PENDEKAR KELANA (BAGIAN KE-12 SERIAL PEDANG KAYU HARUM)

 
























jilid 1


PEGUNUNGAN itu jelas menunjukkan sentuhan musim kering yang berkepanjangan. Pohon-pohon kehilangan banyak daunnya, bahkan banyak pohon yang nampak gundul. Cabang dan rantingnya mencuat kering ke sana sini. Sebatang pohon besar nampak menyendiri di antara pohon-pohon yang layu itu. Pohon ini terlihat masih hijau segar. Mungkin karena akar-akarnya sudah mencari air sampai jauh di bawah permukaan tanah yang kering kerontang itu. Sawah dan ladang terpaksa dibiarkan menganggur setelah dicangkuli, nampak tergeletak dan dengan sabar menanti datangnya air hujan. Bila angin berhembus kuat nampak debu mengepul di permukaan tanah. Matahari bersinar terik, dan beberapa gumpalan-gumpalan awan putih tidak menjanjikan hujan yang ditunggu-tunggu itu. Anak-anak sungai tidak ada airnya dan dasarnya yang masih agak basah itu dipenuhi rumput-rumput. Beberapa ekor kerbau yang ramping kurus mencoba untuk makan rumput yang tumbuh di tengah anak sungai. Seorang lelaki setengah tua yang sama kurusnya mencontoh usaha kerbau-kerbau itu, mencabuti rumput hijau untuk dimakan! Dari pada mati harus kelaparan maka diambilnya apa saja yang masih nampak hijau dan masih hidup untuk dimasak dan dimakan, terutama bagi anaknya yang masih kecil di rumah! Jauh di atas nampak beberapa ekor burung beterbangan. Mereka lebih beruntung karena dengan sayapnya mereka dapat terbang jauh untuk mencari makanan. Banyak serangga terpaksa keluar dari sarang mereka di bawah tanah untuk mencari makanan yang sangat kurang bagi mereka sehingga serangga-serangga ini menjadi makanan burung. Musim kering yang panjang, mengeringkan segala yang berada di atas permukaan bumi, menjadi masa yang sengsara bagi para petani dusun. Dusun Ki-ceng di kaki pegunungan itu dilanda mala petaka musim kering yang panjang. Banyak penduduk yang mati karena kelaparan. Satu-satunya sumber air yang terdapat di dusun itu masih mengeluarkan air, akan tetapi hanya tinggal sepersepuluh dari biasanya. Air yang mengucur kecil inilah yang setiap hari dibuat rebutan oleh para penduduk dusun, hanya sekedar untuk minum. Tubuh yang kurus kering dengan pakaian compang-camping itu kulitnya kelihatan kering dan dimakan kutu penyakit gatal. Perut anak-anak membesar walau pun kaki tangannya mengecil, tanda mereka menderita penyakit busung lapar. Memang ada beberapa orang kaya di dusun itu, yang menjadi tuan-tuan tanah. Namun mereka sama sekali tak pernah mempedulikan keadaan rakyat di sekitar mereka. Mereka menutup pintu gudang yang penuh beras dan gandum itu rapat-rapat. Kalau pun ada yang mau menolong, tentu ada pamrihnya. Yang mempunyai anak gadis cantik dan bersih akan ditolong, tentu saja dengan menyerahkan anak gadisnya kepada si hartawan untuk ditukar dengan beberapa karung gandum atau beras. Keluarga Si Cun termasuk satu di antara para keluarga miskin itu. Si Cun sudah berusia lima puluh tahun, ada pun isterinya beberapa tahun lebih muda dari pada dia. Keluarga ini mempunyai tiga orang anak, yang pertama seorang anak perempuan dan yang dua orang lagi anak laki-laki. Anak perempuan itu bernama Si Kiok Hwa, anak yang kedua bernama Si Leng dan yang ketiga bernama Si Kong. Karena sudah tidak mampu mendapatkan makanan lagi, maka ketika Hartawan Lui yang tertarik kepada kecantikan Kiok Hwa menurunkan bantuan, Si Cun terpaksa menyerahkan Kiok Hwa untuk menjadi selir hartawan itu, menukar anaknya dengan lima karung beras. Nasib Kiok Hwa yang baru berusia enam belas tahun itu benar-benar patut dikasihani. Dia dipaksa menyerahkan dirinya kepada Hartawan Lui yang berusia hampir tujuh puluh tahun itu. Akan tetapi dia menerima nasib. Kalau dia tidak mau, berarti dia sekeluarga akan mati kelaparan. Lima karung beras itu hanya bertahan beberapa bulan saja, dan setelah itu tidak mungkin mengharapkan uluran tangan dari Kiok Hwa. Anak perempuan itu seakan-akan telah mati bagi keluarga Si, karena dilarang keluar apa lagi memberikan apa-apa untuk keluarganya. Pada suatu hari Si Leng, anak yang kedua itu, tidak pulang ke rumah. Ayah ibunya dan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun tentu saja menjadi bingung sekali dan mencari ke mana-mana. Akhirnya beberapa orang tetangga datang menggotong tubuh Si Leng yang berusia empat belas tahun itu dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Menurut cerita para tetangga, Si Leng hendak mencuri di rumah Hartawan Lui, naik ke pagar tembok dan ketahuan penjaga yang mengejarnya dan membacoknya dengan golok sehingga anak itu tewas! Si Cun sekeluarga menangis dan meratapi kematian anak mereka. Mereka tahu benar bahwa Si Leng pergi ke sana bukan untuk mencuri, akan tetapi hendak menemui kakak perempuannya dan minta bantuan. Untuk masuk melalui pintu depan tentu tidak mungkin sebab akan diusir para tukang pukul. Maka dia pun naik ke pagar tembok dengan harapan bertemu dengan enci-nya di bagian belakang gedung itu. Akan tetapi nasibnya buruk dan dia ketahuan tukang pukul, dituduh mencuri dan dibunuhnya! Si Cun tidak berdaya. Mau melapor ke mana? Yang berwajib di dusun itu adalah Lurah Ciu. Dan lurah ini tentu akan menyalahkan Si Leng yang dituduh mencuri dan memarahi Si Cun yang dikatakan tidak dapat mendidik anaknya. Kiok Hwa yang berada di gedung Hartawan Lui itu pun mendengar tentang adiknya yang terbunuh karena meloncati pagar tembok, tetapi dia pun hanya dapat menangisi kematian adiknya itu, tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan terhimpit itu Si Cun terpaksa menggadaikan sawahnya kepada Hartawan Boan, seorang hartawan lain di dusun Ki-ceng. Dia memperoleh hanya sepuluh tael perak dan hutangnya itu dibebani bunga yang tinggi, sepuluh prosen sebulan. Tanah itu menjadi milik hartawan Boan sampai Si Cun dapat mengembalikan utangnya berikut bunganya. Uang sepuluh tael perak itu dibelikan beras. Akan tetapi keluarga yang hanya tinggal tiga orang ini setiap hari harus makan bubur yang banyak airnya, itu pun dibagi-bagi di antara tiga orang itu. Ketika hujan mulai turun, uang itu pun sudah habis. Untuk mengembalikan hutang yang telah menjadi dua puluh tael itu tentu saja Si Cun tidak sanggup. Dan karena tanahnya dikuasai hartawan Boan, terpaksa Si Cun bekerja kepada tuan tanah sebagai buruh tani! Dia mulai mencangkul tanah miliknya sendiri sebagai buruh tani. Curahan peluhnya untuk menyuburkan hasil sawah itu hasilnya bukan untuk dia, melainkan untuk tuan tanah Boan dan dia hanya kebagian sepersepuluh bagian. Hanya cukup untuk makan setiap hari saja dan tidak ada sisa untuk ditabung sebagai pembayar utang. Dengan sendirinya hutang itu semakin menumpuk, tertimbun bunganya sehingga setahun kemudian hutang itu telah menjadi berlipat ganda! Si Cun kehilangan anak gadisnya, juga kehilangan anak kedua, dan akhirnya kehilangan sawahnya pula! Setiap malam Si Cun dan isterinya merenungi nasib mereka dan air mata Nyonya Si Cun sampai habis terkuras karena setiap malam menangis. Dari pagi sampai petang mereka bertiga bekerja di sawah. Bahkan Si Kong yang baru berusia sepuluh tahun itu pun turut membantu mencangkul di sawah. Kehidupan manusia di dunia ini teramat janggal, teramat tidak adil. Si kaya mempunyai makanan, pakaian dan rumah yang berlebihan, ada pun si miskin yang tinggal di sebelah rumahnya sedemikian melaratnya sehingga untuk makan saja tidak cukup! Malaskah si miskin itu? Sama sekali tidak. Malah mereka bekerja keras siang malam untuk sekedar bertahan hidup. Menyedihkan memang! Apa lagi jika melihat si kaya membeli barang-barang mewah yang tak perlu. Padahal uang yang dihamburkan itu dapat menghidupi banyak keluarga miskin. Lebih menyedihkan lagi kalau banyak sekali uang dihamburkan untuk membeli senjata untuk mempertahankan diri. Padahal uang untuk membeli senjata itu bisa menghidupkan suatu bangsa yang sedang dilanda kemiskinan. Alangkah baiknya jika dalam kehidupan ini manusia mau saling menolong, bangsa saling menolong sehingga tidak akan terjadi permusuhan. Alangkah indahnya kalau sinar kasih menyelimuti kehidupan kita, bukan permusuhan, dendam dan kebencian! Musim kering sudah lewat. Sawah ladang nampak hijau segar. Lautan daun padi nampak menghijau dan ketika angin bertiup daun-daun itu seperti menari-nari, merayakan musim panen yang segera datang. Akan tetapi semua yang serba indah itu bagaikan ejekan bagi keluarga Si. Pada waktu mereka bertiga menjaga sawah yang mulai berbuah itu, mereka merenungi nasib mereka, seakan tenggelam dalam lautan menghijau itu. Sesudah bekerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya Si Cun dan isterinya dapat juga memetik hasilnya. Walau pun hanya mendapat sepuluh bagian, akan tetapi karena hasil sawahnya banyak sekali, mereka bisa menjual hasil panen untuk mengembalikan hutang kepada Hartawan Boan sebanyak dua puluh lima tael. Sawah itu kembali kepada mereka, namun hidup mereka tetap miskin. Sisa hasil sawah yang dijual mampu menahan mereka dari ancaman kelaparan, akan tetapi mereka harus berhemat. Makan dikurangi, pakaian pun tidak membeli melainkan memakai satu-satunya pakaian yang melekat di badan! Bila mana sedang mencuci pakaian maka mereka hanya menggunakan selimut butut untuk menutupi tubuh mereka yang telanjang. Pengalaman pahit membuat orang menjadi kebal dan pengalaman itu tidak terasa pahit lagi. Makan sedikit bubur dengan garam tidak mendatangkan kesedihan bagi orang yang sudah terbiasa dengan makanan itu. Kehidupan yang keras dan sukar tertanam dalam-dalam di jiwa Si Kong sehingga anak ini dapat mandiri dalam usianya yang baru sepuluh tahun. Dia menjadi seorang anak yang tabah dan tidak cengeng. Dia seakan lupa lagi untuk menangis karena di waktu kecilnya sudah terlampau banyak menangis. Tubuhnya pun menjadi kokoh kuat, tulang-tulangnya mengeras dan daya tahannya luar biasa. Dia mampu mencangkul seharian penuh tanpa istirahat dan hanya makan semangkok bubur encer! Kemalangan bagi seorang manusia kadang datang secara bertubi-tubi. Baru saja keadaan keluarga Si sedikit membaik karena tanahnya sudah kembali kepada mereka, timbullah wabah penyakit di dusun Ki-ceng. Di antara orang-orang yang terkena penyakit ini, juga termasuk Si Cun dan isterinya! Karena keadaan, maka penghidupan mereka tidak dapat disebut bersih. Dan inilah yang membuat mereka kejangkitan wabah penyakit itu. Dan dalam waktu sepekan saja, Si Cun dan isterinya berturut-turut meninggal dunia! Dunia terasa kiamat bagi Si Kong yang usianya baru sepuluh tahun itu! Bagi Si Kong dan mungkin kebanyakan orang, peristiwa itu dianggap keterlaluan seakan-akan Tuhan tidak adil! Tentu karena manusia hanya melihat segi lahiriahnya saja! Tuhan Maha Adil! Hanya jalan yang ditempuh Tuhan untuk menentukan sesuatu menjadi rahasia besar bagi kita, tidak terjangkau oleh akal pikiran kita. Bagi kita hanya ada satu sikap, yaitu berikhtiar sekuat dan sebaik mungkin, akan tetapi menerima kenyataan dan keadaan dengan pasrah dan menguatkan iman kita bahwa apa yang Tuhan kehendaki semua terjadilah! Dan semua itu terjadi dengan benar dan adil. Kenapa terjadi begini atau kenapa terjadi begitu berada di luar kekuasaan kita. Hukum Karma takkan pernah menyimpang seujung rambut pun. Kita harus dapat menerimanya penuh kepasrahan, ikhlas dan dengan iman yang kuat akan kekuasaan, kebesaran dan kebenaran Tuhan! Atas nasehat para tetangga, Si Kong terpaksa menjual sawah dan rumah gubuknya untuk membiayai pemakaman ayah ibunya. Dia menggunakan uang hasil penjualan sawah dan rumah itu untuk membeli peti mati dan semua keperluan sembahyang, kemudian dilayat oleh para tetangga, ayah ibunya dikuburkan secara sederhana. Semua tetangga yang melayat telah meninggalkan tanah kuburan itu, akan tetapi Si Kong tidak mau pergi. Beberapa tetangga mencoba untuk membujuknya, namun Si Kong tetap berkeras tidak mau pulang sehingga akhirnya semua orang meninggalkannya di hadapan sepasang makam itu. Si Kong mendekam berlutut di hadapan kuburan ayah ibunya sambil menangis. Suaranya sampai habis dipakai menangis sejak kemarin. Dia merasa berduka dan nelangsa sekali. Kini dia hidup seorang diri, yatim piatu. Satu-satunya saudaranya hanyalah Si Kiok Hwa, namun enci-nya itu telah 'dipenjara' dalam gedung Hartawan Lui, tidak dapat dijumpainya. Bahkan mungkin enci-nya itu tidak tahu akan kematian orang tuanya. Si Kong terus mendekam sambil menyentuh tanah. Dia tak merasakan lagi perutnya yang lapar dan seluruh tubuhnya yang lemah lunglai. Kalau mungkin dia tidak mau bangkit lagi selamanya, ingin berada di situ bersama makam ayah bundanya yang tercinta. Akhirnya tubuhnya yang tidak kuat dan dia pun tergolek pingsan. Malam itu turun hujan. Keadaan gelap pekat, hanya kadang-kadang ada cahaya kilat yang menerangi permukaan bumi, meninggalkan bayang-bayang pohon raksasa yang nampak menyeramkan. Tanah kuburan itu menjadi tempat yang sangat mengerikan. Sesudah tubuhnya disiram air hujan, Si Kong siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa lemas dan begitu siuman dia pun teringat kepada ayah ibunya. "Ayah...! Ibu...! Bawalah aku..., aku ikut...!" dia menangis dan berteriak-teriak. Kalau ada orang mendengarkan suara itu di tengah malam hujan di pekuburan, tentu mengira suara iblis. Sesudah menangis dan berteriak-teriak sampai suaranya habis, Si Kong lalu bangkit. Dia memandang ke arah dua gundukan tanah itu dan baru sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ayah ibunya telah mati, telah dikubur dan tidak mungkin membawanya. Dia harus pulang, akan tetapi pulang ke mana? Rumahnya sudah dijual, uangnya untuk biaya penguburan. Sisanya yang hanya tinggal beberapa keping saja ada di dalam saku bajunya yang basah kuyup. Dia menggigil dan menatap dua makam itu. "Ayah... ibu... bagaimana dengan aku ini...?" kembali dia menubruk makam itu, kemudian menangis sambil memeluk dan rebah menelungkup di atas makam ibunya. Dia pingsan lagi! Mengenang masa lampau, takut menghadapi masa depan, menimbulkan duka. Apa bila kita sedang berduka, duka itu makin menghebat jika kita membandingkan keadaan kita dengan keadaan orang lain, karena kita selalu tengadah dan melihat mereka yang berada di atas kita. Kalau kita melihat ke atas, yang nampak hanyalah orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dari pada kita, lebih kaya, lebih senang dan sebagainya, pendeknya serba lebih dari pada kita. Akan tetapi sekali kita menunduk, melihat ke bawah, ternyata masih banyak sekali orang yang lebih rendah dari pada kita, lebih miskin, lebih sengsara dan baru kita menyadari bahwa keadaan kita masih lebih baik dari pada keadaan banyak orang! Kali ini air hujan yang kembali menyiram tubuhnya tidak mampu menggugah Si Kong dari pingsannya. Dia pingsan terus sampai pagi, sampai matahari pagi mulai menghidupkan segala sesuatu, mengusir kabut dan kegelapan. Seorang kakek yang pakaiannya penuh tambalan memasuki kuburan itu. Usianya sudah enam puluhan tahun, tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu dan tangan kirinya menjinjing sebuah keranjang berisi beberapa macam daun dan akar-akaran. Kakek berusia enam puluhan tahun itu rambutnya telah berwarna dua, hitam dan putih sehingga dari jauh kepalanya nampak kelabu. Namun wajahnya yang lebar itu masih nampak muda tanpa keriput, bahkan kedua pipinya kemerahan tanda sehat dan mulutnya tidak pernah berhenti tersenyum. Matanya juga bersinar-sinar sehingga wajah itu selalu terlihat berseri. Mukanya menengok kanan kiri, dan agaknya dia mencari tumbuh-tumbuhan, sementara mulutnya perlahan menyanyikan sajak. "Bacoklah air dengan pedang dan air akan mengalir terus, benamkan duka dalam arak dan kedukaan makin bertambah, dalam hidup ini, harapan-harapan kita terpenuhi, kelak dengan rambut terurai lepas, kita akan pergi." "Anda bertanya mengapa aku memilih tinggal di pegunungan. aku tersenyum tanpa jawab, hatiku dalam kedamaian, bunga persik pergi air mengalir, terdapat Langit dan Bumi di luar dunia manusia." Sajak itu adalah tulisan pujangga Li Pai (701-762) ratusan tahun yang lalu, dinyanyikan oleh kakek itu dengan suaranya yang dalam. Dan Si Kong masih pingsan atau tertidur itu bermimpi. Dia merasa duduk dekat perapian yang dibuat di dalam rumah dan dirangkul ibunya. Detak jantung ibunya terasa olehnya, menimbulkan suasana akrab dan hangat. Telinganya seakan mendengar suara ayahnya yang agak parau dan dalam, dan suara itu mendatangkan rasa damai dan tenteram dalam hatinya. Alangkah senangnya duduk di dekat api dalam rangkulan ibunya sambil mendengar suara ayahnya. Memang perutnya masih terasa lapar. Makan semangkok bubur malam itu tidak memuaskan perutnya. Tetapi suasana yang akrab dan tenteram itu amat menyenangkan. "Hei, nak, matahari telah naik tinggi akan tetapi engkau masih enak-enak tidur di sini?" Ia mendengar teguran ayahnya. Ayahnya memang tidak senang bila melihat dia bermalas-malasan. Kemudian pundaknya terasa diguncang dan suara ayahnya terdengar lagi. "Hayo bangun! Engkau bisa sakit tidur di sini!" Eh, mengapa ayahnya berkata demikian? Dan suara itu, memang dalam akan tetapi tidak parau. Bukan suara ayahnya! Si Kong segera bangkit dari tidurnya. Sinar matahari tepat menerobos celah-celah daun lantas menimpa matanya. Dia melindungi matanya dengan punggung tangan, menggosok-gosoknya untuk mengusir sisa-sisa rasa kantuk, kemudian menurunkan kedua tangannya. Terbelalak dia memandang kepada kakek yang tadi menyuruhnya bangun. Sama sekali bukan ayahnya, melainkan seorang kakek. Kakek itu asing pula, bukan penghuni dusun Ki-ceng. Seluruh penduduk dusun Ki-ceng dikenalnya, akan tetapi kakek ini tidak dikenal. Rasa lapar menggerogoti perutnya, akan tetapi ditahannya. "Engkau siapakah, kek?" tanyanya. "Ha-ha-ha-ha, sepatutnya aku bertanya engkau ini siapa dan apa kerjamu di sini? Engkau tertidur di atas makam dan seluruh pakaianmu basah. Lihat, mukamu juga membiru tanda kedinginan. Cepat kau kunyah ini kemudian telan, jangan pedulikan pedas dan pahitnya!" Dia menyodorkan sejari jahe yang diambilnya dari keranjang obatnya. Si Kong tak membantah. Dia memang seorang anak yang penurut dan mudah memahami kehendak orang lain. Dia segera tahu bahwa kakek ini hendak menolongnya, maka dia pun menerima jahe itu dan dimakannya. Panas dan getir bukan main rasanya, akan tetapi terus ditelan saja. Ada rasa hangat di perutnya. Rasa hangat yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya sehingga dia tidak lagi merasa kedinginan. "Nah, sekarang engkau harus memberitahu kepadaku, mengapa engkau berada di sini, siapa namamu dan di mana pula rumahmu?" Karena kedua kakinya agak gemetar dipakai berdiri, Si Kong duduk di atas batu di dekat makam ayah ibunya. "Namaku Si Kong dan ini adalah makam ayah dan ibuku yang baru dimakamkan kemarin sore." "Kemarin sore dimakamkan lantas semalam suntuk engkau berada di sini, kehujanan dan kedinginan?" tanya kakek itu dengan suara mengandung keheranan dan juga kekaguman. Anak ini sungguh berbakti dan pemberani. Sukar dicari anak yang berani tinggal semalam suntuk di kuburan, apa lagi malam tadi gelap dan dingin banyak mengandung kilat. "Mereka adalah orang tuaku, Kakek, dan aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi." Teringat akan ini, Si Kong pun kembali mengeluarkan air mata. "Rumah kami sudah kujual untuk membeli peti mati. Aku tidak punya rumah lagi, sebatangkara di dunia ini." Melihat anak itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu lantas meloncat dan tertawa-tawa. Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si Kong sehingga terdengar sungguh aneh. Bahkan Si Kong yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang kakek itu. "Kek, apa yang kau tertawakan?" "Anak yang baik, apa yang kau tangisi?" "Aku menangisi kematian ayah ibuku," kata Si Kong penasaran. "Ha-ha-ha, benarkah itu? Untuk apa engkau menangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas mereka terhindar dari kemiskinan, dan terhindar dari sakit. Hal itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kau sayangi, karena merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki apa-apa lagi? Itukah yang kau tangisi?" Si Kong tertegun dan sadar. "Memang begituah, kek, aku menangisi diriku sendiri, merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?" "Ha-ha-ha, tidak salah melainkan tidak tepat. Manusia harus berusaha untuk mengatasi kesulitannya, bukan hanya ditangisi." "Dan engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek? Apa engkau menertawakan aku yang sedang berduka? Alangkah kejamnya engkau." "Ha-ha-ha, aku tertawa karena melihat kelucuan. Betapa manusia diombang-ambingkan antara tawa dan tangis, antara suka dan duka. Baru terlahir telah menangis, masih belum puaskah? Menangis dan menangis lagi. Seorang bocah semacam engkau ini tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya! Sudahlah, berkabung semalam suntuk sudah cukup baik. Kulihat engkau kedinginan dan kelaparan. Dinginmu sudah kuusir dengan jahe tadi, akan tetapi kalau kubiarkan saja perutmu kosong, engkau dapat mudah diserang penyakit. Ini aku mempunyai beberapa potong buah pisang. Nah makanlah dan habiskan!" Dia mengambil lima potong buah pisang dari keranjangnya. Si Kong terheran-heran. Dari mana kakek itu dapat memiliki buah pisang? Di daerah itu sama sekali tidak ada pohon pisang. Bahkan Si Kong baru melihat saja, tetapi belum pernah makan. Akan tetapi dia tidak menolak. Diterimanya buah pisang itu, dikupasnya kulitnya dan dimakannya dengan lahap. Sejak kemarin pagi perutnya tidak dimasuki apa-apa. "Sekarang telanlah ini untuk menguatkan badanmu." Kakek itu kembali mengambil sebutir pil dari bungkusan di dalam keranjangnya. Pil itu berwarna merah dan tanpa ragu-ragi lagi Si Kong menelannya. "Aku mendengar bahwa dusun Ki-ceng diserang wabah penyakit. Apakah orang tuamu juga terserang penyakit itu?" "Agaknya begitulah, kek. Tubuh mereka panas sekali, lantas dalam waktu dua hari saja mereka meninggal dunia seperti orang-orang lain di dusun ini yang lebih dulu terserang." "Engkau sebatang kara? Tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa?" "Benar, kek..." "Kalau begitu, maukah engkau ikut dan membantuku? Akan tetapi ingat, keadaanku tidak banyak bedanya denganmu, aku juga tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa. Maukah engkau menjadi muridku?" "Mnjadi murid? Belajar apakah, kek?" "Ha-ha-ha, belajar apa? Mengobati orang, membaca huruf, dan juga mengemis!" "Aku suka belajar mengobati orang dan membaca huruf, akan tetapi aku tidak mau belajar mengemis, kek." "Mengemis adalah perbuatan yang penting untuk mencegah kita menjadi pencuri. Kalau kita dapat bekerja mencari nafkah, itu baik sekali. Akan tetapi kalau tidak bisa, lalu apa yang dapat kau makan? Tidak makan berarti mati, karena itu dari pada mencuri lebih baik mengemis, menggerakkan hati manusia untuk sekedar memberi semangkok nasi." Si Kong tidak berpikir lama. Jelas bahwa kakek ini mempunyai hati yang baik. Dia dapat belajar mengobati dan juga membaca huruf. Soal mengemis, bagaimana nanti sajalah. Ia dapat bekerja apa saja. "Bagaimana? Engkau suka menjadi muridku?" Si Kong cepat menjawab. "Suka sekali!" kemudian dia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek pengemis tua itu dan menyebut, 'suhu'. "Bagus! Nah, mulai sekarang engkau harus menurut semua kata-kataku. Siapa namamu tadi? Si Kong? Orang-orang yang usil mulut menyebutku Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Lihatlah, mereka mengangkatku menjadi Yok-sian (Dewa Obat) akan tetapi memakiku sebagai Lo-kai (Pengemis Tua). Akan tetapi aku sudah terbiasa dengan nama itu sehingga aku sudah lupa namaku sendiri, ha-ha-ha!" "Suhu, kita akan ke mana sekarang?" "Di Ki-ceng sedang berjangkit wabah yang menular. Orang tuamu sendiri menjadi korban. Kita harus menolong mereka yang sakit dan menjaga mereka yang belum ketularan agar tidak sakit. Hayo, antarkan aku ke rumah kepala dusun." Si Kong menjadi penunjuk jalan. Sementara itu matahari mulai memuntahkan cahayanya yang panas sehingga pakaian Si Kong yang tadinya basah kuyup karena semalaman diguyur air hujan, kini mulai mengering. Mereka disambut oleh kepala dusun sendiri yang mengenal Si Kong. "Si Kong, ada apakah engkau minta menghadapku dan siapakah kakek ini?" "Lo-ya, kakek ini adalah guru saya berjuluk Yok-sian Lo-kai. Dia datang untuk mengobati mereka yang sakit terkena wabah." "Ahhh, sungguh kebetulan sekali. Anakku juga terserang dan baru malam tadi badannya panas sekali," kata kepala dusun. "Boleh aku memeriksanya dan mengobatinya?" tanya Yok-sian Lo-kai. "Tentu saja. Mari, silakan masuk." Kepala dusun yang sedang gelisah itu mempersilakan mereka masuk. Kakek itu masih memegang tongkat bambunya, akan tetapi keranjang terisi rempah-rempah itu kini dibawakan oleh Si Kong. Anak sakit itu berusia sepuluh tahun, sebaya dengan Si Kong. Pada saat Yok-sian Lo-kai memasuki kamarnya, anak itu dalam keadaan tidak sadar dan tubuhnya sangat panas. Yok-sian Lo-kai memeriksa denyut nadinya, membuka matanya dan mulutnya, kemudian mengangguk-angguk. "Penyakit ini memang mudah menular, terbawa oleh lalat. Akan tetapi keadaannya masih dini, belum parah dan mudah-mudahan dia dapat disembuhkan." Dengan jarinya kakek itu lalu menotok pada beberapa bagian tubuh anak itu. Anak itu kini siuman dan mengerang kepanasan. Kakek itu mengambil sedikit akar dan berkata kepada Si Kong. "Si Kong, masaklah akar ini dengan semangkok air hingga mendidih dan tersisa setengah mangkok, lalu bawa kesini." Isteri lurah yang juga berada di dalam kamar itu lalu menggapai ke arah Si Kong. "Mari kusediakan alatnya untuk memasak obat." Mereka lalu ke dapur dan kakek itu tetap menggunakan jari-jari tangannya untuk menekan sana-sini. Sesudah obat itu selesai dimasak, Si Kong lalu membawanya kepada gurunya. Setelah obat itu agak dingin barulah Yok-sian Lo-kai menyuruh anak yang sakit itu minum obat itu sampai habis, kemudian dia menyuruh anak itu tidur kembali. Obat itu sungguh manjur sekali karena panas tubuh anak itu segera menurun. Tentu saja kepala dusun dan keluarganya merasa girang dan berterima kasih sekali. "Kalian carilah ilalang dan akar ini sebanyaknya. Masak dan beri minum kepada mereka yang sakit. Tentu dapat menolong nyawa mereka. Mereka yang belum terkena penyakit ini harus berhati-hati. Jangan sekali-kali membiarkan lalat hinggap pada makanan. Semua makanan harus ditutup rapat. Jangan minum air mentah, melainkan air itu harus dimasak sampai mendidih. Keluarkan alas tempat tidur serta selimut, jemur sampai kering benar. Jagalah kebersihan dan wabah ini akan lenyap dengan sendirinya," demikian Yok-sian Lo-kai berkata kepada kepala dusun. Kepala dusun segera memanggil semua penduduk dan kepada mereka dia meneruskan pesan Yok-sian. Penduduk yang sanak keluarganya sakit segera beramai-ramai mencari daun ilalang dan akar itu, lalu mengobati mereka yang sakit. Kepala dusun lantas menjamu Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Tanpa sungkan lagi Yok-sian lalu makan minum dengan lahapnya. Juga Si Kong yang sejak kemarin belum makan, kini makan dengan lahapnya. Setelah itu Yok-sian lalu berkata kepada kepala dusun. "Sekarang harap lo-ya suka memanggil semua orang yang kaya agar berkumpul di sini. Saya ingin bicara hal penting pada mereka." Permintaan ini pun dilaksanakan oleh kepala dusun. Tidak lama kemudian belasan orang tuan tanah yang kaya raya berkumpul di tempat itu, tidak ketinggalan disertai pengawal-pengawal atau tukang pukul. "Aku ingin bicara, harap kalian dengarkan baik-baik. Kalian adalah warga-warga dusun Ki-ceng, berarti senasib sependeritaan dengan warga lain yang kurang mampu. Mulai saat ini harap kalian suka mengubah sikap terhadap warga yang miskin. Jangan lagi memeras mereka, akan tetapi bantulah mereka ketika musim paceklik tiba. Jangan memberi hutang dengan bunga tinggi, dan jangan merampas sawah ladang mereka. Apa bila kalian masih berani melakukan penindasan, mungkin dusun ini akan terkutuk dan datang lagi wabah penyakit yang lebih hebat pula. Dan penyakit itu tidak takut kepada harta kalian." Segera belasan orang hartawan itu menjadi gempar. Jelas kelihatan bahwa mereka tidak menyetujui hal ini. Melihat ini Yok-sian Lo-kai lalu berkata lantang kepada kepala dusun. "Lo-ya sebagai kepala dusun di sini harus bersikap keras terhadap para hartawan yang membangkang. Mereka yang tidak mau membantu warga yang melarat harus dipaksa." "Akan tetapi, in-kong (tuan penolong), semua itu adalah milik mereka sendiri maka kami tidak dapat memaksa. Bahkan mereka masing-masing memiliki pengawal-pengawal yang siap menghajar siapa yang berani menentang mereka." Mendengar kata-kata ini, Yok-sian Lo-kai segera berkata lagi kepada para hartawan itu. "Kalian dengar itu? Agaknya kalian selalu memaksakan kehendak dengan mengandalkan anjing-anjing pengawal kalian! Sekarang aku yang memerintahkan kalian menurut aturan itu, membantu para warga yang miskin, memberikan pinjaman tanpa bunga. Siapa yang berani menentang perintah itu?" Para tukang pukul itu serentak maju.Tidak kurang dari tiga puluh orang tukang pukul yang bertubuh tinggi besar melangkah maju. "Siapa yang berani memaksa majikan kami akan berhadapan dengan kami!" kata seorang di antara mereka. "Apa lagi engkau hanya seorang jembel tua, bagaimana berani bicara seperti itu kepada majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?" "Ha-ha-ha, dengarlah!" kata Yok-sian Lo-kai sambil menudingkan tongkatnya kepada para tukang pukul itu. "Ajing-anjing peliharaan para hartawan memang pandai menggonggong, akan tetapi mereka tidak pandai menggigit." Para hartawan yang tidak rela untuk menolong warga yang miskin menjadi marah bukan main. Mereka memberi isyarat kepada para tukang pukul mereka untuk bertindak. Tukang pukul yang tadi bicara berada paling depan. Agaknya dia hendak memamerkan kehebatannya, maka dengan ganas dia telah menyerang Yok-sian Lo-kai dengan kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu! "Wuuutt...!" cerita silat online karya kho ping hoo Dengan hanya miringkan tubuh menggerakkan kepalanya Yok-sian Lo-kai telah membuat pukulan itu mengenai tempat kosong saja dan dengan secepat kilat tongkatnya menotok, tepat mengenai lutut kanan kiri tukang pukul itu. Mendadak, tanpa dapat dihindarkan lagi, tukang pukul itu jatuh berlutut di depan Yok-sian Lo-kai. "Ha-ha-ha, engkau minta ampun? Baik, baik, kuampuni kau!" kata Yok-sian Lo-kai. Penduduk yang berdatangan menonton peristiwa itu menahan tawa karena geli. Memang dipandang sepintas lalu, tukang pukul itu kelihatan seperti berlutut minta ampun kepada si pengemis tua. Melihat ini, para tukang pukul lainnya menjadi marah. Tiga orang langsung meloncat dan menyerang, akan tetapi dengan gerakan tongkat tga kali, tiga orang itu pun terpelanting roboh terkena sambaran tongkat bambu! Kini mengertilah para tukang pukul bahwa kakek yang pandai mengobati itu juga pandai bersilat. Karena mereka berjumlah banyak, mereka tidak takut dan kini mereka mencabut senjata pedang dan golok kemudian segera menyerbu. Terdengar suara tawa pengemis tua itu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke atas. Ketika turun tongkatnya diputar lantas banyak pengeroyok roboh berpelantingan. Sisanya menyerbu semakin nekat, akan tetapi mereka ini pun roboh satu demi satu sehingga tidak ada seorang pun yang tidak roboh. Gerakan Yok-sian Lo-kai itu demikian cepat sehingga tidak dapat diikuti dengan pandangan mata. Yang nampak hanya gulungan sinar kuning dan tahu-tahu para tukang pukul itu sudah roboh berpelantingan. "Bagaimana, cu-wi wangwe (hartawan sekalian)? Maukah kalian memenuhi permintaanku tadi? Membantu warga miskin, jangan memungut bunga, jangan mengambil sawah ladang mereka, dan bayarlah buruh tani dengan selayaknya sehingga mereka bisa hidup dengan layak pula." Seperti dikomando saja, para hartawan itu mengangguk dan menyatakan setuju. "Ingat, kalau lain kali aku lewat di Ki-ceng lagi tetapi kalian masih melakukan pemerasan terhadap warga dusun yang miskin, maka aku Yok-sian Lo-kai tak akan mau mengampuni kalian lagi. Sekarang pulanglah ke rumah masing-masing dan laksanakanlah perintahku. Bubarkan para tukang pukul karena kalau kalian bersikap baik terhadap warga tani yang miskin, kalian tidak perlu khawatir lagi akan harta kalian. Penduduk akan berterima kasih kepada kalian dan akan menjaga harta milik kalian." Orang-orang kaya itu lantas pergi dengan muka ditundukkan. Di antara mereka ada yang rela, namun ada pula yang tidak rela, akan tetapi mereka takut akan ancaman pengemis tua yang sakti itu. Sementara itu Si Kong merasa khawatir sekali ketika melihat Yok-sian Lo-kai dikeroyok para tukang pukul. Akan tetapi dia segera bersorak di dalam hati ketika terjadi hal yang tidak disangka-sangkanya, betapa pengemis renta itu menghajar tiga puluh orang tukang pukul itu. Dia mengambil keputusan dalam hatinya bahwa selain belajar ilmu pengobatan dan membaca huruf, dia pun akan minta supaya diajari ilmu bela diri! Sesudah semua orang bubaran, Yok-sian Lo-kai segera berpamit kepada kepala dusun. Kepala dusun tergopoh-gopoh mengambil uang dan hendak memberi sumbangan kepada pengemis tua itu. Akan tetapi Yok-sian Lo-kai tidak mau menerimanya dan berkata, "ku memang seorang pengemis dan kalau terpaksa aku suka mengemis makanan. Akan tetapi untuk pengobatanku, aku tidak sudi menerima upah." Dia lalu menggandeng tangan Si Kong dan menarik anak ini pergi dari situ. Orang-orang hanya memandang heran dan mengikuti murid dan guru itu pergi. Tongkat bambu itu berbunyi tak-tuk tak-tuk di sepanjang jalan. Sesudah bayangan pengemis tua itu menghilang pada sebuah tikungan, barulah mereka ramai membicarakan sepak terjang pengemis tua itu. Dan semenjak hari itu tidak ada lagi penyakit yang berjangkit di dusun itu. Juga kehidupan para warga dusun yang miskin kini menjadi mendingan keadaannya karena uluran tangan para hartawan. Paksaan dan siksaan yang dahulu dilakukan para tukang pukul juga tidak ada lagi. ******************** Mulai saat meninggalkan dusun Ki-ceng, Si Kong menjadi murid Yok-sian Lo-kai. Yok-sian adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Kalau bertemu dengan kota atau dusun yang cocok dan menyenangkan hatinya, dia dapat tinggal di situ hingga sebulan lamanya. Akan tetapi banyak pula dusun dan kota yang dilewatinya begitu saja. Di sepanjang jalan dia selalu mengumpulkan rempah-rempah yang dianggapnya berguna. Dia selalu mengulurkan tangan untuk menolong dan mengobati orang sakit. Untuk makan mereka, kadang-kadang mereka mendapatkan binatang buruan di hutan, atau memetik buah-buahan di dalam hutan. Sering pula Si Kong bekerja di rumah makan atau rumah penginapan untuk mendapatkan uang sekedar pembeli makan untuk dia dan gurunya. Akan tetapi, kalau Yok-sian Lo-kai tidak tinggal lama di suatu tempat, mereka mengemis makanan dari rumah-rumah. Cara mengemis Yok-sian Lo-kai berbeda dengan pengemis lain. Dia bersama Si Kong mendatangi rumah orang dan menyatakan terus terang bahwa mereka minta diberi makanan. Kalau diberi uang Yok-sian tidak menerimanya, melainkan pindah ke rumah lain. Si Kong tidak sesabar itu, akan tetapi kalau ada gurunya, dia pun tunduk pada kebiasaan gurunya itu. "Kalau perutmu tidak lapar, mengapa mengemis makanan? Apa bila tidak haus, mengapa mengemis minuman? Kalau tidak butuh pengganti pakaian, mengapa mengemis pakaian? Kita tidak boleh melanggar pantangan itu. Mengemis uang dapat membuat kita menjadi malas," demikianlah pendirian Yok-sian Lo-kai. Pada waktu senggang kakek itu mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada muridnya. Tidak saja Si Kong harus menghafalkan nama rempah-rempah dan kegunaannya, juga dia diajar cara meneliti keadaan orang dari denyut nadinya. Melihat gejala-gejala penyakit dari lidah dan mata orang yang sakit. Ketika ada orang sakit yang membutuhkan pengobatan, dia bahkan menyuruh muridnya untuk mengobatinya sementara dia sendiri hanya meneliti kalau-kalau muridnya salah memberi obat. Si Kong juga diberi pelajaran mengenai jalan darah manusia, titik-titik mana yang harus dipijat atau ditotok. Memang Si Kong memiliki kecerdasan sehingga dia dapat menerima dan menghafalkan semua pelajaran itu. Di samping pelajaran pengobatan Si Kong mulai pula diajar ilmu membaca dan menulis. Ternyata Si Kong cepat sekali mendapatkan kemajuan dalam ilmu ini. Baru setahun turut merantau bersama Yok-sian Lo-kai, dia sudah pandai membaca dan menulis. Tentu saja gurunya merasa girang sekali melihat kemajuan muridnya. Dia lantas mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepada muridnya. Si Kong merasa gembira sekali dan dia berlatih dengan tekun sekali. Karena sejak masih kecil sekali Si Kong telah terbiasa menggunakan tenaga kasar, maka tubuhnya lebih kuat dari pada anak biasa. Bahkan kemajuannya dalam ilmu silat mengalahkan kemajuannya dalam ilmu sastra. Gurunya maklum bahwa anak ini memang bertulang baik dan berbakat sekali, maka dia pun mengajarkan ilmu tongkatnya yang sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw, yaitu Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing). Ilmu tongkat ini hanya terdiri tiga belas jurus pokok, akan tetapi perkembangannya dapat menjadi ratusan, tergantung dari bakat yang menguasai ilmu itu. Karena itu setelah berlatih tiga tahun lamanya, barulah Si Kong dapat menguasai Ta-kaw Sin-tung. Semenjak berlatih ilmu tongkat itu, sekarang dia pun memiliki sebatang tongkat bambu yang selain dipakai untuk berlatih silat juga digunakan untuk memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya. Pada suatu pagi yang cerah, matahari masih agak kekuningan di langit timur, akan tetapi sinarnya sudah menyengat hangat. Pohon-pohon dan segala tumbuh-tumbuhan nampak seperti baru hidup lagi sesudah semalam suntuk mereka diselimuti kegelapan yang penuh rahasia itu. Di jalan yang menuju ke kota Souw-ciu suasananya masih sunyi. Jalan itu memang hanya jalan yang menghubungkan kota Souw-ciu dengan dusun-dusun, karena itu tampak sunyi. Keadaan yang sunyi itu dibuyarkan oleh dua orang yang berjalan berdampingan. Mereka adalah Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Anak itu kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun, akan tetapi dia nampak lebih tua dari pada usianya. Mungkin hal ini akibat dia kenyang ditempa oleh keadaan, banyak menghadapi kesukaran dan kesengsaraan. Tubuhnya tinggi tegap, dan wajahnya jantan lagi gagah, walau pun pakaiannya yang nampak bersih itu sudah penuh dengan tambalan, seperti pakaian yang dipakai Yok-sian Lo-kai. Agaknya pagi yang cerah itu telah membangkitkan kegembiraan di hati Yok-sian. Dia pun memandang ke atas lalu menyanyikan sebuah sajak. "Mari pada menguasai sampai sepenuhnya lebih baik berhenti pada saatnya. Menempa untuk mencapai tajamnya ketajaman itu takkan bertahan lama. Ruangan penuh dengan emas dan batu permata tidak mungkin dapat dijaga. Angkuh karena mewah dan mulia dengan sendirinya membawa bencana. Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur demikianlah jalan yang ditempuh langit." "Nah sajak Suhu sekali ini membuat aku bingung dan tidak mengerti apa artinya. Maukah Suhu menjelaskan kepadaku?" "Apa yang tidak jelas? Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Di situ dinasehatkan supaya kita jangan menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai sepenuhnya, yang akhirnya tidak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas. Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperoleh, maka yang diperoleh itu tidak akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan hanya akan menimbulkan rasa iri hati dan mengundang maling untuk mencurinya. Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada dirinya sendiri. Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras dengan kehendak Tuhan." "Aduh, demikian dalamnya isi sajak itu, Suhu. Siapakah pembuat sajak itu?" "Sajak itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan dari Sang Bijaksana Lo Cu. Kelak bila ada kesempatan engkau harus menghafalkan dan memahami seluruh sajak Tao-tek-keng itu." Mereka kini memasuki kota Souw-ciu dari arah barat. Kota itu cukup ramai dan dikelilingi bukit-bukit sehingga pemandangannya indah dan hawanya juga sejuk. Gembira rasa hati Si Kong ketika dia memasuki kota, melihat banyak toko, rumah makan dan penginapan. "Suhu, aku dapat mencari pekerjaan di kota ini!" katanya. "Di sini banyak sekali toko-toko besar, rumah makan dan penginapan." "Hemmm, kita lihat saja nanti. Belum tentu aku suka tinggal lama di tempat ini. Mari kita melihat ke sana, agaknya di sana itu ada pasar yang ramai." Mereka berjalan terus dan tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh sedikit keributan yang terjadi di depan sebuah rumah makan. Nampak seorang pengemis berpakaian compang-camping warna hitam sedang ribut mulut dengan seorang pengemis lain yang pakaiannya tambal-tambalan berkembang. "Tidak usah banyak cakap! Engkau bersama rombonganmu tidak kami perbolehkan untuk mengemis di kota ini, kecuali kalau kalian menjadi anggota kami!" kata si pengemis baju berkembang. "Kalian selalu mengganggu kami! Kami sudah mempunyai perkumpulan sendiri dan kami tak sudi menjadi anggota perkumpulan kalian. Sudah semenjak dulu kami bekerja di sini, karena itu kalian tidak berhak melarang." "Ah, berani membantah, ya? Engkau sudah bosan hidup rupanya!" Dan si pengemis baju berkembang itu segera menyerang pengemis baju hitam. Terjadilah perkelahian saling pukul dan saling tendang. Tidak lama kemudian datang lima orang pengemis baju berkembang, juga lima orang pengemis berbaju hitam dan terjadilah perkelahian di antara mereka. Orang-orang segera datang menonton perkelahian antara pengemis itu. Sejak tadi Yok-sian Lo-kai berhenti melangkah dan menonton perkelahian. Melihat betapa perkelahian telah menjadi keroyokan, dia berkata kepada Si Kong, "Orang-orang itu tidak tahu diri. Pekerjaan mengemis saja diperebutkan! Si Kong, coba kau gunakan tongkatmu untuk melerai mereka. Kalau mereka masih nekat berkelahi, hajar mereka semua dengan gebukan tongkatmu!" Selama ini belum pernah Si Kong berkelahi. Biar pun dia sudah menguasai Tongkat Sakti penggebuk anjing dengan baik, akan tetapi belum pernah dia gunakan untuk bertanding. Kehidupan mereka sebagai pengemis itu tentu saja tidak pernah menarik perhatian para perampok atau penjahat sehingga dia dan gurunya tidak pernah diganggu orang. Kini gurunya menghendaki agar dia melerai dua belas orang yang sedang berkelahi dan merobohkan mereka semua apa bila mereka tidak mau berhenti berkelahi. Akan tetapi dia tidak membantah. Diturunkannya keranjang rempah-rempah dari pikulannya, lalu dengan senjata tongkat bambu di tangan dia menghampiri mereka yang sudah saling pukul itu. "Heiiii, kawan-kawan! Berhentilah berkelahi! Tidak baik berkelahi antara kita sendiri. Hayo, berhenti!" Akan tetapi saat melihat bahwa yang melerai itu adalah seorang pemuda pengemis pula, bukan anggota pengemis baju hitam dan juga bukan anggota pengemis baju berkembang, para pengemis itu tidak peduli, bahkan mereka berbalik menyerang Si Kong! Baik yang baju hitam mau pun yang baju berkembang kini menyerang Si Kong! Si Kong cepat mengelak kemudian memutar tongkat bambunya. Gerakan para pengemis itu terlampau lamban baginya dan mudah saja untuk dirobohkan. Akan tetapi hati Si Kong tidak tega untuk menyakiti mereka. Karena itu tongkatnya bergerak hanya untuk menjegal atau mendorong sehingga berturut-turut dua belas orang pengemis itu lantas terpelanting ke kanan kiri! Para pengemis itu terkejut. Mereka yang memakai baju berkembang segera bangkit dan seorang di antara mereka menudingkan telunjuknya kepada Si Kong sambil berkata, "Awas akan pembalasan kami!" Dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ. Sementara itu enam orang pengemis baju hitam tidak segera pergi, melainkan menatap tajam ke arah Si Kong dan Yok-sian Lo-kai. Mereka mengerti bahwa pemuda itu hanya melerai, buktinya di antara mereka tidak ada seorang pun yang terluka. Tiba-tiba seorang di antara mereka melihat keranjang rempah-rempah di dekat Yok-sian Lo-kai, kemudian dia segera memberi hormat dan bertanya, "Bukankah locianpwe ini yang berjuluk Yok-sian Lo-kai?" "Ha-ha-ha-ha, sialan itu nama! Di mana-mana ada saja yang mengetahuinya. Benar, aku adalah Yok-sian Lo-kai. Kalian ini apa-apaan, di antara sesama pengemis saling hantam! Sungguh memalukan sekali!" Kini enam orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian Lo-kai dan salah seorang di antara mereka berkata, "Kami mohon bantuan locianpwe!" "Apa? Kalian menyuruh aku ikut campur dalam perkelahian antara pengemis? Nanti dulu! Aku bukan orang yang suka memusuhi sesama pengemis, dari mana pun pengemis itu berasal." "Bukan urusan itu, locianpwe. Akan tetapi kami mohon pertolongan agar locianpwe suka mengobati ketua kami yang terluka parah." "Hemmm, kenapa dia terluka parah? Apakah karena dia berkelahi pula dengan pengemis lain?" "Locianpwe akan mendengarnya sendiri nanti. Tadi pun kami tidak bermaksud memusuhi pengemis baju berkembang, melainkan merekalah yang melarang kami mengemis kecuali kalau kami mau menjadi anggota mereka. Kami mohon locianpwe sudi menolong kami..." "Hemmm, membikin repot saja. Hayo Si Kong, kita ikuti mereka." Enam orang pengemis itu kelihatan gembira sekali. Mereka lalu menjadi penunjuk jalan, diikuti oleh Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Orang-orang yang tadi menonton juga bubaran, dan mereka ramai membicarakan serta memuji pemuda yang dengan tongkat bambunya dapat membuat dua belas orang yang berkelahi itu menjadi kocar-kacir. Enam orang itu ternyata keluar dari kota dan menuju ke selatan. Di luar kota ini terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, dan agaknya kuil ini menjadi tempat tinggal perkumpulan pengemis Baju Hitam. Ketika mereka sampai di situ, terlihat belasan orang pengemis baju hitam sedang duduk di beranda kuil. Begitu melihat enam orang rekan mereka datang bersama dua orang pengemis asing, mereka semua bangkit berdiri dan menyambut. "Bagaimana keadaan pangcu (ketua)?" tanya seorang dari enam orang pengemis yang baru datang itu. "Nah, makin payah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya panas sekali," kata seorang di antara mereka yang tadi duduk di beranda. "Locianpwe, silakan masuk. Pangcu kami berada di kamar dalam." Yok-sian Lo-kai mengangguk dan bersama Si Kong dia mengikuti pengemis itu memasuki kuil, sebuah kuil yang sudah tua dan cukup besar. Mereka diajak masuk ke dalam sebuah kamar di mana tampak beberapa orang pengemis baju hitam tengah menjaga sang ketua yang sedang sakit. Melihat keadaan yang gawat dari ketua itu, tanpa diminta lagi Yok-sian Lo-kai langsung menghampirinya, lantas memegang pergelangan tangan si sakit untuk merasakan denyut nadinya. "Hemm, dia keracunan!" katanya. "Dia terluka pukulan di dadanya," kata seorang pengemis. "Coba buka bajunya, perlihatkan luka itu," kata Yok-sian. Baju pengemis yang sakit itu segera dibuka dan nampaklah gambar lima jari tangan atau cap telapak tangan pada dada itu. Yok-sian memeriksa luka atau bekas pukulan tangan itu, merabanya dan berkata, "Kalian semua boleh keluar. Biarkan aku dan muridku mengobatinya." Mendengar ucapan ini, para pengemis baju hitam lalu keluar dari dalam kamar. Yok-sian menoleh kepada muridnya kemudian berkata, "Ini kesempatan baik bagimu untuk menguji kepandaianmu dalam ilmu pengobatan. Hayo, coba kau periksa keadaannya dan katakan bagaimana pendapatmu dan cara mengobatinya." Si Kong yang sudah bertahun-tahun mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, segera menghampiri si sakit. Dia memeriksa nadinya, dirabanya dadanya dan didengarnya detak jantungnya. Kemudian dia berkata penuh keyakinan kepada gurunya. "Dia menderita pukulan beracun, Suhu. Tangan lawannya itu tentu mengandung sinkang panas. Pengobatannya adalah dengan tusuk jarum atau totokan jari ke arah Ci-kiong-hiat, Koan-goan-hiat dan Thian-ti-hiat. Juga perlu dilakukan totokan-totokan untuk mengalirkan darah ke arah luka. Sementara itu dia harus diberi minum obat pembersih darah dan obat menurunkan panas. Kalau itu masih kurang, boleh menyalurkan sinkang untuk membantu hawa murni di tubuhnya yang keluar dari tantian. Demikianlah, Suhu, mudah-mudahan apa yang teecu kemukakan itu benar." "Ha-ha-ha-ha, bagus! Memang itu cara pengobatan yang baik sekali. Sekarang lakukanlah totokan-totokan itu," kata Yok-sian Lo-kai. Si Kong memandang kepada tubuh yang bagian atasnya telanjang itu, kemudian sambil mengerahkan tenaganya mulailah dia menotok jalan-jalan darah yang disebutkannya tadi. Bajunya basah dengan keringat ketika selesai melakukan totokan terakhir di sekitar dada yang terluka. Hatinya girang karena dia melihat betapa tanda telapak tangan menghitam itu kini sudah mulai pudar. "Sekarang minggirlah. Engkau masak obat pembersih darah dan obat menurunkan panas di luar, sementara aku akan menyalurkan sinkang kepadanya." Si Kong merasa gembira bahwa cara dia mengobati ketua Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tadi ternyata benar. Dia lalu keluar membawa keranjang rempah-rempah dan minta kepada para pengemis agar disediakan perapian untuk memasak obat. Sesudah selesai memasak obat kemudian membawa dua mangkok kecil ke dalam kamar, Si Kong melihat suhu-nya sedang menempelkan telapak tangan kirinya pada dada ketua perkumpulan pengemis itu sambil memejamkan mata. Tahulah dia bahwa gurunya tengah mengerahkan tenaga sakti ke dada orang sakit itu untuk mengusir sisa hawa kotor yang terkandung dalam pukulan tangan beracun itu. Dia sendiri telah mempelajari dan dapat menghimpun tenaga sinkang yang lumayan, akan tetapi tenaga saktinya belum cukup kuat untuk mengusir hawa kotor itu. Oleh karena itu suhu-nya yang melakukannya. Sesudah Yok-sian Lo-kai menyalurkan hawa sakti dari telapak tangannya, perlahan-lahan nampak kelopak mata kakek yang sakit itu mulai bergerak. Dia lantas membuka matanya dan mencoba untuk bangkit. Yok-sian cepat membantunya bangkit duduk, dan dia minta dua mangkok yang dibawa masuk Si Kong. "Minumlah dua mangkok obat ini dan engkau akan sembuh seperti sedia kala." Kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) itu tidak membantah dan minum dua mangkok obat itu. Tenaga kakek itu kini pulih dan wajahnya kemerahan, juga dadanya sudah tidak ada lagi tanda-tanda menghitam. Dia memandang kepada Yok-sian Lo-kai, lalu kepada Si Kong dan dia lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian. "Atas pertolongan locianpwe Yok-sian Lo-kai, saya menghaturkan terima kasih." Yok-sian Lo-kai tertawa sambil memandang kepada muridnya. "Ha-ha-ha! Lihat, Si Kong, betapa tak enaknya menjadi orang terkenal. Di mana-mana ada saja orang mengenalnya, padahal orang itu tidak pernah berjumpa dengannya." Setelah berkata demikian dia lantas mempergunakan tongkatnya, dimasukkan ke bawah lengan ketua itu dan sekali bergerak, ketua itu sudah dipaksa berdiri. "Jangan keterlaluan, aku bukan raja kenapa mesti berlutut? Dan bagaimana engkau bisa tahu siapa diriku?" Dengan sikap hormat agak membungkuk Hek I Kai-pangcu itu lalu berkata, "Sudah saja. Melihat pakaian locianpwe jelas pakaian seorang pengemis, dan melihat betapa locianpwe dapat menyembuhkan dan memulihkan kesehatan saya, jelas bahwa locianpwe seorang ahli pengobatan luar biasa yang mempunyai ilmu tinggi. Siapa lagi pengemis yang pandai ilmu pengobatan selain Yok-sian Lo-kai?" "Dan siapakah engkau? Mengapa engkau sampai terluka oleh pukulan keji itu?" Ketua itu menarik nafas panjang. "Saya adalah ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Semenjak dulu kami selalu mengambil jalan benar, mengemis kepada orang-orang yang dermawan dan tak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun. Akan tetapi pada suatu hari muncul pengemis-pengemis yang memakai baju berkembang, dan mereka lalu melarang kami mengemis di tempat ini. Kami baru boleh mengemis jika menjadi anggota perkumpulan mereka. Akan tetapi melihat cara mereka mengemis yang tak ada bedanya dengan merampok, mengemis dengan paksa, maka kami tidak sudi bergabung. Lalu pada suatu hari, yaitu sepekan yang lalu, ketuanya datang dan menantangku. Aku terluka oleh pukulannya yang keji." Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya. Walau pun dia tidak aktif di dalam dunia mengemis, namun dia sudah mendengar keadaan para perkumpulan pengemis di mana-mana. "Tapi sepanjang pendengaranku, Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah kaipang yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula." Hek I Kai-pangcu menghela napas panjang. "Dulu pun saya menganggap demikian. Nama saya adalah Lu Tung San, dan saya kenal baik dengan ketua Hwa I Kaipang. Akan tetapi yang muncul dan mengaku sebagai ketua Hwa I Kaipang sama sekali bukan ketua yang saya kenal, melainkan seorang yang masih muda dan entah bagaimana dia bisa menjadi ketua Hwa I Kaipang dan membawa perkumpulan pengemis itu ke jalan sesat." "Dan di mana adanya ketua yang dulu?" "Tidak seorang pun yang mengetahui nasibnya dan di mana dia berada." "Nah, benar-benar gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I Kaipang. Kami terpaksa harus campur tangan dalam urusan ini karena dapat mencemarkan nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar membedakan antara pengemis dan perampok." "Baik, akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa tahu mereka akan melakukan pengeroyokan." "Tidak perlu. Yang hendak kami temui hanyalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat kita bereskan, tentu anak buahnya akan mentaati kita." Lu Tung San, ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan ini hampir dapat dikatakan dia tidak bisa makan, maka para anggotanya sudah menyiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San lalu mengajak Yok-sian dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan cukup mewah bagi para pengemis. Sesudah makan Lu Tung San berangkat bersama Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya. Sarang Hwa I Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas kuil seperti yang ditempati oleh Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang. Ketika mereka mendaki bukit itu, ada beberapa anggota Hwa I Kaipang melihat mereka. Mereka mengenal Lu Tung San, karena itu mereka cepat berlari ke sarang mereka untuk melaporkan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang baru itu. Tepat seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tak pernah melakukan pemerasan atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datanglah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun ke sarang Hwa I Kaipang. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam......

jilid 2


KETIKA ketua Hwa I Kaipang yang usianya sudah enam puluh tahun keluar menemui tamu itu, dengan terang-terangan orang yang mengaku bernama Ouwyang Kwi itu mengatakan bahwa dia hendak mengambil alih pimpinan Hwa I Kaipang! Tentu saja Hwa I Kai-pangcu menjadi marah sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata orang itu lihai bukan main. Walau pun dia dikeroyok oleh belasan orang yang merupakan pimpinan serta para pembantunya, dia mampu merobohkan mereka semua, bahkan menawan ketuanya. Melihat kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, di mana berdiri sebuah gedung tembok yang besar. Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggota Hwa I Kaipang. Karena anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu. Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah menjadi mewah. Pakaian mereka yang berkembang-kembang selalu bersih dan masih baru sebab mereka mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka. Kalau permintaan mereka ditolak, maka mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang yang berani melawan. Memang tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, kemudian menentang kaum pengemis Baju Kembang. Akan tetapi satu demi satu mereka semua dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu. Demikianlah keadaan Hwa I Kaipang belakangan ini. Ouwyang Kwi tadinya adalah seorang perampok tunggal. Tapi agaknya dia merasa jemu dengan pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka dia pun mengambil alih kedudukan ketua Hwa I Kaipang. Selain memperoleh kedudukan ketua, dia juga mendapatkan anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi seorang raja! Pakaiannya juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah. Memang demikianlah keadaan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut Pada saat Lu Tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek yang berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur. Datuk sesat ini adalah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini sudah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya disambut oleh Ouwyang Kwi dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah. Ketika menerima laporan dari salah seorang anak buahnya bahwa Lu Tung San datang bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar enam orang anggotanya, Ouwyang Kwi menjadi marah sekali. “Bagus, dia telah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang aku tidak akan membiarkan dia pergi hidup-hidup!” kata Ouwyang Kwi. Gurunya merasa sangat heran melihat muridnya marah-marah. “Ada apa Ouwyang Kwi? Siapa yang datang dan membuatmu marah?” Datuk ini merasa bangga sekali bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pengemis yang berpengaruh. Dia sendiri adalah seorang datuk yang mempunyai pengaruh besar di Lautan Timur. Para bajak laut tunduk kepadanya dan semua membayar ‘upeti’ kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak di perairan itu. Di dalam dunia kang-ouw datuk ini dikenal sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin diperolehnya karena orang melihat dia bersenjata sebatang tongkat berkepala naga yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Memang tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang amat ampuh. Ketika Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan menatap tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini. “Hemm, kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!” kata Tung-hai Liong-ong. “Ha-ha-ha-ha, kiranya majikan Pulau Tembaga berada di sini pula! Tidak mengherankan kalau terjadi keributan!” kata Yok-sian sambil tertawa. Dua orang yang sama-sama sangat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walau pun di antara mereka belum pernah terjadi pertikaian. Sementara itu, pada saat melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi segera berkata mengejek. “Hek I Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?” “Ouwyang Kwi, aku datang mengantarkan locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin berbicara denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang.” “Aha, kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!” Ouwyang Kwi mengejek. Ouwyang Kwi adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kang-ouw setelah selama beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi nama julukan itu. “Jadi mereka inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?” Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong. “Ha-ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka aku menjadi tertarik dan ingin menyelidiki ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis Baju Hitam untuk mengemis. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula. Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar pula bahwa engkau orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?” “Jembel tua, orang di luar Hwa I Kaipang sama sekali tidak berhak mencampuri urusan yang menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku, Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami akan menggunakan kekerasan mengusirmu!” “Ha-ha-ha-ha! Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat muridku ini barulah engkau pantas untuk melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk menandingi ketua palsu yang sombong ini.” Si Kong juga merasa marah mendengar kata-kata ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong itu. Maka, mendengar ucapan suhu-nya itu dia lalu menurunkan keranjang rempah-rempah dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya. “Aku sudah siap, orang sombong!” katanya kepada Ouwyang Kwi. Ouwyang Kwi telah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tak merasa gentar. Dia sudah punya banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini? “Baik, akan kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua berikut ketua Hek I Kaipang ini!” bentaknya. Tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi telah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu. Akan tetapi Si Kong sudah siap siaga. Dengan mudahnya dia mengelak lantas secepat kilat tongkatnya sudah menotok ke tiga titik jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya. “Ehhhh...!” Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya di depan tubuhnya untuk melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu. Kalau Si Kong bertanding hanya untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi bertanding untuk membunuh lawannya. Dia adalah seorang ahli bermain golok yang lihai, akan tetapi sekali ini dia sangat kewalahan dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat membalas. “Jangan pakai golok, tapi gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” tiba-tiba dia mendengar suara gurunya. Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai Liong-ong ‘mengirim’ suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia berbisik dekat telinga muridnya. Ouwyang Kwi segera melempar goloknya lalu dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang perlahan-lahan berubah menghitam! Yok-sian Lo-kai terkejut bukan kepalang melihat perubahan ini. Dia pun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasehat kepada muridnya. Dia tahu bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, karena itu tongkatnya hanya mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, maka dia dapat menangkis tongkat bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga sambaran tangannya mengandung hawa beracun yang berbahaya. Diam-diam Yok-sian mengerahkan khikang-nya, lalu berbisik yang hanya dapat didengar oleh muridnya. “Pukul Kaki Seratus Anjing.” Ini adalah nama jurus dari ilmu silat Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu. Ketika Si Kong mendengar bisikan gurunya itu, dia langsung mengubah caranya bersilat. Tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah kedua kaki lawan. Karena yang diserangnya adalah bagian lutut dan pergelangan kaki, maka bila mengenai sasaran tentu lawan akan jatuh berlutut. Kembali Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya. “Garuda menyerang segerombolan kelinci!” Ini merupakan sebuah jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Begitu dia meloncat tinggi di udara, maka dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan kini berbalik dia yang diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu. Si Kong terpaksa mengelak ke sana sini, karena amat berbahaya apa bila dia menangkis. Tongkat itu dapat terpegang oleh lawannya dan kalau hal ini terjadi maka tongkatnya akan terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan beracun itu! Ketika sedang terdesak itu tiba-tiba dia mendengar bisikan gurunya kembali, “Ular Senduk Menyerang Garuda!” Si Kong menjadi girang sekali. Cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur bagai seekor ular menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka kembali Si Kong bisa mendesak lawannya. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya bila mengenai sasaran. Demikianlah, dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka. Ketika mendapat kesempatan baik, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya, lalu dengan pengerahan sinkang-nya dia cepat menusuk ke arah ulu hati lawan. Melihat ini, Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula. “Tukkk...!” Ujung tongkat bertemu telapak tangan, kemudian keduanya terdorong mundur hingga lima langkah. Dalam hal tenaga sinkang ternyata kekuatan mereka seimbang dan hal ini amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Jika tidak mendapatkan bisikan-bisikan gurunya, tadi pun dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini tahulah dia mengapa anak buahnya yang berjumlah enam orang itu tidak mampu melawan pemuda ini. Yok-sian Lo-kai dan Tung-hai Liong-ong sama-sama merasa khawatir kalau pertandingan antara murid-murid mereka itu terus dilanjutkan. “Hemm, Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?” “Ha-ha-ha, Naga Tua, kalau dilanjutkan pun muridmu akan kalah. Kau menantang aku? Ha-ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!” “Jembel Tua, kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena itu aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!” Berkata demikian Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat tenaga sinkang datuk itu. Yok-sian tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu hendak mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya tertawa dan tidak menolak tantangan itu. “Ha-ha-ha, sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku sudah siap, mulailah!” Kakek pengemis itu hanya berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong lalu mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya langsung bergerak ke depan menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan! “Hyaaaat....!” Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri. “Heeiiiittt...!” Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat. “Wuuuutt....! Dukkk!” Liong-ong sudah menangkis tendangan Yok-sian dan langsung balas memukul. Terjadilah pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang terlihat hanya bayangan dua orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga. Diam-diam Si Kong memperhatikan. Dia melihat bahwa gurunya masih menang setingkat dalam hal ginkang atau meringankan tubuh. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas. Maka tahulah dia bahwa kedua tangan Liong-ong sudah mengandung hawa beracun yang amat jahat. Sekarang dia mengerti pula mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan tangan kosong. Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan Yok-sian. Setelah lewat seratus jurus, dua orang kakek itu mengubah gerakan mereka. Kini gerakan mereka tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan bergerak dengan lambat tapi dalam setiap gerakannya terkandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa oleh mereka yang menonton. Kedua orang sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling menyerang. Pukulan mereka dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Dengan khawatir Si Kong melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai ke sikunya. Itulah tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang amat berbahaya. “Heeeiiiiiittt...!” Liong-ong berseru sambil tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Nampak hawa hitam menyambar dan ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon itu tumbang dan pada bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar. “Hyaaatt...!” Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan sambil menekuk kedua lututnya. Akan tetapi Tung-hai Liong-ong agaknya sengaja hendak mengadu tenaga karena dia pun melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya. “Wuuuuuuutttt...! Plakkk!” Dua pasang tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan! Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap putih. Si Kong memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang bertanding mati-matian mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan dapat terdorong, tentu gurunya akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk membantu juga tak mungkin, bahkan amat berbahaya karena dia akan terserang oleh dua tenaga sinkang yang sedang saling dorong itu. Ouwyang Kwi juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal. Wajah Liong-ong menjadi tegang dan kemerahan, sedangkan wajah Yok-sian masih tersenyum seperti biasa. “Hyaaaaaaaaaaaattt…!” Secara bersamaan dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya! Tubuh Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi sepasang kakinya tidak melangkah, hanya mukanya yang menjadi agak pucat. Tung-hai Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan berkata dengan suara parau. “Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan ketua pengemis busuk?” Dengan kedua tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah, lantas dia memandang kepada Yok-sian. “Lain kali akulah yang menang!” Dia pun melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung, akan tetapi dia pun tahu bahwa dia sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi dia pun mengikuti langkah gurunya. Sekarang Lu Tung San melangkah maju lalu menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak lantang. “Kami akan memaafkan kalian apa bila kalian segera mencari di mana adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu.” Seorang anggota Hwa I Kaipang berlari ke dalam dan tidak lama kemudian dia menuntun seorang kakek yang nampak lemah. Dia itu bukan lain adalah Tang Sin, yaitu ketua Hwa I Kaipang yang dikalahkan oleh Ouwyang Kwi lantas ditahan di kamar tahanan di belakang gedung! Yok-sian sendiri kini duduk bersila sambil mengatur pernapasannya. Dari sudut mulutnya nampak darah menetes. Kiranya dia pun telah terluka parah, hanya tidak kelihatan seperti halnya Tung-hai Liong-ong. Si Kong segera berlutut di sisi gurunya. “Suhu terluka...?” tanyanya lirih. Yok-sian mengangguk, membuka mata memandang kepada Tang Sin yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. Yok-sian berkata kepada muridnya. “Si Kong, cepat kau periksa dia dan obati sampai sembuh.” Si Kong memenuhi perintah gurunya. Dia memeriksa tubuh Tang Sin yang sangat lemah. Ternyata Tang Sin juga terluka oleh pukulan beracun seperti halnya Lu Tung San. Maka cepat dia menotok dan menekan beberapa jalan darah di tubuhnya dan memasakkan obat dengan bantuan para pengemis baju berkembang dan memberikan obat itu kepada Tang Sin. “Si Kong, mari kita pergi dari sini!” kata Yok-sian kepada muridnya sambil bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat akan tetapi dia tetap penuh senyum. “Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Yok-sian Lo-kai!” kata Lu Tung San. “Ahh, sudahlah, di antara kita mana ada budi dan terima kasih? Semua yang kita lakukan adalah kewajiban kita. Dan engkau, Hek I Kai-pangcu, engkau pun mempunyai kewajiban. Bantulah ketua Hwa I Kaipang untuk menyadarkan para anggotanya yang sudah dibawa menyeleweng oleh Ouwyang Kwi. Bantulah dia membawa anak buahnya kembali ke jalan lurus. Sekarang biarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.” Tang Sin dan Lu Tung San yang berterima kasih itu mencoba untuk mencegah kepergian kakek itu, akan tetapi sia-sia saja. Mereka hanya dapat mengantar sampai di luar gedung dan membiarkan Yok-sian Lo-kai dan Si Kong pergi dari situ. “Kita mencari tempat yang sunyi. Aku... aku ingin beristirahat,” kataYok-sian. Si Kong membawanya keluar kota Souw-ciu. Ketika melihat ada sebatang pohon besar di sebelah kanan jalan, Si Kong mengajak gurunya ke sana dan Yok-sian lalu duduk bersila di bawah pohon. “Suhu, biarkan teecu (murid) memeriksa keadaan Suhu.” “Aku sudah tahu keadaanku. Aku terserang hawa beracun dari Naga Tua itu. Luka yang parah sekali. Aku tidak akan mampu lagi mengerahkan tenaga sinkang untuk waktu yang cukup lama.” “Suhu, apakah tidak ada obatnya untuk mengobati luka Suhu?” Yok-sian menggelengkan kepala. “Salahku sendiri. Jika tadi aku mengaku kalah dan tidak menahan, tentu aku tidak akan terluka sampai seperti ini. Dia pun terluka, sama parahnya dengan aku. Dia dan aku kini menjadi orang-orang tua tanpa daya dan untuk memulihkan keadaanku, aku harus menghimpun tenaga dari hawa murni, entah selama berapa tahun lagi.” Tentu saja Si Kong merasa amat prihatin. “Suhu, biarlah teecu berusaha untuk membantu Suhu mengusir mengusir hawa beracun itu,” katanya. Dia pun segera bersila di belakang tubuh suhu-nya dan menempelkan kedua tangannya di punggung Yok-sian sambil mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika terasa olehnya ada hawa yang amat panas menyerangnya sehingga membuatnya terpelanting. “Jangan kau lakukan hal itu, percuma saja, bahkan engkau bisa terluka. Tenaga dalamku menjadi kacau dan keracunan. Aku memerlukan waktu yang lama untuk memurnikannya kembali,” kata Yok-sian Lo-kai. Si Kong merasa sedih melihat keadaan gurunya. Dia mengusulkan kepada gurunya untuk bermalam di sebuah penginapan, sementara dia sendiri akan bekerja mencari uang untuk membayar sewa kamar. Akan tetapi gurunya tidak setuju. “Pengemis-pengemis menginap di rumah penginapan? Kita hanya akan diejek dan diusir. Sudahlah, aku tidak membutuhkan tempat yang baik, tetapi hanya membutuhkan tempat yang sunyi.” Akhirnya Si Kong menemukan sebuah kuil tua yang kosong, beberapa li jauhnya dari kota Souw-ciu. Dia mengajak suhu-nya untuk berdiam di kuil itu. Setiap pagi dia pergi ke kota Souw-ciu, pulangnya membawa makanan dan juga obat penguat badan untuk gurunya. Dia bekerja apa saja untuk mendapatkan uang guna keperluan itu. Setelah tiga bulan tinggal di kuil itu dan setiap hari dia bekerja sebagai buruh kasar, pada suatu siang ketika dia kembali ke kuil tua, gurunya sudah tidak ada di tempat itu! Si Kong menjadi bingung dan khawatir, tetapi dia menemukan coret-coretan pada dinding sebelah dalam. Itu adalah tulisan Yok-sian Lo-kai yang dilakukan dengan ujung tongkatnya. Si Kong, Aku terpaksa harus pergi meninggalkanmu. Aku tidak ingin melihat engkau bersusah payah untuk mengurus diriku. Aku hanya membutuhkan istirahat selama beberapa tahun. Engkau merantaulah seorang diri dan pergunakanlah apa yang kau pelajari dariku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Selamat tinggal. Si Kong menjadi lemas. Seperti orang kebingungan dia lari keluar dan mencari ke sana-sini untuk mengejar suhu-nya. Akan tetapi usahanya itu gagal dan akhirnya dia kembali ke kuil, menjatuhkan dirinya duduk di lantai yang biasa diduduki gurunya dan termenung. Dia merasa nelangsa, merasa kesepian. Sesudah hidup bersama Yok-sian Lo-kai selama lima tahun, orang tua itu telah melekat di hatinya, menjadi satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dan sekarang tiba-tiba saja gurunya pergi karena tak ingin menyusahkannya! Bagaimana hatinya takkan merasa sedih. Padahal dengan senang hati dia ingin merawat suhu-nya sebagai pembalas budi, tetapi orang tua itu tidak mau dan meninggalkannya. Selama ini dia merasa hidupnya bahagia. Meski harus hidup sebagai seorang pengemis tapi dia tidak pernah merasa susah. Ke mana pun dia merasa berbahagia karena gurunya selalu tersenyum dan tertawa, katanya menertawakan dunia dan manusianya yang serba palsu dan lucu. Si Kong merasa kesepian dan ditinggalkan oleh kebahagiaan. Rasanya berat harus hidup seorang diri, seolah-olah kehilangan pegangan. Ke mana dia harus pergi? Ketika bersama gurunya tak pernah dia tanya hal ini. Seolah dengan sendirinya dia harus pergi ke mana gurunya pergi dan gurunya itu pun tidak pernah mempunyai rencana harus pergi ke mana. Dia teringat akan kata-kata gurunya. Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, akan tetapi tidak pernah bisa menemukan kebahagiaan itu. Menurut gurunya, kebahagiaan justru tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu. Selama nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti yang dikehendaki oleh nafsu. Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu sudah tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia! Kebahagiaan itu sudah ada selalu di dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri. Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami kesehatan bila tubuhnya sedang sakit? Dari pada mencari kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit, mengusahakan supaya penyakit itu lenyap. Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi penyakit lagi, apakah dia masih perlu untuk mencari kesehatan?Tidak perlu lagi karena dia sudah sehat! Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan apa bila dia sehat. Baru merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati kebahagiaan bila dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan di kala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah bahagia. Mengapa harus repot-repot lagi mencari kebahagiaan dengan segala cara? Si Kong merasa terhibur setelah merenungkan kembali apa yang pernah dia dengar dari Yok-sian Lo-kai,. Kalau dia merasa kehilangan dan kesepian, maka itu sama saja dengan mengundang ketidak-bahagiaan dalam hatinya. Kata gurunya hidup harus berani mandiri, tidak boleh terikat atau tergantung kepada apa dan siapa pun juga. Hidup adalah miliknya sendiri, akan diisi apa pun terserah kepada dirinya sendiri. Dia bangkit berdiri, merasa lega dan merasa kuat. Memang sudah semestinya aku hidup sendiri, demikian pikirnya. Aku sudah yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa. Aku akan merantau, seperti yang dilakukan suhu. Aku harus berani dan menempuh kehidupan ini dengan tabah dan gembira. Aku harus menjadi seorang kelana, pergi ke mana saja menurutkan arah kaki melangkah. Terbang bebas lepas di angkasa seperti seekor burung. Kata gurunya, burung yang kecil-kecil dan penakut selalu terbang berkelompok dan tidak berani menyendiri. Akan tetapi burung rajawali berani terbang melayang dengan lepas bebas sendirian saja, menghadapi kehidupan ini seorang diri tanpa rasa takut. “Aku akan berkelana! Terima kasih atas segala petunjuk dan bimbinganmu suhu!” katanya keras-keras, lalu dia keluar dari kuil itu dan mulai dengan pengembaraannya. *************** Sesudah berkelana seorang diri, Si Kong meninggalkan kebiasaannya memakai pakaian seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat serta tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada tambalannya. Dia lantas berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia pun berkelana lagi. Pada suatu pagi dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja meninggalkan kota Pu-han di mana dia tinggal selama satu bulan untuk bekerja. Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya. Hatinya terasa ringan, segalanya nampak indah. Matahari belum naik tinggi dan sinarnya masih kemerahan. Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amat indahnya. Burung-burung berkicau, bersiap meninggalkan sarangnya di mana dia melewatkan malam gelap. Para petani sudah menuju ke sawah ladangnya, membawa cangkul. Semua tampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak bahagia. Si Kong mendaki semakin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah ladang, melainkan padang rumput dan hutan di sana-sini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar. Gurunya, Yok-sian Lo-kai biasanya juga bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan sambil menyanyikan sajak. “Sebelum timbul girang dan marah sebelum terasa senang dan susah batin berada dalam keadaan bimbang. Apa bila perasaan itu timbul namun dapat mengendalikan batin berada dalam keadaan keselarasan. Keseimbangan dasar termulia di dunia dan keselarasan adalah jalan utama di dunia.” Si Kong langsung mengenali kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka dia pun mengenal syair yang dinyanyikan itu, ialah sebagian dari pada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu terdengar lantang dan gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari dia pun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang. “Apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dilaksanakan dengan sempurna, maka keberesan abadi meliputi langit dan bumi, dan segala makhluk dan benda terpelihara dengan baik.” Mendengar ini, orang itu segera menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, tapi wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot yang terpelihara baik-baik. Orang itu membelalakkan matanya dan terlihat keheranan setelah melihat bahwa orang yang menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah dan menunggu sampai Si Kong datang dekat. “Engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?” tanya orang itu, masih keheranan. “Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!” Si Kong tersenyum lantas memberi hormat. “Paman, saya tidak pernah bersekolah atau belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah di katakan suhu.” “Siapa suhu-mu?” Dengan bangga Si Kong menjawab, “Suhu adalah Yok-sian Lo-kai.” “Ahh, dia? Pantas saja engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau mengerti akan artinya ayat-ayat itu?” “Justru artinya yang membingungkan aku, Paman. Suhu tidak pernah menjelaskan tetapi hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri.” “Mengerti sendiri memang bisa, tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik, anak muda. Batin manusia seperti yang telah ada padanya semenjak lahir, memiliki Watak Asli yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apa bila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring, dan setelah demikian maka dia pun akan meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk menguasainya, maka tak bisa dielakkan lagi timbulnya berbagai macam guncangan yang akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari guncangan ombak. Akan tetapi kalau manusia sedang diguncang nafsu namun dapat mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi bila manusia berduka ketika mendapatkan sesuatu yang tidak enak, atau marah apa bila melihat kejadian yang tidak adil, akan tetapi bila semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tak akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan lainnya. Demikianlah, seperti yang kau nyanyikan tadi, apa bila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi tenteram dan beres, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.” Si Kong memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya seorang yang terpelajar. Dia segera memberi hormat dan berkata, “Paman, terima kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat pelajaran yang amat mendalam tentang kehidupan.” “Di dalam kitab suci tentu saja tersimpan banyak pelajaran yang amat mendalam. Hanya persoalannya, kalau hanya dipelajari tetapi tidak dilaksanakan, maka pelajaran itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali.” Si Kong menghela napas panjang. “Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan dari pada kebaikan, terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?” “Ha-ha-ha!” Sastrawan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang memiliki kebiasaan tertawa lepas. “Itu mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biar pun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membela dan membenarkan semua tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.” “Wah, Paman. Sungguh jelas apa yang Paman terangkan itu! Terima kasih, Paman.” “Dan engkau juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan soal-soal kehidupan.” “Tentu saja, Paman. Saya juga manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?” “Ha-ha-ha, engkau juga cerdik. Siapakah namamu orang muda?” “Nama saya Si Kong, paman.” “Si Kong? Nama yang sangat bagus. Engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau tidak ingin tahu namaku?” “Tentu saja, Paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia.” “Ha-ha-ha-ha, orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!” “Saya tidak suka kalau nasib saya diramal, Paman.” “Kenapa?” “Tahu lebih dulu akan nasib diri malah mendatangkan banyak kerugian. Jika nasibnya baik akan membuat dia sombong dan takabur, sebaliknya ketika mengetahui nasibnya buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, lebih baik saya tidak mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita.” “Ha-ha-ha-ha, cocok sekali! Aku sendiri juga tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tetapi orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup bebas dari rasa takut. Heh, Si Kong, banyak sikap yang sama di antara kita, dan melihat bentuk tubuhmu, aku takkan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu silat. Bukankah gurumu adalah Yok-sian Lo-kai yang lihai?” “Saya hanya mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, Paman.” “Ahh, engkau tentu sudah pandai memainkan Ta-kaw Sin-tung!” cerita silat online karya kho ping hoo Si Kong tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai. “Bagaimana paman dapat mengetahuinya?” “Engkau masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu membawa tongkat bambu. Apa lagi kalau bukan karena pandai Ta-kaw Sin-tung, Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?” “Ahh, saya hanya bisa sedikit saja, Paman.” “Ada nasehat yang selalu dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya sudah mengalahkan banyak anjing dan serigala di dunia kang-ouw. Sekarang aku sudah bertemu denganmu, ingin sekali aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu.” “Ahh, Paman hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul Paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan serigala.” “Nah, anggap saja aku ini anjing atau serigala!” “Tidak, Paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan Paman.” “Aku hanya ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku mulai!” Sesudah berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu segera menerjang ke depan dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan kepalang ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang sangat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sinkang yang amat hebat. Dia pun cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat. Kini untuk membela diri terpaksa Si Kong memainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis, memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang. Dalam ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang paling tepat. Apa bila orang diserang anjing, dia harus membalas dengan serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu. Kwa Siucai tertawa terbahak sebab merasa girang melihat betapa pemuda itu memainkan ilmu tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan sesudah Si Kong menyerangnya secara bertubi-tubi, barulah dia menjadi repot melayaninya. Memang ilmu tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala tetapi tahu-tahu ujungnya yang lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan terkena pukulan kalau diserang seperti itu! Si Kong tak ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja. Dia tidak pernah memukul dengan sungguh-sungguh biar pun kedua ujung tongkatnya menyerang silih berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang. “Bagus, Si Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!” Tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya. Dia cepat membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, namun hanya nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelah kanannya. Kini Si Kong yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya! Tahulah dia dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna sehingga dia seperti pandai menghilang saja! Karena terus diserang dari berbagai penjuru sehingga sama sekali dia tidak dapat balas menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang datangnya selalu tiba-tiba itu. Akan tetapi, setelah Si Kong mendadak kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu ujung tongkatnya sudah terpegang dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas, akan tetapi dia pun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya! “Ha-ha-ha, memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum sekali, Si Kong!” Si Kong adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya bertanding tadi, dia pun maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang sakti yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka tanpa banyak cakap lagi dia segera menjatuhkan diri dan berlutut di depan Penyair Gila itu. “Locianpwe sudah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Mohon petunjuk, locianpwe!” “Ha-ha-ha! Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali dan melihat engkau dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali kepadamu. Setelah melihat engkau memainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi muridku?” Memang inilah yang dikehendaki oleh Si Kong. Maka tanpa banyak cakap lagi dia pun lalu memberi hormat sambil berlutut dan berkata, “Teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!” Kwa Siucai menjadi gembira sekali. “Bagus! Sekarang bangkitlah dan perhatikan semua petunjukku. Kejarlah aku!” Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat bagai anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh. Melihat ini Si Kong menjadi gembira, lalu dia pun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan hanya melangkah dengan santai saja. Dipandang sepintas lalu, seolah-olah kedua kaki Penyair Gila itu tidak menyentuh tanah! Napas Si Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena sejak tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menunggu di puncak bukit dan segera tertawa ketika melihat dia terengah-engah. “Duduklah bersila!” perintahnya. Si Kong mentaati dan duduk bersila di depan suhu-nya yang juga sudah duduk bersila di atas tanah berumput. “Bernapaslah dengan perut. Tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lantas keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, kemudian keluarkan dari mulut dengan mengeluarkan suara begini!” Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong. Pada saat itu juga dia telah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat pernapasannya. Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya menjadi semakin suka kepada pemuda remaja ini. Pada hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang). Untuk mempelajari kedua ilmu ini tentu saja membutuhkan waktu lama, terutama untuk latihan pernapasan. Akan tetapi dengan tekunnya Si Kong mengikuti semua petunjuk Kwa Siucai. Dalam kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa Penyair Gila itu malah lebih miskin dari pada Yok-sian Lo-kai. Setidaknya Yok-sian selalu diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu di mana-mana disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang. Akan tetapi Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apa lagi ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa tidak suka kepadanya! Dan terdapat perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Meski pun miskin namun Yok-sian menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Dari pada mencuri lebih baik dia mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai. “Orang-orang kaya yang tidak pernah mau mempedulikan nasib sesama manusia yang menderita karena kemiskinannya adalah orang-orang yang tidak berbudi,” demikian antara lain Kwa Siucai berkata. “Orang-orang kaya itu telah mendapatkan kemurahan dari Thian, maka sudah sepantasnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang hartawan harus menjadi seorang dermawan pula, maka barulah cocok. Kalau dia kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya.” Yang dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah dicuri, kemudian uang hasil curian itu dibagikan kepada orang-orang miskin. Kwa Siucai adalah seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya diharuskan melakukan perbuatan yang sama! Si Kong mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya dia pun tidak keberatan untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan sehingga dapat merasakan penderitaan orang miskin. Maka sesudah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia dapat merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil curian itu. Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas, lantas memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, ada pun orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang di dalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka. Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi mereka tak pernah mengampuni hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata. Dan di antara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka gunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin! Setelah selama setahun belajar dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun. Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong. “Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah bisa menguasai keduanya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!” Si Kong terkejut sekali. “Akan tetapi kenapa, Suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu masih membutuhkan bimbingan Suhu dalam segala hal!” Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya. “Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau ilmu tongkatmu itu kau gabungkan dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sulit ditandingi. Kini aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada pula perpisahan, Si Kong.” Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut. “Suhu, perkenankan teecu ikut dengan Suhu untuk membalas semua kebaikan Suhu.” “Aihh…, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!” “Suhu...!” Tetapi Si Kong melihat bayang berkelebat dan tahu-tahu suhu-nya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang. “Terima kasih atas semua kebaikan Suhu kepada teecu!” Sesudah memberi hormat beberapa kali dia baru bangkit berdiri. Kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan oleh Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di angkasa, tidak tahu harus pergi ke mana dan harus berbuat apa! Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka dia merasa kesepian dan nelangsa ketika ditinggalkan. Tidak! Dia harus berani hidup sendiri! Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Dua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya. Dia bukan anak kecil lagi. Kini usianya sudah enam belas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri. Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu di sana ada penghuninya, maka dia pun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan. Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu. Sesudah sampai di lereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kereng. “Hei, orang muda! Siapakah engkau dan hendak ke mana?” tanya seorang di antara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu cepat menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka nampak galak sekali. “Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,” kata Si Kong dengan sikap tenang. Kelima orang itu saling pandang, lantas tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan lalu membentak, “Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Loya (Tuan besar Tong). Orang luar sama sekali tidak boleh masuk ke sini!” “Ahh...” kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata, “Kebetulan sekali kalau begitu. Aku hendak menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan.” Memang di dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya. “Hemm, tidak begitu mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?” Si Kong masih bersabar hati menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini. “Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan.” Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya. “Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan? Huh, kalahkan kami dulu jika engkau ingin diberi kesempatan untuk menghadap Loya!” dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan keempat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran. “Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!” “Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apa lagi hendak melawan kami berlima!” teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling. “Boleh coba-coba!” kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini sangat keterlaluan. Dia segera menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu. Si juling semakin marah. “Bocah gila, kau rasakan pukulanku ini!” Dia segera menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong. Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan dan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu, lalu sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling dan mendorong ke depan. Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan langsung menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak. Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak mau menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya cepat menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh. Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan mempergunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, dia pun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok! Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang sangat gesit membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka dia pun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas. Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak, “Hentikan perkelahian!” Lima orang itu langsung menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda berperawakan sedang dan wajahnya tampan, berusia kurang lebih delapan belas tahun telah berdiri di situ dengan gagahnya. “Ada apa ribut-ribut ini?” bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat. “Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya sehingga timbul perkelahian.” Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun. “Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?” tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga. Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu. “Maafkan saya, Kongcu. Nama saya Si Kong. Saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan.” Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang hartawan berusia lima puluh tahun yang juga terkenal mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapan belas tahun. Pemuda ini sudah mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya telah mempunyai ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali. “Minta pekerjaan? Engkau bisa apakah?” tanyanya dengan nada tinggi. “Pekerjaan apa pun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, Kongcu. Pekerjaan kasar pun tidak saya tolak!” “Pekerjaan kasar? Engkau merasa kuat?” “Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, Kongcu.” “Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaatt...!” Si Kong terkejut sekali. Tak diduganya dia akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang mengandalkan tenaga kasar saja. Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak. Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka dia pun menyerang lagi lebih cepat dan kuat. Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja di situ. Maka dia pun mengalah. Setelah mengelak dari enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung ke belakang. “Bukkk...!” Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat tubuh Si Kong terhuyung-huyung. Memang dia sengaja membiarkan lambungnya terkena tendangan itu, namun tentu saja dia sudah menjaga lambungnya itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka. Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung. “Sudah cukup, Kongcu. Saya mengaku kalah!” katanya berulang-ulang. Akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepadaTong Kim Hok. “Hajar terus, Kongcu! Pukul terus!” Walau pun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, maka bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi biru bekas pukulan. Pada saat itu seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu. “Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?” terdengar seruan dan di antara Si Kong dan Tong Kim Hok telah berdiri menghadang seorang gadis remaja yang berusia kurang dari enam belas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung pada kedua pundaknya. “Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!” kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong. “Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?” “Bocah itu minta bertemu dengan ayah, katanya dia hendak mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!” Gadis itu bernama Tong Kim Lan, berusia hampir enam belas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Dia memang seorang gadis lincah dan amat berbakat dalam ilmu silat sehingga dia lebih maju bila dibandingkan dengan Tong Kim Hok, terutama sekali gerakannya lebih cepat dan dalam hal ilmu pedang dia pun melebih kakaknya.....

