orang tadi merintih-rintih dan kembali ada yang sadar bahwa mereka berhadapan dengan pendekar yang namanya baru-baru ini mereka dengar. “Pendekar Sadis…!” “Pendekar Sadis…!” Akan tetapi Thian Sin tidak mempedulikan itu semua, membuang goloknya dan memasuki ruang judi. Keadaan di situ segera menjadi gempar. Semua perjudian berhenti dan para tamu mau pun penjudi ketakutan, ada yang bersembunyi di kolong meja, ada yang mepet tembok dengan tubuh gemetaran. Sebentar saja Thian Sin sudah dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pegawai rumah perjudian itu. Thian Sin mengamuk, merampas pedang dan dengan pedang ini dia merobohkan mereka satu per satu. Ia sengaja menghukum mereka dengan membuntungi tangan, atau hidung, atau telinga. Pendeknya tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak mengalami hukuman yang mengerikan. Dalam waktu singkat saja pertempuran sudah berhenti dan yang ada hanya orang-orang yang merintih-rintih sambil memegangi bagian tubuh mereka yang terluka atau buntung. Dengan pedang di tangan, Thian Sin memandang ke sekeliling, kemudian terdengar dia membentak halus. “Mana yang bernama Kakek A Piang? Majulah ke sini!” A Piang yang sejak tadi mepet pada tembok dengan tubuh gemetar, kini melangkah maju dengan kedua kaki menggigil. Sejenak Thian Sin memandang kakek ini, alisnya berkerut. “Seorang ayah yang menjual anak sendiri untuk berjudi, sudah selayaknya kalau dibikin mampus. Akan tetapi, aku mengingat anakmu maka engkau hanya menerima hukuman agar menjadi peringatan bagimu selama hidup!” Pedangnya lantas bergerak seperti kilat dan kakek itu menjerit lalu mendekap kepalanya sebelah kiri yang sudah tidak bertelinga lagi itu. Daun telinga kirinya terlepas dan darah mengucur deras. Thian Sin lalu melangkah ke meja judi, mengambil sekepal uang perak, memasukkannya ke dalam kantung uang yang terdapat di situ, menyerahkannya kepada A Piang dan berkata lagi, “Bawa uang ini untuk modal bekerja dan ajaklah anakmu pindah keluar kota! Awas, kalau engkau masih berani berjudi, lain kali lehermu yang kubikin buntung!” A Piang tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena seluruh tubuhnya menggigil. Dengan tangan kanan menerima kantong uang dan tangan kiri mendekap telinga kirinya, ia hanya mengangguk-angguk lalu berjalan keluar. “Semua orang boleh pergi!” kata pula Thian Sin, dan para penjudi dengan penuh rasa takut lalu berlarian keluar. Thian Sin mengambil beberapa potong uang emas dan perak, lalu menyimpannya dalam bungkusannya sendiri sebab dia teringat bahwa bekalnya tinggal tersisa sedikit, kemudian dengan pedang rampasan itu dia menghancurkan semua alat judi yang berada di situ. Dia tidak mempedulikan betapa tukang-tukang pukul tadi dengan tertatih-tatih berlarian keluar untuk memanggil pasukan penjaga keamanan. Ketika pasukan tiba di situ, Pendekar Sadis sudah tidak kelihatan lagi, sudah kembali ke dalam kamarnya di rumah penginapan dan mengaso. Thian Sin merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Sebetulnya dia tak mau mempedulikan rumah-rumah perjudian, atau rumah rumah pelacuran karena orang-orang yang datang berkunjung ke situ adalah orang-orang yang mencari penyakit dan tidak perlu ditolong atau dipedulikan. Akan tetapi, karena Kui Cin tadilah maka secara kebetulan saja dia mengamuk d rumah judi itu. Perbuatan Ceng Thian Sin yang dijuluki orang Pendekar Sadis itu sungguh-sungguh telah menggemparkan seluruh kota itu. Kota Si-ning mempunyai wilayah yang luas dan menjadi pusat dari golongan liok-lim dan kang-ouw. Menjadi pusat pula dari para penjahat yang melakukan operasi di daerah Si-ning. Seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya, juga di Si-ning, semua rumah-rumah pelacuran, rumah-rumah perjudian serta tempat-tempat maksiat lainnya, semua dikuasai oleh para penjahat. Biar pun rumah-rumah judi itu sudah mempunyai majikan masing-masing akan tetapi para hartawan ini membayar semacam ‘pajak’ kepada para kepala penjahat yang berkuasa dengan mendapatkan semacam ‘perlindungan’. Dan tentu saja para kepala penjahat dan para cukong ini mempunyai hubungan rapat dengan para pejabat, karena hal seperti ini menjadi pertanda akan keadaan negara yang sedang lemah. Apa bila para penjahat dan para pejabat sudah bersekutu, dapat dibayangkan bagaimana keadaan kehidupan rakyat jelata. Tak ada lagi tempat berlindung bagi rakyat. Si pelindung berubah menjadi si penindas. Pagar makan tanaman. Satu-satunya jalan hanyalah tunduk kepada yang lebih kuat. Hukum rimba pun berlakulah. Yang punya uang mempergunakan uang untuk menyogok yang berkuasa, yang tidak punya uang mempergunakan ketaatan untuk mencari selamat. Keluh kesah ditekan dalam-dalam di dalam perut. Perbuatan Thian Sin merupakan peristiwa besar. Baru sekarang ada kekuatan baru yang berani menentang mereka yang sedang berkuasa. Para penjahat langsung mengadakan pertemuan. Mereka tahu bahwa pemuda itu adalah pendekar baru yang mulai terkenal, yaitu Pendekar Sadis. Dan mereka tahu pula bahwa pemuda itu memasuki kota Si-ning sebagai pelancong dan kini masih beristirahat di dalam sebuah rumah penginapan kecil di sudut kota. Ketika itu kota Si-ning dikuasai oleh lima orang kepala penjahat dan di antara mereka, yang dianggap sebagai saudara tua adalah jagoan yang terkenal lihai bernama Ji Beng Tat berjuluk Hui-to (Si Golok Terbang). Mendengar tentang peristiwa yang terjadi Hok-khi Po-koan yang termasuk sumber penghasilannya, Hui-to Ji Beng Tat marah sekali dan dia sudah mengumpulkan empat orang kawan-kawannya untuk berunding. “Kita serbu saja ke rumah penginapan itu. Kalau kita berlima maju bersama, tak mungkin dia dapat lolos!” kata seorang di antara mereka yang bertubuh kecil dan agak bongkok, akan tetapi Si Kecil Bongkok ini sangat lihai ilmu silatnya, terutama senjata rahasianya yang berupa jarum-jarum beracun. “Nanti dulu, kita harus berhati-hati,” kata Hui-to Ji Beng Tat. “Menurut berita yang kuterima dari daerah barat, Pendekar Sadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Bahkan kabarnya gerombolan Panji Tengkorak dari Yu-shu telah dibasmi habis olehnya. Kita harus mempergunakan siasat halus, kalau gagal barulah kita mempergunakan kekerasan.” “Aku pernah mendengar bahwa Pendekar Sadis tidak menolak bujuk rayu wanita cantik. Bagaimana kalau kita mempergunakan Si Bunga Bwee Merah? Ang Bwe-nio tentu akan dapat menundukkan hatinya. Kalau berhasil membujuk rayunya, dan memberinya minum obat bius, tentu kita akan dapat menangkapnya dengan mudah,” kata orang ke tiga yang berwajah tampan dan matanya membayangkan sifat mata keranjang. “Tapi Pendekar Sadis lihai sekali, aku khawatir siasat ini akan gagal,” kata orang pertama Si Kecil Bongkok. “Ha-ha-ha, jangan khawatir. Ang Bwe-nio tidak mungkin gagal merayu pria. Ingat saja dua orang pendekar Siauw-lim-pai itu, mereka pun dengan mudah jatuh ke dalam rayuan Ang Bwe-nio. Jika sudah berada dalam pelukannya, pria mana yang menolak untuk menerima minuman yang dihidangkannya?” kata pula Si Tampan. “Sebaiknya kita pun harus bersiap-siap di dekatnya dan membiarkan Ang Bwe-nio untuk mencoba kelihaiannya, sehingga kalau gagal, kita dapat langsung turun tangan,” kata Ji Beng Tat dan semua rekannya menyetujui ini. Pemilik rumah penginapan segera dihubungi. Secara diam-diam para tamu lain di rumah penginapan itu sudah dipersilakan keluar sehingga tanpa diketahui oleh Thian Sin, dialah satu-satunya tamu yang berada di rumah penginapan itu. Thian Sin dapat menduga bahwa perbuatannya di po-koan itu tentu akan berakibat. Dan dia pun telah siap menghadapi segala kemungkinan, bila perlu dia akan membasmi para penjahat yang berani untuk menuntut balas. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, besok pagi-pagi dia akan melanjutkan perjalanannya ke utara, mencari neneknya. Sore itu, sesudah mandi dan dilayani oleh seorang pelayan yang bersikap amat hormat, pelayan itu berkata, “Taihiap, kami semua sudah mendengar akan sepak terjang taihiap di po-koan itu. Kami semua merasa kagum sekali, bahkan majikan kami bermaksud untuk menjamu taihiap malam ini.” “Ahhh, tidak perlulah. Aku tidak mau merepotkan orang,” jawab Thian Sin yang memang tidak suka menerima sanjungan. Dia tahu benar bahwa sanjungan jauh lebih berbahaya dari pada celaan. Dengan celaan dia akan dapat melihat kekurangan dirinya sendiri dan bisa bersikap waspada, sebaliknya, sanjungan akan membuat orang mabuk lantas lupa akan kewaspadaan, membuat orang menjadi lengah. Akan tetapi baru saja dia selesai berganti pakaian dan hendak keluar mencari makanan malam, tiba-tiba majikan rumah penginapan itu mengunjunginya, memberi hormat dengan membongkok-bongkok amat menghormat, “Taihiap, kami merasa terhormat sekali bahwa rumah penginapan kami yang kecil ini telah menerima kunjungan taihiap. Seorang pendekar besar seperti taihiap telah sudi bermalam di dalam kamar rumah penginapan kami, hal itu akan menjadi reklame yang sangat baik. Oleh karena itu, perkenankanlah kami menjamu taihiap dengan sedikit arak kehormatan dan kami ingin memperkenalkan keponakan wanita kami kepada taihiap untuk melayani taihiap makan minum.” “Ahh, membikin repot saja…,” kata Thian Sin. Akan tetapi hatinya telah tergerak ketika tuan rumah penginapan itu sambil membungkuk-bungkuk dan tiba-tiba saja dia bertepuk tangan. Sebarisan pelayan terdiri dari lima orang membawa baki berisi masakan-masakan yang masih mengepul panas dan guci-guci arak datang dan memasuki kamar Thian Sin. Dengan sangat cekatan mereka membersihkan meja di dalam kamar itu lantas mengatur hidangan. Kemudian mereka membungkuk dan meninggalkan kamar itu. Dari luar nampaklah seorang wanita muda dan diam-diam Thian Sin terkejut. Tidak disangkanya bahwa keponakan majikan rumah penginapan ini demikian cantiknya. Pakaiannya sederhana saja, bedaknya juga tipis-tipis, akan tetapi wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu benar-benar cantik dan manis sekali. Sepasang matanya lebar dan bening, penuh daya pikat, bibirnya yang merah basah tanpa pemerah itu seperti menantang, senyumnya dikulum sehingga membuat sudut pipinya membentuk lekuk yang mungil. Dengan langkah lemah gemulai dia menghampiri dan tersipu-sipu malu ketika pamannya, majikan rumah penginapan itu memperkenalkan. “Taihiap, inilah keponakan saya, bernama Ang Bwe-nio dan kami semua, juga termasuk keponakan saya ini, merasa kagum kepada taihiap yang telah melakukan pekerjaan besar yang menggemparkan itu. Silakan, taihiap, biar keponakan saya yang menemani taihiap.” Setelah berkata demikian, pemilik rumah penginapan itu lalu menjura dan pergi. Sejenak mereka hanya berdiri saling berpandangan. Thian Sin tersenyum dan wanita itu pun tersenyum dan berkata, “Taihiap, silakan makan.” Thian Sin tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di atas bangku menghadapi meja yang penuh hidangan itu. Ang Bwe-nio, wanita cantik itu, dengan gerakan lemah gemulai dan manis sekali lalu menuangkan arak ke dalam cawan Thian Sin. “Silakan minum arak dan makan hidangannya, taihiap…” “Bagaimana aku enak makan kalau engkau berdiri saja di situ, nona? Pula, sungguh tidak senang makan sendirian saja. Mari, kau temani aku makan. Duduklah, nona.” “Ahhh, mana pantas? Aku mewakili pamanku sebagai tuan rumah…,” kata Ang Bwe-nio dengan sikap manis dan kemalu-maluan, wajahnya yang cantik manis itu berubah merah, matanya mengerling tajam dan mulutnya mengulum senyum malu-malu. Thian Sin semakin tertarik. Memang pemuda ini berwatak romantis walau pun tidak dapat dibilang mata keranjang. Tidak sembarangan wanita dapat menarik hatinya, meski pun dia selalu awas dan suka memandang wajah yang cantik manis. “Marilah, tidak apa-apa, nona. Bukankah di sini hanya ada kita berdua saja? Mari, kalau kau tidak mau temani aku makan minum, aku pun tidak dapat menerima suguhan ini.” “Aih, mengapa taihiap begitu…?” Dengan gerakan manja wanita itu mendekat dan hendak mengambil cawan untuk diberikan kepada Thian Sin, akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan dengan lembut menariknya sehingga wanita itu terduduk di sampingnya, di atas sebuah bangku. Thian Sin lalu menuangkan secawan arak sampai penuh. “Nah, mari kita sama-sama minum untuk perkenalan ini.” Sambil tertawa malu-malu Ang Bwe-nio lalu mengangkat juga cawan araknya dan mereka pun minum arak bersama. Ang Bwe-nio lalu mengambilkan makanan dengan sumpitnya, dengan gerakan tangan cekatan dan manis sekali, menaruh potongan-potongan daging ke dalam mangkok di depan Thian Sin. Pemuda ini pun tak mau kalah, mengambil daging-daging kecil lalu dimasukkan ke dalam mangkok di hadapan wanita itu. Mereka pun lalu makan minum, tanpa kata-kata, hanya kadang kala saling pandang dan Ang Bwe-nio tak pernah berhenti tersenyum malu-malu. Sedikit minyak yang terdapat pada daging mengenai bibirnya, membuat bibir itu nampak semakin segar kemerahan. “Siapakah nama nona tadi? Kalau tidak salah dengan she Ang…” “Namaku Ang Bwe-nio, taihiap. Dan siapakah nama taihiap? Aku hanya mendengar orang menyebut dengan julukan yang mengerikan, Pendekar Sadis…” Thian Sin tersenyum. “Memang benarlah. Aku Pendekar Sadis, hanya sadis terhadap diri penjahat saja. Dan namaku sendiri… ahh, aku sudah melupakan nama itu. Engkau sebut saja aku Pendekar Sadis.” “Ehh, mana bisa begitu?” Wanita itu tertawa manja. “Nona, aku merasa heran. Mengapa pamanmu menyuruh seorang gadis sepertimu untuk menemani aku?” “Aku… aku bukan gadis, aku… seorang janda…” “Ahhh…!” Hati Thian Sin berdebar girang. Tadinya dia merasa curiga terhadap sikap pemilik rumah penginapan itu. Tak sepatutnya kalau seorang gadis disuruh melayani seorang pria, seolah-olah gadis itu bukan seorang terhormat saja. Akan tetapi kalau janda, dia mengerti juga! “Kiranya nyonya seorang janda… hemm, masih begini muda…” “Usiaku sudah dua puluh lima tahun, taihiap. Sudah tua…” “Siapa bilang usia sekian sudah tua? Engkau memang sungguh cantik manis!” “Sudahlah, lelaki memang pandai merayu. Lebih baik taihiap makan, nih potongan daging pilihanku,” wanita itu dengan sikap menarik sekali sudah menyumpit sepotong daging dan mengulurkan tangannya, membawa potongan daging di ujung sumpit itu ke dekat mulut Thian Sin! Tentu saja pemuda ini menjadi tertarik sekali, maka sambil tertawa dia menerima suapan itu, menggigit daging dari ujung sumpit Ang Bwe-nio. Dia pun membalas dan tidak lama kemudian keduanya sudah saling menyuapkan daging ke mulut masing-masing. Sikap mereka menjadi semakin berani. Pada waktu Ang Bwe-nio menahan tangan Thian Sin yang hendak melolohnya dengan daging lagi, mereka pun saling berpegangan tangan dengan jari-jari tangan mereka saling mencengkeram. “Bwe-nio, engkau cantik sekali!” Thian Sin memuji sambil mengelus-elus kulit lengan itu melalui bajunya yang tipis. “Dan engkau sungguh gagah dan tampan, taihiap…” Bwe-nio balas memuji, pujian yang jujur karena memang sebenarnya dia amat kagum kepada pemuda yang menyenangkan ini. Sayang bahwa dia sedang ‘dalam tugas’ sehingga dia tidak bisa mencurahkan seluruh kekagumannya itu kepada pemuda perkasa ini. Ia tidak berani mengkhianati mereka yang menyuruhnya menundukkan pemuda berbahaya ini. Thian Sin telah setengah mabuk, bukan mabuk oleh arak karena dengan kekuatan tenaga dalamnya yang luar biasa, dia dapat menahan pengaruh arak yang bagaimana keras pun. Akan tetapi dia mabuk akan kecantikan dan rayuan wanita itu. Betapa pun lihainya, pemuda ini dapat dibilang masih terlalu hijau dalam pengalamannya dengan wanita, dan memang dia mempunyai kelemahan terhadap wanita. Maka melihat sikap yang demikian memikat dan penuh daya tarik dari Ang Bwe-nio, pemuda ini segera jatuh dan merasa tertarik sekali. Apa lagi melihat wanita itu demikian beraninya, dengan jelas memberi tanda-tanda bahwa wanita itu takkan menolak untuk bermain cinta dengan dirinya. Pada saat itu, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi mutiara yang putih dan rapi, Ang Bwe-nio kembali menyumpit sepotong daging dan hendak menyuapkannya ke mulut Thian Sin. Akan tetapi, Thian Sin sekali ini menarik mukanya ke belakang. “Ehh, kenapa taihiap?” “Bwe-nio, sekali ini aku hanya mau menerima suapanmu apa bila engkau melakukannya dengan mulut, bukan dengan sumpit,” kata Thian Sin berani sambil menatap tajam wajah yang cantik itu. Sebetulnya Ang Bwe-nio bukanlah seorang wanita yang asing akan berbagai kemesraan dalam permainan cinta, akan tetapi dia demikian pandainya sehingga ketika mendengar permintaan Thian Sin ini, dia dapat bersikap bagaikan seorang wanita baik-baik yang tak pernah mendengar permintaan seperti itu. Wajahnya menjadi kemerahan tersipu-sipu malu. Dia mengerling dan cemberut, berkata sambil bersikap malu-malu dan takut-takut, “Iiiihhh… taihiap… mana bisa begitu…?” “Kenapa tidak bisa? Engkau mempunyai mulut, bukan? Mulut yang manis sekali malah…” “Aihhh… aku… aku… ahhh, malu dan takut… aku tidak mengerti…” “Bwe-nio, engkau bukan anak kecil lagi, engkau seorang janda, tentu tahu apa yang aku maksudkan. Kalau engkau tidak mau menyuapkan dengan mulut, aku pun tidak akan mau menerima pemberianmu.” “Aihhh… taihiap…” Ang Bwe-nio mengeluh, namun kemudian dia pun menggigit potongan daging itu dengan giginya yang putih, lalu mengajukan mukanya. “Mmmmm…,” mulutnya mengeluarkan suara tertahan dan sepasang matanya tertutup. Melihat ini, Thian Sin terangsang hebat dan dirangkulnya wanita itu, diambilnya daging itu dari mulut Bwe-nio dengan mulutnya. Tentu saja kedua mulut itu bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan hangat serta penuh nafsu. Dan di lain saat mereka sudah saling peluk, saling rangkul dan saling cium. Ang Bwe-nio mengeluarkan suara rintihan-rintihan kecil dari dalam lehernya sambil kedua matanya dipejamkan, akan tetapi dia membalas belaian serta ciuman pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi semua itu sesungguhnya hanyalah permainan belaka darinya, sebab dengan cerdik sekali, pada waktu Thian Sin menciumi seluruh bagian tubuhnya, secara diam-diam wanita cantik ini mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik kutangnya, dan selagi Thian Sin membenamkan mukanya pada dadanya, wanita ini menaburkan bubuk putih ke dalam cawan arak pemuda itu! “Hayo kita pindah ke pembaringan…” Thian Sin berbisik di dekat telinga kanan wanita itu, suaranya tersendat-sendat penuh nafsu. “Baik, taihiap, aku… aku mau… ahhh… aku akan memberikan segala-galanya kepadamu, aku cinta padamu… ohhh… tapi nanti dulu… aku haus, mari kita minum dulu…” Thian Sin tersenyum kemudian melepaskan rangkulannya. Dia melihat wanita itu mengisi cawannya yang isinya tinggal setengah itu sampai penuh. “Minumlah, taihiap, setelah itu baru kita…” dan pandang matanya penuh daya pikat. “Katamu tadi engkau haus, jadi engkau minumlah.” Thian Sin hendak meminumkan arak di cawannya itu kepada Bwe-nio, akan tetapi wanita itu nampak ketakutan dan menolak. “Tidak, aku sudah terlalu banyak minum arak, sudah pusing kepalaku, aku mau minum air teh saja…” Wanita itu lalu menuangkan air teh ke dalam mangkok. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu Thian Sin memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh dan penuh wibawa, bibir pemuda itu berkemak-kemik, ada pun kedua tangan pemuda itu diarahkan kepadanya. Setelah menuangkan air teh, wanita itu lalu mengangkat mangkok tehnya dan tersenyum menghadapi pemuda itu. “Taihiap…. kokoku yang tampan… marilah, marilah kita minum dulu, setelah itu baru… ehmmm…” Ia tersenyum lebar dan sepasang mata yang indah jeli ini berkedip penuh arti. Senyumnya semakin melebar ketika dia melihat pemuda itu minum arak dari cawan itu, ditenggaknya sampai habis, dia sendiri pun hanya mencucup sedikit air teh itu. Bwe-nio menahan ketawanya ketika melihat Thian Sin melepaskan cawan araknya, bangkit berdiri, terhuyung memegangi dahi lalu menghampiri pembaringan sambil berkata lirih, “Ke sinilah… sayang, ke sinilah…” Dan pemuda itu lantas terguling ke atas pembaringan, terlentang dalam keadaan tidur pulas atau pingsan! Bwe-nio menghampiri pembaringan, memandang pada wajah pemuda yang memejamkan mata itu, lalu dia menunduk dan mencium bibir pemuda itu. “Sayang… kau ganteng… tapi terpaksa aku harus membunuhmu, kalau tidak, aku sendiri yang terbunuh…” Wanita itu lalu mengeluarkan sebatang pisau belati yang runcing tajam dari pinggangnya, kemudian mengayunkan pisau itu ke arah ulu hati pemuda yang kini sedang tidur terlentang itu. “Wuuuuuttt… cesss…!” Sepasang mata yang sangat indah itu terbelalak pada saat melihat betapa pisau belatinya ‘menembus’ tubuh pemuda itu dan mengenai kasur! Dan tubuh itu ternyata hanya seperti bayangan saja, tidak berdaging dan kini perlahan-lahan bayangan itu pun lenyap. “Sungguh tak kusangka, wajah secantik itu, tubuh seindah itu, tetapi dihuni oleh hati yang palsu.” Mendengar suara ini, Ang Bwe-nio terkejut setengah mati dan hampir ia menjerit ketika ia menengok. Ia melihat Thian Sin masih duduk di atas bangku dekat meja dan kini dengan tenangnya minum arak dari cawannya! Mimpikah ia? Jelas bahwa tadi pemuda itu mabuk dan rebah di atas pembaringan dalam keadaan terbius. Lalu siapakah yang tadi rebah kemudian ‘menghilang’? Dan bagaimana pemuda itu masih duduk di situ dan sama sekali tidak terpengaruh obat biusnya yang amat manjur itu? Obat biusnya itu telah teruji, jangan kata hanya seorang saja, biar pun diminum oleh tiga empat orang pun tentu mereka akan terbius semua. Dan tadi dia sudah memasukkan semua isi bungkusan ke dalam cawan dan isi cawan itu sudah ditenggak habis oleh Thlan Sin! Tentu saja Ang Bwe-nio tidak tahu bahwa Ceng Thian Sin pernah mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya dan bahwa pemuda itu tadi tentu saja telah dapat mengetahui bahwa gadis cantik itu membawa sebatang pisau pada pinggangnya. Ketika Thian Sin memeluknya serta menciuminya, pemuda yang berilmu tinggi ini sudah dapat merasakan adanya ganjalan pada perutnya, ganjalan yang terdapat pada pinggang Bwe-nio dan dia sudah dapat meraba-raba, yaitu ketika dia membelai serta meraba-raba tubuh wanha itu. Maka tahulah dia bahwa wanita itu membawa pisau itu. Walau pun kelihatannya dia dimabuk nafsu birahi, namun dia selalu waspada dan dapat melihat ketika Bwe-nio menaruh obat bubuk ke dalam cawan araknya. Maka, pada saat Bwe-nio menuangkan air teh ke dalam mangkok, kesempatan itu dipergunakannya untuk mengerahkan kekuatan sihirnya. Bwe-nio terkena sihir lantas wanita ini melihat Thian Sin mabuk dan terhuyung ke pembaringan, padahal sebenarnya pemuda itu masih duduk di dekat meja. “Bagus sekali! Jadi engkau merayuku dan pura-pura mencinta dengan hati mengandung kepalsuan, ya? Engkau hendak membunuhku?” Thian Sin bangkit berdiri, pandang mata dan suaranya dingin, yang oleh Ang Bwe-nio terasa laksana menusuk jantung. Wanita itu menjadi ketakutan, dia melepaskan pisaunya dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. “Taihiap… ampunkan aku…” Thian Sin menyambar pisau yang sangat tajam itu dan tersenyum. “Mengampunkanmu? Hemmm… engkau ini wanita cantik yang berhati palsu dan jahat. Hampir saja aku mati olehmu dan engkau masih mengharapkan ampunan dariku? Tidak, wanita macam engkau sudah sepatutnya mampus!” Dua kali pisau menyambar dan nampak sinar berkelebat di dekat leher Bwe-nio. Wanita itu menahan jeritnya ketika mendengar suara berkerincingan dan ternyata dua anting-antingnya telah putus oleh sambaran sinar itu. Wajahnya menjadi semakin pucat. Tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya dan melawan pun tidak akan ada artinya sama sekali. “Ampun, taihiap…,” suaranya bercampur isak dan tubuhnya menggigil seperti orang yang sedang diserang demam. “Mudah saja mengampunimu, akan tetapi katakan, siapakah yang menyuruhmu? Apakah pemilik rumah penginapan ini? Bukankah dia itu pamanmu?” “Bukan… bukan dia, dia hanya terpaksa saja, seperti aku… dia pun bukan pamanku. Aku diperintah oleh lima orang yang menguasai dunia hitam di daerah ini, yang dikepalai oleh Hui-to Ji Beng Tat…” “Dapatkah engkau memanggil mereka berlima itu ke sini? Aku ingin sekali tahu mengapa mereka mempergunakan engkau untuk merayu dan merobohkan aku, bahkan juga untuk membunuhku.” “Dapat… dapat taihiap…!” Bwe-nio berkata dan timbul harapan di dalam hatinya. Memang tadinya pun dia sudah ingin menjerit untuk memanggil mereka. Dia tahu bahwa mereka berlima itu telah siap dan berkumpul di rumah penginapan itu, untuk berjaga-jaga jika dia gagal. Dan sekarang benar saja, dia telah gagal. Akan tetapi, dia tadi tidak berani menjerit karena kalau ia melakukan hal itu, sebelum mereka berlima datang, tentu ia akan dibunuh lebih dulu oleh Pendekar Sadis ini. Teringat akan semua perbuatan yang telah dilakukan oleh pendekar ini saja sudah terasa ngeri bukan main. Kini, mendengar betapa pendekar itu ingin bertemu dengan lima orang kepala itu, hatinya girang dan timbul harapannya. Mungkin saja dia dapat menyelamatkan diri kalau lima orang itu sudah muncul menghadapi pendekar ini. “Panggillah mereka baik-baik, seolah-olah engkau telah berhasil dengan usahamu. Awas, kalau engkau bertindak curang, aku akan membunuhmu sekarang juga,” kata Thian Sin dan pemuda ini telah merebahkan diri di atas pembaringan, pura-pura terbius. Kalau saja dia tidak merasa yakin benar akan kelihaian pemuda itu, ingin rasanya Ang Bwe-nio lari dari pintu yang hanya tertutup saja daun pintunya tanpa terkunci itu. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukannya hal ini, tentu sebelum tiba di pintu dia akan roboh dan tewas secara mengerikan. Dia hanya mengangguk dan menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar keras, kemudian dia pun bertepuk tangan tiga kali berturut-turut. Thian Sin mendengar langkah-langkah kaki dari luar menghampiri pintu itu, dan tak lama kemudian daun pintu kamar pun terbuka. Lima orang memasuki kamar itu, dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka brewok. Melihat betapa di pinggang orang brewok ini terdapat sebuah kantong berisi pisau-pisau kecil, Thian Sin yang melihat dari balik bulu matanya itu bisa menduga bahwa tentu orang inilah yang dijuluki Hui-to (Golok Terbang). “Bagus, Bwe-nio, agaknya engkau sudah berhasil. Kenapa tidak kau bereskan sekalian?” kata Si Golok Terbang ketika melihat pemuda itu rebah tak bergerak di atas pembaringan. Akan tetapi Ang Bwe-nio dengan muka pucat menggeleng-geleng kepala. “Tidak… tidak berhasil… dia… dia…” Pada saat itu, Thian Sin meloncat dari atas pembaringan dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah berada di pintu. Tentu saja lima orang itu terkejut bukan main dan cepat mencabut senjata masing-masing. Tapi pendekar itu hanya tertawa saja dan menutupkan daun pintu, lalu menguncinya dengan tenang sekali. “Bagus, kalian berlima audah datang di sini. Nah, kita bisa bicara dengan baik.” Thian Sin menghampiri dengan sikap tenang, tidak peduli lima orang itu telah bersiap-siap menyerangnya, lalu dia duduk di atas bangku di dekat meja, mengisi cawan dengan arak dari guci dan meminumnya. “Nah, kita sekarang bisa bicara. Tadi Ang Bwe-nio ini telah berusaha untuk merayuku dan membunuhku, akan tetapi dia telah gagal. Dan menurut pengakuannya, kalian berlimalah yang memerintahnya melakukan percobaan itu. Nah, apa yang kalian bilang sekarang?” “Pendekar Sadis, boleh jadi dia sudah gagal, akan tetapi kami berlima tidak akan gagal,” kata Hui-to Ji Beng Tat dengan geram. “Ahh, begitukah? Dengan golok terbangmu itu? Engkau tentu Hui-to Ji Beng Tat. Kenapa kalian hendak membunuhku?” “Karena engkau telah mengacau wilayah kami!” “Hemm, tahukah kalian siapa aku?” “Pendekar Sadis!” “Ya, pembasmi para penjahat dan sekarang kalian telah datang untuk menyerahkan jiwa. Bagus sekali, aku tidak perlu susah-susah mencari kalian lagi.” “Keparat sombong!” teriak kepala penjahat yang bertubuh kecil bongkok dan tiba-tiba saja dia telah menggerakkan tangan kanannya, menyerang dengan jarum-jarum beracun yang disambitkan dari jarak dekat. Thian Sin tahu bahwa sinar hitam itu adalah jarum-jarum kecil yang kemungkinan besar beracun, akan tetapi dia memang telah bersikap waspada sejak tadi. Dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dia melindungi tubuhnya dan tangannya menyambar ke depan muka untuk melindungi mukanya dari sambaran jarum-jarum itu. Semua jarum langsung runtuh ke atas lantai, terkena tangan dan juga yang mengenai tubuhnya. Melihat ini, Si Kecil Bongkok terkejut setengah mati, tetapi kini pendekar itu telah bangkit dan melangkah menghampirinya. Si Kecil Bongkok yang tadi telah mencabut pedangnya, menyambutnya dengan satu tusukan kilat. Akan tetapi Thian Sin tidak mengelak, bahkan tangan kirinya menyambar ke depan menangkap pedang itu. Pedang itu ditangkap begitu saja! Melihat ini, tentu saja Si Kecil Bongkok menjadi girang dan berusaha menarik pedangnya untuk melukai tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi, pedangnya bagaikan terjepit baja, sama sekali tak dapat digerakkan. Kemudian, sekali Thian Sin mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, terdengar suara berderak dan pedang itu sudah patah-patah! Melihat ini, Si Kecil Bongkok terbelalak ketakutan. Pada saat itu, Hui-to Ji Beng Tat dan ketiga orang kawannya yang lain tidak tinggal diam saja, mereka sudah menerjang maju dan menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Tempat itu sempit, akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak menjadi gugup. Sepasang tangannya bergerak memutar dan senjata empat orang itu pun beterbangan terlepas dari pegangan masing-masing. Mereka itu adalah kepala-kepala penjahat yang tingkat kepandaiannya masih jauh sekali dibandingkan dengan Thian Sin, maka tentu saja ketika ditangkis dengan kedua lengan yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, mereka itu tidak mampu mempertahankan senjata masing-masing. Thian Sin lalu mencabut pisau tajam yang dirampasnya dari Ang Bwe-nio tadi, pisau yang dimaksudkan untuk membunuhnya. Sebelum lima orang itu dapat menyerangnya kembali, tubuhnya bergerak ke depan, pisau itu berubah menjadi sinar berkilat menyambar leher Si Kecil Bongkok. Si Kecil Bongkok berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah terjengkang roboh dan kepalanya tertinggal di tangan kiri Thian Sin! Kiranya pemuda ini tadi sudah membabat leher lawan dan menjambak rambutnya sehingga begitu leher itu terbabat putus, tubuhnya terjengkang dan kepalanya tertinggal pada tangannya, dijambak rambutnya! Sungguh mengerikan sekali melihat tubuh tanpa kepala itu, dengan leher yang berlubang dan menyemburkan darah, sedangkan kepala Si Kecil Bongkok itu dengan mata melotot tergantung pada rambutnya yang riap-riapan dan dicengkeram tangan kiri Thian Sin! Ang Bwe-nio menjerit dan terbelalak dengan muka pucat, lantas dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan. Sementara itu, empat orang kepala penjahat menjadi amat marah sekali di samping rasa ngeri. Dengan nekad mereka telah menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi, dengan amat tenang Thian Sin melayani mereka, tangan kiri mencengkeram kepala Si Kecil Bongkok tadi, tangan kanan menggunakan pisau kecil untuk menangkis. Hanya dengan sekali menangkis, pisaunya sudah melesat dari bawah dan menerobos di antara pertahanan lawan dan kembali pisau itu menyambar leher. Orang ke dua berusaha menangkis, akan tetapi tangkisannya tembus sehingga leher itu pun terbabat oleh pisau kecil dan tubuhnya terjengkang, kepalanya terlempar, akan tetapi sebelum jatuh ke atas tanah sudah disambar oleh tangan kiri Thian Sin yang memegang kepala pertama tadi. “Bwe-nio, kau peganglah dulu kepala-kepala ini!” Thian Sin berseru lalu melemparkan dua buah kepala itu ke atas pembaringan di mana Bwe-nio sedang duduk ketakutan. “Ayaaaaauuuwww…!” Bwe-nio menjerit dengan muka pucat dan mata terbelalak, seluruh tubuhnya menggigil ketika ia memandang kepada dua buah kepala yang matanya melotot lebar memandangnya itu. Tilam tempat tidur itu sudah berlepotan darah yang keluar dari kepala itu. Tiga orang yang lain masih mati-matian melawan Thian Sin. Namun, satu demi satu, dua orang lagi kehilangan kepala mereka yang melayang ke atas pembaringan, membuat Ang Bwe-nio hampir pingsan melihatnya. Tinggal Hui-to Ji Beng Tat yang masih nekad melakukan perlawanan menggunakan golok besarnya. Dia pun sudah sangat ketakutan dan terdesak oleh pisau kecil yang bagaikan beterbangan haus darah dan mencari kepala itu. Tiba-tiba Hui-to Ji Beng Tat mengeluarkan teriakan keras dan tubuhnya sudah mencelat ke arah pintu. Tangan kirinya bergerak dan sinar terang berturut-turut menyambar ke arah Thian Sin. Itulah golok terbang atau hui-to yang membuat namanya terkenal di daerah itu. Namun senjata-senjata terbang itu tidak ada artinya bagi Thian Sin. Sesudah menangkis dengan tangan kirinya, maka semua golok itu runtuh dan pada saat itu pula Hui-to Ji Beng Tat sudah menggunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia sudah berhasil membuka daun pintu, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan Thian Sin, “Pengecut, hendak lari ke mana kau?” Pemuda ini telah melemparkan pisau rampasannya yang meluncur cepat sekali. “Creppp…!” Pisau itu menancap sampai dalam sekali, sampai ke gagangnya, tepat di tengkuk Hui-to Ji Beng Tat. Kepala penjahat ini terpelanting, akan tetapi sebelum tubuhnya roboh, Thian Sin telah meloncat di belakangnya, menangkap gagang pisau kecil lalu menggerakkannya sedemikian rupa sehingga pada waktu tubuh itu roboh, kepalanya tertinggal di tangannya karena lehernya sudah putus! Ang Bwe-nio sudah tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi ketika kepala yang ke lima itu menggelinding di atas pembaringan. Seperti mayat hidup dia hanya dapat memandang kepada Thian Sin yang kini melangkah menghampiri dirinya sambil tersenyum. Pisau di tangan pemuda itu sama sekali tak terkena darah, demikian pula pakaiannya, sedikit pun tidak terkena darah. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya pemuda ini. “Nah, sekarang tiba giliranmu, Bwe-nio!” kata Thian Sin menghampiri dan tubuh wanita itu menggigil, mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi saking takutnya. “Wajahmu cantik akan tetapi hatimu jahat. Ingin aku melihat jantungmu, apakah berbulu atau tidak!” Berkata demikian, Thian Sin membuat gerakan seperti hendak menusuk. Ang Bwe-nio menjerit. “Ampun… jangan… bunuh aku…” “Hemmm, engkau begitu sayang nyawamu? Akan tetapi kalau kubiarkan kau hidup, tentu engkau akan menggunakan kecantikanmu untuk merayu dan mencelakakan laki-laki saja. Kalau begitu, biar kubiarkan kau hidup, akan tetapi kecantikanmu harus lenyap!” cerita silat online karya kho ping hoo Tiba-tiba nampak sinar berkelebat, darah mengucur dan Ang Bwe-nio menjerit-jerit sambil mendekap hidungnya. Batang hidung yang kecil mancung itu sudah buntung dan lenyap, hanya lubang mengerikan saja yang nampak di tempat hidungnya berdiri. Wanita itu lalu berlari keluar dari kamar itu sambil mendekap mukanya yang berdarah, tidak peduli lagi apakah dia akan dibunuh kalau lari keluar. Sambil tersenyum Thian Sin membawa lima buah kepala itu pada rambut mereka, dan dia pun keluar dari dalam kamar yang sudah banjir darah yang keluar dari leher lima batang tubuh tanpa kepala itu. Pemilik rumah penginapan dan para pembantunya sudah berada di ruangan depan rumah penginapan itu, dan mereka terbelalak melihat Ang Bwe-nio berlari keluar sambil menutupi muka dengan kedua tangan dan darah bercucuran diantara sela-sela jari tangannya. Dan mereka lebih terkejut ketika melihat pemuda tampan itu keluar pula dan membawa lima buah kepala! Pemilik rumah penginapan menjerit dan berusaha melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba sebuah kepala melayang terbang mengejarnya. “Dukkkk!” Kepala yang terbang melayang itu menghantam kepala pemilik rumah penginapan yang langsung roboh dan pingsan karena kepalanya menjadi benjol akibat dihantam kepala lain itu. Thian Sin tertawa dan melemparkan kepala yang lainnya di atas meja penerima tamu, kemudian dia pun pergi dari situ tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Peristiwa ini amat menggemparkan dan nama Pendekar Sadis makin terkenal. Semua orang bergidik menyaksikan kekejaman yang luar biasa ini, dan terutama sekali para penjahat menjadi kecil nyalinya. Nama Pendekar Sadis menjadi semacam momok yang menakutkan bagi dunia hitam, dan di samping mereka itu berjaga-jaga agar jangan sampai bertemu dengan pendekar itu, juga banyak penjahat yang kemudian mengadakan perundingan bagaimana untuk menghadapinya serta membalas semua kekejaman yang telah dilakukan oleh pendekar itu terhadap para penjahat. *************** Ada perbedaan besar di antara mendiang Raja Sabutai dan Raja Agahai yang sekarang mengepalai beberapa bangsa Nomad itu. Raja Sabutai dahulu dicintai rakyatnya karena raja yang gagah perkasa itu juga mencinta rakyatnya, menggembleng rakyatnya menjadi rakyat yang gagah dan raja ini selalu berusaha untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya, bahkan bercita-cita membawa rakyatnya ke dalam kebesaran dengan cara menundukkan raja-raja bangsa lain, bahkan pernah hampir saja dapat mengalahkan Kerajaan Tiongkok di selatan. Biar pun kekuasaannya mutlak dan seluruh rakyatnya cinta dan taat padanya, Raja Sabutai tak pernah bersikap sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan tak pernah mengejar kesenangan diri sendiri atau mengorbankan rakyatnya. Tidak demikian dengan Raja Agahai. Raja ini adalah seorang yang lemah, malas dan juga hanya mengejar kesenangan diri sendiri saja, menjadi hamba nafsu, senang bermewah-mewahan, juga senang mengumpulkan harta kekayaan dan membiarkan diri terseret ke dalam pemuasan nafsu birahi dengan memaksa gadis-gadis bangsanya menjadi selirnya yang selalu bertambah itu. Tentu saja dia tidak mendapat hati dalam batin rakyatnya. Diam-diam rakyatnya membencinya, akan tetapi rakyatnya tidak berani berbuat apa-apa, karena Raja Agahai mengandalkan pasukannya. Raja ini selalu memanjakan pasukannya dan meski pun dia tidak mempedulikan rakyatnya, akan tetapi dia bersikap royal terhadap pasukannya. Oleh karena ini, dia ditaati oleh pasukannya yang juga mencontoh semua perbuatannya dan menindas rakyat dengan tindakan sewenang-wenang. Dengan demikian maka timbul jurang pemisah antara rakyat dan tentara. Tidak seperti di jaman Raja Sabutai dahulu, di mana tentara dan rakyat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika itu, tentaranya kuat karena dukungan rakyat, sedangkan rakyatnya merasa aman tenteram karena merasa mempunyai pelindung, yaitu pasukan kerajaan. Tetapi kini rakyat memandang pasukan seperti orang memandang penjahat, dengan rasa takut-takut sebab biasanya, setiap kali berdekatan atau pun berkenalan dengan tentara, berarti mereka akan menemukan kesulitan dan kekerasan, atau setidaknya mereka tentu akan terganggu dan menderita kerugian. Raja Agahai memerintah rakyatnya dengan tangan besi melalui pasukan-pasukannya. Pasukan-pasukannya itu kini seperti tentara bayaran saja, yang menjadi tentara karena menghendaki kehidupan yang layak serta kekuasaan yang melebihi rakyat biasa, bukan sekali-kali menjadi tentara karena panggilan tugas membela negara dan bangsa. Keadaan seperti itu tentu saja membuat kerajaan kecil ini menjadi lemah sekali sehingga kekuasaannya terhadap suku-suku bangsa lain tidak lagi seperti dahulu pada saat masih dipimpin Raja Sabutai. Kini suku-suku bangsa lain mulai bangkit, terlebih lagi karena suku bangsa Mancu pedalaman mulai membentuk diri agar menjadi bangsa yang kuat sehingga kekuasaan suku bangsa yang dipimpin oleh Raja Agahai mulai terdesak. Akhirnya, Raja Agahai terpaksa mencari tempat menetap di dekat perbatasan selatan dan tak dapat lagi berpindah-pindah seperti dahulu. Puteri Khamila, yaitu bekas permaisuri Raja Sabutai, sering kali mengingatkan adik misan suaminya ini, akan tetapi Raja Agahai malah menjadi marah. Karena permaisuri mendiang Raja Sabutai ini merupakan satu-satunya orang yang berani mencelanya, menegur dan menentangnya, apa lagi ketika pada suatu hari Puteri Khamila menentang secara terang-terangan ketika Raja Agahai dengan kekerasan memaksa seorang pelayan wanita sang puteri untuk menjadi selirnya, maka Raja Agahai lalu menyuruh tangkap Putri Khamila. Puteri yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu lalu dipenjarakan! Para komandan tua beserta pembesar yang mengingat akan kebaikan sang puteri tua ini, merasa tidak setuju, akan tetapi tak seorang pun yang berani menentang keputusan Raja Agahai. Juga rakyat yang amat mencinta sang puteri ini hanya dapat membelanya. Hanya baiknya, para pejabat yang mengurus penjara masih ingat akan kebaikan permaisuri Raja Sabutai ini, maka sang puteri ini pun diperlakukan dengan baik sehingga tidak terlampau menderita sengsara. Pada waktu itu Puteri Khamila sudah dipenjarakan selama dua tahun! Puteri yang sudah tua ini siang malam hanya berdoa dan mengharap kedatangan puteranya, yaitu Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw, yang selama belasan tahun ini sama sekali tidak pernah terdengar beritanya. Tidak ada seorang pun yang berani mengabarkan kepadanya bahwa pangeran yang ditunggu-tunggunya itu, putera tunggalnya yang sangat dicintanya, sudah tewas oleh pengeroyokan pasukan kerajaan di selatan, yang dibantu pula antara lain oleh pasukan yang dikirim roleh Raja Agahai. Juga politik Raja Agahai terhadap Kerajaan Beng di selatan sekarang menjadi amat lunak. Karena mengharapkan bantuan dari pasukan Beng-tiauw untuk menghadapi persaingan dengan bangsa Mancu dan suku-suku bangsa lainnya, dia rela untuk menyatakan takluk kepada Kerajaan Beng dan mengirim upeti setiap tahun, karena sebagai imbalannya, dia juga menerima barang-barang indah dari selatan, yaitu dari kerajaan itu. Dalam keadaan seperti itulah ketika Ceng Thian Sin tiba di kerajaan kecil itu! Pada waktu itu, karena hubungan baik antara kerajaan itu dengan Kerajaan Beng, maka banyak juga orang-orang Han dari selatan berdatangan ke situ untuk berdagang. Mereka ini membawa barang-barang dari selatan, kain-kain sutera dan sebagainya, menjualnya atau lebih tepat menukarnya dengan barang-barang berharga dari daerah utara seperti kulit-kulit binatang, rempah-rempah, akar-akar obat yang berharga, dan sebagainya lagi. Perdagangan ini sangat ramai dan kerajaan kecil itu hampir setiap hari didatangi banyak pedagang yang datang menyeberangi Tembok Besar. Hal ini amat menguntungkan Thian Sin karena tentu saja dengan mudah dia dapat memasuki pintu gerbang kerajaan kecil itu tanpa dicurigai sedikit pun. Marah sekali hati Thian Sin ketika dia mendengar berita bahwa neneknya telah dipenjara! Di waktu kecil, ayahnya mengajarkan bahasa suku bangsa itu kepadanya, dan kini tibalah waktunya dia memanfaatkan pengertian ini. Dengan kepandaiannya berbahasa daerah, dia dapat menghubungi banyak orang dan mendengar bahwa neneknya ditahan dalam sebuah rumah penjara. Puteri Khamila tidak dicampurkan dengan orang-orang penjara lainnya, namun mendiami sebuah rumah, akan tetapi rumah itu dijaga siang malam secara ketat. Sang puteri selalu tinggal di dalam rumah itu, tak pernah diperbolehkan keluar sehingga dia harus melewati kehidupan yang sangat kesepian, hanya dilayani oleh dua orang pelayan yang sudah tua pula. Thian Sin maklum bahwa tidak mungkin dia melawan Raja Agahai secara berterang. Dia hanya seorang diri saja dan raja itu dilindungi oleh ribuan orang tentara. Lagi pula, kalau dia menyelundup dan melawan Raja Agahai dengan berterang, andai kata dia berhasil membunuhnya juga, tentu akibatnya amat tidak baik bagi neneknya. Maka dia pun segera mempergunakan akal. Dia melihat betapa semua pejabat serta pegawai pemerintah kini mudah sekali makan sogokan. Sebelum memasuki kerajaan itu, dia sudah mempersiapkan diri dan membawa bekal untuk keperluan itu. Maka dia pun lalu mempergunakan perak untuk menyogok para penjaga rumah penjara Sang Puteri Khamila. Pada jaman itu, orang-orang Han yang datang ke negeri itu dipandang dengan hormat, tentu saja karena Raja Agahai sudah menyatakan tunduk terhadap Kerajaan Beng. Oleh karena itu, permintaan Thian Sin kepada para penjaga dengan memberi sogokan, supaya dia diperbolehkan menghadap sang puteri tua, tidak mendatangkan kecurigaan melainkan keheranan. “Sobat, mau apakah engkau hendak menghadap sang puteri?” tanya komandan jaga. “Aku membawa beberapa macam barang dagangan, sutera-sutera berikut permata yang tentu akan disukai oleh seorang puteri.” “Ahh, akan tetapi sang puteri tidak akan dapat membelinya! Beliau sedang berada dalam penahanan, tidak memiliki uang untuk membeli barang mahal,” bantah si penjaga dengan heran. “Tidak bisa beli pun tidak mengapalah. Ketika masih kecil, aku pernah melihat sang puteri yang cantik dan agung, dan kini aku ingin sekali bertemu kembali dan menghadap beliau, sekedar untuk menawarkan dagangan sambil sekalian melihat wajah beliau.” “Ahh, orang muda. Beliau sekarang sudah tua dan lemah. Akan tetapi, asal jangan terlalu lama dan jangan sampai ketahuan orang luar, baiklah, kau boleh menghadap. Tetapi biar kulaporkan dahulu apakah beliau bersedia menerimamu.” Kepala jaga itu lalu masuk dan melaporkan. Puteri Khamila merasa heran sekali ketika mendengar bahwa ada seorang Han, seorang pedagang muda yang mohon menghadap untuk menawarkan barang dagangan. Dia tidak memiliki uang, dan pula, untuk apa dia membeli barang-barang indah? Akan tetapi, Puteri Khamila bukanlah seorang bodoh. Kalau ada orang Han yang ingin berjumpa dengannya, tentu membawa sesuatu yang penting. Maka, dia pun memperkenankan orang muda itu datang menghadap. Ketika Thian memasuki ruangan rumah itu, jantungnya berdebar tegang. Rumah itu sunyi sekali dan ketika dia dipersilakan masuk ke dalam ruangan belakang, dia melihat seorang nenek tua berambut putih duduk di atas sebuah kursi. Mudah saja mengenal neneknya. Biar pun baru satu kali dia melihat neneknya, yaitu pada saat dia masih kecil dan diajak ayahnya mengunjungi nenek ini, namun dia tidak dapat melupakan wajah yang cantik dan agung itu. Nenek itu sudah tua, rambutnya sudah putih semua, kulit mukanya keriputan, akan tetapi kulit itu masih halus dan sikapnya pada saat duduk di kursi itu seperti sikap seorang ratu duduk di atas singgasana saja. Begitu agung, meski yang berada di situ hanya dua orang pelayan yang duduk bersimpuh di kanan kiri kursi. Pada saat dengan perlahan-lahan Thian Sin melangkah masuk dan sepasang mata yang membayangkan kedukaan itu menatap wajahnya, kedua tangan nenek itu mencengkeram lengan kursi dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar akan tetapi diliputi keraguan. “Siapakah engkau…?” Suara itu agak gemetar dan penuh harap, dan puteri itu berbahasa Han yang cukup baik, “dan apa maksudmu datang menemui aku?” Thian Sin merasa terharu sekali, kemudian dia berkata dengan halus, “Apakah saya dapat bicara dengan bebas dan leluasa dengan paduka?” Puteri Khamila memandang ke arah daun pintu yang sudah ditutupkan kembali itu, lalu mengangguk. “Jangan khawatir, dua orang pelayan ini adalah orang-orang setia dan para penjaga itu betapa pun juga tidak berani melakukan pengintaian. Bicaralah!” Thian Sin melangkah maju, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil berkata dengan hati terharu, “Nenek yang baik, saya adalah Ceng Thian Sin, putera dari Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai.” “Ohhh… ahh, sudah kuduga… ahh, wajahmu begitu sama dengan dia…! Ahh, cucuku, ke sinilah… ke sinilah…” Thian Sin maju mendekat. Nenek itu lalu merangkul dan mendekap kepalanya sejenak, akan tetapi dia segera dapat menguasai hatinya, mendorong halus kepala pemuda itu dari rangkulannya, memandang wajah itu sampai lama lalu berkata, “Ahh, betapa bahayanya… bagaimana engkau dapat menyelundup ke sini, cucuku? Ahh, ketika engkau ke sini dahulu, engkau masih kecil… namun wajahmu mirip benar dengan ayahmu. Engkau tahu, selama ini aku… aku…” “Saya sudah tahu segalanya, nek.” “Dan mana ayahmu? Ibumu? Kenapa selama ini mereka tiada berita?” Thian Sin mengepal tinjunya. Neneknya belum tahu tentang malapetaka yang menimpa ayah bundanya itu, maka hatinya semakin sakit terhadap Raja Agahai. “Maaf, nek, saya membawa berita buruk sekali. Ayah dan ibuku… mereka sudah tewas…” “Ahhhh…?” Nenek itu bangkit berdiri dan menutupi mulut dengan kedua tangannya agar jeritannya tidak keluar, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali, lalu dia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau saja Thian Sin tidak cepat meloncat dan merangkul neneknya. Nenek itu lantas menangis sambil menyandarkan wajahnya di dada cucunya, menangis terisak-isak sampai baju pemuda itu menjadi basah oleh air mata. Thian Sin diam saja, tidak mengeluarkan kata-kata, karena dia maklum bahwa menghibur neneknya pada saat itu tak ada gunanya sama sekali. Bahkan dia membiarkan neneknya menangis sepuasnya. Dan memang, Puteri Khamila kemudian mengeluarkan semua perasaan dukanya yang selama ini selalu ditahan-tahannya. Harapannya hanya satu, yaitu kedatangan puteranya untuk membebaskannya dan membikin beres kerajaan yang dikotori oleh Agahai itu. Akan tetapi siapa tahu, putera dan mantunya telah tewas, maka hancurlah semua harapannya. Akhirnya nenek itu dapat mengeluarkan suara keluh-kesah dalam tangisnya, “Oguthai… anakku, betapa tega engkau meninggalkan ibumu… lalu siapakah yang akan datang untuk membuat perhitungan kepada Agahai, siapa yang akan membebaskan rakyat kita dari si lalim itu…” “Jangan khawatir, nek. Saya mewakili ayah dan ibu datang ke sini justru untuk keperluan itulah. Sayalah yang akan menghancurkan Agahai serta kaki tangannya, karena kematian ayah ibu juga sebagian adalah perbuatan Agahai dan kaki tangannya.” Seketika nenek itu menjadi sangat marah dan lupa akan kedukaannya. “Ahh, keparat! Si bedebah yang tak mengenal budi! Dia sudah diangkat menjadi raja, kini bertindak kejam! Ceritakanlah, bagaimana terjadinya sampai ayah bundamu tewas?” Nenek itu duduk kembali, tangisnya sudah berhenti dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Thian Sin bercerita tentang kematian ayah bundanya yang dikeroyok oleh banyak pasukan, yaitu pasukan Beng dibantu oleh orang-orang Agahai dan orang-orang dari beberapa tokoh datuk kaum sesat. “Saya sudah mempelajari limu sebanyak-banyaknya, nek. Dan sekarang tibalah waktunya bagi saya untuk membasmi musuh-musuh yang dahulu telah menewaskan ayah ibu, dan pertama-tama saya akan membasmi Agahai!” “Akan tetapi, engkau hanya seorang diri dan kedudukannya amat kuat, dia memanjakan pasukan sehingga pasukannya sangat taat kepadanya. Tak mungkin engkau menentang secara berterang begitu saja…” “Karena itulah saya menjumpai nenek, untuk mohon petunjuk.” “Bagus, itu namanya bekerja dengan teliti dan tidak sembrono. Nah, dengarlah baik-baik, cucuku. Biar pun kekuasaanku telah habis sama sekali, akan tetapi sebetulnya sebagian besar dari pejabat tua masih setia kepadaku, dan hanya karena takut terhadap Agahai sajalah mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ada seorang panglima tua yang dahulu amat setia pada kakekmu, dan sekarang dia hanya diberi jabatan sebagai menteri urusan hiburan. Dia itu sangat bijaksana dan cerdik. Kau pergilah kepadanya dan bekerja sama dengan dia, tentu dia mempunyai jalan yang baik. Tunggu, kubuatkan surat untuknya.” Nenek itu lalu menuliskan huruf-huruf di atas sapu tangan putih dan memberikan surat itu kepada Thian Sin. Setelah diberi tahu tentang nama dan tempat tinggal menteri hiburan itu, dan setelah diberi banyak nasehat-nasehat oleh neneknya, juga diberi sebuah kalung peninggalan Raja Sabutai yang dikalungkan di leher Thian Sin, barulah pemuda itu keluar meninggalkan rumah tahanan itu dengan hati lapang serta penuh harapan. Tadinya dia sendiri memang bingung dan tidak tahu bagaimana dia akan dapat membalas dendam kepada Raja Agahai, akan tetapi kini terbukalah jalan yang luas baginya. Dengan mudah dia dapat mengunjungi Abigan, yaitu menteri urusan hiburan, seorang tua yang dahulu pernah menjadi panglima yang setia dari Raja Sabutai. Hanya karena bekas panglima ini terkenal dan dikagumi para tentara sajalah maka Agahai masih memakainya dan diberi kedudukan yang tidak penting, yaitu menteri urusan hiburan. Dia mengurus apa bila kerajaan mengadakan pesta-pesta, menyambut tamu-tamu dan sebagainya. Ketika menerima kunjungan Thian Sin, tadinya Abigan mengira bahwa Thian Sin seorang pemuda biasa dari selatan yang datang bertamu ke kerajaan kecil ini, akan tetapi begitu Thian Sin menyerahkan surat dari Nenek Khamila, menteri itu terkejut. Apa lagi membaca surat perkenalan itu yang menyatakan bahwa pemuda ini adalah putera tunggal Pangeran Ceng Han Houw atau Pangeran Oguthai, dia terkejut, terharu dan juga girang. Segera diajaknya Thian Sin ke sebelah dalam, kemudian pemuda ini diberi sebuah kamar dan kedatangannya dirahasiakan. Dengan cepatnya Abigan mengadakan kontak dengan kawan-kawan yang sehaluan, yaitu yang menentang Raja Agahai dengan diam-diam. Mereka berdatangan ke rumah menteri hiburan ini dan diperkenalkan dengan Thian Sin. Mereka lalu mengadakan rapat rahasia dan mengatur rencana untuk ‘memasukkan’ Thian Sin ke dalam istana, bahkan diberi akal agar pemuda itu mendapat kepercayaan dari Raja Agahai. Di dalam rapat itu Thian Sin memperoleh banyak keterangan mengenai Raja Agahai. Dia mendengar bahwa raja itu sebenarnya hanya seorang yang lemah, dan yang menguasai raja itu adalah seorang Koksu yang bernama Torgan, seorang Mancu yang amat cerdik dan juga pandai ilmu silat dan ilmu gulat. Torgan inilah yang mengatur segala-galanya dalam pemerintahan. Torgan ini pula yang telah membuat mabuk Raja Agahai dengan segala macam kesenangan, terutama wanita-wanita. Selir paksaan dari Raja Agahai amat banyak, tidak terhitung lagi banyaknya. Akan tetapi, dari sekian banyaknya selir, baru seorang saja yang berhasil mempunyai keturunan, yaitu seorang anak laki-laki yang baru terlahir sebulan yang lalu. Dan di antara para selirnya, yang paling dikasihi adalah seorang selir berbangsa Biauw, justru bukan selir yang sudah melahirkan anaknya. Semua ini dipelajari Thian Sin. “Kebetulan sekali! Minggu ini keluarga raja akan menyelenggarakan pesta besar-besaran untuk merayakan usia sebulan dari pangeran tunggal itu,” kata Menteri Abigan. “Ini adalah kesempatan baik untuk memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Sri Baginda. Akan tetapi, sebagai apa? Sebagai seorang pedagang muda? Tentu saja kurang tepat, bahkan dapat menimbulkan kecurigaan Koksu Torgan yang bermata tajam dan sangat cerdik itu. Andai kata sebagai sanak keluargaku dari Mancu dan menyamar sebagai pemuda Mancu, dari bahasa Ceng-kongcu tentu akan ketahuan karena kaku. Ah, kita harus berhati-hati sekali, terutama terhadap Torgan yang cerdik. Jangan sampai kita gagal di tengah jalan sebelum tujuan tercapai.” “Aku punya akal!” kata Thian Sin. “Bukankah di istana akan diselenggarakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran? Nah, bagaimana jika taijin memperkenalkan aku sebagai seorang pemain sulap?” “Tukang sulap? Apakah kongcu dapat bermain sulap? Hati-hati, Torgan adalah seorang yang pandai sekali, tidak mudah ditipu.” “Harap cu-wi lihat, apabila kedua tanganku berubah menjadi ular seperti ini, apakah dia belum percaya bahwa aku seorang tukang sulap?” Tiba-tiba saja Thian Sin menggerakkan kedua lengannya dan… semua orang yang hadir di dalam rapat itu berseru kaget karena kedua lengan pemuda itu benar-benar sudah berubah menjadi ular yang menggerakkan lidah keluar masuk dan menggeliat-geliat mengerikan. “Bagus! Sulap yang mengagumkan!” kata Abigan dengan kagum. Thian Sin tertawa, menurunkan kedua lengannya lagi sehingga lenyaplah ular-ular itu. “Ini hanya sulap biasa saja. Aku masih mampu mainkan suling dan menyanyikan sajak-sajak dan tentang permainan sulap lain, masih banyak macamnya. Misalnya ketrampilan tangan seperti ini!” Thian Sin memegang kedua sumpitnya dan dengan sumpit itu dia melemparkan mangkok yang penuh sayuran ke atas. Mangkok itu melayang ke atas disusul oleh mangkok ke dua yang juga penuh sayur. Dia lalu menerima mangkok dengan dua batang sumpit itu. Dua batang sumpit itu tepat menerima dua buah mangkok sayur, menyangga di bawahnya kemudian dengan gerakan pergelangan tangannya, dia membuat kedua mangkok itu berputar-putar di atas sumpit tanpa ada sedikit pun kuah sayur yang tumpah. Kembali beberapa kali dia melemparkan dua buah mangkok itu ke atas dan diterima oleh ujung sumpit. Tentu saja semua yang melihat kepandaian ini langsung bertepuk tangan memuji. Mereka sudah sering melihat pemain sulap memamerkan ketrampilan seperti ini, akan tetapi tidak dengan mangkok yang berisi sayur dengan kuahnya. Thian Sin menghentikan demonstrasinya. “Selain bermain sulap, aku juga bisa menghibur raja dengan permainan suling dan bernyanyi.” katanya sambil tersenyum. Melihat kepandaian putera Pangeran atau cucu dari mendiang Raja Sabutai ini, Menteri Abigan menjadi girang, kagum dan juga terharu sekali. Usaha pangeran ini pasti berhasil, pikirnya. Demikian pula para rekannya yang sekarang menaruh kepercayaan besar pada pangeran keturunan Raja Sabutai yang dikenal sebagai Ceng-kongcu ini. Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengambil keputusan bahwa langkah-langkah mereka diatur seperti berikut. Pertama, tentu saja memperkenalkan Ceng-kongcu kepada Raja Agahai sebagai penghibur dalam pesta dengan permainan sulap, suling dan nyanyi sajak. Ke dua, mereka semua secara diam-diam mengerahkan pengikut-pengikut masing-masing untuk bersiap-siap turun tangan bila mana pemuda itu sudah berhasil membunuh Raja Agahai, yaitu dengan mengepung istana kemudian melucuti atau membasmi semua pasukan pengawal. Ke tiga, mereka akan menyelidiki siapa para perwira dan anak buahnya yang dahulu ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. *************** Keluarga Raja Agahai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran pangeran pertama yang telah sebulan usianya. Berbeda sekali keadaan pesta yang diadakan raja ini dengan Raja Sabutai dahulu. Kalau Raja Sabutai berpesta, sebagai seorang raja dan juga seorang tokoh besar dunia kang-ouw dari daerah utara, sebagian besar undangannya adalah tokoh-tokoh kang-ouw pula. Akan tetapi, Raja Agahai hanya mengundang kepala-kepala suku bangsa dan juga wakil-wakil dari pasukan penjaga tapal batas di Tembok Besar yaitu pasukan Beng-tiauw. Ada pula orang-orang Han yang biasa hilir mudik ke kerajaan ini, membawa dagangan-dagangan dan menjadi langganan keluarga raja, yang kini menjadi tamu pula. Selain para undangan, juga para pembantu Raja Agahai yang tinggi kedudukannya, hadir bersama isteri masing-masing. Di antara mereka tentu saja terdapat penasehat raja, yaitu Koksu Torgan. Bahkan Koksu Torgan inilah yang mengatur penjagaan dengan ketat. Dua matanya yang lebar dan liar itu, di bawah sepasang alis tebal tiada hentinya memandang ke kanan kiri, menyelidiki para tamu dengan penuh kecurigaan sehingga siapa pun juga yang bertemu pandang dengan koksu ini akan merasa kikuk dan tidak nyaman hatinya. Raja Agahai sendiri dengan senyum bahagia duduk bersanding dengan para isterinya yang rata-rata masih muda-muda dan cantik-cantik, akan tetapi isterinya atau selirnya, yang berbangsa Biauw itu, yang memang sangat cantik dan yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun, duduk paling dekat di sebelah kiri Sang Raja. Kecantikan selir ini memang menyolok sekali, bukan hanya karena wajahnya yang cantik jelita dan manis, akan tetapi bentuk tubuhnya sangat menggairahkan, masih ditambah lagi sikapnya yang memang menarik, bukan dibuat-buat, melainkan karena memang sudah pembawaannya wanita ini memiliki sikap yang amat menarik dan merangsang. Selir yang beruntung mendapat keturunan itu duduk di sebelah kanan Sang Raja. Karena melahirkan seorang putera, tentu saja kedudukannya sekaligus naik dan dia dipandang sebagai isteri yang paling berjasa. Anak kecil berusia satu bulan itu ditidurkan di sebuah pembaringan kecil, dijaga dua orang inang pengasuh. Dan tak jauh dari situ, di atas meja besar, dikumpulkanlah semua barang hadiah atau sumbangan dari para tamu, sumbangan yang lebih ditujukan kepada Raja Agahai dari pada kepada anak kecil berusia satu bulan itu. Setelah semua tamu datang berkumpul, Menteri Abigan yang semenjak pagi sekali sudah sibuk mengatur pesta itu yang menjadi bagiannya atau tugasnya, lantas menghadap Raja Agahai dan berkata. “Sri baginda, tukang sulap yang akan menghibur pesta ini telah siap menanti.” “Ha-ha-ha, bagus sekali, suruh dia datang menghadapku lebih dahulu sekarang. Aku ingin melihat dan bertemu dengannya.” Menteri Abigan memberi isyarat kepada pembantu-pembantunya, dan tak lama kemudian, Thian Sin diiringi beberapa orang petugas menuju ke panggung di mana keluarga raja itu duduk berkumpul. “Ahhh, dia masih muda dan tampan sekali, Abigan!” kata raja itu ketika melihat seorang pemuda bangsa Han memberi hormat di depannya dengan sikap yang selain hormat, juga amat ramah, dengan senyum yang menarik. “Banyak terima kasih atas pujian Sri baginda yang mulia, dan semogalah menjadi berkah bagi hamba!” Thian Sin berkata dengan suara yang diatur seperti bersajak, dan juga dia mengucapkannya dengan suara seperti orang berdeklamasi! Mendengar Thian Sin mengeluarkan kata-kata yang indah dalam bahasa daerah, dengan suara merdu seperti bernyanyi pula, maka raja dan para selir menjadi amat tertarik. Raja Agahai tertawa gembira. “Bagus! Bagus sekali, engkau juga pandai berbahasa daerah. Kabarnya engkau pandai bersajak, menyanyi dan bermain sulap, tentu saja pandai segala bahasa. Eh, orang muda yang pandai, coba katakan, menurut pendapatmu, nama apakah yang patut kami berikan kepada putera kami ini?” Thian Sin sudah memperoleh keterangan segala-galanya mengenai keadaan keluarga itu, bahkan pilihan nama untuk putera raja itu yang belum diumumkan, telah bocor dan dapat diketahui olehnya melalui para pembantu Menteri Abigan. Dia mendengar bahwa Raja Agahai hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya. Sungguh merupakan suatu kesombongan karena nama ini adalah nama raja terbesar dalam sejarah bangsa Mongol, karena Temuyin ini adalah nama kecil dari Raja Jenghis Khan! Mendengar ini, Thian Sin lantas mengambil sikap sungguh-sungguh. “Nama untuk putera paduka ditentukan oleh para dewata, seorang manusia biasa seperti hamba, mana berani lancang menerkanya?” katanya kemudian dengan nada suara indah. Kemudian, pemuda ini mengerahkan tenaga sakti ilmu sihirnya, memandang kepada raja lantas melanjutkan. “Akan tetapi, Sri Baginda yang mulia. Hamba melihat ada cahaya di sekitar tubuh putera paduka, ahh, benar… cahaya cemerlang menyilaukan mata, dan cahaya seperti itu hanya dimiliki oleh raja besar pertama dari bangsa Mongol yang gagah perkasa tiga abad yang lalu…” Raja Agahai tadi memandang sepasang mata yang mencorong dari pemuda itu, lalu dia turut menoleh ke arah pembaringan puteranya dan… dia terbelalak melihat betapa benar saja ada cahaya terang meliputi seluruh tubuh puteranya itu! Cahaya yang mencorong menyilaukan mata! Kemudian, mendengar ucapan bahwa cahaya seperti itu hanya dimiliki raja besar pertama dari bangsa Mongol pada tiga abad yang lalu, hatinya girang bukan main. Karena raja pertama yang dimaksudkan itu, siapa lagi kalau bukan Raja Besar Jenghis Khan yang di waktu kecilnya bernama Temuyin? Dan memang dia hendak memberi nama Temuyin kepada puteranya, disamakan dengan nama raja besar itu! “Bagus… bagus… memang engkau seorang yang amat pandai. Ehh, siapakah namamu, orang muda yang cerdas dan pandai?” “Nama hamba adalah Hauw Lam, Sri Baginda.” jawab Thian Sin tanpa memberi she atau nama keturunan pada namanya itu. Akan tetapi Raja Agahai tidak memperhatikan, atau menyangka bahwa pemuda ini she Hauw bernama Lam. Dia tidak berpikir lebih panjang bahwa nama itu berarti Anak Laki-laki Berbakti. “Baik, kami girang sekali engkau mau menghibur pesta ini, Hauw Lam. Nanti setelah tiba waktunya, engkau boleh menghibur para tamu dengan permainanmu.” Pada saat itu, tiba-tiba saja muncul Koksu Torgan. Dengan sinar matanya yang tajam dia menatap kepada pemuda tampan yang sedang bercakap-cakap dengan rajanya itu, dan melihat rajanya tertawa-tawa gembira, kemudian melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda itu, koksu ini mengerutkan alisnya yang bercampur uban dan cepat menghampiri. Melihat datangnya Sang Koksu, Raja Agahai lalu tertawa. “Ahh, Koksu, kebetulan engkau datang. Lihat, pemuda tukang sulap ini sungguh seorang yang hebat dan menyenangkan sekali. Dia akan menghibur para tamu, memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan sulap serta permainan suling dan sajak.” Hanya koksu inilah satu-satunya orang yang tidak bersikap sangat hormat kepada raja, tidak berlebih-lebihan seperti sikap orang lain karena dia yakin benar akan pengaruh dan kekuasaannya. Dengan alis berkerut dia memandang wajah pemuda itu tanpa menjawab ucapan raja. “Siapakah yang memperkenalkan pemuda ini kepada Paduka?” Dia balik bertanya akan tetapi masih terus mengamati Thian Sin. “Menteri Abigan yang membawanya,” kata Raja. “Hambalah yang melihat kebagusan permainannya dan hamba yang memperkenalkannya kepada Sri Baginda, Koksu,” kata menteri tua itu dengan hormat. Koksu itu mengeluarkan suara dari hidung, seperti orang mendengus. “Hemm, kami tidak mengenal pemuda ini dan karenanya tidak percaya kepadanya. Akan tetapi kami sangat mengenalmu, Menteri Abigan. Tentu engkau telah mengerti bahwa segala yang dilakukan pemuda ini menjadi tanggung jawabmu, tanggung jawab seluruh keluargamu jika sampai dia melakukan yang tidak baik!” Setelah berkata demikian, koksu ini sekali lagi menatap tajam wajah Thian Sin, kemudian menjura kepada raja dan meninggalkan panggung itu. Diam-diam Thian Sin mencatat dalam hatinya bahwa orang itu amat berbahaya dan perlu segera disingkirkan. Akan tetapi ada suatu hal lain yang mendebarkan hatinya, yaitu selir berbangsa Biauw itu. Selir muda dan cantik ini, selama dia tadi menghadap kaisar, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas-jelas mengandung kekaguman dan kemesraan! Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu penuh daya pikat dan begitu penuh janji. Tahulah Thian Sin bahwa selir muda dari raja tua itu menaruh hati kepadanya. Ini pun merupakan jalan yang amat baik, pikirnya sambil diam-diam tersenyum puas. Sikap koksu tadi agaknya mengurangi kegembiraan Sang Raja yang lalu memberi isyarat kepada Menteri Abigan untuk mengajak Thian Sin mundur dari situ. Dan setelah mereka mundur dari sana, melalui seorang pembicara, raja kemudian mengumumkan nama dari puteranya, yaitu Pangeran Temuyin! Tentu saja pengumuman ini langsung disambut dengan tepuk tangan. Ada yang memuji pilihan yang tepat itu, ada pula yang diam-diam mencela bahwa tidak pantaslah seorang raja kecil seperti Agahai ini menamakan puteranya Temuyin, nama pendiri Dinasti Goan yang telah tumbang itu. Akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani mencela.....