jilid 3


Dia menoleh lantas memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Dia pun merasa kasihan setelah melihat bibir Si Kong yang berdarah serta pipinya yang lebam. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar! “Apa salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tak perlu dipukuli. Lagi pula aku mendengar sendiri dari ayah bahwa kita memang sedang membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?” “Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau,” jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah. “Jika ada seekor saja kerbaunya yang hilang, maka engkau harus menggantinya!” bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah. “Aihh, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap ayah.” “Terima kasih, Nona.” Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang kemudian menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah-tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja di situ. Tong Li Koan memang seorang hartawan kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja untuk mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu, juga mempekerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan. “Ayah...!” Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menunggu di serambi depan. Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum. “Inikah orangnya?” tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya. “Ya, Ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita.” Si Kong sudah mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya. “Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,” katanya hormat. Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong, lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwe-nya ke arah muka Si Kong. “Kenapa mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!” katanya. Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberi tahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam, “Tidak apa-apa, Loya.” “Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja.” “Ahh, Kim Hok terlalu ringan tangan…” kata hartawan itu. “Sayalah yang bersalah, Loya,” Si Kong cepat-cepat berkata. “Saya sudah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan.” “Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tiga puluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik.” Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pelayan datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk mengenai pekerjaannya menggembala kerbau. “Beri dia satu kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya.” Si Kong merasa girang sekali. “Terima kasih, Loya dan Siocia (nona).” Dia lalu pergi mengikuti pelayan itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya. Demikianlah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kini kekosongan hidupnya telah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, dia langsung mendapat pekerjaan sebagai penggembala kerbau. Tanpa terasa satu bulan sudah lewat sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti yang telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga setiap hari dia dapat berganti pakaian. Pekerjaan menggembala kerbau cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang mudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini. Sesudah matahari naik tinggi dia menggiring kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam Tong Kim Hok menaruh dendam kepadanya. Pemuda ini dimarahi oleh ayahnya karena sudah memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong. Selain menggembala tiga puluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas untuk mengurus dan merawat lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Setiap hari dia harus memberi makan dan menggosok badan kuda sampai bersih. Pada suatu siang Si Kong pulang dari menggembala kerbau. Setelah selesai makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, tiba-tiba saja muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat. “Apakah Nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?” tanyanya. Sudah sering kali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang senang sekali menunggang kuda. Ia selalu datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya. “Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya mengenai pekerjaanmu di sini. Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?” “Cocok dan senang sekali, Nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya.” Gadis itu tersenyum sambil menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya. “Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai ke sini, minta pekerjaan kepada ayahku? Di mana orang tua dan keluargamu?” Si Kong tersenyum sedih, lantas menjawab. “Saya berasal dari jauh, Nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya telah yatim piatu dan tidak memiliki sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untunglah Nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, Nona.” Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong, “Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!” Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran. “Apa yang Kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!” “Enak saja kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang kau menjaga dengan baik?” “Koko, apa artinya ini?” tanya Tong Kim Lan. “Moi-moi, engkau tak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!” Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang Kim Hok lalu menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut. “Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!” Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah! “Tapi ini... ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!” “Apa yang aneh? Setiap hari engkaulah yang mengurus kerbau-kerbau ini. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah maka engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?” “Si Kong, apa yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!” kata Kim Lan sambil mendekati Si Kong dan kerbaunya. “Saya tidak tahu, Nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang yang sengaja melukai kerbau ini pada waktu saya sedang makan.” “Apa?! Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!’ bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Kim Lan menghadangnya. “Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini pada waktu dia sedang makan, tetapi dia tidak menuduhmu!” Pada saat itu terdengar suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut lalu menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa. Kiranya di situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang amat mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sementara tangan kirinya menggenggam sebatang kebutan berbulu merah. “Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka? Si Huncwe Maut berwatak serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!” Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia melompat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut. “Siapakah engkau? Berani sekali berlancang mulut!” bentak Kim Hok marah. “Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!” “Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!” “He-he-he-hi-hik! Persis seperti ayahnya, berani, angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu ke sini untuk bertemu denganku!” Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah terhadap wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang mata kepada ayahnya! “Engkau layak dipukul!” katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu. Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok segera terlempar ke belakang dan terbanting jatuh! Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan kini dia mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak dia sudah menendang Kim Hok sehingga untuk kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya sudah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur lalu menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok! Seorang pembantu melihat perkelahian itu, dan dia cepat berlari masuk ke gedung untuk memberi tahu kepada majikannya. Sementara itu Kim Hok sudah mencabut pedangnya dari tanah, lalu seperti kerbau gila dia mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan. Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan langsung mencabut pedangnya dan hendak membantu. Akan tetapi Si Kong berkata kepadanya, “Nona, wanita itu bukan lawanmu! Dia terlalu lihai bagimu!” Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Tapi dengan mudahnya wanita itu mengelak ke sana-sini sambil mengeluarkan suara tawa mengejek seperti mempermainkan seorang anak. “Anak nakal, engkau masih belum mau mengaku kalah juga?” Tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtim-nya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok. “Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!” Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali, kemudian tangannya mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya. “Kongcu, engkau tidak apa-apa?” katanya sambil diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali. “Huh! Jangan pegang-pegang aku!” Kim Hok membentak sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi. Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya, “Kim Hok, jangan lancang!” Mendengar bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti menyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwe-nya, Tong Li Koan melepaskan huncwe dari mulut dan berkata sambil tersenyum. “Hemmm, kalau tidak salah duga, agaknya aku sedang berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah).” Julukan ini tentu dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah. Wanita itu tertawa hingga nampak giginya yang rapi berderet rapi. “Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang, angkuh namun pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!” Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka dia segera mengangkat tangan ke depan dada, memberi hormat lalu berkata, “Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat di sini, mari silakan singgah di rumah kami supaya kami lebih leluasa menyambutmu sebagai tamu.” Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali. Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang aku mendengar bahwa engkau sudah menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal di sini lagi, sebaiknya kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku dan engkau menguasai bagian barat ini.” Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwe-nya lantas mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata dengan suara lantang. “Usulmu itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang seluruh daerah bukit ini masih berupa hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga sekarang menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, tetapi sekarang engkau yang ingin memetik hasilnya begitu saja?” “Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, maka engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah yang harus pergi meninggalkan tempat ini bersama seluruh keluargamu!” Mendengar ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah bukan main. “Ayah, kita hajar saja orang kurang ajar ini!” kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya. “Kim Lan, dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!” kata Tong Li Koan, lalu dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li dan berkata, “Mo-li, kalau kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!” Dia segera memasang kuda-kuda dan memegang huncwe-nya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya. Melihat ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya. “Orang she Tong! Engkau lebih memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?” ejeknya. “Akan kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!” jawab Tong Li Koan dengan tegas. “Bagus, lihat seranganku!” Tanpa sungkan lagi Ang-bi Mo-li sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat disusul berkelebatnya hudtim (kebutan) pada tangan kirinya. Entah mana yang lebih berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat dan mengirim serangan maut. “Trangg-traanggg...!” Si Huncwe Maut menangkis dengan pedang dan huncwe-nya, kemudian balas menyerang dengan hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe Maut. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu. Bila kebutan itu berbahaya sekali karena bisa menjadi kaku untuk menusuk atau menotok kemudian menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tak kalah berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu memercikkan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya. Berkali-kali kedua pedang itu bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang bukan main. Mereka tidak tahu apakah ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan itu, namun untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih jauh untuk dapat membantu. Akan tetapi Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat jalannya pertandingan. Dugaan Si Kong memang benar. Walau pun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mampu mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya. Setelah Tong Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya baru mengetahui bahwa ayah mereka terdesak dan hampir kalah. Rasa takut terhadap wanita itu langsung hilang karena melihat ayah mereka terancam bahaya maut, kemudian dua orang anak itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi Mo-li! Akan tetapi kebutan Ang-bi Mo-li langsung menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke belakang dan bergulingan. Pada saat itu pula pedang Tong Li Koan menusuk ke arah dada Ang-bi Mo-li. Dengan cepatnya wanita itu mengelak, kebutannya menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang. Ketika Tong Li Koan mengayunkan huncwe-nya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu sudah mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat ayah mereka. “Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanya Kim Hok. “Ayah, pundakmu berdarah,” kata Kim Lan. Tong Li Koan menghela napas panjang. “Aku telah kalah...,” katanya dengan nada sedih. “Heh-heh-heh-hi-hik, engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!” kata Ang-bi Mo-li. “Nanti dulu...!” terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi. “Ang-bi Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu majikanku!” “Si Kong...!” Kim Lan cepat-cepat berlari mendekati. “Apa kau sudah gila? Dia... dia akan membunuhmu!” Si Kong tersenyum. Hatinya senang bukan main karena anak perempuan majikannya ini mengkhawatirkan dirinya. Selama ini Kim Lan bersikap ramah dan baik sekali kepadanya. “Terima kasih, Nona. Sebaiknya Nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina ini!” Kim Lan berlari kembali kepada ayahnya. “Ayah...!” Dia hendak minta ayahnya mencegah wanita itu membunuh Si Kong yang sudah berani mati membela keluarganya. Akan tetapi ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata heran dan kagum. Dengan langkah lebar dan tenang kini Si Kong menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis betina ini merasa tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Terlebih lagi pemuda remaja itu menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang pembantu! “Kau... kau siapa?” tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong. “Namaku Si Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini.” Ang-bi Mo-li telah menguasai keheranannya, maka sekarang dia tertawa terkekeh-kekeh. “Penggembala kerbau? Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah engkau dibela oleh penggembala kerbaumu? Suruh dia mundur. Kalau dia berani menentangku berarti dia akan mati di tanganku!” Tong Li Koan menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai mengorbankan nyawa untuknya. “Si Kong, mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku.” “Loya, harap jangan khawatir. Aku takkan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan majikanku!” “Bocah setan! Engkau tadi telah dikhianati oleh kongcu-mu dan sekarang engkau bahkan hendak membela ayahnya? Kongcu-mu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya sendiri.” “Cukup! Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!” Kini Ang-bi Mo-li benar-benar marah. Tentu saja dia tidak takut kepada Si Kong, hanya dia merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala kerbau! “Bocah gila! Majulah bila engkau sudah bosan hidup. Akan tetapi sekali kau maju, engkau pasti akan mampus!” “Dan aku tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu.” Ang-bi Mo-li menyarungkan kembali pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekali pun dia akan mampu membunuh pemuda remaja itu. “Ang-bi Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seorang pemuda remaja, engkau akan menjadi bahan ejekan orang-orang sedunia kang-ouw!” kata Tong Li Koan di dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian. “Heh-heh-heh, aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!” Sementara itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai senjata, Si Kong tidak berani main-main. Dia segera menyambar sebuah tongkat bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput. “Ang-bi Mo-li, aku sudah siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!” kata Si Kong sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan. “Heh-heh-heh, kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu? Nah, sambutlah serangan ini!” Ang-bi Mo-li sudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali. “Wuuuttttt...!” Ang-bi Mo-li terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian tiba-tiba saja tongkat di tangannya sudah terayun dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau kalau pinggul kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat kebutan itu menjadi kaku. Dia bermaksud hendak membenturkan tongkat itu supaya terlepas dari pegangan si penggembala kerbau. “Takkk...!” Kembali Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tangannya tergetar hebat ketika kebutannya menangkis tongkat, karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang amat kuat! Dia hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan sekarang menghantam ke arah pundaknya! Dia menggunakan kelincahannya untuk mengelak, akan tetapi pundaknya nyaris terkena hantaman tongkat. Dari rasa kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan gerakan tongkat yang luar biasa. “Bocah setan, mampuslah!” Dia berseru dengan marah lantas menggerakkan kebutannya untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi. Sekarang dia tak peduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu menegang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Namun kembali Si Kong menggerakkan tongkatnya yang ujungnya menggetar untuk menangkis. “Plakk!” Ketika kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya sehingga kebutan itu menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Dia ingin merampas tongkat itu dahulu sebelum menghajar pemiliknya. Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya dia terkejut. Kebutannya sama sekali tak mampu merampas tongkat. Biar pun dia menarik dengan tenaga dalam yang kuat namun tongkat itu tidak bergeming, bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang lain menyodok perutnya! “Ihhhhh...!” Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke belakang. Si Kong kini mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seakan berubah menjadi banyak dan setiap ujung tongkat dengan gencar menghujankan gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan dia akan seorang tokoh besar dunia persilatan. Kembali dia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya sambil meloncat ke belakang. “Tahan dulu!” serunya setelah dia mendapatkan kesempatan. cerita silat online karya kho ping hoo Mendengar seruan itu, Si Kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan dadanya. “Apa hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?” tanya Ang-bi Mo-li. “Beliau adalah guruku!” kata Si Kong. Dia kembali mulai menyerang sambil berseru, “Lihat seranganku!” Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena dia merasa kewalahan sekali kalau hanya menggunakan kebutan. Sementara itu Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikit pun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu! Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-oelah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini sanggup menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum. Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini adalah murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai dia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga dia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang. Ternyata pemuda itu sudah menggabungkan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga dia seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga tongkat itu seolah mempunyai berpuluh-puluh ujung yang menyerang dari segala penjuru. “Takk...! Tranggg...!” Kebutan dan pedang itu terpental pada saat bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal mempunyai ginkang yang sukar ditandingi. Ketika melompat mundur dia mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya. “Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?” “Beliau adalah guruku juga!” jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya. Ang-bi Mo-li kaget bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main, ternyata murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot dia menggerakkan kebutan serta pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandangan mata itu. Tetapi betapa pun cepat dia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan dia pun terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan. Dia merasa malu bukan main karena jelas dia sudah kalah. Dia harus mengakui ini dan menerimanya, karena jika dilanjutkan mungkin dia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi. “Si Kong, kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!” katanya untuk menutupi rasa malu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya telah melompat jauh dan dia pun melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu. Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang cepat berlari menghampiri Si Kong. “Si Kong, engkau hebat sekali!” kata gadis itu dengan penuh kekaguman. Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini sudah menyelamatkannya! Apa bila tidak ada Si Kong maka dia beserta seluruh keluarganya terpaksa harus meninggalkan tempat itu dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li! “Si Kong, kenapa engkau tak pernah memberi tahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?” kata Tong Li Koan dengan nada menegur. Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri-seri gembira dan penuh kekaguman, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya semula tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main! Si Kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di sana kalau putera majikannya tidak suka kepadanya? “Maaf, Loya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini.” Tong Li Koan terbelalak. “Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?” Si Kong tersenyum. “Saya hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal di sini. Terima kasih kepada Loya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku.” “Si Kong, engkau jangan pergi dan jangan menyebutku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, juga ingin belajar silat darimu.” Kata Kim Lan. “Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau lagi, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang,” kata Tong Li Koan. “Engkau tidak usah pergi dari sini.” “Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku.” Ketika itu pula Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata. “Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini.” Si Kong tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu. “Sudahlah, Kongcu. Kesalahan apa pun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insyaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat Kongcu menyadari kesalahannya.” Walau pun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan berkata, “Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang kembali. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, bila dia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu.” Tiga orang itu tidak sempat menahan lagi karena setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkang-nya itu telah lenyap dari depan mereka. Tong Li Koan menarik napas panjang. “Anak itu benar-benar luar biasa. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia, sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa.” “Ini semua kesalahan koko!” Kim Lan merengek. “Karena perbuatan koko maka Si Kong menjadi tersinggung kemudian meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau secara tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!” Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik pada puteranya. “Benarkah itu, Kim Hok?” “Ampun, Ayah. Saya memang bersalah, dan tadi pun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,” kata Kim Hok. “Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?” “Tadinya hati saya masih merasa jengkel kepadanya, Ayah, karena dia pernah melawan para penjaga.” “Jangan ulangi lagi perbuatan macam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah kepada orang lain. Ahh, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku.” “Ampun, Ayah. Sekarang saya telah sadar dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain.” “Begitu baru kakakku!” kata Kim Lan girang. Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk ke dalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya dapat terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li. Dan lebih dari itu, kini puteranya sudah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati. *************** Dalam perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang oleh penduduk di bukit-bukit lain disebut Bukit Iblis. Bukit ini diselimuti hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Justru mendengar sebutan Bukit Iblis inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan penuh perbukitan itu. "Kenapa disebut Bukit Iblis?" tanya Si Kong kepada pemilik rumah di dusun pegunungan di mana dia numpang menginap. "Entahlah, akan tetapi tidak ada seorang pun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. Semua orang yang berani mendaki bukit itu tidak pernah kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja." Si Kong sudah mendapat cukup banyak pendidikan dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia seorang pemberani dan tidak percaya akan takhyul, maka mendengar keterangan itu timbullah keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu. Sesudah tiba di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang takhyul itu, pikirnya. Di situ tidak ada apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di pagi hari yang cerah itu! Jangankan iblis, bahkan bayangannya sekali pun tidak nampak. Akan tetapi tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di belakangnya! Dia cepat menengok tetapi tidak melihat siapa pun. Dia melangkah maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar lembut sekali. Apa bila dia tidak mengerahkan kekuatan pendengarannya dan menahan napas maka dia tak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di belakangnya! Cepat sekali dia menoleh ke belakang tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorang pun di belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini? Siang hari ada iblis yang berkeliaran? Ataukah manusia-manusia yang mengeluarkan bunyi langkah itu? Jika manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Dia mendaki terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu berbentuk datar dan merupakan padang rumput yang cukup luas. Ketika tiba di atas dia melihat belasan orang lelaki yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana duduk seorang lelaki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dari sikap dan lagaknya mudah diketahui bahwa lelaki raksasa itu tentu menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh kekar kuat dan bersikap kasar. Tetapi bukan iblis-iblis! Raksasa yang duduk di atas batu besar itu mengembangkan dua lengannya dan berkata dengan suara lantang. "Saudara-saudaraku, bagaimana pendapat kalian mengenai bukit ini kalau menjadi sarang kita yang baru? Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang. Mereka ketakutan karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit Iblis dan iblisnya adalah kita." Belasan orang segera turut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi permukaan bukit itu. Jika ada orang yang mendengarnya, tentu akan menyangka bahwa iblislah yang tertawa itu. "Tempat ini baik sekali, Twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di dalam hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita untuk membuat bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal kita." Pada saat itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang. Kemudian nampaklah tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri tiga orang yang menyeramkan. Yang seorang tinggi kurus laksana tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba ramping panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, tetapi mukanya menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil tertawa-tawa. "Ha-ha-he-heh-heh!" Orang pertama yang tubuhnya tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa. "Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah bosan hidup!" "Jangan, Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Kita memerlukan mereka untuk menjadi pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat ini menjadi istana dengan belasan orang pelayan, heh-heh!" "Benar apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua) tadi, Sam-kwi. Aku pun sudah bosan setiap hari harus mencari makanan sendiri!" Mendengar ucapan tiga orang itu, laki-laki raksasa yang memimpin lima belas orang anak buahnya itu terbelalak. "Apakah kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?" Kakek yang gendut bundar tertawa. "Ha-ha-ha-ha, kiranya setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita. Setan-setan cilik, sesudah kalian mengetahui siapa kami, hayo lekas berlutut dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!" Raksasa yang berdiri di atas batu besar lantas bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar penuh otot mengembang itu amat menyeramkan dan dia berkata dengan lantang. "Liok-te Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enam belas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa." Thai-kwi yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini. "Ji-kwi dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu? Mari kita hajar mereka agar mengenal siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk melayani kita!" Kepala gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya, "Serbu...! Bunuh mereka...!" Lima belas orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyiannya melihat betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi sesudah serangan keroyokan itu dilakukan, mereka segera bergerak mengelak kemudian membalas dengan tamparan dan tendangan mereka. Memang gerakan mereka hebat sekali. Mereka tidak memegang senjata, namun gerakan mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu sebentar saja enam belas orang itu sudah roboh semua! Diam-diam Si Kong memandang dengan kagum. Di antara ketiga orang itu dia melihat si pendek gendut yang paling lihai. Akan tetapi yang diherankan dari ketiga orang ini, walau pun mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, ternyata masih belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi. Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak nampak orangnya! Agaknya ginkang ketiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapa pun juga harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enam belas orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi ketiga orang itu untuk merobohkan mereka semua. Raksasa itu agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki si pendek gendut. "Ha-ha-ha-ha!" Tiga orang itu kini tertawa-tawa. "Apakah kalian sudah mengenal kami?" Si pendek gendut yang menjadi orang pertama dari Tiga Iblis itu menghampiri pimpinan belasan orang itu. Raksasa itu maklum bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis itu, maka dia pun terpaksa mengakui kekalahannya dari pada dibunuh. "Kami telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi." "Bagus! Mulai sekarang kalian enam belas orang menjadi anak buah kami, siapa berani membangkang akan kami bunuh!" kata pula si pendek gendut dengan girang. Si Kong menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan orang-orang kang-ouw sesat yang saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu. Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri. Biarlah kalau tiga orang iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan orang itu sebagai anak buah mereka. Akan tetapi, selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi. Suara melengking tinggi itu bukan saja nyaring sekali, namun juga mengandung getaran yang membuat semua pendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. Begitu mendengar lengkingan ini, belasan orang yang tadi kena hajar dan kini belum pulih benar, menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan guncangan jantung mereka. Ada pun tiga orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut, lalu mereka memejamkan mata dan mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Belum habis suara melengking itu, segera disusul suara gerengan yang juga amat hebat. Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara yang getarannya sama kuat ini seperti saling bersahutan, dan akhirnya dua suara ini berhenti. Dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek. Yang seorang berusia sedikitnya enam puluh tahun dan kepalanya besar sekali, sungguh menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang amat kecil. Kedua telinganya juga lebar sekali, tidak seperti telinga manusia biasa dan kepalanya botak. Dia memakai baju serba putih, tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk ular yang panjangnya sampai ke pundaknya. Orang kedua juga amat aneh. Kepalanya penuh rambut tebal yang panjangnya sampai ke punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya panjang sekali hingga melebihi lututnya ketika tergantung di samping tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam. Si Kong terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang, tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi terdengar langkahnya akan tetapi tak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar diukur tingginya. Dia sendiri yang sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua orang kakek ini. Liok-te Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal, akan tetapi mereka belum pernah bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka, ketiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh persilatan. Dua nama yang hanya dikenal namanya akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengan dua orang ini. Thai-kwi, orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, cepat-cepat memberi hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan, lalu dengan suaranya yang besar dia pun berkata, "Kalau kami tidak salah duga, tentu ji-wi yang dijuluki Ji Ok (Dua Yang Jahat). Apa bila memang demikian, kami bertiga Liok-te Sam-kwi menghaturkan hormat kami kepada ji-wi locianpwe!" Dengan menyebut ji-wi locianpwe, Thai-kwi sudah merendahkan diri dan ini menandakan bahwa dia merasa jeri menghadapi kedua orang aneh itu. Melihat sikap Thai-kwi yang merendahkan diri, kakek yang kepalanya besar tertawa, suara tawanya menggelegar dan membuat seluruh puncak bukit itu tergetar. "Hoa-ha-ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Ji Ok (Jahat Ke Dua)? Kita berdua berjuluk Thai-mo-ong (Raja Iblis Tertua) dan Ji-mo-ong (Raja Iblis ke Dua) dan sekarang muncul mereka yang mengaku Liok-te Sam-kwi dan hendak menguasai Bukit Iblis ini? Apa yang harus kita lakukan terhadap Siauw-kwi (Iblis Cilik) ini?" "Toa-ok, kenapa pusing-pusing memikirkan hal itu? Bunuh saja mereka agar tidak menjadi saingan dan penghalang bagi kita!" kata kakek seperti monyet yang mengenakan pakaian serba hitam itu. "Ha-ha-ha-ha! Engkau benar sekali, Ji Ok. Nah, kalian bertiga sudah mendengar sendiri. Liok-te Sam-kwi, kami tidak ingin mengotorkan tangan untuk membunuh kalian. Sekarang cepat kalian bertiga membunuh diri di depan kami!" Liok-te Sam-kwi terkejut bukan kepalang. Ini sungguh keterlaluan sekali. Mereka diminta membunuh diri supaya tidak menjadi saingan dan tidak menghalangi mereka berdua. Ini namanya terlalu memandang rendah kepada mereka! Orang ketiga dari Liok-te Sam-kwi yang bertubuh katai seperti anak-anak ternyata adalah seorang cerdik. Dia hendak mempergunakan tenaga enam belas orang gerombolan yang baru saja menyerah kepada mereka. Dia meloncat ke depan pimpinan gerombolan itu dan berkata, "Kami perintahkan kalian semua untuk mengeroyok dua orang kakek itu!" Enam belas orang itu tidak berani membangkang. Mereka sudah mencabut golok mereka dan mengepung dua orang kakek itu, ada pun Liok-te Sam-kwi sendiri sudah bersiap-siap pula. Dengan penuh perhatian Si Kong menonton dari tempat persembunyiannya. Jantungnya berdebar tegang karena dia tahu bahwa sekarang akan terjadi pertandingan yang hebat. Tiga orang Liok-te Sam-kwi itu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi dua orang kakek Toa Ok dan Ji Ok ini agaknya memiliki ilmu yang lebih hebat lagi. Karena dapat menduga bahwa mereka menghadapi lawan yang berat, Liok-te Sam-kwi langsung mengeluarkan senjata masing-masing. Orang pertama yang gendut bundar itu mengeluarkan sebuah rantai baja yang ujungnya dipasangi kaitan, yang tadinya dilibatkan pada pinggangnya. Orang kedua yang tinggi kurus juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya, dan orang ketiga yang katai mencabut sepasang golok kecil dari punggungnya pula. Bersama enam belas orang gerombolan yang sudah menjadi anak buah mereka itu, mereka kini mengepung batu besar di mana Toa Ok dan Ji Ok berdiri. Dua orang Raja Iblis ini hanya tersenyum-senyum dengan tenangnya, bagaikan dua orang dewasa menghadapi pengeroyokan anak-anak kecil saja. Tiba-tiba, seperti sudah saling bersepakat lebih dahulu, Toa Ok si kepala besar meloncat turun dari atas batu, ke arah kiri, sedangkan Ji Ok Si Muka Monyet itu meloncat turun ke arah kanan sehingga mereka terpisah menjadi dua. Para pengeroyoknya juga terbagi menjadi dua. Si gendut dan si katai bersama delapan orang anak buah sudah mengepung Toa Ok. Sedangkan si tinggi kurus bersama delapan orang anak buah yang lain mengepung Ji Ok. "Hyaaattttt..!" Si gendut sudah mulai dengan serangannya. Cambuk rantainya menyambar dan menjadi sinar putih menghantam ke arah leher Toa Ok. Gerakan ini disusul pula oleh si katai yang menggerakkan sepasang goloknya. Demikian pula delapan orang anak buah mereka telah menggerakkan golok masing-masing untuk mengeroyok. Toa Ok tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke atas dengan kecepatan kilat. Sambil meloncat dia menggerakkan tongkat ularnya ke bawah, kemudian sekali tongkat itu menyambar maka robohlah empat orang anak buah gerombolan itu dengan kepala pecah! Ji Ok juga dikepung rapat oleh si tinggi kurus dan delapan orang anak buahnya. Si tinggi kurus menggerakkan pedangnya dan menyerang dengan cepat sekali, diikuti oleh delapan orang anak buahnya yang menggerakkan golok mereka. Akan tetapi Ji Ok memandang rendah mereka. Pecutnya meledak-ledak dan nampak seperti kepulan asap ketika pecut itu meledak-ledak. Tubuhnya sendiri berkelebat lenyap dari kepungan sembilan orang itu dan pada saat pecutnya berhenti meledak, sudah ada empat orang pengeroyok terkapar dengan leher hampir putus! Gerakan pecutnya demikian lihai sehingga pecut itu menjadi tajam seperti pedang. Liok-te Sam-kwi mengeroyok dan berusaha mati-matian untuk merobohkan Toa Ok dan Ji Ok, akan tetapi mereka kalah cepat dan tenaganya kalah kuat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, begitu tongkat ular berhenti menyambar dan pecut berhenti meledak, semua pengeroyok itu, Liok-te Sam-kwi bersama keenam belas orang anak buah mereka sudah roboh dan tewas semua! Dua orang kakek itu meloncat lagi ke atas batu besar, lantas keduanya tertawa terkekeh saking gembiranya telah dapat membunuh sekian banyaknya orang dalam waktu singkat. Si Kong bergidik. Sungguh tepat mereka disebut Toa Ok dan Ji Ok, Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua dengan julukan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong! Mereka dapat membunuhi belasan orang dengan begitu saja, tanpa sebab yang jelas. Karena tak dapat menahan lagi menonton pertunjukan yang kejam itu, Si Kong membuat gerakan hendak pergi dari tempat persembunyiannya. Dia lupa betapa lihainya dua orang Raja Iblis itu. Baru saja beberapa langkah dia maju, tiba-tiba Ji Ok sudah berseru dengan suaranya yang tinggi kecil. "Siapa itu? Berhenti atau kamu mati!" Si Kong terkejut dan baru teringat bahwa sedikit gerakan saja tentu akan diketahui oleh mereka yang sangat lihai. Dia berhenti melangkah dan membalikan tubuh. Kini dia sudah berdiri di balik semak sehingga dari pinggang ke atas dapat terlihat oleh dua Raja Iblis itu. Melihat betapa orang itu hanya seorang pemuda remaja yang membawa buntalan pakaian di ujung pikulan bambunya, dua orang kakek itu mendengus marah. "Engkau melihat apa?!" bentak Ji Ok pula. Karena masih muak menyaksikan pembunuhan atau pembantaian keji itu, seperti dengan sendirinya Si Kong menjawab, "Saya melihat pembantaian di luar peri kemanusiaan!" Dua orang kakek itu tertegun, lantas tertawa bergelak. Ji Ok menggerakkan pecutnya ke bawah. Pecut itu meledak dan menyambar ke bawah, ujungnya sudah melibat sebatang golok milik anak buah gerombolan, lantas sekali menggerakkan pecutnya, golok itu sudah terbang kemudian menancap di depan kaki Si Kong. "Pungut pedang itu dan gorok lehermu sendiri!" Ji Ok membentak pula. Panas hati Si Kong. Dia tahu bahwa dua orang kakek itu lihai sekali, akan tetapi dia tidak takut. Apa lagi disuruh membunuh diri sendiri. Mana mungkin dia dapat mentaati perintah yang keji itu? Dia membungkuk perlahan dan memungut golok itu. Akan tetapi dia tidak menggorok batang leher sendiri melainkan menggunakan jari tangan menekuk golok itu. "Pletakkk!" Golok itu patah menjadi dua, lalu dilempar ke atas tanah oleh Si Kong. Melihat ini Ji Ok menjadi marah sekali. Gerakan Si Kong mematahkan golok itu dianggap sebagai tantangan kepadanya! Dia ditantang oleh anak kemarin sore, seorang pemuda remaja! Akan tetapi Ji Ok masih merasa segan untuk bermusuhan dengan seorang bocah remaja. Hal itu dianggapnya sangat memalukan dan merendahkan kedudukannya sebagai datuk besar. Dengan kemarahan yang ditahan-tahan dia menendang ujung batu besar itu. Ujungnya pecah lalu pecahan batu sebesar kepala itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Si Kong! Akan tetapi dengan tenang saja Si Kong menarik kepalanya ke belakang sehingga sambaran batu itu luput.....

jilid 4


MELIHAT ini Ji Ok merasa semakin penasaran! Sekarang pecutnya menyambar-nyambar ke bawah, membelit golok-golok yang berada di bawah dan menyambitkan golok-golok itu ke arah Si Kong. Golok-golok itu beterbangan menyambar. Akan tetapi dengan sigap dan mudah Si Kong mengelak sehingga semua golok yang disambitkan dengan pecut itu tak ada sebuah pun yang mengenai dirinya. Tidak kurang dari sembilan buah golok yang menyambar ke arah tubuhnya dan semua dapat dielakkan. Sekarang Ji Ok merasa heran juga. Sambitannya tadi cepat dan kuat sekali, akan tetapi bocah itu dapat mengelak dengan amat mudahnya. "Ha-ha-ha, Ji Ok. Sekali ini engkau dipermainkan seorang bocah cilik!" "Jangan mentertawakan aku, Toa Ok! Kulihat anak ini bukan anak sembarangan, kalau tidak mana mungkin dia dapat mengelak dari semua golok itu?" "Hemmm, kalau dia sampai lolos lantas menceritakan di dunia kangouw betapa dia sudah mampu menghindarkan diri dari seranganmu, bukankah kita akan menjadi buah tertawaan orang sedunia? Sekarang selagi tidak ada orang lain yang melihatnya, mari kita berlomba, siapa antara kita yang lebih dulu dapat membunuhnya!" "Baik!" kata Ji Ok, kemudian mereka berdua sudah melayang dari atas batu itu ke arah Si Kong. Anak ini sudah tahu akan niat mereka. Walau pun dia tahu bahwa kedua orang kakek itu bukanlah lawannya, namun dia tidak putus asa. Selama masih hidup dia harus berusaha mempertahankan hidupnya. Dia sudah menurunkan buntalan pakaiannya dan memegang pikulan bambunya sebagai tongkat. Begitu menyambar dan sebelum kaki mereka turun ke tanah, dua orang kakek itu sudah menggerakkan senjata. Tongkat ular di tangan Toa Ok berlomba cepat dengan pecut di tangan Ji Ok. "Wuuuuutttt...!" Si Kong maklum betapa besar bahayanya penyerangan itu. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya Liok-te Hui-teng dan berkelebat dengan cepatnya mengelak dari sambaran kedua senjata itu. "Wuuuutt...! Tarrr...!" Tongkat dan pecut itu menyambar ganas, akan tetapi tidak mengenai sasarannya. Kedua orang datuk itu terkejut dan heran bukan kepalang. Mereka berdua menyerang dengan berbareng dan anak itu dapat menghindarkan diri! Ini saja sudah merupakan hal yang luar biasa sekali. Jarang ada tokoh-tokoh kang-ouw yang mampu menghindarkan diri apa bila mereka menyerang seperti tadi, namun bocah itu menggunakan ginkang yang amat hebat sehingga dapat bergerak lebih cepat dari pada sambaran senjata mereka! Toa Ok mengeluarkan suara gerengan aneh saking penasaran dan marahnya, kemudian dia sudah menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah dada Si Kong dengan penuh keyakinan bahwa sekali ini pemuda itu pasti akan tewas. Si Kong melihat gerakan tongkat, maka dia pun segera menggerakkan tongkat bambunya untuk menangkis sambil menggetarkan ujung tongkat bambunya. "Tukkk...!" Dua batang tongkat bertemu dengan kuatnya. Si Kong membuat tongkatnya terpental dan dia pun ikut meloncat sehingga serangan Toa Ok gagal lagi. Melihat ini, Ji Ok juga menyerang dengan pecutnya yang dibuat menjadi lemas. Pecut itu menyambar ke arah leher Si Kong, apa bila mengenai sasaran akan membelit leher dan sekali sentak dengan tenaga sinkang, maka leher bocah itu tentu akan putus! Akan tetapi kembali tongkat di tangan Si Kong menangkis sehingga ketika ujung cambuk hendak membelit tongkat bambu, Si Kong telah lebih dahulu mengirim tendangan kakinya ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang cambuk. Ji Ok melihat betapa tendangan itu kuat sekali. Dia tak ingin pergelangan tangannya kena ditendang, maka terpaksa dia menarik kembali cambuknya, tidak jadi melibat tongkat. Kini kedua orang datuk itu marah sekali, akan tetapi mereka juga merasa malu apa bila harus mengeroyok seorang pemuda remaja dengan menggunakan senjata mereka! "Ji Ok, kita bunuh anak ini dengan tangan kosong saja!" kata Toa Ok dengan muka yang berubah merah karena merasa malu. "Baik!" kata Ji Ok yang cepat menyimpan sabuknya, diikatkan di pinggangnya sedangkan Toa Ok menancapkan tongkatnya di tanah. Sekarang mereka menghampiri Si Kong dengan tangan kosong. Akan tetapi jangan dikira dengan tangan kosong itu mereka menjadi kurang berbahaya. Kedua orang datuk ini telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuatnya. Toa Ok yang berkepala besar itu memiliki sinkang yang berhawa panas sehingga dengan pukulannya itu dia dapat menghanguskan tubuh lawan. Sebaliknya Ji Ok memiliki sinkang berhawa dingin. Dengan pukulan tangannya dia mampu membuat lawan roboh dan tewas dengan darah membeku! Si Kong bukan tidak maklum akan kesaktian dua orang kakek itu. Juga dia paham bahwa dua orang datuk besar ini merasa marah dan malu sehingga berniat untuk membunuhnya. "Kenapa ji-wi locianpwe berkeras hendak membunuhku? Apa kesalahanku terhadap ji-wi (anda berdua)?" Si Kong bertanya, suaranya nyaring, sama sekali tidak ada tanda-tanda takut pada wajah dan sikapnya. "Bocah setan, engkau harus mampus di tanganku!" Ji Ok membentak. "Kalau tidak ingin mati di tangan kami, maka bunuhlah dirimu sendiri dengan tongkatmu!" kata Toa Ok yang masih merasa malu jika harus membunuh lawan yang melihat usianya pantas menjadi cucunya itu. "Aku tidak bersalah, aku tidak ingin mati di tangan siapa pun!" kata Si Kong, siap dengan tongkatnya. "Heeeiiiitt...!" Ji Ok langsung menyerang dengan tangan kirinya yang membentuk cakar harimau. Akan tetapi Si Kong mengelak dengan cepat dan ujung tongkatnya sudah menyerang ke arah siku tangan yang menyerangnya itu. Ji Ok terkejut dan menarik tangan kirinya, kini tangan kanannya menyambar dengan sebuah tamparan ke arah muka Si Kong. Si Kong cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi secara tidak terduga, sambil mengelak itu tongkatnya secepat kilat menyambar ke bawah. "Takkk!" Tongkatnya mengenai kaki Ji Ok. Kalau bukan Ji Ok yang terkena hantaman tongkat itu, tentu sudah terpelanting jatuh. Akan tetapi Ji Ok tidak bergeming, hanya kedua matanya terbelalak lebar. "Tung-hoat (ilmu tongkat) yang hebat!" Sementara itu Toa Ok juga sudah menyerang dengan tamparan tangan kanannya disusul tamparan tangan kiri. Tamparan kedua tangannya ini mempergunakan sinkang sehingga dapat menyerang orang dari jarak jauh. Akan tetapi Si Kong sudah melayang ke atas dan melewati kepala Toa Ok. Ketika turun tongkatnya sudah menghantam ke belakang tubuh lawannya. "Bukkk!" Pinggul Toa Ok kena dihantam tongkat. Tongkat itu terpental, akan tetapi Toa Ok sudah menjadi merah sekali mukanya karena dalam segebrakan saja dia sudah terkena pukulan tongkat biar pun pukulan pada pinggulnya itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya merasa heran dan terkejut, lantas teringatlah dia akan ilmu tongkat yang terkenal paling ampuh di dunia persilatan. "Ta-kaw Sin-tung...!" Teriaknya dan kembali mereka menghadapi Si Kong. Kini mereka menyerang dengan berbareng. Si Kong menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia harus menggunakan Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya menjadi seperti seekor burung walet gesitnya, mengelak ke sana sini sambil berloncatan dan kadang menangkis dengan tongkatnya. Setelah lewat belasan jurus, sebuah pukulan jarak jauh dari Toa Ok menyerempet pundak Si Kong sehingga dia pun terpelanting dan merasa tubuhnya panas sekali, Ji Ok dan Toa Ok maju menyerang lagi dari kanan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti keluar dari telapak tangan mereka. Si Kong sudah tidak mampu menghindar lagi. Akan tetapi, walau pun maut mengancam dirinya, anak ini sama sekali tidak takut dan dia hanya menunggu datangnya pukulan dengan mata terbelalak penuh keberanian. "Siancai..!" pada saat itu pula terdengar seruan orang, kemudian nampak bayangan orang berkelebat. Tahu-tahu di dekat Si Kong telah berdiri seorang kakek dan kakek ini segera mementang dua tangannya ke kanan kiri untuk menyambut pukulan Toa Ok dan Ji Ok yang ditujukan kepada Si Kong. "Plakkk! Plakkk!" Kakek itu menerima kedua tangan dari kanan kiri. Dia dapat merasakan betapa telapak tangan Toa Ok mengandung hawa panas dan telapak tangan Ji Ok mengandung hawa dingin. Akan tetapi dengan tenangnya kakek itu menyambut tangan mereka. Toa Ok dan Ji Ok terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka bertemu dengan telapak tangan yang lembut dan hangat. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk sesat yang tidak mempedulikan nasib orang lain. Mereka dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Dan sekarang, ketika melihat seorang kakek menolong Si Kong dan kakek itu terhimpit di tengah-tengah antara mereka, dua orang datuk ini tidak menarik kembali tangan mereka, bahkan sebaliknya mereka segera mengerahkan tenaga sinkang untuk membunuh kakek yang menghalangi niat mereka membunuh Si Kong itu. Mereka menggunakan tangan mereka itu untuk mendorong dengan pengerahan tenaga. Akan tetapi mereka terkejut bukan main. Pada saat mendorong dengan tenaga sakti yang mengandung hawa panas, Toa Ok merasa betapa ada hawa dingin yang menyambut dorongannya. Sebaliknya Ji Ok yang mendorong dengan hawa sinkang dingin, merasa betapa ada hawa panas menyambut dari telapak tangan kakek itu. Mereka berdua terengah-engah karena sambutan hawa sinkang dari kedua tangan kakek itu demikian kuat. Mereka merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong kembali. "Haiiiiiitt...!" Ji Ok berseru nyaring. "Hyaaaaaatttt...!" Toa Ok juga membentak sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi dua orang kakek itu merasa betapa makin kuat mereka mendorong, semakin kuat pula hawa sakti menyambut sehingga mereka tidak kuat bertahan lantas keduanya terjengkang roboh. Toa Ok merasa tubuhnya diserang hawa dingin, dan sebaliknya Ji Ok merasa tubuhnya di serang hawa panas. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek itu hanya menyalurkan saja hawa pukulan mereka itu melalui kedua tangannya, kemudian membuat dua tenaga yang berlawanan itu bertemu dan saling serang sendiri. Ini merupakan ilmu menyimpan dan menyalurkan hawa sakti dari luar, sebuah ilmu yang amat tinggi dan jarang ada orang mampu melakukannya. Dengan penyaluran itu, Toa Ok tertangkis oleh tenaga Ji Ok sebaliknya Ji Ok tertangkis oleh tenaga Toa Ok yang mengakibatkan keduanya roboh terluka! Kedua orang datuk itu bukanlah orang-orang bodoh yang nekat. Mereka maklum bahwa mereka sudah kalah dan mengalami luka dalam. Mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang yang luar biasa saktinya. Mereka lantas bangkit dan sejenak duduk bersila untuk mengatur pernapasan dan mengambil hawa murni untuk melindungi jantung mereka. Kemudian keduanya bangkit berdiri. Ada sedikit darah kelihatan di ujung bibir mereka. "Siapakah engkau yang telah berani mencampuri urusan kami?" Toa Ok bertanya dengan suara mengandung penasaran sekali. "Siancai...!" Kakek itu berseru sambil tersenyum. "Kiranya yang berjuluk Toa Ok dan Ji Ok bahkan lebih kejam dari pada namanya! Aku yang bertapa di Pulau Teratai Merah belum pernah bertemu dengan orang yang sekejam kalian berdua!" Berkata demikian kakek itu memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang di tempat itu, lalu kepada Si Kong yang sudah bangkit berdiri. Dua orang datuk ini terkejut bukan kepalang mendengar bahwa kakek ini adalah pertapa di Pulau Teratai Merah. Mereka sudah pernah mendengar tentang seorang pertapa sakti yang pada puluhan tahun yang silam namanya sangat terkenal dan ditakuti oleh seluruh tokoh kang-ouw, terutama kaum sesat amat takut mendengar nama itu. Puluhan tahun yang lalu di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang demikian gigih memberantas kaum sesat tanpa mengenal ampun sehingga orang-orang memberi julukan Pendekar Sadis kepadanya! Pendekar Sadis inilah yang setelah tua lantas mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah di Laut Selatan. Sekarang, tanpa disangka sama sekali, pertapa itu agaknya meninggalkan Pulau Teratai Merah dan kebetulan berjumpa dengan Toa Ok dan Ji Ok, sepasang Raja Iblis yang merupakan orang-orang paling kejam di antara semua tokoh sesat. "Pendekar Sadis...!" Toa Ok dan Ji Ok berseru dengan suara berbareng kemudian tanpa berkata apa-apa lagi kedua orang itu melompat jauh dan pergi dari situ dengan hati jeri! Kakek itu memang benar Pendekas Sadis yang bernama Ceng Thian Sin. Akan tetapi dia kini telah menjadi seorang kakek tua renta yang usianya sudah mencapai hampir seratus tahun! Belasan tahun yang lalu kakek ini tinggal di Pulau Teratai Merah bersama isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang sukar dicari tandingannya. Setelah isterinya yang bernama Toan Kim Hong dan yang pernah menjadi datuk selatan dengan julukan Lam Sin itu meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun lebih, kakek Ceng Thian Sin lantas hidup seorang diri di pulau itu sebagai seorang pertapa. Dia sama sekali tidak mencampuri urusan dunia, bahkan lama sebelum itu dia telah hidup menyepi berdua dengan isterinya, hidup dengan tenteram penuh kedamaian di pulau itu. Si Kong terheran-heran memandang kakek tua renta itu. Dia menatap penuh perhatian. Seorang kakek yang jangkung kurus, rambut jenggot dan kumisnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya masih nampak sehat kemerahan seperti orang muda. Alisnya yang tebal juga sudah putih semua dan pakaiannya sangat sederhana namun bersih, dari kain kuning dan putih. Tadi dia melihat betapa kakek itu menahan kedua tangan Toa Ok dan Ji Ok, kemudian melihat kedua orang datuk sesat itu roboh terjengkang seperti ditolak tenaga yang sangat kuat. Melihat itu saja maklumlah Si Kong bahwa yang menyelamatkan nyawanya adalah seorang kakek yang sangat sakti. Dia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kakek itu dan memberi hormat berulang kali. "Saya Si Kong yang bodoh merasa amat bersyukur atas pertolongan locianpwe yang telah menyelamatkan jiwa saya dari tangan maut Toa Ok dan Ji Ok. Kalau tidak ada locianpwe tentu sekarang saya sudah menjadi mayat. Banyak terima kasih saya haturkan kepada locianpwe." Kakek itu mengelus-elus jenggot putihnya yang panjang. "Siancai...! Kau tahu apa tentang tolong menolong, hutang dan balas budi, hutang atau balas dendam?" Kemudian Ceng Thian Sin berdongak ke langit dan mulutnya membaca sajak! "Begitu semua orang mengenal keindahan dengan sendirinya muncul kejelekan, Begitu semua orang tahu apa itu kebaikan mereka pun tahu apa itu kejahatan... Karena itu ada dan tiada saling melahirkan sukar dan mudah saling melengkapi panjang dan pendek saling mewujudkan tinggi atau rendah saling bersandar bunyi dan suara saling mengimbangi dahulu dan kemudian saling menyusul..." Mendengar ini, saking tertariknya karena dia mengenal sajak itu, ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menarik napas, Si Kong sudah melanjutkan sajak itu. "Itulah sebabnya orang sudi bekerja tanpa bertindak mengejar tanpa berkata. Maka segala benda berkembang tanpa dia mendorongnya tumbuh tanpa dia mau memilikinya berbuat tanpa dia menjadi sandarannya. walau pun berjasa dia tidak menuntut, justru karena tidak menuntut, maka tidak akan musnah." "Siancai....! Ternyata engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng! Bagus sekali, akan tetapi mengertikah engkau akan inti sari pelajaran dalam ujar-ujar kuno itu?" "Maafkan saya, locianpwe. Jika tidak salah, ujar-ujar itu mengajarkan kepada orang untuk melakukan segala sesuatu tanpa pamrih untuk keuntungan atau kesenangan diri pribadi karena perbuatan apa pun yang berpamrih untuk diri sendiri, maka perbuatan itu tidaklah timbul dari hati sanubari yang bersih, melainkan dipakai sebagai alat agar bisa mencapai kesenangan diri sendiri. Benarkah demikian, locianpwe?" "Ha-ha-ha-ha, engkau seorang bocah yang cerdik dan pemberani. Kulihat bahkan engkau tadi berani melawan Toa Ok dan Ji Ok dengan ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung! Gerakanmu juga amat gesit, tentu engkau pernah mempelajari Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun!" Si Kong merasa kagum dan tunduk sekali. Dia memberi hormat lagi sambil berlutut. "Apa yang locianpwe katakan semuanya benar. Saya yang bodoh mohon petunjuk locianpwe." "Aku pernah mendengar bahwa ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung yang menjadi ilmu tertinggi dari para pengemis, dimiliki oleh Lok-sian Lo-kai. Sedangkan Liok-te Hui-teng dan Yan-cu Hui-kun dikuasai oleh si penyair gila Kwa Siucai. Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?" "Mereka berdua adalah guru-guru saya, locianpwe," kata Si Kong yang kini menjadi lebih kagum lagi. Kakek tua renta ini agaknya mengetahui segalanya. "Pantas saja engkau mengenal To-tek-keng." Kakek itu kembali melayangkan pandangan matanya kepada sembilan belas buah mayat yang malang melintang di tempat itu. "Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya. "Dua orang kakek tadi, locianpwe." "Ceritakan dari semula semua yang terjadi di sini." "Secara kebetulan saya mendaki bukit ini karena mendengar dari orang-orang dusun di lain bukit bahwa bukit ini diberi nama Bukit Iblis. Saya merasa tertarik mengapa bukit ini disebut demikian karena saya sendiri tidak percaya adanya iblis." "Siancai...! Jangan bilang tidak percaya karena sesungguhnya iblis itu ada. Hanya saja keadaannya tidak terlihat mata, dan pekerjaan iblis itu menggoda manusia. Dua orang tadi melakukan kekejaman seperti itu, kau kira karena apa? Karena iblis yang masuk ke dalam batin mereka. Lanjutkan ceritamu." "Mula-mula saya melihat enam belas orang itu berkumpul di sini, dan pemimpin mereka menyatakan bahwa sekarang mereka hendak mempergunakan bukit ini sebagai sarang mereka. Lalu muncul tiga orang yang menyebut diri mereka Liok-te Sam-kwi. Tiga orang itu mengalahkan enam belas orang ini dan memaksa mereka menjadi anak buah Liok-te Sam-kwi. Kemudian muncul Toa Ok dan Ji Ok yang menyuruh mereka semua membunuh diri. Karena mereka tidak mau, lalu terjadilah pertempuran dan akhirnya Toa Ok dan Ji Ok membunuh mereka. Ketika saya hendak pergi dari sini, dua orang datuk itu melihat saya lantas mereka menyerang saya seperti yang locianpwe lihat tadi." "Siancai...! Bunuh membunuh, sejak dahulu sampai sekarang. Orang-orang sesat di dunia kang-ouw rupanya tidak memiliki pekerjaan lain kecuali saling bunuh dan saling berebut kekuasaan. Dan sekarang engkau hendak pergi ke mana, Si Kong?" "Saya... pertama-tama saya harus menguburkan semua jenazah ini baik-baik, locianpwe. Setelah itu baru saya akan meninggalkan tempat ini, melanjutkan perjalanan saya." Kakek itu mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Sinar kagum terpancar dari pandangan matanya. "Selanjutkan perjalanan ke mana?" "Entah ke mana, locianpwe. Ke mana saja hati dan kaki ini membawa saya. Saya seorang yatim piatu, sebatang kara, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Saya berkelana seperti seekor burung di angkasa, sendirian saja." Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang kini telah menjadi seorang pertapa tua renta itu menjadi semakin kagum. Dia sendiri juga hidup menyendiri. Sesudah isterinya meninggal dunia belasan tahun yang lampau, dia hidup seorang diri di Pulau Teratai Merah, bahkan tanpa pembantu. Dia dan isterinya hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Ceng Sui Cin yang kini sudah berusia enam puluh tahun lebih. Ceng Sui Cin hidup bersama suaminya yang bernama Cia Hui Song dan sekarang tinggal bersama puteri mereka yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Meski pun puterinya dan cucunya mendesaknya untuk tinggal bersama mereka di Cin-ling-pai, dia selalu menolak. Dia ingin hidup menyendiri sebagai seorang pertapa, dan kadang-kadang saja puterinya, mantunya atau cucunya datang menjenguknya di pulau Teratai Merah. Setelah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek ini memperkenalkan diri dan disebut sebagai Ceng Lojin (orang tua bermarga Ceng). Si Kong segera menggunakan golok yang banyak bertebaran di tempat itu untuk menggali sembilan belas buah lubang kuburan. Pekerjaan berat itu dilakukan tanpa kenal lelah dan setelah matahari tenggelam di langit barat, barulah dia selesai mengubur semua jenazah itu. Sejak Si Kong bekerja, Ceng Lojin hanya menonton saja, kemudian dia malah bersila di atas batu besar sambil memejamkan matanya. Setelah selesai, dia hendak meninggalkan tempat itu, akan tetapi melihat kakek tua renta itu masih duduk bersila dan memejamkan matanya seperti orang tidur, dia merasa tidak tega meninggalkannya. Kakek itu sudah tua sekali, kasihan kalau ditiggalkan seorang diri saja di Puncak bukit itu, padahal malam hampir tiba. Karena tidak tega pergi meninggalkan kakek itu seorang diri saja, terlebih lagi pergi tanpa pamit, Si Kong menunda kepergiannya. Dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering, lalu membuat api unggun di dekat batu besar untuk mengusir nyamuk serta hawa dingin yang mulai datang mengganggu. Dia sendiri lalu merebahkan diri di atas daun-daun kering di dekat batu besar dan mencoba untuk melepaskan lelah. Pikirannya tidak pernah dapat lepas dari kakek yang duduk bersila di atas batu besar itu. Kakek itu pun seperti dia, agaknya hidup sebatang kara. Bagi dia yang seorang pemuda tidaklah terasa berat benar. Untuk mencari makan, dia dapat bekerja di mana saja. akan tetapi kakek tua renta itu? Biar pun dia memiliki kesaktian hebat, mana mungkin kakek itu bekerja untuk mencari nafkah? Dia makin merasa kasihan kepadanya. Apa lagi kakek itu baru saja telah menyelamatkan nyawanya. Dia pun harus berbuat sesuatu untuk kakek itu. Setidaknya malam ini dia akan menjaga agar kakek itu tidak terganggu dalam semedhinya. Dijaganya api unggun itu agar tidak padam. Dia pun mengaso dan mencoba tidur, walau pun hanya sebentar-sebentar karena dia harus bangun untuk menambahkan kayu bakar pada api unggunnya. Setiap kali teringat kepada gundukan-gundukan tanah di dekat situ, mau tak mau bulu tengkuknya meremang. Tadi dia sama sekali tidak ingat kepada mayat-mayat yang dikubur itu. Kini setelah teringat, timbullah rasa ngeri dan takut! Jelas bahwa rasa takut itu bukannya datang tanpa diundang. Yang mengundang adalah ingatan yang mengingat-ingat serta membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Ingatan mengada-ada, mengingat-ingat dan membayangkan kalau saja mayat-mayat itu bangun lagi. Kalau saja roh-roh yang mati menjadi penasaran dan mengamuk. Kalau saja, kalau saja.... demikianlah pikiran sering mengingat-ingat dan membayang-bayangkan sesuatu sehingga rasa takut datang menyelinap dalam batin. Si Kong pernah mendengar wejangan Penyair Gila tentang timbulnya rasa takut itu, dan sekarang dia merasakannya sendiri. Setelah dia merasa jelas betul dari mana timbulnya rasa takut yang membuat bulu tengkuknya berdiri, dia lalu 'memasuki' rasa takutnya itu dan menjenguk di balik rasa takut itu. Dan dia pun merasa geli terhadap ulahnya sendiri dan rasa takut itu pun segera menghilang. Pada esok harinya, pagi-pagi sekali kakek itu telah sadar dari semedhinya, atau tidurnya sambil duduk bersila. Melihat kakek itu bangkit berdiri, Si Kong segera meloncat bangun pula. "Siancai...!" kata kakek itu tersenyum. "Engkau masih berada di sini, Si Kong? Bukankah kau katakan bahwa engkau hendak melanjutkan perantauanmu?" "Maaf, locianpwe, saya belum dapat pergi karena melihat locianpwe sedang bersemedhi. Saya tidak mungkin pergi meninggalkan locianpwe begitu saja tanpa pamit." Ceng Lojin menghela napas panjang. "Dasar jodoh, dasar jodoh! Semua peristiwa di dunia Thian yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha sekuat dan sebaik mungkin," kata kakek itu perlahan seperti kepada dirinya sendiri. "Si Kong, bagaimana pendapatmu kalau aku mengambilmu sebagai murid?" Pertanyaan seperti ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Si Kong, bahkan dia tidak pernah berani mengharapkan kakek seperti ini mau menjadi gurunya. Karena itu, begitu mendengar kata-kata itu, langsung dia menjatuhkan diri berlutut di bawah batu besar itu dan wajahnya berseri gembira ketika dia menjawab. "Locianpwe, tidak ada kegembiraan yang melebih apa yang saya dengar dari locianpwe. Kalau locianpwe sudi mengambil saya sebagai murid, saya merasa mendapat anugerah besar dari Tuhan. Saya hanya dapat berjanji akan mentaati semua perintah dan petunjuk locianpwe." "Baiklah, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan harus mentaati semua perintahku," kata kakek tua renta itu. Dengan hati girang bukan kepalang Si Kong lantas menjatuhkan dirinya berlutut lagi dan memberi hormat delapan kali kepada kakek itu dan menyebut, 'suhu!' "Teecu akan mempersiapkan sarapan pagi untuk Suhu," kata pemuda itu. Ceng Lojin tersenyum. "Harapan apa yang hendak kau berikan kepadaku?" "Teecu dapat berburu burung, ayam alas atau kelinci di hutan lereng itu." Ceng Lojin menggoyangkan tangannya, "Tidak usah, telah lama aku tidak lagi menyentuh makanan yang berasal dari binatang. Aku hanya makan dari tumbuh-tumbuhan saja dan aku sudah membawa bekal roti kering. Engkau juga boleh makan bersamaku. Aku hanya membutuhkan air jernih, kau boleh mencarikan itu untukku." Si Kong cepat membuka buntalannya. Dia memang selalu membawa sebuah panci untuk keperluan mencari air jernih atau memasak makanan. Dengan panci di tangan dia segera berlari cepat sekali ke sebuah hutan di lereng. Tidak lama kemudian dia sudah kembali sambil membawa sepanci air jernih yang ditemukan dari sebuah sumber air. Ceng Lojin mengeluarkan beberapa potong roti kering dari buntalannya, lalu guru beserta muridnya itu makan makanan sederhana itu dengan nikmat. "Suhu, maafkan kelancangan teecu (murid). Teecu pernah mempelajari dari kitab-kitab suci bahwa makanan bernyawa tidak baik bagi batin kita, bahkan menurut ilmu pelajaran pengobatan, makanan bernyawa itu juga tidak baik bagi kesehatan tubuh. Teecu dapat mengerti mengapa Suhu sebagai seorang pertapa berpantang makanan bernyawa. Akan tetapi yang ingin teecu tanyakan, Suhu, apakah kita dapat terbebas dari makan binatang bernyawa? Menurut suhu Lok-sian Lo-kai, di dalam setiap cawan air jernih bisa terdapat ratusan atau bahkan ribuan binatang-binatang kecil yang tidak dapat nampak oleh mata biasa. Demikian pula di dalam tumbuh-tumbuhan seperti daun-daun untuk sayur dan juga buah-buahan, besar kemungkinan mengandung binatang-binatang kecil sehingga tak bisa dihindarkan lagi, kita terpaksa makan binatang-binatanag bernyawa, mau atau tidak." Ceng Lojin mengangguk-angguk. "Benar sekali keterangan Lo-kai Lojin itu. Bahkan dalam setiap tarikan napas ada banyak binatang-binatang kecil yang ikut masuk ke dalam tubuh kita. Akan tetapi hal itu kita lakukan tanpa disengaja dan tidak dapat dihindarkan. Berbeda dengan kalau kita makan daging binatang sambil menikmati kelezatannya. Yang namanya membunuh, apa pun alasannya, tetap saja itu merupakan pembunuhan dan pembunuhan selalu didukung oleh kekejaman." "Maaf, Suhu. Bukan sekali-kali teecu hendak membantah, akan tetapi teecu mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini karena ingin tahu dan ingin mengerti benar. Dengan pendapat bahwa membunuh untuk makan itu adalah perbuatan jahat dan kejam, apakah binatang pemakan daging seperti harimau, singa, buaya dan binatang buas lain juga jahat?" "Sama sekali tidak, Si Kong. Binatang buas itu memang membunuh, namun membunuh untuk makan karena dia tidak dapat makan yang lain. Harimau dan lain-lain binatang buas itu tidak dapat makan daun, dan kalau tidak ada binatang buruan lain mereka akan mati kelaparan. Mereka memang ditakdirkan untuk itu. Tetapi manusia tidak dapat disamakan dengan binatang buas. Manusia dapat hidup tanpa makan daging binatang. Jadi orang-orang yang pantang makan daging binatang itu hanya berusaha agar mereka tidak terlalu diperngaruhi oleh nafsu binatang yang tentunya ikut masuk bersama dengan daging yang dimakannya. Akan tetapi bukan jaminan pula bahwa orang-orang yang berpantang makan daging adalah orang-orang baik dan mereka yang makan daging adalah orang-orang yang jahat. Seperti kukatakan tadi, pantang makan daging hanya suatu cara untuk mengurangi pengaruh nafsu binatang. Karena itu, biar pun engkau sudah menjadi muridku, aku tidak akan melarang engkau makan daging." "Ahh, tidak Suhu. Seorang murid haruslah menjadikan gurunya sebagai teladan. Bila Suhu tidak makan daging, teecu juga ikut tidak makan daging, karena teecu hendak merasakan sendiri bagaimana rasa dan akibatnya kalau berpantang makan daging." Setelah selesai makan roti kering dan minum air jernih, Si Kong mengikuti gurunya turun bukit. Gurunya nampak hanya melangkah biasa saja, akan tetapi tubuh suhu-nya seolah tidak berjalan melainkan melayang. Kedua kakinya seakan tidak menyentuh tanah. Dia pun harus mengerahkan ilmu Liok-te Hui-teng agar bisa mengimbangi kecepatan langkah gurunya. Ceng Lojin mengajak Si Kong pergi ke selatan dan setelah tiba di pantai Laut Selatan lalu menyeberang ke sebuah pulau kecil yang tanahnya subur. Pulau itu mempunyai beberapa buah danau dan pada permukaan danau itu tumbuh banyak bunga teratai merah. Karena inilah maka pulau itu disebut Pulau Teratai Merah yang menjadi tempat tinggal Ceng Lojin. Di tengah pulau terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar dan kokoh kuat. Ceng Lojin yang usianya sudah mendekati seratus tahun itu, dahulu ketika masih muda terkenal dengan julukan Pendekar Sadis karena dia amat membenci golongan sesat. Bila dia bertemu dengan penjahat, dia tidak akan memberi ampun sehingga semua penjahat di dunia kang-ouw merasa gentar kalau mendengar namanya yang menjadi algojonya para penjahat. cerita silat online karya kho ping hoo Ilmu kepandaian kakek ini sangat tinggi dan sukar dicari lawan yang dapat mengimbangi tingkat kepandaiannya. Dia menguasai banyak ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Di antara semua ilmu silat itu terdapat ilmu silat Thai-kek Sin-kun (Silat Sakti Pokok Terbesar), San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit Bumi), Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Akan tetapi ilmu yang paling hebat di antara semua ilmu silat tinggi itu adalah Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Mendekam) yang hanya terdiri dari delapan jurus dan ilmu tenaga sakti yang disebut Thi-khi I-beng, semacam ilmu sakti yang mengerikan karena dengan ilmu itu dia dapat menyedot tenaga sakti lawan ke dalam dirinya sehingga menambah kekuatannya sendiri sedangkan lawan menjadi lemas akibat tenaga dalamnya disedot habis! Thi-khi I-beng ini merupakan ilmu rahasia dari para ketua Cin-ling-pai, akan tetapi pada waktu itu tidak ada orang lain kecuali Ceng Lojin yang menguasainya. Tidak sembarang orang dapat menguasai Thi-khi I-beng. Bahkan puterinya sendiri yang bernama Ceng Sui Cin tidak dapat menguasai ilmu itu. Tentu saja amat besar keberuntungan Si Kong dapat diambil murid oleh Ceng Lojin. Hal ini adalah karena begitu bertemu dengan Si Kong, Ceng Lojin segera mengetahui bahwa pemuda remaja itu mempunyai tulang yang baik dan bakat yang besar, juga mempunyai kecerdikan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa Si Kong juga pandai membaca sajak dan ujar-ujar kitab suci, maka hatinya makin tertarik lagi. Inilah anak yang boleh dia harapkan untuk mempergunakan ilmu-ilmunya sebaik mungkin, untuk kebaikan manusia serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena tahu bahwa muridnya telah memiliki ilmu silat dasar yang cukup tinggi, tentu saja Ceng Lojin tidak mengajarkan semua ilmu yang dia kuasai. Dia hanya mengajarkan ilmu silat sakti Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, akan tetapi yang delapan jurus itu dapat dikembangkan sendiri menjadi puluhan jurus. Setiap jurus merupakan gerakan dasar yang sangat sulit sehingga untuk menguasai delapan jurus Hok-liong Sin-ciang itu Si Kong harus mempergunakan waktu dua tahun berlatih dengan tekun, barulah dia dapat menguasai ilmu Hok-liong Sin-ciang itu dan dapat mengembangkannya sehingga menjadi banyak jurus. Setelah Si Kong menguasai ilmu silat yang amat sulit ini dan usianya telah delapan belas tahun barulah Ceng Lojin mengajarkan ilmu yang lebih sukar lagi, yaitu ilmu tenaga sakti Thi-khi I-beng! Agar dapat menghimpun tenaga sakti yang amat langka ini, Si Kong harus bersemedhi dengan berbagai macam cara. Selama berbulan-bulan dia harus bersemedhi dengan berjungkir balik agar dia menguasai benar tenaga sakti yang berada di tubuhnya dan dapat menggunakan sesuai dengan kebutuhannya. Dia dapat membuat tenaga sakti dalam tubuh itu menjadi hawa panas, hawa dingin, menjadi tenaga keras atau lunak. Selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, pulau itu beberapa kali saja menerima tamu. Yang pertama datang adalah puteri dan mantu Ceng Lojin, yaitu pendekar Cia Hui Song yang telah berusia tujuh puluh tahun, dan puteri Ceng Lojin yang bernama Ceng Sui Cin dan sudah berusia enam puluh lima tahun. Dua kali suami isteri ini datang menjenguk Ceng Lojin dan setiap kali datang mereka selalu membujuk Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka ke Cin-ling-san, di mana kakek itu dapat tinggal bersama keluarganya. "Tidak, aku tidak ingin pindah dari sini. Ibumu meninggal dan dimakamkan di sini, aku pun kelak ingin dimakamkan di sini bila saat terakhirku tiba. Dan jangan khawatir, di sini ada Si Kong. Dia adalah murid yang amat berbakti," demikian kakek itu menolak dengan halus. Ceng Sui Cin dan suaminya merasa kagum sekali terhadap Si Kong. Dia tidak merasa iri melihat Si Kong yang dilatih Hok-liong Sin-cang bahkan Thi-khi I-beng, padahal dia sendiri tidak mempelajarinya karena bakatnya masih kurang. "Sute Si Kong." kata Ceng Sui Cin pada kunjungannya yang terakhir ketika Si Kong sudah berusia sembilan belas tahun, "Engkau beruntung sekali mendapat kepercayaan ayahku sehingga diangkat murid dan mewarisi ilmu-ilmu rahasia milik Cin-ling-pai. Akan tetapi di samping keberuntungan itu, berarti engkau bertanggung jawab berat sekali. Kelak engkau harus dapat mempergunakan semua ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan sekali-kali tak boleh kau gunakan untuk maksud jahat dan menguntungkan diri sendiri saja. ingat, kalau engkau melakukan penyelewengan itu, kami seluruh anggota besar Cin-ling-pai akan menghadapimu dan minta pertanggung jawaban darimu." "Saya mengerti benar akan apa yang Suci maksudkan. Saya hanyalah seorang manusia biasa, Suci, maka saya tidak berani takabur dan menjanjikan sesuatu yang nantinya tidak akan dapat saya penuhi. Saya hanya berdoa kepada Tuhan, semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke arah jalan yang benar!" Ucapan Si Kong ini malah lebih melegakan hati Ceng Sui Cin dari pada kalau pemuda itu mengucapkan janji yang muluk-muluk. Ia suka akan kerendahan hati pemuda ini. Sayang bahwa pemuda yang sebaik dan sebesar ini bakatnya bukan keluarga besar Cin-ling-pai. Selain suami isteri itu yang berkunjung dua kali selama Si Kong berada di Pulau Teratai Merah, juga cucu Ceng Lojin, yaitu Cia Kui Hong yang berusia empat puluh tujuh tahun dan menjadi ketua Cin-ling-pai datang berkunjung bersama suaminya yang bernama Tang Hay. Sebagai puteri Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, tentu saja Cia Kui Hong juga merupakan seorang wanita sakti maka dia diangkat menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi suaminya yang bernama Tang Hay itu bahkan lebih lihai dari pada dia. Cia Kui Hong juga pernah digembleng di Pulau Teratai Merah oleh kakek dan neneknya, bahkan telah mewarisi ilmu pedang pasangan Hok-mo Siang-kim (Sepasang Pedang Pembunuh Iblis) dari neneknya. Tetapi Cia Kui Hong ini pun dianggap kurang berbakat untuk mewarisi Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng. Sedangkan suaminya, Tang Hay adalah seorang pendekar sakti yang bukan saja mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari isterinya, akan tetapi dia pun mahir ilmu sihir! Seperti juga nenek Ceng Sui Cin, Cia Kui Hong sengaja menemui Si Kong berdua saja ketika Si Kong bekerja di sebuah ladang kecil di mana dia menanam sayur-sayuran untuk keperluan dia dan gurunya. Seperti ibunya, Cia Kui Hong juga berkata kepada Si Kong, "Si Kong, engkau telah memperoleh kepercayaan kongkong dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. Aku ingin memperingatkanmu agar kelak engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, jangan sekali-kali kau gunakan untuk kejahatan karena dengan begitu engkau akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan kami semua tentu akan menghadapimu sebagai musuh!" Si Kong tersenyum. Alangkah miripnya nyonya ini dengan ibunya! Ibu dan anak ini sudah memperingatkannya dengan keras. "Harap Pangcu tidak khawatir. Saya sudah berjanji di hadapan suci Ceng Sui Cin bahwa saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu. Semoga Tuhan akan selalu membimbing saya ke dalam jalan kebenaran." Ketua Cin-ling-pai dan suaminya itu hanya tinggal tiga hari di Pulau Teratai Merah, lantas mereka pulang karena mereka pun tidak berhasil membujuk kakek Ceng Lojin untuk ikut dengan mereka tinggal di Cin-ling-san. Diam-diam Si Kong merasa ngeri juga. Dia sudah mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pusaka dari keluarga besar para ketua Cin-ling-pai dan dia tahu bahwa mereka itu bukan omong kosong saja dengan peringatan mereka. Akan tetapi hatinya tidak merasa khawatir karena sedikit pun tak ada niat di hatinya untuk berbuat jahat atau seenaknya sendiri saja mengandalkan semua ilmunya. Di samping ilmu silat, dia pun mendapat banyak wejangan dan pelajaran tentang kehidupan dari Yok-sian Lo-kai, Kwa Siucai dan Ceng Lojin sendiri. Waktu berlalu amat cepat bagaikan anak panah terlepas dari gendewanya. Tanpa terasa dua tahun lagi sudah lewat semenjak kunjungan ketua Cin-ling-pai Cia Kui Hong bersama suaminya itu. Sekarang Si Kong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berusia dua puluh tahun. Dia pun sudah menguasai Thi-khi I-beng. Ceng Lojin juga bertambah tua, kini usianya sudah seratus tahun lebih. Tubuhnya makin kurus akan tetapi masih tegak dan tidak bongkok. Pandangan matanya masih tajam dan juga pendengarannya masih baik. Pada suatu pagi, kakek itu menghampiri Si Kong yang sedang memikul air dari sumber air itu. "Berhentilah dulu bekerja. Aku ingin menguji apakah engkau benar-benar telah menguasai Thi-khi I-beng secara benar." Si Kong cepat menurunkan pikulannya dan menghampiri kakek itu. "Teecu siap melaksanakan perintah suhu!" katanya dengan suaranya yang selalu bernada gembira dan tegas. "Si Kong, bagian paling sukar dari Thi-khi I-beng adalah menghentikan tenaga menyedot sinkang dari luar. Kalau hal itu belum dapat kau lakukan dengan sempurna, secara mudah engkau dapat membunuh orang tanpa disengaja karena tenaga sinkang orang itu akan membanjir ke dalam tubuhmu. Jangan sekali-kali mencoba untuk mempergunakan Thi-khi I-beng kalau engkau belum mampu mengendalikan tenagamu dengan sempurna. Karena itu, sekarang aku akan mengujimu. Aku akan mencengkeram pundakmu. Salurkan Thi-khi I-beng ke pundak yang dicengkeram, maka tenaga dalamku akan tersedot olehmu melalui pundak yang kucengkeram. Bila mana sudah begitu, cobalah engkau cepat-cepat menarik kembali tenagamu agar sinkang dariku tidak tersedot terus." "Baik, Suhu. Akan teecu coba sebaik mungkin!" "Lihat serangan!" Kakek itu berseru kemudian secepat kilat tahu-tahu tangan kirinya telah mencengkeram pundak kanan Si Kong. Begitu merasa pundaknya dicengkeram, Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng ke tangan kakek itu yang menempel pada pundaknya, sehingga timbul tenaga sedotan yang besar sekali menyedot tenaga sinkang kakek itu melalui pundak Si Kong. Setelah merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya, maka tahulah Si Kong bahwa ilmunya telah bekerja dengan baik. Dia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tenaga sedotan itu sambil menggerakkan pundaknya sehingga terlepas dari tempelan tangan Ceng Lojin. Ceng Lojin sendiri terhuyung ke belakang dan melihat ini Si Kong cepat menghampirinya. "Suhu baik-baik saja?" Ceng Lojin tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, akan tetapi hatiku senang sekali. Engkau telah mampu mengendalikan Thi-khi I-beng! Hal itu baik sekali, Si Kong, karena kalau tidak, engkau akan membunuh banyak orang dengan tenaga sedotan Thi-khi I-beng yang tidak dapat kau hentikan." Melihat kakek itu agak terengah dan mukanya agak pucat, Si Kong cepat memegang nadi tangan gurunya untuk memeriksa keadaannya. Dia pun terkejut! "Jantung Suhu terguncang dan lemah sekali! Suhu harus beristirahat...!" Kembali Ceng Lojin tersenyum. "Beginilah kalau badan sudah dimakan umur. Tiada yang kekal di dunia ini, juga kekuatan badan. Oleh karena itu, selagi badan kuat engkau harus dapat menggunakannya demi keadilan dan kebenaran Si Kong. Bila kelak engkau sudah setua aku, engkau pun akan kehilangan kekuatanmu dan kalau sudah jompo, apa yang dapat kau lakukan?" "Akan tetapi, Suhu, kesehatan Suhu terancam. Suhu tak boleh mengerahkan tenaga dan harus beristirahat. Saya akan membuat obat untuk memperkuat daya tahan tubuh Suhu!" Ceng Lojin menggeleng kepala. "Tidak, Si Kong. Pengobatan manusia pun ada batasnya. Badan yang tua tidak dapat dipulihkan lagi. Mengingat keadaanku ini, patut kunasehatkan kepadamu, tengoklah ke atas, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih pandai, lebih kaya bahkan lebih segala-galanya dari pada engkau dan engkau boleh berkata pada dirimu sendiri: enyahlah keangkuhan dan kesombongan! Namun jangan lupa menengok ke bawah! Tengoklah ke bawah, maka engkau akan melihat betapa banyaknya orang yang lebih bodoh, lebih miskin dan lebih menderita dari pada engkau, dan engkau boleh berkata kepada dirimu sendiri: pergilah keputus-asaan dan kerendah-dirian! Dengan menengok ke atas dan ke bawah itu engkau akan selalu merasa bersyukur atas segala karunia Tuhan kepadamu, engkau akan selalu rendah hati tetapi tidak rendah diri. Engkau akan menjadi manusia yang jauh lebih gagah perkasa apa bila engkau mampu menguasai nafsu-nafsu sendiri dari pada kalau engkau mengalahkan seratus orang lawan!" "Teecu akan menyimpan dalam hati dan akan selalu ingat semua nasehat suhu." Tiba-tiba Si Kong melompat berdiri dan memandang ke arah selatan. Tempat tinggal mereka berada di dataran paling tinggi di pulau itu sehingga dari situ orang dapat melihat ke empat penjuru yang terletak lebih rendah. Pendengarannya yang sangat tajam sudah menangkap suara orang dari arah selatan, maka dia memandang ke sana dengan penuh perhatian. "Ada orang-orang datang mengunjungi kita," kata Ceng Lojin lirih. Ini membuktikan bahwa pendengaran kakek itu masih amat tajam. Si Kong melihat bayangan tujuh orang datang dari pantai pulau dan kini mereka berlari cepat bukan main menuju ke arah tempat dia berdiri, Si Kong dapat melihat jelas betapa cepatnya tujuh orang itu berlari, menunjukkan bahwa mereka tentu bukanlah orang-orang sembarangan. "Benar Suhu, ada tujuh orang datang berkunjung dan mereka menggunakan ilmu berlari cepat tingkat tinggi. Mereka tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, Suhu." "Siapa pun adanya mereka, mari kita sambut mereka di depan pondok. Setiap orang yang datang berkunjung ke pulau ini adalah tamu yang harus kita hormati, Si Kong." "Baik, suhu..." Mereka lalu berjalan menuju ke depan pondok dan berdiri dengan sikap tenang menanti datangnya tujuh orang itu. Benar seperti yang dikatakan Si Kong, sebentar saja ketujuh orang itu sudah tiba di depan mereka. Pemuda itu terkejut ketika mengenal dua orang di antara mereka, seorang yang kepalanya besar dan botak berpakaian putih dan seorang yang rambutnya panjang sampai ke pinggang dan mukanya juga berambut seperti muka monyet. Mereka itu bukan lain adalah Toa Ok atau Thai-mo-ong dan dan Ji Ok atau Ji-mo-ong, dua orang yang disebut Si Jahat Nomor Satu dan Si Jahat Nomor Dua. Si Kong melihat lima orang yang lain. Mereka adalah lima orang kakek yang usianya lebih kurang enam puluhan tahun dengan rambut dipotong pendek dan pakaian mereka seperti jubah pendeta. "a-ha-ha-ha, ternyata Pendekar Sadis masih hidup dan berada di pulau pertapaannya ini! Dan si bocah setan juga berada di sini. Bagus, kami dapat membalas kekalahan kami tempo hari kepada kalian!" kata Toa Ok sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tongkat ularnya. "Sekali ini engkau tak akan dapat lolos dari tanganku, Pendekar Sadis!" kata Ji Ok sambil mencabut pecutnya. "Pendekar Sadis sudah tidak ada, yang ada ini adalah Ceng Lojin," kata Ceng Lojin, lalu menghadapi lima orang yang menemani Toa Ok dan Ji Ok itu. "Agaknya Toa Ok dan Ji Ok belum jera setelah kekalahannya di Bukit Iblis dulu, akan tetapi ngo-wi (anda berlima) ini siapakah dan ada keperluan apa dengan kami?" "Kami berlima dikenal dengan sebutan Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tandingan), datang dari barat dan kami sahabat Thai-mo-ng dan Ji-mo-ong. Telah puluhan tahun kami mendengar betapa Pendekar Sadis sangat sewenang-wenang dan kejam terhadap orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena kami juga mendengar bahwa Pendekar Sadis sudah mengundurkan diri dan bertapa di Pulau Teratai Merah, tadinya kami telah melupakan dan membiarkan dia bertapa menyesali kekejaman-kekejaman yang dulu pernah dia lakukan. Akan tetapi kami bertemu dengan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, lantas mendengar bahwa Pendekar Sadis kembali mencampuri dunia kang-ouw bahkan sudah mengalahkan Thai-mo-ong dan Ji-mo-ong, juga melukai mereka. Maka kami berlima mengambil keputusan untuk ikut dengan mereka mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk membalaskan roh-roh penasaran dari banyak tokoh kang-ouw yang telah tewas di tangan Pendekar Sadis." "Siancai...! Jadi kalian bertujuh ini sengaja datang ke sini untuk membunuhku?" "Kami datang ke sini untuk menantangmu, Ceng Lojin!" kata Toa Ok. "Mengeroyok? Tujuh lawan satu? Kalian pengecut curang!" kata Si Kong dengan marah. Pemuda itu tahu benar keadaan suhu-nya yang sedang lemah setelah tadi menguji Thi-khi I-beng miliknya. Jantungnya berdetak lemah sehingga suhu-nya harus beristirahat, sama sekali tak boleh mengerahkan tenaga sinkang untuk berkelahi, apa lagi tujuh lawan satu! "Si Kong, kau jangan ikut campur. Ini adalah urusan pribadiku!" Ceng Lojin berseru kepada muridnya dengan sikap gagah dan tenang sekali. Kemudian dia bertanya kepada Toa Ok, "Kalian bertujuh menantangku untuk mengeroyokku?" "Ha-ha-ha, aku pernah mendengar bahwa dalam menghadapi lawan, Pendekar Sadis tak pernah menanyakan dikeroyok atau tidak. Memang kami bertujuh hendak maju bersama melawanmu, akan tetapi kalau engkau takut, kami bersedia memberi pengampunan dan memperbolehkan engkau membunuh dirimu di depan kami!" Mendengar ini Si Kong menjadi marah sekali. "Aturan apa itu? Memberi pengampunan dengan jalan menyuruh orang membunuh diri!" "Hemm, seumur hidupku belum pernah aku menolak tantangan dari siapa pun juga. Nah, kalian boleh maju bersama!" kata Ceng Lojin dan dia berdiri dengan sikap penuh wibawa, sedikit pun tidak ada bayangan rasa takut pada wajah dan sikapnya. "Tidak tahu malu! Mengeroyok seorang yang sudah tua dan tidak bersenjata dengan tujuh orang dan semuanya bersenjata!" teriak lagi Si Kong yang tak dapat menahan amarahnya lagi. Merah juga wajah tujuh orang itu. Mereka adalah datuk-datuk besar yang terkenal di dunia kang-ouw. Lima orang yang menyebut diri mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) itu adalah bekas pendeta-pendeta Lama jubah hitam yang terusir keluar dari negara mereka karena telah melakukan penyelewengan. Mereka lalu lari ke timur dan sebentar saja sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaian mereka yang tinggi. Mereka adalah kenalan Toa Ok dan Ji Ok, maka dengan senang hati mereka membantu kedua orang sahabat ini menghadapi Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Ucapan pemuda ini memang menampar harga diri mereka. "Pendekar Sadis, mengingat bahwa sekarang engkau sudah tua renta, maka kami akan menghadapimu tanpa senjata. Lihat, kutinggalkan tongkatku di sini!" kata Toa Ok sambil menancapkan tongkatnya ke atas tanah. Ji Ok menyimpan kembali pecutnya yang dilingkarkan di pinggang menjadi sabuk. Melihat ini Bu-tek Ngo-sian yang membawa pedang pada punggung masing-masing juga tak mau mencabut senjata mereka. "Bagus! Kiranya kalian masih memiliki sifat jantan. Nah, mulailah dengan usahamu untuk membunuh orang tua seperti aku!" kata Ceng Lojin. Si Kong tadi sengaja mengejek untuk menolong suhu-nya. Jika mereka mempergunakan senjata, maka gurunya terpaksa harus menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang dan hal ini amat berbahaya bagi keselamatan suhu-nya yang sedang lemah. Akan tetapi kalau mereka tidak bersenjata, dia mengharapkan suhu-nya akan mampu mengalahkan mereka dengan Thi-khi I-beng. Ceng Lojin memaklumi akal muridnya ini, sebab itu dia pun tersenyum. Ia mengerti bahwa kondisi tubuhnya tidak memungkinkan dia untuk bertahan dalam pertandingan yang lama. Dia harus mampu mengalahkan tujuh orang lawannya secepat mungkin atau dialah yang akan tewas di tangan mereka. Namun bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan mereka yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai datuk persilatan itu? Tidak lain hanya dengan Thi-khi I-beng! Akan tetapi kalau dia membiarkan tenaga sinkang ketujuh orang itu membanjir ke dalam dirinya, tubuhnya yang sudah lemah itu pun tidak akan kuat bertahan. Secara diam-diam Ceng Lojin yang telah memiliki banyak pengalaman bertanding ini mencari akal agar dapat memenangkan pertandingan dalam waktu secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sesedikit mungkin. Toa Ok dan Ji Ok memelopori pengeroyokan itu. Mereka maju bersama dan menyerang dengan pukulan mereka yang cepat dan kuat. Toa Ok mencengkeram ke arah pundak kiri Ceng Lojin, sedangkan Ji Ok menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah perutnya. Ceng Lojin tidak berani mengerahkan tenaga sinkang untuk menangkis, tapi mengerahkan Thi-khi I-beng untuk menerima dua macam serangan ini. Dengan sedikit miringkan tubuh dia menerima cengkeraman pada pundaknya itu, maka pukulan Ji Ok bukan menghantam perut akan tetapi mengenai lambungnya. "Plakk! Plakk!" Tangan kanan Toa Ok yang mencengkeram pundak bertemu dengan pundak yang lunak, begitu pula tangan kanan Ji Ok yang menghantam lambung. Mereka berdua kaget sekali. Akan tetapi pada saat mereka hendak menarik kembali tangan mereka, tangan itu sudah melekat pada pundak dan lambung Ceng Lojin. Sebelum hilang rasa kaget mereka, dua orang datuk itu menjadi terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tenaga sinkang mereka melalui tangan yang melekat di tubuh orang tua itu memberobot keluar seperti disedot oleh tenaga yang tidak mampu mereka lawan! Mereka cepat berusaha mencegah, tetapi mereka tidak mampu menahan tenaga sinkang yang membanjir keluar itu. Selagi mereka terkejut dan menarik-narik tangan mereka, saat itu dipergunakan oleh Ceng Lojin untuk memukul mereka dengan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang. "Desss...! Desss...!" Toa Ok dan Ji Ok terpental ke belakang kemudian terhuyung-huyung. Mereka tahu bahwa mereka telah terluka dalam. Pada saat itu lima orang Bu-tek Ngo-sian sudah berloncatan ke depan dan menerkam Ceng Lojin dengan serangan tangan mereka. Ilmu kepandaian kelima orang bekas Lama ini setingkat dengan ilmu kepandaian Toa Ok dan Ji Ok, maka bisa dibayangkan betapa hebatnya ketika mereka berlima maju untuk menyerang dengan pukulan mereka yang ampuh dan mengandung tenaga sinkang kuat! Tetapi alangkah terkejut rasa hati mereka ketika semua pukulan mereka itu ternyata tidak dielakkan mau pun ditangkis oleh kakek tua renta itu, melainkan diterima begitu saja dan mereka merasakan pukulan mereka diterima oleh tubuh yang lunak. Kekagetan mereka semakin bertambah ketika mereka merasakan tangan mereka melekat pada tubuh kakek itu dan tenaga sinkang mereka membanjir keluar dari tubuh mereka melalui tangan yang menempel di tubuh itu! Mereka menarik-narik tangan mereka sambil mengerahkan sinkang. Akan tetapi, semakin kuat mereka mengerahkan sinkang, semakin kuat pula tangan itu menempel pada tubuh Ceng Lojin dan semakin besar tenaga sinkang mereka membanjir keluar! Sementara itu Ceng Lojin tidak tinggal diam. Melihat mereka semua sedang kebingungan, dia mainkan Hok-liong Sin-cing, memukul lima orang itu sehingga mereka semua terpental satu demi satu kemudian terhuyung-huyung dan akhirnya roboh ke tanah! Ceng Lojin berdiri tegak sambil memandang penuh wibawa kepada tujuh orang lawannya yang sudah diberi satu kali pukulan dan yang kini mencoba untuk bangkit berdiri. Pukulan yang hanya satu kali itu telah membuat mereka terluka dalam. Sekarang mereka bertujuh memandang kepada Ceng Lojin dengan mata terbelalak, jelas nampak keraguan dan rasa ketakutan membayang pada wajah mereka. Melihat betapa gurunya dalam keadaan sedang lemah itu dapat merobohkan tujuh orang pengeroyoknya dalam segebrakan saja, Si Kong merasa kagum dan bangga, akan tetapi juga merasa khawatir sekali. Suhu-nya sudah menggunakan Thi-khi I-beng, hal itu masih tidak mengapa karena penggunaan ilmu ini tak perlu mengerahkan tenaga sinkang, akan tetapi ketika suhu-nya memukul roboh ketujuh orang itu dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, jelas bahwa suhu-nya telah mengerahkan tenaga sinkang-nya dan hal ini amat berbahaya bagi jantung suhu-nya yang sudah amat lemah itu. Melihat tujuh orang itu sudah bangkit kembali, Si Kong khawatir kalau-kalau mereka akan menggunakan senjata untuk mengeroyok suhu-nya lagi, maka dia pun segera menyambar sebatang tongkat bambu kemudian dengan gerakan yang cepat bagaikan kilat dia sudah meloncat ke depan tujuh orang itu. Dia melintangkan tongkatnya di depan dada, kemudian membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya terdengar mengguntur penuh wibawa. "Suhu sudah mengampuni kalian karena tidak menggunakan pukulan maut, apakah kalian masih juga belum jera dan minta mati?" Memang tujuh orang itu tadi sudah terkejut sekali menyaksikan kelihaian Pendekar Sadis yang kini telah menjadi kakek tua renta itu. Mereka sudah merasa jeri menghadapi kakek ini. Kini, begitu melihat gerakan Si Kong yang demikian tangkas dan kokoh kuat, sedikit keberanian mereka untuk tetap menyerang dengan senjata menjadi buyar. "Mari kita pergi!" Toa Ok cepat berseru. Tujuh orang itu langsung melarikan diri dengan agak terhuyung-huyung karena mereka semua menderita luka dalam. Si Kong memandang sampai bayangan mereka lenyap ke dalam sebuah perahu yang tadi mereka daratkan dan dia cepat memutar tubuhnya ketika mendengar suara rintihan suhu-nya. Begitu memutar tubuh, dia melihat suhu-nya terhuyung-huyung, karena itu dia cepat meloncat dan menahan tubuh suhu-nya yang sudah terguling roboh. Di lain saat kakek itu sudah jatuh pingsan dalam rangkulan Si Kong. Si Kong cepat memondong tubuh suhu-nya. Alangkah ringan tubuh suhu-nya dan barulah Si Kong teringat bahwa suhu-nya sudah amat tua dan tubuhnya kurus sekali. Dengan hati terharu dan khawatir dia merebahkan suhu-nya di atas pembaringan dan cepat melakukan pemeriksaan. Ternyata detak jantung suhu-nya itu lemah sekali, bahkan hampir berhenti! Si Kong terkejut sekali, kemudian cepat memeriksa pernapasan suhu-nya. Ternyata juga amat lemah dan terengah-engah. Hampir Si Kong menangis. Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, tahulah dia bahwa keadaan gurunya gawat sekali dan tidak mungkin tertolong lagi. Suhu-nya telah menggunakan seluruh sisa daya tahannya untuk mengerahkan sinkang dan kini telah kehabisan tenaga sama sekali. Suhu-nya tidak mengalami luka dalam, akan tetapi karena keadaan tubuhnya yang tua itu lemah sekali, maka penggunaan tenaga sinkang itu menghabiskan daya tahannya. Si Kong lalu menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan pada dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya untuk membantu suhu-nya agar jantungnya dapat bekerja lagi. Hawa hangat yang mengalir keluar dari kedua telapak tangannya memasuki tubuh tua itu dan tidak lama kemudian suhu-nya membuka matanya, memandang kepada Si Kong dan tersenyum! "Suhu...!" kata Si Kong terharu melihat betapa dalam keadaan seperti itu suhu-nya masih dapat tersenyum sedemikian cerahnya! "Si Kong... aku... telah kalah...!" katanya lirih, suaranya seolah-olah sukar sekali keluar dari kerongkongannya. "Tidak, Suhu! Suhu sudah berhasil mengusir ketujuh iblis itu dari sini!" Si Kong menghibur suhu-nya. "He-he... menghadapi tujuh iblis kecil itu... aku tidak pernah kalah..., akan tetapi aku harus menyerah kalah... terhadap usiaku..." "Suhu, teecu akan merawat dan mengobati suhu sekuat dan semampu teecu." Kakek itu menggeleng kepalanya. "Akan sia-sia saja, Si Kong... dan engkau juga sudah tahu akan hal itu... ilmu perngobatanmu juga tidak berdaya melawan serangan usia tua...! Kematian adalah hal yang wajar, merupakan kelanjutan dari pada kehidupan... maka tidak perlu disesalkan..." Pada saat itu Si Kong mendengar gerakan di luar pondok. Cepat sekali tubuhnya segera berkelebat dan dia sudah meloncat keluar karena dia khawatir kalau-kalau para musuh itu datang lagi. Akan tetapi, begitu tiba di luar pondok dia terbelalak dan jantungnya berdebar tegang dan bingung. Sama sekali bukan para iblis tadi yang datang, melainkan seorang gadis yang jelita dan manis sekali. Usia gadis itu sekitar delapan belas tahun. Kulit mukanya nampak putih kemerahan tanpa bedak dan yanci (pemerah kulit), tubuhnya langsing sekali, pinggangnya kecil, dada dan pinggulnya membusung. Pakaiannya serba merah muda dan pada punggungnya terdapat sepasang pedang. Si Kong menatap wajah itu. Sungguh manis sekali dengan dahinya yang dihias anak-anak rambut yang gemulai dan alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis. Sepasang matanya begitu tajam bersinar-sinar seperti bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, serasi sekali dengan mulutnya yang tersenyum mengejek dengan bibir yang merah basah. Dagunya runcing membuat muka itu berbentuk bulat telur. Karena tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang gadis yang demikian cantik jelitanya, Si Kong sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Gadis itu pun terkejut ketika melihatnya berkelebat secepat itu, akan tetapi dia cepat berkata, "Ahh, engkau tentu yang bernama Si Kong, murid dari kakek buyut itu!" Si Kong juga terkejut. Gadis ini menyebut suhu-nya kakek buyut! Dia sudah mengenal cucu gurunya, wanita perkasa yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu bersama suaminya yang gagah perkasa. Gadis ini tentu puteri mereka. "Nona... siapakah...?" tanyanya dengan ragu. Pada saat itu terdengar suara pria yang nyaring bergema, "Hui Lan, apakah engkau telah bertemu dengan kakek buyutmu?" Baru saja suaranya terhenti, orangnya sudah muncul di situ. Seorang lelaki berusia lima puluh tahun lebih bersama seorang wanita berusia empat puluh delapan tahun. Melihat mereka, Si Kong segera memberi hormat. Biar pun dia murid kakek mereka, akan tetapi karena usianya jauh lebih muda, dia menyebut paman dan bibi kepada mereka. Hal ini pun sudah disetujui oleh gurunya agar tidak menempatkan Si Kong dalam kedudukan yang terlalu tinggi. "Si Kong, bagaimana keadaan kongkong? Di manakah dia?" tanya Cia Kui Hong kepada pemuda itu. "Paman dan Bibi, suhu berada dalam keadaan yang gawat. Silakan ji-wi (anda berdua) masuk. Suhu berada di dalam kamarnya." Mendengar ini, Tang Hay dan Cia Kui Hong terkejut dan cepat mereka masuk, diikuti oleh puteri mereka Tang Hui Lan. Si Kong mengikuti dari belakang. "ongkong...!" Cia Kui Hong berseru dan cepat berlutut di dekat pembaringan. "Kongkong, bagaimana keadaanmu?" Tang Hay juga berlutut. Suami isteri ini memeriksa denyut nadi tangan kakek itu dan mereka terkejut bukan main. Denyut itu sebentar terasa sebentar tidak. Kakek mereka dalam keadaan sangat gawat, bahkan dalam sekarat! Kakek itu yang tadinya telah memejamkan kedua matanya. Mendengar suara mereka dia membuka kembali kedua matanya. Dia memandang kepada cucu, cucu mantu, lalu cucu buyutnya. Senyumnya mengembang lagi di mulutnya. "Beruntung sekali... kalian datang... Hampir terlambat..." "Kakek kenapa?" tanya Kui Hong dengan gugup, lantas berkata kepada suaminya, "Tepat keluarkan batu giok mustika itu untuk mengobati kakek!" Tang Hay mengeluarkan sebuah batu giok yang tadinya disimpan di dalam saku bajunya, "Si Kong, minta air minum..., cepat!" Si Kong tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya, akan tetapi dia tidak membantah dan cepat menuangkan semangkuk air teh lalu menyerahkannya kepada Tang Hay. Pendekar ini segera memasukkan batu gioknya ke dalam air teh, dibantu oleh isterinya memberikan obat itu untuk di minum Ceng Lojin. Kakek itu meminumnya sedikit, lalu berkata lemah, "Tak ada gunanya lagi... tidak ada obat... bagi penyakit usia lanjut... kalau dapat diobati... tentu Si Kong... telah menyembuhkanku..." Baru Tang Hay dan Cia Kui Hong teringat bahwa Si Kong juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai. Kui Hong segera bertanya kepada Si Kong, "Bagaimana keadaannya?" "Keadaannya gawat, tidak bisa diobati lagi. Jantungnya sudah terlampau lemah dan paru-parunya juga tak bekerja dengan baik, sudah terlalu lemah. Saya telah berbuat semampu saya, akan tetapi tidak dapat menolongnya, Bibi. Dalam keadaan lemah sekali suhu telah mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenaganya untuk memukul tujuh iblis itu, dan inilah yang menghabiskan tenaganya dan membuat semakin lemah." "Tujuh iblis? Apa yang telah terjadi? Siapa mereka itu?" tanya Kui Hong dengan cepat dan penasaran. "Tanpa diduga-duga mereka datang, Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok dan mereka berlima yang menyebut diri Bu-tek Ngo-sian. Mereka mengeroyok suhu." "Mengapa engkau tidak membantu suhu?" Tang Hay bertanya dengan suara mengandung teguran.....