PENDEKAR SADIS JILID 22 :
SETELAH pengumuman itu, pesta pun dimulailah. Thian Sin sendiri juga dijamu oleh Menteri Abigan dan pemuda ini makan minum sepuasnya. Di tengah-tengah perjamuan itu, para tamu saling bicara sendiri dan keadaan menjadi bising, apa lagi ditambah dengan adanya suara musik yang dimainkan orang untuk memeriahkan suasana pesta. Berbeda dengan dahulu ketika mendiang Raja Sabutai mengadakan pesta di mana selalu diadakan pertunjukkan silat, kini yang dipertunjukkan adalah tari-tarian dari para penari-penari muda yang catik dan genit. Suasana menjadi meriah sekali ketika di antara para tamu yang sudah terlalu banyak minum arak itu ada pula yang ikut menari bersama para penari genit itu. Terdengar suara ketawa di sana-sini dan suasana menjadi amat gembira. Sesudah beberapa tarian dimainkan, akhirnya sebagai pengatur acara hiburan Menteri Abigan mengumumkan dengan suara lantang. “Hadirin yang terhormat, kini Sri Baginda Raja yang kita cintai berkenan menghibur cu-wi (anda sekalian) dengan menampilkan seorang pemuda yang ahli bermain sulap, meniup suling dan membuat sajak. Inilah dia, pemuda yang cerdas dan menarik, Hauw Lam!” Terdengar tepuk sorak pada saat Thian Sin muncul ke atas panggung, dan ternyata yang bertepuk sorak itu adalah keluarga raja yang dipelopori oleh selir suku bangsa Biauw itu! Thian Sin menjura ke arah tempat duduk raja dan keluarganya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang tampan itu agak merah, karena selain dia tadi minum arak agak banyak. juga dia pun sebenarnya merasa canggung harus berhadapan dengan begitu banyaknya orang sebagai seorang pemain panggung. Dia merasa seolah-olah kini dia sudah menjadi seorang badut! “Cu-wi yang terhormat,” kata Thian Sin dengan lagak menarik, suaranya bagaikan orang bernyanyi. “Hari ini merupakan hari keramat dan kepada keluarga Sri Baginda yang amat berbahagia kami mengucapkan selamat! Sebagai seorang pengembara, saya hanya dapat menyumbangkan seekor burung dara!” Setelah mengeluarkan kata-kata bersajak ini, dengan suara yang menarik sekali, tiba-tiba Thian Sin berseru. “Lihatlah, seekor burung dara terbang ke angkasa!” Dan tiba-tiba saja, seperti keluar dari lengan bajunya, di tangan kanannya yang diangkat tinggi-tinggi itu sudah terdapat seekor burung dara putih yang menggeleparkan sayapnya dan ketika dilepaskan, burung itu terbang ke udara sampai tinggi dan lenyap. “Aku tidak melihat burung dara!” Tiba-tiba saja terdengar suara mengguntur dan Thian Sin langsung menengok. “Jangan mengeluarkan permainan menipu! Tidak ada kulihat burung dara!” Kiranya yang bicara itu adalah Koksu Torgan yang memandang kepada Thian Sin dengan sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh itu. Tahulan Thian Sin bahwa orang ini adalah lawan yang cukup berbahaya, yang tak terpengaruh oleh daya sihirnya tadi. Akan tetapi, Thian Sin adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia menjura dengan hormat kepada orang tua itu dan tersenyum ramah. “Ahhh, maafkan saya, Koksu. Paduka adalah Koksu Torgan yang bijaksana, mengatakan tidak tahu burung dara berada di mana!” Thian Sin segera menghadapi semua tamu lalu bertanya dengan suara ramah dan lagak yang lucu. “Mohon bertanya kepada cu-wi yang mulia, apakah tadi ada seekor burung dara?” “Ada…! Ada…!” Terdengar jawaban di sana-sini yang disusul oleh yang lain, bahkan para selir raja sendiri pun berteriak mengatakan ada. Thian Sin menghadapi Koksu Torgan sambil membentang lengan dan mengangkat bahu seolah-olah dia tidak berdaya melawan pendapat banyak orang. “Maaf, Koksu, kalau tadi Koksu belum melihat burung-burung dara, sekarang hamba persembahkan untuk Anda!” Tiba-tiba Thian Sin membuat gerakan dengan tangannya lantas berteriak nyaring, “Inilah seekor burung bangau botak untuk Koksu!” Dan sungguh mengherankan, di tangannya sudah terdapat seekor burung bangau besar yang kepalanya botak. Pemuda itu mengulurkan tangannya, menyerahkan burung jelek itu kepada Sang Koksu. Tentu saja sekali ini Thian Sin mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencoba ‘kekuatan’ koksu itu dan ternyata koksu itu dapat terpengaruh. Matanya terbelalak melihat burung bangau yang hendak mematuknya itu, maka dia cepat mundur tiga langkah. “Ilmu setan…!” gumamnya dan dia pun terus menjauh. “Sayang, bangau, rupamu begini buruk sehingga Sang Koksu tak menghendakimu! Nah, kini terbanglah melayang, kembali ke sarang!” Dan bangau itu pun terbang ke atas lalu lenyap! Semua orang bersorak dan bertepuk tangan memuji, sedangkan koksu itu memandang dengan penuh kecurigaan. Menteri Abigan berdiri di dekatnya, dan koksu ini lalu berbisik kepadanya. “Menteri Abigan, dari mana engkau menemukan bocah setan ini?” “Bocah setan mana…? Ahhh, dia bukan bocah setan, melainkan seorang pemuda yang pandai dan menarik sekali, Koksu.” “Bodoh! Dia itu amat berbahaya!” Koksu berkata lirih sehingga diam-diam Menteri Abigan merasa terkejut sekali. Koksu ini sungguh amat cerdik dan berbahaya sehingga dia amat mengkhawatirkan keselamatan cucu Puteri Khamila itu. Akan tetapi yang dikhawatirkan itu nampak tenang-tenang dan gembira saja. Memang hati Thian Sin merasa tenang karena kini dia sudah menguji kekuatan batin Sang Koksu dan dia mengerti bahwa walau pun dia tidak akan mampu menguasai koksu itu sepenuhnya, namun koksu itu bukan seorang ahli sihir dan juga tidak perlu mengkhawatirkan kekuatan batinnya. Betapa pun juga, sesudah melihat Sang Koksu berbisik-bisik dengan Menteri Abigan dan kemudian koksu itu memanggil komandan jaga seakan-akan memberi perintah sesuatu, dan melihat betapa penjagaan semakin diperketat, tahulah dia bahwa koksu itu menaruh curiga kepadanya sehingga dia tidak boleh turun tangan pada saat itu, karena tentu akan menghadapi pengeroyokan ratusan orang pengawal. Maka Thian Sin segera memainkan mangkok-mangkok dengan sepasang sumpit seperti yang pernah dia perlihatkan kepada Menteri Abigan serta rekan-rekannya, dan permainan ini pun mendapatkan sambutan tepuk tangan. “Cu-wi, sekarang saya hendak memperlihatkan permainan yang menarik. Kalau tak salah, saya tadi melihat ada kacang goreng di antara hidangan itu, bukan? Nah, sekarang biarlah saya menjadi sasaran. Cu-wi semua yang duduk di sebelah depan boleh menyambitkan kacang itu kepada saya dan semua kacang itu akan saya sambut dengan kedua tangan!” Terdengar seruan-seruan tidak percaya dari para tamu. Akan tetapi karena mereka amat tertarik, maka ada beberapa orang mulai menyambitkan beberapa buah kacang kepada pemuda itu. Dan benar saja. Pemuda itu menyambut kacang-kacang itu dengan kedua telapak tangan dikembangkan keluar. Anehnya, kacang-kacang itu beterbangan ke arah dua telapak tangan itu, ke bagian tubuh mana pun mereka menyambit. Melihat ini, semua tamu menjadi tertarik dan beterbanganlah kacang-kacang yang banyak sekali seperti hujan ke arah tubuh Thian Sin. Dan sungguh mengherankan sekali, semua kacang itu beterbangan hanya menuju ke arah kedua telapak tangannya kemudian jatuh di depan kaki Thian Sin sehingga sebentar saja di sana telah bertumpuk banyak kacang goreng! Hal ini sangat menggembirakan sehingga beberapa orang selir raja ikut pula menyambit! Terutama sekali selir bangsa Biauw itu yang menyambit dengan sikap yang amat menarik dan dengan senyum simpul penuh daya pikat! “Plakkk!” Tiba-tiba ada sambitan yang keras mengenai telapak tangan kiri Thian Sin dan pemuda itu melirik. Kiranya yang menyambitnya adalah koksu. Maka tahulah dia bahwa koksu ini memang memiliki kelebihan dari pada orang lain, akan tetapi dia tidak khawatir. Karena sambitan koksu itu pun tersedot oleh kekuatan yang dikerahkannya pada kedua telapak tangannya, maka dia pun dapat mengukur tenaga koksu itu. Sebaliknya, diam-diam Sang Koksu terkejut bukan main. Dia adalah orang yang sangat berpengalaman, baik dalam hal sastera mau pun silat. Maka kini dia pun menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan. Selain pandai sihir, pemuda ini pun pandai ilmu silat tinggi! Makin curiga hatinya. Tidak mungkin kalau seorang pemuda dengan ilmu kepandaian seperti itu hanya menjual kepandaiannya dengan menjadi seorang tukang sulap penghibur tamu! Tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi dalam pertunjukannya ini! Dia tadi telah mengerahkan pasukan pengawal untuk memperketat penjagaan dan terutama sekali untuk menjaga keselamatan rajanya. “Cukup…! Cukup…! Sayang sekali jika makanan dibuang-buang begitu saja!” kata Thian Sin sambil tertawa dan… kacang-kacang yang masih melayang membalik ke arah para penyambitnya. Akan tetapi tenaga membalik ini tidak terlampau kuat sehingga tak sampai melukai yang menyambit, melainkan justru membuat mereka tertawa-tawa sebab kacang-kacang itu ada yang mengenai kepala, muka dan tubuh mereka. “Sekarang saya akan memainkan suling. Harap cu-wi jangan mentertawakan, permainan suling saya ini hanya permainan dusun, dan untuk selingan saya juga akan membacakan sajak!” Semua orang menghentikan ketawa mereka hingga keadaan menjadi sunyi, seolah-olah semua orang terpesona oleh daya pikat yang keluar dari pemuda ini. Semua orang, juga termasuk keluarga sang raja, seakan-akan dengan sungguh-sungguh hendak mendengar permainan suling dan pembacaan sajak dari pemuda yang makin lama makin menarik hati mereka itu. Mereka tidak lagi melihat Thlan Sin sebagai orang Han, karena sungguh pun pemuda itu memakai pakaian Han, akan tetapi pemuda itu bicara bahasa daerah dengan lancar sekali dan sama sekali tidak kaku seperti orang-orang Han lainnya. “Pertama-tama, perkenankan saya memainkan lagu ‘Sebatang kara’.” Maka mulailah dia meniup sulingnya. Semenjak kecil Thian Sin memang senang bermain suling dan dia berbakat sekali. Bakat meniup suling ini menjadi semakin sempurna dengan tenaga khikang yang kini dimilikinya sehingga pada waktu meniup, bukan sekedar tupan angin belaka, melainkan tiupan yang mengandung tenaga khikang yang kuat. Dia meniup lagu yang sedih dengan sulingnya, maka terdengarlah suara suling yang melengking, mengalun tinggi rendah dan membuat jantung para pendengarnya bergetar. Para pendengar itu seakan-akan dapat menangkap keluh-kesah, rintihan dan ratap tangis yang memilukan terkandung dalam lengkingan suara suling yang mengalun itu. Suasana menjadi sunyi, semua semua orang tenggelam ke dalam perasaan, hanyut dalam buaian suara suling, bahkan tak terasa lagi, beberapa orang selir raja menyentuh-nyentuh bawah mata mereka dengan sapu tangan. Dengan nada yang semakin merendah seperti tangis yang kehabisan suara dan napas, akhirnya suling berhenti. Sebelum semua orang yang perasaannya terhanyut itu normal kembali, terdengarlah pemuda itu menyanyi, lagunya seperti yang dimainkan suling tadi, kata-katanya satu-satu dan jelas, dengan suara yang menggetar penuh perasaan pula. Bagai awan tunggal di angkasa terbawa angin semilir lembut tanpa tujuan tiada pangkalan sebatang kara tanpa harapan ayah bunda tewas bersama dikeroyok anjing serigala dendam membara membakar dada haruskah diam seribu kata biar diri banjir air mata? atau menjadi kilat bercahaya menggelepar gegap-gempita membersihkan noda dan dosa hutang dibayar budi dibalas? Semua orang menjadi terharu mendengar nyanyian ini, apa lagi karena dinyanyikan penuh perasaan. Para selir raja memandang bengong dan tidak terasa lagi ada yang menangis, menyembunyikan mata dan hidung di balik sapu tangan-sapu tangan sutera harum. Para tamu juga terpesona hingga sejenak terdiam. Mereka adalah orang-orang utara dan mereka tak merasa heran tentang orang-orang yang mati dikeroyok anjing serigala. Akan tetapi kepedihan dan kedukaan hati seorang anak yang agaknya ditinggal mati oleh ayah bundanya yang dikeroyok anjing serigala, baru sekarang ini terasa menusuk hati mereka. Menteri Abigan memandang dengan wajah pucat. Cucu Puteri Khamila itu terlalu berani! Nyanyiannya tadi terlampau mendekati kenyataan, terlalu mengandung sindiran. Untung agaknya Raja Agahai tidak sadar dan dialah yang pertama-tama bertepuk tangan memuji yang segera dituruti oleh semua orang. Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan memuji kepandaian pemuda itu. Akan tetapi ada satu orang yang tidak bertepuk tangan, dan orang ini adalah Koksu Torgan! Tentu saja Thian Sin juga tidak lengah dan diam-diam dia mengikuti gerak-gerik koksu ini. Dia melihat betapa di tengah-tengah tepuk sorak itu, Torgan menghampiri Raja Agahai dan bicara dengan asyik kepada raja itu yang mendengarkannya dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik ke arah Thian Sin. Pemuda ini cepat mengerahkan kekuatan pendengarannya dan mendengar bisikan-bisikan koksu itu kepada rajanya. “Harap Paduka berhati-hati. Pemuda itu pandai sihir, pandai silat dan sastera. Jelas dia bukanlah orang biasa dan kedatangannya yang menyamar sebagai tukang sulap ini tentu mengandung maksud yang tidak baik. Hamba akan mengawasi dia!” Demikian antara lain dia mendengar bisikan koksu itu kepada rajanya. Akan tetapi Thian Sin mengambil sikap tidak peduli dan dia sudah siap meniup sulingnya lagi, akan tetapi sekarang dia meniup dan memainkan lagu-lagu yang gembira sehingga wajah para tamu kembali cerah, terbawa oleh suara suling itu. Sesudah menghentikan tiupan sulingnya, Thian Sin lantas menyanyikan lagu itu dengan kata-kata yang memang sudah dirangkai dan dihafalkan sebelumnya. Kuhaturkan nyanyian ini sebagai doa dan puji kepada Pangeran Temuyin semoga berbahagia abadi bagaikan cahaya bulan bertahta di angkasa bebas dari rintangan awan yang lewat di bawahnya akan tetapi… ya Tuhan… “Ada yang tidak beres…!” Tiba-tiba pemuda itu menghentikan sajaknya dan mengeluarkan seruan ini dengan mata terbelalak memandang ke arah tempat ayunan di mana pangeran yang masih bayi itu diletakkan. Kemudian, pemuda ini lari menghampiri tempat itu, dan karena perbuatannya ini begitu tiba-tiba, bahkan Koksu Torgan sendiri tidak menduganya dan tahu-tahu pemuda itu telah tiba di dekat ayunan itu, menjenguk ke dalam. “Heiiii… mundur, jangan mendekati Pangeran!” Koksu Torgan berteriak sambil meloncat menghampiri dan para pengawal juga sudah memburu ke tempat itu. Akan tetapi dengan gerakan begitu cepatnya sehingga tak nampak oleh siapa pun, Thian Sin sudah menjamah pundak bayi itu dan pemuda ini berseru, “Celaka… Pangeran telah diracuni orang…!” Tentu saja ucapannya ini mendatangkan kejutan luar biasa. Raja Agahai sendiri meloncat menghampiri, demikian pula semua isterinya atau selirnya, dan tak ketinggalan selir suku bangsa Biauw yang cantik jelita itu. Semua orang memandang kepada bayi itu dan terkejutlah mereka. Bayi itu pucat sekali dan matanya mendelik, napasnya senin-kemis terengah-engah! Ibunya menjerit-jerit dan suasana menjadi panik. Dalam keadaan berjubel dan panik itu, tiba-tiba selir bangsa Biauw itu merasa pinggulnya dibelai dan dicubit tangan nakal. Ia terkejut sekali dan cepat menoleh dan ia melihat wajah tampan itu tersenyum. Ternyata kini Thian Sin sudah berada di belakangnya dan jelaslah bahwa pemuda ini yang tadi mencubit dan membelai bukit pinggulnya. Wajah selir ini menjadi merah sekali dan dia menahan senyumnya, matanya yang jeli itu mengerling penuh teguran. Thian Sin tersenyum dan kembali jari-jari tangannya mengelus punggung dan pinggul. Selir itu agaknya takut ketahuan orang, segera menjauhi Thian Sin dan mendesak mendekati ayunan. “Jangan kerumuni Sang Pangeran! Harap semua mundur, hamba dapat menyembuhkan Pangeran…!” Mendadak Thian Sin berseru lalu dengan sikap halus dia menyuruh semua orang mundur. Ketika Koksu Torgan agaknya tidak mau mundur, Thian Sin lalu menyentuh lengan serta pundak koksu itu sambil mendorong halus dan berkata, “Maaf, Koksu, harap suka mundur karena Sang Pangeran sakit keras dan hamba akan berusaha menyembuhkannya!” “Minggir kau, setan!” kata Koksu Torgan marah kemudian mengibaskan tangan Thian Sin dan mendorongnya. Thian Sin terhuyung ke belakang, lalu mengambil sikap seperti orang tak berdaya dan mengembangkan kedua lengan, menggeleng-gelengkan kepalanya. Koksu Torgan bersama Raja Agahai menjenguk ke dalam ayunan itu. Sang Raja melihat pembantunya ini memeriksa dengan teliti, lalu bertanya, “Bagaimana keadaannya?” “Ahhh, sungguh aneh sekali. Bukankah tadinya beliau segar bugar? Hamba sendiri tidak tahu kenapa beliau tiba-tiba bisa begini…,” kata Koksu itu bingung melihat keadaan Sang Pangeran. “Sebaiknya dipanggilkan tabib…” “Tabib tua akan dapat menolongnya!” Tiba-tiba Menteri Abigan yang juga sudah berada di situ berkata. “Tidak, sebaiknya tabib muda saja,” kata Koksu. Di istana terdapat dua orang tabib dan tabib muda lebih akrab dengan koksu, sedangkan tabib tua dianggap bersikap tidak acuh, bahkan lebih banyak bersemedhi. “Tapi tabib tua adalah ahli tentang racun!” kata Menteri Abigan. “Siapa bilang Sang Pangeran keracunan?” bentak Koksu Torgan. Akan tetapi Sang Raja sudah terpengaruh oleh ucapan Menteri Abigan, maka cepat-cepat dia berteriak, “Pengawal, panggilkan tabib tua, cepat!” Pengawal berlari-lari dan tak lama kemudian, di antara isak tangis ibu pangeran itu, sang tabib tua yang berpakaian seperti pendeta sudah memeriksa bayi itu. Tentu saja tabib ini adalah sahabat baik Menteri Abigan, yakni seorang tokoh tua yang juga tidak menyetujui cara-cara Raja Agahai memerintah dan sebelumnya memang tabib tua ini telah dihubungi Menteri Abigan untuk membantu. Setelah memeriksa beberapa lama tabib tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala, membuat Sang Raja merasa khawatir bukan main. “Bagaimana dengan anakku?” Mendadak Raja Agahai tidak sabar lagi, bertanya dengan nada suara membentak. “Ampun, Sri Baginda. Sang Pangeran ini keracunan, akan tetapi bukan sembarang racun. Yang keracunan adalah jiwanya karena terkena gangguan ilmu hitam. Ada roh jahat yang mengganggu dan hamba tidak berdaya melawannya…” “Omong kosong!” Tiba-tiba Koksu Torgan berseru. “Ini tabib muda sudah hamba panggil, sekarang biarlah dia yang memeriksa!” Dalam keadaan panik tentu saja Sang Raja tidak menolak semua uluran tangan dan tabib muda pun mulai memeriksa denyut nadi dan detik jantung. Tabib ini memang seorang yang pandai, walau pun tidak sepandai tabib tua yang sangat berpengalaman. Dia memandang heran dan berkata, seperti kepada dirinya sendiri. “Ada hawa aneh menguasai tubuhnya… tetapi beliau ini sebenarnya tidak sakit… hamba harus memeriksa lebih teliti lagi…” “Hemmm, pengaruh ilmu hitam adalah perbuatan setan. Mana ada tabib manusia biasa melawan setan yang mengerikan? Lihat baik-baik, ada bayangan setan menguasai Sang Pangeran, apakah kau tidak dapat melihatnya?” Ucapan ini terdengar jelas sekali oleh telinga tabib muda itu, walau pun tidak terdengar orang lain dan tabib muda itu terkejut, cepat memandang ke arah bayi dan… hampir saja dia menjerit ketika melihat adanya bayangan muka raksasa yang menakutkan di atas bayi itu. Dia meloncat mundur, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil. “Ehh, kau kenapa?” Koksu Torgan membentak. Tabib muda yang sudah dikuasai oleh kekuatan sihir yang tadi diucapkan oleh Thian Sin dengan pengiriman suara melalui khikang itu, kini menggigil dan berkata gagap, “Hamba… hamba tidak sanggup… melawan…” Tentu saja sikap dan ucapan tabib muda ini mengejutkan semua orang hingga tangis ibu pangeran itu semakin keras. Juga Sang Raja kini menjadi pucat dan bingung. Pada saat yang memang sudah dinanti-nanti oleh Thian Sin ini, dia lalu berkata, “Sri Baginda, apa bila paduka menghendaki kesembuhan Pangeran, perkenankan hamba yang menyembuhkan beliau.” Raja Agahai baru teringat kepada tukang sulap ini dan dengan girang serta penuh harapan dia segera menghampiri dan menarik lengan pemuda itu, disuruhnya berdiri, “Hauw Lam, kalau engkau bisa menyembuhkannya, kami sungguh berterima kasih kepadamu.” “Tapi… tapi hamba takut kepada Koksu…” “Takut apa?” bentak Koksu Torgan marah. “Kalau memang engkau dapat menyembuhkan pangeran, hayo cepat lakukan jangan banyak cerewet!” Namun Thian Sin tidak menjawab, melainkan berkata kepada Sang Raja, “Hamba mohon supaya semua orang mundur dan membiarkan hamba sendiri bersama Sang Pangeran. Kalau dikerumuni orang, hamba khawatir hamba takkan berhasil menyembuhkan beliau.” Mendengar ini, tentu saja Raja Agahai segera memerintahkan dengan suara lantang agar semua orang mundur, bahkan dia sendiri pun lalu mundur kembali ke tempat duduknya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang tadinya berkerumun, kembali ke tempat duduk masing-masing. Suasana menjadi sunyi dan tegang. Koksu Torgan sendiri terpaksa mundur, dan berdiri di pinggir dengan muka merah dan mata penuh perhatian ditujukan kepada Thian Sin untuk mengikuti setiap gerak-geriknya. Secara diam-diam dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersikap waspada dan panggung itu pun dikurung pengawal. Sebenarnya bukan panggung yang dikepung, melainkan pemuda yang masih dicurigai oleh koksu itu. Setelah semua orang mundur, barulah Thian Sin menghampiri ayunan itu. Tentu saja dia hanya berpura-pura saja memeriksa, karena bayi itu berada dalam keadaan begini adalah karena perbuatannya. Tadi dia telah melakukan totokan halus pada pundak bayi. Caranya menotok jalan darah adalah cara yang dipelajarinya dari kitab ayahnya, maka amat sukar bagi orang lain untuk mengetahuinya, apa lagi menyembuhkannya. Dan meski pun totokan halus itu tidak sampai membahayakan nyawa anak itu, akan tetapi cukup untuk membikin kacau jalan darahnya sehingga anak itu berada dalam keadaan pingsan, dan kalau tidak cepat mendapatkan pertolongan, dipulihkan lagi jalan darahnya, tentu saja dapat mengakibatkan kematiannya. Thian Sin memondong bayi itu keluar dari ayunan, dan membawanya ke tengah-tengah panggung. Hal ini memang disengajanya agar semua orang dapat melihatnya dan agar mendatangkan kesan yang lebih mendalam. Akan tetapi, Koksu Torgan menjadi semakin curiga maka diam-diam dia mempersiapkan anak buahnya, kalau-kalau pemuda itu akan menculik atau melarikan Sang Pangeran. Pada saat memondong pangeran itu, diam-diam Thian Sin telah memulihkan totokannya, akan tetapi dia tahu bahwa dia harus bersandiwara kalau memang hendak menimbulkan kepercayaan raja. Maka sambil membebaskan anak itu, diam-diam dia pun menekan urat gagunya sehingga walau pun anak itu sudah normal kembali, namun masih belum dapat menangis. Sekarang Thian Sin meletakkan anak yang terbungkus selimut itu di atas lantai panggung! Semua orang melihat betapa anak itu tidak mendelik lagi dan kaki tangannya sudah mulai bergerak-gerak! Sang Ibu dan juga Sang Raja girang sekali, akan tetapi terdengar Thian Sin berkata, suaranya terdengar menyeramkan karena mengandung khikang. “Sang Pangeran sedang dipengaruhi roh jahat…! Dan aku akan menandingi setan jahat itu, aku akan mengusirnya! Kalau roh jahat itu sudah terusir, barulah Sang Pangeran akan dapat menangis dan berarti Sang Pangeran sembuh benar-benar!” Suasana menjadi tegang kembali walau pun tadinya semua orang sudah merasa lega dan gembira melihat Sang Pangeran sudah dapat bergerak-gerak dan tidak mendelik lagi. Kini semua orang bagai tersihir memandang setiap gerak-gerik Thian Sin. Mereka meremang mendengar pemuda itu akan berkelahi melawan setan atau roh jahat! Sesudah mengeluarkan kata-kata yang menyeramkan tadi, Thian Sin lalu mengeluarkan suling dan meniup suling itu dengan suara yang melengking-lengking mengerikan. Semua orang terbelalak, dan hanya Menteri Abigan saja yang dapat menduga bahwa pemuda itu bersandiwara, sungguh pun dia sendiri tidak mengerti apa yang telah menimpa diri Sang Pangeran. Juga Koksu Torgan tidak membiarkan dirinya terpengaruh dan dia tetap saja memandang dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Sesudah merasa cukup untuk mencari kesan yang mendalam, terutama untuk membuat raja dan keluarganya tunduk kepadanya, suara sulingnya semakin menurun dan akhirnya berhenti sama sekali. Dan tiba-tiba, seperti diserang oleh lawan yang tidak nampak, tubuh Thian Sin terjengkang! Dia meloncat sambil berseru nyaring. “Iblis jahat, siapa takut padamu?!” Maka terjadilah ‘perkelahian’ yang membuat semua orang memandang dengan terbelalak sehingga tengkuk mereka terasa dingin dan meremang. Pemuda itu benar-benar sedang ‘berkelahi’ melawan sesuatu yang tidak kelihatan. Kadang-kadang terdengar suara seperti ledakan dan nampaklah asap mengepul ketika lengan pemuda itu bertemu dengan lengan atau benda lain. Kadang kala pemuda itu terhuyung, bahkan roboh, akan tetapi kadang-kadang pemuda itu juga seperti mendesak lawan. Thian Sin bersilat sembarangan, akan tetapi kadang-kadang mengerahkan sinkang untuk menciptakan suara ledakan beradunya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan uap seperti asap! Akhirnya dia berhenti bergerak, terengah-engah. “Iblis jahanam, kembalilah kepada orang yang menyuruhmu!” katanya, seolah-olah bicara dengan lawannya yang melarikan diri. Dia pun lantas membungkuk, memondong bayi itu dan seketika bayi itu menangis! Tentu saja bayi itu menangis sebab Thian Sin membebaskan totokan urat gagunya dan sekalian mencubit pahanya! Terdengar sorak kegirangan ketika bayi itu menangis dan kini Thian Sin membawa bayi itu kepada Sang Raja yang menyambutnya dengan mata basah, bahkan ibu pangeran itu tersedu-sedu! Semua orang memandang kepada Thian Sin seperti memandang kepada seorang pahlawan! Akan tetapi Thian Sin berbisik kepada raja, “Sri Baginda, apakah Paduka ingin mengetahui siapa yang sudah menyuruh roh jahat itu mengancam Sang Pangeran?” “Katakan siapa!” Raja berkata dengan marah sambil mengepal tinju. “Biarkan hamba bicara dengan Paduka, akan tetapi jangan ada yang turut mendengarkan rahasia ini,” bisik Thian Sin. Raja Agahai lalu menarik tangan pemuda itu, diajaknya ke pinggir dan tentu saja tidak ada yang berani mendekati mereka, bahkan Koksu Torgan hanya memandang dari jauh saja. Para selir raja masih kegirangan menimang-nimang Sang Pangeran yang sudah sembuh sama sekali itu. Para tamu melanjutkan pesta dalam suasana gembira dan semua orang membicarakan pemuda yang hebat itu. Sementara itu Thian Sin berbisik-bisik, “Harap Paduka bersikap tenang dan jangan dulu menunjukkan kemarahan sebelum orangnya dapat tertangkap. Paduka tentu akan terkejut sekali melihat adanya musuh di dalam selimut. Ketahuilah, Sri Baginda, yang melakukan perbuatan biadab ini adalah orang kepercayaan Paduka sendiri, yaitu Koksu Torgan.” “Ahhh…!” Raja Agahai terkejut sekali dan mukanya berubah pucat. “Mana mungkin…?” Thian Sin tersenyum. “Tentu saja Paduka tidak boleh percaya begitu saja. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah, karena nanti Paduka bisa membuktikan sendiri. Dan Koksu Torgan tidak bekerja sendiri, melainkan bersekongkol dengan salah seorang isteri Paduka sendiri…” “Hehhh…! Be… benarkah…? Hauw Lam, kalau engkau bukan penyelamat anakku, maka sekarang juga tentu engkau sudah kubunuh!” Raja itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan. “Hamba tahu, Sri Baginda. Dan hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Isteri Paduka yang bersekongkol adalah yang berbaju ungu itu…” Raja Agahai semakin marah. “Berani engkau menuduh demikian terhadap selirku tercinta dan pembantuku yang paling setia?” “Dapat dibuktikan, Sri baginda. Kalau tidak ada bukti, biar leher hamba taruhannya. Tadi, di waktu orang-orang berjubel, hamba melihat sendiri betapa selir Paduka itu diam-diam menyerahkan sesuatu benda kepada Koksu…” “Benda apa? Benda apa, keparat?!” Raja Agahai sudah marah sekali. “Hamba tidak tahu secara pasti, akan tetapi nampaknya sebuah peniti berbentuk burung hong merah…” Wajah raja itu pucat kembali. Burung hong merah? Peniti? Memang selirnya yang tercinta mempunyai benda ini, yang selalu dipakainya pada bajunya yang sebelah dalam, untuk menutupkan baju dalam itu di bagian dada. Betapa dia ingat dan mengenal sekali benda itu karena sering dia membukanya! Timbul keraguannya, karena dari mana pemuda ini mengerti tentang benda itu kalau tidak melihat sendiri? Dan benda yang dipakai di sebelah dalam itu tidak pernah nampak dari luar. “Be… benarkah…?” “Sri baginda, mengapa tidak memanggil koksu? Hamba yakin benda itu masih berada di dalam saku bajunya.” Kemudian disambungnya berbisik, “Sri baginda harap tenang dan sabar. Apa bila hal ini diketahui umum, berarti akan mencemarkan nama Paduka sendiri. Lebih baik sementara Paduka jangan melakukan tindakan terhadap isteri Paduka, agar orang luar tidak mengetahui persoalan ini. Dan isteri Paduka hanya terpengaruh sihir dan ilmu hitam koksu itu.” Raja Agahai mengangguk dan suaranya nyaring ketika dia membentak dan memanggil, “Koksu…!” Sejak tadi Koksu Torgan mengamati pemuda yang bercakap-cakap berdua saja dengan raja itu. Ketika melihat perubahan muka raja, diam-diam dia khawatir dan menduga-duga, apa gerangan yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika raja memanggilnya, dia terkejut dan cepat-cepat menghampiri. Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya pada waktu raja memerintahkan pengawal untuk menggeledahnya! Koksu Torgan terbelalak, seakan-akan tidak percaya akan pendengarannya sendiri ketika raja itu berkata kepada para pengawal pribadi raja itu, “Geledah dia!” Apa bila dalam keadaan biasa, dia tentu akan memukul mati para pengawal yang berani menjamahnya, Akan tetapi kini, dengan adanya perintah raja, tentu saja dia tidak berani berkutik, melainkan berlutut dengan sebelah kaki dan membiarkan dua orang pengawal menggeledah saku-saku bajunya. Menyaksikan pemandangan yang aneh ini, semua selir raja juga memandang bingung, juga para pengawal kebingungan. Dan di antara para tamu, hanya yang duduknya dekat panggung saja yang melihat hal itu, sedangkan mereka yang duduknya agak jauh tidak melihatnya. Sementara itu, Thian Sin memandang sambil tersenyum, akan tetapi dia siap untuk turun tangan kalau-kalau koksu itu hendak melawan. Koksu Torgan sendiri tentu saja dengan tenang membiarkan dirinya digeledah, sambil menahan marah karena dia dapat menduga bahwa perbuatan raja ini tentu ada hubungannya dengan pemuda Han itu. Dia merasa tenang sekali karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu dan tak merasa bersalah sedikit pun juga. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika di antara barang-barangnya sendiri yang dikeluarkan dari saku-saku bajunya, terdapat sebuah benda yang sama sekali tidak dikenalnya. Sebuah peniti indah berbentuk burung hong merah! Melihat ini, maka raja menjadi marah sekali. Itulah peniti selirnya yang tercinta, selir suku bangsa Biauw itu! Peniti yang biasanya menempel di baju dalam selirnya di bagian dada, kini berada dalam saku baju koksu itu! Hampir saja raja tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi dia teringat akan pesan Thian Sin dan maklum bahwa kalau dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya, tentu rahasia yang mencemarkan namanya akan bocor. Karena itu, dengan muka merah dia memberi perintah dengan suara ditekan sehingga tidak begitu keras, “Tangkap jahanam ini!” Koksu Torgan terkejut bukan main. “Tapi… Sri Baginda…!” Thian Sin telah melangkah maju, tersenyum dan berkata, “Koksu Torgan, apakah engkau hendak melawan perintah raja?” Torgan memandang kepada Thian Sin, maklum bahwa orang inilah yang menjadi biang keladinya, maka kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa dia berada di hadapan rajanya. Dia lalu mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya dan dia sudah menubruk maju lantas menyerang Thian Sin dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup dahsyat! Akan tetapi, Thian Sin sudah siap. Dia tahu bahwa orang ini bukan seorang lawan yang lunak, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, maka bertemulah dua lengan yang diisi penuh dengan tenaga sinkang itu. “Dessss…!” Diam-diam Thian Sin kagum dengan kekuatan lawan yang mampu membuat dia merasa terdorong ke belakang sehingga kedudukan kakinya tergeser. Akan tetapi, Torgan sendiri terpental lalu terhuyung ke belakang. Empat orang pengawal raja langsung menubruk untuk menangkap dan membelenggunya sesuai dengan perintah raja tadi. Akan tetapi bekas koksu itu meronta lalu kaki tangannya bergerak dan… empat orang pengawal itu terlempar dan terbanting dengan keras. Para pengawal lainnya cepat maju mengepung, dan Thian Sin berkata, “Harap kalian mundur, biarkan aku yang menangkap pemberontak ini!” Sementara itu, Raja Agahai marah bukan main melihat Torgan melawan itu. Dengan mata membelalak raja membentak, “Torgan! Beranikah engkau hendak menentang perintahku? Apakah engkau hendak melawan dan memberontak?” Torgan memandang ke kanan kiri. Dia sudah terkurung dan tahulah dia bahwa melawan berarti membunuh diri, apa lagi pemuda yang berada di depannya itu sungguh-sungguh memiliki kepandaian hebat. Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut. “Hamba tidak melawan, hanya merasa penasaran. Hamba difitnah…” “Hemm, hal itu masih akan dapat diusut lebih lanjut. Tangkap dia!” kata raja kepada para pengawal. Dan sekali ini Torgan tidak melawan dan membiarkan kedua tangannya dibelenggu para pengawal. Semua orang terkejut bukan kepalang, tidak tahu apa yang telah terjadi maka koksu itu ditangkap atas perintah raja sendiri di tempat pesta itu! Sementara itu, Menteri Abigan yang diam-diam merasa girang sekali akan hasil usaha cucu Puteri Khamila ini, cepat-cepat berlutut di hadapan raja. “Sri Baginda, tidakkah sebaiknya hamba mengakhiri saja pesta ini?” Raja Agahai yang masih amat marah itu mengangguk, kemudian dia memandang kepada selirnya yang tercinta itu dengan hati penuh kemarahan, cemburu dan juga masih belum terbebas dari rasa heran yang amat sangat. Pada saat Menteri Abigan mengumumkan ditutupnya pertemuan dan pesta itu, Thian Sin mendekati raja dan berbisik, “Sebaiknya jika Paduka mengajak semua keluarga ke dalam istana dan hamba sanggup untuk membuat selir itu mengaku tanpa banyak menimbulkan keributan.” Raja Agahai mengangguk. Kini dia percaya penuh kepada pemuda ini. Dengan singkat dia lalu memerintahkan supaya semua keluarganya kembali ke dalam istana. Puteri atau selir bangsa Biauw itu tadi belum melihat apa yang terjadi. Seperti para selir lainnya, dia sendiri juga masih terheran-heran, mengapa koksu ditangkap oleh raja dan mengapa raja marah-marah seperti itu. Maka, bersama keluarga raja, selir yang cantik ini pun lalu ikut masuk kembali ke dalam istana. Raja Agahai mengajak Thian Sin untuk masuk pula ke dalam istana. Menteri Abigan dan rekan-rekannya memandang dengan senyum kemenangan. *************** Selir bangsa Biauw itu memandang dengan kedua matanya yang indah terbelalak penuh keheranan pada waktu melihat Thian Sin berada dalam kamar raja itu. Dia tadi menerima panggilan raja melalui dayang pelayan dan dia tidak merasa heran oleh panggilan ini. Memang raja amat mencintanya dan sering kali dia menerima panggilan pada siang hari, tidak hanya pada malam hari saja. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar itu dan melihat pemuda tukang sulap yang amat menarik hatinya tadi berada pula di situ, dia terkejut dan terheran-heran sehingga dia segera menahan langkahnya, merasa ragu-ragu apakah dia harus terus masuk ataukah tidak. “Leng Ci, ke sinilah!” Raja memanggilnya, akan tetapi suara raja begitu kakunya sehingga membuat wanita Biauw yang bernama Leng Ci itu terkejut dan ketakutan. Ia melangkah maju sambil memandang wajah raja dengan penuh keheranan. Melihat raja marah, dia pun langsung menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat, apa lagi di situ terdapat orang luar. Kalau sedang berdua saja, tentu dia tidak banyak melakukan upacara penghormatan ini, melainkan langsung merangkul dan merayu raja untuk menghibur hati raja yang agaknya sedang dalam keadaan gundah. “Leng Ci, apakah engkau sudah merasa akan kesalahanmu?” Tiba-tiba raja bertanya dan wanita itu menjadi makin terkejut. Leng Ci mengangkat muka dan memandang wajah raja. Tubuhnya gemetar dan suaranya juga gagap ketika dia menjawab dengan pertanyaan pula, “Apa… apa… maksud Paduka? Hamba tidak mengerti…” cerita silat online karya kho ping hoo Raja telah bangkit dari kursinya dengan marah, akan tetapi Thian Sin yang duduk di kursi lainnya segera bangkit dan berkata halus, “Ingat, Sri baginda, harap tenang. Perkenankan hamba yang bertanya. Ingatlah bahwa dia sedang tidak dalam keadaan wajar melainkan dikuasai oleh pengaruh jahat.” Sebelumnya tadi memang Thian Sin sempat memberi tahukan raja bahwa wanita itu pun berada di bawah pengaruh kekuasaan koksu yang mempergunakan ilmu hitam, sehingga wanita itu tidak sadar apa yang dilakukannya! Tentu saja semua ini adalah karangannya sendiri saja. Sebetulnya, dalam keadaan berdesakan panik tadi, pada waktu mencubit pinggul Leng Ci Thian Sin telah mempergunakan kepandaiannya untuk mencuri peniti burung hong merah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya. Kemudian ketika dia mencegah koksu mendekati bayi, dia pun berhasil memindahkan peniti itu ke dalam saku baju Sang Koksu tanpa diketahui oleh orang itu pula. Raja menghela napas panjang. “Baiklah… baiklah…” Thian Sin kini menghadapi Leng Ci yang masih berlutut. Wanita itu mengangkat muka memandang kepadanya dan betapa herannya melihat pemuda itu tersenyum, kemudian mengejapkan sebelah mata kepadanya! Pemuda itu sungguh berani sekali, akan tetapi karena ketika itu berdiri membelakangi raja, tentu saja Agahai tidak melihat perbuatan ini. Sedangkan Leng Ci menduga-duga apa yang sedang terjadi dan mengapa pula pemuda itu berani bersikap demikian kepadanya. “Nyonya,” Thian Sin mulai berbicara dengan suara halus, akan tetapi dari nada suaranya terdengar sungguh-sungguh, “apakah nyonya kenal dengan benda ini?” tanyanya sambil membuka tangan kanan, memperlihatkan peniti yang tadi diterimanya dari raja. Leng Ci memandang benda itu, kemudian tangan kirinya tiba-tiba meraba dada. “Aihhh… bagaimana bisa berada di situ…? Itu… itu penitiku…” “Nah, peniti bajumu ini tadi terdapat oleh Sri Baginda berada di dalam saku baju koksu, nyonya.” Wajah Ceng Li menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak tidak percaya. “Ah, mana mungkin…?” “Kenyataannya demikian, masih mau mungkir?!” Tiba-tiba Raja Agahai membentak dan wanita itu menjadi semakin ketakutan. “Hamba… hamba tidak tahu…” “Nyonya, jangan takut. Mengakulah saja.” Sambil berkata begini, Thian Sin mencurahkan padang matanya yang mengandung penuh kekuatan sihir kepada wajah yang cantik itu. “Engkau disuruh oleh Koksu Torgan supaya membakar kertas jimat hu di bawah ayunan Sang Pangeran, benar tidak?” Leng Ci menundukkan mukanya dan mengangguk sambil menjawab lirih, “Benar…” Raja Agahai mengepal tinju, akan tetapi diam saja dan mendengarkan terus. “Kemudian, di dalam pesta dia menyuruhmu memberikan peniti kepadanya sebagai tanda bahwa engkau telah berhasil melakukan perintah itu, bukan? Benar tidak?” “Be… benar…” “Engkau mau melakukannya karena engkau dibujuknya, dan karena engkau pun merasa iri dengan lahirnya seorang pangeran dari isteri raja yang lain. Engkau mau melakukan hal ini karena engkau tidak menyangka buruk terhadap niat Koksu, bukan? Dia mengatakan bahwa jika engkau menuruti perintahnya, engkau kelak akan bisa mempunyai keturunan. Benar tidak?” “Benar…” Thian Sin menghadapi raja. “Nah, Paduka telah mendengar sendiri. Memang selir Paduka ini sudah bersalah, tapi dia bertindak bukan atas kehendak sendiri melainkan tepengaruh sihir. Koksu yang bersalah, karenanya dia patut diberi hukuman yang berat!” “Dia harus dihukum, sekarang juga!” teriak Raja Agahai dengah penuh kemarahan. “Akan tetapi, hamba harap Paduka mengampuni isteri Paduka yang melakukan hal itu di luar kesadarannya. Bahkan sampai sekarang pun dia masih berada dalam cengkeraman kekuatan sihir dari Koksu. Kalau Paduka tidak percaya, cobalah Paduka pandang dengan teliti, bukankah ada bayangan Koksu di atas kepalanya?” Raja Agahai memandang kepada selirnya yang tercinta itu dan dia pun terbelalak. Tanpa diketahuinya, Thian Sin telah mengerahkan kekuatan sihirnya dan kini raja itu melihat ada bayangan di atas kepala selirnya. Bayangan koksu Torgan! Maka dia mengangguk-angguk dan menjadi semakin marah kepada koksu, juga merasa seram. “Lalu bagaimana baiknya? Apa yang harus kami lakukan terhadap dirinya agar ia terlepas dari cengkeraman kekuasaan itu.” “Hamba sanggup mengobatinya seperti hamba mengobati Sang Pangeran. Akan tetapi, melawan iblis lebih ringan dari pada melawan koksu. Dia akan melawan sekuatnya untuk membebaskan sang puteri. Oleh karena itu perkenankan hamba mengobatinya di dalam kamar tertutup selama sehari semalam.” “Baik, bawalah dia ke kamarmu yang akan kami sediakan, dan obatilah sampai sembuh. Kalau dia sudah sembuh, barulah kami akan memutuskan, apa yang harus kami lakukan untuknya.” Raja Agahai sendiri merasa bimbang apakah dia harus menjatuhkan hukuman terhadap selirnya itu. Selir itu paling cantik dan paling menggairahkan, dia masih sayang padanya, apa lagi keterangan Thian Sin menimbulkan keraguan hatinya. Raja mengutus dayang untuk mengantarkan Thian ke dalam sebuah kamar tamu terbaik di dalam istana. Dan ketika Thian Sin menggandeng lengan selir itu, sang selir bangkit berdiri dan ikut dengan pemuda itu seperti boneka berjalan karena wanita itu sendirl juga masih bingung dengan peristiwa yang telah menimpa dirinya sehingga terjadi hal-hal yang dianggapnya amat aneh itu. Raja Agahai lalu memanggil semua pembantunya. Para menteri dan panglima berkumpul dan di dalam persidangan ini, Raja Agahai mengumumkan hukuman mati kepada Koksu Torgan. Tentu saja para pembesar itu, kecuali Menteri Abigan dan para rekannya, terkejut bukan main. Mereka semua masih belum mengerti mengapa koksu ditangkap atas perintah raja sendiri di dalam pesta itu, dan kini malah raja memutuskan hukuman mati terhadap koksu! Tentu saja sebagian di antara para teman Torgan merasa amat terkejut dan penasaran. Mereka semua tahu bahwa Torgan adalah seorang yang amat setia terhadap Raja Agahai serta menjadi pembantu terbaik dan terpercaya. Tentu saja beberapa orang pembesar segera mengajukan protes dan pertanyaan, kenapa dijatuhkan hukuman mati kepada koksu. Raja Agahai kemudian berkata, “Kalian semua telah melihat betapa putera kami telah mengalami gangguan roh jahat yang hampir saja menewaskannya. Untung ada pemuda sakti itu yang menyelamatkan jiwanya. Dan tahukah kalian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu? Bukan lain adalah Koksu Torgan!” “Ahhhh…!” Semua pembesar terkejut, bahkan Menteri Abigan sendiri terheran-heran dan kagum bukan main terhadap cucu Puteri Khamila itu, bagaimana siasatnya dapat berhasil sejauh ini. “Ampun, Sri Baginda. Harap Paduka suka memeriksa dengan seksama sebelum Paduka menjatuhkan keputusan. Siapa tahu ini hanya fitnah belaka,” kata mereka. “Hemm, kami sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada bukti dan ada saksi. Torgan telah berkhianat dan bermaksud memberontak. Dia sudah menggunakan sihir menguasai seorang di antara isteri kami, lalu membakar jimat di bawah ayunan pangeran dan sampai sekarang pun isteri kami itu masih di dalam kekuasaan sihirnya dan sedang diobati oleh Hauw Lam.” Perintah raja tak dapat dibantah lagi dan hari itu juga, Torgan menerima hukuman penggal kepala. Seperti biasa, kepalanya dipancangkan di tempat umum untuk menjadi peringatan bagi mereka yang berhati bengkok, yaitu mereka yang ingin menentang kekuasaan raja. *************** Sementara itu, setelah membawa selir bangsa Biauw yang bernama Leng Ci itu ke dalam sebuah kamar tamu mewah yang diperuntukkan baginya, Thian Sin segera menutup dan memalang daun pintu kamar, kemudian dia pun melepaskan kekuatan sihirnya atas diri wanita itu. Wanita itu tersadar dan terkejut sekali mendapatkan dirinya berada di dalam kamar tamu, dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia melihat Thian Sin berada di situ, duduk dan memandang kepadanya. Meski pun wanita itu merasa jantungnya berdebar dan mukanya merah, akan tetapi bukan karena marah, sungguh pun dia mengambil sikap seperti orang marah. “Kenapa aku berada di sini? Biarkan aku keluar!” Ucapannya ini dengan nada membentak dan marah. Thian Sin tersenyum. “Mau keluar? Silakan. Sri Baginda telah menanti untuk menjatuhkan hukuman berat padamu. Lupakah engkau bahwa perhiasan pakaian dalammu berada di dalam saku baju Koksu?” Mendengar ini, teringatlah Leng Ci akan segala persoalan yang menimpa dirinya, maka mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. “Ahh… apa yang terjadi? Bagaimana mungkin hal itu telah terjadi?” “Koksu menguasaimu dengan sihir sehingga engkau membantu Koksu untuk membunuh pangeran. Dan engkau telah mengakui semua hal itu kepada Sri Baginda tadi.” Muka itu semakin pucat. “Ahh, mana mungkin begitu? Aku… aku tidak pernah membantu Koksu, aku tidak pernah melakukan hal itu…” “Karena engkau tidak sadar, berada di bawah kekuasaan sihir Koksu. Engkau tadi sudah mengakui semua hal kepada Sri Baginda maka sudah semestinya kalau engkau dihukum berat, mungkin hukuman mati.” “Ahhh…!” Wanita cantik itu nampak ketakutan sekali. “Tapi… tapi mengapa aku berada di kamar ini bersamamu…?” “Aku sudah menyelamatkanmu dari hukuman mati. Aku yang minta kepada Sri Baginda agar engkau tidak dihukum karena engkau hanya diperalat oleh Koksu. Aku menyanggupi Sri Baginda untuk membebaskan engkau dari pengaruh sihir itu, dan kini engkau sudah terbebas dan engkau sudah teringat dan sadar kembali. Kalau tidak ada aku, Nona Leng Ci, engkau sekarang tentu telah menjadi setan tanpa kepala.” “Aihhh…” Leng Ci menggerakkan tangannya sehingga otomatis tangannya itu memegang lehernya. Sepasang mata yang indah itu memandang kepada Thian Sin, rasa takut dan ngeri masih membayangi mukanya dan dengan suara mengandung rasa takut ia berkata, “Ahh, kalau begitu… engkau sudah menyelamatkan nyawaku… tetapi… tetapi bagaimana selanjutnya? Apakah Sri Baginda mau mengampuniku…?” Thian Sin tersenyum. “Aku yang menanggung, engkau takkan diganggu oleh Sri Baginda. Akan tetapi, sesudah aku menolongmu dan sekarang aku menjamin keselamatanmu, lalu imbalan atau hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?” Wanita itu segera melangkah maju menghampiri. Wajahnya serius sekali. Hal ini adalah menyangkut kehidupannya dan keselamatannya. Sesudah dia teringat akan segala yang telah terjadi, maka harapan satu-satunya ia gantungkan kepada pemuda ini yang agaknya dapat mempengaruhi raja dan menjadi satu-satunya orang yang mampu menyelamatkan dirinya. “Kongcu… tolonglah saya… imbalan apa saja yang kongcu kehendaki, pasti akan saya berikan! Perhiasan? Akan saya serahkan semua milik saya.” Thian Sin tersenyum. “Perhiasan? Agaknya aku bisa memperoleh yang lebih banyak dari raja. Tidak, nona manis, aku tidak butuh perhiasan.” “Lalu apa lagi yang dapat kuserahkan? Aku tidak punya apa-apa lagi…!” Leng Ci berkata dengan bingung dan rasa khawatirnya bertambah. Thian Sin tersenyum, girang hatinya melihat wanita itu dicekam ketakutan hebat. “Nona Leng Ci, pada saat belum terjadi sesuatu dan aku diperkenalkan kepada raja, aku melihat sinar matamu ketika memandangku dan gerak bibirmu saat tersenyum kepadaku. Kemudian, ketika aku meraba dan membelai pinggulmu, engkau sama sekali tidak marah atau berteriak, apakah artinya semua itu?” Menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat dia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali dia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, ada pun bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu tampak makin menggairahkan, lalu katanya lirih, “Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu…” “Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu lantas mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, maka engkau akan menerimanya dengan hati girang?” Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya itu, dan membuka segala-galanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci cepat menundukkan mukanya karena dia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa dia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini. “Ihhhh… siapa jatuh cinta…?” Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin. “Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang akan melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepada nona yang sangat cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, dan bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa…” Sambil menghentikan kata-katanya dan menatap dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu. Biar pun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, akan tetapi Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan dua lengan itu melingkari tubuhnya dan dia pun tak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga dia terduduk di atas pangkuan pemuda itu. “Engkau senang begini?” tanya Thian Sin. “Bukan hanya untuk membalas budi?” Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan dia pun berkata, “Tapi… tapi… Sri Baginda…” Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri. “Ahh, kiranya dalam keadaan begini pun engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?” “Bukan… bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, sesudah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku lalu dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri serta untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi… tadi aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?” “Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!” “Tidak… tidak, kongcu… ahh, tentu saja aku lebih suka padamu. Kalau memang engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biarlah mati hidup aku selalu bersamamu.” Wanita itu menubruk dan merangkulnya. Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum. “Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?” Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya pada saat Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam di dalam buaian natsu birahi yang amat panas. Sejak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, sudah lebih dari setengah tahun Than Sin sama sekali tak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Selama berbulan-bulan dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya sambil menahan nafsunya. Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sesungguhnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apa bila pertemuan antara mereka tak ubahnya seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, di mana ikan itu dapat berenang sepuasnya. Dengan dalih ‘mengobati’ Leng Ci, maka Thian Sin dapat bersenang-senang sepuasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja bila mana menanyakan keadaan selirnya tercinta. “Sedikit lagi Sri Baginda,” Thian Sin menjawab dari dalam kamar. “Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu…” “Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?” bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu. “Justru itulah!” jawab Thian Sin cepat, “Rohnya yang jahat itu sedang membalas dendam dan hendak mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka.” Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, yang mengantar makan minum dan sebagainya, hanya dibolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk. Mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu! Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Sekarang wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, amat tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah betul-betul jatuh cinta kepada Thian Sin. Dan pada waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela. Dia sendiri keluar melalui jendela untuk mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang menyiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai. Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima serta pembesar akan kelaliman Agahai, juga mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini sehingga pada saat yang telah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka! Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali. Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapa pun juga, di dalam hatinya ada rasa cemburu mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, sudah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar. Karena keinginan tahu yang sangat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan langsung dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat memeluknya kembali. “Silakan masuk!” terdengar suara Thian Sin, “Daun pintu tidak terkunci.” Raja Agahai mendorong daun pintu lantas memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul. Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali, dan dia lalu melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti. Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini kembali melangkah maju menghampiri untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan matanya tidak berubah, masih tetap seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis dan kusut, seperti juga rambutnya, tengah duduk di atas pangkuan pemuda itu! Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan sepasang lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan! Dan Thian Sin seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, kemudian menunduk dan pada lain saat keduanya telah berciuman dengan mesra sekali. Raja itu melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul makin ketat. Mereka berciuman lama sekali dan Thian Sin baru menghentikan ciumannya setelah mendengar sang Raja membentak. “Keparat! Apa artinya ini?” Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap sebagai penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih merasa ragu. Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya! Thian Sin mengangkat muka memandang, lalu tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja langsung terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena sedang kehausan ataukah terlalu puas, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak birahi. Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata, “Manis, si tua bangka ini telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya.” Leng Ci tersenyum dan mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan. Baju dalamnya tersingkap hingga nampak bukit buah dadanya yang biasanya sangat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, kini wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking terkejut dan marahnya sesudah mendengar ucapan Thian Sin tadi. “Hauw Lam! Apa artinya ini?” Kembali dia membentak. Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong yang menakutkan Sang Raja. “Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci sudah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau sudah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!” Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa artinya ini…? Siapa… siapa engkau…?” “Hemmm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Torgan, melainkan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa pun terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?” Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main. “Tapi… mengapa? Apa yang terjadi?” Raja itu berteriak bingung. “Kepadamu aku pernah mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin…” Raja Agahai undur selangkah. “Apa…?! Kau… kau Ceng… Ceng Thian Sin…!” “Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?” “Thian Sin! Engkau… cucu keponakanku sendiri…!” “Tak perlu kau bersandiwara lagi, Agahai. Ayah bundaku tewas karena pengeroyokan, dan engkau juga memegang peran dalam pembunuhan itu. Engkau mengirim pasukan pilihan untuk ikut mengeroyoknya. Engkau berhutang nyawa ayah bundaku!” Mendengar ucapan ini, Raja Agahai baru sadar bahwa dirinya terancam bahaya. Cepat dia membalikkan tubuhnya hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin telah berdiri di depannya, menghadang antara dia dan pintu. Marahlah Agahai. Betapa pun juga, dia bukanlah seorang pria lemah. Dicabutnya pedang dari pinggangnya. “Pengkhianat busuk!” bentaknya dan pedangnya menyambar. Akan tetapi, dengan tenang saja Thian Sin menggerakkan tangannya menyambut pedang itu, mencengkeram pedang dengan tangan kirinya. “Kraakkk!” Pedang itu pun patah-patah, seolah-olah terbuat dari pada benda yang lunak saja. Agahai memandang dengan mata terbelalak dan kini wajahnya menjadi benar-benar pucat. “Pengawal…!” teriaknya dengan suara lantang memanggil para pengawal pribadinya. Akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sunyi saja di luar kamar itu, hanya terdengar suara beradunya senjata agak jauh dari situ, dan suara hiruk-pikuk orang berkelahi. Thian Sin tersenyum. “Semua pengawal serta pembantumu pada saat ini sedang diserbu dan dibasmi. Engkau harus berhadapan dengan aku tanpa bantuan siapa pun!” Raja Agahai menjadi amat ketakutan dan karena ingin meloloskan diri, dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan suara bagai seekor srigala kelaparan, dia meloncat dan menerkam pemuda itu dengan kedua tangan menyerang dari kanan kiri. “Plakkk!” Thian Sin menampar, tidak mengerahkan tenaga terlalu besar hingga raja itu terpelanting, pipi kanannya bengkak dan membiru. Sejenak Agahai nanar dan matanya liar, bagaikan mata seekor harimau yang sedang tersudut. Thian Sin berdiri dengan bertolak pinggang, menghadang di depan pintu, tersenyum, namun senyuman yang mengandung kebencian mengerikan....


PENDEKAR SADIS JILID 23 :
AGAHAI sudah bangkit kembali lantas mundur-mundur, seperti hendak melakukan ancang-ancang untuk menyerang lagi. Akan tetapi, raja yang cerdik dan licik ini tiba-tiba meloncat ke belakang, ke arah pembaringan! Thian Sin kaget bukan main, akan tetapi Raja Agahai telah dapat menerkam tubuh Leng Ci, menarik dan mencekik leher wanita itu. “Kalau kau maju, akan kupatahkan batang lehernya!” Dia mengancam kepada Thian Sin, sedangkan Leng Ci meronta-ronta tidak berdaya. “Hayo buka pintu dan minggir, biarkan aku lewat!” Diam-diam Thian Sin kagum juga akan kecerdikan raja itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia tertawa. Suara tawanya demikian mengerikan dan aneh sebab memang dia mengerahkan tenaga khikang dalam suaranya. Raja Agahai memandang dengan heran dan merasa aneh, namun inilah kesalahannya. Begitu dia memandang dengan perasaan tertarik, dia sudah terperangkap dan berada di dalam pengaruh kekuasaan ilmu sihir yang dikerahkan pemuda itu. “Ha-ha-ha, Agahai, apakah engkau sudah gila? Lihat baik-baik apa yang kau cengkeram itu? Yang kau cekik hanya sebuah bantal!” Agahai terkejut, kemudian dia cepat memandang kepada Leng Ci yang tadi diringkus dan dicekiknya. Dan hampir saja dia berteriak kaget serta penuh kekecewaan karena ternyata memang benar, yang diringkusnya itu tidak lain hanyalah sebuah bantal! Kemarahan yang meluap-luap membuat dia mengangkat ‘bantal’ itu dan melemparkannya dengan tenaga sepenuhnya ke arah dinding. Kini Thian Sin yang terkejut bukan kepalang. Tentu saja yang diringkus oleh raja itu sama sekali bukan bantal, namun tubuh Leng Ci yang denok! Dan ketika tubuh itu dilemparkan oleh raja, Thian Sin yang tidak menyangkanya sama sekali tidak mampu lagi mencegah. Terdengar suara keras ketika tubuh itu terbanting dan menghantam dinding. Saat terjatuh ke lantai, tubuh itu sudah tidak bergerak lagi dan dari kepala yang mengalirkan darah, dari kedudukan leher yang terkulai, tahulah Thian Sin bahwa mata indah yang terbuka lebar itu tidak melihat apa-apa lagi. Leng Ci telah tewas dengan kepala retak! “Agahai, manusia busuk! Manusia keparat kau! Kau membunuh dia… ah, kau membunuh Leng Ci…!” Thian Sin marah sekali. Dia belum pernah jatuh cinta dalam arti kata yang sesungguhnya sehingga permainannya dengan Leng Ci itu pun tidak dapat dikatakan cinta, melainkan lebih terdorong oleh nafsu birahi belaka. Akan tetapi, melihat Leng Ci yang sama sekali tak berdosa itu harus tewas dalam keadaan demikian menyedihkan, dan semua itu karena ulahnya sehingga Leng Ci dapat dibilang mati karena dia, hal ini membuat Thian Sin merasa berduka dan marah sekali. Diterjangnya Raja Agahai. Raja ini mencoba untuk membela diri dan berteriak-teriak memanggil pengawal-pengawal. Akan tetapi tidak ada seorang pun pengawal yang datang, dan dia pun tentu saja tidak berdaya sama sekali menghadapi tamparan-tamparan Thian Sin. Terdengar suara keras berkali-kali dan pada waktu raja itu terpelanting dengan muka yang bengkak-bengkak dan berdarah, Thian Sin masih terus menyusulkan tendangan-tendangan yang membuat raja itu jungkir balik dan jatuh bangun. Akan tetapi pemuda ini tidak pernah menggunakan tenaga saktinya, karena dia tidak mau membunuh Agahai begitu saja. Dia masih belum selesai berurusan dengan raja ini, maka betapa pun marah dan menyesalnya atas pembunuhan terhadap diri Leng Ci, dia belum mau membunuh raja itu, hanya menyiksanya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan. Yang membuat pemuda ini menyesal adalah, bahwa terbunuhnya Leng Ci sesungguhnya karena dia. Raja itu membunuhnya tanpa sengaja, mengira bahwa yang dicengkeramnya tadi benar-benar bantal sehingga saking kecewanya bantal itu lantas dilemparkan. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, dan Thian Sin menghentikan pemukulan-pemukulannya terhadap raja itu pada saat melihat bahwa yang muncul adalah Ratu Khamila, neneknya. Ternyata sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh Menteri Abigan bersama rekan-rekannya, bekas Ratu Khamila yang dipenjara ini cepat-cepat dibebaskan dan dibawa ke istana, setelah para pasukan pemberontak berhasil menguasai istana dan sebagian besar dari para pengawal Raja Agahai yang setia dibinasakan dan sebagian lagi yang menyerah lalu ditangkap. Istana dibersihkan dari pengikut-pengikut Agahai, dan sekarang istana telah dikuasai oleh pasukan penjaga pemberontak. Setelah itu Ratu Khamila baru dibebaskan dan dijemput, dibawa ke istana. Dan ratu ini, bersama Menteri Abigan serta beberapa orang panglima dan pengawal, lantas datang ke kamar Thian Sin di mana pemuda itu sedang menghajar Raja Agahai. Raja Agahai yang melihat munculnya Ratu Khamila dengan beberapa orang menteri dan panglima, maklum bahwa dia terancam. Dia belum tahu apa yang terjadi di luar, tidak tahu bahwa para pengawalnya sudah terbasmi. Namun, melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun pengawal yang muncul ketika dia berteriak-teriak minta tolong, dia pun telah dapat menduga apa yang telah terjadi. Maka kini melihat munculnya Puteri Khamila, tahulah dia bahwa permainan telah berakhir dan bahwa dia telah kalah total. Pemuda itu adalah putera tunggal Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han Houw dan pemuda itu sudah tahu bahwa dia ikut ambil bagian dalam pengeroyokan pangeran itu dan isterinya sampai mati. Tiada harapan lagi baginya, maka dia pun tidak banyak tingkah lagi. “Agahai, sudah tahukah engkau akan semua dosa-dosamu?” kata Ratu Khamila dengan suara halus namun penuh teguran. Rasa sakit hati ratu ini akibat dia ditawan tak sedalam saat dia mendengar bahwa puteranya tewas oleh pengeroyokan yang sebagian dilakukan orang-orangnya Agahai. Agahai yang sudah putus asa itu tertawa. “Hemm, kalian lihat saja nanti kalau pasukan-pasukanku bergerak dan menghancurkan kalian semua!” Seolah-olah menjawab kata-kata Agahai ini, tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk dan teriakan-teriakan banyak orang yang datangnya dari luar istana. Dan seorang pengawal datang tergopoh-gopoh, melapor kepada Menteri Abigan, didengarkan oleh Thian Sin dan juga oleh Agahai. “Taijin, di luar istana sudah penuh dengan pasukan dan rakyat. Mereka itu berteriak-teriak menuntut penjelasan akan apa yang terjadi di dalam istana. Suasana buruk sekali, dan di antara mereka itu telah terjadi perpecahan. Agaknya masih banyak di antara mereka yang mendukung dia!” kata pengawal itu sambil menuding ke arah Agahai dengan wajah penuh kebencian. Mendengar ini, Agahai lalu tertawa bergelak. Wajahnya menyeramkan sekali. Wajah yang bengkak-bengkak dan matang biru, berdarah-darah pula, dan kini wajah itu terangkat dan bergoyang-goyang ketika tertawa, seperti iblis dalam dongeng. Tiba-tiba Thian Sin menangkap leher bajunya, menotoknya sehingga raja itu tidak mampu bergerak lagi, lantas menyeretnya keluar. “Silakan mengikuti saya ke menara istana, saya akan bicara dengan mereka!” Mendengar ini, Ratu Khamila mengangguk, dan para menteri bersama panglima itu juga mengikuti dari belakang. Thian Sin membawa bekas raja itu naik ke loteng menara dan tidak lama kemudian nampaklah dia bersama raja itu di atas menara, di panggung atas bersama Ratu Khamila dan para menteri yang setia. Melihat ini, pasukan dan rakyat yang berjubel di luar istana, semua memandang ke arah panggung menara itu. Terdengarlah teriakan-teriakan yang simpang-siur. “Hidup Puteri Khamila…!” “Hidup Raja Agahai…!” Dari teriakan-teriakan ini saja jelaslah bahwa memang sudah terjadi perpecahan di antara rakyat dan pasukan. Keadaan sungguh gawat dan timbul ancaman perang saudara. Meski pun sudah tertotok dan tidak berdaya, Raja Agahai tersenyum mendengar teriakan-teriakan yang jelas menyanjungnya itu, dan masih ada secercah harapan pada wajahnya. Akan tetapi, ketika Thian Sin menariknya agar berdiri lebih tinggi sehingga seluruh orang yang berada di bawah melihatnya dengan jelas, melihat mukanya yang bengkak-bengkak, penghias kepalanya yang khas sebagai raja itu sudah tidak ada lagi dan rambutnya dalam keadaan awut-awutan, maka timbullah rasa khawatir pula di dalam hatinya. “Rakyatku, pasukanku, dengarlah!” Mendadak terdengar suara Puteri Khamila, suaranya halus namun cukup nyaring sehingga terdengar oleh semua orang dan keadaan menjadi amat sunyi karena semua orang yang berada di bawah ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan oleh bekas ratu ini. “Kalian semua tentu masih ingat kepada putera tunggalku, putera tunggal mendiang Raja Sabutai yang kalian cinta, yaitu Pangeran Oguthai, bukan?” Terdengar sorakan menyambut pertanyaan ini. Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang tidak tahu siapa adanya Pangeran Oguthai yang dahulu pernah berkunjung bersama isteri dan puteranya, dan betapa pangeran yang mempunyai kepandaian tinggi dan membuat semua orang bangga itu menolak ketika hendak diminta untuk membantu pemerintahan Raja Agahai. Puteri Khamila mengangkat kedua tangannya ke atas dan semua orang pun segera diam. Keadaan menjadi sunyi kembali. “Sekarang dengarlah baik-baik, rakyatku. Kalian tentu tahu betapa Agahai yang menjadi raja sudah menyalah gunakan kekuasaan, senang merampas anak gadis dan isteri orang, mengejar kesenangan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan rakyatnya. Lihat, betapa kita telah menjadi amat lemah dan yang lebih celaka lagi, Agahai tak segan-segan untuk bertindak khianat dan curang. Aku yang menentang dan menasehatinya supaya dia suka menghentikan penyelewengannya, telah dia tahan sebagai seorang penjahat! Akan tetapi, hal ini tidak menyakiti hatiku. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa dia sudah menyuruh pasukan, bersekongkol dengan pasukan Beng dari selatan, untuk mengeroyok kemudian membunuh Pangeran Oguthai dan isterinya!” Semua orang terkejut, baik yang pro mau pun yang anti kepada Agahai. Tak disangkanya raja mereka itu melakukan hal yang kejam ini. “Untung bahwa putera Pangeran Oguthai, yang pernah berkunjung ke sini ketika masih kecil, berhasil lolos dari pengkhianatan itu. Dan kalian hendak tahu siapa pemuda ini? Dia inilah Ceng Thian Sin, putera tunggal Pangeran Oguthai! Dialah keturunan langsung dari mendiang Raja Sabutai!” Puteri Khamila meneriakkan ucapan ini, sungguh pun bertentangan dengan suara hatinya. Hanya dia sendiri yang tahu bahwa Thian Sin sama sekali bukan keturunan Sabutai, akan tetapi keturunan Kaisar Beng-tiauw! Mendengar ini, semua orang bersorak-sorai! Kemudian Thian Sin yang maju dan dengan suara lantang, dia pun berkata, “Saudara-saudara sekalian! Setelah mendengar keterangan Puteri Khamila yang menjadi nenekku, apakah masih ada yang hendak membela Agahai? Dia seorang raja lalim! Dia malah telah membunuh Koksu Torgan yang membantunya! Dan dia baru saja membunuh selirnya yang berbangsa Biauw itu! Dan kedatanganku di sini di samping untuk membalas kematian ayah bundaku, juga untuk menyelamatkan rakyat orang tuaku dari cengkeraman raja lalim semacam Agahai ini! Nah, katakanlah, siapa yang hendak membelanya? Para panglima telah berpihak kepada kami dan istana sudah kami duduki. Siapa yang hendak membela dia?” Tidak ada yang menjawab. Semua orang maklum bahwa memang raja mereka itu tidak sebaik mendiang raja yang lalu, dan telah melakukan hal-hal yang membuat rakyat tidak puas dan juga membuat mereka menjadi bangsa lemah yang tersudut. “Nah, kalau begitu, aku hendak menyerahkan kepada kalian apa yang harus kita lakukan pada Agahai yang telah membunuh ayahku Pangeran Oguthai, dan yang telah melakukan penindasan terhadap kalian. Apa yang harus kita lakukan?” “Bunuh dia!” “Bunuh Agahai raja lalim!” “Jangan ampunkan dia!” Teriakan itu makin lama semakin banyak disusul oleh yang lain-lain dan akhirnya hampir semua di antara orang-orang itu berteriak-teriak untuk membunuh Agahai. Mendengar ini, menggigil seluruh tubuh Agahai dan habislah harapannya. Memang ini yang dikehendeki oleh Thian Sin. Dia lalu mengangkat tubuh Agahai tinggi-tinggi dan terdengarlah suaranya yang lantang. “Kalau begitu, kuserahkan kepada kalian! Terserah apa yang akan kalian lakukan dengan binatang busuk ini!” Dan sekali menggerakkan kedua lengannya maka melayanglah tubuh Agahai ke bawah dan pada saat itu pula dia pun membebaskan totokannya. Terdengar jerit mengerikan, jeritan dari mulut Agahai yang bukannya merasa ngeri karena melayang ke bawah, melainkan ngeri melihat ratusan pasang tangan seperti cakar-cakar harimau hendak mengkoyak-koyak tubuhnya. Dan memang tubuhnya segera terkoyak-koyak ketika dia disambut oleh orang-orang yang mendendam padanya itu. Semua orang ingin memukulinya, menendangnya, menjambak rambutnya sehingga akhirnya tubuhnya benar-benar terkoyak habis, dan hanya darah dan potongan-potongan daging saja yang tertinggal di situ sesudah semua orang memuaskan nafsu dendam mereka terhadap raja lalim itu. Bersama dengan tewasnya Agahai, tewas pulalah para pembantunya dan para panglima yang dahulu memimpin pasukan dan ikut mengeroyok Pangeran Ceng Han Houw. Thian Sin menyaksikan sendiri hukuman pancung kepala terhadap pasukan dan komandannya itu, akan tetapi ketika para panglima yang setia kepadanya hendak menangkapi keluarga Agahai, Puteri Khamila melarangnya. “Betapa pun juga, Agahai adalah keluarga mendiang Raja Sabutai, dan karena hanya dia yang berdosa, maka biarlah keluarganya dibebaskan dari pada hukuman.” Thian Sin tidak membantah keputusan neneknya ini, karena dia pun sudah puas melihat semua pengeroyok ayah bundanya telah dijatuhi hukuman mati. Malah sesudah tujuannya datang di tempat ini telah terlaksana, yaitu untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya terhadap Raja Agahai, Thian Sin tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat itu. Para menteri dan panglima yang tahu bahwa putera Pangeran Ceng Han Houw itu adalah seorang pemuda yang sakti, mengajukan usul kepada Puteri Khamlia supaya pemuda itu dapat menjadi raja, menggantikan Agahai dan hal itu dianggap sudah sepatutnya dan sah karena walau pun pemuda itu mempunyai seorang ibu berbangsa Han, namun dia adalah keturunan langsung dari Raja Sabutai. Tentu saja hanya Puteri Khamila yang tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak mempunyai darah Raja Sabutai sedikitpun juga! Tapi usul ini amat berkenan di hati Sang Puteri, maka dia pun mencoba untuk membujuk Thian Sin agar mau menerima usul itu. Akan tetapi, dengan tegas Thian Sin menolaknya, bahkan kemudian memperingatkan kepada para menteri agar mengangkat Ratu Khamila sebagai ibu suri sekaligus juga sebagai pejabat raja sebelum memilih pengganti raja, dan kemudian menyerahkan kepada kebijaksanaan Ratu Khamila untuk memilih raja. Tentu saja Ratu Khamila menjadi kecewa sekali. Akan tetapi cucunya itu berkata dengan suara tegas, “Harap nenek mengerti bahwa masih banyak hal lainnya yang harus saya selesaikan, dan terutama sekali membalas dendam terhadap musuh-musuh yang sudah membunuh ayah bundaku. Selain itu, juga sedikit pun saya tidak berminat untuk menjadi raja, maka terserahlah kepada nenek untuk menentukan siapa yang patut untuk menjadi seorang raja yang baik.” Akhirnya Ratu Khamila terpaksa menyetujui dan pada hari Thian Sin pergi meninggalkan tempat itu, Ratu Khamila mengumumkan bahwa yang diangkat menjadi calon raja tetap saja adalah putera Agahai, sebagai satu-satunya pangeran yang merupakan keturunan keluarga Raja Sabutai. Akan tetapi, sebelum anak itu besar, Ratu Khamila sendiri yang memegang jabatan wakil raja. Bukan hanya Thian Sin seorang, melainkan hampir semua manusia di dunia ini selalu haus akan kepuasan, selalu mengejar-ngejar sesuatu yang dibayangkannya sebagai hal yang menyenangkan. Pengejaran akan sesuatu yang menyenangkan ini, kalau berhasil, memang dapat mendatangkan kepuasan. Akan tetapi, apakah artinya kepuasan? Dapat kita rasakan sendiri bahwa kepuasan hanya terasa selewat saja. Pengejaran akan sesuatu, baik ‘sesuatu’ itu merupakan benda atau pun gagasan, sudah pasti disebabkan karena sang pengejar, yaitu si aku atau pikiran yang membayangkan itu, membayangkan adanya kesenangan yang didapat pada sesuatu yang dikejar-kejar itu. Kepuasan ialah keinginan yang terpenuhi, yang kemudian dilanjutkan dengan kenikmatan kesenangan yang didapat itu. Tetapi, seperti juga kepuasan yang hanya dapat dinikmati sebentar saja, demikian pula kesenangan ini tidaklah bertahan lama. Segera tempatnya diduduki oleh kebosanan akan sesuatu yang tadinya dikejar-kejar itu, dan pikiran yang tak pernah mengenal puas akan membayangkan kesenangan dalam pengejaran sesuatu yang lain dan baru lagi, yang dianggap lebih berharga, lebih nikmat, lebih berbobot dan sebagainya. Sesuatu yang pertama tadi, yang dikejar-kejarnya setengah mati, kalau perlu berebutan dengan orang lain, akan menjadi sesuatu yang sama sekali tidak menarik. Bukan karena sesuatu yang pertama itu telah merosot atau berubah mutu dan nilainya, melainkan si aku yang tidak memberinya nilai lagi, karena si aku telah tertarik oleh sesuatu yang ke dua. Dan kita pun terseret dan hanyut oleh keinginan yang tiada akan habisnya selama kita masih hidup. Mata ini tidak pernah memandang apa yang ada di dalam jangkauan kita, melainkan selalu memandang jauh ke depan. Yang berada di tangan tidak akan pernah dapat dinikmatinya, tetapi yang dianggap indah, menyenangkan dan nikmat selalu adalah yang berada jauh di depan, yang belum terjangkau. Dan semua ini lalu disebut dengan kata-kata indah, yaitu cita-cita! Ada pula yang menamakan kemajuan. Padahal keindahan itu terdapat dalam keadaan sekarang ini, yang berada di depan kita, yang kita rasakan setiap saat. Karena kita tidak pernah mengamati yang ‘ini’ dan selalu mencari-cari serta memandang kepada yang ‘itu’, maka hanya yang begitu sajalah yang indah, sedangkan yang begini sama sekali tidak nampak lagi. Kita sudah demikian mabuk oleh angan-angan kosong, oleh gambaran-gambaran yang kita buat sendiri, oleh cita-cita, sehingga kehidupan kita tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Kita keenakan bermimpi membayangkan yang indah-indah, yaitu yang belum ada sehingga dengan demikian kita seolah-olah buta akan keindahan yang terkandung di dalam apa yang sudah ada. Inilah sebabnya mengapa kita selalu menganggap bahwa buah mangga di kebun orang lain tampak lebih nikmat dari pada buah mangga di kebun sendiri, bunga mawar di kebun orang lain nampak lebih indah dan harum dari pada bunga mawar di kebun sendiri. Dapatkah kita hidup tanpa membanding-bandingkan, tanpa membayangkan gambaran gagasan khayal, sehingga tidak timbul iri hati dan tidak mengejar-ngejar bayangan yang kita namakan cita-cita dan ambisi? Dapatkah kita menikmati kehidupan sekarang ini, yang sudah ada ini, dalam keadaan bagaimana pun juga? Susah dan sengsara itu BARU MUNCUL jika kita membandingkan keadaan kita dengan orang lain. Sebutan kaya miskin, pintar bodoh, makmur sengsara, dan perbandingan ini jelas menimbulkan iba diri dan penyesalan, di samping menimbulkan pula kebanggaan dan ketinggian hati. Dapatkah kita hidup saat demi saat, mencurahkan seluruh perhatian kita terhadap sekarang ini, apa yang ada ini? Setelah meninggalkan neneknya, Thian Sin melanjutkan perantauannya. Ia menunggang seekor kuda pilihan, pakaiannya seperti seorang sastrawan yang kaya raya. Dan memang ketika itu Thian Sin membekal banyak pakaian indah dan juga banyak uang, pemberian bekal dari neneknya. Orang yang bertemu dengan pemuda ini di tengah jalan, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang sastrawan muda yang kaya raya atau putera seorang pembesar yang berkedudukan tinggi. Seorang pemuda yang halus, tampan bukan main, berpakaian indah, pandai memainkan suling dan pandai bersajak, sikapnya ramah-tamah dan sopan seperti layaknya seorang terpelajar. Akan tetapi, kalau orang itu melihat bagaimana sikap pemuda ini pada saat berhadapan dengan penjahat maka dia akan bergidik dan merasa seram. Pemuda itu ternyata berubah sama sekali. Wataknya menjadi ganas dan kejam bukan main. Ketika Thian Sin melihat Tembok Besar, teringatlah dia kepada Jeng-hwa-pang. Dia tahu bahwa sisa para anggota Jeng-hwa-pang masih ada yang berada di tempat lama, akan tetapi Jeng-hwa-pang sendiri telah bubar dan musuh besarnya yang dulu ikut mengeroyok ayah bundanya yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, kini tidak berada di situ. Akan tetapi, mungkin juga di antara mereka ada yang mengetahui di mana adanya kakek itu sekarang, maka dia pun lalu membelokkan kudanya menuju ke perkampungan Jeng-hwa-pang yang terletak di antara hutan-hutan dan pegunungan itu. Daerah ini merupakan daerah yang amat berbahaya, penuh dengan hutan-hutan liar dan di pegunungan sekitar Tembok Besar ini sudah terkenal dengan hutan-hutan besar yang dihuni oleh binatang-binatang buas, juga di sini banyak tumbuh pohon-pohon raksasa dan tumbuh-tumbuban yang aneh. Karena dia sendiri adalah orang yang dibesarkan di Lembah Naga, maka Thian Sin sudah biasa dengan tempat-tempat yang liar macam itu. Dia tidak berani melakukan perjalanan pada waktu malam, tahu betapa berbahayanya hal itu. Setelah terpaksa bermalam di atas pohon besar di tengah hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju perkampungan Jeng-hwa-pang yang seingatnya berada di luar Tembok Besar sebelah timur. Selagi dia menjalankan kudanya dengan hati-hati di dalam hutan, tiba-tiba dia mendengar suara hiruk-pikuk disertai teriakan-teriakan ketakutan dari beberapa orang yang datangnya dari dalam hutan besar di depan. Thian Sin cepat-cepat menggerakkan kudanya meloncat ke depan dan membalap ke dalam hutan itu, ke arah datangnya suara. Dia menghentikan kudanya dan meloncat turun, menalikan kendali kudanya pada batang pohon, kemudian Thian Sin berlari menuju ke tempat di mana dia melihat ada lima orang sedang berteriak-teriak dan mengepung sebuah lubang jebakan di dalam tanah, di tengah-tengah hutan itu. Mereka tentu pemburu-pemburu yang sudah berhasil menjebak seekor binatang buas. Dia mendengar geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang diinjaknya dan secara diam-diam dia terkejut sekali. Tentu binatang yang amat kuat dan mengerikan yang telah terjebak itu, pikirnya. Suaranya bukan seperti harimau, melainkan lebih mirip suara beruang. Akan tetapi yang telah tertangkap itu tentunya seekor beruang yang besar sekali. Dia hanya mengintai dan kemudian melihat betapa kelima orang itu mempergunakan tombak-tombak mereka untuk menusuk-nusuk ke dalam lubang. Akan tetapi jelas nampak bahwa mereka itu takut-takut dan sering kali meloncat mundur sambil berteriak kaget dan ketakutan. Dan Thian Sin melihat betapa ada dua batang tombak yang patah-patah setelah dipakai menusuk ke dalam lubang! Dia terkejut. Binatang itu tentu kuat bukan main, pikirnya. Dan melihat betapa sebatang tombak dapat dipakai menyerang ke dalam lubang, dia dapat menduga bahwa lubang itu tidak terlalu dalam dan amatlah berbahaya kalau binatang itu dapat meloncat keluar. “Cepatlah, kami hampir kewalahan!” Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak sambil menoleh ke belakang. Thian Sin memandang dan baru dia tahu bahwa jauh dari situ ada lima orang lain yang sedang sibuk memperdalam sebuah lubang jebakan lain. Lubang ini sudah cukup dalam karena lima orang itu tak nampak lagi berada di dalam lubang, dan hanya nampak galian-galian yang dilempar-lemparkan keluar lubang. Apa yang mereka kehendaki dengan lubang baru itu? Namun, melihat betapa lima orang itu agaknya mencegah binatang yang terjebak keluar dari lubang yang pertama, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu mereka itu membuat lubang lain yang lebih dalam ini untuk berusaha menjebak binatang yang buas itu ke dalam lubang ke dua ini! Dan tentu saja caranya dengan memancing binatang itu mengejar mereka. Suatu perbuatan yang amat berani dan berbahaya! Dan dugaannya memang benar. Kini lima orang penggali lubang baru itu sudah naik dan cepat menutupi lubang itu dengan kayu dan daun-daun, kemudian mereka membantu lima orang teman mereka untuk menggoda binatang itu yang menjadi semakin marah. “Kita mulai sekarang!” kata salah seorang di antara mereka yang agaknya menjadi kepala kelompok pemburu itu. “Kalian cepat berdiri di seberang lubang dan menggodanya, untuk memancingnya agar mengejar, biar aku sendiri yang menahannya.” “Tapi… berbahaya sekali untukmu, toako…” “Tidak, aku dapat lari lantas naik ke pohon itu.” kata si pemimpin yang tubuhnya besar ini sambil menunjuk ke arah sebatang pohon besar tak jauh dari lubang jebakan itu. Setelah menerima perintah, sembilan orang itu segera meninggalkan lubang, berlari-larian dengan cepat mengelilingi jebakan batu lantas berdiri di seberang jebakan baru ini sambil mengacung-acungkan tombak mereka. Sekarang si pemimpin sendiri saja, menggunakan sebatang tombak mencegah keluarnya binatang dari dalam lubang jebakan sebelum para pembantunya tiba di seberang jebakan. “Toako, pergilah!” “Larilah!” teriak mereka dengan khawatir. Pemimpin rombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar itu mempergunakan sebatang tombak yang bergagang besi, panjang dan berat, dan dengan tombak itu dia memukul ke bawah untuk mencegah binatang itu yang agaknya hendak merangkak keluar dari dalam lubang. Akan tetapi, tiba-tiba tombak yang dipukulkan itu telah tertangkap oleh binatang itu hingga terjadi tarik-menarik dan pada saat itulah para pembantunya berteriak-teriak menyuruhnya lari. Kepala pemburu ini mengenal bahaya, akan tetapi tiba-tiba saja tombak itu didorong dengan kuat dari bawah dan ujung tombak, yaitu gagangnya yang tumpul, menghantam dadanya. “Dukk…!” Pemburu ini terpental dan terjatuh, napasnya agak terengah-engah dan dia menggunakan kedua tangan memegang dan mencengkeram ke arah dadanya yang terasa nyeri sekali. Dan dia pun tahu akan bahaya, cepat dia merangkak dan mencoba untuk bangun. Walau pun gerakannya kaku karena dadanya nyeri, namun dia dapat juga bangkit dan mencoba untuk lari ke arah pohon. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar gerengan dahsyat dan seekor binatang yang besar sekali telah melompat keluar dari dalam lubang jebakan! Thian Sin terkejut bukan main melihat seekor orang hutan yang besar dan kelihatan amat kuat itu. Seekor orang hutan yang amat marah hingga nampak moncongnya meringis dan memperlihatkan giginya yang bertaring mengerikan. Kedua lengannya panjang sekali dan penuh dengan bulu yang kasar. Jarang Thian Sin bertemu orang hutan sebesar ini dan biar pun di sekitar Lembah Naga terdapat orang hutan yang besar, akan tetapi tidak sebesar ini. Dia dapat menduga bahwa bulu-bulu kasar tebal itu melindungi tubuh si Orang Hutan, membuatnya kebal terhadap senjata tajam. Kini orang hutan itu lari mengejar si kepala pemburu! Thian Sin merasa terkejut dan juga menyesal akan kebodohan kepala pemburu itu. Mana mungkin lari ke pohon terhadap seekor orang hutan? Tentu tadinya kepala pemburu itu mengandalkan tombaknya, dan agaknya berpikir bahwa dari atas pohon dia akan dapat mencegah orang hutan itu naik mengejarnya dengan menusuk-nusukkan tombak. Betapa bodohnya! Kini, ketika melihat gerakan orang hutan itu serta melihat larinya si kepala pemburu, dia tahu bahwa sebelum sampai di pohon, orang itu tentu akan tersusul dan akan mengalami kematian yang mengerikan. Melihat ini, timbul semangat pendekar dalam batin Thian Sin. Dia pun lalu meloncat dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah dapat menghadang orang hutan itu, memotong pengejarannya terhadap si kepala pemburu. Wajah semua pemburu sudah pucat melihat kepala mereka tadi dikejar dan hampir saja terpegang oleh binatang buas itu dan kini, melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan yang berdiri dengan tenangnya menghadapi binatang itu, mereka semua merasa terkejut, terheran dan juga khawatir sekali. Sementara itu, si kepala pemburu sudah meloncat dan merayap ke atas pohon dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi seluruh mukanya. Ketika dia sudah berada di atas cabang pohon dan menengok, dia pun melihat pemuda itu dan dia lalu memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan para pemburu lainnya, dengan hati ngeri membayangkan betapa orang hutan itu akan membunuh pemuda itu, maka mereka pun berteriak-teriak, “Orang muda, lekas lari ke sini…! Cepat…!” Akan tetapi, betapa heran hati mereka karena melihat pemuda itu tersenyum saja sambil memandang kepada orang hutan yang marah itu dengan sikap tenang. Orang hutan ini agaknya juga merasa heran. Semua orang yang bertemu dengan dia tentu melarikan diri atau langsung menyerangnya. Akan tetapi orang ini hanya berdiri tenang saja. Ketika bertemu pandang, binatang ini menggeram lantas mengalihkan pandang matanya. Tak tahan dia menatap mata yang mencorong itu terlampau lama. Kemudian, binatang ini menggereng dan meloncat ke depan, menyerang dengan gerakan yang amat cepatnya. Binatang itu besar sekali, tentu ada satu setengah orang beratnya dan gerakannya begitu cepat sehingga jaranglah ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari serangannya itu. Sepuluh orang pemburu itu pun menahan napas dan memandang penuh kengerian sebab mereka sudah membayangkan betapa tubuh pemuda yang tidak seberapa besar itu akan terkoyak-koyak oleh dua lengan yang berbulu, panjang dan amat kuat itu. Thian Sin juga maklum akan kuatnya binatang ini, maka dia langsung mengelak dengan loncatan ke kiri. Binatang itu menggereng, agaknya merasa heran dan semakin marah melihat betapa manusia ini sanggup menghindarkan diri dari terkamannya. Maka sambil melempar tubuh ke kiri, dan dengan gerakan refleks yang sangat cepat seolah-olah masih merupakan rangkaian dari serangannya yang pertama tadi, dia menubruk lagi. Serangan ke dua ini lebih cepat dari pada tadi, kecepatan yang tak mungkin bisa dikuasai oleh manusia, kecepatan yang bersifat alamiah karena kehidupan binatang ini yang selalu memaksanya berloncatan dari dahan ke dahan. Biar pun Thian Sin kembali sudah meloncat untuk mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan sebuah lengan panjang berbulu tahu-tahu telah menyentuh pundaknya dan jika sampai jari-jari tangan yang kuat itu berhasil mencengkeram pundaknya, tentu setidaknya dia akan terluka. Maka Thian Sin segera mengerahkan tenaga sambil memutar lengannya menangkis, sedangkan tangan kirinya membalas dengan sebuah hantaman keras ke arah perut binatang itu. “Dukkk! Desss…!” Tangkisannya itu bertemu dengan lengan yang sangat kuatnya, namun cukup membuat terkaman tangan ke arah pundaknya itu meleset, dan pukulannya bertemu dengan perut yang seperti penuh dengan angin sehingga kuat bukan main. Orang hutan itu terjengkang, akan tetapi agaknya sama sekali tak merasa nyeri dan cepat binatang itu sudah meloncat lagi, menyerang lagi dengan kedua lengannya yang panjang. Sekarang dia marah bukan main, lantas kedua lengan panjang itu menyerang bertubi-tubi dengan gerakan yang lucu dan tidak karuan, namun amat dahsyat, mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi besar bertaring, kadang-kadang mendesis-desis dengan air liur muncrat dan kadang-kadang dari lehernya keluar suara menggereng yang seakan-akan menggetarkan tanah dan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Semua serangan yang amat ganas itu dihadapi dengan tenang oleh Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa binatang itu hanya mempunyai kecepatan dan kekuatan alamiah saja, akan tetapi tidak memilki akal untuk berkelahi dengan baik. Maka, mudah baginya untuk mempermainkan binatang itu dan bila mana dia menghendaki, tidak sukar baginya untuk membunuhnya dengan menyerang bagian-bagian yang lemah dari binatang itu. Dua kali dia memukul dan menendang hingga membuat orang hutan itu terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi binatang itu mempunyai kekebalan yang luar biasa, telah bangkit lagi dan menyerang lebih ganas. Sepuluh orang yang tadinya merasa ketakutan dan khawatir akan keselamatan Thian Sin, sekarang memandang bengong saking herannya menyaksikan keadaan yang tak pernah mereka duga. Keadaan itu malah sebaliknya. Pemuda itu mampu mempermainkan orang hutan yang telah membuat kewalahan dan ketakutan tadi. Dan mengertilah mereka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. “Taihiap, harap jangan bunuh dia!” “Kami hendak menangkapnya hidup-hidup!” “Kalau dia mati, kami tentu tak akan diampuni!” Mendengar seruan orang-orang itu, Thian Sin cepat menahan tangannya yang sudah siap merobohkan orang hutan itu. Tusukan dengan jari tangan pada matanya, atau tendangan di antara selangkang kakinya, atau pukulan tangan miring pada tengkuknya, tentu akan merobohkan binatang ini. Akan tetapi seruan orang-orang itu membuatnya terheran, apa lagi kalimat terakhir itu. Kalau binatang itu mati, maka mereka takkan diampuni? Apa artinya seruan itu? Thian Sin merasa penasaran, akan tetapi dia pun menghentikan niatnya merobohkan orang hutan ini. Dia kemudian teringat akan lubang jebakan yang baru saja digali mereka itu, maka kini dia menghadapi amukan orang hutan itu sambil mundur sampai tiba di pinggir perangkap baru yang tertutup ranting dan daun-daun. Orang hutan yang sudah beberapa kali terkena pukulan serta tendangan itu marah sekali dan terus menerjang secara dahsyat. Thian Sin mengelak dengan locatan ke kiri dan pada waktu tubuh orang hutan itu menyambar lewat, dia memberi dorongan dengan tendangan kaki pada pinggul binatang itu. Binatang itu terdorong ke depan, lantas tanpa dapat dihindarkan lagi dia terjatuh ke atas ranting dan daun penutup perangkap. Dia mengeluarkan gerengan kaget dan marah, juga ketakutan ketika tubuhnya terpelanting dan terjerumus ke dalam lubang. Binatang itu lalu berteriak-teriak, berusaha meloncat, akan tetapi tidak mungkin dia dapat keluar dari dalam lubang. Thian Sin mengebut-ngebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari debu. Sepuluh orang itu datang berlari, dan setelah mereka menjenguk ke dalam lubang perangkap dan melihat orang hutan itu marah-marah dan tak berdaya di dalam lubang, mereka kemudian menghadapi Thian Sin. Laki-laki tinggi besar itu dengan sikap hormat lalu menjura kepada pemuda ini, dengan pandang mata penuh kekaguman. “Taihiap telah menyelamatkan bukan hanya nyawa saya yang tadi terancam, akan tetapi juga nyawa kami semua. Apa bila tidak ada taihiap yang gagah perkasa, tentu nasib kami akan sama dengan nasib seorang kawan kami yang berada di lubang jebakan itu.” Dia menuding ke arah perangkap pertama sambil menarik napas panjang. Thian Sin lalu menengok ke arah lubang itu. “Jadi ada teman kalian yang sudah menjadi korban?” Dia menghampiri dan menjenguk ke dalam. Benar saja, di dasar lubang itu nampak tubuh seorang laki-laki yang sudah tak karuan bentuknya, sudah dikoyak-koyak, bahkan sebuah lengan telah terlepas dari pundaknya. “Hemm, apakah yang telah terjadi? Siapakah kalian ini yang tidak mau membunuh orang hutan yang sudah membunuh seorang teman kalian? Dan apa artinya bahwa aku sudah menyelamatkan kalian? Siapa yang mengancam kalian?” Sepuluh orang itu memandang ke kanan kiri dan nampaknya ketakutan untuk menjawab, bahkan Si Tinggi Besar itu lalu berkata lirih, “Tidak apa-apa, taihiap… kami… sudah salah bicara tadi… dan kami menghaturkan terima kasih atas bantuan taihiap menangkap orang hutan itu.” Melihat sikap ini, Thian Sin mengerutkan alisnya dan dia pun melangkah ke arah lubang jebakan di mana orang hutan itu masih mengeluarkan suara teriakan-teriakan marah. “Baiklah, kalau begitu akan kukeluarkan lagi orang hutan itu.” Tiba-tiba orang tinggi besar itu berseru, “A Pin… jangan…!” Namun, seorang yang bernama A Pin itu, seorang di antara mereka, telah menggerakkan tangan kanannya dan sinar hijau menyambar ke arah tubuh belakang Thian Sin. Pemuda sakti itu maklum akan adanya sambaran senjata lembut ke arahnya, maka dia pun membalik dan melihat sinar hijau itu, tahulah dia bahwa dia diserang oleh orang tinggi kurus itu dengan jarum-jarum halus. Thian Sin mengibaskan lengan bajunya yang lebar sehingga jarum-jarum itu runtuh semua ke atas tanah. Akan tetapi A Pin yang tinggi kurus itu telah mencabut sebatang pedangnya dan melihat pedang yang ujungnya kehitaman itu, Thian Sin terkejut. Seperti juga jarum-jarum halus tadi, pedang ini juga mengandung racun yang sangat hebat. Hal ini dapat diketahuinya dari baunya. Ketika serangan itu datang, Thian Sin menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang itu sudah terampas olehnya, lantas tubuh penyerangnya telah terlempar ke dalam lubang! Orang itu menjerit dengan suara mengerikan lalu disusul hiruk-pikuk di dalam lubang itu, teriakan-teriakan menyayat hati dari A Pin dan geraman-geraman marah dari orang hutan. Sembilan orang lainnya terbelalak dengan muka pucat sekali. Mereka pun tahu apa yang sedang terjadi, tahu bahwa teman mereka itu sedang dikoyak-koyak oleh orang hutan itu. Teriakan-teriakan mengerikan itu hanya sebentar saja kemudian suasana di dalam lubang menjadi sunyi lagi, kecuali geraman binatang itu yang tidak berapa hebat lagi, seolah-olah orang hutan itu telah merasa puas mendapat seorang korban lagi kepada siapa dia dapat melampiaskan kemarahannya. Thian Sin memeriksa ujung pedang itu, menciumnya, kemudian melemparkan pedang itu ke atas tanah. “Hemm, kalian ini orang-orang Jeng-hwa-pang?” tiba-tiba dia membentak. Sembilan orang itu terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala. Si Tinggi Besar berkata gugup, “Tidak… bukan, taihiap Jeng-hwa-pang sudah tidak ada…” Dia saling memandang dengan teman-temannya, lalu melanjutkan, “kami hanyalah pemburu-pemburu biasa…” Thian Sin tersenyum, senyum yang hanya merupakan topeng bagi perasaan mengkal di hatinya. “Tak perlu lagi kalian menyangkal. Melihat jarum-jarum dan pedang itu, aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang Jeng-hwa-pang. Apa kalian telah lupa kepadaku, putera dari Pangeran Ceng Han Houw yang pada beberapa tahun yang lalu pernah membasmi Jeng-hwa-pang?” Mereka makin kaget, memandang dengan mata terbelalak dan kemudian Si Tinggi Besar menjatuhkan dirinya berlutut, diikuti oleh teman-temannya. Sekarang mereka pun ingatlah kepada pemuda ini. “Ampun, taihiap… ampunkan kami yang bermata buta, tidak mengenali taihiap. Memang kami adalah bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang, akan tetapi sungguh mati, sekarang Jeng-hwa-pang sudah tidak ada lagi dan kami hanya sekumpulan pemburu…” “Sikap kalian aneh sekali, seperti ada yang kalian takutkan. Temanmu yang menyerangku tadi agaknya juga terdorong oleh rasa takut. Hayo, ceritakan semua, kalau tidak, kalian akan kulemparkan satu demi satu ke dalam lubang ini. Hendak kulihat, siapa yang lebih kalian takuti, aku ataukah yang lain itu.” Mendengar ancaman ini dan melihat kesaktian Thian Sin, apa lagi jika mengingat bahwa pemuda ini adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang mengganggap Jeng-hwa-pang sebagai musuh besar, mereka menjadi takut bukan main. Si Tinggi Besar, setelah memandang ke empat penjuru dengan sikap takut-takut, lalu bercerita. Sisa para anggota Jeng-hwa-pang ada sekitar tiga puluh orang. Mereka berkelompok dan karena tidak mempunyai tempat tinggal lain, sesudah rasa takut mereka hilang terhadap pemuda-pemuda yang membasmi sarang mereka, akhirnya mereka kembali ke sarang lama dan di sini mereka membawa keluarga mereka lalu membentuk perkampungan. Akan tetapi mereka sudah jera dan tidak mau lagi melakukan pekerjaan jahat. Mereka tak mau lagi mengganggu para pelancong dan para pedagang, juga tidak mau mengganggu perkampungan-perkampungan atau dusun-dusun lain. Mereka hidup sebagai pemburu-pemburu karena sebagai bekas anggota Jeng-hwa-pang, selain mereka rata-rata memiliki kepandaian silat dan memiliki tubuh kuat, juga di sekitar daerah itu terdapat banyak binatang buruan. Selama bertahun-tahun mereka hidup aman dan tenteram, keluarga mereka berkembang biak dan perkampungan itu menjadi cukup makmur. Kaum prianya memasuki hutan untuk berburu, sedangkan para wanitanya mengerjakan sawah ladang di sekitar perkampungan, yaitu tanah bekas hutan yang mereka babat. Akan tetapi, semenjak dua tahun terakhir ini terjadilah perubahan setelah muncul seorang laki-laki yang bernama Su Lo To, yaitu seorang peranakan Han dan Rusia Kazak. Orang ini bertubuh tinggi besar, matanya agak kebiruan dan sungguh pun rambutnya agak hitam seperti orang Han, akan tetapi kulitnya putih dan bulu-bulu tubuhnya juga putih. Su Lo To ini tiba di perkampungan itu, jatuh cinta dengan seorang gadis perkampungan itu dan mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kemudian Su Lo To memperlihatkan belangnya dan dia pun menjagoi di perkampungan itu. Ternyata orang ini mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga dia sanggup merobohkan semua bekas anggota Jeng-hwa-pang yang berani mencoba untuk menentangnya. Bahkan dia tidak takut akan keahlian orang-orang Jeng-hwa-pang itu tentang racun, karena Su Lo To ini pun seorang ahli tentang racun! Dan tenaganya seperti gajah! Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Su Lo To mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin mereka. Memang betul bahwa Su Lo To tak pernah menyeret mereka ke dalam kejahatan, akan tetapi orang ini merupakan seorang pemimpin yang lalim. Dia memaksa orang-orangnya untuk bekerja berat, tetapi sebagian dari hasil buruan diamblinya sendiri. Maka sebentar saja dia telah dapat membangun sebuah rumah besar dan hidup mewah di antara kehidupan sederhana dari para penghuni perkampungan itu. Dan bukan ini saja. Semakin lama Su Lo To semakin bersikap sewenang-wenang dan wanita mana saja yang disukainya, mau tidak mau harus datang kepadanya dan melayaninya! Pendeknya, Su Lo To hidup sebagai raja kecil yang selalu memeras orang-orangnya dan menggunakan tangan besi. Semua orang takut padanya, karena Su Lo To ini amat kejam. Banyak orang yang sudah tewas olehnya karena melakukan kesalahan atau pelanggaran perintahnya. LAKI-LAKI tinggi besar yang memimpin teman-temannya untuk menangkap orang hutan itu tadinya adalah orang yang dianggap sebagai pemimpin kelompok itu. Orang ini bernama Gak Song dan telah dikalahkan oleh Su Lo To, lalu diangkat menjadi wakilnya. Gak Song amat setia kawan terhadap teman-temannya, maka meski pun dia diangkat menjadi wakil Su Lo To, namun dia secara diam-diam membela kawan-kawannya. Akan tetapi, akhirnya Su Lo To mau juga mengganggu pembantu atau wakilnya ini, Gak Song mempunyai seorang menantu perempuan yang baru saja dikawini puteranya. Mantu perempuan ini berasal dari dusun lain yang agak jauh dari tempat itu, dan dia termasuk seorang wanita yang cantik dan manis. Kecantikan mantu perempuan inilah yang mendatangkan mala petaka bagi keluarganya, karena, seperti mudah diduga, Su Lo To sangat tertarik kepadanya! Akan tetapi, terhadap wakilnya, Su Lo To merasa tidak enak hati juga untuk mempergunakan kekerasan. Lantas timbullah akalnya yang busuk! Selama beberapa bulan ini, di sebuah hutan besar yang tidak jauh dari daerah perburuan mereka, terdapat seekor orang hutan yang amat ganas dan kuat. Karena mereka merasa kewalahan untuk menghadapi orang hutan ini, bahkan sudah kehilangan seorang teman menjadi korban orang hutan ini, maka para pemburu lalu meninggalkannya dan menjauhi hutan itu. Su Lo To juga tidak memaksa anak buahnya untuk menghadapi bahaya itu. Akan tetapi, sesudah dia melihat mantu Gak Song, tiba-tiba dia memerintahkan agar Gak Song dan anak buahnya, termasuk puteranya sendiri, pergi menangkap orang hutan itu hidup-hidup! “Orang hutan itu merupakan binatang yang cerdik,” demikian katanya kepada Gak Song. “Aku hendak menjinakkannya dan kemudian menjadikannya semacam keamanan rumah. Maka dia pun harus dapat ditangkap dalam keadaan hidup!” Gak Song dan kawan-kawannya tidak berani membantah lagi karena membantah berarti akan membuat kepala itu marah dan celakalah mereka bila mana Su Lo To sudah marah. Terpaksa mereka berangkat dan memasang jebakan dengan menggali lubang. Akhirnya, setelah menunggu dengan sabar dan menggunakan segala akal untuk memancing orang hutan itu datang, mereka berhasil menjebak hingga orang hutan itu terjerumus ke dalam perangkap. “Demikianiah, taihiap, selanjutnya taihiap telah melihat sendiri apa yang terjadi dan tanpa bantuan taihiap, tak mungkin kami akan berhasil. Kalau tidak menjadi korban orang hutan itu, tentu sebaliknya kami akan menerima hukuman dari ketua kami sendiri.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Tapi, bagaimana seorang temanmu bisa berada di dalam perangkap itu?” “Kami semua mempergunakan tombak untuk mencegah orang hutan itu yang berusaha untuk keluar dari lubang. Sayang sekali bahwa lubang itu terlalu dangkal sehingga tanpa dicegah dengan tombak, orang hutan itu tentu akan dapat keluar kembali. Dan binatang itu sangat hebat. Tusukan tombak tidak melukainya, dan bahkan dia berhasil menangkap sebatang tombak lalu menarik tombak itu dan membuat teman kami terjungkal ke dalam lubang dan kami tidak dapat menyelamatkannya lagi,” Gak Song menarik napas panjang. “Dan… teman kami yang menyerang taihiap tadi mencari mati sendiri, dia melakukannya karena takut terhadap ketua kami. Maka, harap taihiap sudi memaafkan kami dan dapat mengerti keadaan kami yang tersudut ini…” Thian Sin mengangguk-angguk. “Dan bagaimana kalian akan dapat menaklukkan orang hutan di dalam perangkap itu dan membawanya kepada pemimpin kalian?” “Kami tadi tidak berani menggunakan racun, takut kalau-kalau membunuhnya. Sekarang dia sudah tidak berdaya di dalam lubang, kami akan melaporkan kepada pemimpin kami dan kalau perlu kami akan membuat binatang itu kelaparan sehingga mudah ditangkap.” Pada saat itu pula terdengar jerit suara wanita. Semua orang menengok dan nampaklah seorang wanita muda berlarian sambil menangis dan menjerit-jerit memanggil nama dua orang di antara mereka. “Su Bwee…!” teriak seorang muda, seorang di antara mereka yang langsung berlari maju menyambut wanita itu. Mereka berpelukan dan wanita itu menangis sesenggukkan. Wanita muda itu amat manis, namun pakaiannya dan juga rambutnya awut-awutan, mukanya pucat dan matanya basah karena tangis. “Apa yang terjadi?” Thian Sin bertanya kepada Gak Song yang memandang dengan alis berkerut. “Dia adalah mantuku, baru beberapa bulan menikah dengan puteraku… entah apa yang telah terjadi, taihiap…” Sambil berkata demikian, laki-laki tinggi besar ini melangkah maju menghampiri dua orang yang saling berpelukan itu. Thian Sin juga melangkah maju. “Su Bwee, berhentilah menangis dan lekas ceritakan, apa yang telah terjadi maka engkau menyusul ke tempat berbahaya ini sambil menangis?” kata Gak Song. Mendengar suara Gak Song, wanita muda bernama Su Bwee itu kemudian mengangkat mukanya dari dada suaminya dan menoleh ke arah ayah mertuanya, kemudian sambil menangis dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut menubruk kaki ayah mertuanya. “Ayah… bunuhlah saja saya…” tangisnya. Mendengar ratapan anak mantunya, Gak Song memandang dengan mata tebelalak, lalu ia pun membentak, suaranya berwibawa. “Bangkitlah, jangan seperti anak kecil dan lekas ceritakan apa yang telah terjadi!” Su Bwee menceritakan dengan suara tak jelas karena betapa pun dia menahannya, tetap saja dia berbicara sambil menangis sesenggukan. “Setelah ayah bersama suami saya pergi… ketua kedatangan seorang tamu… dan untuk menjamu tamu itu… saya beserta beberapa orang wanita muda disuruh melayani mereka makan… kemudian… ketua memaksa saya… uh-hu-huuh… dia… dia menyeret saya ke dalam kamarnya dan… dan… uh-huu-huuh…” Wanita itu tak dapat melanjutkan ceritanya karena dia sudah terguling dan roboh pingsan. Agaknya dia sudah menempuh jarak jauh mencari suami dan ayah mertuanya itu sambil menangis dan berlari-larian, maka dia kehabisan napas dan juga kesedihan yang sangat besar menghimpit perasaannya. Biar pun ceritanya tidak jelas, namun semua orang dapat menangkap dan membayangkan apa yang sudah terjadi, apa yang sudah dilakukah oleh pemimpin mereka, Su Lo To, terhadap Su Bwee ini. Suaminya, pemuda yang menjadi putera Gak Song itu, mengepal tinju dan memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mengusir bayangan yang nampak olehnya, betapa isterinya dipaksa dan diperkosa oleh Su Lo To. Sedangkan Gak Song marah sekali. Pria tinggi besar ini berdiri tegak, kedua tangannya dikepal dan dia pun lalu berteriak dengan geramnya. “Su Lo To, manusia jahanam! Berani engkau menghinaku seperti ini?” Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara parau. “He-he, kau lihat saja, sute, bagaimana aku akan menghukum mereka yang sudah berani menentangku!” Lantas muncullah dua orang laki-laki dari antara pohon-pohon di depan. Melihat bahwa yang datang itu adalah Su Lo To bersama seorang laki-laki setengah tua lainnya, semua orang terkejut dan nampak jelas betapa mereka itu ketakutan. Thian Sin melihat betapa gerakan kaki kedua orang itu cukup gesit dan ketika dia mengenal orang ke dua, wajah pemuda ini berubah, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Bahkan beberapa kali dia mengedipkan matanya, seolah-olah tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Betapa dia tidak akan terkejut dan heran ketika mengenal laki-laki yang bukan lain adalah Torgan, bekas koksu dari Raja Agahai! Bukankah bekas koksu itu sudah dihukum mati, dipenggal di lehernya dan bahkan kepalanya digantungkan di depan pintu gerbang untuk menjadi peringatan bagi orang lain? Kenapa orang yang telah mati itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini? Apakah arwah atau setannya? Thian Sin memandang lagi, kini dia khawatir kalau-kalau dia terkena pengaruh sihir. Akan tetapi, tetap saja orang yang dipandangnya itu adalah Torgan. Sementara itu Gak Song yang sudah tidak sanggup menahan kemarahannya lagi, begitu melihat munculnya Su Lo To yang telah mengganggu dan memperkosa mantunya timbul kenekatan hatinya. “Su Lo To manusia setan, biar aku mengadu nyawa denganmu.” Gak Song menggunakan tombaknya untuk menyerang. Melihat serangan yang cukup hebat dan dilakukan dengan hati yang penuh kemarahan ini, Su Lo To hanya tertawa saja. Laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun ini tubuhnya gendut dan agak pendek, mukanya buruk sekali, kulit mukanya kasar hitam dan matanya besar sebelah, mulutnya lebar dan pada saat tertawa, nampaklah giginya yang berwarna kuning menghitam. Pada waktu mata tombak Gak Song sudah dekat dengan perutnya, tiba-tiba saja Su Lo To menggerakkan tangannya. Tubuhnya miring, lantas sekali sambar dia sudah berhasil menangkap tombak itu, menariknya dengan kuat sekali, lalu kakinya melangkah maju dan sekali diayun, dia pun sudah menendang. Gak Song tidak dapat mengelak lagi, terkena tendangan dan jatuh terjengkang. Pada saat itu pula, puteranya, suami Su Bwee, yang juga marah dan nekat, sudah menerjang dan menusukkan tombaknya. Kembali Su Lo To tertawa, dengan mudah saja dia menangkis sehingga terdengar suara keras dan tombak pada tangan pemuda itu patah. Dan sebelum lawannya yang muda itu sempat mengelak, sebuah tendangan mengenai pahanya hingga pemuda itu terlempar dan terbanting jatuh di dekat ayahnya. “Ha-ha-ha, ayah dan anak yang tiada guna, kalian berani melawan aku? Ha-ha-ha, sudah bosan hidup, ya?” Tiba-tiba terdengar gerengan yang sangat dahsyat. Su Lo To terkejut dan menengok ke arah lubang jebakan itu dan dia pun mengerti, lalu tertawa girang. “Aha, si liar itu telah terperangkap? Bagus, bagus, biarlah dia kuberi hadiah pertama agar mudah menjadi jinak!” Kemudian dia melangkah menghampiri Gak Song dan puteranya. “Hemm, kalian berani melawan aku, ya? Biarlah kalian berdua yang akan menjadi mangsa pertama dari orang hutan itu!” Semua orang menjadi ketakutan sehingga mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil. Mereka sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh Su Lo To. Gak Song bersama puteranya itu tentu akan dilempar ke dalam lubang perangkap supaya dibunuh oleh orang hutan! Akan tetapi, sebelum Su Lo To menggerakkan tangannya atau kakinya untuk melempar kedua orang itu ke dalam lubang perangkap, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depannya. Pemuda itu adalah Thian Sin. Seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan yang berdiri tenang dan tersenyum ramah kepadanya. “Apakah engkau yang bernama Su Lo To?” tanya Thian Sin dengan suara halus. Su Lo To mengernyitkan sepasang alisnya lantas memandang tajam. Baru sekarang dia melihat adanya seorang pemuda asing di antara orang-orangnya. “Benar, aku bernama Su Lo To, engkau siapa, orang muda? Bagaimana engkau dapat berada di sini?” “Suheng! Dialah pemuda setan itu, putera Pangeran Ceng Han Houw yang kuceritakan kepadamu! Jangan lepaskan dia!” Tiba-tiba Torgan berseru sambil meloncat maju pula, mendekati Su Lo To dan memandang kepada Thian Sin dengan sikap marah. Thian Sin tersenyum. “Aha, ternyata dua ekor srigala busuk sudah berkumpul di sini, dan kalian adalah suheng dan sute! Torgan dan Su Lo To, memang amat cocok untuk menjadi saudara, sepasang manusia jahat yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!” Memang orang itu adalah bekas koksu Torgan. Bagaimana secara tiba-tiba saja dia dapat muncul di sini? Bukankah dia sudah dihukum pancung sampai mati? Tidak demikianlah sesungguhnya. Torgan ini terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya mati begitu saja. Kalau dia tidak mengamuk dan melawan adalah dia tahu bahwa melawan di depan raja berarti memberontak dan dia tidak mungkin akan dapat menyelamatkan diri lagi kalau begitu. Maka, biar pun dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dia tidak mau melawan dan membiarkan dirinya ditangkap dan dibelenggu. Namun masih ada bekas kaki tangannya yang dapat menyelamatkannya dengan jalan menggantikan kedudukannya dengan orang lain yang mirip dengan wajahnya. Dengan jalan mengancam dan menyuap petugas, akhirnya Torgan pun berhasil lolos dan membiarkan seorang korban, yaitu orang lain yang mirip dengan dirinya dan sudah dibikin tidak berdaya oleh sihirnya, untuk menjadi korban hukuman menggantikan dirinya. Yang dipancangkan di menara itu bukanlah kepalanya, melainkan kepala orang lain yang mirip sekali dengan dirinya! cerita silat online karya kho ping hoo Dan dia sendiri lalu melarikan diri dan datang kepada Su Lo To, suheng-nya yang sudah menjadi pemimpin bekas orang-orang Jeng-hwa-pang itu. Mereka ini adalah kakak adik seperguruan yang pernah menjadi penjahat-penjahat di Tibet. Kemudian, para pendeta Lama di Tibet mengalahkan mereka dan mengusir mereka. Keduanya lari dan Torgan lebih pandai dari pada suheng-nya karena Torgan bisa menjadi orang kepercayaan Raja Agahai, kemudian dijadikan pembantunya yang amat dipercaya. Sedangkan Su Lo To yang hanya lihai dalam hal ilmu silat dan racun, tetapi tidak secerdik sute-nya, hanya menjadi pemimpin bekas anak buah Jeng-hwa-pang. Mendengar ucapan Thian Sin, tentu saja Su Lo To menjadi marah bukan main. “Keparat sombong!” Su Lo To membentak. Ketika tangannya bergerak, tombak rampasan tadi meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah Thian Sin. Akan tetapi, dengan mudah saja Thian Sin melangkah ke kiri sehingga tombak itu meluncur lewat dan dengan suara keras mengerikan tombak itu lalu menancap pada batang pohon sampai setengahnya! “Hayo lekas kalian maju, keroyok dan bunuh pemuda ini!” bentak Su Lo To kepada anak buahnya, yaitu teman-teman Gak Song yang masih ada tujuh orang itu. Akan tetapi tujuh orang yang masih berlutut itu hanya memandang dengan muka pucat. Tak ada seorang pun yang berani bergerak. Mereka semua tahu siapa pemuda ini, maka biar pun mereka sangat takut kepada Su Lo To, namun tidak ada seorang pun yang mau mengeroyok Thian Sin. Sementara itu, Gak Song dan puteranya juga sudah bangun dan memandang kepada Su Lo To dengan marah, akan tetapi juga gembira melihat Thian Sin sudah maju. Mereka percaya bahwa pemuda itu sajalah yang akan mampu menanggulangi ketua mereka yang kejam itu. “Hemm, tidak ada seorang pun yang mau mentaati perintahku, ya? Baiklah, tunggu saja, sesudah dia kubereskan, maka kalian pun akan kumasukkan ke dalam lubang perangkap itu seorang demi seorang bersama dua orang keparat itu!” katanya menuding ke arah Gak Song. Hatinya semakin panas melihat betapa wanita muda yang manis itu sudah saling rangkul dengan suaminya. Su Lo To suka sekali kepada wanita itu dan tadi, ketika melihat wanita itu lenyap dari kamarnya pada saat dia sedang bercakap-cakap dengan Torgan, dia dapat menduga ke mana perginya wanita yang telah diperkosanya itu. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk mengenyahkan Gak Song dan puteranya agar dia dengan bebas dapat memiliki wanita itu. Tetapi tak disangkanya dia malah akan menghadapi pemberontakan anak buahnya dan bertemu dengan seorang pemuda asing yang menentangnya. “Suheng, hati-hati, dia itu lihai sekali!” Torgan berkata dan ucapan ini membuat Su Lo To menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tahu bahwa kepandaian sute-nya itu sudah tinggi sekali dan hanya sedikit saja selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, maka pujian sute-nya terhadap lawan ini sungguh tidak sedap didengar. “Sute, apakah engkau sekarang sudah menjadi seorang penakut?” bentaknya dan melihat adanya sebuah batu besar, sebesar perut kerbau bunting di hadapannya, dia kemudian melangkah dan dengan kedua lengannya dia memeluk batu itu. Batu yang amat besar dan yang takkan dapat terangkat oleh lima enam orang itu, dengan mudah diangkatnya ke atas lalu dilontarkannya ke arah Thian Sin. Melihat kekuatan ini, diam-diam Thian Sin kagum juga. Dia tidak berani mengelak begitu saja karena maklum bahwa kalau dia mengelak, batu besar itu dapat melukai orang-orang lain. Maka dia pun segera mengerahkan sinkang-nya dan menerima sambaran batu besar itu dengan kedua tangannya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, dan menyangka bahwa pemuda itu terancam bahaya maut oleh sambaran batu itu. Akan tetapi, dengan mudah dan enaknya Thian Sin bahkan mempermainkan batu itu di atas kepalanya, melempar-lemparkan ke atas beberapa kali dan kemudian, setelah melihat tempat kosong, dia melemparkan batu itu ke arah kiri. Batu berdebuk keras menimpa tanah dan menimbulkan getaran keras, menggelundung kemudian terhenti saat menabrak pohon besar. Batang pohon itu patah dan tumbang! Melihat betapa pemuda itu mampu menghadapi serangan dahsyat tadi, semua anak buah Gak Song merasa gembira, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menjadi semakin marah. “Bagus, kiranya engkau memiliki sedikit ilmu kepandaian, ya? Nah, terimalah seranganku ini!” Su Lo To segera maju menerjang ke depan, sepasang lengannya yang pendek besar itu bergerak aneh. lalu terbit angin pukulan dahsyat menyambar dari kanan kiri, didahului oleh bunyi berkeretekan, bunyi tulang-tulang di buku-buku jari orang itu. Mengerikan sekali. Thian Sin yang sudah dapat menduga bahwa orang ini mengandalkan tenaga yang besar, cepat menghadapinya dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Dengan mudah saja dia mengelak dengan langkah ke belakang. Pada saat itu pula Torgan juga sudah menyerangnya dari samping dan bekas koksu ini mempergunakan sebatang pedang. “Singggg…!” Sinar pedang menyambar lewat ketika Thian Sin mengelak. Pemuda ini mengelak sambil mengibaskan ujung lengan bajunya ke kanan, pada saat Su Lo To sudah menubruk maju lagi. “Plakkk!” Ujung lengan baju pemuda itu menampar dan bertemu dengan ujung jari Su Lo To. Ujung lengan baju dari sutera itu pecah sedikit, akan tetapi sebaliknya, Su Lo To menyeringai kesakitan karena merasa betapa ujung jari tangannya seperti ditusuki jarum-jarum panas! Tahulah dia kini mengapa sute-nya memuji orang ini, dan ternyata memang pemuda ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun lalu mencabut senjatanya, yaitu sebatang golok yang tadi tergantung pada punggungnya. Golok tipis lebar yang berkilauan saking tajamnya. Ketika golok digerakkan, bersama dengan gerakan pedang Torgan, nampaklah dua gulungan sinar yang terang berkelebatan mengurung tubuh Thian Sin! Melihat ini, Gak Song dan teman-temannya yang semuanya mengerti ilmu silat, terkejut bukan main. Seperti juga ketua mereka, ternyata pendatang baru yang disebut sute oleh ketua mereka itu ternyata lihai sekali. Mereka tentu saja mengkhawatirkan keselamatan Thian Sin yang tidak memegang senjata tetapi harus menghadapi pedang dan golok yang sedemikian lihainya. Dan kalau pemuda itu gagal dan kalah, berarti mereka semua akan menghadapi kematian yang mengerikan. Hal ini membuat Gak Song menjadi nekad. “Mari kita bantu taihiap!” berkata demikian, dia pun mencari tombak dan para pengikutnya juga bangkit dan siap melawan sampai mati. “Mundurlah kalian, biar kuhadapi sendiri dua ekor monyet ini! Jangan khawatir, aku belum membutuhkan bantuan!” Ucapan Thian Sin ini mengejutkan, mengherankan akan tetapi sekaligus menggirangkan hati Gak Song dan para temannya. Mereka lalu mundur kembali dan menonton. Mereka melihat Thian Sin masih berdiri tegak namun terus diancam oleh dua gulungan sinar yang menyambar-nyambar seperti dua setan maut yang hendak mencabut nyawanya. Tiba-tiba terdengar Su Lo To membentak keras kemudian sinar goloknya menyambar dan mulailah dia membuka serangan, diikuti oleh sute-nya yang juga amat membenci pemuda yang telah membuat dirinya terjungkal dari kursi kedudukannya di kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agahai itu. Kebencian Torgan jauh lebih besar dari pada kebencian Su Lo To terhadap pemuda itu yang dianggapnya hanya merupakan seorang pengacau saja. Thian Sin maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang ini sudah cukup tinggi sehingga tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi pada saat itu, Thian Sin telah menjadi seorang pendekar sakti yang memiliki banyak ilmu-ilmu peninggalan ayah kandungnya. Dia adalah seorang tokoh persilatan yang sukar dicari tandingannya. Bahkan kalau diadakan ukuran, mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandinginya! Kiranya, dengan ilmu mana pun yang dimilikinya, Thian Sin akan mampu menandingi dan mengalahkan kedua orang lawan yang mengeroyoknya dengan senjata tajam di tangan itu. Akan tetapi, semenjak dia keluar atau turun dari tempat pertapaannya di Himalaya, baru sekaranglah dia berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Oleh karena itu, dia melihat terbukanya kesempatan baik baginya untuk menguji ilmu-ilmu peninggalan ayahnya yang sudah dilatihnya secara masak, di bawah bimbingan Bu Beng Hud-couw sendiri, seperti yang dibayangkan dan dilihatnya di dalam pertapaannya itu. Oleh karena itu, dia pun segera menghadapi serangan-serangan kedua orang itu dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang. Dan ilmu silat yang hanya terdiri dari delapan belas jurus ini memang hebat bukan main. Begitu dia menggerakkan kaki tangannya menurut jurus ilmu ini dan mengerahkan sinkang yang terkumpul melalui siulian menurut ajaran di dalam kitab-kitab ayahnya, ada getaran-getaran aneh keluar dari kedua tangannya dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, ada hawa pukulan yang menyambar keluar dan dapat menahan gulungan sinar pedang dan golok itu. Gerakan kedua tangannya mengeluarkan hawa yang membuat pedang dan golok itu tidak mampu mendekatinya, apa lagi menyentuh tubuhnya! Dua orang lawannya beberapa kali mengeluarkan seruan heran dan kaget, dan hal ini menjadi bukti bagi Thian Sin bahwa ilmunya itu sudah mencapai tingkat sempurna. Maka puaslah hatinya. Dia menggerakkan tangannya menurut jurus-jurus Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang dan baru tiga jurus saja dia keluarkan, kedua orang lawannya itu tidak sanggup bertahan lagi dan terus terhuyung ke belakang! “Hemmm, dua ekor monyet banyak lagak. Hadapilah yang ini!” Thian Sin membentak dan sekarang dia ingin mencoba ilmunya yang ke dua yaitu Hok-te Sin-kun, maka tiba-tiba saja tubuhnya berjungkir-balik! Dua orang lawannya yang sudah menyerang lagi itu terkejut dan menjadi bingung ketika tiba-tiba ada dua buah kaki yang menghadapi mereka, dengan gerakan-gerakan aneh sekali. Dan sebelum mereka tahu apa yang sedang terjadi, ujung kedua sepatu itu telah menendang sehingga membuat golok dan pedang mereka terlepas dan tiba-tiba saja dari bawah, ada jari tangan menotok lutut kemudian mereka pun terpelanting dan jatuh! Dua orang itu merasa terkejut dan juga heran bercampur penasaran dan takut! Belum pernah selama hidup mereka yang puluhan tahun itu mereka pernah berjumpa dengan lawan sehebat ini. Mereka telah meloncat bangun lagi dan keduanya cepat menggerakkan tangan. Jarum-jarum berikut paku-paku beracun langsung bertaburan keluar dari tangan mereka, menyambar ke arah tubuh Thian Sin. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja. Tangan kirinya mencabut kipas, kemudian dengan beberapa kali gerakan kipasnya, semua jarum dan paku beracun itu pun runtuh. Bahkan di bagian bawah, yang mengenai paha dan kaki, seperti mengenai baja saja dan runtuh tanpa menimbulkan luka. Dan sambil tersenyum Thian Sin melangkah maju, terus menghampiri mereka. Dua orang itu memandang pucat, hendak lari merasa malu dan juga merasa tidak ada gunanya, tapi hendak melawan merasa takut! “Engkau hendak melempar orang ke dalam lubang perangkap itu? Nah, aku ingin melihat kalian berdua masuk ke dalamnya dan menjinakkan orang hutan itu. Hayo kalian masuk, ataukah harus kulemparkan ke sana?” Thian Sin berkata, suaranya halus dan mulutnya tersenyum, tangannya masih menggerakkan kipasnya mengebut ke arah lehernya yang sedikit berkeringat. Su Lo To dan Torgan memandang dengan muka pucat, dan keduanya menggelengkan kepala. Mereka belum gila untuk mau memasuki lubang perangkap yang di dalamnya ada seekor orang hutan yang liar dan haus darah itu. Akan tetapi, mereka juga tahu bahwa pemuda itu mengancam, maka mereka tidak tahu harus berbuat bagaimana. Tiba-tiba saja Thian Sin berseru, “Baiklah, kalau begitu aku yang akan melempar kalian ke sana!” Kipasnya lalu menyambar dengan cepat, mengeluarkan angin karena digerakkan ke arah muka mereka, dan jari-jari tangan kanan Thian Sin juga bergerak seperti hendak menusuk ke arah kedua mata mereka dengan kecepatan kilat. Dua orang yang sudah merasa jeri itu dan yang hanya ingin membela diri, cepat-cepat mengangkat kedua tangan untuk menangkis, akan tetapi tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terdorong lantas terlempar tanpa dapat dihindarkan lagi. Ternyata Thian Sin tadi menggerakkan kipas dan tangannya untuk menarik perhatian mereka ke atas, sedangkan kakinya mengerahkan sinkang sambil menendang ke arah mereka, tendangan yang tidak mendatangkan luka melainkan membuat tubuh mereka terlempar, tepat masuk ke dalam lubang perangkap itu. Semua orang yang menyaksikan peristiwa ini menjadi kaget, ngeri dan juga girang. Akan tetapi, segera terdengar suara hiruk-pikuk yang menyeramkan di dalam lubang parangkap itu. Suara orang hutan yang memekik-mekik diselingi oleh seruan-seruan dua orang yang terlempar ke dalam lubang itu. Thian Sin, Gak Song dan beberapa orang temannya itu segera menghampiri lubang dan dari atas mereka melihat perkelahian yang amat seru dan mati-matian antara orang hutan dan dua orang lihai itu. Orang hutan itu memang kuat dan buas sekali, pakaian dua orang itu sudah robek-robek dan tubuh mereka luka-luka, akan tetapi sekali ini, orang hutan itu berhadapan dengan dua orang yang amat lihai. Dan karena lubang itu terlampau sempit untuk tempat berkelahi, maka mereka bertiga itu lebih tepat bergumul dari pada berkelahi mempergunakan pukulan-pukulan. Akhirnya, sesudah menderita luka-luka akibat gigitan dan cakaran binatang buas itu, dua orang lihai itu berhasil menangkap sebuah kaki serta sebuah tangan, kemudian mereka mengerahkan tenaga menarik. Terdengar orang hutan itu memekik nyaring sekali, berusaha meronta, namun akhirnya terdengar suara keras dan tubuh orang hutan itu robek dan pecah menjadi dua potong! Dua orang itu melemparkan potongan tubuh orang hutan keluar dari lubang. Semua orang meloncat mundur dan tidak lama kemudian, kedua orang itu pun melayang keluar dari dalam lubang jebakan itu, pakaian mereka penuh dengan darah orang hutan dan muka mereka pun berdarah, keadaan mereka sungguh menyeramkan sekali. Thian Sin tersenyum saat menghadapi mereka. “Bagus, kalian telah berhasil menjinakkan orang hutan itu. Akan tetapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.” Dua orang itu saling pandang dan nampak terkejut sekali. Mereka tadinya mengira bahwa sesudah mereka dilemparkan ke dalam lubang itu lantas berkelahi mati-matian melawan orang hutan sampai memperoleh kemenangan, pemuda itu akan membebaskan mereka. Karena merasa jeri, maka tanpa malu-malu lagi Su Lo To berkata, “Taihiap… harap suka ampunkan kami…” “Hemmm, mudah saja bagiku untuk mengampuni kalian. Akan tetapi, Torgan, apakah kau kira arwah ayah bundaku dapat mengampunimu? Bukankan engkau yang menganjurkan kepada mendiang Raja Agahai untuk ikut mengeroyok dan membunuh orang tuaku? Dan engkau, Su Lo To, biar pun di antara kita tidak terdapat permusuhan, akan tetapi agaknya mantu Paman Gak Song tidak akan dapat mengampunimu begitu saja! Juga para wanita yang pernah kau permainkan dan saudara-saudara yang dulu pernah kau siksa atau kau bunuh. Nah, demi mereka itulah aku harus bertindak kepada kalian. Selama ada aku di dunia ini, aku tentu akan membuat perhitungan dengan semua penjahat!” Dua orang yang sudah merasa jeri itu, sesudah saling memberi isyarat dengan pandang mata, tiba-tiba saja meloncat dan melarikan diri, yang seorang ke kanan dan seorang lagi ke kiri. Mereka itu agaknya hendak berlaku cerdik, melarikan diri dengan berpencar agar salah seorang di antara mereka dapat lolos! Melihat ini, Thian Sin sudah meloncat dan mengejar Torgan. Sekali loncat saja dia sudah berhasil menyusul dan sebuah tamparan yang mengenai pundak Torgan membuat orang itu terguling sehingga tidak mampu bangkit kembali. Thian Sin langsung mengejar ke arah larinya Su Lo To. Orang itu sudah berlari agak jauh, akan tetapi dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, tidak lama kemudian Thian Sin sudah dapat mengejarnya. Begitu mendengar gerakan dari arah belakang dan tahu bahwa pemuda sakti itu sudah mengejar dan menyusulnya, tiba-tiba Su Lo To membalik lalu mengirim serangan dengan nekat. Dia membalik dan menubruk, mempergunakan kedua tangannya untuk menerkam laksana gerakan seekor binatang buas menerkam mangsanya. Agaknya, karena maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi ilmu silat pemuda itu, Su Lo To telah mengambil keputusan nekat untuk dapat menangkap pemuda itu. Sekali dapat ditangkapnya, dengan tenaganya yang besar, maka dia akan dapat menghancurkan pemuda itu! Akan tetapi, Thian Sin langsung menangkap kedua pergelangan tangan lawan dan begitu dia mengerahkan tenaganya, maka terdengar suara nyaring. “Krekk! Krekk!” dan patahlah tulang-tulang pergelangan kedua tangan itu! Thian Sin menendang dan lawannya pun roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih karena kedua pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang! Gak Song dan teman-temannya sudah datang ke tempat itu sambil menyeret tubuh Torgan yang sudah tidak berdaya. Pukulan atau tamparan pada pundaknya tadi selain membuat pundaknya remuk juga membuat dia merasa lumpuh pada separuh tubuhnya. Setelah melemparkan tubuh Torgan di dekat tubuh Su Lo To, Gak Song menjura kepada Thian Sin kemudian berkata, “Kami merasa bersyukur sekali bahwa taihiap telah mampu menundukkan mereka. Selanjutnya apakah yang hendak taihiap lakukan terhadap kedua orang ini?” Thian Sin tersenyum. “Aku tidak pernah mau mengampuni orang jahat. Torgan adalah musuh orang tuaku, dia harus mati. Akan tetapi karena antara Su Lo To dan kalian ada perhitungan sendiri, maka terserah kepada kalian. Kuserahkan Su Lo To kepada kalian untuk diadili!” “Biar kubalaskan sakit hati isteriku!” Putera Gak Song berteriak dan dia sudah mencabut goloknya, kemudian mengayun golok itu ke arah leher Su Lo To yang sudah tidak mampu mengelak lagi. “Plakk!” Golok itu terlepas dari tangan pemuda itu ketika Thian Sin menangkisnya dan pendekar ini lantas mengambil golok tadi sambil tersenyum memandang kepada putera Gak Song yang terbelalak heran dan kaget. “Bukan begitu caranya menghukum orang jahat. Terlampau enak baginya apa bila hanya langsung dipenggal lehernya. Dia adalah perusak wanita, suka memperkosa wanita, nah beginilah hukumannya untuk itu!” Nampak sinar berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tidak ada yang tahu apa yang terjadi ketika Thian Sin sudah menarik kembali goloknya. Hanya ketika Su Lo To berteriak dan merintih-rintih sajalah, lalu melihat darah membasahi celana orang itu, maka semua baru tahu dan merasa ngeri sekali bahwa pendekar itu sudah mempergunakan goloknya untuk membuntungi alat kelamin Su Lo To! Hanya seorang ahli yang amat mahir sajalah yang dapat melakukan hal itu tanpa melukai kedua paha atau perut. Tentu saja Su Lo To merasakan kengerian yang menusuk-nusuk jantung sehingga tubuhnya berkelojotan. “Dan dia juga telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu hal itu dilakukannya dengan kedua tangannya, bukan? Nah, beginilah hukumannya!” Kembali tampak sinar golok berkelebat dan sekarang yang menjadi sasaran adalah kedua tangan Su Lo To yang tahu-tahu sudah menjadi buntung! Darah bercucuran dari kedua lengan yang telah kehilangan tangan itu dan tubuh Su Lo To semakin keras berkelojotan, mukanya penuh peluh dan matanya melotot, mulutnya mengerang-erang dan membusa. Semua orang menjadi ngeri sekali menyaksikan peristiwa ini, bahkan menantu Gak Song yang tadinya merasa sakit hati terhadap orang itu telah roboh pingsan di dalam rangkulan suaminya. Wajah Gak Song sendiri menjadi pucat bukan main. Selamanya belum pernah dia melihat keganasan dan kekejaman orang seperti yang dilakukan Thian Sin itu! “Nah, biarkan dia begitu sampai mati! Itu baru sepadan dengan semua kejahatannya. Dan sekarang aku akan menghukum musuh ayah dan ibuku!” Dia menghampiri Torgan yang sudah menjadi pucat sekali menyaksikan nasib kawan atau suheng-nya itu. “Torgan, apa yang hendak kau katakan sekarang?” Baru sekarang Torgan mengenal apa artinya rasa takut. Dia merasa ngeri sekali melihat suheng-nya dan hampir dia tidak percaya bahwa seorang pemuda yang sehalus itu, yang bersikap ramah dan manis lemah lembut, berpakaian sastrawan, dapat memiliki sifat yang sedemikian kejamnya. Saking takutnya, dia tidak mampu berkata-kata lagi, hanya dapat memandang dengan muka pucat akan tetapi penuh dengan keringat dingin. “Engkau tidak mau bicara? Padahal, di hadapan Raja Agahai, mulutmu inilah yang paling busuk dan jahat, dan tentu mulutmu pula yang dulu menganjurkan agar Raja Agahai ikut mengirim pasukan untuk mengeroyok kedua orang tuaku. Maka, pertama-tama mulutmu yang harus dihukum!” Golok itu berkelebat dan seketika darah muncrat dari bagian muka di mana tadinya mulut Torgan berada. Kini mulut itu sendiri telah hilang, yaitu kedua bibirnya dan sebagian dari giginya, lenyap akibat terbabat golok sehingga pada bagian itu hanya nampak sebuah lubang hitam yang penuh berdarah. Torgan mengeluarkan rintihan dari tenggorokannya, sedangkan semua orang memandang dengan hati ngeri. “Engkau pun harus menghadap arwah orang tuaku dalam keadaan tersiksa!” Golok itu berkelebatan lagi dan nampak darah muncrat-muncrat ketika kedua telinganya, hidung, kedua tangan dan kedua kaki Torgan terbabat buntung semua. Tubuh Torgan kini juga berkelojotan seperti tubuh Su Lo To dan Gak Song sendiri sampai membuang muka tidak tahan menyaksikan mereka itu. Thian Sin juga tahu akan kengerian mereka, maka dia kini menghampiri Gak Song serta kawan-kawannya lantas berkata, “Baik sekali bahwa kalian sebagai bekas-bekas anggota Jeng-hwa-pang telah bertobat dan tidak mau melakukan kejahatan lagi. Karena kalau aku mendapatkan kalian masih seperti dahulu, tentu kalian akan mengalami nasib yang sama dengan mereka berdua ini.” Gak Song cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan diturut oleh semua temannya. “Kami menghaturkan terima kasih atas pertolongan taihiap,” Suaranya menggetar, tanda bahwa hatinya masih gentar dan ngeri menyaksikan hukuman yang amat kejam itu. “Dan kalian harus tahu bahwa wanita muda ini sama sekali tidak bersalah, karena itu, jika sampai kelak aku mendengar bahwa suaminya membencinya karena peristiwa perkosaan itu, aku akan menghukumnya dengan berat!” Putera Gak Song cepat merangkul isterinya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Taihiap, saya mencinta isteri saya dan saya tahu bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Saya tidak menyalahkan dia, bahkan saya merasa kasihan kepadanya.” “Bagus kalau begitu. Nah, sekarang siapa yang tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam? Dia juga merupakan musuh keluargaku, dan harus kucari sampai dapat!” Mendengar pertanyaan ini, Gak Song lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Kami semua benar-benar tidak tahu pasti di mana adanya orang itu, akan tetapi kami pernah mendengar kabar angin bahwa dia kini bersekutu dengan Pek-lian-kauw tak jauh dari kota raja. Tentu saja dia telah mendengar tentang taihiap, maka dia ingin mendekati sekutunya ketika melakukan pengeroyokan terhadap Pangeran Ceng Han Houw.” “Apa maksudmu? Sekutunya? Siapakah mereka?” “Ada dua orang yang dahulu diperbantukan oleh Kerajaan Beng untuk mengeroyok ayah bunda taihiap. Mereka itu adalah dua orang tokoh dari Hwa-i Kai-pang, bernama Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai. Hanya itulah yang kami ketahui, taihiap.” Thian Sin mengangguk-angguk. “Terima kasih, Paman Gak. Nah, aku pergi sekarang!” Dan sekali dia berkelebat, pemuda itu sudah tidak nampak lagi di depan mereka. Semua orang menjadi terkejut dan juga kagum bukan main. Sementara itu, dua tubuh yang sudah tak karuan rupanya itu masih berkelojotan dan dari tenggorokan mereka terdengar suara rintihan-rintihan yang tidak jelas. Melihat hal ini, Gak Song menjadi tidak tega. Walau pun Su Lo To pernah melakukan banyak kejahatan dan menindas dia serta semua temannya, namun melihat tubuh itu berkelejotan dan tersiksa, dia tidak tega. Cepat dia menyambar dua batang tombak, lantas dengan gerakan kuat dia menancapkan tombak-tombak itu ke dada dua orang itu, menembus jantung dan punggung. Seketika itu juga tewaslah kedua orang itu. Gak Song kemudian memimpin orang-orangnya untuk mengubur dua mayat itu di dalam lubang, bersama mayat kawan mereka yang menjadi korban orang hutan, juga bangkai orang hutan itu, lalu menutup lubang jebakan itu dengan tanah. Setelah itu, beramai-ramai mereka kembali ke perkampungan mereka dengan hati terasa lapang, karena mereka melihat masa depan yang cerah sesudah Su Lo To tidak ada. *************** Perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah sebuah perkumpulan pengemis yang terbesar di kota raja dan sekitarnya. Dahulu, ketika perkumpulan itu didirikan oleh Hwa-i Sin-kai, perkumpulan ini merupakan perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan, bahkan tidak segan-segan untuk menentang para pejabat pemerintah apa bila para pejabat itu menindas rakyat. Bahkan perkumpulan Hwa-i Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan yang membela rakyat jelata. Hwa-i Sin-kai sendiri tewas dikeroyok pasukan pemerintah ketika dia dituduh menjadi pemberontak. Ketika itu, Hwa-i Kai-pang bahkan condong menentang pemerintah yang berada di bawah pimpinan Kaisar Ceng Tung. Akan tetapi, sesudah Hwa-i Sin-kai tewas dan Kaisar Ceng Tung sendiri juga sudah tak ada lagi dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Ceng Hwa, terjadilah perubahan besar. Hwa-i Kai-pang didekati dan mendekati pemerintah, apa lagi sesudah perkumpulan ini dipegang oleh Hek-bin Mo-kai dan Lo-thian Sin-kai yang haus akan kedudukan dan kemuliaan, perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan yang pro pemerintah. Dan biasanya, kemuliaan dan kekayaan suka menyeret manusia ke dalam lembah nafsu yang tidak kenal puas. Selain kepuasan sesaat saja, kesenangan selalu mendatangkan keserakahan dan kehausan akan kesenangan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Makin kita memanjakan nafsu mengejar kesenangan, makin dalam lagi kita terperosok ke dalam lembah kehausan ini. Makin dituruti, nafsu menjadi semakin kuat menguasai kita sehingga kita sudah bukan menjadi manusia lagi, melainkan menjadi hamba nafsu yang hidup hanya sekedar menjadi permainan nafsu belaka. Sudah jelaslah bahwa menuruti nafsu saja membuat kita menjadi manusia yang tak ada guna, menjadi hamba nafsu yang akhirnya akan menyeret kita ke lembah kehancuran, baik jasmani mau pun rohani. Bukan hanya terdapat dalam pelajaran kitab-kitab suci atau pun filsafat-filsafat belaka yang kesemuanya itu hanya teori belaka, akan tetapi dapat kita saksikan dan hayati sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari. Akan tetapi, bagaimana pengekangan nafsu-nafsu seperti yang dianjurkan oleh hampir semua pelajaran kebatinan? Siapakah yang mengekang atau mengendalikan nafsu? Yang mengendalikan adalah aku yang melihat bahwa menuruti nafsu adalah buruk, maka aku ingin supaya dapat menguasai dan mengendalikan nafsu, supaya menjadi baik. Aku melihat bahwa menuruti nafsu akan membawa kepada kesengsaraan, maka aku ingin mengendalikan nafsu, menguasainya agar tidak terjerumus, agar memperoleh keamanan dan keselamatan yang berarti aku akan menikmati keadaan yang menyenangkan. Bila mana kita mau mendalami hal ini, maka akan nampaklah bahwa nafsu adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri, nafsu adalah si aku yang ingin senang. Sedangkan yang ingin mengendalikan nafau adalah aku pula, maka tidak ada bedanya antara nafsu dan yang ingin mengendalikan nafsu! Semua itu adalah permainan si aku yang ingin selalu senang. Terjadilah konflik antara keadaaan aku yang ingin memuaskan nafsu dan aku yang ingin mengendalikan dan menguasai nafsu. Dan hal ini malah akan menjadi pupuk bagi nafsu itu sendiri. Mengendalikan saja tak akan mematikan nafsu, hanya akan menyeilmuti saja untuk sementara. Dan dalam konflik pengekangan ini, kita membuang energi yang amat besar dan sangat banyak. Akibatnya, nafsu tidak akan lenyap dan kita kehilangan energi dan menjadi tumpul, lemah. Yang terpenting adalah pengamatan terhadap diri sendiri, terhadap nafsu apa bila timbul, terdapat keinginan-keinginan untuk menguasainya, keinginan untuk begini atau begitu yang semuanya tentu menuju ke satu arah, yaitu ingin bebas, ingin selamat, ingin aman, yang sesungguhnya hanyalah topeng-topeng halus dari satu keinginan, yaitu keinginan untuk senang. Pengamatan yang dilakukan oleh si pengamat, masih sama saja, berada di dalam satu lingkaran setan, karena si pengamat ini adalah si aku pula, si nafsu untuk memperoleh keadaan yang lebih menyenangkan juga. Jadi, yang ada hanyalah pengamatannya saja, tanpa aku si pengamat. Di dalam pengamatan ini terdapat kewaspadaan dan kesadaran yang menimbulkan pengertian yang mendalam. Dan hanya pengertian mendalam inilah yang akan menimbulkan tindakan yang mendatangkan perubahan. Setelah kini menjadi perkumpulan yang dilindungi oleh pemerintah, apa lagi di kota raja di mana perkumpulan itu dapat berhubungan langsung dengan para pembesar dari tingkat yang tertinggi, Hwa-i Kai-pang menjadi amat berpengaruh dan kekuasaannya terasa oleh penduduk. Kai-pang ini sangat disegani oleh semua golongan. Setiap orang pengemis baju kembang selalu diterima sebagai orang yang dihormati dan disegani, padahal sebenarnya adalah merupakan orang yang ditakuti dan dibenci, dan mudah bagi setiap orang pengemis baju kembang untuk mendapat sumbangan dari toko-toko dan pedagang-pedagang, mau pun orang-orang. Tidak ada sumbangan yang diberikan dengan hati rela oleh siapa pun juga. Selama suatu pemberian itu terjadi karena diminta, dan selama pemberian itu disebut pemberian atau sumbangan atau dermaan dan lain sebagainya, maka di dalam pemberian itu sudah pasti terkandung suatu sebab yang melahirkan pemberian itu. Mungkin sebab itu merupakan pamrih memperoleh pujian, atau sekedar memuaskan hati sendiri, atau karena takut, maka sudah pasti bahwa sumbangan yang biasanya disebut sumbangan suka rela itu dilakukan orang dengan hati yang sama sekali tidak rela! Hanya pemberian yang dilakukan dengan dasar cinta kasih sajalah yang bahkan pemberiannya tidak dianggap sebagai pemberian atau sumbangan lagi, akan tetapi merupakan suatu kewajaran dan yang tidak diingat-ingat lagi. Orang-orang Hwa-i Kai-pang mudah dikenal dari pakaian mereka. Pakaian yang tambal-tambalan seperti lajimnya pakaian pengemis, akan tetapi sama sekali tidak kotor apa lagi butut, melainkan pakaian yang ditambal-tambal, sengaja ditambal-tambal dan terbuat dari pada kain yang bersih dan baru. Dan mereka ini yang menjadi semacam ‘pelindung’ dari toko-toko dan rumah-rumah penduduk. Memang benar bahwa semenjak mereka berkuasa, di kota raja boleh dikatakan tidak ada lagi pencoleng yang berani beroperasi karena mereka ini akan berhadapan dengan Hwa-i Kai-pang yang sangat kuat. Para pencuri, pencopet dan pencoleng pergi untuk beroperasi di kota-kota atau dusun-dusun lain yang jauh dari kota raja. Akan tetapi, tidak adanya kaum pencoleng itu bukan berarti bahwa kehidupan rakyat di kota raja menjadi aman. Sama sekali tidak! Karena, para ‘pelindung’ itu sendirilah yang kini menjadi pengganti para pencoleng itu. Hanya bedanya, apa bila para pencoleng itu melakukan pekerjaan mereka dengan cara mencopet, mencuri atau menggertak dengan kasar, sebaliknya para ‘pelindung’ itu melakukannya dengan halus, dengan dalih hendak melindungi, sumbangan dan sebagainya. Akan tetapi, apa bedanya bagi rakyat yang harus menderita rugi karenanya? Sama saja! Pelindung yang seharusnya melindungi rakyat dari gangguan luar itu kini malah menjadi pengganggu sendiri, seperti pagar makan tanaman. Inilah ciri-ciri dari penyalah gunaan kekuasaan dan hal ini sudah terjadi semenjak jaman kuno sampai sekarang, di seluruh dunia. Kalau toh ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah terletak pada caranya saja. mungkin kasar, mungkin pula halus. Akan tetapi pada hakekatnya kekuasaan telah disalah gunakan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, kemakmuran diri sendiri dan kesenangan bagi diri sendiri. Karena kekuasaan merupakan senjata mutlak untuk memperoleh kesenangan, maka tak mengherankan apa bila seluruh manusia di dunia ini lalu memperebutkan kekuasaan, dan perebutan kekuasaan ini melahirkan permusuhan, dari permusuhan pribadi, sampai permusuhan golongan, antara saudara, antara suku sampai kepada antara bangsa dan negara! Setelah kita melihat dengan jelas bahwa kekuasaan itu merusak kehidupan, maka jalan satu-satunya bagi kita hanyalah melepaskan tangan dan tak pernah ikut memperebutkan kekuasaan lagi! Sekarang para penjaga keamanan kota boleh tinggal enak-enak dan bersenang-senang. Bahkan para prajurit penjaga tidak perlu lagi berkeliaran dari satu toko ke toko lain untuk minta sumbangan karena mereka itu sudah dijamin oleh orang-orang Hwa-i Kai-pang! Betapa pun juga, sekarang kota raja kelihatan aman dan tenteram, dan Hwa-i Kai-pang seolah-olah menjadi semacam pasukan khusus yang menjamin keamanan di dalam kota raja. Tentu saja hal ini hanya kelihatannya saja, karena banyak penghuni yang mengeluh dan merasa diperas dan ditekan oleh orang-orang berbaju kembang itu. Pada suatu hari, di tanah lapang dekat dengan pasar sebelah selatan kota raja, banyak orang berkerumun dan kadang-kadang mereka itu bertepuk tangan dan bersorak memuji. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang gadis berusia tujuh belas tahun sedang mengadakan pertunjukkan silat untuk menarik perhatian orang-orang. Mereka adalah penjual-penjual koyo, yaitu obat luka, penyambung tulang dan obat memulihkan otot-otot yang keseleo, juga menyembuhkan sakit pegal linu dan sebagainya. Permainan silat tukang obat itu, terutama sekali permainan silat puterinya yang manis itu menarik perhatian dan memancing tepuk tangan memuji tadi. Pada akhir pertunjukkan, Si Ayah membuka baju atasnya, kemudian sambil bertelanjang dada dan punggung, dia pun menghadap ke empat penjuru. “Untuk membuktikan keampuhan koyo kami, biarlah saya akan menunjukkan betapa koyo itu dapat menyembuhkan luka bekas pukulan dengan cepat.” Puterinya mengambil sebatang toya kuningan, kemudian dengan toya ini mulailah dara itu mengayunkan toya dan memukuli tubuh ayahnya, pada punggung dan dadanya. Nampak tanda-tanda matang biru pada dada dan punggung itu dan para penonton merasa ngeri juga. Walau pun pukulan-pukulan keras itu agaknya tidak sampai melukai sebelah dalam tubuh, namun jelas bahwa kulit punggung dan perut serta dadanya menjadi matang biru. Atas isyarat ayahnya, dara itu menghentikan pukulan-pukulannya dan tukang obat itu lalu berjalan berkeliling mendekati para penonton memperlihatkan keadaan kulit punggung dan dadanya itu dari dekat. Sesudah itu, dengan dibantu oleh puterinya dia lalu menempelkan koyo-koyo pada luka-luka itu. Sambil menanti dan membiarkan koyo-koyo itu bekerja, kini si dara kembali menunjukkan kemahirannya bermain toya. Toya yang dimainkan dengan cepat itu kelihatannya berubah menjadi banyak sekali, terus menyambar-nyambar di sekeliling tubuh si dara manis. Para penonton memuji dan bertepuk tangan. Sesudah dara itu menghentikan permainan silatnya, ayahnya lalu membuka koyo-koyo itu dan semua penonton kembali memuji karena memang benar sekali, warna biru-biru pada kulit dada dan punggung itu lenyap sudah. “Cu-wi telah menyaksikan kemanjuran koyo ini! Cu-wi perlu menyediakan koyo seperti ini di rumah, untuk menjaga kalau-kalau cu-wi sendiri atau pun anak-anak cu-wi, terjatuh lalu terluka atau membengkak. Harganya sangat murah karena koyo ini adalah buatan kami sendiri, maka cu-wi tidak dapat memperolehnya di toko-toko dan kami tidak setiap hari lewat di kota raja ini…” Dara itu membawa baki terisi bungkusan koyo dan berjalan berkeliling. Banyak penonton yang membeli koyo, bukan hanya karena mereka sudah menyaksikan sendiri kemanjuran obat itu, melainkan juga karena kagum dengan kemahiran ayah dan anak itu bersilat, dan karena dara yang manis itu memang menarik hati. Sebentar saja seluruh persediaan koyo itu telah habis dibeli orang! Dara itu menjadi girang sehingga berkali-kali dia menjura dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum manis, juga penjual koyo itu mengucapkan terima kasih kepada para pembeli. “Cu-wi sekalian sudah begitu baik hati untuk membantu kami membeli koyo kami sampai habis. Untuk kebaikan cu-wi ini, biarlah kami mainkan beberapa jurus ilmu silat lagi,” kata si tukang koyo. Akan tetapi tiba-tiba saja para penonton itu mundur dan membuka jalan bagi dua orang pengemis baju kembang. Semua orang merasa sangat khawatir karena biasanya apa bila ada pengemis Hwa-i Kai-pang mencampuri sesuatu urusan, tentu akan timbul keributan. Mereka itu adalah dua orang pengemis yang usianya masih muda, baru tiga puluh tahun lebih dan melihat sikap mereka, jelas nampak bahwa mereka berdua sudah biasa berbuat ugal-ugalan dan biasa pula ditakuti orang sehingga mereka langsung memasuki lingkaran itu dengan tersenyum mengejek. Seorang di antara mereka yang pada pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang dari hidung hingga ke telinga kiri, melangkah maju memasuki lingkaran itu dan menghampiri si penjual koyo yang memandang dengan heran sebab sebagai orang luar dia tak mengenal para pengemis Hwa-i Kai-pang, lalu berkata dengan suara galak, “Hei, tukang penjual koyo! Apakah engkau sudah mendapat ijin dari Hwa-i Kai-pang untuk berdagang di sini dan memamerkan sedikit kepandaian ilmu silatmu?” Menerima pertanyaan yang kasar dan nadanya merendahkan ini, tukang obat yang sudah sangat berpengalaman itu maklum bahwa pengemis-pengemis ini memang mau mencari keributan. Dia adalah seorang pendatang, seorang tamu, maka dia bersikap sabar. “Maaf, karena tidak mengerti peraturan, maka kami membuka pertunjukan untuk menjual koyo guna menyambung biaya perjalanan kami.” “Huh, enak saja bicara!” kata pengemis ke dua yang mukanya hitam dan kasar. “Siapa pun juga, sebelum mendapatkan ijin dari pemerintah atau dari Hwa-i Kai-pang, tidak boleh sembarangan membuka pertunjukan di sini!” “Kami sudah terlanjur karena tidak tahu akan peraturan itu, harap maafkan. Lain kali kami akan minta ijin lebih dulu,” kata tukang penjual obat itu dengan sikap merendah. “Mana ada aturan begitu? Sudah mengeduk uang baru minta maaf. Hayo lekas serahkan setengah dari pendapatan kalian kepada kami, baru boleh bicara tentang maaf!” kata Si Muka Codet. Tukang obat itu mengerutkan alisnya, dan dara itu yang merasa penasaran sudah berkata dengan suara keras, “Mana bisa begitu? Keuntungan kami pun tidak ada setengahnya, bagaimana dapat diminta setegahnya?” “Aha, nona, siapa tidak tahu bahwa koyo kalian ini hanya terbuat dari tahi kerbau dan tanah lumpur? Kalian membuat koyo tanpa modal, jadi biar pun membayar kepada kami setengahnya sekali pun, kalian masih kebagian keuntungan yang cukup banyak!” kata Si Muka Hitam sambil tersenyum cengar-cengir secara kurang ajar sekali. Mendengar ini, kemarahan tukang obat itu tak sanggup ditahannya lagi. “Harap ji-wi tidak main-main. Kami ayah dan anak melakukan perjalanan merantau selalu mengandalkan biaya perjalanan dengan menjual obat. Kami bukanlah pemeras-pemeras yang mengambil keuntungan terlampau banyak. Karena kami tidak mengenal peraturan di sini, maka kami telah melanggarnya dan harap ji-wi suka memaafkan. Kini biarlah kami memberi sekedar sumbangan kepada ji-wi.” Sambil berkata demikian, tukang obat yang belum tahu dengan pengemis macam apa dia berhadapan itu, telah menyerahkan beberapa potong uang kecil kepada mereka. “Plakk!” Si Codet menampar tangan itu sehingga beberapa potong uang kecil itu segera terlempar. “Hemmm, siapa main-main? Engkaulah yang main-main dan kurang ajar menghina kami, memberi kami beberapa potong uang kecil. Apa kau kira kami ini orang-orang kelaparan? Dan memang aku mau main-main, yaitu main-main dengan puterimu ini. Biarlah jumlah yang setengahnya dari uang pendapatan itu kau ganti saja dengan puterimu ini yang harus melayani kami berdua selama satu malam. Akur, bukan?” Inilah penghinaan yang sudah amat jauh melewati batas! Tukang obat itu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, maka mendengar ucapan ini, tahulah dia bahwa yang bersembunyi di balik pakaian pengemis ini adalah orang-orang jahat yang bermoral bejat. Maka dia pun melompat maju dan bertolak pinggang. “Sahabat, aku orang she Liang bukanlah seorang pengecut yang tidak berani membela kehormatan dengan nyawa. Kalian sengaja hendak menghina kami, nah, majulah, jangan kalian kira aku takut berhadapan dengan penjahat-penjahat bertopeng pengemis macam kalian ini!” Dua orang pengemis itu melotot. “Eh, monyet! Berani engkau menghina Hwa-i Kai-pang?” Sudah biasalah bagi orang-orang yang mengandalkan nama perkumpulan, sedikit-sedikit menyinggung kepada perkumpulannya di mana dia bersandar. “Apakah engkau sudah bosan hidup?” bentak Si Codet. Dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan keras ke arah muka tukang obat itu. Akan tetapi tukang obat itu mengelak, lantas balas memukul ke arah lambung. Si Codet cepat menangkis. “Dukkk…!” Dua lengan bertemu dan akibatnya mereka sama-sama terhuyung dan merasa lengan mereka nyeri. Ini menandakan bahwa tenaga kedua orang ini berimbang. Si Codet yang merasa sebagai seorang jagoan dan selama ini di kota raja belum pernah ada orang yang berani menentangnya, merasa penasaran lantas menyerang lagi dengan cepatnya. Seperti para anggota Hwa-i Kai-pang lainnya, dia juga mengandalkan ilmu silat Ta-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Memukul Harimau). Gerakannya memang sangat cepat dan setiap pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat. Tukang obat itu harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk mengimbangi serangan-serangan lawannya yang ternyata tangguh itu. Mereka lantas saling serang dan keadaan mereka seimbang, walau pun tukang obat itu merasa sibuk juga menghadapi ilmu silat yang lihai itu. Melihat betapa temannya belum juga mampu mengalahkan Si Tukang Obat, Si Muka Hitam menyerbu ke depan. Akan tetapi, dara itu berseru marah. “Pengecut, jangan main keroyok!” Dan dia pun menerjang ke depan menyambut Si Muka Hitam. Karena maklum betapa lihainya para pengemis ini, tukang obat itu berseru kepada puterinya agar mundur. “Cin-ji, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi mereka!” Akan tetapi, tentu saja dara itu tidak mau mundur dan dengan cepat dia telah menyerang Si Muka Hitam yang melayaninya sambil tertawa-tawa. Dan memang benar, kepandaian dara itu masih terlampau rendah untuk menandingi Si Muka Hitam, apa lagi dia juga kalah tenaga. Setiap terkena tangkisan Si Muka Hitam itu, lengannya terasa nyeri sekali dan dia terhuyung. Akhirnya, sebuah tendangan dari Si Muka Hitam mengenai lutut dara itu yang membuatnya terpelanting roboh. Kakinya terkilir dan dara itu tidak dapat berdiri lagi. “Ha-ha-ha, malam nanti kupijiti kakimu yang terkilir, manis!” kata Si Muka Hitam yang kini cepat membantu temannya menghadapi Si Tukang Obat yang sudah terdesak. Melawan Si Codet seorang saja, dia sudah terdesak, apa lagi setelah Si Muka Hitam ikut maju. Maka Si Tukang Obat mulai menerima pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang membuatnya babak bundas dan jatuh bangun. Akan tetapi dia masih terus melawan meski pun setiap kali dia bangkit, hanya untuk menjadikan dirinya menjadi bulan-bulanan tendangan dan pukulan belaka. “Ha-ha-ha, nah cobalah sekarang obati luka-lukamu dengan koyo itu! Ha-ha-ha!” Si Muka Hitam tertawa-tawa. “Hayo kau ikut bersama kami!” Si Codet maju dan menangkap lengan dara yang masih duduk di atas tanah karena kakinya terkilir sehingga sia tidak mampu bangkit berdiri. Ketika lengannya ditangkap, dara itu meronta-ronta sambil menangis. Akan tetapi, semua orang yang tadinya menjadi penonton, kini mundur dan tidak ada seorang pun yang berani melerai, apa lagi menolong dara dan ayahnya itu. “Dunia sudah kacau, dunia sudah gila binatang buas berkedok manusia merajalela di kota raja seenaknya tanpa ada yang berani merintanginya!” Semua orang merasa terheran-heran ketika melihat seorang pemuda tampan berpakaian sasterawan, membawa kipas dan mengebut-ngebutkan kipas mengusir panas, membaca sajak dengan suara merdu, mendekati tempat kedua orang pengemis Hwa-i Kai-pang itu beraksi. Kedua orang pengemis ini pun melihat Si Pemuda dan mereka menjadi marah sekali. “Heh, engkau inilah yang agaknya sudah gila. Hayo lekas pergi, atau kupatahkan tulang-tulangmu bersama kipasmu!” bentak Si Muka Hitam yang sudah merasa lelah memukuli Si Tukang Obat dan sekarang agaknya hendak mencari sasaran lain untuk memamerkan kekuatannya. Akan tetapi Thian Sin, pemuda itu, tidak mempedulikan Si Muka Hitam, melainkan malah menghampiri dara yang telah dilepaskan oleh Si Codet yang kini juga memandang marah kepada Thian Sin yang dianggapnya mencampuri urusannya. Tetap saja Thian Sin tidak mempedulikan dua orang pengemis itu, melainkan menggunakan kipasnya yang ditutup untuk menotok ke arah kaki kiri dara itu. “Tuk-tukk!” Dua kali dia menotok dan dara itu merasa betapa kakinya sembuh kembali! Maka dia pun cepat bangkit berdiri dan memandang heran kepada pemuda itu. Thian Sin lalu menjura kepada dara itu. “Nona, dua ekor anjing belang ini telah memukuli ayahmu dan bersikap kurang ajar kepadamu, mengapa engkau diam saja, nona? Engkau adalah seorang gadis yang pandai ilmu silat, mengapa dihina orang diam saja? Hayo kau hajar dua ekor anjing belang yang kurang ajar ini!” Berkata demikian, tanpa dilihat orang lain, Thian Sin mengedip kepada dara itu. Entah apa yang menyebabkan dara itu seketika menjadi percaya sekali kepada Thian Sin. Mungkin melihat sikap aneh dari pemuda ini, dan mungkin pula melihat betapa dengan totokan kipasnya saja pemuda itu sudah mampu membuat kakinya yang terkilir menjadi sembuh kembali. Tiba-tiba dara itu telah meloncat ke depan menyerang kepada pengemis muka codet. “Cin-ji… hati-hatilah…!” Ayahnya yang babak-belur itu memperingatkan karena dia tahu bahwa puterinya itu sama sekali bukan tandingan pengemis-pengemis yang lihai itu. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika melihat betapa pukulan tangan dara itu dengan tepat mengenai leher pengemis muka codet. “Plakkk!” Pukulan itu cukup keras sehingga kepala Si Codet itu sampai miring dan tubuhnya juga terhuyung ke belakang. “Bagus, nona! Itu aniing belang muka hitam minta bagian!” seru Thian Sin dengan suara gembira. Semua orang yang melihat peristiwa ini menjadi terheran-heran, juga tukang obat sendiri. Kini, mendapatkan semangat baru karena hasil pukulannya tadi dan mendengar dorongan pemuda sasterawan, dara itu menyerang dengan tendangan kaki ke arah perut Si Muka Hitam. “Desss…!” Si Muka Hitam terjengkang dengan mata terbelalak dan muka merah, memegangi bagian perutnya yang tertendang karena terasa nyeri. Si Codet dan Si Muka Hitam sudah bangkit lagi, mata mereka terbelalak karena tanpa ada yang tahu, mereka tadi tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar dan ditendang oleh nona itu, akan tetapi sungguh luar biasa, setiap kali mereka ingin menggerakkan tangan atau kaki untuk menangkis atau mengelak, tubuh mereka mogok dan sama sekali tidak dapat digerakkan sehingga tentu saja pukulan serta tendangan gadis itu selalu tepat mengenai sasaran dan tubuh mereka terpelanting atau terhuyung, baru setelah itu mereka mampu bergerak lagi! Dara itu menjadi gembira bukan main melihat betapa setiap pukulan dan tendangannya mengenai sasaran. Maka dia pun terus menyerang kedua orang pengemis itu bergantian, dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan sekuatnya. Akibatnya, tubuh kedua orang pengemis itu iatuh bangun seperti ketika ayahnya dihajar tadi....


PENDEKAR SADIS JILID 24 :
TENTU saja semua itu disebabkan oleh Thian Sin yang mempergunakan kepandaiannya sehingga kedua orang pengemis itu tidak berdaya. Dan mulutnya terus memberi anjuran kepada dara itu. “Terus, nona. Hantam terus! Atau lebih baik gunakan kaki saja. Mereka itu tidak pantas bersentuhan dengan tanganmu, lebih baik gunakan sepatu menghajar muka mereka!” Dan dara itu pun menurut. Agaknya Thian Sin sudah melihat bahwa dara itu memiliki ilmu tendangan yang bagus sekali, maka dia memberi anjuran demikian. Dan kini, orang-orang melihat betapa kedua kaki dara itu secara bergantian menyambar-nyambar dan setiap kali menyambar, tentu mengenai muka kedua orang pengemis itu sehingga hidung dan mulut mereka berlumuran darah! Kini kedua orang pengemis itu mencabut pedang masing-masing. Akan tetapi, tetap saja setiap kali tendangan tiba, mereka tak mampu bergerak sehingga akhirnya, setelah muka mereka bengkak-bengkak dan berdarah, keduanya lari meninggalkan tempat itu. “Heiii, ini pedang kalian tertinggal!” Thian Sin berseru dan mengambil dua batang pedang mereka yang memang tadi terlepas dari pegangan dan mereka tinggalkan. Dengan sekali mengayun tangannya, Thian Sin melepaskan dua batang pedang itu yang menyambar seperti dua batang anak panah ke arah dua orang pengemis itu. Terdengar dua orang pengemis itu menjerit dan mendekap telinga kiri mereka yang telah buntung disambar pedang mereka sendiri dan kini mereka melarikan diri bagaikan dikejar setan saking merasa ngeri takutnya! Thian Sin cepat menghampiri tukang obat. “Paman, cepat kau ajak puterimu keluar dari kota ini. Cepat sebelum mereka ini datang. Biarkan aku yang menghadapi mereka!” Tukang obat itu tadi telah maklum bahwa pemuda inilah yang membantunya, dan dia pun bisa menduga bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Maka dia pun memberi hormat dan mengajak puterinya berlutut di hadapan Thian Sin. “Taihiap telah menolong kami, mohon tahu siapa nama taihiap yang mulia.” Thian Sin tersenyum dan membangkitkan mereka, “Bangunlah dan cepatlah kalian pergi. Namaku tak ada artinya, kelak kalian akan tahu sendiri. Sudahlah, paman. Pergilah cepat kalau paman ingin melihat puterimu selamat.” Tukang obat itu kembali menghaturkan terima kasih, kemudian membawa barang-barang mereka dan pergi bersama puterinya yang merasa berterima kasih serta kagum sekali terhadap Thian Sin. Pemuda ini tidak pergi, malah duduk di atas tanah dengan tenang. Melihat ini, orang-orang yang merasa takut akan pembalasan para pengemis sudah cepat pergi meninggalkan tempat itu karena takut terbawa-bawa. Dan beberapa orang memberi nasehat kepadanya agar cepat pergi pula. Akan tetapi pemuda itu menggelengkan kepala dan tertawa. “Aku memang menunggu mereka,” katanya seenaknya lalu pemuda ini bernyanyi-nyanyi gembira. Orang-orang menjadi semakin khawatir, tetapi karena takut tersangkut, akhirnya mereka pergi dan hanya berani menonton dari jarak jauh saja. Tak lama kemudian, muncul lima orang pengemis yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bersama Si Muka Hitam yang kepalanya sudah dibalut sehingga telinganya yang buntung tertutup kain pembalut. Si Muka Hitam tidak berbicara hanya menuding ke arah Thian Sin. Lima orang pengemis itu meloncat dengan gerakan ringan sekali dan mereka telah berdiri mengepung Thian Sin. Sikap mereka itu hati-hati sekali dan dari gerakan mereka tahulah Thian Sin bahwa kepandaian mereka ini jauh lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang pengemis yang tadi dihajarnya melalui kaki nona penjual koyo itu. Akan tetapi dia masih enak-enak saja, tersenyum-senyum memandang kepada mereka. “Inikah manusianya yang berani menghina anggota Hwa-i Kai-pang?” bentak seorang di antara mereka. “Manusia bosan hidup!” teriak yang ke dua. “Bocah setan, hayo mengaku siapa namamu sebelum kami mengantarkanmu ke neraka jahanam!” tertak orang ke tiga. Thian Sin masih berdiri sambil tersenyum, menurunkan dua tangannya yang tadi bertolak pinggang dan kini dia menggerak-gerakkan sepasang tangannya sambil menengadah dan bersajak dengan suara merdu, bahkan kepalanya juga bergerak-gerak menurutkan irama kata demi kata yang keluar dari mulutnya. “Yang lemas mengalahkan yang kaku, yang halus mengalahkan yang kasar, yang lunak mengalahkan yang keras, yang lemah mengalahkan yang kuat! Siapa bilang? Hwa-i Kai-pang menyalah gunakan kekuatan yang macam ini harus dihadapi dengan kaku, kasar, keras, kuat dan berani!” Lima orang itu menjadi marah sekali, akan tetapi juga terheran-heran melihat ada seorang pemuda yang begini berani menantang Hwa-i Kai-pang di kota raja! Baru mengingat akan kekuasaan dan pengaruh Hwa-i Kai-pang sudah membuat partai-partai persilatan besar tidak berani bersikap sembarangan, apa lagi hanya seorang manusia saja. Belum lagi jika diingat bahwa perkumpulan ini dilindungi oleh pemerintah sehingga bila menentang Hwa-i Kai-pang bisa berhadapan dengan pasukan keamanan pemerintah! “Hayo mengaku siapa namamu supaya engkau jangan mampus sebagai manusia tanpa nama!” “Huh, manusia ini agaknya sudah gila dan tidak berani mengakui nama sendiri!” Thian Sin tersenyum, lalu menjawab dengan suara tetap merdu seperti orang bernyanyi. “Namaku memang tidak berharga namun kalian anjing-anjing hina terlampau rendah untuk mengenalnya!” Inilah penghinaan yang sudah dianggap keterlaluan oleh lima orang pengemis itu. Mereka itu adalah lima orang anggota Hwa-i Kai-pang yang tingkatnya sudah cukup tinggi, yaitu anggota tingkat tiga yang sudah merupakan pengurus-pengurus perkumpulan itu. Bukan hanya itu saja, juga mereka ini sudah menjadi satu pasukan yang disegani dalam Hwa-i Kai-pang, yaitu Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Di dalam Hwa-i Kai-pang, di samping terdapat ilmu silat tongkat yang merupakan inti dari ilmu tongkat para pimpinan perkumpulan itu, yaitu yang disebut Ta-houw Sin-pang (Ilmu Tongkat Sakti Memukul Harimau) yang juga bisa diubah menjadi Sin-ciang (Tangan Sakti), juga terdapat sejenis ilmu tongkat yang bernama Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai). Para pengurus Hwa-i Kai-pang semuanya menguasai Ilmu Tongkat Lima Teratai ini, akan tetapi hanya mulai dari tingkat tiga sajalah yang mampu mempergunakan ilmu tongkat itu untuk membentuk Ngo-lian-tin, yaitu semacam barisan atau kerja sama dari lima orang yang mempergunakan Ngo-lian Pang-hoat untuk mengeroyok lawan dengan kerja sama yang amat teratur, baik dan tangguh sekali. Mendengar penghinaan Thian Sin yang memaki mereka sebagai anjing-anjing hina yang terlalu rendah untuk mengenal namanya, lima orang itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Tongkat di tangan mereka langsung bergerak disusul gerakan tubuh mereka, dan dengan gerakan indah namun gagah sekali mereka itu sudah mengepung Thian Sin dari lima jurusan, dengan tongkat yang digerakkan secara berantai dan saling ‘mengisi’ sehingga merupakan kekuatan yang sangat dahsyat. Akan tetapi Thian Sin masih tersenyum saja. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat berhadapan dengan orang-orang Hwa-i Kai-pang. Sebetulnya, dia tidak memiliki urusan dengan Hwa-i Kai-pang dan yang dicarinya hanyalah dua orang tokoh besarnya yang kini menjadi ketuanya. Akan tetapi mengingat bahwa mereka ini adalah anak buah dari dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang yang menjadi musuhnya itu, maka hatinya gembira untuk melayani mereka. “Mari, mari, ingin kulihat bagaimana kalian membadut dengan tongkat-tongkat butut itu!” katanya dengan nada penuh ejekan. Tiba-tiba lima orang itu serentak mengeluarkan seruan keras dan tongkat mereka sudah menyambar, menusuk dari lima penjuru. Gerakan mereka memang cepat dan kuat, dan yang diserang adalah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan cara menyerangnya juga bertubi-tubi, susul-menyusul sehingga merupakan kerja sama yang baik dan serangan itu amatlah berbahaya bagi lawan. Thian Sin maklum akan hal ini. Akan tetapi karena dia hendak mempermainkan mereka, dia pun menggunakan kegesitannya, mengelak atau menangkis terhadap setiap tusukan tanpa berusaha merusak tongkat mereka, bahkan dia memperlihatkan diri seperti orang yang terdesak. Tiba-tiba tongkat-tongkat yang luput menusuk tubuhnya itu membuat gerakan aneh dan tahu-tahu lima batang tongkat itu telah membentuk sebuah kurungan yang menghadang dirinya dan menutup semua jalan keluarnya, karena tongkat-tongkat itu malang-melintang saling tindih dan saling sambung membuat sebuah ruang di tengah-tengah di mana Thian Sin berdiri. Maka pemuda itu seolah-olah telah terkurung atau tertangkap oleh lima batang tongkat itu! Thian Sin menekan tongkat-tongkat itu dan meloncat ke atas, akan tetapi tongkat-tongkat itu terus melayang mengikutinya dan tahu-tahu seperti hendak meringkus kedua kakinya. Melihat ini, Thian Sin berjungkir-balik, menghalau tongkat-tongkat itu dengan dua tangan sambil meminjam tenaga mereka untuk meloncat lagi ke depan sehingga dia terlepas dari kepungan tongkat. Akan tetapi, kelima orang itu bergerak cepat, kembali berloncatan dan tahu-tahu dia telah terkurung lagi! Diam-diam Thian Sin merasa amat kagum. Memang indah sekali dan juga tangguh sekali gerakan dari Ngo-lian-tin ini, dan ilmu tongkat mereka ini memang telah mencapai tingkat yang cukup kuat sehingga jago-jago silat biasa saja jangan harap akan mampu melawan mereka. Bahkan pendekar yang sudah pandai pun akan bingung menghadapi kepungan tongkat-tongkat yang dapat bergerak otomatis dan amat rapi bekerja sama ini. Pada saat dia kembali terkepung oleh tongkat-tongkat yang saling tindih itu, dia mengangkat kedua tangannya ke atas. “Hei, jembel-jembel busuk. Aku sudah muak dengan main-main ini. Dengarlah, aku akan menyerah asal kalian membawaku menghadap ketua kalian!” “Kau boleh menghadap ketua kami sebagai mayat!” bentak seorang di antara mereka dan tanpa merusak ‘kurungan’ itu, dia telah menarik tongkatnya dan menggunakan tongkatnya menusuk ke arah pusar pemuda itu yang nampaknya sudah terkurung dan tidak mampu bergerak lagi. Thian Sin tersenyum dan mendiamkan saja sebelah bawah perutnya ditusuk. Dia hanya menurunkan sedikit tubuhnya dan menerima tusukan tongkat itu dengan perutnya sambil mengerahkan sedikit tenaga. “Krekkk!” Tongkat yang bertemu dengan perutnya itu pun patah-patah menjadi tiga potong saking kerasnya pengemis yang memegangnya tadi menusuk. Terkejutlah pengemis itu dan juga empat orang kawannya. Mereka menarik tongkat masing-masing dan kini kembali mereka menyerang, ada yang memukul kepala, ada pula yang menusukkan tongkatnya, semua itu dilakukan dengan beruntun, juga pengemis yang kehilangan tongkatnya itu menerjang dengan pukulan tangannya. Terdengar suara keras karena patahnya tongkat-tongkat itu dan ternyata empat batang tongkat itu telah patah-patah semua, ada pun pengemis yang menghantamkan tangannya segera berteriak kesakitan karena tulang jari tangannya juga patah! Kini mereka berlima yang masih berdiri mengepung Thian Sin memandang dengan muka pucat dan dua mata terbelalak. Pemuda itu tersenyum tenang. “Bagaimana? Apakah kalian masih belum puas dan hendak bermain-main terus? Ataukah mau membawaku menghadap ketua kalian sebagai tawanan?” Lima orang pengemis itu bukanlah orang-orang yang bodoh. Mereka sudah tahu bahwa sesungguhnya pemuda ini adalah orang yang mempunyai ilmu kepandaian hebat sekali. Kekalahan mereka merupakan tamparan bagi mereka, maka jika mereka dapat membawa pemuda ini sebagai tawanan, hal itu bukan hanya berarti menebus kekalahan yang amat memalukan itu, akan tetapi juga mereka tidak akan memperoleh kemarahan dari ketua mereka. Dan bertapa pun lihainya pemuda ini, bila sudah berhadapan dengan dua orang ketua mereka, maka akan dapat berbuat apakah? “Sebagai tawanan katamu? Jadi engkau mau untuk kami tangkap, kami ikat, lantas kami bawa menghadap kepada ketua kami?” tanya pengemis berhidung pesek yang agaknya menjadi pemimpin mereka berlima. Thian Sin berpikir bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk bertemu dengan dua orang musuh besarnya itu. Biar pun dia dapat memancingnya, namun yang akan keluar tentulah para pembantunya dan sebagai orang yang berkedudukan tinggi, ketua Hwa-i Kai-pang yang agaknya telah menjadi perkumpulan yang besar dan berpengaruh sekali di kota raja, kedua orang itu agaknya tidak akan sembarangan keluar dari sarang. Untuk mencari mereka ke sarang mereka pun bukan merupakan hal yang mudah karena menurut penyelidikannya, kai-pang itu kini dekat dengan pemerintah dan tentu saja akan bisa memperoleh bantuan pasukan penjaga, dan jika telah demikian, maka akan semakin sukarlah baginya untuk dapat berhadapan dengan mereka. Karena itu dia pun mengambil keputusan cepat. “Baik, kau boleh bawa aku sebagai tawanan, dan boleh mengikat kedua tanganku kalau perlu,” jawabnya. Lima orang pengemis itu menjadi gembira bukan main. Mereka lalu mempergunakan tali yang kuat untuk mengikat kedua pergelangan Thian Sin ke belakang tubuhnya. Baru saja ikatan yang amat kuat itu selesai, Thian Sin sudah berkata, “Akan tetapi, janganlah kalian main-main. Lihat, aku akan dapat melepaskan diri dengan mudah apa bila kalian main gila.” Dan sekali dia menggerakkan kedua tangan… ternyata kedua tangannya itu sudah terlepas dari ikatan tali tanpa membuat tali itu putus! Tali itu jatuh ke atas tanah begitu saja. Tentu saja lima orang pengemis itu terkejut bukan main dan muka mereka menjadi pucat sekali. Mereka tidak tahu bahwa pemuda ini tadi telah mempergunakan kekuatan sihirnya sehingga walau pun mereka merasa sudah membelenggu kedua tangan itu, sebenarnya kedua tangan pemuda itu sama sekali tidak terikat, maka dengan mudah Thian Sin dapat membebaskan kedua tangannya. Bagi pemuda ini, diikat atau tidak sama saja karena biar pun sepasang tangannya terikat secara sungguh-sungguh sekali pun, dengan mudah dia akan dapat membikin putus tali-tali itu. “Tidak… kami tidak main-main…,” kata Si Hidung Pesek. “Nah, kalau begitu ikatlah lagi baik-baik lalu antar aku menemui ketua kalian.” Lima orang pengemis itu lalu mengikat kembali kedua pergelangan tangan Thian Sin ke belakang tubuhnya, kemudian pemuda ini lalu mereka giring menuju ke sarang mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton iring-iringan ini. Tidak aneh melihat orang-orang Hwa-i Kai-pang menganiaya orang. Akan tetapi sekali ini lain. Pemuda itu tidak kelihatan berduka atau ketakutan. Bahkan sebaliknya, lima orang pengemis yang menggiringnya itu, yang oleh banyak orang terkenal sebagai tokoh-tokoh tinggi Hwa-i Kai-pang, berjalan di depan dan belakang pemuda itu dengan wajah muram dan pendiam, nampak serius sekali, sedangkan si pemuda yang menjadi tawanan mereka itu tersenyum-senyum, bahkan tampak bernyanyi-nyanyi kecil! Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi terheran-heran dan ada yang mengira bahwa pemuda tampan yang berpakaian mewah itu tentu telah menjadi gila! Tempat yang menjadi pusat atau sarang Hwa-i Kai-pang sekarang jauh berbeda dengan dahulu sebelum perkumpulan pengemis itu dekat dengan kekuasaan kaisar. Tempat itu berada di luar pintu gerbang sebelah timur, merupakan bangunan yang cukup besar dan terdiri dari rumah-rumah kecil mengelilingi bangunan besar yang menjadi tempat tinggal dua orang ketua mereka. Di sekeliling perumahan itu terdapat pagar tembok yang tinggi dan tebal, seperti keadaan sebuah benteng saja. Pintu tembok benteng itu pun tebal dan dijaga ketat oleh beberapa orang pengemis yang lagaknya seperti penjaga di pintu gerbang istana saja, setiap orang pengemis memegang sebuah tongkat. Diam-diam Thian Sin merasa girang bahwa dia telah mempergunakan siasat membiarkan dirinya ditawan ini. Harus diakuinya bahwa walau pun dengan mudah dia akan sanggup melewati tembok itu dan menyerbu ke dalam, namun belum tentu dia akan bisa mencari dua orang ketua itu kalau mereka menyembunyikan diri atau melarikan diri. Dengan akalnya yang sekarang ini, dia malah akan langsung dibawa menghadap mereka, jadi dia tak perlu mencari lagi! Jantungnya berdebar tegang pada saat dia dibawa melalui lorong di mana terdapat pengemis-pengemis yang berjaga-jaga. Beberapa orang pengemis tua memandang heran dan ada yang bertanya kepada lima orang tokoh pengemis yang menangkap pemuda itu. Mereka menjawab dengan singkat bahwa pemuda itu adalah tawanan mereka yang hendak mereka hadapkan kepada ketua. Jawaban ini saja sudah dapat dimengerti oleh para rekan mereka itu bahwa tangkapan itu adalah orang penting maka harus dihadapkan dengan ketua sendiri. Betapa pun juga, para tokoh Hwa-i Kai-pang dari tingkat tiga ke atas menjadi tertarik dan mereka pun ikut pula mengawal pemuda itu memasuki bangunan besar untuk menghadap ketua. Mereka semua ingin mendengar dan melihat sendiri sebab mereka dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah orang yang penting maka oleh kelima orang rekan itu dibawa menghadap ketua. Pada waktu itu, Hwa-i Kai-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali. Para anggota pimpinan terdiri dari dua orang ketuanya dan para murid tingkat dua yang jumlahnya ada enam orang, yaitu murid-murid kepala yang digembleng oleh dua orang ketua itu sendiri, lalu lima belas orang murid yang ilmu silatnya lebih rendah dari pada murid-murid kepala, akan tetapi lima belas orang murid tingkat tiga ini sudah membentuk Ngo-heng-tin yang tangguh dan biasanya merupakan inti kekuatan Hwa-i Kai-pang bila mana menanggulangi urusan yang memerlukan kekerasan. Kini, melihat adanya seorang pemuda yang tampan dan kelihatan gagah menjadi tawanan hendak diajukan kepada ketua, hal yang jarang terjadi, semua murid tingkat dua dan tiga yang kebetulan berada di tempat itu segera berkumpul dan ikut pula menghadap. Tentu saja murid-murid lainnya yang tingkatnya lebih rendah tidak berani ikut memasuki ruangan di mana terdapat ketua mereka. Murid-murid tingkat rendah ini tidak akan berani menghadap tanpa dipanggil. Pada waktu itu, yang kebetulan berada di sarang ada tiga orang murid tingkat dua bersama sepuluh orang murid tingkat tiga, atau dua Ngo-lian-tin berikut yang menawan Thian Sin. Mereka memasuki sebuah ruangan yang amat luas, karena ruangan ini selain merupakan ruangan untuk persidangan para pimpinan, juga merupakan sebuah lian-bu-thia di mana mereka biasa berlatih silat. Thian Sin yang dibawa memasuki ruangan ini memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat betapa ruangan yang luas itu cukup mewah, dihias dengan lukisan-lukisan dan di sudut terdapat rak-rak terisi segala macam senjata. Biar pun keistimewaan para pengemis ini adalah memainkan tongkat, namun sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka juga melatih diri dengan senjata lain sehingga mereka tidak akan merasa asing bila mana berhadapan dengan lawan yang mempergunakan lain macam senjata. Di sudut ruangan itu nampak dua orang kakek yang sedang duduk berhadapan dengan santai sambil bercakap-cakap. Sebagai ketua perkumpulan yang intinya adalah ilmu silat, maka kedua orang ketua ini tidak pernah dikawal dan kini mereka duduk berdua saja di ruangan itu dan barulah mereka mengangkat muka memandang ketika para murid datang menghadap membawa seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Thian Sin lalu memperhatikan dua orang kakek itu. Yang seorang bertubuh kurus sekali, seperti tulang dibungkus kulit saja, mukanya penuh keriput dan pucat, nampak sudah tua sekali dan kiranya kakek ini tidak akan kurang dari tujuh puluh tahun lebih, mukanya hitam seperti pantat kuali, sungguh merupakan kebalikan dari muka kakek pertama, akan tetapi anehnya, kakek bermuka hitam ini mempunyai kulit tangan yang putih. Melihat keadaan mereka berdua, Thian Sin dapat menduga bahwa tentu kakek tua renta itu adalah Lo-thian Sin-kai sedangkan yang kedua adalah sute-nya yang bernama atau berjuluk Hek-bin Mo-kai. Jantungnya berdebar karena perasaan tegang dan juga marah. Jadi kedua orang inilah yang sudah membantu Kerajaan Beng untuk mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya! Tiga belas orang tingkat dua dan tiga itu berlutut di atas lantai menghadap kedua orang kakek yang masih tetap duduk di atas kursi itu. Akan tetapi ketika lima orang pengemis itu mendorong Thian Sin untuk berlutut, pemuda ini tetap berdiri saja sambil memandang ke arah dua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apa artinya ini? Siapakah bocah yang kalian bawa ini?” Hek-bin Mo-kai menegur dengan suara tidak senang melihat sikap pemuda itu yang demikian angkuh. Biar pun pemuda itu tampan dan gagah, memakai pakaian mewah seperti seorang pelajar tingkat tinggi, akan tetapi sungguh merupakan suatu sikap yang kurang ajar kalau berani berhadapan dengan dua orang ketua Hwa-i Kai-pang dengan sikap demikian angkuh. Si Hidung Pesek, pemimpin dari Ngo-lian-tin itu, cepat-cepat memberi hormat, “Harap ji-wi pangcu sudi memaafkan kami. Pemuda ini telah membuat kacau di lapangan dekat pasar, membela penjual koyo yang berani membuka dagangan tanpa ijin kita, bahkan pemuda ini sudah memukul serta membuntungi telinga dua orang anak buah kita. Maka kami lalu datang dan akhirnya kami menangkap dia untuk kami bawa menghadap ji-wi pangcu dan mohon keputusan ji-wi pangcu terhadap dirinya.” Mendengar laporan ini, Hek-bin Mo-kai yang wataknya berangasan itu menjadi marah. Terutama dia mendongkol mendengar ada orang yang berani membuntungi telinga kedua orang anak buah Hwa-i Kai-pang. “Hemm, urusan sepele begini saja kalian tidak dapat memutuskan sendiri dan harus minta keputusan kami? Tolol! Dia telah mengacau, dia telah menghina anak buah kita, mau apa lagi? Kalau dia membuntungi telinga anak buah kita, nah, buntungi kedua telinganya dan cokel kedua matanya itu yang seperti mata setan!” Mendengar perintah ini, para tokoh yang lain mengangguk-angguk setuju, akan tetapi lima orang pengemis yang tadi menggiring Thian Sin masuk lalu saling pandang dengan muka pucat. Si Hidung Pesek menjadi serba salah, karena itu dia pun tidak dapat berlagak telah menangkap pemuda itu lagi. “Tapi… tapi… pangcu, dia… dia itu lihai sekali dan kami tidak akan dapat melaksanakan perintah itu.” Kini dua orang ketua itu mengangkat muka dan memandangnya penuh keheranan, juga merasa sangat marah dan terkejut. “Apa?! Dan bukankah kalian telah meringkusnya dan menyeretnya ke sini?” yang bertanya ini adalah Lo-thian Sin-kai, suaranya halus namun sikapnya hati-hati, kini memandang penuh kecurigaan kepada lima orang anak buahnya itu, juga kepada Thian Sin. “Mohon maaf sebesarnya dari ji-wi pangcu,” Si Hidung Pesek berkata, suaranya gemetar. “Sesungguhnya… kami berlima telah dikalahkan oleh pemuda ini… dan dia… dia sendiri yang minta agar dibelenggu dan dibawa menghadap ji-wi pangcu.” Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terkejut bukan kepalang. Kiranya pemuda ini dapat mengalahkan Ngo-lian-tin! Akan tetapi mengapa lalu menyerah dan minta ditangkap? Apa yang tersembunyi di balik sikap aneh ini? Kini kedua orang ketua itu bangkit dari tempat duduk mereka, memandang tajam kepada Thian Sin. “Orang muda, siapakah engkau sebenarnya?” Lo-thian Sin-kai bertanya, suaranya halus. “Apa maksudmu mengacau anak buah kami lalu minta dihadapkan kepada kami?” Dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang tubuhnya, Thian Sin pun menjawab sambil tersenyum, akan tetapi sepasang matanya mencorong laksana hendak membakar kedua orang pengemis tua itu! “Kalian adalah Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, benarkah?” “Benar!” bentak Hek-bin Mo-kai. “Dan siapakah engkau, pemuda sombong?” “Ha-ha-ha!” Thian Sin tertawa girang sesudah mendapatkan kepastian bahwa dua orang ini adalah musuh besar yang dicari-carinya. “Kuberi tahukan namaku pun kalian tak akan mengenalnya. Akan tetapi kalian tentu mengenal nama Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya yang bernama Li Ciauw Si, bukan?” Seketika pucat wajah kedua orang kakek pengemis itu mendengar disebutnya nama ini. Sejak mereka berdua turut mengeroyok kemudian membunuh pangeran itu dan isterinya, mereka dapat mengangkat nama Hwa-i Kai-pang sebagai sebuah perkumpulan yang tak lagi dimusuhi oleh kerajaan, bahkan dianggap berjasa sehingga memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Akan tetapi, sering kali mereka bermimpi buruk karena mereka tahu bahwa pangeran itu adalah seorang yang amat sakti dan isterinya merupakan keluarga dari Cin-ling-pai. Kalau saja Cin-ling-pai berusaha membalas kematian itu! Mereka sering merasa ketakutan dan ngeri, maka mereka lebih banyak bersembunyi dan berlindung di balik kekuasaan kaisar. Setelah lewat bertahun-tahun dan tak ada usaha dari fihak Cin-ling-pai untuk mengganggu mereka, hati mereka mulai tenang walau pun mereka lebih menikmati kedudukan mereka itu dengan bersenang-senang di dalam sarang yang terjaga kuat itu dari pada berkeliaran di luar. Maka, sungguh amat mengejutkan hati mereka ketika pemuda ini bicara tentang Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya! “Siapakah engkau? Apa maksudmu berbicara mengenai orang yang sudah mati?” tanya Hek-bin Mo-kai sambil berusaha keras untuk menyembunyikan getaran suaranya di balik bentakan marah yang tidak sangat berhasil. “Pandanglah baik-baik. Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai. Aku adalah putera tunggal mereka!” Dia berhenti sebentar, menikmati kekagetan yang membayang di wajah-wajah yang pucat itu. “Dan kiranya tak perlu lagi kujelaskan kenapa aku datang mencari kalian, bukan?” Dua orang ketua Hwa-i Kai-pang itu terbelalak, akan tetapi mereka bukanlah orang lemah. Apa lagi di situ terdapat tiga belas orang murid-murid mereka yang boleh diandalkan, dan juga bukankah kedua tangan pemuda itu dalam keadaan terbelenggu? “Bentuk dua Ngo-lian-tin lantas bekuk pemuda ini!” bentak Hek-bin Mo-kai, memerintah kepada sepuluh orang murid tingkat tiga itu. Biar pun lima orang yang tadi menggiring Thian Sin pernah merasakan kelihaian pemuda ini dan mereka merasa gentar, akan tetapi kini mereka berada di kandang sendiri. Di situ terdapat dua orang guru dan ketua mereka, juga teman-teman mereka yang lihai, maka timbul pula keberanian mereka, bahkan mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membalas kekalahan mereka tadi. Cepat mereka lari ke rak senjata dan menyambar tongkat-tongkat yang banyak terdapat di sana, kemudian bersama Ngo-lian-tin yang kedua, mereka sudah membentuk barisan lima teratai dan mengurung Thian Sin. Pemuda ini masih belum melepaskan belenggu kedua tangannya. Dia berdiri menghadapi kepungan dua barisan Ngo-lian-tin itu dengan amat tenang dan masih tersenyum-senyum saja. Kepada Si Hidung Pesek dia berkata, “Sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian.” Dan dia masih saja belum melepaskan diri dari belenggu kedua tangannya, seakan-akan dia hendak memperlihatkan bahwa untuk menghadapi kedua barisan Ngo-lian-tin itu dia tidak membutuhkan kedua lengannya! Melihat hal ini, tentu saja Si Hidung Pesek melihat keuntungan maka cepat dia memberi aba-aba kepada teman-temannya agar cepat bergerak. Dan mulailah Ngo-lian-tin pertama itu bergerak menyerang, ada pun Ngo-lian-tin ke dua juga turut mendesak dan membantu Ngo-lian-tin yang pertama. Thian Sin mempergunakan kecepatan gerak tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan sungguh pun kedua tangannya masih terbelenggu, namun dia kelihatan seenaknya dan mudah saja menghindarkan semua sambaran tongkat. Akan tetapi, kini sepuluh batang tongkat panjang itu bekerja sama dan dia pun terkurung oleh gulungan sinar tongkat yang makin lama makin menyempit dan akhirnya tubuhnya sudah tertutup rapat oleh tongkat-tongkat itu dari segenap penjuru. Akan tetapi, sambil tertawa Thian Sin meloncat lurus ke atas untuk membebaskan diri dari kepungan tongkat-tongkat itu. Sepuluh orang itu bergerak dengan cepat, tahu-tahu tubuh Thian Sin di udara telah tertahan dan terjepit oleh tongkat-tongkat itu! Keadaan Thian Sin seolah-olah sudah tak berdaya lagi karena tubuhnya tertahan di udara oleh tongkat-tongkat itu yang malang-melintang serta menghimpitnya. Terdengar Hek-bin Mo-kai tertawa senang menyaksikan hal ini. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan tubuh Thian Sin meronta, kedua kakinya bergerak-gerak, lantas terpelantinglah sepuluh orang itu, tongkat mereka beterbangan jauh ke kanan kiri menimpa dinding-dinding ruangan yang luas itu, ada pun sepuluh orang yang terpelanting itu langsung mengaduh-aduh karena beberapa di antara mereka terkena tendangan kaki Thian Sin yang kini telah turun kembali sambil tersenyum-senyum. Hek-bin Mo-kai maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun mengeluarkan seruan nyaring untuk memerintahkan tiga orang murid kelas dua maju mengeroyok. Tiga orang pengemis tua ini adalah murid-murid kepala yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mereka lalu menerjang maju sambil menggerakkan tongkat mereka. Melihat gerakan ini serta mendengar suara angin pukulan tongkat mereka, Thian Sin pun maklum bahwa tiga orang ini sudah memiliki kepandaian tinggi, apa lagi di situ terdapat dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang sudah mulai memutar tongkat masing-masing pula. Sambil tertawa Thian Sin lalu menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat pergelangan tangannya tadi. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang memegang tali, maka tali itu seperti seekor ular saja menyambar ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika tiga orang pengemis itu, termasuk Si Hidung Pesek, terjengkang roboh dengan kepala pecah sesudah terkena tali yang disambitkan Thian Sin itu. Tentu saja semua orang terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga sambitan tali bekas belenggu tangannya saja telah berhasil membunuh tiga orang anggota Ngo-lian-tin yang lihai! Dan mulailah Thian Sin mengamuk! Dia dikeroyok lima, yaitu oleh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang dibantu dengan tiga orang murid utama mereka. Lo-thian Sin-kai adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang paling lihai karena dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Hwa-i Sin-kai pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Dia memiliki semua ilmu silat kai-pang itu, pandai sekali memainkan tongkat, baik dengan Ilmu Ngo-lian Pang-hoat mau pun Ta-houw Sin-pang, dan selain itu, juga dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Sute-nya, Hek-bin Mo-kai, juga amat lihai dan hanya kalah sedikit saja jika dibandingkan dengan suheng-nya itu. Maka, dibantu oleh tiga orang murid utama mereka, tentu saja lima orang ini merupakan lawan yang sangat tangguh dan sangat berbahaya. Mereka itu merupakan inti kekuatan yang paling tinggi sebagai pucuk pimpinan Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi kali ini mereka bertemu dengan Thian Sin sehingga ketangguhan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya. “Hemm, sejak dulu sampai kini kalian adalah pengecut-pengecut hina yang hanya berani jika mengandalkan pengeroyokan,” kata Thian Sin sambil menghadapi terjangan mereka yang bertubi-tubi itu dengan tangan kosong saja. Dia tak begitu mempedulikan tiga orang murid utama itu, karena yang diincarnya adalah dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang pernah mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya. “Wuuuttt…!” Sinar tongkat menyambar dari kanan dengan amat hebatnya sebab tongkat ini ditusukkan dengan pengerahan tenaga oleh Hek-bin Mo-kai yang maklum bahwa dia dan suheng-nya dibantu murid-muridnya harus bisa membunuh pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini, kalau tidak mereka sendiri yang akan tewas. Maka serangannya pun selalu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. “Plakkk!” Thian Sin menangkap tongkat itu, tidak mempedulikan pukulan tiga batang tongkat dari arah belakangnya yang dilakukan oleh ketiga orang murid utama Hwa-i Kai-pang itu. Dia hanya mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi tubuh belakangnya. Terdengar suara keras ketika tiga batang tongkat itu mengenai punggung, pinggul serta leher belakang atau tengkuknya, lantas tiga batang tongkat itu membalik, membuat tiga orang penyerangnya berteriak kaget dan kesakitan karena telapak tangan mereka terobek dan berdarah! Sementara itu, Thian Sin yang sudah berhasil menangkap tongkat Hek-bin Mo-kai itu lalu melangkah maju dengan cepat sekali, tangan kanannya menangkap tongkat, tangan kiri menyambar ke depan untuk mencengkeram dada lawan yang dibencinya ini. Hek-bin Mo-kai tadi telah berusaha untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi sia-sia saja dan melihat serangan pemuda itu, maka dia cepat melangkah mundur dan terpaksa dia melepaskan tongkatnya. Pada saat itu, Lo-thian Sin-kai telah menyerang pula dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Thian Sin. Melihat serangan yang sangat hebat ini, Thian Sin yang sudah merampas tongkat Hek-bin Mo-kai langsung menggunakan tongkat itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya. “Krakkk!” Tongkat di tangannya patah menjadi dua, begitu pula tongkat di tangan Lo-thian Sin-kai! Ketua pertama dari Hwa-i Kai-pang ini terkejut bukan main, apa lagi pada saat itu, Thian Sin berseru keras dan potongan tongkatnya tadi telah dilontarkan ke depan. Hek-bin Mo-kai sedang berlari untuk mengambil senjata baru dari rak, dan Thian Sin yang menyangka bahwa kakek muka hitam itu hendak melarikan diri, segera mempergunakan kepandaiannya menyambitkan potongan tongkat di tangannya. “Aughhhh…!” Hek-bin Mo-kai berteriak kemudian roboh, paha kirinya tertusuk potongan tongkat sampai tembus! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai terkejut dan marah, lantas menubruk ke depan pada saat Thian Sin menyambitkan tongkatnya tadi dan menggunakan kedua tangannya sambil mengerahkan sinkang yang sangat kuat untuk menghantam ke arah dada serta lambung pemuda itu. Inilah jurus yang paling hebat dari Ta-houw Sin-ciang-hoat. Jangankan manusia, bahkan harimau yang kuat sekali pun akan tewas seketika apa bila terkena hantaman yang dapat menghancurkan isi dada dan perut ini. Thian Sin yang sedang menyambitkan potongan tongkat itu sempat melihat hantaman ini, akan tetapi dia tidak peduli dan membiarkan dada serta lambungnya dipukul! “Plak! Plak! Krekkk…!” Tubuh Lo-thian Sin-kai terpelanting dengan tulang pundak kanan dan kiri remuk, ada pun tubuh Thian Sin hanya terguncang sedikit saja. Ternyata ketika menerima pukulan pada dada dan lambungnya itu, Thian Sin menerima pukulan lawan sambil balas menghantam dengan ketukan jari-jari tangannya ke arah kedua pundak lawan hingga membuat tulang-tulang kedua pundak itu patah. Sengaja Thian Sin tak mau langsung membunuhnya, akan tetapi merobohkan kedua orang kakek itu lebih dulu. Tentu saja robohnya dua orang ketua ini membuat ketiga orang murid utamanya terkejut dan gentar bukan main. Namun mereka tidak diberi kesempatan lagi. Thian Sin bergerak cepat sekali, lantas dengan beberapa kali serangan saja maka tiga orang itu sudah roboh dan tewas! Tujuh orang murid tingkat tiga yang tadinya sudah mengepung, kini maju mengeroyok, ditambah lagi dengan para anggota pengemis yang datang ketika mendengar keributan di ruangan itu. Terjadilah pengeroyokan, akan tetapi Thian Sin mengamuk dan dalam waktu singkat telah dapat merobohkan dan menewaskan beberapa orang murid-murid rendahan sehingga tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat itu malang melintang di ruangan itu. Melihat ini, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi mereka itu tidak mampu meninggalkan lantai di mana mereka roboh tadi. Kedua pundak Lo-thian Sin-kai sudah remuk sehingga untuk bangun saja dia tidak sanggup, sedangkan Hek-bin Mo-kai yang pahanya tertusuk tongkat itu pun tidak mampu bangkit. Mereka berteriak-teriak beberapa kali untuk minta tolong kepada anak buah mereka agar mereka dibawa melarikan diri, namun setiap orang pengemis yang mencoba mendekati mereka tentu langsung dirobohkan oleh Thian Sin. Akhirnya, para pengemis itu maklum bahwa melawan pemuda ini sama saja dengan membunuh diri, maka sisanya, kurang dari setengahnya, lari ketakutan meninggalkan sarang mereka dan ada yang segera melapor kepada komandan pasukan penjaga keamanan kota raja di benteng. Melihat sisa para pengeroyoknya melarikan diri, Thian Sin tidak mau mengejar. Yang dia cari adalah dua orang ketua itu dan kini mereka sudah roboh tidak mampu bergerak lagi. Sambil tersenyum dia menghampiri mereka setelah dia menendang tubuh Hek-bin Mo-kai sehingga tubuh orang ini terlempar di dekat suheng-nya. Mereka berdua hanya dapat menatap kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung kebencian dan juga rasa seram. Belum pernah mereka bertemu dengan seorang pemuda yang selihai ini, yang mengingatkan mereka akan kelihaian mendiang Pangeran Ceng Han Houw. “Hemmm, ternyata engkaulah yang disebut Pendekar Sadis!” akhirnya Lo-thian Sin-kai berkata. Dia tidak mengharapkan dapat hidup lagi, akan tetapi dia pun tidak takut mati. Betapa pun juga, kedua Sin-kai ini adalah orang yang gagah perkasa dan lihai, dan ketika mereka itu turut mengeroyok dan membunuh Pangeran Ceng Han Houw, mereka merasa berada di fihak yang benar karena pangeran itu dianggap seorang pemberontak dan seorang yang amat jahat, dan sudah pernah mengacau dunia kang-ouw pula. Thian Sin tersenyum. “Salah kalian sendiri, sudah mendengar aku datang mencari kalian, tetapi kalian tidak mau bersembunyi. Ha-ha-ha-ha, sekarang bagaimana? Coba ceritakan bagaimana kalian dahulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundaku.” “Ayahmu seorang penjahat, seorang pemberontak yang kejam!” bentak Lo-thian Sin-kai. “Dan engkau tidak kalah jahatnya dengan ayahmu!” Hek-bin Mo-kai juga memaki. Thian Sin hanya tersenyum. “Apakah kalian tidak jahat? Apakah anak buah kalian yang melakukan pemerasan di kota raja tidak busuk? Memang, melihat kebusukan orang lain, betapa pun kecilnya, amatlah mudah, sebaliknya, kebusukan sendiri sebesar gajah takkan pernah kalian lihat!” “Tidak perlu banyak cakap lagi, kami sudah kalah, mau bunuh kami, bunuhlah!” bentak Lo-thian Sin-kai. “Kami adalah laki-laki sejati yang tak takut mati!” Hek-bin Mo-kai juga ikut berkata sambil menyeringai menahan sakit. “Bagus! Gagah perkasa tidak takut mati, akan tetapi pengecut hina yang beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, dulu terhadap ayah bundaku dan sekarang terhadap diriku.” “Bocah setan yang sombong, tak perlu banyak mulut lagi!” Hek-bin Mo-kai membentak. cerita silat online karya kho ping hoo Thian Sin tersenyum lebar lantas tangannya bergerak ke bawah, dua kali jari tangannya menotok ke arah dada serta leher Hek-bin Mo-kai. Dan kembali dia bergerak melakukan penotokan yang sama terhadap tubuh Lo-thian Sin-kai. Mula-mula kedua orang kakek itu tidak merasakan sesuatu, hanya ada hawa dingin yang menyelinap ke dalam bagian tubuh yang tadi tertotok jari tangan pemuda itu. Akan tetapi mulailah terasa gatal-gatal dan dingin, lalu rasa gatal itu semakin menghebat disertai rasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum! Kedua orang kakek itu berusaha mempertahankan diri, akan tetapi rasa nyeri yang tidak begitu hebat namun makin lama makin terasa itu mulai menggerogoti perasaan mereka. Rasa gatal sukar dapat dipertahankan orang, apa lagi rasa perih yang sedikit demi sedikit menusuk-nusuk perasaan itu. Rasa nyeri yang hebat sekali dapat mematikan rasa, atau dapat membuat orang pingsan karenanya. Akan tetapi rasa gatal-gatal disertai perih sedikit demi sedikit itu menyerap semakin hebat dan keduanya tidak mampu mengerahkan sinkang karena tenaga mereka telah punah oleh totokan itu. Mereka berusaha mempertahankan diri tanpa mengeluh, dan keduanya sampai menggigit bibir mereka. Akan tetapi rasa nyeri makin hebat hingga bibir mereka pecah-pecah oleh gigitan sendiri. Darah mengalir membasahi mulut mereka. Sungguh keadaan mereka amat mengerikan. Muka mereka penuh dengan keringat dan tubuh mereka menggeliat-geliat, dan akhirnya keduanya tak dapat bertahan lagi sehingga mulailah mereka mengeluh. Mula-mula hanya rintihan-rintihan saja, masih mereka tahan, akan tetapi tak lama kemudian mereka sudah menangis dan meraung-raung minta mati! Dan Thian Sin berdiri sambil bertolak pinggang, tersenyum menyaksikan dua orang lawan yang disiksanya sedemikian hebat itu. Dia tadi telah menotok mereka dengan pengerahan tenaga sinkang yang dipelalarinya dari kitab ayahnya, dan dia telah membuat mereka itu keracunan sedikit demi sedikit. Raungan-raungan kedua orang kakek itu masih terus terdengar, sungguh pun makin lama semakin lemah dan pada saat itu pula terdengar suara hiruk pikuk di luar, lalu tidak lama kemudian banyak prajurit penjaga keamanan kota raja yang mengurung tempat itu sudah menyerbu ke dalam! Melihat betapa dua orang kakek yang menjadi musuhnya itu sudah mulai sekarat dan nyawa mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi, Thian Sin tertawa bergelak dan tubuhnya meloncat ke atas, menerobos genteng. Beberapa orang anggota kai-pang beserta prajurit yang berjaga di atas genteng, terkejut melihat munculnya pemuda yang menerobos genteng itu. Mereka segera mencoba untuk menyerang, tapi akibatnya mereka sendiri yang terlempar lantas jatuh tunggang-langgang di atas genteng, ada pula yang terus menggelinding ke bawah dan tentu saja mengalami kematian terbanting dari atas genteng. Ternyata pemuda itu sudah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Bekas amukannya yang ada, yaitu kematian banyak sekali anggota kai-pang serta beberapa orang prajurit, dan yang sangat mengerikan adalah kematian dua orang ketua kai-pang itu. Wajah mereka masih menyiringai, dua mata mereka terbelalak dan wajah itu masih membayangkan rasa nyeri yang luar biasa, akan tetapi nyawa mereka telah melayang. Gegerlah ibu kota atau kota raja dengan terjadinya peristiwa yang sangat mengerikan ini, sehingga semakin terkenallah nama Pendekar Sadis karena kini semua orang telah dapat menduga, melihat dari cara-cara kematian yang disebabkannya, bahwa yang mengamuk itu tentu bukan lain Pendekar Sadis yang banyak disohorkan orang akhir-akhir ini. Bukan hanya sampai di situ saja sepak terjang Thian Sin di kota raja. Dia memang sudah berhasil membunuh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, yaitu dua orang di antara para pengeroyok dan pembunuh ayah bundanya. Akan tetapi dia belum puas karena dia belum berhasil menemukan orang yang lebih dibencinya dari pada yang lainnya, yaitu Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Seperti diketahui, Tok-ciang Sianjin ini adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang dahulu juga ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundanya. Dan bahkan lebih dari itu, orang ini adalah yang terpandai di antara mereka yang mengeroyok ayah bundanya. Dan sampai kini dia belum juga berhasil membalas, bahkan belum tahu di mana adanya Tok-ciang Sianjin yang dicari-carinya itu. Maka, Thian Sin lalu mendatangi para tokoh kang-ouw, terutama sekali para penjahat di sekitar kota raja. Maksudnya hendak mencari keterangan dan menyelidiki di mana adanya Tok-ciang Sianjin, akan tetapi caranya menimbulkan kegemparan hebat di kota raja. Terhadap para tokoh dari dunia hitam ini, Thian Sin bersikap kejam bukan kepalang. Dia menangkap, menyiksa, membunuh, memaksa kepada mereka itu untuk membuka rahasia di mana adanya Tok-ciang Sianjin. Dan untuk semua itu dia tidak segan-segan melakukan kekejaman yang mendirikan bulu roma terhadap para penjahat itu. Maka nama Pendekar Sadis makin terkenal dan ditakuti oleh kaum penjahat melebihi iblis sendiri. Belum pernah ada tokoh atau datuk sesat sekali pun yang lebih mengerikan dan lebih ditakuti oleh kaum sesat seperti Pendekar Sadis ini. Thian Sin amat membenci kepada penjahat karena diangapnya bahwa penjahat-penjahat itulah yang telah merusak hidupnya, telah mencelakakan orang-orang yang dicintanya dan karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk memusuhi semua penjahat di dunia ini! Ada kalanya dia memasang mata di pasar dan tempat-tempat ramai dan kalau dia melihat ada penjahat yang melakukan pencopetan saja, dia tidak segan-segan untuk turun tangan dan mematahkan tulang lengan pencopet itu. Bahkan pada waktu malam dia sering keluar dan sekali dilihatnya ada pencuri, tentu tangan pencuri itu segera dibuntungi! Pemerkosa jangan harap dapat hidup bilamana berjumpa dengannya, karena Thian Sin segera akan menghukumnya secara mengerikan, yaitu membuntungi alat kelaminnya! Belum ada sebulan dia datang ke kota raja, keadaan kota raja menjadi gempar. Bukan hanya para penjahat yang ketakutan setengah mati, bahkan banyak penduduk kota raja juga merasa gelisah dan ngeri. Siapa pun adanya dia, setiap orang sudah tentu tak akan luput dari pada kesalahan, maka dia tentu merasa ngeri untuk dilihat dan dihukum oleh seorang seperti Pendekar Sadis ini. Pada suatu senja, Thian Sin kembali ke dalam kuil tua di mana dia menyembunyikan diri sebab dia tahu bahwa pasukan kota raja selalu mencarinya. Telah berkali-kali dia bertemu dengan penyelidik-penyelidik dari kota raja itu, namun dia selalu dapat membuat mereka tidak berdaya. Untuk dapat beristirahat dengan tanpa banyak gangguan, dia lalu mencari penginapan di luar kota raja sehingga akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang dikabarkan orang sebagai kuil tua kosong yang banyak hantunya. Sungguh kebetulan, pikirnya. Apa bila kuil itu berhantu, tentu tidak ada orang yang akan berani mendekatinya. Dan dari para penduduk di kampung-kampung sekitar kuil yang berada di tempat sunyi di lereng pegunungan sebelah utara kota raja ini, dia pun mendengar bahwa siapa saja yang berani datang ke kuil ini, apa lagi di malam hari, tentu akan bertemu dengan hantu dan kabarnya sudah ada beberapa orang yang mati dengan mengerikan di tempat itu. Mati menggantung diri atau pun digantung hantu, tak ada yang dapat tahu dengan pasti. Pendeknya, di sebelah belakang kuil itu terdapat sebuah tengkorak manusia yang masih tergantung di sebuah batang pohon. Hanya tinggal kepala dan leher saja yang tergantung, sedangkan tulang-tulang bagian lainnya sudah runtuh dan bertumpuk di bawah pohon itu tanpa ada yang berani mengganggunya. Kepercayaan akan tahyul membuat orang yang mempunyai kepandaian tinggi sekali pun menjadi penakut. Orang yang cukup lihai boleh jadi tidak takut menghadapi pengeroyokan banyak lawan tangguh dan bahkan tak gentar menghadapi kematian. Akan tetapi, karena kepercayaan tahyul yang telah berakar di dalam hati mereka, ditanamkan semenjak kecil, membuat mereka atau orang yang mempunyai ilmu silat cukup tinggi sekali pun dapat lari tunggang langgang. Mereka itu merasa seram. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tak merasa takut. Dia telah sering menghadapi hal-hal menyeramkan, yaitu waktu dia bertapa di dalam goa dan mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya. Kalau memang ada hantunya, biarlah aku berkenalan dengan hantu itu, pikirnya, bahkan siapa tahu dia akan dapat mempelajari ilmu yang lebih hebat lagi dari hantu itu! Maka, beberapa malam yang lalu, ketika untuk pertama kali dia mendatangi tempat itu, dia lalu melakukan pengintaian. Tidak ada apa-apa di sana, sunyi saja. Akan tetapi ketika dia sedang duduk beristirahat di dalam kuil itu, tiba-tiba dia mendengar suara melengking yang aneh. Seketika bulu tengkuknya meremang, akan tetapi ia melawannya dan dengan mengusap tengkuknya, maka rasa meremang pun lenyaplah. Dia lalu berindap-indap menuju ke arah suara yang datangnya dari belakang kuil di mana terdapat pohon yang ada tengkoraknya tergantung itu. Dia melangkah maju menghampiri karena malam itu gelap, cuaca hanya diterangi oleh sinar bulan yang sepotong. Ketika dia sudah dekat untuk dapat melihat tengkorak itu, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu memang datang dari arah tengkorak itu dan kembali bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat tengkorak itu bergoyang-goyang! Padahal pada saat itu tidak ada angin sama sekali! Jika bukan Thian Sin yang menghadapi penglihatan dan pendengaran seperti itu, agaknya tentu sudah melarikan diri karena sepandai-pandainya manusia, kalau harus menghadapi sesuatu yang tak dimengertinya dan berada di luar kemampuannya sebagai manusia, apa lagi setelah segala yang didengarnya sejak kecil tentang ketahyulan yang menyeramkan, tentu dia telah ketakutan. Akan tetapi, biar pun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri! Agaknya ‘hantu’ itu menjadi penasaran karena melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu lalu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya. Thian Sin tidak berhenti bahkan terus menghampiri. Dan pada saat itu terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin. Pemuda ini menghentikan langkahnya dan bersiap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi… tubuh itu berhenti di tengah udara lantas tergantung-gantung. Kiranya itu adalah bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang! Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan dia pun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi tubuh itu ternyata hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian! Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkan dirinya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang bermain-main itu adalah manusia! Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, sekarang menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu. Ada pedang yang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan ternyata orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu lantas terjatuh dari atas pohon! Suara berdebuk yang keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu ginkang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah. Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, cepat menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanya, ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya. “Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?!” Thian Sin membentak. Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu, “…agar… tempat ini menjadi tempatku… tanpa diganggu orang… dan… dan… orang-orang yang ketakutan… meninggalkan barang-barangnya…” Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas. Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon. Thian Sin menarik napas panjang kemudian sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang di samping untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan. Betapa pun juga, orang ini sudah berjasa baginya, sudah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya. Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga disebut kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Jika kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, atau sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Apa bila tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takut pun tidak akan ada. Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, dan orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentulah belum kehilangan pekerjaan, sedangkan orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu. Maka dari itu, ketika menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kalau kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, maka tindakan kita tentu akan lebih tepat. Seperti halnya Thian Sin, pada waktu menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, akan tetapi dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimana pun juga. Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Apa bila kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya. Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, atau anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu amat menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa apa bila dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan sehingga pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya. Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, dia pun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi. Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu. Hemm,apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya pada orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini? Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan dia pun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak! Hemmm, apakah ini? Sebuah perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh lantas mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka dia pun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat dia pun menegur halus. “Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?” Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri kemudian menghadapi Thian Sin dengan sikap marah. “Mengapa engkau hendak menggangguku? Pergilah! Urusanku tak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia lalu mengerutkan alisnya dan berkata, “Hemmm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. Kau siapa dan apa maksudmu…” “Persetan denganmu!” bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya! Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekatnya wanita itu bangkit kembali dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu lantas mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi! Wanita itu menangis kembali. “Hu-huuuh… kau… kamu manusia kejam… !” Dan dia pun menghampiri pohon di mana telah terpasang selendangnya, yaitu sehelai selendang yang ujungnya telah diikatkan di sebuah cabang dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung! Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ahh, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya. Wanita seperti itu tentu bisa saja menggunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka dia pun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, lantas membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kuil! Sejak menggantung diri tadi, wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, dan matanya melotot, akan tetapi dia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang. Bila mana dikehendakinya, tentu saja dia dapat menggunakan tangannya untuk menahan selendang lantas melepaskan lehernya dari gantungan itu. Tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan dia memilih mati di tempat gantungan itu, berdekatan dengan tengkorak orang yang dulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu. Sesudah tubuh itu tidak berkelojotan lagi, barulah Thian Sin cepat berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia pun menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, lalu memondongnya memasuki kuil di mana sudah dinyalakan sebatang lilin. Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia segera memeriksanya. Memang wanita itu sudah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka, lalu dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung. “Su… sudah matikah…?” akan tetapi dia melihat wajah Thian Sin dan cepat dia memukul sambil meloncat bangun. Thian Sin menangkap tangan itu. “Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan sekarang engkau bahkan hendak memukulku?” “Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati… huh-huuuhh…,” dan wanita itu pun menangis lagi, mengguguk. Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, maka dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka hingga lebih baik memilih mati itu. “Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Jika ada rasa penasaran, boleh beri tahukan kepadaku dan aku akan menolongmu.” Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang pada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi. “Tidak mungkin…,” isaknya. “Walau pun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini tak mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya!” Dia pun menangis lagi. Diam-diam Thian Sin merasa tertarik. Dia telah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi di dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, mempunyai ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, sangat dermawan serta dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri? “Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biar pun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, maka akan kubunuh dia!” katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga. “Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!” Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin. “Benarkah taihiap sudi menolongku dan membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?” “Ceritakanlah lebih dulu apa yang terjadi,” potong Thian Sin. “Pangeran terkutuk itu sudah membunuh ayahku, suamiku, kemudian memperkosaku dan memaksaku untuk menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlampau kuat bagiku dan aku malah dihinanya… sampai akhirnya aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri…” Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini. “Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?” Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Dia bernama Louw Kim Lan, dan sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka sering berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka sudah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah. Pada suatu hari, saat Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis. Kim Lan lalu dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya hingga akhimya Kim Lan tidak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu. Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum dia menikah dengan pemburu itu, kemudian malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu. Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun, dia telah ketahuan. Biar pun dia diampuni, namun dia diusir pergi dari istana. “Demikianlah, taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biar pun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan sanggup. Karena putus harapan dan penasaran, maka aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah serta suamiku saja!” Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi. Thian Sin telah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya. “Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!” katanya. Wanita itu terkejut dan cepat menggelengkan kepala. “Tidak… tidak… mana aku berani ke sana?” “Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, tidak akan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmu pun. Mari!” Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Sesudah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan langsung berkata, “Ah, kini aku percaya bahwa taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!” Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam. Dengan mudahnya mereka pun tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, kemudian mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan. Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang telah dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang berbicara di balik pintu ruangan itu. “Dia berada di dalam ruangan itu menerima tamunya…,” Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin. Thian Sin mengangguk kemudian balas berbisik, “Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu. Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah, akan tetapi dia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas. Dia harus bisa meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan, dia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali! Dia memberi kesempatan beberapa waktu supaya pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah dia mendorong pintu ruang itu dan masuk ke dalam ruangan. Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak serta beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, maka alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. “Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?” bentaknya. Thian Sin mengintai dari atas atap yang telah dia lubangi. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa akan tetapi sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi. Mudah saja baginya untuk menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu. Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut. “Ong-ya… saya tak percaya paduka begini kejam! Setelah membunuh ayahku, suamiku, dan sesudah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!” “Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan sekarang engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!” “Tapi… tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku…” “Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!” Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi. Marahlah Thian Sin. Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti serta mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik! Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang kelihatan gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya amat polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun. Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka dia pun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu. “Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahh, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!” Sementara itu, ketika melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak, “Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?!” Thian Sin tersenyum. “Hemm, meski engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kau kira boleh membunuh orang tanpa ijin?” Lalu sambil melangkah maju dia menyambung, “Kenalilah, aku adalah wakil dari orang-orang yang kau bunuh.” Tangannya telah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat. Melihat ini, sang pangeran segera menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Pada waktu pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka!...