jilid 5


Si Kong menghela napas panjang. "Suhu terlalu gagah, terlalu jantan untuk mengelak dari tantangan mereka. Suhu tidak memperbolehkan saya turun tangan dan suhu menghadapi mereka sendiri. Suhu berhasil memukul mereka satu demi satu hingga mereka melarikan diri, tapi suhu telah menggunakan seluruh sisa tenaganya. Saya tidak berani membantah perintah suhu..." "Akan tetapi, jika engkau telah mengetahui keadaan kongkong lemah, seharusnya engkau mencegah dia menghadapi keroyokan lawan!" Kui Hong berkata dengan nada marah. Wanita ini belum kehilangan watak kerasnya. Apa lagi dia memang ada sedikit perasaan iri terhadap Si Kong yang mewarisi ilmu kongkong-nya. "Sudahlah..." terdengar Ceng Lojin berkata. "Aku puas... berhasil mengusir mereka... aku akan menyesal sekali apabila... Si Kong membantuku... aku girang dapat mati... sebagai orang gagah... bukan musuh yang membunuhku... melainkan usia tua... jangan marahi Si Kong... dia anak baik... Kui Hong cucuku... aku sudah berpesan kepada Si Kong... untuk menguburku... dekat makam nenekmu..." Kakek itu terengah, mengambil napas panjang beberapa kali lalu terkulai, mati. “Kongkong...!” Cia Kui Hong menubruk kakeknya yang sudah tak bernyawa lagi itu sambil menangis. Tang Hay menepuk lembut pundak isterinya. “Kongkong sudah wafat, tidak ada gunanya ditangisi lagi.” Si Kong merasa dunia seperti kiamat. Ceng Lojin merupakan satu-satunya orang di dunia yang mengasihinya dan sudah dianggap sebagai pengganti orang tuanya, juga pengganti dua orang gurunya yang sudah meninggalkannya. Selama empat tahun dia hidup berdua dengan kakek itu di Pulau Teratai Merah, namun kini kakek itu juga meninggalkan dirinya, untuk selamanya. Akan tetapi, di depan keluarga itu dia menahan untuk tidak menangis. Tangisnya hanya di dalam dada, dan dia menggigit bibirnya yang bawah hingga berdarah dan lecet. Dia hanya berlutut dan memberi hormat ke arah jenazah suhu-nya sambil menangis mengguguk di dalam hatinya. Lehernya bagaikan tercekik dan matanya terasa panas karena menahan runtuhnya air matanya. Pemakaman jenazah Ceng Lojin dilakukan dengan sederhana sekali karena di sana tidak tersedia alat-alat untuk sembahyang dan perkabungan. Si Kong menggali lubang kuburan di samping makam isteri Ceng Lojin, dibantu oleh Tang Hay. Sebuah peti mati sederhana dibuat sendiri oleh Si Kong, dari kayu pohon di pulau itu, kemudian jenazah dikuburkan dengan dihadiri hanya oleh empat orang itu. Kembali Kui Hong menangis sedih. Kakeknya adalah seorang pendekar besar yang namanya sangat dihormati oleh semua tokoh dunia persilatan, akan tetapi kakeknya meninggal dan dikubur tanpa dihadiri banyak keluarga dan handai taulan. Padahal kalau kakeknya meninggal dunia di kota atau bahkan di dusun yang tidak terpencil seperti di Pulau Teratai Merah, dia yakin kematiannya tentu akan dilayat oleh banyak sekali orang, termasuk ketua dari perguruan-perguruan besar di empat penjuru. Semenjak jauh hari keluarga Ceng Lojin sudah menyadari akan hal ini, akan tetapi semua usaha mereka untuk membujuk Ceng Lojin agar mau pindah dan tinggal bersama mereka di daratan besar, percuma saja karena Ceng Lojin tetap berkukuh untuk tinggal di pulau itu sampai hari akhir dan ingin dimakamkan di dekat makam isterinya. Sesudah penguburan selesai, Si Kong tidak mau meninggalkan kuburan suhu-nya. Tang Hay dan Cia Kui Hong membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau pergi dari hadapan makam suhu-nya di mana dia berlutut. “Gurumu sudah meninggal dunia dengan tenang, tidak perlu disesalkan dan disedihi lagi, Si Kong,” kata Tang Hay. “Maaf, Paman. Saya masih ingin merawat kuburan ini dan belum dapat meninggalkannya. Saya persilakan Paman, Bibi dan adik ini untuk kembali dulu ke rumah. Di sana terdapat bahan-bahan sayuran dan juga beras untuk dimasak, kalau Paman sekalian menghendaki makan,” kata Si Kong berkeras. Terpaksa Tang Hay, Cia Kui Hong beserta Tang Hui Lan meninggalkan pemuda itu untuk kembali ke pondok. Akan tetapi sampai sore pemuda itu belum juga kembali. “Anak itu amat mencinta kongkong,” kata Kui Hong. Suaminya mengangguk. “Aku tahu bahwa di dalam hatinya dia merasa sangat kehilangan dan berduka, akan tetapi semua itu disimpan dalam hatinya saja. Anak yang kuat hati.” “Ibu, sejak pagi dia berada di makam, tidak makan tidak minum, tentu dia kelaparan,” kata Hui Lan. Kui Hong merasa kasihan juga. Akan tetapi dia merasa tidak enak kalau sebagai seorang tua dia harus mengirimkan makanan untuk pemuda itu. “Kau saja, Lan Lan. Bawalah nasi dengan sayuran dan minumnya, antarkan kepadanya. Cepat sebelum hari menjadi gelap. Kalau bisa, ajak dia pulang ke sini.” “Baik, Ibu,” kata Hui Lan yang biasa di panggil Lan Lan oleh ayah ibunya. Gadis ini segera mengambil makanan dan minuman ke dalam mangkok dan guci, memasukkannya dalam keranjang lantas berangkatlah dia ke makam yang berada di bagian pulau itu yang agak membukit. Ketika tiba di makam, dia melihat Si Kong masih berlutut di depan makam dan dia dapat mendengar pemuda itu berbicara seorang diri sambil berlutut. “Budi suhu setinggi langit sedalam lautan, selama ini suhu begitu baik kepada teecu, akan tetapi sedikit pun teecu belum sempat membalas budi suhu. Apa yang harus teecu lakukan untuk membalas budi kebaikan suhu?’ katanya dengan isak tertahan. Demikian dalam Si Kong tenggelam di dalam lautan duka sehingga dia tidak mendengar kedatangan Hui Lan, padahal pendengarannya sudah peka dan tajam sekali. “Kalau hendak membalas budi kongkong, engkau harus makan minum supaya tidak jatuh sakit,” kata gadis itu. Si Kong menengok dan melihat Hui Lan, dia pun berkata, “Ahh, kiranya engkau, Nona.” “Aku bukan nona, namaku Hui Lan, biasa di panggil Lan Lan,” gadis itu mencela. “Maafkan aku, nona Hui Lan...” “Engkau adalah murid kong-couw, maka sepatutnya aku menyebut sukong (kakek guru) kepadamu dan engkau menyebut namaku begitu saja. Akan tetapi karena engkau masih muda, tidak pantas menjadi sukong (kakek guru), maka biarlah aku memanggil namamu begitu saja. Dan engkau jangan menyebut nona Hui Lan kepadaku. Apa kata orang nanti jika aku membiarkan kakek guruku sendiri menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku atau aku tidak akan mau menjawab sama sekali.” Si Kong menarik napas panjang. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap gadis ini. Selama ini dia belum pernah bergaul dengan seorang gadis, apa lagi yang demikian lincah dan pandai bicara seperti gadis ini. “Baiklah, Hui Lan. Kalau aku boleh bertanya, kenapa engkau berada di sini? Hari sudah hampir gelap, kembalilah ke rumah, nanti orang tuamu mencarimu dengan khawatir.” “Ihhh! Kau kira aku ini anak kecil yang masih diasuh oleh orang tuaku? Aku sudah pandai menjaga diri, orang tuaku tidak akan mengkhawatirkan diriku. Lagi pula aku ke sini karena disuruh oleh ibuku.” “Disuruh oleh bibi? Disuruh apakah, nona… ehh, Hui Lan?” “Disuruh mengantarkan makanan dan minuman untukmu. Ini makanan dan minumannya. Nah, cepat kau makan dan minum agar tidak kelaparan.” “Akan tetapi aku tidak lapar mau pun haus!” “Bohong! Bagaimana mungkin tidak lapar dan haus kalau sejak pagi engkau belum makan dan minum? Hayolah makan dan minum, sudah susah-susah ibu memasak untukmu dan aku mengantarkannya ke sini untukmu.” Si Kong menjadi tidak enak hati apa bila terus menolak. Dia lalu minum seteguk dari guci, tetapi ketika hendak makan lehernya seperti dicekik rasanya. Dia mendorong makanan itu jauh-jauh dan berkata, “Hui Lan, aku benar-benar tidak sanggup makan. Suhu baru saja meninggal dunia, bagaimana aku dapat makan?” Hui Lan merasa kasihan juga melihat wajah yang penuh duka itu. “Sudahlah kalau engkau tidak mau makan, aku pun tak akan membawanya kembali. Biar di sini saja, bila engkau sudah merasa lapar, boleh kau makan. Tetapi, Si Kong, kenapa engkau tenggelam dalam kedukaan yang berlarut-larut? Apakah arwah kong-couw (kakek buyut) akan senang kalau melihat engkau menyiksa diri begini di depan makamnya?” “Bagaimana aku tidak akan berduka Hui Lan? Di dunia ini suhu adalah satu-satunya orang yang menyayangku dan kusayangi. Sesudah dia meninggal dunia, aku kehilangan segala-galanya. Kini aku sebatang kara di dunia dan aku tidak tahu harus berbuat apa.” Si Kong menunduk agar tidak nampak kesedihan yang membayang di wajahnya. Hati Hui Lan terasa tersentuh dan dia merasa kasihan. “Engkau memang seorang murid yang baik, Si Kong. Pantas saja kong-couw merasa sayang sekali padamu, dan menurut ibuku, kong-couw mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepadamu.” “Ahh, ilmu kepandaian suhu tiada batasnya. Bagaimana mungkin aku dapat mempelajari semuanya?” “Akan tetapi menurut ibu, engkau telah mewarisi ilmu-ilmu yang tertinggi. Kita satu aliran, dan biar pun engkau ini termasuk kakek guruku, sekali-kali aku ingin mengajakmu berlatih silat. Sayang engkau masih tenggelam dalam duka, kalau tidak, sekarang juga aku ingin mencoba ilmumu.” Si Kong yang tadinya telah berdiri kini kembali menjatuhkan diri berlutut di depan makam. “Hui Lan, kasihanilah aku. Tinggalkan aku sendiri di depan makam suhu-ku yang tercinta.” “Hemm, baiklah. Akan tetapi kalau engkau benar-benar mencintai kong-couw, seharusnya engkau mencari tujuh iblis itu.” “Akan tetapi mereka tidak membunuh suhu. Mereka bahkan sudah dikalahkan oleh suhu.” “Kematian kong-couw adalah karena bertempur dengan mereka. Itu artinya mereka yang menyebabkan kematian kong-couw. Kalau engkau tidak berani menuntut balas, akulah yang kelak akan mencari mereka dan membalas kematian kong-couw!” Si Kong terkejut sekali, “Hui Lan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Apa lagi kalau mereka maju semua, amat berbahaya dan sukar ditandingi.” “Engkau takut? Hemmm, aku tidak! Kami keluarga Cin-ling-pai tidak pernah merasa takut menghadapi penjahat yang bagaimana lihai sekali pun!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat dan meninggalkan Si Kong seorang diri. Dia termenung. Semua kata-kata gadis itu terngiang dalam telinganya. Karena pikirannya dipenuhi ucapan-ucapan Hui Lan, dia tidak merasa bahwa di saat seperti itu semua duka lenyap dan tidak terasa lagi olehnya! Duka disebabkan oleh ulah pikiran. Pikiran mengunyah-ngunyah semua kenangan seperti mengunyah makanan pahit. Makin dikunyah semakin terasa pahitnya. Akan tetapi yang sangat mengkhawatirkan pikirannya adalah kata-kata Hui Lan tadi bahwa gadis itu hendak mencari tujuh orang iblis itu untuk membalas dendam. Gadis itu tentu akan celaka kalau bertemu dengan mereka. Sesudah selama tiga hari tiga malam berpuasa, pada hari keempat Tang Hay dan Cia Kui Hong sendiri mencari Si Kong di makam. Mereka berdua membujuk dan menasehati, dan barulah Si Kong mau makan dan minum sekedarnya. “Kami bertiga hendak pulang ke Cin-ling-san,” kata Tang Hay. “Apakah engkau akan ikut kami?” Si Kong menggeleng kepala. “Terima kasih, Paman. Saya tidak akan pergi meninggalkan pulau ini sebelum seratus hari.” “Hemm, mengapa begitu?” “Saya tidak tega terhadap suhu. Saya akan merawat makamnya dan setelah seratus hari baru saya akan meninggalkan tempat ini.” “Ke mana engkau hendak pergi?” tanya Cia Kui Hong. “Tidak tahu, Bibi. Mungkin kembali ke dusun. Di sana masih ada seorang enci-ku yang telah menikah. Atau saya akan merantau ke mana saja, bagaimana nanti sajalah.” “Engkau akan berkelana?” tanya Tang Hay, teringat akan dirinya sendiri pada saat masih muda dan suka berkelana. Si Kong mengangguk. “Terserah kepadamulah. Akan tetapi jangan engkau lupa, Si Kong, bahwa setelah engkau menerima ilmu-ilmu dari kakek, berarti engkau memiliki tanggung jawab besar dan tugas yang berat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan menggunakan ilmu itu. Pekerjaan seorang pendekar banyak resikonya, Si Kong, karena di dunia kang-ouw terdapat banyak penjahat yang selain ilmunya lihai, juga amat licik dan curang penuh tipu daya. Karena itu engkau harus berhati-hati sekali.” “Saya akan selalu mengingat nasehat Paman. Tetapi saya mohon agar Paman dan Bibi suka menasehati adik Hui Lan.” “Kenapa dia?” tanya Kui Hong sambil menoleh kepada puterinya. Gadis ini mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada Si Kong. “Dia pernah mengatakan kepada saya bahwa dia hendak mencari tujuh iblis yang datang ke pulau ini. Saya merasa khawatir sekali, Paman, karena tujuh orang iblis itu sangat lihai dan saya khawatir kalau-kalau adik Hui Lan celaka di tangan mereka.” ”Hui Lan, benarkah engkau hendak mencari tujuh iblis itu? Jangan lancang, Lan Lan. Kau kira mudah melawan mereka? Sedangkan kakek buyutmu sendiri sampai menderita luka ketika bertanding melawan mereka,” tegur Tang Hay kepada puterinya. “Ayah, Si Kong tidak berani mencari mereka untuk menuntut balas atas kematian kong-couw, maka akulah yang berani!” jawab gadis itu. “Jangan sembarangan engkau, Lan Lan. Berundinglah dahulu dengan kami kalau engkau hendak mencari mereka!” kata Cia Kui Hong dan Lan Lan hanya cemberut saja. Pada hari itu juga Tang Hay bersama anak isterinya meninggalkan Pulau Teratai Merah, meninggalkan Si Kong yang masih menjaga makam suhu-nya. Si Kong benar-benar menjaga tempat itu sampai seratus hari. Dia baru mencari makanan kalau perutnya sudah tidak sanggup menahan lapar lagi. Sesudah seratus hari barulah dia berkemas, membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan Pulau teratai Merah dengan sebuah perahu kecil. Wajahnya nampak agak kurus karena selama seratus hari itu dia kurang makan. Akan tetapi hatinya kini sudah tenang dan dapat menerima keadaan yang menimpa dirinya. Dia mulai dengan niatnya berkelana di dunia bebas untuk mencari pengalaman hidup. Tidak ada uang sekeping pun di sakunya. Yang dibawanya hanyalah beberapa potong pakaian, sebuah tongkat bambu dan perahu kasar serta dayung perahunya. *************** Kota Sui-yang merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena letaknya yang dekat dengan sungai Yang-ce-kiang. Perdagangan di kota ini berlangsung ramai dan dilakukan melalui pelabuhan di kota itu. Banyak pedagang yang datang mau pun sekedar singgah di Sui-yang sehingga kota ini mempunyai banyak rumah penginapan dan rumah makan yang besar-besar. Rumah makan Hok-lai merupakan salah satu di antara banyak rumah makan besar yang terdapat di Sui-yang. Rumah makan ini dapat menampung lebih dari seratus tamu, dan di bagian belakang rumah ini terdapat bangunan dengan loteng yang dipergunakan sebagai rumah penginapan pula. Untuk rumah makan sekaligus rumah penginapan yang sebesar itu tentu saja diperlukan tenaga pelayan yang jumlahnya cukup banyak. Siang itu rumah makan dan penginapan Hok-lai sudah nampak sibuk sekali, terutama di rumah makan. Yang makan di sini bukan saja tamu-tamu sendiri, akan tetapi banyak pula tamu dari luar yang tidak menginap di situ serta penduduk Sui-yang sendiri karena rumah makan Sui-yang terkenal dengan masakannya yang lezat. Para pelayan rumah makan itu sangat sibuk melayani para tamu yang memenuhi tempat itu. Suasana menjadi ramai bukan main. Para tamu saling bercakap sendiri, bahkan ada pula orang yang berteriak memanggil pelayan. Seorang pelayan yang bertubuh kecil dengan gesitnya melayani para tamu dan ketika dia membawa sebuah baki yang terisi beberapa macam masakan, tanpa sengaja gerakannya menyenggol pundak seorang tamu. Kuah panas memercik dari mangkok di atas bakinya dan kuah itu mengenai sepatu tamu yang ditabraknya. Tamu yang duduk berempat itu marah sekali, terlebih lagi ketika teman-teman semejanya mentertawakannya. Ketika pelayan itu kembali dari mengantarkan masakan dan lewat di dekat meja itu, tiba-tiba saja leher bajunya sudah dicengkeram oleh tamu itu. “Jahanam, kau taruh di mana matamu?! Enak saja kau menabrak orang dan menyiram sepatuku dengan kuah panas!” Pelayan itu masih ingat akan peristiwa tadi, karena itu dengan cepat dia mengangkat dua tangannya ke depan dada. “Harap kongcu mengampuni saya. Saya tidak sengaja...” “Plak-plak-plak!” Tiga kali muka pelayan itu digampar oleh pemuda itu. Gamparannya amat keras sehingga pipi pelayan itu menjadi merah membiru dan membengkak. “Ampun, kongcu...!” pelayan itu merintih sambil meraba kedua pipinya. “Hayo cepat bersihkan sepatu ini!” bentak si pemuda. Pelayan itu membungkuk kemudian menggunakan kain lapnya untuk membersihkan sepatu yang tadi terkena kuah panas. “Pergunakan bajumu itu! Hayo cepat, yang bersih!” Pelayan itu menurut karena takut dipukul lagi. Pengurus rumah makan segera datang dan dia memintakan maaf untuk pegawainya. Pemuda itu dengan sombong lalu menendang si pelayan sehingga terjengkang. Pelayan itu cepat merangkak bangun kemudian meninggalkan pemuda yang telah mereda kemarahannya itu. Sambil tertawa-tawa tiga orang temannya kembali menggodanya. Para tamu yang menjadi penduduk Sui-yang mengenal empat orang pemuda ini yang memang merupakan orang-orang yang suka mencari perkara dan suka mempergunakan kekerasan kepada orang lain. Sebab itu tidak ada orang yang berani melerai ketika terjadi pemukulan terhadap si pelayan. Pemuda-pemuda kasar itu suka main keroyokan, dan mereka juga memiliki ilmu silat yang lihai. Seorang di antara para pelayan itu ada seorang yang masih muda, bertubuh tinggi tegap dan bersikap sederhana. Pelayan ini merupakan pelayan baru. Baru seminggu dia bekerja di situ sebagai pelayan. Ketika terjadi pemukulan terhadap pelayan bertubuh kecil kurus itu, pelayan ini memandang dan sinar matanya berkilat. Akan tetapi dia masih menahan diri, apa lagi melihat bahwa pengurus rumah makan telah turun tangan memintakan maaf sehingga urusan itu dapat selesai. Pelayan baru ini adalah bukan lain adalah Si Kong! Dalam perantauannya dia mengambil keputusan untuk kembali ke dusun tempat tinggal mendiang orang tuanya. Dia ingin sekali bertemu dengan Si Kiok Hwa enci-nya yang menjadi selir hartawan Lui di dusun Ki-ceng. Dia dapat menduga bahwa kini enci-nya tentu telah menjadi janda. Ketika sepuluh tahun yang silam dia pergi meninggalkan dusunnya, enci-nya itu menikah dengan Hartawan Lui yang berusia tujuh puluh tahun. Dalam perjalanan menuju ke dusun Ki-ceng, ketika tiba di Sui-yang, Si Kong singgah dan mencari pekerjaan di kota besar ini. Dia tidak ingin berkunjung dan bertemu dengan enci-nya tanpa sekeping pun uang dalam sakunya. Dia ingin bekerja sebulan dua bulan, mengumpulkan uang gajinya dan baru dia akan mengunjungi enci-nya. Ketika melihat seorang rekannya dipukuli tamu, Si Kong merasa penasaran sekali. Akan tetapi dia segera teringat akan pesan mendiang gurunya agar tidak sembarangan mencari permusuhan dan memperlihatkan kepandaian. Dia harus bersikap sebagai seorang yang lemah dan bodoh, selalu bersikap rendah hati. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya dengan susah payah selama bertahun-tahun itu bukan untuk dipamerkan, dan juga bukan untuk mencari permusuhan. Tiba-tiba saja Si Kong melihat dua orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Karena dia sedang kosong tidak melayani tamu lain, dia segera menyongsong kedatangan kedua orang itu. Mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda, dan dari dandanan mereka dapat diketahui bahwa pemuda dan gadis ini tentulah orang-orang kang-ouw. Gadis itu membawa pedang di punggungnya, dan pada pinggang pemuda itu terselip dua buah pedang pendek. Langkah mereka tegap dan biar pun pakaian mereka cukup bersih, namun sikap mereka sederhana dan gadis itu pun bukan seorang pesolek. Akan tetapi Si Kong harus mengakui bahwa gadis itu cantik sekali. Rambutnya di gelung ke atas dan diikat dengan pita merah. Anak rambutnya melingkar-lingkar menghias dahi serta pelipisnya. Matanya bersinar tajam, hidungnya mancung dan mulutnya yang kecil mengembangkan senyuman yang membuat wajahnya nampak manis dan ramah. Pemuda itu pun seorang pemuda yang gagah. Mereka merupakan pasangan yang amat serasi. “Selamat siang, siocia (nona) dan kongcu (tuan muda)!” kata Si Kong sambil tubuhnya membungkuk hormat. “Ji-wi (kalian) hendak makan?” “Masih adakah meja kosong?” tanya pemuda itu sambil melayangkan pandang matanya di ruangan yang penuh tamu itu. “Masih, kongcu. Silakan ikut saya,” kata Si Kong yang tahu benar mana meja yang sudah kosong. Dia segera melangkah mendahului dan membawa mereka ke meja kosong yang bersebelahan dengan meja di mana empat orang pemuda berandalan tadi duduk. “Meja ini kosong, kongcu. Silakan duduk.” Si Kong menggunakan kain lapnya untuk membersihkan meja itu dari sisa-sisa percikan kuah. Pemuda dan gadis itu lalu duduk berhadapan, dan kebetulan sekali gadis itu duduk menghadap ke arah meja sebelah di mana empat orang pemuda berandalan itu duduk. “Kongcu dan siocia hendak memesan apakah?” tanya Si Kong. “Nanti dulu, apakah di sini juga menyediakan kamar tamu?” tanya pula pemuda itu. “Ahh, ada, kongcu. Memang Hok-lai ini merupakan rumah makan yang merangkap rumah penginapan juga.” “Kalau begitu siapkan dua kamar yang berdampingan untuk kami.” “Baik, kongcu.” “Untuk makan kami, sediakan nasi beserta beberapa macam sayur, juga ayam panggang. Minumannya beri air teh dan anggur yang baik.” “Baik, kongcu.” Tiba-tiba dari meja empat orang pemuda itu terdengar suara, “Aihhh, nona cantik seperti dewi!” Gadis itu mengangkat mukanya dan matanya bersinar marah. Si Kong memutar tubuhnya dan melihat empat orang pemuda berandalan itu mengedip-ngedipkan mata dengan sikap kurang ajar sekali kepada gadis itu. Pemuda itu pun mendengar ucapan ini. Dia menoleh kemudian berbisik kepada gadis itu, “Sumoi, kau duduk di sini saja,” berkata demikian dia bangkit berdiri dan bertukar tempat dengan gadis itu. Mendengar sebutan itu, tahulah Si Kong bahwa mereka berdua merupakan kakak beradik seperguruan. Dia lalu pergi memenuhi pesanan mereka dan ketika dia pergi, dia sempat mendengar pula ocehan pemuda-pemuda berandalan itu. “Dari belakang dia malah tampak lebih menarik. Lihat pinggulnya dan pinggangnya! Aduh, moleknya!” “Hemmm, mereka benar-benar keterlaluan, suka sekali mencari gara-gara,” pikir Si Kong. Akan tetapi gadis yang baru berusia tujuh belas tahun itu dan suheng-nya pura-pura tidak mendengar dan tidak mengacuhkan mereka. Pada saat Si Kong mengantar hidangan yang dipesan, dia mendengar betapa pemuda itu lebih kurang ajar lagi. Mereka bangkit berdiri dan berkata kepada Si Kong, “Hei, pelayan! Taruh pesanan itu di meja kami!” Si Kong masih bersikap sabar. “Tapi hidangan ini adalah pesanan kongcu dan nona ini.” “Tidak, nona itu akan menemani kami makan di meja ini! Bukankah begitu, manis?” Si Kong tidak peduli dan mengatur hidangan itu di atas meja kakak beradik seperguruan itu. “Kalau begitu kami berempat yang akan pindah ke mejamu, ya nona?” kata pula seorang dari mereka, dan mereka semua sudah bangkit berdiri. “Jangan jual mahal, nona. Kami adalah kongcu-kongcu yang mempunyai banyak uang di kota ini!” kata pula orang kedua dan kini mereka menghampiri meja gadis itu. Suheng gadis itu menjadi marah. Dia bangkit berdiri dan kedua tangannya menekan meja. “Sebetulnya apa maksud kalian mengganggu kami?” “Siapa yang mengganggu? Kami berempat amat suka dan menghormati sumoi-mu ini dan hendak menjamu dia untuk menghormatinya. Apakah itu mengganggu namanya? Apa bila engkau tidak suka, engkau boleh makan sendiri, akan tetapi sumoi-mu ini suka menerima penghormatan kami. Bukankah begitu, nona manis?” Suheng itu menjadi marah sekali sehingga dia menggebrak meja dengan dua tangannya. Pada saat itu Si Kong juga menekan meja itu dengan tangan kirinya. Tiba-tiba saja empat batang sumpit yang berada di atas meja itu menyambar ke arah empat orang pemuda itu dengan kecepatan seperti anak panah terlepas dari busurnya. “Aduhhh...!” “Ahhhh...!” “Aduhhh...!” Empat orang pemuda itu berteriak-teriak kesakitan karena tahu-tahu tubuh mereka terluka oleh empat batang sumpit itu. Seorang terluka pundaknya, seorang lagi terkena pahanya, yang lain terkena sumpit itu pada pangkal lengan dan seorang lagi bahkan tertusuk daun telinganya! Selain berteriak kesakitan, empat orang pemuda itu juga memandang pada sang suheng dengan mata terbelalak, lalu mereka berempat berlari keluar meninggalkan meja mereka tanpa membayar harga makanan dan minuman. Si Kong berkata kepada suheng dan sumoi itu. “Kongcu dan siocia sekarang bisa makan dengan tenang. Ahh, ke mana sumpit-sumpit tadi? Biar saya mengambil yang baru untuk ji-wi.” Ia pun tergesa-gesa mengambil dua pasang sumpit baru, kemudian menyerahkan kepada kakak beradik seperguruan itu. Pemuda itu bernama Thio Bun Can, berusia dua puluh tahun. Dia seorang pemuda putera seorang penduduk di kota Sin-keng yang tidak begitu jauh letaknya dari Sui-yang, hanya lima puluh li jauhnya. Gadis itu bernama Gu Mei Cin, berusia tujuh belas tahun, puteri Gu Kauwsu (Guru silat Gu) yang menjadi guru dari Thio Bun Can. Mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menyelidiki gangguan penjahat terhadap kiriman barang-barang berharga yang dikawal oleh paman gadis itu yang menjadi piauwsu (pengawal barang kiriman). Satu peti barang kawalan dapat dirampas penjahat dan dalam perkelahian membela barang-barang kiriman yang menjadi tanggung-jawabnya, paman itu akhirnya menderita luka-luka. Mendengar ini Mei Cin membela pamannya, lalu mengajak suheng-nya untuk melakukan penyelidikan. Peristiwa itulah yang membawa mereka datang ke kota Sui-yang, karena perampokan itu terjadi dalam perjalanan antara Sin-keng dan Sui-yang. Akan tetapi, sampai ke kota Sui-yang mereka belum mendapatkan keterangan dan mereka bermaksud untuk melakukan penyelidikan ke kota Sin-keng. Setelah empat orang pemuda berandalan itu pergi, Thio Bun Can dan Gu Mei Cin saling pandang dengan penuh keheranan. Saking terkejut dan heran mereka, dua orang kakak beradik seperguruan ini sampai tak sempat memperhatikan ketika Si Kong mengambilkan dua pasang sumpit yang baru untuk mereka. Sesudah Si Kong meninggalkan mereka, barulah Bun Can berbisik kepada sumoi-nya. “Sumoi, apakah yang telah terjadi?” Mei Cin juga memandang bingung. “Aku sendiri juga tidak mengerti, Suheng. Akan tetapi yang jelas, ada seorang sakti yang telah membantu kita.” “Akan tetapi bagaimana caranya? Bagaimana sumpit-sumpit itu dapat beterbangan dari atas meja kita?” bisik lagi pemuda itu. cerita silat online karya kho ping hoo Mei Cin menggerakkan kedua pundaknya. “Kalau ada orang menggunakan sumpit untuk menyambit sebagai senjata rahasia, hal itu tidak mengherankan. Tetapi tanpa menyentuh dapat membuat sumpit-sumpit itu beterbangan dan dengan tepat mengenai empat orang berandalan tadi, sungguh seperti ilmu sihir saja.” “Hemmm, pendapatmu itu masuk akal juga. Mungkin ada orang sakti ahli sihir yang sudah membantu kita, sumoi. Akan tetapi sejak sekarang kita harus lebih hati-hati karena siapa tahu orang-orang berandalan itu masih tidak mau menerima kekalahan mereka.” Sesudah selesai makan, kedua orang itu memanggil Si Kong yang tadi melayani mereka, lalu membayar harga makanan minuman kepada kasir dan minta diantar oleh Si Kong ke kamar mereka yang sudah dipesan sebelumnya. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan di loteng. Sesudah mendapatkan kamar masing-masing, Bun Can berkata kepada Mei Cin, “Sumoi, kurasa sebaiknya kalau siang ini kita tinggal saja di penginapan dan tidak keluar. Hal ini untuk mencegah terjadinya keributan kalau-kalau para berandalan tadi hendak mencegat kita.” “Hemmm. Kalau mereka berani menghadang, aku pun tidak takut, Suheng!” kata Mei Cin dengan penasaran. “Mereka itu adalah orang-orang yang patut dihajar keras!” “Apakah engkau sudah lupa akan tugas utama kita, Sumoi? Tugas kita adalah menyelidiki gerombolan yang sudah mengganggu Gu Piauwsu (Pengawal Gu), pamanmu itu. Jangan sampai tugas kita terganggu oleh segala macam keributan dengan berandalan itu. Malam nanti saja kita keluar melakukan penyelidikan.” “Ke mana kita akan melakukan penyelidikan?” “Ke mana saja. Tetapi sebaiknya ke tempat-tempat yang ramai seperti tempat perjudian atau kalau perlu ke tempat pelesiran yang biasa didatangi para penjahat. Siapa tahu kalau kita akan mendapat kabar dari tempat-tempat itu.” “Baik, Suheng.” Secara diam-diam percakapan antara mereka terdengar oleh Si Kong. Memang pemuda ini masih mengkhawatirkan kedua orang itu. Siapa tahu pemuda-pemuda berandalan itu akan mendatangkan bala bantuan dan akan tetap mengganggu si gadis. Mendengar percakapan itu, diam-diam Si Kong merasa heran. Urusan apa yang sedang mereka selidiki? Dia telah mengambil keputusan untuk mengamati mereka dan membantu mereka kalau-kalau mereka terancam bahaya. Malam itu Si Kong tidak bertugas. Setelah semenjak pagi sampai sore bekerja di bagian rumah makan, malam itu Si Kong bebas tugas. Hal ini kebetulan sekali baginya karena dia sudah mengambil keputusan untuk mengamati kakak beradik seperguruan itu. Karena itu, ketika kedua orang itu meninggalkan rumah penginapan dengan pakaian ringkas, dia pun segera membayangi mereka dari jauh. Dia melihat kakak beradik itu berkunjung ke tempat-tempat pelesir dan bahkan memasuki rumah perjudian. Tetapi biar pun sudah banyak tempat yang mereka kunjungi, tidak terjadi sesuatu atas diri mereka. Akhirnya kakak beradik itu kembali ke rumah penginapan dan selagi Si Kong membayangi dari jauh, dia melihat ada sesosok bayangan berkelebat. Agaknya ada orang lain yang juga membayangi dua orang itu dan orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Ketika kakak beradik itu tiba di rumah penginapan, bayangan itu pun langsung menghilang. Akan tetapi Si Kong merasa penasaran. Tidak mungkin orang yang membayangi mereka tadi hanya ingin membayangi saja seperti yang dia lakukan. Pasti ada kemauannya dan mungkin kemauan itu akan dilaksanakan malam ini. Karena itu Si Kong tetap waspada. Dia tidak memasuki kamarnya, melainkan bersembunyi di luar sambil mengintai ke arah kamar kakak beradik di loteng itu. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, sesudah kamar itu lama memadamkan lilin, sesosok bayangan berkelebat dengan gesitnya menuju ke kamar loteng itu. Dan bayangan itu berhenti di jendela kamar gadis itu! Dengan hati-hati sekali Si Kong mendekati. Dengan menggunakan ilmu Liok-te Hui-teng tubuhnya meloncat ke atas tanpa sedikit pun suara dan tahu-tahu dia telah berada di atas genteng kamar gadis itu. Dia membuka genteng dan menyambit ke dalam kamar dengan pecahan kecil genteng. Usahanya berhasil. Mei Cin sadar dari tidurnya dan gadis ini cepat-cepat bangkit berdiri karena pada saat itu dia melihat ada asap ditiupkan masuk dari jendela kamarnya. Mei Cin maklum bahwa ada orang jahat di luar kamarnya. Dia segera menyambar pedangnya yang diletakkan di atas meja dekat buntalan pakaiannya, lantas sambil menahan napas agar tidak menyedot asap yang mulai memasuki kamar dari jendela itu, dia pun membuka pintu dan meloncat keluar. Orang berpakaian serba hitam itu ternyata menutupi wajahnya dengan kain hitam pula. Dia terkejut melihat gadis itu tahu-tahu telah muncul di luar kamar dan Mei Cin juga tidak membuang waktu lagi. “Jahanam!” bentaknya dan dia sudah menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi si topeng hitam itu ternyata memiliki gerakan yang gesit. Dia mengelak, lalu menggulingkan tubuhnya dan setelah bangkit berdiri, dia telah memegang sebatang golok yang tadinya diselipkan di punggungnya. “Traaang...!” Penjahat itu kini menangkis ketika Mei Cin menusukkan pedangnya lagi dan begitu golok bertemu pedang, Mei Cin terkejut sekali karena pedangnya langsung terpental. Ternyata orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali. “Suheng, bangun! Ada penjahat!” Mei Cin berseru sambil dia terus menyerang. Terjadi perkelahian yang sengit, akan tetapi segera gadis itu terdesak ketika penjahat itu balas menyerang. Ternyata bukan saja tenaganya besar, tetapi ilmu goloknya juga ganas sekali. Thio Bun Can terbangun oleh teriakan sumoi-nya dan suara gaduh perkelahian. Dia keluar sambil membawa kedua pedang pendeknya. Begitu melihat sumoi-nya sedang bertanding dengan orang yang memakai topeng kain hitam dan gerakan goloknya lihai sekali, tanpa banyak cakap lagi dia pun terjun ke dalam pertempuran dan ikut mengeroyok. Akan tetapi si topeng hitam itu ternyata tidak terdesak oleh pengeroyokan itu, justru dua orang kakak beradik itu yang dalam keadaan terdesak! Tiba-tiba penjahat itu berteriak kaget dan goloknya terlepas dari tangannya. Ada sebuah benda menyambar lantas mengenai siku kanannya sehingga membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Setelah mengeluarkan teriakan ini penjahat itu lalu melompat jauh ke atas genteng rumah di sebelah. Kakak beradik itu tidak berani mengejar karena selain ginkang orang itu sangat lihai, juga mereka maklum bahwa ilmu kepandaian orang itu masih berada di atas tingkat mereka. Beberapa kamar yang berdekatan mulai membuka pintu dan para tamu yang bermalam di situ lalu bertanya-tanya. Bun Can dan Mei Cin segera menyimpan senjata mereka, lalu Bun Can berkata kepada para tamu dan beberapa pelayan yang datang berlarian, “Ada pencuri hendak memasuki kamar, akan tetapi kami telah berhasil mengusirnya. Dia melarikan diri dan meninggalkan golok itu.” Setelah semua orang bubaran dan mengunci pintu kamar mereka masing-masing dengan hati merasa khawatir kalau-kalau mereka juga akan didatangi pencuri, kakak beradik itu lalu bercakap-cakap. “Heran sekali, mengapa dia melepaskan golok dan melarikan diri?” kata Bun Can. Mei Cin mengerutkan alisnya. “Tidak salah lagi. Tentu ada orang yang secara diam-diam membantu kita, seperti yang terjadi siang tadi. Tidak mungkin penjahat itu tiba-tiba saja melepaskan senjata lantas melarikan diri tanpa sebab. Bahkan tadi pun ketika aku sedang tidur, ada yang membangunkan aku dari tidur sehingga aku dapat melihat usaha penjahat itu meniupkan asap ke dalam kamarku. Mari kita periksa, Suheng.” Mereka memasuki kamar gadis itu dan setelah memeriksa dan mencari, akhirnya mereka dapat menemukan pecahan genteng yang berada di atas tempat tidur. Mei Cin mengambil pecahan genteng itu dan berkata, “Agaknya pecahan genteng inilah yang telah membangunkan aku. Tentu disambitkan dan mengenai kakiku karena aku merasa seperti ada yang menepuk kakiku. Pasti ini adalah pekerjaan orang yang selalu membantu kita itu, Suheng.” “Siapa pun orangnya, jelas dia bermaksud baik dan kita harus berterima kasih kepadanya, Sumoi. Penjahat tadi lihai sekali. Kalau dia datang kembali sambil membawa kawannya, tentu kita akan celaka.” “Akan tetapi, mengapa dia hendak menyerang kita?” “Ya, hal itu juga aneh sekali. Ada dua kemungkinan, Sumoi. Pertama, dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang siang tadi melihatmu kemudian menjadi tertarik untuk mengganggumu, atau mungkin juga ada hubungannya dengan penyelidikan yang kita lakukan. Lebih baik kita pulang dan melaporkannya kepada suhu, minta pendapatnya. Bila penjahat tadi ada hubungannya dengan penyelidikan kita, berarti dia adalah seorang di antara penjahat-penjahat yang bersarang di kota ini. Sebaiknya kalau suhu sendiri yang memutuskan tindakan apa yang selanjutnya akan diambil.” “Kurasa engkau benar, Suheng. Masih untung kita memiliki seorang tuan penolong yang tidak mau dikenal, kalau tidak tentu kita sudah celaka.” “Betapa pun juga, malam ini sampai besok pagi kita harus waspada.” Dua orang kakak beradik itu lalu berpisah dan masuk ke kamar masing-masing. Si Kong yakin bahwa penjahat tadi tidak akan berani kembali setelah dihajarnya dengan pecahan genteng sehingga goloknya terpental dan dia melarikan diri. Dia merasa puas sudah dapat membantu kakak beradik itu. Pada esok harinya, pagi-pagi sekali ketika Si Kong berjalan melewati kedua pintu kamar itu, dia dipanggil oleh Thio Bun Can. “Sobat, tolong beri tahu pengurus rumah penginapan bahwa pagi ini juga kami akan berangkat. Kami hendak membayar sewa kamar.” Si Kong memandang kepada gadis yang sudah siap menggendong buntalan pakaian dan pedangnya. Dia merasa kagum. Walau pun semalam sudah terjadi ancaman bahaya dan agaknya gadis itu tidak tidur lagi, akan tetapi gadis itu tetap kelihatan segar dan cantik, bahkan sikapnya demikian tenang seakan tidak pernah terjadi sesuatu yang mengancam keselamatannya. Dia lalu melayani kakak beradik itu. Sesudah membayar uang sewa kamar, keduanya lalu berangkat dan pergi meninggalkan kota Sui-yang. Setelah pemuda dan gadis itu pergi, Si Kong membersihkan bekas kamar mereka dan dia merasa kesepian seolah kehilangan! Dia merasa heran sendiri mengapa dia begitu kagum dan tertarik kepada gadis itu yang sama sekali tidak di kenalnya. Si Kong memang amat rajin. Pagi-pagi sekali dia bekerja di bagian rumah penginapan dan setelah rumah makan dibuka, dia lalu membantu rumah makan sampai malam. Tak heran kalau majikan pemilik rumah penginapan dan rumah makan Hok-lai merasa senang sekali dengan pekerjaan pemuda yang rajin itu. Maka, dalam waktu beberapa hari saja Si Kong sudah diangkatnya menjadi mandor atau pengawas para pekerja yang lain! Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan iri dalam hati banyak pelayan yang sudah bekerja lebih lama di tempat itu. Ketika siang itu dia bekerja di rumah makan, terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duganya. Rumah penginapan itu mendadak kehilangan beberapa lukisan dan pot bunga yang berharga mahal. Tadinya benda-benda itu dipasang di ruang tamu, akan tetapi tiba-tiba lenyap. Ketika majikan rumah penginapan itu tidak melihat benda-benda hiasan itu, dia menjadi marah dan memanggil para pelayan rumah penginapan. Semua pelayan menjadi ribut dan mencari-cari, dan akhirnya orang menemukan benda-benda berharga itu di dalam kamar Si Kong tersembunyi di bawah kolong tempat tidurnya! Tentu saja majikan itu menjadi marah. Si Kong dipanggil dan ditanyai. Meski pun Si Kong tidak mengaku mencuri dan mengatakan tidak tahu bagaimana benda-benda itu tahu-tahu bisa berada di kolong tempat tidurnya, akan tetapi karena bukti sudah menyatakan bahwa barang-barang yang hilang berada di kolong tempat tidurnya, maka majikan itu tidak mau mendengarkan semua bantahannya. Pada hari itu juga Si Kong diusir sesudah upahnya selama beberapa pekan dibayar. Si Kong maklum bahwa dia difitnah. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk menyelidiki hal itu. Memang dia pun tidak ingin bekerja selamanya di tempat itu. Setelah dikeluarkan dari pekerjaannya, Si Kong lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan rumah penginapan itu, bahkan meninggalkan kota Sui-yang, tiga hari sesudah Bun Can dan Mei Cin meninggalkan kota itu. *************** Sesudah meninggalkan kota Sui-yang, Gu Mei Cin bersama suheng-nya, Thio Bun Can, langsung saja pulang ke kota Sin-keng yang jaraknya kurang lebih lima puluh li dari kota Sui-yang. Di dalam perjalanan itu mereka tidak menemukan halangan sesuatu dan tibalah mereka di kota Sin-keng. Ayah Gu Mei Cin yang bernama Gu Kiat atau dikenal dengan sebutan Gu Kauwsu (Guru Silat Gu) adalah seorang guru silat yang terkenal di kota itu. Muridnya cukup banyak dan putera-putera para pejabat dan hartawan di kota itu banyak yang menjadi muridnya. Di antara semua muridnya, yang paling dekat dengan Mei Cin, juga yang menjadi murid teladan adalah Thio Bun Can. Diam-diam pemuda ini jatuh hati kepada sumoi-nya dan Gu Kauwsu juga menyetujui niat pemuda ini karena Bun Can memang seorang murid yang baik. Itulah sebabnya ketika Gu Kauwsu mendengar akan mala petaka yang menimpa adiknya, Gu Piauwsu yang dilukai perampok dan barangnya ada yang terampas, dia mengijinkan puterinya pergi bersama Thio Bun Can untuk melakukan penyelidikan. Dia menganggap bahwa kepandaian silat puterinya sudah memadai dan juga Thio Bun Can dapat menjadi pengawal yang bisa dipercaya. Pada saat puteri dan muridnya datang, Gu Kauwsu segera menyongsong mereka dengan penuh harapan dan bicara dengan mereka di dalam kamarnya. “Bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kuharap kalian mendapat hasil yang baik,” kata Gu Kauwsu. “Wah, penyelidikan kami belum menghasilkan sesuatu, bahkan sebaliknya kami hampir mendapat celaka di tangan orang jahat, Ayah,” kata Mei Cin. “Apa yang terjadi?” “Suheng, kau ceritakan kepada ayah,” Mei Cin minta suheng-nya untuk bercerita. Bun Can lalu menceritakan tentang pertemuan mereka dengan pemuda-pemuda berandal di rumah makan Hok-lai dan tentang bantuan seorang sakti yang tak mau memperlihatkan diri. “Apa?! Sumpit-sumpit di atas meja beterbangan sendiri menyerang empat orang pemuda yang kurang ajar itu? Seperti sihir saja!” kata Gu Kauwsu. “Itulah, Suhu, teecu juga menganggap itu sihir. Tampaknya ada seorang sakti yang sudah menggunakan sihirnya untuk membantu kami. Sesudah orang-orang berandalan itu terusir pergi, kami tinggal di rumah penginapan sampai malam. Pada malam harinya kami berdua baru berkunjung ke tempat-tempat yang sekiranya didatangi para penjahat untuk mencari keterangan. Kami mendatangi rumah-rumah judi, akan tetapi usaha kami sia-sia belaka. Kami tidak mendengar apa-apa yang penting tentang perampokan itu.” “Tetapi pada malam hari itu terjadi hal yang sangat aneh, Ayah. Aku hampir saja celaka dalam peristiwa itu,” kata Mei Cin. “Apa yang terjadi?” tanya Gu Kauwsu sambil memandang puterinya dengan alis berkerut. “Lewat tengah malam selagi aku tidur pulas, tiba-tiba aku dibangunkan oleh sesuatu yang rasanya seperti ada yang menepuk kakiku. Ketika aku sadar dan terbangun, aku melihat ada asap yang memasuki kamarku melalui jendela. Aku menjadi curiga, maka aku cepat keluar dari pintu dan melihat bahwa di luar jendelaku ada seorang yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula sedang meniupkan asap ke kamar itu. Tentu saja aku menjadi marah, lantas aku menyerangnya. Akan tetapi orang itu tangguh sekali dengan permainan goloknya. Bahkan ketika suheng terbangun dan membantuku, kami berdua tidak mampu mendesaknya, malah terancam oleh gerakan goloknya. Mendadak terjadi pula keanehan. Entah kenapa penjahat itu berteriak, goloknya terlepas dari tangannya lalu dia melompat dan dengan cepat sekali melarikan diri.” “Hemm, agaknya ada orang yang membantu kalian secara diam-diam!” kata Gu Kauwsu. “Agaknya memang begitu, Ayah. Karena, setelah kami memeriksa di dalam kamarku, aku berhasil menemukan sepotong pecahan genteng yang agaknya digunakan orang itu untuk membangunkan aku ketika penjahat itu melepaskan asap ke dalam kamar. Asap itu tentu asap pembius!” “Akan tetapi mengapa engkau yang didatangi penjahat itu?” tanya Gu Kauwsu. “Kami berpendapat bahwa ada dua kemungkinan untuk itu, Suhu. Pertama, mungkin saja penjahat itu adalah seorang jai-hwa-cat yang mempunyai niat buruk terhadap sumoi. Dan kemungkinan kedua, perbuatannya itu ada hubungannya dengan penyelidikan kami, dan kalau begitu, tentu dia ada hubungannya dengan perampokan yang kami selidiki itu.” “Maka kami memutuskan untuk pulang dan melaporkannya kepadamu, Ayah. Penjahat itu lihai sekali, kalau dia kembali bersama teman-temannya, tentu kami akan celaka.” Gu Kauwsu meraba jenggotnya dan mengangguk-angguk. “Tidak salah lagi! Penjahat itu tentu ada hubungan dengan orang yang sudah merampok pamanmu! Menurut pamanmu, orang yang mengalahkan dan melukai pamanmu juga seorang yang pandai menggunakan golok, orangnya tinggi besar dan bermuka hitam seperti yang kalian telah dengar sendiri. Bagaimana bentuk tubuh orang yang bertopeng itu?” “Tubuhnya juga tinggi besar, Ayah. Akan tetapi sayangnya muka dia tertutup topeng dan penerangan di luar kamar itu hanya kecil dan remang-remang sehingga aku tidak dapat melihat apakah separuh mukanya bagian atas yang tidak tertutup itu hitam atau tidak.” “Aku sendiri yang akan pergi melakukan penyelidikan ke kota Sui-yang!” kata Gu Kauwsu dengan nada suara penuh penasaran. Mendadak dari luar jendela nampak sebuah benda menyambar cepat ke arah muka Gu Kauwsu. Guru silat itu cepat menggerakkan tangannya menangkap, dan ternyata benda itu adalah sebuah pisau yang tajam dan runcing, yang menusuk sepotong kertas. “Jahanam!” Gu Kauwsu segera melompat keluar dari jendela, diikuti puteri dan muridnya, akan tetapi diluar tidak terdapat siapa pun. Pelempar pisau itu telah pergi jauh. Terpaksa mereka kembali ke dalam dan Gu Kauwsu membaca tulisan di atas kertas itu. ‘Kalau hendak mencari perampas barang kiriman, pergilah ke Puncak Bukit Ayam.’ “Jahanam!” kembali Gu Kauwsu memaki. “Dia telah menantangku!” Mei Cin dan Bun Can juga ikut membaca tulisan pada kertas itu dan mereka berdua juga menjadi marah. “Sekarang sudah jelas, Ayah. Pelempar pisau tadi tentu juga penjahat bertopeng itu, dan mungkin dialah yang telah merampas barang kiriman yang dikawal paman. Dia pula yang melukai paman dengan goloknya.” “Tidak salah lagi. Tentu dia! Dan dia menantangku untuk datang ke Bukit Ayam? Bagus!” “Apa yang hendak Ayah lakukan sekarang?” tanya Mei Cin. “Apa lagi? Tentu saja pergi ke Bukit Ayam. Bukit itu dekat saja dari sini, maka sebelum gelap aku sudah akan tiba di puncaknya.” “Ayah tidak boleh pergi sendiri. Aku ikut untuk membantu Ayah.” “Benar, Suhu. Teecu juga ikut untuk membantu. Bila perlu teecu akan memanggil murid-murid suhu yang lain dan kita beramai datang ke sana.” Gu Kauwsu menggeleng kepala. “Jangan kaitkan para murid lain. Lagi pula kalau banyak orang yang datang ke sana, tentu penjahat itu tak akan muncul. Kita bertiga saja ke sana, akan tetapi kalian harus mempersiapkan diri baik-baik dan berlaku hati-hati.” Gu Kauwsu bersama puterinya dan muridnya cepat berkemas, disaksikan oleh isterinya. Sesudah mempersiapkan diri, membawa senjata pedang masing-masing dan Gu Kauwsu tak lupa membawa sekantung senjata rahasia paku, mereka lalu meninggalkan rumah dan keluar dari kota Sin-keng melalui pintu gapura sebelah selatan. Begitu keluar dari pintu gerbang, sudah nampak bukit yang di maksudkan. Dari jauh bukit itu memang kelihatan seperti kepala seekor ayam, karena itu maka bukit itu disebut Bukit Ayam. Dengan cepat, sambil menggunakan ilmu berlari cepat akan tetapi dengan sikap hati-hati, tiga orang ini mendaki Bukit Ayam dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit itu. Matahari sudah mulai condong ke barat namun masih terang. Puncak bukit itu datar dan berupa padang rumput terbuka, dikelilingi hutan yang berada di lereng bukit. Akan tetapi di situ sunyi saja, tidak nampak bayangan seorang pun. Gu Kauwsu segera mengerahkan khikang-nya lalu berteriak. Suaranya bergema di empat penjuru. “Heii, perampok laknat. Keluarlah kalau engkau memang laki-laki!” Segera terdengar suara tawa bergema di seluruh puncak dan tak lama kemudian nampak bayangan dua orang berlari naik ke pundak, datang dari hutan sebelah kiri. Gu Kauwsu memberi isyarat kepada puteri dan muridnya agar waspada. Mei Cin dan Bun Can segera mencabut pedang masing-masing dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Karena dua bayangan orang itu mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan tiga orang itu. Gu Kauwsu dan dua muda-mudi itu memandang penuh perhatian. Dua orang itu berdiri sambil tertawa-tawa dengan lagak sombong. Yang seorang adalah lelaki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam garang amat menyeramkan. Orang kedua adalah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang saja dan dia memegang sebatang tongkat berkepala naga. Kakek inilah yang tertawa tadi, dan sekarang pun mulutnya masih menyeringai dengan sikap memandang rendah. “Apakah kalian berdua yang mengirim surat mengundang kami ke puncak Bukit Ayam ini?” Gu Kauwsu bertanya dengan suara tegas. Yang muda dan bermuka hitam itu mejawab. “Benar, akulah yang mengirim surat itu!” “Apakah ini berarti bahwa engkau yang telah merampas barang kiriman yang dikawal oleh Gi Piauwsu dan yang telah melukainya?” “Ha-ha-ha! Benar, akulah yang melakukannya!” jawab laki-laki bermuka hitam itu. “Sobat, aku melihat bahwa engkau bukan seorang perampok biasa, bukan pula pemimpin gerombolan perampok. Tapi mengapa engkau mengganggu pekerjaan Gu-piauwsu? Aku nasehatkan engkau untuk mengembalikan barang kiriman itu kepadaku atau terpaksa aku harus menggunakan kekerasan,” kata Gu Kauwsu dengan suara bernada mengancam. Si muka hitam itu menoleh kepada kakek bertongkat kepala naga. “Suhu, bagaimana pendapat suhu?” “Serahkan saja guru silat ini kepadaku dan kau hadapi dua orang muda itu!” kata kakek itu dengan sikap tenang sekali dan dengan sekali lompatan kecil dia sudah menghadapi Gu Kauwsu, lantas berkata, “Kalau engkau masih sayang nyawamu, lebih baik engkau tidak mencampuri urusan ini. Barang sudah terampas, bagaimana mungkin dikembalikan?” Gu Kauwsu menjadi marah. “Bun Can, Mei Cin, berhati-hatilah menghadapi si muka hitam itu!” Setelah berkata demikian dia mencabut pedangnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya sudah mengambil segenggam paku yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. “Orang tua sesat, engkau malah membela muridmu yang melakukan perampokan! Lekas katakan siapa namamu, jangan sampai mati tanpa nama!” bentak Gu Kauwsu. “Ha-ha-ha, engkau guru silat kampungan, tidak mengenal siapa aku? Aku adalah majikan Pulau Tembaga, dikenal dunia kangouw sebagai Tung-hai Liong-ong!” Mendengar nama ini, mata Gu Kauwsu terbelalak karena dia terkejut bukan main. Nama yang disebut kakek itu adalah nama seorang datuk besar di sepanjang pantai timur! “Tung-hai Liong-ong? Dia adalah seorang datuk besar di pantai timur! Tidak mungkin dia begitu rendah untuk membela muridnya yang menjadi perampok!” “Ha-ha-ha-ha, kami memungut sumbangan dari mereka yang berharta, bukan merampok. Engkau guru silat kampungan tidak perlu tahu. Nah, pergilah!” tongkat kepala naga itu lalu menyambar dahsyat. Gu Kauwsu yang sudah pernah mendengar mengenai kelihaian datuk itu cepat melompat ke belakang untuk menghindar. Biar pun dia tahu lawannya amat pandai, untuk membela adiknya dia tidak merasa takut. “Makanlah senjata rahasiaku ini!” teriaknya. Tangan kirinya bergerak dan belasan batang paku telah menyambar ke arah tubuh kakek itu. Tapi kakek itu hanya mengibaskan tangannya sehingga paku-paku itu, baik yang terkena kebutan tangan mau pun yang mengenai tubuh kakek itu, semuanya langsung runtuh ke bawah. Agaknya kakek itu kebal dan kulitnya tidak dapat tertembus paku! Gu Kauwsu tidak merasa gentar dan segera menyerang maju dengan pedangnya. Hebat juga gerakan guru silat itu sehingga Tung-hai Liong-ong tidak berani menyambut pedang itu dengan tangannya, melainkan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis. “Trang-tranggg...!” Pedang itu hampir saja terlepas dari tangan Gu Kauwsu. Akan tetapi guru silat itu tidak mundur bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat. Sementara itu si tinggi besar bermuka hitam sudah menghampiri Bun Can dan Mei Cin. Dia menyeringai sambil memandang kepada Mei Cin. “Ha-ha-ha, di kota Sui-yang engkau terlepas dari tanganku tetapi sekarang engkau datang menyerahkan diri kepadaku. Bagus sekali, nona!” Mendengar ini tahulah Mei Cin bahwa orang ini yang mendatangi kamarnya di malam hari itu. Ia menjadi marah sekali dan mengelebatkan pedangnya. “Jahanam busuk, perampok rendah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Tanpa banyak cakap lagi Mei Cin sudah menerjang dengan pedangnya. Si muka hitam itu bukan lain adalah Ouwyang Kwi, murid dari Tung-hai Ling-ong. Seperti yang telah kita ketahui, beberapa tahun yang lalu dia pernah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang dalam usahanya mengumpulkan uang dan kekuasaan. Namun usahanya itu gagal dengan munculnya Si Kong bersama gurunya Yok-sian Lo-kai. Setelah melarikan diri bersama suhu-nya yang sama-sama terluka dalam saat bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, Ouwyang Kwi mempunyai cara lain untuk mengumpulkan banyak uang yang agaknya didukung oleh gurunya, yaitu dengan menjadi perampok tunggal. Dia bukan sembarang perampok, melainkan perampok yang bergerak seorang diri akan tetapi hanya merampok barang-barang yang berharga mahal saja. Baru-baru ini dia berhasil merampok barang berharga yang dikawal oleh Gu Piauwsu, dan kebetulan sekali gurunya datang berkunjung. Maka, setelah dia tahu bahwa dia dicari dan diselidiki oleh Gu Kauwsu, dia lantas minta bantuan gurunya untuk menghadapi guru silat yang lihai itu. Begitu Mei Cin menyerang, Ouwyang Kwi juga mencabut goloknya lantas menangkis. Mei Cin menyerang lebih dahsyat dan dua orang ini sudah bertanding lagi. Meihat ini, maklum bahwa lawan sumoi-nya amat lihai, Thio Bun Can segera menerjang maju dan membantu sumoi-nya. Dengan demikian pertarungan pada malam hari itu kini terulang lagi, Ouwyang Kwi dikeroyok oleh kakak beradik seperguruan itu. Akan tetapi, begitu Ouwyang Kwi memainkan golok besarnya yang berat, kakak beradik itu segera terdesak. Bagaimana pun juga kedua orang muda itu kalah tenaga dan kalah pengalaman bertanding sehingga mereka sibuk menangkis dan melindungi diri saja tanpa mampu membalas serangan Ouwyang Kwi.....

jilid 6


SEMENTARA itu pertandingan antara Gu Kauwsu dan Tung-hai Ling-ong juga berjalan tidak seimbang sama sekali. Tingkat ilmu kepandaian datuk itu masih jauh lebih tinggi dari pada tingkat Gu Kauwsu sehingga setelah lewat tiga puluh jurus, Gu Kauwsu sudah terdesak hebat oleh tongkat berkepala naga itu dan dia hanya mampu menangkis sambil mundur. Sambil mundur Gu Kauwsu tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan dia memikirkan keselamatan puterinya. Mau tak mau perhatiannya menjadi terpecah, sebagian digunakan untuk memperhatikan keadaan puterinya. Dia menjadi gelisah sekali melihat puteri dan muridnya juga terdesak hebat oleh Ouwyang Kwi. “Mei Cin, Bun Can, lekas lari...!” Dia berteriak. Akan tetapi perhatiannya yang terpecah itu mendatangkan bencana. Tangan kiri Tung-hai Ling-ong menyambar dan tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka tepat menghantam dadanya. “Dukkk...!” Tubuh Gu Kauwsu terjengkang dan robohlah dia untuk tidak bangkit kembali. Dia sudah terkena pukulan Tok-ciang datuk itu, pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pukulan tongkatnya. Gu Kauwsu roboh dengan tanda telapak jari tangan hitam di dadanya. Tok-ciang (Tangan Beracun) adalah ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali. Gu Kauwsu tepat terpukul dadanya hingga jantungnya terguncang oleh hawa beracun dan dia pun tewas seketika. Dalam perlawanannya terhadap Ouwyang Kwi, Mei Cin yang dibantu suheng-nya sempat pula memperhatikan ayahnya. Agaknya Ouwyang Kwi tidak terlampau mendesaknya, tapi lebih mendesak Thio Bun Can. Maka ketika ayahnya roboh Mei Cin dapat melihatnya dan dia pun menjerit. “Ayah...!” Tanpa mempedulikan suheng-nya lagi Mei Cin melompat ke dekat ayahnya dan berlutut. Ketika melihat ayahnya sudah tewas, dia pun amat berduka dan marah. Dengan mengangkat pedangnya dia menyerang Tung-hai Ling-ong. “Kau... kau... membunuh ayahku...!” bentaknya sambil menangis dan menyerang. “Suhu, jangan bunuh gadis itu. Aku sayang kepadanya!” Ouwyang Kwi berseru kepada gurunya dan dia pun memperhebat serangannya kepada Thio Bun Can. Kasihan pemuda ini. Tadi mengeroyok bersama sumoi-nya saja dia tidak mampu menang, apa lagi sekarang harus menghadapi lawan seorang diri. Pedangnya berkali-kali terpental dan pada suatu kesempatan selagi pemuda itu terhuyung karena pertemuan senjata itu, dengan sebuah gerakan cepat Ouwyang Kwi mengelebatkan goloknya dan robohlah Thio Bun Can bermandikan darahnya sendiri. Lehernya nyaris putus oleh babatan golok. Ouwyang Kwi tidak peduli lagi dengan korbannya dan dia segera meloncat untuk melihat keadaan Mei Cin. Alangkah girangnya melihat Mei Cin sudah menggeletak roboh akibat totokan jari tangan gurunya. “Mari kita pergi, Suhu!” kata Ouwyang Kwi sambil memondong tubuh Mei Cin yang sudah tidak dapat bergerak itu. Mereka lari ke kiri memasuki hutan. Tak lama kemudian nampak sesosok bayangan orang mendaki bukit itu. Orang ini bukan lain adalah Si Kong. Kebetulan saja dia lewat di lereng bukit itu dan melihat keadaan bukit itu, hatinya tertarik untuk mendaki puncaknya. Sesudah tiba di lereng paling atas, dia mendengar gerakan orang berkelahi di puncak. Si Kong mempercepat larinya dan tibalah dia di puncak. Akan tetapi di puncak itu telah sepi tidak terdengar apa-apa lagi. Hatinya terkejut bukan main melihat dua tubuh menggeletak di tempat itu dan dia pun cepat-cepat menghampiri. Pertama dia menghampiri tubuh Gu Kauwsu dan setelah menyentuh nadi serta dadanya, dia pun menghela napas. Orang itu tidak dapat ditolong lagi, pikirnya. Sudah tewas! Dia lalu menghampiri tubuh Thio Bun Can dan melihat pemuda ini masih dapat menggerakkan tangannya. Dan ketika memeriksa, Si Kong terkejut sekali sesudah mengenalnya sebagai pemuda yang bermalam di rumah penginapan pada beberapa malam yang lalu. Pemuda ini bermalam bersama sumoi-nya! Dan di mana sumoi-nya sekarang? Dia cepat menotok jalan darah untuk menghentikan darah yang mengalir keluar dari luka di leher. Dia pun melihat adanya sebatang pedang lain di situ dan dia mengkhawatirkan kalau-kalau sumoi pemuda itu juga telah menjadi korban pembunuhan. Dia mengguncang pundak pemuda itu dan mengurut tengah keningnya. Pemuda itu kini dapat membuka dan mengedip-ngedipkan matanya yang sudah layu. “Di mana sumoi-mu? Di mana? Tunjukkan!” kata Si Kong. Dalam keadaan sekarat Bun Can masih dapat mengerti dan dia mengangkat tangannya, menuding ke arah kiri lalu terkulai dan mati. Isyarat itu sudah cukup bagi Si Kong. Dia cepat melompat ke arah kiri dan lari memasuki hutan di lereng itu. Dia harus bergerak cepat selagi hutan itu masih belum gelap. Dengan penuh kewaspadaan dia menyusup-nyusup di hutan itu, dan akhirnya usahanya berhasil ketika mendengar isak tangis seorang wanita! Dia bergerak cepat sekali ke arah suara itu dan melihat gadis yang dicarinya itu rebah di atas rumput, tidak mampu bergerak dan hanya dapat menangis! Dan didekatnya berlutut seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Melihat laki-laki bermuka hitam itu, teringatlah Si Kong akan peristiwa empat tahun yang lalu. Dia segera mengenal Ouwyang Kwi sebagai orang yang telah merampas kedudukan ketua Hwa I Kaipang! Bahkan di waktu itu, dalam usia sekitar lima belas atau enam belas tahun, dia pernah bertanding melawan Ouwyang Kwi ini. Dia tahu betapa jahatnya Ouwyang Kwi dan gurunya yang merupakan datuk timur berjuluk Tung-hai Liong-ong itu, maka dia pun tahu bahwa gadis itu tentu terancam bahaya besar. Dia pun mengenal gadis yang rebah telentang sambil menangis itu sebagai gadis yang pernah bermalam di rumah penginapan Hok-lai. “Nona manis, jangan menangis. Percuma saja engkau menangis dan tidak ada gunanya engkau menolak kehendakku. Ditolak atau pun tidak engkau tetap akan menjadi milikku! Maka lebih baik engkau menyerah dengan suka rela dari pada aku harus memaksamu.” Setelah berkata demikian, sambil menyeringai seperti seekor serigala yang menghampiri korbannya dia mendekatkan dirinya kepada gadis itu, kemudian perlahan-lahan tangan kanannya meraih ke arah dada. “Wuuuutt...! Plakk!” Ouwyang Kwi terkejut dan dia mengaduh. Tangannya terasa nyeri dan ketika dilihatnya, ternyata tangannya telah lecet berdarah akibat disambar sepotong batu yang runcing. Dia meloncat bangkit berdiri sambil memutar tubuh dan melihat seorang pemuda telah berdiri di depannya dengan mata yang mencorong seperti mata seekor naga. Tahulah Ouwyang Kwi bahwa tentu pemuda itu yang tadi menyambitnya dengan batu ke tangannya, maka tentu saja dia menjadi marah bukan main. “Keparat, engkaukah yang menyerangku dengan batu tadi?!” bentaknya. Si Kong mengerutkan alis, diam-diam dia pun marah sekali melihat perbuatan Ouwyang Kwi tadi. “Ouwyang Kwi, ternyata engkau masih juga belum jera dan kembali melakukan perbuatan jahat dan terkutuk!” Ouwyang Kwi terkejut sekali. Pemuda itu sudah mengenal namanya! “Siapakah engkau yang begitu lancang berani mencampuri urusanku?” “Ouwyang Kwi, lupakah engkau padaku? Empat lima tahun yang lalu, engkau dan gurumu Tung-hai Liong-ong pernah bertemu dengan aku dan guruku Yok-sian Lo-kai di Souw-ciu.” Ouwyang Kwi terkejut dan sekarang dia pun teringat kepada pemuda itu. Lima tahun yang lalu pemuda itu masih merupakan seorang pemuda remaja akan tetapi sudah sedemikian lihainya hingga dapat menandinginya. Bahkan gurunya, Tung-hai Liong-ong terluka dalam parah sekali oleh Yok-sian Lo-kai dan gurunya harus mengobati dirinya selama tiga tahun untuk menyembuhkan luka itu! Akan tetapi dia tidak takut. Selama lima tahun ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan juga suhu-nya berada tidak jauh dari tempat itu. Pemuda ini hanya datang seorang diri dan dia dapat mengandalkan gurunya kalau sampai dia kalah dari pemuda itu. Cepat dia mencabut goloknya lantas menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong. “Ternyata engkau bocah setan itu dan lagi-lagi engkau sudah berani mencampuri urusan pribadiku. Akan tetapi sekali ini jangan harap engkau mampu meloloskan diri dari golokku ini!” Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Ouwyang Kwi langsung meloncat dan menerjang dengan golok besarnya. Si Kong sudah siap siaga. Dia cepat menjatuhkan buntalan pakaiannya ke atas tanah dan menggunakan pikulan bambunya untuk senjata tongkat. “Trangg…! Tranggg...!” Dua tangkisan itu membuat golok terpental dan hampir terlepas dari tangan Ouwyang Kwi. Hal ini membuat si muka hitam terkejut bukan kepalang, maka tahulah dia bahwa pemuda itu juga sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh! “Suhu...! Tolonggg...!” Ouwyang Kwi berteriak tanpa malu lagi ketika dia menerjang maju kembali dengan serangan yang lebih dahsyat. Si Kong teringat betapa Ouwyang Kwi sudah membunuh dua orang yang mayatnya masih menggeletak di luar hutan di puncak itu, dan juga teringat bahwa setelah lewat empat lima tahun orang itu tidak berubah menjadi baik bahkan menjadi semakin jahat. Maka dia pun mempercepat gerakan tongkatnya. Gerakan tongkat Si Kong sekarang jauh sekali bedanya kalau dibandingkan gerakannya empat tahun yang lampau. Dia telah digembleng Kwa Siucai, kemudian bahkan mendapat bimbingan dari Pendekar Sadis Ceng Lojin sehingga dibandingkan empat tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sekarang telah maju jauh sekali. Begitu dia mempercepat gerakan tongkatnya, tongkat itu dapat menyusup di antara gulungan sinar golok, bergetar menotok pergelangan tangan lalu meluncur ke arah tenggorokan Ouwyang Kwi. Ouwyang Kwi berteriak ketika lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan goloknya terlepas dari pegangan, tapi teriakannya langsung terhenti ketika ujung tongkat bambu itu menotok tenggorokannya. Dia pun roboh dan tidak mampu bergerak kembali karena totokan pada jalan darah dekat tenggorokannya itu telah menewaskannya! “Wuuuttttt...! Wiiirrrrrr...!” Si Kong mengelak dengan cepat ketika tongkat kepala naga itu menyambar ke arah kepalanya dengan amat kuat dan dahsyatnya. “Jahanam, berani engkau membunuh muridku?!” teriak Tung-hai Liong-ong ketika melihat muridnya menggeletak dan tewas. Dia terbelalak memandang kepada gadis yang masih telentang, lalu kepada Si Kong yang masih memegang tongkatnya dengan sikap tenang. “Siapa engkau?!” “Tung-hai Liong-ong, engkau bersama muridmu Ouwyang Kwi ternyata masih juga belum menghentikan perbuatan jahat kalian. Agaknya engkau belum jera ketika lima tahun yang lalu guruku Yok-sian Lo-kai memukulmu!” Tung-hai Liong-ong teringat. “Ah, jadi engkau murid Yok-sian Lo-kai? Bagus, memang aku tengah mencarinya untuk membalas kekalahanku dulu dan sekarang engkau malah berani membunuh muridku? Engkau harus mati di tanganku!” Kembali Tung-hai Liong-ong sudah menyerang dengan tongkatnya yang berkepala naga. Tongkat itu amat berat dan ketika menyambar ada hawa pukulan dahsyat sekali menerpa muka Si Kong. Akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak merasa gentar. Dengan sangat ringan tubuhnya sudah mengelak dari serangan beruntun sambung menyambung sampai lima kali itu. Tung-hai Liong-ong merasa penasaran bukan kepalang. Lima kali berturut-turut tongkatnya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya, namun dengan mudahnya pemuda itu mengelak sehingga pukulannya tidak ada yang mengenai sasaran. Sebelum dia melanjutkan serangannya, kini pemuda itu sudah membalas dan ujung tongkat bambu itu bergetar menjadi belasan banyaknya yang menyerang ke arah tiga belas jalan darah terpenting di tubuhnya! “Haiiiitttttt...!” Tung-hai Liong-ong berseru nyaring sambil memutar tongkatnya, menangkis tongkat bambu yang ujungnya tergetar menjadi banyak itu. “Tuk-tuk-tunggg...!” Tiga kali tongkat bambu itu bertemu dengan tongkat kepala naga dan Tung-hai Liong-ong terkejut bukan main karena getaran tongkat bambu itu menjalar melalui tongkatnya hingga menggetarkan tangannya yang memegang tongkat itu. Sebelum hilang kagetnya, tongkat bambu itu sudah menotok ke arah pergelangan tangannya. Totokan ini datangnya cepat bukan main. Tung-hai Liong-ong cepat menarik tangan kanan yang memegang tongkat dan mengganti dengan tangan kirinya untuk membebaskan tangan kanannya dari totokan. Tetapi betapa kagetnya ketika ujung tongkat itu seperti ular saja sudah merayap naik dan kini menotok pergelangan tangan kirinya! Dan terpaksa datuk itu melepaskan tongkat di tangan kirinya, akan tetapi dia menghujamkan tongkat itu ke arah Si Kong sebelum melepaskannya. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap tongkat itu lalu dia menancapkan tongkat kepala naga itu ke atas tanah. Lawannya sekarang telah kehilangan senjata ampuhnya. “Keparat, kau kira dapat terlepas dari tanganku?!” bentak Tung-hai Liong-ong dan kini dia menerjang dengan kedua tangan kosong. Akan tetapi tangannya bahkan lebih berbahaya dari tongkatnya karena kedua tangan itu mengandung ilmu Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dapat membuat tubuh lawan menjadi hangus kalau terkena pukulannya. Si Kong melepaskan tongkat bambunya dan menghadapi serangan lawan dengan tangan kosong pula. Lawannya adalah seorang datuk yang ternama, oleh karena itu tidak mudah membunuhnya begitu saja. Melihat tangan yang telah berubah menghitam itu menyambar ke arah kepalanya dengan cengkeraman mengerikan, Si Kong cepat mengelak dan ketika tangan kiri kakek itu menghantam ke arah dada, dia menangkis. Tangan kiri lawan itu terpental, akan tetapi dengan cepat telah mencengkeram kembali ke arah pundaknya. Si Kong segera mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika melihat cengkeraman ke arah pundaknya itu. Tangan kiri Tung-hai Liong-ong yang penuh hawa beracun bertemu dengan pundak, dan kakek itu berteriak kaget. Tenaganya amblas tersedot oleh pundak itu, akan tetapi hanya sebentar. Karena terkejut dia menjadi lengah dan kesempatan itu digunakan oleh Si Kong untuk melancarkan pukulan Hok-liong Sin-cang. Pukulan tangan kanan Si Kong itu sangat cepat dan mengandung getaran bergelombang, tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu. Tung-hai Liong-ong coba menangkis dengan tangan kanannya. “Dessss...!” Walau pun dia telah berhasil menangkis pukulan itu, akan tetapi pukulan itu mengandung tenaga yang begitu kuat sehingga tubuh kakek itu terpental dan terjengkang ke belakang! Tung-hai Liong-ong terkejut bukan kepalang. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian pemuda itu sehebat ini. Dia tahu bahwa kini tingkat kepandaian pemuda itu bahkan sudah melewati tinggi kepandaian Yok-sian Lo-kai! Maklum bahwa kalau dilanjutkan dia tak akan menang, dia lalu bangkit berdiri dan berkata, “Lain kali akan kubalas kekalahan ini!” Sesudah berkata demikian, cepat dia menyambar mayat muridnya, mencabut tongkat naganya, kemudian pergilah dia dengan langkah agak terhuyung. Ternyata kakek itu telah menderita luka dalam. Si Kong menghela napas panjang dan tidak melakukan pengejaran. Dia hendak memberi kesempatan lagi kepada datuk itu untuk mengubah jalan hidupnya, kembali ke jalan benar dan berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau lain kali dia bertemu lagi dengan datuk itu dan melihat bahwa kakek itu masih saja melakukan kejahatan, maka dia akan membasminya. Kini perhatian Si Kong beralih kepada gadis itu. Cepat dia meloncat mendekati dan sekali tangannya bergerak, gadis itu telah dapat bergerak. Gadis itu bangkit berdiri memandang kepada Si Kong dengan kedua mata masih basah. “Terima kasih atas pertolongan In-kong (tuan penolong),” katanya dengan perasaan haru, membayangkan bahwa jika tidak ada orang ini, entah bagaimana jadinya dengan dirinya. Akan tetapi ketika memandang wajah Si Kong, Mei Cin teringat dan dia terbelalak. “Kau... kau... pelayan itu...!” Si Kong membungkuk dan berkata, “Sekarang Nona telah terlepas dari mara bahaya.” “Kau... kalau begitu, ... penolong di rumah makan itu, dan di kamar penginapan itu, tentu engkau pula orangnya!” “Sudahlah, Nona. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi.” Mei Cin teringat kepada ayahnya serta suheng-nya, maka tiba-tiba dia menangis. “Ayah... suheng... mereka telah terbunuh. In-kong, tolonglah aku, jangan kepalang menolongku... bantulah aku mengurus jenazah ayah dan suheng-ku yang mati di sana.” Dia menunjuk ke depan lalu berlari keluar dari hutan itu, mendaki puncak. Tadinya Si Kong hendak meninggalkan gadis itu, akan tetapi ketika dia teringat akan dua jenazah itu, dia pun merasa kasihan dan segera mengikuti gadis itu mendaki ke puncak. Begitu di puncak Mei Cin segera menubruk mayat ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Si Kong menghela napas dan duduk di atas batu, membiarkan gadis itu menangis karena dalam kedukaan yang mendalam hanya tangis itu yang akan dapat meringankan himpitan pada hatinya. Dia teringat akan orang tuanya sendiri yang sudah tiada. Hidup begini banyak penderitaan, pikirnya. Akan tetapi bagaimana pun juga, setiap orang harus sanggup memikul derita hidupnya sendiri, dengan hati yang kuat karena memang sudah ditakdirkan hidup mengalami semua itu. Setelah tangis gadis itu agak mereda, dia pun turun dari atas batu dan menghampiri Mei Cin. “Nona, sudah cukup, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Sekarang yang lebih penting adalah mengurus jenazah ayah dan suheng-mu. Akan dibawa ke mana kedua jenazah ini?’ Gadis itu pun bangkit berdiri. Mukanya basah oleh air mata dan agak pucat. “Saya akan membawa mereka pulang. Kami tinggal di kota Sin-keng di bawah bukit ini.” Si Kong memandang kepada dua jenazah itu. Bagaimana mengangkut mereka? Dia tentu kuat membawa mereka, memanggul pada kedua pundaknya atau menjinjingnya dengan kedua tangannya, akan tetapi hal itu amat tidak pantas dan kasihan kepada dua jenazah itu kalau hanya dipanggul begitu saja. “Aku akan mencari bambu dulu, Nona. Kau tunggu sebentar di sini,” katanya dan dia pun berkelebat lenyap dari depan gadis itu, memasuki hutan dan tak lama kemudian dia sudah membawa beberapa batang bambu. Diikatnya bambu-bambu itu menjadi sebuah usungan besar dan dia merebahkan dua jenazah itu berjajar di atas usungan. “Kita terpaksa mengusung dua jenazah ini dan membawanya pulang, Nona.” “Terima kasih, in-kong. Tidak tahu harus bagaimana aku membalas budimu.” “Sudahlah, jangan bicarakan tentang budi. Mari kita gotong bersama usungan ini.” Mereka berdua lalu menggotong usungan itu. Mei Cin berjalan di depan sebagai penunjuk jalan sambil memegang ujung kedua bambu usungan sedangkan Si Kong mengangkat di bagian belakang. Akan tetapi secara diam-diam pemuda ini mengerahkan tenaganya agar usungan itu tak terasa terlalu berat bagi Mei Cin. Demikianlah, bersama dengan turunnya matahari ke barat, Mei Cin yang berjalan sambil menangis perlahan itu bersama Si Kong mengusung dua jenazah itu ke kota Sin-keng. Setelah hari menjadi gelap barulah mereka memasuki kota. Banyak orang terkejut melihat pemuda dan gadis itu mengusung mayat Gu Kauwsu dan Thi Bun Can. Para murid Gu Kauwsu segera berdatangan lantas mereka membantu mengusung jenazah itu ke rumah keluarga mereka. Nyonya Gu menyambut dengan jerit tangis memilukan. Para tetangga segera berdatangan melayat dan sebentar saja sudah tersiar berita di seluruh kota bahwa Gu Kauwsu telah tewas terbunuh oleh penjahat. Setelah ratap tangis yang memenuhi rumah mendiang Gu Kauwsu itu agak reda, Mei Cin lalu menceritakan kepada ibunya tentang kematian ayah dan suheng-nya. “Kalau saja di situ tidak muncul dewa penolong... ehh, di mana in-kong?” tanyanya sambil mencari-cari dengan pandangan matanya di antara para tamu yang datang melayat. Akan tetapi dara itu tidak melihat bayangan Si Kong yang diam-diam telah pergi karena merasa bahwa tugasnya menolong gadis itu telah selesai. “In-kong siapa?” tanya ibunya. “Pemuda yang tadi bersama aku menggotong jenazah ayah dan suheng. Dia tadi masih berdiri di sini!” Namun tidak ada seorang pun melihat pemuda itu dan Mei Cin lalu menceritakan semua pengalamannya. “Sayang dia telah pergi sehingga aku tidak sempat menghaturkan terima kasih,” kata ibu Mei Cin. Semua orang yang berada di sana juga menyayangkan hal itu karena mendengar cerita Mei Cin, para murid guru silat Gu itu juga menjadi kagum sekali. Sedikit pun mereka tidak pernah mengira bahwa pemuda yang berpakaian sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar sakti seperti diceritakan Mei Cin. Mei Cin sendiri juga merasa kehilangan. Dara ini merasa kagum sekali kepada Si Kong. Ia tertarik bahwa pendekar sakti itu sedemikian rendah hati sehingga mau bekerja sebagai pelayan rumah penginapan dan rumah makan. Ia merasa sayang sekali belum berkenalan dengan pemuda itu, bahkan namanya pun tidak diketahuinya. *************** Kota Ci-bun merupakan sebuah kota yang ramai. Kota ini tidak begitu jauh dari kota raja, akan tetapi di kota itu terdapat banyak pengemis. Hal ini tidak mengherankan karena pada waktu itu negara sedang dilanda musim kering berkepanjangan sehingga semua barang sukar didapatkan dan mahal harganya, termasuk bahan pangan yang sangat dibutuhkan manusia. Rakyat kecil menderita kelaparan sehingga banyak di antara mereka yang terpaksa harus menjadi pengemis. Keadaan kekurangan bahan pangan ini juga mendorong banyak orang yang tak kuat batinnya untuk melakukan kejahatan, seperti mencuri, merampok dan lain-lain. Si Kong melihat benar kesengsaraan rakyat kecil ini, terutama yang hidup dipedusunan karena dia melakukan perantauan melalui dusun-dusun dan kota-kota. Dia melihat betapa kehidupan manusia lebih banyak menderita dari pada bahagia. Dia melihat pula kepalsuan manusia. Mereka yang berada di atas dan memiliki kedudukan serta wewenang, seolah tidak peduli akan kesengsaraan rakyat itu. Juga para hartawan menutup pintu gapura rumah mereka rapat-rapat, seolah takut kalau-kalau harta benda mereka akan diambil orang, baik secara sembunyi atau terang-terangan. Mereka menggunakan anjing-anjing besar untuk menjaga rumah dan mengumpulkan banyak tukang pukul untuk melindungi harta mereka. Si Kong melihat semua ini dan batinnya bergolak. Mengapa begitu banyak ketidak-adilan terjadi di dunia ini? Mengapa para pejabat tidak berusaha untuk menolong rakyatnya yang menderita? Mengapa para hartawan segan mengulurkan tangan, mengurangi sedikit harta mereka untuk menolong mereka yang kelaparan? Dia pun melihat betapa banyaknya jembel-jembel baru berkeliaran di jalan-jalan besar di kota Ci-bun ketika dia memasuki kota itu sambil memanggul buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambu. Melihat keadaan mereka, Si Kong merasa terharu, tetapi dia juga merasa bersyukur atas kemurahan Tuhan kepadanya. Nasibnya sendiri masih terhitung baik kalau dibandingkan dengan mereka yang berkeliaran di jalan-jalan itu! Benarlah kata orang bijaksana jaman dulu bahwa kalau kita sedang ditimpa kesengsaraan dalam kehidupan ini, sebaiknya kita menundukkan kepala dan memandang ke bawah. Di sana masih terdapat banyak sekali orang-orang yang keadaannya lebih payah dari pada keadaan kita! Si Kong merasa heran ketika melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan. Mereka adalah para pengemis dan orang-orang miskin yang bisa dia ketahui dari pakaian mereka yang lusuh dan muka mereka yang amat kurus. Mereka membawa tempat untuk membawa sesuatu, ada yang membawa kertas, kain-kain yang lusuh, panci dan tempat-tempat lain. Melihat ini Si Kong menjadi tertarik. Tentu di sana ada terjadi sesuatu yang menarik semua orang itu berkunjung ke sana. Ketika tiba di ujung timur kota itu, tahulah dia apa yang menarik semua orang itu pergi ke situ. Kiranya di depan gedung seorang hartawan terdapat beberapa orang pelayan sedang membagi-bagi beras dari karung. Beberapa karung yang masih penuh sudah ditumpuk di situ dan orang-orang yang ingin mendapatkan pembagian beras itu berdiri antri berderet-deret. Mereka terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang pria atau wanita, kakek dan nenek, juga ada anak-anak kecil ikut antri. Si Kong berdiri bengong dan kagum. Kenyataan yang sekarang dilihatnya itu membantah bahwa semua hartawan terlampau pelit dan tidak mau menolong mereka yang kelaparan. Buktinya hartawan pemilik gedung itu sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkannya! Karena terharu dan tertarik, tanpa disadarinya dia terdesak banyak orang itu sehingga dia melangkah maju dan masuk ke dalam antrian. Dia baru menyadari setelah melihat bahwa di belakangnya ternyata telah banyak orang yang antri. Ia pun berdiri dalam antrian untuk mendapatkan beras! Biarlah, katanya pada diri sendiri. Dia memang ingin melihat orang yang membagi-bagikan beras itu dan tiba-tiba hatinya menjadi gembira. Ingin dia melihat siapa hartawan itu dan menyampaikan terima kasihnya. Seorang hartawan yang juga dermawan dan budiman! Mendadak terjadi keributan dan antrian itu menjadi kacau ketika muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam yang melangkah maju ke deretan paling depan. Tentu saja mereka yang berdiri di depan merasa penasaran dan tidak mengijinkan si tinggi besar menyerobot antrian. “Harus antri di belakang!” kata orang terdepan. “Kami juga antri sejak pagi.” Akan tetapi orang tinggi besar berpakaian serba hitam itu menjadi marah, lantas dua kali tangannya bergerak memukul. Dua orang terdepan terpelanting roboh akibat pukulan itu. Semua orang menjadi gentar dan si tinggi besar itu tanpa mempedulikan siapa pun sudah berdiri paling depan. Akan tetapi dia tidak membawa tempat untuk menerima pemberian beras. “Mana tempat untuk menerima beras?” tanya petugas yang membagi-bagi beras, dengan alis berkerut serta pandang mata marah karena dia pun tadi melihat betapa si tinggi besar itu memukul dua orang untuk menyerobot antrian. “Tempat beras apa? Aku minta sekarung dan akan kupanggul sendiri. Berikan sekarung beras!” kata si tinggi besar dengan suara galak. Tentu saja para petugas yang terdiri dari empat orang itu tak mau menyetujui permintaan ini. Sekarung beras! Beras sebanyak itu kalau dibagi-bagi cukup untuk dua puluh orang! “Tak bisa kami memberikan sekarung beras kepada seorang saja. Kami harus membagi-bagi secara rata, lima kati untuk setiap orang, tidak kurang dan tidak lebih!” “Akan tetapi aku menghendaki sekarung!” kata pula si tinggi besar kukuh. “Majikan kalian The Wan-gwe (Hartawan The) mempunyai beras bergudang-gudang. Apa artinya kalau aku hanya minta sekarung?’ Si tinggi besar itu lalu melangkah maju menghampiri tempat penumpukan beras dalam karung. Dengan tangan kirinya dia mengangkat sekarung beras yang beratnya seratus kati itu! “Heiiiii...! Kembalikan beras itu!” teriak empat orang petugas itu sambil menghampiri ketika melihat si tinggi besar hendak melangkah pergi. Namun empat kali tangan kanan orang itu menampar dan empat orang petugas itu segera berpelantingan! Setelah merobohkan empat orang petugas, dengan lagak sombong si baju hitam sengaja memamerkan tenaganya. Ia melemparkan sekarung beras ke atas kemudian memainkan benda yang cukup berat itu seperti sebuah bola saja. Dia pun menyambut kembali karung beras itu dengan tangan kirinya, lalu memandang ke arah semua orang yang sedang antri dan kini menjadi ketakutan itu. “Hayo, siapa lagi yang hendak melarangku mengambil beras ini? Majulah untuk menerima hajaranku!” Para pekerja itu sudah melapor ke dalam dan kini mucul Hartawan The dari pintu depan. Dia adalah seorang pria berusia enam puluh tahun dan dari sikapnya yang lemah lembut, wajahnya yang penuh senyum ramah dan pandang matanya yang lembut, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang yang baik hati. Melihat lagak si baju hitam itu, dengan lembut dia berkata kepada para pembantunya, “Biarkan dia pergi membawa sekarung beras itu.” Si baju hitam mendengar ucapan itu dan dia pun menoleh. “Ha-ha, kalian dengar sendiri itu? Hartawan The tidak keberatan aku membawa sekarung beras ini, bahkan setiap saat kalau aku membutuhkan tentu akan boleh datang untuk mengambil beberapa karung lagi!” Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa si baju hitam itu melangkah pergi dari situ. Si Kong tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu sudah bertindak dan bersikap keterlaluan, dan orang yang suka memaksakan kehendak sendiri seperti itu merupakan bahaya bagi umum. Dia melangkah keluar dari antrian dan menghadang si baju hitam. “Perlahan dulu, sobat. Engkau lupa bahwa satu karung beras itu disediakan untuk orang banyak, bukan untuk memenuhi keserakahanmu. Hayo cepat kembalikan sekarung beras itu pada tempatnya. Kalau membutuhkan beras, engkau harus berdiri di belakang antrian untuk mendapatkan lima kati beras!” cerita silat online karya kho ping hoo Si baju hitam itu membelalakkan matanya, seolah-olah tidak percaya bahwa ada seorang yang masih sangat muda berani mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya. Agaknya pemuda ini sudah bosan hidup! Dengan mata melotot dia lantas membentak, “Apa?! Kau ingin aku mengembalikan beras ini? Nah, sambutlah!” Dia lalu melontarkan sekarung beras yang berat itu kepada Si Kong dengan pengerahan tenaga. Sekarung beras itu segera meluncur ke arah Si Kong, dan seandainya bukan Si Kong yang menerimanya, tentu akan roboh terjengkang tertimpa beras sekarung! Akan tetapi dengan mudah Si Kong menerima beras itu, dan sekali tangannya bergerak, sekarung beras itu sudah melayang kemudian jatuh di atas tumpukan beras, kembali ke tempatnya semula. “Jahanam keparat kau! Mampuslah!” si baju hitam berteriak sambil menerjang ke arah Si Kong, menubruknya seperti seekor harimau menerkam kambing. Dengan tenang Si Kong menggeser kakinya ke samping dan begitu tubuh tinggi besar itu lewat, dia menggerakkan kakinya ke depan sehingga tanpa dapat dihindarkan lagi, si baju hitam itu terperosok ke depan dan jatuh menelungkup! “Ngekkk…!” Terdengar suara ketika dia terbanting. Semua orang yang sedang antri beras tersenyum gembira melihat betapa si baju hitam itu dirobohkan pemuda yang berpakaian sederhana ini. Akan tetapi si baju hitam cepat merangkak bangun lantas meloncat berdiri. Hidungnya berdarah dan dia kelihatan marah bukan main. “Setan! Berani kau melawanku?” Kembali dia menyerang namun sekali ini dia tidak menyerang secara sembarangan saja, melainkan menggunakan ilmu silat. Tangan kanannya melayang ke arah kepala Si Kong, tangan kirinya segera menyusul menusuk ke arah perut pemuda itu dengan jari-jari tangan terbuka. “Dukk! Dukk!” Kedua tangan itu tertangkis oleh Si Kong. Akan tetapi si baju hitam itu memang tidak tahu diri. Meski pun tangkisan tangan pemuda itu membuat kedua lengannya terasa panas dan nyeri sekali, dia tidak menjadi jera dan kini kaki kanannya menendang dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Kaki itu menyambar ke arah perut Si Kong dan merupakan serangan yang amat berbahaya. Tetapi dengan tenang Si Kong menanti sampai kaki itu dekat dengan perutnya, kemudian tiba-tiba saja dia menarik dirinya ke belakang sambil melangkahkan kaki. Pada saat kaki kanan si baju hitam itu menyambar lewat, secepat kilat Si Kong menggunakan tangan kiri menangkap tumit kaki itu lantas mendorongnya ke atas lalu ke depan. Tubuh si baju hitam itu terlempar dan kembali terbanting, akan tetapi sekali ini dia terbanting terlentang. “Ngekkk...!” Si baju hitam meringis kesakitan. Tulang belakangnya seperti patah-patah rasanya ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah. Sekali ini para penonton tertawa dengan hati senang. Si Kong menghampiri si baju hitam yang kini sudah bangkit duduk dengan muka meringis. “Masih belum jera dan ingin melanjutkan perkelahian? Silakan bangkit berdiri, aku sudah siap!” Si baju hitam yang bagian belakang tubuhnya masih terasa nyeri itu cepat bangkit berdiri, lantas memandang dengan mata melotot kepada Si Kong dan berkata, “Kau tunggu saja pembalasanku!’ Setelah berkata demikian dia pun pergi dengan terhuyung-huyung sambil kedua tangannya menekan pinggulnya. Hartawan The yang menyaksikan semua itu, menghampiri Si Kong dan berkata, “Orang muda, terima kasih atas bantuanmu mengusir orang jahat itu. Akan tetapi, bagaimana jika dia kembali bersama kawan-kawannya?” “Harap Loya (tuan besar) tidak khawatir. Kalau diperbolehkan, saya ingin membantu Loya dalam pembagian beras kepada rakyat kecil yang miskin ini.” “Engkau hendak bekerja membantu kami? Tentu saja boleh, malah kebetulan sekali. Kami mengangkat engkau menjadi pengawas dan pengatur pembagian beras yang setiap hari kami lakukan dari pagi sampai sore.” “Terima kasih banyak, Loya.” “Siapakah namamu, anak muda?” “Nama saya Si Kong, Loya.” Hartawan itu lalu berkata kepada empat orang pembantunya yang tadi dirobohkan si baju hitam, “Mulai sekarang Si Kong ini menjadi pengawas dan pengatur pekerjaan kalian.” Empat orang petugas itu menyambut dengan gembira karena mereka merasa ada yang melindungi kalau-kalau si perusuh tadi kembali membawa kawan-kawannya. Hartawan The lalu masuk ke dalam rumah kembali dan Si Kong segera mengatur antrian itu supaya jangan menjadi kacau. Empat orang petugas itu senang sekali karena meski pun diangkat menjadi pengawas dan pengatur, ternyata Si Kong juga ikut membantu mereka membagi beras, bahkan mengangkat beras dalam karung yang belum dibuka. Sementara itu Hartawan The memasuki rumahnya dan bersyukur sekali bahwa peristiwa kerusuhan itu telah berlalu, akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau para perusuh datang lagi. Dia kembali ke ruangan tamu di mana tadi dia bersama isterinya bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Ia tadi tengah bercakap-cakap di situ ketika dilapori oleh pembantunya mengenai keributan yang terjadi diluar. Gadis itu bernama Tan Kiok Nio, datang dari kota Sia-lin. Ibunya adalah adik Hartawan The Kun. Begitu datang dan disambut Hartawan The beserta isterinya, Kiok Nio menangis sedih di dalam rangkulan isteri The-wan-gwe. Dengan heran dan khawatir Hartawan The Kun dan isterinya bertanya mengapa gadis itu menangis. Setelah tangisnya reda, Kiok Nio lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya. Ayah Kiok Nio bernama Tan Tiong Bu, seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Keluarga Tan tinggal di kota Sia-lin, sebelah selatan kota raja. Tan Tiong Bu yang biasa disebut Tan-taihiap mempunyai sebuah rumah besar dan dia pun memiliki sawah ladang yang luas sehingga kehidupan keluarganya cukup mampu meski pun tidak dapat dibilang kaya raya. Ketika muda Tan Tiong Bu pernah menjadi murid di biara Siauw-lim-pai, kemudian pernah pula menjadi murid Bu-tong-pai. Dia terus memperdalam ilmu-ilmunya sehingga akhirnya dia berhasil menggabungkan semua ilmu itu dan merangkai ilmu pedang yang hebat. Ilmu pedang ini hanya dinamakan ilmu pedang keluarga Tan. Di waktu mudanya dia malang melintang di dunia kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh sesat dan sebagai pendekar dia selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Sesudah dia menikah dengan seorang gadis yang menjadi adik Hartawan The dan mempunyai seorang anak perempuan, Tiong Bu mulai mengurangi petualangannya. Akan tetapi namanya telah tersohor dan dia disegani orang-orang kang-ouw. Kemudian muncul berita angin bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangan Tan-taihiap ini. Sejak lama pedang itu sudah menjadi perebutan di antara orang-orang kang-ouw dan sudah terjadi banyak perkelahian dan pembunuhan untuk memperebutkannya. Akhir-akhir ini juga tersiar berita yang amat mengagetkan, yaitu kematian beberapa tokoh kang-ouw yang diketahui mencoba untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Mereka mati dalam keadaan mengerikan, dengan kepala putus terlepas dari lehernya. Padahal yang tewas itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan, baik dari golongan bersih mau pun dari golongan sesat. Maka peristiwa itu amat menggemparkan dunia persilatan. Banyak orang menduga bahwa Tan Tiong Bu yang menjadi pelaku pembunuhan itu karena ada pula berita bahwa pedang Pek-lui-kiam berada di tangannya. Tan Tiong Bu sendiri tidak mengacuhkan berita itu. Dia tak merasa membunuh. Ada pun tentang pedang Pek-lui-kiam memang berada padanya, sebagai pemilik yang sah. Siang itu hawa udara amat panasnya. Musim kering yang berkepanjangan mendatangkan hawa yang panas. Terlalu lama bumi dipanggang sinar matahari, tanpa pernah mendapat siraman hujan. Karena merasa panas Tan Tiong Bu dan isterinya duduk di beranda depan yang terbuka agar mendapatkan angin. Puteri mereka sedang tidak berada di rumah. Memang gadis itu sudah biasa pergi keluar rumah tapi orang tuanya tak merasa khawatir. Sebagai anak tunggal, meski pun dia seorang wanita, akan tetapi dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat dari ayahnya, bahkan telah mahir memainkan ilmu pedang keluarga Tan. Karena itu kepergian Kiok Nio dari rumah tidak pernah dikhawatirkan oleh orang tuanya. Tiba-tiba dari pintu pagar luar masuklah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tan Tiong Bu mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian kepada orang yang kini melangkah tenang memasuki halaman depan itu. Dia seorang kakek yang menggelung rambutnya ke atas dan mengikat rambut itu dengan pita merah! Dan pakaiannya seperti pakaian pertapa atau pendeta, dengan jubah longgar berlengan lebar. Akan tetapi yang terasa aneh, jubah itu berwarna merah! Di punggungnya tergantung sebatang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang gagangnya terbuat dari pada baja. Melihat pakaian serba merah itu Tan Tiong Bu terkejut. Biar pun belum pernah bertemu, akan tetapi dia sudah mendengar akan adanya seorang datuk di barat yang berjuluk Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Menurut keterangan yang pernah diperolehnya, Ang I Sianjin adalah seorang datuk yang berilmu tinggi, akan tetapi menggunakan ilmunya di jalan yang sesat dan suka memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Mengingat keadaan kakek itu, tentu saja Tan Tiong Bu merasa tidak senang kedatangan datuk sesat itu. Akan tetapi sebagai tuan rumah mau tak mau dia tetap harus menyambut kedatangan tamu. Maka Tan Tiong Bu bangkit berdiri lantas menyambut ke depan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata, “Selamat datang, sobat. Engkau siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?’ Kakek tinggi kurus itu tersenyum, senyumnya mengandung ejekan. Dia tertawa terkekeh sebelum menjawab, “Heh-heh-heh! Apakah aku berhadapan dengan pendekar besar Tan Tiong Bu?” “Benar sekali. Kalau tidak salah, yang sedang datang berkunjung ini adalah Ang I Sianjin, benarkah?” “Heh-heh-heh-heh! Ternyata matamu tajam sekali. Sudah lama aku mendengar mengenai kehebatan ilmu silat keluarga Tan.” “Lalu apa maksud kunjungan ini, Sianjin?” “Aku ingin bertanding denganmu!” “Aihh, Sianjin. Mengapa kita harus bertanding kalau di antara kita tidak ada urusan apa pun?” “Hemm, jadi engkau tidak berani menerima tantanganku?” “Tak ada alasan bagiku untuk bertanding denganmu, Sianjin. Mari silakan duduk dan kita membicarakan hal lain saja sebagai sahabat. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.” “Heh-heh-heh-heh! Bagus sekali kalau begitu. Engkau mau menerimaku sebagai sahabat, tentu tidak keberatan kalau memberi pinjam Pek-lui-kiam kepadaku!” Tan Tiong Bu terkejut sekali. Memang ada berita angin bahwa para tokoh dunia persilatan menginginkan pedang pusakanya, yaitu Pek-lui-kiam. Karena ada berita itu, sekarang dia menyembunyikan pedang pusaka itu di dalam kamarnya dan tidak pernah membawanya keluar rumah. Kini hal yang dikhawatirkan mulai terjadi, yaitu para tokoh kang-ouw tentu akan mendatanginya dan berusaha merebut Pek-lui-kiam. “Pedang Pek-lui-kiam tidak ada padaku,” kata Tan Tiong Bu tegas. “Hemm, kalau begitu engkau tidak ingin menjadi sahabatku! Cabutlah pedangmu, hari ini aku ingin sekali mencoba kepandaian keluarga Tan. Pilihlah salah satu. Serahkan Pek-lui-kiam kepadaku dan aku segera pergi, atau engkau harus melawan pedangku!” Tan Tiong Bu adalah seorang pendekar besar. Ketika ditantang dan didesak seperti itu, tentu saja dia menjadi marah. Kalau dia berbohong mengatakan bahwa Pek-lui-kiam tidak ada padanya, hal itu dilakukan untuk menghindarkan perkelahian dan permusuhan, bukan karena takut. Dia menoleh kepada isterinya, “Ambilkan pedangku yang tergantung di dinding kamar itu.” Isterinya masuk ke dalam tanpa mengucapkan sesuatu. Wanita ini sudah maklum bahwa suaminya adalah seorang pendekar besar, karena itu sewaktu-waktu tentu akan ditantang orang untuk bertanding. Akan tetapi wanita itu merasa jantungnya berdebar akibat tegang dan gelisah. Setelah isterinya kembali sambil membawa pedangnya, Tan Tiong Bu lantas menghadapi Ang I Sianjin dan berkata dengan lantang, “Ang I Sianjin, di antara kita tiada permusuhan. Karena engkau memaksa dan menantang maka terpaksa aku melayanimu!” Dia pun lalu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, dan menyerahkan sarung pedang itu kepada isterinya. Tadinya Ang I Sianjin sudah memandang dengan wajah berseri-seri pada waktu isteri Tan Tiong Bu menyerahkan pedang kepada suaminya. Dia mengira bahwa pendekar itu akan menggunakan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa kecewa setelah pedang itu dicabut. Pedang di tangan lawannya itu memang pedang baik, akan tetapi sama sekali bukan Pek-lui-kiam. “Engkau tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam, maka jangan mengatakan aku kejam kalau aku akan membunuhmu dan merampas Pek-lui-kiam!” kata Ang I Sianjin sambil mencabut pula pedangnya dengan tangan kanan. Sesudah berteriak lantang dia pun mulai dengan serangannya yang dahsyat. “Tranggg...!” Tan Tiong Bu menangkis dan dia merasakan getaran hebat dan hawa panas menyerang seluruh lengannya, maka tahulah dia bahwa lawannya itu lihai bukan main. Karena itu dia segera mainkan ilmu pedang keluarga Tan yang telah terkenal di dunia persilatan itu. Ang I Sianjin terkejut dan kagum ketika hampir saja perutnya terkena tusukan lawan. Dia melompat ke belakang dan karena dia pun tahu bahwa lawannya merupakan lawan yang amat lihai, dia lalu memutar pedangnya dan juga memainkan kipasnya dengan tangan kiri. Ternyata permainan pedang dan kipas itu serasi sekali, dapat saling membantu dan saling menutupi lowongan kalau sedang menyerang. Kini Tan Tiong Bu yang terkejut. Biasanya, kalau lawan menyerang, maka pertahanannya akan terbuka untuk balas diserang. Tapi setelah lawannya memainkan kipas dan pedang, ketika lawan menyerang sama sekali tidak ada bagian tubuh yang terbuka pertahanannya. Kalau pedang yang menyerang maka kipas yang bertahan, sebaliknya bila kipas baja itu dipakai menyerang maka pedang yang bertahan. Dengan begitu Tan Tiong Bu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan lawan. Sesudah pertandingan yang seru itu berlangsung lima puluh jurus, pundak kiri Tan Tiong Bu terkena tusukan gagang kipas baja sehingga dia terhuyung dan pundaknya berdarah. Melihat lawannya terhuyung, Ang I Sianjin tertawa dan cepat menubruk ke depan dengan pedangnya. “Tranggg…!” Pedangnya tertangkis dari samping dan ternyata yang menangkis pedang itu adalah isteri Tan Tiong Bu. Untuk menyelamatkan suaminya, nyonya itu dengan nekat menggunakan pedang yang tadi dibawanya pula dari dalam untuk menangkis. Padahal dalam ilmu silat pengetahuannya masih rendah. Ang I Sianjin marah sekali dan kipasnya cepat bergerak ke arah nyonya itu. Dengan tepat ujung kipas itu menusuk leher lalu sambil mengeluh isteri Tan Tiong Bu roboh terpelanting. Melihat ini Tan Tiong Bu terkejut dan marah sekali. Dia langsung meloncat ke depan dan menyerang lawan sekuat tenaga tanpa mempedulikan pundak kirinya yang terasa nyeri. Akan tetapi permainan pedangnya menjadi kurang tetap karena hatinya gelisah mengingat keadaan isterinya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Sianjin untuk menghujamkan serangan pedang dan kipasnya. Tan Tiong Bu beruaha membela diri, akan tetapi dia kalah cepat. Pada saat pedangnya terpental karena bertemu dengan kipas, tahu-tahu pedang Ang I Sianjin telah menembus dadanya. Darah muncrat dan tubuh Tan Tiong Bu terguling. Akan tetapi pendekar ini masih mampu mengarahkan tubuhnya agar jatuh dekat isterinya. Dia masih dapat memeriksa keadaan isterinya dan ketika melihat bahwa isterinya sudah tewas, dia menudingkan telunjuknya yang berlepotan darah isterinya kepada Ang I Sianjin dan berkata, “Kau… kau iblis... terkutuk...!” Tubuh Tan Tiong Bu terkulai dan dia pun menghembuskan napas terakhir. Ang I Sianjin tidak mempedulikan pasangan suami isteri yang telah mati itu. Dia meloncat ke dalam rumah dan mulai melakukan penggeledahan untuk mencari Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dua orang pembantu rumah tangga itu, seorang pria dan seorang wanita, tanpa berkata apa pun tangannya bergerak dan kedua orang pembantu itu tewas dengan kepala retak! Ang I Sianjin menggeledah kamar Tan Tiong Bu hingga akhirnya dia berhasil menemukan pedang pusaka itu yang tersimpan di dalam almari pakaian pendekar itu. Dia mencabut pedang itu dan sinar berkilat menyilaukan mata ketika pedang dicabut. Kakek itu tertawa-tawa gembira. “Heh-heh-heh-heh! Inilah Pek-lui-kiam! Kini terjatuh ke tanganku! Dengan pedang ini aku akan menjadi jagoan tanpa tanding, heh-heh-heh!” Dia menyarungkan kembali pedang itu, menyelipkannya pada ikat pinggangnya kemudian dia berlari keluar dengan cepat sekali. Ketika ada seorang tetangga datang ke rumah keluarga Tan untuk suatu keperluan, dia terkejut sekali melihat Tan Tiong Bu dan isterinya menggeletak di halaman dekat beranda dalam keadaan tidak bernyawa lagi dan tubuhnya mandi darah. Tetangga ini keluar sambil berteriak-teriak minta tolong. Para tetangga lain datang berlarian dan mereka semua merasa terkejut juga ngeri. Apa lagi ketika mereka menemukan mayat dua orang pembantu rumah tangga keluarga Tan. Para tetangga lalu merawat empat jenazah itu. Menjelang sore Tan Kiok Nio pulang ke rumahnya. Gadis itu merasa terkejut dan heran melihat banyaknya orang di rumahnya. Ia cepat berlari memasuki halaman rumahnya dan tertegun melihat empat buah peti mati berjajar di beranda. Mukanya menjadi pucat sekali, jantungnya berdebar-debar dan dia pun meloncat menghampiri peti mati. Ketika melihat peti mati yang masih belum ditutup itu dan menjenguk ke dalamnya, gadis itu langsung menjerit-jerit. Dia berlarian dari satu peti ke peti yang lain. “Ayah...! Ibu...! Kalian kenapa...? Kenapa...?” Gadis itu lunglai dan roboh pingsan. Para wanita tetangga yang berada di situ ikut menangis kemudian beramai-ramai mereka mengangkat gadis yang pingsan itu ke kamarnya. Setelah sadar dari pingsannya, Kiok Nio segera bangkit dan berlari keluar. Bukan, bukan mimpi! Di beranda itu terdapat empat buah peti mati berisi mayat-mayat ayahnya, ibunya, dan dua orang pembantunya. Dia pun menubruk peti ibunya dan menangis tersedu-sedu sambil memanggil ibunya, kemudian menubruk peti ayahnya sambil memanggil ayahnya. Para tetangga membiarkan gadis itu melampiaskan dukanya melalui air mata. Sesudah tangisnya mereda, barulah para wanita tetangga menghiburnya. “Mereka sudah meninggal dunia, walau ditangisi juga tidak ada gunanya, Nona. Sekarang sebaiknya kita mengurus jenazah-jenazah itu.” Kiok Nio dapat menekan perasaan dukanya, kemudian bertanya, “Apa yang telah terjadi? Mengapa ayah ibu mati? Siapakah yang telah membunuh mereka?” “Tidak ada yang tahu, Nona. Hanya kebetulan saja seorang tetangga ketika lewat melihat seorang kakek berjubah merah yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat keluar dari halaman rumah ini. Tetangga itu mempunyai urusan dengan ayahmu maka dia masuk ke halaman, lantas melihat ayah ibumu sudah menggeletak di halaman dalam keadaan tidak bernyawa. Kami semua lalu masuk ke rumahmu dan melihat dua orang pembantumu juga sudah tewas pula.” “Kakek tinggi kurus berjubah merah? Siapa dia?” Kiok Nio bangkit berdiri dan mengepal kedua tinjunya. “Siapa dia?” “Nona, sayalah yang melihat kakek itu, akan tetapi saya tidak mengenalnya. Akan tetapi dia mudah sekali dikenal. Jubahnya itu yang aneh, mirip jubah pendeta namun berwarna merah dan rambutnya yang digelung ke atas juga diikat pita merah,” kata tetangga yang melihat kakek itu dan yang pertama kali menemukan mayat TanTiong Bu dan isterinya. “Siapa pun adanya orang itu, pasti akan kucari dan kubalaskan dendam ini!” Kiok Nio lalu berlari keluar dengan gerakan cepat dan dia mencari-cari kakek itu di seluruh pelosok kota. Para tetangga tidak berani melarangnya dan hanya menunggu peti-peti mati itu. Akhirnya Kiok Nio pulang kembali dengan wajah lesu. Dia tidak berhasil menemukan musuh besarnya. Sesudah jenazah ayah ibunya dimakamkan, Kiok Nio merasa tidak betah tinggal seorang diri di dalam rumah itu. Sebulan kemudian dia pergi meninggalkan rumahnya dan pergi ke kota Ci-bun untuk mengunjungi pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Di depan paman dan bibinya dia menangis menceritakan mengenai kematian ayah ibunya. Tentu saja The Kun menjadi terkejut bukan main. “Kau tinggallah bersama kami di sini, Kiok Nio. Engkau telah yatim-piatu, anggaplah kami sebagai orang tua sendiri. Kebetulan kami juga tidak mempunyai anak.” Karena paman serta bibinya sangat ramah dan Kiok Nio tahu bahwa pamannya itu adalah seorang hartawan yang berwatak budiman dan dermawan, maka dia suka tinggal di sana. Demikianlah riwayat gadis cantik manis yang tinggal di rumah Hartawan The Kun. Kini mari kita kembali keluar gedung untuk melihat apa yang terjadi di tempat pembagian beras itu. Si Kong bekerja dengan rajin sehingga menyenangkan keempat orang lainnya. Akan tetapi, seperti yang dikhawatirkan semua orang, mendadak datang lima orang yang semuanya berpakaian hitam. Sikap mereka kasar dan tubuh mereka nampak kokoh kuat. Di antara lima orang itu terdapat si baju hitam yang tadi hendak merampas satu karung beras namun berhasil diusir oleh Si Kong. “Di mana pemuda jahanam yang tadi berani memukul aku?” teriak si baju hitam itu. Sebelum Si Kong melangkah maju, terdengar bentakan halus. “Bangsat pengacau, kalian datang untuk mencari penyakit!” Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata Kiok Nio sudah berdiri di situ. Tadi gadis ini mendengar cerita pamannya tentang si baju hitam yang memaksa hendak mengambil sekarung beras namun pengacau itu berhasil diusir oleh seorang pemuda yang kini sudah diterimanya sebagai pembantu bekerja membagi-bagi beras. Gadis itu merasa menyesal mengapa dia tadi tidak turut keluar sehingga dapat menghajar sendiri pengacau itu. Kini begitu mendengar ribut-ribut di luar dia segera meloncat keluar dan melihat lima orang itu, dia lalu membentak mereka. Si baju hitam dan empat orang kawannya mendengar bentakan itu lalu menoleh. Kiranya yang membentak mereka adalah seorang gadis cantik. Melihat Kiok Nio si baju hitam lalu maju menghampiri, diikuti oleh keempat orang temannya. “Nona manis,” si baju hitam berkata sambil menudingkan jari telunjuknya. “Jangan engkau mencampuri urusan kami, atau aku akan menangkapmu untuk kujadikan isteriku!” Empat orang kawannya juga menyeringai menjemukan. “Jahanam busuk, kalau engkau dan kawan-kawanmu ini datang untuk mengacau, maka aku sendiri yang akan memberi hajaran kepada kalian!” Pada saat itu dari dalam rumah muncul Hartawan The Kun. Melihat keponakannya sudah berhadapan dengan lima orang laki-laki yang menyeramkan, dia pun cepat berkata, “Kiok Nio, jangan berkelahi!” lalu kepada si baju hitam dia berkata, “Kalau kalian menginginkan beras ambillah, akan tetapi harap jangan bikin kacau di sini.” Sejak tadi Si Kong terheran-heran ketika melihat seorang gadis cantik berani menantang lima orang berandal itu. Melihat pedang di punggung gadis itu, dia pun tahu bahwa gadis itu tentu seorang yang pandai ilmu silat. Ketika Hartawan The Kun muncul dan menegur gadis yang dipanggil Kiok Nio itu, Si Kong mengira bahwa gadis itu puteri Hartawan The. Dia lalu menghampiri dan berkata kepada si baju hitam. “Sobat, engkau berani datang lagi dengan membawa teman-temanmu. Majulah, aku tidak takut kepada kalian.” “Tidak!” Gadis itu berkata cepat. “Akulah yang akan menghajar lima orang ini jika mereka tidak cepat pergi dari sini. Paman The, jangan khawatir, aku sanggup menandingi mereka. Hayo, anjing baju hitam, aku tantang kalian. Kalau kalian tidak berani, cepat kalian pergi dari sini dan jangan menganggu ketenteraman di sini.” Tentu saja si baju hitam menjadi sangat marah mendengar dirinya disebut anjing hitam oleh seorang gadis. Itu adalah penghinaan besar, apa lagi diucapkan di hadapan banyak orang yang sedang antri beras. “Gadis kurang ajar, berani engkau menghina kami!” Dan setelah bekata demikian, dia lalu menerjang maju dengan gerakan cepat sambil mengembangkan kedua lengannya seolah hendak menerkam Kiok Nio. Akan tetapi dengan gesitnya Kiok Nio mengelak ke samping sehingga terkaman itu luput. Melihat kawannya telah mulai bergerak, empat orang kawan si baju hitam tak mau tinggal diam. Mereka semua ingin sekali dapat membekuk dan memeluk gadis cantik itu, karena itu tanpa diperintah lagi mereka langsung mengepung Kiok Nio dengan sikap yang kasar menakutkan. Melihat dia dikepung lima orang laki-laki tinggi besar itu, Kiok Nio sama sekali tak merasa gentar. Akan tetapi dia tidak mau beradu tangan dan lengan dengan mereka, maka sekali tangan kanannya bergerak ke punggung, dia telah mencabut sebatang pedang kemudian melintangkan pedang itu di depan dada! Melihat ini si baju hitam dan kawan-kawannya segera mencabut senjata mereka berupa golok yang besar dan tajam. “Kawan-kawan, hati-hati jangan lukai nona manis ini. Sayang kalau kulitnya yang halus itu sampai ada yang lecet, ha-ha-ha-ha!” Kawan-kawannya juga tertawa mendengar ucapan ini. Ucapan si baju hitam itu membuat Kiok Nio menjadi marah bukan main. “Lihat serangan!” bentaknya dan pedangnya sudah berkelebat ke depan menyerang si baju hitam. Orang ini terkejut bukan main. Serangan itu demikian cepatnya sehingga hampir saja dia terkena tusukan pada dadanya. Dia menggerakkan goloknya menangkis sambil melompat mundur dan kini empat orang kawannya juga maju dengan golok mereka, menyerang Kiok Nio dari empat jurusan. Akan tetapi Kiok Nio memutar pedangnya dan terdengar suara nyaring berdenting empat kali. Selanjutnya gadis itu memainkan ilmu pedang keluarga Tan sehingga lima lawannya menjadi kaget sekali dan mata mereka silau. Pedang di tangan Kiok Nio berubah menjadi segulungan sinar yang terang dan menyambar-nyambar ke arah tubuh mereka! Sekarang lima orang itu hanya mampu membela diri dengan tangkisan-tangkisan dan berlompatan ke sana sini untuk menghindarkan sinar pedang yang makin lama semakin cepat itu. Si Kong yang tadinya merasa khawatir dan telah bersiap membantu atau menolong kalau gadis itu terancam bahaya, kini sebaliknya menjadi kagum bukan main. Dara itu memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan tahulah dia bahwa gadis itu tak akan kalah dikeroyok lima orang itu. Dugaan Si Kong memang tepat. Sesudah lewat belasan jurus, pedang di tangan Kiok Nio telah mengurung lima orang itu dan orang yang pertama roboh terpelanting adalah si baju hitam. Pedang Kiok Nio melukai pangkal lengan kanannya sehingga dia terpaksa harus melepaskan goloknya kemudian roboh, memegangi lengan kanan yang terluka itu sambil mengaduh-aduh. Pedang itu berkelebatan terus dan berturut-turut empat orang pengeroyok yang lain juga roboh. Ada yang terluka pundaknya, ada yang robek pahanya dan orang ke lima roboh oleh tendangan kaki Kiok Nio yang tepat mengenai perut sehingga membuat perut orang itu terasa mulas! Tepuk sorak terdengar ketika orang-orang yang antri beras melihat kelima orang itu dapat dirobohkan oleh gadis itu. Si Kong juga ikut bertepuk tangan dan memuji dengan hati lega karena selain gadis itu dapat menang, namun terutama sekali gadis itu tidak membunuh orang. Dengan ilmu pedang seperti itu, kalau gadis itu hendak membunuh para pengeroyoknya, hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Akan tetapi gadis itu hanya membuat mereka luka ringan saja. Hal inilah yang mengagumkan hati Si Kong.....

jilid 7


Sesudah hari menjadi sore dan pekerjaan membagi-bagi beras itu selesai The-wan-gwe memanggil Si Kong. Si Kong segera memasuki ruangan depan dan di sana telah duduk The Kun, isterinya dan Tan Kiok Nio. Si Kong memberi hormat kepada mereka. “Inilah pemuda yang bernama Si Kong itu, yang tadi telah mengusir pengacau,” The Kun memperkenalkan kepada isteri dan keponakannya, lalu dia berkata kepada Si Kong, “Si Kong, ini adalah isteriku dan itu adalah keponakanku bernama Tan Kiok Nio.” Kembali Si Kong memberi hormat. “Duduklah, Si Kong. Kami memanggilmu untuk diajak berunding.” Si Kong mengambil tempat duduk. “Urusan apakah yang hendak dirundingkan, Loya?” “Sebelumnya kami ingin mengetahui engkau berasal dari mana, dan siapa gurumu?” “Dulu ketika masih kecil saya tinggal di Ki-ceng, akan tetapi sejak saya berusia sepuluh tahun saya berkelana seorang diri karena orang tua saya sudah meninggal dunia. Saya selalu merantau dan di dalam perantauan itu saya belajar silat dari beberapa orang guru. Ketika tadi saya melihat di kota ini ada seorang dermawan membagi-bagi beras, hati saya tertarik dan beruntung saya dapat membantu Loya.” “Dan kami berterima kasih sekali kepadamu, Si Kong. Keponakanku ini kebetulan datang sehingga dia dapat mengusir lima orang pengacau tadi.” “Siocia mempunyai ilmu yang sangat tinggi, sungguh mengagumkan sekali,” kata Si Kong dengan sejujurnya karena dia memang melihat betapa hebatnya ilmu pedang gadis itu. “Keponakanku ini adalah puteri seorang pendekar besar yang namanya terkenal di dunia persilatan, bernama Tan Tiong Bu, tentu saja dia mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari ayahnya.” “Ahh, harap Paman jangan memuji terlalu tinggi. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang sakti, bahkan mendiang ayah juga dikalahkan dan dibunuh orang yang tentu lebih pandai,” kata Kiok Nio merendah. Hartawan The menghela napas panjang. “Alangkah banyaknya orang jahat di dunia ini. Seperti para pengacau tadi, mereka adalah orang-orang yang amat jahat. Entah mengapa mereka memusuhiku. Si Kong, engkau telah banyak merantau di dunia kang-ouw, apakah engkau mengenal mereka itu siapa dan dari perkumpulan apa?” Si Kong menggeleng kepalanya. “Maaf, Loya. Baru hari ini saya memasuki kota Ci-bun. Saya sama sekali tidak mengenal mereka.” Kiok Nio yang ikut mencurahkan perhatian kepada percakapan itu lantas berkata, “Mereka berpakaian serba hitam semua, tentu mereka adalah anggota sebuah perkumpulan. Bila melihat pakaian dan penampilan mereka, mereka itu tentu anggota-anggota perkumpulan perampok atau perkumpulan pengemis yang sesat.” Hartawan The menepuk pahanya. “Perkumpulan pengemis? Ahhh, sekarang aku teringat! Di Ci-bun ini memang terdapat sebuah perkumpulan pengemis berbaju hitam, yaitu Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Apakah mereka berasal dari perkumpulan itu? Akan tetapi biasanya para anggota perkumpulan itu tidak pernah ada yang membikin kacau, apa lagi berbuat jahat. Tetapi kalau melihat pakaian mereka, memang besar sekali kemungkinan mereka itu orang-orang Hek I Kaipang.” “Hemm, di manakah sarang perkumpulan itu, Loya?” “Bagaimana kami bisa mengetahui tempat tinggal mereka? Akan tetapi biasanya ada saja pengemis baju hitam yang berkeliaran di kota ini. Kalau engkau bertanya kepada mereka, tentu mereka akan dapat memberi keterangan.” “Kalau begitu, besok pagi saya mohon pamit, Loya.” Kiok Nio memandang penuh perhatian. Menurut cerita pamannya, pemuda ini sudah bisa mengalahkan si baju hitam. Akan tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi yang akan mampu menghadapi pengeroyokan anggota Hek I Kaipang! “Apa maksudmu hendak mencari sarang Hek I Kaipang?” tanyanya dengan hati tertarik. “Saya hendak bicara dengan ketuanya, melaporkan perbuatan anak buahnya yang jahat dan minta kepadanya supaya selanjutnya jangan mengganggu usaha kemanusiaan Loya yang membagi-bagi beras.” “Engkau berani?” “Kenapa tidak, siocia? Saya ke sana dengan maksud baik. Saya tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.” “Kalau ketuanya tidak mendengar omongamu dan engkau dikeroyok, bagaimana?” “Saya kira tidak demikian, siocia. Akan tetapi kalau terjadi seperti yang nona katakan itu, yah, bagaimana nanti sajalah!” Mendadak Kiok Nio teringat dengan urusannya sendiri. “Si Kong, engkau adalah seorang yang suka berkelana, tentu pengetahuanmu tentang dunia kang-ouw lebih luas dari pada aku. Karena itu aku ingin minta pertolongan kepadamu, entah engkau mau menyanggupi atau tidak.” “Katakanlah, siocia. Kalau memang aku dapat melakukannya, tentu akan kusanggupi.” “Begini… aku mempunyai seorang musuh besar, yaitu orang yang telah membunuh ayah ibuku. Tetapi aku belum pernah melihat orangnya, juga tidak tahu namanya. Hanya ada keterangan bahwa pembunuh itu mengenakan pakaian serba merah dan usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus serta mukanya pucat. Nah, kalau engkau dapat mengetahui siapa orang itu, siapa namanya serta di mana tempat tinggalnya, aku minta agar engkau suka memberi kabar kepadaku di sini. Maukah engkau membantuku, Si Kong?” Si Kong mengangguk dan menjawab dengan sungguh-sungguh. “Akan saya buka lebar-lebar mata dan telinga saya untuk mencari tahu tentang kakek itu, Nona. Mudah-mudahan saja ada yang tahu siapa kakek dengan gambaran seperti yang Nona ceritakan tadi.” “Ada satu keterangan tambahan, Si Kong. Orang itu sudah merampas sebatang pedang milik ayah. Pedang itu disebut Pek-lui-kiam, pedang yang mengeluarkan sinar kilat.” “Keterangan itu penting sekali, Nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, Nona.” “Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, kau terimalah benda-benda ini dan juallah.” Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya. Si Kong menolak dengan halus. “Nona, apa yang saya lakukan merupakan suatu kewajiban bagi saya, maka saya tidak membutuhkan imbalan.” “Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan maka gelang-gelang ini bisa kau pergunakan. Kalau engkau tidak mau menerimanya malah aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal karena harapan untuk bisa menemukan musuh besarku akan semakin kecil pula. Terimalah! Ini bukanlah imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan.” “Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu supaya hatinya tenteram,” kata Hartawan The Kun. Karena didesak oleh mereka, akhirnya Si Kong bersedia juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia tidur di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota. Tak lama kemudian dia sudah bertemu dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian warna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The. Si Kong kemudian memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin, tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang. Si Kong sengaja lewat di depan mereka, namun mereka sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan untuk meminta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping. Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih. “Sekarang aku hendak minta tolong kepada kalian,” kata Si Kong. “Di manakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?” Mendengar ini, mata kedua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan. “Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?” “Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, maka aku ingin menyumbang,” kata Si Kong. Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang di antara dua orang pengemis itu tersenyum. “Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak digunakan lagi. Di situlah tempat tinggal kami.” “Terima kasih,” kata Si Kong dengan gembira. “Sekarang juga aku akan pergi ke sana.” Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Kiranya sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering yang panjang. Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan, dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu menggunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari. Tak lama kemudian dia telah memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi sebagai kuil tempat bersembahyang lagi. Pada waktu Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang membersihkan pintu dan jendela-jendela, ada pula yang memelihara tanaman bunga. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu sudah tua akan tetapi kelihatan bersih. Si Kong memasuki halaman itu dan tiga orang pengemis berpakaian hitam segera menghadangnya. “Kongcu, di sini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk ke sini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Ada pun dua orang kawannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga sudah berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan liar. Si Kong segera menjawab dengan tulus, “Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Kaipang.” Tiga orang itu kelihatan terkejut, lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan. “Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?” “Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan berbicara sendiri dengannya.” “Hemmm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk dianggap patut bertemu dengan beliau,” kata pula pengemis jangkung kurus itu. “Ada syaratnya? Dan apakah syarat-syarat itu?” tanya Si Kong penasaran. Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para pengemis ini. “Syaratnya ada dua. Pertama harus memberi tahukan dulu kepada kami apa keperluanmu mencari pangcu, lalu kami akan melaporkan kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak.” “Dan syarat ke dua?” “Syarat kedua hanya berlaku untuk mereka yang tidak mau memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil harus melangkahi tubuh kami bertiga!” Ini sebuah tantangan! Biar pun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang. “Bagus, aku menghendaki syarat ke dua!” kata Si Kong. Si tinggi kurus segera melintangkan sapunya yang bergagang panjang, sedangkan kedua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok. “Majulah jika engkau berani melawan kami bertiga, kami telah siap!” kata si tinggi kurus. Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si Kong sambil mengerahkan tenaga. “Krakkk!” tongkat sapu itu patah menjadi dua potong! Dua orang pengemis lainnya sudah membantu dengan menyerang Si Kong menggunakan golok mereka, dari kanan dan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika dua batang golok itu menyambar luput, Si Kong telah menggerakkan jari tangannya menotok. Kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas. Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Tetapi Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong telah menotoknya pula sehingga si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali. Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya sudah dirobohkan oleh pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong kemudian menyerang dengan menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis ke empat. “Nah, aku telah memenuhi syarat ke dua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk.” Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka. Pada saat itu dari dalam kuil muncul dua orang. Satu di antaranya adalah adalah seorang kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enam puluh tahun tetapi tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia mempunyai tenaga sinkang yang kuat. Ada pun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang yang terselip di punggungnya. “Siapa berani membikin ribut di sini?!” bentaknya. Dia memandang kepada Si Kong, kemudian kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak di atas tanah tanpa bisa bergerak. Pengemis tua itu lalu meloncat ke depan tubuh empat orang pengemis yang tertotok. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak lagi. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah dikalahkan oleh pemuda itu. “Orang muda, siapakah engkau? Betapa beraninya engkau datang dan menyerang empat orang anggota kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?” Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan kelihatan kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya. “Engkau ketua Hek I Kaipang?” tanya Si Kong, suaranya tegas. “Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam).” “Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang engkau harus mendidik anggotamu baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tidak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!” “Pemuda sombong! Engkau datang mengacau di sini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!” “Hemm, dengarkan dulu omonganku...” “Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggota kami, hal itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggota kami di tempat kami sendiri adalah penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!” Kakek itu kemudian memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar. Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu. Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak di antara mereka yang memegang tongkat, Si Kong cepat meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong. “Pangcu, aku datang untuk bicara, tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan disangka bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Marilah kita bermain tongkat sebentar, hendak kulihat sampai di mana kelihaian tongkatmu!” Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada. Sebaliknya ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu malah berani menerima tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimana pun ampuhnya. Sementara itu dara cantik gagah yang tadi keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menonton dengan sikap tenang sekali. Dia bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali karena dia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang pada waktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali. Pek Han Siong menguasai banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiam-sut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat juga dimainkan dengan tangan kosong dan disebut Kwan Im Sin-kun, serta masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, dia pun menguasai ilmu sihir! Ada pun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewa Berhati Besi). Di antara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun. Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa dan berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur mirip wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung secara sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah. Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterimanya dari ayahnya. Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan jika Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Bahkan dia juga pernah diberi petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu sihir! Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya turut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia kang-ouw. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar mengenai pedang pusaka yang kabarnya dijadikan rebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka supaya ikut pula berlomba menemukan dan merampas pedang itu. Mereka merasa yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka mendapat pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka ketika masih muda dahulu. Kini Pek Han Siong telah berusia lima puluh satu tahun, sedangkan isterinya empat puluh sembilan tahun. Mereka juga memberi tahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih. Demikianlah sedikit keterangan tentang Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, di sebelah timur kota raja. Pada saat itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya gadis ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan boleh dipercaya. Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu. Selagi mereka bercakap-cakap di dalam, datang anggota Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang sedang bertanding dengan para anggota perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan dia pun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar. Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka dia pun tidak perlu membantu. Akan tetapi hatinya menjadi tertarik sesudah melihat Si Kong. Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan demikian pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati dara ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi dia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekiranya Souw Pangcu terancam bahaya maut. Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, dia pun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalau pun dia berhasil menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu. Karena itu dia pun menggapai seorang anggota perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggota itu cepat mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu. “Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda.” “Aku hanya seorang tamu dan engkau tuan rumah, Pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!” “Bagus, lihat seranganku!” bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong. Di dalam hati Si Kong sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka dia pun menyambut sementara dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apa lagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan hendak membujuk ketua ini agar suka melarang para anggotanya melakukan kejahatan. “Trak-tuk-tuk…!” Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Tetapi akibatnya bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga mengamuk. Akan tetapi semua serangannya itu dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan mau pun tangkisan, bahkan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri. Bwe Hwa melihat semua ini dan dia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu sangat aneh dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus, Si Kong lantas menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak sangat cepat. Souw Kian terkejut dan main mundur terus, tetapi tongkat lawan yang tadinya menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk di antara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik ke samping, tak bisa dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun. “Bangkitlah, Pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!” kata Si Kong yang hendak melucu. Tapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Dia pun meloncat ke depan kemudian sekali menarik pundak Souw Kian, ketua itu segera tertarik ke atas sehingga dapat berdiri lagi. “Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!” Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi kini dia mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu mempunyai ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Dia pun kini menonton dari pinggiran. Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut namun penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, dia pun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu. “Si Kong, engkau merangkaklah!” Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak. Si Kong terkejut bukan kepalang saat merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia langsung teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang mempunyai keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menuruti apa yang dikatakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkang-nya sehingga bisa menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melawan dorongan ini. Sekarang berbalik Pek Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah dia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, dia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya. “Singggg…!” nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya. “Pengacau sombong, lihat pedangku!” bentaknya. Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan mendadak sinar itu mencuat ke arah Si Kong. “Trangggg...!” Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat. Gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang kuatnya bukan main. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Dia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan-im Kiam-sut yang amat lihai. Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang amat hebat dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu sangat berbahaya, Si Kong lalu memainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikang-nya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat dari pada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak. Tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Tapi justru inilah yang membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatlah sulit, sementara pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus, masih belum ada yang kalah. Mulailiah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia kehendaki, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi maka dia mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba dia teringat akan ilmu Thi-khi-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya. cerita silat online karya kho ping hoo Pada waktu pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya, Si Kong cepat menangkis dan menggunakan tenaga sinkang-nya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut lantas mengerahkan sinkang-nya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu, sesuai dengan rencananya Si Kong segera mengerahkan Thi-khi I-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat. Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu luar biasa yang dinamakan Thi-khi I-beng. Tetapi di dunia ini hanya ada satu orang yang menguasai ilmu itu, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan. Karena tidak ingin tenaga sinkang-nya disedot sehingga dia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biar pun andai kata dia tidak melepaskan pedang, tetap saja dia takkan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-khi I-beng. Dia tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu, melainkan hanya ingin membuatnya kaget sehingga dia bisa merampas pedang itu. Si Kong mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa dan menyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi dia merasa penasaran sekali dan bertanya, “Engkau menggunakan Thi-khi I-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?” Dia pun menerima pedangnya. Si Kong semakin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya mempunyai pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-khi I-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin. “Penglihatanmu tajam sekali, Nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku.” “Tidak mungkin!” Gadis itu membentak. “Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Semenjak muda dia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?” “Nona!” kata Si Kong penasaran. “Aku bukan penjahat!” “Hemmm, kau datang ke sini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?” Diam-diam Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi kenapa dia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat? “Nona, aku datang ke sini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!” “Biar pun menjadi ketua para pengemis tapi Souw-pangcu adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana sekarang engkau menuduhnya memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!” Kini Souw Kian maju menghadapi Si Kong. “Agaknya sudah terjadi kesalah pahaman di antara kita, Si-taihiap. Bila Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa di sini terjadi kesalah pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa di antara anggota kami tidak ada yang menjadi penjahat.” Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu. “Aku pun bukan bertindak secara ngawur, Pangcu. Aku sendiri yang sudah menghadapi para penjahat itu. Mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggotamu.” “Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari, lihiap.” Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah pahaman, mengikuti ke dalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak digunakan lagi itu sangat bersih terawat. Dindingnya dikapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Di ruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu. “Silakan duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita).” Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian lantas berkata, “Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami.” Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak memperlihatkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu mulai bercerita. “Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe tengahmembagi-bagikan beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dalam antrian, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, tetapi menyerobot ke depan, bahkan dia minta satu karung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia lalu memukul empat orang petugas itu.” “Hemmm, orang itu jahat sekali. The-wan-gwe sudah terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada di sana, tentu orang itu sudah kuhajar!” kata Souw Kian marah. “Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu, lantas turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi bersama empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung di sana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, oleh karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera pergi ke sini untuk menegur Souw-pangcu. Tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!” “Sekarang aku mulai mengerti. Tentu ada orang-orang yang sengaja ingin memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, bahkan kami akan mengerahkan seluruh anggota kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu.” Si Kong mengangguk. “Sesudah melihat keadaan Hek I Kaipang di sini dan sikap pangcu, aku pun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggota Hek I Kaipang, tetapi orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu.” Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu. Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu. “Tak perlu minta maaf, taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu aku pun bertindak seperti yang taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-taihiap.” Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya dengan Hek I Kaipang sudah selesai, maka dia tidak mau terlalu lama di situ. “Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada di sini.” “Tunggu dulu, sobat.” kata Bwe Hwa. “Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau adalah murid Ceng-locianpwe dan memiliki ilmu-ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini sudah tua sekali.” Ditanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Sesudah menghela napas panjang Si Kong menjawab, “Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu.” “Ahhh! Kalau begitu tentu ayah dan ibuku pergi ke sana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah.” Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang. “Kurasa ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu.” Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri-seri. “Ahh, engkau bahkan sudah bertemu dengan mereka? Baru sekali aku bertemu dengan keluarga itu, yaitu dua tahun yang lalu. Bagaimana keadaan adik Hui Lan sekarang? Tentu ilmu kepandaian anak itu sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku.” “Adik Hui Lan dalam keadaan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, Nona, aku harus melanjutkan perantauanku.” “Nona? Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan di mana mereka tinggal?’ Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak sehingga dia pun terpaksa menjawab. “Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku seorang yatim piatu dan sebatang kara, tempat tinggalku juga di mana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, sekarang aku harus pergi.” Dia mengangkat dua tangannya ke depan dada lalu melangkah keluar. Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya dia ingin bicara lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi, sebagai seorang gadis tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya. Karena dia merasa kecewa dan hatinya terasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa lalu mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam. “Seperti yang sudah kukatakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui di mana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?” Souw Kian menghela napas panjang. “Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Namun beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang yang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi diduga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu.” “Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa mendesak. Ketua Hek I Kaipang itu menggelengkan kepalanya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi di sana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu itu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat itu.” Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sulitnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan mukanya pucat di antara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu. “Pangcu, pengalaman pangcu di dunia kang-ouw jauh lebih banyak dari pada aku. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barang kali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu.” “Banyak sekali datuk sesat di empat penjuru, Nona. Tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetapi... ahhh, nanti dulu! Aku pernah mendengar mengenai munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tak ada yang tahu siapa namanya, orang-orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnya pun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, namun sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan.” “Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu dapat menjadi landasan bagiku untuk mencarinya. Amat sukar mencari pedang yang tidak diketahui di mana adanya, bahkan tidak mungkin. Tapi agaknya akan lebih mudah untuk mencari orang yang telah diketahui namanya. Nah, selamat tinggal, pangcu, engkau sudah menyambut kedatanganku dengan sangat baik. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti.” “Ah, Nona, kedatanganmu ke sini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, kamilah yang harus berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Harap sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu.” Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu. Gadis ini kembali memasuki kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari dia tinggal di Ci-bun dan tak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Dia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya. *************** Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang bila musim kering tiba menjadi kering itu kini dipenuhi air yang mengalir jernih. Dahulu sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan. Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu betul bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, begitu pula ibunya. Tetapi penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang. Jembatan kayu itu masih berdiri, sungguh pun di sana sini sudah terdapat tambahan kayu untuk mengganti yang lapuk. Beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar. Dia masih ingat. Mereka adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak bisa mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan. Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan di dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sekarang sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus. Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya sudah disita tuan tanah untuk pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang di percaya. Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Sesudah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, semenjak berusia enam belas tahun sudah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir. Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang dengan maksud mencari enci-nya dan minta bantuan enci-nya karena keluarga ayahnya sedang kehabisan beras dan diancam kelaparan. Akan tetapi kakaknya ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri. Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuan itu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan enci-nya. Kalau enci-nya dalam keadaan sehat dan hidupnya berbahagia maka dia pun akan merasa senang. Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. Di situ terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang mendekat dia sudah ditegur. “Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis atau mau mencuri?” Hati Si Kong menjadi panas sekali, akan tetapi dia cepat menahan diri, bersabar karena demi kebaikan enci-nya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Dia lalu melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata, “Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini.” Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. “Enci-mu tinggal di sini?” katanya tidak percaya. “Siapakah enci-mu itu? Jangan main-main kau!” “Aku berkata benar. Enci-ku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal di sini menjadi selir Lui-wan-gwe.” “Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja di sini tetapi belum pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.” “Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enci-ku Si Kiok Hwa itu.” “Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh! Lekas pergilah atau aku akan menghajarmu!” Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras tetapi sebetulnya kepalamu kosong!” “Keparat!” Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong. Si Kong miringkan tubuhnya. Ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan. Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka sudah terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki mau pun tamparan tangan Si Kong. Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia lalu memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan. Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. “Heiiii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!” bentak seorang di antara mereka. “Kalian yang harus minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!” Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang tadi berjaga di luar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka. Maka dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong. Kembali tubuh Si Kong berkelebatan dan sebentar saja kelima orang itu pun sudah roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya mampu mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu. Sesampainya di ruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang di antara mereka bertanya, “Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?” “Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beri tahu di mana dia. Aku akan menemuinya!” Pelayan-pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa sepuluh orang penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menghadap majikan mereka yang sudah tua. “Silakan tunggu di ruangan depan, kami akan segera memberi tahu majikan kami.” Si Kong mengangguk, lalu dia berkata, “Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga.” Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebelah dalam dan Si Kong tetap berdiri di situ, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, yang mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Namun ujar-ujar suci itu digantung di situ hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuah pun yang dilaksanakan oleh si hartawan! Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong memandang ke dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya telah delapan puluh tahun. Ketika berjalan saja harus dipapah oleh dua orang gadis cantik. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung pada punggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe! Melihat kakek itu dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lantas menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimana pun juga kakek ini adalah kakak iparnya. “Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?” Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah berjalan maju menghadapi Si Kong. “Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?” “Aku hendak bertanya mengenai enci-ku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu enci-ku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enci-ku itu.” “Si Kiok Hwa tidak berada di sini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami.” “Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enci-ku!” “Hemm, agaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar kepada Lui wan-gwe?” Orang tinggi kurus yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam. “Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!” kata Si Kong dengan suara tegas. “Engkau sudah bosan hidup!” bentak kepala pengawal. Laki-laki itu sudah menyerang dengan pedangnya, akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong. Akan tetapi betapa pun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Sesudah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba saja Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut bukan main dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong telah menggerakkan kaki menendang. “Bukkk…!” Orang tinggi kurus itu terpental ke belakang lantas memegangi dadanya yang terasa remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bisa bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang. Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah lalu menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi. Si Kong menghampiri kakek tua itu yang nampak gemetaran. “Tak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang ke sini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu menghalangiku, maka terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan di mana adanya enci Kiok Hwa?” Kakek itu menggelengkan kepalanya. “Entah di mana. Pada lima tahun yang lalu dia pergi meninggalkan rumah ini dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi…” Suara kakek itu sudah gemetaran, maka Si Kong tak mau mendesaknya. “Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu di mana adanya Lo Sam itu sekarang?” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. “Karena tadinya enci-ku berada di sini, maka engkaulah yang bertanggung jawab, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas maka seluruh isi rumah ini akan kugeledah!” “Tunggu dulu...!” Lui Wan-gwe mengangkat tangan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui ke mana Lo Sam membawa Kiok Hwa.” Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya. “Panggilkan Ji Kwi ke sini.” Tidak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enam puluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut. “Loya memangggil saya?” katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui. “Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang Kiok Hwa kepada adiknya ini!” Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong. Si Kong menghampiri bujang tua itu, lalu berkata dengan suara halus. “Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya dan jangan menyembunyikan sesuatu.” “Lima tahun yang lalu enci-mu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam,” kata bujang tua itu. “Di mana adanya Lo Sam itu?” “Dahulu rumahnya di gang ke empat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka di sana.” Si Kong mengangguk-angguk. “Akan kucari di sana. Apa bila aku tidak dapat menemukan enci-ku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!” Sesudah berkata demikian, Si Kong lalu melompat dan keluar dari rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakan tidak becus menjaga keselamatannya. “Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam ke sini!” perintahnya. Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar di antara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah hartawan-hartawan itu dengan imbalan uang. Bila perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah. *************** Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi, segera pergi ke jalan raya selatan dan memasuki gang ke empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu di mana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk kemudian disusul suara seorang lelaki yang terdengar marah-marah. “Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!” Suara wanita itu menjawab, “Huk-huk-ugh... Lo Sam, di mana perasaanmu...? Ketika aku masih sehat... kau memaksaku untuk melacurkan diri... lalu semua uangnya kau gunakan untuk berjudi dan bersenang-senang... tetapi sekarang, sesudah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari terus memaki-maki...” Jantung Si Kong berdebar kencang. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, enci-nya! Karena itu dia langsung mendorong pintu kamar itu sehingga terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan beserta seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak pingggang. “Engkau yang bernama Lo Sam?” tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu. Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi dia telah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya. Lelaki itu mengaduh-aduh karena merasa kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi. “Aduh, aduh... sakit... ampunkan saya...!” “Katakan dahulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?” kata Si Kong tanpa melepas cengkeramannya. “Benar, aku Lo Sam…” Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam hingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung......

jilid 8


Si Kong menghampiri pembaringan itu. Dia tidak mengenal wanita yang kurus kering itu. Dulu, sepuluh tahun yang lalu, enci-nya adalah seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik manis, sedangkan yang menggeletak di sana adalah seorang wanita yang nampak tua dan kurus kering, rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kurus sekali. “Apakah engkau Si Kiok Hwa?” tanyanya ragu. Sejenak wanita itu memandang Si Kong, lalu berkata lemah. “Benar, aku Si Kiok Hwa... dan engkau siapa, orang muda?” “Enci Kiok Hwa! Aku Si Kong, adikmu!” “Si Kong...? Ya Tuhan, terima kasih atas pertemuan ini...!” Si Kong duduk di tepi pembaringan kemudian memegang tangan enci-nya. Terkejutlah dia ketika memeriksa nadi tangan enci-nya. Detak jantungnya begitu lemah dan tidak tetap, napasnya terengah-engah dan tahulah dia bahwa enci-nya menderita tekanan batin yang luar biasa sehingga kini tubuhnya tidak kuat bertahan dan jatuh sakit yang teramat berat. Baru memeriksa nadi, mulut dan pernapasan enci-nya saja tahulah Si Kong bahwa enci-nya sukar diselamatkan. Enci-nya itu seolah telah berada di ambang kematian. “Enci, kenapa engkau sampai menderita seperti ini? Bukankah dulu engkau menjadi selir Lui Wan-gwe?” Dengan suara terputus-putus dan napas terengah-engah wanita itu kemudian menuturkan pengalamannya yang pahit. Ternyata dia hanya menjadi barang permainan Lui Wan-gwe saja. Sesudah lima tahun kakek yang kaya raya itu bosan dengannya, lalu menyerahkan kepada Lo Sam untuk menjadi istrinya. Mula-mula ia memang merasa bahagia karena Lo Sam menjadi suaminya. Akan tetapi Lo Sam adalah seorang penjudi dan suka hidup royal. Ketika ia masih menerima sumbangan dari Lui Wan-gwe, hidup mereka memang tidak kekurangan. Namun tiga tahun kemudian Liu Wan-gwe menghentikan bantuannya dan mulailah penderitaan menimpa diri Kiok Hwa. Mula-mula semua perhiasannya dijual Lo Sam untuk modal berjudi, lalu perabot-perabot rumah tangga. Akhirnya, ketika tidak ada lagi yang harus dijual untuk mendapatkan uang, Lo Sam lalu menjual isterinya! “Dia memaksa untuk menjadi pelacur... betapa hancur hatiku... akan tetapi dia memaksa dan kalau aku tidak mau dia menyiksaku. Aku terpaksa... menjadi pelacur... dan semua uang penghasilanku diambil oleh Lo Sam. Selama hampir tiga tahun aku menjadi pelacur, dan akhirnya sebulan yang lalu aku jatuh sakit dan tidak dapat bekerja sebagai… pelacur. Akan tetapi dia... dia…” Wanita itu menuding kepada Lo Sam yang masih berdiri seperti patung. “Dia tidak mau merawatku... bahkan memujikan agar aku lekas mati...” Kiok Hwa menangis, akan tetapi tidak ada air mata yang keluar. Agaknya air matanya sudah habis terkuras selama ini. Si Kong menjadi marah bukan kepalang. Dia meninggalkan enci-nya dan menghampiri Lo Sam. Dengan sekali totok Lo Sam dapat bergerak kembali. Tadi dalam keadaan tertotok Lo Sam mendengar semua cerita isterinya, dan dia menjadi takut setengah mati ketika mengetahui bahwa pemuda yang lihai itu adalah adik isterinya! Maka begitu bebas dari totokan, dia segera lari untuk meninggalkan pemuda itu. Namun sekali menggerakkan kaki, Si Kong telah dapat mengejarnya dan menjambak rambutnya, menyeretnya kembali ke dalam kamar. Ketika jambakan rambutnya dilepaskan, Lo Sam segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. “Ampunkan saya... ahh, ampunkan saya...” “Keparat busuk!” Si Kong memaki lantas tangannya dua kali bergerak. “Krakk…! Krakk…!” Terdengar suara dua kali dan kedua tangan Lo Sam sudah dipatahkan tulangnya di atas siku. Lo Sam mengaduh-aduh, sementara dua lengannya tergantung tak berdaya karena tulangnya sudah patah. “Si Kong...!” terdengar Kiok Hwa berkata lirih. “Jangan Si Kong... dia mempunyai banyak teman, engkau akan dikeroyoknya...” “Jangan khawatir, enci. Kalau dia memanggil teman-temannya maka aku akan menghajar mereka semua! Lo Sam, berdirilah saja di sana! Awas, kalau engkau melarikan diri maka aku tidak akan mengampunimu lagi!” “Ba... baik... taihiap...!” kata Lo Sam tergagap saking takutnya. “Si Kong...,” wanita itu mengeluh panjang dan Si Kong segera menghampirinya lalu duduk di tepi pembaringan. “Ada apa enci?” “Aku... aku...” Si Kong segera menotok beberapa jalan darah untuk memulihkan kekuatan enci-nya yang sudah terengah-engah itu. “Si Kong... kalau aku mati... kuburkanlah aku... di dekat makam... ayah dan ibu...” “Enci...!” Si Kong merangkulnya sambil menangis. Si Kong tidak dapat menahan kesedihannya lagi melihat keadaan enci-nya, satu-satunya keluarganya yang masih hidup tapi sekarang berada di ambang kematian tanpa dia dapat menolongnya. Dia hanya dapat menolong agar enci-nya tidak terlalu menderita kenyerian, akan tetapi tidak mampu mengobatinya sampai sembuh. Keadaan enci-nya sudah sangat parah. Paru-parunya juga sudah terluka digerogoti penyakit. “Enci tenangkanlah hatimu dan mengasolah. Aku akan membalaskan sakit hatimu kepada semua orang yang telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku pergi sebentar, enci.” Dia lalu membantu enci-nya menelan sebutir pil yang dibuatnya sendiri dari akar-akaran. Khasiat pil ini adalah untuk menguatkan badan dan melancarkan jalan darah. Sesudah itu dia merebahkan lagi enci-nya, menyelimutinya agar enci-nya dapat tidur dengan tenang. “Hayo kau ikut aku!” katanya kepada Lo Sam sambil menyeret tangan orang yang usianya sudah empat puluh tahun itu. “Ke... ke mana..., taihiap?” “Tidak perlu bertanya, kau ikut saja!” kata Si Kong dan menyeretnya keluar dari rumah itu. Orang-orang yang tinggal di gang itu terheran-heran melihat Lo Sam didorong-dorong oleh seorang pemuda agar melangkah maju, ada pun kedua lengan Lo Sam tergantung lemas. Tetapi tidak ada seorang pun yang bertanya. Mereka sudah mengenal Lo Sam itu orang macam apa. Penjudi, pemabok dan pembuat kerusuhan, apa lagi kalau bersama teman-temannya. Setelah mereka tiba di jalan besar, Si Kong mendorong pundaknya. “Kita pergi ke rumah Lui-wangwe!” Muka Lo Sam menjadi pucat, akan tetapi tidak berani membantah. Sebelum tiba di rumah hartawan Lui, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang berpapasan dengan mereka. “Heii, Lo Sam. Engkau mengapa?” tanya mereka. Semangat Lo Sam segera timbul kembali ketika melihat bahwa mereka itu adalah kawan-kawannya. “Kawan-kawan, tolonglah aku. Aku dipaksa oleh pemuda ini!” teriaknya. Empat orang itu cepat maju dan mengepung Si Kong. Mereka berempat sudah mencabut senjata yang tadinya terselip di pinggang, yaitu sebilah pisau belati panjang yang tajam berkilauan. Mereka menyerang dengan ganasnya, menusukkan pisau-pisau itu ke arah Si Kong. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba saja lenyap dari kepungan mereka dan ternyata Si Kong memang meninggalkan mereka untuk mengejar Lo sam yang berusaha melarikan diri. Lo Sam yang melihat empat orang kawannya sudah mengepung Si Kong, menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun tiba-tiba ada bayangan orang di depannya. Ketika dia melihat, alangkah kagetnya melihat Si Kong sudah menghadang di depannya! Si Kong lalu menggerakkan jari tangannya menotok Lo Sam, membuat Lo Sam kembali tak dapat bergerak seperti patung. Setelah itu barulah Si Kong menghadapi empat orang pemuda berandalan itu. Empat orang itu cepat mengejar dan kembali mengepung, lalu mereka menyerang dengan tusukan belati mereka. Si Kong menggerakkan kaki tangan, maka empat orang itu segera berpelantingan. Dalam waktu sekejap saja Si Kong telah menampar dan menendang dua orang lagi sehingga mereka terpelanting roboh lantas menyeringai kesakitan, tidak dapat segera bangkit lagi. Si Kong tidak mempedulikan mereka. Ia menghampiri Lo Sam, membebaskan totokannya kemudian menyeret lengan yang sudah lumpuh itu sehingga terpaksa Lo Sam melangkah dengan muka pucat dan mulut menyeringai kesakitan. Sesudah tiba di pekarangan rumah besar milik Hartatawan Lui, Si Kong menyeret Lo Sam memasuki pekarangan. Akan tetapi tiba-tiba dari dalam rumah itu keluar seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh tahun. Dia memegang sebuah kampak yang mengerikan karena kampak itu amat besar dan nampak berat, juga berkilauan saking tajamnya. Melihat ini Si Kong segera menendang Lo Sam sehingga tubuh Lo Sam terlempar dan dia hanya mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena kedua tangannya sudah lumpuh dan kaki kirinya yang terkena tendangan pada pahanya itu juga nyeri luar biasa. Si Kong melangkah maju, disambut oleh laki-laki yang memegang kampak itu. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap. Dia memegang sebuah kampak besar dan menumpangkan kampak itu di atas pundak kanannya. “Hei, orang muda pengacau, ternyata engkau berani datang lagi! Semenjak tadi aku telah menunggumu. Katakan siapa namamu agar jangan sampai engkau mati tanpa nama.” Si Kong mengerutkan kedua alisnya. Tahulah dia bahwa Hartawan Lui agaknya sengaja memanggil tukang pukul atau jagoan ini untuk melawannya. “Sobat, kalau boleh kunasehatkan, janganlah mencampuri urusanku dengan Lui Wan-gwe dan pulanglah ke rumahmu sendiri. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga!” Orang itu tertawa. “Ha-ha-ha, pemuda sombong. Ketahuilah bahwa aku Gin-to-kwi adalah pelindung Hartawan Lui. Engkau berani datang mengganggunya, berarti engkau sudah bosan hidup!” Si Kong memandang penuh perhatian dan melihat bahwa di belakang orang itu terdapat sebatang golok menempel di punggung. Agaknya orang ini ahli bermain golok, akan tetapi untuk menakut-nakuti lawan, dia sengaja membawa kampak yang besar itu. “Gin-to-kwi, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan menghajarmu pula!” Sepasang mata itu melotot. Belum pernah ada orang yang berani menantangnya selama ini, akan tetapi pemuda ini berani berkata hendak menghajarnya! Kemarahannya membuat mukanya menjadi kemerahan, dan dia segera mengayun kampaknya untuk memamerkan kekuatannya. Kampak itu diputar di atas kepalanya, kemudian dia berseru, “Orang muda, mampuslah engkau!” Orang itu menyerang dengan kampaknya, dihantamkan ke arah Si Kong. Kalau serangan ini mengenai sasarannya maka kepala Si Kong tentu akan terpisah dari tubuhnya seperti penjahat yang kepalanya dipancung oleh seorang algojo. Akan tetapi dengan mudah saja Si Kong menundukkan kepala sambil sedikit menekuk lututnya sehingga kampak itu berdesing lewat di atas kepalanya. Saat itu dipergunakan oleh Si Kong untuk mengayun kaki kanan, menendang ke arah perut Gin-to-kwi. “Dukkk!” Gin-to-kwi menangkis dengan tangan kirinya. Ternyata jagoan ini mempunyai kepandaian yang lumayan juga. Tidak mengherankan kalau dia menjadi jagoan nomor satu di dusun Ki-ceng. Dia tak mempedulikan rasa nyeri pada tangannya yang menangkis dan kampak itu sudah menyambar lagi, kini menghantam ke arah dada Si Kong. Kembali Si Kong mengelak ke samping dengan menggeser kaki. Kampak itu membuat gerakan memutar ke atas dengan cepatnya dan menyerang lagi ke arah kepala Si Kong! Si Kong maklum benar akan bahayanya senjata berat ini, maka setelah mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke belakang dia segera balas menyerang dengan cepat luar biasa karena dia menggunakan ilmu Yan-cu Hui-kuin (Silat Burung Walet Terbang). Orang bertubuh tinggi besar itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak dapat mengelak atau menangkis lagi ketika tangan Si Kong menampar dan tepat mengenai belakang sikunya. Seluruh lengannya terasa lumpuh sehingga kampak itu terlepas dari tangannya. Dia cepat meloncat ke belakang dan menggerak-gerakkan tangan kanan untuk mengusir kelumpuhan itu. Ketika lengannya sudah pulih kembali, dia kemudian mencabut golok dari punggungnya. Sinar terang menyilaukan mata menyambar ketika golok dicabut. Agaknya senjata itu terbuat dari perak murni dan tajam bukan main. “Bocah setan, sekarang bersiaplah untuk mampus!” Bentak Gin-to-kwi sambil memutar goloknya dan menyerang. Bagi Si Kong, gerakan lawan itu tidak terlalu cepat seperti nampaknya. Dia mengelak ke sana sini dan mencari kesempatan. Ketika melihat lowongan pada saat golok menyambar lehernya, dia lalu masuk menotok dada kanan lawan. “Tukkk!” Golok itu terlepas dari tangannya dan sebelum Gin-to-kwi dapat berbuat sesuatu, sebuah tendangan sudah membuat tubuhnya terlempar ke belakang! Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi roboh lagi. Si Kong sudah tidak mempedulikan dia lagi, menghampiri Lo Sam dan membebaskan totokannya lalu menyeretnya memasuki rumah gedung tempat tinggal Lui Wan-gwe itu. “Hartawan Lui, keluarlah! Aku mau bicara!” teriak Si Kong ke sebelah dalam. Tidak lama kemudian Hartawan Lui keluar dengan dipapah oleh dua orang gadis cantik. Si Kong mendorong Lo Sam sehingga orang ini jatuh berlutut. “Nah, Hartawan Lui, inilah Lo Sam yang telah mengawini enci-ku. Menurut keteranganmu tadi, enci-ku keluar dari rumah ini dan menikah dengan Lo Sam. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian. Hayo Lo Sam, sekarang akuilah terus terang bagaimana engkau sampai dapat menikah dengan enci Kiok Hwa yang tadinya menjadi selir Hartawan Lui!” Lo Sam sudah mati kutu. Dia tidak berani lagi berbohong, sungguh pun dia takut kepada Hartawan Lui akan tetapi dia lebih takut kepada Si Kong. “Pada suatu hari saya dipanggil Hartawan Lui dan diberi hadiah seorang selirnya dan juga uang.” “Nah, kau dengar sendiri, Lui-wangwe? Dahulu engkau mengambil enci Kiok Hwa menjadi selirmu, mengandalkan kekayaanmu dan mengambil kesempatan selagi ayahku terdesak oleh kemiskinannya. Akan tetapi sesudah lewat lima tahun engkau merasa bosan, lantas memberikan enci-ku kepada jahanam ini seolah enci-ku sebuah benda yang tidak terpakai lagi. Jahanam Lo Sam ini telah menyiksa enci-ku dan memaksanya menjadi pelacur, akan tetapi kesengsaraan yang diderita enci-ku itu bermula dari tindakanmu yang memberikan dia kepada Lo Sam. Engkau harus bertanggung jawab untuk itu!” Kakek hartawan itu gemetar seluruh tubuhnya. “Aku menyesal telah melakukan itu. Harap engkau suka mengampuni aku. Kalau engkau menginginkan uang, sebut saja jumlahnya, tentu aku akan memberikannya untukmu.” “Aku tidak butuh uangmu! Akan tetapi engkau harus membebaskan semua tanah, sawah serta ladang yang kau sita dari penduduk miskin karena mereka tidak mampu membayar hutang mereka kepadamu. Engkau juga harus membebaskan semua hutang penduduk miskin di dusun ini, mulai hari ini tidak ada seorang pun yang meminjam uang kepadamu, semua telah lunas. Mengerti?!” “Ba... baik...!” kata hartawan itu. “Awas engkau! Jika dalam beberapa hari ini engkau masih belum mengembalikan sawah ladang kepada mereka, aku akan datang lagi ke sini dan membunuhmu seperti anjing ini!” Si Kong menggerakkan tangannya ke arah kepala Lo Sam. Orang yang kejam ini segera terpelanting roboh dan tak dapat bergerak lagi karena kepalanya sudah retak dan jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya. Hartawan Lui makin ketakutan. Mukanya pucat sekali sehingga dia tentu akan roboh kalau tidak dipapah dua orang gadis itu,. Lututnya sudah menggigil. “Dan ingat, jangan memanggil jagoan seperti yang menggeletak di luar itu atau aku akan membunuhmu dan membakar rumah ini!” “Baik... akan kuturuti permintaanmu...,” kata Hartawan Lui. Setelah mengeluarkan ancaman itu, Si Kong lalu keluar dari rumah itu. Para penjaga tidak ada yang kelihatan karena mereka semua telah bersembunyi ketakutan. Si Kong kembali ke rumah Lo Sam untuk melihat enci-nya, namun Kiok Hwa telah meninggal dunia ketika dia memasuki kamar itu. Si Kong memeluk tubuh enci-nya dan dia merasa kasihan sekali. Enci-nya menjadi korban karena kemiskinan orang tua mereka. Apa bila ayahnya tidak semiskin itu, tentu enci-nya tidak sampai diserahkan kepada Hartawan Lui. Para tetangga datang melayat ketika mendengar bahwa Si Kiok Hwa meninggal dunia. Si Kong mengurus jenazah enci-nya dan menguburnya di dekat kuburan ibu dan ayahnya. Setelah penguburan selesai dia berkata kepada para tetangga itu. “Apa bila di antara kalian ada yang mengggadaikan tanah kepada Hartawan Lui atau yang lain-lain, mulai sekarang boleh memiliki tanah itu kembali. Garaplah sawah ladang kalian baik-baik dan jangan sekali-kali menggadaikannya. Jika kalian butuh uang, mintalah saja kepada para hartawan di sini, mereka pasti akan menolong kalian.” Ucapan Si Kong itu segera disambut dengan sikap bermacam-macam oleh mereka. Ada yang berjingkrak kegirangan, ada pula yang tidak percaya dan ada yang ragu-ragu. Si Kong tidak berhenti sampai di situ saja. Dia lalu mengunjungi semua tuan tanah dan hartawan yang tinggal di Ki-ceng. Tentu saja dia mendapat perlawanan dari tukang-tukang pukul para hartawan. Akan tetapi semua tukang pukul dia robohkan dan semua hartawan itu diancamnya untuk membebaskan semua hutang dan mengembalikan sawah ladang, dan selanjutnya harus bermurah hati bila rakyat dusun itu sedang menderita kekurangan pangan. Si Kong tinggal di dusun itu sampai sebulan lamanya. Sesudah dia melihat bahwa semua ancamannya dipenuhi oleh para hartawan sehingga seluruh penduduk dusun yang miskin menjadi gembira luar biasa, baru Si Kong meninggalkan dusun itu. Penduduk yang tahu akan kepergian Si Kong, berbondong-bondong mengantarkan pemuda itu sampai keluar dari dari dusun. Dan semenjak hari itu, seluruh penduduk dusun hidup dengan aman dan tenteram. Para hartawan tidak perlu lagi memelihara tukang pukul karena rakyat miskin yang mengenal budi itu akan menjaga keselamatan mereka dari gangguan perampok. Juga tidak ada lagi kekurangan pangan, karena para hartawan mau membagi-bagikan beras apabila musim panas yang panjang datang. Dan tidak ada lagi pencurian atau perampokan, karena selain penduduk melakukan penjagaan, juga tak ada lagi keadaan yang memaksa mereka untuk mencuri. Dusun Ki-ceng menjadi dusun teladan. Penduduknya hidup tenteram dan sebentar saja dusun itu berkembang menjadi besar. Bahkan banyak orang berdatangan untuk menjadi penghuni dusun Ki-ceng. Para hartawan juga tidak akan kehabisan hartanya akibat suka membagi-bagi beras kepada penduduk miskin, karena ketika sedang musim panen para penduduk miskin yang banyak menerima bantuan itu secara bergotong royong membantu tanpa menuntut upah. Memang demikianlah. Kalau yang memiliki kelebihan memberi kepada yang kekurangan, baik kelebihan harta atau ilmu pengetahuan, maka akan ada pemerataan penghasilan di antara penduduk, tidak ada lagi bahaya kelaparan dan tidak ada lagi rasa iri dan dendam. Tanpa dia sadari Si Kong telah menolong rakyat di dusun tempat asalnya dan mengubah dusun yang biasanya dilanda kelaparan itu menjadi dusun yang maju dan makmur. Kini Si Kong melakukan perjalanan tanpa tujuan tertentu. Dia telah kembali ke dusunnya, bahkan kehilangan keluarga satu-satunya, yaitu enci-nya. Sesudah menguburkan jenazah enci-nya, habislah kaitannya dengan dusun Ki-ceng. Kemudian, ketika pada suatu siang yang panas dia mengaso di bawah sebatang pohon rindang dan membuka buntalannya, dia melihat kantung kain kecil yang berisi perhiasan wanita, yaitu sepasang gelang emas bertabur permata yang indah sekali. Dia pun teringat akan pemberi sepasang gelang itu, seorang gadis yang cantik jelita dan mempunyai ilmu pedang yang lihai. Namanya Tan Kiok Nio. Membayangkan wajah gadis itu, jantungnya berdebar. Gadis yang hebat, pikirnya. Dia lalu mengenang kembali semua pengalamannya dan dia mendapat kenyataan bahwa dia pun teringat akan Tong Kim Lan, puteri si Huncwe Maut Tong Li Koan. Gadis itu pun sering kali muncul dalam ingatannya. Kemudian dia teringat pula kepada Tang Hui Lan, puteri suami isteri pendekar besar, cucu gurunya Ceng Lojin. Kalau dibandingkan dua orang gadis itu, Hui Lan menang segala-galanya. Kecantikannya, kepandaiannya. Dia merasa yakin bahwa Hui Lan tentu mempunyai ilmu kepandaian yang hebat sekali. Kemudian dia teringat kepada Gu Mei Cin, yang ditolongnya dari tangan si jahat Ouwyang Kwi. Lalu dia pun teringat dan membayangkan wajah gadis lain yang tak kalah cantiknya dari yang lain, bahkan dia memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat. Entah siapa yang lebih unggul ilmunya antara gadis yang bernama Pek Bwe Hwa itu dengan Tang Hui Lan. Satu demi satu wajah kelima gadis itu bermunculan dan hatinya merasa gelisah sendiri. “Ihh! Tak tahu malu. Kenapa mengenang gadis-gadis itu?” celanya kepada diri sendiri. Cepat dia menyimpan kembali kedua gelang emas berhias permata itu ke dalam kantung kain, lantas mengambil roti kering yang tadi dibelinya di dusun terakhir yang dilewatinya. Makan sepotong roti kering dan ikan kering membuat leher terasa haus bukan main. Akan tetapi tempat airnya telah penuh diisi air teh di warung dusun tadi, maka dia dapat makan dan minum sambil melepaskan lelah. Selagi dia makan minum, nampak seorang laki-laki setengah tua datang sambil memikul ubi. Agaknya dia seorang petani yang baru saja panen ubi dan kini membawa ubi dalam pikulannya. Melihat seorang pemuda beristirahat di bawah pohon besar yang berdaun lebat sehingga memberi keteduhan di bawahnya, lelaki berusia hampir lima puluh tahun itu pun berbelok meninggalkan jalan dan menuju ke pohon itu. Dia menurunkan pikulannya dan menyeka keringat dengan bajunya, bahkan dia lantas menanggalkan baju atasnya karena merasa gerah bukan main. “Selamat siang, paman,” kata Si Kong ramah. “Kalau paman mau, silakan makan minum bersamaku. Akan tetapi aku hanya mempunyai roti kering dan teh dingin!” “Roti kering dan teh dingin sudah merupakan hidangan lezat di siang hari panas seperti ini,” kata orang itu. Dia lalu duduk dekat Si Kong, di atas hamparan rumput hijau. Sambil tersenyum Si Kong mengulurkan tangannya, memberi roti dan ikan kering kepada orang itu yang menerimanya dengan pandang mata berterima kasih. Mereka lalu makan minum bersama sambil bercakap-cakap santai. “Paman hendak menjual ubi ke kota?” “Benar, kongcu.” “Aihh, jangan menyebut aku kongcu, paman. Aku hanya seorang perantau miskin, bukan pemuda bangsawan bukan pula pemuda hartawan. Namaku Si Kong dan paman boleh menyebutku dengan nama itu saja.” Petani itu tersenyum sambil memandang kepada Si Kong dengan matanya yang ramah. Kulit muka petani itu sudah penuh keriput biar pun usianya baru lima puluh tahun, namun wajah keriput itu masih nampak segar dan tubuhnya masih nampak kuat. “Baiklah, Akong, dan terima kasih atas keramahanmu mengundangku makan. Roti kering dan ikan kering itu lezat sekali!” “Setiap makanan akan lezat kalau dimakan selagi perut merasa lapar, bukankah begitu, paman?” “Kau benar dan perutku memang sedang lapar.” “Apakah paman mempunyai anak isteri?” “Aku mempunyai isteri dan dua orang anak.” “Apakah hidup paman kekurangan?” “Ah, tidak. Kedua anakku membantu di ladang. Setiap hari kami bisa makan dan ubi sisa makanan kami ini dapat kujual ke kota lalu uangnya dapat kupakai membeli pakaian atau keperluan lain. Tidak, aku tidak kekurangan dan keluargaku tidak pernah kelaparan. Kami memiliki sebidang sawah dan juga mempunyai sebuah rumah yang meski pun tidak bagus namun cukup menyenangkan bagi kami.” Si Kong memandang kagum. Di depannya duduk seorang setengah tua yang sederhana dan miskin, memikul ubi yang berat untuk di jual dengan harga yang murah, namun kakek ini tidak merasa kekurangan. Agaknya orang seprti kakek inilah yang dapat disebut orang yang berbahagia hidupnya. Mereka telah selesai makan, namun kakek yang sudah melakukan perjalanan cukup jauh itu agaknya hendak mengaso sejenak di tempat yang teduh itu. “Paman, engkau tentu seorang yang berbahagia hidupnya.” “Bahagia? Apakah itu? Aku tidak merasa berbahagia, tetapi juga tidak merasa sengsara. Aku sekeluargaku cukup makan, dapat bertukar pakaian setiap hari, dan memiliki rumah sebagai tempat tinggal kami, juga dapat bekerja di ladang setiap hari.” “Kalau begitu engkau pasti berbahagia,” kata Si Kong sambil mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu, Akong. Apa sih bahagia itu? Yang jelas aku tidak membutuhkan bahagia, asalkan keluargaku semua sehat dan tidak ada halangan sesuatu.” “Paman tentu tidak mengenal kesusahan dan kekecewaan.” “Ahh, siapa bilang? Kalau ubi yang kupikul ini tidak laku atau hanya laku sedikit saja, aku tentu kecewa dan susah. Kalau anak-anakku tidak mentaati kata-kataku, aku pun marah dan kesal. Aku masih bisa susah dan kecewa, Akong.” Si Kong tertegun dan memandang pada wajah penuh keriput itu. Benar, orang ini masih mengenal susah dan kecewa. Kalau begitu dia bukan orang yang bahagia. “Kalau begitu engkau juga tidak berbahagia seperti halnya diriku, paman.” “Aku tidak tahu. Yang jelas, kadang-kadang aku merasa senang tapi kadang-kadang juga merasa susah, kadang-kadang merasa puas tapi sering merasa kecewa juga. Bukankah kehidupan ini terisi kesenangan dan kesusahan, Akong? Wah, matahari sudah naik tinggi, aku tidak boleh kesiangan sampai di kota karena ubiku tentu takkan laku lagi. Tengkulak-tengkulak pasti sudah pulang sehingga terpaksa ubi kujual murah, membuat aku merasa kecewa dan susah.” Kakek itu lalu memikul lagi ubinya dan pergi meninggalkan Si Kong. Setelah kakek itu pergi, Si Kong lalu termenung. Kakek itu bukan orang yang berbahagia, pikirnya. Lalu apakah kebahagiaan itu. Baru sekarang timbul pertanyaan ini. Sayang dia dahulu tak pernah membicarakan perihal bahagia ini dengan guru-gurunya. Sekarang dia menghadapi pertanyaan itu seperti menghadapi teka-teki. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan bahagia itu dan ke mana harus mencari bahagia. Seperti juga Si Kong, semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan, akan tetapi agaknya jarang ada orang yang berhasil menemukan kebahagiaan. Yang dirasakan orang hanyalah kesenangan, maka mau tak mau kita pasti akan berhadapan dengan kesusahan pula. Senang dan susah, puas dan kecewa, gembira dan sedih, berhutang budi dan dendam, semuanya itu menjadi isi kehidupan, yang satu tak terpisah jauh dari yang lain sehingga manusia dipermainkan oleh perasaannya sendiri. Kesenangan memang mudah dicari dan ditemukan, dan walau pun tidak dikehendaki, kesusahan akan menyusul kesenangan itu, silih berganti. Apakah kebahagaiaan itu? Ke mana mencarinya? Orang mencari kebahagiaan dengan berbagai cara. Melalui agama, melalui pengetahuan, melalui pertapaan dan penyiksaan diri, tetapi amatlah sukar menemukan orang yang telah mendapatkan kebahagiaan yang dicari-cari itu. Tetap saja mereka menjadi permainan susah dan senang. Kalau kita renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki mengenai kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang. Bahkan pada waktu mengalami kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia tidak disentuh dan tidak diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti lewatnya segumpal awan di angkasa yang cepat lewat kemudian lenyap. Kebahagiaan tidak mungkin dapat ditemukan dengan jalan mencarinya. Kebahagiaan tak dapat dicari. Makin didambakan dan dicari maka semakin menjauhlah dia. Dari pada bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik kalau orang meneliti ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang. Merasa tidak bahagia! Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa yang menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan ini sudah tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita sudah berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada dalam diri kita. Seperti halnya kesehatan. Kesehatan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi biasanya kita tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat menikmati. Apa bila kita jatuh sakit, barulah kita mendambakan kesehatan. Demikian pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, gembira sedih, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu. Karena kita menjadi budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak pernah dapat dirasakan. Yang bisa dirasakan hanya kesenangan dan kesenangan ini pun ulah nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar kesenangan. Orang yang tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi majikan nafsu, mungkin sekali akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu tidak lagi menyeret kita ke dalam perbuatan yang hanya mengejar kesenangan sehingga kita halalkan segala macam cara untuk mencapai kesenangan. Nafsu merupakan peserta hidup yang sangat penting dan berguna, kalau saja kita yang mengendalikannya. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka mala petakalah yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat hidup di dunia ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai manusia. Akan tetapi kita akan hidup sesat apa bila nafsu menjadi majikan. Nafsu bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya maka api itu sangat berguna bagi kehidupan kita. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya, api yang mengamuk menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada! Lalu bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang begitu kuat? Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah apa bila kita berusaha untuk menundukkan nafsu. Pikiran yang ingin menguasai nafsu itu sendiri sudah bergelimang dengan nafsu. Ilmu pengetahuan juga tidak dapat digunakan untuk menguasai nafsu. Lalu bagaimana? Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu hanyalah MENYERAH kepada KEKUASAAN TUHAN! Siapa lagi yang mampu menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Hanya Tuhanlah yang mampu menundukkan nafsu. Kalau kita menyerahkan diri dengan penuh keimanan, tawakal serta kepasrahan yang ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja di dalam diri kita! *************** Si Kong bangkit berdiri, dan membawa buntalan pakaiannya dengan memanggul tongkat bambu. Dia melakukan perjalanan ke barat dengan melangkahkan kaki seenaknya karena dia tidak tergesa-gesa, bahkan tidak mempunyai tujuan. Kembali dia teringat kepada Tan Kiok Nio, gadis jelita yang minta tolong kepadanya untuk mencari tahu di mana adanya seorang kakek berusia enam puluh tahun yang mukanya pucat dan berpakaian serba merah. Kakek itu sudah membunuh orang tua Kiok Nio. Biar pun amat sukar mencari orang yang tidak diketahui di mana tempat tinggalnya, akan tetapi kalau kebetulan dia bertemu dengan kakek itu, tentu dia akan mengenalnya. Sukar dicari orang tua yang memakai pakaian serba merah! Pada suatu hari tibalah dia di tempat yang sunyi sepi dan di depannya menjulang tinggi sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon besar. Matahari sudah naik tinggi dan Si Kong merasa betapa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore dia belum makan apa pun kecuali minum air jernih yang menjadi bekalnya. Melihat hutan di bukit itu, timbullah niatnya untuk berburu binatang yang dagingnya dapat dimakan. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu di mana dia dapat membeli makanan. Dengan membawa beberapa potong batu yang runcing dia memasuki hutan itu. Sesudah berkeliaran di dalam hutan mencari-cari, akhirnya dia meloncat naik ke atas pohon besar untuk melihat kalau-kalau di dekat situ terdapat binatang buruan. Usahanya berhasil. Dari atas pohon itu dia melihat anak sungai yang berliku-liku dan tidak jauh dari sana terdapat beberapa ekor kijang sedang minum air. Dengan hati-hati Si Kong turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati sekawanan kijang itu, menyusup-nyusup di antara semak belukar dan batang-batang pohon. Sesudah jarak antara dia dan kijang-kijang itu tidak begitu jauh lagi, Si Kong lantas menggenggam sepotong batu. Ia mengambil jarak dan matanya dengan tajam membidik, lalu tangannya bergerak dan batu itu meluncur ke arah seekor kijang muda yang gemuk. “Wuuutt...! Tarr…!” Batu itu bertumbukan dengan batu lain yang meluncur dari samping sehingga dua batu itu runtuh. Kijang-kijang itu terkejut oleh bunyi kedua batu yang bertumbukan itu dan mereka segera berloncatan cepat sekali menghilang di balik semak-semak belukar. Si Kong mengerutkan kedua alisnya dan dia menjadi marah sekali. Jelas ada orang yang sudah menimpuk batunya sehingga niatnya merobohkan seekor kijang menjadi gagal. Dia meloncat keluar dari balik semak-semak, dan pada waktu yang sama dari balik sebatang pohon besar melompat keluar pula seorang pemuda remaja yang dilihat dari pakaiannya yang kusut penuh tambalan itu dapat diduga bahwa dia seorang pengemis. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning. Bajunya yang penuh tambalan itu terlampau besar hingga kedodoran dan kepanjangan sampai lutut. Namun wajah yang kotor terkena tanah dan debu itu kelihatan tampan juga. Sebelum Si Kong menegurnya, pengemis muda itu lebih dahulu menudingkan jari telunjuknya ke arah hidung Si Kong dan membentak nyaring. “Engkau manusia kejam yang tidak mengenal peri kebinatangan! Kijang-kijang itu sedang santai melepas dahaga, kenapa engkau hendak membunuhnya? Engkau lebih kejam dari pada binatang buas!” Kemarahan Si Kong lenyap sudah. Melihat seorang pengemis muda yang hidupnya tentu serba kekurangan dan sengsara, hatinya sudah merasa kasihan dan dia telah memaafkan perbuatan pengemis muda remaja itu. Akan tetapi dia penasaran juga ketika dikatakan lebih kejam dari binatang buas. “Adik kecil…” “Aku bukan anak kecil!” pengemis itu membantah. Si Kong tersenyum. Seorang pemuda remaja yang nakal, pikirnya, lantas dia pun berkata, “Adik yang baik, kenapa engkau mengatakan bahwa aku lebih kejam dari binatang buas? Kalau aku menjadi harimau, tentu kijang tadi sudah kuterkam!” “Harimau lain! Memang makanannya daging binatang dan ia hanya membunuh korbannya kalau perutnya lapar dan dia ingin makan.” Si Kong mengelus perutnya. “Aku juga lapar.” “Tapi engkau tentu suka makan makanan lain. Harimau tidak suka makan roti, tidak suka minum arak, tidak suka makan nasi. Sebaliknya engkau, aku yakin engkau suka makan roti dan minum arak!” “Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Di sini yang ada hanya kijang itu, tidak ada roti dan arak!” Pengemis muda itu menurunkan buntalannya dari punggung, lalu membuka buntalan dan di antara pakaian yang tambal-tambalan terdapat pula sebungkus roti bakpau yang isinya cukup banyak untuk dimakan dua orang! Dan ada seguci arak pula. “Aku tidak tega melihat kijang itu dibunuh. Binatang itu demikian indah, kalau engkau tadi membunuhnya, tentu ada orang tua serta sanak saudaranya yang kehilangan, terutama pacarnya. Maka aku menghalangimu dan kalau engkau memang lapar, sama dengan aku, maka mari kita makan bakpau ini.” Dia lalu duduk bersila di atas rumput. cerita silat online karya kho ping hoo Si Kong memandang dengan bengong. Bocah ini memang agak nakal, akan tetapi kata-katanya demikian tepat sehingga sukar untuk dibantah, seperti kata-kata seorang pendeta yang pantang makan daging saja. Dia pun mengangguk, kemudian duduk di hadapannya dan mengambil sepotong bakpau lalu menggigitnya. Lezat sekali bakpau itu, tentu bukan bakpau murahan. Akan tetapi ketika lidahnya merasakan daging di dalam bakpau, dia pun mengerutkan alisnya. “Adik, engkau tadi mencela aku yang hendak makan daging kijang! Namun engkau sendiri sekarang makan daging yang berada di dalam bakpau. Kalau begitu engkau seorang yang munafik!” “Apa kau bilang? Aku munafik? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku tidak suka daging?” ”Kau tadi melarangku...” “Tentu saja karena aku membawa bekal bakpau yang cukup banyak. Kalau ada bakpau, kenapa harus membunuh kijang lagi? Yang kumakan ini daging ayam, itu pun bukan aku yang menyembelih, melainkan orang yang memeliharanya.” Si Kong tersenyum. Percuma saja berdebat dengan anak kecil yang mau menang sendiri. Dia lalu makan lagi dan tanpa perlu makan waktu lama, bungkusan bakpau itu telah habis mereka makan! “Ini minumnya! Bukan arak keras, melainkan anggur yang sedap dan tidak memabokkan. Aku paling muak melihat orang mabok!” Bocah ini nakal, pandai bicara dan mau menang sendiri, akan tetapi hatinya amat polos dan baik. “Engkau minumlah dulu, baru aku. Engkau pemiliknya, berhak minum lebih dulu karena di sini tidak ada cawan.” Kembali bocah itu mengerutkan alisnya, “Kau tidak percaya padaku dan kau kira arak ini mengandung racun? Hemmm, kalau aku ingin meracunimu, sekarang juga engkau sudah menggeletak tanpa nyawa. Aku dapat menaruh racun itu di dalam bakpau tadi!” “Wah, jangan salah sangka, sobat. Aku sama sekali bukannya takut kalau di dalam arak itu ada racunnya. Akan tetapi karena kita harus minum begitu saja dari mulut guci, maka sebaiknya engkau dulu yang minum, baru aku.” “Aturan mana itu? Aku tuan rumah dan engkau tamuku. Tentu saja engkau yang harus minum lebih dahulu. Apa bila engkau menolak, itu berarti engkau tidak percaya dan tidak menghargai suguhanku.” Kembali Si Kong merasa kalah kalau dia harus berdebat melawan pengemis muda yang bicaranya seperti seorang pengacara ini. Terpaksa dia menerima guci itu dan minum dari mulut guci, menjaga agar bibirnya tidak menyentuh mulut guci. Anggur itu memang nikmat sekali, manis dan sedap. Karena isinya masih penuh, dia pun minum sepuasnya. Lalu dia mengembalikan guci itu kepada pemiliknya. Pengemis muda itu pun menuangkan anggur dari guci ke mulutnya dan menempelkan bibirnya pada mulut guci. Si Kong memandang wajah pengemis itu. Wajah itu masih kekanak-kanakan, akan tetapi sesudah dipandang dengan teliti, dia harus mengakui bahwa wajah pengemis itu tampan sekali. Giginya berderet putih bagaikan mutiara. Akan tetapi wajah berlepotan lumpur dan debu. Teringatlah dia akan peristiwa tadi. Sambitan batu yang dilontarkan kepada kijang tadi mengandung tenaga yang kuat, yang diaturnya agar dapat membunuh kijang itu dengan sekali sambit. Namun pemuda remaja ini mampu meruntuhkannya dengan sambitan batu lain. Ini membuktikan bahwa pemuda jembel ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. “Adik yang baik, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu?” Pengemis muda itu menatap tajam wajah Si Kong, agaknya sedang mempertimbangkan pertanyaan itu. Kemudian dia berkata, “Katakan dulu siapa engkau dan ada urusan apa engkau datang ke tempat ini?” Si Kong tersenyum. “Ditanya belum menjawab bahkan berbalik mengajukan pertanyaan.” “Sebagai tamu tentu saja engkau harus memperkenalkan diri lebih dulu. Jika engkau tidak bertanya siapa namaku, aku pun tidak akan menanyakan namamu.” Dasar pokrol, pikir Si Kong. Akan tetapi pengemis muda ini sudah menjamunya dengan bakpau dan anggur, maka dia pun mengalah. “Namaku Si Kong, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara dan aku berkelana ke mana saja hati dan kakiku membawaku. Kebetulan saja aku lewat di sini dan perutku tengah keroncongan. Karena melihat di sekitar tempat ini tidak ada dusun, maka terpaksa aku harus berburu binatang untuk memberi makan perutku yang lapar. Nah sudah jelas, bukan? Sekarang giliranmu berderita tentang dirimu.” “Aku... ehh, namaku Siangkoan Ji. Aku juga berkelana seorang diri saja. Kalau tidak ada orang lain menaruh iba, aku mendatangi rumah hartawan yang kikir lalu kuambil emasnya barang sekantung. Lihat, inilah sisa emas sekantung. Sudah kubagi-bagikan kepada para petani miskin dan sisanya tidak berapa lagi, akan tetapi cukup untuk kubelikan makanan kalau lapar. Tidak akan habis sebulan.” Si Kong mengerutkan alisnya. “Ji-te, mengemis adalah pekerjaan yang memalukan, dan mencuri merupakan perbuatan yang jahat. Mengapa engkau mengemis dan mencuri?” “Aku mengemis untuk makan. Aku mencuri untuk menolong para petani miskin di dusun-dusun. Kenapa di bilang jahat? Habis, kalau aku tidak boleh mengemis atau mencuri, lalu aku harus makan apa? Aku tidak suka makan batu dan minum air comberan!” Pemuda itu membantah kemudian bersungut-sungut. “Engkau bisa bekerja, Ji-te (adik Ji), seperti aku. Aku pun suka bekerja kalau kehabisan bekal. Gajinya kutabung, kalau sudah cukup aku melanjutkan pengembaraanku. Engkau pun dapat bekerja, Ji-te.” Pengemis muda itu tampaknya senang di sebut Ji-te, sebutan yang akrab sekali. Pemuda tegap di hadapannya ini tidak keberatan untuk bersahabat dengan pengemis, tidak seperti pemuda-pemuda lain yang jijik melihatnya dan mengusirnya kalau dia mendekati mereka. “Aku tidak biasa bekerja, Kong-ko. Aku tidak bisa bekerja apa-apa. Mana aku kuat kalau diharuskan bekerja kasar seperti mengangkuti barang sekarung atau balok yang besar?” “Ji-te, tidak perlu bersembunyi di depanku. Aku tahu benar bahwa engkau memiliki tenaga yang besar dan engkau tentu seorang ahli silat yang lihai.” Pengemis itu membelalakkan matanya. “Ehh, bagaimana engkau bisa mengetahuinya?” “Mudah saja. Pada waktu aku menyambitkan batu ke arah kijang tadi, ada batu lain yang menghancurkan batuku. Tentu engkau yang menyambitkan batu itu, bukan? Nah, untuk menyambit batuku begitu tepat sampai dapat menghancurkan, engkau pasti mempunyai kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat.” “Wah, ternyata engkau cerdik juga, Kong-ko. Akan tetapi tenagaku hanya untuk membela diri, bukan untuk mengangkut barang berat dan mencari uang. Ehh, dan engkau sendiri, bukankah selain bekerja berat engkau juga suka mencuri barang para hartawan kikir?” “Tidak, aku tidak pernah mencuri!” “Hemm, kalau begitu dari mana engkau memperoleh sepasang gelang permata itu?” Si Kong terkejut dan heran sekali. Bagaimana bocah ini bisa tahu bahwa dia menyimpan sepasang gelang emas di dalam buntalannya? Dia segera meraih buntalan itu yang tadi diletakkan di atas tanah, dekat pengemis muda itu duduk. Ketika memeriksanya, ternyata buntalan gelang itu telah lenyap! Si Kong menjadi semakin bingung. Pengemis muda itu tertawa. “Ha-ha, apakah ini yang kau cari, Kong-ko?” Dia mengangkat kantung kain berisi sepasang gelang itu ke atas sambil meloncat berdiri. “Jadi engkau yang telah mencopetnya! Kembalikan!” Tangan Si Kong meraih, akan tetapi Siangkoan Ji menarik tangannya sehingga sambaran tangan Si Kong itu luput. “Ha, engkau memiliki sepasang gelang yang berharga mahal, akan tetapi engkau bekerja sebagai kuli kasar, bukankah itu pelit namanya? Ataukah, sepasang gelang ini pemberian pacarmu sebagai tanda mata?” Siangkoan Ji menggoda. Si Kong cepat meloncat berdiri. “Ji-te, harap jangan main-main. Sepasang gelang itu milik seorang gadis yang dititipkan kepadaku, bukan dari pacarku karena aku tidak mempunyai pacar. Kembalikan padaku!” “Kalau bukan dari pacarmu, bahkan lebih gawat lagi. Kalau pacarmu mengetahui engkau membawa gelang milik gadis lain tentu dia akan merasa cemburu sekali. Sebaiknya aku yang membawa agar engkau tidak dimarahi pacarmu.” “Ji-te, jangan main-main! Kembalikan gelang itu kepadaku, cepat!” “Ha, bukan kebiasaanku untuk memberikan barang yang sudah kuambil. Apa bila engkau mampu, ambillah sendiri dari tanganku!” Pengemis muda itu tertawa-tawa mengejek. Si Kong menjadi marah. Dia melompat ke depan kemudian menjulurkan tangannya untuk merampas sepasang gelang yang berada di tangan kanan Siangkoan Ji. Namun ternyata pengemis muda itu memiliki gerakan yang cepat sekali. Dia sudah melompat ke samping sehingga sambaran Si Kong menjadi luput. “Ji-te, kembalikan atau terpaksa aku menggunakan kekerasan!” “Ha, memang itulah yang kukehendaki. Aku ingin tahu apakah dengan mempergunakan kekerasan engkau akan mampu merampas gelang ini.” Si Kong kembali meloncat dan menyergap, akan tetapi dengan amat lincahnya pengemis muda itu mengelak ke sana-sini sambil berloncatan. Si Kong menjadi semakin penasaran dan kini dia menjulurkan tangan untuk menangkap pergelangan tangan kanan Siangkoan Ji. Dia sudah menyentuh pergelangan tangan itu, akan tetapi tiba-tiba pengemis muda itu menendang ke arah dadanya. Karena tendangan itu sangat cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat, terpaksa Si Kong melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan dan mengelak ke belakang. Sekarang Si Kong maju sambil menyerang dengan memainkan ilmu Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang). Gerakannya cepat bukan kepalang seperti seekor burung walet di udara. Pengemis muda itu mengeluarkan seruan kaget dan dia pun menggunakan ginkang yang hebat untuk dapat mempertahankan sepasang gelang di tangan kanannya, malah kini dia pun balas menyerang sehingga kedua orang muda itu kini saling serang dengan serunya. Si Kong mendapat kenyataan bahwa pemuda pengemis ini tidak saja bisa bergerak cepat, akan tetapi juga ilmu silatnya cukup tangguh! Pantas dia berani mengembara dalam usia yang demikian muda. Kiranya dia memang dapat membela diri dengan kuat dan agaknya para penjahat akan sukar mengalahkan pemuda pengemis ini. Meski pun dia telah mengerahkan ilmu silat Yan-cu Hui-kun, ternyata pemuda itu mampu menandinginya sehingga sampai tiga puluh jurus dia belum dapat merampas gelang atau merobohkannya! Tidak ada jalan lain bagi Si Kong kecuali menggunakan Thi-khi I-beng. Sebetulnya dia sudah dipesan oleh Ceng Lojin supaya tidak sembarangan menggunakan Thi-khi I-beng. Akan tetapi pemuda pengemis itu terlalu cepat gerakannya, dan kalau dia menggunakan Hok-liong Sin-ciang maka dia khawatir akan melukainya. Hal ini tidak ingin dia lakukan. Dia harus merampas kembali gelang emas permata itu, akan tetapi tak mau membuat pemuda pengemis itu cedera atau terluka dalam tubuhnya. Satu-satunya jalan untuk merampas sepasang gelang itu tanpa melukainya hanyalah dengan menggunakan Thi-khi I-beng. Ketika tangan kiri pemuda pengemis itu menyambar dan menghantam ke arah dadanya, Si Kong menerimannya dengan dada tanpa mengelak sedikit pun. “Plakk!” Tangan pemuda remaja itu mengenai dadanya dan melekat, kemudian Si Kong menyedot tenaga sinkang pemuda itu. Pemuda itu terkejut setengah mati dan berusaha melepaskan tangannya yang tersedot dan melekat di dada itu. Dengan mudah Si Kong lalu merampas sepasang gelang di tangan kanan pemuda itu, lalu melepaskan tenaga Thi-khi I-beng dan melompat mundur. Pengemis muda itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Kong-ko, engkau menggunakan ilmu setan apakah?” tegurnya setengah bertanya. Si Kong tersenyum. “Ilmu itu namanya ilmu merampas gelang.” Dengan tenang Si Kong segera menyimpan kembali buntalan sepasang gelang itu ke dalam buntalan pakaian, lalu memanggul tongkat bambunya di ujung mana buntalan pakaian itu tergantung. “Kong-ko, ternyata engkau mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dalam perkelahian tangan kosong aku mengaku kalah, akan tetapi kalau saja aku mempunyai sebatang pedang, aku yakin dapat mengalahkanmu.” “Syukurlah bahwa engkau tidak mempunyai sebatang pedang, Ji-te. Karena aku tak mau berkelahi denganmu. Engkau pun lihai sekali. Gurumu tentu seorang tokoh besar dalam perkumpulan pengemis. Akan tetapi kenapa seorang pemuda yang demikian lihai seperti engkau berkeliaran di sini dan berpakaian pengemis?” “Aku hendak menonton keramaian di bukit depan itu,” dia menuding ke arah bukit yang tampak menjulang di depan mereka, lalu tiba-tiba saja pengemis itu berseru, “Hei, jangan-jangan engkau salah seorang di antara mereka!” “Mereka siapa?” “Mereka yang hendak bertanding di sini untuk meperebutkan Pek-lui-kiam.” Diam-diam Si Kong terkejut. “Aku bukan anggota dari partai mana pun juga dan aku tidak hendak bertanding di bukit itu. Apakah seorang di antara mereka telah menguasai pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan orang-orang persilatan itu?” “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin juga begitu. Aku hanya mendengar bahwa besok pagi-pagi datuk-datuk besar akan mengadakan pertemuan di sana untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Kalau engkau bukan seorang di antara mereka, marilah kita menonton, Kong-ko! Tentu akan ada pertunjukan menarik di sana!” Si Kong mengangguk. Tanpa diminta pun dia tentu akan pergi ke sana kalau pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan. Dia sendiri telah menyanggupi permintaan Tan Kiok Nio untuk mencari kakek berjubah merah yang membunuh orang tua gadis itu dan merampas Pek-lui-kiam. “Baik, aku akan ikut denganmu,” jawabnya. “Akan tetapi engkau harus bersembunyi, Kong-ko, dan tak boleh sembarangan keluar dari tempat persembunyianmu. Mereka adalah para datuk yang tidak segan membunuhmu!” “Jangan khawatir, Ji-te, aku akan menuruti nasehatmu,” jawab Si Kong sambil tersenyum. “Kita melewatkan malam di dalam hutan di kaki bukit itu, dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki bukit.” Si Kong hanya menurut saja dan pemuda jembel itu menjadi penunjuk jalan. Agaknya dia sudah hafal benar dengan keadaan di situ dan setelah tiba di kaki bukit, dia mengajak Si Kong memasuki sebuah hutan. “Di sana ada bekas kuil kecil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Kita melewatkan malam di sana,” kata Siangkoan Ji. Benar saja, setelah sampai di tengah hutan itu, Si Kong melihat sebuah bangunan yang sudah bobrok saking tuanya dan tidak terawat. Dindingnya sudah menjadi hijau oleh lumut dan atapnya juga banyak yang pecah. Pada waktu hujan tentu kuil ini kebocoran di mana-mana. Mereka memasuki kuil kecil itu. Di ruangan tengah terdapat sebuah arca batu yang juga sudah penuh lumut sehingga sukar dikenal lagi arca siapakah itu. Akan tetapi Siangkoan Ji memberi hormat kepada arca itu dan perbuatannya ini lantas diikuti oleh Si Kong. Yang dibuatkan arca tentu sebangsa dewa atau orang suci budiman yang patut dihormati. Di sudut ruangan belakang terdapat lantai yang bersih. Agaknya sudut itu sering dipakai oleh para pemburu binatang untuk mengaso sehingga lantainya bersih sekali. “Nah, kita akan melewatkan malam di sini, Kong-ko.” “Baiklah, aku mau pergi keluar sebentar.” “Mau ke mana, Kong-ko?” “Untuk mencari kayu bakar.” “Untuk apa?” “Ji-te, malam nanti hawanya tentu sangat dingin dan nyamuknya banyak sekali. Membuat api unggun bisa mengusir nyamuk dan melawan hawa dingin. “ Si Kong lalu menunjuk ke arah kanan di mana terdapat abu dan arang. “Mereka yang pernah bermalam di sini juga membuat api unggun.” “Untuk mengusir nyamuk aku tidak membutuhkan api unggun, dan untuk menahan udara dingin aku pun kuat. Akan tetapi kalau engkau memang membutuhkannya, silahkan saja mencari kayu bakar.” Si Kong tersenyum. “Aku ingin sekali melihat bagaimana caranya engkau akan mengatasi kegelapan yang pekat malam ini tanpa api unggun.” “Malam nanti aku tidur, terang atau gelap sama saja bagiku,” jawab Siangkoan Ji sambil tersenyum pula. Si Kong lalu keluar dari situ dan mengumpulkan kayu-kayu kering yang kiranya cukup untuk membuat api unggun semalam suntuk. Ketika Si Kong memasuki kuil itu sambil memanggul sebongkok kayu kering, dia melihat Siangkoan Ji sedang mengoleskan bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan semacam minyak dari botol kecil. Kedua tangan sampai ke siku lalu kaki bagian atas yang tidak tertutup sepatu, dan terutama muka dan lehernya. “Apa itu, Ji-te?” “Inilah obat istimewa penolak serangga macam serangga dan nyamuk. Kalau ada nyamuk berani hinggap di kulitku, maka binatang itu akan tewas seketika!” Si Kong menurunkan kayu bakar dan memeriksa botol minyak itu, dibukanya kemudian diciumnya. “Ahh, ini racun hebat dan berbahaya!” katanya sambil mengembalikan botol itu kepada pemiliknya. Siangkoan Ji tertawa. “Tidak berbahaya bagi manusia, asalkan jangan diminum. Tapi bagi nyamuk merupakan cairan maut, baru menciumnya saja sudah bisa membunuh binatang itu.” “Dari mana engkau memperoleh racun itu, Ji-te?” “Aku membuatnya sendiri,” kata Siangkoan Ji bangga. Si Kong mengerutkan alisnya. Pemuda remaja ini penuh rahasia. Di samping ilmu silatnya tinggi, juga agaknya dia ahli racun. Akan tetapi dia diam saja. Sesudah hari mulai gelap, apa yang dikhawatirkan Si Kong tadi langsung terbukti. Banyak sekali nyamuk yang datang ke tempat itu! Akan tetapi Siangkoan Ji enak-enak saja dan Si Kong melihat sendiri pemuda itu menjulurkan tangan agar digigit nyamuk. Beberapa ekor nyamuk menyerang tangan itu dan nyamuk-nyamuk itu langsung berjatuhan, mati! Dia sendiri langsung menjadi korban gigitan nyamuk, maka cepat-cepat dia membuat api unggun barulah nyamuk-nyamuk itu terbang pergi. Dan bersama gelapnya malam, datang hawa dingin. Akan tetapi api unggun itu mendatangkan kehangatan. Siangkoan Ji menggunakan daun-daun pohon untuk menyapu lantai, lalu dia merebahkan diri. “Aku mau tidur di sini, Kong-ko. Kalau engkau mau tidur, carilah tempat sendiri.” “Kau tidurlah, Ji-te. Aku akan menjaga api unggun supaya tidak sampai padam.” Dia lalu duduk bersila di dekat api unggun. Tak lama kemudian Siangkoan Ji sudah tidur pulas. Si Kong dapat mengetahui hal ini dari pernapasannya yang lembut dan panjang. Dia sendiri lalu memejamkan mata akan tetapi tidak tidur, hanya mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat. Lewat tengah malam, tiba-tiba Si Kong mendengar suara orang berbicara di luar kuil. Dia segera waspada dan cepat bangkit berdiri, kemudian berindap-indap keluar dari kuil untuk melihat siapa yang bicara itu. Karena di luar gelap, dia hanya melihat dua bayangan orang sedang bicara. Mereka memegang sebatang golok dan menghampiri kuil dengan langkah perlahan. “Tentu di dalam ada orang. Api unggun itu pasti ada yang membuatnya,” terdengar suara yg parau. “Siapa pun dia tetap harus kita periksa. Kalau dia adalah musuh, maka sekarang juga kita bereskan,” jawab suara yang tinggi. “Akan tetapi, apakah tidak lebih baik kalau kita memberi tahu teman-teman, siapa tahu di dalam ada orang lihai?” “Ahh, selihai-lihainya mana mungkin mampu menandingi kita berdua. Kalau diberi tahukan kepada teman-teman, kita yang rugi. Siapa tahu orang itu membawa barang berharga!” “Dan mungkin saja ada wanitanya yang cantik!” si suara parau tertawa perlahan. “Sssttt, jangan keras-keras, nanti mengejutkan orang dan kalau orang itu lari melalui pintu belakang, akan sulitlah menemukan dia dalam gelap begini.” Si Kong sudah hendak keluar menjumpai dua orang itu, akan tetapi tiba-tiba dua orang itu menjerit. “Aduhhh...!” “Ahhh...! Lari, hayo kita lari!” Lalu terdengar suara dua orang itu melarikan diri. Tentu saja Si Kong menjadi heran sekali dan cepat dia menengok ke belakang. Ternyata Siangkoan Ji sudah tidak berada di tempat dia tertidur tadi. Lalu tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pemuda pengemis itu tahu-tahu sudah duduk di tempatnya. “Ji-te, kenapa kau lakukan itu?” Si Kong menegur karena dia sudah dapat menduga tentu Siangkoan Ji yang menyebabkan dua orang tadi mengaduh dan melarikan diri. “Aku melakukan apa?” Pemuda remaja itu berbalik bertanya. “Engkau yang menyebabkan kedua orang itu mengaduh dan melarikan diri, bukan?” “Apakah engkau lebih senang melihat mereka masuk lantas menyerang kita dengan golok mereka?” “Hemm, tadi engkau tidur pulas, bagaimana dapat mengetahui kedatangan mereka?” “Telingaku peka sekali, Kong-ko. Sedikit suara saja sudah cukup membangunkan aku.” “Apa yang kau lakukan tadi sehingga mereka mengaduh?” “Ha-ha-ha, apakah engkau tidak bisa menduganya? Aku menimpuk mereka dengan batu-batu. Ah, mereka lari ketakutan, tentu mengira ada setan mengganggu mereka!” pemuda itu tertawa senang.....