PENDEKAR SADIS JILID 25 :
MELIHAT kenekatan lawannya ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu akan buntung bila bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, maka Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi sehingga pedang itu telah dapat dirampas oleh lawan! Selagi pangeran itu terkejut dan terheran-heran, menjadi bengong sebab selama hidupnya belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru, “Sekarang terimalah hukumanmu!” Pedangnya menyambar seperti kilat. “Tranggg…!” Pedangnya bertemu dengan tongkat yang dipegang oleh hwesio itu. Kiranya hwesio itu telah menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan. “Omitohud… harap jangan terlalu ganas, orang muda!” kata hwesio itu. “Persetan dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!” bentak Thian Sin sambil terus menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur. Hwesio itu menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi, akan tetapi tiba-tiba pedang itu membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu secara bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar tongkatnya dia pun segera meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat. Sang Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah perutnya karena pedang itu sudah menyambar ke arah alat kelaminnya! Tubuh Pangeran itu terhuyung lantas roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah bagian yang terbabat pedang tadi. Peristiwa ini terjadi demikian cepatnya hingga hwesio dan petani itu sejenak memandang bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main. “Penjahat kejam, apa yang kau lakukan?!” bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Hwesio itu menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tak kalah tangkas dan kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu. Melihat gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau keburu datang pasukan pengawal. Dari luar telah terdengar ribut-ribut. Maka dia pun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat hingga tangannya tahu-tahu telah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat dahsyat tadi. “Kau… kau Pendekar Sadis!” teriak orang yang berpakaian petani. “Omitohud… yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!” kata Si Pendeta. “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari keluar. “Penjahat kejam, jangan lari!” bentak Si Petani dan dengan cepat dia pun sudah meloncat lantas menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya. “Plakk! Tranggg…!” Golok itu terlempar lantas Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya dengan pukulan Pek-in-ciang. Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si Hwesio yang tadinya juga ikut mengejar, menjadi terkejut dan cepat dia menolong temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat bahwa temannya itu tidak tewas, melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu sehingga menjadi pingsan. Hwesio ini juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, yakni seorang locianpwe yang bertapa di Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia. Para pengawal berserabutan masuk, akan tetapi bayangan Thian Sin dan Kim Lan sudah tidak nampak lagi. Mereka segera menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat karena pangeran itu telah tewas dengan anggota kelaminnya terbabat buntung! Dengan hati penuh duka, hwesio serta petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw, terutama para tokoh persilatan di sekitar kota raja. Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang sangat akrab dengan banyak tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan. Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang masih muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan kejahatan, apa lagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa memiliki banyak selir muda yang cantik. Pula, tak pernah terdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan, apa lagi setelah para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis, pendekar yang terkenal sebagai pembasmi kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduh pangeran itu telah berbuat kejahatan. Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa amat marah dan menentang, tidak setuju dengan kekejaman-kekejaman itu walau pun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi makin marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis kini sudah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis! Maka ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itu pun merupakan pemberian orang kepadanya akibat sepak terjangnya yang sangat mengerikan. Datangnya bagaikan setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, senang menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan! Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan mereka pun merasa muak lantas menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah orang yang kejam, walau pun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa harus kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang. Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi dari kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis itu kepada para pemimpin Siauw-lim-pai. *************** Sementara itu, Thian Sin juga merasa sangat menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh dari Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka telah membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia lantas membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama halnya dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia sudah keluar dari kota raja kemudian menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata, “Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau.” Mendadak wanita itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Thian Sin. “Taihiap… aku merasa berterima kasih sekali kepadamu… maka biarlah aku menyerahkan diriku kepada taihiap untuk membalas budi taihiap…” “Hemm, pergilah dan jangan kau ganggu aku lagi!” kata Thian Sin. “Tapi… tapi, taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Apa bila bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa taihiap menolong aku setengah-setengah?” Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya pula. “Habis, apa maumu?” tanyanya, agak bingung juga. “Taihiap, biarlah selama taihiap berada di sini aku menemani taihiap, aku akan melayani taihiap dan apa pun yang taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati.” Thian Sin tak bisa menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin, karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka jika bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan segera menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka dia pun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia sudah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap lagi telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu. Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tak pernah berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula. “Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini,” mendadak pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering. Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan cepat menghampiri, duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin. “Engkau hendak pergi, taihiap? Ke manakah? Lalu aku… aku bagaimana…?” Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba saja dia bertanya, “Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini.” “Mencari musuhmu, taihiap? Siapakah yang kau cari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya.” Ucapan Kim Lan ini mendatangkan harapan di hati Thian Sin. “Benarkah? Yang sedang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri ke kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan.” Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali. “Tok-ciang Sianjin…? Tok-ciang… ahh, pernah aku mendengar nama itu, taihiap!” Dan dia pun lebih mendekat lalu jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang. Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik. “Benarkah? Engkau tahu di mana dia?” tanyanya. Kim Lan mengangguk-angguk. “Sekarang aku teringat. Dahulu mendiang suamiku pernah mengirim kulit harimau yang dipesan oleh ketua Pek-lian-kiuw di lereng Tai-hang-san, di dusun yang disebut Dusun Tiong-king. Ya, suamiku pernah bercerita bahwa di sana ada seorang kakek yang berjuluk Tok-ciang… yang kuingat hanya Tok-ciang begitu saja, tapi entah Tok-ciang Sianjin atau Tok-ciang siapa. Suamiku mendengar nama julukan itu dari percakapan antara para anggota Pek-lian-kauw ketika dia menantikan pembayaran.” “Bagus sekali!” Thian Sin berseru dengan girang. “Engkau mau membantuku?” “Tentu saja, taihiap. Setelah apa yang kau lakukan untukku, biar harus berkorban nyawa pun aku bersedia melakukannya untukmu!” “Lebih dulu aku akan mencari harimau dan engkau boleh menawarkan kulitnya ke orang Pek-lian-kauw, dengan demikian engkau dapat menyelidiki di mana adanya orang yang berjuluk Tok-ciang Sianjin dan apakah dia itu benar Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam atau bukan.” “Baik, taihiap, dengan senang hati. Dan lebih dari itu… apa bila engkau menghendaki… aku… aku akan senang sekali menemanimu tidur…” Wajah itu masih sempat menjadi merah saat mengatakan hal ini dan matanya mengerling tajam, mulutnya tersenyum. Memang sejak pertemuannya yang pertama dengan pemuda itu, Kim Lan sudah tergila-gila oleh ketampanan wajah Thian Sin, apa lagi setelah wanita ini menyaksikan sepak terjang Pendekar Sadis itu. Thian Sin tersenyum, lalu meraih dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Tentu saja dia tidak menolak penawaran diri seorang wanita semanis Kim Lan, apa lagi karena sudah beberapa lamanya dia tidak pernah menyentuh wanita. *************** Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) sesungguhnya bukanlah suatu perkumpulan agama, melainkan sebuah perkumpulan politik yang menentang pemerintah. Para pemimpinnya memang terdiri dari para tosu yang sebagian menganut Agama To yang sudah tidak asli lagi, yang bercampur-baur dengan pelajaran-pelajaran Agama Buddha dan pelajaran dari aliran-aliran lain yang suka akan hal-hal mistik. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan penentang pemerintah yang kuat. Biar pun sudah sering kali pemerintah melakukan usaha untuk membasminya, akan tetapi perkumpulan ini selalu berdiri lagi dan mempunyai cabang di mana-mana. Kekuatannya terletak pada pengerahan rakyat yang mudah terbujuk oleh perkumpulan ini melalui ilmu-ilmu sihir, melalui filsafat-filsafat agama serta janji-janji. Tentu saja semua ini didasarkan atas penderitaan rakyat. Pek-lian-kauw pandai menggunakan bujuk rayu, dan juga memanfaatkan kemiskinan serta penderitaan rakyat yang merasa tak puas terhadap pemerintah yang pada waktu itu memang sangat buruk. Banyak pembesar yang bersikap sewenang-wenang, pejabat-pejabat yang menindas rakyat dengan berbagai jalan. Kekeliruan pemerintah yang terutama adalah bahwa pemerintah selalu mengejar-ngejar perkumpulan itu dengan kekerasan. Tentu saja pemerintah tidak pernah berhasil, karena pemerintah hanya mengejar dan berusaha membasmi akibatnya saja tanpa peduli dengan sebabnya. Timbulnya ketidak puasan rakyat membentuk adanya perkumpulan seperti perkumpulan Pek-lian-kauw yang ideologinya dilandaskan atas kemiskinan rakyat yang menderita dan tidak puas itu adalah akibat saja, dan sebabnya terletak pada keadaan rakyat itu sendiri. Biar pun ribuan kali perkumpulan semacam itu dibasmi, akan tetapi selama rakyat masih tertindas, miskin dan tidak puas, tentu akan muncul pula perkumpulan baru yang serupa, yaitu menentang pemerintah dan merongrong pemerintah. Pek-lian-kauw selalu menghasut di dusun-dusun yang dihuni oleh rakyat miskin dengan mengatakan betapa rakyat sengsara hidupnya, ditindas, serta menonjolkan pula betapa mewahnya kehidupan orang-orang kaya dan pembesar-pembesar yang korup di kota-kota dan kota raja. Dengan perbandingan-perbandingan yang menyolok ini, dan ditambahi pula dengan bumbu-bumbu, Pek-lian-kauw menghasut rakyat jelata supaya menentang, untuk memberontak terhadap orang kaya, terhadap pembesar, terhadap pemerintah. Kemiskinan rakyat merupakan sumber pertumbuhan perkumpulan macam Pek-lian-kauw itulah. Rakyat yang kecewa atau tidak puas dengan keadaan hidupnya, menjadi makanan empuk bagi perkumpulan semacam itu, mudah dihasut. Oleh karena itu, mengejar-ngejar Pek-lian-kauw, membasminya dengan kekuatan senjata, sama saja dengan membabat rumput pada daunnya saja. Karena akarnya masih, maka dalam waktu singkat saja rumput-rumput itu akan tumbuh kembali, bahkan mungkin lebih subur. Sebuah pemerintahan yang baik, di bawah bimbingan pemimpin-pemimpin yang bijaksana, tentu akan lebih mempelajari sebabnya dari pada terkecoh oleh akibatnya, dan tentu akan lebih memperhatikan akarnya dari pada mengacuhkan rumputnya. Sebabnya atau akarnya terletak pada kesengsaraan atau kemelaratan rakyat jelata. Kalau pemerintah memperhatikan keadaan kehidupan rakyat jelata, di dusun-dusun, di gunung-gunung, apa bila pemerintah dapat meningkatkan kehidupan mereka yang miskin dengan pendapatan yang memadai, sehingga semua rakyat dapat memperoleh sandang pangan papan yang layak, kalau perbedaan antara si kaya dan si miskin tidak begitu menyolok, kalau semua pejabat yang memeras dan korupsi diberantas dan diganti orang-orang yang bijaksana, maka rakyat akan hidup tenteram, tenang dan tidak kecewa. Nah, kalau sudah begini, maka tanpa diberantas pun, perkumpulan-perkumpulan macam Pek-lian-kauw itu akan mati sendiri. Mata rakyat tentu akan terbuka bahwa perkumpulan semacam itu hanya menghasut belaka untuk menggunakan kekuatan mereka, kekuatan rakyat, agar dapat dimanfaatkan untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan, atau lebih jelas lagi perkumpulan itu hendak mempergunakan kekuatan rakyat untuk merebut kedudukan, demi kepentingan beberapa gelintir pemimpin perkumpulan itu sendiri tentu saja. Bahkan rakyat tentu akan menentangnya. Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam ialah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sejak Jeng-hwa-pang diserang oleh putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kemudian dibantu oleh keturunan Cin-ling-pai, dia merasa hidupnya tidak aman. Dia masih merasa ngeri apa bila membayangkan kelihaian putera Pangeran Ceng Han Houw itu. Dan dia pun mengerti bahwa pemuda yang mengandung sakit hati karena kematian ayah bundanya itu tentu akhirnya akan mencarinya. Maka sesudah Jeng-hwa-pang dibasmi, dia pun lari ke kota raja di mana dia mempunyai banyak sahabat sehingga dapat menyembunyikan dirinya. Beberapa tahun lamanya tidak ada orang yang mencarinya, maka dia mulai merasa tenang. Akan tetapi kemudian dia mendengar munculnya seorang pemuda yang dijuluki Pendekar Sadis karena kekejamannya membasmi orang-orang jahat. Tok-ciang Sianjin lalu teringat kepada Thian Sin, putera Ceng Han Houw itu, dan dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya Pendekar Sadis ini adalah Ceng Thian Sin putera pangeran yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan sebagai jagoan nomor satu itu! Maka dia pun menjadi panik dan ketakutan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa Hwa-i Kai-pang sudah diobrak-abrik oleh Pendekar Sadis, bahkan Lo-thian Sin-kai serta Hek-bin Mo-kai juga telah dibunuhnya secara mengerikan. Makin yakinlah hatinya bahwa pemuda itu tentulah Ceng Thian Sin dan dia pun tahu bahwa pemuda itu pasti sedang mencarinya pula, dan pada akhirnya tentu tahu bahwa dia pun menjadi satu di antara pengeroyok dan pembunuh Pangeran Ceng Han Houw. Tok-ciang Sianjin merasa tak aman lagi tinggal di kota raja, oleh karena itu dia pun lari ke satu-satunya tempat yang dirasanya akan aman baginya, yaitu ke sarang Pek-lian-kauw. Memang sudah lama dia mempunyai hubungan baik dengan Pek-lian-kauw. Sesudah dia menempati sebuah pondok di dalam komplek sarang Pek-lian-kauw dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw yang cukup lihai sebagai teman, akhirnya hatinya menjadi tenteram juga. Bagaimana pun juga, putera Sang Pangeran Ceng Han Houw yang diduganya tentulah Si Pendekar Sadis itu hanya seorang diri saja, maka dengan bantuan Pek-lian-kauw, bukan saja dia akan mampu menandingi Pendekar Sadis, bahkan jika pemuda itu berani muncul, dia tentu akan berusaha supaya pendekar itu dikeroyok sehingga tewas seperti mendiang ayahnya. Sarang Pek-lian-kauw yang berada di lereng Pegunungan Tai-hang-san dan tak jauh dari daerah kota raja itu memang merupakan tempat yang sangat baik bagi perkumpulan ini. Dan agaknya untuk tidak menarik perhatian pemerintah, maka perkumpulan itu tidak mau mendirikan sebuah benteng, tetapi mempergunakan sebuah dusun untuk menjadi sarang mereka. Mereka mendirikan banyak rumah di antara rumah-rumah penduduk dusun, dan ada pula yang mendirikan rumah-rumah di hutan-hutan tepi dusun itu, akan tetapi di antara semua rumah ini terdapat hubungan rahasia dan setiap waktu tempat itu terjaga oleh anak buah Pek-lian-kauw yang bersembunyi di tempat-tempat rahasia. Para penduduk dusun Tiong-king itu pun semuanya sudah dipengaruhi sehingga biar pun mereka masih merupakan penduduk dusun biasa, namun sesungguhnya mereka itu telah menjadi anggota-anggota yang setia dari Pek-lian-kauw yang menjanjikan perbaikan nasib bagi mereka kalau kelak ‘perjuangan’ Pek-lian-kauw sudah berhasil. Pada suatu pagi, seorang wanita yang manis memasuki perkampungan Pek-lian-kauw itu dan karena dia membawa kulit harimau serta mengatakan bahwa wanita itu adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi (Setan Penakluk Harimau), yakni pemburu yang biasa menjual kulit harimau dan ular besar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, maka ia diterima tanpa banyak kecurigaan. Bahkan Kim Lan yang membawa dua gulung kulit harimau itu segera dibawa menghadap kepada Thian Hwa Lo-su, yaitu kakek yang pada waktu itu menjadi pemimpin atau ketua cabang Pek-lian-kauw di daerah itu. Ada pun pusat Pek-lian-kauw masih tetap berada di selatan, yaitu di Propinsi Hok-kian. Thian-hwa Lo-su ini adalah seorang sahabat baik dari Tok-ciang Sianjin. Dia memimpin Pek-lian-kauw cabang daerah itu dengan bantuan lima orang sute-nya. Dengan hadirnya Tok-ciang Sianjin di tempat itu, tentu saja dia merasa gembira dan berarti memperoleh tenaga yang boleh diandalkan, yang akan membuat Pek-lian-kauw cabang daerah itu jadi semakin kuat. Pada saat itu, Thian-hwa Lo-su sedang bersama lima orang sute-nya dan juga Tok-ciang Sianjin hadir pula. Mereka sedang menerima kunjungan seorang tokoh Pek-lian-kauw dari Hok-kian. Tokoh ini adalah seorang tosu Pek-lian-kauw yang bernama Giok-lian-cu, yakni seorang tosu tinggi kurus yang mukanya mirip seperti tikus akan tetapi matanya sangat berwibawa sebab tokoh ini memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi di samping ilmu sihir yang cukup kuat. Giok-lian-cu ini datang dengan membawa pesan dari para pimpinan Pek-lian-kauw pusat untuk memperingatkan para pengurus cabang bahwa mereka itu kurang tekun berusaha menarik dukungan rakyat. “Bagaimana dapat dikatakan kami kurang berusaha?” Thian-hwa Lo-su membantah. “Tiap hari kami telah membujuk dan menghibur rakyat di dusun-dusun, dan sudah banyak yang menjadi pengikut kami. Seperti misalnya di dusun Tiong-king ini, dari anak-anak sampai kakek-kakek, laki-laki mau pun wanita, semuanya mendukung gerakan kita!” Dia merasa agak penasaran apa bila dikatakan bahwa para pimpinan cabang kurang giat atau tekun bekerja. “Siancai… siancai… harap Lo-heng jangan salah mengerti dan bisa menyelami apa yang dimaksudkan para pimpinan kita,” kata Giok-lian-cu sambil tersenyum. Kalau tersenyum, mukanya semakin mirip dengan muka tikus karena bentuk muka itu memang meruncing dan panjang, sedangkan muka itu dicukur licin, hanya menyisakan beberapa helai kumis jarang. “Coba Lo-heng jawab, di samping berusaha membujuk dan mengambil hati rakyat dengan janji-janji muluk, apakah kawan-kawan di daerah ini juga pernah berusaha untuk mencegah dan menghalangi adanya kemakmuran rakyat? Apakah sudah ada usaha untuk mengacaukan pembagian air sawah, merusak tanaman, meracuni sungai-sungai supaya ikan-ikan banyak yang mati, juga mengadakan kekacauan-kekacauan berselubung hingga rakyat hidup dalam kekurangan, kelaparan dan kegelisahan?” Semua pimpinan Pek-lian-kauw daerah itu terbelalak. Selama menerima ‘gemblengan’ di pusat belum pernah mereka mendengar akan usaha-usaha seperti itu. “Tetapi mengapa? Bukankah kita malah harus berbaik dengan rakyat miskin? Mengapa kita harus membuat kehidupan mereka menjadi semakin memburuk…?” “Ha-ha-ha, agaknya Lo-heng lupa bahwa rakyat harus dibuat semenderita mungkin, sebab dengan demikian, dengan adanya kegagalan panen, kegagalan para nelayan, kekacauan dan ketidak amanan, maka semakin besar pula rakyat akan tidak puas lantas membenci pemerintah. Kaisar dianggap sebagai utusan Thian, sehingga jika sampai panen gagal dan kehidupan sukar, berarti bahwa Thian marah kepada kaisar maka menjatuhkan hukuman. Keadaan ini akan lebih mudah untuk mendorong rakyat supaya memberontak dan menjadi pengikut-pengikut kita.” Para pimpinan Pek-lian-kauw mengangguk-angguk dan mereka merasa amat kagum akan siasat baru yang dibawa oleh rekan ini dari pusat. Mereka lalu menyatakan kesanggupan mereka untuk mempergiat usaha mereka membuat rakyat di wilayah kekuasaan mereka menjadi makin melarat, dan bila perlu mereka akan membasmi hartawan-hartawan yang suka menderma, menghancurkan atau membakar persediaan pangan, meracuni sungai yang banyak ikannya dan meracuni tanaman-tanaman agar mati sebelum mengeluarkan hasil. Akhirnya mereka minum arak dari cawan mereka sambil berseru, “Hidup Pek-lian-kauw! Demi kemakmuran rakyat jika pemerintah telah digulingkan sehingga Pek-lian-kauw yang berkuasa!” Rapat pimpinan lalu dilanjutkan dengan makan minum untuk menjamu tamu dari pusat itu. Dan biar pun para pimpinan Pek-lian-kauw itu terdiri dari orang-orang yang mengenakan jubah pendeta, akan tetapi mereka semua tak pernah pantang makan barang berjiwa mau pun minuman keras. Bahkan mereka pun tak pernah pantang bersenang-senang dengan wanita. Karena itu, dalam perjamuan itu pun terdapat beberapa orang wanita muda, yaitu wanita-wanita dari dusun-dusun yang sudah menjadi pendukung mereka, tentu saja dipilih yang manis-manis untuk melayani mereka makan minum. Para gadis yang telah dipilih oleh pimpinan Pek-lian-kauw itu rata-rata telah lama menjadi kekasih mereka pula, dan sewaktu-waktu dapat dipanggil untuk menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw. Gadis ini merasa seolah-olah mereka itu terpilih sehingga merasa bangga karena selain mereka merasa dipakai oleh para orang terkemuka, juga mereka tentu saja dihadiahi banyak barang berharga, pakaian indah dan emas permata. Karena itu, pada saat melayani mereka makan minum, gadis-gadis itu pun bersikap genit-genit, apa lagi terhadap tamu itu, biar pun pendeta tamu itu tak dapat dikatakan memiliki wajah dan bentuk badan yang menarik hati wanita. Pada pagi hari itulah, selagi para pimpinan Pek-lian-kauw sedang menjamu Giok-lian-cu, tokoh Pek-lian-kauw pusat itu, muncullah Kim Lan yang menawarkan dua gulungan kulit harimau kepada para pimpinan Pek-lian-kauw. Anggota Pek-lian-kauw yang mengenal suami wanita ini dan tahu bahwa ketua mereka suka sekali mengumpulkan kulit binatang buas, cepat membawa Kim Lan masuk ke ruangan di mana mereka sedang berpesta, apa lagi melihat bahwa wanita penjual kulit harimau ini amat manis. Melihat anggotanya datang dengan membawa seorang wanita yang tidak mereka kenal, Thian-hwa Lo-su mengerutkan alisnya. Betapa sembrono anak buahnya itu. “Siapa yang kau bawa menghadap ini?” “Maaf, suhu, dia adalah isteri mendiang Hok-houw-kwi si pemburu yang pernah menjual kulit binatang buas ke sini, dan dia sekarang membawa dua gulung kulit harimau…” Kecurigaan segera lenyap dari sepasang mata ketua Pek-lian-kauw itu dan sekarang dia memandang dengan penuh perhatian, malah dengan pandang mata lembut ketika melihat betapa wanita itu memiliki wajah yang manis dan pakaiannya yang ketat itu menonjolkan tubuh yang padat dan menggairahkan. Pandang mata wanita itu juga mengandung kerling tajam, tanda bahwa wanita itu bukan berdarah dingin. Dan terutama sekali, baru sekarang tuan rumah ini dapat melihat betapa pandang mata tamunya berkilat. Apa bila tadi tamunya menghadapi para pelayan itu dengan sikap tak acuh dan jemu, kini kedatangan wanita itu membangkitkan gairah tamunya. Dan memang, kalau dibandingkan dengan gadis dusun yang sudah terbiasa melayani mereka serta bersikap genit-genit itu, maka wanita penjual kulit harimau ini jauh lebih unggul, baik dalam hal kemanisan wajah, kepadatan tubuh yang seolah-olah menyembunyikan kekuatan dan kehangatan, mau pun dalam sikap yang nampak alim. “Ahh, jadi engkau adalah isteri Hok-houw-kwi? Memang pinto mengenal baik suamimu itu. Apa, sudah mendiang? Duduklah nyonya muda, duduklah dan ceritakan kapan suamimu itu meninggal dunia,” kata Thian-hwa Lo-su dengan sikap ramah. Mulanya Kim Lan menolak dengan sikap malu-malu, akan tetapi setelah dibujuk oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang lain akhirnya duduklah dia di sebuah kursi, setelah dia menarik kursi itu agak menjauh dari meja dan dari para tokoh Pek-lian-kauw yang sedang duduk menghadapi masakan di atas meja yang panjang dan lebar itu. Diam-diam dia mengerling ke arah mereka lantas dengan mudah dia dapat mengenal Tok-ciang Sianjin seperti yang didengarnya dari Thian Sin. Seorang kakek berusia hampir tujuh puluh, masih nampak kuat dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya pucat agak kehijauan, sepasang mata yang sipit seperti terpejam, dan jubahnya kuning. Yang berwajah dan bertubuh seperti itu hanya orang ini, maka tentu dia ini adalah Tok-ciang Sianjin, pikirnya. Pendeta yang selalu menatapnya, yang bertubuh tinggi kurus pula, mukanya seperti tikus, tentu bukan Tok-ciang Sianjin. Maka dia pun cepat-cepat mencurahkan perhatian kepada tugasnya dan setelah duduk, dia diam saja menundukkan mukanya yang manis. “Ceritakanlah, nyonya, bagaimana suamimu meninggal? Apakah dia meninggal pada saat memburu binatang buas? Sudah lama sekali dia tidak pernah mengirim kulit binatang ke sini,” desak pula ketua cabang Pek-lian-kauw itu sambil tersenyum ketika melihat betapa Si Muka Tikus itu nampak makin tertarik setelah mendengar bahwa suami wanita ini telah meninggal dunia. Didesak demikian, tiba-tiba saja sepasang mata Kim Lan yang bening itu menjadi basah dan dia menjawab dengan suara gemetar memancing rasa iba, “Suami saya… dan ayah saya… telah dibunuh oleh si keparat Pangeran Toan.” Ia sengaja memaki nama pangeran itu sebab dia pun tahu persis bahwa orang-orang Pek-lian-kauw ini amat membenci kaum bangsawan, hartawan, dan juga orang-orang dari kalangan pemerintah. “Toan-ong-ya…?” tanya ketua cabang Pek-lian-kauw itu hingga semua orang menatapnya dengan penuh perhatian. “Benar, totiang,” kata wanita itu sambil menahan isaknya. “Ahh…! Akan tetapi, bukankah pangeran keparat itu baru-baru ini dibunuh oleh Pendekar Sadis? Demikian yang kami dengar!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berkata dan diam-diam Kim Lan bergidik mendengar suara ini, suara yang mengandung getaran yang langsung mengguncangkan jantungnya. Memang Pendekar Sadis sudah memberi tahu kepadanya bahwa pendeta ini memiliki kepandaian yang amat lihai. “Saya juga sudah mendengar akan hal itu dan saya bersyukur karenanya. Siapa pun yang membunuhnya, maka sakit hati saya akan kematian suami dan ayah saya telah terbalas!” katanya dan dia dapat membuat suaranya terdengar lega dan bersyukur. “Ehhh, nyonya muda, kau belum menceritakan mengapa suamimu dan ayahmu dibunuh oleh pangeran itu, dan kapankah terjadinya hal itu?” “Ayah saya dan suami saya dibunuh oleh kaki tangan pangeran itu, kurang lebih empat bulan yang lalu karena… karena… ketika saya diutus suami saya menjual kulit harimau ke sana, pangeran itu hendak memaksa saya menjadi selirnya… saya lalu melarikan diri, dikejar kaki tangan pangeran itu. Ayah beserta suami saya membela, akan tetapi mereka dibunuh dan saya berhasil melarikan diri lalu bersembunyi. Setelah mendengar pangeran keparat itu dibunuh orang barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya lagi.” Semua orang mengangguk-angguk. Akan tetapi ketua cabang Pek-lian-kauw itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Kalau mereka sudah mati, bagaimana engkau bisa memperoleh dua gulung kulit harimau ini?” Hemmm, ketua perkumpulan ini cerdik juga, pikir Kim Lan. Dia harus berhati-hati, karena kalau rahasianya sampai bocor, tentu dia akan mati tanpa mampu menghindarkan diri dari bahaya maut lagi. “Sesudah mendengar pangeran keparat itu tewas, saya berani keluar lagi dan bersama teman-teman pemburu, yaitu para bekas teman-teman suami saya, saya lalu melanjutkan pekerjaan suami saya. Kami telah berhasil menjebak dua ekor harimau dan karena kami memburu di hutan-hutan yang berdekatan dengan tempat ini, yaitu di lereng Tai-hang-san sebelah barat, saya lantas teringat kepada pesan suami saya untuk menjual hasil buruan, terutama kulit harimau ke dusun Tiong-king, di mana katanya terdapat ketua perkumpulan yang suka membelinya.” “Hemmm, dia mengatakan ketua perkumpulan? Perkumpulan apa?” ketua Pek-lian-kauw bertanya dengan kaget. “Saya tidak tahu namanya, totiang, hanya dikatakan bahwa di dusun ini saya boleh minta menghadap ketuanya untuk menawarkan kulit-kulit ini. Karena itu saya berani datang ke sini sebab menurut keterangan suami saya dahulu, para pendeta di sini berani membayar mahal dan juga bahwa mereka… semua manis budi dan gagah perkasa.” “Ha-ha-ha!” Tiba-tiba pendeta muka tikus itu tertawa. “Sayang suamimu sudah meninggal nyonya, kalau belum, tentu aku akan suka berkenalan dengan dia.” Melihat sikap tamunya, ketua cabang Pek-lian-kauw turut tertawa. “Lo-te, kalau suaminya sudah meninggal, masih ada isterinya, bukankah boleh juga untuk berkenalan?” Mereka semua tertawa, kecuali Tok-ciang Sianjin. Pendeta ini memang sejak dahulu tidak suka kepada wanita. Dia lebih suka untuk mengajak seorang lelaki tampan menemaninya tidur. Dan mendengar bahwa suami dan ayah wanita ini terbunuh oleh Toan-ong-ya yang baru saja terbunuh oleh Pendekar Sadis, dia merasa tak enak hati sungguh pun dia tidak dapat menghubungkan wanita ini dengan Pendekar Sadis. “Nyonya muda, jangan khawatir. Kedua gulung kulit harimau itu tentu akan kami beli dan kami akan membayar berapa saja harga yang kau minta. Akan tetapi, mengingat bahwa mendiang suamimu adalah sahabat baik kami, maka engkau pun merupakan sahabat baik kami dan engkau kami anggap sebagai seorang tamu yang terhormat. Mari masuklah dan minum bersama kami, nyonya!” Dan kepada para pelayan itu Thian-hwa Lo-su berteriak agar disediakan mangkok, sumpit dan cawan bersih. “Ahh, mana saya berani, totiang… ? Saya… tidak seharusnya saya…” “Nyonya, dengan sungguh hati kami menghormati engkau sebagai isteri bekas sahabat dari Thian-hwa Lo-su, tetapi mengapa engkau hendak menolaknya? Apakah engkau tidak mau menerima kebaikan kami?” Tiba-tiba pendeta yang bermuka tikus itu berkata sambil tersenyum penuh arti. Sekali pandang saja Kim Lan yang sudah berpengalaman itu maklum apa yang sedang berkecamuk di dalam benak kepala yang seperti kepala tikus itu dan di dalam hatinya dia pun tersenyum puas. Memang inilah yang dicarinya. Tanpa bisa mengail salah seorang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw dengan kecantikannya, mana mungkin dia akan bisa menyelidiki tentang keadaan Tok-ciang Sianjin itu? Dan Si Muka Tikus ini agaknya bukan seorang yang berkedudukan rendah, buktinya dia dapat bicara seolah-olah dia berkuasa di situ. Mendengar ucapan tamunya ini, Thian-hwa Lo-su gembira sekali. Terbuka jalan baginya untuk meyenangkan hati tamunya dan hal ini sangat perlu karena dengan demikian maka tentu orang penting ini akan membuat laporan baik ke pusat tentang dirinya. “Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh beruntung sekali, nyonya, telah menyenangkan hati tamu agung kami. Perkenalkanlah, Lo-te ini adalah Giok-lian-cu, seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi sekali dan engkau tidak akan rugi berkenalan dengan dia.” Dengan lagak seorang wanita ‘baik-baik’, Kim Lan akhirnya mau menerima ajakan makan minum itu dengan sikap malu-malu. Akan tetapi sesudah makan minum beberapa cawan arak, wanita ini pun mulai tersenyum manis sekali kepada Si Muka Tikus. Wajahnya yang manis berubah menjadi kemerahan, senyumnya makin lebar, tidak malu-malu lagi seperti tadi sehingga jika tersenyum nampak deretan gigi putih rapi dan kadang-kadang nampak ujung lidahnya yang merah meruncing. Giok-lian-cu, tosu Pek-lian-kauw yang seperti juga rekannya, walau pun sudah memakai pakaian pendeta namun masih menjadi hamba nafsu yang sangat lemah, sudah menjadi tergila-gila kepada Kim Lan. Seorang janda yang sudah empat bulan ditinggal suaminya! Tentu saja bayangan ini lebih menarik baginya dibandingkan dengan wanita-wanita dusun yang melayani mereka makan minum itu, yang biar pun tidak bersuami, akan tetapi setiap malam melayani para pimpinan Pek-lian-kauw di tempat itu secara bergilir. Dan Kim Lan pandai sekali jual mahal, bersikap laksana seorang wanita yang belum tahu apa-apa. Hanya dengan bujukan dan seperti orang yang setengah terpaksa karena takut, akhirnya ia membiarkan dirinya digandeng dan setengah ditarik-tarik oleh tosu muka tikus itu memasuki kamar tamu yang sudah disediakan untuknya oleh para rekan-rekannya. Para tosu pimpinan cabang Pek-lian-kauw mengiringi mereka berdua yang masuk kamar itu dengan tawa gembira, membuat Kim Lan mudah saja menjadi merah mukanya, yang sesungguhnya bukan merah karena malu-malu, melainkan karena marah! Namun semua ini harus dilakukannya. Betapa pun juga, dia harus berani berkorban untuk Pendekar Sadis. Bukan hanya karena pendekar itu sudah berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap Pangeran Toan, namun juga karena dia amat takut kepada pendekar yang luar biasa kejamnya itu, dan di samping rasa takut, juga dia tunduk dan tergila-gila kepada pemuda itu setelah beberapa hari lamanya dia menjadi kekasih pemuda yang lihai, gagah dan juga kejam dan aneh itu. Dia sudah berjanji hendak membantu, untuk menyelidiki tempat persembunyian Tok-ciang Sianjin dan tentang keadaan di sarang Pek-lian-kauw itu, dan satu-satunya jalan baginya untuk bisa berhasil tentu saja hanya dengan mengorbankan dirinya dan mempergunakan kecantikannya untuk memikat hati seorang pimpinan Pek-lian-kauw. Dan dia berhasil. Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang tentu saja sangat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi diam-diam dia memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam dia merasa seram dan ngeri. Tosu itu nampak demikian pendiam dan dingin, memandang rendah pada segala sesuatu di sekitarnya, bahkan dialah satu-satunya orang di antara para tosu itu yang tak bersikap merendah dan menjilat terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa orang seperti itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka dia bersikap amat hati-hati. Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu dia harus melayani, sebab biar pun sebagai pria Tok-ciang Sianjin itu jauh lebih menarik dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sianjin dan tosu itu tentu akan dengan mudah dapat membongkar rahasianya. Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria, maka dengan mudah saja Kim Lan membuat tosu muka tikus itu makin terbuai dan tergila-gila padanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya bisa memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sianjin, di mana tinggalnya, di pondok yang mana, dan apa kedudukannya di tempat itu. Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tetapi tanpa kecurigaan hanyalah, “Ehh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang Sianjin?” Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil bagaikan orang yang ketakutan dan ngeri. “Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seakan-akan hendak menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia bermuka dingin itu.” Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu maka dia pun menceritakan semua keadaan Tok-ciang Sianjin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang sekali. Sungguh pun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim Lan yang harus melayani seorang kakek yang dibencinya dan harus menurut saja apa pun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, akan tetapi pada keesokan harinya, ketika dia berpamit dan dibekali uang cukup banyak untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim Lan pulang dengan hati senang bukan main. Dia sudah berhasil, dia akan membikin girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan dicintanya! Sesudah mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarnya, Thian Sin tersenyum gembira. “Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!” “Taihiap…!” Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali. Kim Lan duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga gelisah. Malam tadi dia telah melakukan tugas yang berat dan sekarang pun dia masih merasa muak jika teringat akan kakek si muka tikus. Akan tetapi, pendekar itu tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja, menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu. Akan tetapi dia percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali. Apa bila pendekar itu telah berhasil membunuh musuh besarnya, maka barulah dia akan menagih upah sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu! *************** Sementara itu, Thian Sin sedang melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Dia sudah mendapatkan keterangan dengan jelas dari Kim Lan. Tok-ciang Sianjin memang benar berada di sarang Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sianjin bersembunyi seorang diri di dalam sebuah pondok di sebelah utara dusun atau perkampungan Pek-lian-kauw itu. Perkampungan itu setiap waktu dijaga oleh para anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan sebelum dia sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia sudah dilaporkan terlebih dulu sehingga fihak musuhnya dapat berjaga-jaga. Akan tetapi, di waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik baginya sebab menurut keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sianjin berlatih semedhi dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore. Tosu itu melatih ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar pikiran tentang ilmu silat dan saling mengisi. Menurut penuturan kakek muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya Tok-ciang Sianjin mempunyai hubungan sangat baik dengan Thian-hwa Lo-su dan sering kali mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Tentu saja hal itu dilakukan sebagai imbalan jasa Pek-lian-kauw yang telah menerimanya untuk bersembunyi di tempat itu, dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir Thian Sin. Dan memang sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan. Tok-ciang Sianjin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, dan sudah dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar sekali. Karena itu dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk minta bantuan mereka apa bila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw. Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut untuk menghadapi mereka semua itu. Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk begitu saja, sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan melarikan diri terlebih dulu. Dia harus dapat menyergap Tok-ciang Sianjin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan sesudah itu, meski dia akan dikeroyok oleh seluruh anggota Pek-lian-kauw sekali pun, dia tidak merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang Sianjin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan diri lagi. Ketika tiba di luar dusun yang menjadi sarang Pek-lian-kauw, Thian Sin cepat menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia diam saja bersembunyi tanpa bergerak dan akhirnya dia dapat melihat ada tiga orang anggota Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya. Hemmm, ternyata mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti barisan pendam. Tentu saja sulit bagi orang luar untuk bisa memasuki wilayah itu tanpa ketahuan, pikirnya. Dia lalu menyelinap di antara pohon dan semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya laksana terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari satu pohon ke lain pohon, bergerak ke sebelah kanan. Tepat seperti yang sudah diduganya, antara jarak seratus meter dari parit itu, terlihat parit lainnya dengan tiga orang anggota Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Pada waktu dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga dalam jarak sekitar seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya. Thian Sin bergerak cepat. Dia segera merunduk lalu bergerak sambil bertiarap di antara rumput-rumput tinggi, mendekati parit pertama. Setelah tiba dekat tubuhnya lantas terjun ke bawah dan sebelum ketiga orang itu sempat mengeluarkan suara, hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja Thian Sin sudah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya terlalu cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu telah roboh terkulai pingsan sebelum tahu apa yang terjadi! Thian Sin cepat menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lantas mempergunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga apa bila mereka siuman kembali, mereka tidak akan dapat berkutik atau berteriak. Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan pada lain saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak maju menuju ke parit ke dua di sebelah kiri. Kembali dia menaklukkan tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia telah meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga orang penjaga di parit ke tiga tidak berdaya. Hatinya sangat girang dan dia pun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya. Biar pun dia sudah membersihkan jalan masuk dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju dengan sangat hati-hati. Pondok yang paling ujung itu, yaitu pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin telah tampak. Akan tetapi Thian Sin cepat-cepat menahan kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap berhati-hati dan memeriksa keadaan di sekelilingnya dengan teliti. Dan sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap ke balik semak-semak belukar lantas mengintai. Ternyata di atas pohon itu terdapat seorang penjaga! Ahh, pasti di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di sekeliling daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi. Untuk melumpuhkan penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan segera nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sianjin sedang melihat dari sana. Thian Sin memutar otak mencari akal. Kemudian dia mengambil keputusan untuk menggunakan kepandaiannya yang lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan berjalan menghampiri pohon itu! Dia sudah berada di dalam wilayah Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing di daerah itu! Setelah tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang sejak tadi tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak panah pada busurnya untuk menyerang ke bawah itu. Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah kemudian berkata, “Hai, kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah dan akan kuberi tahukan padamu!” Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat bahwa pemuda itu telah berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan orang asing karena orang asing tidak akan mungkin mampu melewati para penjaga parit, serta mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat turun dari pohon. Pemuda itu tak membawa senjata dan sikapnya pun tidak seperti seorang musuh, maka dia pun tidak khawatir. Akan tetapi ketika dia telah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah pengaruh pandangan mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu sebagai perintah yang tak mungkin dibantah. “Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sianjin ke pondoknya!” “Baik, akan kuantarkan, marilah,” penjaga itu menjawab seolah-olah dia berbicara dengan seorang rekannya sendiri. Tentu saja hal ini merupakan hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya. Para penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat hal ini, akan tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik, bahkan lantas mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang Sianjin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan menyangka bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima. Apa lagi sesudah melihat orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sianjin, maka para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang Sianjin yang lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda tampan dari pada dengan wanita. Dan pemuda itu, biar pun hanya kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak amat tampan! Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua mendekati pondok itu. Di sinilah adanya orang yang selama ini dicari-carinya! Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia gagal. “Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!” bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya. Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati. “Sianjin harap suka membuka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sianjin!” Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Atas desakan Thian Sin, penjaga itu mengetuk lagi dan mengulang kata-katanya sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya. “Brakkk…!” Pintu itu jebol dan terbuka. Dengan berani Thian Sin melompat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa terheran-heran kenapa dia berada di depan pondok itu dan melihat orang menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon! Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok itu. Ternyata pondok itu sudah kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu, atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menendangi semua barang di dalam pondok itu hingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang di situ rusak semua. Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa di luar pondok! “Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!” Thian Sin menjadi marah sekali, tapi tidak tahu marah pada siapa. Dia tidak tahu apakah Kim Lan mengkhianati dirinya? Agaknya tidak demikian. Lebih besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai bukan main maka mereka sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok, Tok-ciang Sianjin telah pergi dulu dan membiarkan dia memasuki pondok kosong. Kemudian dia menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu, Tok-ciang Sianjin, memang sudah berada di luar dan sedang berdiri tegak di samping tujuh orang berjubah pendeta yang dia duga tentulah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak puluhan orang anggota Pek-lian-kauw. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh para anggota Pek-lian-kauw. Thian Sin tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walau pun dia maklum bahwa dia telah dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan kini dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya. “Seekor buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang. Seorang Ciu Hek Lam, sungguh pun sudah berjuluk Tok-ciang Sianjin, tetap saja merasa perlu untuk menyembunyikan diri di antara orang-orang Pek-lian-kauw yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!” Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya, sedangkan Tok-ciang Sianjin diam saja, hanya menatap dengan tajam, wajahnya yang dingin sama sekali tak membayangkan sesuatu. Senjatanya pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti gerak-gerik Thian Sin dengan penuh perhatian. Diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begitu menggiriskan, bahkan sudah dikenal sebagai Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma. Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita pembawa dua gulung kulit harimau itu, maka diam-diam sesudah wanita itu pergi, dia langsung mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw, menyatakan kecurigaannya. Secara diam-diam dia pun telah bersiap-siap sehingga pada saat pemuda itu muncul, dia telah mengetahuinya terlebih dulu dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang menjadi ancaman baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan para orang Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa takutnya, apa lagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai itu. Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan dia pun lantas memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang sangat tajam, seolah-olah ada getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran yang amat berwibawa sehingga terasa oleh semua orang yang berada di situ. “Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah terkurung, melawan pun tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!” Thian Sin merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak pura-pura menurut? Kalau dia sudah berlutut, tentu Tok-ciang Sianjin akan turun tangan menyerangnya dan saat itu pula, selagi semua orang lengah, dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya! Kalau sekarang dia menyerang, tentu akan ada banyak orang yang melindungi Tok-ciang Sianjin sehingga dia merasa khawatir kalau-kalau serangannya akan gagal dan dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat, dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut! cerita silat online karya kho ping hoo Melihat ini, Giok-lian-cu lantas tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan. Dia telah berhasil memamerkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang langsung mengeluarkan seruan kagum melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu! Sementara itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, Tok-ciang Sianjin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia segera menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya masih menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu, berkata kepada dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu silat. “Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!” Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri. Mereka pun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian mereka pun sudah tinggi, akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu. Jangankan pemuda itu sudah tak berdaya, meski pun pemuda itu masih sehat sekali pun kalau mereka maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu mungkin hanya omong kosong saja, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda ini yang masih demikian muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sinkang untuk menghancurkan tulang pundak kanan dan kiri Thian Sin. Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil dan orang menyangka dia benar-benar sudah dikuasai ilmu sihir dari tosu muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sianjin yang maju sendiri meski pun orang itu sudah meloloskan senjata, melainkan menyuruh dua orang tosu Pek-lian-kauw yang lain. Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi kalau tulang pundaknya diremukkan orang, dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang pundaknya kalau dia tidak melawan. “Desss…! Desss…!” Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan kiri lantas terbanting keras. Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja. “Tok-ciang Sianjin pengecut hina!” sambil membentak, dia telah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. “Desss…! Desss…!” Tok-ciang Sianjin dan juga Thian-hwa Lo-su yang ikut pula menangkis serangan itu untuk melindungi sahabatnya, langsung terjengkang dan keduanya tentu akan terbanting pula apa bila mereka tidak cepat berjungkir balik. “Tar-tar-tarrr…!” Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sianjin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin. Akan tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan dahsyat sekali..... Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang kuat. Cepat dia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga Thi-khi I-beng. “Plakk!” “Ahhhhh… ahhhhh, lepaskan…!” Giok-lian-cu terkejut bukan main ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan betapa tenaga sinkang-nya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan yang merapat dengan lengan pemuda itu. Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga cepat menampar ke arah kepala Thian Sin. Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal lengannya. “Plakk!” “Aihhhhhh… lepaskan tanganku…!” Thian-hwa Lo-su juga berseru. Kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka. Akan tetapi sungguh celaka, semakin besar mengerahkan tenaga, semakin hebat pula tenaga mereka membanjir keluar. “Itu Thi-khi I-beng, jangan kerahkan sinkang!” Mendadak Tok-ciang Sianjin berseru keras. Cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala, kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya. Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berloncatan dan melepaskan dua orang yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum dia mampu mendesak Tok-ciang Sianjin, para tosu lain sudah mengurung dan mengeroyoknya. Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang sudah marah sekali karena dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak pula anggota Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggota ini dikerahkan oleh Tok-ciang Sianjin yang tiba-tiba saja menghilang di antara banyak anggota Pek-lian-kauw itu. “Tok-ciang Sianjin manusia pengecut, jangan lari kau!” Thian Sin membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia tak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walau pun perkumpulan itu telah melindungi musuh besarnya. Dia tak begitu bodoh untuk menanam permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari penyakit. Sesudah musuhnya benar-benar lenyap, dia pun cepat merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangannya, kemudian tubuhnya mencelat ke atas genteng. “Pek-lian-kauw bukan musuhku!” teriaknya dan dia pun berloncatan cepat sekali kemudian menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu. Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, sementara itu Thian-hwa Lo-su memberi perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian dengan hati kecil dan gentar mereka ramai membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis itu, dan mereka pun bergidik. Untung pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, sebab jika demikian halnya, tentu tadi sudah jatuh banyak korban. Sebaliknya mereka pun merasa tidak perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para pimpinan Pek-lian-kauw itu lalu menganjurkan kepada Tok-ciang Sianjin untuk bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu benar-benar meninggalkan daerah itu. Juga dengan terus terang Giok-lian-cu terpaksa mengatakan kepada Tok-ciang Sianjin agar supaya segera mencari tempat perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tak mau terbawa-bawa ke dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis. *************** “Sungguh mati, taihiap, apakah aku sudah menjadi gila sehingga berani mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan pada saat aku terpaksa melayani mereka, dan… ahhh, sudah kukatakan bahwa aku rela mati untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih juga tidak mau percaya bahwa aku telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?” “Tak perlu semua janji dan sumpah itu, jika memang benar perasaanmu itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang Sianjin dari tempat sembunyinya.” “Baik, saya akan melakukan segala perintahmu,” kata Kim Lan dengan sikap menantang, untuk membuktikan bahwa dia memang tidak mengkhianati pemuda itu. “Asalkan… asalkan engkau tak akan melupakan semua pembelaanku, taihiap…,” katanya dengan sikap manja. Thian Sin tersenyum dan karena dia memang membutuhkan bantuan wanita ini, maka dia pun segera mengulurkan kedua tangannya lantas menerima wanita itu yang menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya. Dengan sengaja Thian Sin tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira dia sudah pergi untuk mencari jejak Tok-ciang Sianjin di lain tempat, apa lagi setelah Thian Sin secara sengaja melakukan kegemparan dengan membasmi beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan agar berjalan seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu telah pecah! Dia mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah membayangkan keheranan. “Kepalamu pun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!” Tiba-tiba saja terdengar suara halus kemudian dari atas melayanglah turun seorang berpakaian jubah kuning. Tok-ciang Sianjin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat walau pun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Semenjak pertemuan pertama, wanita ini memang sudah merasa takut sekali terhadap tosu ini, maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia menggigil dan merasa ngeri. “Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki keadaanku untuk kau laporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengakulah sebelum kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!” bentak Tok-ciang Sianjin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu benar-benar tampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan kedua lututnya menggigil. “Tidak… ti… tidak…!” Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam wanita ini merasa sangat gelisah mengapa Pendekar Sadis belum juga muncul, padahal dia seperti merasa betapa maut sedang mengelus-elus kepalanya. “Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau adalah kaki tangan Pendekar Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu, engkau menyelidiki aku kemudian melaporkannya kepada Pendekar Sadis. Hayo katakan di mana dia sekarang berada?” “Tok-ciang Sianjin, aku berada di sini!” Tiba-tiba saja terdengar suara ini yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti terpejam sekarang terbelalak lebar dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti mayat. “Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Kini mampuslah kau, perempuan laknat!” Cambuk baja di tangannya segera bergerak dan terdengar suara meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Kim Lan. Namun secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh Kim Lan langsung terlempar sampai bergulingan, akan tetapi dia selamat dari cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi. Tok-ciang Sianjin yang sama sekali tak menyangka bahwa musuh besarnya akan berada di situ, kini mulai maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu kelinci, sesungguhnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu. Tahulah dia bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya. Dia lalu menyerang dengan dahsyat, cambuknya meledak-ledak hingga mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga melakukan serangan pukulan beracun. Tokoh ini dikenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan sambaran pecut bajanya. Namun, sekali ini dia menghadapi Thian Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya. Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, tetapi bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan Tok-ciang Sianjin sendirilah yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan itu menjalar hawa yang panas dan sangat kuat. Itulah tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa beracun yang keluar dari tangannya. Dan cambuk bajanya juga dapat dihadapi dengan sangat mudah oleh Thian Sin! Pemuda itu seakan-akan mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus. Apa bila pemuda itu menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu saja. Dia terus mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawannya terhuyung sambil tiada hentinya dia mengejek. “Hemmm, pengecut yang beraninya hanya main keroyok. Kalau tidak mengeroyok, dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah dapat membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!” “Plakk!” Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan sanggup untuk menandingi putera Pangeran Ceng Han Houw ini, dan jika dia teringat akan kekejamannya sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher serta mukanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu, benar-benar dia merasa ngeri sendiri. Maka, setelah cambuknya menyambar dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, dia pun segera membalikkan tubuhnya lantas menggunakan ginkang-nya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi tiba-tiba saja ada angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda itu telah mendahuluinya dan kembali menghadang sambil tertawa. Akhirnya Tok-ciang Sianjin putus asa, dan untuk yang terakhir kalinya dia mengerahkan seluruh tenaganya dan menyalurkan tenaga itu pada cambuknya, lalu menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar dengan totokan, ujung cambuk itu meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah leher Thian Sin. Sungguh serangannya ini sangat hebat dan berbahaya sekali sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut. Maka pemuda ini cepat memiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah menjepit ujung cambuk itu dan pada saat itu juga dia telah mempergunakan Thi-khi I-beng. Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga pada waktu Tok-ciang Sianjinmengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga sinkang-nya langsung membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu, maka dia cepat melepaskan tenaga sinkang-nya, akan tetapi pada saat itu pula Thian Sin telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sianjin terpelanting keras. Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri. Akan tetapi… tiba-tiba dia terbelalak karena tangan kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia cepat mencoba dengan tangan kanan, akan tetapi tangan kanannya tidak dapat digerakkan juga. Kiranya, dengan kecepatan yang luar biasa, Thian Sin yang maklum bahwa lawannya itu hendak membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat sepasang lengan kakek itu lumpuh dan tidak mampu digerakkan. “Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri, Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!” kata Thian Sin sambil tertawa. Dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu bergidik. Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak dia melihat kekejaman yang dilakukan orang, tapi menyaksikan sikap Pendekar Sadis, dia benar-benar bergidik dan hampir dia tidak berani melihat apa yang hendak dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sianjin. Bagaimana pun juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh diri. “Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, kalau mau bunuh, bunuhlah, siapa yang takut mati?” bentak Tok-ciang Sianjin, bersikap galak dan berani, padahal dia menggigil kalau teringat bahwa dia sudah terjatuh ke tangan Pendekar Sadis yang sepak terjangnya telah banyak didengarnya itu. “Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkau pun harus mati dikeroyok!” “Apa… apa maksudmu…?” Tok-ciang Sianjin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar. “Kau lihat saja nanti…!” Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan ujung cambuk yang panjang itu melibat tubuh kakek itu, lantas diseretnya kakek itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan oleh Thian Sin untuk keperluan ini. Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar, semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas bukan kepalang, berwarna merah darah! Ketika melihat semut-semut itu, maka mengertilah Tok-ciang Sianjin sehingga dia pun mulai berteriak-teriak. “Jangan…! Jangan… bunuh saja aku…!” Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum saja, kemudian cambuk rampasan di tangannya itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja seluruh pakaian tosu itu sudah direnggut lepas sehingga tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu hingga pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang panjang. Dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat pinggang tubuh yang berdarah-darah itu dan menggantung tubuh itu di sebuah cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya dia melecuti sarang-sarang semut merah di cabang-cabang. Maka mengamuklah semut-semut itu sehingga akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh Tok-ciang Sianjin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja. Semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya, bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu dapat mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan napas sehingga mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga! Tok-ciang Sianjin terus meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi kedua telinganya sambil membuang muka tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sianjin mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hidup pun tidak. Menjelang senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya, akhirnya dia pun terkulai dan pingsan, mendekati mati. Thian Sin lalu mempergunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan pengerahan sinkang-nya, cambuk itu pun menyambar laksana pedang, tepat mengenai leher tubuh itu sehingga putuslah leher Tok-ciang Sianjin. Dengan pakaian tosu itu sendiri yang tadi telah dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus kepala itu, lantas dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu, menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang Pek-lian-kauw! “Taihiap…!” Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali. “Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua,” kata Thian Sin dan wanita itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh kengerian. Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw sesudah menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang Pek-lian-kauw! Walau pun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sianjin Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sianjin bukan orang Pek-lian-kauw, dan melihat kenyataan bahwa pendekar itu tidak membunuh seorang pun anggota Pek-lian-kauw, maka mereka pun diam saja. Sementara itu, kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang melihat ada sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa orang kang-ouw yang mengenal bahwa kepala itu merupakan kepala milik Tok-ciang Sianjin, maka orang-orang pun bisa menduga bahwa pembunuhnya agaknya adalah Pendekar Sadis. Sementara itu, sesudah menggantung mayat di depan pintu gerbang Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke kuil kuno di mana Kim Lan sudah menantinya. Kim Lan terisak ketika menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik ngeri biar pun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu. Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur tiba-tiba dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus sekali, akan tetapi juga sangat berwibawa, “Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara denganmu!” Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet lantas mengucek matanya. Tubuhnya terasa segar karena hatinya sangat puas sudah berhasil menewaskan musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar, kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia malah tersenyum. “Tenanglah, kenapa takut?” “Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain. Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku…aku khawatir, taihiap.” “Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu.” Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya. “Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!” Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi. Thian Sin mengajak Kim Lan keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno. Seorang hwesio tua yang wajahnya kereng, memegang sebatang tongkat hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun lebih dan dia memegang tasbih. Tiga orang kakek yang usianya juga enam puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sasterawan, tetapi dari sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa mereka berlima itu tentu bukanlah orang-orang sembarangan, apa lagi melihat sikap hwesio dan tosu yang alim serta berwibawa itu, benar-benar jauh bedanya dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan berkata, “Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah membawa keperluan apakah?” Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sasterawan muda yang tahu akan sopan santun. “Omitohud…! Betulkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?” tanya Si Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan tongkatnya bersandar di pundaknya. “Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, biar pun saya sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghendaki menerima julukan seperti itu,” jawab Thian Sin dengan sikap merendah dan masih manis budi. “Siancai… siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang dijuluki Pendekar Sadis,” kata pula Si Tosu sambil memperlebar senyumnya. “Apa bila saya boleh bertanya, siapakah ngo-wi locianpwe dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?” “Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai,” hwesio itu berkata dengan sangat sederhana, akan tetapi Thian Sin menjadi terkejut sekali karena nama Hwa Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya di Siauw-lim-pai! “Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai,” kata Si Tosu yang ramah. Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! “Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang Toan-ong-ya.” kata salah seorang di antara tiga orang tua gagah itu. Meski pun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini akan tetapi dia dapat menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali. “Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya,” kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu. “Pinto banyak berhutang budi pada mendiang Toan-ong-ya,” sambung tosu Kun-lun-pai. Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka mudah diduga bahwa kunjungan mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia merasa yakin sekali akan kebenarannya bahwa pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah akibat kesalahan pangeran itu sendiri, maka dia bersikap tenang dan tidak merasa takut sedikit pun juga. Agaknya hal ini terlihat oleh lima orang kakek itu dan mereka pun diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan, gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang amat luar biasa. “Ahh, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang Toan-ong-ya. Jika begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya sudah membunuh pangeran itu, bukan?” tanyanya dengan jujur, tanpa membuang waktu lagi. “Bukan hanya itu saja, orang muda,” kata tosu Kun-lun-pai. “Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!” “Omitohud, dosamu telah bertumpuk-tumpuk, orang muda. Kau kira siapakah engkau ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng telah mendengar tentang cara-caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud… Siauw-lim-pai akan ikut bersalah bila tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!” Thian Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi, sambil tersenyum suaranya masih halus saat dia berkata, “Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi, akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukan anggota kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam perguruan ji-wi.” Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas. Kedua orang pendeta itu saling pandang dan nampaknya mulai kehabisan akal, karena bagaimana pun juga, ucapan pemuda itu memang benar. Selain pemuda itu tidak punya urusan baik dengan Kun-lun-pai mau pun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali tak melakukan kejahatan di dalam membasmi mereka yang tergolong jahat. Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang. “Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Apa bila kami diamkan, berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat.” Thian Sin tersenyum lebar. “Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat, biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!” “Omitohud…!” “Siancai…!” “Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang sudah mengatakan bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang memberi tahukanmu, bukan?” Salah seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung itu membentak. “Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?” Thian Sin balas bertanya. “Coba katakan, kejahatan apakah yang sudah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!” “Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tak perlu berdebat lagi. Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya bunuh, silakan maju, saya tak akan undur selangkah pun!” “Keparat…!” Dan serentak tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah. Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing kemudian nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah. “Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!” Thian Sin tersenyum. Biar pun dia tahu bahwa ilmu pedang mereka bertiga itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak merasa takut. “Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi.” Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu menjadi semakin marah dan mereka sudah hendak menerjang maju. Akan tetapi tiba-tiba saja tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan berkata, “Omitohud… harap sam-wi tenang dahulu. Tidak baik jika turun tangan sebelum diperoleh penjelasan.” Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur dengan muka merah padam. Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju dan menghadapi Thian Sin. “Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin. Sungguh kami bukan orang-orang yang usil atau membela orang jahat, akan tetapi agaknya ada kesalah fahaman di antara kita tentang diri mendiang Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap agar engkau suka memandang muka orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang pernah dilakukan oleh Toan-ong-ya hingga engkau mengambil keputusan untuk membunuhnya?” Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga. Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka dia pun menjawab tenang. “Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah beserta suami wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuh dia?” “Hemmm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?” seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata. Thian Sin mengangguk. “Betul, dan dia di sini karena harus kulindungi dari ancaman para kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya.” Dia sengaja mempergunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka. “Omitohud… Sicu, engkau orang muda, walau pun telah mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi masih kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?” Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebetulnya diri Kim Lan sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini! “Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, dia telah ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu…” “Siancai…!” Tosu itu berseru dengan suara panjang. “Pemutar balikan fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Dahulu dia pernah berusaha hendak mencuri di istana Toan-ong-ya, lantas tertangkap, akan tetapi dia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya karena selama itu dia sudah diambil sebagai selir oleh Toan-ong-ya, sebuah kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu oleh wanita. Akan tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya. Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau membunuhnya, melainkan hanya mengusirnya saja.” “Omitohud, dan sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar Sadis, dia sudah berhasil membujukmu dan memutar balikkan fakta sehingga engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti Toan-ong-ya…” Thian Sin sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Kim Lan…!” Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berdiri di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri. “Berhenti kau…!” Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh. “Plakk!” Thian Sin menangkisnya sehingga tosu itu terhuyung ke belakang. “Harap locianpwe jangan mencampuri urusan saya!” Thian Sin berkata dan sekali loncat, tubuhnya telah melesat ke depan seperti seekor burung saja, kemudian sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya lantas ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur. Kim Lan segera meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati lalu menusukkan pisau itu ke perutnya sendiri. Akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu terjungkal. Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat itu. “Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!” Tiba-tiba saja wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, lantas dia berkata, “Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus membalas dendam, dan engkau taihiap… engkau… aku tergila-gila kepadamu… ahhh!” “Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek tetapi seperti hendak kau bikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu, berbohong! Rasakan ini!” Beberapa kali pisau berkelebat. Lima orang kakek itu hendak mencegah, akan tetapi langsung menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain. Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat dari mukanya. Kedua matanya sudah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di kanan kiri sampai ke dagu. Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah. Oleh karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang! “Inilah biang-keladi dari semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat berpisah!” Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima orang itu menjawab. Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis terhadap Kim Lan sehingga mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan pula, apa perlunya menghalangi pendekar itu. Mereka datang di samping untuk menuntut pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasehat kepada pendekar yang hatinya kejam bagaikan iblis itu. Dan ternyata, dalam urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukan sengaja membunuh orang baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula, ada pun tentang nasehat, agaknya pemuda itu tidak dapat dinasehati. Buktinya, baru saja mereka menegur namun si pendekar itu kembali telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah! *************** Thian Sin cepat-cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga sesudah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Kenapa dia begitu ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan? Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para tokoh pendekar di dunia. Akan tetapi dia tidak peduli. Hatinya merasa sangat puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh-musuh orang tuanya. Sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh keluarga Ciu Khai Sun itu pun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat. Akan tetapi dia harus dapat mengalahkan mereka, membunuh mereka. Meski pun bukan tokoh-tokoh besar itu sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan di samping keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, masih ada satu keinginan lainnya yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati sanubarinya. Dahulu mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Kini, sebagai keturunannya, putera tunggalnya, dia harus mampu menebus kegagalan ayahnya itu. Dia harus bisa mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali datuk-datuk kaum sesat. Memang dia sudah pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, akan tetapi dua kemenangannya itu belum mutlak. Kemenangannya baru akan diakui oleh dunia apa bila dia sudah berhasil membunuh mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi! Dan dia akan mencari, lantas akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa puteranya telah berhasil mengalahkan semua datuk dari dunia sesat! Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi Tung-hai-sian, datuk di timur itu. Meski pun dengan datuk ini dia tidak mempunyai urusan sesuatu, akan tetapi untuk dapat mengangkat nama ayahnya maka dia harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk pula Tung-hai-sian. Dan puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita, kecantikan yang khas wanita keturunan Korea! Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia sudah pernah bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari selatan itu yang belum pernah dijumpainya, walau pun dia pernah bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggota-anggota Bu-tek Kai-pang yang rata-rata sangat lihai itu. Juga berita mengenai Lam-sin ini sangat menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai dari pada tiga datuk lainnya. Pula, untuk sementara waktu, memang ada baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apa lagi sesudah para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk selatan itu terletak paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke sanalah dia pergi. Ada pun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada orang yang tahu berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin. Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal, bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga, pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin! Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang sangat berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu rata-rata mempunyai kepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti orang, tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum sesat di daerah selatan. Yang disebut sebagai daerah selatan adalah daratan yang berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Lam-sin sendiri adalah seorang tokoh yang penuh rahasia. Jarang ada orang yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan semua orang di kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri, kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa dia adalah Lam-sin yang tersohor itu. Lam-sin tak pernah keluar turun tangan sendiri dalam menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar, yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tak ada yang dapat menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan. Namun, dia turun tangan pada waktu malam sehingga lima orang jagoan dari Jepang itu tidak tahu, orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari tunggang langgang lalu naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani kembali lagi. Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh dengan rahasia dan di mana pun dia berada, tidak pernah dia memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Bu-tek Kai-pang adalah nama perkumpulan yang menunjukkan ketinggian hati ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding! Untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut ketua pengemis! Ketiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat secara langsung dari Lam-sin, dan mereka itu pun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu berbaju putih. Ketiga orang inilah yang secara langsung menangani semua urusan kai-pang itu. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk serta setia kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka. Tentu saja Bu-tek Kai-pang dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat, ada pun Lam-sin sendiri juga dianggap sebagai datuk sesat karena seluruh sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini seolah pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apa pun di selatan selalu membayar semacam ‘pajak’ atas penghasilan mereka kepada Bu-tek Kai-pang. Apa bila hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan dapat melanjutkan ‘pekerjaan’ mereka. Oleh karena itu, tentu saja penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk sangat banyak dan perkumpulan itu memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang tadinya sudah mempunyai harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga. Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa bertanya-tanya saja dia telah dapat melihat ada beberapa orang anggota pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu jelas menunjukkan siapa adanya mereka. Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Dan setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu memiliki sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan bentuknya berlekak-lekuk seperti ular. Ada yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung. Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia memandang pengemis yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru, nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal, melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang disambung-sambung. Pengemis ini pun memiliki sebatang tongkat akar bahar yang tergantung di punggungnya. Dari gerakan kedua kaki itu ketika si pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh, dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada. Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi telah makan panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, lantas memberikan itu kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang. “Hei, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?” Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua orang memandang dan menduga bahwa pada lain saat mereka akan melihat pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin, sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting, tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin! Itulah demontrasi kekuatan sinkang yang lumayan! Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. “Ha-ha-ha-ha, rajamu tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia datang ke sini!” Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu, pikir mereka. Tak ada seorang pun di kota itu yang akan berani bersikap menghina seperti ini, apa lagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh mencari mati seratus kali! Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia sungguh mengerti bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Karena itu, setelah memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggota Bu-tek Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani laksana tamu-tamu biasa, walau pun mereka itu tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah makan juga tidak merasa menyesal karena para anggota Bu-tek Kai-pang itu selalu tertib, tidak menunjukkan sikap sewenang-wenang dan hanya masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan. Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti penjahat-penjahat kecil. Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin hanya tersenyum lantas melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Dia tak peduli akan pandang mata para tamu lain yang ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi tanda-tanda dengan kedipan mata supaya dia itu cepat-cepat pergi saja. Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika membawa arak yang dipesannya. “Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini…!” “Jangan campuri urusanku!” bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan. Semua orang merasa tegang dan ngeri, apa lagi ketika mereka melihat bahwa pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama dengan pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda bahwa mereka sudah bersiap hendak menghajar pemuda kurang ajar yang masih enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu. Thian Sin juga melihat dua orang pengemis itu maka dia pun tersenyum, hatinya gembira bahwa pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk bisa mencari Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang. Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu membayar kepada pelayan yang kelihatan lega karena melihat pemuda itu akhirnya mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari restoran..... Terima kasih telah membaca Serial ini.


PENDEKAR SADIS JILID 26 :
Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang melihat lagak kedua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu. Dia bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis itu marah bukan main, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Bahkan dia tersenyum. “Aihhh, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam dariku?” “Keparat bermulut busuk!” “Bocah sudah bosan hidup!” Dua orang pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil tertawa, “Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!” Tangannya lantas bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang ayam itu sudah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar sehingga membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main. Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka, kedua orang pengemis itu segera membalikkan tubuh dan pergi dari situ dengan langkah lebar. Kedua lengan masih bergantung lumpuh. “Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!” Thian Sin berseru. Thian Sin menyambar dua tongkat itu, kemudian melemparkannya dengan sembarangan ke depan. Tongkat-tongkat itu melayang dan dengan tepat sekali tiba di punggung kedua orang pengemis itu, mengait dan bergantung seperti kalau mereka yang menggantungnya sendiri! Semua orang yang berada di rumah makan itu dan tadi sudah melongok keluar pintu dan jendela, karena mereka merasa yakin bahwa pemuda itu tentulah akan dibunuh oleh dua orang Bu-tek Kai-pang, kini terbelalak dan melongo penuh keheranan. Hampir mereka itu tidak dapat mempercayai pandang mata mereka sendiri menyaksikan dua keanehan yang selama bertahun-tahun tak pernah terjadi itu. Pertama, adanya seorang pemuda yang berani mati melawan dua orang Bu-tek Kai-pang, bahkan berani menyebut-nyebut serta menantang Lam-sin. Dan ke dua, adanya seorang pemuda yang sanggup mengalahkan dua orang pengemis Bu-tek Kai-pang hanya dalam satu gebrakan saja, tidak mempergunakan senjata melainkan menggunakan tulang-tulang ayam! Dan kini mereka melihat pemuda itu dengan lenggang kangkung meninggalkan tempat itu seenaknya, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena itu mulailah orang-orang bertanya-tanya. Siapakah gerangan pemuda yang luar biasa itu? Luar biasa beraninya dan juga luar biasa lihainya? Pertanyaan ini juga bergema di seantero Bu-tek Kai-pang. Tiga orang Kai-pangcu yang mendengar laporan dari dua orang anak buahnya, melihat betapa tulang-tulang ayam itu menusuk lengan-lengan murid atau anak buah mereka bagaikan senjata-senjata rahasia yang ampuh, langsung menggebrak meja. “Siapakah pemuda keparat itu?” “Kami… kami tidak tahu namanya.” “Bodoh! Kenapa tidak kalian tanya dan di mana dia sekarang?” Seorang pengemis yang baru datang berkata, “Harap pangcu ketahui bahwa pemuda itu kini mondok di rumah penginapan Lok-nam.” “Bagus,” kata Ang-i Kai-ong, ketua pertama. “Lima Ular Hitam, malam nanti kutugaskan untuk menangkapnya dan menyeretnya ke sini!” Lima orang pengemis serentak memberi hormat dan menyatakan kesanggupan mereka. Kelimanya berusia empat puluhan tahun dan semuanya bertubuh tinggi kurus. Mereka ini terkenal dengan julukan Hek-coa Ngo-kai (Lima Pengemis Ular Hitam). Hek-coa Ngo-kai ini tadinya adalah lima orang perantau yang menjual obat-obatan serta racun-racun ular dan memainkan pertunjukan dengan ular-ular hitam. Oleh karena itulah, sesudah mereka ditundukkan oleh Bu-tek Kai-pang dan menakluk, mereka lantas diterima sebagai anggota-anggota kai-pang kemudian menjadi lima di antara pembantu-pembantu para ketua kai-pang itu, dengan julukan Lima Pengemis Ular Hitam. Mereka adalah para ahli racun yang lihai, di samping ilmu silat mereka yang tinggi, apa lagi sesudah mereka menerima Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis). Malam itu suasana di penginapan Lok-nam sunyi sekali. Hal ini bukan sekali-kali karena penginapan itu sepi tamu, sama sekali tidak, melainkan karena pemilik penginapan serta para tamu, penjaga dan pelayan sudah mendengar dari Bu-tek Kai-pang bahwa seorang di antara para tamu mereka, yaitu pemuda tampan berpakaian sasterawan yang bersikap halus itu, adalah musuh Bu-tek Kai-pang yang malam itu hendak ditangkap oleh Bu-tek Kai-pang! Tentu saja hal ini menimbulkan ketegangan, apa lagi ketika para pelayan membocorkan rahasia itu kepada tamu-tamu lainnya. Para tamu ada yang pindah tempat, dan yang tidak pindah penginapan, sore-sore telah menutup pintu kamar dan tidur atau berdiam di dalam kamar saja dengan hati gelisah, takut kalau-kalau mereka terbawa-bawa. Tentu saja Thian Sin tahu atau menduga bahwa malam itu tentu akan terjadi sesuatu. Sesudah pancingannya yang berhasil pagi tadi, setelah dia melukai dua orang pengemis itu, luka-luka ringan saja untuk sekedar memancing keluarnya ‘kakap’, yaitu Lam-sin yang dicarinya, dia menanti dengan sabar. Sejak pagi tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dia tahu bahwa tidak mungkinlah kalau Bu-tek Kai-pang diam-diam saja dan merasa takut kepadanya. Demontrasi kepandaian yang tadi diperlihatkannya pada saat dia mengalahkan dua orang pengemis itu tidak berapa hebat, sehingga tidak mungkin membuat jeri tokoh-tokoh Bu-tek Kai-pang yang tentu jauh lebih lihai dari pada tingkat yang telah diperlihatkannya pagi tadi. Dia menduga kalau hari itu tidak terjadi sesuatu, tentu fihak perigemis itu menanti sampai malam ini. Maka dia pun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi pada lahirnya, dia nampak tenang-tenang saja, bahkan para pengurus dan pelayan rumah penginapan itu dapat mendengar dia bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak dengan suara merdu di dalam kamarnya! Menjelang tengah malam, keadaan di rumah penginapan itu sudah betul-betul sunyi sepi. Pemuda yang menjadi pusat perhatian, yang tadi masih membaca sajak dengan suaranya yang merdu, kini pun sudah tidak ada suaranya lagi. Kamarnya sudah sunyi, lilin sudah dipadamkan dan agaknya pemuda ini sudah tidur. Nampak bayangan-bayangan orang berkelebat dengan cepat. Mereka memasuki rumah penginapan itu dengan mudah karena memang mereka bekerja sama dengan pengurus hotel, lalu mereka itu menyelinap mendekati kamar nomor lima, kamar di mana Thian Sin bermalam. Tidak lama kemudian, ada asap putih memasuki kamar itu melalui lubang jendela. Asap dari dupa yang sangat harum. Sesudah sampai beberapa lamanya membiarkan kamar itu penuh asap dupa wangi yang mengandung obat bius, lima orang Pengemis Ular Hitam itu lalu mencokel jendela dan membiarkan asap-asap itu keluar lagi melalui jendela-jendela yang terbuka. Betapa pun juga, mereka masih tetap menggunakan sapu tangan yang sudah diberi obat penawar untuk ditutupkan pada muka mereka dan mereka lalu berloncatan masuk melalui jendela yang telah terbuka. Mereka berlima melihat tubuh berselimut di atas pembaringan, sedikit pun tidak bergerak. Dengan girang karena ternyata lawan yang dikatakan lihai ini begitu mudah ditundukkan, lima orang itu menubruk ke depan dengan penerangan yang menyorot ke dalam dari luar jendela yang sudah terbuka. Biar pun remang-remang mereka dapat melihat bahwa lawan mereka itu rebah berselimut dalam keadaan tak berdaya. “Hayaaa…!” Mereka berteriak dengan kaget. “Kita tertipu…!” Kiranya yang mereka tubruk bersama itu tak lain hanyalah sebuah guling yang diselimuti dan diletakkan di atas bantal, seperti orang tidur. Dan orangnya sendiri entah berada di mana! “Cepat keluar, angin buruk!” kata yang menjadi pimpinan. Angin buruk ini berarti bahwa keadaan tidak bagus bagi mereka sehingga mereka hendak cepat-cepat pulang untuk melaporkan kegagalan mereka itu. Akan tetapi, ketika mereka sedang berloncatan keluar, di ruangan depan telah menanti seorang pemuda yang berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum memandang kepada mereka. Dan pemuda ini bukan lain adalah Thian Sin! “Ha-ha-ha, pengemis-pengemis tolol bisanya hanya menangkap bantal guling!” Pemuda itu mengejek sambil tersenyum lebar. Lima orang pengemis yang telah menerima perintah dari ketua mereka untuk menangkap pemuda itu, ‘hidup atau mati’ demikian kata ketua mereka, cepat maju mengurung. “Orang muda, menyerahlah supaya kami dapat membawamu kepada ketua kami dan tak perlu untuk melukaimu,” kata seorang di antara mereka. Sebenarnya ucapan ini sama sekali bukan timbul karena rasa sayang kepada pemuda ini melainkan karena mereka sudah gentar dan ingin agar pemuda itu menyerah saja supaya mereka tidak perlu menghadapi bahaya perlawanan pemuda yang cerdik sekali ini. “Jembel busuk, ucapanmu seolah-olah kalian mampu melukaiku, apa lagi menangkapku! Suruh ketua kalian ke sini, itu si Lam-sin ke mana dia? Kenapa dia tidak berani muncul? Sampaikan tantanganku ini kepadanya!” “Manusia sombong!” Lima orang pengemis itu marah bukan main karena nama Lam-sin bagi mereka seperti nama dewa junjungan yang tidak boleh dibicarakan begitu saja tanpa dipuja. Mereka segera menerjang dengan tongkat akar bahar mereka, langsung mereka mainkan Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang lihai. Tingkat kepandaian Lima Ular Hitam ini sebetulnya masih jauh terlampau rendah apa bila dibandingkan dengan tingkat yang dimiliki Thian Sin pada saat itu sehingga kalau saja dia menghendaki, maka hanya dalam satu dua jurus saja Thian Sin dengan mudah akan bisa merobohkan, bahkan menewaskan mereka semuanya. Akan tetapi pemuda ini masih melanjutkan siasatnya memancing ‘kakap’ sehingga dia tak mau membikin gentar kakap yang hendak dipancingnya itu. Maka dia pun melayani lima orang itu dengan hati-hati agar nampak agak seimbang. Dengan Ilmu San-in Kun-hoat dia mempermainkan mereka seperti seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak yang nakal saja. Ke mana pun tongkat mereka menyambar, selalu saja mengenai tempat kosong atau dapat ditangkis oleh tangan Thian Sin. Beberapa kali dia membiarkan tubuhnya terpukul, bahkan sempat pula dia berpura-pura terhuyung. Dengan demikian, lima orang itu akan menganggap bahwa sebetulnya tingkat kepandalannya tidak jauh lebih tinggi dari pada mereka. Dengan lagak bagai orang kewalahan, akhirnya Thian Sin mencabut pedangnya sehingga nampaklah cahaya perak. Itulah Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) yang diterimanya sebagai hadiah dari neneknya, yaitu Nenek Cia Giok Keng suami pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwee-hoa-san. Dan kini perkelahian menjadi semakin seru. Dengan pedang di tangan, Thian Sin segera memainkan pedang itu dengan indahnya dan mengatur agar mereka nampak setanding. Setelah membiarkan lawannya mengeroyok selama tiga puluh jurus lebih barulah pedang Gin-hwa-kiam menyambar ganas, lantas robohlah empat orang pengeroyok dengan leher berlubang dan mereka pun tewas seketika, ada pun yang seorang lagi hanya kehilangan lengan kanan sebatas siku yang dibuntungi oleh Thian Sin! Orang ini merintih-rintih sambil menggunakan tangan kiri memegangi sisa lengan yang buntung itu. “Hemmm, pulanglah dan katakan kepada Lam-sin bahwa aku menanti kedatangannya di dalam kamarku!” Sesudah berkata demikian, tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Thian Sin berjalan kembali ke dalam kamarnya dan memasuki kamar, menutup jendela dan pintu, lalu tidur berselimut dan sebentar saja dia pun sudah pulas! Tentu saja peristiwa ini lalu menimbulkan kegemparan pada kalangan pengemis di Bu-tek Kai-pang. Pemuda yang pagi tadi melukai dua orang pengemis, malam ini bahkan sudah membasmi Lima Ular Hitam, membunuh empat orang di antara mereka dan membuntungi lengan yang seorang lagi! Inilah hebat bukan main! Lima Ular Hitam adalah pembantu-pembantu utama dari tiga orang ketua, bahkan dalam hal ilmu kepandaian, mereka itu hanya berada di bawah tingkat tiga orang ketua itu! Biar pun menurut laporan orang terakhir yang buntung lengannya itu bahwa ilmu kepandaian pemuda itu hanya setingkat dengan mereka, namun pemuda itu sudah dapat membunuh Lima Ular Hitam, maka hal ini saja sudah amat hebat. Berarti bahwa para ketua itu sendiri harus turun tangan. Dan mereka semua bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda yang berani mati menentang Bu-tek Kai-pang, dan bukan hanya menghina, kini bahkan berani membunuh itu. Mereka pun segera teringat akan nama yang baru-baru ini menghebohkan dunia persilatan, malah sempat menggegerkan kota raja, yaitu Pendekar Sadis! Benarkah pemuda ini adalah Pendekar Sadis dan apa bila benar demikian, mengapa dia mengacau di Heng-yang dan sengaja memusuhi Bu-tek Kai-pang? Kalau benar pemuda itu Pendekar Sadis, maka fihak Bu-tek Kai-pang harus bersikap hati-hati. Tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu bersikap hati-hati dan mereka bertiga segera pergi menghadap Lam-sin di dalam gedungnya yang indah itu. Saat tiga orang ketua itu datang menghadap, Lam-sin, nenek itu, sedang duduk menghadapi makan pagi, dan sebelum dia menerimanya, dia telah lebih dahulu mendengar dari pelayan wanita tentang permohonan tiga orang itu untuk menghadap. “Hemm, pagi-pagi begini sudah berani mengganggu, tentu ada hal penting. Suruh mereka langsung saja datang ke sini dan juga sediakan sarapan untuk mereka,” perintahnya yang cepat ditaati oleh para pelayannya, yaitu wanita-wanita yang cantik-cantik. Begitu masuk dan bertemu dengan nenek itu, tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang yang juga dapat disebut murid-murid Lam-sin, menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi nenek itu cepat menggerakkan tangannya menyuruh mereka bangkit dengan sikap muak. “Sudah, kalian jangan banyak memakai peraturan kuno. Lebih baik duduklah dan temani aku sarapan, dan jangan bicara sebelum kita selesai makan.” Ucapannya ini diikuti sikap wajah ramah dari muka yang berkeriputan itu, akan tetapi sepasang mata itu, yang selalu ditakuti serta dikagumi oleh ketiga orang ketua kai-pang ini, kelihatan bersinar-sinar dan mencorong penuh wibawa menyeramkan. Tiga orang ketua itu tidak berani menolak, biar pun agak canggung namun mereka makan sarapan pagi bersama guru sekaligus ketua mereka yang mereka hormati dan takuti itu. Dan akhirnya, selesai jugalah nenek itu sarapan pagi, pekerjaan yang dilakukan dengan seenaknya seakan-akan tidak ada apa-apa yang menyusahkan di dunia ini, sama sekali tidak peduli akan sikap tiga orang bawahannya yang canggung dan kelihatan gugup itu. Setelah para pelayan wanita yang cantik-cantik dan muda-muda itu membersihkan meja, barulah Lam-sin menghadapi tiga orang ketua itu, lantas berkata, “Sepagi ini kalian sudah datang menggangguku, tentu ada urusan penting sekali yang kalian merasa tak sanggup menanggulangi sendiri. Nah, apakah itu?” “Harap locianpwe sudi memaafkan kami,” kata mereka. Mereka memang hanya berani menyebut locianpwe kepada nenek itu, karena nenek itu tidak menganggap mereka sebagai murid. Dan memang kenyataannya, nenek itu hanya menurunkan beberapa macam ilmu pukulan, terutama Hok-mo-pang kepada mereka itu. “Sebenarnya kami tidak berani mengganggu locianpwe dan rasanya kami masih sanggup untuk menanggulangi sendiri. Akan tetapi, karena kami menduga bahwa pengacau yang sekali ini menentang Bu-tek Kai-pang adalah orang yang baru-baru ini namanya menonjol di dunia kang-ouw, bahkan sudah menggegerkan kota raja, maka kami memberanikan diri untuk melaporkan kepada locianpwe dan mohon petunjuk dan keputusan. Jika locianpwe menghendaki kami turun tangan sendiri, tentu kami tidak lagi mengganggu locianpwe.” “Menggegerkan kota raja? Siapakah yang akhir-akhir ini menggegerkan kota raja selain Pendekar Sadis itu?” “Itulah dia orangnya yang akan kami laporkan kepada locianpwe.” Nenek itu nampak tertarik. “Ah, benarkah? Benarkah Pendekar Sadis itu yang kini datang ke sini menentang Bu-tek Kai-pang? Lekas ceritakan semuanya!” Ang-i Kai-ong lalu mewakili para sute-nya dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan sejelasnya, dimulai peristiwa di rumah makan di mana ada seorang pemuda yang telah menghina seorang pengemis, kemudian ada dua orang pengemis dilukainya dengan tulang ayam dan disertai penghinaan supaya tulang-tulang ayam itu disampaikan kepada raja pengemis. “Bahkan dia sudah berani menyebut-nyebut dan menantang nama locianpwe. Inilah yang membuat kami berpikir lebih baik melaporkan kepada locianpwe.” Nenek itu tidak marah. Nenek itu tidak pernah memperlihatkan kemarahan. Bahkan ada kalanya dia membunuh orang sambil tersenyum saja! “Menarik sekali!” katanya dan sepasang matanya itu bersinar-sinar, nampak tertarik benar. “Lalu bagaimana? Teruskan dan ceritakan bagaimana kepandaiannya!” “Menurut laporan para anggota, kepandaiannya tidaklah seberapa hebat. Memang ia telah merobohkan dua orang pengemis tingkat rendahan. Kemudian kami mengutus Lima Ular Hitam untuk menangkapnya di rumah penginapan.” “Hemmm, apa bila mereka juga gagal, maka menarik sekali,” kata Si Nenek yang sudah mengenal kelihaian serta kelicikan Lima Ular Hitam itu. “Memang mereka telah gagal, locianpwe. Akan tetapi menurut seorang di antara mereka yang hanya menderita buntung lengannya, tingkat kepandaian pemuda itu seimbang saja dengan mereka berlima, jadi menurut pikiran kami, bukan merupakan bahaya besar.” Dia lalu menceritakan semua peristiwa di rumah penginapan itu, tentang matinya empat di antara Lima Ular Hitam dan seorang lagi yang dibuntungi lengannya dan kembali di dalam kesempatan itu, Si Pemuda menantang Lam-sin tanpa menyebutkan namanya. Lam-sin mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya lancang juga pemuda itu, dan sombong sekali.” “Memang dia sombong bukan main, locianpwe. Akan tetapi jika locianpwe menghendaki, kami masih cukup kuat untuk menundukkan dan menyeret dia ke depan kaki locianpwe,” kata Ang-i Kai-ong dengan penasaran sekali. Akan tetapi nenek itu tersenyum. “Dia sudah berulang kali menantangku, kalau aku diam saja nanti bisa disangka bahwa aku tidak berani kepadanya. Akan tetapi, sebelum kau menyerahkan surat tantanganku kepadanya, selidiki lebih dulu apakah benar dia adalah Pendekar Sadis yang disohorkan itu atau bukan. Kalau bukan, jangan berikan suratku dan bunuh saja dia, aku tidak mau mencampurinya lagi. Tapi kalau benar dia Pendekar Sadis, serahkan surat tantanganku. Aku akan melihat dulu bagaimana kelihaiannya menghadapi kalian. Kalau kuanggap dia patut untuk melawanku, baru aku akan menemuinya.” Lam-sin memanggil pelayan lantas membuat coretan-coretan di atas kertas merah muda, kemudian memasukkan surat itu ke dalam amplop yang ditulis dengan huruf-huruf halus: KEPADA PENDEKAR SADIS Sehari lewat tanpa ada apa-apa. Thian Sin masih menanti di rumah penginapan itu. Dia tidak merasa heran ketika melihat semua orang di dalam rumah penginapan itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal malam tadi ada empat orang tewas di ruangan depan, dan seorang lagi buntung lengannya. Dia tahu bahwa semua bekas telah dibersihkan dan para pengurus rumah penginapan itu tidak berani membuka mulut, tentu telah dipesan oleh pihak Bu-tek Kai-pang. Dia tidak tahu bahwa waktu seharian itu dipergunakan oleh para anggota kai-pang untuk melakukan penyelidikan, mendengar tentang Pendekar Sadis. Setelah mereka mendapat berbagai keterangan tentang pendekar itu, yang dikabarkan masih muda dan berpakaian sasterawan, pandai bersajak dan suka bernyanyi, bersikap lemah lembut, murah senyum, mereka tak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang bermalam di rumah penginapan Lok-nam itu sudah pasti adalah Pendekar Sadis! Maka pada hari berikutnya, pagi-pagi sekali seorang pelayan mengetuk pintu kamar Thian Sin. “Masuk saja, pintuku tidak dikunci!” kata pula Thian Sin yang sedang duduk termenung di dalam kamarnya. Pintu lalu terbuka dan pelayan itu menyerahkan sebuah amplop. “Ada orang menyerahkan surat ini, kongcu, akan tetapi walau pun nomor kamarnya adalah nomor lima, kami tidak tahu apakah benar surat ini untuk kongcu ataukah bukan.” Thian Sin menerima surat beramplop merah muda itu, membaca tulisannya di luar. KEPADA PENDEKAR SADIS Dia tersenyum dan mengangguk. “Benar, surat ini untukku. Terima kasih!” Itulah tindakan terakhir dari pihak kai-pang untuk meyakinkan bahwa memang pemuda itu adalah Pendekar Sadis, yaitu melalui pelayan itu. Pelayan itu membungkuk, agak terlalu dalam karena dia terkejut dan ketakutan, lalu segera mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Thian Sin tersenyum dan merobek amplop, mengeluarkan kertas merah muda. Dia tetap bersikap hati-hati, tidak ceroboh pada waktu membuka surat karena dia maklum bahwa seorang penjahat yang lihai dapat saja membunuh lawan melalui surat. Akan tetapi, tidak ada jarum rahasia atau pun asap beracun yang menyambar keluar dari amplop, juga tidak tercium sesuatu kecuali sedikit keharuman minyak wangi, karena itu dia membuka kertas tertulis itu dengan senyum geli. Namanya juga datuk kaum sesat, pikirnya. Menulis surat pun dengan amplop dan kertas berwarna merah muda dan berbau harum pula! Dengan tenang namun tertarik dibacanya tulisan yang goresannya halus dan rapi itu. Lam-sin menantang kepada Pendekar Sadis untuk mengadu kepandaian melawan murid-muridnya di Lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota Heng-yang, kalau Pendekar Sadis memang berani! Lewat tengah hari menjelang sore hari ini. Tertanda: Lam-sin Thian Sin tertawa dan merasa girang sekali. Akhirnya sang kakap mulai memperlihatkan dirinya, walau pun masih bersembunyi di balik murid-muridnya. “Ha-ha-ha, menghadapi engkau sendiri aku tidak takut, apa lagi murid-muridmu, Lam-sin!” katanya sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, sudah terdengar pemuda ini bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya, sikapnya tenang-tenang saja sehingga anak buah kai-pang yang dipasang di sana untuk menyelidiki, segera melaporkan kepada tiga orang ketua kai-pang yang menjadi semakin terheran-heran, akan tetapi juga mendongkol dan penasaran sekali. Pemuda itu sudah menerima tantangan Lam-sin, tentu sudah membacanya, akan tetapi malah bernyanyi-nyanyi. Manusia ataukah setan orang itu? Siang hari itu Thian Sin memesan makanan yang cukup mewah seperti orang berpesta pora seorang diri. Tadinya timbul pikiran para ketua kai-pang untuk meracuni pemuda ini, akan tetapi mereka takut kepada Lam-sin, sebab salah satu di antara hal-hal yang dibenci oleh datuk itu, selain perkosaan yang merupakan hal terutama, adalah kecurangan dalam menghadapi lawan. Sekarang Lam-sin sudah mengirim surat sendiri, menantang, maka kalau sampai mereka melakukan penyerangan melalui makanan yang mengandung racun, kalau sampai gagal, tentu Lam-sin akan mendapat malu dan akan menjadi marah sekali kepada mereka. Dan mereka bergidik kalau membayangkan datuk itu marah kepada mereka. Sehabis makan, sesudah beristirahat beberapa jam lamanya, pada waktu matahari mulai condong ke arah barat, Thian Sin pun keluar dari kamarnya, langsung menghampiri meja pengurus rumah penginapan itu dan bertanya dengan ramah, “Tolong kalian beri tahukan di mana aku dapat menemukan lembah Gunung Cemara di sebelah timur kota ini.” Para pengurus itu gemetar ketakutan. Alangkah beraninya pemuda ini, pikir mereka. Tentu pemuda ini sudah menduga bahwa para pengurus di rumah penginapan ini juga tunduk kepada kai-pang akan tetapi sikapnya demikian tenang seperti berada di antara sahabat-sahabat sendiri saja. Tergopoh-gopoh pengurus rumah penginapan yang memang sudah menerima pesan itu memberi tahukan jalan serta arah tempat yang hendak dikunjungi oleh pemuda yang kini secara diam-diam mereka kenal sebagai Pendekar Sadis sehingga pandang mata mereka berbeda penuh kengerian dan ketakutan. *************** Lembah itu merupakan padang rumput yang rata dan lembut, nampak kehijauan seperti permadani dihamparkan. Tempat itu dikelilingi hutan-hutan kecil, namun di padang rumput itu sendiri tidak ada pohonnya. Pada waktu Thian Sin sedang berjalan seorang diri menuju ke lembah ini, melalui hutan cemara seperti yang diberi tahukan oleh pengurus rumah penginapan, tempat yang sunyi dan tidak nampak ada seorang pun manusia, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketawa dan berkelebatnya orang tak jauh di sampingnya. Yang amat mengejutkan hatinya adalah karena orang itu bergerak sedemikian cepatnya seperti menghilang saja. Thian Sin seakan tenang-tenang saja dan dia tak akan mengambil peduli kalau saja yang bergerak itu orang biasa, atau dengan ginkang biasa saja. Akan tetapi gerakan orang ini mengejutkan hatinya. Demikian cepatnya bagaikan terbang. Maka dia merasa penasaran dan dia pun lalu mengerahkan ginkang dan melakukan pengejaran. Bayangan itu masih nampak di depan, akan tetapi bayangan itu cepatnya sungguh luar biasa. Lenyap di balik pohon di depan, tahu-tahu muncul di sebelah kirinya. Dia mengejar, lenyap lagi, kemudian muncul di sebelah kanan. Thian Sin semakin penasaran, jelas bahwa bayangan itu sedang mempermainkan dirinya, atau setidak-tidaknya, tentu tengah menguji kecepatan gerakannya. Dia lalu meloncat dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar, akan tetapi bayangan itu lenyap ketika dia tiba di padang rumput dan di situ ternyata sudah berkumpul tiga orang ketua berikut sedikitnya tiga puluh orang anak buah Bu-tek Kai-pang yang tinggi tingkatnya. Thian Sin lalu teringat bahwa dulu, menurut penuturan Cia Kong Liang, Bu-tek Kai-pang dipimpin oleh seorang pengemis sakti bernama Lam-thian Kai-ong. Dia tidak tahu bahwa sekarang telah terjadi perubahan besar, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini Bu-tek Kai-pang telah berganti pimpinan, yaitu ketiga orang pengemis setengah tua yang berdiri dengan gagahnya di depannya itu. Maka, melihat tiga orang pengemis yang berdiri dengan kedua kaki tegak agak dipentang dengan sikap gagah, dia kemudian melangkah maju, menghampiri mereka dan sesudah memandang ke kanan kiri, dia lalu berkata, suaranya halus, wajahnya berseri, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi calon lawan melainkan berada di antara para sahabat! “Manakah ketua Bu-tek Kai-pang yang bernama Lam-thian Kai-ong? Dan mana pula datuk Lam-sin yang telah mengirim surat tantangan kepadaku? Aku telah datang, harap mereka berdua suka memperkenalkan diri.” “Pendekar Sadis, kalau engkau mencari ketua Bu-tek Kai-pang, kamilah ketuanya!” Thian Sin memandang kepada tiga orang itu dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, berjubah merah tambal-tambalan. Di sampingnya berdiri kakek berjubah hijau dan seorang lagi berjubah putih. Usia mereka sebaya dan ketiganya memegang sebuah tongkat yang ujungnya runcing. “Yang manakah di antara sam-wi yang bernama Lam-thian Kai-ong?” Ang-i Kai-ong menjawab, “Pendekar Sadis, orang yang kau cari itu, Lam-thian Kai-ong telah meninggal dunia dan kini yang menjadi ketua Bu-tek Kai-pang adalah kami bertiga.” “Ah, begitukah? Dan di mana adanya locianpwe yang berjuluk Lam-sin? Aku datang untuk memenuhi panggilan dan tantangannya.” “Bocah sombong!” bentak Jeng-i Kai-ong dengan marah. “Tidak sembarangan orang boleh berhadapan dengan Locianpwe Lam-sin! Engkau sudah mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang, nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan kami, ketuanya. Kalau engkau mampu mengalahkan kami, barulah boleh bicara tentang bertemu dengan Lam-sin!” Thian Sin mengangguk-angguk dan tersenyum. Dia sudah menduga akan hal ini, maka dia pun tertawa bergelak dan berkata lantang, dengan harapan agar suara ketawanya dan kata-katanya dapat terdengar oleh Lam-sin yang dia kira tentu bersembunyi tak jauh dari situ. “Ha-ha-ha-ha! Kiranya yang bernama Lam-sin hanyalah seorang licik yang bersembunyi dan berlindung di belakang sekumpulan pengemis tukang pukul!” Dia keliru karena Lam-sin sama sekali tidak mendekati tempat itu kecuali ketika mencoba ginkang-nya tadi, kemudian terus pulang dan hanya mengutus seorang pelayannya untuk menyaksikan jalannya pertempuran sambil bersembunyi. Kata-kata Thian Sin tadi merupakan penghinaan yang luar biasa. Para pengemis Bu-tek Kai-pang memandang Lam-sin sebagai seorang junjungan yang sangat ditakuti, dikagumi dan dihormati. Sekarang pemuda ini memaki nenek itu, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Akan tetapi, ketiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu sudah mendengar tentang Pendekar Sadis yang telah menggegerkan kota raja, telah mengacau Hwa-i Kai-pang di kota raja dan membunuh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang, bahkan telah membunuh Toan-ong-ya. Kemudian terdengar desas-desus pula bahwa pemuda ini telah mengacau Pek-lian-kauw dan membunuh Tok-ciang Sianjin yang amat lihai itu. Maka, mereka bertiga tidak berani ceroboh dan Ang-i Kai-ong lantas berteriak kepada para anak buahnya, yaitu para tokoh Bu-tek Kai-pang yang sudah mempunyai tingkat tinggi, agar segera maju mengepung dan mengeroyok! cerita silat online karya kho ping hoo Kurang lebih tiga puluh orang tenaga Bu-tek Kai-pang cepat maju mengepung dan mereka bergerak mengelilingi pemuda itu sambil mengeluarkan senjata masing-masing. Sebagian besar di antara mereka memegang tongkat pendek dari baja, akan tetapi ada pula yang membawa tombak, golok atau pedang. Thian Sin yang memang datang dengan maksud untuk membasmi Bu-tek Kai-pang yang pernah membantu saat keluarga Ciu Khai Sun diserbu, berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Sepasang matanya mengerling ke depan, kanan dan kiri, ada pun telinganya terus mengikuti gerak-gerik para pengurung yang tidak dapat dilihat oleh sepasang matanya, yaitu mereka yang berada di belakangnya. Setiap urat syaraf di tubuhnya menegang dan sudah dalam keadaan siap. Thian Sin berdiri tegak dan diam bukan karena menanti mereka menyerang lebih dahulu, melainkan terutama sekali membuat perhitungan dan mempelajari kedudukan mereka. Dia melihat bahwa para pengemis itu bergerak dengan teratur, dengan barisan yang terlatih bukan sekedar mengeroyok secara awut-awutan belaka. Oleh karena itu dia pun bersikap waspada. Dia melihat betapa ketua baju merah berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di belakang barisan yang berada di depannya, ketua baju hijau memimpin barisan di sebelah kanannya dan ketua baju putih memimpin barisan yang berdiri di sebelah kirinya. Ada pun sisa pasukan pengemis itu berada di belakangnya. Tiba-tiba mereka yang berada di belakangnya itu bersorak dan dia mendengar mereka itu telah menggerakkan senjata dan menyerbu ke arahnya. Menurut pendengarannya, kiranya tidak kurang dari sepuluh orang yang menerjangnya dari belakang. Akan tetapi dia masih sempat memperhatikan ke depan, kanan dan kirinya sebab itu tahulah dia bahwa bahaya datangnya dari tiga orang ketua itu. Dia melihat betapa mereka, tiga golongan ini sudah siap untuk menyerbu dan menunggu kesempatan. Dia pun bisa menduga bahwa barisan belakang yang agaknya tidak dipimpin langsung oleh para ketua itu hanya dipergunakan untuk menggertak atau mengacau saja, untuk memecah perhatiannya, padahal yang menjadi inti pasukan penyerang adalah dari depan, kanan dan kiri itu. Sebab itu, Thian Sin seperti tidak mempedulikan serangan dari belakang, melainkan tetap memperhatikan musuh-musuh di depan. Setelah dia merasa ada sambaran senjata yang sudah dekat sekali dengan tubuh belakangnya, barulah dia membalik dan menggerakkan kedua tangan yang mengandung tenaga sakti Thian-te Sin-ciang. Terdengar teriakan-teriakan, dan nampak senjata-senjata terlempar lalu disusul robohnya lima orang penyerang paling depan yang terjengkang dan tak berkutik lagi karena mereka telah tewas oleh sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang meretakkan kepala dan memecahkan dada mereka itu! Memang Thian Sin tidak mau berlaku kepalang tanggung, begitu memapaki serangan dia telah mengerahkan tenaga sinkang yang kuat sekali. Melihat hal ini, sisa penyerang dari belakang itu terbelalak dan muka mereka pucat, hati mereka gentar bukan main. Belum pernah mereka melihat ada lawan yang diserbu, sekali membalikkan tubuh dan mendorong dengan dua tangan, langsung membunuh lima orang teman mereka! Ketika Ang-i Kai-ong menggerakkan pasukannya menyerbu, Thian Sin telah membalikkan tubuhnya lagi. Dia melihat bahwa Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah menggerakkan barisan masing-masing, maka senjata dari depan, kiri dan kanan datang bagaikan hujan saja. Thian Sin menyambut semua serangan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga tak tinggal diam melainkan membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dan hebatnya, setiap serangan balasan dari kaki serta tangannya tentu membuat roboh seorang pengeroyok untuk tidak bangun lagi karena tewas seketika! Terjadi pengeroyokan dan perkelahian yang seru dan mengerikan. Karena datangnya senjata seperti hujan, dan penyerangan itu amat teratur, maka biar pun Thian Sin dapat melindungi dirinya dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuhnya kebal dan tak dapat terluka oleh senjata, namun dia tidak dapat melindungi bajunya yang menjadi robek-robek di sana-sini! Dia pun menjadi marah sekali. Memang penyerangan itu teratur sekali. Kalau dia menghadapi barisan kiri, maka barisan kanan menyerbu, dan kalau dia membalik ke kanan, maka yang dari depan menyerbu dan demikian sebaliknya. Dia mengamuk terus sehingga kini telah ada kurang lebih dua belas orang roboh dan tewas oleh amukannya. Dan ketika dia memperoleh kesempatan, melihat Ang-i Kai-ong yang terdekat, dia segera meloncat, membiarkan senjata para pengemis menghantaminya sambil melindungi dirinya dengan kekebalan, kemudian dia langsung menyerang Ang-i Kai-ong! Kakek ini terkejut lantas menggerakkan tongkatnya, menyambut tubuh Thian Sin dengan tusukan tongkat, dengan ujung tongkat yang runcing itu meluncur ke arah ulu hati Thian Sin. Pemuda ini cepat miringkan tubuhnya sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi dengan gerakan kilat, tongkat berujung runcing itu sudah membalik dan dari samping menusuk ke arah lambung. Melihat kecepatan gerakan tongkat ini, maklumlah Thian Sin bahwa ilmu kepandaian si jubah merah ini hebat juga. “Dukkk!” Dia menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga. Kini giliran Ang-i Kai-ong terkejut. Tangkisan pemuda itu mengandung tenaga yang sedemikian besarnya sehingga dia terdorong mundur dan terhuyung. Cepat dia memberi isyarat sehingga kedua orang adiknya, yaitu Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong sudah cepat meloncat datang dan tongkat mereka menyambar ganas. Tongkat Jeng-i Kai-ong meluncur ke arah pusarnya, ada pun tongkat Pek-i Kai-ong menghantam ke arah kepalanya. “Plakk! Plakk!” Dua tangan Thian Sin berhasil menangkis dua batang tongkat itu dan seperti juga Ang-i Kai-ong, kedua orang ketua pengemis ini terkejut karena tangkisan itu membuat mereka terpelanting dan hampir terbanting roboh. Mereka lalu bergerak cepat dan mengeroyok dengan permainan tongkat mereka yang lihai. Karena mereka telah menerima latihan dari Lam-sin, maka permainan tongkat mereka dengan Ilmu Hok-mo-pang (Tongkat Penakluk Iblis) sungguh hebat dan tingkat kepandaian mereka itu tidak di sebelah bawah mendiang Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang di kota raja itu! Para anggota Bu-tek Kai-pang terlalu kaget dan gentar menyaksikan betapa pemuda yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu kini telah membunuh dua belas orang teman mereka! Oleh karena itu, melihat betapa kini tiga orang ketua mereka telah maju bertiga dan mengeroyok Pendekar Sadis, mereka hanya mengurung tempat itu dan membiarkan tiga orang ketua mereka membereskan pemuda yang amat lihai itu dengan senjata siap di tangan. Masih ada dua puluh orang yang mengepung tempat itu. Sementara itu, Thian Sin mengamuk dengan hebatnya. Meski pun tiga orang itu memiliki Hok-mo-pang yang sangat tangguh dan senjata mereka yang terbuat dari baja tulen itu juga ampuh sekali, apa lagi gerakan mereka bertiga demikian teratur, saling mengisi dan saling melengkapi, tapi ketika berhadapan dengan Thian Sin mereka seolah-olah bertemu dengan gurunya. Pemuda ini menghadapi tiga tongkat mereka dengan tangan kosong saja dan sama sekali tidak pernah terdesak! Bahkan sebaliknya malah, dengan mainkan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang, pemuda itu membuat mereka repot sekali hingga mereka sering kali terhuyung-huyung dan terpaksa memutar tongkat untuk melindungi diri dan cepat-cepat dibantu oleh temannya. Thian Sin memang sengaja hendak memamerkan kepandaian dan juga hendak mengenal Ilmu Tongkat Hok-mo-pang, karena dia harus mempersiapkan diri menghadapi Lam-sin yang tentunya lebih lihai lagi dari pada tiga orang ini. Setelah dia mengenal liku-liku Ilmu Tongkat Hok-mo-pang yang harus diakuinya memang hebat itu, dia mengambil keputusan untuk mengakhiri perkelahian itu. “Plakkk!” Tongkat Ang-i Kai-ong yang menghantam punggungnya, dia terima dengan punggungnya tanpa mengelak atau menangkis. Tongkat itu tetap melekat. Kedua mata Ang-i Kai-ong langsung terbelalak dan wajahnya pucat sekali. Dia meronta, akan tetapi malah semakin hebat tenaga sinkang mengalir keluar dari kedua tangannya yang memegang tongkat. Hal ini terasa olehnya sehingga membuat dia panik. “Tolong… tolong…!” teriaknya dan terus berusaha menarik-narik tongkatnya. Melihat ini, Jeng-i Kai-ong dan Pek-i Kai-ong cepat membantu. Si jubah hijau cepat-cepat memasukkan tongkatnya ke arah lambung Thian Sin, dan Pek-i Kai-ong menghantamkan tongkatnya ke punggung pemuda itu untuk membantu kakaknya melepaskan diri. “Plakk! Bukkk!” Thian Sin menangkap tongkat yang menusuk lambungnya dan membiarkan tongkat Pek-i Kai-ong menghantam punggungnya pula. Tenaga Thi-khi I-beng yang dia kerahkan kini bekerja sepenuhnya dan tiga batang tongkat itu melekat di tangan dan punggungnya. Tiga orang pengemis tua itu terkejut sekali, akan tetapi makin hebat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras pula tenaga sinkang mereka membanjir keluar tersedot oleh tubuh pemuda itu! Para pengemis yang melihat tiga orang ketua mereka itu memegangi tongkat sambil terus meronta-ronta seperti hendak menarik kembali tongkat mereka, dengan muka pucat mata terbelalak dan napas terengah-engah, menjadi terheran-heran. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Karena mengira bahwa para ketua mereka itu hendak menarik kembali tongkat itu yang agaknya secara aneh terus dipertahankan oleh si pemuda, maka beberapa orang lalu meloncat maju dan membantu ketua mereka, memegang tongkat dan bantu menarik. Namun mereka ini pun berteriak kaget ketika tenaga mereka pun tersedot. Lebih banyak lagi yang datang ikut membantu dan kini ada belasan orang menarik-narik tongkat-tongkat itu, maka lebih banyak orang lagi yang tenaga sinkang-nya tersedot oleh Thian Sin! Sisa para pengemis memandang bengong. Pada saat itu pula nampak ada bayangan berkelebat di atas kepalanya. Thian Sin terkejut melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika bayangan itu melayang lewat, ada dua buah benda kecil hitam menyambar ke arah kedua pundak Thian Sin! “Tukk! Tukk!” Dua buah batu hitam sebesar ujung jari tangan menyambar dengan lembut ke arah kedua pundak pemuda itu. Akan tetapi ternyata dua buah batu kecil itu tepat sekali mengenai jalan darah yang membuat Thian Sin seketika merasa tubuhnya tergetar hebat. Dia terkejut bukan main, maklum bahwa orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan kini keadaannya menjadi terancam. Maka dia cepat menarik kembali tenaga sedotan Thi-khi I-beng lantas menggunakan tenaga yang telah disedotnya itu untuk dihempaskan keluar melalui sepasang tangan dan seluruh badannya, membuat gerakan seperti seekor anjing berkirik mengusir air dari tubuhnya. Akibatnya, terdengar teriakan-teriakan kemudian belasan orang itu terlempar sampai jauh. Banyak di antara mereka yang tidak begitu kuat, roboh dan tewas, sedangkan tiga orang ketua Bu-tek Kai-pang itu hanya merasa dada mereka sesak dan mereka muntah darah. Akan tetapi mereka masih mempunyai sisa-sisa tenaga untuk bangkit dan melarikan diri secepatnya! Thian Sin berloncatan mengejar bayangan tadi. Akan tetapi dia melihat bayangan itu telah berada jauh sekali di depan, melintasi sebuah lereng bukit. Dia terus saja mengejar, akan tetapi akhirnya bayangan itu lenyap dan ke mana pun dia mencari, hasilnya sia-sia. Akhirnya dia kembali ke tempat pertempuran tadi dan di situ sudah sunyi, tidak nampak seorang pun pengemis, juga mayat-mayat para anggota pengemis sudah lenyap. Hanya darah-darah yang berceceran di sana saja yang membuktikan bahwa di tempat itu baru saja terjadi perkelahian yang hebat. Tiba-tiba Thian Sin tertarik oleh bentuk ceceran darah di atas rumput. Ceceran darah itu membentuk huruf-huruf! LAM-SIN MENANTANG PENDEKAR SADIS DI RUMAHNYA. Membaca huruf-huruf itu, Thian Sin tertawa. “Ha-ha-ha, Lam-sin, walau pun engkau main curang, jangan mengira aku takut padamu!” Thian Sin lalu berlari cepat memasuki kota dan segera mencari sarang Bu-tek Kai-pang. Sarang itu sangat megah dan menyeramkan, akan tetapi dengan langkah tenang pemuda itu memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang pengemis Bu-tek Kai-pang. Para penjaga itu berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang, sama sekali tidak melarang atau bertanya kepada Thian Sin, bahkan rata-rata mereka memperlihatkan sikap tegang dan gentar terhadap pemuda ini. Thian Sin berjalan lenggang kangkung, masuk menuju ke gedung di belakang perumahan Bu-tek Kai-pang itu sambil tersenyum. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah melepaskan kewaspadaannya karena dia maklum bahwa dia telah memasuki tempat tinggal Lam-sin, datuk dari selatan yang amat terkenal itu. Dia sudah memasuki goa naga dan harimau! Kelengahan di tempat seperti ini berarti ancaman maut..... Keadaan di tempat itu sunyi saja, hanya terlihat beberapa orang anggota Bu-tek Kai-pang yang berdiri bagaikan patung. Tempat itu seolah-olah diselubungi suasana berkabung dan memanglah, selain gentar, juga para anggota Bu-tek Kai-pang berkabung akibat kematian para anggota yang dua belas orang itu, ditambah lagi enam orang yang tewas pada saat Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng. Di dalam gedung Bu-tek Kai-pang, tiga orang ketuanya sedang rebah dengan muka pucat, karena mereka telah menderita luka dalam yang cukup parah. Thian Sin memandang kagum saat dia tiba di depan gedung yang menjadi tempat tinggal Lam-sin. Gedung itu mungil dan nyeni, dengan tanaman-tanaman yang amat terawat rapi dan indah. Halaman depan dihias dengan petak rumput yang hijau segar dan rata, dan di sana-sini tumbuh pohon kembang mawar dan bermacam-macam bunga. Jalan menuju ke pintu depan dilapisi dengan kerikil yang merupakan kerikil putih kebiruan. Saat menginjak jalan berkerikil itu, terdengar suara berisik sehingga Thian Sin cepat-cepat mengerahkan ginkang-nya. Kini dia berjalan melalui kerikil itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun seolah-olah tubuhnya hanya seringan bulu saja! Dua orang wanita muda yang menyambutnya di pintu depan, memandang dengan wajah tak berhasil menyembunyikan keheranan dan kekaguman mereka melihat betapa pemuda itu dapat berjalan di atas jalan kerikil tanpa menimbulkan suara. Ini saja sudah merupakan demontrasi ginkang yang amat hebat, dan yang mereka ketahui hanya mampu dilakukan oleh majikan mereka, Lam-sin. Ketika Thian Sin sudah berdiri di depan pintu, dua orang wanita yang berpakaian rapi dan memiliki wajah yang manis itu segera memberi hormat. Seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi lalat kecil di dagu sehingga dia kelihatan manis sekali, berkata dengan suara halus dan merdu, “Kongcu, silakan masuk. Pangcu sedang menghadapi meja makan dan mempersilakan kongcu untuk masuk saja.” “Pangcu juga mengundang kongcu untuk makan malam bersamanya,” kata pula wanita ke dua. Thian Sin tersenyum. Dua orang gadis muda ini sungguh cantik dan berpakaian mewah, sama sekali tidak kelihatan seperti pelayan. Maka dia pun mengangguk. “Pangcu kalian sungguh baik hati.” Maka dia pun mulai melangkah ke dalam gedung itu, diiringi oleh dua orang, satu di depan dan satu lagi di belakangnya. Ketika memasuki gedung kecil itu, Thian Sin merasa semakin kagum. Lantainya begitu bersih dan licin mengkilat, langit-langitnya agak tinggi dan banyak terpasang lubang angin berukir sehingga ruangan di dalam gedung terasa sejuk sekali. Dan di dinding tergantung lukisan-lukisan indah serta tulisan-tulisan huruf indah yang tentu dibuat oleh ahli-ahli yang pandai dan berharga mahal sekali. Kain-kain sutera dan beludru menghias ruangan, juga perabot-perabot yang mungil. Sebuah rumah gedung kecil mungil yang dalamnya sangat indah seperti istana saja! Sesudah mereka berdua membawanya masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk menghadapi meja makan yang panjang, dilayani oleh tiga orang gadis muda lain yang pakaiannya juga mewah dan wajahnya manis-manis seperti dua orang gadis pertama. Kini lima orang gadis itu berkumpul dan berdiri seperti hiasan ruangan, berjajar di latar belakang, membiarkan nenek itu menghadapi Thian Sin. Akan tetapi nenek itu masih tetap duduk sambil menyumpit sepotong daging kecil, lantas dimasukkan ke mulutnya dan mengunyah daging itu dengan cara sopan tanpa membuka mulutnya, dan dengan sikap tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada tamu datang. Thian Sin sendiri hanya berdiri dan memandang dengan sikap tenang pula, memandang penuh perhatian. Diam-diam hati pemuda ini kecewa. Kalau yang berjuluk Lam-sin hanya seorang nenek tua renta yang telah mendekati lubang kubur ini, maka agaknya sia-sialah perjalanannya yang jauh ini. Dia sudah melihat tiga orang di antara empat datuk empat penjuru. Tung-hai-sian Bin Mo To adalah seorang tokoh yang tampak jelas kebesaran dan keangkerannya sebagai datuk wilayah timur, dan memang kakek itu memiliki kepandaian yang hebat. Pak-san-kui Siangkoan Tiang juga pantas dinamakan datuk wilayah utara sebab memang memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga mempunyai pengaruh dan wibawa yang kekuatannya tidak dapat dibantah lagi. Demikian pula See-thian-ong amat gagah perkasa dan menyeramkan, pantas menjadi datuk wilayah barat. Akan tetapi mengapa datuk wilayah selatan hanyalah seorang nenek tua renta seperti ini, yang nampaknya lemah dan sudah pikun. Melawan seorang nenek seperti ini saja sudah merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, melihat sikap nenek ini yang agaknya sama sekali tidak mempedulikannya, diam-diam Thian Sin merasa penasaran sekali. Dia terbatuk beberapa kali untuk menarik perhatian nenek pikun itu, akan tetapi nenek itu agaknya tidak mendengarnya. Pada saat Thian Sin mengulangi batuknya, nenek itu mengerutkan kedua alisnya, tanpa menengok dia berkata kepada salah seorang di antara lima orang gadis cantik itu. “A-bwee, suara apakah itu? Tikus? Anjing?” Thian Sin mendongkol sekali. Dia dianggap tikus atau anjjng! Dan lima orang gadis cantik itu tidak menjawab, melainkan menutupi mulut mereka dengan sapu tangan sutera untuk menyembunyikan senyum dan tawa mereka. Dari hal ini saja sudah membuat Thian Sin mengerti bahwa Si Nenek memang sengaja hendak menghinanya, mempermainkan dan memandang rendah kepadanya. Tentu saja dia menjadi semakin gemas. “Nenek tua bangka! Apakah engkau yang berjuluk Lam-sin?” akhirnya dia bertanya juga dengan suara nyaring. Dia melihat betapa wajah kelima orang gadis itu menjadi pucat dan mereka memandang kepada nenek itu dengan sinar mata mengandung kengerian. Dari sikap ini saja Thian Sin maklum bahwa kata-katanya tadi tentu luar biasa sekali, dan agaknya nenek ini sangat ditakuti, maka gembiralah dia dapat membalas dengan cara demikian. Thian Sin melihat tangan yang menjepit sumpit itu nampak gemetar. Akan tetapi sebentar saja lalu sumpit itu melanjutkan pekerjaannya menjepit makanan. Tanpa menoleh, nenek itu berkata dengan suaranya yang lirih namun halus, “Bocah ingusan, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Sadis?” Kembali Thian Sin merasa mendongkol sekali. Nenek ini benar-benar memandang rendah padanya, menyebutnya bocah ingusan! Sekaligus rasa gembira karena perasaan menang dengan pertanyaannya yang menghina itu lenyap, malah hatinya merasa semakin panas. Akan tetapi dia menjawab juga. “Benar, akulah yang dijuluki Pendekar Sadis!” “Dan akulah yang dijuluki Lam-sin!” “Huh, tidak pantas seorang nenek tua bangka yang lemah dijuluki Malaikat Selatan, datuk kaum sesat di dunia selatan!” “Heh, engkau lebih tidak patut lagi dijuluki Pendekar Sadis, karena engkau hanya seorang kanak-kanak hijau yang berusaha meniru lagak seorang siucai, namun pantasnya hanya menjadi kacung di sekolah!” Saking mendongkolnya, dada Thian Sin terasa seperti hampir meledak. Nenek ini ternyata seorang yang pintar berdebat dan pandai menghina. Teringatlah Thian Sin bahwa semakin tua wanita, maka semakin cerewetlah dia. Dia pikir, kalau harus berdebat adu mulut, tentu dia akan kalah. Maka lebih baik menghentikan adu sindir-menyindir agar dia tidak menjadi semakin mendongkol. “Lam-sin, engkau telah mengundangku dan aku sudah datang! Nah, mau apakah engkau mengundangku?” Nenek itu menengok ke kiri, ke arah pemuda itu. Kini Thian Sin bisa melihat dari samping sebuah wajah yang kedua pipinya berkeriputan, dengan hidung kecil dan bibir kering yang seolah mengejek. “Aku sedang makan, apa engkau tidak melihatnya? Aku tidak bisa bicara sambil makan, dan karena kau datang pada waktu aku makan maka aku mengundangmu untuk makan bersamaku. Aku tidak tahu apakah engkau berani makan bersamaku dan apakah engkau masih ada selera makan ketika menghadapi kematianmu.” Thian Sin merasa dipandang rendah sekali dan ditantang. Seakan-akan nenek ini sudah merasa begitu yakin bahwa sebentar lagi nenek itu akan mampu membunuhnya. Dia lalu melangkah maju dan berkata dengan nada tak kalah mengejeknya, “Memang orang yang akan mati sebaiknya makan dulu sekenyangnya. Dan aku memang senang menemani calon pecundangku makan bersama. Hendak kulihat racun apa yang hendak kau serahkan dan gunakan untuk bertindak curang.” Thian Sin pun lalu duduk menghadapi meja makan, mengambil bangku yang berhadapan dengan nenek itu sehingga sekarang mereka bisa saling pandang, terhalang meja makan yang penuh dengan berbagai macam masakan yang masih mengepulkan uap dengan bau yang sedap. Tidak kurang dari dua puluh macam masakan sedap yang semuanya masih panas-panas terhidang di atas meja itu, disamping arak dan anggur wangi. Akan tetapi, setelah kini mereka duduk saling berhadapan dan melihat sinar mata nenek itu, diam-diam Thian Sin terkejut bukan main dan merasa seram sehingga bulu kuduknya meremang. Nenek ini dilihat dari jauh tampak seperti seorang nenek tua renta yang lemah dan biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan segan. Akan tetapi begitu dia saling pandang dengan nenek itu, dia melihat sinar mata yang luar biasa, sepasang mata yang begitu tajam dan mencorong penuh wibawa, sepasang mata yang terang dan jernih, tak pantas dimiliki seorang nenek tua renta, sepantasnya menjadi mata seorang anak kecil yang masih bersih batinnya! Kontras antara wajah tua keriputan dan sinar mata inilah yang membuat nenek itu amat berwibawa dan juga amat menyeramkan, juga menakutkan. Kini Thian Sin tidak merasa heran lagi mengapa tadi lima orang gadis pelayan itu kelihatan begitu ketakutan melihat betapa dia berani mengeluarkan kata-kata menghina kepada nenek luar biasa ini. Sesudah sejenak saling pandang dan nenek itu pun agaknya nampak tercengang setelah menatap wajah pemuda itu karena agaknya baru pertama kali ini dia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas, saling berhadapan dalam jarak yang tidak jauh, sampai lama nenek itu tidak mengeluarkan kata-kata. Sinar matanya seperti menjelajahi seluruh bagian muka Thian Sin. Sesudah pemuda itu tersenyum seperti mengejek, barulah nenek itu nampak gugup dan sambil menoleh kepada para pelayannya dia berkata, “Nyalakan lampu, tak enak makan agak gelap begini!” Memang saat itu sudah menjelang senja dan keadaan di dalam ruangan makan itu yang jendela-jendelanya menghadap ke timur sudah tak kebagian sinar matahari lagi sehingga menjadi agak remang-remang. Dua orang pelayan kemudian sibuk menyalakan beberapa buah lampu yang digantung pada sudut-sudut ruangan itu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Karena lampu-lampu itu ditutup kain warna-warni, ada yang merah, ada yang kuning, ada yang biru dan hijau, maka suasana berubah menjadi romantis dan indah sekali, sungguh pun wajah nenek yang keriputan itu menjadi semakin jelas setelah tertimpa cahaya yang berwarna-warni itu. Sebaliknya wajah lima orang gadis pelayan nampak menjadi semakin manis dan bercahaya, dan demikian pula Thian Sin nampak semakin ganteng. “Tuangkan arak untuk Pendekar Sadis!” kata pula nenek itu yang cepat ditaati oleh salah seorang pelayan. Ketika pelayan yang berbaju ungu ini mendekat dan menuangkan arak ke dalam cawan di depan Thian Sin, pemuda ini mencium bau harum semerbak keluar dari lengan baju gadis itu. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tidak memandang wajah halus cantik yang dekat dengannya itu, melainkan dia tetap mengamati gerak-gerik nenek di depannya karena dia maklum bahwa orang seperti nenek itu yang menjadi datuk kaum sesat, tentu mempunyai watak aneh yang tidak terduga-duga. Dia tidak akan merasa heran kalau pada saat dia mencurahkan perhatiannya kepada lain hal, misalnya kepada gadis pelayan cantik itu, tiba-tiba saja Si Nenek akan melakukan serangan gelap yang amat berbahaya. Maka, dia tetap memandang wajah nenek itu. Baru setelah gadis itu memenuhi cawan araknya dan melangkah mundur, Thian Sin melirik ke cawan araknya yang sudah penuh dengan arak wangi..... Terima kasih telah membaca Serial ini.


PENDEKAR SADIS JILID 27 :
NENEK itu tersenyum dan mulutnya menjadi miring, bibirnya tinggi dan sepasang mata itu berkilat-kilat. “Pendekar Sadis, apakah engkau berani minum arak dalam cawanmu itu?” sambil berkata demikian, nenek itu mengisi cawannya sendiri dengan arak sampai penuh, dari guci arak yang sama. Thian Sin adalah seorang pemuda yang selain berkepandaian tinggi, juga amat cerdik. Dia maklum bahwa seorang datuk besar seperti nenek ini yang sudah berani mengangkat diri sebagai datuk wilayah selatan, yang merajai seluruh wilayah selatan, biasanya, seperti para datuk lain, memiliki ketinggian hati yang luar biasa. Seorang datuk sudah terlalu percaya pada dirinya sendiri dan selalu menjaga kehormatan namanya sebagai seorang yang berada di tingkatan atas. Maka, kiranya tidak mungkinlah kalau seorang datuk seperti Lam-sin ini akan sudi menggunakan racun, suatu perbuatan yang amat rendah dan hanya dilakukan oleh golongan penjahat rendahan saja. Perbuatan seperti ini akan menghancurkan nama besarnya sendiri. Lam-sin tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk menjatuhkannya, bukan dengan mempergunakan racun. Apa lagi Lam-sin belum pernah mencoba sendiri kepandaiannya, maka tak mungkin datuk ini merasa gentar padanya sehingga sampai harus merendahkan diri menggunakan bantuan racun. Dengan pikiran ini, Thian Sin tersenyum memandang kepadanya. “Andai kata engkau menggunakan racun, Lam-sin, maka aku akan mati sebagai pendekar gagah perkasa yang tidak takut akan kecuranganmu, akan tetapi sebaliknya engkau akan hidup sebagai seorang datuk yang paling rendah di dunia, akan dikutuk sebagai seorang datuk yang wataknya tidak lebih tinggi dari pada seorang penjahat yang paling hina sekali pun! Nah, takut apa minum arak suguhanmu?” Berkata demikian, Thian Sin mengangkat cawan araknya dan minum arak itu sampai habis. “Heh-heh-heh, bagus sekali. Engkau memang cukup bernyali!” Nenek itu pun lalu minum araknya, akan tetapi bukan seperti lagak seorang jago minum yang kawakan, melainkan seperti seorang nenek lemah yang tidak begitu suka minum arak. Arak di cawan itu hanya diteguk seperempat saja, lalu cawannya dia letakkan kembali di atas meja. “Nah, silakan, Pendekar Sadis. Makanlah seadanya dan jangan malu-malu, sesudah kita makan baru kita bicara nanti!” Dan mereka berdua makanlah. Sungguh luar biasa sekali suasana di saat itu. Dua orang tokoh silat yang pada masa itu mendatangkan rasa seram di hati siapa pun juga, bahkan para pendekar menjadi kecil nyalinya apa bila mendengar nama mereka, kini duduk saling berhadapan sambil makan bersama! Padahal, keduanya sudah saling tantang-menantang dan bisa dibayangkan bahwa tak lama lagi mereka berdua akan saling serang dan saling berusaha untuk membunuh lawan. Namun, melihat betapa mereka itu kini duduk semeja menghadapi hidangan yang banyak macamnya, makan dengan selera yang baik dan tampak enak sekali, seolah-olah mereka berdua itu bukanlah dua orang lawan yang sebentar lagi akan mengadu nyawa melainkan seperti dua orang sahabat lama yang baru saling jumpa dan kini merayakan perjumpaan mereka dengan gembira! Dan anehnya, mereka itu makan tanpa saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Keduanya makan dengan enaknya, menyumpit sayur ini dan daging itu, tanpa saling menawarkan, seolah-olah mereka itu sedang berlomba makan. Biar pun keduanya nampak makan bersama, namun terasa suatu tegangan luar biasa di antara mereka, bahkan lima orang pelayan yang berada di pinggiran itu dapat merasakan ketegangan luar biasa yang memenuhi kamar itu. Ketegangan yang amat panas dan yang sebentar lagi akan meledak menjadi suatu perkelahian seru dan mati-matian antara kedua orang yang kini makan minum bersama itu. Thian Sin makan lebih banyak, juga minum arak lebih banyak. Nenek itu biar pun terlihat makan dengan sama girangnya, akan tetapi sepasang sumpitnya hanya mendorong nasi sedikit demi sedikit saja, dan mengambil sayur atau daging yang potongannya kecil-kecil. Malah araknya pun dilanjutkan dengan anggur yang tidak begitu keras. Akhirnya, keduanya meletakkan sumpit dan mangkok kosong di atas meja, merasa puas dan kenyang. Sesudah membersihkan mulut dengan minum teh yang disajikan oleh para pelayan, keduanya duduk diam seperti orang bersemedhi. Sementara lima orang pelayan yang tahu akan kewajiban mereka itu, maklum bahwa acara makan minum sudah selesai maka tanpa diperintah lagi mereka segera membersihkan meja, membawa pergi sisa-sisa makanan sehingga sebentar saja meja makan itu pun bersih dan tak ada sedikit pun sisa makanan. Bersih mengkilap setelah digosok kain. “Keluarlah kalian, tinggalkan kami sendiri,” tiba-tiba nenek itu berkata kepada lima orang pelayannya dan sungguh aneh, nada suaranya seperti orang yang merasa tak senang. Lima orang pelayan itu saling pandang, tampak ragu-ragu. “Dan para pengawal…?” tanya Si Baju Ungu. “Tinggalkan kami! Pergilah kalian semua dan jangan perbolehkan siapa pun juga masuk ke rumahku. Dan jangan keluar dari kamar kalian kalau tidak kupanggil!” “Baik, pangcu…,” jawab mereka berlima dengan sikap takut-takut karena nenek itu terlihat marah. Sesudah menjura ke arah Thian Sin mereka pun segera pergi dari situ, dengan langkah ringan dan cepat tanda bahwa mereka berlima itu bukanlah wanita-wanita cantik lemah. Hal ini pun dimengerti oleh Thian Sin semenjak dua di antara mereka tadi menyambutnya. Nenek ini sungguh tinggi hati, pikirnya. Begitu pasti akan dapat memenangkan sehingga dia tidak mau dibantu oleh siapa pun juga! Pantaslah jika menjadi datuk kaum sesat. Dan agaknya memang tentu memiliki ilmu yang hebat maka berani bersikap sesombong ini. Setelah lima orang pelayannya itu pergi dan meninggalkan mereka berdua saja, nenek itu lalu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin. Pemuda itu pun balas memandang dan menanti dengan sikap waspada. Karena nyonya rumah belum bangkit, dia pun masih enak-enak saja duduk, berhadapan dengan nenek itu, hanya terhalang oleh meja. “Nah, sekarang kita hanya berdua saja di sini. Gedung ini kosong sama sekali, hanya ada kita berdua. Percayakah engkau bahwa Lam-sin bukanlah penjahat kecil yang curang?” Thian Sin tersenyum dan mengangguk. “Sampai detik ini memang benar demikian, akan tetapi untuk menentukannya harus ditunggu sampai saat terakhir.” Lam-sin mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. “Huh, selama hidup aku belum pernah membunuh orang tanpa alasan, juga tidak sudi mengotorkan tangan pada orang yang tidak ada nama dan tidak kuketahui riwayatnya. Walau pun jangan dikira bahwa aku tidak dapat menebak siapa adanya engkau ini, Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum mengejek. Dia tidak percaya bahwa nenek yang selamanya belum pernah dijumpainya ini dapat tahu siapa dia sesungguhnya. Karena tidak ada orang yang tahu siapakah sebenarnya Pendekar Sadis. Paling-paling nenek ini hanya tahu bahwa dia adalah Pendekar Sadis. “Benarkah engkau memang tahu siapa diriku sebenarnya?” Thian Sin memancing dengan suara menantang. “Apabila aku dapat mengetahui siapa dirimu, tahu pula mengapa engkau mencariku dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Kai-pang, dan kalau aku tahu pula semua riwayatmu semenjak engkau kecil, siapa orang tuamu, nah, jika aku tahu semua itu, maukah engkau mendengarkan semua kata-kataku kemudian menemaniku bercakap-cakap, sebelum kita sampai pada akhir tujuan pertemuan ini, yaitu bertanding mati-matian untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah di antara kita?” Cerewetnya nenek ini, pikir Thian Sin sebal. Akan tetapi dia tertarik juga. Tidak mungkin nenek ini mengetahui semua itu tentang dirinya. “Baik, nah, sekarang coba kau katakan siapa aku.” “Namamu adalah Ceng Thian Sin. Benarkah?” Thian Sin memandang dengan sepasang mata terbelalak. Nenek ini menyebut namanya seolah-olah nama itu tidak asing baginya. “Engkau adalah putra tunggal dari Pangeran Ceng Han Houw. Ibumu adalah keturunan Cin-ling-pai. Benarkah?” Thian Sin memandang dan menatap sepasang mata yang bersinar-sinar itu. Nenek ini luar biasa sekali. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai jaringan mata-mata yang sangat luas, Lam-sin. Aku tak perlu menyangkal, memang benarlah semua yang kau katakan itu. Nah, selanjutnya bagaimana?” “Ayah bundamu tewas karena dikeroyok oleh pasukan dan sesudah engkau mempelajari banyak ilmu, engkau lantas membalas kematian ayah bundamu dan engkau membasmi musuh-musuh mereka, termasuk ketua-ketua Hwa-i Kai-pang dan Tok-ciang Sianjin, dan karena hatimu sakit maka engkau menjadi kejam terhadap musuh-musuhmu dan engkau menjadi Pendekar Sadis. Benarkah?” Thian Sin bangkit berdiri, akan tetapi segera duduk kembali. Ini sudah sangat keterlaluan! Bagaimana nenek ini sampai dapat mengetahui segala hal itu tentang dirinya? “Aku tidak dapat menyangkalnya pula dan hanya iblis yang tahu bagaimana engkau dapat mengetahui semua itu. Dan sekarang ingin kudengar apakah engkau juga tahu mengapa aku mencarimu? Mengapa aku menantangmu?” Nenek itu menyeringai yang tentu saja dia maksudkan tersenyum. Thian Sin cepat-cepat membuang pandang matanya supaya tidak usah melihat keburukan muka itu terlalu lama ketika Si Nenek menyeringai. Lalu nenek itu berkata, “Aha, itu mudah saja. Engkau sengaja memancing dan sengaja mengacau dan menghina Bu-tek Kai-pang untuk memancing aku keluar, bukan? Dan engkau menggunakan Thi-khi I-beng untuk mengalahkan tiga orang ketua pembantuku.” “Hemmm, jadi engkaukah kiranya bayangan yang menyerangku dengan dua kerikil kecil itu?” “Hanya untuk memperingatkan padamu bahwa aku juga tahu tentang Thi-khi I-beng dan aku tidak takut menghadapinya! Heh-heh, dan kau kira engkau akan dapat lolos sekiranya aku mempergunakan Bu-tek Kai-pang mengeroyokmu dan aku sendiri keluar?” “Hemm, kenapa tidak kau lakukan kecurangan itu! Sekarang pun masih belum terlambat. Kalau kau hendak mengerahkan anak buahmu untuk mengeroyokku, aku pun tidak takut, Lam-sin. Karena agaknya engkau sudah tahu semua hal tentang diriku, tentu engkau tahu pula mengapa aku menantangmu dan tahu bahwa aku tidak akan mundur selangkah pun andai kata engkau mengeroyokku.” “Tentu saja aku tahu. Engkau datang hendak membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!” Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. “Lam-sin! Bila engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan…” Lam-sin masih menyeringai pada saat dia mengeluarkan selipat surat. “Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!” Thian Sin terlampau kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak lagi mampu mengeluarkan sebuah kata pun melainkan menerima lipatan kertas itu, lantas dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditanda tangani oleh Lian Hong dan memang ditujukan kepadanya. Sin-ko, Lam-sin adalah subo-ku dan juga subo Lam-sin yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku. Ciu Lian Hong. Pada waktu membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin. “Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini adalah tulisan Hong-moi? Aku tak pernah mengenal tulisannya.” “Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, tetapi dia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalah fahaman seperti yang pernah terjadi saat pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini.” “Apa? Tiong-ko sudah pernah datang ke sini?” “Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga serta isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku apa bila mengingat kesombongan mereka!” Memang nenek itu masih merasa hatinya sakit kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah padanya, bahkan terang-terangan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat! Thian Sin termenung. Hatinya kecewa bukan main. Kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan sebuah perlombaan, lagi-lagi Han Tiong yang menang. Kakak angkatnya itu yang lebih dahulu menolong Lian Hong walau pun Lian Hong agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tidak dapat berkata apa-apa hanya berulang kali menarik napas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri. Akan tetapi semenjak tadi sepasang mata nenek itu mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, bahkan menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apa lagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa sangka dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid! “Heh-heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!” Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. “Apa…? Apa maksudmu…?” “Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa akibat keduluan Cia Han Tiong.” Kata-kata itu tepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya dan membantah. “Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Jadi sudah sepatutnya kalau dia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia.” “Hemmm, tidak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apa lagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!” “Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatang kara di dunia ini.” Thian Sin menarik napas panjang dan dia benar-benar merasa betapa dia amat kesepian, tiada seorang pun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itu pun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah. “Ceng Thian Sin, kita ini sama!” Thian Sin memandang heran. “Sama? Sama bagaimana?” “Sama sebatang kara, sama kesepian.” “Ahh, itu tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatang kara dan kesepian?” “Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatang kara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin.” Pemuda itu memandang penuh perhatian kepada nenek yang luar biasa itu. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga amat berpengaruh, mempunyai kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka! “Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?” Nenek itu menggelengkan kepala. “Aku hanya sebatang kara, seperti engkau. Aku… aku tidak pernah tidak mempunyai keluarga…” Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorang pun. Lalu dia menggeleng kepala dan menarik napas. “Sulit bisa dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka.” Nenek itu terkekeh. “Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah bisa mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemani aku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan kepadamu keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan.” Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan dia pun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu dapat mengenal lukisan-lukisan ini dan mampu pula menceritakan tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari setiap lukisan. Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin dibuat kagum. Di ruang itu terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno. “Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?” Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama-sama mengagumi alat-alat musik itu. “Dan pandai bermain musik pula?” “Ahh, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak.” “Meniup suling? Bagus sekali! Dan aku pun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!” Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan dia pun mulai memainkan kawat-kawat yang-kim itu hingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenalnya, maka hati pemuda ini pun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka kini terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling membelit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Sesudah memainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!” “Dan siapakah yang percaya jika Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat yang bagaimana pun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?” kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin. Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa. Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di sana terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastera dan sajak terdapat di situ! Satu di antara beberapa kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka melihat begitu banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum sehingga sepasang matanya bersinar-sinar, ada pun jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut. “Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang senang membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang sangat menyenangkan! Aku pun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!” Ahh, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang sangat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia pernah berjumpa dengan Tung-hai-sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka itu memang semuanya hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pintar bermain yang-kim, pintar pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan malah kini suka pula membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek ini juga benar-benar memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu. Tiba-tiba nenek tua itu bertanya, “Pendekar Sadis, sesudah kita saling bertemu, maukah dalam kesempatan ini engkau menulis sajak untukku sebagai kenang-kenangan?” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau pun engkau akan roboh dan tewas? Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?” “Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andai kata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik.” Thian Sin mengerutkan kedua alisnya. Betapa pun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa dia akan menang nanti, hal ini telah berkali-kali disindirkan. Maka dia pun lalu berkata, “Lam-sin, memang engkau benar, akan tetapi kematian dapat menimpa siapa saja dalam pertandingan nanti, termasuk juga engkau. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak.” “Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!” Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu. Mereka pun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar. Mereka selesai hampir berbarengan. Lam-sin selesai lebih dahulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sin pun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Kemudian, dengan suara lantang, nenek itu pun membacakan sajak tulisan Thian Sin. “Lam-sin datuk dunia selatan mendatangkan kagum dan heran aku melihat perpaduan antara ketuaan dan kesegaran keganasan dan kelembutan!” Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya. “Pendekar Sadis yang tersohor kiranya hanya seorang pemuda hijau yang lemah lembut dan halus pandai bersuling dan bersajak betapa amat mengagumkan!” Mereka saling pandang kemudian keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa betul. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing sekaligus juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain! “Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga indah bukan main,” Thian Sin memuji. “Hemm, kepandaianmu menulis sajak juga sangat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis,” Nenek itu berkata. Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa dia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau pun bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian ia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata. “Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?” “Hemm, apa kau kira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tak peduli dianggap jahat dan engkau pun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa dalam golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti supaya mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini sangatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci bila melihat penindasan, apa lagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu kenapa aku menolong Lian Hong dan menganggap dia sebagai murid? Karena dia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!” “Hemm, memang aku melihat ada kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Ketika berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa sedang berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan ketika aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini semenjak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kau lakukan hal itu, tentu sekarang engkau sudah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta.” Mendengar kata-kata itu Lam-sin langsung menundukkan mukanya, sementara Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanya, “Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?” Thian Sin terkejut sekali, bukan hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu dengan tiba-tiba saja menyebut namanya secara lengkap, tidak lagi memanggil nama julukannya dengan nada yang mengejek. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu “Cinta? Jatuh cinta? Ahh, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang telah menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta…? Ahh, aku tidak mengerti…” “Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?” Thian Sin menunduk lantas menarik napas panjang. Sukar menyangkal di hadapan nenek yang matanya tajam ini. “Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi sesudah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa mengenai cinta, mungkin hanya menyangka saja bahwa aku pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku.” Thian Sin berhenti sebentar, kemudian menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, “Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa sampai setua ini engkau juga belum pernah jatuh cinta?” Nenek itu menggelengkan kepalanya. “Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!” Setelah menjawab demikian, dia pun menyambung cepat, “Mari kita ke lian-bu-thia!” Thian Sin tidak menjawab, hanya mengikuti nenek itu. Hatinya merasa ragu-ragu. Setelah nenek itu mengajak dirinya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka maksudnya tentu untuk mengajak dia bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukannya dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa apa bila dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya. Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan jika dia kalah pun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia sudah tidak dapat mundur lagi. Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Di samping sangat luas dan bersih, ruangan lian-bu-thia ini juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau pun berlatih semedhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula. “Nah, sekarang tibalah saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kau kehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang kemudian mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?” cerita silat online karya kho ping hoo Thian Sin mengangguk. “Tadinya memang begitu, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang…” “Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!” Merah muka Thian Sin. “Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu.” “Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan, apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu masih belum cukup untuk membuat aku membunuhmu?” Legalah rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh. “Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Marilah, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!” Dan pemuda itu lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia lantas berdiri tegak dengan sikap tenang. Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung pipit terbang saja, Lam-sin juga meloncat ke depannya. Thian Sin segera waspada. Dia maklum bahwa meski pun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal yang sudah jelas adalah bahwa nenek ini memiliki ilmu ginkang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. “Menurut penuturan Lian Hong, ergkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi I-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mukjijat itu. Agaknya, dalam hal ilmu silat, engkau malah lebih lihai dari pada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kini keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!” Lam-sin menantang. Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia pun dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada waktu itu Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka dia segera bertanya, “Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?” Nenek itu tersenyum menyeringai dan mengejek. “Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat dari pada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa kau tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri mempunyai seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak akan undur selangkah pun!” “Nenek sombong, tidak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!” Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, tapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan yang sangat lincah sehingga tidak sesuai dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak lantas dengan sama cepatnya, dari samping dia pun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin langsung mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang sangat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikit pun. Namun jangan kira pukulan itu tidak berbahaya sebab di balik keringanan dan kelembutan itu terkandung tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, meski pun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah. Mereka mulai saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan ginkang-nya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat bukan main dan tiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu sudah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong sebab keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat. Sesudah lewat tiga puluh jurus dengan mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan ginkang, maka dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawannya! Maka dia pun lalu mengerahkan sinkang-nya, segera menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya. Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah memainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang dulu diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya mampu membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu. Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali, tetapi kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin tetap menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini dia mengarahkan satu pukulan ke kepala lawan dengan tenaga yang sangat dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi. “Haiiittt…!” Dia membentak, lalu terdengar desir angin pada saat pukulannya meluncur ke depan. “Hemmm…!” Thian Sin cepat menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis sambil mengadu kekuatan sinkang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu. “Dukkk…!” Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri juga terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Nenek itu terkejut bukan kepalang. Selama ini, belum pernah dia menemukan lawan yang sanggup menandinginya dalam hal ginkang dan sinkang. Sekarang, walau pun dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya di dalam hal sinkang agaknya dia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, dia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum bahwa lawannya merasa penasaran, maka sambil tersenyum dia pun menangkis kembali, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka dia pun menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang masih ditambahnya dengan khikang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya. “Desss…!” Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, namun dia cepat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak. Bukan main marahnya dan dia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in Kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari dua tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka dia telah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan ginkang-nya untuk mendapat kemenangan. Setelah dia mengelak, tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan mendadak ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin. Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup. Thian Sin cepat menundukkan kepalanya supaya dapat menghindarkan diri, dan ternyata sinar hitam laksana ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya sesudah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin dapat mencium keharuman kembang. Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, lalu disusul dengan pukulan-pukulan sepasang tangan dan bahkan kini nenek itu juga mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah jika nenek ini menjadi datuk sebab ilmu silatnya memang hebat, kecepatannya sangat menggiriskan, bahkan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita renta itu. Maka terpaksa dia pun harus cepat-cepat mengelak atau menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi dia tidak berani menangkis rambut karena maklum bahwa kalau ditangkis, rambut yang lemas itu dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya. Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang sangat dahsyat itu. Tiba-tiba saja pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning yang tadinya melibat di pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang sanggup melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini memiliki sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sinkang. Ada pun kipasnya bisa dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas itu tetap saja dapat mengirim pukulan. Kembali lewat lima puluh jurus. Benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu bagaikan seekor naga kuning yang melayang-layang, dengan ujung sabuk yang dapat menotok jalan darah dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu pun kembali terdesak. “Lihat jarumku!” tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat. Thian Sin terkejut sekali, cepat mengebut dengan kipasnya sambil melempar tubuhnya ke belakang lantas dia bergulingan. Kipasnya sudah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin segera membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja dia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Dia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Ternyata dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga aneh sekali. Maka tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar sangat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang. Memang hebat permainan pedang nenek itu sehingga biar pun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, tetapi tetap saja dia terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya sudah terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat. Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya lantas mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat. “Trang! Cringgg…!” Nampak bunga api berpijar pada waktu dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang dia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka dia pun cepat-cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu dengan gerakan kepalanya sehingga membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai! Maka, sesudah semenjak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling mendesak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan sesudah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong miring, lantas dari tangan ini menyambar angin pukulan dahsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Serangan tangan kiri itu dahsyat bukan kepalang karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang telah disempurnakannya di dalam goa, langsung di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya. Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yakni yang kiri, terlepas dari pegangan tangan. Dia masih mampu menangkis, kemudian menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Nenek itu bingung menghadapi serangan-serangan ini. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat dia selalu terdorong mundur. Maka nenek itu pun menjadi nekat. Dia mengerahkan seluruh khikang-nya dan melawan keras sama keras! Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu hingga akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, dia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, dia masih terus melawan dengan nekat dan bahkan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, kasihan dan tidak enak sekali. Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu dia menggerahkan Thi-khi I-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja seluruh tubuhnya lalu mengendur sehingga sinkang tak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek yang sangat lihai ini memiliki kecerdikan sehingga dia tahu persis bagaimana menghadapi Thi-khi I-beng. Kepalanya cepat bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan. Karena mulai kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa perlu membunuhnya, mendadak Thian Sin berjungkir balik dan dia sudah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan lantas terdengar nenek itu berteriak kaget dan roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari-jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu kembali menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, “Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?” Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, sekaligus juga kasihan karena melihat nenek itu tiba-tiba saja menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak! “Kau… kau kenapakah, nek?” Thian Sin bertanya sambil mendekati. “Aku sudah kalah… lebih baik mati…!” Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri. “Jangan…!” Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu. Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin segera merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah sehingga dia tidak meronta lagi, melainkan menangis. Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya secara tidak sengaja, tangan berikut tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia pun merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas jika menjadi tubuh seorang dara! “Kenapa engkau hendak membunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?” Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walau pun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu. “Engkau tahu… mengapa sampai saat ini aku belum menikah?” Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, “Aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku… dan sampai detik ini… sebelum ini tidak ada seorang pun pria yang mampu menandingiku… karena itu aku belum pernah… sampai sekarang aku masih perawan… dan setelah akhirnya ada yang dapat mengalahkan aku… hu-hu-huh… engkau… engkau tentu tidak akan sudi menerimaku… maka dari pada aku terhina, lebih baik aku mati…!” Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang terasa hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biar pun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput pada pipinya, di tepi hidung dan mulut, juga di tepi matanya, sama sekali tak berubah, sama sekali tak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku sehingga tidak bergerak ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet berwarna putih bersih, biar pun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak. “Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!” Thian Sin berkata. “Biar pun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, aku pun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu untuk memenuhi sumpahmu.” “Kau… kau mau…?” Lam-sin berkata dengan mata terbelalak. Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia pun tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya. “Benarkah kau… kau mau…?” Nenek itu seolah-olah tidak percaya. Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikit pun tak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya, dan dia dapat mencium bau harum minyak wangi. “Di antara seluruh kamar yang ada di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, karena itu coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, maka aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin.” Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya, dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, “Ke kiri… melalui pintu kiri itu…” Thian Sin segera melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa pernah mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin lalu menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar! Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu hingga terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu dilengkapi dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan tampak begitu bersihnya, sama sekali tak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk, lantas mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk. “Kau… kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?” tanya nenek itu. “Ahhh, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan.” Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu. Dia bukannya menotok secara kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut hingga totokan itu pun punah. Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin cepat-cepat menarik kakinya yang diraba. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya lirih dan gemetar. Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu. “Aku hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor…” “Nanti…” kembali Lam-sin menarik kakinya. “Kau… kau padamkan dulu lampu itu. Aku… aku tidak bisa, aku malu… padamkan lekas, Thian Sin…” Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan di dalam kamar yang kini telah menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu. Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang sangat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara muda yang memiliki tubuh indah, montok dan yang benar-benar selamanya belum pernah berdekatan dengan seorang pria! Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati dan rela, bahkan menangis saking bahagianya ketika berada di dalam pelukannya. Mereka itu bagaikan pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian Sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu. “Thian Sin, kasihanilah aku… jangan nyalakan lampu… engkau tunggu saja hingga besok pagi… ahh, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini… setelah aku menemukan engkau… engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya… maafkan aku.” Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan pada saat dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biar pun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiri pun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, walau pun dia tidak dapat melihatnya, akan tetapi dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, dan masih gadis. Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin maka mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan. Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, sesudah sinar matahari mulai menerobos masuk sehingga kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin cepat menyembunyikan dirinya ke dalam selimut! Bahkan mukanya pun disembunyikannya, dan seluruh tubuhnya tertutup selimut! Thian Sin bangkit duduk sambil tertawa. “Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!” Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, “Aku… aku malu…” “Ihh, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walau pun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku…” “Thian Sin, jangan merayu engkau!” “Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku…” “Kepada Lam-sin nenek tua renta?” “Bukan, melainkan pada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah.” Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan… dia pun terpesona! Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tidak pernah diduganya akan sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu. “Ya Tuhan… engkau sangat cantik jelita!” katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lantas menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya. Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut. “Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?” “Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!” “Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku sudah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku.” Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. “Dan aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku.” “Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu.” Terkejut juga Thian Sin ketika mendengar hal ini. Sungguh aneh sekali. Dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan mempunyai bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan agaknya dia pun takkan pernah keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya!.....


PENDEKAR SADIS JILID 28 :
AKAN tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dikiranya. Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka segera menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi, mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya? “Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?” kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium. Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biar pun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu. Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. “Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat berbicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?” “Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!” kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan. “Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kita bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan dari pada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian.” Sikap wanita yang tadi malam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api birahi yang bernyala-nyala, kini mendadak berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah! Thian Sin tersenyum. “Memang keputusan itu sangat bijaksana. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab.” Sesudah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Ternyata nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit yang tipis sekali dan ada rambut putih pada bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali jika meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan. “Ahh, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?” kata Thian Sin. “Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu.” Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu kemudian lapat-lapat terdengar suara berkelinting di luar kamar. Tidak lama kemudian pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu. Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapa pun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran saat melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya terus berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar. “Cepat kalian ambil tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!” perintah Nenek Lam-sin. “Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota.” Sesudah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuah pun kata. Seperginya lima orang pelayan itu, Lam-sin mengajak Thian Sin makan pagi dan setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar. Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke bagian belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggota Bu-tek Kai-pang berkumpul. Ketika melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu kini masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya paling sedikit ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan dia pun melihat tiga orang ketua kai-pang itu hadir pula dengan tubuh rebah di atas usungan. Wajah mereka masih pucat. Mereka memandang kepada Thian Sin dengan kedua mata mendelik dan muka marah. Mereka pun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa. “Para anggota kai-pang sekalian.” terdengar ‘nenek’ itu berkata, suaranya sangat lantang berwibawa hingga semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, “dengarkanlah baik-baik segala perintahku pada pagi hari ini yang sekaligus merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!” Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu? “Aku perintahkan semua anggota, baik yang kini hadir mau pun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, supaya mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak lagi memimpin kalian, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan. Tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan oleh golongan lain. Kalian bisa memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian juga boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang bermain curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Sesudah aku pergi, tidak ada seorang pun yang boleh mempergunakan namaku lagi, juga semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini yang tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di mana pun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!” “Pangcu…!” Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan mereka pun menangis! Dan hal ini segera menular kepada beberapa orang anggota kai-pang sehingga sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis! Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Dia sendiri beberapa kali menarik napas panjang dan nampaknya juga berduka, akan tetapi dia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak “Cukup…! Bukan sikap orang-orang gagah jika membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang ingin mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, dan tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini.” “Tapi… tetapi, locianpwe…,” kata Ang-i Kai-ong. “Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang sudah membunuh begitu banyak anggota kami?” Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, “Dia datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab karena dulu sudah mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian harus menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis telah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!” “Ahhhhh…!” Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar. “Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, kemudian kalian menunggu hingga lima orang pelayanku ini membereskan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan nama lain, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?” “Kami mengerti!” tiga orang ketua itu berkata, disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti. Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin serta lima orang pelayannya untuk masuk kembali ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal berikut beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan. Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, “Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan sesudah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal.” Lima orang itu hanya terisak kemudian menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu dia pun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan sesudah keluar dari pintu pekarangan, dia mengajak Thian Sin untuk cepat pergi meninggalkan kota Heng-yang. Pemuda itu mengikuti tanpa membantah. Akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam yang disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, “Ke manakah kita pergi?” “Kau ikut sajalah. Aku mempunyai sebuah tempat yang sangat indah dan di sanalah kita nanti bicara tanpa ada seorang pun yang akan mengganggu kita,” jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung. Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu itu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara. Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat. Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir sehingga akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia. Dengan sehelai tali Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu melompat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena amat berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka. Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan, di antara pohon-pohon besar, nampaklah padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sebuah sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil tapi kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali. Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu lalu membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok itu dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biar pun kecil akan tetapi isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang sungguh pun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biar pun agaknya tempat itu sudah lama tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali. Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, kemudian melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira bukan main. “Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada apa bila hatiku sedang risau. Kini aku bebas…! Bebas…!” Dan dia pun mengembangkan kedua lengannya, nampaknya berbahagia sekali. “Tempat yang indah, bagaikan sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!” Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu. Lam-sin mengelak. “Nanti dulu,” katanya. “Kini Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!” “Ehh… kenapa begini? Bukankah… bukankah…” “Mari kita keluar dan engkau akan menyaksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!” “Apa… apa maksudmu…?” Thian Sin semakin kaget. Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin cepat mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di sana hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak dapat tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, dia langsung berkata, “Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?” “Membuat api unggun? Untuk apa…? Tapi baiklah…” Thian Sin tentu saja merasa heran. Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biar pun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun? Tetapi melihat sikap Lam-sin yang begitu sungguh-sungguh, dia pun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita itu. Setelah cukup memperoleh kayu kering, Lam-sin kemudian menumpuknya di atas batu-batu yang telah diatur di tempat itu, dan dia pun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api menyala cukup besar dan nenek itu lantas meraba ke arah mukanya. “Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang sudah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!” Sekali dia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu sehingga nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu lantas dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu kemudian menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itu pun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Akhirnya gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira. “Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!” “Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari…!” kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya. Gadis itu tersenyum hingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebas, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh lekuk tubuh yang amat menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin secara halus pada saat pemuda itu hendak menciumnya. “Nanti dulu, engkau belum mengenalku!” bisiknya. “Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik tadi malam…” Thian Sin tersenyum. “Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku.” “Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik bagaikan bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku…” Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak. “Kalau engkau memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!” tiba-tiba dia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin sehingga diam-diam dia bergidik. Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya. “Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu,” kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal. Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar hingga berkobar dan sebentar saja pakaian itu pun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, dan terdengar suaranya lirih, “Ibu… ibu… anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah…” Akan tetapi sebentar saja dia menangis karena dia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan sapu tangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah, akan tetapi di dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya! Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak bisa menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas. Dengan diam-diam dia membanding-bandingkan, hingga akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat dari pada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apa lagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya di dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali! “Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong…” “Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!” “Aku she Toan…” “Ehh…?” Thian Sin segera teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan. Toan Kim Hong, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu. “Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kau bunuh itu masih terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong.” Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia belum pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaan dirinya tentu gawat! “Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya akibat fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali.” “Aku tidak peduli dengan hal itu!” Gadis itu berkata dengan suara kesal. “Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!” “Ahhh…!” “Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat serta setia terhadap kaisar. Tidak, ayahku mempunyai jiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan serta menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata dari pada dengan kaisar.” “Ahh, kalau begitu… engkau masih keluarga kaisar…” “Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita berdua adalah keluarga-keluarga jauh yang telah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, aku pun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku lantas melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak sehingga dia mencapai tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayahku berjumpa dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang sangat terkenal. Mereka saling jatuh cinta, kemudian hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk bisa menikah secara terang-terangan.” “Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya,” Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan. Kim Hong mengangguk. “Aku pun berpendapat demikian.” Dara itu kemudian melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik sesudah mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri dari seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia! Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan, yang bernama Ouwyang Ci, lantas bersama-sama melarikan diri ke daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer. Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci kemudian tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), satu pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tetap tinggal kosong. Namun kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah. Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali saja Toan Su Ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahirlah seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong. Dan mereka terus bertapa untuk memperdalam ilmu-ilmu mereka. Bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka berhasil menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo Sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis). Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapa pun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai dari pada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi anak itu tak menjadi canggung, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka dia pun mempelajari berbagai ilmu yang lain di samping ilmu silat. Dari ayahnya, gadis ini mempelajari ilmu kesusasteraan, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya. Sedangkan dari ibunya dia mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula. Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu. Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan dia mendengar bahwa kaisar sudah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari ke mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya lantas dengan terengah-engah saking tegang dan gembira hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini, dia menceritakan kepada suaminya. “Suamiku! Engkau sudah bebas! Engkau sudah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ahh, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!” kata isteri itu dengan girang sekali. Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya. “Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?” katanya dingin. “Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau seorang pangeran, bukan? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran…” “Tidak…!” Tiba-tiba saja Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. “Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat jelata! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggota keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!” “Tidak mungkin!” Ouwyang Ci cepat membantah dengan suara berteriak marah. “Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup bagai pertapa di tempat terasing! Kini aku sudah tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar dari perkawinan yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu.” “Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran.” “Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!” Percekcokan semakin menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tetap tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap sehingga akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran ini pun berkelahi! Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya sanggup menangis. Segala jeritannya untuk melerai hanya sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka pun lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seakan-akan menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semuanya. Semua jurus ilmu silat mereka sudah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama. Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang amat sempurna sehingga dia bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri. Terutama sekali ketika ayah ibunya sama-sama memainkan Hok-mo Sin-kun, dia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan lantas otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan! Akhirnya terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah bagai kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Sepasang matanya terbelalak dan ketika dia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, dia menjerit lalu menubruk suaminya yang telah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu sudah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri! Apabila kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi cobalah kita membuka mata lalu memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan mengenai ‘cinta’ yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua. Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu juga terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, tetapi sedikit saja selisihnya. Betapa banyaknya suami isteri yang pada hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu mencurahkan rasa kasih sayang masing-masing, lalu dengan ringan kata-kata ‘aku cinta padamu’ meluncur keluar dari mulut mereka, tapi pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata, juga dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan kebencian, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata ini, bahkan kadang-kadang beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru tadi malam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang! Begitukah cinta kasih? Ataukah yang terjadi tadi malam itu hanyalah gelora nafsu birahi belaka? Dan sesudah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbullah kemarahan dan kebencian sebagai gantinya? Kemudian sesudah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Atau hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain? Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan malah berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara dua sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintamu sebagai sahabat sebab engkau baik kepadaku? Dan dengan begitu, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang pada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, bagaikan jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Jika sudah tidak memperoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi. Begitukah cinta kasih? Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tak akan menyinarkan sinar selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rasa takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itu pun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci. Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal dengan perbuatannya sendiri itu kemudian memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Dia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat sehingga suaminya tak pernah sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi serta menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang sangat keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya. Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Dia menjadi sakit-sakitan dan dia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong sudah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan sekarang dia lebih lihai dari ibunya! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa mala petaka itu terjadi karena dia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Dia menghendaki supaya puterinya menjadi isteri seorang pria yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena akhirnya dia sadar bahwa suaminya benar. Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta sehingga kalau dia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu. “Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaan hatinya, dan aku pun hidup sebatang kara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku supaya aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu pernah memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan mampu mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek agar mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah.” Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa sangat kagum. “Lantas muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang.” “Tidak begitu mudah,” jawab Kim Hong. “Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tak pernah mau mengakui namaku. Makin banyaklah golongan sesat yang menentangku dan aku membasmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, sesudah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin.” “Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?” “Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi tak lama kemudian Lam-thian Kai-ong meninggal akibat luka-lukanya pada saat melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Sementara itu aku lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku.” “Dan sekarang?” “Sekarang? Aku telah bebas… ahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kau sudah lihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas…” “Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin…,” kata Thian Sin sambil meraih. Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul. “Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya.” “Dengan sepenuh hatiku,” kata Thian Sin yang menciumnya. Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu. Demikianlah, dua orang muda itu kemudian tenggelam di dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan. Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Si calon suami harus lebih tua beberapa tahun dari pada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Namun dua orang muda ini tidak terikat oleh apa pun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itu pun hampir tak mempedulikan soal cinta dan tidak cinta. Mereka sama-sama suka untuk saling berdekatan, saling bercumbu, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan di dalam hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apa pun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan. Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa akan segala-galanya, bagai sepasang pengantin yang berbulan madu. Sebulan kemudian, mereka berdua mandi di sumber air tidak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di sana tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Melihat Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong lalu berenang menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah. “Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?” tanya Thian Sin. Dia memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu. Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi. “Tentu saja! Kenapa tidak? Bukankah kita amat berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?” Thian Sin merangkul. “Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu lama kelamaan tentu akan menimbulkan kebosanan, bukan?” Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya, kemudian dia mendorong dada Thian Sin dengan kuat. “Eh-eh…!” Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja. “Byuuuuurrr…!” Thian Sin berenang menghampiri lagi. “Kim Hong, mengapa engkau?” tanyanya sambil memegangi batu. “Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!” Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin. Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang maka dia pun cepat menyelam dan menjauh. “Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan kepadamu bahwa aku tak pernah bosan!” Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki dara itu, menariknya hingga Kim Hong juga terjatuh ke dalam air. Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya. “Kenapa kau tadi bilang bosan?” “Dengarlah dulu, sekarang aku tidak bosan, akan tetapi aku tahu betul bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku mau pun kepadamu. Hidup terasa hambar bila setiap hari hanya bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?” Dia berhenti sebentar sambil menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. “Perlu ada selingan, sayang, itu baru namanya hidup. Selama ini aku terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau ingin meniru mendiang ayah bundamu yang dulu menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita dapat melihat dunia ramai!” Kim Hong termenung, lantas mengangguk. “Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlalu terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru pada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja.” “Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku hendak mencari dan menantang, juga hendak mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!” “Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan memiliki banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!” “Justru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, ingin menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?” Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya pada waktu dia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya. “Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!” katanya. “Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?” “Terdengarnya menarik juga. Tapi, kenapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?” “Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hatiku saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Sesudah aku mengobrak-abrik mereka, itu berarti aku sudah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka berarti aku telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Apa bila engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku pasti akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sebenarnya aku pernah mengukur kepandaian mereka, bahkan sempat menang pada waktu bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi.” Kemudian dia menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu. Kim Hong termenung. “Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan aku pun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku.” “Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?” Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan goa mulutnya yang kemerahan. “Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?” Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang. “Kim Hong, terus terang saja, dulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain.” Dia mencium mulut itu. “Dan engkau bagaimana?” Kim Hong menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis. “Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!” “Ihh, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah kau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya sebagai selingan hidup, untuk mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi bila mana kita sudah bosan merantau.” “Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi.” “Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!” Thian Sin menciumi dara itu. Sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya. “Ehh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!” “Lapar? Wah, setelah kau ingatkan, aku pun merasa lapar sekali!” “Tunggu apa lagi? Bubur telah menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!” Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, lantas keluar dari sumber air itu dan berlari-larian bagaikan anak-anak berlomba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ. Melihat keadaan muda-mudi ini, maka timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita menjadi ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaan itu adalah: Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal di dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai lantas dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, meski pun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu. Mereka hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak pada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang keadaannya telah seperti mereka itu, seperti satu badan sehingga tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti jika kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri. Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat. *************** Thian Sin bersama Kim Hong lalu melakukan perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dahulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya saja, tak tergesa-gesa, karena selama empat lima tahun ini Kim Hong hanya tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka sekarang memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, dia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh sebab itu mereka pun melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau bagaikan sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis. Mereka menginap di kuil-kuil kuno, namun kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri. Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, mereka sering kali cekcok, biar pun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena inilah maka sering kali mereka cekcok, walau pun sebentar kemudian mereka sudah saling cium lagi dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang! Selama dalam perjalanan itu Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang seluruh kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebenarnya bahkan lebih lihai dari pada suheng-nya itu. Dan memesan kepada Kim Hong supaya berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong. “Kiranya tingkat ilmu kepandaian silatmu tidak perlu kalah kalau berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tak kalah lihai. Akan tetapi dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Dulu aku pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula.” “Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?” Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam. “Ehh, kenapa engkau memandangku seperti ini…?” Tiba-tiba saja Kim Hong yang melihat perbedaan pandangan mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena dia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya. “Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Sekarang bila engkau hendak melawan pun percuma karena kedua tanganmu tidak dapat kau gerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!” Di dalam suara Thian Sin itu pun terkandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan dia lalu mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi… benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapa pun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat. Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, “Aku akan menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapa pun engkau hendak mengelak atau menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!” Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup! Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, “Kini engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!” Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut. “Ilmu siluman apakah ini?” bentaknya, akan tetapi dia benar-benar menjadi gentar. “Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, karena itu engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu.” “Thian Sin, kau harus ajarkan aku ilmu ini agar aku dapat melawannya!” “Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya bisa dipelajari apabila engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita selalu saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, selama di dalam perjalanan ini akan kuajarkan padamu bagaimana caranya agar engkau bisa menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Sebenarnya tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal perhatianmu tidak sampai ditarik olehnya, maka dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu.” Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khikang yang amat kuat, maka latihan seperti itu sangat mudah baginya dan sebentar saja dia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga perhatiannya tidak akan mudah diseret oleh lawan. Ketika mereka memasuki kota Si-ning, keduanya segera mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu lalu dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Sambil berperahu mereka membuat sajak-sajak, makan daging panggang serta kacang, minum arak wangi, kemudian setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning. Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga. Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberi tahu oleh anak buahnya tentang kehadiran Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, terus mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu! Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu sudah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya. Cepat See-thian-ong mengumpulkan semua murid serta pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoi-nya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin, kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini sudah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu sudah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoi-nya ini. Selain dua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang lelaki yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biar pun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling mau pun Ciang Gu Sik, akan tetapi bila mana kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang sangat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka. cerita silat online karya kho ping hoo SEKARANG lima orang ini yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk ‘membereskan’ urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu. Selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang di samping berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu. “Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Tapi jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia sengaja datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan ia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui.” Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya. “Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!” kata So Cian Ling kepada gurunya. “Hemm, ilmu kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apa lagi setelah sepasang tanganmu cacad,” jawab gurunya. “Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang telah kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta.” Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah supaya mereka semua siap siaga, pertemuan itu kemudian dibubarkan. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong. Kakek ini lalu membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja. “Bagus!” kata See-thian-ong. “Usulmu tadi memang bagus sekali.” See-thian-ong tertawa. “Memang dugaanmu sangat tepat. Betapa pun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapa pun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kau suruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kau suruh pula melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Di dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, pada saat mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!” “Lalu bagaimana rencana suhu?” Ciang Gu Sik bertanya, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ. “Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlampau enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku yang akan menentukan selanjutnya.” Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia lalu duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam. “Engkau kenapa?” Cian Ling menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa.” “Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?” Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar. “Laki-laki jahanam itu!” “Engkau cemburu?” “Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Ia membuat aku kehilangan kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!” kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya. Akan tetapi suaminya yang sudah sangat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan di dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya, isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Hal ini saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Inilah yang membuat Gu Sik makin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu agaknya tidak kalah oleh kebencian suhu-nya terhadap pemuda itu! “Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi.” “Tugas apakah, suheng?” Memang aneh sekali dua orang ini. Meski pun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka sudah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut suheng dan sumoi! Hubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan ini pun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suheng-nya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik sangat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suheng-nya, hanya perasaan berhutang budi belaka, dan untuk itu dia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya. “Begini, sumoi, seperti kau ketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin sudah berada di Si-ning, bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu supaya engkau pergi menemui Thian Sin kemudian menggunakan hubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke kota Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, maka sebaiknya kau usahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian.” Cian Ling mengangguk-angguk. “Baiklah, akan kulakukan itu.” “Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu.” Kembali Cian Ling mengangguk sambil alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak untuk mencari akal bagaimana caranya dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya, lantas terbayanglah kembali kenang-kenangan lama pada saat pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan! *************** Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling! “Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?” “Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong.” Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin mengenai gadis itu, maka dia berjebi dan membuang muka. “Kau mau membacanya?” “Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!” “Ha-ha-ha, kau cemburu?” Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. “Siapa bilang cemburu? Meski kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tak akan peduli! Jika engkau menggandeng wanita lain, berarti engkau tidak suka lagi padaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimana pun juga, dia merasa sangat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dulu pun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong. “Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kau bacalah sendiri suratnya, atau kau dengarkan dan akan aku bacakan. Ada jalan yang baik sekali untuk menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling.” Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu. Ceng Thian Sin, Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu agar dapat membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan. Tertanda: So Cian Ling. “Hemm, agaknya dia rindu padamu,” kata Kim Hong, tersenyum mengejek. “Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tak pernah memikirkannya, Kim Hong. Kupikir-pikir, sebaiknya kalau wanita ini kutemui saja untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui.” “Sesukamulah!” jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimana pun juga ada perasaan tak sedap di dalam hatinya. Dia merasa marah kepada hatinya sendiri. Dia tak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lamanya? Inikah yang dinamakan cemburu? Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa di mana ada si aku yang mementingkan kesenangan sendiri, maka cemburu pasti akan timbul. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbullah iri hati atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah mau pun tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau pun tidak, sudah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan bagi dirinya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain, dan inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang! Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, dia selalu berdua dengan Thian Sin dan sudah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang dia marah terhadap Thian Sin, kadang-kadang dia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya. Akan tetapi semua itu lenyap sesudah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, dia tidak ingin berpisah sedikit pun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu, Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan dia merasa alangkah tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu! Dia dan Thian Sin sering berbicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu dengan lain. Oleh karena itu pula maka dia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar dia tidak mengandung karena hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itu pun sudah menyetujuinya. Apa bila ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena sebuah ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau jika keduanya menghendaki, hubungan itu tentu dapat bertahan selama hidup! Kini Kim Hong merasa betapa hatinya terasa sangat sunyi dan kosong sesudah Thian Sin pergi. Hal ini membuat dia merasa bahwa dia telah betul-betul jatuh cinta kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, dia sebenarnya telah terikat secara batiniah. “Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!” Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini terus berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Dia tidak akan bebas lagi kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini? Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi dia mondar-mandir dalam kamarnya, mendadak pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir saja dia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, dia tidak akan mengetuk pintu! “Siapa?” tanyanya sambil menghentikan kakinya. “Saya, toanio, pelayan.” Kim Hong dapat mengenali suara pelayan yang tadi melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat. “Ada apa?” tanyanya tidak senang. “Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita sangat penting bagi toanio,” kata pelayan itu. Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu dia membentak, “Tadi siapa yang memberi surat yang kau berikan kepada… suamiku?” “Saya… saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, namun entah siapa…” Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling! Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut kalau dia terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa. “Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?” “Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, saya pun tidak mengenalnya.” Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, kemudian melangkah keluar. Di ruangan depan, tampak telah menantinya seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang. Ketika Kim Hong sampai di situ, laki-laki itu memberi hormat dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik. “Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?” Kim Hong bertanya. “Apakah nona… ehh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?” pria ini bertanya. “Benar. Siapa kau dan ada apa?” Pria itu memandang ke kanan kiri. “Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh.” “Ehh…?” “Nona, marilah kita berbicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya.” Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan. Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, kemudian mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, pada bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik. “Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita…?” “Nanti dulu, siapakah engkau?” Pria itu menjura dan berkata, “Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin. Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang lebih penting lagi, Ceng-taihiap sudah terjebak ke dalam perangkap musuh…” “Musuh siapa?” “Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuhan dengan datuk itu…” Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya dengan omongan orang. Dia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali. “Lalu apa maksudmu memberi tahukan hal itu kepadaku?” “Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini hingga kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang sudah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk sama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap.” Diam-diam Kim Hong kaget sekali. Jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya sehingga membuat hatinya gelisah bukan main. Maka dia pun langsung mengangguk. “Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar.” Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara. Tidak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker. “Mereka telah berkumpul menanti kita di ruang belakang, nona. Maklumlah, menghadapi See-thian-ong yang berpengaruh dan banyak kaki tangannya, kita harus hati-hati sekali. Kita masuk dari pintu belakang. Marilah…” Kim Hong mengikuti orang itu memasuki pekarangan dan mengambil jalan dari samping gedung dan menuju ke pintu belakang. Orang bertubuh jangkung itu membuka daun pintu lalu mereka memasuki sebuah lorong yang gelap, hanya ada sedikit penerangan sehingga remang-remang. Suasana sunyi sekali, tidak terdengar suara seorang pun di situ. Pria itu lalu berhenti di depan sebuah daun pintu tertutup dan berkata kepada Kim Hong. “Nona, silakan masuk, mereka sedang berkumpul di ruangan dalam,” berkata demikian, Si Jangkung itu mempersilakan dan mengembangkan tangan kanannya. Akan tetapi Kim Hong tidak pernah kehilangan kewaspadaan dan kecurigaannya. Ia tidak bergerak dan berkata, “Harap kau suka masuk lebih dulu, aku mengikut saja.” Orang itu lalu menarik napas panjang. “Ahh, agaknya nona mencurigai saya, masih belum percaya bahwa kami adalah kawan-kawan yang hendak menolong Ceng-taihiap. Baiklah, aku masuk lebih dulu.” Dia membuka pintu dan ternyata di balik daun pintu itu merupakan sebuah ruangan atau kamar yang remang-remang dan kosong, akan tetapi di sebelah kanan terdapat sebuah lubang pintu yang kelihatan gelap. Karena melihat orang itu telah melangkah masuk, maka Kim Hong juga ikut masuk. Akan tetapi, tiba-tiba orang di depannya itu sudah melompat dengan cepat sekali ke arah pintu sebelah kanan itu. Kim Hong terkejut dan cepat dia pun meloncat, tetapi tiba-tiba pintu itu tertutup begitu laki-laki jangkung tadi lewat. Kim Hong hanya terlambat dua detik saja. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum daun pintu di belakangnya, dari mana dia masuk tadi tertutup, tubuhnya telah mencelat hendak keluar dari pintu itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja sudah muncul tiga orang laki-laki tinggi besar di ambang pintu lantas mereka ini mendorong dan memukul ke arah tubuh Kim Hong yang hendak menerobos keluar. “Desss…!” Tiga orang itu mengeluarkan teriakan keras lantas tubuh mereka terjengkang, dari mulut mereka keluar darah segar! Ternyata Kim Hong telah memapaki dorongan mereka bertiga itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi pada saat dara itu hendak meloncat keluar, muncul seorang kakek tinggi besar yang menggunakan sepasang tangan mendorongnya kembali. Kim Hong menjadi marah maka dia pun menerima atau menyambut dorongan itu dengan kedua tangannya. “Dukkk…!” Keduanya terkejut. Kakek itu terhuyung ke belakang sebaliknya Kim Hong juga terpental kembali tiga langkah ke dalam kamar dan… tiba-tiba saja kakinya terjeblos karena lantai itu telah bergeser dan lenyap! Karena kakinya tidak berpijak pada sesuatu apa pun, tentu saja tubuhnya melayang ke bawah. “Haiiiiitttt…!” Kim Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan mendadak tubuhnya yang sedang melayang ke bawah itu membuat poksai (salto) dan dapat membalik ke atas lagi. “Dukkk!” tubuhnya membentur lantai yang sudah tertutup kembali dan sekarang tubuhnya terjatuh ke bawah tanpa dapat ditahannya lagi. Maklum bahwa dia telah terjebak, Kim Hong segera mengerahkan ginkang-nya dan dapat menahan luncuran tubuhnya. Akan tetapi ketika kedua kakinya menyentuh lantai, kiranya di bawah tidak dipasangi benda tajam atau runcing sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Gelap sekali tempat itu. Kim Hong bukan seorang gadis penakut. Begitu kedua kakinya sudah menginjak lantai dia cepat menyelidiki keadaan kamar itu dengan meraba-raba. Sebuah ruangan yang luasnya kira-kita tiga meter persegi. Dindingnya amat kuat, terbuat dari pada beton. Ada lubang-lubang hawa sebesar lubang-lubang jari di sebelah atas, dekat langit-langit yang tingginya kurang lebih tiga meter. Dia meloncat dan mendorong langit-langit, akan tetapi ternyata langit-langit itu terbuat dari baja yang kuat bukan main. Tidak ada pintu atau jendelanya! Mungkin pintu rahasia yang bergeser dan masuk ke dinding, pikirnya. Tidak ada jalan keluar. Akan tetapi dia masih selamat dan tidak terluka. Ini saja merupakan hiburan baginya, karena selama dia masih hidup, dia tidak akan kehilingan harapan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara mendesis. Kim Hong waspada dan siap. Akan tetapi tempat itu terlalu gelap sehingga dia tidak dapat melihat sesuatu. Tangannya sendiri pun tidak nampak, apa lagi benda lain. Dan tiba-tiba dia mencium bau yang harum dan keras. Celaka, keluhnya karena dia tahu bahwa ada asap beracun dimasukkan ke dalam kamar itu. Tentu melalui lubang hawa di atas, pikirnya. Dia tahu bahwa melawan pun tidak ada gunanya, hanya membuang tenaga sia-sia belaka. Apa bila dia melawan dengan menahan napas, hanya akan kuat bertahan beberapa jam saja, akhirnya dia tidak akan dapat lolos pula dari asap yang dia duga tentu mengandung obat bius itu. Kalau dia melawan dengan cara menahan napas sekuatnya, ada bahayanya paru-parunya akan terluka. Lebih baik dia menyerah kepada keadaan yang tidak mungkin dapat dilawannya lagi, agar dapat menghemat tenaga menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena itu, Kim Hong tidak melawan, hanya cepat merebahkan dirinya terlentang di atas lantai sambil melemaskan tubuhnya, mengendurkan semua urat-urat sarafnya agar jangan menegang. Karena dia merebahkan diri, maka asap itu agak lama baru mulai memasuki pernapasannya, yaitu setelah udara di atas penuh. Kim Hong yang telah banyak mempelajari racun dan obat bius, maklum bahwa asap yang disedotnya itu mengandung obat bius yang tidak mematikan, hanya membuatnya tertidur atau pingsan saja. Maka pernapasannya juga lega dan dia pun jatuh pingsan dengan hati tenang. *************** “Cian Ling…!” “Thian Sin, ahhh, Thian Sin…!” Wanita itu menubruk dan merangkulnya sambil menangis. Thian Sin mengelus rambut kepala itu dan membiarkan Cian Ling menangis sejenak pada dadanya. Setelah agak mereda, dengan halus dia baru mendorong pundak wanita itu dan mereka saling pandang di dalam cuaca yang remang-remang diterangi bintang-bintang di langit itu. “Engkau kurus…,” kata Thian Sin dan memang wanita itu terlihat lebih kurus dibandingkan dengan ketika masih menjadi kekasihnya dahulu. “Aku hidup menderita, Thian Sin. Aku… aku nyaris dibunuh suhu ketika engkau melarikan diri. Suheng membelaku dan menyelamatkan, maka aku terpaksa menerima saja ketika dia mengambilku sebagai isterinya. Dan suhu… suhu lantas menghancurkan kedua tulang pergelangan tanganku.” Cian Ling memandang kepada dua tangannya dengan sinar mata sedih. “Ah, maafkan aku, Cian Ling.” Thian Sin memegang kedua tangan itu dan mencium kedua tangan itu bergantian. “Engkau menderita karena aku.” “Dan sekarang agaknya engkau sudah senang, ya? Sudah lupa kepadaku karena sudah memperoleh gantinya?” “Ahh, jangan berkata demikian, Cian Ling. Bukankah sekarang engkau telah menjadi isteri suheng-mu? Nah, katakan, apa kepentingan yang hendak kau bicarakan denganku?” “Apa pertemuan antara kita ini tidak kau anggap penting?” “Memang, akan tetapi tentu ada hal yang lebih dari pada itu yang hendak kau sampaikan kepadaku.” “Aku diutus oleh suhu untuk menyelidikimu. Apa maksud kedatanganmu di Si-ning? Tentu bukan untuk mencariku, karena kau datang dengan seorang gadis cantik. Apakah hendak memusuhi See-thian-ong?” Thian Sin tersenyum dan mencium bibir itu. Bagaimana pun juga, wanita ini adalah bekas kekasihnya dan masih mencintanya. Hal ini terasa benar sekarang. “Ahh, engkau diutus untuk menyelidiki aku akan tetapi kenapa engkau berterus terang begini kepadaku?” Inilah bukti bahwa wanita ini masih mencintanya. “Memang tadinya aku ingin mencelakaimu, karena engkau sudah meninggalkan aku, dan engkau telah menyebabkan aku begini. Tapi… tapi… mana sanggup aku mencelakaimu, Thian Sin? Aku malah hendak memperingatkanmu bahwa guruku bersama suamiku dan semua kaki tangannya telah bersiap untuk membalas dendam, untuk menawanmu, untuk menyiksamu dan membunuhmu. Karena itu, engkau berhati-hatilah dan lebih baik engkau segera pergi saja dari tempat ini.” “Cian Ling, kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau lagi-lagi mengkhianati suhu-mu dan suamimu…?” Than Sin bertanya, terharu juga. “Aku… ohhhhh…” Cian Ling merangkul leher Thian Sin dan menangis lagi. Mereka saling berciuman, Cian Ling untuk melepaskan rindunya, Thian Sin untuk menyatakan keharuan dan terima kasihnya. Setelah mereda, Cian Ling melepaskan rangkulannya. “Aku girang bahwa aku telah berterus terang padamu, Thian Sin. Engkau memang patut kubela. Sungguh pun engkau tidak mencintaku, akan tetapi engkau seorang laki-laki yang baik, yang dapat menyenangkan hati wanita.” “Nah, ceritakan apa yang hendak mereka lakukan.” Dengan singkat namun jelas Cian Ling lalu menceritakan pertemuan yang diadakan oleh See-thian-ong bersama para murid dan pembantunya setelah datuk itu mendengar akan kemunculan Thian Sin dan Kim Hong di telaga Ching-hai. “Semenjak kalah olehmu, suhu telah melatih diri dengan tekun sekali, dan sekarang suhu malah telah memperoleh murid dan pembantu yang pandai, yaitu lima orang yang berjuluk Ching-hai Ngo-liong. Jika maju bersama, mereka itu lebih lihai dari pada aku atau suheng sendiri. Belum lagi suhu yang sekarang semakin tua menjadi semakin lihai. Maka engkau berhati-hatilah, Thian Sin. Lebih baik engkau pergi malam ini juga meninggalkan Si-ning. Aku tidak dapat lama-lama bertemu denganmu, mereka tentu akan menjadi curiga. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kedatanganmu ke sini bersama wanita itu hanya untuk pesiar saja, tidak ada keinginanmu untuk mengacau. Bukankah begitu?” “Ya, sebaiknya engkau katakan saja begitu. Akan tetapi untuk pergi melarikan diri, nanti dulu, Cian Ling. Aku memang ingin menentang suhu-mu itu, dan terima kasih atas semua kebaikanmu kepadaku.” “Jadi, engkau hendak nekad menentang suhu?” “Dia memang pantas ditentang, apa lagi setelah apa yang dilakukannya kepada dirimu.” “Ahh, aku khawatir sekali!” “Tidak usah khawatir, aku dapat menjaga diri.” “Selamat berpisah.” Cian Ling ragu-ragu lalu berlari menghampiri, merangkul dan mencium Thian Sin dengan sepenuh hatinya, lantas terisak dan melarikan diri, menghilang dalam kegelapan malam. Thian Sin berdiri tertegun, lalu tersenyum dan mengelus bibirnya. Di antara para wanita yang pernah mendekatinya, yang pertama menyentuh hatinya adalah Kim Hong ke dua adalah Cian Ling inilah. Lian Hong tidak dapat diperbandingkan karena perasaannya terhadap Lian Hong lain lagi, lebih halus, bahkan agaknya jauh dari kekasaran nafsu birahi. Dia sendiri masih tidak tahu apakah dia cinta terhadap Cian Ling atau Kim Hong. Betapa pun juga, Cian Ling takkan mudah terhapus begitu saja dari lubuk hatinya. Wanita itu telah menyerahkan dirinya dan hatinya, dan pada saat ini pun sudah membuktikan pembelaannya, setelah berkorban dua pergelangan tangannya yang hampir melenyapkan ilmu kepandaiannya. Dia tahu bahwa kalau pertemuan tadi, percakapan dan sikap Cian Ling tadi diketahui oleh See-thian-ong, tentu sekali ini nyawa wanita itu menjadi taruhannya. Akan tetapi dia tidak akan undur selangkah. Biar pun See-thian-ong sudah mempersiapkan diri. Lebih baik lagi. Sekali ini See-thian-ong harus dapat dia kalahkan secara mutlak! Akan tetapi, teringat akan penuturan Cian Ling betapa See-thian-ong telah mengerahkan kaki tangannya, dia harus berhati-hati juga. Orang seperti See-thian-ong itu tentu tak akan segan untuk mempergunakan tipu muslihat dan kecurangan. Baiknya dia datang bersama Kim Hong yang dalam hal ilmu kepandaian tak kalah dibandingkan dengan See-thian-ong. Bersama dengan Kim Hong dia merasa mampu untuk menghadapi seluruh jagoan di dunia ini! Ketika teringat akan Kim Hong yang ditinggalkan seorang diri dalam keadaan marah dan cemburu, Thian Sin tersenyum dan mempercepat larinya, kembali ke kota, ke losmen di mana mereka bermalam. Akan tetapi ketika dia memasuki kamar, ternyata kamar mereka itu kosong. Kim Hong tidak berada di situ, tidak meninggalkan surat mau pun pesan. Seketika hatinya berdebar tegang dan khawatir. Jangan-jangan kekasihnya itu telah pergi meninggalkan dirinya akibat marah dan cemburu. Akan tetapi buntalan pakaiannya masih ada, berarti Kim Hong tidak minggat. Akan tetapi ke manakah? Cepat dia pergi mencari ke belakang dan sekitar losmen itu, tetapi tak dapat menemukannya. Lalu dia memanggil pelayan yang tadi menyerahkan surat kepadanya. “Engkau melihat nona?” tanyanya kepada pelayan itu. “Tidak, tuan…” Akan tetapi Thian Sin melihat betapa kedua kaki pelayan itu menggigil, ini menandakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pelayan itu. “Baikiah,” katanya dan seperti tidak mencurigai sesuatu, dia pun memasuki kamarnya. Akan tetapi cepat sekali dia pun membuka jendela, meloncat ke luar dan terus menuju ke luar, lalu mengintai dari tempat gelap. Dilihatnya ada tiga orang laki-laki tinggi besar yang sedang berbisik-bisik dengan pelayan tadi. Hanya terdengar olehnya Si Pelayan berkata, suaranya terdengar agak takut-takut. “Dia sudah pulang, dan tidak menduga sesuatu. Di kamamya…” “Baik, kami akan menjemputnya,” kata seorang di antara tiga orang itu. Thian Sin cepat-cepat meloncat dan berlari memasuki kamarnya kembali melalui jendela, menutupkan daun jendela dan merebahkan dirinya, pura-pura tidur di atas pembaringan. “Tok-tok-tokk!” Thian Sin membiarkan sampai ketukan pintu itu terulang beberapa kali, kemudian barulah dia menjawab dengan suara mengantuk, “Siapa di luar?” “Aku, utusan See-thian-ong Locianpwe! Harap buka pintu Pendekar Sadis!” Thian Sin tersenyum, akan tetapi hatinya terasa tidak enak. Apa bila See-thian-ong sudah berani mengirim utusan secara terbuka seperti ini, hal itu hanya berarti bahwa datuk itu telah mempunyai sesuatu yang dapat dipakai sebagai andalan. “Hemm, pintu kamarku tak pernah kukunci. Masuklah saja.” Hening sejenak. Agaknya orang-orang yang berada di luar pintu itu meragu dan sedang berunding. Terdengar mereka saling berbisik. Lalu seorang di antara mereka mondorong daun pintu. Daun pintu terbuka dan nampak orang itu berlindung di kusen pintu, dan golok tajam berkilau di tangannya. Akan tetapi pada saat melihat Thian Sin masih rebah di atas pembaringannya, dia menjadi lebih berani, lalu melangkah masuk. Orang ini tinggi besar, seorang di antara tiga orang yang dilihat Thian Sin tadi. Thian Sin bangkit duduk dengan lagak malas-malasan, ada pun orang itu maju sambil menodongkan goloknya, siap untuk menyerang. “Hemm, kalau aku jadi engkau, lebih baik kusimpan saja golokku itu. Salah-salah golok itu bisa minum darah tuannya sendiri. Amat berbahaya itu!” kata Thian Sin sambil minum air teh dari mangkok di atas meja, sikapnya tidak peduli. Orang itu jelas kelihatan gentar, mukanya agak pucat. Dia pun menyeringai lalu berkata dengan suara lantang, untuk menutupi rasa gentar di dalam hatinya. “Pendekar Sadis, golok ini hanya untuk menjaga diri kalau-kalau engkau akan mengamuk sebelum habis mendengarkan kata-kataku.” “Hemm, kalau aku mengamuk, sekarang engkau tak mungkin dapat bicara lagi, juga dua orang temanmu di luar kamar itu. Masuk saja kalian semua dan segera katakan apa yang dipesan oleh See-thian-ong?” Sikap Thian Sin tetap tenang saja namun justru ketenangan inilah yang membuat jantung tiga orang itu terasa dingin membeku karena gentar. Dua orang tinggi besar yang menunggu dan berjaga-jaga di luar kamar itu pun kemudian menampakkan diri sambil memegang golok dengan tangan sedikit gemetar. Nama besar Pendekar Sadis sudah membuat mereka ketakutan, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang dahulu pernah mengalahkan See-thian-ong sendiri! Kini mereka bertiga menghadapi Thian Sin, siap-siap dengan golok di tangan, sedangkan Thian Sin memandang dengan sikap tak acuh. “Pendekar Sadis,” orang yang pertama tadi berkata dengan suara bergetar. “Ketua kami hanya hendak menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau harus mengikuti kami dan menghadap beliau tanpa banyak ribut.” Thian Sin tersenyum. “Hemm, bagaimana kalau sekarang aku menggerakkan tangan dan membunuh kalian bertiga? Apa sukarnya bagiku?” Orang yang mewakili teman-temannya bicara itu menelan ludah dulu sebelum menjawab, merasa sukar sekali bicara seolah-olah jantungnya naik dan mengganjal tenggorokannya. “Kalau… kalau kami tidak kembali bersamamu, selambat-lambatnya besok pagi sesudah matahari terbit, wanita itu akan mati…” “Wanita…?” Thian Sin pura-pura bodoh. “Ya, wanita cantik sahabatmu itu, Pendekar Sadis!” Orang tinggi besar itu merasa dapat mengancam dan berada di pihak yang menang sekarang. “Dan matinya akan mengerikan sekali! Ketua kami tak akan kalah olehmu dalam hal menyiksa orang-orang yang menjadi tawanannya. Jika sedikit saja engkau mengganggu kami, maka besok sebelum matahari terbit, kawanmu yang cantik itu akan menjadi mayat dengan tubuh terhina dan tak berupa manusia lagi!” Thian Sin masih bersikap tak acuh. “Huh, bagaimana aku dapat mempercaya omongan bajingan-bajingan macam kalian bertiga ini?” Seorang di antara mereka, yang berjenggot panjang dan mempunyai muka yang paling menyeramkan, mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya lantas melemparkannya ke arah Thian Sin sambil berkata. “Lihat ini!” Thian Sin menyambut benda itu yang ternyata adalah potongan celana dari bawah hingga ke lutut. Celana Kim Hong! Dia mengenal kain celana itu! Jelaslah bahwa Kim Hong telah terjatuh ke tangan mereka, ke tangan See-thian-ong. Dia merasa heran sekali bagaimana Kim Hong yang dia tahu amat lihai itu sampai dapat tertawan musuh. “Hemm, di manakah dia?” Orang pertama tertawa, suara ketawanya persis seperti suara burung hantu, lalu berkata, “Pendekar Sadis, kami tidak begitu bodoh. Kau ikutlah saja kalau masih menghendaki dia selamat!” Thian Sin berpikir sejenak. Dia bisa menduga bahwa See-thian-ong menangkap Kim Hong hanya untuk memaksanya menyerah. Bukan Kim Hong yang dikehendaki See-thian-ong yang pasti belum mengetahui bahwa Kim Hong adalah Lam-sin, akan tetapi dialah yang dikehendaki orang tua itu. Kepada dialah See-thian-ong menaruh dendam. Dan kini baru dimengerti bahwa ternyata So Cian Ling sudah menipunya. Wanita itu, yang tadi menciumnya demikian mesra, yang tadi menangis dengan air mata panas, ternyata hanya dipergunakan oleh See-thian-ong untuk memancingnya keluar, untuk membuatnya pergi meninggalkan Kim Hong sehingga kakek datuk kaum sesat itu bisa menangkap Kim Hong untuk memaksanya menyerahkan diri. Akan tetapi bagaimana Kim Hong sampai dapat ditawan? Hal ini tentu baru akan dapat diketahuinya setelah dia bertemu dengan Kim Hong. Dan melihat celana yang dirobek itu, diam-diam dia bergidik. Dia tahu orang macam apa mereka ini, dan kalau dia membunuh mereka ini kemudian tidak muncul sampai besok pagi, maka tentu bukan hanya sebagian celana Kim Hong yang akan dirobek oleh mereka. “Baiklah, aku ikut dengan kalian!” katanya sambil bangkit berdiri. “Ha-ha-ha-ha, kami sudah tahu bahwa engkau tentu akan berpikir dengan tepat, Pendekar Sadis,” kata orang pertama. “lihat, golok kami ini tidak perlu lagi, sebab di sana ada golok yang lebih tajam tertempel di leher yang kulitnya mulus itu.” “Kami harus melucutimu dahulu,” kata Si Jenggot Panjang sambil menghampiri Thian Sin kemudian mengeluarkan pedang Gin-hwa-kiam dari pinggang pemuda itu, juga mengambil kipasnya dan suling bambunya. Tiga benda itu dibawanya sendiri, pedang dia gantungkan di punggung, suling dan kipas dia selipkan di pinggang. “Mari kita berangkat!” kata orang pertama dan keluarlah mereka dari dalam kamar itu. Thian Sin berjalan di tengah-tengah mereka, bagaikan seorang di antara sahabat-sahabat saja. Ketika tiba di depan rumah penginapan itu, Thian Sin melihat pengurus beserta para pelayan berdiri dengan sikap takut-takut, akan tetapi begitu melihat Thian Sin pergi tanpa melawan dengan tiga orang itu, mereka nampak lega. Maka mengertilah Thian Sin bahwa semua orang di dalam rumah penginapan ini adalah juga kaki tangan See-thian-ong, atau setidaknya orang-orang yang tunduk dan taat kepada datuk kaum sesat itu. Dia memperhatikan ke mana dia akan dibawa oleh tiga orang tinggi besar yang sikapnya kasar ini. Setelah mereka tiba di tempat gelap, dia didorong-dorong oleh mereka. “Sesudah keluar dari pintu gerbang kota, engkau harus memakai penutup mata, Pendekar Sadis. Ha-ha-ha-ha!” kata orang pertama sambil mendorong pundak Thian Sin agak keras ketika pemuda itu agak lambat jalannya. Hemmm, mereka akan membawaku ke luar kota, pikirnya. Jadi Kim Hong ditahan di luar kota. Akan tetapi di manakah? Dia harus tahu di mana Kim Hong ditahan dan harus dapat membebaskannya sebelum matahari terbit pada esok pagi, kalau tidak, maka dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diri gadis itu. Terlalu ngeri untuk dibayangkan. See-thian-ong tak percuma berjuluk datuk kaum sesat. Tentu segala daya akan dilakukan untuk menyakiti hatinya. Tiba-tiba saja Thian Sin merasa tengkuknya menjadi dingin. Menyakiti hatinya! Itulah yang akan dilakukan See-thian-ong sebelum membunuhnya. Dan melihat dia kini menyerahkan diri demi Kim Hong, tentu iblis tua itu langsung akan dapat menduga bahwa dia mencinta Kim Hong, dan kalau memang demikian halnya, maka tak mungkin kalau Kim Hong akan dibebaskan sesudah dia menyerahkan diri. Bahkan sebaliknya gadis itu akan merupakan alat yang baik sekali untuk menyiksa batinnya! Tentu See-thian-ong akan menyiksa gadis itu di depan matanya, sebelum membunuhnya! Sekarang mereka sudah tiba di luar pintu gerbang kota dan berjalan di jalan sunyi. Bulan sudah muncul dan malam itu sangat cerah. Ketika mereka tiba di jalan yang sunyi, diapit oleh sawah ladang, Si Jenggot Panjang berkata, “Sudah waktunya untuk menutupi kedua matanya.” Mereka bertiga mendekati Thian Sin dan orang pertama mengeluarkan sehelai kain hitam dari saku bajunya. “Pendekar Sadis, kami harus menutupi kedua matamu supaya kau… hukkk!” Orang itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba saja tangan Thian Sin bergerak menonjok ulu hatinya, membuat napasnya terhenti dan dia pun terjengkang memegangi perut. Dua orang kawannya kaget bukan main dan mereka berdua cepat mencabut golok. Akan tetapi Thian Sin tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Tubuhnya bergerak lebih cepat dari pada tangan mereka yang mencabut golok sehingga gerakan kedua orang itu terhenti setengah jalan ketika tubuh mereka terpelanting oleh tamparan-tamparan Thian Sin. Mereka hanya pingsan tapi tidak mati, karena memang Thian Sin belum ingin membunuh mereka. Belum lagi, mereka itu masih amat penting baginya, untuk menunjukkan di mana Kim Hong ditahan. Thian Sin sengaja menunggu sampai mereka berada di luar kota, di tempat sunyi, baru dia akan bergerak karena kalau dia bergerak di dalam kota, tentu akan datang banyak kaki tangan See-thian-ong yang dapat menggagalkan usahanya menolong gadis itu. Ketika tiga orang itu siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah tertotok, membuat kaki dan tangan mereka lumpuh sama sekali, dan mereka berada di dalam sebuah gubuk tempat petani menjaga sawah. Thian Sin cepat menyeret seorang di antara mereka, yaitu orang ke tiga yang di pipinya sebelah kiri ada tanda bekas lukanya. Dua orang kawannya hanya memandang dengan mata terbelalak penuh rasa takut pada waktu kawan mereka itu diseret keluar dari dalam gubuk oleh Pendekar Sadis. “Jangan takut,” bisik Si Jenggot Panjang kepada orang pertama, “dia tidak akan mampu mengganggu kita, selama gadis itu berada di tangan ketua kita.” Orang yang codet pipinya ketakutan setengah mati ketika dia diseret oleh Pendekar Sadis menjauhi gubuk dan berhenti di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan. “Nah, sekarang katakan di mana gadis itu ditahan!” kata Thian Sin, suaranya tetap halus dan tenang, bahkan terdengar ramah dan tanpa mengandung ancaman. Si Codet menelan ludahnya, namun dia segera teringat akan teman Pendekar Sadis yang sudah berada di tangan See-thian-ong, maka dia merasa yakin bahwa pendekar ini hanya akan menggertaknya saja. Maka dia memaksa sebuah senyum yang merupakan senyum masam sehingga membuat wajahnya yang codet itu menjadi nampak semakin buruk dan menyeramkan. “Hemmm, kau kira aku takut akan ancamanmu? Gadismu itu telah di dalam cengkeraman maut, dan jika sampai besok kami tidak datang bersamamu, tentu ia akan disiksa sampai mampus, dan sebelum itu dipermainkan dulu. Heh-heh, lebih baik engkau bebaskan kami dan mari sama-sama menghadap ketua kami agar gadismu selamat, Pendekar Sadis.” “Begitukah? Kita lihat saja nanti!” Thian Sin berkata. Dengan cekatan Thian Sin lalu melepaskan sabuk orang itu, mengikat kedua kakinya dan diangkatnya orang itu lantas dilemparkan ke atas melewati sebuah cabang pohon. Ketika tubuh itu meluncur turun, dia memegang ujung sabuk sehingga orang itu pun tergantung dengan kepala di bawah dan terpisah dari tanah kurang lebih satu setengah meter. Thian Sin mengikatkan ujung sabuk itu ke batang pohon, kemudian dengan tenangnya dia lalu membuat api unggun di bawah orang yang tergantung dengan jungkir balik itu. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” Si Codet itu berkata dengan muka pucat dan mata terbelalak. Thian Sin tak menjawab, terus saja menyalakan api unggun hingga asap mulai mengepul ke atas, membuat Si Codet itu terbatuk-batuk dan sesak napas. Kembali dia mengulang-ulangi pertanyaannya, menjadi makin takut ketika mulai merasakan hawa panas dari api unggun yang mulai bernyala di bawah kepalanya. Dengan panik dia mengerti bahwa Pendekar Sadis itu hendak membakarnya hidup-hidup, maka dia pun mulai berteriak-teriak, memaki, mengancam, memohon. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tak menghiraukannya, bahkan melihat sedikit pun tidak, melainkan justru menambah kayu bakar untuk membuat api unggun itu supaya bernyala makin besar. Dan tersiksalah Si Codet itu, napasnya terengah-engah, akan tetapi di dalam keadaan tertotok dia tidak mampu meronta, hanya berteriak-teriak. “Ahhhhh… akhhh… aku… ahh, lepaskan aku… Pendekar Sadis…” Thian Sin sama sekali tidak peduli, seakan-akan tidak mendengarnya. Tetapi sebenarnya dia terus memasang pendengarannya sambil memperhatikan semua teriakan yang keluar dari mulut orang tersiksa itu. Tubuh Si Codet penuh dengan keringat, mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus dan lidah api hampir menjilat kepalanya. Malah mulai ada bau rambut termakan api, bukan langsung dijilat lidah api melainkan rambut itu mengering dan menghangus oleh panas dari bawah. “Aduhhh… panas… panasss… aughhh… dengar Pendekar Sadis… gadismu itu… berada di… pesanggrahan… auhhhhh, lekas turunkan… aku akan mengaku…” Api unggun itu mengecil karena beberapa pohon kayu bakar ditarik oleh Thian Sin. Bahan bakarnya dikurangi dan tentu saja apinya mengecil, akan tetapi masih bernyala. Dia kini mendekati orang yang masih tergantung itu. “Jelaskan, di mana dia ditahan?” Si Codet itu membelalakkan matanya. Dia membayangkan betapa dia akan dihukum dan tentu dibunuh oleh See-thian-ong jika dia berani mengkhianatinya, jika dia berani mengaku di mana adanya gadis itu. Melihat keraguan ini Thian Sin berkata sambil mengambil lagi kayu bakar yang tadi disingkirkan. “Aku tidak mau tawar-menawar lagi. Apa bila engkau tidak mau mengaku, maka api akan kubesarkan dan tidak ada apa pun yang akan dapat mengubah keadaanmu!” “Nanti… nanti dulu… dia… dia ditahan di dekat Telaga Ching-hai, di pondok merah milik ketua kami…” Orang itu lalu merintih dan menangis, tahu bahwa dia sudah menentukan hukumannya sendiri. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat selamat karena andai kata Pendekar Sadis tidak membunuhnya, tentu See-thian-ong tak akan mau mengampuninya. Maka dia merintih dan menangis karena menyesal dan ketakutan. Namun, karena api unggun itu tidak begitu besar lagi dan biar pun masih mendatangkan panas serta asap tapi tak begitu menyiksanya lagi, maka akhirnya dia pun menghentikan tangisnya, apa lagi setelah melihat Pendekar Sadis meninggalkannya, memasuki pondok gubuk itu kemudian menyeret keluar seorang temannya, yaitu Si Jenggot Panjang. Si Jenggol Panjang melihat keadaan temannya, Si Codet, dan mengerti bahwa Pendekar Sadis hendak menyiksa mereka untuk minta keterangan di mana adanya gadis itu. Maka dia pun mendahului dengan suara ketawa. “Ha-ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Percuma kalau engkau hendak menyiksa kami. Kami tak akan mau berbicara, dan biar engkau membunuh kami sekali pun, tetap saja engkau tidak akan dapat menyelamatkan gadismu kecuali kalau engkau ikut dengan kami menghadap See-thian-ong!” Akan tetapi Thian Sin tidak menjawab, melainkan segera menggunakan golok besar milik seorang di antara mereka untuk menggali lubang dalam tanah. Tidak terlalu dalam, hanya kurang lebih setengah meter pula. Dengan tenaga sinkang-nya, cepat dia menyelesaikan pekerjaan itu, lantas ditendangnya tubuh Si Jenggot Panjang sehingga memasuki lubang dalam keadaan telentang. Si Jenggot Panjang terbelalak, tidak tahu apa maksud pendekar itu. Akan tetapi setelah Thian Sin mulai mendorong tanah galian ke dalam lubang dan menimbuninya dari kaki ke atas lalu berhenti sampai di dada, tahulah dia bahwa pendekar itu hendak menguburnya hidup-hidup! Dia memandang dengan mata terbelalak. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya gemetar. Thian Sin menghentikan pekerjaannya menimbuni Si Jenggot dengan tanah. Memang dia sengaja menimbuninya sampai ke dada saja dan membiarkan bagian muka itu terbuka. “Katakan di mana adanya gadis itu!” katanya, suaranya halus dan tenang saja, akan tetapi mengandung sikap dingin yang mengerikan. Orang pertama, Si Codet yang masih tergantung, merasa ngeri bukan main. Dia dapat melihat semua yang terjadi itu dengan jelas, sungguh pun matanya sudah menjadi merah karena sejak tadi tergantung dan kemasukan asap. Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu malah tertawa, dari suara tawanya memang agaknya tidak takut mati. “Ha-ha-ha-ha, engkau hendak mengancam dan memaksaku? Pendekar Sadis, biar kau bunuh sekali pun, kami bertiga tidak akan mengaku, dan tahukah engkau apa yang akan terjadi kalau engkau tidak turut bersama kami menghadap See-thian-ong? Ha-ha-ha, aku sudah tahu. Gadismu yang cantik jelita itu akan diperkosa beramai-ramai, diantri oleh lebih dari dua puluh orang di antara kami. Untuk menentukan siapa yang akan kebagian daging lunak itu, kemarin ketua kami sudah mengundi! Sayang, aku sendiri tidak kebagian, akan tetapi aku ingin sekali melihatnya. Ha-ha-ha!” Thian Sin mengerutkan kedua alisnya dan menurut panasnya hati, ingin dia sekali pukul menghancurkan kepala Si Jenggot ini. Akan tetapi dia terus menahan diri, kemudian mulai mendorongkan tanah sedikit demi sedikit menimbuni dada dan muka Si Jenggot. Si Jenggot masih berteriak-teriak, mengancam, memaki lalu menangis. Akan tetapi Thian Sin tidak peduli, walau pun dia menangkap satu demi satu semua yang keluar dari mulut Si Jenggot ini, kalau-kalau Si Jenggot menyerah dan mau mengaku.....