jilid 9


DIAM-DIAM Si Kong merasa kagum namun kecewa. Kagum karena pemuda pengemis itu dapat menyerang dengan tepat sekali mengenai dua orang yang hanya nampak bayangan mereka dengan samar-samar saja, akan tetapi kecewa karena menganggap Siangkoan Ji terlalu terburu nafsu. Sebetulnya dia ingin membekuk dua orang itu yang dari percakapan mereka jelas bukan merupakan orang baik-baik. “Sudahlah, sekarang mereka sudah pergi. Tidurlah lagi, Siangkoan Ji, malam sudah larut dan hawanya dingin sekali. Biar kubesarkan api unggun ini.” “Tadi aku sudah tidur, sekarang tidak mengantuk lagi. Kau saja yang tidur, Kong-ko, biar aku yang menjaga api unggun.” “Baiklah, aku hendak tidur sebentar, Ji-te.” Setelah berkata demikian Si Kong lalu merebahkan diri di sudut di mana tadi Siangkoan Ji tidur. Aneh sekali! Begitu dia merebahkan diri, hidungnya mencium bau yang harum. Dia tidak tahu mengapa tempat itu berbau harum dan dia pun tidak ingin menyelidiki karena matanya sudah mengantuk. Sebentar saja Si Kong sudah tidur pulas. Begitu dia membuka matanya, Si Kong menjadi silau. Langit yang kelihatan dari bawah, melalui atap yang berlubang, nampak sudah terang. Kiranya semenjak tadi matahari telah menampakkan diri di langit timur. Dia memandang ke kanan kiri, lantas dia bangkit duduk ketika melihat Siangkoan Ji sedang membakar sesuatu di atas api unggun. Dia mencium bau sedap daging ayam dibakar. “Ji-te, apakah yang sedang kau panggang itu?” tanyanya kepada pemuda pengemis yang berjongkok membelakanginya. Siangkoan Ji menoleh dan berkata dengan senyum cerah. “Bangunlah dan mandilah dulu, Kong-ko. Tuh, di situ terdapat sumber air yang jernih. Aku sedang memanggang daging ayam untuk sarapan kita nanti.” “Ayam? Dari mana engkau memperoleh ayam?” tanyanya heran. “Aihh, sudahlah. Ditanggung halal, bukan mencuri. Nah, mandilah dulu, nanti kuceritakan sambil sarapan.” Si Kong tersenyum. Temannya ini memang cerdik sekali, sepagi itu sudah mendapatkan seekor ayam untuk dipanggang dagingnya. Dia lalu bangkit berdiri dan menuju ke sumber air yang ditunjukkan Siangkoan Ji tadi. Benar saja, di balik batu-batu padas terdapat air yang mengucur dari batu, dan air itu jernih sekali. Si Kong membersihkan dirinya, lalu kembali ke kuil tua. Daging ayam itu sudah matang dan kini Siangkoan Ji sedang memasak air, lalu dia membuat air teh yang dituangkan ke dalam dua buah mangkuk. Si Kong terheran-heran. Pengemis muda itu ternyata memiliki banyak macam barang yang berguna dalam buntalan pakaiannya. Ada teh, dan ada pula mangkuk-mangkuk. Sesudah teh itu mendidih dan menuangkan dalam mangkuk, Siangkoan Ji berkata, “Nah, kini kita dapat sarapan pagi. Hayo silakan, Kong-ko. Kita makan selagi panggang ayam ini masih panas.” Si Kong juga duduk di dekat api unggun. Pagi itu hawanya sangat dingin. Dia menerima paha ayam yang diserahkan Siangkoan Ji kepadanya. Ketika dia menggigit paha ayam itu, kembali dia tertegun dan kagum. Dia sendiri pernah memanggang daging ayam, akan tetapi rasanya hambar karena tidak dibumbui, namun panggang daging ayam yang dibuat Siangkoan Ji ini lezat bukan main. Sedap dan gurih. Tentu pemuda itu membawa-bawa bumbu pula di dalam buntalan pakaiannya! “Nah, sekarang ceritakanlah kepadaku dari mana engkau memperoleh ayam ini. Aku tahu bahwa ayam itu bukan ayam hutan. Aku pernah memanggang ayam hutan akan tetapi dagingnya liat, tidak lunak seperti ini. Ini tentu ayam peliharaan orang.” Siangkoan Ji tersenyum. “Jangan khawatir, ayam ini seratus prosen halal. Pagi-pagi sekali tadi aku pergi ke perkampungan di bawah sana dan bisa membeli seekor ayam dari orang kampung.” “Tidak mencuri?” Si Kong memandang penuh selidik dan keraguan. Siangkoan Ji tertawa. “Hemm, engkau tidak percaya ya? Kau sangka aku ini maling kecil yang suka mencuri milik orang dusun yang miskin? Aku hanya mencuri harta milik orang kaya yang berwatak kikir, bahkan membagi-bagikan hasilnya kepada orang-orang dusun yang miskin. Bagaimana aku tega mencuri dari mereka?” Si Kong menggigit daging ayam panggang itu, kini terasa lebih lezat dan dia mengangguk-angguk. “Aku percaya padamu, dan keteranganmu itu sungguh menyenangkan hatiku.” Siangkoan Ji mengambil sebuah kantung kecil dari buntalan pakaiannya, lantas membuka kantung itu dan memperlihatkan kepada Si Kong. “Nah, kau lihatlah. Aku dapat membeli seratus ekor ayam kalau kau mau, mengapa mesti mencuri?” Si Kong mengangguk dan tersenyum. “Maafkanlah aku, Ji-te. Wah, bukan saja panggang ayam ini yang lezat, bahkan air teh ini sedap dan harum sekali.” “Kong-ko,” kata Siangkoan Ji sambil menyimpan kembali kantung kecil berisi uang serta emas itu, “kalau malam tadi aku tahu, tentu aku sudah membunuh dua orang itu.” “Ehh, kenapa?” “Ketika aku turun dari bukit ini untuk pergi ke dusun terdekat, di tengah jalan aku melihat banyak orang membuat perkemahan di lereng bukit. Setelah aku melihat bendera mereka, aku terkejut karena tahu bahwa mereka adalah orang-orang Kwi-jiauw-pang yang terkenal jahat.” “Kwi-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan)? Perkumpulan macam apa itu?” “Aku sendiri pun hanya mendengar dari cerita orang saja. Kwi-jiauw-pang berpusat di Kwi-liong-san (Gunung Naga Siluman) dan kabarnya orang-orang perkumpulan sesat itu telah merajalela di daerah mereka. Semua pencuri dan perampok harus membagi hasil mereka kepada Kwi-jiauw-pang. Jika ada yang melanggar tentu akan dibunuh secara mengerikan. Tubuh mereka akan dicabik-cabik dengan cakar setan, yaitu senjata mereka yang ampuh dan dipasang pada kedua tangan mereka.” “Ihh, kejamnya!” seru Si Kong. “Ha-ha, engkau tidak tahu bahwa di dunia ini banyak orang yang bahkan lebih kejam dari mereka. Mudah-mudahan nanti kita akan bisa melihat orang-orang yang kau sebut kejam itu.” “Akan tetapi apa maksud Kwi-jiauw-pang berada di bukit ini?” “Aku sendiri juga tidak tahu, Kong-ko. Kabar yang kudapatkan hanya mengatakan bahwa hari ini akan ada pertemuan dari tokoh-tokoh sesat untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, pedang pusaka yang menghebohkan dunia kang-ouw itu.” Si Kong telah tahu dari Tan Kiok Nio bahwa pedang yang disebut-sebut itu tadinya adalah milik ayah gadis itu yang telah dibunuh oleh seorang kakek berpakaian merah. Bahkan dia telah berjanji kepada gadis itu untuk mencari tahu tentang kakek berpakaian merah. Tapi untuk mengetahui lebih jelas tentang Pek-lui-kiam yang menurut Kiok Nio sudah dirampas pembunuh ayahnya itu, dia berpura-pura tidak tahu dan bertanya. “Apa sih pedang Pek-lui-kiam itu dan mengapa pula diperebutkan orang?” Pengemis muda itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam. “Engkau belum pernah mendengar tentang Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia persilatan itu, Kong-ko? Aih, pengalamanmu tentang dunia kang-ouw sungguh masih dangkal sekali." “Memang aku seorang bodoh yang kurang pengalaman, Ji-te,” kata Si Kong sederhana. “Kiranya engkau begitu rendah hati. Baiklah kuberi tahu. Kabarnya pedang Pek-lui-kiam itu dulunya adalah milik seorang manusia dewa yang bertapa di pegunungan Himalaya. Lalu tersiar berita bahwa pedang pusaka itu dicuri orang. Ada yang mengatakan bahwa pedang pusaka itu terjatuh ke tangan Tan Tiong Bu, pendekar besar yang amat terkenal dengan ilmu pedangnya itu. Tetapi baru-baru ini tersiar berita bahwa Tan-taihiap itu sudah tewas terbunuh orang. Karena tidak ada yang tahu ke mana pedang pusaka itu dibawa orang dan siapa yang kini menjadi pemiliknya, dunia kang-ouw menjadi geger dan semua orang seperti berlomba mencarinya.” “Heran sekali. Apakah orang-orang itu tidak punya pekerjaan lain yang lebih penting? Apa sih artinya pedang Pek-lui-kiam maka dijadikan rebutan orang-orang kang-ouw?” “Wah-wah! Kalau pedang Pek-lui-kiam saja tidak kau kenal, sungguh keterlaluan engkau, Kong-ko. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang hebat, ampuh bukan main sehingga siapa yang memilikinya tentu akan menjadi semakin lihai dan ditakuti orang!” Si Kong mengangguk-angguk, kemudian tersenyum memandang wajah Siangkoan Ji dan berkata, “Sekarang aku mengerti apa sebabnya engkau berada di tempat ini, Siangkoan Ji. Engkau merupakan seorang di antara mereka yang ingin memiliki pedang itu!” “Hemmm, siapa orangnya yang tidak ingin memiliki pedang Pek-lui-kiam? Dengan pedang itu di tanganku, aku tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguh pun! Semua orang akan tunduk kepadaku dan mentaati semua perintahku!” “Wah, agaknya engkau ini seorang yang gila kekuasaan, Ji-te!” “Mengapa tidak? Siapakah orangnya yang tidak gila kekuasaan? Dalam kerajaan, dalam masyarakat, bahkan di dalam keluarga semua orang memperebutkan kekuasaan. Apakah engkau juga tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam kalau kesempatan untuk itu ada?” “Setelah mendengarkan keteranganmu, aku pun ingin sekali melihat seperti apa pedang pusaka itu.” “Akan tetapi sayang sekali, Kong-ko. Orang yang memiliki pedang itu haruslah seorang yang tinggi ilmu silatnya, karena kalau tidak, tentu pedang itu tidak ada gunanya baginya dan mudah dirampas orang lain yang lebih tinggi kepandaiannya.” “Ya, sayang sekali aku tidak memiliki kepandaian seperti engkau, Ji-te.” “Sudahlah, engkau ingin melihat keramaian atau tidak? Kalau engkau takut, tinggallah di sini saja. Di sini engkau aman, akan tetapi kalau engkau ikut aku, mungkin saja engkau akan terancam bahaya karena yang akan mengadakan pertandingan adalah orang-orang yang berilmu tinggi.” “Ada engkau di dekatku, takut apa?” Si Kong tertawa. “Tentunya engkau tak akan tinggal diam saja kalau ada orang jahat mengancam aku, bukan?” “Tentu saja! Ahhh, sudahlah, mari kita berangkat,” Siangkoan Ji menggendong buntalan pakaiannya. Si Kong juga mengikatkan buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambunya dan memikul tongkat bambu itu. Diam-diam dia merasa kagum kepada sahabat barunya. Masih begitu muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki keberanian yang luar biasa pula. Sesudah memadamkan api unggun, mereka pun berangkat, keluar dari kuil itu dan mendaki ke arah puncak bukit. Ketika mereka tiba di lereng di mana pagi tadi Siangkoan Ji melihat serombongan orang Kwi-jiauw-pang, ternyata tempat itu sekarang telah kosong karena pagi-pagi sekali orang-orang yang tadinya berada di situ sudah meninggalkan tempat itu. Mereka hanya melihat bekas api-api unggun yang besar, banyak tulang binatang berserakan dan bau arak masih dapat tercium ketika Si Kong dan Siangkoan Ji tiba di situ. Siangkoan Ji memperhatikan jejak mereka, lantas berkata, “Mereka sudah mendaki bukit. Itu jejak mereka. Sebaiknya kita mengambil jalan lain agar tidak bertemu dengan mereka. Nanti kita mencari tempat yang enak untuk bersembunyi lalu mengintai apa yang terjadi di puncak.” Si Kong menurut saja karena pemuda remaja itu agaknya sudah mengenal benar daerah ini. Mereka masuk keluar hutan, menyusup di antara semak-semak belukar dan ilalang yang tinggi sampai ke pundak mereka, dan akhirnya mereka tiba di puncak. Siangkoan Ji mengajak Si Kong bersembunyi di balik semak belukar, lantas mengintai ke arah puncak yang merupakan padang rumput yang luas. Mereka sudah melihat belasan orang berkumpul di tengah lapangan itu, ada yang berdiri dan ada yang duduk. Sebuah tiang bendera berdiri di situ dengan benderanya yang berkibar ditiup angin pagi. Dari tempat mereka berdua mengintai dapat terlihat bahwa bendera itu bergambar sebuah tangan yang merupakan cakar yang kukunya tajam melengkung dan mengerikan. Tanpa penjelasan lagi Si Kong mengerti bahwa orang-orang yang jumlahnya lima belas itu tentu orang-orang Kwi-jiauw-pang seperti yang diberitakan Siangkoan Ji tadi. Akan tetapi jantung di dalam dada Si Kong segera berdebar kencang ketika melihat salah seorang di antara mereka yang pakaiannya berbeda dengan yang lain. Kalau orang-orang lain berpakaian serba hitam dengan sabuk merah, maka orang yang satu ini berpakaian serba merah! Teringat akan pesan Kiok Nio, Si Kong segera memandang dengan penuh perhatian. Orang berjubah merah itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Mukanya kepucatan seperti orang sakit, tubuhnya tinggi kurus namun kelihatan kokoh. Dia memegang sebuah kipas di tangan kirinya dan sedang menggerak-gerakkan kipas seperti orang kepanasan. Padahal pagi itu hawanya cukup dingin. Si Kong berpikir bahwa nampaknya tidak salah lagi, kakek inilah yang dicari oleh Tan Kiok Nio. Kakek inilah yang telah membunuh orang tua Kiok Nio lantas merampas pedang dari tangan ayahnya. Dan orang itu agaknya menjadi pemimpin orang-orang Kwi-jiauw-pang! “Ji-te, apakah kakek berjubah merah itu adalah ketua Kwi-jiauw-pang?” bisiknya lirih dekat telinga Siangkoan Ji. Siangkoan Ji mengangguk. “Mungkin sekali, aku sendiri belum pernah melihatnya.” “Tahukah engkau siapa namanya?” “Kalau tidak salah nama julukannya adalah Ang I Sianjin, karena pakaiannya selalu serba merah. Kabarnya ilmu kepandaiannya benar-benar lihai dan senjatanya adalah kipas dan pedang. Dia sendiri sudah lihai sekali, apa lagi masih membawa empat belas orang anak buahnya. Tentu akan ramai sekali nanti,” bisik Siangkoan Ji dekat telinga Si Kong. Mereka berjongkok berdekatan di balik semak belukar. Mendadak Si Kong mengerutkan alisnya. Berjongkok berdekatan dengan Siangkoan Ji, dia mencium aroma harum seperti ketika dia tidur di dalam kuil. Tahulah dia bahwa yang berbau harum adalah Siangkoan Ji! Mengapa seorang laki-laki, pengemis pula, memakai wangi-wangian? Akan tetapi perhatiannya kemudian beralih setelah pundaknya ditepuk oleh Siangkoan Ji. “Lihat itu...!” Si Kong melihat lima orang yang baru muncul hingga jantungnya kembali berdebar penuh ketegangan. Dia mengenal baik lima orang itu. Mereka bukan lain adalah Bu-tek Ngo-sian yang dulu datang bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok Ceng Lojin. Walau pun mereka semua dikalahkan Ceng Lojin, namun gurunya yang sudah tua renta itu pun terluka hebat di dalam tubuhnya sehingga mengakibatkan kematiannya. Dan sekarang Bu-tek Ngo-sian berada di tempat itu pula! Agaknya kakek berjubah merah itu sudah mengenal Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding) itu. Dia melangkah maju, menutup kipasnya kemudian memberi hormat. “Kiranya Bu-tek Ngo-sian juga ikut datang! Selamat datang, Ngo-sian. Kuharap saja nanti kalian tidak mengandalkan keroyokan untuk mencari kemenangan!” Bu-tek Ngo-sian adalah lima orang yang sudah bersumpah sebagai saudara, sungguh pun mereka itu tidak ada hubungan keluarga satu dengan yang lain. Yang pertama atau tertua bernama Ciok Khi, bertubuh tinggi besar dan bermuka penuh cacat bekas cacar. Orang ke dua berusia empat puluh lima tahun, lima tahun lebih muda jika dibandingkan Ciok Khi, bernama Sia Leng Tek, bertubuh tinggi kurus dan mukanya nampak pucat seperti orang berpenyakitan. Orang ke tiga bernama Cong Boan. Dia berusia empat puluh tiga tahun, tubuhnya sedang tegap dan wajahnya penuh brewok. Orang ke empat bernama Bwa Koan Si, berusia lebih kurang empat puluhan dan biar pun tubuhnya pendek gendut akan tetapi kelihatan gesit. Ada pun orang ke lima bernama Bhe Song Ci, berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya pendek kecil seperti orang katai. Wajahnya juga kecil dan si katai ini memiliki mata yang tajam bersinar-sinar seperti burung rajawali. Mendengar ejekan Ang I Sianjin itu, Ciok Khi yang mewakili adik-adiknya berkata dengan suaranya yang menggelegar parau, “Ang I Sianjin, engkau membawa empat belas orang anak buah, yang khawatir menghadapi keroyokan bukan engkau, melainkan kami!” “Ha-ha-ha!” tawa Ang I Sianjin. “Anak buahku ini hanya akan bergerak jika aku dikeroyok, tapi sebaliknya hanya menjadi saksi kalau aku berhadapan dengan seorang lawan. Kalian tidak perlu khawatir, pedang dan kipasku sudah cukup untuk mengalahkan setiap orang yang berani menantangku!” “Ha-ha-ha, ucapan yang bagus sekali!” Tiba-tiba terdengar suara orang lain, lalu sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang kakek berusia enam puluh tahunan, memegang sebatang tongkat kepala naga. “Wah, Majikan Pulau Tembaga juga datang, tentu akan ramai sekali,” bisik Siangkoan Ji. Si Kong menjawab dengan pertanyaan lirih, “Apakah engkau mengenal pula lima orang itu?” “Tentu saja! Mereka adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang sombong sekali sehingga mengaku diri sebagai dewa yang tidak terkalahkan.” Diam-diam Si Kong memuji Siangkoan Ji. Pemuda ini benar-benar luas pengetahuannya tentang dunia kangouw sehingga mengenal para tokoh itu. Kalau belum pernah bertemu dengan orang-orang itu, dia sendiri tentu tidak akan mengenal mereka. “Selamat bertemu, Tung-hai Liong-ong! Agaknya engkau pun tertarik akan berita tentang Pek-lui-kiam itu!” “Ha, siapa yang tak akan tertarik? Katakanlah, apakah benar berita yang kudengar bahwa sekarang pedang pusaka itu berada padamu, Ang I Sianjin?” “Aku tidak menyangkal juga tidak mengaku. Ketika itu kukatakan bahwa siapa pun boleh menyelidiki sendiri.” “Hi-hik-hik, ucapan yang mengandung kesombongan dan juga kelicikan!” Suara wanita ini terdengar jelas dan sesosok bayangan berkelebat. Ketika semua mata memandang ternyata di situ telah berdiri seorang wanita yang berusia empat puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik dan pakaiannya sangat mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim (kebutan). “Kau juga mengenal wanita itu, Ji-te?” tanya Si Kong. “Tentu saja. Dia disebut Ang-bi Mo-li, seorang tokoh yang lihai juga.” Si Kong makin kagum saja. Dia memang mengenal wanita ini ketika dia bekerja sebagai penggembala kerbau milik Tong Li Koan, majikan Bukit Bangau. Bahkan dia pun pernah bertanding melawan wanita itu dan dapat mengalahkannya. Ketika itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun. Akan tetapi dengan heran Si Kong melihat bahwa wanita itu tidak nampak lebih tua, masih seperti dulu. “Bagus, kini suasana menjadi meriah!” kata Ang I Sianjin. “Ang-bi Mo-li rupanya juga ingin menguasai pedang Pek-lui-kiam.” “Aku tidak perlu malu mengaku bahwa memang demikianlah, aku ingin merampas pedang pusaka itu. Tetapi ucapanmu tadi mengandung kelicikan. Jika pedang pusaka itu memang ada padamu, katakan saja terus terang kemudian pertahankanlah dengan kepandaianmu. Sebaliknya kalau tidak ada padamu, siapa ingin bersusah payah berkelahi denganmu?” Sebelum Ang I Sianjin menjawab, Tung-hai Liong-ong sudah melompat ke depan Ang-bi Mo-li. “Ang-bi Mo-li, dari pada engkau maju sendirian melawan Ang I Sianjin, lebih baik engkau menjadi isteriku dan kita bersama menandinginya. Kau lihat, Ang I Sianjin datang bersama anak buahnya.” Wajah Ang-bi Mo-li menjadi merah, lantas dengan marah dia menghadapi Tung-hai Liong-ong. Dengan kebutannya dia menuding ke arah muka kakek itu dan suaranya melengking tinggi karena dia sudah marah sekali. “Tung-hai Liong-ong! Sejak dahulu engkau membujuk dan merayu aku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu. Sekarang di depan banyak orang engkau kembali menghinaku. Engkau pantas kuhajar!” Ia menerjang maju dan menggerakkan kebutannya mengarah mata lawan. Tung-hai Liong-ong cepat mengelak, lantas menggerakkan tongkat kepala naganya yang segera menyambar ke arah kaki wanita itu. “Engkau memang harus ditundukkan dengan kekerasan!” kata Tung-hai Liong-ong. Ang-bi Mo-li meloncat untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kakinya itu. Sambil meloncat dia telah mencabut pedangnya dan menyerang dengan pedang dan kebutannya. Tetapi Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia memutar tongkat kepala naga, dan kedua senjata wanita itu tidak mampu menembus gulungan sinar tongkat itu. Si Kong memperhatikan dan melihat betapa ilmu pedang Ang-bi Mo-li kini telah jauh lebih maju dari pada dulu. Akan tetapi dia pun tahu betapa lihainya Tung-hai Liong-ong, maka pertandingan itu tentu akan berlangsung seru. Ketika melirik ke kiri dia melihat Siangkoan Ji juga sedang menonton dengan wajah gembira dan jarang berkedip. Dia ingin mencoba pengetahuan pemuda itu dalam ilmu silat. “Ji-te, kau kira siapakah yang bakal menang atau kalah dalam pertandingan itu?” “Sebetulnya Tung-hai Liong-ong tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa dia hendak mengambil Ang-bi Mo-li sebagai isterinya. Dia sengaja mengeluarkan kata-kata itu untuk membuat Ang-bi Mo-li marah dan menyerangnya. Inilah yang dikehendakinya, yaitu agar dia dapat menyingkirkan dulu seorang saingan dalam memperbutkan pedang pusaka itu,” kata Siangkoan Ji dengan suara sungguh-sungguh. “Dan kau pikir siapa yang akan menang?” “Hemmm, mudah diduga. Betapa pun lihainya kebutan dan pedang Ang-bi Mo-li, dia kalah tenaga dan tingkat kepandaiannya masih di bawah Tung-hai Liong-ong, Mo-li pasti kalah.” Diam-diam Si Kong kagum sekali. Ucapannya yang mengatakan bahwa Tung-hai Liong-ong menggunakan siasat untuk memancing kemarahan Ang-bi Mo-li memang masuk akal, kemudian penilaiannya tentang pertandingan itu pun tepat sekali. Sejak tadi Si Kong telah dapat melihat bahwa Ang-bi Mo-li pasti akan kalah. Pertandingan itu masih berlangsung seru. Kedua pihak mengerahkan sekuruh tenaga dan mengeluarkan segenap ilmu mereka. Akan tetapi jelas bahwa Mo-li kalah tenaga. Setiap kali pedangnya bertemu dengan tongkat Tung-hai Liong-ong, pedang itu selalu terpental. Tongkat Liong-ong menyambar ganas dan Mo-li cepat menyambut dengan kebutan tangan kirinya. Bulu-bulu kebutan itu membelit tongkat dan pedang di tangan kanannya menusuk dada. Sungguh pun tongkatnya sudah terbelit kebutan, akan tetapi Liong-ong masih dapat menggerakkannya dengan tenaga besar sehingga tangan Mo-li terbetot dan apa bila dia tidak mau melepaskan kebutan tentu dia akan tertarik. Dia melepaskan kebutannya, tapi pedangnya meluncur terus menusuk dada. Liong-ong menggerakkan tongkatnya. “Tranggg...!” Bunga api berpercikan dan tubuh Mo-li terhuyung ke belakang. Pedangnya sudah terlepas dari pegangan tangannya dan melayang jauh. Ujung tongkat Tung-hai Liong-ong secepat kilat sudah menempel di dadanya. Tung-hai Liong-ong tersenyum menyeringai. “Bagaimana, Mo-li? Apakah penyeranganmu akan kau teruskan?” Wajah cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Dikalahkan seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong memang wajar, akan tetapi dia dikalahkan di hadapan orang banyak. Ini merupakan penghinaan baginya. “Sekali ini aku memang kalah, akan tetapi akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini!” Setelah berkata demikian dia pun mengambil kebutan dan pedangnya, lalu lari dengan cepat meninggalkan puncak itu. Melihat wanita itu kalah, Siangkoan Ji lupa bahwa dia sedang mengintai dan bersembunyi. Dia bersorak dan berkata dengan bangga kepada Si Kong. “Nah, benar tidak kataku? Perempuan iblis itu pasti kalah!” Setelah ucapannya keluar barulah Siangkoan Ji teringat dan dia terkejut sendiri lalu cepat berjongkok kembali, akan tetapi sudah terlambat. Ang I Sianjin tadi sudah mendengar dan melihatnya. Dia memberi aba-aba kepada anak buahnya. “Tangkap pengintai itu!” Empat belas orang anak buahnya sudah berlari ke arah semak belukar itu. Melihat ini, Si Kong lalu melompat keluar dan berkata, “Kami hanya menonton, tidak ada maksud apa-apa.” Akan tetapi Tung-hai Liong-ong mengenal Si Kong. Lima tahun yang lalu pada waktu dia bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, pemuda itu menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan sudah mengalahkan muridnya yang bernama Ouwyang Kwi. Kemudian pada saat Ouwyang Kwi menangkap seorang puteri Gu Kauwsu di Sin-keng, pemuda itu muncul lagi dan dia malah telah membunuh Ouwyang Kwi. Lalu dia sendiri yang menandingi pemuda itu, akan tetapi dia kalah! Maka dengan marah dia lalu berseru, “Bunuh pemuda itu! Dia pasti datang untuk merampas Pek-lui-kiam!” Mendengar ini, Ang I Sianjin membentak para muridnya untuk cepat menerjang Si Kong, sedangkan Tung-hai Liong-ong sendiri telah melintangkan tongkatnya di depan dada, siap untuk menyerang. “Serigala-serigala biadab!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dibarengi munculnya tiga batang anak panah tangan dan tiga orang anak buah Ang I Sianjin roboh dan berkelojotan lalu tewas! Siangkoan Ji sudah meloncat keluar dan berjaga di depan Si Kong. Kembali Siangkoan Ji menggerakkan kedua tangannya dan ada dua batang anak panah meluncur ke arah Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong. Akan tetapi dua orang datuk ini cepat menyambar panah tangan itu dengan cengkeraman tangannya. Melihat panah tangan yang ujungnya kehijauan menghitam dan di gagangnya tertulis dua huruf Lam-tok (Racun Selatan) itu, dua orang datuk ini terkejut sekali. “Apa hubunganmu dengan Lam-tok?” Ang I Sianjin bertanya setengah membentak. “Mau tahu siapa aku dan apa hubunganku dengan Lam-tok? Ketahuilah bahwa aku adalah anaknya!” “Anak Lam-tok? Apa hubunganmu dengan pemuda itu?” Tung-hai Liong-ong menuding ke arah Si Kong. “Ha-ha-ha, dia adalah sahabatku, sahabat yang baik. Karena itu siapa pun yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku! Kalian boleh maju satu-satu melawanku. Awas, kalau main keroyokan aku akan memberi tahu ayahku. Hendak kulihat kalian dapat bersembunyi di mana!” Mendengar omongan besar ini, Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong bertukar pandang. Bagaimana pun juga mereka berdua sudah lama mendengar nama Lam-tok serta betapa lihai dan kejamnya datuk selatan ini. Bocah itu boleh jadi membual, namun bagaimana kalau dia benar-benar putera Lam-tok. Anak panahnya itu pun jelas senjata rahasia dari Lam-tok yang mengandung racun ampuh sekali. Tiga orang anak buah Kwi-jiauw-pang langsung tewas begitu terkena panah itu! “Aku harus membunuh bocah itu untuk membalas kematian muridku, engkau putera Lam-tok harap minggir dan jangan mencampuri urusan kami!” kata Tung-hai Liong-ong, nada suaranya seperti memohon. “Enak saja! Dia adalah sahabat baikku, kalau engkau menyerang dia, sama saja dengan menyerang aku.” “Ji-te, biarlah aku menghadapi dia, jangan engkau ikut campur.” Siangkoan Ji membelalakkan mata memandang kepada Si Kong. “Kong-ko, jangan main-main. Tung-hai Liong-ong ini kejam dan lihai sekali. Bukan hanya tongkat berkepala naga itu yang hebat, akan tetapi ilmunya Tok-ciang bahkan lebih berbahaya lagi. Biar aku saja yang menandinginya, Kong-ko!” “Aku tahu, Ji-te. Dan aku tahu pula bahwa aku sanggup menandinginya. Yang ditantang adalah aku, tidak baik kalau engkau melawannya.” Si Kong lalu meloncat ke depan kakek itu dan berkata, “Hayo, Tung-hai Liong-ong, kita selesaikan perhitungan lama ini.” Tung-hai Liong-ong marah sekali. Sejak dikalahkan oleh Si Kong dulu, dia memperdalam ilmunya sehingga kini tongkat dan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dikuasainya menjadi semakin lihai saja. Ia merasa yakin bahwa kali ini dia tentu akan dapat mengalahkan dan membunuh pemuda yang dibencinya itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Siangkoan Ji sudah membentak dan memperingatkan. “Awas, kalau main keroyokan, terpaksa aku akan menggunakan panah beracun!” Meski pun sudah berkata demikian, tetap saja Siangkoan Ji merasa khawatir sekali kalau-kalau sahabatnya tidak mampu menandingi kehebatan Tung-hai Liong-ong dan akan roboh di tangan kakek itu. Maka diam-diam dia pun sudah menyiapkan panah beracunnya untuk sewaktu-waktu kalau kawannya terdesak. Sementara itu Ang I Sianjin juga diam-diam memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap siaga. Dia khawatir juga, karena mungkin saja pemuda dan anak Lam-tok itu akan merampas Pek-lui-kiam yang dimilikinya. Ia hampir yakin bahwa Tung-hai Liong-ong akan mampu mengalahkan pemuda itu. Bagaimana pun juga Si Kong hanya seorang pemuda yang masih berusia kurang lebih dua puluh tahun, sedangkan Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang kepandaiannya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Tetapi tidak demikian dengan pemikiran Tung-hai Liong-ong. Dia sama sekali tidak berani memandang ringan pemuda yang berdiri di hadapannya itu. Si Kong sudah melepaskan pakaiannya dari ujung tongkat bambunya dan sekarang memegang tongkat bambunya itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Sikapnya ini menanti serangan lawan dan nampaknya dia tenang dan santai saja. Dia tidak memandang rendah kepandaian lawannya, akan tetapi merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkannya. “Mari, Tung-hai Liong-ong, aku sudah siap menghadapi tongkat nagamu dan pukulan Tok-ciangmu yang selalu kau pergunakan untuk perbuatan jahat.” “Bocah lancang dan sombong. Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Tung-hai Liong-ong dan dia pun telah memutar tongkat naganya dan menyerang dengan dahsyat. Begitu menyerang, Tung-hai Liong-ong sudah menggunakan jurus maut dan mengisi serangan itu dengan seluruh tenaganya. Si Kong melihat ini dan ia pun tahu bahwa lawannya amat bernafsu untuk membunuhnya, maka ia pun tidak memandang ringan. Ketika tongkat menyambar menusuk dadanya, dia menggeser kaki ke kanan sehingga tusukkan tongkat itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi begitu luput menusuk, dengan gerakan memutar tongkat itu segera membalik dan sekarang menghantam ke arah kepala Si Kong. “Tunggg...!” Ujung tongkat yang runcing dan terbuat dari baja itu mengeluarkan bunyi berdengung saat ditangkis tongkat bambu yang dipegang oleh Si Kong. Walau pun hanya tongkat bambu, akan tetapi ternyata tongkat kepala naga itu terpental ketika bertemu. Tung-hai Liong-ong terkejut. Pertemuan pertama tongkatnya dengan tongkat bambu itu sudah membuktikan betapa kuatnya pemuda yang menjadi musuh besarnya karena telah membunuh muridnya itu. “Heiiiiittttt…!” Dia mengeluarkan suara nyaring. Kini tongkatnya menyambar-nyambar, diselingi pukulan tangan kirinya yang mengandung hawa beracun. Kalau mengenai tubuh lawan maka tamparan tangan kiri itu seketika akan membunuhnya dengan tubuh hangus. Begitu hebatnya ilmu Tok-ciang yang telah dikuasai sepenuhnya oleh Tung-hai Liong-ong. Akan tetapi Si Kong sudah tahu benar mengenai hal ini. Maka dengan kelincahan seekor burung walet dia dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke samping dan dari situ dia menotok tubuh lawan pada bagian lambung. “Tunggg...!” Kembali tongkat naga beradu dengan tongkat bambu saat Tung-hai Liong-ong menangkis totokan itu. Dan sekali lagi datuk itu merasa betapa tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat. Dia terkejut sekali melihat kenyataan bahwa di dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah oleh pemuda itu. Pertempuran dilanjutkan dengan lebih seru lagi. Tung-hai Liong-ong mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmunya. Bagi dia sekali ini merupakan pertandingan mempertahankan nama dan kehormatan, juga pembalasan dendam kematian muridnya. Namun ke mana pun dia menyerang selalu dapat dielakkan atau ditangkis tongkat bambu. Dengan gerakan tenang tetapi waspada dan cepat sekali Si Kong menghindarkan semua serangan, bahkan setiap kali terbuka kesempatan dia segera membalas serangan lawan. Beberapa kali dia membuat Tung-hai Liong-ong terhuyung bingung karena Ilmu Tongkat Ta-kaw Sin-tung merupakan sumber semua ilmu tongkat. Siangkoan Ji memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia menjadi bengong. Seujung rambut pun dia tak pernah menduga bahwa kawannya itu mempunyai kepandaian demikian tingginya sehingga mampu menandingi bahkan mendesak seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong. Dan dia melihat betapa ilmu tongkat yang dimainkan Si Kong lucu dan hebat. Penampilan tongkat itu kadang lambat dan kadang cepat sekali, seolah pemuda itu bermain dengan sebuah kitiran angin! Hampir dia berjingkrak dan bersorak saking kagumnya. Akan tetapi dia tetap waspada kalau-kalau kawannya itu terancam bahaya. Ang I Sianjin memandang dengan perasaan cemas. Dia pun bisa melihat betapa Tung-hai Liong-ong terdesak hebat oleh tongkat bambu pemuda lawannya itu. Dia cepat berhitung. Jika Tung-hai Liong-ong kalah, berarti dia harus menghadapi pemuda lihai itu dan pemuda putera Lam-tok. Berbahaya sekali baginya kalau harus menghadapi kedua orang pemuda itu. Sebaliknya jika pemuda itu kalah dan dapat dibinasakan, dia dan Tung-hai Liong-ong akan dapat menghadapi putera Lam-tok. Tentu saja berpihak kepada Tung-hai Liong-ong lebih menguntungkan. Diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya. Melihat isyarat ini, lima orang anak buahnya lalu mengepung Si Kong dan mereka berlima kini sudah menyambung tangan mereka dengan sejata cakar setan. Senjata ini tak boleh dipandang ringan karena sekali lawan terkena guratan tentu nyawanya segera melayang karena keracunan! Sejak tadi kelima Bu-tek Ngo-sian menonton dengan alis berkerut. Mereka juga terkejut mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah putera Lam-tok. Mereka menjadi jeri! Jika sampai terdengar Lam-tok bahwa mereka bermusuhan dengan puteranya, tentu Lam-tok menjadi marah dan tidak akan dapat mengampuni mereka. Lagi pula lima orang datuk ini mempunyai harga diri tinggi. Mereka tidak mau melakukan pengeroyokan terhadap dua orang muda itu. Maka Ciok Khi yang paling tua lalu memberi isyarat kepada empat orang rekannya untuk pergi saja dari sana. Mereka pun melompat jauh dan berlari meninggalkan tempat itu. Melihat lima orang anak buah Ang I Sianjin hendak mengeroyok Si Kong, kembali kedua tangan Siangkoan Ji bergerak sehingga empat batang anak panah meluncur secepat kilat ke arah lima orang itu. Tiga orang dari mereka dapat mengelak, akan tetapi dua yang lain roboh sambil menjerit lalu berkelojotan tewas! Bukan main marahnya Ang I Sianjin. Lima orang anak buahnya telah tewas terkena anak panah itu. Dia cepat memberi isyarat kepada anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu. Anak buah Kwi-jiauw-pang mengerti akan arti isyarat itu dan mereka semua terpecah menjadi dua rombongan. Empat orang mengeroyok Si Kong dan lima orang sudah siap membantunya. “Bocah kurang ajar! Berani engkau membunuhi anak-anak buahku?!” bentaknya. Dia pun sudah mencabut pedang di punggungnya serta kipas dipegang di tangan kirinya. Sesudah begitu, dia lalu menerjang Siangkoan Ji dengan membabi buta saking marahnya. Siangkoan Ji mengelak dengan cepatnya, berlompatan ke kanan kiri, kadang ke atas. Kini dia tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan anak panahnya. Akan tetapi begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang pisau belati atau pedang kecil yang disembunyikan di bawah jubahnya yang kebesaran. Dan begitu dia memegang sepasang belati itu, dia pun kini dapat membalas serangan Ang I Sianjin dengan nekat! Biar pun sedang bertanding melawan Tung-hai Liong-ong, akan tetapi Si Kong tak pernah melepaskan perhatiannya begitu dia melihat kawannya bertanding melawan Ang I Sianjin. Jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah. Sekali pandang saja tahulah bahwa Ang I Sianjin bukan lawan Siangkoan Ji, dan pemuda jembel itu terancam bahaya maut! cerita silat online karya kho ping hoo Saat itu tongkat naga menyambar ke arah kepalanya. Si Kong menangkis dengan tongkat bambunya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga tongkat itu tidak bisa lepas dari tempelan tongkat bambu. Ketika lawannya agak terkejut melihat ini, Si Kong segera mengeluarkan jurus Hok-liang Sin-ciang dan menghantam ke arah perut lawan. Tung-hai Liong-ong masih dapat menangkis, akan tetapi pukulan ke arah perut itu membelok turun sehingga tetap mengenai pahanya. “Desss…!” Tubuh Tung-hai Liong-ong terlempar. Empat orang anak buah Kwi-jiauw-pang menyerang Si Kong, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya dia mampu membuat empat orang itu roboh dan tak dapat bergerak lagi karena jalan darah mereka sudah tertotok. Si Kong menoleh ke arah Siangkoan Ji. Dia terkejut sekali karena kini pemuda jembel itu dikeroyok enam orang yang lihai ilmu kepandaiannya, yaitu Ang I Sianjin serta lima orang anak buahnya. Dengan sepasang pisau belatinya Siangkoan Ji membela diri, akan tetapi pihak lawan terlalu kuat baginya. Baru menanding Ang I Sianjin saja dia sudah kewalahan, apa lagi kini Ang I Sianjin dibantu oleh lima orang anak buahnya! Tiba-tiba saja sebuah tangan cakar iblis mengenai pundaknya, dan dadanya juga disengat ujung kipas. Siangkoan Ji terhuyung kemudian roboh. Lima orang anggota Kwi-jiauw-pang hendak menurunkan tangan maut, akan tetapi pada saat itu sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu mereka berlima sudah terpelantingan dan roboh oleh terjangan Si Kong. Si Kong yang melihat kawannya terdesak, segera meloncat untuk menolong. Namun dia sedikit terlambat karena Siangkoan Ji telah roboh. Dengan kemarahan dan kekhawatiran Si Kong yang menggunakan jurus Hui-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Terbang) cepat meloncat kemudian menerjang lima orang yang menghampiri Siangkoan Ji dan hendak membunuhnya itu. Terjangannya disertai tenaga dalam yang demikian hebatnya sehingga lima orang itu terpental roboh. Melihat ini Ang I Sianjin segera menyerang Si Kong dengan pedang dan kipasnya. Akan tetapi Si Kong yang sudah marah sekali malah menyambut serangannya dengan gerakan tongkat yang aneh. Tahu-tahu pergelangan tangan kanannya tertotok sehingga pedang itu terlepas dan ketika kipas menyambar, Si Kong menggerakkan tongkatnya menyambut. “Breetttt...!” Kipas itu pecah dan Ang I Sianjin terhuyung. Dia sempat melihat betapa Tung-hai Liong-ong telah melarikan diri sambil terpincang-pincang. Melihat bahwa di sana sudah tidak ada kawan lagi, maka tanpa malu-malu Ang I Sianjin menyambitkan sisa kipasnya ke arah Si Kong. Si Kong cepat menangkis dan dia melihat Ang I Sianjin sudah melarikan diri. Dia hendak mengejar, akan tetapi terdengar rintihan Siangkoan Ji. Cepat dia berbalik dan memeriksa keadaan kawannya itu. Siangkoan Ji berada dalam keadaan setengah pingsan! Melihat ini, Si Kong segera memondongnya pergi dari situ, mencari tempat yang tenang dan bersih. Dia berhenti di bawah sebatang pohon besar lalu merebahkan Siangkoan Ji di atas tanah yang ditilami daun-daun kering itu. Melihat baju di bagian pundak hangus dan bagian dada terobek, Si Kong lalu merobek di bagian pundak. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa pada pundak itu nampak bekas cakaran yang menghitam! Tahulah dia bahwa kawannya itu menderita luka beracun yang ganas sekali. Cepat ditotoknya semua jalan darah di bagian leher dan pundak untuk mencegah supaya racun itu tidak dapat menjalar ke mana-mana, terutama ke jantung dan kepala. Kemudian dia memeriksa detik nadi Siangkoan Ji. Dia membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. Detak nadinya biasa-biasa saja seperti seorang yang sehat. Namun pemuda remaja itu harus diselamatkan. Maka tanpa ragu lagi dia menempelkan mulutnya pada pundak itu dan menyedot dengan kuat. Darah yang terasa pahit memasuki mulutnya dan dia meludahkan darah itu. Sampai tiga kali dia menyedot dan meludahkan darah yang tersedot. Kemudian dia memeriksa lagi. Warna hitam itu sudah hampir lenyap sama sekali. Dia lalu mengambil sebuah botol kecil terisi obat yang lunak. Diolesinya bekas luka itu dan dia pun bernapas lega. Kawannya sudah tertolong. Melihat pakaian pada dada Siangkoan Ji terobek panjang seperti digurat pedang, dia pun membuka pakaian di bagian dada itu. “Ihhhh...!” Seperti dipagut ular Si Kong cepat meloncat jauh ke belakang. Dia berdiri dengan kedua mata terbelalak, melihat ke arah baju yang bagian dadanya kini telah terbuka. Dia melihat buah dada yang menonjol. Buah dada seorang wanita! Si Kong berdiri dan merasa betapa kedua kaki serta kedua tangannya bergetar menggigil seperti orang terserang demam. Dia cepat-cepat memejamkan matanya lantas mengatur pernapasannya agar jantungnya tidak berdebar begitu keras lagi. Sesudah hatinya tenang kembali, dia menghampiri tubuh Siangkoan Ji, lalu dengan hati-hati menutupkan kembali baju bagian dada yang terbuka itu. Kembali dia memeriksa nadi tangan kawannya yang ternyata seorang gadis itu. Denyut nadinya normal, pertanda bahwa luka di dada itu tidak terlalu berat. Setelah memeriksa dan merasa lega bahwa gadis itu tidak menderita luka yang parah, Si Kong menjauhkan diri lagi dan tidak melihat ke arah Siangkoan Ji. Akan tetapi dia segera memejamkan matanya karena dada dan pundak yang terbuka itu terbayang lagi di depan matanya. Baru kini dia menyadari betapa lembut dan halusnya kulit pundak Siangkoan Ji pada saat dia menyentuhnya untuk memberi obat. Dan dia pun bergidik mengingat betapa bibirnya pernah menyentuh pundak itu, mengecup dan menyedotnya! Karena dia duduk membelakangi Siangkoan Ji, dia tidak melihat betapa gadis itu sudah membuka matanya, mencoba bangkit berdiri akan tetapi pundaknya terasa nyeri sehingga dia duduk kembali. Tiba-tiba terlihat betapa bajunya di bagian dada dan pundak terbuka. Cepat-cepat dia menutupkan lagi baju di bagian dada yang terbuka. Ketika hendak menutupkan bagian pundak, jari-jari tangannya menyentuh luka di pundak dan dia pun tahu bahwa pundak itu sudah diobati. Siapa lagi kalau bukan Si Kong yang mengobatinya? Akan tetapi, kalau benar demikian halnya, berarti pemuda itu telah melihat pundak dan dadanya! Dengan mata bersinar marah dan sepasang pipi kemerahan karena malu, dia memanggil, “Kong-ko...!” Si Kong terkejut, menengok dan wajahnya berubah menjadi merah. Kini gadis itu sudah duduk dan sepasang mata yang jernih tajam itu menatapnya dengan marah. “Ahhh, engkau sudah siuman, Ji-te?” tanyanya, pura-pura tidak tahu bahwa kawannya itu adalah seorang gadis. “Kong-ko, engkaukah yang telah mengobati pundakku?” Si Kong mengangguk. “Aku tadi melihat pundakmu terluka karena bajumu robek di bagian itu. Ternyata engkau terluka akibat cakar setan. Aku lantas mengeluarkan dan membuang racun itu.” “Bagaimana caranya engkau mengeluarkan racun dari pundakku?” Wajah Si Kong menjadi lebih merah lagi. “Racun itu berada di bawah kulit pundakmu dan aku mengeluarkan dengan jalan menyedot dari luka pundakmu.” Wajah Siangkoan Ji juga menjadi semakin merah. “Dan... apakah engkau memeriksa luka di dadaku?” Si Kong menjadi makin salah tingkah, merasa malu dan bingung sekali untuk menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi lebih baik berterus terang, karena dia membuka baju di bagian dada itu bukan sengaja, namun karena dia tidak tahu bahwa Siangkoan Ji adalah seorang wanita. “Bagaimana, Kong-ko?” Siangkoan Ji mendesak. “Itu... ehh, memang aku memeriksa luka itu. Hanya lecet, tidak berbahaya.” Siangkoan Ji mengeluarkan seruan marah dan dia sudah melupakan nyeri di pundaknya, meloncat berdiri menghampiri Si Kong. “Engkau pemuda kurang ajar!” “Ehh, Ji-te...” “Tidak perlu berpura-pura lagi menyebutku Ji-te. Engkau berani membuka bajuku, hal itu benar-benar memalukan sekali!” Gadis itu lalu mendekat dan tangan kanannya menampar pipi kiri Si Kong. “Plakk! Plakk!” Dua kali dia menampar sehingga pipi kiri Si Kong menjadi merah sekali. “Engkau patut di hajar, laki-laki tak tahu malu!” “Ji-te... ehhh, Ji-moi... tadinya aku sama sekali tidak tahu bahwa engkau bukan seorang pria, maka aku berani membuka bajumu untuk memeriksa lukamu!” Kedua tangan yang telah dikepal untuk menyerang itu mendadak lemas dan tiba-tiba saja Siangkoan Ji mejatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis sesenggukan! Si Kong menjadi makin bingung. Tadinya dia menganggap Siangkoan Ji seorang pemuda remaja yang gagah perkasa dan tabah, tidak mengenal takut, tapi sekarang kenyataannya dia seorang wanita! Tangisnya yang mengguguk itu lebih jelas lagi menyatakan bahwa dia memang seorang gadis yang merasa terhina dan malu karena dadanya telah terlihat oleh seorang pria! “Ji-te... ehhh, Ji-moi, kau maafkanlah aku. aku tidak sengaja dan kalau sebelumnya aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita, biar bagaimana pun juga aku tidak akan berani melakukan hal itu. Kalau engkau masih penasaran, pukullah aku lagi. Aku memang layak dipukul.” Akhirnya tangis gadis itu mereda. Dia pun bangkit berdiri, wajah dan matanya kemerahan, dan kedua pipinya masih basah oleh air mata. Dia memandang kepada Si Kong dengan sinar mata tajam menyelidik. “Sekarang engkau sudah tahu, maka tak perlu lagi menyebutku Ji-te atau Ji-moi. Namaku yang sebenarnya bukan Ji.” “Ahh, maaf. Aku tidak tahu. Siapakah namamu yang sesungguhnya?” “Namaku Siangkoan Cu Yin, akan tetapi ketika sedang menyamar sebagai pria aku selalu memakai nama Siangkoan Ji.” “Siangkoan Cu Yin? Nama yang bagus. Dan benarkah bahwa engkau puteri Lam-tok yang namanya menjulang tinggi dan sangat terkenal di dunia persilatan itu?” Dari kakek Ceng Lojin memang Si Kong pernah mendengar sebutan Lam-tok ini. Menurut gurunya itu, di dunia ini ada empat orang datuk besar yang sakti. Pertama adalah Lam-tok (Racun Selatan), ke dua Pai-ong (Raja Utara), ke tiga Tung-giam-ong (Raja Maut Timur), dan yang ke empat adalah sepasang datuk yang selalu bekerja sama, yaitu Toa-ok dan Ji-ok yang datang dari barat. “Benar, aku adalah anak tunggal dari Lam-tok. Ayahku bernama Siangkoan Lok dan kami tinggal di tepian sungai Hung-kiang. Aku mendapat tugas dari ayahku untuk mencari dan merampas Pek-lui-kiam, maka aku menyamar sebagai seorang pemuda jembel agar tidak ada yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Akan tetapi engkau... dengan tidak sengaja sudah membuka rahasiaku, tahu bahwa aku adalah seorang wanita, maka tidak perlu lagi aku bersembunyi darimu. Tetapi kuharap engkau tidak membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.” “Penyamaranmu baik sekali, Yin-moi...” “Kalau aku menyamar sebagai pemuda, sebut saja aku Ji-te agar tidak ada orang yang mengetahui rahasiaku.” “Baiklah, Ji-te. Penyamaranmu itu bagus sekali. Tadinya aku pun sama sekali tak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita.” “Kepandaian menyamar ini kupelajari dari mendiang ibuku. Beliau pernah menjadi seorang sripanggung sehingga pandai menyamar.” “Ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku. Cakar setan itu sungguh berbahaya, mengandung racun yang sangat berbahaya. Tetapi mengapa ketika pundakmu kuperiksa, racun itu hanya berhenti di bawah kulitmu, tidak menjalar dan tidak meracuni darahmu?” “Ayahku terkenal dengan julukan Racun Selatan, dan aku adalah anaknya. Mana mungkin aku dan ayah dikalahkan dengan menggunakan racun? Aku sudah tahu bahwa Kwi-jiauw-pang suka menggunakan racun, maka sebelum bertanding tadi aku telah menelan sebuah pil buatan ayah. Pil itu mampu menolak segala macam racun, baik yang masuk ke dalam tubuh melalui luka atau yang masuk melewati mulut. Karena itulah racun yang masuk ke pundakku hanya bisa sampai bawah kulit saja.” “Wahh, engkau benar-benar hebat, Ji-te. Aku merasa lega dan girang bukan main melihat engkau selamat, dan lebih girang lagi melihat engkau tidak marah kepadaku.” Siangkoan Cu Yin memandang wajah pemuda itu dan melihat betapa pipi kiri pemuda itu merah bekas tamparannya, dia merasa menyesal dan malu. “Kong-ko, kau maafkan aku. Tadi aku menamparmu karena merasa malu dan bingung.” “Tidak mengapa, Ji-te. Aku juga merasa bersalah dan lancang, maka kalau engkau ingin menampar lagi, silakan, selagi aku masih berada di sini.” Cu Yin membelalakkan matanya. “Apa maksudmu, Kong-ko? Selagi engkau masih di sini? Engkau hendak pergi ke manakah?” “Terpaksa kita harus berpisah, Yin-moi. Engkau seorang gadis dan aku seorang pemuda, tidak baik kita melakukan perjalanan bersama. Pula, engkau mendapat tugas dari ayahmu untuk mencari Pek-lui-kiam, sedangkan aku sendiri juga mencari Pek-lui-kiam, maka lebih baik kita mencarinya secara terpisah. Lebih besar kemungkinan untuk dapat menemukan pedang pusaka itu.” “Biar pun aku seorang wanita, akan tetapi aku telah menyamar sebagai pria. Tadi engkau sendiri mengatakan kalau penyamaranku baik sekali. Tak ada orang lain yang tahu bahwa aku sesungguhnya seorang wanita. Apa salahnya kalau kita berdua melakukan perjalanan bersama? Dalam pandangan orang lain, kita adalah dua orang muda laki-laki yang sedang melakukan perjalanan bersama.” “Akan tetapi ingat, Yin-moi. Aku seorang pria dan aku sudah mengetahui bahwa engkau seorang wanita. Tidak, kita harus berpisah sekarang juga. Selamat tinggal, Yin-moi, dan semoga kita akan dapat bertemu kembali.” ”Kong-ko...!” Akan tetapi pemuda itu telah berkelebat lenyap dari depan Cu Yin. Gadis itu mengejar dan memanggil-manggil beberapa kali, akan tetapi ilmu lari cepat Si Kong demikian hebatnya sehingga sebentar saja bayangannya sudah lenyap. Cu Yin berhenti mengejar, kemudian membanting-ganting kaki kanannya dan air matanya berlinang. “Kau... kejam, meninggalkan aku seorang diri...!” keluhnya. Gadis ini merasa sangat tertarik kepada Si Kong, apa lagi sesudah dia mengetahui bahwa ilmu kepandaian pemuda itu tinggi sekali. Tanpa disadarinya dia sudah jatuh cinta kepada pemuda itu, maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan sedih hatinya ketika pemuda itu meninggalkannya. Sesudah menyatakan kekesalan hatinya dengan membanting-banting kaki, Cu Yin segera berlari cepat dengan harapan akan bertemu dengan Si Kong. Akan tetapi bukan Si Kong yang dijumpainya, melainkan enam orang wanita berpakaian seragam warna biru. Enam orang wanita yang berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, dan semuanya mempunyai kecantikan yang lumayan, menghadang di jalan dan segera memberi hormat kepada Cu Yin. “Selamat bertemu, siocia (nona).” “Heii, apa-apaan kalian ini berkeliaran di sini? Apakah ayah berada di dekat sini?” “Tidak, siocia. Kami diperintahkan Loya (tuan tua) untuk menyusul dan mencari nona.” “Untuk apa mencariku?” “Kami ditugaskan untuk mengawal dan membantu siocia mencari Pek-lui-kiam. Bahkan Loya mengatakan bahwa kalau sampai tiga bulan siocia belum kembali membawa Pek-lui-kiam, Loya sendiri yang akan datang membantu siocia.” Agak terhibur hati Cu Yin yang merasa kecewa akibat ditinggal pergi Si Kong, karena kini ada enam orang pelayan ayahnya yang menemaninya. Mereka berenam ini rata-rata telah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. “Apakah kalian tadi melihat seorang pemuda yang memakai caping lebar dan berpakaian seperti petani?” “Kami melihatnya, siocia. Dia memasuki kota Si-keng di depan itu, siocia.” “Sekarang aku ingin berpakaian seperti seorang gadis, apakah kalian dapat mencarikan pakaian itu?” “Jangan khawatir, siocia. Kami sudah mempersiapkan sejak semula.” Benar saja. Enam orang pelayan itu sudah membawa beberapa pasang pakaian Cu Yin. Cu Yin segera berganti pakaian dan sebentar saja dia sudah berubah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita! Enam orang pelayan itu lantas membuat sebuah joli. Cu Yin segera naik ke atas tandu itu dan menurunkan tirai tandu. Enam orang gadis itu lalu menggotong tandu bergantian atas perintah Cu Yin dan mereka pun berangkat menuju ke kota Si-keng. *************** Si Kong tinggal di Si-keng selama empat hari. Dia berputar-putar di kota itu untuk mencari tahu kalau-kalau ada orang yang dapat menunjukkan di mana adanya Ang I Sianjin. Akan tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Tidak ada orang yang melihat datuk berpakaian serba merah itu. Maka dia pun lalu membayar sewa kamar di sebuah losmen, dan melanjutkan perjalanannya keluar dari kota itu. Baru beberapa li jauhnya dia meninggalkan Si-keng dengan berjalan seenaknya, tiba-tiba dia mendengar bentakan wanita di belakangnya. “Heiii, petani bodoh, minggir…!” Si Kong segera membalikkan tubuhnya dan melihat empat orang wanita berpakaian serba biru memanggul sebuah joli, dan dua orang wanita lainnya berjalan di depan joli. Hatinya mendongkol sekali. Tadi dia sedang berjalan santai sambil melamun, mengenang kembali Siangkoan Ji yang ternyata Siangkoan Cu Yin itu. Alangkah bodohnya! Berhari-hari lamanya dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang disangkanya seorang laki-laki. Ketika mengenang kembali betapa dia sudah menyedot racun dari pundak yang kulitnya putih mulus dan lunak itu, jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah. Dia marah kepada diri sendiri. Mengapa dia mengenang gadis itu dengan hati terasa kehilangan dan kesepian? Dalam keadaan mendongkol kepada hati akal pikirannya sendiri itulah dia dikejutkan oleh suara wanita yang menyuruhnya minggir dengan nada merendahkan. Ketika dia membalik dan melihat bahwa mereka itu ternyata adalah gadis-gadis, hatinya menjadi bertambah kesal. Jalan itu cukup lebar, para gadis itu dapat saja melewatinya dan berjalan ke pinggir, mengapa dia harus minggir? “Kau yang minggir!” bentaknya dengan mata mengandung kemarahan. Seorang di antara gadis-gadis yang berjalan di depan joli memandang kepadanya dengan mata melotot. “Kau berani membantah? Kau ingin mampus?” “Kalian yang ingin mampus!” jawab Si Kong dengan hati mendongkol. Dua orang gadis yang tidak menggotong joli itu menjadi marah. Tangan mereka bergerak dan empat batang hui-to (piasu terbang) menyambar ke arah tubuh Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan main melihat serangan maut itu. Dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas sehingga empat batang pisau itu lewat di bawah kakinya. Dua orang gadis itu mencabut pedang dan cepat menyerang lagi. Gerakan mereka cukup cepat dan bertenaga. Namun Si Kong yang sudah marah itu kini menggunakan tongkat bambunya. Begitu bersilat dengan Ta-kaw Sin-tung, dalam beberapa jurus saja dia sudah membuat dua orang wanita itu terjungkal. Dia tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, dan hatinya sudah puas membuat dua orang wanita galak dan jahat itu roboh. Empat orang gadis yang lain telah menurunkan joli dan kini mereka berempat menyerang Si Kong dengan pedang mereka. Yang dua orang sudah bangkit lagi dan ikut menyerang. Kini Si Kong dikeroyok oleh enam orang wanita itu. Setelah mereka maju bersama, Si Kong merasa kagum juga. Keenam wanita ini masing-masing memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi dan setelah maju bersama mereka sudah membentuk barisan pedang yang kompak sekali. Kalau saja Si Kong tidak memiliki ilmu tongkat yang sakti itu, dan kalau saja dia belum menguasai Liok-te Hui-teng dengan baik sehingga gerakannya amat ringan dan cepat, tentu dia akan kewalahan juga menghadapi barisan pedang yang dibentuk oleh enam orang wanita itu. Si Kong bergerak amat cepatnya dan mengerahkan tenaga pada tongkatnya. Begitu dia memutar tongkatnya dan badannya ikut berputar, terdengar suara berkerontang berulang kali lantas enam orang gadis itu sudah roboh semua dan pedang mereka sudah terlepas dari tangan mereka! Sekali ini enam orang gadis itu bangkit sambil meringis. Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak ingin melukai mereka, maka mereka hanya merasa nyeri karena terbanting saja, akan tetapi tidak sampai luka. Sesudah pedang mereka terpental dan terlepas, juga mereka semua berpelantingan, enam orang gadis itu menjadi jeri dan mereka pun bangkit sambil memandang ke arah joli. Joli tersingkap lantas muncullah seorang gadis yang amat cantik jelita. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. “Manusia kurang ajar, berani engkau merobohkan para pelayanku?” Si Kong menjadi bengong. Gadis itu cantik bukan kepalang dan melihat pakaiannya yang serba baru dan mewah, bisa diduga bahwa gadis ini tentu seorang gadis bangsawan atau setidaknya hartawan. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan tusuk sanggul terbuat dari emas permata. Kedua pergelangan tangannya terhias gelang kemala yang harganya mahal, kedua telinganya mengenakan anting-anting yang terbuat dari emas permata pula. Pakaiannya warna-warni dari kain sutera halus, ada pun sepatunya masih berwarna hitam mengkilap. Wajah itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulit mukanya putih kemerahan, terutama pada kedua pipi di bawah matanya, padahal muka itu tidak memakai bedak tebal atau gincu. Anak rambut yang sangat halus berjuntai ke dahi dan pelipisnya. Sepasang alisnya hitam dan kecil melengkung seperti dilukis, melindungi sepasang mata yang sukar digambarkan saking indahnya. Mata itu tajam dan jernih, dengan kedua ujung bergaris ke atas, dihiasi bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya mancung kecil dengan punggung hidung sedikit menonjol! Dan mulutnya! Entah mana yang lebih indah dan mempunyai daya tarik terbesar. Mata atau mulutnya. Bibirnya begitu lembut dan merah membasah, nampaknya seperti tersenyum manis sekali, akan tetapi dagunya yang runcing itu seperti mengejek dan membayangkan kekerasan hatinya. “Hei, petani kurang ajar! Jawablah pertanyaanku tadi!” Gadis itu membentak lagi dan pada saat berbicara nampak giginya yang putih mengkilap dan rapi. Rongga mulutnya kelihatan segar kemerahan tanda bahwa dia bertubuh sehat. Si Kong seperti tertarik lagi ke alam kenyataan. “Ehh... ohhh... pertanyaan apa?” katanya gagap karena dia tadi seperti dalam mimpi. Pikirannya bingung karena dia merasa bahwa wajah si cantik jelita itu tidak asing baginya. “Mengapa engkau berani merobohkan enam orang pelayanku?” “Aku terpaksa, nona. Merekalah yang mengeroyokku.” “Hemm, kalau memang jagoan, jangan melawan pelayanku. Akulah lawanmu!” “Aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, nona. Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa kita harus berkelahi?” “Engkau sudah merobohkan enam orang pengikutku, itu sudah merupakan permusuhan. Nah, sambutlah ini!” Gadis cantik itu menggerakkan dua tangannya dan sinar-sinar putih menyambar ke arah Si Kong. Si Kong terkejut dan maklum bahwa senjata rahasia itu amat berbahaya, maka cepat dia mengambil topi capingnya lantas menggunakan caping yang lebar itu untuk menyambut senjata-senjata itu. Dia melihat bahwa senjata rahasia itu adalah anak-anak panah yang beracun. Dibuangnya topi capingnya dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini begitu cantik akan tetapi juga begitu ganas, begitu menyerangnya sudah mengarah kematiannya! “Singgg...!” Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut pedang dari punggungnya. “Terimalah pedangku ini!” demikian dia membentak kemudian segera menyerang Si Kong dengan kecepatan luar biasa. Si Kong melompat jauh ke samping, menangkis dengan tongkat bambunya. Akan tetapi ternyata gadis itu lihai sekali ilmu pedangnya. Begitu ditangkis pedang itu melenceng dan membabat kaki Si Kong. Pemuda ini terpaksa meloncat ke atas dan dia harus mengelak dan menangkis, sibuk sekali karena gadis itu terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Diam-diam Si Kong kagum juga. Ilmu pedang gadis ini benar-benar sangat lihai. Bahkan jauh lebih lihai dibandingkan enam orang pelayan yang mengeroyoknya tadi. Guru gadis ini tentulah seorang yang amat sakti. Si Kong selalu mengalah dalam pertandingan ini. Dia mengerahkan ilmu Yan-cu Hui-kun sehingga tubuhnya seperti burung walet terbang saja. Kalau dia mau menggunakan ilmu silat Hok-liong Sin-ciang atau Thi-khi I-beng tentu dia dapat merobohkan gadis itu dengan cepat. Akan tetapi dia tidak mau mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Ceng Lojin kalau keadaan tidak terlalu berbahaya dan mendesak. Dia sengaja memperpanjang pertandingan itu untuk ‘memberi muka’ kepada gadis itu. Sambil bertanding dia mengingat-ingat, di mana dia pernah bertemu dengan gadis yang wajahnya tidak asing baginya itu. Akhirnya dia pun teringat akan anak panah tangan yang dipergunakan gadis itu untuk menyerangnya. Dia teringat bahwa anak panah seperti itu pernah dipergunakan Siangkoan Ji terhadap anak buah Kwi-jiauw-pang! Gadis ini tentulah Siangkoan Ji, atau nama aslinya Siangkoan Cu Yin! Pedang menyambar lagi dengan kuatnya. Si Kong menyambut dengan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga gadis itu tidak dapat melepaskan pedangnya dari tongkat. Pedang itu seolah-olah telah melekat kuat pada tongkat bambu itu. Gadis itu menarik-narik pedangnya akan tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba dia menggunakan tangan kirinya dan cepat memukul kepala Si Kong. Pemuda ini tidak mengelak melainkan menangkap pergelangan tangan itu dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga gadis itu tak dapat lagi melepaskan tangan. Dia meronta-ronta, akan tetapi tetap saja tangan kiri dan pedangnya melekat dan tidak dapat dia lepaskan. Gadis itu menjadi jengkel sehingga hampir menangis sambil menarik-narik. Si Kong berkata tenang dan lembut. “Sudah cukupkah, Ji-te?” lalu dilepaskannya pedang dan tangan gadis itu. Siangkoan Cu Yin bersungut-sungut lalu menyimpan pedangnya dan memandang kepada Si Kong dengan sikap marah. “Engkau seorang yang kejam!” “Ehh? Di mana letak kekejamanku, Yin-moi? Kalau aku kejam, tentu aku akan menyerang engkau dan orang-orangmu dengan jurus maut! Tetapi aku melukai pun tidak, bagaimana kau katakan aku kejam?” “Engkau meninggalkan aku seorang diri di hutan, apakah itu tidak kejam?” “Ahhh, itukah yang kau maksudkan kejam? Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali harus meninggalkanmu, Yin-moi. Akan tetapi tidak ada cara lain yang dapat kutempuh. Sudah kukatakan, kita tidak mungkin melakukan perjalanan bersama. Itu namanya tidak pantas, apa lagi bagimu, seorang gadis.” Si Kong menghela napas panjang, benar-benar dengan hati murung. Dia merasa gembira ketika mengadakan perjalanan bersama gadis ini, padahal ketika itu dia tidak tahu bahwa gadis itu menyamar sebagai seorang pemuda. Apa lagi sekarang, sesudah pemuda jembel itu berubah menjadi gadis secantik ini, betapa akan senangnya melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi kesopanan melarangnya. “Siapa yang mengatakan tidak pantas? Aku akan menjadi Siangkoan Ji lagi kalau engkau mau melakukan perjalanan bersamaku.” Si Kong menarik napas. Betapa akan senangnya, dan gadis ini pun berpengetahuan luas, banyak tokoh kang-ouw dikenalnya. Dia pun teringat akan Ang I Sianjin. “Yin-moi, apakah engkau dapat memberi tahukan kepadaku di mana tempat tinggal Ang I Sianjin?” Wajah Siangkoan Cu Yin berseri-seri. “Dia adalah ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di bukit Kwi-liong-san. Kita berangkat ke sana berdua, Kong-ko? Aku akan membantumu!” katanya penuh semangat. “Siocia, Loya pasti akan marah bila siocia tidak berusaha mencari Pek-lui-kiam itu. Kami berenam diutus supaya membantumu. Bagaimana siocia dapat mengajak orang lain, dan seorang pria pula?” kata seorang di antara enam orang pelayan itu, sambil membungkuk dengan hormat kepada Siangkoan Cu Yin. “Jangan mencampuri urusanku!” bentak Cu Yin dengan hati mengkal. “Yin-moi, bagaimana pun juga engkau harus mentaati perintah ayahmu. Selain itu aku pun tidak dapat menerima permintaanmu untuk melakukan perjalanan bersama. Nah, selamat tinggal Yin-moi!” “Tunggu, Kong-ko…!” Cu Yin juga meloncat cepat dan akhirnya dapat menyusul karena Si Kong sengaja memperlambat larinya dan menunggu gadis itu. “Ada apa lagi, Yin-moi?” “Kong-ko, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa aku… aku mencintaimu?” Si Kong menghela napas panjang. “Engkau keliru, Yin-moi. Engkau puteri seorang datuk yang kenamaan dan kaya raya, sedangkan aku hanyalah seorang pengelana yang hidup sebatang kara dan tidak mempunyai tempat tinggal. Sepatutnya engkau berjodoh dengan seorang pemuda yang derajatnya satu tingkat denganmu. Aku berterima kasih kepadamu, Yin-moi, akan tetapi maafkan aku. Aku tidak berani melakukan perjalanan bersamamu. Selamat tinggal!” Sekali ini Si Kong meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga Cu Yin tidak akan mampu mengejarnya......