PENDEKAR SADIS JILID 29 :
MESKI pun orang pertama sudah mengaku, akan tetapi Thian Sin masih belum puas, dan hatinya masih belum yakin benar. Orang-orang semacam ini, orang-orang golongan hitam yang pikirannya selalu penuh dengan kejahatan, sama sekali tidak boleh dipercaya begitu saja. Akan tetapi, Si Jenggot Panjang ini memang benar-benar tidak mau mengaku. Suaranya semakin berkurang setelah mukanya mulai tertimbun tanah sehingga tiap kali membuka mulut, mulutnya kemasukan tanah. Akhirnya, seluruh mukanya sama sekali tertutup. Si Codet memejamkan kedua matanya agar jangan melihat lagi keadaan temannya yang keras kepala dan memilih mati dikubur hidup-hidup dari pada harus mengaku itu. Dia tidak menyesal sudah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang karena dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis dari pada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiri pun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu sungguh berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus, tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja! Sesudah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu sekarang bergunduk berupa sebuah kuburan baru, Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk. “A-ciang…!” Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah itu sambil memandang dengan mata melotot. “A-ciang…! Apakah engkau bisa mendengarku?” Si Codet bertanya dengan hati ngeri. Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andai kata temannya dapat mendengarnya sekali pun, tentu teman itu sudah tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya. Si Codet tak lagi memanggil pada saat Thian Sin sudah kembali datang dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan ketiga orang itu. Orang ini mempunyai kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu amat mirip dengan muka seekor monyet. Saat Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan. “Pendekar Sadis, apa yang kau lakukan terhadap dua orang temanku ini?” tanyanya. Thian Sin tak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia dapat melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sute-nya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sute-nya tadi tentu sudah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sute-nya itu belum mati, maka dia bertanya, “Tauw-sute, di mana Ciang-sute?” Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba sepasang mata A-tauw itu terbelalak bagaikan orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan dia pun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kini kepala yang penuh dengan tanah itu keluar, matanya berkedip-kedip akibat kemasukan tanah, bibirnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula. Ternyata Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati. Ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah sehingga dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya. Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, “Kau mau mengaku?” Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu lalu memaki dengan suara seperti orang yang lehernya dicekik, “Jahanam kau!” Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan laksana harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan hanya dengan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang sudah tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil. “Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam hendak menyiksa kawanku itu? Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong serta seluruh anak buahnya pun akan kusiksa sampai mati semuanya. Dan kalian memperoleh giliran pertama!” kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. “Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu.” Berkata demikian, tiba-tiba saja leher Si Muka Monyet itu sudah dibelit sabuknya sendiri lantas sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin sudah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya! Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu sudah menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar, kemudian tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya. Thian Sin melepaskan ujung sabuk hingga tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap bagai ikan yang dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang. “Nah, apa yang hendak kau katakan?” katanya kemudian. “Gadis itu… dia… ditawan… di pondok merah… dekat Telaga Ching-hai…” Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau ada dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasannya. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu langsung menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka sudah tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, dan yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya! Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya untuk berlari menuju ke Telaga Ching-hai! *************** Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, dia pun mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri lalu pada saat dia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika dia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah dia bahwa dia sudah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius. Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Dia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa dia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih hidup. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan memiliki suatu rencana kenapa dia masih dibiarkan hidup. Dan selama dia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan. Pandang matanya menyatakan bahwa dia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Dia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana dia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi sepasang lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah dia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi itu telah melukai sepasang pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, dia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apa lagi bermusuhan. Jelaslah bahwa dia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin. Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong bisa menduga bahwa tentu dia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan dia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya serta berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal inilah yang dikehendaki oleh pihak musuh, yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa dia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa dia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sin-lah yang terancam. Dia harus bisa lolos untuk memperingatkan Thian Sin! Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di pinggir pembaringan. Pertama-tama, dia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, maka dia masih akan dapat menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya dua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapa pun juga, dia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Dia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu. Namun hal ini jauh lebih mudah dibicarakan dari pada dilaksanakan. Dengan pengerahan sinkang, mungkin saja dia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu dia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan apa bila urat besarnya yang sampai terluka, maka dapat berbahaya juga. Apa lagi ketika dia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, dia pun memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidak-tidaknya harus ada bantuan tangan orang lain yang membukanya. Kim Hong bangkit lantas memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan, meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat. Lebih dari dua jam dia bekerja, mengerahkan tenaga, tapi hasilnya baru sedikit saja, baru mulai bisa merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh-sungguh memakan banyak sekali tenaga di dalam badan. Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya, maka Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi. Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang semuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja dia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang hendak dipancing dan dijebak, tentu dia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi dia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Apa bila mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah dia pun bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Salah seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi. Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walau pun tingkatnya belum setinggi tingkat para suheng-nya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia serta dua orang sute-nya yang bertugas menjaga di situ mempunyai kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong. Si Jangkung tersenyum mengejek pada waktu melihat gadis itu agaknya hendak melawan akan tetapi tidak berdaya. Dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka pada pergelangan lengannya. “Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?” “Persetan dengan kalian!” bentaknya. “Kenapa engkau menjebakku di tempat ini? Kalian mau apa?” Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu. “Nona manis, simpanlah kegalakanmu itu. Sekarang engkau sudah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong.” “Ahhh…!” Dengan sengaja Kim Hong menunjukkan kekagetannya dan juga menunjukkan rasa takut. Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. “Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba-coba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu.” Kim Hong masih menunjukkan sikapnya yang ketakutan, kemudian dia pun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. “Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?” Dia disuruh berjalan di muka, sementara tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biar pun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin sekali bahwa dengan kedua kakinya saja, dia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak dia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, dia tak akan mau bertindak sembrono karena dia akan gagal jika harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan sepasang tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini dia harus menggunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad. Ruangan itu sangat luas. See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam dia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia pun memandang marah. “Duduk!” bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai. Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi dia segera menegakkan kepalanya lalu memandang kepada See-thian-ong, kini sedikit pun tidak menunjukkan rasa takut. Baru sekarang inilah dia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih terlihat gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar serta berkulit hitam ini. Selama dia menjadi Lam-sin, dia baru mendengar nama saja dari ‘rekan’ ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa. “Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?” Tiba-tiba See-thian-ong bertanya. Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis, yang berpakaian mewah dan pesolek, ada pun di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini adalah murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai. Melihat So Cian Ling juga berada di situ, Kim Hong yang tadinya tak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, “Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?” See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya sangat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapa pun banyaknya arak memasuki perutnya. “Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkau pun cukup manis. Siapakah namamu, nona?” “Namaku Kim Hong!” jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya. She Toan adalah she yang terkenal sebagai she keluarga kaisar, maka dia pun tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka dia she Kim dan bernama Hong. “Nama yang manis, seperti juga orangnya,” kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. “Akan tetapi sayang, Nona Kim. Kini nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis.” “Apa maksudmu?” tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu. “Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya bila Pendekar Sadis tidak muncul ke sini,” See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandangan mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, secara diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Dia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suheng-nya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja dia merasa iri sekali. “Perempuan rendah,” kata So Cian Ling, “kau dengarlah baik-baik. Kami sudah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Apa bila sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan hingga mati. Pertama-tama, engkau akan diberikan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!” Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, “Dan aku mati, habislah semua masalahku. Namun engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, hingga engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik dari pada nasibmu.” “Perempuan rendah!” Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang. “Cian Ling, jangan!” terdengar See-thian-ong mencegah sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu dia mengangguk-angguk. “Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku sangat kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuk dia!” perintahnya kepada seorang murid. Salah seorang di antara murid-muridnya yang ikut mengurung tempat itu segera maju. Dia membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil. “Letakkan piring itu di depannya,” perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini. Kim Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti serta daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja dia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena dia tak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Dia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Jika menuruti hatinya, tentu saja dia lebih baik memilih mati dari pada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Dia bisa menduga bahwa mereka semua ini amat membenci Thian Sin, kecuali Cian Ling mungkin, tetapi Cian Ling pun tentu saja amat membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat dia terhina, juga ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau dia menolak suguhan ini, berarti dia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini akan sangat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai dia kelaparan, maka dia akan lemas dan ilmu silatnya pun tidak akan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka Kim Hong lalu memusatkan pikiran, mendiamkan pikirannya hingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, kemudian dia pun lalu menekuk tubuhnya ke depan. “Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!” kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan. Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang telah dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan bagaikan seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring sehingga perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanyalah merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu! Biar pun agak sulit, karena piring itu kadang-kadang terdorong ke depan hingga terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Kini badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering sehingga dia ingin sekali minum. “See-thian-ong, aku ingin minum,” katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu “darahmu”! “Ha-ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!” kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali. Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu maka sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lantas mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu. Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Ia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari ketiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu, dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu. Tidak sulit menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, dia segera memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok. Dengan lindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk. Kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong, dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng sesudah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Apa bila menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, dia pun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia langsung dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia bisa menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk dapat melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong. Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Jika saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Jika See-thian-ong cerdik, tentu Kim Hong akan dibunuhnya seketika itu juga, tidak malah mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dia pun sudah mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja. Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, maka padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi. “Sekarang bawa dia kembali ke kamar tahanan,” kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak cukup berharga untuk menjadi lawan yang ditakuti. “Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!” Maka terhindarilah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguh pun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Dia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa dia akan diperkosa oleh dua puluh orang kalau Thian Sin tidak muncul, justru merupakan pertanda bahwa apa bila Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu dia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi. Tak ada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan dia seperti itu. Akan tetapi jika Thian Sin terkena pancingan lalu datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan dia diperkosa oleh banyak orang di hadapan matanya. Hal ini dia yakin benar! Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, malah membiarkan dia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika dia kelak ‘dibantai’ oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri. Sementara itu, Thian Sin terus mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka dia pun dengan cepat dan berhati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, lalu mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan. Pada saat mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng kemudian mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu. “Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok,” Si Muka Bopeng berbisik. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi berusaha ditahannya dan dia bergegas memasuki kamar tahanan itu. “Nanti dulu,” kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong. Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu dua pergelangan tangan Kim Hong agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong sehingga gadis ini menggigit bibirnya. Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih dia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan dari pada kekurang ajaran dua orang temannya. “Awas, nanti kau akan kubunuh lebih dulu…!” kata suara hati Kim Hong saat Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya. Thian Sin sempat melihat ini semua. Tangannya pun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil kawan-kawannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Dia pun lalu meneliti keadaan kamar itu. Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang bagian atasnya berjeruji. Tak mungkin untuk memasuki dari pintu. Maka dia pun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu sangat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apa lagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal. Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan itu. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia pun dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga paku itu terlihat, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu. Dan akhirnya berhasillah ia membongkar papan persegi selebar satu meter itu, kemudian mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan. Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang telah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lantas gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu. Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka dia pun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan ‘aman’. Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara. Tanpa berbicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian dia pun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua pergelangan lengan kekasihnya. Untuk sejenak Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu. “Mereka sedang bermain kartu…,” bisiknya. “Hanya bertiga itu?” bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk. “Kita pancing mereka masuk,” kata Thian Sin. Kim Hong mengangguk. “Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan orang yang terdekat dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara,” bisik gadis itu dengan sikap tenang. Diam-diam Thian Sin amat kagum. Tak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, sebab sikapnya memang bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seperti seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali. Thian Sin membantu gadis itu menarik dipan ke tengah, lalu dia mendekam di balik dipan yang dimiringkan oleh Kim Hong. Gadis itu lalu membuat suara berisik dengan dipan yang dipukul-pukulkan ke atas lantai, memasang kembali kawat berduri pada lengannya lantas rebah miring di atas lantai dengan rambut awut-awutan, setelah menggunakan darah yang membasahi kedua tangannya, dioleskan pada pipi serta dahinya dan sekarang dia miring memperlihatkan bagian muka yang berdarah itu. Dia merintih-rintih lirih. Suara gedobrakan itu tentu saja mengejutkan tiga orang yang berjaga di luar pintu, yang kemudian bergegas bangkit menuju pintu kamar tahanan sehingga nampaklah wajah tiga orang penjaga itu. Si jangkung dan teman-temannya terkejut sekali dipan sudah terguling, apa lagi melihat dahi dan pipi sebelah kiri gadis itu berlepotan darah. “Celaka… dia membunuh diri…,” kata si jangkung yang cepat-cepat membuka daun pintu dengan kuncinya, kemudian dia mendorong daun pintu dan berlari masuk diikuti oleh dua orang temannya. Si jangkung cepat menghampiri Kim Hong lalu berjongkok di dekat gadis itu, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan gadis tawanan itu. Pada saat itu, selagi si jangkung meraba dahi Kim Hong dan dua orang temannya berlari masuk, Kim Hong bergerak cepat sekali, sama cepatnya dengan gerakan Thian Sin yang meloncat dari belakang dipan yang rebah miring. Kim Hong menyambut si jangkung yang berjongkok itu dengan tendangan kilat yang tepat mengenai anggota kelamin orang itu lalu pada detik berikutnya, pada waktu si jangkung membuka mulut untuk berteriak, secepat kilat tangan kanan Kim Hong sudah menyambar ke arah tenggorokan. “Krekkk!” Hanya itulah suara yang keluar, suara hancurnya tulang kerongkongan yang menghalangi keluarnya teriakan si jangkung yang tewas seketika dan sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, Kim Hong sudah cepat menyambarnya. Pada detik yang hampir bersamaan, nampak pula cahaya perak berkelebat dua kali dan dua orang penjaga lainnya sudah roboh dengan tenggorokan berlubang ditembusi pedang Gin-hwa-kiam. Begitu cepatnya cahaya pedang menyambar sehingga dua orang itu tidak sempat bergerak mengelak atau menangkis, bahkan untuk berteriak pun tidak sempat lagi karena yang dijadikan sasaran ujung pedang Gin-hwa-kiam adalah tenggorokan mereka. Mereka ini pun roboh dan cepat disambar oleh tangan Thian Sin sebelum berdebuk. “Bagaimana pergelangan tanganmu?” bisik Thian Sin setelah mereka merebahkan semua mayat itu tanpa mengeluarkan suara, sambil menghampiri Kim Hong. Dara itu memeriksa pergelangan lengannya dan menggerak-gerakannya. “Hanya luka di kulit saja, tidak berbahaya,” jawabnya. “Tidak nyeri kalau digerakan? Kita akan menghadapi banyak lawan tangguh.” “Tidak, dan aku sudah siap sedia menghadapi mereka.” “Bagus. Nih, kau pakai pedangku……” “Tidak perlu, Thian Sin. Kau pakailah sendiri. Kau tahu, aku biasa menggunakan pedang pasangan dan pedang mereka ini tidak terlalu berat dan sama bentuknya, dapat kupakai sebelum aku menemukan kembali pedang pasanganku yang mereka rampas.” Kim Hong mengambil dua batang pedang milik penjaga-penjaga itu. Setelah dia mencoba memutar-mutar sepasang pedang itu dan kedua pergelangan tangannya digerak-gerakkan, Kim Hong tersenyum dan berkata, “Mari, aku sudah siap!” Thian Sin memandang dengan kagum. Bukan main kekasihnya ini. Baru saja terlepas dari ancaman bahaya yang mengerikan, namun sama sekali tidak nampak gentar atau girang karena tertolong. Seolah-olah yang dihadapinya itu bukan bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut. “Engkau tadi tidak takut…..?” Thian Sin bertanya dengan bisikan. “Tidak, sejak tadi aku yakin engkau pasti datang menolongku, kalau tidak, aku pun tentu akan mendapatkan akal untuk membebaskan diri. Bisa kupancing mereka ini masuk, lalu kubunuh dua orang, yang seorang lagi dapat kuancam dan kupaksa untuk membukakan belenggu ini,” jawab Kim Hong tenang. Thian Sin percaya akan kemampuan gadis itu. Meski dengan kedua pergelangan lengan terbelenggu sekali pun Kim Hong pasti akan dapat membunuh mereka bertiga itu. “Sekarang marilah kita keluar. Tadinya aku hanya ingin mengalahkan See-thian-ong, akan tetapi melihat sambutannya dan perlakuannya terhadapmu, kita harus membalas dendam dan menghancurkannya!” kata Thian Sin. “Kita harus berhati-hati, jangan sampai kita melayani mereka bertempur di dalam tempat ini karena banyak mengandung rahasia dan berbahaya.” “Kita bakar saja sarang mereka ini dan memaksa semua ularnya keluar untuk kita bunuh,” kata Thian Sin gemas dan Kim Hong mengangguk karena memang siasat ini cocok sekali dengan rencananya. Kini setelah langit-langit itu berlubang, tentu saja keduanya dengan mudah bisa meloncat dan menerobos melalui lubang lantas menangkap kayu penyangga atap, kemudian keluar dari genteng. Setelah memeriksa keadaan di sekeliling pondok itu dari atas, Thian Sin lalu berbisik, “Engkau melakukan pembakaran dari sebelah sana, aku dari sini, kemudian kita bertemu dan berkumpul di lapangan sana itu. Lapangan rumput itu enak untuk menghadapi lawan banyak.” Kim Hong mengangguk dan mereka pun berpencar. Tidak lama kemudian, nampaklah api berkobar dari sebelah kanan dan kiri bangunan itu, disusul teriakan-teriakan para penjaga sehingga keadaan menjadi panik. Apa lagi ketika terdengar pula teriakan-teriakan bahwa gadis tawanan telah lenyap dan para penjaga terbunuh. See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang sudah melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran. Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lainnya, dia lalu melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang sudah mengamuk dari dua jurusan itu. See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah cahaya api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, maka kedua orang muda itu langsung terkepung. Thian Sin segera menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek. “Hemmm, ternyata See-thian-ong yang kabarnya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu…!” kata Kim Hong. “Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!” Thian Sin menambahkan. Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Sepasang matanya melotot seakan-akan dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu. “Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!” bentaknya. “Wah, betulkah? Apakah ada yang dapat mengantarku ke kematian? Hemmm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!” Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali. Akan tetapi, biar pun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah padanya. Maka dia pun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah satu tingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan satu tingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin! “Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!” Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu hanya tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seakan-akan melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali. Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek dan tidak memegang senjata, maka belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlomba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang lagi dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam sudah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka! Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan dia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggota rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan. “Tokkk!” Hanya terdengar suara itu dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar. “Plakk-plakk!” Kembali terdengar suara dan kedua orang itu pun roboh dengan kepala retak. Lima orang itu pun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika! Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan terkejut bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas hanya dalam satu gebrakan saja, menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing. Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar telah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal amat lihai dalam permainan tongkat Giam-lo Pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuh gadis itu, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka. Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu dia bergerak, semua orang segera terkejut sebab tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya tampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah yang muncrat di sana-sini lalu sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Sesudah dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya! See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut sekali, lalu mengerutkan alisnya dan membentak, “Bukankah itu adalah Ilmu Pedang Hok-mo-kiam? Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” bentakan ini lantas disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam. Betapa pun juga, Lam-sin boleh dibilang masih ‘rekannya’, sama-sama datuk kaum sesat. Karena itu, jika sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia merasa penasaran sekali. “Hei, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur? Siapakah kiranya yang kau hadapi itu?” kata Thian Sin mengejek. See-thian-ong terbelalak, akan tetapi dia masih belum mengerti benar, atau kalau pun dia telah mengerti, dia sama sekali tak percaya. “Tapi… Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh…!” katanya. “See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa semalam engkau memperlakukan aku sebagai anjing?” Wajah See-thian-ong menjadi pucat sekali. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini? Dan semalam dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin sedang mempermainkannya, atau sengaja menggunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar. “Siapa pun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!” katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah. Hawa pukulan yang sangat dahsyat menyambar. Kim Hong cepat mengerahkan sinkang untuk menyambutnya, dengan mengerahkan Ilmu Bian-kun (Ilmu Tangan Kapas). Tenaga sinkang yang saat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekali pun tanpa terluka. “Plakkk!” See-thian-ong terkejut sekali pada saat merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan dia pun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang telah menyambar ganas. “Benarkah… engkau… Lam-sin…?” See-thian-ong berseru, kaget bukan kepalang karena dia pun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin. “Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!” “Nona, jawablah, siapakah engkau sebenarnya?” Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mukjijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawan mempergunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat dia pun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi. “Aku… aku…” “See-thian-ong, manusia curang!” Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. “Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini adalah lawanku!” Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut lantas melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu. “Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!” Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru. See-thian-ong mengangguk, maka Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar pada tangan kanan serta rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang dara ini berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya kembali di balik punggung setelah dia merobohkan semua pengeroyok. SEMENTARA itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, secara diam-diam telah mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, lalu tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur, “Ceng Thian Sin, engkau tidak akan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!” Dengan jari-jari terbuka sepasang tangannya dikembangkan ke depan, dengan seluruh jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang sangat kuatnya, mempunyai daya sihir yang sangat berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa! “Ha-ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!” Kakek itu maklum bahwa sekarang musuhnya ternyata telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka dia pun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, “Bocah sombong mampuslah!” Begitu menyerang, See-thian-ong langsung mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak, dan saat kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin. Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek ini pun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dahulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, sekarang ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin yang beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya. Namun Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin yang dulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi semua ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekali tak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang. Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Namun sesudah mereka menyerang secara bertubi-tubi dengan cara yang sangat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lima orang ini bila maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya. Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang sangat kuat, ada kalanya mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) tetapi kadang kala berubah pula menjadi barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera dia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya. Karena itu Kim Hong terpaksa mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu, kemudian melawan lima naga dari Ching-hai dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, pada satu pihak pertandingan antara Thian Sin dengan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong. Betapa pun lihainya Ching-hai Ngo-liong, menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja mereka tidak cepat saling melindungi kembali. Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh sangat berbahaya. Kalau saja semalam semua senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tak dirampas musuh, tentu semenjak tadi telah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu. Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini merasa bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang kini menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Dia merasa bahwa dia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga dalam menghadapi lawan-lawan berat itu, boleh dibilang bantuannya tak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hong pun dia merasa bahwa tenaganya terlampau lemah. Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga merasa bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu malah akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya. Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin kini mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menunjukkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Sesudah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa kini lawannya ini sungguh tangguh sekali, jauh lebih lihai dari pada satu setengah tahun yang lalu. Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh sangat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Jauh lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dalam keadaan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri dari pada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam. Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia sudah mempelajari secara salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa jika terus dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu, dan mau tidak mau kadang-kadang tanpa disengaja dia teringat lantas mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung sehingga sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walau pun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu. See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, semenjak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi sesudah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapa pun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat! “Singgggg…!” Demikian kuatnya ia menyambar kemudian menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya segera bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang. Thian Sin tersenyum mengejek. Akan tetapi pemuda ini langsung maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo Pang-hoat, maka biar pun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya agar supaya bisa menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan bahwa dengan mudahnya dia mampu menggungguli See-thian-ong, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosong pun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut. Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong itu juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong dibuat sibuk sekali hingga pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir. Melihat ini, Cian Ling tak dapat tinggal diam saja. Biar pun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat dia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, dia masih setingkat lebih lihai dari pada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Dia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan apa bila bekerja sama, tapi kini kerja sama mereka sudah kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat sekali. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya. Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka dia segera menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan. Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi telah hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan. Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu. Melihat isterinya yang juga sumoi-nya itu sudah terjun pula ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa tadi gurunya sudah terdesak hebat, dan kini setelah gurunya menggunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu. Ciang Gu Sik lalu menyiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang sangat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu. Kini See-thian-ong mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih sangat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan dia pun maklum bahwa sekali ini, jika dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiri pun agaknya tidak akan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat. Maka, sesudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, dia pun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menubruk ke depan. Tongkatnya menyambar-nyambar secara ganas, mencurahkan seluruh perhatian untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan segenap tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras. Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinya memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin! “Dukkk…!” Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, namun karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, maka pukulan itu tidak melukainya. “Desss…!” Pada detik berikutnya pundak Thian Sin disambar oleh ujung joan-pian, membuat bajunya robek, juga kulit serta sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa tadi dia masih sempat melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu hanya mengenai pundaknya. Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada waktu Thian Sin sedang menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhu-nya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga sepenuhnya, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu tengah ditinggalkan kekuatan sinkang sebab baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak mampu melindungi pundaknya yang akhirnya terluka oleh senjata itu. Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik. Akan tetapi murid See-thian-ong yang amat cerdik ini sudah cepat meloncat jauh ke belakang sehingga dapat terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia telah menerjang kembali dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri sehingga membuat dia marah. Seperti kita ketahui, tadi Cian Ling turut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong. Pada waktu dia melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suheng-nya, wanita ini menjadi amat khawatir. Bagaimana pun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian hingga berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik. Kini, ketika melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu tetap bersiap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, secara tiba-tiba Cian Ling menjadi marah Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang. Tanpa banyak cakap lagi, Cian Ling cepat meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang sudah bisa mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lantas menyerbu ke dalam medan perkelahian yang lain itu, bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, namun untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping! Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu adalah untuk menyerang dirinya, maka dia pun tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu telah menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak, kemudian terbelalak memandang pada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya. Peristiwa yang tidak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba saja See-thian-ong menubruk ke depan sambil memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang! Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya, tahu-tahu Cian Ling sudah kena terpukul dadanya hingga wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan dia pun terguling roboh tak jauh dari isterinya. “Cian Ling… kenapa kau… kau membunuhku…?” “Suheng… maaf… aku cinta padanya…” Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas serta pedang Gin-hwa-kiam, lalu dia menyerang See-thian-ong secara hebat. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya sambil membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian. Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sejak tadi dia telah dapat merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dia anggap cukup hebat itu, dan pula, dia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya. Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, maka dia pun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi tidak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin kemudian terkena serangan mendadak dari Gu Sik hingga pundaknya terluka. Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu sehingga lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apa lagi sekarang Cian Ling sudah tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika. Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut ketiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itu pun roboh dengan jantung tertembus pedang! Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong sempat melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya lalu mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka dia pun mengambil senjata rahasia ini. Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih sanggup melawan dengan tidak kurang kuatnya dari pada tadi. “Thian Sin, engkau mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!” Kim Hong berkata dengan suara gembira. Thian Sin meloncat ke belakang. Apa bila dilanjutkan, tentu saja akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia juga tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu untuk mencoba kepandaian datuk barat! “Maju dan cobalah macan tua ompong ini!” katanya. Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya dan menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang. See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya sudah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini demikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin! “Tranggg!” See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, kemudian dia membentak, “Benarkah engkau Lam-sin?” Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada tinggal Toan Kim Hong!” katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata. “Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!” “Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa bahwa kini aku bukan lagi Lam-sin, namun gadis biasa saja, Toan Kim Hong yang hendak mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!” “Bagus, bocah sombong mampuslah!” Dan kakek itu telah menerjang dengan dahsyatnya. Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka meski pun nanti dia akan kalah, bila dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, maka puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya kenapa kakek itu lalu mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya. Thian Sin cepat menghampiri Cian Ling lantas memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkejut sekali ketika melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, dia lalu tersenyum. “Cian Ling…!” Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. “Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?” “Thian Sin… aku… aku cinta padamu… aku tidak tahan melihat engkau terancam… dan aku… tidak dapat hidup… tanpa engkau…” Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan terhadap gadis ini. Bagaimana pun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguh pun dia suka sekali padanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling? “Ciang Ling…” Thian Sin menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dengan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, maka dia pun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya. Maka timbul kekhawatirannya dan dia pun bangkit berdiri. “Thian Sin…” Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini. “Kau… kau cinta padanya…?” Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini sehingga dia pun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walau pun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itulah yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling. “Ahhh… dia… dia bahagia… aku… aku… iri kepadanya…” Nafas gadis itu tinggal satu-satu sehingga Thian Sin memandang dengan hati iba sekali. “Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!” Dia membesarkan hati gadis itu. Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. “Thian Sin… maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman…” Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba maka dia pun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, lantas kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu pula Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada waktu dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah. Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main ketika melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tak sempat mengelak, maka dia menangkis dan… “Desss…!” Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya. “Ehhh… kau sudah gila…?” “Engkaulah yang gila, bukan aku!” bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya! Thian Sin menangkis beberapa kali, kemudian meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata ginkang dari gadis ini yang paling hebat maka dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong! Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang Kim Hong yang sedang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan dia mendesak Thian Sin dengan tongkatnya. Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah mempergunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul. “Dessss…!” Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang lantas dia pun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat. “Engkau telah menghinaku!” bentak Kim Hong kepada pemuda itu. Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. “Ehh, kenapakah…?” Lalu dia teringat dan dia tersenyum. “Ehhh, apakah engkau… marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi? Kau tahu, dia… dia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman. Kini dia telah mati, harap kau tidak cemburu!” “Siapa cemburu? Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampus pun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Jika memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!” Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka dia pun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong! “Hemm, kalian tak mau melepaskan aku, ya? Kalian menghendaki kematianku? Baiklah, aku akan mati di depanmu!” Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan… terdengarlah suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi! Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tak dapat melarikan diri. Maka, dari pada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri! Thian Sin segera mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia pun menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tak melihat Kim Hong lagi di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkan dia dan pergi entah ke mana. “Kim Hong…!” Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia saja, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkan bekas. Dan akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong beserta anak buahnya. Akan tetapi tempat itu sudah menjadi sunyi sekali. Kebakaran sudah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tak ada seorang pun berada di tempat itu. Ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, juga tidak nampak seorang pun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong sudah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong. Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama kalangan kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa-sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu. Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu. Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan sanggup mengalahkan See-thian-ong bahkan juga mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk serta semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuh datuk itu dan para muridnya itu mestinya sangat menggembirakan hati Thian Sin. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau gembira, bahkan merasa gelisah dan bingung. Dia tahu, semua ini disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian serta kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah hal ini disebabkan karena perginya Kim Hong? Mengapa sebelum dia berjumpa dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini? Apakah hal ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu? Thian Sin mengeraskan hatinya. Bila Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, maka dia pun tak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apa pun! Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, jika seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan, hubungan itu pun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biar pun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu. Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja apa bila Kim Hong tidak ingin berjumpa dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari semuanya itu, Kim Hong memiliki ginkang yang lebih tinggi dari pada dia sehingga andai kata dia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri maka dia tak akan mampu mengejar dan menyusulnya. Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, dia pun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia sudah berhasil menundukkan dua orang di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong sudah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itu pun merupakan musuhnya, dan kali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong. Akan tetapi perjalanannya sekali ini terasa kosong dan amat tidak menyenangkan. Dahulu dia pernah merasakan hal yang mirip dengan perasaannya sekarang ini, yaitu setelah dia memperoleh kenyataan bahwa Ciu Lian Hong telah memilih Han Tiong, kakak angkatnya, dari pada dia. Dia merasa nelangsa sekali, merasa ditinggalkan dan terpencil, kemudian timbullah perasaan kesepian yang akhirnya menimbulkan rasa iba diri dan merasa dirinya sengsara. Di dalam perjalanannya menuju ke Tai-goan, Thian Sin sering kali termenung seorang diri dengan perasaan kosong dan sunyi. Dia sering membayangkan semua pengalamannya, semua perbuatannya. Dia sudah dijuluki Pendekar Sadis, dan dia tidak merasa menyesal atau malu dengan julukan itu. Biarlah dia dikatakan sadis, akan tetapi dia bersikap kejam hanya terhadap penjahat! Dia memang sudah berniat hendak membasmi para penjahat dengan kekerasan, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya. Dia akan menghancurkan semua datuk kaum sesat dan memperkenalkan diri sebagai pembasmi para datuk, menjadi jagoan nomor satu di dunia, melanjutkan cita-cita mendiang ayah kandungnya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia. Dia menganggap bahwa tindakan itu benar, dan menurut pendapatnya, jika semua pendekar di dunia ini bertindak seperti dia, membasmi para penjahat tanpa ampun lagi, maka dunia akan bersih dari kejahatan. Thian Sin mengenang hubungannya dengan semua wanita semenjak yang pertama kali. Pertama-tama, wanita yang berdekatan dengan dia adalah Bhe Cu Ing, gadis dusun dekat Lembah Naga, yang menjadi cinta pertamanya. Kedukaan pertama karena wanita adalah ketika secara paksa Bhe Cu Ing dipisahkan darinya. Kemudian muncul Loa Hwi Leng, puteri seorang anggota Jeng-hwa-pang yang kemudian dibunuh oleh Jeng-hwa-pang, membuat dia merasa amat membenci Jeng-hwa-pang dan mengobrak-abriknya. Lalu bermunculanlah So Cian Ling yang sudah berhubungan sangat akrab dengan dia, lebih dari pada wanita-wanita lain sebelumnya. Lantas ada pula Bin Biaw, yakni puteri tunggal Tung-hai-sian yang manis dan yang pada pertemuan pertama juga menggerakkan hatinya, akan tetapi dia terpaksa mundur karena di sana hadir pula Cia Kong Liang yang terhitung pamannya. Lalu muncul Ang Bwe Nio anak buah Ji Beng Tat yang terpaksa dibuntungi hidungnya karena telah menghianatinya itu, kemudian ada lagi Leng Ci, selir dari Raja Agahai, dan terakhir adalah Kim Hong atau Lam-sin. Dia sering duduk termenung dan bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah artinya semua wanita itu baginya? Itukah cinta? Ataukah semua itu hanya nafsu birahi saja? Atau apa? Dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi yang jelas, mereka semuanya itu mendatangkan duka, setiap kali berpisah. Juga Ciu Lian Hong, dara satu-satunya yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperistrinya, mendatangkan rasa duka dan sengsara karena berpisah darinya, karena harapannya untuk memperistri dara itu gagal. Apakah perasaan kepada Lian Hong itu adalah cinta? Dan bagaimana dengan Kim Hong ini? Cintakah? Atau sekedar nafsu birahi belaka? Kalau cinta, mengapa mendatangkan duka? Dia bingung, tak mampu menjawab! *************** Tai-goan adalah kota besar ke dua setelah ibu kota Peking yang terdekat dengan ibu kota itu, menjadi ibu kota Propinsi Shan-si. Kota ini amat ramai karena kota itu terletak di tepi Sungai Fen-ho yang menjadi cabang dari Sungai Huang-ho. Dengan adanya Sungai Fen-ho ini, maka hubungan antara Kota Tai-goan dan kota-kota lainnya tentu saja menjadi lancar, bukan hanya melalui darat, melainkan juga melalui air. Hubungan antara kota Tai-goan dengan kota-kota dalam Propinsi Ho-nan dan Shan-tung dapat dilalui air, dan daerah yang dilalui Sungai Fen-ho yang kemudian bersatu dengan induknya, Sungai Huang-ho, sangatlah luasnya. Karena hubungan daerah dan kota-kota lainnya amat lancar, maka tentu saja perdagangan di Tai-goan menjadi makmur sekali. Berita tentang terbunuhnya See-thian-ong dan para muridnya oleh Pendekar Sadis, telah mendahului Thian Sin dan sudah sampai ke Tai-goan, membuat gempar para pendekar dan juga para tokoh dunia hitam di daerah Tai-goan, bahkan sudah sampai pula ke kota raja! Dan tentu saja berita ini telah pula terdengar oleh Pak-san-kui! Seperti kita ketahui, Pak-san-kui hidup sebagai seorang hartawan yang kaya raya di kota Tai-goan. Dia mempunyai banyak perusahaan dan toko-toko, terutama sekali penginapan-penginapan, restoran-restoran, rumah-rumah judi serta rumah-rumah pelesiran di seluruh kota Tai-goan, boleh dibilang semua adalah miliknya, atau kalau pun milik orang lain, tentu berada dibawah kekuasaannya. Datuk kalangan sesat yang menguasai wilayah utara ini mempunyai banyak kaki tangan. Akan tetapi yang menjadi murid-muridnya dan langsung menerima pelajaran ilmu silat dari datuk ini hanyalah Pak-thian Sam-liong dan tentu saja puteranya sendiri, yaitu Siangkoan Wi Hong. Dan untuk kota Tai-goan, yang mengenalnya sebagai Pak-san-kui juga hanya para tokoh kang-ouw serta para pendekar saja, sedangkan rakyat di situ lebih mengenalnya sebagai hartawan Siangkoan Tiang atau Siangkoan-wangwe (hartawan) atau Siangkoan-loya (tuan besar). Saat mendengar tentang terbunuhnya See-thian-ong dan murud-muridnya oleh Pendekar Sadis, Pak-san-kui Siangkoan Tiang menjadi terkejut dan merasa gentar. Dia sudah dapat menduga siapa adanya Pendekar Sadis itu. Dia teringat kepada Thian Sin, putera mendiang Pangeran Ceng Han How itu. Pemuda itu pernah mengalahkannya setelah menipunya dengan kitab-kitab palsu! Walau pun selama ini, sejak kekalahannya, dia sudah memperdalam ilmunya bersilat dengan menggunakan huncwe, namun diam-diam dia merasa gentar juga. Lawan yang pernah mengalahkannya itu adalah seorang muda, dan alangkah mudahnya bagi seorang pemuda untuk mendapatkan kemajuan dalam ilmu kepandaiannya, berbeda dengan orang tua seperti dia yang sudah mulai lemah. Karena itu dia pun lalu memanggil Pak-thian Sam-liong dan puteranya, Siangkoan Wi Hong. “Hampir dapat dipastikan bahwa Ceng Thian Sin adalah si Pendekar Sadis, dan jika benar demikian, sudah tentu pada suatu hari dia akan muncul di sini,” kata Pak-san-kui. “Ayah, kalau dia hanya datang seorang diri, kita takut apa? Dahulu pun aku hanya kalah setingkat olehnya dan selama ini aku telah berlatih dengan tekun. Juga ayah telah berlatih memperdalam ilmu. Dengan adanya kita berdua dan dibantu oleh para suheng Pak-thian Sam-liong, terlebih kalau kita mengerahkan sepasukan orang-orang pilihan lagi, tentu kita akan sanggup membekuknya! Kiraku, kita berlima saja akan cukup untuk membekuknya, betapa pun lihainya. Bukankah benar demikian, suheng?” Pak-thian Sam-liong mengangguk. “Betul sekali apa yang dikatakan oleh Siangkoan-sute. Dengan suhu sendiri saja, atau melawan sute sendiri, sudah setingkat, apa lagi kalau kita berlima maju bersama-sama. Kami merasa yakin akan dapat membekuknya atau bahkan membunuhnya sekalian.” Mendengar ucapan murid-murid dan puteranya ini, legalah hati Pak-san-kui. “Betapa pun juga kita harus berhati-hati. Penjagaan harus diperketat dan setiap malam harus diadakan perondaan dan penjagaan, jangan sampai jahanam itu menyelundup. Kalian bertiga harus mengatur sendiri penjagaan itu,” katanya kepada Pak-thian Sam-liong yang cepat-cepat menyatakan kesanggupan mereka. “Wi Hong,” katanya kepada puteranya. “Engkau pergilah mengunjungi Siong-ciangkun dan undang dia ke sini untuk membicarakan tentang kemungkinan Pendekar Sadis mengacau Tai-goan.” “Baik, ayah.” Siangkoan Wi Hong lalu pergi untuk melaksanakan perintah ayahnya. Siong-ciangkun atau komandan Siong adalah orang yang mengepalai pasukan keamanan di Tai-goan. Seperti juga dengan para pembesar tinggi lain, baik di Tai-goan mau pun di kota raja, Pak-san-kui mempunyai hubungan yang baik sekali, tentu saja dengan bantuan kekayaannya. Dia pun mempunyai hubungan erat dengan komandan pasukan di Tai-goan itu dan untuk menghadapi kemungkinan datangnya Pendekar Sadis, datuk utara itu kini mengadakan persekutuan dengan Siong-ciangkun. Tentu saja dalam pertemuan itu Pak-san-kui sama sekali tidak menampakkan bahwa dia takut menghadapi Ceng Thian Sin, akan tetapi dia mengatakan bahwa pemuda itu adalah musuhnya dan mungkin saja mengacaukan kota Tai-goan yang tenteram itu. Dan tak lupa dia menyerahkan bekal yang cukup banyak untuk biaya pasukan yang akan mengadakan penjagaan ketat. Seratus orang anggota pasukan pilihan segera dibentuk menjadi pasukan yang kuat oleh komandan ini, lalu mereka itu disebar untuk melakukan penjagaan di kota, memata-matai semua orang yang datang, dan terutama sekali segera menghubungi Pak-san-kui setiap kali mereka menaruh curiga kepada seorang pendatang baru yang memasuki kota. Hanya repotnya bagi para petugas ini adalah bahwa mereka belum pernah melihat bagaimana macamnya orang yang berjuluk Pendekar Sadis dan tentu saja nama julukan itu membuat mereka membayangkan wajah seorang laki-laki yang bengis. Pak-san-kui sendiri belum berani memastikan bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, karena hal itu baru merupakan dugaan-dugaannya saja. Dia pun tak berani ceroboh. Bagaimana kalau ternyata Thian Sin bukan Pendekar Sadis? Maka dia harus berhati-hati, bukan hanya terhadap Thian Sin yang sudah terang menjadi musuhnya, akan tetapi juga terhadap kemungkinan apa bila Pendekar Sadis bukan Thian Sin sehingga dia harus menghadapi seseorang yang berbahaya dan sama sekali belum pernah dikenalnya, akan tetapi yang mungkin sekali akan mengganggunya, seperti yang dilakukan pendekar itu terhadap See-thian-ong. Inilah sebabnya maka Thian Sin dapat memasuki kota Tai-goan tanpa banyak halangan. Para anggota pasukan istimewa yang disebar oleh Siong-ciangkun sebagai mata-mata itu tentu saja sama sekali tidak curiga ketika seorang pemuda yang demikian tampan dan halus, yang pantasnya adalah seorang pemuda terpelajar tinggi, dan melihat pakaiannya yang cukup mewah dan pesolek, pantasnya pemuda itu adalah putera bangsawan atau hartawan yang sedang berpesiar ke Tai-goan dan mungkin datang dari kota raja! Thian Sin juga bukan orang yang bodoh. Dia dapat menduga bahwa di tempat itu banyak terdapat kaki tangan Pak-san-kui, maka meski pun dia tidak memasuki kota dengan cara bersembunyi, namun dia pun tidak mau menonjolkan diri karena dia tidak ingin bertemu halangan sebelum sempat bertemu muka dengan Pak-san-kui sendiri. Maka sebelum pergi ke tempat lain, lebih dahulu dia mencari-cari tempat yang baik untuk bersembunyi atau bermalam. Dia tidak mau bermalam di tempat penginapan karena biar pun dia bisa mempergunakan nama palsu, dalam waktu beberapa hari saja Pak-san-kui tentu akan mengetahui tempat itu. Dan hatinya pun girang sekali ketika dia melihat sebuah rumah kecil di sudut kota, rumah seorang miskin yang terpencil dan letaknya di tepi sungai. Ketika melihat bahwa rumah ini hanya dihuni oleh seorang kakek miskin yang bekerja sebagai kuli pengangkut barang-barang yang diangkut oleh perahu-perahu ditempat itu, Thian Sin segera menyewa rumah itu. Kakek yang miskin itu girang sekali dan dia memberikan satu-satunya pembaringan dalam kamar satu-satunya pula, sedangkan dia sendiri mengalah, tidur di lantai bertilam rombeng. Kepada kakek itu Thian Sin memberi tahu bahwa dia datang dari kota raja, ingin berpesiar dan tidak ingin terganggu oleh kenalan-kenalan, maka dia sengaja mencari tempat sunyi untuk menginap supaya jangan terganggu orang lain. Juga dia berpesan kepada kakek itu agar kehadirannya tidak diberi tahukan kepada siapa pun juga. Kakek itu menerima uang, tentu saja dia tidak peduli akan urusan orang dan tidak mau bicara tentang tamunya yang mendatangkan rejeki baginya itu. Sesudah memperoleh tempat itu dan meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar, barulah Thian Sin memasuki daerah perkotaan yang ramai untuk mencari rumah makan. Sebuah rumah makan bercat merah amat menarik hatinya. Baru melihat tempatnya yang mewah dan bersih itu saja telah menimbulkan selera, maka dia pun lalu memasuki rumah makan itu. “Selamat sore, kongcu,” seorang pelayan menyambutnya dengan manis. “Kongcu hendak makan di bawah ataukah di loteng?” Thian Sin menengok ke atas, melihat ada tangga yang indah menuju ke sebuah ruangan di loteng, dibuat dengan cara yang nyeni sekali. Karena melihat bahwa di dalam ruangan itu telah banyak juga tamunya, maka dia pun menjawab bahwa dia ingin makan di loteng. Pelayan itu lalu mengantarnya naik ke loteng. Setelah dia hampir sampai ke loteng, Thian Sin tiba-tiba berhenti melangkah dan wajahnya berubah. Dia mendengar suara Kim Hong! “Kenapa, kongcu?” pelayan yang berjalan di belakangnya bertanya ketika melihat pemuda itu berhenti. “Aku tidak senang di ruangan loteng, kau siapkan saja semangkok bakmi dan panggang ayam dengan arak di meja bawah, di sudut jauh dari pintu keluar,” kata Thian Sin. “Baik, kongcu,” kata pelayan itu yang segera turun kembali. Thian Sin pura-pura melihat-lihat ke dalam ruangan loteng itu, akan tetapi hanya melongok saja. Dia sempat melihat Kim Hong duduk di meja bagian luar loteng, berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang membelakangi jalan luar. Jantung Thian Sin berdebar dan terasa panas ketika mengenal pemuda itu. Andai kata dia lupa pemuda itu, pasti dia tidak akan melupakan alat musik yangkim yang tergeletak di atas meja itu. Siangkoan Wi Hong! Siapa lagi pemuda tampan pesolek yang kemana-mana membawa yang-kim, alat musik yang juga menjadi senjatanya yang ampuh itu? Dan Kim Hong duduk satu meja dengan pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa penuh keakraban, bahkan kemesraan! Hatinya terasa panas bukan main. Dia mengenal Siangkoan Wi Hong sebagai penakluk wanita, pemuda pengejar wanita yang sangat lihai! Cepat dia pun turun dari tangga loteng itu dan memilih tempat duduk ke dalam sehingga tidak akan kelihatan oleh mereka yang masuk atau keluar melalui pintu depan. Ketika pelayan datang sambil membawa masakan yang dipesannya, Thian Sin langsung membayarnya sekali agar nanti dia dapat pergi tanpa menunggu-nunggu lagi kalau sudah selesai makan. Dia makan sangat perlahan-lahan, sama sekali tidak merasa enak karena pikirannya melayang ke atas loteng. Seakan-akan dia masih mendengar suara Kim Hong bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan mesra dengan Siangkoan Wi Hong, putera tunggal Pak-san-kui itu dan makin dipikir, hatinya menjadi semakin panas. Baru saja selesai makan, ia melihat mereka itu turun dari tangga. Sejenak tangan mereka bersentuhan, seperti hendak saling bergandengan tangan, akan tetapi lantas terlepas lagi. Akan tetapi yang sedikit itu pun cukuplah bagi Thian Sin untuk menumbulkan dugaan di dalam hatinya bahwa pasti ‘ada apa-apa’ antara mereka itu. Dan mereka pun keluar, lalu naik sebuah kereta yang sejak tadi sudah menanti di luar restoran....


PENDEKAR SADIS JILID 30 :
Thian Sin meninggalkan mejanya, tidak tergesa-gesa agar tidak menimbulkan kecurigaan, lalu keluar dari rumah makan itu. Dengan tenang dia pun lalu membayangi kereta itu yang dijalankan perlahan-lahan menuju ke sebelah utara. Cuaca sudah mulai gelap dan hal ini memudahkan Thian Sin untuk membayangi kereta. Akhirnya kereta itu berhenti di depan sebuah penginapan! Mereka berdua itu menginap di dalam sebuah penginapan yang mewah! Makin panaslah hati Thian Sin. Dan dia pun menyelinap ke dalam gelap lalu dari situ dia mengintai. Dia melihat mereka berdua turun dari kereta kemudian bercakap-cakap sebentar. Agaknya, dari jauh dia bisa menduga bahwa Kim Hong minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk berangin-angin lebih dulu di taman bunga rumah penginapan itu sebelum mereka masuk. Siangkoan Wi Hong tampak tersenyum di bawah lampu depan pekarangan itu, kemudian keduanya memasuki taman bunga yang letaknya di belakang rumah penginapan dan di sebelah kirinya. Thian Sin tetap membayangi mereka sambil menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman itu sampai dia dapat mengintai mereka tidak terlalu jauh dan dapat mendengarkan percakapan mereka. Mereka duduk di atas bangku yang saling berhadapan, dekat kolam ikan emas di mana terdapat sedikit penerangan dari lampu gantung. Suasana di taman itu sungguh romantis dan pada saat itu amat sunyi. Agaknya tidak terdapat orang lain kecuali mereka berdua. “Nona Toan, engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari, dan aku berbahagia sekali bisa berjumpa serta mengenalmu, nona,” terdengar Siangkoan Wi Hong tiba-tiba menyatakan rasa hatinya dengan sikap dan suara mesra. Kim Hong tertawa, ketawa ditahan yang sudah sangat dikenal Thian Sin itu. “Engkau juga gagah dan tampan sekali, Siangkoan-kongcu, dan aku pun amat gembira bisa berkenalan denganmu.” “Ahhh…, benarkah apa yang kau katakan itu Kim Hong? Dan bolehkah aku memanggil namamu?” “Tentu saja benar, dan engkau boleh memanggil namaku.” “Kim Hong… aku suka sekali padamu… belum, aku belum dapat mengatakan cinta sebab baru beberapa saat kita berkenalan, akan tetapi aku… aku suka sekali padamu.” “Hemmm, aku pun suka sekali padamu, kongcu. Engkau baik sekali dan engkau gagah sekali…” “Kim Hong…” Pemuda itu bangkit dan menghampiri, lalu duduk di samping gadis itu dan merangkulnya. Kim Hong tidak menolak, malah mengangkat mukanya sehingga memudahkan Siangkoan Wi Hong untuk menciumnya. Mencium bibirnya dengan mesra dan lama sekali. “Keparat jahanam! Siangkoan Wi Hong, bersiaplah engkau untuk mampus!” Teriakan ini keluar dari mulut Thian Sin yang sudah meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, tak dapat menahan lebih lama lagi rasa panas di dalam dada dan perutnya menyaksikan adegan mesra antara Kim Hong dan putera Pak-san-kui itu. Seketika dua orang yang sedang berpelukan dan berciuman itu melepaskan diri masing-masing, dan Siangkoan Wi Hong cepat menyambar yangkim-nya lalu berbalik. Wajahnya menjadi pucat ketika dia mengenal Thian Sin yang sudah berdiri di bawah lampu, wajah yang biasanya ramah itu kini nampak muram dan menakutkan. “Thian Sin…!” Dia berseru penuh rasa gentar akan tetapi juga marah. “Bagus, engkau sudah mengenalku sehingga engkau tidak akan mati penasaran!” Thian Sin berkata kemudian secepat kilat dia menerjang ke depan dengan serangan maut. Akan tetapi, Siangkoan Wi Hong bukanlah orang yang lemah dan dia langsung menggerakkan yangkim-nya untuk menangkis. “Dukkk…!” Dan terkejutlah putera Pak-san-kui itu karena tubuhnya tergetar hebat dan dia terdorong mundur, terhuyung-huyung! Thian Sin tidak mau memberi hati lagi, terus menerjang lawan yang sudah terhuyung itu. “Desss…!” Thian Sin terkejut melihat bahwa Kim Hong telah menangkis pukulannya. Sejenak mereka saling pandang. Akan tetapi Kim Hong tidak mau membuang waktu lagi dan secepat kilat gadis ini mencabut sepasang pedangnya dan menyerang Thian Sin kalang-kabut! Tentu saja Thian Sin cepat mengelak. Hatinya terasa bagaikan ditusuk. Begini marahkah Kim Hong padanya sehingga kini malah membantu Siangkoan Wi Hong dan menyerang dia mati-matian? Ingin dia bicara, ingin dia minta maaf. Akan tetapi di situ ada Siangkoan Wi Hong. Dia malu kalau harus memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. Maka dia pun mencabut pedangnya dan diputarnya pedang itu untuk menangkis. Sementara itu, Siangkoan Wi Hong gembira sekali melihat Kim Hong membantunya. Dia memang telah tahu bahwa gadis itu mempunyai kepandaian silat yang lihai, maka dia pun lalu memutar yangkim-nya dan membantu Kim Hong. “Pendekar Sadis, sekarang jangan harap engkau dapat lolos dari tanganku!” bentak Kim Hong. Bentakan ini diterima oleh Thian Sin dengan mata terbelalak. Dia merasa sangat heran mendengar gadis ini menyebutnya Pendekar Sadis. Ada permainan apa ini? Akan tetapi karena Kim Hong mendesaknya dengan hebat, dibantu pula oleh pemuda itu, dia merasa serba salah. Apa bila dia melawan dengan kekerasan, dia takut kalau-kalau akan melukai gadis itu. Maka dia pun meloncat ke dalam gelap lantas melarikan diri. “Lekas lapor ayahmu, aku mengejarnya!” kata Kim Hong kepada Siangkoan Wi Hong, dan dia pun telah meloncat dengan cepat melakukan pengejaran. Bagaimana pula Toan Kim Hong bisa bersama-sama dengan Siangkoan Wi Hong di kota Tai-goan dan telah berkenalan dengan akrabnya? Terjadinya tiga hari yang lalu, di dalam sebuah hutan di lembah Sungai Fen-ho. Ketika itu, seperti yang telah menjadi kesukaannya, Siangkoan Wi Hong berburu binatang hutan. Yangkim-nya yang selalu dibawanya tergantung di punggung, ada pun tangannya memegang busur dan anak panah. Ketika melihat seekor kijang, dia cepat mengejarnya. Kijang itu masih muda dan gesit bukan main, berloncatan amat cepatnya dan menyusup-nyusup ke dalam semak-semak, kalau didekati meloncat lagi. Wi Hong telah melepaskan anak panah dua kali, yang sekali luput dan yang sekali lagi hanya menyerempet di betis binatang itu, membuatnya menjadi semakin ketakutan, liar dan lebih cepat lagi larinya. Akan tetapi akhirnya Siangkoan Wi Hong bisa mendesaknya ke tepi sungai dan binatang itu kebingungan. Wi Hong memasang anak panah pada busurnya dan sudah siap untuk membidikkan anak panahnya. Akan tetapi pada saat dia hendak melepaskan anak panah, tiba-tiba saja kijang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terpelanting! Wi Hong terkejut bukan kepalang dan cepat meloncat, akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan seorang gadis cantik jelita telah berdiri di dekat bangkai kijang. Siangkoan Wi Hong terpesona dan memandang dengan melongo. “Hemm, apa yang kau pandang?!” gadis itu membentak sambil memandang dan bertolak pinggang. Siangkoan Wi Hong baru sadar dan dia tersenyum, menyimpan gandewanya kemudian berjalan menghampiri. “Ahh, tadi kusangka ada bidadari yang turun dari kahyangan. Nona, apakah nona… ehhh, manusia biasa?” Wanita itu adalah Kim Hong dan ketika mendengar ucapan itu, Kim Hong juga tersenyum. Pemuda tampan ini sungguh mengagumkan dan juga menyenangkan hatinya. “Kalau aku bukan manusia, apakah kau kira aku setan atau siluman?” Siangkoan Wi Hong memandang ke kanan dan kiri. “Tempat ini amat sunyi, dan kijang ini tiba-tiba tewas sebelum kupanah, lalu muncul seorang seperti nona! Begini… cantik jelita. Aku mendengar bahwa di tempat-tempat sunyi seperti ini terdapat… ehh, siluman-siluman yang pandai merubah diri menjadi wanita cantik melebihi bidadari, seperti… ehh, dongeng tentang Tiat Ki dalam dongeng Hong-sin-pong itu, begitu cantiknya sampai menjatuhkan hati Kaisar Tiu-ong!” “Hemmm, apa kau tidak dapat membedakan antara manusia dengan siluman?” Kim Hong menanggapi, tidak marah disangka siluman sebab cara pemuda itu mengatakannya sama sekali tidak terkandung nada menghina, melainkan memuji. Semakin gembiralah hati Siangkoan Wi Hong melihat betapa gadis yang cantik jelita itu mau menanggapinya, maka dia langsung pasang aksi, pura-pura berpikir dan mengingat-ingat, mengerutkan alisnya, kemudian berkata dengan wajah berseri, “Ahh, kini aku ingat! Dalam kitab dongeng kuno tentang siluman-siluman yang menyamar sebagai wanita cantik terdapat tanda-tanda. Ada tanda yang… ahhh, sebelumnya maaf, nona. Kata kitab itu, bila siluman rase atau rubah menyamar sebagai wanita, ada satu hal yang tak dapat dilenyapkannya, yaitu ekornya! Wanita cantik penyamaran siluman rubah itu tentu mempunyai ekor! Ah, akan tetapi tentu saja, aku tidak dapat membuktikan pada dirimu…,” dia berhenti untuk melihat reaksi gadis itu. Akan tetapi Kim Hong masih tetap tersenyum saja dan agaknya tidak nampak marah sama sekali. Hal ini langsung membuat Siangkoan Wi Hong menjadi semakin girang dan berani. “Akan tetapi ada tanda lain lagi yang dapat kubuktikan pada dirimu nona. Kata kitab itu, seorang wanita penyamaran siluman rubah mempunyai dua tanda, yaitu pertama, karena tubuh yang diambilnya adalah tubuh wanita yang telah mati, maka lengannya akan terasa dingin seperti mayat kalau dipegang, dan dari hawanya keluar bau rubah yang khas. Nah, aku boleh menyentuh lenganmu, nona, dan kalau aku boleh mendekatimu tentu aku akan segera bisa membedakan apakah nona seorang manusia biasa atau sebangsa siluman.” Kim Hong tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya yang cantik manis itu berseri. Dia juga merasa gembira oleh sikap pemuda itu. Maka dia menyingsingkan lengan baju sebelah kiri kemudian menyorongkan lengan kirinya kepada Wi Hong sambil berkata dengan senyum, “Nah, periksalah.” Siangkoan Wi Hong girang bukan main dan dia menelan ludahnya melihat sebuah lengan yang berkulit begitu mulus, putih dan lembut, halus seperti lilin diraut. Dia pun melangkah maju mendekat, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menyentuh, bahkan sesudah ujung jari-jari tangannya menyentuh kulit halus lunak hangat itu, dengan kedua matanya tetap menatap wajah Kim Hong untuk melihat reaksinya, dan melihat bibir nona itu tetap tersenyum, maka jari-jari tangannya segera melanjutkan dengan meraba-raba lengan dan memegangnya dengan mesra! Kim Hong menarik lengannya dengan gerakan halus, lantas bertanya sambil tersenyum, “Bagaimana, dingin seperti mayatkah?” Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar sambil memandang dengan mata berseri. “Ah, sama sekali tidak, sebaliknya malah, begitu hangat, halus dan lunak… ahhh, dan yang tercium olehku hanya keharuman seperti bunga setaman…!” Kim Hong tersenyum gembira, akan tetapi berlagak tak senang. “Hemm, engkau seorang perayu! Siapakah engkau?” Siangkoan Wi Hong menjura, “Perkenalkan, nona, namaku Siangkoan Wi Hong. Aku tadi sedang berburu di hutan ini dan mengejar-ngejar kijang itu sampai ke tepi sungai. Setelah aku berhasil menyudutkannya dan siap hendak melepaskan anak panah… ehh, tahu-tahu kijang itu roboh dan tewas, lalu muncullah nona. Siapakah nona dan bagaimana seorang wanita muda seperti nona dapat berada di tempat sunyi terpencil ini?” “Namaku Toan Kim Hong…” “Nama yang indah sekali, seperti orangnya! Dan she Toan…?” Ahhh, apakah masih ada hubungannya dengan keluarga pangeran…?” Kim Hong mengangguk. Siangkoan Wi Hong menjura lagi. “Ah, maaf, maafkan…! Kiranya nona adalah puteri yang berdarah bangsawan! Sungguh sikap saya layak dihukum…” Kim Hong menarik nafas panjang. “Sudahlah, urusan kebangsawanan itu urusan dahulu, sekarang aku adalah orang biasa saja. Aku kebetulan lewat di sini dan selagi menikmati keheningan di tempat ini, aku melihat seekor kijang. Oleh karena perutku lapar, maka aku segera merobohkannya dengan sabitan jarumku.” Wi Hong terbelalak. “Apa…? Membunuh kijang dengan sabitan jarum saja? Agaknya tak masuk akal…!” “Siapa bilang tak masuk akal kalau jarumku memasuki kepala melalui antara matanya lalu menembus otak,” jawab Kim Hong. Mendengar jawaban ini, tentu saja Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kaget dan heran. Sebagai seorang pemuda yang mempunyai ilmu silat yang tinggi, dia tahu bahwa jarum hanya merupakan senjata rahasia ringan yang hanya dapat digunakan dari jarak dekat, dan bukan merupakan senjata rahasia yang berbahaya. Akan tetapi gadis ini dapat membunuh seekor kijang dari jarak jauh dengan penyambitan jarum, bahkan tanpa memeriksa lagi gadis ini dapat memastikan bahwa jarumnya sudah menancap di antara mata kijang itu dan tembus sampai ke otak! Hal ini, kalau memang benar, menunjukkan bahwa gadis ini adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Dan jarum itu pun tentu mengandung racun yang hebat. Untuk meyakinkan hatinya dia pun lalu berjongkok dan memeriksa kijang itu. Dan betapa kagumnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang benar pada kepala binatang itu, di antara kedua matanya, terdapat luka kecil kemerahan yang mulai membengkak dan mengeluarkan darah! Dia cepat bangkit berdiri dan kembali dia menjura dengan hormat. “Ahh, kiranya aku sedang berhadapan dengan seorang pendekar wanita lihai! Toan-lihiap, aku girang sekali dapat berkenalan dengan seorang gadis pendekar sepertimu!” “Ah, Siangkoan-kongcu terlampau memuji orang. Sebaliknya, aku pun pernah mendengar namamu dan melihat yangkim pada pundakmu tadi pun aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah Siangkoan-kongcu yang sudah sangat terkenal itu, putera dari locianpwe Pak-san-kui, bukan?” “Tepat sekali, lihiap.” “Ahh, jangan sebut aku lihiap, membikin aku merasa canggung dan malu saja.” “Baiklah, kalau begitu biarlah kusebut engkau Toan-siocia.” Siangkoan Wi Hong kemudian memanggul bangkai kijang itu. “Nona, setelah kita bertemu dan saling berkenalan di sini, aku mengundang nona untuk bersama-sama menikmati daging kijang ini. Akan kusuruh orang untuk memasak daging ini di rumahku. Silakan nona.” Demikianlah, kedua orang itu berkenalan dan Kim Hong lalu mengunjungi rumah pemuda hartawan itu. Sebaliknya, Siangkoan Wi Hong kemudian sering kali mengunjungi hotel di mana gadis itu bermalam, mengajaknya pelesir atau makan ke restoran-restoran terbesar di kota Tai-goan, mengajaknya pesiar dengan kereta. Maka dalam waktu beberapa hari saja hubungan antara mereka amat akrabnya. Demikianlah pertemuan antara Kim Hong dengan putera Pak-san-kui itu sampai mereka dilihat oleh Thian Sin yang membayangi mereka, kemudian Pendekar Sadis menyerang Siangkoan Wi Hong ketika melihat betapa putera datuk utara itu berpacaran dengan Kim Hong. Di dalam waktu beberapa hari itu, Siangkoan Wi Hong sudah sempat mengajak Kim Hong berkunjung pula kepada ayahnya. Pak-san-kui Siangkoan Tiang menerima perkenalan itu dengan hati gembira. Dia melihat bahwa bukan saja gadis itu sangat cantik dan menurut puteranya juga memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi juga mengingat bahwa gadis ini masih keluarga bangsawan tinggi, yaitu Pangeran Toan, maka dia merasa girang apa bila puteranya dapat berjodoh dengan gadis ini. Dan setelah dia mendengar bahwa Kim Hong adalah puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong seperti pengakuan gadis itu, maka diam-diam dia terkejut dan semakin kagum. Ia pernah mengenal pangeran pemberontak itu, dan maklum bahwa kepandaian pangeran itu tidak berada di bawah tingkatnya! Bahkan akhirnya ia pun mendengar bahwa sebelum meninggal, pangeran itu bersama istrinya telah menemukan ilmu peninggalan Menteri The Hoo sehingga kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Ketika Thian Sin menyerang Siangkoan Wi Hong dengan ganas karena pemuda ini sudah marah sekali sehingga ingin membunuhnya, Kim Hong membela sahabat barunya itu dan ketika Thian Sin melarikan diri karena pemuda ini tak mau berkelahi melawan kekasihnya, Kim Hong segera mengejar dan minta kepada Siangkoan Wi Hong untuk melapor kepada ayah pemuda itu. Dengan ginkang-nya yang memang lebih tinggi dari pada Thian Sin, Kim Hong berhasil membayangi pemuda itu tanpa diketahuinya, dan dara ini dapat melihat pondok kecil yang disewa pemuda itu di tepi kota. Maka dia pun cepat pergi meninggalkan tempat itu dan menyusul Siangkoan Wi Hong ke rumah Pak-san-kui. Pada waktu dia tiba di rumah datuk itu, ternyata Pak-san-kui telah mengumpulkan semua murid-muridnya dan ketika melihat Kim Homg datang, Siangkoan Wi Hong cepat-cepat menyambut dan memegang tangan dara itu. “Nona, bagaimana…? Dapatkah engkau mengejarnya?” “Aku tahu dimana dia, akan tetapi aku tahu dia lihai sekali, maka aku tidak berani turun tangan sendiri, dan aku cepat menyusulmu untuk memberi tahukan hal itu.” Akan tetapi Pak-san-kui memandang kepada gadis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, “Nona Toan, kenapa nona membantu puteraku dan memusuhi Pendekar Sadis?” Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba dengan suara keras penuh desakan, sebab kakek ini memang menaruh curiga dan sengaja bertanya secara tiba-tiba untuk membuat gadis ini tidak dapat berbohong tanpa diketahuinya. Akan tetapi gadis itu bersikap tenang saja, dan di bawah cahaya lampu yang terang itu nampak betapa gadis itu memandang kepada penanyanya dengan penasaran. “Ahhh, apakah locianpwe belum tahu? Bukankah Pendekar Sadis yang sudah membunuh pamanku, Pangeran Toan-ong di kota raja? Locianpwe, biar pun mendiang ayahku telah dianggap pemberontak oleh kota raja, akan tetapi dia telah diampuni, dan bagaimana pun juga, Toan-ong yang dibunuh Pendekar Sadis itu adalah pamanku sendiri. Sebab itu tentu saja aku menganggap Pendekar Sadis sebagai musuhku!” “Ayah, selain itu kami berdua pun saling mencinta. Aku… aku telah mengambil keputusan untuk memilih nona Toan sebagai calon jodohku, karena itu sudah sepatutnya apa bila dia membantuku ketika Pendekar Sadis menyerangku,” kata Siangkoan Wi Hong. Kim Hong mengerling ke arah pemuda itu dan sepasang pipinya berubah merah, akan tetapi gadis ini tidak berkata sesuatu. “Jadi engkau sudah tahu di mana dia berada, nona?” tanya Pak-san-kui Siangkoan Tiang. Gadis ini mengangguk. “Sebaiknya kalau malam ini juga kita menyerbunya, selagi dia lengah,” katanya. “Memang itu pun yang menjadi rencana kami,” kata Pak-san-kui. “Akan tetapi, kita masih menanti datangnya pasukan Siong-ciangkun.” “Ahh, jangan menggunakan pasukan, locianpwe!” Tiba-tiba saja Kim Hong berkata sambil mengerutkan alisnya. “Mengapa hanya menghadapi satu orang saja harus menggunakan pasukan? Locianpwe sendiri adalah seorang yang sakti, belum lagi locianpwe dibantu oleh putera locianpwe yang juga lihai, dan masih ada lagi murid-murid locianpwe yang terkenal pula. Dan jika locianpwe percaya kepadaku, aku pun dapat membantu. Bukan aku hendak menyombong, tapi kalau aku dibantu oleh Siangkoan-kongcu seorang saja, maka aku pun sudah akan mampu menandinginya!” Tentu saja Pak-san-kui menganggap gadis ini bicara sombong. Bagaimana pun lihainya, tidak mungkin gadis ini mampu melawan Pendekar Sadis. Dia sendiri saja merasa gentar menghadapi pendekar yang telah mampu menewaskan See-thian-ong dan para muridnya itu. Akan tetapi karena gadis ini pun merupakan pembantu yang lumayan, dia diam saja tidak menanggapi sikap yang dianggapnya sombong itu. Akan tetapi secara diam-diam Siangkoan Wi Hong mempercayai omongan gadis itu, oleh karena dia sudah melihat sendiri betapa gadis itu sanggup menandingi Pendekar Sadis, bahkan pendekar itu kelihatan gentar sehingga melarikan diri, “Ayah, apa bila Toan-siocia membantu kita, aku yakin kita akan mampu menghancurkan Pendekar Sadis!” “Locianpwe, sesungguhnya telah cukup lama aku sendiri pun ingin sekali bertemu dengan pembunuh pamanku itu dan membalas dendam. Oleh karena itulah, maka sekarang ini sama sekali bukan berarti aku membantu locianpwe, bahkan dapat dikatakan sebaliknya, pihak locianpwe yang membantu aku agar berhasil membalas dendam. Karena aku tidak mau gagal, maka kuharap locianpwe jangan mengerahkan pasukan.” “Hemm, mengapa nona mengatakan begitu?” “Pendekar Sadis adalah seorang yang amat lihai, apa bila kita menyerbu mempergunakan pasukan besar, tentu sebelumnya dia akan mengetahui lebih dahulu dan dapat melarikan diri sehingga usaha kita akan sia-sia belaka. Sebaliknya kalau yang menyergapnya hanya kita saja, yang semua memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka kita tentu akan bisa datang tanpa menimbulkan suara dan dapat menyergapnya, tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri. Sebab itu, kuusulkan agar locianpwe sendiri, dibantu oleh Pak-thian Sam-liong, Siangkoan-kongcu serta aku sendiri, kita berenam sudah lebih dari cukup untuk menandingi dan merobohkannya. Jangan membawa pasukan.” Pak-san-kui mengangguk-angguk. Kini dia melihat benarnya ucapan gadis itu, dan secara diam-diam dia girang bahwa puteranya dapat menarik gadis ini sebagai sahabat. Kini dia yakin pasti akan berhasil membalas dendam, bukan hanya mengalahkan Pendekar Sadis, bahkan membunuhnya. “Baik, kita berangkat sekarang tanpa pasukan!” katanya dan mereka lalu berangkat. Kim Hong berjalan lebih dulu sebagai penunjuk jalan. Pondok itu memang terpencil di pinggir kota. Dan malam telah larut, suasana amat sunyi. Agaknya semua penghuni rumah sudah tidur dan tidak terdengar suara apa pun. Dengan hati-hati Kim Hong memberi isyarat-isyarat kepada teman-temannya dan mereka berenam mengurung pondok kecil itu. Kim Hong sendiri bersama Pak-san-kui menghampiri pintu depan, dan terdengarlah Pak-san-kui berseru, seperti yang telah mereka rencanakan, “Pendekar Sadis! Kami telah mengetahui tempat sembunyimu. Keluarlah untuk menerima kematian!” Sejenak sunyi saja. Pak-san-kui yang menjadi tidak sabaran itu menggedor pintu. “Pendekar Sadis, keluarlah, kalau tidak, akan kurobohkan pondok ini!” “Jangan robohkan pondokku…!” Terdengar teriakan lantas pintu depan terbuka, seorang laki-laki tua keluar dari pintu itu. Dari dalam terdengar suara nyaring, “Paman, jangan keluar!” Akan tetapi terlambat sudah! Melihat seorang pria tua keluar, Pak-san-kui menggerakkan huncwe-nya. Terdengar jerit orang itu yang langsung terpelanting roboh tak bergerak lagi. Pak-san-kui sendiri sampai terkejut. Tak disangkanya bahwa orang yang keluar itu sama sekali tidak memiliki kepandaian silat sehingga begitu mudah roboh dan tewas. Karena menurut Kim Hong rumah itu adalah tempat Pendekar Sadis bersembunyi, maka tentu saja dia tadi menyangka bahwa yang keluar tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, membunuh orang, baik bersalah mau pun yang tidak, bagi datuk ini tiada bedanya, maka dia pun sama sekali tidak peduli. Puteranya, murid-muridnya dan juga Kim Hong memandang tanpa mempedulikan, melainkan memperlihatkan ke dalam pondok melalui pintu yang kini telah terbuka. Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok itu, juga tak nampak sesuatu yang muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah langsung meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas. Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong namun sama sekali dia tak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah ketika melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka! Tadi pun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan ternyata gadis itu kini agaknya sudah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri di dalam hatinya, lebih nyeri dari pada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi. Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, dia pun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa amat nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka dia pun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walau pun mengandung teguran keras. “Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Pak-san-kui?” Kemudian dia melayang turun ke depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. “Pak-san-kui, tua bangka keparat! kalau memang engkau datuk dan laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah bersama dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!” Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa lantas berkata dengan nada menghina, “Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau sudah buta dan tidak melihat dengan siapa kau sedang berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup, siapa yang butuh bantuan untuk mengeroyokmu?” Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan sesudah mendengar gadis itu berkata demikian, tentu saja dia akan merasa rendah dan malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka dia pun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya. “Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tentu tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!” Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dia maksudkan, tiba-tiba saja Pak-san-kui telah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe itu, kemudian menjadi cahaya yang menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin. Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong juga melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu lantas mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangan ke arah kepala Thian Sin. “Dukkk!” Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang sangat berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula. Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tempat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-sam-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Namun mereka tahu bahwa jika sampai Pak-san-kui terdesak, maka mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka, Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong. “Adik manis, jika dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang amat berbahaya sekali.” Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian. Dan perkelahian itu memang sangat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, ia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik. Akan tetapi sekarang dia sudah tidak membutuhkan lagi akal seperti itu. Lagi pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andai kata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil. Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu lalu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong oleh Thian Sin. Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis huncwe dengan lengannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sinkang. Thian Sin bisa melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini kini telah mendapat kemajuan yang cukup banyak, maka dia pun lalu mulai merubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sukar itu, lawan telah terdesak hebat! Pak-san-kui juga mengenal jurus-jurus itu, tetapi hanya mengenal kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia merasa bingung sebab mengandung daya serang yang tak pernah diduganya sama sekali, dan selain itu juga sangat hebat. Di dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terhuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, “Tahan dulu!” Siangkoan Wi Hong amat terkejut ketika melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, “Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Oleh karena tingkat kepandaian kalian masih terlalu rendah, maka kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Heiii, Pendekar Sadis, kau tinggalkan dahulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan huncwe maut!” Setelah berkata demikian, Kim Hong kemudian meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui! Perubahan sikap gadis ini sungguh membuat semua orang tercengang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi terkejut dan marah sekali, maka sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh. Biar pun hatinya panas kalau teringat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dengan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuat hatinya gembira sekali maka begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, dia pun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan bertubi-tubi. Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan senjata yangkim-nya, menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan. Pemuda hartawan ini merasa kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya sudah terjerat olehnya, ternyata sekarang malah membantu Thian Sin! Maka timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik terhadapnya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu. Dan teringatlah dia betapa gadis itu yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan! Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan ia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suheng-nya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu. Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya itu dengan sikap tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak jika dia menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, dia pun cepat mencabut Gin-hwa-kiam kemudian memutar pedangnya untuk melindungi dirinya sambil kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut. Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walau pun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui. Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa tiba-tiba gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong. “Bagus!” bentaknya. “Memang mata anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!” Kakek itu lantas menghisap huncwe-nya kemudian sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya yang dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung huncwe! Benar-benar merupakan serangan maut yang amat hebat. Sejak tadi Kim Hong sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan ginkang-nya yang amat istimewa, segera melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kiri kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua tiga panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada! “Hih!” Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu. Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain sangat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan nafas, maka terpaksa Kim Hong berjungkir-balik di udara, dan itu saja telah menunjukkan kemahiran ginkang yang sangat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang dari tangan kirinya ke tangan kanan sehingga tangan kanan itu memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak. Sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui. “Uhhhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwe-nya untuk menangkis. Terdengar suara nyaring berkerincingan pada saat jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang kembali dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanyalah dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung laksana dua ekor naga hitam mengamuk. Pak-san-kui menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka! Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main. “Tahan...!” serunya dan dia pun meloncat kebelakang. Kim Hong lalu menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada dan memandang sambil tersenyum mengejek. “Pak-san-kui, kini engkau hendak bicara apa lagi?” tanyanya, kini lenyap sikapnya yang tadinya menghormat terhadap datuk itu, berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan. Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin dengan empat orang yang mengeroyoknya. Agaknya puteranya, dan juga ketiga orang muridnya, menyangka bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempat pun meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga turut menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu. “Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan juga tentang Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?” Pertanyaan ini persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab persis seperti saat dia menjawab See-thian-ong, “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong saja!” “Tapi… tapi…, Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku…” “Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku katakanlah, tua bangka!” bentak Kim Hong. Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Dia tahu bahwa gadis ini ternyata amat lihai, dan mungkin sekali telah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia takut menghadapi gadis ini, tetapi kalau gadis yang selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh pihaknya sangat berbahaya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar sekali dan dia pun membentak, “Bocah yang bosan hidup!” Dan huncwe-nya sudah menyerang lagi. Kim Hong tersenyum mengejek lantas menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum-senyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap saja membagi perhatiannya untuk Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu. Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak dia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja dia memperoleh lawan yang cukup tangguh. Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya bahkan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang diserahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian dia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang menggembirakan karena memang lihai sekali. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian serta tenaganya, barulah dia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu. Di lain pihak Pak-san-kui terkejut bukan main sesudah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak mampu mengatasi gadis itu! Jurus apa pun yang dikeluarkannya selalu dapat dibendung oleh gadis itu, sementara dia sendiri dengan setengah mati baru sanggup menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apa lagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang tingkat kepandaiannya agaknya tidak dibawah Pendekar Sadis sendiri. Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat. Sesudah membiarkan Kim Hong menghadapi serta ‘merasakan’ kelihaian datuk utara itu selama lebih dari lima puluh jurus, tiba-tiba Thian Sin melompat dan meninggalkan empat orang pengeroyoknya lalu menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong. “Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!” Kim Hong tertawa dan gadis ini pun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka dia pun menjadi marah sekali. “Perempuan hina, rasakan pembalasanku!” Yangkim-nya menyerang ganas, lantas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda! Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yangkim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, dia pun mengerahkan segenap tenaganya. “Trakkk!” Memang Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, ujung yangkim-nya pecah terbabat oleh pedang hitam! Dan Kim Hong masih terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu pula Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali dia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat. Apa lagi Siangkoan Wi Hong juga telah mengalami kekagetan karena ujung yangkim-nya sudah patah. Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya dengan mesra itu ternyata memiliki ilmu kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiri pun tidak mampu mengalahkannya. Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin dan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perubahan. Kini Thian Sin mulai mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan cahaya lampu di depan pondok itu biar pun hanya suram saja namun masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Tapi Thian Sin terus mendesaknya dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang. “Tranggggg…!” Kembali dua senjata itu saling bertemu dan kali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu langsung terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui telah menggerakkan lengan kirinya yang bisa memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu sudah menangkap kaki kanan Thian Sin. Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan dia pun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang sudah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah. “Crokkk!” “Aughhhhh…!” Pak-san-kui meloncat berdiri kemudian terhuyung ke belakang. Lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku tetapi tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan segera melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia langsung menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah. “Trangg! Tranggg…!” Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin segera menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada waktu kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, sekarang menggunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu segera menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin, tetapi pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan mendadak Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng! “Ahhhh…!” Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini mempunyai ilmu Thi-khi I-beng yang mukjijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu akan menggunakannya pada saat itu. Kini huncwe-nya melekat pada tangan pemuda itu dan pada waktu dia sedang mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot huncwe, pemuda itu juga mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sinkang yang tersalur lewat tangan kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dengan menghentikan pengerahan sinkang-nya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lweekang-nya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba saja merenggut lepas huncwe-nya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui. “Prakkk!” Huncwe itu remuk, pecah berantakan, namun tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah! Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu kemudian meloncat mendekati untuk memeriksa apakah betul lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat. “Dessss…!” Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang sesudah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun. “Cusss…!” Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Bahkan disangkanya kakek itu sudah mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi! Ternyata kakek itu telah tewas sesudah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruk dirinya tadi! Dia telah menggunakan tenaganya yang terakhir dalam tendangan tadi dan sesudah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi. Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Dia pun tidak membantu, hanya menonton saja sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia merasa semakin kagum kepada Kim Hong. Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Tapi jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan ginkang-nya yang luar biasa dia seperti beterbangan ke sana ke mari, laksana seekor kupu-kupu yang lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan angin dahsyat dan suara berdesing-desing sehingga membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Malah barisan Sha-kak-tin itu pun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong turut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dalam bentuk segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biar pun dasar ilmu silat mereka masih dari satu sumber, namun kehadiran Siangkoan Wi Hong ini justru tak memungkinkan lagi bagi mereka untuk memainkan Sha-kak-tin secara sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan mereka pun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka ini sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Namun akibatnya malah mereka sendirilah yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam! Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Dia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi masih belum mau merobohkan mereka. Dia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dulu, dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah dia tersenyum. “Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringi guru kalian pergi ke neraka!” Dan gerakan pedangnya pun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali cahaya hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tidak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang menjadi marah bukan kepalang menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali cahaya hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus akibat terbabat cahaya hitam pedang Hok-mo Siang-kiam. Kini tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri yang harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia segera maklum bahwa tak mungkin dia dapat melarikan diri lagi maka dia pun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yangkim ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu! Akan tetapi, dengan mudahnya Kim Hong dapat mengelak dari sambaran yangkim, lantas sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, dia telah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu sudah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang sangat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong kaget sekali dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja Kim Hong memutar kepalanya sehingga tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa oleh putaran itu, lantas diputar beberapa kali dengan amat kuatnya, dan akhirnya belitan rambut itu terlepas. Tubuh Siangkoan Wi Hong langsung melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi telah membuatnya tak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tak mampu mengelak lagi. “Prokkk!” Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak akibat tamparan yang dilakukan oleh Thian Sin dan dia pun tewas tak jauh dari mayat ayahnya. Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan. “Kim Hong…” “Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita akan repot juga.” Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Mereka baru berhenti setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti dengan sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walau pun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong! MEREKA berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorang pun manusia lain di sekitarnya. “Kim Hong,” kata Thian Sin yang semenjak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dalam dada, sebab ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah sengaja hendak mengajaknya berlomba. “Sekarang aku minta penjelasan darimu.” Kim Hong tersenyum, mempergunakan sapu tangan sutera hijau untuk menghapus peluh dari leher dan dahinya, kemudian menggunakan sapu tangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, dia pun lantas menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum. “Penjelasan apa lagi?” tanyanya sambil mengerling, dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan. Thian Sin mengerutkan kedua alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya sehingga dia menjadi tidak sabaran. Dia pun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau. “Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa… kenapa engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?” Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian dia mencabut sebatang rumput, lantas menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih bagaikan deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu. “Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Bila engkau tidak mengerti kenapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tetap saja tolol dan aku tak mau memberi tahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kau sohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan pada waktu aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku lalu mencegahmu. Aku pura-pura bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya, dan melihat keadaan mereka sangat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau sanggup mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, lalu engkau lari, dengan diam-diam aku membayangimu dan tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya serta tiga orang muridnya menyerbu, bukankah itu adalah hal yang kau tunggu-tunggu?” cerita silat online karya kho ping hoo Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong segera mengelak. “Kim Hong, maafkan aku. Ternyata engkau melakukan semuanya itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kau maafkan aku!” Bibir bawah yang lunak itu lantas mencibir, “Hemmm, untuk salah pengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya jika engkau salah mengerti. Hal ini justru membuat penyelidikanku menjadi sempurna.” “Kim Hong, apa bila engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti.” “Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?” Kim Hong mengejek. “Kim Hong… aku minta kepadamu, jangan kau biarkan aku dalam kebingungan. Kuharap engkau suka menjelaskan mengapa engkau meninggalkan aku dan kenapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong.” Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. “Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberi tahu, akan tetapi kalau setelah ini engkau tidak mau minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Kau dengar baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau juga telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di hadapan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan laki-laki lain, tanpa peduli siapa pun laki-laki itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu bahwa engkau membayangi kami, dan memang aku ingin engkau melihat hal itu! Nah, kini aku telah memberi penjelasan!” Kim Hong bangkit berdiri kemudian membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu. Thian Sin menjadi bengong sejenak, namun ketika melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walau pun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka dia pun segera menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan dia pun berkata, “Kim Hong, kau ampunkanlah aku, Kim Hong.” Sikap serta ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini dia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan. “Kim Hong, aku mengaku salah… aku… tidak sengaja, melihat dia menghadapi kematian, aku terharu dan… ahhh, ampunkan aku, Kim Hong, aku… cinta padamu.” Akan tetapi walau pun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di hadapannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan sapu tangan. “Kim Hong, maukah engkau memaafkan dan mengampuniku?” Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang. Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, “Kalau aku tidak sudah mengampunimu semenjak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kau kira saat ini kau masih dapat hidup?” Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang dia pun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui dan turut mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia tak akan mungkin dapat menang. Hanya menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong. Maka apa bila Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apa lagi di sana masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi jika diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu tadi dia sudah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapa pun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya. “Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh akulah yang tolol, dan aku sangat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?” Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. “Tolol, jika aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?” “Kim Hong…” Mereka lalu berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan segenap kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta birahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas. Senggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tak bisa terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang amat suci, karena di dalamnya terkandung kemukjijatan besar, yaitu perkembang biakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya. Sungguh sayang bahwa semenjak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tak akan terbebas dari pada perbuatan itu pula. Sementara bahkan ada pula pandangan dari orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa senggama adalah sebuah hal yang ‘kotor’ untuk dibicarakan. Mengapakah kita tak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, malah banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila bila mana membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di sanalah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si ‘aku’? Ataukah karena begitu saratnya kata senggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang hal itu dianggap tak layak dikemukakan kepada kita yang ‘berbudaya’, yang ‘sopan’, yang ‘bersusila’? Kenapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walau pun tidak seorang pun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi tidak malu melakukannya, walau pun dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah ini munafik namanya? Memang, seperti juga orang makan, apa bila senggama dilakukan orang hanya sekedar untuk mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, apa bila hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin ‘makan’ lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan senggama, jika dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu birahi semata dan hal ini akan menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinahan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau senggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan senggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung. Perbuatan apa pun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali senggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, sedikit pun tidak terdapat kekerasan, di sana yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah senggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak. Bahkan kenikmatan itu datang karena ingin membahagiakan partnernya. Inilah senggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang. Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa senggama hanyalah suci dan bersih apa bila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan merupakan sesuatu yang kotor karena di situ juga terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, sangat perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa senggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda atau lainnya. Anak-anak kita perlu mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemukjijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembang biakan manusia. Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih sebagai penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran diri sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata mau pun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang yang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang tergambar di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya jika di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi sambil memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apa pun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang sering kali mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita. Sang Pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu birahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu birahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si ‘aku’ yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan. Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya. Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi sehingga membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi sebuah kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lantas menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk. Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah kini mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walau pun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri. *************** “Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?” Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapa pun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. “Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!” “Ibu, apakah dalam hal ini ibu hendak menonjolkan kedudukan?” puteranya membantah. Kini Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walau pun dia mewarisi kekerasan hati ibunya. “Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumu pun sejak muda dikenal sebagai seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu telah mendengar perkumpulan macam apa yang dinamakan Mo-kiam-pang yang diketuai serta didirikan oleh Tung-hai-sian itu. Mereka itu menguasai seluruh dunia perbajakan.” “Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin supaya menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!” Pemuda itu berbicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya sehingga sadar bahwa dia bicara terlampau keras kepada ibunya, maka langsung disambungnya dengan suara halus, “Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi saat aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan orang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?” “Betapa pun juga, orang tua serta keluarganya tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu.” Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia lalu menarik napas panjang dan berkata, “Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari dengan perhitungan-perhitungan yang semuanya mengandung kebenaran. Akan tetapi betapa pun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain sehingga terjadilah perselisihan dan kalau sudah demikian, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapa pun tepat semua pendirianmu tadi, akan tetapi kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampur tanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekali pun, biasanya tak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kau ingat akan hal ini.” Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itu pun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Dia tahu betul akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya dia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi tetap saja dia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan alangkah sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, dia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan terhadap isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya dapat berjodoh dengan seorang dara yang bisa memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu. “Lagi pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat.” Mendengar ini, Yap In Hong segera mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyuman penuh harapan. “Itulah harapanku, dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta.” Kong Liang sungguh maklum apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi di dalam perasaan ibunya. Maka dia pun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. “Percayalah, ibu, selama ini aku sudah bertemu dengan banyak wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Di samping cantik jelita, dia juga sangat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan semua gerak-geriknya, pakaiannya, sangat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walau pun dia adalah anak orang kaya.” Ibunya tersenyum. “Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Dahulu ayahmu juga menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!” “Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!” Kong Liang berseru. “Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!” Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini lantas tersenyum dan berkata, “Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!” Mereka bertiga tertawa-tawa gembira sehingga suasana menjadi tenang dan akrab kembali. Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka mulai melihat kenyataan betapa putera mereka memang sudah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. “Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja,” kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. “Biar pun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu hanyalah berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu sudah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andai kata gagal sekali pun tidak langsung membikin malu.” Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya kalau melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian, kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya. Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat girang dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu, Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Dia juga mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan. Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. “Kong Liang, pernikahan bukanlah sebuah hal yang remeh sehingga patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau sudah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kau akui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih sangat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan kalian ditunda dulu selama beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah kalau terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki.” Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja di dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga bukan kepalang itu mendapatkan kesempatan untuk menikmati kebanggaannya. Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh sangat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggota Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru dan diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah datang lebih dahulu dan terjadilah pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut dengan penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan. Tung-hai-sian Bin Mo To merasa berbahagia dan bangga bukan kepalang. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, sungguh pun keturunan samurai sekali pun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh bangsa Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapa pun juga, tak dapat diingkari bahwa dia adalah seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar dalam dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang sangat disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengan putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biar pun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau pun kaum pendekar, semuanya dikirimi undangan. Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aslinya Minamoto itu dibanjiri oleh tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan sangat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, juga penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan berikut kue-kue ringan disuguhkan sebelum hidangan dikeluarkan, dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah kelihatan gembira seperti biasanya tampak di dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan berjumpa dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk satu meja. Kelompok memilih kelompok, dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik. Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka yang berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, sambil mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Dan untuk keperluan ini Bin Mo To tidak ingin melupakan asal-usulnya, maka dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seekor harimau. Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, tapi akhirnya mereka juga muncul di pinggiran. Bagaimana pun juga, Bin Mo To merasa amat sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dan masih nampak cantik dengan pakaian Korea yang khas. Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka ia pun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walau pun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini mempunyai bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biar pun dia menjadi tokoh utama di dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, tapi pakaiannya yang indah itu tidak terlampau menyolok, bahkan mukanya tidak dibedaki terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon menantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiri pun merasa amat puas. Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, segera menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biar pun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak amat berwibawa meski pun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata. Akan tetapi pada saat itu pedang Hong-cu-kiam menjadi ikat pinggang atau sabuknya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih kelihatan gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam. Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini memiliki sikap yang agak tinggi hati. Betapa pun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai. Tempat pesta sudah penuh oleh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, disesuaikan dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu anak murid atau anggota-anggota dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal. Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit berdiri dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu. Dia berjalan ke pinggir panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisik itu pun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan sepasang kaki terpentang, lantas dia mengangkat dua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu. “Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita semua dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi sudah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang mulai saat ini sudah dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya.” Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya. “Bagi kami, ikatan perjodohan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kami pun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Mulai saat ini juga kami hendak mencuci tangan membersihkan diri supaya tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!” Si Pendek ini kemudian mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya. Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggota dari Mo-kiam-pang, segera bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Tentu saja papan nama itu terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian. Sejenak kakek ini menatap papan nama itu dengan muka yang agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang lantas begitu tangannya bergerak, nampaklah bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tidak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata, “Mulai saat ini juga Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggota Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami.” Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian itu membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan serta perlindungan Mo-kiam-pang! Benar-benar merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat mau pun kaum pendekar. Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya, kemudian suaranya mengatasi semua kegaduhan, “Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!” Semua orang lalu memandang dan suasana menjadi sunyi. “Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, dan tak ada pula sebutan Datuk Dunia Timur! Mulai saat ini saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya sudah mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!” Pengumuman ini benar-benar mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan serta nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka kini menjadi lemah. Apa lagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar sebab memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya justru melebihi kekejaman golongan sesat yang mana pun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk ini pun mengundurkan diri. Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di sana bangkit berdiri lantas berseru, “Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan yang jelas, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?” Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, bersama murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, sedangkan Lam-sin dikabarkan lenyap tanpa meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul pula di selatan. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka semua orang tentu saja dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan hingga semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya segera berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu. “Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang tadi mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walau pun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang sudah berani memandang rendah kepadanya seperti itu! “Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang.” Bagaimana pun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena rata-rata mereka pun merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya serta melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah. “Tadi sudah kunyatakan bahwa sesudah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin lagi kami melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimana pun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Karena itu, demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapa pun juga.” “Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!” Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang sehingga semua mata lalu memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang berbicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya tampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang amat ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikit pun dia tidak kelihatan malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandangan mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya. Tung-hai-sian Bin Mo To memandang pada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah salah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi, karena yang memakinya bohong dan penakut hanyalah seorang gadis muda remaja, sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, tentu saja terpaksa Bin Mo To menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum lantas berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang. “Agaknya nona ingin mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya lebih dulu nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona.” Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali. Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali, kemudian tubuhnya telah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena dia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu ginkang yang sangat tinggi. Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Ginkang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya telah tinggi. Maka, dia pun tak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat. “Kiranya nona adalah seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau sebagai tuan rumah yang telah tua kami tak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona.” “Aku bernama Toan Kim Hong. Mengapa aku mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindar dari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu hendak menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?” Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau saja hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai, tentu dia langsung mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanyalah sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apalah artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Sebab itu, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit. “Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekali pun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab-sebab yang jelas, apa lagi sekarang sesudah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa.” Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Pada waktu Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai beserta isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa amat sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada waktu itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu telah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian hingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah. “Tung-hai-sian! Kini Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, apa bila engkau tidak berani, katakan saja bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini dan membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!” Wajah Bin Mo To menjadi pucat sekali dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?” Dan nampaklah sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw telah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah ke lehernya. Akan tetapi ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itu, menahan serangan puterinya. “Anakku, hari ini merupakan hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji,” kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang. “Hemm, anaknya jauh lebih gagah dari pada ayahnya!” Kirn Hong sengaja mengejek dan dia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi. Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa. “Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!” Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tak merasa gentar menghadapi wanita itu biar pun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya terasa agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya menantunya yang dia tahu amat lihai, apa lagi ketika itu di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar, maka dia pun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, “Harap engkau berhati-hati.” Lalu dia pun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka. Sekarang Cia Kong Liang telah berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu tanpa menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis dia pun berkata, “Ahhh, kiranya inikah putera ketua Cin-ling-pai yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih menantu!” katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu berbicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja. Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. “Engkau tadi mengatakan bahwa kini Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya sebab aku yang mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar mengenai kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!” Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum dengan kegagahan sikap pemuda ini. “Hemmm, tentunya kau she Cia, bukan? Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu sangat tinggi. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan orang lain. Kalau orang lain yang hendak maju, maka akulah lawannya!” Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. “Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapa pun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!” Sambil berkata demikian, Kong Liang telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang sangat baik dan mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding. Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirnya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang kesaktiannya telah amat terkenal itu. Maka timbullah kegembiraannya sehingga dia pun ingin mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, dia pun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan kalau harus melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri. “Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!” katanya dengan manis kemudian dia pun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan. Sikap Kim Hong seperti tengah menghadapi suatu permainan atau pertunjukan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seakan-akan dia tidak tahu bahwa dia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar. “Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!” berkata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan. “Hik-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!” tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanannya menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri. “Lihat serangan!” Kong Liang yang bagaimana pun juga merasa tak enak harus melawan seorang dara muda, lalu membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong segera menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan tenaga karena dia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sinkang yang kuat. “Cringgg…!” Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan setengah tenaganya, menjadi terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walau pun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sinkang yang kuat. Maka dia pun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya. Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis. “Tranggg…!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan sangat kerasnya dua batang pedang itu bertemu, lantas pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokan Kong Liang! Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tak kalah kuatnya, bahkan di saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya telah menusuk ke arah tenggorokannya. Dia cepat-cepat miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengan sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis. “Bagus!” Kong Liang memuji dengan sejujurnya. Mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus dari Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai, maka kehebatannya bukan main. Aslinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiri pun tidak mampu jika harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biar pun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, akan tetapi ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main. Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Dia merasa amat tertarik sehingga untuk belasan jurus lamanya dia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan. “Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai? Hebat… hebat… hebat…!” Dia menangkis kembali dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Kini sepasang pedangnya sudah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Dia pun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Penakluk Iblis) dan karena dia memiliki ginkang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung. Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan menggunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat digunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat. Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mengerahkan seluruh tenaganya sambil mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimana pun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya! Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan kepalang melihat kenyataan yang pahit ini. Tidak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang sangat lihai itu pun menjadi kewalahan! Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya, maka dia pun teringat bahwa kalau sampai dia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok! Akan tetapi pandangan mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal ginkang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapa pun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itu pun tak bermaksud jahat terhadap puteranya. Maka pendekar ini pun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang. Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, pada waktu melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran kenapa tiba-tiba dapat muncul seorang dara yang begini lihainya. Apa lagi ketika dia melihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran. Apakah dara ini adalah murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis? Bukankah Lam-sin tiba-tiba lenyap setelah kedatangan Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu...?