jilid 10


ENAM orang pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka, dan akhirnya mereka menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar. Joli tadi juga sudah di bawa ke situ. “Silakan duduk di dalam joli, siocia. Katakan ke mana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu.” Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata, “Antarkan aku ke Kwi-liong-san!” Enam orang itu saling pandang namun tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan sekaligus juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak. *************** Pagi hari itu puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu terlihat hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar seperti kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang tadi malam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah di dunia. Ada seberkas cahaya biru di antara awan-awan putih, amat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam. Si Kong duduk termenung di atas batu. Tadi dia menikmati keindahan yang terbentang luas di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah di mana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati serta akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin. Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, telah jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak. Lamunannya membuyar ketika muncul seorang lelaki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun yang memikul sebongkok kayu. Tentunya untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu. Mendadak Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu mempunyai banyak pengalaman tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta. “Selamat pagi, paman yang baik!” kata Si Kong sambil tersenyum ramah. “Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?” “Daging dan roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, sangat bodohlah aku kalau menolak tawaranmu yang baik itu.” Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya. Si Kong lantas mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang kemarin siang dibelinya dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum. “Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?” “Sungguh menyenangkan di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku.” Kakek itu minum arak dari guci. Dia merasa puas dan kenyang. “Apakah soal yang harus dijawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku bisa menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?” “Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum.” “Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?” “Bagimu sederhana saja, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sebenarnya cinta itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?” Kakek itu terkekeh. Ia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu dia merasa lucu. “Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan sering kali aku jatuh cinta.” Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita? “Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?” “Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai isteriku dan mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan aku juga mencintai parang ini dan cangkul di rumah.” Si Kong tertegun. “Jadi paman hanya sekali saja beristeri?” “Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku sebab dia menyenangkan hatiku, melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah.” “Apakah cinta paman terhadap isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga dan juga cangkul itu?” “Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena dia melayaniku dengan senang hati. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena dua benda itu amat berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala hal yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andai kata parang ini patah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya.” “Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!” “He-he-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena dia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lainnya. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena dia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan? Apa bila engkau mempunyai isteri dan dia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Bila anak-anak durhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya.” Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta di dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, seperti cinta jual beli. Betapa palsu dan kotornya cinta itu. “Akan tetapi, paman. Bukankah ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya? Jika ada ibu yang membenci anaknya, maka dia itu seorang yang tidak waras pikirannya.” “Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu terhadap anaknya. Apakah dia tidak pernah marah kepada anaknya? Apakah dia tidak pernah jengkel karena anaknya nakal? Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya.” “Apakah di dunia ini sama sekali tidak ada cinta murni tanpa pamrih?” Si Kong bertanya dengan hati penuh penasaran. “Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang sewaktu-waktu dapat timbul kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati.” “Tetapi, paman. Lihat matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apa pun. Lihatlah bunga, dia memberi keharuman kepada siapa pun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apa pun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?” “Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah dan kayu-kayu kering ini, semuanya itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apa pun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah dapat mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencinta kalau disenangkan hatinya. Tegasnya, cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?” “Sebab manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Sejak lahir manusia dikaruniai nafsu-nafsu yang bertujuan untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Tetapi manusia sering lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu melainkan sebaliknya dialah yang menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung dan ingin senang. Ada pun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut apa pun, sejak lahir kita sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat.” Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang didapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai. Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang diperoleh dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Oleh karena itu dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu agar bisa mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya, sedangkan otaknya menjadi pening dan bingung kalau harus memikirkan itu. “Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik dan sebentar lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan padaku.” Kakek itu memanggul kayu bakarnya, lantas melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya. Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang hidupnya berbahagia. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan satu ikat kayu bakar saja telah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya. Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia? Kadang-kadang hatinya memang terasa senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Mengapa bahagia seolah menghindar darinya? Terlebih lagi di saat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus ke mana. Dia merasa tidak ada orang yang membutuhkannya. Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya, lantas teringatlah dia akan sepasang gelang di dalam kantung kain yang berada di buntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia kepada Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik. Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh ayah bunda gadis itu. Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin adalah pembunuh orang tua Kiok Nio kemudian merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walau pun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam? Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberi tahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu belumlah cukup. Dia harus merasa yakin benar bahwa Ang I Sianjin adalah pembunuh itu dan untuk meyakinkan hatinya, dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam. Tidak, tidak sekarang, tetapi nanti kalau dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Lagi pula, kalau sekarang dia memberi tahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu dengan nekat pergi untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio. Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio! Perasaan dibutuhkan ini langsung menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin, dan Siangkoan Cu Yin sudah memberi tahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Kini dia memiliki tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san untuk mencari Ang I Sianjin. Siang itu panasnya bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan, pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar. Kota Liok-bun terletak di dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalu lintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota yang datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang. Di antara sekian banyaknya orang yang memanfaatkan perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan dibakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun dan pakaiannya serba merah muda. Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya yang tanpa bedak dan gincu menjadi kemerahan.Terutama sekali sepasang matanya, sangat menarik perhatian karena mata itu indah sekali dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main. Kebanyakan pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakang pun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir memainkan ilmu pedang. Tidak ada seorang pun di dalam kota Liok-bun yang mengenalnya. Akan tetapi, kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu menjadi terkejut dan gentar. Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, ada pun ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Seperti yang telah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka sangat tepat, walau pun sedikit terlambat karena Ceng Lojin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lojin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lojin di pulau itu. Penguburan yang sangat menyedihkan karena tidak ada seorang pun tamu yang datang melayat. Beberapa hari sesudah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai. Semenjak pulang dari Pulau Teratai Merah, Hui Lan banyak termenung. Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lojin, kakek buyutnya. Biar pun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, tetap saja dia merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang sebagai akibat dari perlawanannya terhadap para datuk yang menantangnya. Apa bila para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kakek buyutnya akan tewas. Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan dara ini. Tapi Hui Lan tidak mempedulikan atau memperhatikan ulah para pria itu. Dia sudah terbiasa melihat mata kaum pria yang menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya. Pada waktu dia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian, “Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?” Hui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, ayah. Aku hanya ingin pergi merantau agar bisa mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuanku tentang dunia persilatan.” Ibunya, Cia Kui Hong berkata. “Nasehat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apa lagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini sangat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka.” “Apakah Ayah dan Ibu juga akan menghindar dan melarikan diri apa bila bertemu dengan mereka di dalam perjalanan?” gadis itu bertanya sambil memandang tajam kepada ayah ibunya. Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudian Tang Hay berkata, “Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja, bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka? Kalau melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu sangat licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu jangan nekat untuk menentang mereka.” “Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yang jumlahnya banyak bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya perbuatan nekat sehingga mati konyol adalah tindakan bodoh. Mengertikah engkau?” Hui Lan mengangguk. “Aku mengerti Ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri.” “Kalau begitu sebaiknya terlebih dahulu engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu.” “Baik, Ayah. Memang aku juga ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu.” Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibu tirinya itu. “Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, ke rumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga,” kata pula Tang Hay. “Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu,” Kui Hong menambahkan. “Baik, Ayah dan Ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu.” “Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu,” kata Kui Hong. Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam. Dia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enam puluh lima tahun, sedang duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam. “Nek...!” kata Hui Lan manja. Nenek itu mengangkat wajah, tersenyum memandang cucunya tersayang. “Ahh, kiranya engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu nampak demikian berseri, ada berita baik apakah?” Hui Lan menarik kursi ke dekat neneknya. “Memang aku sedang bergembira sekali, Nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!” Nenek itu menunda pekerjaannya. Ia menaruh kain yang disulam ke atas meja kemudian memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu. “Ahh, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, aku pun merantau sampai jauh, seorang diri saja, begitu pula ibumu. Apa lagi engkau sudah mewarisi ilmu dari ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan.” “Terima kasih, Nek. Di mana kakek?” “Dia sedang bersemedhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuh puluh tahun, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Tetapi aku mempunyai nasehat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa di dunia persilatan terdapat banyak orang yang berilmu tinggi. Jika mereka semua adalah orang baik-baik maka tidak perlu kita bicarakan lagi. Akan tetapi banyak di antara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan agar engkau tak perlu membunuh orang. Sedapat mungkin jauhkan segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?” Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya. “Aku mengerti, Nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasehat nenek ini. Aku hendak berkemas dahulu, Nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek.” Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi ke kamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, tetapi termenung membayangkan kembali semua pengalamannya pada waktu dia masih gadis seusia cucunya. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Membayangkan semua pengalamannya di waktu muda, seolah-olah baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Tahu-tahu dia sudah menjadi seorang nenek-nenek! Kembali dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya yang sudah berwarna kelabu itu. *************** Pada hari itu juga Hui Lan meninggalkan rumah keluarganya, dan ibunya memberi bekal uang cukup banyak berikut sepasang pedang Hok-mo-kiam. Ayahnya juga menyerahkan batu giok mustika yang dapat mengobati segala macam luka beracun. Setelah menerima banyak petuah dari orang tuanya, lalu berangkatlah Hui Lan dengan buntalan pakaian dan pedang pada punggungnya. Demikianlah, pada hari itu dia memasuki kota Liok-bun dan hal pertama yang dia lakukan adalah membeli sebuah payung di kedai terdekat. Hari itu panas bukan main dan dia tidak mau kalau kulit wajahnya menjadi rusak oleh sengatan matahari. Setelah membeli payung dia pun melanjutkan perjalanan memasuki kota Liok-bun. Ia tidak mempedulikan pandang mata penuh gairah dari para pria yang berpapasan di jalan, akan tetapi melangkah terus dengan tenang sampai dia melihat papan nama di depan sebuah rumah makan besar. Papan itu menyatakan bahwa di tempat itu terdapat rumah makan berikut pula rumah penginapan. Semenjak pagi tadi Hui Lan sudah melakukan perjalanan. Kini dia merasa lelah dan lapar, maka dimasukinya rumah makan itu. Semua tamu pria menengok dan memandang wajah yang cantik itu, yang sekarang tidak tertutup payung lagi karena Hui Lan sudah menutup payungnya sehingga wajahnya dapat nampak dari kanan kiri dan depan. Seorang pelayan segera menghampirinya dan berkata dengan hormat. “Selamat siang, nona. Apakah siocia hendak makan atau menyewa kamar?” “Kedua-duanya,” jawab Hui Lan. “Akan tetapi perlihatkan dulu kamar itu!” “Mari silakan, nona.” kata si pelayan yang mendahului naik anak tangga menuju ke loteng di mana terdapat banyak kamar yang disewakan. Pelayan mengantar Hui Lan ke sebuah kamar sudut dan gadis ini merasa cocok. Kamar itu cukup bersih, maka dia pun segera menaruh buntalannya di atas meja. “Sekarang harap sediakan air untuk mencuci muka, sesudah itu baru aku akan turun dan memesan makanan.” “Baik, siocia.” Pelayan itu segera pergi dan tak lama kemudian dia datang lagi membawa sebaskom air jernih yang dia letakkan di atas sebuah bangku. “Terima kasih, dan keluarlah. Nanti aku akan turun dan makan.” “Baik, siocia.” pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkan kamar itu. Hui Lan menutup pintu kamar, kemudian membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Sesudah itu dia keluar dari kamarnya dengan meninggalkan pakaiannya tetapi membawa uang, batu giok mustika dan pedangnya turun dari loteng. Pelayan tadi menyambutnya. “Bawa pergi baskom air itu, bersihkan kamar dan panggil pelayan lain supaya aku dapat memesan makanan,” kata Hui Lan. Dia hanya mengerutkan alis saat melihat betapa semua pria melahapnya dengan pandang mata mereka. Dia pun sengaja duduk menghadap ke dinding, membelakangi para tamu. Bagaimana pun juga, akan tidak nyaman apa bila makan sambil dipandang banyak mata. Memang dia tidak mengacuhkan mereka, akan tetapi merasa tidak enak juga. Seorang pelayan lain menghampirinya. Hui Lan lalu memesan nasi dan beberapa macam sayuran. Untuk minumnya dia minta disediakan air teh. Selagi dia menunggu datangnya masakan, dia mendengar dengan jelas percakapan yang terjadi di meja belakangnya. Dari percakapan itu dia dapat mengetahui bahwa pada meja di belakangnya terdapat empat orang pria yang sedang bercakap-cakap. Semula dia tidak menghiraukan percakapan mereka, tapi ketika percakapan itu menyinggung dirinya, mau tidak mau dia memperhatikan juga. “Hati-hati, kawan. Jangan-jangan dia seorang pendekar wanita yang lihai!” “Aihhh, takut apa? Paling-paling dia mengerti satu dua jurus ilmu pedang. Kita berempat takut apa?” “Benar, agaknya dia bukan orang sini. Kalau dapat membujuknya alangkah senangnya.” “Aku juga sudah merasa muak dengan perempuan-perempuan pelacur itu. Kalau yang ini boleh sekali!” Merah kedua pipi Hui Lan. Mereka itu membicarakannya secara kurang ajar sekali. Dia melihat di depannya ada beberapa pasang sumpit. Diambilnya dua batang sumpit dengan tangan kanannya dan disambitkan sumpit itu melalui pundak kirinya ke arah belakang. “Capp! Capp!” Dua batang sumpit itu menancap di atas meja keempat orang itu, menancap sampai ke gagangnya! Meja itu terbuat dari papan yang tebal dan keras, namun sumpit bambu itu dapat menancap setengahnya lebih. Apa lagi kalau mengenai tubuh mereka. Kulit tubuh tentu akan dapat ditembusi oleh sumpit-sumpit itu. Dengan mata terbelalak empat orang itu memandang ke arah sepasang sumpit, kemudian menoleh ke arah Hui Lan. Akan tetapi Hui Lan duduk dengan tenang saja seolah-olah dia tidak mengetahui apa yang telah terjadi di meja belakangnya. Empat orang itu adalah pemuda-pemuda berandal anak orang-orang kaya yang biasanya memaksa orang lain untuk memenuhi kehendak mereka. Mereka juga pernah mempelajari ilmu silat, namun apa yang mereka lihat sudah cukup untuk melenyapkan nyali mereka. Mereka berempat segera meninggalkan meja mereka yang masih kosong karena pesanan mereka adalah makanan-makanan istimewa yang membutuhkan waktu cukup lama untuk membuatnya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, mereka terguling satu demi satu karena ada yang mengganjal kaki mereka. Sesudah mereka menoleh, ternyata yang memalangkan kakinya adalah seorang pemuda yang berpakaian serba putih seperti seorang terpelajar. Wajah pemuda itu tampan sekali. Mulutnya tersenyum sinis dan matanya melirik ke arah keempat pemuda tadi. Karena hati mereka memang sudah gentar setelah ada sepasang sumpit menancap di meja mereka, empat orang pemuda itu tanpa banyak cakap lagi lalu bangkit dan berlari keluar rumah makan. Hui Lan hanya mendengar empat orang yang ingin mengganggunya tadi berpelantingan, akan tetapi tidak tahu apa yang sudah terjadi dan dia pun tidak ingin menengok. Setelah peristiwa itu dia merasa tidak tenang apa bila duduk menghadapi tembok, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerangnya. Karena itu Hui Lan lalu pindah duduk di atas bangku yang dekat dinding sehingga dia dapat melihat para tamu. Agaknya tidak ada orang yang melihat ketika dia menyambitkan sepasang sumpit kepada empat orang pemuda tadi karena seluruh mata para tamu tidak ditujukan ke arahnya akan tetapi kepada seorang pemuda yang berpakaian serba putih bersih itu. Ia dapat menduga bahwa empat orang yang berpelantingan itu tentu dihajar oleh pemuda tampan ini. Meski pun pakaiannya seperti seorang terpelajar yang lemah, namun sinar matanya yang mencorong serta sebatang sulingnya yang diletakkan di atas meja bercerita banyak bagi Hui Lan. Ketika pemuda yang tersenyum-senyum itu mengangkat muka memandangnya, dua pasang sinar mata bertemu dan Hui Lan segera membuang muka ketika pemuda itu menganggukkan sedikit kepalanya. Sekarang hidangan untuknya sudah datang dan Hui Lan merasa tidak enak kalau makan ditonton orang, terutama pemuda berpakaian serba putih itu, maka dia pindah duduk lagi seperti tadi, menghadap dinding. Melihat ini pemuda berpakaian serba putih itu memperlebar senyumnya. Dia tahu kenapa Hui Lan pindah duduk, maka dia merasa geli. Setelah makan Hui Lan membayar harga makanan dan dia pun keluar dari rumah makan itu. Dia melihat pemuda berpakaian putih yang tadi duduk di belakangnya kini sudah tidak berada di situ lagi. Dia tidak mengacuhkan pandang mata para tamu dan cepat keluar dari situ sambil membawa payungnya. Buntalan uang terikat di pinggangnya dan pedangnya berada di punggung. Hui Lan ingin berjalan-jalan melihat keadaan kota Liok-bun. Baru setelah itu dia akan kembali ke rumah penginapan untuk beristirahat. cerita silat online karya kho ping hoo Akan tetapi belum jauh ia meninggalkan rumah makan itu, di depannya telah menghadang kurang lebih sepuluh orang laki-laki. Melihat bahwa empat orang di antara mereka segera menuding-nuding kepadanya, dia pun dapat menduga bahwa agaknya empat orang itulah yang tadi di rumah makan hendak menggodanya. Hui Lan melangkah terus dengan sikap tenang sekali. Dia bisa menduga bahwa agaknya orang-orang itu hendak membalas dendam kepadanya karena dia sudah mengusir empat orang pemuda kurang ajar itu. Orang-orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya. Ayah ibunya menasehatkan supaya dia tidak mencari permusuhan selama perjalanannya, akan tetapi kalau dia di ganggu tentu dia tak akan tinggal diam dan akan memberi hajaran keras kepada orang-orang yang menghadangnya itu. Dari kelompok itu majulah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kekar, mukanya kehitaman dan wajah itu nampak bengis sekali. “Hemm, jadi nona inikah yang berani menghina empat orang muridku?” tanyanya kepada para murid itu dan mengertilah Hui Lan bahwa orang ini adalah guru silat dari empat orang yang tadi mengganggunya. Akan tetapi, sebelum Hui Lan sampai di depan mereka, tiba-tiba nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di hadapan rombongan orang itu sudah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sambil tersenyum-senyum. Hui Lan segera mengenalnya sebagai pemuda yang duduk di rumah makan, tak jauh dari tempat dia duduk. Karena pemuda itu telah mendahuluinya menghadapi rombongan orang itu, maka dia pun berhenti dan menonton saja. Empat orang pemuda segera menuding kepada pemuda berpakaian putih itu dan berkata, “Inilah pemuda yang mengganjal kaki kami sehingga kami terjatuh!” Si muka hitam memandang kepada pemuda berpakaian putih itu dengan mata mendelik penuh kemarahan. Tangan kanannya menuding ke arah muka pemuda itu ada pun tangan kirinya bertolak pinggang ketika dia menghardik, “Bocah kurang ajar! Berani engkau main-main dan menjatuhkan empat orang murid kami? Hayo cepat berlutut minta ampun atau nyawamu akan melayang!” Pemuda itu tersenyum mengejek. “Hemm, kiranya engkaukah guru empat orang berandal itu? Kebetulan sekali, sebab sebagai guru mereka sepatutnya engkau mengajarkan sopan santun kepada mereka. Sekarang engkau beserta empat orang muridmu itu harus berlutut minta ampun kepada nona itu.” Ia menunjuk kepada Hui Lan yang berdiri di belakangnya. Si muka hitam makin melotot. Dia mengancam pemuda itu agar berlutut, tapi sebaliknya pemuda itu minta agar dia dan murid-muridnya yang berlutut minta ampun! “Keparat!” bentaknya. “Engkau belum mengenal aku, Si Harimau Bermuka Hitam!” Sambil berkata demikian dia sudah menerjang maju dan memukul ke arah pemuda baju putih itu. Pemuda ini cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Sebelum si muka hitam dapat bergerak lebih lanjut, kakinya menendang dua kali ke arah lutut guru silat itu. Tanpa dapat dihindarkan lagi dua lutut yang tertendang itu kehilangan kekuatannya dan Si Harimau Bermuka Hitam itu jatuh menekuk lututnya di depan pemuda baju putih. “He, bukan kepadaku engkau harus berlutut, akan tetapi kepada nona itu!” Si Muka Hitam menjadi marah bukan kepalang. Dia sudah dihina di depan banyak orang, terutama di depan murid-muridnya. Dia merasa malu bukan main, karena itu dia menjadi marah. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya, dan dengan suara mengaum seperti seekor harimau dia lalu menyerang dengan goloknya, menyerang secara membabi buta! Namun pemuda itu gesit bukan main. Selalu mengelak di antara sambaran golok bahkan kadang-kadang malah menangkis dengan kedua tangannya! Tangan telanjang itu berani menangkis golok yang demikian tajam dan berat, maka dapat diketahui bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang kuat sekali, yang dapat membuat kedua tangannya kebal terhadap senjata tajam! Dengan diam-diam Hui Lan memperhatikan gerakan pemuda itu. Seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, pikirnya, akan menjadi lawan tangguh baginya kalau sampai dia harus bertanding melawan pemuda itu. Mendadak Hui Lan terbelalak kagum. Pemuda itu membuat gerakan memutar tubuhnya seperti angin taufan yang melanda ke arah si muka hitam. Golok itu terpental dan tubuh si muka hitam terlempar ke belakang sehingga menimpa para muridnya. Sepuluh orang muridnya menjadi penasaran dan marah. Serentak mereka mencabut golok masing-masing lantas menyerbu pemuda itu, menyerang dari segala jurusan. Akan tetapi Hui Lan hanya melihat pemuda itu membuat gerakan memutar dengan tubuhnya, lalu satu demi satu sepuluh orang murid si muka hitam itu terpelanting dan golok mereka terlepas dari tangan mereka! Semua itu terjadi hanya dalam beberapa menit saja. Si muka hitam serta sepuluh orang muridnya merangkak bangkit sambil mengaduh-aduh karena mereka semua telah menderita luka parah. “Jahanam busuk! Apakah kalian masih hendak mengganggu wanita lagi?” bentak pemuda baju putih itu. Tanpa menjawab lagi si muka hitam bersama-sama muridnya meninggalkan tempat itu. Mereka seperti sekumpulan anjing ketakutan yang pergi dengan mengempit ekor di antara kedua kaki belakang mereka! Pemuda baju putih itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Hui Lan dan dia mengangkat kedua tangannya depan dada sambil berkata .“Nona, menghadapi berandalan macam itu harus menggunakan tangan besi.” Hui Lan membalas penghormatan itu dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.” “Aihh, nona. Perlu apa berterima kasih? Aku yakin sekali bahwa tanpa aku turun tangan sekali pun tentu nona akan sanggup mengusir mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat membiarkan seorang gadis seperti nona menghadapi pengeroyokan segerombolan anjing itu? Nona, perkenalkan, nama saya Coa Leng Kun berasal dari pegunungan Lam-san di selatan. Kalau boleh saya mengetahui, siapakah nona dan ke mana nona hendak pergi?” Sikap dan ucapan pemuda baju putih yang mengaku bernama Coa Leng Kun itu demikian sopan dan halus sehingga Hui Lan tidak merasa keberatan untuk melayani pemuda ini bicara. “Namaku Tang Hui Lan dan aku tinggal di Cing-ling-pai. Aku hendak pergi ke kota Pao-ting.” Coa Leng kun melebarkan matanya dan wajahnya berseri. “Dari Cin-ling-pai? Ahh, kalau begitu tentu nona adalah murid Cin-Ling-pai yang terkenal sekali di dunia persilatan. Aku mendengar bahwa ketua Cin-Ling-Pai adalah seorang wanita sakti yang mempunyai ilmu tinggi. Apakah nona muridnya?” Hui Lan tersenyum, merasa bangga karena ibunya demikian terkenal sehingga pemuda ini pernah mendengar ketenaran ibunya. “Ketua Cin-ling-pai adalah ibuku.” “Ahh, maaf... maaf..., nona. Aku telah bersikap kurang hormat karena tidak mengerti!” dia menjura kembali dengan tubuh membungkuk sebagai tanda menghormat. “Sudahlah jangan terlalu merendah,” Hui Lan berkata sambil membalas penghormatan itu. “Aku melihat ilmu silatmu juga hebat bukan main, tentu engkau murid orang sakti.” “Guruku adalah ayahku yang sudah meninggal dunia,” kata Coa Leng Kun dengan suara mengandung kedukaan, “dan kepandaian silatku tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan kepandaianmu, nona.” Hui Lan merasa tidak enak untuk bercakap-cakap lebih lama lagi dengan pemuda yang baru saja dijumpainya. Ia lalu berkata dengan tegas . “Sudahlah, aku hendak melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu.” Sesudah berkata demikian dia lalu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya melihat-lihat kota Liok-bun yang ramai. Apa lagi mereka berdua sekarang menjadi pusat perhatian orang karena perkelahian tadi. Melihat sikap tegas gadis itu, Leng Kun juga tak mau membantah lagi dan dia memberi hormat lagi. “Selamat berpisah nona Hui Lan,” katanya dengan nada suara gembira. Hui Lan melangkah pergi. Dia merasa tidak enak sekali karena hatinya tertarik kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, tampaknya hanya seperti seorang sastrawan yang lemah akan tetapi ilmu silatnya amat tinggi, bicaranya sopan dan lembut, selalu merendahkan diri. Ingin dia menengok kembali, namun dia mengeraskan hatinya. Tidak baik mudah tertarik kepada seorang pria yang belum di kenalnya sama sekali. Ibunya pernah menasehatinya agar dia waspada terhadap pria, terutama sekali pria yang kelihatan tampan gagah. Jangan mudah percaya sebelum mengenal benar orang macam apa pemuda itu. Hatinya menjadi tenang kembali dan dia pun tak ingin menengok lagi. Dia pernah mendengar dari ibunya bahwa kini dunia kangouw sedang digemparkan oleh perebutan sebilah pedang pusaka yang bernama Pek-Lui-Kiam (Pedang Halilintar). “Buka mata dan telingamu,” kata ayahnya pula, “siapa tahu engkau bertemu dengan orang yang menguasai pedang itu. Kalau dia seorang pendekar yang baik, jangan kau ganggu bahkan bela dia, akan tetapi kalau pedang pusaka berada di tangan golongan sesat, engkau boleh mencoba untuk merampasnya.” “Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam itu sebenarnya milik siapakah, Ayah dan Ibu?” “Kabar yang kami dapatkan seperti dongeng saja, Hui Lan. Kabar itu mengatakan bahwa pedang itu dibuat oleh orang sakti yang disebut Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih) sehingga tentu saja menjadi miliknya. Akan tetapi pada suatu hari pedang itu dicuri orang. Sampai puluhan tahun tidak ada beritanya tentang pedang pusaka itu sampai akhir-akhir ini tersiar berita bahwa pedang itu sudah terjatuh ke tangan seorang pendekar bernama Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi belum lama ini Tan Tiong Bu itu bersama isterinya terbunuh orang, dan pedang pusaka itu pun lenyap dari rumahnya. Kemungkinan besar dicuri oleh pembunuh itu.” “Dan siapakah pembunuh itu?” “Tidak ada seorang pun yang mengetahui. Hanya kabarnya pembunuh itu selalu memakai pakaian serba merah, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berpakaian serba merah,” kata ibunya. Ibunya memperoleh keterangan ini sesudah mengutus murid-murid Cin-ling-pai untuk menyelidiki ke Sia-lin. “Aku teringat akan seorang datuk yang suka berpakaian merah, akan tetapi entah dia atau bukan yang sudah membunuh Tan Tiong Bu dan mencuri pedang pusaka itu,” kata Tang Hay setelah berpikir sejenak. “Dia berjuluk Ang I Sianjin dan menjadi ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Kabarnya dia lihai sekali dan menjagoi dunia barat.” “Akan tetapi engkau tidak perlu menyelidiki ke Kwi-liong-san, Hui Lan,” kata ibunya. “Kami tidak bermusuhan dengan Kwi-jiauw-pang sehingga jangan sampai ada kesalah pahaman di antara kita dan mereka. Belum tentu berita itu benar adanya. Kalau ternyata bukan dia pencurinya lalu engkau membuat geger di sana, sungguh tidak enak bagi Cin-ling-pai.” “Baiklah, Ibu. Aku akan mentaati nasehatmu.” Demikian Hui Lan berkata. Ketika berjalan-jalan di kota Liok-bun itu, Hui Lan terkenang kembali akan nasehat ayah ibunya itu. Tidak, dia tak akan mencari gara-gara keributan. Tadi pun untung ada pemuda bernama Coa Leng Kun yang turun tangan sendiri memberi hajaran kepada gerombolan orang kasar itu sehingga tidak ada permusuhan antara dia dan orang-orang itu. Hari sudah menjadi senja ketika Hui Lan pulang ke rumah penginapan. Sampai dia makan malam di rumah makan di bagian depan rumah penginapan itu, tidak terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Malam hari itu, ketika sedang tidur dia mendengar suara perlahan di jendela kamarnya. Karena kamarnya gelap, lilin sudah dia padamkan dan di luar terdapat penerangan lampu, dia dapat melihat berkelebatnya bayangan orang di luar kamarnya. Hui Lan mengerutkan alisnya. Bayangan itu tentu bukan bayangan pelayan rumah penginapan karena berkelebat sangat cepat. Akan tetapi dia tidak bangkit, melainkan terus berbaring sambil mengamati ke arah jendela dengan waspada. Kembali dia melihat bayangan itu berkelebat, kini bayangan itu berhenti di depan jendela kamarnya, lantas jendela itu terdengar berkeresekan. Agaknya bayangan itu berusaha untuk membuka jendela dari luar. Tanpa mengeluarkan suara Hui Lan bangkit duduk dan menanti dengan tenang. Maling ini mencari penyakit, pikirnya. Tiba-tiba terdengar keributan di luar jendelanya dan terlihat bayangan dua orang berkelahi di luar kamarnya. Ia cepat meloncat turun dari pembaringan, menyambar pedangnya dan membuka daun pintu. Benar saja! Di sebelah kamarnya, di bagian luar jendela terdapat dua orang yang berkelahi. Salah satu di antara mereka adalah seorang lelaki yang mengenakan penutup muka dari hidung ke bawah dan berpakaian serba hitam. Sedangkan yang seorang lagi bukan lain adalah pemuda berpakaian serba puith yang siang tadi membantunya, Coa Leng Kun! Hui Lan mengerutkan alisnya. Kiranya pemuda itu kembali membantunya dan menyerang maling yang hendak mencongkel jendelanya dan kini mereka bertanding dengan serunya. Bayangan hitam tadi tentulah orang bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam itu. Dia menggunakan sebatang golok yang amat besar dan berat, sedangkan Coa Leng Kun menandinginya dengan sebatang suling. Gerakan maling itu cukup cepat dan bertenaga besar, akan tetapi Hui Lan melihat bahwa maling itu bukan lawan pemuda yang lihai itu. Leng Kun seakan mempermainkan maling itu. Suara gaduh perkelahian itu membuat para tamu di rumah penginapan itu terbangun dan banyak jendela serta pintu dibuka dari dalam. Juga para pelayan penjaga hotel berlarian mendatangi tempat itu. Melihat hal ini, maling yang sudah kewalahan menjadi semakin jeri. Dia membentak dan menggerakkan tangan kirinya. Sebatang piauw (senjata rahasia tajam) meluncur ke arah Leng Kun dan sebatang lagi meluncur kearah Hui Lan. Dengan tenang gadis itu menangkap piauw itu dengan tangan kirinya, menjepit di antara dua jari tangan, sedangkan Leng kun juga mengelak sehingga senjata rahasia itu jatuh ke atas genteng mengeluarkan bunyi berkerontang. Maling itu menggunakan kesempatan ini untuk meloncat kemudian melarikan diri. Leng Kun tidak mengejar, demikian pula Hui Lan yang sekarang memandang pemuda itu dengan alis berkerut. “Selamat malam, Tang-siocia,” katanya sambil memberi hormat, “sayang saya tidak dapat menangkap maling itu.” “Sobat Coa, aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu,” kata Hui Lan agak marah sebab pemuda ini selalu melindunginya, padahal dia tidak membutuhkan perlindungan dan bantuan itu. Jika hanya menghadapi pemuda-pemuda berandalan seperti yang siang tadi mengganggunya atau maling yang berusaha membuka jendelanya, dia masih sanggup. “Maaf, nona. Saya sama sekali tidak tahu bahwa nona yang tinggal di kamar ini, bahkan tidak tahu bahwa nona menginap di rumah penginapan ini.” Leng Kun memberi hormat lagi sambil senyum ramah. Hui Lan tidak mengatakan sesuatu dan kembali memasuki kamarnya lalu menutup pintu kamarnya. Leng Kun dihujani pertanyaan oleh para tamu dan petugas rumah penginapan. “Tidak perlu ribut-ribut,” kata Leng Kun dengan suara cukup nyaring sehingga terdengar oleh Hui Lan. “Aku mendengar gerakan orang di luar kamarku, kemudian aku keluar dan membayanginya. Ternyata dia berusaha mencongkel jendela kamar ini, maka aku segera menegurnya dan kami berkelahi.” Sesudah berkata demikian Leng Kun juga kembali ke kamarnya. Orang-orang itu bubaran dan para tamu lalu menutupkan jendela dan pintu kamar rapat-rapat karena takut didatangi penjahat. Hui Lan sudah rebah kembali di atas pembaringannya. Akkan tetapi dia sukar jatuh pulas. Bayangan pemuda pakaian putih itu selalu terbayang di depan matanya. Dia mengerutkan alisnya lantas bangkit duduk. Apakah dia tadi tidak bersikap keterlaluan kepada Coa Leng Kun? Pemuda itu tidak tahu bahwa dia bermalam di situ dan bantuannya tadi hanya kebetulan saja. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Leng Kun segera turun tangan ketika melihat ada maling yang hendak mencongkel jendela kamar. Akan tetapi dia tidak berterima kasih malah mengatakan tidak butuh bantuan! Apakah sikapnya itu sudah benar? Dia merasa menyesal, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Dia mengambil piauw yang tadi ditangkapnya dari maling itu. Sebatang piauw biasa saja, tidak mengandung racun. Ia melemparnya kembali ke atas meja. Setidaknya sikapnya itu menunjukkan kepada Coa Leng Kun bahwa dia bukan gadis yang lemah tak berdaya dan membutuhkan bantuannya! Dengan pikiran ini hatinya menjadi lega dan akhirnya dia bisa tidur pulas. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Lan sudah membayar sewa kamar kemudian meninggalkan rumah penginapan itu. Ia hendak berangkat pagi-pagi menuju kota Pao-ting di mana tinggal pamannya, Cia Kui Bu. Pamannya itu masih muda, baru berusia kurang lebih tiga puluh dua tahun. Sebenarnya dia adalah paman tirinya, karena pamannya itu adik tiri ibunya. Akan tetapi paman tirinya itu sudah dianggap sebagai putera sendiri oleh neneknya, maka hubungan mereka sangat akrab. Bahkan pamannya juga telah menerima pelajaran silat dari neneknya sehingga dia menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Cia Kui Bu tinggal di Pao-ting dan membuka sebuah perusahaan pengantar dan pengawal barang-barang kiriman yang berharga. Namun sampai berusia tiga puluh dua tahun Cia Kui Bu belum juga menikah. Padahal perusahaannya maju pesat. Barang berharga yang dikawal perusahaannya semakin banyak saja. Para pedagang sangat mempercayainya karena selama bertahun-tahun membuka piauw-kiok (perusahaan pengawal) belum ada barang yang diganggu penjahat. Gangguan mula-mula memang ada. Ada perampok-perampok yang berusaha mengganggu dan merampas barang kiriman itu. Akan tetapi para perampok itu selalu berhasil dipukul mundur oleh Cia Kui Bu sehingga nama piauw-kiok itu menjadi terkenal dan ditakuti penjahat. Jika melihat bendera dengan gambar naga hijau di atas kereta bermuatan barang-barang berharga maka tidak ada penjahat yang berani mengusiknya. Perusahaan piauw-kiok itu memang memakai nama Ceng-liong Pauw-kiok (Perusahaan pengawal naga Hijau), dan Cia Kui Bu yang suka memakai pakaian serba hijau itu bahkan dijuluki Ceng-liong (Naga Hijau) oleh para perampok. Untuk mempercepat perjalanannya ke kota Pao-ting, Hui Lan lantas membeli seekor kuda kemudian melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda. Semenjak kecil dia telah belajar menunggang kuda sehingga perjalanan itu bisa dilakukan dengan cepat. Beberapa hari kemudian dia sudah memasuki kota Pao-ting. Kota ini cukup besar dan ramai karena letaknya tak jauh dari kota raja, di sebelah selatan kota raja. Dan mudah sekali baginya untuk mencari Ceng-liong Piauw-kiok. Semua orang di Pao-ting mengetahui di mana adanya piauw-kiok itu. Hui Lan belum pernah datang ke kota ini, biasanya Cia kui Bu yang datang berkunjung ke Cin-ling-san. Hui Lan menjadi kagum sekali saat melihat rumah besar yang menjadi pusat perusahaan pamannya itu,. Agaknya perusahaan pamannya itu telah maju dengan pesatnya. Di depan pintu gerbang terdapat gambar naga hijau yang besar dan tulisan huruf-huruf besar yang berbunyi 'Ceng Liong Piauw-kiok', dan di pintu gerbang duduk beberapa orang lelaki yang bertubuh kekar dan gagah. Hui Lan melompat turun dari kudanya, lalu menuntun kuda itu menghampiri pintu gerbang. Melihat ada seorang gadis cantik yang membawa pedang di punggung menghampiri pintu gerbang, lima orang piauwsu (pengawal barang) itu cepat bangkit berdiri dan menghadang di depan pintu. “Siapakah nona dan ada keperluan apa datang ke piauw-kiok kami? Apakah nona hendak mengirim barang?” tanya seorang di antara mereka. “Aku datang untuk bertemu dengan paman Cia Kui Bu. Dia adalah pamanku,” jawab Hui Lan singkat. Akan tetapi kelima orang itu mengerutkan alisnya dan kelihatan tidak percaya. Hal ini tidak aneh. Mereka belum pernah bertemu dengan Hui Lan, dan sekarang tiba-tiba saja muncul seorang gadis yang tahu-tahu mengaku sebagai keponakan majikan mereka. Tentu saja mereka menjadi curiga. “Nona, sekarang majikan kami sedang berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan dia untuk menemui nona. Maka katakan siapa nona dan ada keperluan apa. Kami adalah pembantunya dan kami dapat mewakili majikan kami untuk mewakili keperluan nona.” Hui Lan mengerutkan alisnya. “Sudah kukatakan bahwa dia adalah pamanku, adik ibuku, tapi kalian masih belum percaya. Panggil paman Cia Kui Bu keluar agar bertemu dengan aku!” “Maaf, nona. Kami belum pernah melihat nona dan kami tidak pernah mendengar bahwa majikan kami memiliki seorang keponakan seperti nona. Karena itu harap nona memberi tahukan nama nona dan kami akan melaporkan ke dalam.” “Tidak, panggil saja dia keluar!” “Kami tidak dapat memenuhi permintaan nona.” “Kalau begitu baiklah, aku yang akan masuk ke dalam dan mencarinya sendiri!” Hui Lan menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di sana, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang, malah seorang di antara mereka melintangkan tombaknya. “Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!” bentak Hui Lan. Ketika penjaga yang memegang tombak itu menghalanginya dengan tombak, dengan satu gerakan yang amat cepat Hui Lan merampas tombak itu, kemudian sekali menggerakkan tangan, tombak itu segera meluncur lalu menancap pada batang pohon di atas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus! Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kekacauan. Mereka segera menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan. “Nona tidak boleh melakukan kekerasan di sini!” bentak pemimpin mereka. “Begitukah? Majulah kalau kalian ingin kuhajar!” tantang Hui Lan. Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja gadis itu sudah hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang di antara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali. Tiga orang lainnya menjadi sangat terkejut dan cepat menyerang, namun kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali! “Hemm, hendak kulihat apa yang akan dilakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak, “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!” Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran. “Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!” “Tapi... tapi... kongcu sedang sakit, nona.’ “Sakit...? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!” Pelayan itu tidak berani membantah dan dia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan di tengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat. “Paman Kui Bu...!” Hui Lan berteriak sambil berlari menghampiri, kemudian duduk di tepi pembaringan itu. Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang. “Hui Lan, aku... aku sedang menderita luka berat...” “Kenapa, paman? Coba kuperiksa!” Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa di dada pamannya itu ada tanda tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah mempunyai sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak sampai menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi luka itu dapat merenggut nyawanya kalau dibiarkan saja. “Engkau terkena pukulan beracun, paman, harus cepat-cepat diobati! Tenanglah, paman, aku akan mengobati paman!” Setelah berkata demikian dia pun menoleh kepada pelayan wanita tadi. “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!” Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu. “Mulanya begini, Hui Lan…” “Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan mengeluarkan tenaga. Batu giok mustika ini bisa menghisap semua hawa beracun.” “Hemm, milik ayahmu?” “Benar, untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.” Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu, lantas menggosok-gosokannya ke atas dada yang kehitaman itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menyedot. Tidak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan dia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci. Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman, ada pun batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang dihisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali. Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu ke dalam semangkok air dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu air diminum habis, Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia lalu mencoba mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak merasakan sakit lagi! “Ahh, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!” “Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi.” Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar datang berlarian lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka sudah pudar kembali dan mereka kini memburu ke dalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau diganggu oleh gadis yang lihai itu. “Kalian mau apa?!” bentak Kui Bu. Lima orang itu terheran-heran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. “Maafkan kami, kongcu... kami... kami kira nona itu... akan mengganggu kongcu…” “Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah dialah yang menyembuhkan aku!” Lima penjaga itu kaget bukan kepalang. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata, “Mohon pengampunan dari lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat…” “Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?” “Ampun, kongcu. Karena benar-benar tidak tahu maka tadi kami hendak melarang lihiap ini masuk, akan tetapi dia merobohkan kami semua...” Kui Bu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, biar pun kalian ditambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui Lan masuk untuk menemuiku!” Setelah tertawa kembali Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ. “Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka belum pernah bertemu denganmu, karena itu berani melarangmu.” “Tidak mengapa, paman. Mereka tidak berbuat kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?.”.....

jilid 11


Cia Kui Bu kemudian menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa dia memiliki sepeti emas yang sangat berharga dan hendak mengirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas! Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Selama ini belum pernah dia menerima kiriman barang yang harganya sebesar itu. Akan tetapi wanita itu mendesaknya, dan sanggup membayar biaya pengiriman berapa saja diminta. Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang nilainya belum tentu bisa diperoleh Ceng-liong Piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu mau menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu. Dia dibantu oleh lima orang piauwsu (pengawal) yang tangguh dan ilmu silatnya cukup lumayan. Peti itu kemudian dimuat di dalam sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itu pun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Di atas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong Piauw-kiok, yaitu gambar seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali. Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang walau pun agak jauh namun termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu. Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan, mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi. Memang rombongan Ceng-liong Piauw-kiok biasanya menggunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas namun menyimpang dari jalan besar. “Malam itu terjadinya,” kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang didengar dengan penuh perhatian oleh keponakannya. “Seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dahulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, mendadak terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, aku pun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri diseret beberapa orang pergi dari tempat itu!” “Hemm, mereka tentu perampok!” kata Hui Lan. “Memang benar, akan tetapi telah bertahun-tahun kami sering lewat di situ, bahkan tanpa aku, tapi tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku telah berdiri seorang kakek berusia enam puluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia segera menyerangku dengan ganas. Kakek itu amat lihai, maka terpaksa aku memainkan Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat dan tidak terduga-duga datangnya sehingga mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan. Mereka lalu menggotong aku pulang ke sini.” “Apakah kakek itu tidak meninggalkan nama, paman?” “Tidak. Dia segera melarikan diri setelah aku dan para pembantuku roboh. Kereta berikut peti emas itu telah lenyap dibawa mereka.” Hui Lan mengerutkan sepasang alisnya. Dia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali. “Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?” “Aku pernah mendengar bahwa di pantai timur ada seorang datuk lihai yang bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Tapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu dia datang ke sini dan sesudah mendengar bahwa emasnya dirampok oleh penjahat, lalu menuntut supaya aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar pun kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, tetap saja tidak akan cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.” Hui Lan mengerutkan alisnya dan berpikir. Selain keras hati dan lincah gadis ini juga amat cerdik. “Paman Kui Bu, pada waktu wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?” “Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang kami merusak peti itu. Dia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali, dan kami percaya padanya. Andai kata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa dia mengirimnya dengan biaya semahal itu?” “Memang nampaknya tidak mungkin, akan tetapi ada sebuah kemungkinan besar sekali, paman. Dia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lantas terjadi perampokan dan dia minta ganti seribu tail emas! Hemm, terus terang saja aku merasa curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja dia sudah bersekutu dengan perampok itu dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!” “Ahhh…!” Cia Kui Bu menepuk dahinya lantas memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum. “Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah berpikir sampai ke sana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya maka tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas.” “Inilah kelicikan mereka. Apabila mereka merampas emas tentu akan terus dicari sebagai penjahat perampok. Tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.” “Hemmm, aku akan mencari kakek itu ke Pulau Tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!” kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju. “Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dahulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?” “Dia seorang wanita cantik yang terlihat masih muda, akan tetapi kurasa dia telah berusia hampir empat puluh tahun. Dia pesolek, pakaiannya amat mewah dan memegang sebuah kebutan. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.” “Pakaiannya?” “Pakaiannya mewah dan serba merah.” “Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li (Iblis Betina Merah Cantik)? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.” Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. “Aku pun pernah mendengar tentang betina itu, tetapi ketika dia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.” “Aku sendiri juga belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, karena itu kita tunggu saja kedatangannya besok pagi. Biar aku yang menghadapi dia. Harap paman diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar dia mengakui siapa dirinya.” Setelah diobati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu kembali pulih. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari enci-nya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia bisa mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan enci-nya, gadis ini sudah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya! Malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul sehingga dia pun dapat makan minum dengan lahapnya. Ia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar enci dan cihu-nya (kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol. “Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Mengapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan begitu kehidupan paman akan menjadi tenang.” Cia Kui Bu tersenyum. “Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, lalu bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri dan anak, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?” “Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi,“ kata gadis itu. “Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari cara jodohku yang cocok denganku.” Setelah malam semakin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Dia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat dia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi. Pagi itu suasana di Ceng-liong Piauw-kiok amat sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu, dan jumlah mereka ada enam belas orang. Mereka semua mengenakan pakaian seragam piauwsu yang ringkas, membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang! Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik. Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi sudah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja. Pagi-pagi sekali gadis ini sudah mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya. Kini dia duduk di ruangan dalam. Dia tidak senang berada di luar karena tentu dia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu. Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu sudah berada di halaman rumah itu. Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalau pun dia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya dibedaki tipis dan pada bibir dan pipinya terhias gincu. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dengan warna merah yang paling menyolok di antara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan. “Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung jawabkan kewajibanmu!” wanita itu berseru dengan suaranya yang lantang. Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi bila mana disuruh majikan mereka. Akan tetapi Cia Kui Bu tidak keluar, dan yang keluar justru gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada, dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang ke arah wanita cantik itu. Melihat munculnya gadis yang jelita ini, wanita itu lantas mengerutkan alisnya. “Siapakah engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau hari inii dia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang maka semua yang ada di sini akan kuhancurkan, dan akan kulaporkan kepada yang berwajib!” “Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?” tanya Hui Lan dengan suaranya yang halus namun mengandung wibawa besar. Wanita itu kelihatan kaget. “Tidak perlu menyebut namaku dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang dibawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!” “Barang itu memang dirampok, dan sedang diusahakan agar bisa didapatkan kembali.” “Omong kosong! Sampai kapan barang itu didapatkan? Aku telah memberi waktu sampai hari ini dan aku tidak mau mengulur waktu lagi.” “Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?” “Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?” tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu. “Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu dibawa lari perampok!’ kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu. “Apa maksudmu?” “Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.” “Gila kau!” “Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu melakukan perampasan di jalan, dan kini engkau datang untuk minta uang pengganti. Begitu bukan?” “Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!” “Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti dan melarang untuk memeriksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu di sini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?” kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek. Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah. “Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang dibikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu memang sudah sewajarnya?” “Tentu sewajarnya jika engkau bukan Ang-bi Mo-li yang kelicikan dan kejahatannya sudah sangat terkenal.” “Keparat! Bicaramu semakin kurang ajar saja! Siapakah engkau?” “Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.” Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li. “Siocia, biarkan kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!” Hui Lan tak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan amat gesit, lalu para piauwsu itu pun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti di iris senjata tajam! “Kalian mundur semua!” bentak Hui Lan, lantas dia pun melompat ke depan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) pemberian ibunya. Melihat ini Ang-bi Mo-li memandang tajam. “Apakah engkau adalah puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?” Diam-diam Hui Lan terkejut sekali. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran tiba-tiba menyelinap di otaknya. Kalau begitu wanita ini memang sengaja membikin susah pamannya karena pamannya adalah adik dari ibunya! “Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?” Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika dia bertanya tadi. Sepasang mata wanita itu bagaikan menyinarkan api. “Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu hari ini engkau akan mampus di tanganku!” tiba-tiba saja Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga sekarang dia memegang dua senjata, yaitu pedang dan kebutan. “Aku atau engkau yang akan mampus?” Hui Lan membalas menggertak. Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga dia tidak mengeluarkan suara lagi, tetapi langsung menyerang dengan pedang serta kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan dia pun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis. “Trang...! Cringg...!” Keduanya cepat melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan kepalang. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka dia pun kembali menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya. Namun sepasang pedang di tangan Hui Lan sudah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat ditembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li. Sebaliknya, setiap kali gadis itu balas menyerang, cahaya kilat mencuat dari gulungan sinar pedang. Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah dia terdesak ke belakang. Cia Kui Bu yang sejak tadi sudah keluar, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita berbaju merah itu sangat gesit. Akan tetapi segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus. Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan. “Heiiittt... kena...!” Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya sambil mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu. “Darrrrr...!” Nampak asap hitam mengepul tebal. Hui Lan yang tidak mau terkena asap itu cepat-cepat meloncat ke belakang dan kesempatan itu digunakan Ang-bi Mo-li untuk melarikan diri. Cia Kui Bu cepat menghampiri keponakannya. “Engkau hebat sekali, Hui Lan. Ang-bi Mo-li itu sangat lihai, tetapi dengan mudah engkau telah mengusirnya!” “Sayang aku tidak dapat menangkapnya, paman. Dia menggunakan bahan peledak untuk melarikan diri. Sekarang aku sudah tahu pasti, paman. Peti itu tentu bukan berisi emas, melainkan batu-batu biasa saja. Dengan cara ini dia hendak membikin nama baik Ceng-liong Piauw-kiok menjadi tercemar. Ini semua memang sudah diatur. Agaknya wanita iblis itu menaruh dendam kepada keluarga Cin-ling-pai, maka dia membalasnya kepadamu.” Cia Kui Bu mengangguk-angguk. “Agaknya Ang-bi Mo-li memang telah bersekutu dengan Tung-hai Liong-ong. Ini berarti bahwa Tung-hai Liong-ong juga hendak membalas dendam kepada keluarga Cin-ling-pai.” “Boleh jadi, paman. Tidak mengherankan kalau begitu karena semenjak dulu orang-orang tua yang menurunkan kita selalu menegakkan kebenaran dan keadilan, sekalu menentang semua penjahat. Malah aku belum sempat mengabarimu bahwa kakek buyut Ceng Thian Sin juga sudah meninggal dunia.” “Ahhh...!” Kui Bu memandang Hui Lan dengan hati terkejut. “Rasanya sulit dipercaya jika kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu dapat mati! Mari kita bicara di dalam, Hui Lan.” Para piauwsu mengobati luka-luka ringan mereka, dan mereka tak habis-habisnya memuji kehebatan Hui Lan yang mampu mengalahkan wanita iblis itu! Setelah berada di dalam, Kui Bu lalu bertanya, “Bagaimana kakek Ceng Thian Sin sampai meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?” “Sebenarnya boleh dibilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke Pulau Teratai Merah menantang kakek buyut. Mereka semua berhasil dikalahkan oleh kakek buyut, akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah itu juga menderita luka berat yang akhirnya membawanya kepada kematiannya.” Cia Kui Bu menarik napas panjang. “Ahh, permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah semuanya baru berakhir? Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?” Hui Lan tersenyum. “Tentu saja jalan pikiran kita tak begitu, paman. Kita tidak membalas dendam, tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Jika kita membasmi kejahatan kemudian ada keturunan orang jahat hendak membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula.” “Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan cukup modal, dan aku pun sering kali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus dijual ke sana. Dengan demikian aku pun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku.” “Berganti perusahaan boleh saja, paman. Akan tetapi kurasa menjadi piauwsu juga baik. Ada pun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di mana pun dia berada dan pekerjaan apa pun yang dilakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat.” Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang. “Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu? Bagaimana kalau dia datang lagi untuk meminta ganti?” “Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya sudah kita ketahui sehingga dia tak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah dia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang Pek-lui-kiam?” “Pek-lui-kiam yang menjadi perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga pernah mendengarnya, karena hal itu ramai dibicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu maka dia akan menjagoi seluruh dunia dan kelak dapat diangkat atau dipilih menjadi bengcu.” “Ah, aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walau pun senjata itu membantunya. Orang yang memiliki ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi bagaimana ampuh pun senjata itu, dia tetap akan kalah juga kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi,.” “Pendapatmu itu memang benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang.” “Akan tetapi bahayanya besar sekali kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Bila pedang itu jatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, maka hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, maka aku harus menentangnya!” “Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua Kwi-jiauw-pang itu, tentu dunia kang-ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan sesat yang sangat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena Kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar Pek-lian-kauw.” “Hemm, kalau begitu sungguh berbahaya sekali, paman. Nanti sesudah singgah ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu, aku ingin menyelidiki ke Kwi-liong-san.” “Aihh, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san benar-benar kuat. Anak buahnya banyak sekali. Sungguh berbahaya kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana.” “Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya ingin menyelidiki dan mencari tahu, apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka.” “Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Biar pun engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, tetapi sungguh perbuatan yang tidak bijaksana kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan bahkan ratusan anak buah Kwi-jiauw-pang.” Pada keesokan harinya Hui Lan berpamit dari pamannya, lantas melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Dia hendak memenuhi pesan ayahnya untuk singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu harus melewati kota raja, dia hendak singgah dulu di kota raja. Di kota raja tinggal bibinya, yaitu adik ayahnya yang bernama Mayang, wanita peranakan Tibet. Ayah Mayang adalah kakeknya. Jadi Mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya sangat akrab dengan ayahnya. Sekarang bibinya menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun. Sudah lewat dua tahun semenjak Cang Sun, Mayang, dan Teng Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-Ling-pai. Masih teringat dia betapa gembiranya ketika itu. Dia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Teng Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biar pun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akarabnya. Sesudah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan segera melakukan perjalanan ke utara, menuju ke kota raja. *************** Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih nampak kuat walau pun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini kekuasaan Jepang mulai mendesak dari timur dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera biar pun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang Portugis dari daratan Cina. Pada saat itu yang memegang tahta kerajaan adalah kaisar Wan Li (1572-1620). Dia baru selama tiga tahun menjabat sebagai kaisar. Seperti juga kaisar sebelumnya, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan bangsa-bangsa lain juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng. Bahkan pada beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk hingga sampai di luar tembok kota raja Peking. Namun akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat disapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur lalu bergabung dengan orang-orang Jepang. Selama masa pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) ada dua orang menteri utama yang sangat berjasa, yang merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana serta pandai. Sesudah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana. Akan tetapi sekarang terdapat seorang yang diangkat menjadi penasehat kaisar Wan Li, dijadikan penasehat karena orang ini juga memiliki pengetahuan yang luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng. Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, semenjak muda Cang Sun sudah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biar pun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Karena itu kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, telah digembleng oleh Mayang sehingga menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat. Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebijaksanaan ayahnya, lantas mengangkatnya menjadi menteri yang bertugas menasehati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik ke dalam mau pun keluar, karena itu kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Sejak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini. Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikit pun tak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, maka semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Memang demikianlah. Untuk menjaga agar pohon dapat tumbuh subur lalu menghasilkan bunga dan buah, maka yang perlu dipelihara dan dijaga adalah akarnya dan batangnya. Demikian pula jika menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Menteri Cang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa Jepang, menteri Cang Sun lalu menasehati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Akan tetapi sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang Jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi. Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan negara Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk ditaklukkan! Sesudah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu segera ditarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian barulah keadaan menjadi agak tenteram. cerita silat online karya kho ping hoo Pada suatu hari Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam mendidik dua orang muda itu Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, dia lantas menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu. Kepada Hok Thian dia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, yaitu yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Ada pun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang juga dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. Meski pun berupa rantai baja akan tetapi karena tipis dan digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang, maka senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang! Hari ini kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Memang dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya dengan para ahli silat sangat erat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat. Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun bisa menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya dibandingkan kakaknya. Biar pun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya maka pemuda ini lebih banyak terdesak. “Kena!” Mendadak Wi Mei berseru kemudian tubuhnya meloncat ke belakang. Hok Thian tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya. “Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!” kata Hok Thian dengan sejujurnya. “Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko. Apa bila aku tidak menggunakan kecepatan, pasti aku kalah olehmu,” jawab Wi Mei dengan jujur pula. “Gerakan cepat saja jika tidak disertai tenaga sinkang yang memadai maka daya hasilnya masih kurang, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersemedhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu tadi sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat engkau dapat melindungi diri lebih baik. Engkau harus memperbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu.” Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun, lantas melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap. “Adik Hui Lan? Ahh, aku girang sekali!” kata Wi Mei. Wajah Cang Hok Thian juga berseri mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu. “Cepat persilakan dia masuk!” Penjaga itu tidak segera pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. Setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi hormat dan pergi keluar. Tak lama kemudian muncullah Hui Lan ke dalam ruangan itu. Dia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata gembira, “Paman, Bibi...!” “Ahhh, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?” tanya Mayang dengan gembira sekali. “Saya hanya sendiri, Bibi. Sebelum singgah ke sini saya sudah mengunjungi paman Cia Kui Bu." Mereka kemudian bercakap-cakap dalam suasana akrab sekali. Akan tetapi semua orang langsung terdiam karena terkejut dan turut berduka ketika Hui Lan menceritakan tentang kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin. “Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak peduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekali pun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang sekali kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih tinggal di Pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?” “Kebetulan saya dan ayah ibu berkunjung ke Pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek buyut sudah berada di ambang kematian. Kakek buyut meninggal karena usia tua, dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia harus mengerahkan sinkang-nya.” Cang Sun menghela napas panjang. “Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun Pendekar Sadis masih saja dimusuhi orang! Selama orang-orang jahat dan sesat itu masih ada, maka kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?” “Menurut seorang murid kakek buyut yang hidup berdua saja dengan kakek buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek Ngo-sian yang juga datang dari barat.” Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat, akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun dia tidak pernah lagi pergi ke Tibet maka dia tak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang disebut itu. “Bagaimana keadaan ayah dan ibumu, Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!” kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu. Hui Lan tahu dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Dia pun menjawab dengan nada suara gembira. “Mereka baik-baik saja, Bibi, kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin juga dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.” “Syukurlah, Hui Lan. Aku gembira mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sekarang negara sedang dirongrong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai.” “Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat adalah hal yang menyenangkan sekali,” kata Cang Sun menghibur. “Tidak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita.” Wajah Hui Lan berubah merah mendengar kata-kata pamannya itu. Akan tetapi dia tidak marah sebab ucapan itu dikeluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk mengolok-olok dirinya. “Itu bagus sekali!” Wi Mei bersorak. “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!” Tentu saja Hui Lan tersipu malu. “Ahh, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei. Engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku dan untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!” Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu. “Kami juga belum ada rencana untuk menikah!” kata Wi Mei. Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya. “Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami berdua juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!” “Betul sekali, ayah. Saya juga ingin sekali pergi merantau, melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!” kata Cang Wi Mei. “Ibu tentu setuju, bukan?” Ketika itu seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu. “Hemm, apakah yang harus disetujui itu, Wi Mei?” Wanita itu adalah Teng Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui Lan cepat-cepat bangkit berdiri memberi hormat. “Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sekarang telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!” Teng Cin Nio berkata gembira lalu dia pun ikut duduk dekat Mayang. “Dua orang anak kita ini minta agar diperkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,” kata Mayang kepadanya. Teng Cin Nio mengerutkan kedua alisnya. Dia memandang kepada suaminya lalu berkata, “Agaknya tidak bijaksana jika mengijinkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik pada mereka.” “Aku sendiri juga merasa agak keberatan. Biar pun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang ilmu silatnya amat tinggi.” Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei lalu merengek. “Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya yang menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat untuk membela diri?” Cang Sun yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu lantas berkata kepada kedua orang anaknya. “Hui Lan lain lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah ibunya yang sangat tinggi. Lagi pula, kalau sampai ada yang tahu bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk dijadikan sandera. Kalian harus tahu bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang hendak melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali jika membawa pasukan pengawal yang kuat.” Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut, dan melihat ini Hui Lan menghibur. “Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah ke mana sebelum kembali ke Cin-ling-pai. Sebaiknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena aku yang merasa tidak enak sekali kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua.” Selama tiga hari Hui Lan tinggal di istana menteri Cang. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera-puteri menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang amat berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebenarnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut untuk menjadi pasangan Hui Lan. Sesudah tiga hari Hui Lan lalu berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya. *************** Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, terlihat kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak kelihatan tergesa-gesa, melainkan menoleh ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu. Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar. Melihat rambutnya yang licin dan rapi, serta pakaiannya yang mewah dan sepatunya yang masih baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini. Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Pada punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan pada bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati. Ketika tiba di luar sebuah hutan di bawah lereng, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap. “Selamat siang, kongcu!” kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu. “Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan agar jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum.” “Maaf, kongcu. Di sini aman, sepi tak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan ketika joli tersingkap kami melihat bahwa di dalam joli itu duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, karena itu kami sengaja menghadang kongcu di sini.” “Hemm, siapa gadis itu?” “Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.” “Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Nanti kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Tapi begitu aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan.” “Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!” kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan. Pemuda tampan itu lantas melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu. Dari cara mereka berjalan dapat diduga bahwa para wanita itu bukan orang sembarangan. Langkah mereka sangat ringan dan tegap. Joli itu nampak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu. Tidak lama kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu, lantas pemimpinnya mengangkat tangannya ke atas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti. Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli segera berhenti melangkah akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang di antara mereka bertanya dengan suara bernada ketus, “Mau apa kalian menghadang perjalanan kami?” Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali. “Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak, hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli, lantas kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!” Kata-kata itu sudah jelas sekali. Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, dia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke Kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang dia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin bisa mengintai keluar, maka dia tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu. “Turunkan joli!” perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli. Sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena merasa ketakutan. Karena nona mereka minta agar joli diturunkan, hal itu berarti bahwa nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itu segera berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka telah siap siaga untuk berkelahi apa bila nona mereka memerintahkan. Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis di dalam joli itu cantik jelita bukan main. Akan tetapi tanpa berkata apa-apa Cu Yin sudah menggerakkan kedua tangannya, lalu meluncurlah empat batang anak panah ke arah rombongan sepuluh orang laki-laki itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan empat orang di antara mereka lantas terjungkal, kemudian sekarat dan akhirnya tewas semua! Melihat hal ini enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Tetapi siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka sudah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tak mengira akan diserang dengan panah tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu. Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan sehingga terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar. Melihat enam orang pengawalnya telah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya duduk saja di dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Dia tahu bahwa para pembantunya tak akan kalah oleh para perampok itu, maka dia pun tidak mau turun tangan membantu, melainkan hanya bersikap waspada dan menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka. Sementara itu pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, kini menjadi terkejut bukan main sesudah melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ke tempat pertempuran. Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal serta ditakuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong. Sebagai putera tunggal, tentu saja dia sudah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong kini berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang diberikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan turut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli! Dengan muka merah karena marah Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya, kemudian berjongkok memeriksa salah seorang di antara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh, akan tetapi dia tidak bisa melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali. Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia pun mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Dia semakin terkejut ketika melihat ukiran dua huruf Lam Tok pada gagang anak panah. Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun Selatan itu sama kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya adalah datuk besar yang ditakuti dan disegani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu. “Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!” teriakan dan suara pemuda ini berpengaruh dan berwibawa sekali. Mendengar teriakan ini, enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang dan enam orang wanita itu juga berlompatan ke dekat joli di mana nona mereka masih duduk dengan tenang. Kini Gin Ciong melangkah maju hingga berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum. Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Sekarang seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk dilepas kendalinya dan dibiarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu. Tio Gin Ciong juga kagum bukan kepalang. Sungguh tepat laporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga! Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin, “Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?” Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu dikenal di mana-mana. Hal ini menandakan bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru. “Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini? Apakah para perampok ini adalah anak buahmu?” Gin Ciong semakin terkejut sesudah mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan telah membunuh empat orang anak buahnya! “Kiranya engkau adalah puteri paman Siangkoan? Dengar, nona. Antara ayahmu dengan ayahku ada hubungan, karena keduanya adalah datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari timur.” Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keluar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena sesudah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga mempunyai bentuk tubuh yang amat menggairahkan. “Engkau tentu putera Tung Giam-ong?” Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata, “Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu...” “Namaku Siangkoan Cu Yin,” jawabnya singkat. “Apakah sepuluh orang ini adalah anak buah Pulau Beruang?” “Dugaanmu benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!” Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes. “Tentu saja mereka kubunuh, sebab mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!” Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Mereka kurang ajar? Bagaimana kata-kata yang mereka ucapkan?” “Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk dipermainkan. Bukankah mereka itu layak sekali dibunuh?” Kini Gin Ciong menghadapi keenam orang anak buahnya. “Benarkah apa yang dikatakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?” Seorang di antara enam orang itu lalu menjawab, “Tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.” “Jahanam!” Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu segera meluncur ke depan kemudian menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya mengeluh satu kali lantas jatuh terlentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian. “Hayo, siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?!” pemuda itu membentak. Lima orang anak buahnya cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong, “Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!” Ucapan ini mereka keluarkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek. “Bagus! Kalian telah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!” Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin, lantas berkata serentak, “Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami.” Cu Yin tersenyum kemudian melambaikan tangan. “Sudahlah, lima orang dari kalian telah dihukum mati, aku sudah puas!” “Terima kasih, siocia. Terima kasih, kongcu!” Lima orang itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya. Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan kemudian mencabuti anak-anak panah itu, lalu dengan selembar kain membersihkannya dari darah dan menyimpannya. Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat kelima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk dikuburkan. Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk berbicara dengan gadis itu. “Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?” Cu Yin tersenyum. Pemuda ini amat tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi selain sederhana juga sikapnya begitu hormat dan sopan sehingga hatinya tertarik. Tetapi tentu saja dia tidak mungkin menceritakan apa yang hendak dicarinya kepada sembarang orang yang baru saja dikenalnya. “Tio-kongcu, secara kebetulan kita berjumpa di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru berkenalan saling menceritakan keadaan dirinya, maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.” Gin Ciong tertawa ketika mendengar betapa pertanyaannya dijawab dengan pertanyaan pula. “Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan Pulau Beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayahku yang menyuruhku, dengan maksud agar di dalam mencari pedang pusaka itu aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw.” Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tak ada bedanya dengan dia sendiri. Dia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang diperintahkan ayahnya! “Hi-hi-hik,” Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis apa bila tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan giginya yang rapi dan putih mengkilap. “Kalau begitu kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena aku pun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!” Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi sesudah berpikr sejenak dia pun lalu tertawa gembira. “Baik sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak perlu bersaing, bahkan dapat saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu lebih baik kita bekerja sama saja sehingga akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!” “Ahh, mana bisa diatur begitu? Pedang itu hanya satu batang saja, bukan dua atau lebih sehingga dapat dibagi-bagi!” “Tentu saja tidak dibagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Apa bedanya pedang itu menjadi milikku atau milikmu? Kita satu golongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.” “Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?” Gin Ciong mengangguk. “Boleh kau anggap begitu. Tetapi aku belum tahu harus mencari ke mana.” “Aku tahu di mana adanya pedang itu!” kata Cu Yin yang tiba-tiba saja teringat kepada Si Kong, pemuda yang dicintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya. Wajah Gin Ciong berseri gembira, “Ahh, itu bagus sekali, nona. Kalau begitu marilah kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!” “Nanti dulu, Tio-kongcu ( tuan mudaTio)...” “Aihh, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.” “Habis, aku harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.” “Baiklah, mulai saat ini kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau menyebutku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?” “Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.” “Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapa pun juga. Oleh karena itu kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk ditemani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu.” Cu Yin mengangguk. “Aku setuju,” katanya, lantas dia pun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya.....

jilid 12


ENAM wanita pengawal yang setia dan patuh itu lantas berlari pergi untuk melaksanakan perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga sudah memanggil lima orang pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke Pulau Beruang dan melaporkan kepada ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam Tok hendak pergi merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tak lama kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus. “Sekarang kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan kepada ayah bahwa aku baik-baik saja dan sedang pergi merebut pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh putera Tung Giam-ong.” Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka. “Mari kita berangkat!” kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya. Gin Ciong juga melompat ke atas kuda putihnya. “Ke mana?” “Ke tempat di mana Pek-lui-kiam berada.” “Di mana itu?” “Nanti engkau juga tahu. Marilah!” Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang. Pemuda ini menggelengkan kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi sudah terjadi sesuatu di dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam yang akan menjadi perantaranya. Jika pedang pusaka itu jatuh ke tangannya, lalu dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia telah berjasa membantu sehingga pedang Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu. Kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerah itu memiliki tanah yang subur dan di sana mengalir sungai yang tidak pernah kering. Karena itu penduduk di Tung-ciu dan sekitarnya dapat hidup makmur. Di antara deretan toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah yang besarnya sedang saja. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Tidak ada satu pun penduduk Tung-ciu yang tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han Siong ini sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki kesaktian. Dia seorang ahli silat tingkat tinggi. Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Bersama Tang Hay yang merupakan sahabat karibnya, pendekar ini pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh Pek-lian-kauw. Pria berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas jurus yang sulit dilawan, mahir pula memainkan ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut dan ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, dia pun ahli sihir yang kuat sekali. Isterinya bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanita ini juga telah mencapai tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari pada tingkat suaminya. Dalam usianya yang empat puluh sembilan tahun itu Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Pada dagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang cantik manis itu tampak membayangkan kekerasan hati. Ia pun ahli dalam ilmu silat Kwan Im Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun. Bagi para penduduk Tung-ciu, suami isteri ini merupakan suami isteri biasa saja karena Pek Han Siong serta isterinya memang tidak pernah memperlihatkan kemahiran mereka dalam ilmu silat. Mereka dianggap pedagang rempah-rempah biasa yang selalu bersikap ramah terhadap para pelanggannya. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong dan isterinya memiliki seorang puteri bernama Pek Bwe Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja digembleng ayah ibunya sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapan belas tahun, dia sudah menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu kedua orang tuanya tidak keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia kang-ouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan para tokoh kang-ouw. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong dan isterinya telah bangun dari tidurnya. Seperti biasanya, mereka berdua berlatih silat di taman kecil di belakang rumah mereka. Tidak ada orang lain yang melihat apa bila mereka berlatih silat. Bahkan seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan tubuh. Suami isteri itu latihan bersama, kini memainkan ilmu Kwan-im Sin-kun. Gerakan mereka demikian cepat sehingga nampak seperti dua bayangan berkelebatan yang saling serang. Tiba-tiba saja keduanya berhenti dan berlompatan ke belakang, lalu memandang ke arah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka. Tadi mereka mendengar gerakan orang di pagar tembok itu. Walau pun mereka sedang latihan, namun pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara gerakan orang di situ. “Siapa di sana? Masuklah!” kata Pek Han Siong dengan suara tegas. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri itu. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik. Orang ini berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang lelaki bertubuh tinggi kurus dan berpakaian seperti pendeta agama To. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita putih, pakaiannya berwarna kuning dan pada punggungnya nampak gagang sebatang pedang. Wajah tosu itu sangat kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya saja suami isteri itu sudah bisa mengetahui bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang berilmu tinggi. “Siancai (damai)...! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang sembunyi di sini. Pantas saja di kota Tung-ciu ini tak ada yang tahu bahwa kalian adalah ahli-ahli silat yang hebat!” Pek Han Siong mengangkat kedua tangannya di depan dada. Bagaimana pun juga orang ini adalah tamunya dan seorang pendeta pula, oleh karena itu sudah sepatutnya kalau dia menghormatinya. “Maaf, totiang. Totiang siapakah dan ada keperlauan apakah dengan kami?” Akan tetapi Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, malah bertanya dengan suara menegur, “Seorang pendeta mestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan tetapi engkau datang meloncati pagar lantas mengatakan kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapa pun juga termasuk engkau!” “Tenanglah dan biar totiang ini memberi penjelasan dahulu,” kata suaminya menyabarkan hatinya. Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada tosu itu dengan sinar mata mengandung kemarahan. “Aku tidak datang sendirian saja!” kata tosu itu dan dia pun bertepuk tangan. Nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri tiga orang lain yang juga melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia sekitar lima puluh tahun. Mereka mengenakan pakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat tosu pertama tadi, mereka lalu membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang teratai putih di baju bagian dada mereka. Melihat ini Siangkoan Bi Lian berseru, “Ahh, kiranya kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw? Pantas saja tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu tapi seperti segerombolan perampok dan pencuri!” “Siancai! Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!” Pek Han Siong segera melangkah maju. “Totiang, kalau kalian berempat datang dari Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?” “Pek Han Siong! Dua puluh tahun lebih kami menunggu dengan sabar, bahkan kami telah mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan demi membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena kini Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia maka perhitungan ini diwakili oleh puterinya.” “Majulah kalian! Kami tidak takut!” kata Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi suaminya cepat memegang lengannya sebagai isyarat supaya isterinya dapat menahan emosinya. “Perhitungan apakah yang kalian maksudkan? Harap jelaskan agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan,” kata Pek Han Siong dengan sikapnya yang tenang. Melihat ketenangan Pek Han Siong ini, empat orang tosu itu kelihatan jeri juga. Tosu yang pertama muncul tadi agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu. Dengan sengaja dia melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerinya terhadap pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu. Pek Han Siong termenung, mengenang peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi. Di antara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu. Memang benar Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, hanya saja Hek Tok Siansu bukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay. Akan tetapi dia tidak menyangkal. Bagaimana pun juga ketika itu Tang Hay bekerja sama dengan dia, berarti kedua orang Siansu yang tewas itu adalah musuhnya pula. Dia berani bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya. Dia masih ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua pendeta sesat yang bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka sangat tinggi. Kalau memang empat orang ini adalah murid-murid mereka yang selama dua puluh enam tahun memperdalam ilmu mereka, maka dapat dibayangkan betapa lihainya mereka. Siangkoan Bi Lian kembali berkata, “Bagus! Ternyata kalian adalah murid-murid pendeta sesat itu! Jangan sampai kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian?!” Tosu pertama berkata sambil tersenyum mengejek. “Aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu.” “Kui Hwa Cu, bagaimana caranya kalian membalas dendam dan membuat perhitungan? Apakah kalian berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?” Bi Lian bertanya dengan nada suara menantang. Dia sama sekali tidak merasa takut karena selama ini dia dan suaminya hampir setiap hari berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau setiap hari mereka berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian mereka sudah mendapat kemajuan dibandingkan dua puluh enam tahun yang lalu,. “Ha-ha-ha! Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan hendak membalas dendam dan membunuh kalian berdua. Karena itu tentu saja kami akan maju bersama!” “Bagus! Selamanya Pek-lian-kauw memang perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang pengecut. Baik, jika kalian hendak mengandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami, majulah!” bentak nyonya yang berhati baja itu. Empat orang tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf, kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf dan dia pun berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat, sedangkan ketiga orang kawannya berpangku tangan dengan mata ditujukan kepada Pek Han Siong dan isterinya. “Pek Han Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah di depan mata! Dua ekor naga ini akan membunuh kalian!” Kui Hwa Cu melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian segera terbelalak karena dia melihat betapa di angkasa tiba-tiba saja muncul dua ekor naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong serta lidah-lidah api terjulur keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah dia bahwa lawan menggunakan sihir yang sangat kuat, maka dia pun cepat mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh sihir itu. Pek Han Siong pernah diambil murid oleh Ban Hok Lojin, seorang di antara delapan dewa, kemudian dia dilatih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa. “Ha-ha-ha, Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan diterkamnya!” Han Siong menggerakkan tangannya menunjuk ke arah empat orang tosu itu dan mereka terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi sangat terkejut dan cepat menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu sehingga dua ekor naga itu sekarang melayang turun dan menjadi dua potong kertas kembali! Kembali Kwi Hwa Cu membentak, “Pek Han Siong, kalian hadapilah kami delapan orang! Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!” “Kui Hwa Cu, kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!” Yang amat terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula dia melihat betapa empat orang tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi sesudah suaminya bicara, dia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang, demikian pula diri suaminya menjadi lima orang! Dia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan sihir, akan tetapi dia tetap menjadi bingung. Dia pun tahu bahwa suaminya beradu kekuatan sihir melawan empat orang tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu. Melihat hasil serangan mereka yang dapat diungguli oleh Pek Han Siong, tahulah empat orang tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu kekuatan sihir. Serentak mereka kembali menurunkan tangan sambil menarik semua kekuatan sihir mereka. Han Siong juga segera menghentikan pengerahan sihirnya karena kekuatan sihir itu akan menghabiskan tenaga saktinya kalau dikeluarkan terlalu lama,. Kui Hwa Cu dan tiga orang temannya lantas meraih ke punggung, dan kini masing-masing sudah memegang sebilah pedang. Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil pedang dari rak senjata yang memang selalu disiapkan di tempat itu bila mereka sedang latihan silat. Kui Hwa Cu dan rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari isterinya, dan sebelum masuk ke sana mereka memang sudah merencanakan siapa yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka sesuai rencana, sekarang Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian. Maka terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong mau pun Siangkoan Bi Lian menggunakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut yang amat hebat. Gerakannya halus dan lemah gemulai, tapi di balik kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali. Sesudah bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai ilmu pedang itu yang sebenarnya lebih tepat kalau dimainkan dengan pedang melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi ketika mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu. Selagi Bi Lian terdesak dan Han Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya, tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita. Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan cepat membentak, “Tosu-tosu palsu dari mana berani mengacau di rumah paman Pek Han Siong?” Karena gadis ini melihat bahwa Siangkoan Bi Lian terdesak hebat, maka dia pun terjun ke medan pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga dua orang pengeroyok Bi Lian kini terpaksa berpisah. Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang. Kini Han Siong bisa bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu saja, dia tidak mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan dia pun merasa girang sekali setelah mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu, maka dia pun berseru, “Hui Lan…!” “Bibi, mari kita hajar para pendeta palsu ini!” kata Hui Lan sambil tersenyum. Kini bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian. Sikap gadis itu mengingatkan dia akan Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama dia menentang Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak! Empat orang tosu yang menamakan diri sendiri See-thian Su-hiap (empat pendekar dunia barat) itu merasa terkejut sekali. Menurut perhitungan mereka, kalau maju berempat pasti mereka akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Namun siapa kira, biar pun dikeroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak. Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang luar biasa lihainya itu! Tingkat kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan tingkatnya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Siangkoan Bi Lian. Payah Tiat Hwa Cu menandingi gadis itu dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur. Sepasang pedang di tangan gadis itu seolah-olah sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan sudah tersudut, sebuah tendangan kaki Hui Lan membuat dia terjengkang roboh! Hui Lan tidak mengejar, hanya berdiri karena dia belum tahu siapa mereka dan mengapa mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apa lagi melihat betapa Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak lawan-lawannya, maka Hui Lan berdiri saja tidak membantu karena dia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan bantuannya. Kedua orang tuanya sudah memesan agar dia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah sebabnya dia diam saja ketika melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh itu merangkak bangkit lalu menggunakan tangan kirinya untuk menutupi dada kanannya yang terasa nyeri bukan main akibat tendangan kaki mungil Hui Lan! Dia pun tidak berani maju lagi dan hanya menonton saudara-saudaranya yang sudah mulai terdesak. Tiba-tiba terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring kemudian pedangnya berhasil melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung ke belakang dan darah mengalir dari luka di pundaknya. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk membunuhnya, namun terdengar seruan suaminya, “Jangan bunuh dia!” Mendengar seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan dia melompat ke dekat Hui Lan. Mereka berdua kini menonton perkelahian antara Pek Han Siong yang dikeroyok dua oleh Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu Pek Han Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua orang musuh. Sekarang dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada dua orang lawannya. “Kena...!” Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar, dan tahu-tahu pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental lantas terlepas dari pegangan. Secepat kilat Han Siong menyapu dengan kakinya sehingga Lian Hwa Cu langsung roboh terpelanting. Han Siong menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu, sementara itu pedangnya menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi. Injakan kaki kiri Han Siong membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali, membuat dia tidak mampu berkutik. Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu menembus bajunya dan menyentuh kulit dadanya. Kalau tangan yang menodongnya itu bergerak sedikit saja maka akan tamatlah riwayatnya. Maka dia pun tidak berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat. “Hemm, sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa gadis itu? Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!” “Kami akan membalas kekalahan ini!” kata Kui Hwa Cu yang merasa marah dan terhina. “Bagus kalau kalian masih memiliki semangat. Nah, sekarang cepat kalian pergi dari sini!” dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa Cu dan menarik pedangnya yang menodong dada Kui Hwa Cu. Empat orang tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Sudah untung sekali mereka tidak dibunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan segera lenyap. Pek Han Siong menghela napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan. “Bagus sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!” “Kalau tadi Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang kerbau itu!” kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu. “Aih, Paman dan Bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekali pun, aku yakin paman Pek Han Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?” “Bwe Hwa sedang pergi. Marilah kita masuk ke dalam rumah agar kita dapat lebih leluasa bercakap-cakap.” Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan, lantas mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Para penjaga toko rempah-rempah milik pasangan suami isteri itu sudah berdatangan dan toko itu mulai dibuka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena sedang asyik bercakap-cakap dengan Hui Lan. “Bagaimana kabar tentang ayah dan ibumu? Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?” tanya Pek Han Siong. “Kami semua baik-baik saja, Paman. Ayah dan ibu memang sudah berpesan agar dalam perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah di sini untuk menyampaikan salam mereka kepada Paman dan Bibi.” “Kami girang sekali engkau datang ke sini, Hui Lan. Hanya sayang Bwe Hwa juga sedang merantau seperti engkau. Kalau dia ada di sini, tentu dia akan merantau bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi.” ”Paman, siapakah empat orang tosu tadi? Mengapa mereka memusuhi Paman dan Bibi?” “Kami juga baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba mereka muncul dan menantang kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan ayah mertuaku Siangkoan Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan ayahmu. Tapi kami berdua juga musuh-musuh mereka karena dahulu kami bekerja sama dengan ayahmu menentang Pek-lian-kauw.” “Jadi mereka tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?” tanya Hui Lan. “Benar dan mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu,” jawab Siangkoan Bi Lian. “Nama mereka Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan mereka memakai julukan See-thian Su-hiap!” sambung Pek Han Siong. “Berhati-hatilah engkau apa bila bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu maju bersama untuk mengeroyok musuh.” “Aku akan berhati-hati, Paman.” “Hui Lan, bagaimana engkau tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi lantas datang membantu?” “Aku datang berkunjung pagi-pagi, Bibi. Akan tetapi pintu depan masih ditutup dan tidak nampak seorang pun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat Paman dan Bibi dikeroyok, maka aku segera melompat masuk dan membantu Bibi.” Pek Han Siong menghela napas panjang. “Sungguh menyebalkan sekali. Bertahun-tahun kami tinggal di sini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat bermain silat. Ternyata hari ini kami didatangi musuh-musuh yang hendak membalas dendam.” “Kenapa harus menyesal? Dulu kita selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Jika ada golongan sesat yang mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal melainkan menghadapi mereka dengan gagah.” “Engkau benar, tetapi alangkah indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan, jauh dari perkelahian dan permusuhan.” “Karena kita sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan diri lalu hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Tapi orang-orang muda harus tetap melanjutkan sikap kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak diimbangi oleh para pendekar, tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata. Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas para penindas yang mengandalkan kekuatan mereka serta membela yang tertindas dan lemah.” Siangkoan Bi Lian berkata penuh semangat, dua matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya, sama-sama keras hati dan pemberani! “Paman dan Bibi, selain hendak menjenguk karena merasa rindu, kedatanganku ini juga membawa sebuah berita yang tak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia.” Pek Han Siong langsung bangkit dari tempat duduknya dengan kaget. “Meninggal? Kakek Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?” Isterinya mencela. “Aihhh, engkau ini bagaimana sih? Setiap manusia, betapa pandai dan saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng Thian Sin meninggal dunia? Usianya tentu sudah ada seratus tahun.” “Bibi benar, kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut.” Pek Han Siong sudah duduk kembali dan kini memandang gadis itu dengan alis berkerut, “Apa yang mengganggu hatimu, Hui Lan?” “Kakek buyut meninggal dunia setelah dia bertanding, dikeroyok tujuh orang lawan. Beliau berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu tidak kuat menahan, dan akhirnya beliau tewas karenanya.” Pek Han Siong mengangguk-angguk. “Tidak aneh kalau kakek Ceng dicari serta dimusuhi orang dalam usia setua itu, karena di waktu mudanya dia membasmi banyak sekali tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?” “Mereka itu adalah datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian,” jawab Hui Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya. Melihat ini, Siangkoan Bi Lian bertanya, “Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?” “Tidak, Bibi. Akan tetapi kalau aku sampai bertemu dengan mereka dalam perantauanku, tentu mereka itu akan kuserang.” “Hemmm, Hui Lan, apakah engkau hendak membalaskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?” tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu. Hui Lan menggeleng kepalanya. “Tidak, Paman. Ayah dan ibu telah menasehati aku agar jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi jika aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu mereka akan kutentang!” Pek Han Siong mengangguk. “Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulakn kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk itu mendatangi kakek Ceng di Pulau Teratai merah juga untuk membalas dendam. Memang tidak benar kalau kita mengikat diri dengan dendam. Akan tetapi kalau engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan dan bukan karena engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar.” “Akan tetapi betapa pun juga engkau harus berhati-hati sekali kalau bertemu mereka, Hui Lan,” kata Siangkoan Bi Lian. “Nama tujuh orang itu sudah sangat terkenal sebagai datuk sesat, apa lagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat.” “Terima kasih, Bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Aku pun cukup mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka lakukan terhadap kakek buyut.” cerita silat online karya kho ping hoo Suami isteri itu kemudian bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis ini pun menceritakan semua yang diketahuinya karena dia maklum betapa erat hubungan antara ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung tentang pedang Pek-lui-kiam. “Ah, kiranya engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw itu? Kalau aku masih muda seperti dahulu, tentu aku juga tidak mau ketinggalan memperebutkannya!” kata Siangkoan Bi Lian. “Hui Lan, apakah engkau juga hendak mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?” tanya Pek Han Siong. “Memang aku merasa tertarik sekali, Paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini telah terbunuh lantas pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam.” “Tahukah engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?” “Menurut kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san.” “Hui Lan, mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Tetapi pedang itu asalnya bukan milik kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik Tan Tiong Bu itu.” “Paman benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Jika benar pedang pusaka itu jatuh ke tangan orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang pusaka itu adalah pusaka yang ampuh, maka kalau terjatuh ke tangan penjahat tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya akan semakin menjadi-jadi. Sebaliknya aku pun tak akan mengganggu kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat,.” “Engkau benar, Hui Lan. Kalau memang engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku hanya berpesan padamu. Apa bila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah dia bekerja sama seperti ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu kalian berdua akan menjadi lebih kuat, dari pada kalau bekerja sendiri-sendiri.” “Baik, Paman, akan aku perhatikan pesan Paman itu.” Hui Lan tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada hari ke empat, pagi-pagi dia berpamit kemudian meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis). *************** Si Kong melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san sebab dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang terbentang di depannya. Pada suatu siang tibalah dia di sebuah dusun. Dia melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan amat sibuk. Orang-orang berkeliaran ke sana-sini berunding berkelompok-kelompok. Ketika mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang mengikutinya dengan pandang mata penuh kecurigaan. Yang sangat aneh baginya, dia tidak melihat seorang pun wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir. Si Kong melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan di tempat ini pun banyak pria sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang meninggalkan kedai itu. Si Kong mendapatkan dirinya hanya seorang diri saja di kedai itu, dengan seorang kakek penjaga kedai yang nampak ketakutan dan beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi. “Paman, aku minta secangkir teh dan bakpau,” katanya kepada penjaga kedai. Kakek itu tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya, lalu membawanya kepada Si Kong. Sesudah menaruh makanan dan minuman di atas meja, dengan tergesa-gesa kakek itu hendak pergi lagi. “Nanti dulu, paman. Aku ingin bertanya kepadamu.” “Bertanya apa, kongcu? Aku tidak tahu apa-apa.” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul. Tentu saja Si Kong menjadi semakin heran lagi. “Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut. Duduklah, paman, duduklah dengan tenang dan jangan takut kepadaku. Bahkan jika ada bahaya mengancam dirimu, akulah yang akan menghadapinya dan menolongmu!” “Tidak..., tidak...! Jangan tanyakan apa-apa kepadaku. Aku tidak tahu, tidak mengerti… ahh, kasihanilah diriku yang sudah tua…” Si Kong mengerutkan sepasang alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesuatu, seperti semua orang dusun yang berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi di dusun ini. Si Kong melepaskan capingnya yang lebar dan meletakkannya di atas meja. Kemudian dengan tiba-tiba dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis, sepasang matanya melotot. “Engkau ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo cepat jawab atau aku akan menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!” Wajah itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampir tidak terdengar, karena dia bicara dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu. “Ampunkan saya, kongcu, ampuuun…” “Hemm, aku baru mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa yang sudah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku tidak melihat seorang pun wanita muda di sini. Apa yang telah terjadi? Jawab dengan sejelasnya!” kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil. “Ada... ada mala petaka melanda dusun kami…” “Hayo jawab yang jelas. Mala petaka apakah itu?” “Aku… takut menjawabnya, kongcu.” “Takut apa?” “Kalau saya banyak bicara, tentu saya akan dibunuh…” “Dan kalau engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan akan kusiksa lebih dulu. Sebaliknya aku akan melindungimu dari bahaya apa pun kalau engkau suka menerangkan kepadaku!” Mendengar ucapan Si Kong ini, kakek penjaga kedai itu terlihat agak lega. “Kongcu, mala petaka itu bukan hanya menimpa dusun ini saja, akan tetapi juga di semua dusun sekitar Bukit Monyet di sana itu. Iblis penjaga Bukit Kera itu minta supaya wanita-wanita muda, terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi korban dilempar ke dalam sumur tua...” “Mengapa kalian mau melakukan itu?” “Kami dipaksa, kongcu. Di dusun selatan ada yang tidak menurut. Tetapi akibatnya, pada malam harinya kepala dusun dan tujuh orang lainnya dibunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan dalam satu malam saja tiga orang gadis telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana perginya.” “Hemm... aneh sekali kalau ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena itu maka semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang nampak ketakutan?” “Benar, kongcu. Kami merasa khawatir kalau-kalau iblis itu akan datang pada malam hari kemudian membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian sangat aneh. Kami semua sudah kebingungan ketika malam tadi mendengar suara iblis itu yang suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, sebab semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi korban dan dilempar ke dalam sumur tua.” “Ahh, siapakah gadis itu?” “Tidak ada seorang pun yang mengenalnya, akan tetapi dia membawa pedang. Agaknya dia seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera itu, kongcu.” “Hemm, dan dia sudah dilempar ke dalam sumur tua?” “Sudah, tetapi bukan dilempar melainkan dia meloncat ke dalam sumur tua itu kemudian lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami sudah memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi dia memaksa dan kami tidak dapat menghalanginya.” Si Kong mengerutkan alisnya. Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir. Dia tidak percaya ada iblis penjaga gunung yang menuntut agar dikorbankan gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya biar pun iblis itu membunuhi banyak orang pada waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua. “Paman, hayo antar aku ke sumur tua itu!” kata Si Kong. Wajah kakek itu menjadi bertambah pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya diserang demam parah. “Saya... saya... tidak berani, kongcu.” “Hayolah, ada aku jangan takut. Atau aku harus menggunakan kekerasan seperti ini?” Si Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu hancur berkeping-keping sehingga kakek itu semakin takut. “Nah, mau antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?” Si Kong menggertak. “Baik… baik, kongcu… saya akan menutup kedai ini dulu…” Kakek itu sangat ketakutan dan bergegas menutup kedainya, kemudian bersama Si Kong dia meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki menjadi tertarik ketika melihat pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing. “Paman Kiu, hendak ke mana engkau?” beberapa orang bertanya. Kakek itu sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang. Dia ingin mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu. “Aku… aku mengantar kongcu ini ke sumur tua!” Semua orang terkejut dan cepat menyingkir, akan tetapi masih ada tujuh orang pemuda yang mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai kawan yang mengantar pemuda itu ke sumur tua yang mereka takuti. Kini mereka mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncaknya. Matahari telah naik tinggi, sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah keringat. Kadang dia mengusap muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya. “Masih jauhkah, paman?” Si Kong bertanya. “Sudah dekat. Itu puncaknya telah nampak dari sini. Sumur tua itu berada di puncak bukit ini.” Mereka melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Maka mengertilah Si Kong mengapa bukit itu disebut Bukit Kera, kiranya memang banyak kera yang hidup di bukit ini. Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda sudah berhenti di tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk melarikan diri! "Inilah sumurnya, kongcu..." Si Kong melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia segera menghampiri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap menghitam. Sinar matahari hanya sampai di bagian luar dan atas sumur itu saja. Sumur itu lebar, ada dua meter lebarnya, makin ke bawah makin mengecil. "Nona berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?" tanya Si Kong kepada kakek itu. Kakek itu hanya mengangguk saja, tak berani mengeluarkan suara, agaknya dengan hati was-was dia menunggu munculnya munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri di sana. "Heii, sobat-sobat! Aku hendak menyelidik ke dalam sumur. Maukah kalian membawakan segulung tali yang kuat? Kalau ada, makin panjang semakin baik!" Tujuh orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak itu. Si Kong memeriksa keadaan sekitar sumur. Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tak berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang hingga ke atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan batu itu ke dalam sumur. Dia menunggu sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar! Kalau dasarnya air tentu akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamnya, dan kalau dasarnya tanah juga akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih. Si Kong mengerutkan alisnya. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu tidak berdasar atau dasarnya begitu dalam sehingga suara batu yang dia jatuhkan tidak bisa terdengar dari atas? Kalau dalamnya seperti itu, gadis pendekar itu tentu mengalami kecelakaan. Tiba-tiba saja telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya. Seperti suara orang yang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran dan bulu tengkuknya meremang juga. Dia belum pernah melihat setan, akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang setan yang seram-seram. Ketika mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya berdebar kemudian terbayanglah dalam ingatannya perihal setan seperti yang pernah didengarnya. Ahh, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana mungkin ada setan di tempat ini! Tujuh orang pemuda itu berlarian mendaki puncak lalu mereka menyerahkan segulung tali yang panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali pada batang pohon yang tumbuh di situ dan melemparkan gulungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran gulungan tali itu terbuka. “Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini.” Sesudah Si Kong menuruni sumur dengan tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemilik kedai itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka cepat meninggalkan sumur dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar. Si Kong meninggalkan caping lebarnya di bibir sumur, akan tetapi dia membawa bambu pikulannya dan buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggung. Tali itu ternyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang mendapat cahaya matahari dengan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan hati-hati. Tidak lama kemudian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersenyum sendiri ketika kakinya menyentuh sebuah jala. Ternyata ada sehelai jala dipasang di situ. Pantas batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak. Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting di arah kiri. Dia meraba-raba ke bagian kiri dan mendapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai sebuah terowongan! Suara berkelinting tadi segera disusul dengan suara orang bercakap-cakap dan tak lama kemudian nampak cahaya api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan seorang di antara mereka memegang sebuah lampu gantung yang cahayanya cukup terang. Dalam penerangan cahaya lampu itu nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu garis tengahnya kurang lebih dua meter. Juga di pinggang empat orang itu nampak ada golok bergantung dan mereka membawa tali seakan hendak mengikat korban yang terjatuh ke dalam jala mereka. Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban disuguhkan kepada iblis penjaga sumur. Tepat seperti dugaannya! Bukan iblis yang menuntut dikorbankannya dara-dara muda dan cantik, tapi segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang percaya akan takhyul! Hati Si Kong menjadi panas bukan main. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi korban-korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar dari jauh mereka tak dapat melihat bahwa dia seorang pria. Setelah mereka menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka. “Wah, sudah datang lagi gadis manis untuk kita!” “Engkau sudah mendapat bagian, aku yang belum.” “Yang ini untukku, akan kuminta kepada Twako!” Ketika mereka sudah tiba dekat, dalam jarak sekitar dua meter, Si Kong melompat keluar dari dalam jala sambil tangannya bergerak menotok tiga kali dan tiga orang itu roboh tak bisa berkutik lagi. Dia lalu mencengkeram pundak orang ke empat yang membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti dicengkeram jepitan baja saja. “Jangan berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!” Si Kong berbisik, dan dari pundak yang gemetaran itu tahulah Si Kong bahwa orang ini amat ketakutan. “Hayo katakan berapa banyak kawan-kawanmu?” Agaknya orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab, “Ada lima belas orang dan langsung dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang sangat lihai. Engkau berani masuk ke sini, berarti engkau akan mati tersiksa.” Si Kong memperkuat cengkeraman tangannya hingga orang itu mengaduh-aduh. “Aduh… ampunkan saya…” dia meratap. “Di mana gadis-gadis korban itu?” “Di ruangan sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan baru diambil dan dibawa...” “Antarkan aku ke sana!” Dia melepaskan cengkeramannya, lantas mendorong orang yang membawa lampu itu ke depan. Orang itu tadinya hendak lari, akan tetapi sesudah merasakan lagi cengkeraman pada pundaknya, dia pun maklum bahwa dia sudah tidak berdaya. “Baik, akan kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku... aduhh, sakit...!” Si Kong mengendurkan cengkeramannya, lalu mendorong orang itu yang melangkah maju dengan terhuyung-huyung. Sesudah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari. Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia. Si Kong lalu memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang. Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu melangkah terus, sementara jalan mulai mendaki naik. Orang itu berhenti di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya. Si Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu, ada yang sedang menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada seorang gadis yang dua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di dinding itu. Dia terkejut sekali sesudah mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan menundukkan muka dengan sikap tenang sekali. Dari depan terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke tempat gelap, lantas dia mengintai. Belasan orang mendatangi tempat itu, mengiringi seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya. “Sekali ini kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Dia luar biasa cantik jelitanya, tidak seperti perawan-perawan gunung yang sederhana itu. Kami menemukan dia dalam keadaan pingsan di dalam jala. Melihat dia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti puteri kaisar saja!” Si tinggi besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu berjeruji, dia berhenti kemudian dengan bengong memandang ke arah gadis yang diikat itu. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang gadis yang benar-benar luar biasa! “Ha-ha, dia cantik dan membawa pedang? Berarti sedikit banyak tentu dia pandai bersilat. Dia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!” Anak buahnya tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka segera membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu. Begitu daun pintu dibuka, si bopeng itu segera melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk menerjang apa bila si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui Lan. Si bopeng itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak. “Hebat, cantik jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!" Sesudah tertawa dan memuji kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak melepaskan tali pengikat kedua tangan Hui Lan. Si Kong yang sedang mengintai itu tiba-tiba tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat muka dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga. Sekilas pandang saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal sudah siap siaga sejak meloncat ke dalam sumur! Si Kong merasa kagum bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus melompat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan dia hadapi di dasar sumur. Dugaannya benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan Hui Lan, kedua tangan gadis yang tadinya terikat tiba-tiba saja sudah lepas begitu saja, kemudian sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan darah! Melihat ini belasan orang anggota gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu, terdengar Hui Lan membentak dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa. “Kalian hanya gerombolan anjing-anjing yang pandai menggonggong! Anjing-anjing yang pandai menggonggong!” Si Kong menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri lantas merangkak dengan kaki tangan mereka seperti kawanan anjing. Mereka menggonggong dan menyalak riuh rendah sambil merangkak ke sana sini! Ternyata segerombolan orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan. “Adik Hui Lan...!” Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya. Hui Lan amat terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut dia memandang Si Kong, menyangka bahwa ada anggota gerombolan itu yang tidak terkena sihirnya. Akan tetapi ketika dia sudah melihat jelas, dia segera mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan. “Engkau… kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada di sini?” Pandangan matanya tiba-tiba saja berubah penuh kecurigaan. “Apakah engkau salah satu anggota gerombolan anjing-anjing ini?” Si Kong tersenyum dan menggeleng kepalanya.“ Bagaimana aku dapat menjadi anggota gerombolan ini? Setelah mendengar keterangan orang dusun, aku lantas menuruni sumur untuk melakukan penyelidikan. Ternyata gadis yang tadi pagi meloncat ke dalam sumur ini adalah engkau, Lan-moi. Ahh, kekhawatiranku sia-sia belaka. Kalau engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapa pun!” “Nanti saja kita bicara, Kong-ko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun.” “Baik, Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tak berdaya,” kata Si Kong dan dia lalu memasuki ruangan tahanan itu. Berkali-kali tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang sudah menderita luka parah oleh pukulan tangan Hui Lan tadi. Dengan penerangan dari lampu yang dibawa oleh seorang gadis yang sudah dibebaskan, Si Kong lalu menyeret belasan orang itu ke dasar sumur. “Engkau naiklah dulu, Lan-moi. Sesudah berada di atas, segera panggil penduduk dusun agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!" “Baik, Kong-ko!” Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur....

jilid 13


PARA pemuda dusun yang bersama kakek pemilik kedai masih mengintai dengan jantung berdebar tegang dan ketakutan, tiba-tiba saja melihat Hui Lan meloncat keluar dari sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan. Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramaii mereka menghampiri. “Bagaimana, lihiap?” kata mereka, tidak ragu-ragu lagi menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Hui Lan. “Beres, gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik ke sini, juga iblis-iblis itu sudah tertangkap dan akan dinaikkan pula.” Orang-orang itu terbelalak ketakutan ketika mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap. Bagaimana pun juga mereka merasa ngeri kalau harus menghadapi iblis-iblis, walau pun mereka sudah tertangkap. Melihat mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan lalu tertawa. “Jangan bodoh, yang kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis asli, melainkan penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis.” Mendengar ini, mereka menjadi lega. “Sekarang bersiap-siaplah menarik tali itu. Ada pun kakek ini boleh pulang ke dusun untuk memberi tahu semua penduduk dusun agar menjemput gadis-gadis korban yang menjadi keluarga mereka.” Kakek pemilik kedai cepat-cepat berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal lelah sehingga sesudah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong oleh penduduk dusun. “Lihiap itu… telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap gerombolan penjahat yang menipu kita menjadi iblis dan setan." Berita ini cepat tersiar luas sehingga didengar pula oleh penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak. *************** Sementara itu Hui Lan sedang memberi isyarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si Kong yang berada di bawah sudah membuatkan tempat duduk dari jala yang berada di situ, diikatkan dengan ujung tali lalu memberi isyarat dengan menarik-narik tali itu. Hui Lan mengerti dan dia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk menarik tali ke atas. Gadis pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun telah berkumpul semua di sekeliling sumur. Tua muda dan anak-anak bersorak, dan gadis itu tersedu-sedu dalam rangkulan ibunya. Tempat duduk dari jala itu lantas diturunkan kembali. Gadis kedua, ketiga dan seterusnya diangkat satu demi satu, dan terdengar sorak sorai setiap kali ada gadis yang tiba di luar sumur. Akhirnya semua gadis yang pernah menjadi korban 'iblis-iblis' itu telah dikeluarkan dari dalam sumur. Orang berikutnya yang ditarik keluar sumur sangat berat sehingga membutuhkan tenaga banyak orang untuk menarik tali. Pada waktu orang itu muncul, ternyata dia adalah kepala gerombolan yang tinggi besar bermuka bopeng. Mulutnya masih berlepotan darah dan dia tidak mampu berkutik karena sudah ditotok oleh Si Kong. “Nah, inilah yang mengaku-ngaku iblis penjaga sumur itu. Kalian lihat, dia manusia biasa, bukan? Manusia biasa, akan tetapi amat jahatnya. Dia serta belasan orang anak buahnya yang mengganggu kalian, minta supaya gadis-gadis dan perhiasan-perhiasan dikorbankan dan dilemparkan ke dalam sumur.” Mendengar kata-kata Hui Lan itu, para penduduk dusun menjadi marah, terutama mereka yang anak gadisnya dijadikan korban. Serentak mereka bergerak maju untuk memukuli si bopeng yang sudah tak berdaya itu. Ada yang menggunakan alat bertani seperti cangkul, kapak dan lain-lain. “Sudah! Cukup! Jangan dibunuh!” teriak Hui Lan, akan tetapi dia terlambat. Ketika orang-orang itu mundur, si muka bopeng sudah menjadi seonggok daging berlumuran darah! “Kalian bertindak berlebihan!” tegur Hui Lan. “Mereka memang jahat dan harus dihukum, akan tetapi tidak perlu dibunuh dan dibantai seperti itu! Ingat, aku akan marah kalau kalian ulangi lagi perbuatan tadi atas diri para penjahat yang akan dikeluarkan semua!” Seruan Hui Lan itu mengandung wibawa yang kuat dan semua orang menundukkan muka. Hui Lan lalu memberi isyarat kepada Si Kong di bawah untuk mengisi tempat duduk yang sudah diturunkan. Tidak lama kemudian Si Kong balas memberi tanda dengan tarikan tali. Orang kedua dikeluarkan dan kini hanya caci maki yang terlontar dari mulut semua orang terhadap penjahat itu yang menjadi ketakutan setengah mati melihat begitu banyak orang marah-marah seolah hendak menelan dia bulat-bulat! Demikianlah, satu demi satu penjahat dikeluarkan dan mereka semua menjadi ketakutan setengah mati ketika melihat pemimpin mereka sudah tewas dengan tubuh hancur. Akan tetapi mereka tidak dibunuh, hanya diseret lalu digeletakkan di atas tanah. Setelah semua penjahat ditarik keluar, orang paling akhir keluar adalah Si Kong sendiri yang membawa sebuah peti. Semua orang bersorak karena mereka semua sudah mendengar dari kakek pemilik kedai betapa pemuda itu menuruni sumur dan menolong para gadis yang ditahan. Si Kong lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan membuka peti. Ternyata di dalamnya terisi banyak perhiasan dari emas permata. "Mereka yang merasa sudah melemparkan perhiasannya ke dalam sumur, boleh mencari perhiasannya dan mengambilnya kembali. Tapi mereka yang perhiasannya tidak dirampok harap jangan mengambil sesuatu dari dalam peti ini. Awas, aku tidak akan mengampuni mereka yang bertindak curang dan mengambil barang yang bukan miliknya!" Mereka yang merasa kehilangan perhiasan karena pernah diancam oleh suara iblis agar melemparkan perhiasan mereka ke dalam sumur, cepat-cepat mencari perhiasan masing-masing hingga akhirnya semua orang telah memperoleh kembali perhiasan mereka. Akan tetapi di dalam peti itu masih terdapat banyak sekali benda-benda berharga terbuat dari emas, batu kemala dan lain-lain. "Panggil kepala dusun ke sini!" kata Si Kong. Ternyata kepala dusun juga sudah berada di antara penduduk dusun dan dia segera melangkah maju sesudah mendengar seruan Si Kong tadi. "Paman kepala dusun di sini?" "Benar, taihiap." "Dengarlah baik-baik. Kalau ada orang-orang seperti para pengacau ini, kumpulkan orang sedusun, atau kalau perlu ditambah para penghuni dusun tetangga, satukan tenaga untuk menghadapi dan nenghajar para penjahat itu. Jangan pernah percaya dengan kabar dan cerita takhyul.” “Baik, taihiap,” kata kepala dusun yang tadi ikut pula memukuli kepala penjahat itu “Mulai sekarang kami akan melakukan perlawanan.” “Bagus! Nah, segerombolan penjahat ini sudah mendapat hajaran keras. Apa bila mereka berani muncul lagi di tempat ini, jangan ragu, keroyoklah beramai-ramai.” “Baik, taihiap...” Si Kong menghadapi gerombolan yang masih rebah malang melintang tak dapat bergerak itu, lantas satu demi satu memulihkan jalan darah mereka yang tertotok. Para penjahat itu telah mendengar semua pembicaraan Si Kong dengan penduduk dan kepala dusun, maka begitu dapat bergerak, mereka lalu berlutut dan minta-minta ampun. “Sekarang kalian benar-benar sudah bertobat? Awas, kalau sekali lagi aku melihat kalian berani berbuat jahat, maka aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Sekarang pergilah dan bawa mayat pemimpin kalian, kubur di tempat yang jauh dari sini. Nah pergilah!” Para penjahat itu menghaturkan terima kasih, kemudian cepat mengangkut sisa mayat si bopeng dan pergi dari situ dengan cepat. Mereka sangat ketakutan. Sejak mereka melihat pemimpin mereka roboh muntah darah setelah dihantam oleh gadis itu, mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka! Mereka hanya teringat secara samar-samar betapa mereka merasa berubah menjadi anjing, kemudian mereka tidak mampu bergerak, hanya melihat betapa mereka satu demi satu ditarik naik keluar dari sumur dalam keadaan tidak mampu bergerak, kemudian dikepung penduduk dusun yang tampak marah sekali kepada mereka. Mereka sudah putus asa karena mereka merasa tentu akan dibunuh seperti yang terjadi pada pemimpin mereka. Maka dapat dibayangkan betapa lega dan senang hati mereka setelah dilepas dan diampuni. Pengalaman mereka sedikit banyak akan mempengaruhi jalan hidup mereka selanjutnya, membuat mereka jeri untuk melakukan kejahatan lagi. Si Kong menghampiri Hui Lan yang semenjak tadi hanya menonton saja, lalu berkata lirih, “Lan-moi, bagaimana pendapatmu kalau sisa perhiasan ini kita bagikan kepada keluarga mereka yang terbunuh dan keluarga para gadis yang menjadi korban?” Hui Lan sejak tadi menonton dengan hati kagum. Jika menurut hatinya, ingin dia memberi hajaran keras kepada para penjahat itu! Namun Si Kong membebaskan mereka sesudah menakut-nakuti mereka. Kini mendengar pertanyaan Si Kong, dia pun berkata, “Terserah kepadamu, Kong-ko. Aku hanya dapat menyetujui saja.” Si Kong melambaikan tangannya memanggil kakek pemilik kedai minuman itu. “Paman, engkau kuangkat menjadi orang yang bertugas untuk membagi-bagi perhiasan ini dengan adil kepada keluarga mereka yang dibunuh para penjahat dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Sanggupkah engkau, paman?” Kakek itu kelihatan bangga sekali. “Serahkan saja kepada saya, taihiap. Saya pasti akan membagi-baginya secara adil.” Si Kong berkata kepada kepala dusun. “Paman menjadi pengawasnya agar pembagian berjalan lancar dan adil. Harap panggil keluarga para korban pembunuhan dan penculikan, lalu bagi-bagilah perhiasan ini secara adil.” Kepala dusun mengangguk setuju. Si Kong lalu berkata kepada Hui Lan. “Semua sudah beres, mari kita pergi, Lan-moi!” Hui Lan mengangguk, lalu dengan sekali berkelebat kedua orang muda perkasa itu lenyap dari hadapan semua penduduk. Melihat ini semua orang terkejut dan ketakhyulan kembali melanda hati mereka. Kepala dusun yang lebih dulu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah berkelebatnya dua orang itu. Semua penduduk segera mengikuti kepala dusun, berlutut sambil berterima kasih kepada dua orang 'dewa-dewi' yang sudah membebaskan mereka dari ancaman iblis jahat. Dari jauh mereka mendengar kata-kata yang dapat terdengar jelas oleh mereka, “Jangan lupakan persatuan melawan yang jahat. Selamat tinggal!” Itu adalah suara Si Kong yang sengaja diucapkan dari jauh dengan pengerahan khikang sehingga dapat terdengar oleh mereka yang berada di sekeliling sumur tua. Kepala dusun memimpin semua orang untuk melempar-lemparkan banyak batu ke dalam sumur sehingga sumur itu penuh batu dan tidak mungkin dilewati orang lagi. Kemudian, dengan pengawasan kepala dusun, mulailah perhiasan itu dibagi-bagikan kepada keluarga mereka yang tewas dan keluarga para gadis yang menjadi korban. *************** Mereka duduk di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat, akan tetapi cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang. Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian. “Bagaimana engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko? Ceritakanlah dari awal.” Si Kong tersenyum memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa suka pada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam. “Hanya kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan membeli minuman di kedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang amat ganjil, sebab aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu, sedangkan kaum prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia malah ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalihkan rasa takutnya kepada sesuatu itu menjadi rasa takut kepada diriku. Aku mengancam dia sehingga akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita tentang sumur setan di mana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia bercerita mengenai seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Aku merobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur dan kutotok mereka. Kemudian aku memaksa seorang di antara mereka untuk menunjukkan di mana adanya ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah sampai di sana, aku melihat engkau di antara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka? Tentu engkaulah yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk ke dalam sumur itu, bukan?” “Benar, Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis itu semalam telah diminta oleh suara setan di atas rumah mereka. Karena ketakutan dan tak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya melarikan diri. Aku menjadi amat penasaran, lalu kumasuki dusun itu, kukatakan kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang melarikan diri. Aku diantar ke atas puncak, mendatangi sumur itu. Kemudian aku lalu meloncat masuk ke dalam sumur.” “Akan tetapi, Lan-moi. Mengapa engkau berani meloncat ke dalam sumur yang dasarnya tidak kelihatan dan belum kau ketahui bagaimana keadaan di dalamnya itu?” Hui Lan tersenyum. “Hal itu telah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban gadis?” “Bukankah menurut para penduduk yang minta korban gadis adalah iblis penjaga sumur tua?” “Hemm, siapa dapat percaya? Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat yang pura-pura menjadi setan, dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu meloncat ke dalam sumur, tentu saja aku waspada sambil mengerahkan ginkang untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur.” “Engkau sungguh pemberani sekali, Lan-moi.” “Engkau pun masuk ke dalam sumur itu. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. Nah, sesudah sampai di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku. Begitu tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tak berdaya ketika ditangkap, kemudian sepasang pedangku dirampas.” “Kenapa engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?” “Aku ingin berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga, akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka.” “Sebenarnya dari manakah datangnya gerombolan itu? Apakah mereka itu para anggota dari perkumpulan sesat yang lebih besar?” “Ahh, kurasa tidak, Kong-ko. Mereka hanya gerombolan perampok biasa yang kebetulan menemukan terowongan bawah tanah itu, lantas mereka menakut-nakuti penghuni dusun-dusun yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa memakai kekerasan. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepantasnya dibasmi dari permukaan bumi. Terlalu enak bagi mereka jika dibebaskan begitu saja.” Kalimat terakhir ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur. “Gerombolan seperti itu biasanya hanya mengekor kepada perbuatan pemimpin mereka. Kepala penjahat sudah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itu pun telah mendapat hajaran keras. Kukira mereka sudah menyadari kejahatan mereka lantas akan mengubah cara hidup mereka.” Hui Lan tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak ayahnya, sangat mudah memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap murid Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara watak ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun. “Jika boleh aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi ke mana, Lan-moi?” tanya Si Kong mengalihkan pembicaraan. “Aku hendak pergi ke Kwi-liong-san,” kata Hui Lan berterus terang. Si Kong memandang dengan wajah berseri. “Pek-lui-kiam...?” Hui Lan juga tercengang. “Ehh, engkau juga mengetahui?” “Siapa yang tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh ayahnya.” “Hemm, kau maksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?” Si Kong mengangguk. “Agaknya engkau bahkan tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin, Lan-moi.” “Tahu lebih banyak juga tidak. Aku hanya pernah mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah, dan menurut dugaan orang pembunuh dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin.” “Engkau hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?” “Jika memang benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampas pedang itu. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan sesat yang amat kejam. Bila Ang I Sianjin dibiarkan memiliki Pek-lui-kiam, tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi aku tidak akan mengganggu jika pedang itu ternyata berada di tangan pendekar budiman. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Kong-ko?” “Sama dengan engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik ayahnya.” “Tidak perlukah untuk menyelidiki lebih dulu dari mana Tan Tiong Bu memperoleh pedang itu? Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu.” Si Kong tertegun kemudian mengangguk-angguk. “Kalau demikian persoalannya, engkau memang benar. Tadinya aku menyangka bahwa pedang pusaka itu adalah milik sah dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?” Hui Lan menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Dia belum mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek buyutnya yang setia dan berbakti. Dia ingin melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tak menyenangkan, maka mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil jalan sendiri. Tapi sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa salahnya melakukan perjalanan? Sebagai murid kakek buyutnya, Si Kong dapat dikatakan sebagai 'orang sendiri' Hui Lan tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. “Tentu saja aku tidak keberatan. Bukankah tujuan kita sama? Bahkan kita dapat saling bekerja sama dalam penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin.” Si Kong merasa girang sekali. Kemudian mereka melakukan perjalanan bersama dan di sepanjang jalan Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis puteri datuk Lam Tok itu pernah mengajaknya untuk melakukan perjalanan bersama, akan tetapi dia menolaknya. Dan kini dia bahkan ingin melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain! Namun Hui Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin. Gadis ini adalah puteri sepasang pendekar kenamaan yang sikapnya gagah serta lembut. Sedangkan Cu Yin sama sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu sangat nakal, sering mengganggu orang, dan terutama sekali yang membuat dia tidak suka melakukan perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya! Andaikan Cu Yin masih menyamar sebagai pria, tentu dia akan senang sekali melakukan perjalanan dengannya. Akan tetapi jika melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang mencintainya, padahal dia sendiri belum pernah mencinta gadis mana pun juga, tentulah akan sangat mengganggu kedamaian hatinya. Pada hari itu belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan, namun senja telah datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang makin lama makin lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan. “Wah kita akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko.” “Biar kuselidiki apakah ada dusun di sekitar tempat ini,” kata Si Kong. Dia lalu melompat ke sebuah pohon besar dan memanjat ke atas. Dari atas pohon itu dia memandang ke empat penjuru. Akan tetapi yang nampak hanyalah warna hijau gelap dari puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, sama sekali tak nampak adanya rumah orang! Dia pun melompat turun kembali. “Di sekitar sini sama sekali tidak nampak ada rumah orang, Lan-moi. Agaknya kita akan kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi pada bagian selatan kulihat ada lapangan rumput yang terbuka, agaknya di sana kita dapat melewatkan malam karena lebih menyenangkan dari pada di dalam hutan.” Hui Lan mengangguk. “Kalau begitu kita pergi ke selatan, Kong-ko, ke lapangan rumput itu.” Mereka segera melakukan perjalanan cepat ke selatan, karena sebentar lagi bumi akan diselimuti kegelapan dan tidak mungkin melakukan perjalanan lagi. Tidak lama kemudian tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja-puji terhadap Yang Maha Kuasa. “Tempat ini cukup menyenangkan,” kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega. Tadinya dia sangat khawatir kalau-kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena mereka terpaksa harus melewatkan malam di tempat itu. “Memang lebih enak dari pada di tengah hutan tadi. Rumputnya bersih, seperti permadani hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi.” Si Kong cepat pergi ke hutan di sebelah untuk mengumpulkan ranting kering. Walau pun cuaca sudah mulai gelap, dia masih dapat mengumpulkan ranting dan daun kering yang banyak. Dia segera membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala besar, mereka berdua merasa gembira sekali. Suasana menjadi demikian indah di tempat itu. Asap api unggun mengusir nyamuk, dan panasnya api unggun mengusir kedinginan hawa udara yang tentu akan sangat mengganggu mereka dalam melewatkan malam di tempat terbuka seperti itu. Masih untung bagi mereka bahwa malam itu angin bertiup sepoi-sepoi saja. Mungkin karena di sekeliling tempat itu tumbuh pohon-pohon besar yang merupakan benteng hijau yang menahan tiupan angin. Apa bila mereka berdongak memandang ke atas, nampak pemandangan yang luar biasa indahnya. Bersama tenggelamnya matahari, bermunculan bintang-bintang di langit. Tidak ada awan menghalangi sehingga bintang-bintang berlatar belakang langit hitam itu seperti ratna mutu manikam ditaburkan di atas beludru hitam. Bintang-bintang gemerlapan, ada yang berkedap-kedip seperti mata bidadari memberi isyarat yang mesra kepada mereka! Suasana sungguh romantis sekali. Kini tempat itu penuh dengan suara marga satwa yang beraneka ragam, akan tetapi suara itu sama sekali tidak menimbulkan kebisingan, malah sebaliknya mengandung irama yang mendatangkan suasana hening penuh rahasia. Mereka duduk di atas rumput menghadapi api unggun. Mereka bisa saling pandang lewat atas lidah api yang menjilat-jilat. Muka mereka nampak aneh sekali, berwarna merah dan bergoyang-goyang karena lidah api itu menari-nari dan sinarnya menerangi wajah mereka. Tiba-tiba Si Kong menyadari keadaan ketika dia merasa perutnya bergerak. Lapar! Baru dia ingat bahwa sejak siang tadi mereka belum makan dan rasa lapar mulai menggerogoti perutnya. Hatinya menjadi bingung dan merasa menyesal mengapa tidak membawa bekal makanan di malam itu. Tempat minumnya juga hanya terisi air saja! “Lan-moi, menyesal sekali aku tidak membawa bekal apa-apa. Engkau tentu sudah lapar seperti juga aku.” Hui Lan memandang kepadanya dari balik api unggun. Gadis itu tersenyum, lantas meraih buntalan pakaiannya yang diletakkan didekatnya. “Jangan khawatir, Kong-ko. aku masih punya bekal roti dan daging kering. Akan tetapi air minumku sudah habis.” “Ahh, aku masih mempunyai air minum, Lan-moi!” kata Si Kong dengan gembira. Mereka membuka buntalan masing-masing. Hui Lan mengeluarkan bungkusan roti berikut daging asin, sedangkan Si Kong mengeluarkan tempat air minumnya. Setelah bungkusan dibuka, ternyata bekal roti dan daging asin masih cukup banyak untuk mereka berdua. “Cuaca begini indah, hawa udara begini hangat, perut begini lapar, roti kering dan daging asin merupakan hidangan yang lezat!” kata Si Kong dan mereka pun mulai makan. Hui Lan juga merasa heran kepada dirinya sendiri. Biasanya makan roti dan daging asin amat membosankan, tapi dia terpaksa harus membawa bekal makanan seperti itu karena hanya roti kering dan daging asin yang dapat bertahan berhari-hari. Makanan seperti itu membuat dia merasa bosan kalau terpaksa harus memakannya karena dia tiba di tempat yang jauh dari dusun atau kota. Namun malam ini makanan roti kering dan daging asin itu terasa lezat bukan main! Makan roti kering dan daging asin mendatangkan haus. Si Kong lalu memberikan tempat airnya kepada Hui Lan. “Aku tidak mempunyai cawan atau cangkir, minum saja dari mulut guci air itu,” katanya kepada Hui Lan. “Aku membawa sebuah cawan,” kata Hui Lan sambil mengeluarkan cawan perak itu dari buntalannya. Ia menuangkan air dari guci itu ke dalam cawan, lalu meminumnya. Bahkan air biasa itu terasa segar dan melegakan. “Agaknya engkau membawa bekal yang sangat lengkap,” kata Si Kong. “Tentu saja,” Hui Lan menyerahkan cawan yang sudah kosong itu. Si Kong menuangkan air ke dalam cawan lalu meminumnya. Hui Lan memandang dengan kedua pipinya berubah kemerahan. Akan tetapi hal ini tidak nampak oleh Si Kong karena wajar saja bila sinar api unggun membuat wajah itu menjadi kemerahan. Hui Lan merasa sungkan karena Si Kong menggunakan cawan yang bekas diminumnya itu. Tetapi karena Si Kong bersikap biasa saja, maka rasa sungkan itu perlahan-lahan lenyap kembali. “Kong-ko, sekarang ceritakan pengalamanmu sampai engkau menjadi murid kakek buyut Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah,” kata Hui Lan setelah selesai makan dan minum. “Malam baru saja datang, masih terlampau sore untuk tidur, maka aku akan senang sekali mendengar riwayatmu sejak engkau kecil.” Si Kong menghela napas panjang. “Pengalamanku sejak kecil penuh dengan duka, tidak menarik untuk diceritakan, Lan-moi.” “Ahh, justru pengalaman yang penuh duka itu yang menarik dan selalu menjadi kenangan, sedangkan pengalaman yang penuh suka mudah dilupakan. Ceritakanlah, Kong-ko, aku suka mendengarkan.” Hening sejenak ketika Si Kong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua pengalamannya sejak kecil yang pantas untuk diceritakan kepada gadis itu. “Aku dilahirkan di dusun Ki-ceng. Orang tuaku adalah petani yang sangat miskin. Musim kering yang panjang membuat keadaan kami lebih payah lagi. Apa lagi yang harus kami makan? Karena itu ayahku terpaksa menyerahkan enci-ku kepada Hartawan Lui, supaya dapat menyambung nyawa kami sekeluarga. Enci-ku lalu menjadi selir hartawan itu, akan tetapi dia seperti di penjara, tak pernah dapat menjenguk atau menolong kami sekeluarga. Karena kelaparan hampir membunuh kami, maka kakakku Si Leng nekat memanjat pagar tembok rumah Hartawan Lui untuk mencari enci Kiok Hwa agar enci-ku dapat membantu. Akan tetapi dia ketahuan tukang-tukang pukul hartawan itu, lalu dipukuli sampai mati.” Si Kong berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang. Kenangan tentang semua itu mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya. “Menyedihkan sekali, Kong-ko. Ketika hal itu terjadi, berapakah usiamu?” “Ketika itu aku baru berusia sepuluh tahun, hanya dapat membantu ayah di sawah, tetapi dengan adanya musim kering seperti itu, apa yang dapat dilakukan para petani miskin?” “Aku dapat mengerti, Kong-ko, lalu bagaimana kelanjutan ceritamu?” “Agaknya Tuhan belum menghentikan cobaan yang menimpa diriku. Dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Sore sakit pagi mati dan pagi sakit sore mati. Keluarga kami yang tinggal ayah, ibu dan aku seorang, juga tak luput dari amukan wabah penyakit itu. Ayah dan ibu terkena dan mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan.” “Ahhhh...!” Tanpa disadarinya kedua mata Hui Lan menjadi basah ketika dia memandang kepada Si Kong penuh rasa haru dan iba. cerita silat online karya kho ping hoo Si Kong kembali menarik napas panjang beberapa kali untuk menekan perasaan dukanya, kemudian dia melanjutkan ceritanya dan suaranya sudah terdengar tenang. “Kami mengubur jenazah ayah dan ibu. Sesudah semua orang pulang, aku tinggal sendiri di dekat makam. Habis sudah semuanya, tidak ada yang tertinggal lagi. Ayah ibu beserta saudaraku telah meninggal. Yang ada hanya enci Kiok Hwa, akan tetapi dia terkurung di rumah gedung sehingga kematian ayah ibu pun tak terdengar olehnya. Sawah dan rumah sudah dijual untuk biaya pemakaman ayah dan ibu. Karena merasa sedih dan kelaparan, ditambah tertimpa hujan lebat malam itu, tanpa terasa aku pun roboh pingsan di makam ayah dan ibu.” “Ahhh, kasihan kau, Kong-ko...!” Kini dari kedua mata Hui Lan jatuh menetes dua butir air mata di atas pipinya. “Agaknya Tuhan masih menaruh kasihan kepadaku. Pada keesokan paginya guruku yang pertama menemukan aku tergeletak pingsan di atas makam itu. Guruku yang pertama itu adalah Yok-sian Lo-kai. Setelah menolongku, suhu lantas menolong para penduduk dusun yang dilanda wabah penyakit, dan memberi tahu bagaimana cara mengobati orang-orang yang terkena wabah. Bukan itu saja, suhu juga mengunjungi para hartawan, merobohkan semua tukang pukulnya dan menasehati para hartawan sambil mengancam supaya para hartawan tidak bersikap pelit dan masa bodoh terhadap kemiskinan para petani dan suka membantu mereka agar tidak sampai kelaparan.” “Aku pernah mendengar dari ayah ibuku tentang Yok-sian Lo-kai yang sakti dan budiman itu,” kata Hui Lan sambil mengusap pipinya yang basah. “Semenjak itu engkau menjadi murid Yok-sian Lo-kai?” “Betul, aku dilatih ilmu silat dan suhu juga mengajarkan ilmu pengobatan sambil merantau sampai lima tahun lamanya. Dalam perantauan itu kami berdua bertemu dengan Tung-hai Liong-ong.” “Hemm, majikan Pulau Tembaga yang terkenal sebagai datuk sesat itu?” “Benar, suhu bentrok dengan Tung-hai Liong-ong karena suhu membela Hek I Kaipang. Kemudian mereka bertanding. Tung-hai Liong-ong bisa dikalahkan dan terusir pergi, akan tetapi suhu sendiri menderita luka parah yang beracun. Suhu ingin menyendiri dan beliau meninggalkan aku agar hidup seorang diri. Pada waktu itu usiaku sudah lima belas tahun. Walau pun aku sedih dan kecewa ditinggalkan suhu, akan tetapi aku tidak putus harapan. Aku lalu melanjutkan hidupku dengan bekerja sebagai kuli atau buruh kasar. Berkat ajaran Yok-sian Lo-kai aku dapat membaca dan menulis, tetapi aku tidak memiliki pengalaman. Dengan uang hasil kerjaku, aku membeli pakaian, tidak lagi berpakaian pengemis seperti ketika aku ikut suhu Yok-sian Lo-kai.” “Ceritamu menarik sekali, Kong-ko. Lanjutkanlah.” “Apakah engkau tidak lelah dan ingin mengaso?” “Malam belum larut dan aku tidak mengantuk. Teruskan ceritamu, Kong-ko. Pengalaman hidupmu menarik sekali!” Si Kong tersenyum. Tentu saja dia hanya dapat menceritakan hal-hal yang penting saja. “Pada suatu hari secara kebetulan aku bertemu dengan guruku yang kedua.” “Siapakah dia, Kong-ko?” “Dia adalah seorang sastrawan she Kwa, suka disebut Kwa Siucai (Sastrawan Kwa) atau juga disebut Penyair Gila.” “Ahh, aku juga pernah mendengar tentang Penyair Gila itu dari ayah. Kata ayah, biar pun disebut Penyair Gila tetapi sebenarnya dia sama sekali tidak gila dan dia mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali.” “Kepandaian manusia itu terbatas, Lan-moi. Bagaimana bisa tinggi sekali? Malam hari itu aku mengikuti Kwa Siucai merantau. Suhu-ku yang kedua ini berbeda dengan suhu-ku yang pertama. Kalau Lok-sian Lo-kai lebih suka mengemis dari pada mencuri, sebaliknya Kwa Siucai lebih suka mencuri harta para hartawan yang terkenal pelit, lalu membagikan hasil curiannya itu dan menyimpan sebagian kecil untuk biaya hidup kami. Selama dua tahun aku belajar ilmu kepadanya, lantas tiba-tiba saja guruku yang kedua ini pun meninggalkan aku karena ingin mengundurkan diri dan menjadi pertapa.” “Wahh! Dalam usia tujuh belas tahun engkau sudah menjadi murid dua orang guru yang sakti. Nasibmu baik sekali, Kong-ko. apa lagi setelah itu engkau diambil murid kong-couw (kakek buyut). Lalu bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menjadi murid kong-couw, Kong-ko?” “Peristiwa itu terjadi di Bukit Iblis. Karena aku mengintai pertandingan antara tokoh-tokoh sesat, aku ketahuan oleh pemenang pertandingan itu, yaitu Twa Ok dan Ji Ok.” “Ahh…, dua orang datuk besar golongan sesat dari Barat itu? Ayah pernah menceritakan tentang mereka.” “Benar, mereka adalah dua orang datuk besar yang kejam sekali. Mereka lalu berlomba untuk membunuhku! Melawan seorang saja dari mereka aku tidak akan menang, apa lagi mereka maju berbareng untuk membunuhku. Pada saat yang sangat gawat itu muncullah suhu-ku yang ketiga, yaitu Ceng Lojin. Beliau menandingi dua orang datuk itu, kemudian mengalahkan mereka hingga mereka melarikan diri. Semenjak saat itu aku diambil murid dan diajak ke Pulau Teratai Merah, lalu selama tiga tahun aku diajar ilmu-ilmu yang amat sulit oleh suhu.” “Dan dua orang datuk itu bersama Bu-tek Ngo-sian datang ke Pulau Teratai Merah untuk menantang kong-couw?” tanya Hui Lan. Si Kong menghela napas panjang. “Benar, dan aku merasa menyesal sekali bahwa walau pun dapat mengusir mereka, tetapi suhu telah mempergunakan terlampau banyak tenaga sehingga terluka dalam pula. Aku merasa menyesal sekali mengapa suhu melarangku untuk membantunya ketika dikeroyok tujuh orang yang lihai itu.” “Tidak perlu disesalkan lagi, Kong-ko. Mungkin kong-couw merasa malu jika harus minta bantuan muridnya, dan kenyataannya dia memang dapat mengusir tujuh orang musuhnya. Ah, kalau saja aku dapat bertemu dengan Toa Ok, dan Ji Ok dan kelima Bu-tek Ngo-sian, tentu akan kutantang dan kuhadapi mereka!” “Lan-moi, kuharap engkau menyadari bahwa balas membalas atau dendam mendendam adalah ulah nafsu yang amat membahayakan diri sendiri. Kelak apa bila aku berhadapan sebagai musuh ketujuh orang itu, maka tentu bukan karena hendak membalas dendam, melainkan karena mereka melakukan perbuatan jahat yang harus kutentang. Tentu hal ini sudah engkau ketahui dari ayah ibumu.” Hui Lan mengangguk. “Memang ayah selalu mengatakan demikian, akan tetapi kalau aku ingat betapa kong-couw yang usianya sudah amat tua itu mereka keroyok, hatiku menjadi panas sekali.” “Hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, Lan-moi, karena segala tindakan kita diatur oleh pikiran dalam kepala kita. Nah, aku sudah menceritakan semua, sekarang harap engkau mengaso. Di sebelah sana sudah kutaburi dengan rumput kering, dapat kau pakai untuk tidur.” “Dan engkau sendiri?” “Biarlah aku yang menjaga agar api unggun tidak sampai padam.” “Aih, bagaimana aku dapat tidur kalau begitu? Aku tidur nyenyak, ada pun engkau berjaga seorang diri di sini? Biarlah engkau saja yang mengaso dan tidur, aku yang menjaga api unggun.” “Engkau menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin, Lan-moi! Semua orang akan mentertawakan aku kalau mendengar bahwa aku menyuruh seorang gadis berjaga malam sedangkan aku sendiri tidur mendengkur! Sudah sepantasnya kalau sebagai laki-laki aku harus mengalah. Tidurlah dan aku dengan senang hati akan menjaga api unggun ini agar tidak padam.” “Baiklah, Kong-ko. Akan tetapi kau harus berjanji akan membangunkan aku setelah lewat tengah malam agar aku dapat menggantikan engkau berjaga.” “Baik, Lan-moi.” Hui Lan meratakan daun kering yang menutupi rumput basah, kemudian membaringkan tubuhnya membelakangi Si Kong dan api unggun. Karena dia memang sudah lelah sekali, maka sebentar saja dia sudah tidur. Si Kong mengetahui bahwa gadis itu telah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang dan lembut, tanda bahwa dia telah tidur. Kini dengan leluasa Si Kong dapat memandang gadis itu. Wajahnya tidak kelihatan karena dia membelakangi api unggun, namun dia dapat melihat kulit tengkuk yang putih mulus itu, juga melihat bentuk tubuh yang ramping dan padat itu. Alangkah cantiknya dia, dan sukarlah mendapatkan gadis secantik Hui Lan, demikian dia mendengar bisikan di telinganya. “Lihat betapa montok pinggulnya, dan alangkah halus mulus kulit lehernya. Pinggangnya demikian ramping, jari-jari tangannya demikian mungil,” bisikan itu melanjutkan. “Akan tetapi sungguh tidak sopan memandangi tubuh seorang gadis yang sedang tidur!” suara lain dari hatinya mencela suara yang datang dari kepala itu.’ “Hah, apanya yang tidak sopan? Sudah jamak bila lelaki memperhatikan dan mengagumi perempuan, dan di sini tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada yang melihatnya. Mungkin dia pun tertarik kepadamu. Sinar matanya begitu lembut kalau memandangmu, dan bibirnya... ahhh, bukankah bibir itu menantangmu untuk kau cium…?” suara kepala membujuk. “Keparat! Kau sungguh tidak tahu malu! Di mana kesopananmu? Di mana kegagahanmu? Usirlah keinginan yang bukan-bukan dari pikiranmu!” suara hatinya membentak. Pikirannya mentertawakannya. “Jangan berpura-pura alim! Sejak tadi engkau sudah ingin mencumbunya. Kalian hanya berdua saja di tempat yang sunyi ini. Hanya kalian berdua! Dan lupakah engkau betapa mancung hidung itu, betapa bibir itu merah segar dan selalu mengharapkan cumbuan darimu?” Bisikan itu sayup-sayup saja dan seakan terdengar di belakang kepalanya. “Iblis!” Tiba-tiba dia memutar tubuhnya. “Desss...!” Batang pohon yang berada di belakangnya terkena pukulannya dan runtuhlah semua daun kering dan setengah kering. “Pergi kau, iblis!” Si Kong merasa betapa kepalanya berdenyut dan panas. Dia harus dapat menentang dan mengusir bisikan iblis, nafsunya sendiri itu. Dia termenung, lantas teringat akan wejangan dari guru-gurunya. “Napsu itu sifatnya seperti api,” demikian kata Si Penyair Gila. “Kalau dapat dikendalikan maka dia akan menjadi pembantu yang bermanfaat sekali bagi kehidupan, bahkan tanpa api orang akan hidup tidak normal. Akan tetapi sekali engkau membiarkan dia merajalela, maka dia akan membakar seluruh hutan dengan lahapnya!” Si Kong mengerti bahwa suara yang berbisik tadi adalah nafsu yang memenuhi pikirannya dengan bayangan-bayangan yang menyenangkan sedangkan suara yang membantah dan mengingatkannya adalah jiwanya yang murni. Dia teringat akan ujar-ujar dari Nabi Khong-cu dalam kitab Tiong Yong dan dia pun berbisik lirih mengulang ujar-ujar itu. Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiong. Hwat Ji Kai Tiong Ciat, Wi Ci Ho. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Ho Ya Cia, Thian He Ci Tat To Ya. Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran berada dalam Keadaan Seimbang. Apa bila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada dalam Keadaan Selaras. Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan Selaras adalah Jalan Utama dari dunia. Si Kong termenung dan mencoba untuk menguraikan ujar-ujar itu. Perasaan susah, benci, senang, marah dan sebagainya adalah ulah nafsu. Jika seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini maka dia adalah seorang yang berimbang atau lurus, tidak miring. Tapi begitu nafsu menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat bila mana sudah dikuasai nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka dia pun akan tetap menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras. Nafsu telah ada di dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia dapat hidup di dunia seperti sekarang ini, mendapat kemajuan, ada gairah hidup dan semangat. Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu dapat menjadi hamba yang amat baik. Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau begitu halnya, nafsu akan memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia menjadi majikan maka dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam kehancuran. Si Kong menghela napas panjang. Samar-samar dia masih dapat mendengar suara yang membujuknya tadi pergi sambil menyumpah-nyumpah. Untung jiwanya kuat, pikirnya. Jika tidak tentu dia akan menjadi budak nafsu dan menuruti semua bujukannya. Dia merasa ngeri! Kalau tadi dia membiarkan diri dicengkeram nafsu kemudian melakukan semua perbuatan keji terhadap Hui Lan, alangkah ngerinya itu. Alangkah besar penyesalannya dan hebat akibatnya. Dia bergidik. Dia tadi sudah berada di mulut jurang. Dia harus berhati-hati. Inilah yang dikatakan para arif bijaksana bahwa musuh yang paling besar adalah nafsu-nafsunya sendiri yang berada di dalam diri. Dikatakan pula bahwa mengalahkan musuh adalah gagah, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri adalah bijaksana! Si Kong teringat akan sajak yang amat disuka oleh Kwa Siucai, yang diambil dari Kitab To-tek-keng. Dengan lirih dia pun bersenandung, seperti yang sering kali dilakukan oleh gurunya yang kedua, Si Penyair Gila. “Kata-kata yang jujur tidak bagus, kata-kata yang bagus tidak jujur. Si cerdik tidak membual, si pembual tidak cerdik. Orang yang tahu tidak sombong, orang yang sombong tidak tahu. Orang suci tidak menyimpan, dia menyumbang sehabis-habisnya, akan tetapi makin menjadi kaya, dia memberi sehabis-habisnya. Jalan yang ditempuh Langit menguntungkan, tidak merugikan. Jalan yang ditempuh orang suci memberi, tidak merebut.” Malam semakin larut. Suasana hening sekali sungguh pun di dalam keheningan itu penuh dengan suara-suara marga satwa, kadang kala diselingi suara api membakar kayu kering, berkerotokan. Si Kong yang mengamati diri sendiri merasakan betapa bujukan seperti tadi tidak ada lagi, sedikit pun tak ada bekasnya. Hal ini terjadi karena pikirannya sibuk dengan ujar-ujar tadi. Jadi jelaslah bahwa yang menjadi penggoda manusia adalah pikiran dan ingatan. Segala perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri dalam mencari kesenangan sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, manusia tidak segan melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain. Si Kong menghela napas dan menengadah. “Ya Tuhan, berilah kekuatan kepada hamba untuk mengekang dan mengendalikan nafsu,” dia berbisik lantas menyibukkan diri dengan menambah kayu bakar pada api unggun. Tanpa dirasakannya, malam telah larut dan hawa udara semakin dingin menyusup tulang. Bahkan api unggun tidak cukup kuat untuk menghangatkan udara. Dia melihat betapa Hui Lan tidur miring dengan kedua kaki terlipat. Kasihan, pikir Si Kong, dia kedinginan. Ia lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan sehelai kain lebar yang biasa dipakainya untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dengan perlahan-lahan dan amat hati-hati agar jangan membangunkan gadis yang sedang tidur nyenyak itu dia menyelimuti Hui Lan. Kemudian dia duduk kembali dekat api unggun. Kini ia duduk bersila sambil memejamkan matanya. Mata dan tubuhnya perlu beristirahat, akan tetapi kepekaannya tetap menjaga. Sedikit suara saja akan terdengar olehnya dan akan membuatnya terjaga. Juga akan terasa olehnya kalau api unggun itu mengecil. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Si Kong sudah bangun. Suara burung-burung yang berkicau riang gembira membangunkannya. Sesudah menambah kayu bakar pada api unggun untuk menghangatkan hawa udara yang masih dingin sekali, dia lalu mencari sumber air di hutan terdekat. Akhirnya dia menemukan sumber air yang memancur dari celah-celah batu. Bukan main gembira rasa hatinya. Cepat dia membersihkan tubuhnya, lalu dengan wajah dan rambut masih basah dan meneteskan air, dia kembali ke padang rumput. Ternyata Hui Lan telah bangun. Bajunya agak kusut dan rambutnya terlihat awut-awutan, sebagian gelung rambutnya terlepas. Si Kong memandang dan dia pun terpesona. Dalam keadaan bangun tidur seperti itu, Hui Lan nampak lebih menarik! “Ahh, engkau sudah bangun, Lan-moi?” “Kong-ko, ini kepunyaanmukah?” Ia mengambil selimut yang telah dilipatnya dengan baik Si Kong hanya mengangguk dan menerima selimut itu ketika gadis itu menyodorkannya. “Kong-ko, engkau tidak membangunkan aku, bahkan menyelimutiku. Aku enak-enak tidur semalam suntuk dan engkau berjaga hingga pagi! Sungguh engkau membuat aku merasa malu. Kenapa engkau tidak menggugahku untuk menggantikanmu berjaga?” “Aku tidak tega menggugahmu, Lan-moi. Lagi pula aku pun sudah beristirahat. Bahkan aku sudah membersihkan badan di sumber air di hutan itu.” Dia menunjuk ke kanan. “Di sana ada pohon yang tertinggi. Nah, di samping pohon itu terdapat batu-batu besar dan sumber air itu memancur keluar dari celah-celah batu besar.” “Ahh, itu bagus sekali! Biar aku membersihkan badan dan berganti pakaian dulu.” Hui Lan lalu mengambil satu setel pakaian dan berlari kecil menuju ke hutan yang ditunjuk oleh Si Kong. Si Kong memandang dan tersenyum. Alangkah indahnya suasana pagi ini. Kicau burung menggantikan suara marga satwa yang kini sudah tidak berbunyi lagi. Kicau burung yang amat meriah dan terdengar merdu sekali. Jarang Si Kong merasakan pagi secerah dan seindah ini. Ada rasa bahagia menyelinap dalam hatinya. Begini bahagia dan nikmatnya hidup, pikirnya. Dia lantas bangkit berdiri, menghirup napas yang panjang dan dalam sampai hawa murni terasa memasuki bawah pusar. Dia merasa tubuhnya demikian segarnya sehingga tanpa disadari dia telah berlatih silat! Dia mainkan delapan jurus Hok-liong Sin-ciang, mula-mula dengan lambat sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya, kemudian makin lama semakin cepat dan dia pun mengubah ilmu silatnya, kini memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan tubuhnya sudah tidak terlihat jelas lagi saking cepatnya dia bergerak. Hanya nampak bayangannya saja berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Setelah jurus terakhir dia mainkan dan kini tubuhnya tak bergerak lagi dalam posisi kedua lengan rapat pada tubuh dan kedua kaki sejajar tegak, jurus penutupan yang disebut jurus 'Burung Walet Beristirahat', tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara orang memuji dan bertepuk tangan. Si Kong seperti baru sadar dari mimpi. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia melihat Hui Lan sudah berdiri di depannya dan gadis ini bertepuk tangan memuji. “Bagus sekali ilmu silatmu tadi, Kong-ko. Begitu cepatnya gerakanmu!” Si Kong merasa terpesona. Kini Hui Lan telah mengenakan pakaian pengganti, rambutnya masih agak basah dan dibiarkan terurai supaya cepat kering, wajahnya yang tanpa bedak atau gincu itu nampak segar berseri, putih kemerahan. Dengan rambut terurai seperti itu, di bawah sinar matahari yang cerah, dia kelihatan seperti seorang Dewi dari Langit! Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya, dan sambil tersenyum berkata merendah. “Ahh, Lan-moi, betapa cepat pun gerakanku, masih tidak mampu menandingimu.” “Pujianku bukanlah kosong belaka, Kong-ko. Ilmu silat tangan kosong yang kau latih tadi sungguh hebat gerakannya. Demikian cepatnya. Ilmu silat apakah itu, Kong-ko? Apakah engkau mempelajarinya dari kong-couw? Aku tahu bahwa kong-couw mempunyai banyak ilmu silat yang luar biasa.” “Bukan dari suhu Ceng Lojin, Lan-moi. Ilmu silat itu disebut Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan aku mempelajarinya dari Si Penyair Gila.” “Ahh, pantas aku belum pernah melihatnya. Engkau beruntung mendapatkan banyak guru yang sakti, Kong-ko. Aku percaya bahwa dari kong-couw engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu yang langka dan lihai. Engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu simpanan kong-couw!” Dalam suara itu terkandung nada iri. “Dari suhu Ceng Lojin aku hanya mempelajari dua macam ilmu,” Si Kong berkata terus terang. “Ilmu apa saja yang kau pelajari dari Pulau Teratai Merah? Aku ingin sekali mengetahui, Kong-ko.” “Hanya dua macam, yaitu Hok-liong Sin-ciang dan Thi-khi I-beng.” “Wah, kata nenekku, itu adalah dua macam ilmu yang paling sulit di dunia. Bahkan nenek sendiri tidak diberi pelajaran Thi-khi I-beng walau pun dia adalah anak kakek buyut!” seru Hui Lan dengan kagum sekali. “Dan kata ibuku, ilmu silat Hok-liong Sin-ciang merupakan ilmu yang amat sulit dipelajari.” “Memang demikianlah sebenarnya, Lan-moi. Ilmu silat itu hanya terdiri dari delapan jurus, namun untuk menguasai ilmu itu dengan baik, aku harus berlatih tekun selama dua tahun! Dan ternyata setiap jurus ilmu itu dapat dikembangkan menjadi puluhan macam gerakan, tergantung dari bakat dan naluri si murid.” Hui Lan menggeleng-gelengkan kepala. “Wah, begitu sulit? Engkau tadi juga memainkan ilmu silat yang kau peroleh dari Si Penyair Gila. Ilmu apa saja yang kau pelajari darinya, Kong-ko? Ataukah ini merupakan rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain?” Si Kong tersenyum. “Terhadap orang lain memang aku harus merahasiakan, akan tetapi engkau bukan orang lain, malah cucu buyut suhu Ceng Lojin, maka aku berterus terang saja padamu. Dari Suhu Kwa Siucai itu aku mempelajari Yan-cu Hui-kun, ilmu silat yang tadi kumainkan dan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Bumi).” “Pantas ilmu meringankan tubuh yang kau kuasai demikian hebat. Dan dari Yok-sian Lo-kai, engkau mempelajari apa sajakah?” “Dari suhu Yok-sian Lo-kai aku mempelajari ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing), ilmu pengobatan dan juga ilmu mengemis.” “Ilmu mengemis?” tanya Hui Lan terbelalak heran dan geli. “Ya, ilmu mengemis. Mengemis pun ada ilmunya, Lan-moi. Ada orang mengemis secara kasar dan menakut-nakuti. Ada pula yang mengemis dengan cara berpura-pura lumpuh, buta dan sebagainya. Mengemis dengan cara seperti itu tidak baik, membuat orang yang dimintai sumbangan menjadi kecewa atau marah. Ilmu mengemis adalah cara mengemis yang wajar, dilakukan karena terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan sehingga orang yang dimintai sumbangan merasa iba hati, lalu menolong dengan sepenuh hati dan rela. Inilah yang kumaksudkan dengan ilmu mengemis.” Hui Lan menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang kepada pemuda itu dengan kagum. “Wah, banyak sekali pengalaman hidup yang sudah kau peroleh, di samping ilmu-ilmu tingkat tinggi. Sekarang aku ingin sekali menguji ilmu-ilmu tadi, Kong-ko. Engkau tak berkeberatan memberi sedikit petunjuk kepadaku, bukan?” “Wah, aku mengaku kalah saja, Lan-moi. Aku tidak berani melawanmu.” “Ini bukan pertandingan kalah atau menang, Kong-ko. Hanya untuk menguji ilmu masing-masing. Kalau engkau menolak kuanggap engkau memandang rendah kepadaku dan aku akan merasa kecewa dan marah kepadamu. Nah, pergunakanlah tongkatmu itu, aku ingin mencoba ilmu tongkatmu.” “Kita tidak bertanding, kenapa harus mempergunakan senjata? Kalau engkau memaksa, marilah kita latihan sebentar dengan tangan kosong saja.” “Hemmm, dengan tangan kosong atau menggunakan senjata, apa bedanya? Kalau sudah menguasai ilmu dengan baik, senjata dapat ditahan sebelum mengenai tubuh lawan. Akan tetapi karena engkau menghendaki latihan dengan tangan kosong, baiklah. Marilah kita berlatih ilmu silat tangan kosong. Engkau mainkanlah Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga) yang hebat itu, agar mataku terbuka dan pengetahuanku bertambah.” “Baik, Lan-moi,” kata Si Kong sambil berdiri tegak di depan gadis itu. “Awas, Kong-ko, aku mulai menyerangmu!” gadis itu berseru dan tubuhnya telah meloncat ke depan dan mengirim serangan yang cepat sekali. Pukulannya itu mendatangkan angin menderu! Si Kong terkejut dan kagum, maklum bahwa gadis itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu bersilat dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, mengelak sambil mencari kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berputar dan kedudukannya sudah beralih ke sebelah kiri Si Kong sambil menyerang lagi dengan pukulan tangan miring! Maka Si Kong terpaksa menangkis dengan lengan kirinya. “Dukkk!” Dua buah lengan bertemu dan Si Kong merasa betapa lengannya tergetar sedangkan Hui Lan juga terpaksa melangkah ke belakang karena tubuhnya terdorong hebat. Keduanya maklum bahwa tenaga sinkang lawan amat kuat. Sebelum Si Kong dapat menemukan lowongan, tubuh Hui Lan sudah kembali berkelebat ke kanan kiri, bahkan memutari dirinya, membuat Si Kong kagum sekali. Ternyata gadis ini menggunakan ilmu silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Ilmu Silat Delapan Belas Jurus Dewa Mabok) sambil menggunakan langkah ajaib Jiauw-pou Poan-san. Langkah kedua kakinya ini aneh sekali sehingga amat membingungkan bagi lawan karena langkah-langkah yang berubah-ubah itu membuat tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri secara membingungkan. Si Kong merasa kagum bukan main. Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia tentu akan kalah kalau dia tidak mahir ilmu Hok-liong Sin-ciang. Bahkan ilmu tangan kosong Yan-cu Hui-kun yang amat cepat itu pun akan sulit menghadapi ilmu silat gadis ini. Akan tetapi Hok-liong Sin-ciang adalah dasar ilmu-ilmu silat tinggi. Dengan tegap Si Kong mengatur langkahnya sambil memainkan kedua lengannya sedemikian rupa sehingga Hui Lan tidak melihat lowongan untuk menyerang, seakan tubuh pemuda itu sudah dilindungi oleh perisai baja yang menghalangi setiap pukulan lawan. Karena langkah-langkah gadis itu luar biasa dan membingungkan, Si Kong juga tidak tahu bagaimana mengalahkan gadis itu. Padahal mereka telah saling serang selama lima puluh jurus lebih. Daun-daun yang berdekatan terlepas dari tangkainya dan berguguran terkena hawa pukulan mereka. “Hemmm, kalau aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku meremehkannya. Akan tetapi sungguh amat sulit untuk mengalahkannya tanpa melukai,” demikian pikir Si Kong. Tiba-tiba dia teringat akan ilmunya Thi-khi I-beng. Hanya ilmu itulah yang agaknya akan dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya. Ketika sebuah pukulan Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja membiarkan pundaknya terkena pukulan tangan miring itu. “Plakkk!” Pukulan itu mengenai pundak, tetapi tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan dia merasa betapa tenaga sinkang-nya menerobos keluar! Hui Lan cepat mengerahkan tenaga untuk melepaskan tangannya, namun semakin kuat dia mengerahkan tenaga sinkang-nya, semakin kuat pula pundak itu menyedot sinkang-nya. Tiba-tiba Si Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali lalu dia turun ke atas tanah dengan tegak. “Hebat bukan main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkang-mu juga sudah mencapai tingkat tinggi.” “Kong-ko, yang tadi itu… Thi-khi I-beng?” tanyanya kagum. “Benar, Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku terpaksa menggunakan Thi-khi I-beng. Maafkan aku, Lan-moi.” “Kenapa mesti minta maaf? Aku girang engkau mempergunakan Thi-khi I-beng sehingga aku mengenal kehebatannya. Padahal, jika engkau tidak ragu-ragu dan banyak mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itu pun aku pasti kalah. Supaya aku merasa puas, sekarang gunakanlah tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang Hok-mo Siang-kiam!” Sesudah berkata demikian, Hui Lan segera mencabut sepasang pedangnya. Nampak dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya.....

jilid 14


Si Kong tak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya lalu melintangkan tongkat bambu itu di depan dadanya. “Kong-ko,” kata Hui Lan dengan nada suara ragu-ragu. “Engkau perlu mengetahui bahwa dua pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. Sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.” Si Kong tersenyum. “Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Selamanya suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha supaya tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.” “Baik, Kong-ko. Awas seranganku!” Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang dara ini sehingga bentuk pedangnya lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main di angkasa. Dulu ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan. Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga dia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika dia menyerang Si Kong. Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Ia kagum sekali ketika Hui Lan menyerang secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya. “Ilmu pedang yang hebat!” dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap di antara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu. Biar pun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang namun sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang. Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan sedikit mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. Serangan ini hebat bukan kepalang sehingga kali ini agaknya Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi. Namun dengan ilmu Liok-te Hui-teng tubuh Si Kong melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut di kepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar. Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Dia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkat bambunya terdapat pita yang tadinya mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Kalau pita rambutnya berhasil diambil oleh tongkat Si Kong, tentu saja berarti dia sudah kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya! “Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!” kata Hui Lan kagum dan dia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong. “Ilmu pedangmu tadi juga sangat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,” kata Si Kong sejujurnya. “Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?” tanya Hui Lan yang kehilangan rasa kepercayaan kepada diri sendiri karena sudah dikalahkan Si Kong. “Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkan hatimu, Lan-moi.” Hui Lan cepat membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita. “Aku percaya padamu, Kong-ko, dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan.” “Mari, Lan-moi. Aku pun sudah siap.” Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tak pernah mengira bahwa tak jauh dari situ, di belakang semak-semak, ada dua pasang mata yang mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa di sana terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan mau pun Si Kong sudah menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara. Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itu pun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa tadi mereka sudah diamati orang. Setelah matahari naik tinggi Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu. Si Kong dan Hui Lan lalu memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja itu, seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit. “Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?” “Jual makanan apa saja engkau?” tanya Hui Lan. “Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.” “Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,” kata Hui Lan. “Aku juga memesan yang sama,” kata Si Kong. “Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk dan saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi.” Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus ke dapur yang terletak di ruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, ada pun di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku. Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu. “Mereka memesan apa?” tanya gadis cantik itu. “Me... memesan... Bakmi kuah dan air teh,” jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan. “Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,” kata pula si gadis itu. Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah sudah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkok bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit, lalu gadis itu berbisik, “Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!” “Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!” pemuda itu pun menghardik lirih. Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata hanya dapat memandang dengan hati cemas kepada isteri dan anaknya yang terikat di bangku, lantas dia membawa dua mangkok mi kuah dan sepocai air teh dan dua cangkir kosong. Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkok mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata, “Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia.” Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu. “Mengapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gematar, paman? Apakah engkau sakit?” Penjaga kedai itu terkejut dan was-was. Dia segera membungkuk dan menjawab, “Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan terasa sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat.” Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali. Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mangkok mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang seperti itu, betapa pun tampan dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik. Hatinya terasa lega bukan main ketika melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya lagi kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lantas memperhitungkan harga makanan dan minuman. Hui Lan membayar lalu dia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikit pun mereka tidak menyangka buruk. Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya. “Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu ternyata sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!” Gadis itu tersenyum. Manis sekali kalau dia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, pada lengannya terdapat gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga sangat mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu dia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji. Seperti kita ketahui, gadis ini berjumpa dengan Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat, lantas melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tanpa sengaja kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati pada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja menjadi marah sekali saat melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain. “Kita mengambil jalan lain dan mendahului mereka ke dusun itu!” kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong. “Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?” “Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kujelaskan. Sekarang cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu untuk mendahului mereka!” Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya. Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan. “Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di warung ini. Mari kita menyelinap dari belakang!” Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang. Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empat puluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi. “Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!” kata Cu Yin. Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu pada sebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi sekali di luar, hanya nampak pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya. “Ssttt, paman! Ke sinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?” teriak Cu Yin. Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah tiba-tiba saja muncul dari dalam dan memanggilnya. Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur. Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main. “Apa yang terjadi di sini?” Dia langsung menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya. “Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!” bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin. “Jika nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah,” kata Cu Yin. “Baik, nona... Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami...” “Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, maka anak dan isterimu ini akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menaati kami, maka isteri dan anakmu akan kami bunuh!” kata Cu Yin. “Sekarang keluarlah dan siap-siap menerima dua orang tamu itu!” Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh, dan ketika itu pula Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya. Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak dan isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah. Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih ke dalam mangkok mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong. Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikit pun kepada pemuda dan gadis itu, dia tersenyum. Pada saat itu pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi. “Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Marilah kita membayangi mereka!” “Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya.” “Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku berbuat seperti ini!” Cu Yin menegur pemuda itu. Mereka lalu membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh. Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya. Mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu. Hui Lan mengeluh, dan berkata, “Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!” Dia berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya, bahkan dia lantas terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tak sampai roboh. Dia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu. “Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar.” Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu. “Ahh, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba sekarang kau kerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu.” Hui Lan menurut dan segera mengerahkan sinkang-nya. Akan tetapi akibatnya dia malah terpelanting dan terengah-engah. “Aduhh, aku terpukul tenagaku sendiri, ahh nyeri, Kong-ko...!” Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan merasa dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang sangat kuat. Dia pun terpelanting dan terengah-engah. “Engkau kenapa, Kong-ko?” tanya Hui Lan khawatir dan dia sudah lupa akan keadaannya sendiri. “Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!” “Keracunan? Di kedai tadi?” “Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita... ahh, diamlah, ada orang datang...!” Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia pun berseru, “Yin-moi...! Engkau di sini?” “Kong-ko, engkau seorang lelaki kejam, sekarang tahu rasa!” Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong. “Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah terhadap puteri Lam Tok! Percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat, sekarang mereka berdua sudah tidak berdaya.” “Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?” “Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini dulu. Si Kong yang gagah perkasa, yang mempunyai kepandaian tinggi, kini menggeletak tak berdaya, tidak mampu menyelamatkan kawan perempuannya, bahkan juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!” “Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?” “Tutup mulutmu!” Gin Ciong membentak sambil mencabut pedangnya. “Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, sebaiknya kuhabisi saja dia!” Lalu dia mengelebatkan pedangnya. Hatinya penuh dengan rasa cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin. “Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau di hutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi saja, Ciong-ko.” Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi dari tempat itu, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi untuk mengambil kuda mereka. Ketika berlari itu Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi. Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja sekarang berada di depannya, tentu sudah dibunuhnya. Setelah mereka berdua menunggang kuda yang melangkah dengan perlahan, Gin Ciong lalu bertanya. “Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jeri kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun.” Cu Yin menghela napas panjang. “Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa.” “Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?” “Karena aku mencintainya!” Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak. Hatinya panas bukan main. Bagaimana hatinya tidak akan panas mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran. “Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau malah hendak membunuhnya?” Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung. “Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kau cinta itu, Yin-moi?” “Karena aku… aku membencinya!” Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran. “Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?” tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik. “Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama. Kini tahu-tahu dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!” Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci. “Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dialah yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi.” Mendadak Cu Yin termenung. Dia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan tubuhnya dicabik-cabik. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda. Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan. Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang bersikap sangat baik kepadanya, tanpa terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya. Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka dia pun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu malah akan marah kepadanya. Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba saja mengangkat mukanya yang basah air mata. “Tidak...! Dia tidak boleh mati! Kong-ko... ahh, Kong-ko...!” Dia pun mencambuk kudanya yang meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan. Tetapi sesudah mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak. “Celaka... Kong-ko... telah diterkam harimau...” Dia pun menangis lagi. “Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin ada yang menolong mereka.” Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas api unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega. “Kita cari mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!” Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari di sekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi ke dusun yang tadi baru saja ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorang pun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari. “Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki...” Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangisan, lantas mengangguk. “Engkau benar, mereka tidak mati...” “Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san.” “Baik, Ciong-ko, mari kita pergi.” Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu. *************** Ke manakah perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar. Ketika mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata, “Lan-moi, jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita dari racun ini...” Si Kong lalu memeriksa kembali nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya. Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang akan membakar dan merusak pencernaan. Memang ada ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu sukar di dapat dari hutan, harus dibeli di toko obat yang besar di kota. Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari sehari semalam! “Bagaimana, Kong-ko?” tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka. “Obatnya hanya tersedia di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya dari toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau melewati waktu itu maka kita tidak dapat diselamatkan lagi.” “Kong-ko, aku memiliki sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini akan dapat menyembuhkan kita.” Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya kepada Si Kong. Begitu menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum, “Ini tentu Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Guruku Yok-sian Lo-kai pernah bercerita kepadaku mengenai mustika ini!” “Entahlah, Kong-ko. Aku menerimanya dari ayah dan kata ayah mustika kemala ini dapat menawarkan segala macam racun.” “Bagus sekali, aku pun sudah mendengar dari suhu tentang cara pemakaiannya.” Si Kong lalu membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi telah dipenuhi air jernih oleh pemilik kedai. Kemudian dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat air dan menggantung tempat air itu di atas api. Dia menambah kayu bakar sehingga api bernyala besar. Tidak lama kemudian air mendidih, lalu diturunkannya tempat air itu dan dibiarkan mendingin kembali. “Kalau ini benar Kemala Mustika Naga maka kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang minum lebih dulu.” Setelah air di tempat air itu menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil napas panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya. Tidak terasa sakit sama sekali. “Bagus! Aku sudah sembuh, Lan-moi!” Dia berseru girang sekali. “Mari cepat kau minum air obat ini.” Tanpa ragu-ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan dia merasakan hawa yang dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan sinkang-nya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi! “Bukan main! Batu kemala milikmu ini betul-betul merupakan batu ajaib yang amat hebat, Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang jahat.” Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya. Pada saat itu pula mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh. “Ahhh, mereka datang lagi sedangkan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat, kita harus bersembunyi, dan hati-hati jangan sampai meninggalkan jejak sepatu.” Mereka memadamkan api unggun, lalu menyambar buntalan pakaian masing-masing dan berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari celah-celah rumpun daun yang tebal. Tidak lama kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka dan memandang ke sekeliling. Dengan jantung berdebar tegang Si Kong dan Hui Lan mengintai tanpa berani bergerak sambil menjaga pernapasan mereka supaya jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya dua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan pergi dari situ. cerita silat online karya kho ping hoo Sampai lama Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi. Gadis itu sungguh mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh lengannya, barulah Si Kong sadar dan mereka pun keluar dari semak-semak, lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari jurusan yang diambil Cu Yin tadi. Setelah berlari cukup jauh barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa amat lelah karena tadi berlari dengan cepat. “Kong-ko, siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu?” Si Kong menarik napas panjang. “Dia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar Lam Tok.” “Ahhh, puteri Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, dia pandai sekali menggunakan racun tanpa kita ketahui. Racun itu rupanya ditaruh di dalam masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa dia meracunimu? Meracuni kita?” Hening sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepalanya. Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata, “Aku mengerti sekarang, Kong-ko!” “Mengerti apa, Lan-moi?” “Aku mengerti mengapa dia meracuni kita. Tadi ketika menemui kita, dia mengaku bahwa dialah yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam, lalu meninggalkan kita. Hal itu membuktikan bahwa dia mendendam kepadamu, merasa sakit hati. Lalu ketika dia datang lagi mencari kita, dia menangis dan mengira bahwa engkau dimakan harimau. Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa dia mencintaimu, Kong-ko. Dia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?” Si Kong menghela napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberi tahukan kepada Hui Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia telah melakukan hal yang tidak-tidak. Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya! Setelah berpikir sejenak dia pun menjawab. “Dahulu Cu Yin pernah mengajakku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang gadis.” “Hemm, Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini juga kau anggap tidak pantas?” “Ah, tidak... tidak...,” Si Kong menjadi bingung. “Kalau kita berdua lain lagi. Guruku masih terhitung kakek buyutmu, maka kita ini boleh dibilang orang sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu dia merasa sakit hati.” “Bagaimana mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama dia menjadi begitu sakit hati sehingga hendak membunuhmu?” “Kalau mengingat bahwa dia adalah puteri Lam Tok, apa anehnya bila dia bertindak aneh dan kejam?” “Tidak Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa dia melakukan itu. Dia bukan hanya meracunimu saja, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya. Jawabannya hanya satu, yaitu bahwa dia cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan denganku, padahal engkau menolaknya, dia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni kita.” “Begitukah pendapatmu, Lan-moi?” “Tidak salah lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa dia tadi amat mengkhawatirkan keselamatanmu telah membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat mencintaimu, karena cinta itulah maka dia menjadi cemburu.” “Hemm...” Si Kong tak menjawab karena dia sudah mengetahui bahwa Siangkoan Cu Yin mencintanya. Hal ini sudah diakui terus terang oleh Cu Yin. “Apakah cinta harus disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi, sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak.” Hui Lan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu dengan kedua pipi berubah kemerahan dia berkata, “Mengapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu.” Si Kong tersenyum dan balas memandang. “Aku sendiri pun tidak pernah mencinta dan tidak pernah cemburu. Tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah engkau menyayang ayah ibumu? Dan bukankah ibumu juga menyayangmu? Mungkinkah kalian saling membenci?” “Ahh, aku menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu sendiri, Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang yang paling baik dan menyayang diriku.” “Hemm, akan kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar engkau bersungguh-sungguh dan bersikap adil untuk membantuku mengupasnya. Engkau menyayang kedua orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik kepadamu. Sekarang coba kau renungkan, bagaimana andai kata orang tuamu tak bersikap baik dan menyayangmu? Pada waktu masih kecil, pernahkah engkau merajuk dan menangis kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?” “Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!” bantah Hui Lan. “Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuanya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya. Coba andai kata si anak tidak patuh dan tidak berbakti, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya, bahkan rasa sayangnya pun bisa luntur.” Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa dia membayangkan dia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya. “Kalau begitu pendapatmu maka di dunia ini tidak ada rasa cinta di dalam hati manusia?” “Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya begitu pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya. Sudah banyak terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin.” Hui Lan mengerutkan alisnya. Dia berpikir dan membayangkan. Bila dia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik padanya, rasanya tidak mungkin dia dapat mencinta seorang pria seperti itu! “Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?” “Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Tadi kita sudah melihat bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan. Aku mencinta dia karena cinta kepadaku, atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku. Semua ini terjadi karena manusia sudah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku selalu minta agar disenangkan. Kalau disenangkan aku menyayang dan kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkanku, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan aku. Maka terjadilah mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan.” Hui Lan membelalakkan matanya. “Wah, kalau begitu manusia ini semuanya mempunyai cinta palsu dan tidak murni.” “Begitulah kenyataan yang kita lihat. Karena nafsunya, manusia tidak bisa menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya. Mungkin yang paling mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, seekor induk terhadap anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar.” “Hemm, jadi kalau begitu di dunia ini tidak mungkin ada cinta kasih yang murni, Kong-ko?” Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa. Si Kong tersenyum. “Sama sekali tidak demikian, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!” “Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?” “Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua makhluk menerimanya, tidak peduli makhluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya. Bunga mawar tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta mau pun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan mau pun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contoh-contohnya, dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi.” “Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan?” “Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu.” “Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa.” “Betulkah itu? Bagaimana jika sahabatmu yang paling baik pada suatu hari membencimu, mengkhianatimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?” “Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?” “Agaknya cinta kasih kita telah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain.” “Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?” “Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak bisa menundukkan nafsu sendiri, tak mungkin kita dapat mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang bisa menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu.” “Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cinta kasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!” “Tidak perlu ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah. Jika kita sudah menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, setidaknya akan lebih mudah bagi kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi.” “Akan tetapi alangkah sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita bisa mencegah atau menghalanginya?” “Memang berat, Lan-moi, dan sulit sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri.” Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran. “Ahh, aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?” Si Kong tersenyum lalu menjawab. “Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan? Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu. Akan tetapi mengerti itu saja tidak akan membawa perubahan kepada kita. Pengamatan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan.” Hui Lan menggeleng kepalanya. “Bicaramu mengingatkan aku akan ayahku. Kalau bicara tentang kehidupan, ayah juga begitu gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapa pun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita lanjutkan perjalanan kita.” “Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kau kerahkan sinkang-mu, apakah dalam dada dan perutmu masih terasa sakit?” Hui Lan lalu mengerahkan tenaga sinkang-nya ke seluruh bagian tubuhnya. Tak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, dia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat. Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya. Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu kelihatan aneh, seperti gerakan orang mabok namun setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Sesudah memainkan delapan belas jurus itu Hui Lan menghentikan gerakannya kemudian memandang pemuda itu sambil tersenyum girang. “Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko.” “Baguslah! Kalau begitu kita sudah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang.” Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san. Kui-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh kelihatan seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san (Gunung Naga Siluman). Tidak ada orang yang berani mendaki pegunungan itu karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar dan penuh dengan binatang buas seperti harimau, ular besar dan sebagainya lagi. Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka. Gerombolan manusia yang sangat ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan). Kui-jiauw-pang mempunyai anggota sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam. Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu namun tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh. Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu tak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu. Penduduk dusun-dusun yang terdapat di sekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis. Mereka yang takhyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, malah untuk mencari kayu bakar pun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekali pun. Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah). Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa! Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat lalu menghilang untuk belasan tahun lamanya. Pada saat itu dia pergi bertapa sambil mempelajari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh. Ketika muncul kembali dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukkan banyak gerombolan perampok, lalu menghimpun orang-orang terlihai di antara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kui-jiauw-pang. Dia melatih para anak buahnya dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar setan yang terbuat dari baja. Selain dapat mematahkan senjata lawan, cakar setan ini juga mengandung racun yang amat jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini maka orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya! Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lantas memilih Kui-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir untuk menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang berdekatan dengan wilayah itu. Pada suatu pagi para anggota Kui-jiauw-pang digemparkan dengan munculnya dua orang kakek di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggota Kui-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu. Tentu saja mereka menjadi marah dan segera menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar. “Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!” bentak pemimpin di antara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar. Dua orang kakek itu saling pandang lalu menyeringai. Kakek berusia empat puluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu. Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua. Rambut di kepala Ji Ok sangat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Wajahnya penuh dengan berewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toa Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam. Dua orang ini telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis. Mereka dapat dipukul mundur dan karena jeri mereka segera meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya. Dan kini tahu-tahu dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san. Mudah diduga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw. “Ehh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?” tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu. “Agaknya mereka adalah gerombolan yang merajalela di pegunungan ini,” kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Sesudah menatap tajam kepada anggota Kui-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya, “Apakah kalian ini anggota gerombolan Kui-jiauw-pang?” “Hemm, ternyata kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapa pun yang berani memasuki daerah kami harus mati!” Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan. “Nanti dulu!” kata Ji Ok sambil menyeringai. “Kalian hanya anggota, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini sambil membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Jika dia menolak maka seluruh orang Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!” Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga merasa heran sekali. Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang? “Kalian tua bangka yang bosan hidup.” Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata, “Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!” Dia sendiri langsung menerjang sesudah memasang cakar setan pada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing, lantas mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, maka dua orang penyerang terlempar seperti disambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti dibakar, lantas mereka diam dan tewas! Ji Ok juga segera menggerakkan tangan kirinya. Dua orang lainnya terlempar sambil menggigil kedinginan, lalu mati kaku! Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu cepat membalikkan tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan dia pun terjengkang roboh! Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya. Kemudian sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan segera menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata, “Mohon ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya...” “Heh-heh-heh, aku mau saja mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin ke sini dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!” Si tinggi besar itu berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar, kemudian berkata, “Baik, locianpwe, saya mentaati perintah...” Dia lalu bangkit berdiri dan merasa amat lega karena dia tidak dikorbankan lagi. “Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin ke sini.” Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang. Ketika si tinggi besar itu tiba di sarang Kui-jiauw-pang dengan napas terengah-engah, dia langsung memasuki bangunan induk yang menjadi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan di mana adanya ketua mereka itu. “Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu,” kata pelayan itu. Akan tetapi si tinggi besar tidak peduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya. “Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa maka engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?” bentaknya. “Mala petaka sudah menimpa kami, Pangcu. Maka saya terpaksa mengganggu Pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!” “Apa?! Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?” “Kami berlima melihat ada dua orang kakek yang duduk di atas batu dalam hutan bambu di bawah puncak. Kami segera menegurnya, tapi dua orang kakek itu malah mengatakan agar kami cepat memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Apa bila pangcu menolak, Kui-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang di antara kami langsung tewas menggeletak. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu.” Mendengar laoran itu merahlah muka Ang I Sianjin. “Apa?! Kurang ajar!” Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur deras dan akhirnya menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya! Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar. “Kumpulkan seluruh anggota Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!” Sebentar saja di situ sudah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di antara mereka yang bertugas di luar. Bagaikan pasukan yang hendak berperang mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan. Ang I Sianjin yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada pada punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang dengan tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi. Tidak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang. Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin. Namun ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik ke arah dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menjadi bertambah pucat. Tentu saja dia sudah mendengar tentang dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapan puluh orang banyaknya? Sambil menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang kakek itu dan berdiri di hadapannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jeri. “Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?” Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok.” Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa, “Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andai kata mereka memang bersalah, di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Mengapa ji-wi membunuh mereka?” “Mereka menyerang kami, maka terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?” Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang amat meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan di situ terdapat delapan puluh anak buahnya. “Pedang pusaka itu kudapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapa pun juga.” Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya. “Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau beserta seluruh anak buahmu, lantas membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?” Ang I Sianjin tertegun. Dia maklum bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, menggunakan cara yang paling menguntungkan pihaknya. Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Walau pun dia memiliki delapan puluh orang anak buah, dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu dapat menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat. “Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan orang-orang kangouw. Memperebutkan sesuatu harus dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu kami akan menempuh cara yang sama. Di sini kami berdiri dengan semua anggota Kui-jiauw-pang kami. Bila ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, maka kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi. Kalau ji-wi menolak syarat ini, maka kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan.” Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai. “Keputusannya ada padamu, Toa Ok!” kata Ji Ok kepada rekannya. Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hemmm, cara itu cukup adil dan baik. Kalau nanti kalian kalah lalu menakluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami karena kami pun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!” “Kalau begitu bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!” Ang I Sianjin berkata dengan hati lega. Dengan perjanjian itu, andai kata dia serta anak buahnya kalah sekali pun, mereka tidak akan dibunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu. “Heh-heh-heh, sejak tadi kami sudah bersiap. Majulah kalian semua!” kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah. Ang I Sianjin lalu memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok. Mereka lalu mengepung batu di mana kedua orang datuk itu duduk. Setelah Ang I Sianjin memberi isyarat, semua anak buahnya cepat memasang cakar setan pada kedua tangan mereka. Kini mereka nampak menyeramkan, dengan dua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu. Ketika para anggota Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap sehingga cakar-cakar setan itu hanya menghantam batu. Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu. Semua orang cepat memutar tubuh, dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka. Begitu cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang. Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, karena itu dialah yang lebih dahulu memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya dahsyat sekali, cepat dan mengandung tenaga yang sangat kuat. Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis. “Tranggg...!” Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir saja terlepas dari tangannya. Pada saat itu puluhan anggota Kui-jiauw-pang sudah menerjang maju dengan cepat. Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok. Namun putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Semua anggota Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, segera terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan. Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat kemudian terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali. Begitu pula dengan lima puluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya sesosok bayangan hitam diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar sangat cepat. Setiap kali seorang anggota Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, maka mereka segera roboh terjengkang! Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang kembali, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata dua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar sehingga siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu segera roboh kemudian mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main.....