PENDEKAR SADIS JILID 31 :
PARA tamu terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka semua tak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semuanya takjub menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini. Kini perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru yang makin mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit. Akhirnya terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan peluhnya membasahi dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang di depan dada, mulutnya tersenyum. Dalam jurus terakhir, biar pun dia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun dia telah mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda ini pun maklum bahwa kalau saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tak mungkin dia akan celaka dan dirobohkan. Akan tetapi tentu saja Kim Hong tidak menghendaki hal itu terjadi, dia tidak mau merobohkan paman dari kekasihnya. “Kim Hong, jangan kurang ajar engkau!” Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak enak sekali. “Paman, maafkanlah kelancangan nona ini…” Thian Sin memberi hormat kemudian cepat menyambung, “biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman.” Cia Kong Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya, sejenak menatap tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya. Wajah Thian Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi. Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, “Kau mencari gara-gara!” Kim Hong tersenyum. “Hi-hik, bukankah aku telah membuka jalan bagimu? Sekarang kau hadapi sendiri!” Gadis itu pun melayang turun lantas duduk di sudut menjauhi para tamu lain. Para tamu memperhatikan wanita ini, tetapi Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara lantang. Apa lagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam. Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang pendekar yang ditakuti itu. “Seperti tadi telah dikatakan oleh temanku Nona Toan Kim Hong, kedatanganku ini adalah hendak menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku, walau pun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tak pernah sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah serta bertekad hendak mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang Tung-hai-sian mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar dan jangan melibatkan orang lain. Marilah kita mulai dengan disaksikan oleh banyak tokoh segala kalangan.” Tung-hai-sian yang telah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, kini melangkah maju dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, “Sebagai tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah lama kami dengar namanya. Tidak hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sangat terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!” Dengan gerakan yang amat cepatnya kakek itu mengambil pedang samurainya sehingga terlihat kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang telah bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi sungguh cepat sekali. Akan tetapi… “Trakk!” terdengar bunyi nyaring dan pedang samurai itu sudah patah menjadi dua potong di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas panjang dan berkata lagi. “Orang muda, entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau engkau masih belum puas juga sehingga hendak menyerang dan hendak membunuhku, silakan!” Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk memukul dan membunuhnya. “Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!” Menghadapi sikap seperti itu, Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus bicara atau bertindak. “Orang muda, maafkan jika aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia kang-ouw sehingga aku tahu benar bahwa nama besar hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda, yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini? Ingatlah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan? Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini sebab sekali waktu akan bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya.” “Wah-wah-wah, sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!” tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini telah meloncat lagi naik ke atas panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. “Tua bangka, tidak perlu banyak cakap. Kalau engkau memang jeri dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah aku, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat dirinya menjadi datuk timur?” “Nona muda, aku belum mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?” kata Tung-hai-sian dengan sabar. “Sesudah melihat sepasang pedang dan ilmumu, aku yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu. Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?” “Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kau hadapi aku saja yang menantangmu!” “Bocah bermulut lancang dan bersikap sombong!” tuba-tiba terdengar bentakan nyaring. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah, kedua matanya berkilat dan jelas bahwa dia marah sekali. Ia memandang kepada Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu. “Ceng Thian Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusia keji yang berjuluk Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi engkau malah memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu. Hayo, majulah dan tandingi aku! Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kesadisanmu!” Nenek ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan. “Ahh… tidak… tidak…!” Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung. Kini Yap In Hong menghampiri Kim Hong. “Dan engkau, engkau bocah perempuan tidak tahu malu, sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh? Mari, mari kau hadapi aku. Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak dalam menghadapimu. Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!” Kim Hong terkejut melihat nenek yang sangat galak luar biasa ini. Namun diam-diam dia merasa kagum sekali. Biar pun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang hebat. Dan ketika mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah dia bahwa memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka dia tersenyum mengejek. “Wah, galak-galak amat kau, nenek tua!” “Keparat, terimalah seranganku!” bentak Yap In Hong. Wanita ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, dia sudah menggunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan yang membawa angin berdesir dahsyat ini, Kim Hong juga cepat-cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Dukk! Dukkk!” Dua kali kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya segera terdorong ke belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang sangat tangguh. Maka dia pun mengeluarkan bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In Hong. “Kim Hong, jangan melawan! Jangan kurang ajar!” Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong tidak mau mempedulikannya dan dia memang sudah saling gempur dengan nenek itu, saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan seekor domba. Tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar bentakan, “Tahan!” Pada saat itu juga Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya segera bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Dia terkejut sekali dan melihat bahwa di depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong bagaikan mata naga sakti dan tahulah dia bahwa di hadapannya itu berdiri ketua Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia ini memang hebat sehingga dia sungguh ragu-ragu apakah dia akan mampu menandingi ketua Cin-ling-pai ini. Sementara itu, Thian Sin sudah melangkah maju dan menghalang di depan Kim Hong lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. “Mohon maaf… mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya sungguh tak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian kini telah berbesan dengan keluarga Cia… maka harap sudi memberi ampun dan sekalian saya pun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!” Sesudah memberi hormat, dia pun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali loncatan saja, kedua orang muda itu pun lenyap dari tempat itu. “Bukan main…!” Terdengar Bin Mo To berseru kagum. “Dia betul-betul seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu… ahh, benarkah dia murid Lam-sin?” Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan sedikit terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi. Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi dengan setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek. “Engkau memang seorang manusia yang tidak berjantung!” Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan. “Ehh? Tidak berjantung?” Thian Sin memandang heran. “Ya, tidak berjantung, tidak mengenal budi!” “Apa maksudmu, Kim Hong?” “Aku mati-matian membelamu dan membantumu, engkau tak berterima kasih sebaliknya engkau malah membikin malu kepadaku! Engkau mau saja mengalah, mau saja mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?” “Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku bisa menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong.” “Huh! Engkau takut? Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, mengapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?” Kim Hong mencela. “Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tidak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau demikian aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tidak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang sesudah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya? Apa lagi engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa.” “Huh!” Kim Hong masih terus merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, kemudian menciumnya dengan mesra sambil berbisik. “Betapa pun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu.” “Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?” “Habis, engkau mau apa lagi? Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar harus bertaruh nyawa sekali pun!” kata Thian Sin sungguh-sungguh. Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong langsung melepaskan diri dan berkata, “Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku walau pun dengan taruhan nyawa?” “Tentu saja… asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia…” “Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kau kenal.” “Siapakah dia? Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?” “Dia adalah musuh ayah… atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, semenjak dulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah.” “Kenapa sampai sekarang belum juga kau lakukan? Bukankah dengan kepandaianmu…” “Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiri pun dulu sampai jeri karena orang itu sangat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau tadi telah berjanji untuk membantuku.” “Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu.” Kim Hong lantas bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggap tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak sehingga pangeran ini pun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak. Pangeran Toan Su Ong tidak merasa gentar menghadapi pengejaran kaisar, namun ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suheng-nya yang sesudah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suheng-nya itu memiliki ilmu silat yang hanya satu tingkat lebih tinggi dari padanya, dan pada saat Toan Su Ong telah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua tentulah mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi suheng-nya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini. Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Karena itu Toan Su Ong juga tidak berani melawan suheng-nya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suheng-nya itu menjadi gurunya yang telah tiada. Karena rasa takutnya terhadap suheng-nya yang membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya pada waktu dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena dia mendengar penuturan ibunya. Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimana pun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta akibat suheng-nya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Maka dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya bila Kim Hong menaruh dendam lantas hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya. “Akan tetapi, apakah supek-mu itu sekarang masih hidup? Siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?” “Ketika aku masih menjadi Lam-sin, pernah hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan sudah kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku terus menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Kini dia telah mengasingkan diri sesudah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya lantas dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!” Gadis itu mengepal tinju. “Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana dia kini berada.” “Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia sudah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai…” “Ahh! Di Kun-lun-pai?” Kim Hong mengangguk. “Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam goa di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai.” Thian Sin mengerutkan alisnya. “Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?” Gadis itu menggeleng kepalanya. “Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukan Kun-lun-pai, melainkan perguruan yang tidak memiliki partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suheng-nya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia lalu menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?” Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang. “Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong.” “Andai kata dia adalah anggota Kun-lun-pai, engkau menjadi jeri dan takut kemudian tidak berani membantuku?” “Bukan jeri mau pun takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar dan di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, maka sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku.” “Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?” “Tentu saja aku mau!” “Kalau perlu dengan taruhan nyawa?” Thian Sin mengangguk dan mendadak Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu. *************** Kun-lun-pai adalah sebuah di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok. Bila Siauw-lim-pai semenjak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha, maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh beragama To yang berilmu tinggi. Seperti juga Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai, bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio, Kun-lun-pai memiliki banyak murid yang menjadi anggota Agama To atau To-kauw. Memang dalam hal tata tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas dari pada Agama Hud-kauw (Buddhis). Akan tetapi, mengenai tertib pelajaran ilmu silat, Kun-lun-pai juga sangat ketat menjaga murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid Kun-lun-pai ‘turun gunung’ kalau ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi dan sudah lulus dari ujian. Hal ini selalu dilakukan oleh partai-partai persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai. Agaknya karena ada peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi makin terkenal, karena setiap murid dari kedua partai ini selalu mampu mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak terjang mereka yang gagah dan juga lihai. Yang menjadi pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu, dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka di dalam mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggota itu. Kui Im Tosu merupakan ketuanya dan tosu ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid, dan kalau pun dia mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sute-nya yang bernama Kui Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu. Kedua orang tosu ini jarang memperlihatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat sepak terjang para murid mereka, yaitu para jagoan atau pendekar-pendekar Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat. Murid-murid Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap, dan sekarang ada dua puluh lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu. Perumahan bagi para penghuni kuil dan para murid ini dikurung oleh pagar tembok yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Di dalam daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk mereka, berupa bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu dan mempunyai banyak goa-goa buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para murid Kun-lun-pai untuk bersemedhi sebagai penggemblengan batin. Karena tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan bisa mencurahkan perhatian mereka baik terhadap pelajaran silat mau pun pelajaran agama sebagai penggemblengan mental. Seluruh perguruan silat yang tinggi, juga para guru silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini, karena mereka semua tahu benar betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan belajar ilmu silat tanpa disertai dengan penggemblengan watak dan batin ini. Ilmu silat sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke tangan orang yang tak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah akan disalah gunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri hingga muncullah perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat. Sebaliknya, bila mana ilmu silat dikuasai oleh orang yang memiliki batin yang kuat, maka ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri mau pun bagi masyarakat, karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah. Walau pun tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid Kun-lun-pai tak pernah lengah dalam melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka juga tahu bahwa Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, yaitu mereka yang tergolong sebagai penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid Kun-lun-pai sebagai musuh. Pula, selain untuk menjaga segala kemungkinan buruk, penjagaan itu juga merupakan pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru mereka. Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun-pai dengan bijaksana sehingga nama partai persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai dibicarakan dengan rasa hormat dan segan. Hal ini dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka telah bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan atau kesalah pahaman dengan fihak Kun-lun-pai. Karena nama besar Kun-lun-pai itulah maka biar pun pada suatu senja mereka telah tiba di daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam karena mereka menganggap hal itu kurang sopan. Juga mereka segera membuang niat mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu dengan menggunakan kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup. Mereka bersikap sangat berhati-hati, sebab memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah perbuatan yang amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai. Mereka lalu bermalam di sebuah goa batu yang banyak terdapat tidak jauh dari asrama Kun-lun-pai itu. Baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai. Kuil Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana orang umum suka datang bersembahyang, melainkan kuil yang khusus digunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai. Oleh karena itu, tidak ada orang luar yang datang bersembahyang. Maka, ketika Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga. “Ji-wi (anda berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami ini?” salah seorang di antara para murid yang bertugas jaga bertanya tanpa menyembunyikan kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tanpa mengandung birahi atau pun sikap kurang ajar. “Kami mohon bertemu dengan ketua Kun-lun-pai,” kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka. “Maaf,” kata salah seorang di antara para tosu, “akan tetapi sungguh tidak mudah untuk menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau sedang siulian (semedhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebih banyak lagi pekerjaannya. Kalau tidak ada keperluan yang penting sekali, kami sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau berdua.” “Totiang,” kata Kim Hong. “Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh datang ke tempat sunyi seperti ini? Terus terang saja, yang memiliki kepentingan adalah aku, sedangkan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah, sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?” “Caranya hanya satu, yaitu lebih dulu nona memperkenalkan nama dan memberi tahukan kepentingan nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itu pun belum dapat kami menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan.” “Baiklah, katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting.” “Maaf, Nona Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami menanyakan, kami bisa menjawab sehingga tidak akan mendapat teguran. Kami tak ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberi tahukan kepentingan nona.” Kim Hong mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan pantas, maka terpaksa dia pun harus mengaku terus terang. “Aku minta menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai.” Tosu itu nampak terkejut. “Siancai…,” katanya lirih penuh keheranan karena sebenarnya dia sendiri sudah hampir lupa terhadap seorang kakek yang telah bertahun-tahun bertapa di dalam goa di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai, amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali. “Ada apa, totiang? Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?” “Ahh, tidak apa-apa, nona. Baik, kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi menanti sebentar di luar.” Dan pintu gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu. “Tenang dan sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel.” “Kalau para tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa seijin mereka!” Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja. Tak lama kemudian daun pintu itu terbuka lagi, sekarang terbuka kedua-duanya sehingga nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu tingkat mereka lebih tinggi dari pada para tosu pertama. Seorang di antara mereka, yang memiliki tahi lalat pada dagunya, dengan pandang mata penuh selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu. “Siancai… Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan tetapi pimpinan kami sedang amat sibuk dan tentu saja tak mempunyai waktu untuk melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang memiliki keperluan istimewa pula.” “Hmm, totiang, tak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang bagaimanakah orang istimewa itu?” Kim Hong bertanya, menahan kemarahannya dan masih tersenyum, walau pun dia merasa dipandang rendah. “Melihat sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw, maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang memiliki kepandaian saja yang kiranya cukup berharga untuk berhadapan dengan pimpinan kami, ada pun tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami, para murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama ataukah ke dua.” Hati Kim Hong mulai menjadi panas. “Totiang, hal-hal apakah yang harus kulakukan untuk membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?” “Maaf nona. Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah ditentukan sejak dulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan. Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak sanggup melewati kami dan golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Ada pun golongan ke dua adalah para tamu yang meski pun mampu melewati kami namun tidak mampu melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itu pun cukup disambut dan dilayani oleh para suheng kami itu. Ada pun golongan pertama haruslah dapat melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah. Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami.” “Begitukah? Kenapa tidak sejak tadi kalian memberi tahu kepadaku? Nah, lekas susunlah barisanmu, totiang, hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan Kun-lun-pai!” Kim Hong menantang, lantas dibisikkannya kepada Thian Sin. “Kau jangan mencampuri yang ini.” Thian Sin tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena dia pun hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan dia pun tak ingin kalau Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu. “Ingat, jangan lukai orang,” bisiknya dan Kim Hong mengangguk. Sementara itu, tiga orang tosu yang baru datang itu sudah mengatur lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk membentuk barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di depan, ada pun di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang pedang. Sedangkan sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu tetap bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita itu maju. “Nona Toan Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!” tosu yang dagunya bertahi lalat tiba-tiba berteriak. Kim Hong tersenyum lalu dia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba saja sembilan orang itu bergerak menghadangnya lalu ke mana pun dia melangkah, dia selalu bertemu dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang. “Kenapa menghadang di jalan? Aku mau lewat!” kata Kim Hong dan dia melangkah maju terus. Tentu saja dia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan dengan menggerakkan sikunya, orang itu pun lantas terjengkang. Melihat ini, empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang kokoh kuat dan terlatih. Kim Hong masih tersenyum, tapi kemudian dia tiba-tiba menggerakkan kedua lengannya maka terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri. Akan tetapi dengan kecepatan yang luar biasa Kim Hong bergantian menggerakkan kaki kanan dan kiri dan tahu-tahu empat orang itu pun sudah roboh semua. Mereka tidak ada yang terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka halangi telah lewat! Kim Hong segera melangkah ke depan, menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya dia pun masuk mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja. Kim Hong sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini adalah murid-murid tingkat tiga yang sudah memiliki dasar ilmu silat Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang sungguh pun mereka belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu. Namun ilmu toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah berhasil mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Lebih lagi, mereka berlima juga bergerak dalam barisan Ngo-heng-tin, maka mereka dapat bekerja sama sehingga seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu! Kim Hong yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. “Sungguhkah kalian tidak mau memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?” tanyanya. Ditanya begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya janggal apa bila lima orang pendeta seperti mereka tak mau mengalah terhadap seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong jalan menghadang dan dua tongkat lain mengancam ke atas kepala, ada pun tongkat ke lima dari belakang siap menyambar kakinya! “Hebat!” katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian hebatnya. Akan tetapi dia tidak menghentikan gerakannya dan cepat dia memegang dua tongkat di depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil mengerahkan sinkang-nya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat yang menyambar kaki itu lewat. “Trakk! Trakk!” Dua tongkat yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas. Selain berhasil meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam satu gebrakan ini Kim Hong sudah mampu mengacaukan mereka. Tetapi dengan gerakan sigap sekali lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum dia mampu lewat! Kim Hong tersenyum. “Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!” katanya memuji lantas tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas! Melihat ini, lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan mereka juga berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu kepalanya digerakkan, maka rambutnya berkelebat laksana ular dan melibat lima batang tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat. Lima orang tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan sangat kuatnya oleh rambut wanita itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka itu, mereka tak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas lantas sekali Kim Hong menggerakkan kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah sampai setengahnya! Sebelum lima orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah cepat berjungkir balik dan turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah. Tiga orang tosu yang berada di sebelah dalam memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak memiliki niat buruk sehingga kini sudah mengalahkan barisan pertama dari sembilan orang dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali! Mereka ini adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya mewarisi ilmu silat dari seorang sakti. Kelihaian serta sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sesungguhnya sudah mendatangkan rasa simpati di dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka, agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka. Akan tetapi mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di dagunya itu berkata, “Ahh, kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah dalam.” Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang mereka. Kim Hong menggerakkan kepalanya untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis sekali gerakan ini dan dia pun tersenyum. “Ahh, aku tidak percaya bahwa para tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya.” Sesudah berkata demikian, dara ini segera menerjang ke depan, menerjang di antara dua batang pedang yang membuat pertahanan serta membentuk dua daun pintu. Akan tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat sehingga nampaklah gulungan sinar pedang yang menghadang di depannya. Ada pun pedang ke tiga juga sudah siap menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya. Maka tahulah Kim Hong. Tiga orang tosu yang tingkatnya sudah lebih tinggi ini tidak akan menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau dia menerjangnya dan sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa dia yang salah sendiri menerjang pedang, dan bukan pedang yang sengaja menyerangnya! Maka dia pun tersenyum dan tentu saja dia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini sungkan dan baik kepadanya. Oleh karena itu, dia hendak memaksa agar tiga orang tosu itu menunjukkan kepandaiannya dan tidak merasa sungkan-sungkan lagi padanya, sebab bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng dari pada tugas mereka? Dia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai penjaga-penjaga yang kurang ketat. “Sam-wi totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!” katanya. Dan tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang sangat kuat dan mengeluarkan angin berdesir. Dua orang tosu itu terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis, akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan! Kini tahulah tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh, maka mereka pun tak bersikap sungkan lagi. Apa bila bersikap sungkan dan mengalah terhadap lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama dengan menyerah kalah. Maka kini mereka pun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka betul-betul dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan bertubi-tubi. “Bagus! Kun-lun Kiam-sut memang sangat hebat!” Kim Hong memuji, bukan hanya untuk menyenangkan lawan melainkan memang dia dapat merasakan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini. Serangan mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu, lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan mereka pun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi bersikap lunak sekali terhadap mereka. Sesudah mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya sehingga ketiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, dia pun membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba dia berseru, “Maaf sam-wi totiang, aku mau lewat!” Tiba-tiba saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah lebih dari cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka! Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh lantas memandang bengong. Mereka tadi hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran itu! Diam-diam ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas seketika! Maka mereka bertiga segera menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata, “Nona telah lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk.” “Terima kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga,” katanya sambil menanti Thian Sin yang berjalan menghampirinya dari luar. “Akan tetapi, yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri dan…” “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang kawanku? Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!” kata Kim Hong. Tosu yang bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas panjang, lalu menggerakkan pundaknya. “Siancai… kami sudah kalah, tidak perlu banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tak boleh disamakan dengan kami yang masih bodoh.” Kim Hong cepat menjura ke arah mereka dan tersenyum. “Terima kasih, totiang sekalian sungguh baik sekali!” Dan dia pun melangkah masuk bersama Thian Sin, meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum hingga tiada hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu. Kim Hong beserta Thian Sin terus melangkah maju, melalui lorong yang panjang. Mereka berjalan dengan penuh kewasdaan, siap-siap menghadapi segala macam rintangan. Akan tetapi, lorong itu ternyata tak mengandung jebakan-jebakan atau rintangan-rintangan apa pun. Sesudah lorong itu habis, sampailah mereka di sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka sangat berwibawa. Thian Sin menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendirian menghadapi kedua orang tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang sudah menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya dua orang inilah. “Maaf, ji-wi totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai,” berkata Kim Hong dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka. “Siancai… Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan pinto berdua menyatakan kagum bukan main!” kata seorang di antara mereka yang mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam. Setelah berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong! Maklumlah dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lweekeh yang mempunyai tenaga sakti kuat, maka mukanya selalu kelihatan pucat seperti itu, mungkin disebabkan latihan yang terlalu terpaksa hingga berakibat seperti itu. Maka dia pun cepat mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata, “Ahh, totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?” Dari kedua tangan nona ini pun langsung menyambar tenaga sinkang yang merupakan angin berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada hawa dingin menolak tenaganya, maka dia pun membuka kedua kepalan tangannya dan kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi. Melihat lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan dua lengannya menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ mengalir keluar kekuatan sinkang yang sama dahsyatnya! Terjadilah adu sinkang dan sungguh pun keduanya hanya berdiri tegak dengan kedua lengan dilonjorkan, kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sinkang kuat saling menguji tenaga sinkang mereka! Untuk beberapa saat lamanya Kim Hong mengerahkan sinkang-nya, mulai dari sedikit dan setelah dia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah dia mampu mengimbangi tenaga lawan. Diam-diam dia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai sudah mempunyai sinkang sekuat ini! Akan tetapi, sesudah mengukur kekuatan lawan, dia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati. Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali, lantas dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar sehingga dia pun terjerumus ke depan. Pada saat itu Kim Hong telah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya sedikit memburu, kemudian dia menjura. “Terima kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!” Tosu ke dua, yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh luar biasa sekali. Di dunia ini sudah bermunculan orang muda yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak di dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sinkang-mu, maka sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian ginkang-mu. Aku akan mencegah engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan mempergunakan kecepatan gerakanmu!” Setelah berkata demikian, tosu itu lantas berdiri di atas ujung jari kakinya, berjingkat sambil mengembangkan kedua lengannya. Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walau pun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan. “Baik, totiang. Nah kau halangilah aku!” Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itu pun sudah meloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga dia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itu pun mengeluarkan seruan keras lantas tubuhnya juga sudah mencelat ke atas untuk menghadang di atas! Kim Hong turun kembali, diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanyalah bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini mempunyai gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kali ini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya adalah kecepatan gerakannya. Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan amat cepatnya di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya lalu tubuhnya berpusingan cepat laksana gasing! Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk turut berpusing seperti itu, dia tidak mampu dan tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu sudah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga ginkang-nya, dia tidak akan mampu mencegahnya. “Hebat, hebat… pinto mengaku kalah!” katanya sambil tertawa dan menghapus peluhnya. Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. “Nona telah menunjukkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sinkang serta ketinggian ginkang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk.” “Totiang bersikap kurang adil sekali.” Dua orang tosu itu saling pandang kemudian yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. “Siancai…! Jika ada kesalahan kami, harap kau tunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?” “Setiap orang memiliki peraturan masing-masing. Kun-lun-pai memiliki peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan telah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu aku juga memiliki peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang laki-laki, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah telah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?” Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, sangatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan jika ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga secara sendiri saja! cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, “Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?” “Dia adalah kekasihku, tunanganku!” Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi dia pun lantas bisa menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena jika bukan saudara dan bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula! Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang sangat halus dan ramah, “Siancai… seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk…!” Kedua orang tosu itu nampak lega, lalu menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. “Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!” Mereka lantas membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka, kemudian melangkah melewati ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, dan juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka. Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka, lalu memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Di sudut ruangan duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dan sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu-tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana. Dan memanglah, dia pernah melihat tosu itu yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain itu adalah sute-sute-nya, para pembantunya sehingga tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada dua orang murid kepala tadi. Sementara itu, pada saat dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat dia pun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu. “Pendekar Sadis!” teriaknya mengejutkan tiga orang sute-nya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini. “Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini? Apakah kini engkau juga mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?” Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, maka dia pun teringat kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, “Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai.” “Siancai…!” Tosu itu tampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. “Maaf, nona. Apa bila pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Di dunia ini tidak banyak nama keluarga Toan, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?” Kim Hong tersenyum. “Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walau pun tak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri.” “Ahhh…!” Tosu itu terkejut. “Dan apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?” Nona itu mengangguk sambil mengerling ke arah Thian Sin. “Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan terjadi karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah…” “Tapi mengapa…?” “Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku ini bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali.” Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Benar, memang demikianlah. Nah, sekarang katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?” “Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diijinkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai.” Tosu itu mengangguk-angguk. “Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu sebab permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Goat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya? Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?” “Hemmm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, terlebih dahulu aku menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai bisa kutemukan. Aku tak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai.” “Siancai…! Janganlah Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukan orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini.” Kim Hong mengerutkan alisnya. Ahh, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, supek-nya itu kini malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai! “Locianpwe, urusanku dengan dia merupakan urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supek-nya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?” Mendengar ini terkejutlah kakek itu. “Siancai… siancai… kiranya nona adalah puteri dari mendiang Toan Su Ong…?” “Benar sekali, locianpwe.” “Ah, kalau begitu… tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona.” Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. “Thian-sute, harap kau antarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antarkan saja hingga di depan goa kemudian tinggalkan di situ. Biar terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak.” “Baik, suheng,” jawab seorang di antara tiga tosu itu. “Marilah, nona.” Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tak berani mencegah ketika melihat Thian Sin juga ikut, biar pun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Karena itu, setelah sute-nya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri segera bergegas masuk ke dalam untuk menemui suheng-nya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu. Kiranya daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan kepalang. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya sampailah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan goa-goa besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah goa besar yang gelap, berhenti di depan goa sambil berkata, “Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona.” Sesudah berkata demikian, tosu itu langsung membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan goa. Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempat itu amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali goa-goa besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, jumlahnya ada puluhan. Mereka pasti akan memerlukan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu! Tidak kelihatan seorang pun manusia lainnya, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai. Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong agar membuka suara. Dara itu mengangguk, kemudian dia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khikang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar goa di depannya. “Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!” Dari dalam goa itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah terdapat suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lainnya. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tadi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya. “Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku telah ditipu, agaknya tempat ini kosong!” gerutu Kim Hong. Thian Sin menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin dia membohong.” “Kalau begitu orangnya berada di dalam, tetapi sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!” Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supek-nya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai dari pada mendiang ayahnya? Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki goa gelap itu? Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali. “Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu,” bisik Thian Sin. Kim Hong langsung teringat. Betul juga, pikirnya. Supek-nya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya apa bila hanya memperkenalkan nama. Maka dia lalu berteriak kembali, ditujukan ke dalam goa, dengan mengerahkan khikang-nya. “Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, ini aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!” Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam goa itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, “Siancai… siancai… siancai…!” Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam goa itu. Seorang kakek yang sangat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong segera merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian? Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, bahkan tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh! Kakek itu berdiri agak bongkok di depan goa, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya digunakan melindungi matanya dari cahaya matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk. Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya pinggiran bendera itu sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak. “Mana dia puteri Toan Su Ong?” tanya kakek itu dengan suara gemetar. Kim Hong hampir tidak mampu menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa dia bertanya, “Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?” Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, “Heh-heh, benar… matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi… heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supek-mu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita mengenai bendera pusaka kita ini, peninggalan dari kakek gurumu…” Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang selalu membuat ayahnya tunduk terhadap suheng-nya ini. “Bendera sialan!” bentaknya. Dan tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebat meloncat ke arah kakek itu sambil tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu sudah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi. “Siancai… tidak seorang pun di dunia ini yang boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku…” Kakek itu terkekeh. Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali dia menubruk, kini menggunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tidak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu sudah berubah. Biar pun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi. “Aku tetap akan merampas bendera itu!” bentaknya. Kini dia kembali menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram hendak merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang di samping dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga. “Plak-plak-plakkk!” Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Ternyata kakek yang kelihatan lemah itu sudah berhasil menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung-huyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. “Hemm, kiranya engkau pun pemberontak seperti ayahmu?” Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biar pun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara. Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa bendera itulah yang membuat dia sampai kena terdorong. Saat Si Kakek tadi menangkis, bendera itu berkelebat di depan matanya kemudian membuat dia lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi bisa juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walau pun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu. “Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?” “Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku harus hidup terlunta-lunta dan menjadi buronan, juga selama hidupnya harus bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Boleh jadi ayah terlalu bodoh untuk merasa jeri menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian serta menebus kesengsaraan ayah kepadamu, juga menghancurkan bendera terkutuk itu!” “Siancai… akhirnya datang juga saat yang kunanti-nantikan selama ini! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena dia sangat menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Engkau benar-benar telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supek-mu!” “Tidak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibuku!” Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong segera mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang dengan sengit. “Trang-tranggg…!” Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang. “Aihhh, aku sudah mendengar bahwa dalam persembunyiannya ayah ibumu menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?” Akan tetapi Kim Hong sudah tak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, sungguh pun kelihatan sudah tua dan lemah, tapi ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas tertawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran! Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, tapi bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang amat ampuh, ada pun mata anak panah yang menjadi gagang bendera itu pun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali! Walau pun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudahnya kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri. “Jit Goat Tosu, sungguh tidak patut kalau yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!” Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampaklah sinar perak menyambar ganas. “Tranggggg…!” Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu segera membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu. “Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang hendak membantumu ini?!” Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut! Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka dia pun menyahut lantang, “Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!” Dengan mengakui pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang turut mengeroyok kakek itu ‘bukan orang luar’. Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha, pantas…! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!” Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget sekaligus juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Tentu saja keduanya langsung menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang. Kim Hong telah memainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lalu lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus. Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak yang mengimbangi serta saling membantu dengan dua gulungan sinar hitam itu, juga tangan kirinya secara diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dulu dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di puncak Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu harus mengeluarkan seruan kagum dan kaget. Akan tetapi ilmu kepandaian kakek tua renta itu memang hebat sekali. Dia telah memiliki kematangan yang amat sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan semedhi yang tidak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia. Tubuhnya, jasmaninya memang terlihat lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan sudah terhimpun sinkang yang mencapai puncaknya. Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi ke mana pun senjata ini bergerak, tentu selalu sanggup menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya dari pada serangan lawan. Biar pun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan seolah-olah dia sudah menguasai ilmu lawan. Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh kedua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia bisa melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu sama sekali tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main. “Bagus sekali ilmu pedang kalian, kini mari kita berlatih dengan tangan kosong!” Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga langsung menyimpan sepasang pedang hitamnya! Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Dia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi mengapa sekarang dia menghadapi kakek itu seperti supek-nya sendiri mengajaknya berlatih saja? Sesungguhnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini dia harus melakukan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga dia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini. Oleh karena itu, melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin dia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan sepasang pedangnya? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka. Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebenarnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong dari pada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang digunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi I-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang. Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga merupakan ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki dan tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, saat ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong. Terjadilah pertandingan yang hebat luar biasa, malah lebih menegangkan dari pada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Jika tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang amat mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seakan-akan tiga tubuh itu sudah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja. Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi sudah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata, “Senjata khas wanita, tapi curang!” Karena merasa penasaran, sesudah lewat hampir seratus jurus belum juga dia sanggup mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar. “Plakkk!” “Uuhhhhhh… apa ini…? Ahhh, Thi-khi I-beng…?!” Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga lebih besar sehingga Thian Sin menjadi gelagapan bagaikan orang yang dimasukkan ke dalam air. Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sinkang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak mampu menampungnya dan otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu lalu menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang. “Orang muda, apakah engkau dari Cin-ling-pai?” tanya kakek itu heran. Walau pun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mukjijat dari Cin-ling-pai itu. “Masih ada hubungan keluarga!” kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa amat kecewa karena ternyata Thi-khi I-beng juga tak ada gunanya terhadap kakek yang amat hebat ini. “Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!” Dan Thian Sin langsung berjungkir balik, kemudian, secara tiba-tiba dia menghantam dari bawah. Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya dapat mengenali ilmu mukjijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya. “Desss…!” Tubuh kakek itu terlempar hingga nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga tadi membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak. “Ilmu setan…!” Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring, “Tahan!” “Toan Kim Hong, engkau tidak mau menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak asli lagi. Dan biar pun salahnya ayahmu sendiri, namun memang akulah yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku merasa menyesal sekali dan sudah menebusnya dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau badan tua tak berguna ini belum mati. Nah, sekarang saksikanlah. Supek-mu menebus dosa sambil membawa bendera pusaka bersama, maka lunaslah sudah!” Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu, lantas sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tidak bergerak lagi. Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah di dalam hati mereka terasa menyesal. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan hanya sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa apa bila kakek itu menghendaki, sejak tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri! Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Gouw Gwat Leng sangat mencinta sute-nya, yaitu Toan Su Ong. Mereka berdua telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari guru mereka. Tapi sayang sekali bahwa Toan Su Ong kemudian dinyatakan sebagai seorang pemberontak karena terlalu berani menentang kebijaksanaan kaisar. Sebenarnya, kalau kaisar menghendaki, dengan mengerahkan bala tentara, apa sukarnya menangkap dan membunuh seorang manusia saja, bagaimana pun lihainya dia itu? Gouw Gwat Leng melihat hal ini dan dia pun menghadap kaisar dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengejar sute-nya dan menghalangi sute-nya supaya tidak memberontak. Dan memang dia melakukan pengejaran. Toan Su Ong tidak berani melawan suheng-nya yang menjadi ahli waris bendera pusaka guru mereka, maka dia pun kemudian pergi menyembunyikan diri hingga matinya di Pulau Teratai Merah, terbunuh dalam pertikaian oleh isterinya sendiri. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Gouw Gwat Leng, yaitu agar sute-nya tidak sampai dikeroyok oleh bala tentara dan tidak sampai terbinasa oleh kaisar. Namun dia pun merasa menyesal dan berdosa karena biar pun dia telah menyelamatkan nyawa sute-nya, sebaliknya ia pun telah membuat sute-nya hidup merana dan menderita, harus selalu bersembunyi. Penyesalan inilah, ditambah kedukaan bahwa semenjak muda dia terpaksa harus berpisah dari sute-nya yang tercinta, yang membuat Gouw Gwat Leng menjadi semakin berduka ketika mendengar akan tewasnya sute-nya itu. Dia lalu pergi ke Kun-lun-pai, minta kepada para tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baiknya untuk menerimanya menjadi tosu dan memberi pelajaran Agama To kepadanya. Dia pun sempat menurunkan beberapa ilmu silat tinggi kepada para pimpinan Kun-lun-pai sehingga dia lalu dianggap sebagai saudara tua dan diperbolehkan untuk bertapa di dalam goa-goa di Kun-lun-san. Ketika puteri sute-nya itu menghadapinya sebagai musuh, sampailah Gouw Gwat Leng yang sudah menjadi Jit Goat Tosu itu pada puncak penyesalannya. Puteri sute-nya itu sebenarnya merupakan ahli waris tunggal dari ilmu-ilmu perguruan yang berikut bendera pusaka itu. Akan tetapi gadis itu malah menghina bendera pusaka dan menghadapinya sebagai seorang musuh besar yang menyengsarakan kehidupan ayah gadis itu. Maka, untuk menebus penyesalannya, kakek yang sangat renta itu akhirnya menyimpan bendera pusaka ke dalam tubuhnya dan membunuh diri di hadapan Kim Hong tanpa rasa penyesalan karena dia pun sudah puas melihat puteri sute-nya itu menjadi seorang gadis yang demikian lihai, berjodoh dengan seorang pemuda yang lihai pula, bahkan seorang pemuda Cin-ling-pai pula. Ketika mendengar gerakan di belakang mereka, Thian Sin dan Kim Hong baru sadar dan cepat memutar tubuh. Mereka melihat bahwa di situ telah berdiri dua orang tosu tua yang bukan lain adalah Kui Yang Tosu dan seorang tosu lain yang juga tinggi kurus akan tetapi wajahnya muram tidak segembira wajah Kui Yang Tosu. Mereka pun dapat menduga bahwa tentu tosu inilah yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan memang mereka benar, tosu itu adalah Kui Im Tosu! Di belakang ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai ini berdiri para sute mereka, lalu para murid mereka mulai dari tingkat tertinggi sampai tingkat terbawah. Sekarang semua penghuni asrama Kun-lun-pai telah keluar dan menghadapi dua orang muda itu agaknya. “Siancai, siancai, siancai… Saudara tua Jit Goat Tosu sudah tewas dalam keadaan yang menyedihkan sekali…” Kui Im Tosu berkata sambil memandang ke arah tubuh kurus yang rebah miring itu dengan nada suara penuh kedukaan dan wajahnya semakin muram. “Puluhan tahun lamanya beliau tidak pernah mengganggu siapa atau apa pun, tidak akan mau membunuh seekor semut pun, akan tetapi sekarang tewas oleh kekerasan. Di mana Pendekar Sadis tiba di situ tentu ada bekas tangannya yang kejam,” kata Kui Yang Tosu, kini senyumnya lenyap dari wajahnya yang biasanya gembira itu. “Aku yang datang untuk membunuhnya, dia hanya datang menemani dan membantuku!” kata Kim Hong dengan lantang. “Jit Goat Tosu membunuh diri, jika tidak mana kalian akan mampu membunuhnya?” kata Kui Yang Tosu. “Akan tetapi betapa pun juga, kalian yang sudah mendesaknya sehingga dia membunuh diri.” “Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa kedatanganku ke sini bukanlah untuk berurusan dengan Kun-lun-pai, melainkan urusan pribadi dengan Jit Goat Tosu yang masih terhitung supek-ku. Kami membuat perhitungan lama antara dia dan ayahku, dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai. Maka kuminta supaya Kun-lun-pai jangan turut mencampuri urusan pribadi orang lain!” “Siancai… tidak demikian mudah, nona,” kata Kui Yang Tosu yang agaknya lebih pandai bicara dari pada suheng-nya yang pendiam. “Kami sudah mendengar dan melihat semua. Engkau sebagai murid keponakan sudah berani melawan supek-mu, berarti engkau telah mengkhianati bendera pusaka perguruan. Ini termasuk perbuatan jahat sekali. Dan kalian berdua sudah menyebabkan kematian seorang saudara angkat kami. Tidak mungkin kami dapat mendiamkan saja kejahatan dilakukan orang di wilayah Kun-lun-pai.” “Habis, sekarang kalian mau apa?” tanya Kim Hong, nadanya tidak menghormat lagi dan mengandung tantangan. Kumat lagi sikapnya sebagai Lam-sin yang memandang rendah siapa pun juga di dunia ini. “Siancai!” Kui Im Tosu berkata. “Kami terpaksa harus menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan kepada rapat pertemuan para tokoh kang-ouw!” “Singgg…!” Kim Hong sudah mencabut pedang hitamnya. “Bagus! Seekor semut pun bila diinjak pasti balas menggigit, seekor ayam pun kalau akan ditangkap pasti melarikan diri dan seekor harimau pun kalau akan dibunuh pasti melawan. Apa lagi manusia! Aku Toan Kim Hong tdak berniat memusuhi Kun-lun-pai, akan tetapi kalau ada yang mendesakku, menangkap atau membunuhku, silakan maju. Jangan disangka aku takut terhadap Kun-lun-pai!” “Tangkap mereka!” kata Kui Yang Tosu kepada anak buahnya. Dia tahu bahwa dua orang muda itu lihai sekali, maka dia sendiri pun bersama sang ketua sudah siap untuk bantu mengeroyok dan menangkap. Sebagai orang yang berkedudukan tinggi mereka tidak mau tergesa-gesa turun tangan. Dan dia maklum bahwa para murid Kun-lun-pai akan mentaati perintahnya, yaitu menangkap mereka, bukan membunuh. Melihat para tosu dan para murid Kun-lun-pai telah bergerak, Thian Sin memegang lengan gadis itu. “Jangan lukai atau bunuh orang. Simpan pedangmu!” Dalam kemarahannya, Kim Hong masih dapat diingatkan maka dia pun cepat menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berdiri saling membelakangi dengan Thian Sin, memandang kepada anak murid Kun-lun-pai yang telah mengepung mereka itu. Sesudah para murid Kun-lun-pai itu bergerak maju, keduanya segera mengamuk. Dengan gerakan mereka yang cepat, Kim Hong dan Thian Sin menggerakkan kaki tangan untuk merobohkan tanpa membuat mereka terluka parah. Akan tetapi, segera murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi sudah menyerbu, membuat mereka berdua terpaksa berlompatan ke sana-sini sebelum akhirnya membalas dengan tenaga yang lebih kuat. Para anak buah Kun-lun-pai itu, mulai dari murid-murid kepala sampai murid-murid yang tingkatnya paling rendah, menjadi sibuk sekali. Mereka bagaikan sekumpulan semut yang tengah mengeroyok dua ekor jangkerik yang besar dan setiap gerakan jangkerik-jangkerik itu membuat semut-semut yang mengeroyok terlempar ke sana-sini. “Mundur!” Mendadak terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah dua bayangan orang. Kiranya Kui Yang Tosu dan Kui Im Tosu sendiri yang telah maju menghadapi dua orang muda itu. Thian Sin kaget bukan main. Dua orang ketua Kun-lun-pai telah maju sendiri! Permusuhan dengan Kun-lun-pai tidak dapat dihindarkan lagi! Dan untuk melarikan diri tidaklah mudah karena dengan rapi para murid Kun-lun-pai telah mengurung tempat itu dengan ketatnya. “Ji-wi locianpwe,” kata Thian Sin dengan suara merendah. “Kami dua orang muda sama sekali tidak berniat untuk bentrok dan bermusuhan dengan Kun-lun-pai, kenapa ji-wi tidak membiarkan kami pergi dengan aman?” “Hemm, kalian sudah membunuh Jit Goat Tosu dan mengatakan tidak berniat memusuhi kami? Kalau benar kalian mempunyai niat baik, menyerahlah agar kami bawa ke depan pertimbangan dan pengadilan para tokoh kang-ouw,” kata Kui Yang Tosu. “Kami bukanlah penjahat!” bentak Kim Hong. “Kalau kami terpaksa melawan Kun-lun-pai, adalah karena kami didesak!” “Hemm, kalian telah melakukan pembunuhan, masih berani berkata bukan penjahat?” Kui Im Tosu berseru, dan Kui Yang Tosu sudah menerjang maju disambut oleh Kim Hong. Kui Im Tosu juga maju, disambut oleh Thian Sin. Kui Yang Tosu terkejut bukan main ketika tangannya bertemu dengan tangan Kim Hong dan dia merasa betapa seluruh lengannya menjadi tergetar hampir lumpuh. Tak dikiranya bahwa murid keponakan dari mendiang Jit Goat Tosu mempunyai tenaga sinkang yang demikian dahsyatnya. Sebaliknya, setelah pertemuan tenaga itu Kim Hong pun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang berat. Maka dia tidak banyak cakap lagi, lalu cepat menyerang dengan kedua pukulan dan kedua kakinya dibantu oleh rambutnya. Kui Yang Tosu bergerak dengan mantap dan tenang, akan tetapi dia amat terkejut melihat sambaran kuncir rambut yang amat cepat dan kuat itu yang nyaris menotok jalan darah di lehernya. Cepat tangan kirinya bergerak dan terdengar suara berkerotokan nyaring ketika tasbehnya menyambar ke depan menyambut rambut itu. Kui Yang Tosu kemudian balas menyerang, namun semua serangannya dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Hong dan mereka bertanding dengan amat serunya, dan ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka seimbang, hal yang amat mengejutkan wakil ketua Kun-lun-pai itu. Sementara itu, pertandingan antara Thian Sin dan ketua Kun-lun-pai juga terjadi dengan amat seru dan hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar ganas dan Thian Sin mendapat kenyataan betapa lihainya ketua Kun-lun-pai ini. Dia merasa kerepotan sekali karena tosu yang bersilat dengan amat tenang itu seakan-akan dilindungi oleh hawa murni yang sukar diterobos, kuat bukan main sehingga semua serangannya, bila tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh lawan, pasti membentur tenaga yang membuat serangannya menyeleweng. Akhirnya, Thian Sin yang tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai itu secara terpaksa sekali mengeluarkan ilmu simpanannya. Tiba-tiba dia berjungkir balik dan dengan tenaga dari tanah dia menerjang ke atas dengan mempergunakan Ilmu Hok-te Sin-kun. “Hiaaaattt…!” Dia memekik dengan nyaring sekali. Seketika bersamaan dengan pekik itu, tubuhnya sudah mencelat dari atas tanah dengan serangan yang amat dahsyat. “Bresss…!” Ketua Kun-lun-pai menangkis dengan kedua lengannya, akan tetapi kakek ini terlempar sampai empat meter dan walau pun jatuh berdiri, akan tetapi wajah kakek ini pucat dan matanya terbelalak, tanda bahwa dia terkejut bukan kepalang menghadapi serangan yang amat luar biasa itu. “Kim Hong, lari…!” teriak Thian Sin. Kim Hong maklum bahwa sangat sukarlah melawan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu tanpa merobohkan mereka dengan serangan maut yang amat tidak dia kehendaki. Maka tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar halus merah menyambar ke arah delapan jalan darah di tubuh lawan bagian depan. “Siancai…!” Kui Yang Tosu berseru kaget. Dia cepat-cepat mengebut dengan kedua lengan bajunya sehingga sinar merah itu runtuh. Sebatang jarum merah menancap di lengan bajunya. Menggunakan kesempatan ini, Kim Hong meloncat jauh dan cepat melarikan diri bersama Thian Sin. Para murid Kun-lun-pai hendak mengejar, akan tetapi Kui Im Tosu berseru dengan tenang, “Jangan kejar!” Kui Yang Tosu memperlihatkan jarum merah itu kepada suheng-nya. “Suheng mengenal ini?” Kui Im Tosu memeriksa jarum itu. “Hemmm, bukankah jarum seperti ini, juga permainan rambut itu, menjadi ilmu yang amat terkenal dari datuk sesat bagian selatan yang berjuluk Lam-sin?” Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Benar, suheng. Jelaslah bahwa Nona Toan puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong itu tentu ada hubungannya dengan Lam-sin. Akan tetapi, menurut berita tingkat kepandaian Lam-sin seperti tingkat para datuk lain, jadi tidak banyak berbeda dengan tingkat kita. Dan gadis itu lihai bukan main, agaknya tidak mudah bagi pinto untuk mengalahkannya, agaknya kami satu tingkat. Apa bila dia memang murid Lam-sin, apakah dia telah mencapai tingkat seperti gurunya?” Kui Im Tosu menggeleng kepala. “Pinto rasa tidak begitu, sute. Menurut perasaan pinto, dia sendirilah Lam-sin itu!” “Ehhh…?!” Kui Yang Tosu memandang kepada suheng-nya dengan heran, “Akan tetapi, bukankah menurut berita Lam-sin adalah seorang nenek yang lihai sekali?” “Seorang nenek yang jarang sekali bertindak sendiri, bukan? Hanya perkumpulannya saja yang bernama Bu-tek Kai-pang yang mewakilinya, dan bukankah berita terakhir pernah mengatakan bahwa setelah Pendekar Sadis muncul maka nenek itu pun menghilang, dan Bu-tek Kai-pang juga dibubarkan? Kemudian, ke mana pun Pendekar Sadis pergi, gadis yang lihai itu selalu ikut, dan ikut pula menyerbu See-thian-ong, Pak-san-kui dan bahkan Tung-hai-sian? Pinto berpendapat bahwa gadis lihai itulah yang dahulu menjadi Lam-sin, mungkin menggunakan alat penyamaran sebagai seorang nenek.” Sute-nya mengangguk-angguk. Kini dia dapat melihat kemungkinan itu dan biasanya, biar pun suheng-nya tak pernah keluar, namun suheng-nya mempunyai kecerdasan yang luar biasa. “Kita harus cepat mengumpulkan para tokoh pendekar dan membicarakan urusan ini. Tak mungkin sepak terjang Pendekar Sadis dibiarkan saja,” katanya. Kui Im Tosu mengangguk-angguk. “Dia sudah berani mengacau ke sini, dan pula sedikit banyak Cin-ling-pai turut bertanggung jawab, sebab bukankah Pangeran Ceng Han Houw itu masih ada hubungannya dengan Cin-ling-pai? Menurut kabar yang kita peroleh, dia adalah anak angkat Pendekar Lembah Naga. Nah, kita harus minta pertanggungan jawab para pendekar itu.” Demikianlah, orang-orang Kun-lun-pai segera mengurus jenazah Jit Goat Tosu, kemudian mereka mengirim undangan kepada wakil partai-partai persilatan besar serta para tokoh pendekar untuk membicarakan tentang Pendekar Sadis yang biar pun termasuk pendekar yang menentang orang-orang jahat, namun sepak terjangnya liar dan kekejamannya tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar. Di samping itu, juga Kun-lun-pai perlu memberi tahukan tentang pembunuhan yang terjadi di Kun-lun-pai dan hendak meminta pertanggungan jawab para pendekar yang masih ada hubungannya dengan Pendekar Sadis. Maka tak lupa dia mengundang Cin-ling-pai, juga mengirim utusan untuk mengundang Pendekar Lembah Naga! *************** Sudah terlampau lama kita tak bertemu dengan Cia Han Tiong, putera tunggal Pendekar Lembah Naga itu. Seperti sudah diketahui, Han Tiong merasa berduka sekali ketika adik angkat yang amat dicintainya, yaitu Thian Sin, pergi meninggalkan Lembah Naga. Dia pun mulai merantau dan mencari adik angkatnya, juga mencari dara yang dicintanya dan yang telah ditunangkan dengannya, yaitu Ciu Lian Hong. Dan akhirnya dia berhasil menemukan Ciu Lian Hong di selatan, bersama datuk selatan Lam-sin karena dara itu selain telah ditolong oleh datuk ini, juga sudah menjadi muridnya. Dengan bantuan ayah bundanya, Han Tiong berhasil minta kembali tunangannya itu dan Lian Hong ikut pulang bersama calon mertuanya ke Lembah Naga. Ada pun Han Tiong sendiri belum mau pulang, hendak mencari adik angkat yang amat disayangnya itu. Akan tetapi, sudah berbulan-bulan lamanya dia mencari dengan sia-sia belaka, sejak adik angkatnya itu lenyap sama sekali seperti ditelan bumi. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu dia mencari-cari itu, Thian Sin sedang tekun bertapa dan melatih diri dengan ilmu peninggalan ayah kandungnya, di Pegunungan Himalaya. Setelah merantau hampir setahun lamanya dan tak berhasil menemukan adik angkatnya, maka akhirnya Han Tiong pulang ke Lembah Naga dengan hati berat karena kecewa dan berduka, langsung disambut dengan gembira oleh ayah bundanya dan juga tunangannya. Melihat wajah Han Tiong yang muram dan berduka, ayahnya lalu menghibur, “Han Tiong, sudahlah jangan terlalu memikirkan adikmu. Dia sudah cukup dewasa, bukan seorang anak kecil lagi. Apa bila dia hendak mengambil jalannya sendiri, bagaimana kita dapat menghalangi dia? Biarkanlah saja, kelak bila mana dia teringat kepada kita, tentu dia akan kembali juga.” “Ucapan ayahmu benar, Han Tiong. Watak adikmu itu agak keras dan manja maka kalau engkau terlalu memperlihatkan rasa sayangmu kepadanya, dia akan menjadi makin manja dan kelak hanya akan menimbulkan hal-hal yang memusingkan saja,” sambung ibunya. “Justru karena itulah, ibu, karena mengingat betapa keras hatinya, maka aku pun merasa sangat khawatir. Wataknya masih seperti anak kecil saja, belum mampu berpikir secara mendalam dan memandang jauh,” kata Han Tiong menarik napas panjang. “Habis, setelah engkau tak berhasil mencarinya, apa yang bisa kau lakukan, Han Tiong?” tanya ayahnya. “Kalau saja aku dapat menemukan dia, tentu aku akan dapat membujuknya untuk pulang dulu, ayah. Aku hanya ingin melihat dia berbahagia, dan hanya kalau dia dekat dengan kitalah maka ada yang mengamati dan menasehatinya.” Ibunya tersenyum, diam-diam kagum atas besarnya kasih sayang dalam hati puteranya. “Sudahlah, ayahmu benar, Thian Sin bukan anak kecil lagi. Dan setelah sekian lama kami menanti-nanti engkau pulang, kami berbahagia melihat engkau kini pulang dalam keadaan sehat, anakku. Dan perkabungan Lian Hong juga sudah hampir habis dan begitu dia tidak berkabung lagi, kita dapat merayakan pernikahan kalian.” “Kata-kata ibumu memang tepat. Pernikahan itu tidak mungkin dapat ditunda lebih lama lagi,” sambung ayahnya. Mendengar betapa percakapan menjurus ke urusan pernikahan, Lian Hong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan ia lalu berpamit untuk menyiapkan makan siang. Kedua orang mertuanya memandang sambil tersenyum pada saat gadis itu tergesa-gesa meninggalkan ruangan itu. “Tiong-ji, engkau tidak tahu betapa baiknya tunanganmu itu. Dia anak yang baik sekali, manis budi dan kami sayang sekali kepadanya,” kata ibunya. “Hemm, yang lebih dari itu, dia amat mencintaimu Han Tiong,” sambung ayahnya. “Kau tidak percaya?” kata ibunya ketika melihat puteranya memandang kepada ayahnya. “Dia tak pernah membicarakan engkau, akan tetapi aku tahu bahwa setiap hari dia selalu mengharapkan kedatanganmu. Kau tahu, setiap malam jam dua belas tengah malam dia pasti bersembahyang di halaman, bersembahyang untukmu, Han Tiong! Bersembahyang untuk keselamatanmu dan agar engkau lekas pulang dalam keadaan selamat.” Keharuan mencekam hati Han Tiong, maka dia pun menunduk. Keharuan yang disertai kebahagiaan hati. Benarkah Lian Hong mencintanya begitu mendalam? Dan dia selama ini memiliki keinginan dan harapan gila, yaitu ingin menjodohkan Lian Hong dengan Thian Sin, kalau hal itu akan membahagiakan hati Thian Sin! Kini baru terbuka matanya bahwa dia hanya memikirkan Thian Sin saja sehingga dia lupa bahwa Lian Hong juga seorang manusia yang berhak menentukan pilihannya sendiri. Lian Hong bukan boneka yang dapat dioper-operkan begitu saja! “Menurut perhitungan kami, tiga bulan lagi Lian Hong akan bebas dari perkabungan dan kita dapat melangsungkan pernikahan kalian,” kata pula ibunya. “Kuharap saja pada waktu itu Sin-te sudah pulang, ibu.” “Hemm, kenapa begitu?” tanya ayahnya. “Ayah, kalau tidak ada kehadiran Sin-te, tentu aku merasa bahwa kebahagiaanku itu tidak lengkap. Aku akan bergembira, akan tetapi kalau teringat padanya, mungkin dia terancam bahaya dan mala petaka, bagaimana hatiku dapat berbahagia?” Ayah ibunya saling pandang, dan ayahnya berkata, “Ah, anak itu hanya membikin pusing saja. Biarlah aku akan menyuruh beberapa orang muda dusun di luar lembah untuk pergi menyelidiki kalau-kalau mereka akan berhasil menemukan atau mendengar tentang Thian Sin.” Biar pun harapannya hanya tipis, namun hatinya agak lega mendengar janji ayahnya itu. Hatinya jadi terhibur, apa lagi di situ terdapat Lian Hong yang dicintanya dan setelah dia pulang, maka pergaulannya dengan Lian Hong semakin akrab.....


PENDEKAR SADIS JILID 32 :
GADIS itu memang manis budi, bukan sekedar manis wajahnya. Dan dari gerak-geriknya, ucapannya, senyumnya, pandang matanya, terasa benar oleh Han Tiong bahwa memang gadis itu amat mencintanya! Ahh, betapa berbahagia hidupnya, kalau saja Thian Sin juga berada di situ! Kurang lebih dua bulan kemudian, salah seorang di antara pemuda dusun itu pulang dan membawa kabar mengenai munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Sadis! Mendengar berita tentang sepak terjang pendekar itu yang telah membunuh tokoh-tokoh pengemis Hwa-i Kai-pang, seketika tahulah Han Tiong bahwa yang disohorkan sebagai Pendekar Sadis itu pastilah Thian Sin orangnya! “Belum tentu dia, Tiong-ji,” kata ibunya dengan khawatir melihat kegelisahan puteranya. “Siapa lagi, ibu, kalau bukan Sin-te? Sudah pasti dia orangnya dan aku akan mencarinya dan akan mencegahnya terseret lebih jauh ke dalam kekejaman yang terdorong oleh sakit hatinya.” Ayah bundanya, dan juga tunangannya, tidak dapat menahan pemuda itu untuk pergi lagi mencari adik angkatnya yang diduganya telah menjadi seorang tokoh kejam yang dijuluki Pendekar Sadis. Ibunya hendak berkeras menahan, akan tetapi Cia Sin Liong mencegah isterinya, dan membiarkan pemuda itu pergi tetapi memberi waktu enam bulan. Sesudah pemuda itu pergi, barulah Sin Liong berkata kepada isterinya dan calon mantunya yang menangis dan saling rangkul itu. “Sudahlah, tidak perlu ditangisi. Han Tiong adalah seorang laki-laki sejati yang mencinta adiknya dan watak seperti itu sangat baik. Kalian sepatutnya berbangga akan dia. Andai kata kita larang, dia tentu akan menjadi berduka. Biarlah dia berhasil menemui Thian Sin lebih dahulu, agar hatinya tenteram dan pernikahan dapat dilangsungkan dalam keadaan gembira.” Akan tetapi, baru satu bulan kemudian, Cia Sin Liong terkejut menerima surat undangan dari Kun-lun-pai yang mengundangnya untuk menghadiri pertemuan para tokoh pendekar untuk membicarakan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan meminta pertanggungan jawab keluarga pendekar itu yang telah berani mengacau di Kun-lun-pai dan membunuh saudara tua dari para ketua Kun-lun-pai. Tentu saja Cia Sin Liong merasa terkejut bukan main dan setelah memesan kepada calon mantunya untuk tinggal di Istana Lembah Naga, dia bersama isterinya segera berangkat karena isterinya berkeras hendak ikut karena merasa khawatir akan keadaan Han Tiong yang belum ada beritanya. Sementara itu, di dalam perjalanannya sambil mencari keterangan, Han Tiong mendengar sepak terjang yang hebat dari Pendekar Sadis. Betapa pendekar itu membunuh seorang pangeran di kota raja, membunuh pula Tok-ciang Sianjin serta mengacau Pek-lian-kauw. Yang lebih mengejutkan hatinya adalah saat dia mendengar betapa Pendekar Sadis yang kini sudah dikenal orang sebagai putera Pangeran Ceng Han Houw itu sudah membasmi See-thian-ong dan anak buahnya, juga telah mengamuk dan membinasakan Pak-san-kui beserta murid-muridnya! Tentu saja Han Tiong merasa terkejut bukan kepalang. Bagaimana adik angkatnya dapat menjadi selihai itu, mengalahkan dan membunuh para datuk? Juga cara-cara kejam yang digunakan oleh Pendekar Sadis membuat hatinya berduka sekali. Dia lalu mempercepat perjalanannya agar dapat segera bertemu dengan adiknya. Saat dia mendengar tentang sepak terjang Pendekar Sadis di Kun-lun-pai yang beritanya cepat tersiar di seluruh kang-ouw itu, dia menjadi semakin terkejut kemudian cepat pergi menyusul adiknya ke barat. Kali ini demikian tekunnya Han Tiong menyelusuri jejak adik angkatnya dan karena nama Pendekar Sadis sedang menjadi buah bibir semua orang kang-ouw, lebih mudah baginya kini mencari adiknya sebagai pendekar itu dari pada ketika dia mencari sebagai Thian Sin yang tidak dikenal orang. Maka, tidak mengherankanlah kalau berkat ketekunannya ini pada suatu pagi dia berhasil berhadapan dengan Thian Sin dan Toan Kim Hong! Ketika itu, Thian Sin dan Kim Hong sedang menuruni sebuah bukit sambil bergandengan tangan. Dua sejoli ini telah dua hari tinggal di puncak bukit itu, puncak yang sangat indah di mana terdapat hutan yang kaya akan binatang buruan dan pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Mereka berdua tinggal di puncak bukit itu, laksana sepasang pengantin baru yang setiap waktu bermesraan dan berkasih sayang, bermain cinta sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu mereka. Dan pada pagi hari itu mereka menuruni puncak sambil bergandengan tangan. Setelah menuruni puncak, barulah menjadi persoalan dalam pikiran mereka ke mana akan pergi. “Ehh, ke manakah kita menuju sekarang…?” tanya Kim Hong. Thian Sin merangkul leher kekasihnya dan sambil berangkulan mereka pun berjalan terus perlahan-lahan. “Kekasihku, aku sudah mempunyai rencana untuk itu, untuk masa depan kita.” Kim Hong juga tertawa. “Aku pun sudah mempunyai rencana yang baik sekali.” “Bagus!” kata Thian Sin. “Kita berdua sudah mempunyai rencana, khawatir apa lagi?” “Tetapi…,” kata Kim Hong. “Bagaimana kalau rencana kita berbeda dan saling bertolak belakang?” “Ahh, mana bisa? Kita kan sudah sepaham, senasib sependeritaan, dan kita juga saling mencinta, bukan?” kata Thian Sin. “Benar, Thian Sin. Untuk membuktikan cintamu kepadaku, engkau tentu akan menyetujui rencanaku.” “Dan kalau memang benar cinta padaku seperti aku cinta padamu, Kim Hong, kau tentu tidak akan menentang rencanaku untuk hari depan kita yang amat baik.” Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan dan mundur beberapa langkah, lalu menatap pemuda itu dengan alis berkerut. “Nah, nah, hal ini perlu dibereskan sekarang juga. Coba katakan bagaimana rencanamu, baru aku akan menceritakan rencanaku.” “Rencanaku bagus sekali. Mulai sekarang kita memerlukan tempat untuk hidup tenteram, Kim Hong. Setelah kita terlibat dalam pertengkaran dengan Kun-lun-pai, aku merasa tidak enak sekali dan kita pun perlu beristirahat di tempat yang aman. Dan satu-satunya tempat yang aman bagiku adalah Lembah Naga. Kita pergi ke Lembah Naga…” “Apa? Ke tempat tinggal Pendekar Lembah Naga?” Kim Hong bertanya dan nampak amat terkejut, matanya terbelalak memandang kekasihnya itu. “Kenapa tidak? Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatku, dan Cia Han Tiong, putera tunggal mereka adalah kakak angkatku yang amat kuhormati dan kucinta. Engkau akan merasa seperti berada di rumah sendiri, antara keluarga sendiri. Mereka adalah keluarga yang terhormat, keluarga gagah perkasa dan budiman…” “Tidak! Aku tidak akan ke sana!” Kim Hong berseru marah, teringat betapa ketika masih menjadi Lam-sin, dia pernah ditolak untuk berkenalan dengan keluarga itu. “Dan di sana aku harus bertemu dengan Ciu Lian Hong, gadis yang kau cinta itu?” “Ah, mengapa engkau berkata demikian? Yang kucinta adalah engkau, dan dara itu telah menjadi jodoh kakak angkatku, mungkin sekarang sudah menjadi isterinya. Percayalah, Kim Hong. Keluarga Cia akan menerimamu dengan manis budi kalau mereka mendengar bahwa engkau adalah kekasihku, tunanganku. Dan kita sekalian minta doa restu mereka untuk dapat berjodoh…” “Apa? Maksudmu menjadi suami isteri?” “Habis, apa lagi? Bukankah kita telah menjadi suami isteri? Tinggal pengesahannya saja, tinggal upacara pernikahannya saja.” “Tidak! Urusan pernikahan adalah urusan kelak. Kalau kita memang menganggap perlu, kita menikah, kalau tidak ya tidak.” “Apa… apa maksudmu?” “Lupakah engkau, Thian Sin, ketika pertama kali kita bertemu, sudah kunyatakan bahwa aku menyerahkan diri bukan untuk menjadi isterimu, namun untuk memenuhi sumpahku kepada ibuku? Kalau kemudian kita saling jatuh cinta, itu merupakan urusan kita berdua. Sedangkan pernikahan, secara umum berarti hanya pengakuan saling mencinta kita itu kepada umum. Kalau kita tidak membutuhkan umum itu? Asal kita saling mencinta, apa hubungannya dengan umum, apakah cinta kita itu disahkan, dirayakan atau tidak? Yang penting bukan pernikahan itu, melainkan tempat kita hidup selanjutnya. Aku tidak mau di Lembah Naga.” Thian Sin merasa penasaran. “Habis, kalau menurut rencanamu, ke manakah kita harus mengasingkan diri?” “Ada suatu tempat yang paling baik, yaitu di Pulau Teratai Merah!” “Hemmm, tempat ayah dan ibumu mengasingkan diri berdua sampai mati itu?” “Ya, apa salahnya? Tempat itu cukup indah, tanahnya subur, dan kita dapat berhubungan dengan dunia luar melalui laut, hanya berlayar selama setengah hari. Di sana aman, kita tak akan terganggu…” “Dan begitu amannya sampai ayah bundamu cekcok dan saling bunuh?” “Thian Sin! Kalau engkau tidak mau pun tidak mengapa, tidak perlu engkau mencela ayah bundaku, keparat!” “Ehh, engkau memaki?” “Ya, memang aku memaki karena engkau memualkan perut, menggemaskan. Habis, kau mau apa?” “Engkau makin kurang ajar, Kim Hong!” “Ehh, kurang ajar? Kau kira aku takut padamu? Kau kira aku ini apamu, harus selalu taat kepadamu, ya?” Sesudah berkata demikian, Kim Hong segera meloncat ke depan sambil menampar dengan amat kerasnya. Thian Sin menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Plakk!” Tangkisan yang tidak disangka oleh Kim Hong itu membuat lengan dara itu terasa nyeri sehingga dia pun menjadi semakin marah. Dengan mata berlinang dia cepat menyerang kalang kabut, menyerang dengan sungguh-sungguh, terdorong oleh hati yang marah. Thian Sin terpaksa melayani karena dia pun sudah marah. Dua orang muda itu kini saling serang dengan ganas dan seru, lupa bahwa baru beberapa jam yang lalu mereka berdua saling mencumbu rayu dan saling menumpahkan rasa sayang masing-masing dengan hati penuh kemesraan! Tingkat kepandaian dua orang muda ini memang seimbang, sehingga andai kata mereka berdua itu saling serang untuk saling membunuh juga, agaknya Thian Sin hanya dapat menang setelah lewat waktu yang cukup lama. Apa lagi kini mereka saling serang hanya karena terdorong rasa marah, maka perkelahian itu sangat seru dan agaknya keduanya tidak mau saling mengalah. Debu mengepul di sekeliling mereka dan kedua lengan mereka sudah terasa nyeri serta matang biru karena mereka saling tangkis dengan pengerahan sinkang sekuatnya, walau pun mereka tidak memiliki niat untuk saling bunuh. Keunggulan Thian Sin dalam tenaga sinkang diimbangi dengan keunggulan serangan Kim Hong yang dibantu oleh rambutnya yang sangat lihai itu. Beberapa kali Thian Sin sempat terdesak oleh totokan-totokan yang dilakukan dengan kuncir rambut itu. Sudah lebih dari lima puluh jurus mereka berkelahi dan keduanya menjadi semakin marah karena tidak mau saling mengalah, juga menganggap bahwa masing-masing sudah saling membenci. Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ada seorang pemuda terjun ke dalam medan perkelahian itu sambil membentak nyaring, “Perempuan kejam, jangan ganggu adikku!” Orang ini bukan lain adalah Cia Han Tiong! Dia telah menemukan jejak adiknya dan cepat melakukan pengejaran, lantas di tengah jalan dia melihat betapa Thian Sin sedang saling serang dengan seorang wanita yang lihainya bukan kepalang. Dia melihat betapa adiknya itu nampak sangat sibuk dan sedang terdesak menghadapi totokan-totokan kuncir rambut yang amat berbahaya. Karena gerakan wanita itu sangat cepat dan rambutnya merupakan bayangan hitam yang menyambar-nyambar, maka Han Tiong tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, hanya menyangka bahwa tentu wanita itu seorang wanita iblis jahat maka menggunakan senjata yang demikian aneh dan mengerikan. Begitu dia terjun ke dalam pertempuran, dia sudah mengulur tangan hendak mencengkeram bayangan hitam rambut itu! Kim Hong terkejut bukan main. Rambutnya hampir kena dicengkeram pendatang baru ini, maka dia mengelak ke samping sambil menggerakkan kepala menarik kembali kuncirnya, dan kakinya menendang dengan gerakan kilat ke arah pusar orang yang baru datang itu. Han Tiong terkejut, tak mengira bahwa gerakan wanita itu sedemikian cepatnya, maka dia pun menangkis dengan lengan kanannya. “Dukkk!” Akibatnya, tubuh Han Tiong tergetar akan tetapi kaki yang menendang itu pun terpental. Han Tiong makin kaget karena sekarang dia dapat melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan merupakan seorang wanita iblis yang mengerikan, melainkan seorang dara muda yang amat cantik jelita dan manis, akan tetapi yang nampak marah bukan main. Juga Kim Hong mengenal Han Tiong putera Pendekar Lembah Naga yang dahulu pernah dilihatnya ketika dia masih menjadi Lam-sin itu. Han Tiong yang mengira bahwa wanita itu adalah musuh adik angkatnya, dan tahu bahwa wanita cantik itu lihai sekali, sudah maju menyerang lagi. “Dukkk!” Serangannya ditangkis oleh Thian Sin yang sudah meloncat maju ke depan. “Tiong-ko, tahan, jangan serang, dia adalah teman sendiri!” Han Tiong kaget, lalu menjura ke arah wanita itu. “Harap maafkan saya.” Kemudian dua orang pemuda itu saling pandang. Sampai lama mereka hanya saling tatap dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, keduanya lalu saling tubruk dan saling rangkul. “Sin-te…!” “Tiong-ko…!” Sampai lama mereka berangkulan seperti itu dan ketika mereka saling melepaskan, mata kedua orang pemuda ini sudah menjadi basah. Mereka saling pandang dengan senyuman sambil saling berpegangan tangan, namun mata mereka basah. Baru terasa oleh mereka betapa di antara mereka terdapat getaran kasih sayang yang amat besar. “Sin-te, mengapa kau meninggalkan kami begitu lama tanpa berita?” Han Tiong menegur dengan suara mengandung penyesalan. Thian Sin menunduk, merasa sangat bersalah. Setelah berhadapan dengan kakaknya ini, lenyaplah semua keangkuhannya, dan dia selalu merasa kecil, selalu merasa betapa dia harus mentaati kakaknya ini. “Maafkan Tiong-ko, aku… aku harus melaksanakan urusan pribadiku… yang berhubungan dengan mendiang ayah…” “Hemmm, membalas dendam, ya? Melepas dendam hati sepuasnya dengan menghukum musuh-musuh secara keji sekali sehingga engkau dijuluki orang Pendekar Sadis?” “Tiong-ko, bukan keinginanku agar berjuluk demikian. Aku memang menghukum mereka, membunuh mereka yang kuanggap jahat, untuk memuaskan dendam hatiku yang sudah bertumpuk-tumpuk. Aku membunuh mereka semua yang sudah menyebabkan kematian ayah bundaku. Salahkah itu, Tiong-ko?” Kim Hong mendengarkan dengan hati penuh keheranan. Suara kekasihnya itu kini seperti anak kecil yang minta dikasihani! “Sin-te, aku tidak menyalahkan kalau engkau mengandung sakit hati bila mengingat akan kematian orang tuamu, dan memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang pendekar untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran serta keadilan. Akan tetapi, apa bila engkau melakukan semua penentangan itu dengan hati penuh kebencian dan melakukan kekejaman, lalu apa bedanya dengan mereka? Kebenaran yang dibela dengan kekejaman bukanlah kebenaran lagi, adikku, tetapi menjadi kejahatan pula! Tujuan tidak menentukan, akan tetapi kenyataannya terletak pada pelaksanaan. Kalau pelaksanaannya buruk, maka tujuannya pun tidak dapat dinamakan baik. Jika caranya kotor, maka tujuannya pun tentu tidak bersih. Tak mungkin tujuan bersih dicapai dengan melalui cara yang kotor. Seorang pendekar yang kejam bukanlah pendekar lagi namanya, melainkan seorang penjahat.” Hening sejenak, dan akhirnya, dengan lemah Thian Sin mencoba untuk membela diri. “Kalau begitu, apakah aku harus mengampuni mereka semua itu, Tiong-ko?” “Apa salahnya mengampuni orang yang dahulu pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya apa bila dia itu memang hendak kembali ke jalan benar dan sudah insyaf akan penyelewengannya? Adikku yang baik, bukalah mata dan lihatlah kenyataan di dunia ini. Siapakah yang selama hidupnya tak pernah melakukan penyelewengan yang dinamakan kesalahan atau dosa? Penyelewengan dalam hidup sama dengan sakit, walau pun bukan badannya yang sakit, melainkan batinnya. Setiap orang tentu pernah dilanda penyakit ini, baik badan mau pun batinnya. Kalau ada orang yang melakukan penyelewengan, berarti dia itu baru sakit, apakah kita harus membunuhnya saja, menyiksanya untuk memuaskan hati kita? Bukankah sepatutnya kalau kita mengulurkan tangan membantunya keluar dari jurang kesesatannya, membantunya sembuh dari penyakitnya? Ingatlah, orang yang sakit itu sewaktu-waktu dapat sembuh. Orang yang tadinya menyeleweng dan dianggap jahat tak selamanya begitu, sekali waktu dapat saja dia menjadi orang baik atau orang waras. Sebaliknya, yang sedang dalam keadaan sehat jangan sekali-kali memandang rendah terhadap orang yang sedang sakit, karena yang sehat itu sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit atau menyeleweng.” Kim Hong ikut mendengarkan dan hatinya tersentuh. Dia pun merasa bahwa dia pernah menyeleweng, bahkan lebih dari penyelewengan biasa. Dulu dia pernah menjadi Lam-sin, menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan, bahkan sempat membentuk Bu-tek Kai-pang yang menjagoi seluruh dunia selatan. Juga pernah membiarkan anak buahnya melakukan kesewenang-wenangan mengandalkan kepandaian, pernah melakukan kejahatan apa pun juga. Tapi semenjak dia bertemu dengan Thian Sin, semenjak dia menanggalkan samarannya sebagai Lam-sin, dia seakan-akan hidup di dunia lain. Dia pun ingin menjadi orang sehat, bahkan lebih dari itu, dia ingin menjadi pendekar! Maka semua kata-kata pemuda putera Pendekar Lembah Naga itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Dia sendiri pun bukan keturunan penjahat! Ayahnya adalah seorang pangeran, ada pun ibunya adalah seorang pendekar wanita! “Ahhh, Tiong-ko, betapa selama ini aku merindukan semua kata-kata dan nasehatmu …” Akhirnya terdengar Thian Sin mengeluh. “Akan tetapi apa hendak dikata, semua itu sudah kulakukan, Tiong-ko, terdorong oleh rasa sakit hatiku yang bertumpuk-tumpuk. Semuanya sudah terlewat, lalu apa yang dapat kulakukan?” “Yang sudah-sudah memang tak mungkin diperbaiki kembali, Sin-te. Akan tetapi aku pun mendengar bahwa akhir-akhir ini engkau juga sudah menyerbu ke Kun-lun-pai. Benarkah berita yang kudengar itu? Bahwa engkau sudah membunuh seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tua dan sedang bertapa?” Thian Sin lebih dulu melirik ke arah Kim Hong. Melihat dara itu diam mendengarkan, dia pun mengangguk. “Ahh, Sin-te… Sin-te…! Engkau ini pendekar macam apa? Apakah engkau tidak tahu pula bahwa Kun-lun-pai adalah perguruan dan perkumpulan silat para pendekar yang terkenal di dunia kang-ouw? Yang menyerbu Kun-lun-pai, pantasnya hanya para penjahat! Bagaimana engkau sampai bisa memusuhi Kun-lun-pai, Sin-te? Apa kau tahu, kini Kun-lun-pai hendak mengadakan pertemuan para pendekar untuk menuntut pertanggungan jawab dan mau tak mau, ayah kita tentu akan terbawa-bawa. Sin-te, seorang pendekar harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Dan aku ingin agar engkau sebagai adikku yang tercinta, juga mau mempertanggung jawabkan perbuatanmu terhadap Kun-lun-pai!” “Maksudmu bagaimana, Tiong-ko?” “Mari kau ikut bersamaku menghadap para pimpinan Kun-lun-pai dan pertemuan antara para pendekar itu, untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu.” “Ahh, hal itu tidak mungkin, Tiong-ko. Aku tidak mungkin menghadap mereka!” Thian Sin menolak dengan suara terkejut sekali. Menghadap para pimpinan Kun-lun-pai sama saja dengan mencari mati! “Engkau harus, Sin-te! Dan aku akan menanggungmu, aku akan membelamu, kalau perlu aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi, mati atau hidup, kita harus tetap bersikap sebagai seorang pendekar yang berani bertanggung jawab terhadap semua perbuatannya!” “Tidak, Tiong-ko, aku tidak mau…” Han Tiong maju satu langkah. “Sin-te, mungkin ilmu kepandaianmu telah jauh melampaui tingkatku, akan tetapi sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar, terutama sekali sebagai kakakmu yang mencintamu, untuk menyadarkanmu dan kalau perlu aku akan memaksamu untuk pergi bersamaku menghadap ke Kun-lun-pai.” Thian Sin memandang kakaknya dengan muka berubah dan mata terbelalak. “Maksud… maksudmu…?” “Kalau engkau tidak mau ikut secara suka rela, maka aku akan menggunakan kekerasan, menawanmu dan membawamu menghadap dalam pertemuan para pendekar itu, atau… biarlah aku tewas dalam tanganmu demi membawamu ke jalan yang benar, adikku!” “Tidak, Tiong-ko… engkau tidak mungkin…” Akan tetapi Han Tiong telah menerjang maju untuk menotok jalan darah di kedua pundak adiknya dan karena dia tahu betul akan kelihaian adiknya itu, maka begitu menyerang dia sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu It-sin-ci, ilmu menotok yang mempergunakan satu jari. Ilmu ini hebat bukan main dan jarang ada lawan yang sanggup menghindarkan diri dari serangan It-sin-ci. Akan tetapi pada waktu itu, tingkat kepandaian Thian Sin sudah amat tinggi, tidak kalah lihainya bila dibandingkan dengan kakak angkatnya, maka dengan tidak begitu sukar dia berhasil menangkis totokan-totokan itu sambil meloncat ke belakang. “Tidak, Tiong-ko, jangan…!” Akan tetapi Han Tiong terus mendesak dan Thian Sin yang tidak mau melawan kakaknya hanya mengelak atau menangkis sambil mundur terus. Melihat ini, tiba-tiba saja Kim Hong meloncat ke depan dan dia menangkis totokan berikutnya sambil membentak, “Tahan dulu!” “Dukk!” Kembali Han Tiong mengadu tenaga dengan Kim Hong, namun sekali ini Kim Hong yang menangkis dan kembali keduanya merasa tergetar oleh kekuatan lawan. “Nona, urusan kami adalah urusan kakak dan adik, tidak perlu dicampuri oleh orang luar!” “Cia Han Tiong taihiap, aku bukanlah orang luar! Bahkan di dalam urusan Kun-lun-pai ini, akulah yang menyerbu ke sana, dan akulah yang memusuhi pertapa itu. Thian Sin hanya kumintai bantuan saja, jadi akulah pula yang bertanggung jawab, bukan dia!” Mendengar ucapan ini, tentu saja Han Tiong menjadi terkejut lantas memandang kepada adik angkatnya dengan penuh perhatian dan alis berkerut ketika dia bertanya, “Sin-te, apa artinya ini? Siapakah nona ini?” “Dia… dia adalah tunanganku, Tiong-ko…” “Ahh…!” Seketika wajah Han Tiong berseri gembira. Dia cepat menoleh dan memandang kepada Kim Hong penuh perhatian. Makin giranglah hatinya ketika dia mendapat kenyataan betapa nona itu memang sungguh sangat cantik sesudah kini dia memandang dengan jelas, cantik jelita tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong! “Begitukah? Kionghi, Sin-te, kionghi…! Ah, sungguh aku girang sekali… dan suara nona… seperti… pernah aku mendengarnya!” Kim Hong tersenyum sehingga tampak semakin manis. “Memang sebelumnya kita pernah saling bertemu, taihiap.” Thian Sin hendak memberi isyarat agar kekasihnya jangan memperkenalkan dirinya. Akan tetapi Kim Hong yang masih mendongkol karena pertengkarannya dengan Thian Sin tadi, melanjutkan, “Mungkin taihiap teringat kalau kukatakan bahwa tunangan taihiap, Nona Ciu Lian Hong, dulu pernah menjadi muridku…” Han Tiong terkejut dan terbelalak heran memandang wajah nona itu. Kini dia pun teringat! Memang, suara nona ini sama benar dengan suara nenek datuk kaum sesat di selatan itu, yaitu Nenek Lam-sin yang lihai! Tentu saja dia tidak percaya dan berkata, “Tapi… tapi… Hong-moi ditolong dan menjadi murid Nenek Lam-sin…” “Sejak bertemu dengan adikmu, taihiap, nenek Lam-sin sudah tak ada lagi di permukaan bumi ini, yang ada hanyalah aku, Toan Kim Hong.” Han Tiong masih belum yakin benar maka dia cepat menoleh kepada adiknya, diguncang-guncangnya. “Apa artinya ini, Sin-te? Apa artinya ini?” Thian Sin memegang tangan kakaknya, “Tiong-ko, janganlah kau serang aku lagi, sampai mati pun aku tidak mungkin mau melawanmu. Marilah kita bicara baik-baik dan dengarkan ceritaku. Yang menjadi Nenek Lam-sin itu adalah nona ini, Toan Kim Hong dan dia telah menjadi kekasihku, tunanganku, isteriku…” Pemuda itu menarik tangan kakaknya, diajak duduk di atas padang rumput tak jauh dari tempat itu, diikuti oleh Kim Hong yang tersenyum melihat betapa Han Tiong kini menurut saja ditarik adiknya, tidak lagi marah-marah seperti tadi. Dengan panjang lebar Thian Sin kemudian menceritakan segala pengalamannya, tanpa ada yang dirahasiakan kepada kakak angkatnya itu. Betapa dia pernah gagal membalas kepada See-thian-ong dan betapa dia kemudian mempelajari ilmu-ilmu peninggalkan ayah kandungnya di Himalaya. Diceritakannya, ketika dia membalas dendam kepada semua musuh-musuh orang tuanya dan juga musuh-musuh yang telah membuat keluarga Ciu terbinasa, betapa dia bertemu dengan Lam-sin yang kemudian menjadi Kim Hong dan menjadi isterinya. Dengan dibantu oleh wanita itu dia lalu berhasil membunuh See-thian-ong dan Pak-san-kui berikut semua muridnya. “Memang dalam dendam dan sakit hatiku, aku berlaku kejam terhadap mereka, Tiong-ko. Juga para penjahat yang bertemu denganku, kubasmi secara kejam. Aku sakit hati sekali terhadap mereka, sakit hati sejak orang tuaku terbunuh, sampai ketika keluarga Ciu juga terbasmi. Diam-diam aku telah bersumpah untuk membasmi semua penjahat di dunia ini!” Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang menahan napas waktu adiknya menceritakan cara adiknya itu menyiksa dan membunuh para penjahat dan musuh besar itu. Lalu dia berkata, “Akan tetapi, engkau telah membunuh Pangeran Toan Ong yang terkenal budiman…” “Itu merupakan kesalahanku mudah terbujuk fitnah seorang wanita jahat,” katanya. Kemudian dia pun terang-terangan menceritakan tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Betapa dia dibohongi Kim Lan sehingga membunuh Toan Ong. Kemudian betapa setelah tahu akan rahasia Kim Lan dia lalu merusak wajah wanita itu. Kakak angkatnya bergidik mendengar semua penuturan yang diceritakan secara terang-terangan itu. “Nona Toan, tadi engkau mengatakan bahwa urusan di Kun-lun-pai itu adalah urusanmu. Sebenarnya, bagaimanakah hal itu terjadi dan mengapa engkau sampai bentrok dengan Kun-lun-pai?” “Begini, taihiap…” “Nanti dulu, nona. Kalau engkau bakal menjadi isteri adikku, kenapa engkau menyebutku taihiap segala? Membuat hatiku menjadi tidak enak saja.” “Baiklah… Tiong-ko,” Kim Hong berkata sambil tersenyum manis, meniru panggilan Thian Sin terhadap Han Tiong. Han Tiong tersenyum gembira. “Nah, begitu lebih baik bukan, Sin-te? Dan kelak apa bila kalian telah punya anak, boleh sebut toa-pek (uwak) padaku!” Mereka bertiga tertawa lagi dengan gembira. Akan tetapi tidak lama kemudian Kim Hong lalu menceritakan tentang riwayatnya, tentang kematian ayahnya, seorang pangeran yang dianggap buronan oleh kaisar sehingga terus dikejar-kejar sampai akhirnya hidup sengsara dan mati sebagai buronan. Diceritakannya kenapa dia menaruh dendam kepada supek-nya, yaitu Gouw Gwat Leng yang kemudian menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di Kun-lun-pai, betapa dia dibantu oleh Thian Sin lalu mendatangi Kun-lun-pai, dengan baik-baik minta menghadap ketua Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai sama sekali. Kemudian tentang pertemuannya dengan supek-nya yang sangat lihai sehingga terpaksa mereka berdua pun akan kalah kalau saja supek-nya itu tidak mengalah, bahkan akhirnya supek-nya itu membunuh diri untuk menebus penyesalannya tentang kesengsaraan hidup sute-nya, yaitu Pangeran Toan Su Ong. “Urusan antara keluargaku dan supek Gouw Gwat Leng adalah urusan pribadi dan kami sama sekali tidak menyangkutkan Kun-lun-pai. Akan tetapi sungguh para tosu Kun-lun-pai itu tidak tahu diri. Supek mati karena membunuh diri, karena dia merasa menyesal dan baru sesudah dia membunuh diri aku melihat kenyataan bahwa sebenarnya supek sangat mencinta mendiang ayahku. Kematian supek-ku sungguh sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, akan tetapi para tosu itu dengan membabi buta mengeroyok kami, bahkan kini melaporkan kami kepada tokoh-tokoh kang-ouw!” Kim Hong mengepal tinjunya. Gadis ini dengan terus terang menceritakan semua riwayatnya. Mendengar cerita nona itu, Han Tiong menarik napas panjang. Dia merasa kagum sekali terhadap kakek yang bernama Couw Gwat Leng atau Jit Coat Tosu itu. “Beliau seorang bijaksana, sayang sebelumnya kalian tidak tahu tentang hal itu sehingga terpaksa nyawa seorang yang begitu bijaksana harus dikorbankan secara sia-sia. Tahukah kalian kenapa beliau membunuh diri? Bukan hanya karena penyesalannya, melainkan untuk mencegah kalian berdua, karena kalau sampai beliau mati di tanganmu, maka hal itu akan membuat engkau seorang murid durhaka dan selamanya engkau akan menyesali perbuatanmu itu. Di atas dunia ini, tidak semua perkara akan dapat diatasi dengan kekerasan. Ilmu silat hanya patut dipergunakan mencegah terjadinya kejahatan melindungi diri sendiri dan juga orang-orang lain yang terancam bahaya. Akan tetapi, kalau ilmu silat dipergunakan untuk melampiaskan dendam, maka itu menjadi ilmu terkutuk, menjadi ilmu hitam.” Dua orang itu mendengarkan sambil tertunduk. Berhadapan dengan kakaknya, Thian Sin merasa kehilangan semua semangat perlawanannya, membuat dia seperti mati kutu. Hal ini adalah karena perasaan cinta kasih dan hormat yang amat besar, membuat dia tidak mungkin dapat menentang atau membantah. Bukan karena takut, melainkan karena cinta dan juga apa pun yang keluar dari mulut kakaknya itu terasa olehnya amat tepat dan tidak mungkin dapat dibantah kebenarannya lagi. Keadaan menjadi serius lagi sesudah Han Tiong bicara dengan sungguh-sungguh. Dalam menghadapi keadaan ini, di mana dia merasa dirinya tenggelam tak berdaya dan bahkan Kim Hong yang agaknya berwatak pemberontak itu pun terdiam, Thian Sin merasa tidak enak sekali dan dia pun mencoba untuk memecahkan suasana itu dengan berkelakar. “Aduh, Tiong-ko, lama tidak bertemu denganmu, sekali berjumpa, engkau agaknya seperti telah menjadi seorang pendeta! Kuliahmu penuh dengan hal-hal batiniah belaka!” Han Tiong tersenyum, akan tetapi jawabannya tetap saja serius, “Sin-te, mana mungkin kita mengabaikan soal-soal batiniah? Hidup ini bukan hanya lahirlah belaka, bukan? Lahir dan batin haruslah serasi, maju bersama-sama, karena kalau tidak demikian, kita tentu akan terjeblos ke dalam lembah sengsara. Batin yang waspada membuat orang menjadi bijaksana, Sin-te.” “Semua ucapanmu memang benar, Tiong-ko. Akan tetapi aku ingin mendengar tentang segi lain dari hidupmu semenjak kita berpisah. Bagaimana keadaan ayah dan ibu? Dan bagaimana dengan keadaan Lian Hong?” Kini ringan saja lidah Thian Sin menyebut nama ini, tanpa ada rasa berat sedikit pun di hatinya, tanda bahwa dia memang sama sekali sudah tidak mengharapkan gadis itu, dan hal ini pun amat terasa oleh Han Tiong yang menjadi lega. Dia tahu bahwa adiknya telah mendapatkan seorang pengganti, seorang gadis yang harus diakuinya dalam segala hal tidak kalah dibandingkan dengan Lian Hong. Bahkan lebih cantik dan dalam hal ilmu silat jauh lebih lihai. “Ayah dan ibu baik-baik saja, biar pun mereka juga amat mengharapkan kedatanganmu, Sin-te. Dan Adik Lian Hong juga baik-baik saja, sekarang sudah tinggal di Lembah Naga bersama kami. Engkau tahu, Sin-te, di mana aku menemukan Hong-moi? Di sarang datuk sesat Lam-sin, bahkan sempat menjadi murid datuk itu yang ternyata juga telah menolong dia ketika terjadi keributan itu.” Han Tiong tersenyum dan memandang kepada Kim Hong yang hanya tersenyum saja. Tentu saja Thian Sin sudah tahu tentang hal itu dari Kim Hong. Dia hanya mengangguk-angguk dan berkata, “Syukurlah kalau dia telah berada di Lembah Naga. Bukankah kalian sudah menikah sekarang, Tiong-ko?” Han Tiong menggelengkan kepala lalu memandang kepada adiknya. “Aku selalu mengulur waktu untuk itu, Sin-te. Aku tidak mau menikah sebelum engkau pulang…” “Ehh, kenapa begitu?” Thian Sin bertanya kaget. Han Tiong mengerling kepada Kim Hong, kemudian berkata, “Tadinya aku selalu meragu, adikku… mana mungkin aku bisa hidup bersenang-senang sendiri saja sementara engkau masih belum kuketahui keadaanmu? Akan tetapi sekarang, ahh, sekarang lain lagi. Tapi sudahlah, ada hal lain yang lebih penting dan perlu kubicarakan denganmu, Sin-te, juga denganmu, Nona Toan.” “Hal penting apakah, Tiong-ko?” jawab kedua orang itu hampir berbarengan dan mereka berdua memandang kepada Han Tiong dengan penuh perhatian. “Bukan lain tentang pertanggungan jawab, adik-adikku. Tanggung jawab akan perbuatan diri sendiri merupakan syarat mutlak bagi seorang pendekar. Oleh karena itu, aku minta kepadamu, Sin-te, agar engkau suka mempertanggung jawabkan semua perbuatanmu di Kun-lun-pai dan menyerahkan diri!” “Tiong-ko…!” Thian Sin memandang dengan mata terbelalak. “Tiong-ko, tadi sudah kukatakan bahwa urusan Kun-lun-pai adalah urusanku sendiri!” Kim Hong membantah. “Thian Sin tidak bertanggung jawab, aku yang bertanggung jawab!” Han Tiong menggeleng kepala dan menghela napas. “Adik Kim Hong, biar pun aku tahu bahwa ilmu silatmu sangat hebat, akan tetapi agaknya namamu tidaklah sedahsyat nama julukan Sin-te sebagai Pendekar Sadis sehingga fihak Kun-lun-pai menekankan Pendekar Sadis dalam peristiwa di Kun-lun-pai itu sebagai pelaku utamanya. Lagi pula, jelas bahwa Sin-te turut pula turun tangan maka dia tidak mungkin dapat lepas dari tanggung jawab. Selain itu, sesudah kalian berdua menjadi calon jodoh, bukankah berarti tanggung jawab yang seorang juga menjadi tanggung jawab yang lain? Maka, kuminta, marilah kita pergi ke Kun-lun-pai, biarlah aku yang akan mengantar kalian. Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tentu akan bersikap bijaksana.” Thian Sin menggelengkan kepalanya lalu memegang lengan kakaknya. “Tiong-ko, engkau tidak tahu. Mereka itu memusuhi aku, memusuhi kami. Mereka itu membenciku! Ketika kami berada di Kun-lun-pai, kami sudah menjelaskan bahwa kami tidak memusuhi pihak Kun-lun-pai, bahkan ketika mereka itu mengeroyok dan hendak menangkap kami, kami sengaja mengalah dan tidak membunuh seorang pun. Kami melarikan diri. Mana mungkin sekarang kami harus menyerahkan diri begitu saja padahal kami tidak bersalah terhadap mereka?” Han Tiong membalas pegangan adiknya itu. “Adikku, sudah kukatakan bahwa Kun-lun-pai bukanlah perkumpulan jahat, melainkan perkumpulan para pendekar dan dijunjung tinggi oleh para pendekar di seluruh dunia persilatan. Kalian sudah menyebabkan kematian Jit Goat Tosu yang dianggap sebagai saudara sendiri oleh para pimpinan Kun-lun-pai, dan kematian itu terjadi di Kun-lun-pai, dan kini engkau masih mengatakan bahwa Kun-lun-pai tak ada sangkut-pautnya sama sekali? Biar pun begitu, Kun-lun-pai tidak mau membalas dendam begitu saja terhadapmu, Sin-te, melainkan mau minta pertimbangan dan keadilan dalam pertemuan para pendekar. Mereka ini hendak menangkap kalian untuk dimintakan pengadilan, sama sekali bukan untuk membalas dendam dan mencelakai kalian. Tahukah engkau bahwa menurut kabar yang kudapatkan di jalan, pihak Kun-lun-pai bahkan akan minta pertanggungan jawab Cin-ling-pai dan ayah kita di Lembah Naga? Nah, sebagai seorang gagah, marilah kuantar engkau menghadap ke Kun-lun-pai, menyerahkan diri dan menghadapi pengadilan dengan gagah pula. Percayalah, kalau nanti terjadi ketidak adilan, aku yang akan membelamu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!” Thian Sin menjadi ragu-ragu kemudian menoleh kepada Kim Hong. Akan tetapi Kim Hong mengerutkan alisnya dan gadis itu lalu menggeleng kepala. “Aku tidak akan menyerahkan diri kepada tosu-tosu bau itu!” Thian Sin juga membayangkan betapa akan malunya untuk menyerahkan diri, dan tentu para tosu yang merasa sakit hati itu akan berdaya sedapat mungkin untuk bisa membalas dendam. Pula, dia tidak mau kalau sampai perbuatannya harus dipertanggung jawabkan oleh semua keluarga Cin-ling-pai, apa lagi ayah angkatnya juga harus turut bertanggung jawab. “Tiong-ko, ahh, Tiong-ko, mengapa begitu? Mengapa seakan-akan engkau malah hendak membantu mereka yang hendak menangkap kami?” Dia mengeluh sambil menatap pada kakaknya dengan sinar mata sedih. Han Tiong mengerutkan alisnya. “Adikku, ke manakah perginya kegagahanmu? Lupakah engkau bahwa seorang pendekar adalah pembela kebenaran, bahwa kematian pun bukan apa-apa, asal mati dalam kebenaran? Aku bukan hendak membantu mereka yang ingin menangkapmu, adikku, melainkan membantumu kembali ke jalan lurus seorang pendekar. Marilah kuantar engkau. Biarlah kalau Adik Kim Hong tidak mau pergi, sudah sepatutnya kalau engkau yang mempertanggung jawabkan pula perbuatan calon isterimu.” Kembali Thian Sin menjadi ragu-ragu. Apa bila menurutkan kata kesadarannya, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu memang benar. Kalau dia mempertanggung jawabkan semua perbuatannya, apa pun akibatnya, maka urusan akan menjadi selesai dan selanjutnya dia tak akan merasa dikejar-kejar dan dimusuhi orang lagi. Akan tetapi pada saat dia melihat wajah Kim Hong yang cemberut, dia pun maklum bahwa apa bila dia menuruti kata-kata kakaknya, maka Kim Hong akan menentang dan marah sekali dan bukan tidak mungkin hubungan antara mereka akan putus sampai di situ saja. “Tiong-ko, kau makilah aku, pukullah aku, suruh melakukan apa saja, akan tetapi jangan menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai!” akhirnya Thian Sin berkata. Han Tiong bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi merah, alisnya berdiri dan matanya terbelalak. “Sin-te! Masih demikian lemahkah engkau? Telah kupikirkan masak-masak dan satu-satunya jalan bagimu agar dapat kembali ke jalan lurus dan membersihkan namamu, hanyalah menyerahkan dan membiarkan dirimu diadili!” Akan tetapi Thian Sin sudah mengambil keputusan bulat. Dia menggelengkan kepala dan wajahnya menjadi agak pucat. Sakit sekali hatinya bahwa dia terpaksa harus menentang kehendak kakaknya yang sangat disayanginya, dan yang baru saja dijumpainya kembali setelah lama sekali berpisah itu. “Tidak, Tiong-ko. Aku tak akan mau menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai. Maafkan aku, Tiong-ko, akan tetapi sungguh aku tidak bisa menyerahkan diri kepada mereka.” “Sin-te, apakah engkau sudah menjadi seorang penakut? Apa engkau takut menghadapi hukuman? Takut mati?” Thian Sin menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku hanya tidak mau diperlakukan tak adil. Aku tidak merasa bersalah, maka tidak mungkin aku menyerahkan diri seperti orang yang bersalah.” “Akan tetapi, engkau akan diadili!” “Hemm, pengadilan terhadap Pendekar Sadis yang dibenci sudah bisa dibayangkan lebih dulu akan bagaimana jadinya.” “Sin-te, sekali lagi, demi membersihkan nama Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terlibat namanya olehmu, mari ikut aku ke Kun-lun-pai.” “Sekali lagi, tidak, Tiong-ko, dan maafkan aku.” “Kalau aku menggunakan kekerasan terhadapmu?” Thian Sin tersenyum. “Terserah, engkau tahu aku tidak akan melawanmu, aku tidak akan sanggup mengangkat tangan terhadapmu. Akan tetapi engkau harus tahu benar bahwa engkau tidak akan dapat membawaku dan memaksaku ke Kun-lun-pai selama aku masih bernyawa. Engkau harus membunuh aku terlebih dahulu sebelum dapat memaksa pergi, Tiong-ko. Ahh, Tiong-ko, mengapa kita harus begini?” Dan tiba-tiba Thian Sin menubruk, merangkul dan menangis! Kim Hong memandang dengan wajah pucat dan bengong. Tak pernah dapat disangkanya bahwa kekasihnya, Pendekar Sadis yang demikian gagah perkasa, berani mati, dan keras hati itu sekarang semua kekerasannya seakan-akan mencair dan menjadi lembek, lunak dan lemah sekali! Han Tiong sendiri merangkul adiknya dan menengadah, mukanya pucat sekali. “Kau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku dapat melakukan kekerasan terhadap dirimu, adikku,” katanya dengan suara serak penuh keharuan. “Akan tetapi engkau pun pasti tahu bahwa tak mungkin aku membiarkan saja namamu berlepotan noda dan membawa pula nama Lembah Naga menjadi tercemar. Apabila memang engkau berkeras tidak mau ikut bersamaku ke Kun-lun-pai, nah, selamat tinggal, adikku. Semoga Thian memberkahimu dan engkau dapat hidup bahagia bersama isterimu. Selamat tinggal, adikku, biar aku saja yang akan menebus segalanya, selamat tinggal!” Sesudah berkata demikian, pemuda itu lalu pergi meninggalkan Thian Sin dan Kim Hong yang memandang dengan muka pucat sampai akhirnya bayangan Han Tiong lenyap dari pandang mata mereka. Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Kesedihan yang teramat besar mencekam hatinya. Dia merasa berduka sekali bahwa perjumpaannya dengan kakaknya yang tersayang, terpaksa harus berakhir seperti itu. Kakaknya yang selama ini amat merindukannya, mencintanya, bahkan tak mau menikah sebelum bertemu dengannya! Dia tahu bahwa kakaknya itu terus menunggunya, bahkan dia tahu pula bahwa kakaknya itu akan mau mengalah untuk mundur dan membiarkan Lian Hong menikah dengan dia! Dia tahu benar akan semua isi hati dan watak kakaknya, tahu akan kasih sayang kakaknya itu terhadap dirinya yang amat mendalam. Kim Hong hanya memandang saja, membiarkan kekasihnya terbenam dalam lamunannya sendiri. Ia pun dapat mengerti akan kesedihan Thian Sin. Setelah agak lama, barulah Kim Hong mendekati kekasihnya lalu duduk di dekatnya di atas rumput, memegang tangannya tanpa bicara. Thian Sin yang merasa tangannya dipegang dan digenggam kekasihnya, lalu mengangkat muka dan menurunkan tangannya. Mukanya pucat sekali dan matanya agak kemerahan, pipinya masih basah oleh air mata. Mereka saling pandang sejenak, kemudian Kim Hong mengangguk perlahan dan berkata lirih, “Engkau benar, Thian Sin. Memang kakakmu itu yang terlalu lemah, mau saja mengalah terhadap orang lain. Terhadap pihak mana pun juga, jika mau menang sendiri dan terlalu mendesak, harus kita tandingi, bukannya mengalah dan membiarkan diri dihina.” Thian Sin memandang wajah kekasihnya lalu menarik napas panjang. “Engkau tidak tahu, Kim Hong. Engkau belum mengenal Tiong-ko. Dia sama sekali bukan orang lemah, bukan mengalah begitu saja, dan sama sekali tidak takut. Akan tetapi Tiong-ko selalu bertindak demi kebenaran, dan untuk membela kebenaran ini, dia tidak pernah segan-segan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia seorang manusia yang gagah perkasa lahir batin, yang berhati tulus dan cintanya amat tulus. Aku khawatir sekali…” “Khawatir apa, Thian Sin?” “Aku tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya di Kun-lun-pai. Aku hanya merasa tidak enak sekali. Apa kata-katanya yang terakhir tadi? Selamat tinggal, akulah yang akan menebus segalanya. Nah, itulah yang membuat hatiku merasa gelisah sekali.” Kim Hong mengerutkan alisnya. “Lalu, apa yang akan dilakukannya?” “Kita harus membayangi dia, Kim Hong. Aku harus melihat apa yang akan dilakukan oleh Tiong-ko. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya, karena aku, maka selama hidupku aku akan menderita penyesalan batin yang lebih hebat dari pada kematian. Marilah kita bayangi dia dan lihat apa yang akan dilakukannya.” Kim Hong hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya segera bangkit, kemudian berlari cepat mengejar Han Tiong, menuju ke Kun-lun-san. *************** Para tokoh kang-ouw telah mulai berdatangan di Kun-lun-pai. Undangan dari sebuah partai persilatan seperti Kun-lun-pai tentu saja merupakan peristiwa besar hingga memperoleh perhatian dari mereka yang diundang, apa lagi di dalam undangan itu Kun-lun-pai dengan terus terang menyatakan bahwa pertemuan antara para tokoh pendekar itu dimaksudkan untuk membicarakan tentang sepak terjang Pendekar Sadis yang namanya sudah sangat menggemparkan seluruh dunia persilatan itu. Satu hari sebelum hari yang ditetapkan, di Kun-lun-pai sudah hadir belasan orang tokoh pendekar dari berbagai aliran. Kui Im Tosu, ketua Kun-lun-pai, didampingi oleh sute-nya yang menjadi wakilnya, yaitu Kui Yang Tosu, telah menyambut dan menemani para tamu yang datang awal itu di ruangan tamu yang luas itu. Di antara belasan orang tamu yang sudah datang itu terdapat pula tiga orang Shan-tung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua dari Shan-tung) serta Hwa Siong Hwesio, tokoh hwesio Siauw-lim-pai. Mereka ini bersama dengan Kui Yang Tosu pernah menemui Pendekar Sadis untuk menegur pendekar itu karena telah membunuh Toan-ong-ya di kota raja. cerita silat online karya kho ping hoo Di samping empat orang pendekar itu, telah hadir pula beberapa orang yang benar-benar merupakan pendekar yang sangat dihormati serta disegani orang, antara lain Lo Pa San yang berjuluk Hui-to-sian (Dewa Golok Terbang), seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Pendekar ini terkenal sekali di daerah pantai Lautan Po-hai. Thian Heng Losu, kakek tinggi kurus bertongkat bambu kuning berusia enam puluh tahun lebih, ketua Bu-tong-pai yang berkenan datang sendiri karena selain dia ingin mendengar tentang Pendekar Sadis, juga ketua Bu-tong-pai ini ingin bertemu dengan para pendekar. Juga hadir pula Liang Sim Cianjin, yaitu seorang pendekar yang terkenal sebagai seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat) berusia enam puluh lima tahun. Pakaian pertapa ini seperti petani, bercaping lebar dan sikapnya halus, tubuhnya kecil kurus sama sekali tidak membayangkan bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi. Kehadiran ketua Bu-tong-pai, juga dari perkumpulan-perkumpulan besar semacam Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Thai-san-pai dan lain-lain tentu saja membawa beberapa orang anak murid yang kini berkumpul di lain bagian karena kini kedua orang ketua Kun-lun-pai itu sedang menyambut para tamu yang sejajar atau setingkat dengan mereka berdua. Maka keadaan dalam kamar tamu yang cukup luas itu sangat meriah, akan tetapi pembicaraan terjadi dengan serius. Kui Yang Tosu menceritakan kepada belasan orang tamunya itu dalam suasana ramah tamah karena pertemuan yang resmi belum dilakukan, tentang peristiwa yang terjadi di situ ketika Pendekar Sadis dan gadis lihai itu datang sehingga mengakibatkan kematian Jit Goat Tosu yang telah menjadi saudara yang dihormati dari para pimpinan Kun-lun-pai. Sebagai seorang yang gagah dan jujur, Kui Yang Tosu tidak menyembunyikan sesuatu, lalu menceritakan pula alasan-alasan dua orang itu datang ke Kun-lun-pai dan hubungan antara Toan Kim Hong dan Jit Goat Tosu. Mereka juga menceritakan hendak menangkap mereka namun gagal. “Kami hendak menahan mereka, minta pertanggungan jawab mereka dan pertimbangan rapat para pendekar, namun Pendekar Sadis dan nona itu mengamuk dan melarikan diri. Ilmu kepandaian mereka memang tinggi sekali, sementara kami pun tak mempunyai niat untuk membunuh, melainkan hendak menahan mereka, namun kami gagal. Oleh karena itu kami mengundang para orang gagah untuk dimintai pertimbangan.” Suasana menjadi sunyi sesudah semua orang mendengar penuturan itu, dan diam-diam mereka semua merasa terkejut dan kagum bukan main. Pada masa itu kiranya sulit dicari orang yang akan mampu membebaskan diri dari kepungan orang-orang Kun-lun-pai! Dari kenyataan itu saja sudah dapat diukur betapa lihainya Pendekar Sadis serta kawannya, wanita muda itu. “Sungguh aku belum mengerti benar, Toyu,” terdengar Lo Pa San berkata. Pendekar ini orangnya jujur, ramah dan adil, juga sangat sederhana sehingga bicara dengan pimpinan Kun-lun-pai sekali pun dia hanya menyebut toyu yang berarti ‘sahabat’ saja. “Menurut penuturanmu tadi, Pendekar Sadis hanya menemani atau membantu nona bernama Toan Kim Hong datang mencari supek-nya sendiri. Apa yang terjadi antara mereka itu, sampai yang berakibat kematian Jit Goat Tosu yang membunuh diri, kiraku merupakan urusan pribadi di dalam kekeluargaan mereka. Kiranya sama sekali bukan menjadi hak kita untuk ikut mencampuri.” Beberapa orang gagah yang berada di situ mengangguk membenarkan. Rata-rata mereka itu adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak mau sembrono dan tidak mau berpihak terhadap siapa pun juga, kecuali berpihak pada kebenaran dan keadilan. “Siancai… apa yang dikatakan oleh Lo-enghiong tadi memang tak keliru. Kami pun bukan golongan yang suka usil dan senang mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Jit Goat Tosu bukanlah orang lain lagi, melainkan saudara tua kami. Dan seperti yang sudah pinto ceritakan tadi, nona itu tadi adalah seorang murid durhaka yang tidak mau menghormati bendera pusaka perguruan sendiri, tidak tahu pula bahwa Jit Goat Tosu sudah mengalah karena kalau dia menghendaki, dua orang muda itu takkan mungkin mampu mengalahkan dia. Tetapi mereka mendesak terus sehingga dia mengalah dan membunuh diri. Peristiwa kejam ini terjadi di Kun-lun-pai. Sedangkan andai kata hal itu menimpa diri orang lain di luar Kun-lun-pai sekali pun, maka sebagai pendekar-pendekar kita haruslah turun tangan mengadilinya. Apa lagi hal itu menimpa saudara tua kami, terjadi di Kun-lun-pai pula, dan yang terutama sekali, dilakukan oleh Pendekar Sadis yang sudah mencemarkan sebutan pendekar itu. Karena itu, pinto kira sudah selayaknya kalau hal ini dibahas secara teliti di dalam rapat besok di antara para pendekar.” Karena alasan yang dikemukakan oleh Kui Yang Tosu itu memang pantas, semua orang mengangguk dan memang kebanyakan di antara mereka merasa tak senang mendengar sepak terjang Pendekar Sadis yang terlalu kejam di dalam menangani musuh-musuhnya, biar pun yang diberantasnya itu adalah tokoh-tokoh sesat. Terutama sekali pembunuhan Pendekar Sadis terhadap Toan Ong sungguh membuat mereka merasa penasaran sekali. Keadaan menjadi berisik ketika mereka membicarakan semua perbuatan Pendekar Sadis yang sangat kejam ketika membunuh musuh-musuhnya dan bagaimana pun juga, mereka semua merasa kagum dan jeri ketika mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah berhasil membunuh See-thian-ong, Pak-san-kui, dan melenyapkan Lam-sin. Bahkan berita tentang Pendekar Sadis menyerbu Tung-hai-sian sudah ramai mereka bicarakan pula. “Cin-ling-pai harus bertanggung jawab. Bukankah Pendekar Sadis itu adalah sanaknya? Tung-hai-sian bisa terluput dari perbuatannya karena berbesan dengan Cin-ling-pai,” kata seseorang. “Pendekar Lembah Naga adalah ayah angkatnya, maka dialah yang harus bertanggung jawab paling besar,” kata yang lain. “Harap para saudara bersabar karena pinto juga sudah mengundang mereka. Pinto kira, besok mereka akan dapat hadir semua dan kita minta saja pendapat serta pertimbangan mereka. Jiwa pendekar menuntut keadilan dan harus menghukum siapa saja yang salah, biar pun keluarga sendiri tidak semestinya jika dilindungi sehingga kejahatannya semakin merajalela,” kata Kui Yang Tosu, ada pun Kui Im Tosu hanya mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya. Ketua Kun-lun-pai ini memang tidak suka banyak bicara. Tiba-tiba saja terdengar suara lantang, “Harap cu-wi jangan khawatir. Mengenai semua perbuatan Pendekar Sadis, akulah yang bertanggung jawab sepenuhnya!” Semua orang menoleh dan mereka melihat masuknya seorang pemuda yang berpakaian sederhana akan tetapi sikapnya sangat gagah perkasa. Karena Han Tiong memang tidak pernah menonjolkan diri di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang mengenal pemuda ini dan semua orang bangkit berdiri, memandang dengan heran akan tetapi juga membalas penghormatan pemuda yang sudah menjura ke arah mereka dengan sikap hormat itu. “Para pimpinan Kun-lun-pai dan para locianpwe yang berada di sini, kedatangan saya ini untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang dilakukan oleh Pendekar Sadis. Cin-ling-pai dan Lembah Naga tidak ada urusannya dengan dia sehingga tak seharusnya bertanggung jawab, melainkan saya seoranglah.” Kui Yang Tosu telah melangkah maju dan memandang kepada pemuda gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Siapakah sicu yang muda ini?” tanyanya. Han Tiong memandang pada tosu itu dan menduga bahwa tentu dia sedang berhadapan dengan ketua Kun-lun-pai. “Apakah totiang ketua Kun-lun-pai?” “Pinto adalah Kui Yang Tosu, wakil ketua Kun-lun-pai. Siapakah engkau, orang muda?” “Saya adalah kakak dari Pendekar Sadis, nama saya Cia Han Tiong,” jawab Han Tiong sederhana. “Cia…? Adakah hubunganmu dengan Cia Sin Liong Taihiap, Pendekar Lembah Naga?” “Dia adalah ayah saya.” Kui Yang Tosu, juga semua orang gagah yang berada di situ terkejut bukan main. Kiranya pemuda sederhana yang bersikap gagah perkasa ini adalah putera dari Pendekar Lembah Naga! Maka mengertilah sekarang Kui Yang Tosu mengapa pemuda ini memperkenalkan diri sebagai kakak dari Pendekar Sadis, dan dia mengerutkan alisnya. “Hemm, selamat datang, Cia taihiap. Mari silakan duduk.” “Terima kasih, totiang. Kedatangan saya ini bukan untuk menghadiri rapat para pendekar, melainkan, seperti saya katakan tadi, untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatan Pendekar Sadis, adik saya. Hanya saya seoranglah yang menjadi penanggung jawabnya, bukan Cin-ling-pai mau pun Lembah Naga.” Makin dalam kerut di antara alis Kui Yang Tosu. “Orang muda, apa yang kau maksudkan dengan pertanggungan jawab itu?” “Apa pun yang totiang kehendaki! Jika adik saya dianggap bersalah dan hendak dihukum, nah, hukumlah saya! Saya yang mewakilinya menerima hukuman, kalau memang sudah sepantasnya dia dihukum. Akan tetapi saya merasa yakin bahwa para locianpwe yang gagah perkasa tentu akan memiliki kebijaksanaan dan pertimbangan seadil-adilnya. Saya sudah mendengar akan semua yang dilakukan adik saya, mendengar dengan jelas. Saya datang bukan untuk membelanya, juga bukan melindunginya, tapi untuk menebus semua kesalahannya, kalau memang ada perbuatannya yang dianggap bersalah.” “Pendekar Sadis bertindak sangat kejam, perbuatan itu sudah mencemarkan nama para pendekar! Dia memang menentang penjahat, namun tindakannya luar biasa kejamnya!” kata Kui Im Tosu yang sejak tadi diam saja. “Cia-taihiap, apakah hal itu tidak kau anggap bersalah?” “Maaf, totiang. Salah atau tidak itu tergantung orang yang menilainya. Akan tetapi saya tahu benar mengapa adik saya itu bertindak demikian kejam terhadap musuh-musuhnya yang dibasminya. Dia menderita dendam sakit yang sangat mendalam, dan karena dia lemah, maka dia memberi kesempatan kepada nafsunya untuk membalas dendam, untuk menyiksa dan memuaskan sakit hatinya.” “Ha-ha-ha, bagaimana jawabanmu terhadap perbuatannya membunuh Toan Ong?” kata seorang di antara Shan-tung Sam-lo-eng. Han Tiong memandang kepada pembicara kemudian menjawab, “Hal itu pun sudah saya bicarakan dengan adik saya. Dia melakukan hal itu karena fitnahan orang lain, maka dia menganggap Toan Ong adalah seorang manusia jahat sehingga dibunuhnya. Setelah dia menyadari kekeliruannya itu, dia pun langsung menghukum orang yang melakukan fitnah. Pembunuhan itu hanya merupakan hasil fitnah, bukan berarti adik saya memang sengaja membunuh orang baik-baik.” “Hemm, kalau menurut pendapatmu, apa Pendekar Sadis itu patut dibebaskan dan tidak dianggap bersalah? Begitukah?” Hui-to-sian Lo Pa San ikut bertanya, suaranya lantang. “Sama sekali bukan demikian maksud saya, locianpwe. Sudah saya katakan bahwa saya bukan membelanya atau melindunginya, melainkan mewakilinya menerima hukuman jika memang dianggap bersalah.” “Omitohud…! Cia-taihiap yang begini muda sudah memiliki kasih sayang yang luar biasa sekali terhadap adiknya, adik angkatnya lagi. Begitu mendalam, sungguh mengagumkan!” Hwa Siong Hwesio tokoh Siauw-lim-pai itu berkata. “Akan tetapi, mana boleh menghukum orang lain sedangkan yang berdosa malah bebas? Apa gunanya itu? Si jahat harus dihukum biar lenyap dari dunia ini atau supaya bertobat sehingga kejahatannya tidak terulang kembali!” kata Thian Heng Losu ketua Bu-tong-pai. “Cia-taihiap, andai kata pun kami menghukummu sebagai orang yang mewakili Pendekar Sadis, apa artinya itu? Dia akan tetap saja menyebar kekejaman di dunia ini!” “Tidak, locianpwe. Kalau dia mendengar bahwa saya dihukum karena perbuatannya tentu dia akan insyaf dan sadar, dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatannya yang para locianpwe anggap tidak selayaknya.” “Bagaimana kalau kita memutuskan bahwa Pendekar Sadis harus dilenyapkan atau harus dijatuhi hukuman mati?” Lo Pa San yang juga amat kagum kepada pemuda ini bertanya, memancing. “Saya sudah bertekad untuk mewakili adik saya menjalani hukuman apa saja, kalau perlu saya tidak akan menolak untuk dihukum mati, jika memang hukuman itu dapat menebus kesalahannya dan cu-wi locianpwe tidak akan mengganggu dia, Cin-ling-pai atau Lembah Naga!” Bukan main hebatnya jawaban tegas ini, membuat semua tokoh itu sejenak terbisu dan memandang kepada Han Tiong dengan heran sekali. Biasanya, jika seseorang mencinta adiknya, tentu adik itu akan dibelanya serta dilindunginya, kalau perlu membantu adiknya menentang semua orang yang hendak mengganggu adiknya, namun bukan mewakilinya menerima hukuman seperti yang akan dilakukan oleh putera Pendekar Lembah Naga ini. “Tiong-ko, engkau tidak boleh mewakili hukumanku!” Teriakan ini mengejutkan semua orang, dan tahu-tahu mereka melihat seorang pemuda gagah berdiri di ambang pintu ruangan itu, dan di belakangnya berdiri pula seorang gadis cantik yang bersikap angker. Han Tiong terkejut melihat munculnya Thian Sin beserta Kim Hong, akan tetapi wajahnya juga segera berseri gembira karena dia menduga bahwa tentu Thian Sin dan Kim Hong sudah sadar lantas datang menyerahkan diri untuk jawabkan perbuatan mereka. Maka dia pun berseru dengan girang sekali, “Ahh, Sin-te dan Adik Hong, bagus sekali kalian datang. Jangan khawatir, para locianpwe ini adalah orang-orang bijaksana!” “Tidak, Tiong-ko! Aku tetap tidak merasa bersalah dan terserah mereka itu mau apa! Akan tetapi, hendaknya para pendekar yang mengaku perkasa dan semua orang yang hadir di sini mendengar baik-baik bahwa seluruh perbuatan Pendekar Sadis dan Toan Kim Hong menjadi tanggung jawab kami berdua sendiri. Kakakku Cia Han Tiong sama sekali tidak tahu apa-apa dan karenanya tidak boleh hukuman untuk kami dijatuhkan kepadanya atau kepada Cin-ling-pai atau Lembah Naga. Kami berdua sendirilah yang bertanggung jawab. Akan tetapi kami tidak merasa bersalah, dan siapa yang hendak menghukum kami, boleh saja maju dan coba-coba!” Pendekar Sadis berdiri dengan gagah perkasa dan sikapnya menantang sekali. Juga Kim Hong berdiri sambil tersenyum mengejek kepada semua orang yang berada di ruangan tamu yang luas itu. Karena Kun-lun-pai sedang menyambut tamu-tamu agung, maka pintu gerbang dibuka dan tidak diadakan penjagaan seperti biasa sehingga mereka berdua, seperti juga Han Tiong tadi, dapat masuk ke tempat itu dengan mudah. Melihat lagak Pendekar Sadis yang menantang dan merasa tidak bersalah itu, para tamu menjadi sangat marah. Pendekar budiman dari Po-hai, yaitu Lo Pa San, lalu mengerutkan alisnya. Pendekar Sadis itu dianggapnya tidak tahu aturan dan berani bersikap demikian memandang rendah kepada orang-orang kang-ouw yang tingkatnya tinggi dan sudah tua pula. “Pendekar Sadis, di samping kejam kiranya engkau juga sombong bukan main!” teriaknya sambil mencabut keluar sebatang golok tipis dari ikat pinggangnya dan dia pun langsung melompat ke depan. “Sudah lama aku mendengar nama Pendekar Sadis yang menodai nama baik para pendekar dengan perbuatannya yang amat kejam. Sekarang engkau tak mau mengaku salah malah menantang siapa pun yang hendak menangkapmu? Nah, aku, Hui-to-sian Lo Pa San yang hendak menangkapmu!” Thian Sin tersenyum mengejek. “Menangkap dengan senjata yang terhunus? Locianpwe, engkau ini memaki orang kejam, akan tetapi engkau sendiri, begitu berhadapan denganku segera mencabut golok, lalu apakah namanya sikap seperti ini? Apakah ini yang disebut manis budi dan lunak tidak kejam?” Wajah Lo Pa San menjadi merah, maka tahulah dia bahwa kini dia menghadapi seorang pemuda yang pandai bicara pula. Tentu saja dia merasa malu. Kalau tadi mencabut golok adalah karena dia sendiri telah mendengar akan kelihaian Pendekar Sadis dan dia adalah seorang ahli bermain golok sehingga mendapat julukan Dewa Golok Terbang. Akan tetapi ejekan halus Thian Sin itu tentu saja membuat dia menjadi serba salah sehingga dia pun segera menyimpan kembali goloknya. “Orang muda, kau kira aku tidak berani menghadapimu dengan tangan kosong? Kalau tadi aku mengeluarkan golok, adalah karena aku mengira bahwa engkau pun akan memegang senjata.” Thian Sin tersenyum lebar, “Ingat, locianpwe, apa bila sampai terjadi bentrok antara kita, maka penyerangnya adalah engkau, bukan aku. Bagaimana aku tiba-tiba saja mencabut senjata? Tidak, engkaulah pencari gara-gara kalau sampai kita berkelahi, bukan aku.” “Sombong! Lihat serangan!” Lo Pa San adalah seorang pendekar yang telah mempunyai tingkat kepandaian tinggi dan bukan sembarang pendekar. Ia amat jarang keluar dari rumah untuk mencampuri perkara yang remeh-remeh. Akan tetapi pada waktu pantai Po-hai pernah dibikin tidak aman oleh merajalelanya bajak-bajak yang datang dari Korea mau pun Jepang, pendekar inilah yang dengan gagah berani memimpin para pendekar muda untuk menentang dan mengadakan pembersihan, dan dia baru berhenti berjuang sesudah para bajak laut ganas itu terbasmi semua dan sisanya melarikan diri ke lautan. Namanya menjadi terkenal sekali, terutama ilmu goloknya yang membuat dia memperoleh julukan yang sangat menyeramkan itu, yaitu Dewa Golok Terbang. Selain ilmu goloknya yang sangat terkenal, tentu saja pendekar ini juga memiliki ilmu silat tangan kosong yang tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Begitu menyerang, dua tangannya yang jari-jarinya terbuka itu mengirim serangan cengkeraman bertubi-tubi bagaikan cakar garuda. Memang kakek berusia lima puluh tahun lebih itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti) yang telah mengalami banyak perubahan karena dikombinasikan dengan ilmu gulat Mongol sehingga di samping mencengkeram dengan kuat, juga jari-jari tangan itu dapat menangkap dan sekali lawan tertangkap dengan Ilmu Sin-tiauw-kun yang mengandung ilmu gulat Mongol itu, sukarlah lawan untuk melepaskan diri lagi. Agaknya Dewa Golok Terbang ini benar-benar hendak menangkap Thian Sin seperti yang dikatakannya tadi. Namun Thian Sin menyambut serangan-serangannya dengan sikap tenang saja. Pemuda ini memang mempunyai sebatang pedang, yaitu Gin-hwa-kiam pemberian neneknya, juga ikat pinggangnya merupakan senjata sabuk seperti yang dahulu pernah dipelajarinya dari neneknya. Akan tetapi dia memiliki ilmu silat tangan kosong yang amat hebat dan banyak macamnya, maka tanpa bantuan senjata sekali pun dia sudah merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Menghadapi serangan dengan ilmu Sin-tiauw-kun itu, Thian Sin segera mainkan Thai-kek Sin-kun yang daya tahannya amat kokoh dan kuat sehingga selama beberapa belas jurus lawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya dan semua cengkeraman lawan dapat ditangkis atau dielakkannya dengan mudah sekali. Melihat ini, Hui-to-sian terkejut dan juga marah sekali. Dia mengeluarkan gerengan keras dan kini serangannya ditambah lagi dengan tendangan-tendangan kakinya yang dilakukan secara beruntun dan berantai. Gerakan pendekar ini cepat bukan kepalang, kedua tangan mencengkeram bertubi-tubi dan kedua kaki menendang bergantian, dan setiap serangan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Diam-diam Thian Sin juga terkejut dan memuji. Pendekar ini betul-betul tangguh sehingga tak boleh dipandang ringan. Kalau saja dia melanjutkan perlawanannya dengan Thai-kek Sin-kun, tentu dia akan terus terdesak tanpa mampu membalas. Gerakan lawannya aneh dan cepat sehingga dia harus mencurahkan seluruh perhatian dan gerakan ilmu silatnya hanya untuk bertahan dan untuk melindungi dirinya saja. Karena itu, pada saat lawannya menghujani tendangan, dia lalu menggunakan tangannya untuk menangkap kaki lawan. Melihat ini, Hui-to-sian cepat menarik kembali kakinya dan melihat betapa lawan muda itu membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka, secepat kilat tangan kirinya mencengkeram dan tahu-tahu pundak Thian Sin kena dicengkeramnya. “Plakkk!” Thian Sin menangkis sambil mengerahkan Thi-khi I-beng, akan tetapi ternyata tusukan dengan kedua jari tangan kanan itu dilakukan dengan tenaga kasar biasa saja dan kakek itu pun sudah meloncat ke belakang setelah tangan kirinya terlepas dari sedotan pundak. Wajahnya agak pucat dan dia memandang dengan mata bersinar-sinar. “Celaka, ilmu pusaka Cin-ling-pai dipergunakan orang untuk menentang para pendekar!” katanya dan dia pun sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Mendengar ucapan lawan, Thian Sin tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng lagi, bahkan dia merasa malu untuk menggunakan ilmu dari Cin-ling-pai. Sekali ini, dia langsung saja mengeluarkan ilmu yang dipelajarinya dari peninggalan ayah kandungnya, yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus, namun merupakan ilmu silat yang mukjijat itu. “Haiiiiitt…!” Dia mulai membalas dengan menggunakan jurus dari ilmu silat ayahnya. Hui-to-sian kaget bukan kepalang ketika tiba-tiba saja angin menyambar dahsyat dan dia melihat lawannya itu menyerangnya dari bawah. Untuk mengelak dari serangan sehebat itu tidaklah mungkin lagi, maka dia pun menanti serangan, mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan kedua tangannya ketika dua langan pemuda yang mendorong itu telah tiba mendekat. “Desss…!” Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, tubuh Hui-to-sian segera terlempar dan terdorong ke belakang sampai tujuh langkah dan hampir saja dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat membuka kedua kakinya sambil mengerahkan tenaga sinkang pada kedua kakinya yang dipentang lalu memasang kuda-kuda. Akan tetapi tubuhnya sudah terguncang hebat hingga keringat dingin membasahi lehernya. Untung bahwa dia tidak terluka, akan tetapi maklumlah pendekar ini bahwa dia telah kalah! Semua pendekar yang berada di situ juga maklum akan hal ini, maka kini Liang Sim Cinjin segera bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan. “Siancai…! Kiranya nama besar Pendekar Sadis bukanlah nama kosong belaka. Biarlah aku yang tua ini mencoba kelihaiannya!” Sambil berkata demikian, kakek ini sudah menanggalkan capingnya, yaitu topi berbentuk bundar yang terbuat dari pada bambu akan tetapi sesungguhnya di balik anyaman bambu itu tersembunyi baja-baja runcing yang membuat topi itu di samping dapat dipergunakan sebagai pelindung kepala dari panas dan hujan, juga dapat dipakai sebagai senjata yang sangat berbahaya. Akan tetapi sebelum Thian Sin melayani lawan baru ini, mendadak Kim Hong melangkah maju dan gadis ini berkata, “Bukankah yang maju ini adalah Locianpwe Liang Sim Cinjin yang terkenal sebagai bun-bu-coan-jai dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat itu? Nah, bagus sekali kalau begitu, tentu seorang sasterawan mengerti tentang kepantasan dan keadilan. Apakah kalian ini orang-orang tua yang katanya gagah perkasa hendak melakukan pengeroyokan?” Liang Sim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang sudah bertahun-tahun selalu bertapa di atas gunung di daerah Kang-lam. Dia hanya mendengar saja nama Pendekar Sadis, dan kalau dia sekarang maju hanya karena dia merasa tidak enak terhadap Kun-lun-pai sebagai tuan rumah. Sebagai seorang tamu yang melihat tuan rumah kedatangan musuh, apa lagi Pendekar Sadis yang dianggap menyeleweng dan menodai nama para pendekar. Melihat betapa Lo Pa San yang menjadi sahabatnya telah kalah oleh Pendekar Sadis, dia segera maju, bukan hanya terdorong karena merasa tidak enak apa bila diam saja, akan tetapi juga timbul gairahnya sebagai seorang ahli silat tinggi untuk mencoba kepandaian orang muda itu. Sebab itu, melihat gadis teman Pendekar Sadis itu yang maju dan menyerangnya dengan kata-kata, kakek yang usianya sudah enam puluh lima tahun ini menjadi terperanjat dan bingung juga. Maklumlah, meski pun dia seorang Pendekar, akan tetapi dia juga seorang sasterawan, maka menghadapi wanita tentu saja dia merasa kikuk. “Eh, nona… siapa yang mengeroyok! Biar pun aku orang tua yang bodoh, selama hidupku aku belum pernah melakukan pengeroyokan. Bukankah aku maju seorang diri saja untuk melawannya?” katanya membantah. “Majunya memang seorang diri, namun kalau Thian Sin dilawan dengan cara bergiliran, bukankah itu sama saja dengan pengeroyokan? Mana dia kuat menghadapi lawan begini banyak yang maju satu demi satu? Tenaga manusia ada batasnya. Apa artinya locianpwe menang bila menangnya itu karena dia telah kelelahan akibat melawan orang-orang yang pertama maju lebih dulu?” Liang Sim Cinjin tidak mempunyai kebencian atau permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, dan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis hanya dia ketahui dari berita saja. Kini setelah melihat sikap dan wajah pemuda itu, hatinya sama sekali tidak mengandung rasa kebencian karena sikap Thian Sin cukup sopan dan jujur, bukan sombong, dan wajahnya juga patut menjadi seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Maka, ketika mendapat teguran seperti itu, wajahnya menjadi merah, dan dia merasa serba salah. “Kalau begitu, biarlah dia mengaso dulu… aku juga tidak mau memperoleh kemenangan karena kelelahan lawan…” Kim Hong tersenyum. “Tak perlu sungkan-sungkan, locianpwe. Saya kira locianpwe tidak memiliki permusuhan pribadi dengan Pendekar Sadis, melainkan karena sebagai tamu di Kun-lun-pai maka locianpwe ingin melakukan kewajiban sebagai seorang tamu sekaligus sahabat baik Kun-lun-pai untuk melawannya, bukan? Locianpwe juga sudah menganggap bahwa peristiwa di Kun-lun-pai yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu itu disebabkan oleh kesalahan Pendekar Sadis, maka untuk itu pula kini locianpwe hendak melawannya, bukan?” Tentu saja kakek itu merasa enak dituntun seperti itu, dicarikan alasan yang demikian tepat dan kuat, maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar… benar sekali, nona.” Dia tidak tahu bahwa dia dituntun ke dalam perangkap oleh gadis yang pandai itu. Setelah kakek itu menjawab demikian, Kim Hong tertawa, menutupi mulut dengan tangan kirinya. “Nah, ketahuilah, locianpwe, orang yang bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi di Kun-lun-pai itu adalah aku! Jit Goat Tosu adalah supek-ku, tapi juga musuhku dan karena akulah maka supek membunuh diri. Pendekar Sadis hanya menemaniku saja memasuki Kun-lun-pai. Oleh karena itu, kalau engkau hendak maju, bukan Pendekar Sadis lawanmu melainkan aku! Nah, kini aku sudah siap, locianpwe, majulah dan mari kita bermain-main sebentar!” Tentu saja Liang Sim Cinjin menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu akan hal itu, akan tetapi sama sekali tak pernah dibayangkannya bahwa dia harus bertanding melawan gadis muda ini. Kalau dia tahu bahwa dia harus melayani gadis ini, tentu dia akan berpikir dua kali untuk maju. Bukan takut kalah, melainkan baru maju saja sudah harus malu. Masa seorang tokoh besar seperti dia, seorang kakek yang menduduki tempat tinggi di dunia kaum pendekar, kini harus menandingi seorang gadis remaja? Dia tidak tahu sama sekali bahwa yang sedang dihadapinya itu bukanlah sembarang gadis remaja, melainkan orang yang dulu pernah menjadi Lam-sin dan yang sudah menggegerkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya sebagai datuk kaum sesat di dunia selatan! “Kecuali kalau locianpwe merasa takut untuk melawanku, boleh saja locianpwe mundur, biar diganti oleh siapa saja yang lebih berani!” Kim Hong memang pintar sekali. Setelah memojokkan kakek itu sehingga kakek itu tidak mungkin memaksa Thian Sin untuk melawannya, kini dia memaksa pula kakek itu supaya tidak mundur kembali. Gadis ini tak ingin melihat Thian Sin seorang diri saja menghadapi mereka semua itu, bila mana sampai terjadi perkelahian satu lawan satu secara bergiliran. Bagaimana pun juga, dialah yang menyebabkan Thian Sin kini harus dihadapi oleh para pendekar untuk diadili! “Nona muda, agaknya kesombonganmu tidak kalah oleh Pendekar Sadis. Kalau aku tidak mau melayanimu, tentu semua orang akan mentertawakan dan menganggap bahwa aku benar-benar takut. Nah, majulah dan ingin kulihat apakah benar penuturan para pimpinan Kun-lun-pai bahwa engkau pun memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai.” “Locianpwe ingat bahwa kami datang bukan untuk mencari permusuhan, melainkan kalian semua di sinilah yang sengaja mengajak berkelahi. Kalau locianpwe beserta semua orang di sini tidak menantang, kami pun akan pergi dengan aman. Kalau sebaliknya locianpwe mengajak mengadu ilmu, majulah dan tidak perlu sungkan-sungkan lagi, aku sudah siap!” Bocah ini sungguh takabur, pikir Liang Sim Cinjin, akan tetapi pandai bicara dan sikapnya seolah-olah orang yang mempunyai kedudukan tinggi menghadapi lawan yang seimbang atau tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya. Pantasnya bukan sikap seorang gadis remaja, melainkan seorang locianpwe. Dia tidak tahu bahwa sikap itu adalah sikap Lam-sin, datuk kaum sesat bagian selatan! “Nona muda, jagalah seranganku ini!” bentaknya halus. Dia pun mulai melangkahkan kakinya maju dan mengirim pukulan dengan telapak tangan kiri, menampar ke arah pundak. Pukulan yang kelihatannya sederhana dan sembarangan saja, akan tetapi begitu tangan itu bergerak, terdengar suara bercuitan yang nyaring dan tentu saja Kim Hong langsung mengenali ilmu pukulan ampuh yang mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi gerakan kakek itu ternyata amat cepat dan otomatis karena begitu dielakkan pukulan pertama itu, Kim Hong merasakan adanya sambaran angin keras sekali dari arah kirinya dan ternyata kakek itu sudah menggerakkan topi capingnya yang bundar itu. Angin berdesir diikuti suara berdesing ketika caping itu menyambar ke arah leher Kim Hong. Kembali Kim Hong mengelak, mempergunakan ginkang-nya yang memang amat istimewa itu sehingga sekali tubuhnya berkelebat, sambaran caping itu pun tidak mengenai sasaran dan kini Kim Hong cepat pula membalas dengan tamparan jari tangannya. “Plak-plak-plak!” Tiga kali berturut-turut dia menampar dan tiga kali pula kakek itu berhasil menangkis. Liang Sim Cinjin terkejut ketika merasa betapa tangan lawan itu lunak sekali, akan tetapi kelunakan yang membuat tenaga sinkang-nya sendiri seakan-akan besi bertemu dengan kapas, tenaganya seperti tenggelam dan tak menimbulkan bekas apa-apa. Maka tahulah dia bahwa lawannya itu pandai mempergunakan Ilmu Bian-kun, semacam ilmu silat yang menggunakan tenaga lemas yang dinamakan Tangan Kapas, tapi sebenarnya merupakan sinkang tingkat tinggi yang selain dapat digunakan untuk melawan sinkang yang sifatnya keras, juga bahkan berani dipakai untuk menyambut senjata lawan. Maka kakek ini berlaku hati-hati, akan tetapi dia pun cepat mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan kirinya, dengan capingnya, juga dengan sepasang kakinya yang mengirim tendangan-tendangan berantai. Kakek ini amat terkenal dengan langkah-langkah Cap-sha Seng-pouw (Tiga Belas Bintang) dan ke mana pun lawan menyerang tubuhnya, maka dia cepat menghindarkan diri dengan menggunakan langkah-langkah ajaib itu. Dan hebatnya, dengan langkah-langkah itu bukan hanya dia pandai menghindarkan serangan, malah juga dapat langsung dan secara kontan keras membalas setiap serangan lawan hanya dengan langkah-langkah ajaib itu....


PENDEKAR SADIS JILID 33 :
Kim Hong menjadi repot juga sesudah lawannya mempergunakan langkah-langkah ajaib, terutama sekali dengan adanya serangan-serangan hebat dengan senjata caping. Belum pernah dia menghadapi senjata seperti itu, yang kadang-kadang dapat berputar demikian cepatnya sehingga mengeluarkan suara mengiang-ngiang dan berdesing-desing, dan juga harus diakuinya bahwa langkah-langkah ajaib kakek itu benar-benar luar biasa sekali. Bahkan keunggulannya dalam hal ginkang tidak banyak menolong. Gerakannya memang lebih cepat, akan tetapi dengan langkah-langkah aneh, tahu-tahu kakek itu sudah berada di belakangnya dan sudah menghujaninya dengan serangan-serangan dahsyat! Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban serangan mendadak yang datangnya tidak tersangka-sangka itu. Biar pun dia telah membalas dengan serangan-serangan dahsyat juga, namun tetap saja perpaduan antara senjata caping dengan langkah-langkah ajaib itu membuatnya benar-benar kewalahan. “Srattttt…!” Tiba-tiba saja nampaklah sepasang sinar hitam berkelebat dan ternyata Kim Hong sudah mencabut keluar Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedang hitamnya. Dua batang pedang hitam itu segera digerakkan dengan kecepatan kilat, lenyap bentuk pedangnya dan yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang menyambar-nyambar seperti kilat, yang satu menahan gerakan caping setiap kali menyambar ke arahnya dan yang ke dua membalas dengan serangan balasan yang dahsyat pula. Akan tetapi tentu saja Kim Hong juga menjaga perasaan Thian Sin, maka dia tidak mau kalau sampai pedangnya melukai apa lagi membunuh lawan. Oleh karena itu, begitu dia sudah berhasil memecahkan desakan lawan dan kini berbalik dia mendesak dengan ilmu Pedang Hok-mo Kiam-sut yang lihai, tiba-tiba dia melihat bayangan caping menyambar ke arah kepalanya. Dia tidak menangkis, melainkan cepat menundukkan kepala dan gerakan kepalanya yang mengelak ini dilakukan dengan keras-keras. Lawannya hanya mengira bahwa gadis itu mengelak dengan menggerakkan kepala, tidak tahu bahwa dengan gerakan kepala itu, tiba-tiba saja sanggul rambut Kim Hong terlepas, lantas gumpalan rambut itu mengirim totokan ke arah pergelangan tangan lawan! “Tukkk!” “Ahhhhh…!” Liang Sim Cinjin sama sekali tidak pernah menduga akan serangan hebat ini dan tahu-tahu pergelangan tangannya telah tertotok, membuat jari-jemari tangannya yang memegang caping menjadi lumpuh dan tentu saja caping itu terlepas dari pegangannya. Saat dia hendak menyambar caping itu dengan tangan, dua sinar pedang menghalanginya. Terpaksa dia meloncat mundur hingga caping itu menggelinding di atas tanah. Kakek itu menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh luar biasa sekali kepandaian nona. Aku yang sudah tua dan tidak berguna ini mengakui keunggulanmu!” Kim Hong menyimpan sepasang pedangnya lalu menjura sambil tersenyum. “Terima kasih locianpwe telah mengalah, dan aku pun tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga kecuali orang-orang yang berbuat jahat. Aku tak berani mengangkat diri sebagai pendekar, akan tetapi saat ini tidak ada sedikit pun niat jahat dalam hatiku.” Dan dia pun mundur. Thian Sin meloncat maju ke depan. “Kuharap cu-wi sekalian dapat menginsyafi keadaan kami berdua. Kami tidak sengaja memusuhi Kun-lun-pai, dan tentang sikap kami terhadap para penjahat, hal itu tak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Akan tetapi kami telah datang ke sini untuk mempertanggung jawabkan semuanya, bukan untuk membiarkan diri ditangkap karena kami tidak merasa bersalah. Maka, jika masih ada yang penasaran dan hendak memberi hukuman kepadaku, silakan maju, selagi aku berada di sini!” Kata-kata ini cukup keras. Wajah kedua orang pemimpin Kun-lun-pai sudah berubah merah karena penasaran dan marah melihat betapa dua orang di antara tamu-tamu mereka sudah dikalahkan oleh dua orang muda pengacau itu. Kesalahan-kesalahan lama dari Pendekar Sadis belum diadili, tapi kini telah dibuatnya kesalahan-kesalahan baru dengan menandingi dan mengalahkan dua orang tamu terhormat dari Kun-lun-pai yang berarti sudah menghina Kun-lun-pai pula! Mereka sudah bangkit dan hendak maju, akan tetapi pada saat itu pula Han Tiong sudah meloncat ke depan. Wajah pemuda ini agak pucat ketika dia menghadapi Thian Sin. “Bagus sekali, Ceng Thian Sin! Engkau memang gagah perkasa! Nah, coba sekarang kau perlihatkan bagaimana caranya engkau akan membunuh aku!” Setelah berkata demikian, Han Tiong sudah maju menyerang dengan totokan It-sin-ci (Totokan Satu Jari), tujuh kali berturut-turut. “Tiong-ko… jangan…!” Thian Sin mengelak ke sana-sini dan karena dia tak mau melawan, tentu dia akan terkena totokan-totokan maut itu jika saja Kim Hong tidak tiba-tiba menarik lengannya dari belakang. “Tiong-ko… jangan mengangkat tangan terhadap diriku…,” Thian Sin meratap, suaranya terdengar penuh kepiluan. “Agaknya hanya kalau aku menyerahkan nyawaku kepadamu maka engkau akan puas!” kata Han Tiong dan dia sudah menerjang lagi. “Dukkk…!” Kim Hong yang menangkis. “Bagus, kalian berdua boleh maju dan membunuhku, lebih baik begitu!” kata Han Tiong kepada kedua orang itu. Keadaan menjadi tegang sekali dan saat itu digunakan oleh Kui Yang Tosu untuk berseru dengan lantang. “Saudara-saudara sekalian, ketahuilah bahwa Nona Toan Kim Hong ini bukan lain adalah Lam-sin, datuk kaum sesat dari dunia selatan itu! Nah, kalau sahabatnya adalah Lam-sin, mudah kita ketahui manusia macam apa adanya Pendekar Sadis.” Sebelum Thian Sin menjawab, Kim Hong sudah mendahuluinya, bukan jawaban langsung kepada Kui Yang Tosu, melainkan ditujukan kepada semua orang yang hadir di tempat itu, suaranya lantang, sikapnya menantang, “Benar sekali! Memang aku pernah menjadi Lam-sin! Akan tetapi, kini Lam-sin telah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong! Semenjak aku bertemu dengan Pendekar Sadis, Lam-sin sudah kuenyahkan dan Bu-tek Kai-pang telah kububarkan. Pendekar Sadis yang telah membuat aku sadar dan meninggalkan dunia hitam!” Thian Sin yang melihat kakaknya sudah maju, kini tidak mau banyak ribut lagi. Dia cepat menarik tangan Kim Hong sambil berkata, “Sudahlah, Kim Hong. Marilah kita tinggalkan orang-orang yang baik-baik ini, kita orang-orang yang jahat tentu saja tidak ada harganya untuk berbincang-bincang dengan orang-orang yang baik-baik dan bersih ini. Tiong-ko, maafkan aku, sungguh tak kukira akan begini jadinya di antara kita. Maafkan, Tiong-ko…” Suaranya mengadung isak dan dia sudah menarik tangan Kim Hong, langsung diajaknya pergi dengan cepat dari tempat itu. Kui Yang Tosu yang sudah marah itu lalu berseru, “Kejar mereka!” “Tahan…!” Tiba-tiba saja Han Tiong berteriak dan dia pun sudah melompat ke depan dan menghadang Kui Yang Tosu dan yang lain-lain. Semua orang memandang kepadanya dan Kui Yang Tosu mengerutkan alisnya. “Cia-taihiap, apakah sekarang engkau berbalik hendak melindunginya?” Han Tiong menggelengkan kepalanya. “Tidak, akan tetapi lupakah totiang bahwa totiang mengundang kami untuk rapat besok pagi di mana akan dibicarakan mengenai Pendekar Sadis? Mereka yang berkepentingan belum lagi datang, rapat belum diadakan, keputusan belum diambil, apakah sekarang totiang sudah hendak melakukan tindakan tanpa adanya keputusan rapat terlebih dahulu? Apakah totiang atau Kun-lun-pai hendak membelakangi Cin-ling-pai dan Lembah Naga?” Semua orang menjadi terkejut dan Kui Im Tosu berseru, “Siancai… siancai… siancai…! Sute, kesabaran harus diutamakan, hati boleh saja panas akan tetapi kepala harus dingin. Ucapan Cia-taihiap memang tepat. Kita harus menanti sampai rapat besok.” Kui Yang Tosu merangkap kedua tangan di depan dada sambil berkata, “Siancai… pinto mohon maaf… Sambil menanti datangnya esok hari, Han Tiong menyendiri di dalam markas Kun-lun-pai itu. Dia merasa berduka sekali dan juga bingung memikirkan Thian Sin. Dia membutuhkan nasehat orang-orang tua, maka dia mengharapkan kedatangan ayahnya dan juga ketua Cin-ling-pai. Dia sendiri kini tak mungkin lagi dapat mempertanggung jawabkan perbuatan Thian Sin setelah adiknya itu datang sendiri tadi. *************** Pada keesokan harinya, makin banyak pendekar yang datang untuk memenuhi undangan Kun-lun-pai sehingga ruangan tamu itu dipenuhi oleh kurang lebih lima puluh orang tokoh utama dunia persilatan golongan bersih atau para pendekar. Kedatangan Cia Sin Liong bersama isterinya disambut dengan hormat oleh para pendekar, dan tentu saja Han Tiong girang sekali melihat kedatangan ayah ibunya. Segera dia menghadap dan menceritakan semua yang telah dialaminya dalam pertemuannya dengan adiknya itu. Mendengar penuturan puteranya itu, Cia Sin Liong menarik napas panjang berkali-kali. Ia teringat kepada kakak angkatnya, Pangeran Ceng Han Houw sehingga beberapa kali dia bertukar pandang dengan isterinya ketika mendengar cerita putera mereka. Kemudian dia berkata, “Ahh, dia mewarisi jiwa pemberontak dan pendendam seperti ayah kandungnya. Agaknya sifat itu terpendam dalam-dalam pada sanubarinya sehingga gemblengan pamannya Hong San Hwesio dan pendidikan dariku kepadanya hanya menutupi sementara saja.” Isteri Pendekar Lembah Naga, yaitu Bhe Bi Cu tertarik sekali mendengar tentang wanita yang menjadi kekasih dan calon isteri Thian Sin. “Lam-sin? Aihhh, bagaimana bisa Thian Sin memperoleh jodoh seorang datuk kaum sesat?” “Akan tetapi menurut penuturan Tiong-ji, Lam-sin sudah berubah menjadi seorang gadis, Toan Kim Hong keturunan seorang pangeran yang ilmunya lihai bukan main. Asalkan dia betul-betul sudah sadar dan telah mengubah jalan hidupnya, maka tak ada halangannya,” kata Cia Sin Liong. “Bukan main!” kata pula Bhe Bi Cu. “Siapa kira bahwa nenek yang telah menyelamatkan Lian Hong dan kemudian menjadi gurunya itu, yang terkenal sebagai datuk kaum sesat yang menyeramkan, ternyata adalah penyamaran seorang gadis muda!” “Dan gadis itu telah memiliki kepandaian tinggi, sungguh merupakan pasangan yang amat cocok bagi Thian Sin.” kata suaminya. Han Tiong mengerutkan alisnya, “Ayah dan ibu, memang kulihat bahwa mereka itu saling mencinta, sama keras hatinya dan Nona Toan itu pun cantik jelita. Agaknya segalanya memang tidak mengecewakan apa bila dia menjadi jodoh Sin-te, hanya saja… ahh, kalau mereka menjadi suami isteri lalu keduanya kembali lagi ke jalan sesat, tentu akan sukar sekali untuk mengatasi mereka bila mereka bergabung. Ilmu kepandaian Sin-te telah maju pesat sekali, ayah, dia sudah mewarisi ilmu peninggalan ayah kandungnya, dan agaknya tingkat kepandaian calon isterinya itu pun tidak kalah olehnya. Pasangan itu akan menjadi pasangan yang mungkin sulit dicari bandingnya, seperti pasangan ketua Cin-ling-pai saja.” Selagi pemuda itu bercakap-cakap dengan ayah bundanya, datanglah seorang kakek dan seorang nenek yang disambut dengan penuh penghormatan. Usia kakek itu sudah hampir delapan puluh tahun dan nenek itu pun sebaya dengannya, akan tetapi mereka berdua masih nampak sehat dan masih nampak bekas-bekas ketampanan dan kecantikan wajah mereka. Kakek itu bukan lain adalah Yap Kun Liong dan nenek itu adalah Cia Giok Keng, suami isteri yang melalui masa tuanya di tempat sunyi dan damai, yaitu di puncak Gunung Bwe-hoa-san. Sesudah mereka disambut girang dengan hormat oleh pihak Kun-lun-pai dan para tamu, dan disambut girang oleh Cia Sin Liong sekeluarga, baru kakek dan nenek itu mempunyai kesempatan untuk mengadakan pertemuan sendiri bersama Cia Sin Liong sekeluarga. “Paman dan bibi, mengapa ayah tidak dapat datang?” Sin Liong bertanya kepada kedua orang kakek dan nenek itu. Tadinya Sin Liong mengira bahwa tentu ketua Cin-ling-pai, yaitu ayahnya, Cia Bun Houw, akan datang sendiri. Akan tetapi ternyata kini diwakilkan kepada nenek itu yang menjadi kakak dari ayahnya, bersama kakek yang menjadi suami ke dua dari nenek itu setelah dia kematian suaminya yang pertama. “Pertama, ada terjadi sesuatu yang tak enak sehingga ayahmu tidak datang sendiri untuk bicara tentang Ceng Thian Sin. Dan kedua kalinya, Thian Sin adalah anak Ciauw Si, jadi dia itu adalah cucuku sendiri, maka menurut ayahmu, lebih tepat kalau aku yang datang,” demikian jawab Nenek Cia Giok Keng. “Dan memang kami anggap pendapat ayahmu itu benar. Aku yakin akan dapat bicara kepada Thian Sin kalau sudah bertemu dengan dia. Ahh, anak itu nakal sekali!” “Telah terjadi hal apakah yang membuat tak enak?” Han Tiong bertanya sambil menatap kepada kakek dan nenek itu penuh kekhawatiran karena tentu telah terjadi sesuatu yang menyangkut diri Thian Sin sehingga kakeknya, ketua Cin-ling-pai tidak mau datang sendiri untuk bicara tentang adik angkatnya itu. Yap Kun Liong menarik napas panjang. “Mungkin kalian dari Lembah Naga belum pernah mendengar bahwa Cia Kong Liang sudah melangsungkan pertunangan atau ikatan jodoh dengan puteri tunggal dari Tung-hai-sian…” “Ahh, sungguh memalukan…!” Cia Giok Keng menyambung dan menghela napas. Tentu saja dia merasa menyesal bahwa keponakannya itu, putera tunggal dari adiknya, Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai, berjodoh dengan puteri seorang datuk sesat pula! Akan tetapi Han Tiong kelihatan tenang-tenang saja, bahkan dia lalu tersenyum. Dia tidak merasa heran karena dia sudah melihat tanda-tanda bahwa pamannya itu menaruh hati terhadap Nona Bin Biauw, puteri dari Tung-hai-sian Bin Mo To yang memang cantik dan mempunyai kepandaian lumayan itu. Dan hatinya terasa nyaman kalau dia teringat bahwa adik angkatnya, Thian Sin, juga bertunangan dengan seorang datuk sesat! Benar pula kata ayahnya, biar pun tadinya menjadi orang sesat, asalkan telah insyaf dan sadar, kembali ke jalan benar, apa salahnya? Dan dia pun melihat bahwa Kim Hong tidak bersikap jahat. Sebaliknya malah. Bukankah bekas datuk Lam-sin itu bahkan membantu adik angkatnya untuk menghadapi datuk-datuk lainnya seperti See-thian-ong, Pak-san-kui dan lain-lain? “Aku telah melihat nona puteri Tung-hai-sian itu, dan dia memang cantik, berwatak gagah dan tinggi pula ilmu silatnya. Memang dia cocok sekali apa bila menjadi jodoh Paman Cia Kong Liang,” katanya dan ayahnya memandang kepadanya, lalu tersenyum. Pendekar Lembah Naga ini mengenal betul watak puteranya dan diam-diam dia merasa bangga karena puteranya itu memiliki watak yang jauh lebih bijaksana dari pada wataknya ketika dia seusia puteranya. Dia tahu pula alangkah mendalam kasih sayang puteranya terhadap Thian Sin, maka dia mengerti apa yang menyebabkan puteranya nampak lega mendengar bahwa Cia Kong Liang bertunangan dengan puteri seorang datuk kaum sesat! “Akan tetapi, sikap Tung-hai-sian Bin Mo To memang patut dipuji. Di dalam kesempatan merayakan ikatan jodoh itu, dia mengumumkan bahwa dia sudah mencuci tangan dan keluar dari kalangan hitam, bahkan dia sudah membuang julukannya, yaitu Tung-hai-sian, dan hanya menjadi seorang saudagar biasa bernama Bin Mo To.” Kemudian Yap Kun Liong menceritakan, seperti yang didengarnya dari adik iparnya itu, betapa dalam pesta itu muncul Thian Sin dan Kim Hong yang menantang Bin Mo To. “Ahh, agaknya Sin-te memang hendak memusuhi semua datuk golongan sesat,” kata Han Tiong. “Agaknya demikian, akan tetapi sikap Bin Mo To memang bagus sekali. Dia mematahkan pedang samurainya dan menolak tantangan Thian Sin.” “Bagus!” Cia Sin Liong berseru. “Sikap itu tentu merupakan tamparan bagi Thian Sin.” “Mereka mengejek Bin Mo To dan mula-mula Cia Kong Liang maju, ditandingi oleh Toan Kim Hong dan Kong Liang dikalahkah gadis itu…” “Tentu saja!” kata Cia Sin Liong lagi memotong kata-kata pamannya. “Lam-sin itu memiliki kepandaian hebat, tidak aneh kalau Kong Liang kalah olehnya.” “Kemudian, ayah ibumu maju dan ibumu memaki-maki Thian Sin yang minta ampun lalu mengajak pergi Kim Hong. Nah, itulah peristiwa yang terjadi di dalam pesta pertunangan itu, dan itu pula sebabnya mengapa ayahmu tidak mau datang menghadiri rapat untuk membicarakan urusan Thian Sin.” Yap Kun Liong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh keluarga Cia bertiga itu. Mereka terus bercakap-cakap dan saling menuturkan keadaan mereka selama mereka tak berjumpa hingga akhirnya terdengar pengumuman dari pihak tuan rumah bahwa rapat para pendekar dimulai di ruangan tamu yang luas. Semua tamu sudah bersiap. *************** Agaknya, karena urusan yang hendak dibicarakan menyangkut diri Pendekar Sadis yang masih merupakan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, maka pendekar tua Yap Kun Liong bersama isterinya dan keluarga Lembah Naga mendapat tempat duduk kehormatan, di dekat tempat pihak tuan rumah, yaitu kedua ketua Kun-lun-pai, Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu. Setelah mengucapkan selamat datang dan berterima kasih, Kui Yang Tosu yang mewakili pihak tuan rumah lalu langsung membicarakan pokok persoalan. Diceritakannya tentang berita-berita tentang sepak terjang Pendekar Sadis, tentang cara-cara pembunuhan yang amat kejam ketika pendekar itu membasmi penjahat-penjahat, tentang pembunuhan yang dilakukannya terhadap Toan Ong, dan terutama sekali tentang perbuatan Pendekar Sadis dan Lam-sin atau Toan Kim Hong yang mendatangi Kun-lun-pai dan yang menyebabkan kematian Jit Goat Tosu. Dari cara menceritakannya saja sudah dapat dirasakan oleh semua orang betapa tosu ini merasa amat marah dan sakit hati terhadap Pendekar Sadis, dan ceritanya mengandung harapan agar rapat itu mengutuk dan menghukum Pendekar Sadis. Dan sebagai penutup penuturannya yang makan waktu satu jam lebih itu, Kui Yang Tosu berkata, “Oleh karena itulah kami dari Kun-lun-pai, hari ini mengundang cu-wi untuk berkumpul dan membicarakan urusan Pendekar Sadis, mengambil keputusan apa yang sepantasnya kita lakukan atas perbuatan sewenang-wenang darinya itu. Dan mengingat bahwa Pendekar Sadis adalah Ceng Thian Sin, yaitu putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang sudah menjadi putera angkat Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong Taihiap, juga masih ada hubungan keluarga dengan Cin-ling-pai, maka kami sengaja mengundang saudara-saudara dari Cin-ling-pai dan juga dari Lembah Naga untuk kami mintakan pertanggungan jawabnya dan pertimbangannya.” Tosu itu lalu memberi hormat kepada semua tamu dan duduk kembali di samping suheng-nya, Kui Im Tosu. Suasana menjadi berisik ketika tosu itu menghentikan pidatonya dan semua tamu saling bicara sendiri. Meski pun mereka berbicara perlahan-lahan setengah berbisik, akan tetapi karena yang bicara itu banyak orang, maka suasana menjadi berisik sekali, seperti dalam pasar saja. Hanya keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang nampak duduk dengan tenang dan diam-diam saja, agaknya masih menunggu keadaan dan tidak merasa perlu untuk banyak bicara. Tiba-tiba seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bangkit dari tempat duduknya dan dengan suara lantang dia segera berkata, “Pendekar Sadis harus dibasmi! Dosanya telah bertumpuk-tumpuk!” Tentu saja semua orang memandang kepada si tinggi besar muka hitam ini dan dia pun mengangkat dada, wajahnya nampak bangga. Memang, dalam suatu pertemuan, di mana terdapat banyak orang, kita selalu mempunyai kecondongan hati untuk menonjolkan diri dengan cara apa pun juga. Si tinggi besar bermuka hitam ini adalah seorang pendekar ahli gwakang (tenaga luar), memiliki otot-otot yang kuat dan tenaganya seperti seekor gajah, julukannya juga Ban-kin Hek-jio (Gajah Hitam Selaksa Kati) bernama Ciong Sam. Namanya terkenal di daerah Hok-kian dan mahir ilmu silat campuran antara ilmu silat Siauw-lim-pai dan ilmu silat dari Kang-lam. Bisa hadir di antara para tokoh pendekar besar itu, Si Gajah Hitam ini tentu saja merasa dirinya menjadi besar dan dia pun yang pertama kali berteriak mengutuk Pendekar Sadis itu. Bukan sekali-kali karena dia memang membenci Pendekar Sadis, namun sepenuhnya terdorong untuk menonjolkan diri itu saja! Dan banggalah hatinya pada saat semua orang memperhatikan dirinya. Betapa pun juga, ucapannya itu memancing persetujuan banyak pendekar yang hadir di situ. Banyak di antara mereka yang lantas berseru mengutuk Pendekar Sadis, setidaknya menyatakan ketidak senangan hati mereka. Maka keadaan menjadi berisik sekali. “Pendekar yang bersahabat dengan datuk seperti Lam-sin bukan pendekar lagi, melainkan penjahat! Harus diberantas!” “Mari kita datangi mereka berdua dan menumpas mereka!” “Bunuh Pendekar Sadis dan Lam-sin!” “Pendekar Sadis memalukan kita sebagai pendekar-pendekar!” Teriakan-teriakan semacam itu terdengar di sana-sini. Kui Im Tosu yang melihat ini lalu memandang ke arah tamu kehormatan di sebelahnya, yakni lima orang dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga. Ketua pertama dari Kun-lun-pai ini merasa tidak enak sekali sehingga cepat bangkit berdiri, lantas mengangkat kedua tangannya ke atas dan suara berisik para tamu perlahan-lahan menjadi berhenti dan keadaan menjadi tenang kembali. “Cu-wi yang terhormat harap suka tenang dan sebaiknya dalam urusan yang menyangkut diri Pendekar Sadis ini, lebih dahulu kita mendengarkan pendapat dan pertimbangan dari para pendekar Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang terhormat.” Sesudah berkata demikian, Kui Im Tosu yang biasanya tidak banyak bicara itu lalu duduk kembali. Mendengar ucapan ini, Cia Sin Liong lalu berbisik kepada Yap Kun Liong. “Paman, kalau Paman mempunyai pendapat sesuatu, silakan.” “Bukan aku, Sin Liong, melainkan engkaulah sebagai ayah angkatnya yang paling tepat untuk bicara.” “Benar, Sin Liong, engkaulah yang harus menyatakan pendapatmu,” sambung Cia Giok Keng kepada keponakannya itu. Sementara itu, melihat para tamu terhormat itu saling berbisik, Kui Yang Tosu lalu bangkit dan berkata dengan suara lantang, “Harap para pendekar yang terhormat dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga suka menyatakan pertimbangan mereka mengenai urusan Pendekar Sadis! Silakan!” Semua orang kini memandang ke arah rombongan tamu kehormatan itu. Dan melihat Cia Sin Liong, Pendekar Lembah Naga bangkit dari tempat duduknya, semua mata diarahkan kepadanya sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh pendekar besar yang menjadi ayah angkat dari Pendekar Sadis. Suara Pendekar Lembah Naga terdengar tenang akan tetapi cukup lantang dan suara itu mengandung gema yang menggetar karena kekuatan khikang yang mendorong suara itu seolah-olah keluar dari dalam perutnya. “Para locianpwe dan para saudara yang gagah perkasa dan budiman! Tak perlu disangkal lagi, Ceng Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang kini disebut orang Pendekar Sadis itu memang adalah anak angkat saya dan sejak kecil telah berada dalam perawatan dan pendidikan saya. Maka sudah sepatutnya kalau sebagai ayah angkatnya saya dimintai pendapat dan pertimbangan saya. Kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga datang memenuhi undangan Kun-lun-pai untuk memberi pendapat, pertimbangan dan juga tanggung jawab. Kami bukan bermaksud hendak membela anak angkat kami, melainkan ingin mengajak anda sekalian yang budiman untuk bicara dengan hati terbuka dan dengan kejujuran.” Semua orang menjadi makin tegang. Ucapan Pendekar Lembah Naga barusan sungguh mantap serta mengandung wibawa yang kuat. Kui Yang Tosu sebagai wakil pembicara Kun-lun-pai dapat merasakan juga kekuatan ini, maka dia pun berkata untuk menyelingi ucapan Pendekar Lembah Naga yang berhenti sejenak itu. “Siancai! Kata-kata Cia-taihiap dari Lembah Naga memang amat mengagumkan dan patut untuk diperhatikan. Silakan taihiap melanjutkan.” “Cu-wi adalah pendekar-pendekar penentang kejahatan. Dan cu-wi semua tentu tahu pula bahwa di dunia ini banyak terdapat penjahat-penjahat yang dinamakan sebagai golongan hitam, di mana terdapat para tokoh dan datuknya. Akan tetapi, mengapa baru sekarang cu-wi berkumpul dan serentak bangkit ingin menentang dan membasmi Pendekar Sadis? Mengapa sebelum ini, bahkan sampai sekarang pun, cu-wi tidak pernah menentang para tokoh dan datuk kaum sesat? Kenapa justru Pendekar Sadis yang hendak cu-wi tentang? Marilah kita bicarakan dengan hati terbuka dan jujur, lalu suka memberi jawaban kepada saya. Mengapa cu-wi memusuhi Pendekar Sadis?” Sejenak semua tamu hanya bisa saling pandang dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kembali mereka didahului oleh Ban-kin Hek-jio yang segera berteriak, “Karena Pendekar Sadis sangat kejam dalam menyiksa musuh-musuhnya sehingga sudah merugikan nama baik para pendekar! Itulah sebab yang utama!” Teriakan ini disusul pula oleh teriakan-teriakan lain. “Karena dia membunuh Toan-ong-ya yang menjadi sahabat baik para pendekar!” “Karena dia bersekutu dengan Lam-sin!” “Karena dia mengacau Kun-lun-pai dan menentang para pendekar!” Cia Sin Liong mendengarkan dengan sangat teliti dan dia memperoleh kenyataan bahwa jawaban-jawaban yang bersimpang siur itu hanya berkisar sekitar tiga pokok ini. Maka dia pun mengangkat tangan untuk meredakan suasana, kemudian melanjutkan kata-katanya, suaranya lantang dan mantap. “Menurut pendengaran saya tadi, hanya ada tiga sebab yang membuat cu-wi mengambil keputusan untuk menentang dan membasmi atau membunuhnya. Marilah kita bahas satu demi satu sebab itu. Dan jangan mengira bahwa saya hendak membela atau melindungi anak angkat saya itu, sama sekali tidak. Hanya kita yang mengaku pendekar-pendekar harus dapat membuka mata melihat kenyataan dan tidak bertindak menurutkan nafsu hati belaka. Pertama ingin saya singgung tentang hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin. Mengapa cu-wi menganggapnya sebagai dosa?” Orang yang tadi berteriak-teriak menyinggung hubungan Pendekar Sadis dengan Lam-sin, tidak ada yang berani membuka mulut. Agaknya mereka gentar terhadap pendekar yang suaranya mengandung getaran penuh wibawa itu, atau memang mereka tidak sanggup menjawab. Melihat ini, Kui Yang Tosu, cepat menjawab dengan suara lantang pula. “Lam-sin adalah satu di antara datuk-datuk kaum sesat dan orang yang bersekutu dengan seorang datuk sesat tentu bukan orang baik-baik!” Cia Sin Liong menahan senyumnya mendengar ini, lantas dia memandang ke arah para tamu. “Cu-wi yang mulia, benarkah memang demikian alasannya maka cu-wi mengutuk persekutuan antara Pendekar Sadis dan Lam-sin?” “Benar! Benar!” Banyak orang yang tadinya mengajukan alasan itu cepat berteriak untuk membenarkan jawaban wakil ketua Kun-lun-pai. “Baiklah, mari kita perbincangkan soal ini. Kita semua tahu bahwa bukan Pendekar Sadis yang ikut dengan Lam-sin, namun sebaliknya, Lam-sin yang ikut dengan Pendekar Sadis. Kalau seorang pendekar mengikuti jejak seorang datuk sesat kemudian membantu datuk itu melakukan kejahatan, jelas bahwa dia telah menyeleweng dari jalan kebenaran. Akan tetapi, apabila seorang datuk meninggalkan kedudukannya, meninggalkan kejahatannya dan mengikuti jejak seorang pendekar, apakah hal itu salah? Lam-sin telah meninggalkan kedudukan dan namanya, juga membubarkan perkumpulan Bu-tek Kai-pang, dan dia ikut bersama Pendekar Sadis bukan sebagai Lam-sin lagi melainkan sebagai Nona Toan Kim Hong puteri dari mendiang Pangeran Toan Su Ong yang terkenal sebagai pendekar sakti yang memberontak terhadap kelaliman kaisar. Ia malah membantu Pendekar Sadis untuk membasmi datuk-datuk jahat seperti See-thian-ong dan Pak-san-kui! Cu-wi yang terkenal sebagai pendekar-pendekar budiman, pernahkah mencoba untuk menantang datuk-datuk itu? Dan siapa di antara cu-wi yang merasa bahwa semenjak dilahirkan sampai sekarang belum pernah melakukan penyelewengan? Kalau Lam-sin yang pernah menjadi datuk itu telah berbalik karena insyaf dan kini menjadi penentang kejahatan, bukankah hal itu baik sekali? Tung-hai-sian datuk sesat dari timur juga sudah menanggalkan kedudukan serta julukannya, meninggalkan kejahatan dan bahkan kini berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, apakah hal itu tidak patut disambut dengan syukur?” Pendekar Lembah Naga berbicara dengan semangat berapi-api, bukan hanya karena dia ingin membela anak angkatnya, melainkan karena dia melihat kemunafikan yang banyak mencengkeram hati mereka yang menyebut dirinya pendekar dan orang-orang baik. “Siancai…! Cia-taihiap terlalu bernafsu karena hendak membela putera angkatnya!” “Maaf, totiang. Bukan membela, melainkan saya menyatakan hal yang sebenarnya. Saya sendiri tidak setuju dengan cara-cara kejam yang dilakukan oleh Ceng Thian Sin dan saya akan menegurnya, bahkan akan memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan melakukan hal itu lagi. Akan tetapi kekejamannya terhadap para penjahat yang dimusuhinya itu pun ada sebabnya. Sebabnya adalah dendam dan sakit hati. Sejak kecil, dia kehilangan ayah bundanya yang mati dikeroyok dan di antara pengeroyoknya terdapat banyak orang-orang dari golongan sesat. Kemudian, secara berturut-turut dia mengalami gangguan-gangguan dari orang jahat sehingga dendamnya makin bertumpuk dan akhirnya, setelah dia berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, dendam itu meledak dalam keganasan-keganasan terhadap musuh-musuhnya. Nah, sekarang mari kita perbincangkan alasan ke dua yang cu-wi ajukan tadi. Yaitu tentang Pendekar Sadis membunuh Toan-ong-ya yang merupakan sahabat baik para pendekar. Bukankah di antara cu-wi banyak yang merasa penasaran bahwa Pendekar Sadis telah membunuh pangeran itu?” Banyak suara menyatakan betul demikian. “Dan, cu-wi tidak tahu apa sebabnya? Apakah tidak ada yang menceritakan kepada cu-wi mengapa dia membunuh pangeran itu, Pangeran Toan Ong yang masih terhitung paman sendiri dari Nona Toan Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin? Mengapa nona itu tidak sakit hati atas terbunuhnya pamannya, ada pun cu-wi yang bukan apa-apa justru merasa sakit hati?” “Karena Lam-sin memang jahat dan durhaka!” terdengar jawaban orang. “Toan Ong adalah seorang yang sangat berbudi terhadap para pendekar, kenyataan ini siapa dapat menyangkalnya?” kata yang lain. Sin Liong hanya tersenyum tenang menghadapi serangan kata-kata ini. “Tidak ada yang menyangkal bahwa Toan Ong adalah seorang yang berbudi baik terhadap para pendekar sehingga tidaklah aneh jika kematiannya mendatangkan kedukaan dan penyesalan. Akan tetapi saya kira tidak tepat jika Lam-sin tidak sakit hati atas peristiwa itu akibat dia masih jahat dan durhaka. Sama sekali tidak demikian. Melainkan karena dia amat bijaksana dan menyadari sebab kematian pamannya itu, suatu sebab yang agaknya tidak mau diterima oleh para pendekar yang budiman. Pendekar Sadis membunuh Toan Ong bukan sebagai orang yang membunuh seorang yang baik, namun dia membunuhnya karena dia mengira bahwa Toan Ong ialah seorang laki-laki yang jahat, keji dan semua pikiran ini disebabkan oleh fitnah yang dilakukan oleh seorang wanita. Saya kira, di antara para locianpwe yang hadir di sini sudah tahu akan hal itu, bahkan telah melihat sendiri betapa Pendekar Sadis, sesudah menyadari bahwa dia kena diakali oleh fitnah wanita itu, lalu memberi hukuman terhadap wanita itu dengan sadis sekali. Bukankah demikian adanya, Kui Yang Totiang?” Kini Sin Liong menatap ke arah wakil ketua Kun-lun-pai dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kui Yang Tosu juga menatap kepadanya dan wajah tosu itu berubah merah, akan tetapi dengan lantang dia berkata, mengakui, “Memang tidak salah, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi apakah kalau Pendekar Sadis sudah menghukum wanita yang menjatuhkan fitnah itu, pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Toan lalu habis begitu saja dan boleh dimaafkan?” “Ingat, totiang. Saya datang bukanlah sebagai pembela Pendekar Sadis, melainkan hanya mengemukakan semua kenyataan yang patut untuk kita pertimbangan. Saya hanya ingin agar cu-wi semua tahu bahwa Pendekar Sadis membunuh Toan Ong karena menganggap dan yakin bahwa pangeran itu adalah seorang penjahat yang harus dibasminya. Memang dia ceroboh dalam hal itu, kurang teliti sehingga mudah dibohongi dan ditipu wanita jahat itu. Dan tentu saya sendiri akan menegurnya agar lain hari dia tidak seceroboh itu. Akan tetapi, perbuatannya itu sama sekali bukan jahat, bahkan pada waktu itu dia menentang kejahatan pangeran itu yang dipercayanya sebagai orang jahat. Sekarang tentang alasan ke tiga.” “Siancai…! Cia-taihiap memang pandai sekali. Coba, pinto ingin mendengar pembelaan bagaimana yang akan taihiap ajukan untuk perbuatannya di Kun-lun-pai!” kata Kui Yang Tosu yang merasa agak mendongkol karena semua kata-kata pendekar sakti itu bahkan benar-benar mengangkat Pendekar Sadis dan memperlemah kesalahannya. “Sebelum kita mempertimbangkan urusan Pendekar Sadis dengan Kun-lun-pai, baiknya kita mendengar lebih dulu persoalannya. Mungkin cu-wi sekalian sudah mendengar akan peristiwa itu, akan tetapi supaya lebih jelas dan tidak simpang-siur dan terkena hasutan cerita-cerita yang tidak betul, maka biarlah anak kami Cia Han Tiong akan menceritakan peristiwa yang terjadi itu seperti yang didengarnya sendiri dari mereka berdua. Han Tiong, kau ceritakanlah!” Han Tiong bangkit berdiri sementara Pendekar Lembah Naga duduk kembali. Pemuda ini lebih tinggi sedikit dari pada ayahnya, sikapnya juga sangat tenang seperti ayahnya dan sepasang matanya tajam sekali namun penuh dengan kelembutan. Biar pun dibandingkan dengan ayahnya dia masih kalah wibawa, akan tetapi dia tidak kalah gagahnya. Sesudah menjura kepada para tamu, pemuda ini pun dengan lantang mulai bercerita. Mula-mula dia menceritakan riwayat Toan Su Ong yang menjadi buruan akibat tak berani melawan suheng-nya yang bernama Gouw Gwat Leng karena suheng-nya itu memegang bendera pusaka perguruan yang berarti bahwa suheng-nya telah menjadi pengganti suhu mereka. Kemudian tentang kematian Toan Su Ong dan isterinya di sebuah pulau kosong, dan meninggalkan Toan Kim Hong yang akhirnya menjadi Lam-sin untuk beberapa tahun lamanya, sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Pendekar Sadis dan meninggalkan dunia sesat. “Toan Kim Hong mencari supek-nya yang dianggap sebagai penyebab ayahnya menderita hidup sengsara selamanya sebagai seorang buruan. Akhirnya dia pun mendengar bahwa supek-nya telah menjadi Jit Goat Tosu dan bertapa di daerah Kun-lun-pai. Ia lalu mengajak Pendekar Sadis untuk mendatangi Jit Goat Tosu. Jadi, di dalam hal ini, Pendekar Sadis hanya menemani saja Nona Toan itu yang hendak menuntut balas terhadap supek-nya sendiri atas kesengsaraan mendiang ayahnya. Mereka lalu minta dengan hormat kepada pimpinan Kun-lun-pai supaya diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu untuk urusan pribadi, urusan antara keluarga perguruan mereka sendiri. Akan tetapi oleh Kun-lun-pai nona itu diuji dan akhirnya lulus sehingga diperbolehkan bertemu, diantar oleh Pendekar Sadis. Mereka berdua pun kemudian bertemu dengan Jit Goat Tosu. Jit Goat Tosu lalu bertempur melawan mereka namun mereka berdua tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi, karena memang merasa menyesal sudah membuat sengsara sute-nya yang amat dicintanya, Jit Goat Tosu mengalah, bahkan lalu membunuh dirinya sendiri sampai tewas! Nah, itulah yang terjadi. Kun-lun-pai marah dan hendak menangkap mereka, lalu mereka melarikan diri dari kepungan tanpa membunuh seorang pun anggota Kun-lun-pai. Nah, demikianlah cerita yang saya dengar dari penuturan Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong.” Han Tiong lalu duduk kembali ke atas kursinya. Cia Sin Liong kembali bangkit berdiri. “Benarkah peristiwanya terjadi demikian, totiang?” tanyanya kepada Kui Yang Tosu. “Siancai… tidak ada yang mau berbohong dan memang benar demikianlah. Akan tetapi peristiwa itu terjadi di wilayah kami, bukankah itu berarti bahwa mereka sudah melanggar wilayah kami, ada pun pelanggaran itu sudah merupakan kejahatan dan tidak memandang kepada Kun-lun-pai?” “Maaf, totiang,” jawab Sin Liong. “Bukankah mereka berdua tidak masuk seperti pencuri, melainkan dengan berterang, bahkan telah minta persetujuan Kun-lun-pai untuk menemui Jit Goat Tosu?” “Memang benar. Akan tetapi mereka berdua mendesak Jit Goat Tosu sehingga saudara tua kami itu melakukan bunuh diri! Nona itu adalah seorang murid yang murtad dan jahat, telah memaksa supek-nya sendiri membunuh diri, tidak mengindahkan atau menghormati bendera pusakanya sendiri. Dan Pendekar Sadis membantunya mendesak Jit Goat Tosu. Bukankah itu jahat sekali dan perlu dihukum?” “Setiap orang memang memiliki pendapat masing-masing mengenai benar atau salahnya orang lain. Akan tetapi jelaslah bahwa urusan antara Nona Toan Kim Hong dan supek-nya adalah urusan dalam suatu perguruan dan kita semua tak berhak untuk mencampurinya! Jit Goat Tosu tewas karena kehendak dirinya sendiri, bukan dibunuh. Bahkan andai kata sampai mati di tangan murid keponakannya sekali pun, hal itu merupakan urusan dalam perguruan mereka sendiri.” Kui Im Tosu kini bangkit berdiri dan dengan suaranya yang halus dia berkata, “Kami dari Kun-lun-pai mengumpulkan cu-wi sekalian memang untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Jadi sekarang menurut pendapat Cia-taihiap sebagai ayah angkat Pendekar Sadis, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadapnya?” Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. “Terserah kepada siapa pun mau bertindak apa pun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi jika dengan alasan-alasan yang tadi telah kita bicarakan, jelas bahwa apa bila sampai terjadi bentrokan, maka Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Sebab itu jika Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga akan segera mencarinya kemudian akan menasehatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, biar pun sudah sepatutnya kalau sebagai pendekar dia menentang kejahatan. Dan sebaliknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk, tapi Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentang dia dengan alasan-alasan yang sangat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!” Sesudah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, serta Cia Giok Keng. Tidak ada seorang pun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya. Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat sesudah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi. Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa ada keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimana pun juga mereka sangat maklum akan kelihaiannya, apa lagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum lagi kalau diingat bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan turut melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apa lagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari kemudian menasehati Pendekar Sadis supaya menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu. Maka akhirnya rapat itu hanya memutuskan untuk melihat bagaimana perkembangannya saja, apakah Pendekar Sadis betul-betul akan berubah menjadi pendekar yang tidak lagi bersikap kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas peri kemanusiaan seperti yang sudah-sudah. Tentu saja di antara para pendekar itu ada kekecualiannya. Ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu. *************** “Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau masih merasa penasaran, mengapa tidak sekarang saja kita mendatangi tempat pertemuan itu, tak peduli apa jadinya nanti?” kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram. Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu sesudah semalaman mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Saat melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya. Pagi ini dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu. Thian Sin menarik napas panjang. “Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan dan ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan ketika menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan sekarang aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?” Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan berulang-ulang menarik napas panjang. Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. “Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!” Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakak angkat yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini ikut menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih terus membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu. “Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan dalam menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuki Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!” Sekali waktu, kemurungan pasti hinggap di dalam perasaan hati kita. Sejak jaman dahulu sampai sekarang, agaknya di dunia ini tidak ada manusia yang dapat bebas dari pada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan-persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita pun merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah. Dan tak jarang kita kemudian melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan jalan bunuh diri. Atau pun membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka. Kekecewaan, kemurungan dan kedukaan timbul akibat batin menginginkan yang lain dari pada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga jika kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan. Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu adanya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pula pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan sebagainya, itu merupakan suatu kumpulan yang tidak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna! Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, pasti tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan terlihat oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis mau pun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit. Bukankah yang rasanya manis-manis itu sering kali bahkan mengganggu kesehatan dan sebaliknya yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis! Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi. “Sekarang apakah kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan dirimu kepada para tosu Kun-lun-pai?” Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi kekasihnya. Thian Sin mengepal tinju. “Tidak! Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai besar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelas sekali bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu.” “Benar, memang tak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai sebab kita tak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kau kira mereka itu hanya mendendam karena kematian supek-ku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka.” Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. “Ada hal apa lagi kecuali kematian supek-mu itu?” “Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak mampu melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Di samping itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi.” “Maksudmu?” “Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabung pun tak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja alangkah hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!” Thian Sin mengangguk-angguk. “Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimana pun juga, aku tak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu masih mengejarku, maka mereka akan kuhadapi sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi…” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram. Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka ia pun mendesak dengan terus terang, “Bagaimana bila Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?” Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Itulah… aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak akan berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan.” “Kalau begitu, sebaiknya kalau kita menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagi kita untuk menemui mereka.” “Ahhh…!”Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, juga dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Apa lagi masih ada kakaknya pula! “Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik jika rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapa pun pahitnya kenyataan itu. Jika bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Kita temui mereka sekarang juga pada saat mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu dan kalau perlu… andai kata engkau harus mati oleh mereka, aku pun harus mati di tangan mereka!” “Kim Hong…!” Thian Sin menjadi terharu sekali dan dia pun merangkul. Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh rasa keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa bahagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak lagi ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya. Tidak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai, dan dapat dibayangkan betapa kaget serta tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong pada saat melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang semenjak tadi mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong beserta isterinya, dan juga puteranya! Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, “Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!” Dia pun lantas menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu. *************** SEPERTI sudah kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai. “Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan sekali ini dia harus mendengarkan kata-kataku!” kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah. Dia sudah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin adalah anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya. “Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah,” kata Han Tiong. “Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau tidak didesak.” Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama. Tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka. Begitu berhadapan, Cia Sin Liong langsung memandang anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, “Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?” Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk-tusuk rasanya dan dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu kemudian tak dapat ditahannya lagi dia pun menangis! Selama mengenal Thian Sin, sekarang untuk kedua kalinya Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, maka dia pun lalu ikut berlutut. “Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, maka sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, jika locianpwe hendak marah, maka sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia,” kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih saja menitikkan air mata. “Lam-sin!” kembali terdengar Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. “Engkau adalah datuk golongan sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dan melakukan perbuatan sesat?” “Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya sudah membubarkan semua pengikut, saya sudah menanggalkan semua kedudukan dan julukan, saya sudah meninggalkan dunia sesat dan sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, ada pun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah.” “Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apa pun juga, akan saya terima dengan hati rela.” “Tidak boleh!” Kim Hong berteriak. “Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, maka harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!” Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng yang lantas berkata dengan suara serak dan mata merah. “Sin Liong, kau ampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu…” Memang pada lubuk hatinya, sedikit pun tak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa sangatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu. “Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan pada kami, kenapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?” “Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, ingin memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya… terus terang saja, ayah… saya merasa… senang dan nikmat bukan main dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan… dan pada waktu itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang dahulu pernah menyiksa hati saya…” Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, tidak hanya karena membayangkan kesadisan Thian Sin saat menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri mereka masing-masing. Memang, bila mana kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas apa bila mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita mala petaka dan kesengsaraan. Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah, selalu ingin membalas kepada siapa saja yang membuat hati kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia mau pun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas jika melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam. Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang senang menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andai kata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kita pun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci. cerita silat online karya kho ping hoo Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apa bila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan mau pun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan ketika kita melihat ‘Si Jahat’ itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri! “Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau dengan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama ini? Lalu apakah artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersemedhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinya pun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi bila seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang penuh dendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apa pun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar mau pun penjahat, bila mana didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walau pun manusia itu dinamakan penjahat sekali pun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena hendak menenteramkan kehidupan manusia di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kau lakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dengan perbuatan para penjahat di dunia ini?” Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Walau pun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia sudah menjadi buta oleh dendam dan kebencian. “Saya mengaku salah…,” katanya lirih. “Pengakuan salah tanpa penghayatan di dalam hidup tidak akan ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka mata, melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat dalam arti kata merugikan orang lain lahir mau pun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap waktu, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir mau pun batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kita anggap jahat mau pun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian kepada siapa pun juga, maka tak mungkin dia bisa menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!” Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya untuk menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar. “Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong,” kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. “Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tak mungkin orang itu dapat mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah orang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukannya merusak. Memang mungkin saja orang harus membongkar terlebih dulu untuk membangun, namun bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena didasari oleh kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntun agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar.” “Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu,” kata Thian Sin. “Terima kasih kepada locianpwe yang mulia,” kata pula Kim Hong. Hati wanita ini betul-betul tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara ini pun dapat melihat betapa dahulu dia telah melakukan penyelewengan besar sekali. “Saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau memang demikian halnya, maka lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai. Mereka itu hanya ingin membalas dendam karena sangat benci kepada saya.” Cia Sin Liong mengangguk-angguk. “Memang tidak sepatutnya kalau kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlampau lama engkau pergi meninggalkan rumah, Thian Sin. Sekarang pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali.” “Betul, cucuku. Di samping itu, aku pun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati,” kata Nenek Cia Giok Keng. “Dan aku pun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu.” Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu, kemudian dia segera bertanya kepada ayahnya, “Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?” “Kami telah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi,” jawab Cia Sin Liong. “Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kini kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami…” “Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?” Han Tiong bertanya, dan hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga. “Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko,” mendadak Kim Hong yang menjawab. “Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana.” “Tapi… tapi kapankah kalian akan menikah?” Nenek Cia Giok Keng bertanya. “Bukankah akan baik sekali jika engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?” “Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya,” jawab pendekar itu yang secara bijaksana sekali menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada mereka sendiri yang berkepentingan. “Bagaimana, Thian Sin, cucuku?” tanya nenek itu kepada Thian Sin. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, kemudian keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba saja menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri kenapa setelah keluarga yang mereka hormati ini berbicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu. “Maaf, nenek, kami masih belum berpikir mengenai pernikahan,” akhirnya Thian Sin yang menjawab. Nenek Cia Giok Keng hanya mampu menghela napas panjang. Dia pun mengerti bahwa urusan pernikahan merupakan urusan kedua orang itu sendiri dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Dahulu hal ini sudah pernah dialaminya sendiri, maka dengan bijaksana dia pun diam saja, tidak membantah lagi. Akhirnya mereka pun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, “Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, namun kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, untuk menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!” Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan kedua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah. Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, dan mengambil jalan yang sunyi untuk melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi makin mesra terhadap Thian Sin. *************** Apa bila orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning, maka akan nampaklah banyak sekali pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini merupakan pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ. Pulau Teratai Merah adalah salah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali bila lautan sedang amat tenangnya dan cuaca sedang cerah. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami. Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat persinggahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di sana, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal sangat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik. Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu sangat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu. Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar. Dengan keahliannya yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya menggembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, amat laju menembus gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun sehingga terasa mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biar pun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu. Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari, itu pun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin maka pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang kala sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata, “Ahh, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sekarang sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!” Thian Sin bergidik ketika melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air di sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan. “Hiu di sini ganas sekali, berani menyerang perahu!” kata Kim Hong. “Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita.” Berkata demikian, Kim Hong lantas menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya. Dan benar saja, tidak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena dia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu. Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong segera mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu, lalu gadis itu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup semak-semak dan batu besar tadi, lantas dia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap. Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah sehingga menutupi lubang yang diperkuat oleh besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong sudah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah. Setelah mereka melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula. Hari telah menjelang sore ketika Kim Hong dan Thian Sin keluar dari dalam goa kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu sudah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itu pun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seakan-akan tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan dia pun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik. Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada pula yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi dia memberi isyarat kepada Thian Sin agar mengikutinya untuk menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka. Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang yang tengah bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong telah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu. Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang sedang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian sebagai seorang tosu. Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing bagaikan muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan serta kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri. “Kita sudah membuang-buang waktu satu minggu lamanya di sini!” Terdengar seorang di antara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang. “Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!” kata orang ke dua. “Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, jika memang dia pernah mempunyai pusaka itu!” kata orang ke tiga. “Hei, Tikus Laut,” kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, “agaknya sesudah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!” Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang yang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, “Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti belum pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini.” “Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali…” “Jangan khawatir, dia bersama Pendekar Sadis sedang dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai tak akan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai kemarahan mereka berkobar-kobar. Ha-ha-ha!” kata tosu itu. “Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali kenapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?” ejek seorang di antara bajak-bajak itu. “Apa bila mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, lalu dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, maka aku bisa menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul sehingga dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo… selagi mereka sedang dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku lalu mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Ehh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku…” Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biar pun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai. Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. “Heii, siapa kalian?! Awas, ada mata-mata mengintai!” Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang. “Mereka ini patut dihajar!” kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap. Lima orang itu pun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan semuanya telah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanyalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka lalu menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa, “Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!” “Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tak mencium bau keringat wanita, ha-ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!” “Enak saja kau bicara, apa kau kira aku pun tidak membutuhkannya?” Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak. “Celaka…!” katanya, suaranya terdengar gemetar. “Inilah mereka… Pendekar Sadis dan Lam-sin…!” Para bajak laut itu hampir setiap saat berada di lautan, maka tentu saja mereka tak begitu mengenal nama Pendekar Sadis mau pun Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walau pun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa. “Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!” Dia sendiri segera menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong, sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang juga sudah mencabut keluar sebatang pedangnya. Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin segera maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan bisa tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya. “Kim Hong… jangan bunuh orang… jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya.” Kim Hong mengerling kepada kekasihnya lantas tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga hati Thian Sin menjadi amat lega. “Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap dalam keadaan hidup-hidup untuk menceritakan semua latar belakang ini!” Mereka tidak mempunyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai langsung mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka bagai sedang berlomba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu. Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, serta dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancur lumatkan tubuh pemuda ini! Akan tetapi, begitu kedua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, maka terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu! Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlomba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa amat muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, sesudah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam yang terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas. Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Sekarang tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan sesudah melihat betapa empat orang anak buahnya tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali. Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia semakin silau oleh kecantikan Kim Hong yang kini makin menyolok sesudah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi semakin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng kemudian menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan dia pun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan. “Dukk!” Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak. “Krekk…! Krekk…!” Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki. Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagikan tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya hingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh. Apa lagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka pada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali. Akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi I-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin, lantas tenaga sinkang-nya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak bagai seekor babi disembelih! Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi I-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia bagaikan sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi. “Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan kenapa engkau memusuhi kami, juga apa yang kau lakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!” Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali. Thian Sin hanya berpura-pura tidak mengerti mengapa gadis itu membentak sedemikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenali bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka juga tampak adanya Kui Yang Tosu! “Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?” “Totiang,” kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. “kami mengenalmu sebagai salah seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, lalu bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki oleh keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku.” “Pendekar Sadis! Biar engkau tukang menyiksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!” Tosu bermuka tikus itu berteriak marah. Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu dia pun mengangkat tubuh tosu itu dengan menarik leher bajunya. “Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!” Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong. Mereka berdua terus saja berjalan, pura-pura tak melihat adanya beberapa pasang mata yang selalu mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata ini pun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing. Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di sana dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ sudah turut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau. Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu bisa merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu. Sejenak timbul perasaan senang di dalam hatinya, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata sehingga membuatnya tersadar dan nafsu sadis itu pun lenyap seperti ditiup angin. Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin kemudian melepaskan sabuknya yang juga merupakan salah satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu. “Kau lihat itu, kenalkah engkau apa itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat. “Apa… apa yang hendak kau lakukan…?” tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar. Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, “Ha-ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha-ha!” Gadis itu pun tertawa dan menjawab dengan suara yang amat nyaring, “Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut.” Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang telah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena tadi dia sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat pula meronta-ronta. “Jangan… jangan…!” teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air. “Byuuurrr…!” Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut lantas berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu telah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak. Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seakan-akan tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah bersiap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba saja menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia sudah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah. Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta, akan tetapi agaknya kesakitan dan juga terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang mempunya keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas! Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru! Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau! “Tolong…! Tarik aku… tolong…!” teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya. “Asal engkau mengaku terus terang!” kata Thian Sin mempermainkan. Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung. “Tolonggg…!” “Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!” kata Kim Hong dengan nyaring. Tosu itu tidak mau menjawab, agaknya masih merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar. “Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!” Thian Sin memuji sambil tertawa. Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan dan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar. “Celaka…! Tolong… aku akan mengaku…!” Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin lalu menarik dengan sentakan keras sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia telah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya. “Nah, ceritakanlah semuanya!” katanya. “Sekali ini tidak mau mengaku, maka kau akan kami lemparkan ke bawah agar menjadi rebutan ikan!” Kim Hong juga mengancam. Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. “Baikiah… baiklah…! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui…” “Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?” Kim Hong mulai dengan pertanyaannya. “Dahulunya aku seorang bajak laut, lalu aku bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku segera pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal…” “Apa hubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!” bentak Kim Hong lagi. “Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan… kalian lalu muncul dan akhirnya dia meninggal…” “Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?” tanya Thian Sin. “Kalian merusak rencanaku, siapa tidak akan membenci kalian!” “Dan apa yang kau lakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?” desak lagi Thian Sin. “Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku mengenai kejahatan sute-nya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, lantas kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai…” “Hemmm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?” tanya Kim Hong. “Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah semenjak dulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal… ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa sangka, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan niat hendak mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian hendak kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tosu sudah menggagalkan semuanya…” “Ahhh, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!” Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam. “Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!” kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong. “Terima kasih… terima kasih…!” kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Sebab itu, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu… tolonglah teecu… hampir saja teecu dibunuh oleh Pendekar Sadis yang sudah menyiksa teecu…,” katanya dengan suara gemetar. Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka, lalu pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu serta lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dengan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san! Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, dua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman bila berada di atas pulau dari pada di atas perahu, apa lagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu! Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Si Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat-kilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu, “Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?” “Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu ingin membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja… akan tetapi teecu ketahuan kemudian ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu…” “Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?” Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali. “Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis…” Akan tetapi tosu itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan. “Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!” Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang. “Desss…!” Tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka langsung berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang lantas berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh. “Siancai…!” Kui Yang Tosu memejamkan sepasang matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada. Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, dia pun membuka matanya, lalu dengan tubuh kelihatan lemas dan lesu dia menuruni perahu itu untuk menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada. Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar sangat lirih, “Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan…” Thian Sin dan Kim Hong cepat membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, “Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan kemudian menimbulkan tindakan pembalasan sehingga membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tak bersalah, sebagai manusia biasa wajarlah jika kadang-kadang dikuasai oleh amarah.” Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan. Betapa karena rasa amarahnya dia tadi sudah membunuh Si Tikus, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu! “Tidak, pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya,” kata pula Kui Yang Tosu. Thian Sin tersenyum dan mengangguk, “Locianpwe, saya sendiri pun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe masih ingat dengan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itu pun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya.” Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. “Siancai…! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap…” “Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup.” “Maafkan pinto, sekarang Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini juga kami tidak lagi memusuhimu, taihiap.” “Terima kasih, locianpwe, dan saya pun akan belajar supaya tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh.” Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan. Thian Sin maklum apa yang sedang dirasakan oleh kekasihnya sebab dia pun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka dia pun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul, sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang sangat nikmat dalam hati mereka. Bagi Thian Sin terutama sekali, dia pun teringat kembali akan semua kata-kata kakaknya. Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tak akan pernah terlepas dari pada sebab, akibat hanyalah lanjutan dari pada sebab. Dan sebab ialah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkin menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkin mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat benih tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah dari pada hasil tanamannya. Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang betul dan pemeliharaannya yang betul. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat. Sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah pada masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja. Thian Sin dan Kim Hong lantas melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah. Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai serta Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tidak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga. Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong sudah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum. “Ayah dan ibu, harap maafkan… akan tetapi sejak pertemuan pertama kami telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Tapi betapa pun juga, kami saling mencinta…” Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dengan isterinya hanya saling pandang, kemudian menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia telah berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah. Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama semakin cenderung meninggalkan ikatan-ikatan serta hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang dari pada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan hanya sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walau pun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, walau pun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas. Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing dalam menempuh gelombang-gelombang dilautan kehidupan yang luas ini. Marilah kita melihat kenyataan bahwa biar pun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging, tapi kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri! T A M A T Serial Selanjutnya : Harta Karun Jenghis Khan

Komentar