jilid 15


Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, dia pun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada sambil menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok. Melihat ini Toa Ok mengerahkan tenaga dan cepat menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas. “Trangg...! Trakk...!” Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun dihajar oleh Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti mala petaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak. “Hentikan pengeroyokan!” Para anggota Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka. Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan pada saat tangannya ditarik, maka keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar laksana kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau! Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan rebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebut Pek-lui-kiam (Pedang Kilat)! Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka menjadi berseri-seri. “Pek-lui-kiam,” kata mereka berbareng dan Ji Ok telah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin. “Cepat berikan pedang itu kepada kami!” kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya. Namun Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang. “Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah. Akan tetapi pedang ini saya peroleh dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus bisa merampasnya dari tangan saya. Saya harap ji-wi tak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!” “Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!” kata Toa Ok. “Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok,” jawab Ji Ok. “Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!” Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. “Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!” “Silakan, saya sudah siap!” jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya. Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok. Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi hanya sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan. Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang sangat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan segera putus rusak ketika bertemu dengan pedang pusaka itu. Dia harus berhati-hati, karena sesudah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, apa bila dia tidak berhati-hati, mungkin dia akan menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam. “Awas serangan!” bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja tentu pecut itu akan putus. Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala, lantas pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan. Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas. Namun tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang hendak menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang. Cambuknya meledak-ledak di angkasa dan berputar membentuk gulungan sinar. Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga mempergunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang belaka, melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya! Terjadilah pertandingan yang sangat seru dan hebat. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga yang kelihatan hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan serta segulung sinar cambuk yang menghitam. Begitulah dalam penglihatan para anggota Kui-jiauw-pang. Akan tetapi bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir. Bila tadi dia dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak jika dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu. Pertandingan itu memang seru bukan kepalang. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang membuat Ang I Sianjin gemetar. Namun sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak sehingga kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian maka keadaan kedua orang tokoh ini menjadi berimbang sehingga sukar diduga siapa di antara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Melihat hal ini Toa Ok menjadi khawatir. Oleh karena itu, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok, mendadak Toa Ok meloncat dengan tongkat ular di tangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan. Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya kemudian menarik cambuk supaya pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok. Ketika Ji Ok mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman, tepat pada saat itu pula tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar. Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu sudah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan langsung disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya hingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang. Kini Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan pemasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran. “Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!” Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apa lagi bertindak curang. “Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga suatu pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!” Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apa lagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam. “Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggota Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan disebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?” Toa Ok dan Ji Ok saling pandang lantas mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin sungguh menguntungkan, apa lagi beserta seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang yang boleh diandalkan. Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan takluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, namun kelak orang itu dapat menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya. “Baiklah, Sam Ok!” kata Toa Ok. Ji Ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ke tiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!” Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlomba-lomba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Dengan bergabung menjadi satu kini mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapa pun juga, apa lagi ditambah dengan anak-anak buahnya. Bagaimana pun juga kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya kehilangan muka, karena kini dia bahkan menjadi Sam Ok, sebuah kedudukan yang lebih besar dari pada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok berarti dia telah terangkat menjadi anggota dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat! Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. “Kalian semua tentu sudah melihat dan mendengar sendiri! Mulai saat ini kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga). Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!” Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, karena itu dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira. Sam Ok segera memerintahkan para anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan. *************** Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu sangat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya yang putih kemerahan walau pun tanpa dirias dengan bedak dan yanci. Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Dara itu masih muda, paling banyak baru sembilan belas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai. Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah dia mendaki bukit itu. Melihat ada seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah diduga dia tentulah seorang gadis kangouw yang mempunyai ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Memang dia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang mempunyai ilmu silat yang tangguh sekali. Dia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Dara perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika dia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang. Sesudah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong langsung pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik. Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya. Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persis milik ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya. Dalam usianya yang sembilan belas tahun itu dia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, juga ilmu Kwan-im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kun, yaitu ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat, dan Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas). Selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, dia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! Karena itu tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan dia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Meski pun masih muda namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya sangat menolongnya ketika dia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal. Sebelum berangkat merantau Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, dia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi jika terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, dia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat. Kini dia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san. Karena itulah maka pada pagi hari itu Bwe Hwa telah tiba di kaki gunung Kui-liong-san. Matahari telah naik tinggi, tetapi sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu cuaca masih remang-remang karena sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pepohonan. Akan tetapi pemandangan itu begitu indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu. Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi dia telah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak sesudah mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san. “Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?” tanya kakek penjual bubur itu. Bwe Hwa tersenyum. “Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman.” Orang itu memandang penuh kekhawatiran. “Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Di sana sudah menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu.” “Ada bahaya apakah, paman?” tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal dia sudah mendengar bahwa bukit itu merupakan sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat. “Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!” Bwe Hwa tersenyum lagi. “Aku tidak takut terhadap binatang buas, paman. Aku memiliki pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku.” “Akan tetapi... ah, apakah nona belum mendengar?” Orang itu memandang ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada yang mendengar ucapannya. “Gunung itu sudah menjadi sarang setan dan iblis! Siapa yang berani mendaki bukit itu, tentu tidak akan dapat turun kembali. Karena itu kunasehatkan, lebih baiik pilihlah tempat lain untuk pesiar, nona.” Bwe Hwa melangkah maju dengan tenang. Sama sekali hatinya tidak menjadi jeri setelah mendengar keterangan pemilik kedai bubur itu. Dia dapat menduga bahwa setan dan iblis yang dimaksudkan oleh penjual bubur itu tentu anak-anak buah Kui-jiauw-pang. Tiba-tiba dia mendengar suara berkeresekan dari arah kiri. Di situ terdapat semak-semak belukar yang lebat. Dia menjadi waspada karena hidungnya mencium bau yang mencolok hidung. Bau yang keras dan apek. Kemudian dia mendengar suara gerengan halus tetapi menggetarkan jantung. Bwe Hwa berhenti melangkah dan menghadapi semak belukar itu. Ia merasa yakin bahwa di dalam semak-semak itu tentu bersembunyi seekor binatang buas. Dia sudah siap siaga menghadapi binatang buas apa pun. Kemudian muncullah binatang itu. Mula-mula hanya kepalanya saja yang muncul keluar. Kepala seekor harimau yang besar! Mata harimau itu mencorong dan gerengannya makin lama semakin kuat, menggetarkan jantung. Akan tetapi Bwe Hwa menghadapi harimau itu dengan tenang dan siap. Harimau itu keluar dari dalam semak-semak dan melihat perutnya yang kempis, Bwe Hwa bisa menduga bahwa binatang itu sedang kelaparan. Dan seekor harimau yang kelaparan merupakan binatang yang sangat buas dan berbahaya, berani menyerang apa saja yang kiranya dapat dijadikan mangsanya. Perlahan-lahan harimau itu berjalan menghampiri Bwe Hwa. Setelah jarak antara harimau dan gadis itu tinggal empat meter lagi, harimau itu berhenti dan kembali mengaum dengan dahsyatnya, lalu dia mendekam. Nampak otot-ototnya yang menggeletar. Kemudian dengan tiba-tiba sekali dia meloncat ke depan dan loncatan yang kedua kalinya dilakukan dengan kuat sehingga tubuhnya melambung ke atas dan menyerang Bwe Hwa dengan terkaman dua kaki depannya yang kuat. Bwe Hwa yang sejak tadi bersikap tenang dan waspada, cepat mengelak dan menyusup di bawah perut harimau itu. Tubrukan itu luput dan harimau itu mengaum kembali sambil membalikkan tubuhnya dengan cepat. Agaknya kegagalannya dengan serangan tadi telah membuat dia marah sekali. Bwe Hwa langsung mencabut pedangnya. Dia tidak boleh main-main dengan harimau itu karena binatang itu amat buas dan cepat kuat. Binatang itu mengaum lagi dan sekarang menyerang dengan terkaman rendah, kedua kaki depan mencengkeram dan moncongnya telah siap untuk menggigit bila korbannya dapat dicengkeram dengan dua kaki depannya. Bwe Hwa sudah siap pula. Ketika harimau itu menerkamnya, dia cepat menggeser kaki ke kiri lalu pedangnya membalik dan membacok ke arah kedua kaki itu. “Crokkk…!” Kedua kaki depan itu terbacok putus dan harimau itu terbanting ke atas tanah, kemudian menggereng-gereng dan berusaha bangkit akan tetapi selalu terpelanting roboh kembali. Darah bercucuran dari kedua kaki depan yang buntung itu. Melihat harimau itu menggereng-gereng kesakitan dan tubuhnya bergulingan tidak mampu bangkit, timbullah perasaan iba di hati Bwe Hwa. Bagaimana pun juga harimau itu tidak jahat. Ia menyerang siapa saja yang bisa dijadikan mangsanya, untuk mencegahnya dari mati kelaparan. Tidak pantas kalau dia menyiksanya. Harimau itu takkan dapat bertahan hidup dengan kedua kaki depan buntung, tentu tidak dapat menangkap mangsa lagi dan akan mati kelaparan. Sesudah sejenak mempertimbangkan, Bwe Hwa melompat ke depan, pedangnya terayun lantas harimau itu pun rebah dan tidak dapat bergerak lagi. Leher harimau yang kokoh itu terbabat pedang pusaka Kwan-im-kiam hingga hampir putus! Mendadak terdengar orang bertepuk tangan memuji, disusul kata-katanya kagum, “Wah, hebat sekali!” Bwe Hwa cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang pemuda tampan berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu berpakaian serba putih, rambutnya diikat dengan pita kuning dan pada ikat pinggangnya yang merah itu terselip sebatang suling perak. Pemuda itu nampak tampan, dan terutama amat bersih sehingga sama sekali tak sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Baju putih itu sama sekali tidak ternoda, seolah baru saja dia mengenakannya. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, gerak-geriknya lembut dan senyumnya memikat. Bwe Hwa hanya memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia belum pernah melihat pemuda ini dan hatinya bertanya-tanya siapakah pemuda yang amat pesolek dan tampan ini dan apa pula maksudnya muncul di dalam hutan di kaki gunung Kui-liong-san ini. Pemuda itu pun seolah-olah terpesona. Dia melihat seorang dara yang cantik jelita seperti dewi dari langit, akan tetapi selain cantik jelita juga gagah perkasa karena berani melawan seekor harimau besar yang kelaparan, bahkan telah membunuhnya. Akhirnya pemuda itu menyadari bahwa kemunculannya tentu mengejutkan dan mencurigakan gadis itu, maka dia pun tersenyum dan menjura memberi hormat. “Maafkan aku, nona. Tadi ketika aku sedang berjalan di dalam hutan ini, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh auman suara harimau yang marah. Aku terkejut dan cepat menuju ke sini, dan aku masih sempat melihat nona memenggal leher harimau itu. Sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu, nona. Akan tetapi yang mengherankan hatiku, harimau itu telah buntung kedua kaki depannya dan tak mungkin dapat menyerangmu lagi. Kenapa engkau membunuhnya, Nona?” Bwe Hwa merasa tidak senang ditegur oleh lekaki yang sama sekali tidak dikenalnya ini, akan tetapi karena pemuda ini bersikap sopan dan ucapannya juga teratur dan sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab. “Justru karena kedua kaki depannya putus maka aku membunuhnya untuk menghentikan derita siksaan sampai dia mati kelaparan.” Pemuda itu mengangkat dua tangannya ke depan dada dengan sikap hormat dan kagum. “Bukan main! Nona seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, juga sangat bijaksana. Apa yang nona lakukan itu memang tepat sekali, membuktikan akan kemuliaan hati nona. Nona, secara kebetulan sekali kita bertemu di sini, karena itu sudah sepatutnya kalau kita saling berkenalan, tentu saja kalau nona tidak merasa terlampau tinggi dan mulia untuk mengenalku, seorang yang bodoh dan tak berarti. Namaku adalah Coa Leng Kun, nona.” Kita pernah berkenalan dengan pemuda ini. Dia adalah pemuda yang pernah beberapa kali membantu Tang Hui Lan bahkan sudah berkenalan dengan Tang Hui Lan. Pemuda itu adalah Coa Leng Kun. Pemuda ini sudah yatim piatu dan sudah mewarisi ilmu silat dari mendiang Hek Tok Siansu. Pada saat Hek Tok Siansu tewas di tangan Hay Hay, dia telah menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang murid yang bernama Giam Tit. Giam Tit inilah yang mengajarkan semua ilmunya kepada Coa Leng Kun. Ketika Giam Tit yang menjadi seorang perampok tunggal terluka parah oleh keroyokan beberapa orang pendekar Bu-tong-pai, sebelum meninggal dunia dia berpesan kepada muridnya supaya membalaskan kematian kakek gurunya. Dia sendiri tidak dapat melakukan balas dendam itu, maka dia minta supaya Coa Leng Kun mewakili gurunya membalaskan dendam atas kematian Hek Tok Siansu kepada Hay Hay dan keluarganya. Ketika bertemu dengan Tang Hui Lan, diam-diam Coa Leng Kun merasa gembira sekali. Hui Lan adalah puteri musuh besarnya. Dia ingin mendekati gadis itu dan kalau mungkin memperisterinya sehingga kelak dengan mudah dia dapat mengatur untuk membalaskan dendam gurunya dan menyeret keluarga musuh besarnya itu ke lembah kehancuran. Akan tetapi Hui Lan meninggalkannya dan tidak mau dekat dengannya, karena itu dia pun berusaha untuk mengejar. Akan tetapi dia telah kehilangan jejak gadis perkasa itu. Maka ia pun melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam dan kalau mungkin merampasnya. Inilah sebabnya kenapa dia berada di hutan di kaki gunung Kui-liong-san dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Bwe Hwa. Bwe Hwa adalah seorang gadis yang keras hati. Kalau orang bersikap keras kepadanya tentu dia akan menjadi marah. Tapi kalau orang bersikap lembut dan hormat kepadanya, dia menjadi seorang gadis yang lembut pula. Mendengar pemuda itu memperkenalkan diri dan bersikap demikian sopan, dia merasa tidak enak kalau tidak menanggapinya. Dia pun membalas penghormatan orang dan memperkenalkan dirinya. “Aku bernama Pek Bwe Hwa,” katanya singkat. Coa Leng Kun mengerutkan alis dan menatap tajam. “She Pek? Aku pernah mendengar tentang keluarga Pek yang menjadi ketua dari perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) yang berada di kota Kong-goan di propinsi Secuan. Entah apa hubungan nona dengan mereka?” Bwe Hwa tersenyum. Pemuda ini agaknya mengenal dunia kangouw karena perkumpulan Pek-sim-pang yang berada di tempat yang demikian jauhnya, dapat dia kenali. “Ketua Pek-sim-pang adalah kakekku,” dia menerangkan dengan pendek. “Ahh, kalau begitu aku sudah bersikap kurang hormat kepadamu, nona Pek!” Coa Leng Kun kembali menjura dan memberi hormat. “Tidak mengherankan kalau nona begini lihai dan budiman, kiranya nona adalah cucu ketua Pek-sim-pang!” “Sudahlah, tidak perlu basa basi ini. Sebenarnya apa yang mendorongmu datang ke Kui-liong-san ini, saudara Coa Leng Kun? Tempat ini tidak layak untuk didatangi orang yang berpesiar.” Coa Leng Kun tersenyum. “Tepat sekali pertanyaanmu ini, nona Pek. Di dalam hatiku juga ada pertanyaan seperti itu untukmu. Engkau adalah seorang gadis, lebih aneh lagi berada di tempat liar dan berbahaya seperti ini. Akan tetapi kalau melihat kelihaianmu agaknya aku mengerti jawabannya.” “Hemm, coba terangkan kalau benar engkau mengerti mengapa aku datang ke tempat ini.” “Menurut dugaanku, engkau tentu datang ke tempat ini sehubungan dengan Pek-lui-kiam! Kui-liong-san terkenal sebagai tempat yang gawat, berbahaya dan ditakuti semua orang. Akan tetapi tempat ini juga menarik karena ada desas-desus bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang berpusat di puncak bukit ini. Maka, apa lagi yang menarik hatimu untuk berkunjung ke sini kalau tidak karena Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa tersenyum. Dia mulai tertarik kepada pemuda ini. Sikapnya halus dan sopan, akan tetapi ramah dan terbuka sehingga dara ini menilai bahwa Leng Kun tentu seorang pemuda yang jujur, terpelajar dan juga pandai ilmu silat. “Kalau dugaanmu memang begitu, maka demikian pula dugaanku. Engkau tentu datang ke sini karena Pek-lui-kiam pula,” katanya. Coa Leng Kun tertawa. “Engkau sangat cerdik dan menduga dengan tepat sekali, nona. Akan tetapi sedikit sekali harapan bagiku untuk dapat merebut pusaka itu jika mengingat bahwa orang-orang pandai seperti nona juga ikut memperebutkannya. Biarlah aku hanya meramaikan suasana dan ikut menonton saja.” Pemuda ini sangat pandai merendahkan dirinya sendiri, sikap rendah hati yang baik, pikir Bwe Hwa. Timbul keinginannya untuk mengukur sampai di mana kehebatan ilmu silatnya. “Engkau terlalu merendahkan diri, saudara Coa. Aku yakin bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Karena itu kuharap engkau tidak menolak untuk saling mengukur ilmu silat masing-masing.” Leng Kun melangkah mundur dan mengangkat tangan kanannya ke atas. “Ahh, mana aku berani, nona? Jangan-jangan baru satu dua jurus saja aku bernasib seperti harimau ini!” Bwe Hwa lalu tersenyum. “Engkau bukan harimau yang hendak menerkam aku. Lagi pula mengukur kepandaian tidak sama dengan bertanding karena bermusuhan. Tentu saja kita tak perlu saling melukai. Akan tetapi aku ingin sekali mencoba ilmu silatmu, saudara Coa. Bila kita sudah saling mengetahui kepandaian masing-masing, barulah kita dapat menjadi sahabat.” “Ah, engkau bersahabat dengan aku yang tolol ini, nona? Terima kasih, dan kalau begitu pendapatmu, aku tidak berani menolak lagi. Akan tetapi harap engkau kasihani diriku dan tidak mendesak terlalu hebat.” “Keluarkanlah senjatamu, saudara Coa!” kata Bwe Hwa yang segera mencabut Kwan-im-kiam dari punggungnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya. Seperti yang diduga oleh Bwe Hwa, pemuda itu lalu mencabut suling perak yang terselip di ikat pinggangnya dan begitu suling itu digerakkan, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Baru gerakan ini saja sudah membuat dia maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka dia menjadi semakin gembira dan kagum. Akan tetapi dia merasa khawatir kalau-kalau pedangnya akan merusak suling itu, maka dia pun berkata dengan suara lembut. “Saudara Coa, ketahuilah bahwa pedangku ini adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Aku khawatir sulingmu yang terbuat dari perak itu akan menjadi rusak kalau bertemu dengan pedangku.” Leng Kun tersenyum lebar. “Jangan khawatir, nona. Sulingku ini juga merupakan pusaka yang ampuh dan terbuat dari pada baja biru yang kuat. Warna perak itu hanya merupakan selimut saja, agar nampak indah dan kalau dimainkan merdu suaranya. Jangan khawatir, sulingku ini tidak akan rusak.” Setelah berkata demikian, Leng Kun memasang kuda-kuda dengan suling diangkat di atas kepala dan menuding ke depan, tangan kiri miring di depan dada, kaki kiri diangkat menempel kaki kanan. Kuda-kudanya ini kokoh dan juga gagah sekali. “Aku telah siap, nona. Mulailah!” Bwe Hwa tidak banyak cakap lagi. Dia memang ingin sekali melihat kelihaian pemuda ini. Kalau kepandaiannya hanya rendah saja, untuk apa bersahabat dengannya? “Lihat pedang!” bentaknya dan pedangnya sudah bergerak menusuk ke arah dada. Leng Kun menurunkan dan menggeser kakinya mengelak, lalu sulingnya menyambar ke arah leher Bwe Hwa. Gadis ini cepat mengelak kemudian membalas dengan pedangnya, membabat kaki Leng Kun. Namun dengan ringan Leng Kun meloncat ke atas, sulingnya menyambar ke bawah untuk menangkis pedang. “Cringgg…! Trangg...!” Dua kali suling bertemu pedang dan bunga api berpijar, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Leng Kun, suling itu tidak menjadi rusak. cerita silat online karya kho ping hoo Mereka lalu saling serang dengan seru. Bwe Hwa sudah memainkan Kwan-im Kiam-sut. Tubuhnya berkelabatan ke sana-sini menjadi bayangan yang dilindungi oleh sinar pedang yang bergulung-gulung. Akan tetapi Leng Kun memainkan sulingnya dengan sangat hebat dan aneh pula. Nampak gulungan sinar putih berkeredapan dibarengi suara melengking-lengking! Setelah bertanding selama lima puluh jurus, tahulah Bwe Hwa bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dia akan menang apa bila mereka berkelahi benar-benar, namun akan memakan waktu yang cukup lama. Sesudah puas menguji ilmu silat pemuda itu, dia membentak dengan suara penuh getaran berwibawa. “Coa Leng Kun, tidak mungkin engkau mampu melawan pedangku yang berubah menjadi sepuluh batang!” Gadis itu mengerahkan tenaga batin, menggunakan sihir untuk mencoba pemuda itu. Ternyata ia telah menggunakan kekuatan batinnya dan mempengaruhi pikiran pemuda itu. Coa Leng Kun terbelalak melihat betapa gadis itu kini memainkan sepuluh batang pedang yang mengepungnya dari segala penjuru! Dia melompat jauh ke belakang sambil berseru, “Nona Pek Bwe Hwa, aku mengaku kalah!” Bwe Hwa tersenyum dan dia pun menghentikan serangannya. Pemuda itu masih bengong keheranan. “Nona, ilmu pedang apakah yang kau mainkan tadi? Tiba-tiba saja pedangmu menjadi banyak sekali sehingga aku terkurung dan tidak mampu lagi melawan.” Bwe Hwa merasa senang. Walau pun dalam ilmu silat dia hanya menang sedikit saja dari pemuda ini, namun dengan menggunakan kekuatan sihirnya dia mampu mengalahkannya dalam waktu singkat saja. “Ahh, ilmu pedangku tidak seberapa kalau dibandingkan dengan ilmu silat sulingmu yang lihai itu, saudara Coa.” “Nona Pek, engkau tidak perlu merendahkan diri, aku tahu betul bahwa aku tidak mampu menandingimu. Sekarang kita telah berkenalan, bahkan telah bertanding pula yang berarti bahwa kita sudah menjadi sahabat. Mengapa engkau masih menyebutku saudara Coa? Terdengarnya begitu asing.” “Habis engkau juga menyebut aku nona, lalu aku harus menyebutmu apa?” “Engkau lebih muda dariku, pantas kusebut moi-moi (adik perempuan) dan kalau engkau tidak keberatan, aku akan senang sekali kalau kau sebut twako (kakak pria). Bagaimana pendapatmu, Hwa-moi?” Bwe Hwa sudah mengenal watak dan sikap pemuda itu yang sopan dan lembut, maka dia pun tidak keberatan untuk menganggap pemuda itu sebagai sahabat atau kakaknya. “Baiklah, Kun-ko,” jawabnya sederhana. Bukan main girangnya rasa hati Leng Kun. “Kita sudah menjadi sahabat baik atau bahkan saudara, akan tetapi kita tidak saling mengenal keadaan masing-masing. Maukah engkau menceritakan siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu, dan di manakah engkau tinggal. Hwa-moi? Akan tetapi biarlah aku yang lebih dulu bercerita. Seperti telah kuperkenalkan tadi, namaku Coa Leng Kun. Kini aku tidak mempunyai orang tua lagi, juga guruku telah meninggal dunia. Aku hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka berkelana. Dalam perjalananku aku mendengar tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di tangan Ang I Sianjin. Pusaka itu tadinya adalah milik pendekar besar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin. Akan tetapi pada suatu hari pendekar Tan Tiong Bu dibunuh orang dan pedang pusaka Pek-lui-kiam lenyap. Menurut dugaan orang, tentu Ang I Sianjin yang membunuh pendekar itu dan mencuri pedangnya. Nah, demikianlah keadaan diriku. Tidak menarik sama sekali.” “Dari siapa engkau mempelajari ilmu silatmu yang lihai itu? Siapakah gurumu yang sudah meninggal dunia itu?” “Tentu saja aku mempelajarinya dari guruku. Beliau adalah seorang pertapa yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri dari dunia ramai. Bahkan pun tidak ada seorang pun yang mengetahui namanya. Kepadaku dia hanya mengatakan bahwa dia sudah lupa akan namanya dan minta disebut Bu-beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama). Nah, sekarang aku ingin mendengar tentang dirimu, Hwa-moi.” “Tidak ada yang aneh tentang diriku, Twako. Seperti telah kukatakan kepadamu, namaku Pek Bwe Hwa. Guruku adalah orang tuaku sendiri dan kami tinggal di Kong-goan, propinsi Secuan, bersama kakekku yang menjadi ketua Pek-sim-pang. Kini aku sedang merantau untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman di dunia kangouw. Ayah dan ibuku sudah memesan kepadaku agar aku ikut pula menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Aku pun mendengar juga tentang kematian Tan Tiong Bu dan pembunuhnya adalah seorang kakek berpakaian merah yang tinggi kurus. Dunia kangouw langsung dapat menduganya bahwa pembunuh itu adalah Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di bukit ini. Maka aku pun datang ke sini untuk menyelidikinya.” “Dengan kepandaianmu aku yakin bahwa engkau tentu akan berhasil merampas pedang pusaka itu, Hwa-moi.” “Aihh, belum tentu, twako. Setidaknya di sini ada engkau pula yang tidak kalah lihai. Kalau ada kemungkinan bahwa aku yang akan berhasil, tentulah ada kemungkinan pula bahwa engkau juga akan berhasil.” “Tidak, Hwa-moi. Aku tidak mau berebut denganmu, malah aku akan membantumu untuk mendapatkan pedang pusaka itu!” Bwe Hwa memandang tajam penuh selidik. Ia merasa heran dan curiga kepada Coa Leng Kun. Pemuda itu baru saja bertemu dan berkenalan dengannya, tapi mengapa begitu baik dan hendak membantunya mendapatkan Pek-lui-kiam? Kebaikan yang berlebihan ini tentu mengandung niat dan pamrih tertentu. Ayahnya sudah menasehatkan kepadanya bahwa lawan yang paling berbahaya adalah orang yang bersikap terlalu baik kepadanya. Apakah pemuda ini diam-diam mengandung maksud jahat terhadap dirinya? Ia harus berhati-hati. “Kun-ko, kenapa engkau begitu baik kepadaku?”: Leng Kun tersenyum. “Tentu saja, Hwa-moi. Bukankah kita telah bersahabat?” “Hemm, baru saja kita bertemu dan berkenalan.” “Akan tetapi kita sudah bertanding dan mengenal keadaan masing-masing. Aku merasa seolah sudah lama sekali kita berkenalan, Hwa-moi. Aku merasa amat kagum kepadamu, dan suka sekali. Ahh, sampai lupa aku! Hwa-moi, harimau ini telah kau bunuh, akan tetapi sia-sialah kalau dibiarkan begitu saja. Pernahkah engkau merasakan daging harimau?” “Daging harimau?” Bwe Hwa memandang heran ketika percakapan mereka tiba-tiba saja membelok ke arah lain. “Aku belum pernah memakannya.” “Wah, engkau harus merasakannya, Hwa-moi. Apa bila pandai memasaknya maka daging harimau itu lezat sekali. Biar pun kita tidak membawa alat masak, aku tahu cara yang baik untuk memanggang dagingnya. Aku membawa bumbu penyedap untuk itu.” Tanpa banyak cakap lagi Leng Kun lalu mengambil sebuah pisau belati dari pinggangnya dan dia mulai mengerat daging harimau itu, mengambil bagian pahanya. Bwe Hwa hanya menonton saja, kecurigaannya sudah terlupa lagi olehnya. Dia hanya duduk di atas batu sambil melihat pemuda itu bekerja. Dengan cekatan Leng Kun menguliti potongan paha itu, kemudian mengiris dagingnya menjadi beberapa potong. Diambilnya bumbu garam, merica dan lain-lain dari buntalannya. Setelah memberi bumbu kepada daging-daging itu, lantas dibuatnya api unggun. Daging-daging paha yang menjadi beberapa potong sebesar kepalan tangan itu lalu ditusuk dengan belahan bambu yang dia dapatkan di sekitar tempat itu, dan dipanggangnyalah daging-daging itu. Bwe Hwa segera mencium bau yang sangat sedap sehingga timbul seleranya. Dia kini membantu Leng Kun memanggang daging-daging itu. “Coba cicipilah!” kata Leng Kun sambil memberikan sepotong bambu yang menusuk dua potong daging kepada Bwe Hwa. “Hemm, baunya sedap sekali!” kata Bwe Hwa terus terang dan sesudah daging itu agak mendingin, dia segera menggigitnya. Ternyata memang lezat sekali, ada rasa gurih dan manis, berbau sedap karena dibumbui. Mereka lalu makan habis semua potongan daging harimau panggang itu dan mereka minum dari bekal minuman masing-masing. Bwe Hwa membawa bekal minuman air jernih, sedangkan Leng Kun membawa seguci arak. Setelah makan dan minum, Leng Kun berkata kepada Bwe Hwa, “Sekarang kita lanjutkan pendakian ke sarang Kwi-jiauw-pang, Hwa-moi. Akan tetapi karena penjagaan tentu ketat, sebaiknya kalau kita berpisah. Engkau jalan dari arah kiri dan aku akan mendaki dari arah kanan. Nanti kita bertemu lagi di atas. Dengan berpencar kita akan lebih mudah masuk ke sarang mereka. Setidaknya seorang di antara kita tentu berhasil.” Bwe Hwa mengangguk. “Pendapatmu benar sekali. Perkumpulan Kui-jiauw-pang itu kuat sekali, siapa tahu mereka memasang perangkap di sepanjang jalan menuju ke atas.” “Harap engkau suka berhati-hati, Hwa-moi. “ “Sampai nanti, Kun-ko.” Bwe Hwa lalu meloncat ke kiri dan sebentar saja dia sudah lenyap dari pandangan mata Leng Kun. Pemuda ini menarik napas panjang, merasa kagum bukan main. Dia pun lalu berlari ke arah kanan dengan cepatnya. Coa Leng Kun berlari dengan cepat sekali, menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Melihat cara dia berlari tanpa ragu, mudah diduga bahwa pemuda ini sudah tak asing dengan daerah pegunungan itu. Dan dia mengambil jalan pintas, tidak menurut jalan setapak melainkan menerobos semak-semak. Tak lama kemudian dia telah sampai di depan pintu gerbang perkumpulan Kui-jiaw-pang yang berdiri di tengah puncak bukit yang datar. Selusin anggota Kui-jiaw-pang muncul dari gardu penjagaan dan segera menghadang di tengah pintu gerbang. Mereka memandang heran dan penuh kecurigaan kepada pemuda tampan berpakaian putih yang tahu-tahu tiba di depan pintu gerbang. Tentu pemuda itu tidak menggunakan jalan setapak sehingga dapat tiba di situ tanpa mereka ketahui. Kalau melalui jalan setapak, tentu pemuda itu akan menemui rintangan dan jebakan yang telah mereka pasang. “Heii, berhenti! Siapa engkau yang berani datang ke sini tanpa diundang?” bentak kepala jaga dengan suara lantang. Leng Kun tersenyum sambil berdiri tegak, matanya menentang pandangan mata selusin orang itu. “Bagus, kalian sudah melakukan penjagaan dengan ketat dan baik. Akan tetapi aku bukanlah lawan, melainkan kawan.” Dia mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Bendera itu berdasar warna biru dan di tengahnya terdapat sulaman gambar setangkai bunga teratai putih. “Serahkan ini kepada ketua kalian!” Sikap kepala jaga segera berubah ketika melihat bendera itu. Dia menerima bendera itu, lalu memberikan kepada seorang anak buah untuk membawa bendera itu kepada ketua mereka, dan kepada Leng Kun dia berkata ramah, “Harap kongcu suka menanti sebentar di dalam gardu, menunggu kembalinya pelapor tadi.” Leng Kun mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk di dalam pos penjagaan. Para penjaga tidak ada yang berbicara, akan tetapi pandangan mata mereka ke arah pemuda itu memperlihatkan perasaan takut. Tak lama kemudian pelapor itu kembali sambil mengikuti Ang I Sianjin atau Sam Ok yang melangkah dengan cepat menuju gardu itu. Dia memandang kepada Leng Kun dengan tercengang. Tadinya dia mengira bahwa utusan Pek-lian-pai yang memiliki bendera tanda utusan yang berkuasa penuh itu adalah seorang pendeta Pek-lian-kauw yang telah lanjut usianya. Siapa kira bahwa utusan itu seorang pemuda tampan yang berpakaian rapi. Leng Kun bangkit berdiri kemudian merangkapkan kedua tangannya di depan dada ketika melihat laki-laki berjubah merah itu. “Apakah aku berhadapan dengan Kui-jiauw-pangcu sendiri?” tanya Leng Kun. Ang I Sianjin atau Sam Ok membalas penghormatan itu kemudian menjawab, “Benar, aku adalah Sam Pangcu (Ketua ketiga). Mari silahkan, sicu.” Leng Kun mengikuti Sam Ok memasuki pintu gerbang. Dia melihat sebuah perkampungan yang dikitari oleh pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah tembok yang mengelilingi sebuah rumah induk yang besar dan megah. Ke rumah besar inilah dia diajak masuk. Mereka memasuki sebuah ruangan yang luas dan Leng Kun melihat dua orang kakek lain sedang duduk di atas kursi. Orang pertama bertubuh gendut, kepalanya besar dan botak, dan telinganya lebar. Orang ini menyambut kedatangannya dengan senyuman lebar. Dia kelihatan penyabar dan baik hati. Ada pun orang kedua bertubuh kurus pendek, mukanya penuh rambut seperti monyet dan rambutnya panjang tebal sampai ke pinggang. Jika orang pertama berpakaian serba putih, orang kedua ini berpakaian serba hitam. Usia mereka sebaya dibandingkan Ang I Sianjin. Begitu memasuki ruangan itu, Coa Leng Kun yang tak dapat menahan keinginan tahunya, segera bertanya kepada Ang I Sianjin, “Ang I Sianjin, aku mendapat keterangan bahwa engkau adalah ketua Kui-jiauw-pang, akan tetapi kenapa engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah Sam Pangcu?” “Sicu, jangan sebut aku Ang I Sianjin lagi. Sekarang nama julukanku adalah Sam Ok dan menjadi ketua nomor tiga di Kui-jiauw-pang. Perkenalkanlah, kedua orang ini adalah Toa Ok dan Ji Ok yang menjadi Toa-pangcu dan Ji-pangcu di perkumpulan kami. Tetapi kami belum mengetahui siapa namamu.” “Namaku adalah Coa Leng Kun,” jawab pemuda itu, “aku diutus oleh para pimpinan Pek-lian-pai untuk membantumu. Namun dengan adanya Toa-pangcu dan Ji-pangcu, kepada siapakah aku akan melakukan perundingan?” Pemuda itu memandang dengan ragu-ragu kepada dua orang kakek itu. “He-heh-heh-heh, kami merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Engkau bisa melakukan perundingan dengan kami bertiga di sini. Akan tetapi keadaanmu benar-benar membuat kami ragu dan sangsi. Mengapa utusan yang berkuasa penuh dari Pek-lian-pai hanya seorang pemuda? Sungguh sembrono sekali para pimpinan Pek-lian-pai mengutus seorang muda untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat penting,” kata Toa Ok. “Selama ini, pihak Pek-lian-pai selalu mengirim utusan yang sudah tua dan matang dalam pengalaman, baru sekali ini mengirim utusan muda,” kata Sam Ok. “Ini memang aneh dan mencurigakan. Akan tetapi bendera utusan itu asli. Toa Ok, bagaimana kalau kita menguji dia terlebih dulu?” “Bagus, memang sebaiknya begitu. Coa Leng Kun, kami ragu melihat engkau yang muda menjadi utusan Pek-lian-pai. Kami hendak menguji kemampuanmu dahulu karena orang yang tidak mempunyai cukup kepandaian tidak patut untuk merundingkan urusan penting dengan kami.” Coa Leng Kun tersenyum mengejek. “Para pimpinan Pek-lian-pai tentu tidak akan senang mendengar ketidak percayaan kalian. Tentu saja aku siap untuk menghadapi pertandingan ujian dengan siapa pun juga.” Mulutnya berkata demikian, akan tetapi di dalam hatinya dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Kui-jiauw-pang kini dipimpin oleh tiga ketua, dan yang dua orang adalah Toa Ok dan Ji Ok. Dia sudah mendengar akan nama besar dua orang datuk sesat dari barat itu. Akan tetapi dia tetap bersikap tenang. Ang I Sianjin atau Sam Ok sudah lama menjalin hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw, bahkan dia dan mereka telah bersekutu untuk mencoba lagi melakukan permberontakan terhadap kerajaan Beng yang sekarang dipimpin oleh Kaisar Wan Li. Pek-lian-pai ingin melakukan gerakan pemberontakan lagi sesudah usahanya berkali-kali gagal berkat kepandaian dua orang menteri, yaitu Menteri Yang Ting Hoo dan Menteri Cang Ku Ceng. Akan tetapi sekarang kedua orang menteri arif bijaksana dan pandai itu telah tidak ada, telah meninggal dunia, karena itu pihak Pek-lian-pai menjadi berani untuk bergerak. Mereka mengumpulkan perkumpulan-perkumpulan sesat untuk ditarik menjadi sekutu mereka dan di antara perkumpulan sesat itu adalah Kui-jiauw-pang. Ang I Sianjin yang kini menjadi Sam Ok terkejut sekali mendengar bahwa Toa Ok dan Ji Ok akan menguji kepandaian Coa Leng Kun. Dia sudah tahu akan kehebatan ilmu kedua orang datuk itu. Akan tidak enaklah dia terhadap Pek-lian-pai jika sampai utusan mereka dikalahkan dan dilukai. Maka, dia segera bangkit berdiri dan berkata, “Harap Toa Ok dan Ji Ok tidak perlu turun tangan sendiri menguji kepandaian utusan Pek-lian-pai ini. Aku sendiri yang akan mengujinya.” Toa Ok dan Jik Ok mengangguk-angguk. Mereka berdua juga sudah mendengar bahwa Pek-lian-pai adalah perkumpulan besar yang sangat kuat dan dipimpin oleh banyak orang pandai. Mereka tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-pai, dan mereka pun tahu bahwa tingkat kepandaian Sam Ok tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian mereka. Walau pun Sam Ok yang menguji, mereka berdua pun sudah dapat menilai ketangguhan pemuda itu. Sam Ok sudah melangkah ke tengah ruangan yang luas itu, dan dia berkata, “Coa-sicu, aku sudah siap untuk menguji kepandaianmu!” Diam-diam Leng Kun merasa lega hatinya. Dia belum pernah melihat tingkat kepandaian ketua Kui-jiauw-pang ini, akan tetapi dia menduga bahwa tingkat kepandaiannya tentu berada di bawah tingkat Toa Ok dan Ji Ok. Hal ini dapat diduga karena di perkumpulan itu dia hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua ke Tiga), sedangkan dua orang datuk besar itu menjadi ketua pertama dan kedua. “Baiklah, Sam Pangcu. Sebagai utusan kepercayaan Pek-lian-pai aku akan membuktikan bahwa aku cukup pantas untuk berunding dengan kalian.” Leng Kun melangkah maju ke depan Sam Ok. Melihat Sam Ok tidak memegang senjata, dia pun tidak mencabut sulingnya dan memasang kuda-kuda dengan tangan kosong. Ang I Sianjin memang tak ingin terlampau mendesak tamunya ini karena dia merasa khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-pai menjadi marah dan mengirim pasukan untuk menyerbu dan membalas dendam. Karena itulah dia mengajak bertanding dengan tangan kosong saja. Andai kata dia menang, dia tidak akan memukul terlalu kuat sehingga tidak akan melukai pemuda itu. “Cao-sicu, aku sudah siap. Mulailah!” kata Sam Ok. “Aku adalah tamu dan akulah yang akan diuji, maka sepatutnya engkau yang menyerang dulu, Sam Ok!” kata Leng Kun dengan sikap tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. “Bagus! Lihat seranganku!” Sam Ok membentak. Dia pun sudah maju menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Biar pun dia menjadi ketua Kui-jiauw-pang, dia tidak memakai sambungan tangan berupa cakar setan seperti semua anak buahnya. Akan tetapi cengkeraman jari-jari tangannya tidak kalah hebatnya apa bila dibandingkan dengan cakar setan. Dia menggunakan kedua tangannya yang membentuk cakar untuk menyerang dada dan perut Leng Kun. Melihat serangan yang dahsyat ini Leng Kun mengelak mundur selangkah, kemudian dia balas menyerang tidak kalah dahsyatnya. Serangannya datang bergelombang bertubi-tubi karena yang menyerang adalah kedua tangan dan kedua kakinya, bergantian dan susul-menyusul mengirim pukulan dan tendangan. Pemuda itu telah mengeluarkan ilmu silatnya yang ampuh, yaitu Ilmu Silat Gelombang Samudera! “Haiittttt...!” Sam Ok meloncat ke belakang dan ketika pemuda itu mendesaknya, dia pun mengerahkan sinkang untuk menangkis. “Dukkk...!” Pertemuan kedua lengan itu membuat Sam Ok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Leng Kun juga mundur empat langkah. Hal ini berarti bahwa dalam hal tenaga dalam, Leng Kun kalah kuat. Akan tetapi pemuda ini hendak menutupi kekurangannya di dalam hal tenaga itu dengan kelebihan ginkang-nya. Dia bergerak sangat cepat dan kini tubuhnya berpusing sehingga menjadi bayangan berputar-putar yang menghampiri lawan. Itulah Ilmu Silat Angin Taufan yang membuat lawan menjadi bingung menghadapinya. Demikian pula dengan Sam Ok. Menghadapi serangan yang dilakukan dengan tubuh berputar itu, dia menjadi bingung dan gugup sehingga dia terdesak hebat dan terpaksa mundur. Pada saat itu pula Toa Ok berseru, “Hentikan pertandingan!” Legalah hati Sam Ok. Ia harus mengakui bahwa menghadapi ilmu silat yang berpusing itu dia menjadi bingung dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi lawan sehingga kalau dilanjutkan besar kemungkinan dia akan kalah. Mendengar bentakan Toa Ok, dia segera meloncat jauh ke belakang dan Leng Kun juga menghentikan gerakannya. “Cukup sudah Coa Leng Kun. Akan tetapi engkau tadi memainkan ilmu silat Gelombang Samudera dan Angin Taufan. Setahu kami, kedua ilmu itu adalah ilmu mendiang Hek Tok Siansu. Bagaimana engkau yang menjadi utusan Pek-lian-pai tidak mempergunakan ilmu silat dari Pek-lian-pai melainkan ilmu-ilmu silat mendiang Hek Tok Siansu?” Leng Kun maklum bahwa Toa Ok dan Ji Ok adalah dua orang datuk besar dari barat yang luas pengetahuannya sehingga dapat mengenal kedua ilmu silatnya tadi. Oleh karena itu dia pun berterus terang. “Mendiang Hek Tok Siansu adalah kakek guruku!” Mendengar jawaban ini Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan wajah mereka berseri-seri. “Bagus sekali! Dahulu Hek Tok Siansu bekerja sama dengan Pek-lian-pai dan sekarang cucu muridnya melanjutkan kerja sama itu hingga diangkat menjadi utusan yang penting. Silakan duduk, Coa-sicu!” kata Toa Ok dan nada suaranya lebih ramah. “Kami mengucapkan selamat datang, Coa-sicu. Berita apakah yang kau bawa?” “Pimpinan Pek-lian-pai mengutus aku pergi ke sini untuk membantu Kui-jiauw-pang yang akan kedatangan banyak orang pandai karena ingin merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Kami tidak tahu bahwa sekarang Kui-jiauw-pang mempunyai dua orang ketua baru sehingga keadaannya menjadi lebih kuat lagi. Untuk itu, sebagai utusan Pek-lian-pai aku mengucapkan selamat kepada para ketua baru.” Tiga orang ketua itu tersenyum lebar dan Toa Ok berkata lantang, “Jangan khawatir, Cao-sicu. Kami telah tahu mengenai hal itu dan kami telah siap siaga. Siapa pun yang datang hendak merampas pedang pusaka, tentu tidak akan mampu keluar lagi dari daerah Kui-liong-san. Apa lagi engkau datang membantu sehingga keadaan kita lebih kuat lagi.” “Ketika hendak mendaki bukit ini, aku memisahkan diri dari seorang gadis yang berilmu tinggi. Dia tidak boleh dipandang ringan karena dia adalah cucu dari ketua Pek-sim-pang!” Tiga orang ketua itu saling pandang dan Toa Ok berseru, di dalam suaranya terkandung kekhawatiran. “Cucu ketua Pek-sim-pang? Siapa namanya, sicu?” “Namanya Pek Bwe Hwa.” “Ahh, tidak salah lagi. Dia memang keturunan keluaraga Pek, dan mengingat bahwa ketua Pek-sim-pang hanya mempunyai seorang putera yang sangat terkenal sebagai seorang pendekar yang sakti, maka tak salah lagi, gadis itu tentu puteri Pek Han Siong!” kata Toa Ok sambil mengerutkan alisnya. “Ayah gadis itu, Pek Han Siong, akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kita tidak perlu khawatir, dengan kepandaian kita semua, biar Pek Han Siong sekali pun tidak perlu kita takuti.” Coa Leng Kun mengerutkan alisnya. “Kalau begitu, dari pada harus menghadapi gadis itu sebagai lawan, lebih baik kalau dia ditarik menjadi sahabat atau sekutu kita.” Tiga pasang mata menatap wajah Leng Kun dengan penuh pertanyaan dan Ji Ok berseru, “Aneh! Mana mungkin puteri Pek Han Siong kita ajak kerja sama? Jika dia datang ke sini, tentu dia menginginkan pedang pusaka itu!” “Benar apa yang dikatakan Ji Ok, Coa-sicu. Bagaimana mungkin gadis itu mau bekerja sama dengan kita? Sejak dulu ayah gadis itu selalu menentang pemberontakan terhadap kerajaan, bahkan dia juga menjadi musuh besar Pek-lian-pai. Bagaimana mungkin kini kita mengajak puterinya untuk bekerja sama?” tanya Sam Ok. “Harap sam-wi pangcu (Ketiga Ketua) tidak menjadi bingung. Ketika menuju ke Kui-liong-san, aku berjumpa dan berkenalan dengan Pek Bwe Hwa, bahkan kini menjadi sahabat. Tentu saja dara itu tidak tahu bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai. Dia menyangka aku adalah seorang di antara mereka yang ingin merampas pedang Pek-lui-kiam. Malah kami telah bersepakat untuk bekerja sama dalam hal ini dan aku akan membantunya. Nah, jika aku sekarang mengawaninya naik ke sini dan memperkenalkan dia kepada sam-wi, tentu dia akan merasa senang sekali. Tentu saja sam-wi harus menjanjikan kepadanya hendak menyerahkan pedang pusaka itu.” “Ahhh...!” Tiga orang ketua itu berseru kaget. “Harap tenang, sam-wi pangcu. Kita harus menggunakan akal, yaitu menyerahkan pedang pusaka tiruan atau palsu. Dan kalau pedang pusaka berada di tangannya, tentu orang-orang yang ingin memperebutkan pedang pusaka itu akan memusuhinya. Nah, pada saat itulah kita turun tangan membantunya sehingga kita akan dapat membasmi orang-orang itu.” Tiga orang ketua itu mengangguk-angguk sambil saling pandang. “Akan tetapi kita harus merahasiakan bahwa aku adalah utusan Pek-lian-pai, karena kalau dia mengetahui hal ini, tentu sikapnya kepadaku akan berubah dan dia akan menganggap aku sebagai musuh. Ketika berkenalan dengannya, aku mengaku sebagai seorang perantau yang ingin pula memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sam-wi hanya perlu bersikap baik padanya dan segalanya aku yang akan mengaturnya agar dia percaya.” “Baiklah, Coa-sicu. Kami menyerahkan kepadamu untuk mengurus pendekar wanita itu,” akhirnya Toa Ok menyatakan setuju karena kalau benar pendekar wanita puteri pendekar Pek Han Siong itu dapat ditarik untuk bekerja sama, maka kedudukan mereka tentu akan lebih kuat lagi. “Tetapi agaknya engkau membenci wanita itu. Ada urusan apakah antara engkau dengannya?” Leng Kun menarik napas panjang lalu berkata, “Di dunia ini hanya ada dua keluarga yang paling kubenci sebab merekalah yang menyebabkan kakek guruku Hek Tok Siansu tewas penasaran. Kedua keluarga itu adalah keluarga Tang Hay dan keluarga Pek Han Siong. Terutama keluarga Tang Hay karena di tangan dialah kakekku itu tewas.” Tiga orang kepala perkumpulan Kui-jiauw-pang itu saling pandang dan Toa Ok berseru, “Ahh, musuh-musuhmu itu adalah musuh kami juga, dan juga musuh besar Pek-lian-pai sebab mereka berdua inilah yang paling banyak menentang Pek-lian-pai dalam perjuangan mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua itu mempunyai kepandaian yang amat hebat.” Leng Kun mengerutkan sepasang alisnya. “Aku tidak takut, dan sekarang kebetulan sekali puteri keluarga Pek berada di sini.” “Kenapa dia tidak kita bunuh saja karena dia adalah puteri musuh besarmu, sicu?” tanya Sam Ok. “Ah, pembalasan seperti itu terlampau lunak, Sam Pangcu. Juga kita tidak dapat memetik keuntungan apa pun. Aku mempunyai rencana yang lebih hebat dari pada itu. Selain kita dapat menggunakan tenaganya untuk membantu kita menghadapi mereka yang hendak merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam, aku juga ingin menjatuhkan hatinya. Kalau sampai aku bisa mempermainkannya sebagai isteriku, berarti aku telah melakukan balas dendam yang memuaskan sekali karena seluruh keluarganya akan merasa menyesal sekali. Dan akhirnya, sebagai suaminya, aku mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membasmi keluarga Pek!” Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok tertawa bergelak. “Bagus! Engkau yang masih muda ternyata memiliki kecerdikan yang tinggi. Kami suka sekali mendengar siasatmu itu, sicu. Baiklah, laksanakan siasatmu itu dan kami semua akan berpura-pura baik terhadap gadis itu,” kata Toa Ok. “Sekarang aku minta agar sam-wi pangcu mengirim satu regu anak buah Kui-jiauw-pang untuk menghadang gadis itu di lereng. Nanti aku akan muncul dan melerai mereka.” “Akan tetapi jalan menuju ke puncak sudah kami beri perangkap dan juga kami menyebar racun sehingga siapa saja yang hendak mendaki ke puncak ini akan menghadapi bahaya maut! Kami juga sudah memasang para anggota untuk menjadi baris pendam, menyerang siapa saja yang mendaki puncak. Tentu saja jalan yang kau lalui itu tidak kami pasangi jebakan karena jalan itu dipakai oleh kita semua sebagai jalan rahasia.” “Gadis itu sangat lihai dan cerdik, tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari jebakan dan racun. Biar aku turun dan menyambutnya! Akan tetapi aku minta belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang untuk mengeroyoknya.” Leng Kun lantas memimpin lima belas orang anak buah Kui-jiauw-pang menuruni puncak itu. Dia berpesan kepada lima belas orang itu agar nanti mengeroyok Pek Bwe Hwa, akan tetapi segera mundur kalau dia muncul melerai perkelahian mereka.....

jilid 16


AKAN tetapi dia berpesan pula kepada mereka agar mereka jangan sampai melukai gadis itu, dan berhati-hati karena gadis itu lihai sekali. Para anggota Kui-jiauw-pang yang sudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang utusan Pek-lian-pai dan diterima dengan hormat oleh tiga orang ketua mereka, mentaati pesan Leng Kun. *************** Pek Bwe Hwa melakukan pendakian dengan hati-hati sekali. Dia dapat menduga bahwa Kui-jiauw-pang tentu telah melakukan penjagaan dengan hati-hati dan tidak aneh kalau di jalan setapak menuju puncak itu dipasangi jebakan-jebakan yang berbahaya. Dia menggunakan segenap kewaspadaannya untuk menyelidiki jalan setapak itu sebelum kakinya melangkah. Dia mematahkan sebuah ranting pohon yang cukup panjang, lantas dengan kayu ini dia mencoba jalan di depannya. Ketika melihat di depannya ada sepetak rumput yang menutupi jalan, dia lalu menggunakan rantingnya untuk memeriksa. Dia menusukkan ujung rantingnya ke dalam rumput yang tebal itu dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, tongkatnya masuk dalam sekali dan merasa betapa di bawah selimut rumput itu agaknya kosong dan merupakan sebuah lubang. Dia lalu mengambil sepotong batu besar dan melemparkannya kepada timbunan rumput itu dan batu itu terus masuk ke dalam lubang yang tersembunyi di bawah rumput. Maklum bahwa di depannya terdapat jebakan lubang besar yang tertutup rumput, dia lalu mencari jalan memutar dan meraba-raba dengan tongkatnya. Bwe Hwa melangkah terus dengan berani. Biar pun terdapat banyak perangkap tetapi dia tidak takut dan melanjutkan perjalanannya dengan penuh kewaspadaan. Diam-diam dia mengkhawatirkan nasib Leng Kun. Pemuda itu tentu menghadapi banyak perangkap pula. Akan tetapi dia segera menenangkan hatinya. Leng Kun adalah seorang pemuda yang tinggi ilmunya. Tentu dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Ketika dia menghindari jalan yang tertutup semak belukar penuh duri, tiba-tiba saja dari dalam semak belukar itu menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya. Bwe Hwa sudah siap siaga. Bagaikan seekor burung walet saja, tubuhnya sudah meloncat ke atas sehingga anak panah itu lewat di bawah kakinya dan menyambar masuk ke dalam semak-semak. Bwe Hwa turun dengan hati-hati dan setelah memeriksa dengan teliti, tahulah dia bahwa tadi dia sudah menginjak sepotong kayu. Kayu ini menarik sehelai tali yang dihubungkan dengan alat untuk melepas anak panah itu yang disembunyikan di dalam semak belukar. Berbahaya sekali, pikirnya. Akan tetapi dia tidak merasa jeri dan melangkah terus dengan lebih berhati-hati, selalu memperhatikan dulu sebelum dia melangkah. Ketika jalan setapak yang diikutinya itu sampai di sebuah selokan ke kanan, tiba-tiba saja berlompatan belasan orang laki-laki dari balik pohon-pohon dan semak-semak. Lima belas orang laki-laki telah berdiri di hadapannya dan mereka semua memakai cakar setan pada kedua tangan. Sikap mereka bengis dan menyeramkan. Bwe Hwa dapat menduga bahwa belasan orang itu tentu anak buah Kui-jiauw-pang, maka dia pun bersiap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Dia bersikap tenang saja dan memandang kepada mereka dengan mata bersinar tajam. Pemimpin regu anak buah Kui-jiauw-pang itu kemudian membentak dengan suara lantang, “Nona, siapakah engkau yang berani memasuki wilayah kami tanpa ijin? Lebih baik Nona menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami, dari pada kami harus menggunakan kekerasan untuk menangkapmu.” Dengan sikap tenang dan gagah Bwe Hwa menjawab, “Aku tak akan sudi menyerah dan silakan kalau kalian hendak menangkapku dengan kekerasan. Hendak kulihat bagaimana caranya kalian menggunakan kekerasan!” Pemimpin regu memberi aba-aba, dan lima belas orang itu mengurung Bwe Hwa seperti belasan ekor serigala mengepung seekor domba. Akan tetapi sesudah mereka bergerak, ternyata yang mereka kepung itu bukanlah seekor domba, namun seekor harimau betina yang tangguh sekali. Ketika mereka menyerbu untuk menangkapnya, Bwe Hwa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dalam segebrakan saja empat orang pengeroyok sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan yang dilakukan dengan amat cepatnya. Sebenarnya belasan orang itu telah mendengar dari Leng Kun betapa lihainya gadis yang akan mereka hadapi. Akan tetapi ketika tadi melihat Bwe Hwa hanya seorang dara cantik jelita dan halus gerak-geriknya, mereka tak percaya dan mengira akan dapat menangkap gadis itu dengan mudah. Karena memandang rendah ini, maka dengan mudah Bwe Hwa dapat merobohkan empat orang itu. Kini barulah mereka terkejut dan tahu bahwa gadis itu benar-benar lihai. Maka legalah hati mereka ketika Leng Kun muncul dan meloncat dekat Bwe Hwa sambil berseru, “Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!” Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran. “Mengapa, Kun-ko? Mereka ini hendak menangkap aku!” “Hwa-moi, mereka adalah para anggota Kui-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap engkau maafkan mereka yang tidak tahu ini.” Dia lalu menoleh kepada para anggota Kui-jiauw-pang sambil membentak, “Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-lihiap yang gagah perkasa ini!” Lima belas orang itu segera mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, “Harap Pek-lihiap suka maafkan kami!” Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Sesudah belasan orang itu pergi, dia lalu bertanya kepada Leng Kun. “Kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa nampaknya engkau berhubungan baik sekali dengan Kui-jiauw-pang?” “Tentu engkau merasa heran, Hwa-moi. Aku sendiri pun sama sekali tidak mengira akan mendapat penyambutan baik dari Kui-jiauw-pang. Ketika mendaki tadi aku juga bertemu dengan belasan orang anggota Kui-jiauw-pang kemudian aku pun dikeroyok. Aku berhasil mengalahkan mereka lantas muncullah seorang di antara tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia dapat mengenali ilmu silatku lalu menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kui-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku adalah cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa di antara sahabat pedang itu tak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Sekarang marilah kita menghadap tiga orang ketua Kui-jiauw-pang. Sudah kuceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerima engkau sebagai sahabat pula.” Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung sekali. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apa bila pedang berada di tangan seorang jahat maka dia harus merampasnya. Namun kalau pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, dia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari incaran golongan sesat. Dia belum tahu apakah tiga orang ketua Kui-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi dia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat! “Kun-ko, bukankah Kui-jiauw-pang adalah perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?” “Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir serta rumah judi, dan dari sana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat, dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka sepantasnya kita pun bersikap baik kepada mereka. Dan soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka.” Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Dia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan oleh banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja? Akan tetapi dia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya. “Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka,” kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali. “Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain,” kata Leng Kun. Mereka lalu mendaki puncak bukit Kui-liong-san. Dia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup di antara pohon dan semak. “Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?” tanya Bwe Hwa pada waktu mereka menyusup di antara semak berduri. “Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kui-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman.” Bwe Hwa menjadi semakin heran. “Mengapa Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?” “Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka.” Mereka maju dengan cepat karena mereka mempergunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang. Bwe Hwa melihat ada belasan orang anak buah Kui-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang. Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kui-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar. “Selamat datang di tempat kami, lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-lihiap!” kata Sam Pangcu. Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kui-jiauw-pang. Dia lalu memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam dia pun terkejut sekali melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat. Kedua orang itu pun sambil tersenyum mengenalkan diri. Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali serta tubuhnya gendut, mengaku sebagai Toa Pangcu. Sedangkan orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kui-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju tiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah. Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab. “Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menerima kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu.” “Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!” kata Toa Pangcu. “Pek-lihiap, mari silakan duduk!” kata Ji Pangcu sambil tersenyum. Bwe Hwa merasa senang melihat keramahan tiga orang ketua itu. Dia lantas mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu turut duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan serta minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan. Melihat ini tahulah Bwe Hwa bahwa dia hendak dijamu makan, maka dia mengerutkan alis dan menolak. “Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada di sini, dan jangan merepotkan sam-wi.” “Ahh, mana bisa begitu, lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Nanti sesudah makan minum barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini,” kata Toa Pangcu. Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa memandang kepada gadis itu dan berkata lirih, “Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, sungguh tidak enak jika kita menolak hidangan mereka.” Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata, “Kedatangan kami hanya merepotkan sam-wi saja.” Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Sesudah melihat pihak tuan rumah makan, barulah dia berani mengambil hidangan dan ikut makan. Dia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai dia tertipu dan keracunan. Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan beberapa pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu lalu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun. “Nah, kini tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebenarnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kui-liong-san?” Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isyarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan dia pun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di hadapannya. “Begini, sam-wi pangcu. Sudah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw ingin memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga mendengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu.” Sesudah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatap wajah ketiga orang ketua. “Hemmm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-lihiap?” tanya Sam Pangcu. “Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh jatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, pada waktu pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan aku pun tak akan mengganggunya. Namun Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, sesudah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kui-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu.” Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu. “Ha-ha-ha-ha!” Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepalanya yang besar itu digeleng-gelengkannya. “Tak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami, tetapi kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apa lagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, maka kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang.” Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, kemudian pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu. “Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?” “Semua gara-gara Pek-lui-kiam itu. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada lihiap.” Bwe Hwa mengerutkan alisnya. “Akan tetapi mengapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?” tanyanya. Sam Pangcu menghela napas panjang. “Memang antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang amat besar. Pedang Pek-lui-kiam itu dahulu dia gunakan untuk membunuh keluargaku, maka aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam. Baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu.” “Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?” tanya pula Bwe Hwa. “Sekarang juga akan kami serahkan jika lihiap berjanji akan membantu kami menghadapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami.” Kesangsian Bwe Hwa segera lenyap. “Kalau begitu aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang.” “Ha-ha-ha, agaknya lihiap belum percaya benar kepada kami, tetapi sebaliknya kami telah percaya penuh kepada lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dahulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!” Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia segera menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa. “Terimalah Pek-lui-kiam ini, lihiap!” Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa dia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Dia cepat menerima pedang itu. Akan tetapi dia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru dia akan percaya. Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu amat indah dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri-seri. “Pek-lui-kiam...!” Gadis itu berseru girang. Dia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan cahaya kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka dia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu. “Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir, kalau ada orang berani datang ke sini untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu dengan senang hati akan membantu juga, bukan?” Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa gembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu. “Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal di sini selama satu bulan. Selama itu kita berdua akan membantu Kui-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!” Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlampau lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, dia pun merasa tidak enak kalau menolak. Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Begitu pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa. Biar pun pedang pusaka Pek-lui-kiam sudah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik amat kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan pada malam pertama dia sudah memperingatkan Leng Kun sebelum mereka memasuki kamar masing-masing. “Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak.” “Aihh, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?” “Siapa lagi, tentu pimpinan Kui-jiauw-pang.” “Ahh, mengapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkan kepadamu. Aku sudah percaya penuh terhadap tiga orang ketua itu, Hwa-moi.” “Syukurlah kalau mereka benar-benar baik kepada kita. Walau bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?” “Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi tidak perlu mencurigai mereka. Mereka sudah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?” “Maksudku bukan mencurigai siapa pun, hanya kita harus tetap waspada dan berhati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja.” “Baik, Hwa-moi, selamat tidur.” Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Dia tidak menyadari bahwa apa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang dari orang yang paling dipercayanya saat itu. Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Rembulan menebarkan sinarnya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah tetapi penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu justru membuat tempat itu menjadi seram, mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan. Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kui-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu. Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia berjalan ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang telah menghentikan suara jengkerik dan belalang itu. Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enam puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Pada punggungnya tergantung sebatang pedang. Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu. Kakek ini tidak tahu jika di belakangnya, di balik semak belukar, terdapat dua orang yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-semak. “Wah, itu ayahku...!” bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari Timur). Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kui-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan. Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu. Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah mana pun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya menggunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itulah mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin langsung mengenali ayahnya. Tio Gin Ciong adalah putera datuk besar dari timur. Akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, dia pun merasa jeri. Dia sudah melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, maka dia khawatir kalau datuk itu marah-marah. “Ssttt... itu di sana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu...,” bisik Gin Ciong lirih. Siangkoan Cu Yin mengangguk dan dia pun lalu melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang diduduki oleh ayahnya. Dia juga tidak tergesa-gesa menegur ayahnya, takut kalau ayahnya marah melihat dia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari. Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggota Kui-jiauw-pang. Melihat ada orang yang berani memasuki tempat itu, lima orang anggota Kui-jiauw-pang ini lantas mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat wajah kakek itu dengan baik. Karena itu mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan dilakukan orang itu kalau malam sudah berganti pagi. Melihat kelima orang itu hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apa pun, Gin Ciong segera berbisik. “Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga.” Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Dia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam dia berpikir mengapa ayahnya berada di tempat itu. Dia merasa yakin bahwa ayahnya tentu sudah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau dia dan Gin Ciong tentu belum diketahui ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicara pun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu. Sambil merebahkan dirinya Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya, dan dia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya. Dia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena dia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi dengan bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin dia dapat mencinta laki-laki lain. Di manakah kini Si Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau dia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kui-liong-san. Sebenarnya inilah yang menariknya sehingga dia mau pergi ke Kui-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong! Malam yang amat indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin sudah bangun dari tidurnya. Dia melihat Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang bersemedhi. Pemuda ini langsung menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin. “Engkau bisa tidur nyenyak?” tanya Gin Ciong. Cu Yin menganguk. “Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?” “Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi ayahmu masih belum bergerak, agaknya masih tenggelam dalam semedhinya.” Cu Yin memandang ke arah ayahnya. Jarak antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikit pun tidak bergerak seperti orang tidur. “Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia hendak turun tangan sendiri untuk merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?” “Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar.” “Aku yakin ayahku telah melihat mereka atau sudah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya.” Gin Ciong mengangguk. Sekarang mereka berdua menunggu dan mengintai dengan hati tegang. Apa lagi saat mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka lantas berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung di tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya. “Ayahmu terancam bahaya,” bisik Gin Ciong. Cu Yin tersenyum mengejek. “Bukan ayah, tapi sepuluh orang itu yang akan mampus!” Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya masih tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggota Kui-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas. Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin sudah menyentuh tangannya dan ketika dia menengok, Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong segera memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis! “Tuk-tuk-tuk...!” Terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan senjata rahasia itu pun runtuh seakan-akan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali. Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata mempunyai kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Tetapi dia segera teringat akan julukan datuk itu, Lam tok (Racun Selatan). Dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun. Para anggota Kui-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka cepat berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian belakang tubuh datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung. Tiba-tiba saja datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat ketika dari dua tangannya menyambar empat batang panah tangan. Terdengar teriakan keras saat empat orang di antara para penyerbu itu terpelanting roboh lantas tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan. Enam orang yang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka segera menubruk ke depan dengan nekat. “Hemmm...!” Kakek itu mengeluarkan gerengan, lantas tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila. Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia sudah mencengkeram cakar-cakar setan itu. Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur! Enam orang anggota Kui-jiauw-pang berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, kemudian mereka roboh bergulingan saking nyerinya. Ternyata tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, tetapi juga sudah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Maka tewaslah sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan. Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar di mana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengarlah suaranya yang galak. “Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat jika kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!” Gin Ciong terkejut bukan kepalang sehingga jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya, “Ciong-ko, mari kita keluar menemui ayahku.” Gadis itu kemudian meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Dia segera menghampiri ayahnya dan berkata dengan manja. “Ayah...!” Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali. “Hemmm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi di sana? Dan siapa pula pemuda itu?” Dia menuding ke arah Gin Ciong yang telah mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil memberi hormat dengan tubuh membungkuk. “Dia adalah kenalanku yang baru, Ayah. Kami sedang melakukan perjalanan ke Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Engkau tentu tidak dapat menebak siapakah adanya pemuda ini!” Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula. “Ayah, aku hendak menguji kecerdikan Ayah. Coba Ayah menebak siapa pemuda ini, kalau berhasil menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati ayah tanpa membantah, akan tetapi jika tidak dapat menebak, maka Ayah harus merampaskan Pek-lui-kiam untukku!” Lam Tok menggumam, “Hemm, apa sukarnya?” tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu tiba-tiba telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong. “Sambutlah!” serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong. Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar hingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi sejak kecil pemuda ini sudah digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka dia memiliki gerakan yang sangat cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali. “Locianpwe... apa kesalahanku...?” dia menegur. “Tak usah banyak cakap. Sambutlah ini...!” Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali. Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh seperti ayahnya. Aneh, tidak pedulian dan dapat pula bersikap sangat kejam seperti yang sudah diperlihatkan Lam Tok terhadap semua anak buah Kui-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang kala dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar. “Ayah tidak boleh membunuhnya. Jika Ayah membunuh atau melukai, berarti Ayah kalah bertaruh!” Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak makin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu kemudian mengeluarkan suara memekik nyaring lantas dia mengubah ilmu silatnya. Ilmu silat yang dimainkannya sangat dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia sudah memainkan ilmu silat simpanannya yaitu Giam-ong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Raja Maut), ada pun pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)! “Dukkk! Desss...!” Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan tubuh pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga tak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalu bertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!” cerita silat online karya kho ping hoo Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa tadi ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi dia pura-pura mengejek untuk menyenangkan hati ayahnya. “Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau Ayah sudah menegetahuinya?” “Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!” “Ayah ngawur! Bagaimana Ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!” kata puterinya. “Hemm, anak nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa dia menggunakan ilmu silat milik Tung-giam-ong.” “Akan tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?” “Saat dia memainkan Hek-wan-kun ilmu silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia pun terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia sanggup bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu, maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu.” Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa sangat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan dia bertanya kepada ayahnya. “Aku sudah kalah, dan Ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!” Lam Tok terawa sambil mengelus jenggotnya, lantas memandang kepada Tin Gin Ciong, “Siapa namamu?” “Saya bernama Tio Gin Ciong, locianpwe.” “Mana ayahmu? Apakah dia belum datang?” Gin Ciong menjadi bingung. “Saya... saya tidak tahu kalau ayah akan datang ke sini.” “Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!” Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut kalau dia salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya. “Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?” Pertanyaan ini seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah mencinta Cu Yin, tentu seketika itu pula akan dijawabnya dengan anggukan kepala! “Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!” kata Cu Yin pura-pura marah. “Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan janjinya tidak dapat dipercaya? Engkau sudah kalah bertaruh denganku sehingga harus menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, tapi engkau telah membantah dan tidak segera menjawab!” “Ayah, aku ingin menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!” Dengan sikap menantang Cu Yin memandang ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak ayahnhya yang tidak akan pernah mundur menghadapi tantangan apa pun dan dari siapa pun juga. Lam Tok mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab, “Hemm, ketika memandang Gin Ciong di matamu sama sekali tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta. Meski pada lahirnya disembunyikan, namun seorang wanita yang mencinta seorang pria tidak mungkin dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya saat dia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!” Tentu saja Gin Ciong merasa jantungnya seperti ditusuk ketika mendengar ucapan yang terus terang antara anak dengan ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Walau pun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Dia pun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu. Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka dia pun berkata dengan lembut. “Ciong-ko, kuharap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Aku tidak mungkin dapat berbohong terhadap ayah,” lalu dia menoleh kepada ayahnya dan berkata, “Ayah memang benar, aku kagum pada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria.” Lam Tok menghela napas panjang. “Sayang sekali, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong maka hal itu bagus sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau sudah mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!” Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok. “Saya sudah tahu, locianpwe. Biar pun saya sudah jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun dia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa dia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong. Akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah.” Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra. “Hemmm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?” “Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, Ayah.” “Ha-ha-ha-ha-ha!” Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia terlihat gembira bukan main. “Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi engkau juga membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?” “Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, Ayah. Dia berani menolak cintaku, kemudian menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita.” Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemmm..., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku di mana dia sekarang dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!” Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata, “Sebenarnya Si Kong sudah terjatuh ke tangan kami, locianpwe. Tetapi Yin-moi melarangku ketika saya hendak membunuhnya.” Cu Yin mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela. “Kalau engkau sendiri mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, tentu aku tak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, maka terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!” Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong langsung menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya. “Hemm, sampai di manakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?” Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu. “Dia sangat lihai dan sombong sekali, locianpwe, sebab dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!” Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut bukan main. Nama julukan Pendekar Sadis bukanlah nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam merasa jeri terhadap nama besar Pendekar Sadis itu. “Hemmm, jadi dia adalah murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?” “Aku mencintanya dan juga membencinya, Ayah.” “Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Apabila dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?” Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata, “Jika dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya.” “Dan di mana sekarang dia berada?” “Dia pernah mengatakan bahwa dia pun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini.” “Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu.” “Bagaimana kalau dia menolak, locianpwe?” tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu. Lam Tok mengepal tinju tangannya. “Kalau dia tetap menolak maka dia akan mampus di tanganku!” Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah ayahnya mengambil keputusan seperti itu. “Ayah akan mendaki puncak bersama kami?” tanya Cu Yin. “Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama kalian berdua akan dapat membela diri dengan lebih baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!” “Sampai jumpa, Ayah.” Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin. Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu di mana menggeletak sepuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang itu, muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berlari cepat. Mereka adalah Si Kong dan Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kui-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dahulu melihat mayat bergelimpangan itu. “Kong-ko, lihat...!” Dia menuding ke kiri. Ketika Si Kong menengok, dia pun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan. Si Kong meraba leher satu di antara mayat-mayat itu. “Tubuh mereka masih hangat, mereka baru saja terbunuh. Lihat, darah pun masih belum kering benar.” Hui Lan ikut berjongkok memeriksa, kemudian ia pun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain. “Enam orang di antara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur. Mereka itu jelas orang-orang Kui-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini... ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka...!” “Siangkoan Cu Yin?” Hui Lan mendekati Si Kong. “Apa buktinya bahwa dia yang sudah membunuh mereka ini?” “Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap pada tubuh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin.” “Hemm, mengapa dia begini ganas dan kejam?” Si Kong menghela napas panjang, seolah-olah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin. “Ingat, dia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apa lagi kalau dia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!” Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir saja mati keracunan karena perbuatan Siangkoan Cu Yin. “Kalau dia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kui-jiauw-pang, berarti dia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya.” “Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini.” “Apa yang hendak kau lakukan, Kong-ko?” “Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk di sini hingga menjadi makanan binatang buas. Lagi pula, dengan mengubur mereka, pihak Kui-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin.” Hui Lan mengangguk dan diam-diam dia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Dia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Dia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Tanpa berkata apa-apa dia lantas membantu Si Kong menggali lubang dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati. Akan tetapi begitu mereka selesai menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba saja datang belasan orang yang mengenakan cakar setan di tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan segera tahu bahwa mereka adalah anggota-anggota Kui-jiauw-pang. “Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!” bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggota Kui-jiauw-pang yang berjumlah lima belas orang itu. “Bukan kami yang membunuh mereka,” kata Si Kong dengan tenang. “Tidak mungkin orang lain!” bentak si muka hitam. “Engkau sudah membunuh mereka dan kini berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah menguburkan mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!” Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab, “Namaku Si Kong, dan dia adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, namun bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk di sini.” “Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!” seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dan menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka. Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan, “Lan-moi, jangan membunuh orang!” Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, lantas kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan dengan tendangan kaki dan tamparan. Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang kembali, sekarang bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh. Melihat kenekatan para pengeroyok, Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya lima belas orang itu terpelanting lagi, namun sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri. Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena dia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kui-jiauw-pang biasa. Seorang dari mereka berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empat puluh tahun lebih. Orang ketiga bermuka penuh brewok, usianya lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima yang paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai. Melihat kemunculan lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lojin. Tadinya dia menyangka bahwa mereka berlima itu muncul di Kui-liong-san karena hendak ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika mereka membentak dengan suara marah, kemudian orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang. “Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggota Kui-jiauw-pang?!” Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya telah lupa dan tidak mengenalnya lagi. “Kami berdua tidak membunuh. Ada orang lain yang membunuh mereka, tetapi belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Maka terpaksa kami melawan.” “Hemm, apa kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?!” bentak si muka bopeng. Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu menjadi penasaran, dan dia yang menjawab dengan suara lantang, “Kalian mau percaya atau tidak, terserah kepada kalian! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!” Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian, yaitu yang paling muda di antara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai. “Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Di antara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, bahkan sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan. Bukankah itu baik sekali?” Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia telah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras. “Heii, kamu ini anjing dari mana berani menggonggong?!” bentaknya sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing! “Bhe Song Ci, apa yang sedang kau lakukan? Sadarlah!” bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat. Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih terus menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, lalu rebah sambil membelalakkan matanya. “Kenapa kalian merobohkan aku?” Dia seperti orang habis bangun tidur. Melihat adiknya itu telah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Ia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya kenapa kakak-kakaknya menotoknya. Tadi dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu. Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian, tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga mempunyai pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk mempermainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya. “Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?!” Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan. Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apa lagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong. Akan tetapi sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan, puteri pendekar besar Tang Hay yang biar pun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan segera mengelak dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu dia pun dapat mengukur ilmu kepandaiannya. Memang lawannya bukan orang biasa dan mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi dia tahu pula bahwa dia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka dia pun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka! Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya. Pedang itu lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi dia menjadi sangat terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah hampir mengenai sasaran, namun pada kenyataannya selalu luput! Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Sepasang kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi serangan pedang lawannya selalu dapat dielakkan dengan mudah! Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Bagi dia, gadis itu kelihatan seperti menunggu datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu segera melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci terus menyerang, kini mengerahkan seluruh tenaganya sehingga serangannya makin kuat dan cepat. “Haiiiitttt...!” Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya. Sebelum dia sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan sudah menendang dari belakang. “Bukkk!” Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas. “Mampuslah!” Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut. Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh sambil mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan kepalang. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkang-nya dalam tendangannya. “Desss...!” Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya sudah menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi......

jilid 17


SEMENTARA itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik, “Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian, yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng Lojin.” Mendengar ini Hui Lan mengerutkan sepasang alisnya dan mukanya menjadi kemerahan. Kedua tangannya bergerak ke punggung dan di lain saat dia sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluar sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali. “Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu ke Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin? Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!” Lima orang itu terkejut sekali mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas dia begitu lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu, tetapi akhirnya mereka semua mendapat luka dalam yang amat hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya. Akan tetapi mereka masih tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimana pun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belum berpengalaman. “Serbu! Bunuh bocah sombong ini!” Bentak Ciok Khi. Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang ke dua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ke tiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Dilihat keadaannya seakan-akan seekor domba muda yang dagingnya lunak dikepung oleh lima ekor serigala yang kelaparan dan haus! Hui Lan tak menjadi gentar. Kembali dia mengerahkan kekuatan sihirnya lalu membentak, “Kalian berlima berlututlah!” Mendengar bentakan ini, dua di antara mereka langsung menekuk lututnya, tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka. Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat. Di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, maka dia pun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada. Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia melepaskan caping yang tadi menutupi kepalanya. Dia pun berkata, “Ha-ha-ha-ha, kalian berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini maju berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!” Sesudah berkata demikian dia memungut sebatang kayu ranting pohon, kemudian sekali melompat dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkat rantingnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya. “Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang,” bisik Si Kong. Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali begitu mendengar bahwa lima orang itulah yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat dia berkeinginan untuk membunuh mereka, sekarang mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar. Dia pun mengangguk lantas berbisik kembali. “Baiklah, Kong-ko.” Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, sekarang tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, ke dua dan ke tiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang ke empat dan ke lima. Belasan orang anggota Kui-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju lagi dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu. Namun pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok. Meski pun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, akan tetapi pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap kali pedang mereka bertemu tongkat, mereka langsung merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka. Keadaan Hui Lan lain lagi. Biar pun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat dia dihujani serangan sehingga kedua pedangnya menjadi senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi tiga orang pengeroyok itu pun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus. Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong langsung mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah menjadi desakan yang amat kuat kepada dua orang pengeroyoknya. Dua orang itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan dalam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan. Sambil berloncat-loncatan Bwa Koan Si memegang sebelah kakinya yang terpukul, tidak mempedulikan lagi pedang yang terpaksa dilepaskannya karena tangan kanannya sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan main nyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya. Sedangkan Bhe Song Ci juga terpaksa harus melepaskan pedangnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Ia pun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi. Si Kong tidak lagi mempedulikan dua orang itu, melainkan segera menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan itu menjadi kacau balau. Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng dapat melihat betapa dua orang rekannya sudah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam dia terkejut sekali dan segera maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu ternyata tidak kalah lihai dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka dia pun memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, ada pun dia sendiri masih terus menyerang Hui Lan dengan ganasnya. Akan tetapi dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Dan kini, ketika hanya seorang diri melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat. Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya. Ciok Khi merupakan orang tertua dan yang terlihai di antara lima orang Bu-tek Ngo-sian. Ia merasa amat penasaran karena tak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkannya semua ilmu silat yang dikuasainya. Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan Ta-kauw Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, begitu cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya. Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka. Akan tetapi kini Si Kong tak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan satu orang saja, maka dia tak mau mengeroyok. Apa lagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya. Dugaan Si Kong memang tepat sekali. Pada waktu Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah ke pinggang, Hui Lan menggerakkan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel hingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedang kanannya dari atas ke bawah sehingga mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu. “Trakkk...!” Pedang di tangan Ciok Khi patah menjadi dua potong! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah. Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima segera pergi meninggalkan tempat itu. Belasan orang anggota Kui-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka. “Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuh rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Bila kami menghendaki, sekarang juga kalian telah mati semua. Nah, sekarang sesudah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka.” Belasan orang itu merasa sangat bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. *************** Di puncak Kui-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang, semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan akan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Pada hari itu ketiga pangcu dari Kui-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kun pun ikut pula berbincang-bincang. “Sebentar lagi keadaan di tempat ini akan menjadi ramai sekali,” demikian antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata. “Bukan saja banyak orang yang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan waktunya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa di antara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan Datuk Terkuat Di Dunia. Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok.” Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Dia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang sangat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apa pun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya? Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka dia pun cepat berkata, “Semua orang akan datang memusuhi aku karena hendak merampas Pek-lui-kiam. Tentu Pek-lihiap tidak keberatan untuk membantuku jika mereka terlampau mendesakku.” Bwe Hwa hanya mengangguk, akan tetapi sulit untuk menjawab. Dia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau dia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang dikenal sebagai manusia-manusia jahat. Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, juga memperlakukannya dengan hormat dan ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka. Sebab itu dia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, dia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja dia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang dia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam. Agaknya ucapan Ang I Sianjin serta sikap Bwe Hwa itu sudah menarik perhatian Toa Ok. “Ha-ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia. Akan tetapi jika yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?” Bwe Hwa terpaksa menjawab. “Memang demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi dalam urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku takkan tinggal diam.” Baru mereka bercakap-cakap itu, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut sekali. “Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?!” bentak Toa Ok. Memang sudah lama Bu-tek Ngo-sian menjadi pembantu-pembantunya. “Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kami tadi melihat betapa beberapa orang anggota kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang ilmu silatnya amat lihai. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri.” “Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?” tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran. Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apa lagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin kelima orang pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis? Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang. Ciok Khi yang paling tua di antara mereka kemudian menjawab dengan takut-takut, “Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana.” Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah padam karena marah. “Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!” Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri, sementara itu Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak. Akan tetapi baru saja mereka tiba pada lereng pertama, tiba-tiba mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dengan sepasang golok besar yang menempel di punggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata, “Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada di sini pula! Di mana Toa Ok? Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa di antara kita yang paling lihai!” Ji Ok sendiri terkejut bukan kepalang melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah salah satu di antara empat datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia. “Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kun telah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu di puncak Kui-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih ada urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami.” “Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kui-liong-san, di tangan ketua Kui-jiauw-pang. Siapakah ketua Kui-jiauw-pang?” “Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang juga berada di sini,” jawab Ji Ok. “Ha-ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!” Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada di situ bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Bia pun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak, “Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Walau pun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!” Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu. “Hemm, kalau tak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Agaknya engkaulah orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam kepadaku sekarang juga, maka terpaksa aku akan menghajar kalian!” “Manusia sombong, siapa takut kepadamu?” bentak Sam Ok dan dia segera menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong. Orang yang diserang itu masih sempat tertawa. Akan tetapi ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, dia pun segera melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya untuk menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok. “Desss...!” Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kui-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong telah membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu segera maju selangkah. “Pai-ong, aku yakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Kini belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada di sini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kui-liong-san. Kalau ternyata engkau yang paling lihai di antara semua datuk, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!” Pai-ong tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena di sini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata akulah yang paling kuat di antara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik. “Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu amat berbahaya, masih untung bahwa engkau tak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat.” Ang I Sianjin mengangguk. “Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya.” Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat di mana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi di situ. Yang ada di sana hanyalah orang-orang Kui-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka. “Ke mana perginya pemuda dan gadis itu?” tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para pimpinan itu marah-marah, para anggota Kui-jiauw-pang menjawab dengan takut-takut. “Mereka telah pergi entah ke mana.” “Apakah kalian tadi menanyakan namanya?” tanya Sam Pangcu. “Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya.” Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lantas mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu. **************** Telah dua minggu lamanya Pek Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan di puncak Kui-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa dia ingin segera pergi dari situ. “Jangan tergesa-gesa dulu, Hwa-moi. Di sini kita diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?” kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar bagaikan mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba. Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Sudah beberapa kali dia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam dia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya. Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat dia menjadi ragu-ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini dia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya. “Justru karena pimpinan Kui-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu di balik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji.” “Aih, kengapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu? Bahkan mereka telah menyerahkan pedang Pek-lui-kiam kepadamu!” “Hal itu justru membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tidak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang.” “Hemmm, kalau begitu aku tidak dapat membantahmu, Hwa-moi. Tetapi jangan sekarang kita pergi, tunggulah beberapa hari lagi kalau mereka sedang bergembira.” “Baiklah, aku akan menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal di sini, engkau tinggallah di sini dan aku akan turun puncak seorang diri.” Percakapan itu membuat Leng Kun merasa amat gelisah. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kui-jiauw-pang. Pada saat mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri sebagai See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat), dan di Pek-lian-kauw mereka memperoleh kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai. Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Buddha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap sebagai pengkhianat dan sesudah menjadi buronan, empat orang ini lantas masuk menjadi anggota Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas dengan tali sutera putih. Mula-mula Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggota Pek-lian-pai juga, supaya pergi ke Kui-jiauw-pang dan membantu Kui-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Sesudah Leng Kun berada di Kui-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka para pimpinan perkumpulan pemberontak itu langsung mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kui-jiauw-pang, sambil membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai. See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kui-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kui-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka. Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun. “Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang di sini? Kalian dapat membantu aku!” See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan setelah duduk Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun. “Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?” “Kami baru saja membicarakan mengenai nona Pek Bwe Hwa yang mulai curiga terhadap kita dan ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil. Kita dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak.” “Apa yang harus kami lakukan?” “Sebaiknya kita merundingkan hal itu di ruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini.” Toa Ok tertawa. “Ha-ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan supaya menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!” Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruang lain dan di situ mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, maka selanjutnya gadis itu tentu akan taat kepadanya. *************** Malam itu sungguh gelap dan sunyi. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi. Bwe Hwa sudah tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja dia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi dia bermimpi. Di dalam mimpi itu dia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya dia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu dia tergugah dari tidurnya. Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Dia bangkit duduk lantas menghapus keringat dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba saja timbul hasrat di hatinya untuk mencari Leng Kun! Entah mengapa dia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi dia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu dia melangkah keluar. “Kun-ko...” Dia berbisik. Pada saat dia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan mendadak Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Dia merasa heran kenapa dia berada di luar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar dia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tidak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun. “Jahanam...!” bisiknya. Dia pun cepat menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu sudah berhentu dan dia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah ketika dia teringat betapa tadi dia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya. Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun lantas memakinya, karena dia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya. Akan tetapi kesadarannya membuat dia mencegah perbuatan ini. “Tidak,” katanya kepada diri sendiri. “Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini.” Maka dia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu dia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil. “Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk.” Daun pintu segera terbuka karena memang tidak dikunci, dan dari dalam muncullah Leng Kun. Akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ. Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya. Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walau pun dia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat dia tanpa sengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Dia sudah memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan. “Coa Leng Kun, apa yang kau lakukan bersama empat orang pendeta itu?!” bentak Bwe Hwa dengan marah. “A... apa... maksudmu?” tanya Leng Kun dengan gelagapan karena terkejut dan bingung. Gadis itu sama sekali tidak berada dalam pengaruh sihir seperti yang disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Tadi dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu. “Hemm, tidak perlu pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini sudah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!” Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Tampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu. Melihat ini Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara. “Su-wi totiang, tolonglah aku!” Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga menyangka bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu di luar pintu. Mereka cepat berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing..... Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui untuk menundukkan gadis ini karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang sudah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Maka mereka lalu mempergunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun. Melihat empat orang pendeta itu berloncatan kemudian mengepungnya dengan pedang di tangan dan Leng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya. Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata, “Su-wi totiang, tangkap dia hidup-hidup untukku!” Bukan main marahnya Bwe Hwa. Dia segera melompat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya. Akan tetapi Leng Kun cepat menghindar dan empat orang tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru. Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan dia terkejut. Ternyata empat orang tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Dia dapat celaka kalau dia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun,. Maka dia mengambil keputusan dengan cepat. cerita silat online karya kho ping hoo Dia menggunakan jurus terampuh dari Kwan-im Kiamsut sehingga empat orang tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini digunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu. “Kejar dia...!” terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biar pun cuaca hanya remang-remang disinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan. Penjagaan pada waktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur dari pada yang terjaga. Sedikit penjaga itu pun tidak ada yang berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka. Sesudah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya. Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang sangat lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kui-jiauw-pang dengan wajah lesu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa. Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Dia maklum bahwa kalau dia dapat tersusul hingga terpaksa harus melayani serangan mereka maka dia akan kalah. Apa lagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu. Setelah fajar menyingsing barulah Bwe Hwa merasa lega dan dia tidak melihat ada orang yang memburunya. Dia mengaso di balik semak belukar dan menarik napas karena lega. Kemudian dia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya. Bagaimana pun juga tidak sia-sia dia menjadi tamu Kui-jiauw-pang karena kini dia sudah mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi dia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Dia sama sekali tak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, juga bersikap halus itu, ternyata hanya seekor serigala berkedok domba. Kini dia akan bersembunyi dahulu dan kalau sudah yakin bahwa dia tidak dikejar, barulah dia akan menuruni puncak gunung lantas membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada ayah ibunya. Ahh, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah. Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa pun merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Dia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melanjutkan perjalanan. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang dikenal Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam! Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam, lantas memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja dia tidak akan menyerah. “Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi kenapa engkau melarikan diri? Menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri," Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus. Akan tetapi ucapan itu justru menambah kebencian hati Bwe Hwa. Seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis! "Coa Leng Kun, manusia jahat, sampai mati pun aku tidak akan menyerah!" Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukan ke arah dada. "Tranggg...!" Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia pun terhuyung karena dalam serangannya tadi Bwe Hwa sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya. Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk. Akan tetapi dia segera dikepung oleh lima orang itu dan betapa pun lihainya, dikeroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan sehingga dia segera terdesak. Dalam keadaan terdesak ini Bwe Hwa lalu teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Dia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka dia pun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat dia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar berkilat ketika dia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memutar Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan. Dengan pengerahan tenaga dia menangkis hujan senjata dari lima orang pengeroyoknya itu, dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan dapat merusak senjata para pengeroyoknya. "Tranggg...! Tranggg...! Tranggg..!" terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya. Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya segera berubah setelah melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah menjadi dua potong! Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa dia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Jika pedang asli tidak mungkin patah bila bertemu dengan senjata lawan. Apa bila selemah itu, tidak mungkin pedang itu dijadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw. Dia pun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali dia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi. Tubuh Bwe Hwa telah basah oleh keringatnya sendiri. Dia terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat dia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia memainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat dia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok. Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa sering kali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang. Dalam keadaan yang sangat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu, "Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!" Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan. Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu ke arah lima orang pengeroyok itu. Mereka terkejut sekali dan segera berlompatan ke belakang agar dapat melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu. Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan dia mengerutkan alisnya ketika melihat Leng Kun. Dia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika dia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Dia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang tosu yang lihai! "Nona Tang.., engkaukah ini?" Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur. "Benar aku! Dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!" jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung dia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab. "Adik Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang yang baik dan lembut, sebenarnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!" "Coa-sicu, siapakah gadis ini?" tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun. “Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!" "Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu mari kita bunuh dua orang gadis puteri musuh kita ini!" bentak Kui Hwa Cu kemudian dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi. Akan tetapi Hui Lan yang langsung meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak, maka dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menghadapi Bwe Hwa. "Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?" Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan tetapi hanya menonton saja di bawah pohon. Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, dia pun berseru, "Kong-ko, bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!" "Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!" kata Si Kong. Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena sepak terjang gadis ini begitu hebat. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apa lagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan. "Pergi..!" Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka. "Awas! Menghindar!" teriak Si Kong. Dua gadis itu mentaati aba-aba ini, cepat meloncat ke belakang dan berlindung di belakang pohon besar. "Darrrr...!" Begitu menyentuh tanah benda itu segera meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal. Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkang-nya, kedua tangannya mendorong ke depan. Asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas sehingga tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu telah lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi. Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam dia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang dia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika dia membantu ketua Hek I Kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut karena pemuda itu segera berpamit dan pergi. "Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?" "Kami memang sedang melakukan penyelidikan ke bukit Kui-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?" "Panjang ceritanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka." "Aihh, di antara kita mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Aku pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira ternyata dia adalah seorang yang berwatak jahat." "Aku sendiri pun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanya naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua Kui-jiauw-pang, maka dia lalu mengajak aku menemui para pimpinan Kui-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kui-liong-pang itu kemudian menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka sudah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!" "Ahhh...!" Hui Lan berseru. “Ternyata semua itu bohong belaka! Hanya tipuan saja! Tadi malam empat orang tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir itu maka dapat membebaskan diri dari pengaruhnya. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir kemudian diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka. Aku lalu mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadapku dan di kamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu lantas mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Maka aku terpaksa melarikan diri sampai di sini. Sesudah fajar aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kemari dan kembali aku dikeroyok di sini sampai engkau muncul membantuku." "Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?" tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa. "Itu hanya pedang Pek-lui-kiam palsu!" kata Bwe Hwa, kemudian memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu. "Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!" Si Kong memeriksa dua potong pedang itu. "Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu sudah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka." "Yang menjadi ketua Kui-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu mengenakan jubah merah. Di samping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kui-jiauw-pang kurang lebih berjumlah seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang tosu itu." “Kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko. Ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kui-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin." "Memang kedudukan mereka kuat sekali," kata Si Kong dengan tenang. "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka." "Sudah pasti, Kong-ko!" kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam. "Lihat saja pedang palsu ini. Jika mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang asli, bagaimana mereka bisa membuat yang palsu? Sekarang aku baru tahu kenapa semudah itu mereka menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Kiranya mereka hanya hendak mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!” Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya. "Siapakah Coa Leng Kun itu sesungguhnya? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat orang tosu itu, dari manakah mereka?" "Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lojin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana." Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata, "Empat orang tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw." "Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipakai untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?" tanya Hui Lan sambil menatap wajah Si Kong. “Kalau begitu Kui-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?” tanya Bwe Hwa. “Kemungkinan itu dapat saja terjadi. Datuk-datuk besar semacam Toa Ok dan Ji Ok telah menguasai perkumpulan kecil seperti Kui-jiauw-pang. Untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?” kata Si Kong. “Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggota Pek-lian-kauw?” tanya Bwe Hwa. “Bisa jadi,” kata Si Kong. “Kedudukan mereka kuat sekali. Jika sekarang kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, tentu kita akan kalah kuat.” “Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam diri saja dan membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?” tanya Bwe Hwa penasaran. “Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu kini mereka telah melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam goa yang kami temukan di bawah lereng ini.” “Benar, enci Bwe Hwa. Goa itu cukup besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita untuk sementara ini. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke puncak Kui-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biar mereka naik dulu dan bertanding dengan pimpinan Kui-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi pengeroyokan orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,” kata Hui Lan yang menyetujui usul Si Kong. Demikianlah, tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang dimaksudkan tanpa halangan. Seperti yang dikatakan Si Kong tadi, tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Goa itu lebar dan dalam sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tidak jauh dari sana, di sebelah kiri goa, terdapat air pancuran yang jernih sekali. Goa itu tertutup oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Si Kong dan Hui Lan menemukan goa itu tanpa sengaja. Mereka berdua tengah memburu kijang yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa mereka menemukan goa itu. Bwe Hwa juga amat senang melihat goa itu yang lantainya telah ditutup rumput dan daun kering. Pada malam hari mereka dapat membuat api unggun di dalam goa untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin sekali mandi dan bertukar pakaian. “Kau mandilah dulu, enci Bwe Hwa. Biar aku menyusul sesudah engkau selesai mandi,” kata Hui Lan. Bwe Hwa lantas membawa pakaian bersih ke pancuran air yang tertutup semak sehingga tak terlihat dari goa, kemudian gadis ini mandi membersihkan dirinya. Perasaan bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa dia bersenandung. Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong. “Engkau sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan? Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?” Si Kong mengangguk. “Mengenal baik sih belum karena baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat bertanding karena kesalah pahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat, maka aku menyerbu ke sana. Sebaliknya Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang karena ketua perkumpulan itu kenalan ayahnya dan dia sedang mencari keterangan mengenai Pek-lui-kiam. Karena kesalah pahaman ini kami lalu bertanding akan tetapi dia segera mengenal ilmu silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan.” “Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?” Si Kong memandang tajam. “Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?” “Karena aku ingin tahu pendapatmu tentang dia, apakah cocok dengan pendapatku.” Si Kong tersenyum. “Ahhh, mudah saja menilai Bwe Hwa. Dia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia pemberani pula.” Hui Lan mengangguk-angguk. “Tepat, memang dia cocok sekali dengan engkau Kong-ko.” Si Kong tertegun. “Cocok? Apa maksudmu, Lan-moi?” “Maksudku bahwa dia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!” Si Kong terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan. “Ahh, engkau ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!” dia menegur halus serius. Akan tetapi Hui Lan masih berkata, “Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan pasangan yang setimpal, Kong-ko. Kalau ada gadis yang pantas mendampingimu, maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!” “Aihhh, jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan merasa malu,” kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena terdengar suara Bwe Hwa memangggil. “Adik Hui Lan, aku sudah selesai! Ke sinilah menggantikan aku mandi!” Terdengar langkah kaki Bwe Hwa yang berlari ke arah goa. Hui Lan segera bangkit dan mengambil pakaian pengganti. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerah-merahan, rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi telah dicucinya. “Wah, airnya jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!” katanya gembira. “Benar-benar beruntung sekali aku dapat bertemu dengan kalian.” “Aku hendak mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko di sini, enci Bwe Hwa!” kata Hui Lan yang cepat berlari menuju ke pancuran air. “Ahh, rambutku masih basah dan awut-awutan!” Bwe Hwa berkata sambil tersenyum dan menggosok-gosok rambut kepalanya dengan sehelai kain. “Tentu jelek sekali seperti iblis betina. Benar tidak, Kong-ko?” Ditanya begitu terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam panjang yang terurai itu. Dia pun terpaksa menjawab sejujurnya. “Rambutmu indah sekali, Hwa-moi!” “Aihh, benarkah itu?” “Aku berkata dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja.” Bukan main girangnya hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya? Bwe Hwa lantas menggelung rambutnya setelah mengeringkannya dengan kain. Sungguh sedap dipandang bila mana wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apa lagi wanita secantik Bwe Hwa. Sambil menyusut mukanya dengan kain Bwe Hwa memandang kepada Si Kong. Ternyata pemuda itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama karena takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa. “Kong-ko, engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan? Engkau melakukan perjalanan ke sini bersama-sama dan tentu sudah mengalami banyak hal bersama pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?” “Kurang lebih setengah bulan,” jawab Si Kong sebenarnya. “Ia seorang gadis yang amat lihai dan juga memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bukan?” “Memang dia lihai, mewarisi ilmu-ilmu ayah ibunya.” Kembali Si Kong menjawab dengan wajar, namun hatinya mulai heran mengapa Bwe Hwa bicara tentang Hui Lan dan tadi Hui Lan bicara tentang Bwe Hwa. Benar mirip sekali watak dua orang gadis ini. Si Kong memandang wajah Bwe Hwa dan melihat dagu yang indah itu terhias tahi lalat yang membuat dia nampak semakin manis. Namun hanya sebentar Si Kong memandang, lalu menunduk lagi. “Dan dia cantik jelita! Jarang sekali ada gadis secantik dia yang memiliki ilmu kepandaian setinggi itu. Betulkah, Kong-ko?” Heran bin ajaib, pikir Si Kong. Kenapa sama benar arah percakapan Bwe Hwa ini dengan Hui Lan tadi? Seolah-olah mereka berdua telah bersepakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Terpaksa kembali dia menjawab sejujurnya. “Betul, memang dia cantik jelita dan lihai.” “Ya, aku tahu. Memang dia paling cocok kalau mendampingimu, menjadi pasanganmu!” Si Kong tertegun. Mengapa persis benar? “Apa... apa maksudmu dengan ucapan itu, Hwa-moi?” “Tanpa kau akui aku pun sudah dapat menerka, Kong-ko. Dahulu engkau begitu tergesa meninggalkan aku sehingga aku tak sempat bicara banyak. Engkau begitu angkuh! Akan tetapi sekarang engkau melakukan perjalanan bersama Hui Lan sampai setengah bulan. Itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bahwa engkau dan Hui Lan saling mencinta. Benar bukan?” Bwe Hwa kini menatap wajah Si Kong dengan tajam penuh selidik. “Ahh, tidak sampai demikian jauh, Hwa-moi. Kami melakukan perjalanan bersama karena kebetulan saja, yaitu kami berdua memiliki keinginan yang sama untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Harap jangan menyangka yang bukan-bukan!” “Aihh, Kong-ko, aku dapat melihat pandangan mata Hui Lan begitu bersinar penuh cinta ketika memandangmu. Hui Lan mencintamu, itu sudah jelas.” “Aku tidak tahu akan hal itu, Hwa-moi.” “Jangan pura-pura, engkau sendiri juga mencintanya, bukan?” “Ahh, aku tidak tahu, Hwa-moi. Aku belum pernah memikirkan tentang hal itu. Aku adalah murid mendiang Ceng Lojin, sedangkan Hui Lan adalah cucu buyutnya, maka aku merasa seperti melakukan perjalanan dengan saudara sendiri.” Percakapan itu terhenti oleh panggilan Hui Lan. “Kong-ko, aku sudah selesai, engkau mandilah!” “Baik, engkau kembalilah ke sini, Lan-moi. Aku akan segera menggantikanmu.” Si Kong menyambar buntalan pakaiannya, lalu cepat pergi dari situ ketika melihat Hui Lan datang memasuki goa itu. Dia merasa tidak enak kalau berada di dalam goa menghadapi dua orang gadis itu....

jilid 18


Hui Lan menduga bahwa dia tertarik kepada Bwe Hwa dan sebaliknya Bwe Hwa menduga bahwa dia mencinta Hui Lan. Dia merasa seperti seekor domba yang akan diperebutkan oleh dua ekor singa betina! Dia memang kagum kepada Hui Lan, akan kecantikan dan kelihaiannya. Akan tetapi dia juga kagum kepada Bwe Hwa. Tidak terbayangkan olehnya tentang cinta! Orang seperti dia, hidup sebatang kara, tanpa sanak kadang, miskin tidak mempunyai apa-apa, seorang petualang miskin, bagaimana dapat memikirkan tentang cinta apa lagi perjodohan? Kalau pun ada perasaan cinta masuk ke dalam hati dan akal pikirannya, seketika akan diusirnya dengan penuh kesadaran bahwa perjodohan bukanlah milik seorang kelana miskin seperti dia. Si Kong mandi sambil berpikir. Memang tadi dia sengaja membawa buntalan pakaiannya karena dia merasa tidak tahan lagi kalau menghadapi dua orang gadis yang seakan-akan saling cemburu itu. Akan tetapi hatinya masih meragu apakah sikapnya tidak terlalu kaku terhadap dua orang gadis itu kalau dia meninggalkan mereka! *************** Sementara itu Bwe Hwa memandang Hui Lan yang baru selesai mandi dengan pandang mata iri. Dalam pandangannya Hui Lan cantik sekali dan inilah yang membuat dia merasa iri. Dia hampir merasa yakin bahwa Si Kong dan Hui Lan saling mencinta. Kalau memang benar demikian, dia harus mengalah. Akan tetapi siapa tahu Si Kong benar-benar belum jatuh cinta kepada Hui Lan seperti yang dikatakan tadi. Kalau benar demikian, masih ada kesempatan baginya untuk mengharapkan pemuda itu dapat mencinta dirinya. “Adik Hui Lan, engkau nampak cantik sekali sehabis mandi dengan rambut terurai itu.” Hui Lan memandang kepada Bwe Hwa sambil tersenyum. “Terima kasih, enci Bwe Hwa. Engkau sendiri juga cantik bukan main.” Hui Lan duduk di atas lantai dan mengeringkan rambutnya. “Hemm, setiap orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepadamu, Hui Lan!” Bwe Hwa tersenyum. Hui Lan mengangkat muka menatap wajah Bwe Hwa lantas berkata, “Ihh, enci Bwe Hwa. Mengapa engkau berkata begitu? Aku tidak peduli ribuan orang pria jatuh cinta kepadaku. Tetapi demikian pula engkau, tentu mudah merobohkan hati pria yang mana pun dengan kecantikanmu dan kepandaianmu.” “Aku tak akan merobohkan hati pria mana pun, adik Lan. Akan tetapi jelas nampak olehku betapa engkau saling mencinta dengan Si Kong! Hayo sangkallah kalau kata-kataku tidak benar!” Biar pun dalam nada suaranya terdengar pahit, namun Bwe Hwa memandang Hui Lan dengan senyum manis. Hui Lan menghentikan kedua tangannya yang sejak tadi menggosok untuk mengeringkan rambutnya dengan kain. Dia menatap wajah Bwe Hwa dengan mata terbelalak, kemudian menggelung rambutnya seolah tidak pernah mendengar kata-kata Bwe Hwa tadi. “Bagaimana, Lan-moi? Kata-kataku tadi benar, bukan? Mudah saja bagiku untuk melihat bahwa engkau mencinta dia dan dia pun mencintamu. Jawablah!” Hui Lan menyelesaikan gelung rambutnya, lalu dia memandang Bwe Hwa dengan wajah serius. “Enci Bwe Hwa, aku tidak perlu berbohong kepadamu. Engkau mengatakan bahwa aku mencinta Kong-ko, memang hal itu tidak perlu kusangkal. Memang benar aku kagum dan tertarik sekali kepada Kong-ko, akan tetapi itu tidak berarti bahwa dia pun suka kepadaku. Tetapi aku pun dapat menduga bahwa engkau juga suka dan kagum kepadanya, bahwa engkau mencintanya, enci Bwe Hwa!” Wajah Bwe Hwa berubah menjadi kemerahan, akan tetapi sebagai seorang gadis yang gagah perkasa dia tidak berpura-pura. Seperti juga Hui Lan dia berani mengakui apa yang tersembunyi di dalam hatinya. “Terus terang saja, dugaanmu itu benar, Lan-moi. Belum pernah aku tertarik kepada pria kecuali dia. Akan tetapi apakah dia suka kepadaku, hal ini masih belum dapat diketahui.” Hening sejenak. Dua orang gadis perkasa dan cantik jelita itu menundukkan muka dengan alis berkerut. Mereka menyadari bahwa di antara mereka sudah terdapat jurang pemisah yang ditimbulkan oleh rasa cinta mereka terhadap seorang pemuda! Mereka seakan-akan menjadi saingan. “Ternyata kita mencintai orang yang sama, Lan-moi. Benar-benar sebuah kenyataan yang pahit sekali. Tidak mungkin kita memperebutkan hati seorang pria. Sekarang begini saja, Lan-moi. Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang dicinta oleh Kong-ko maka dialah yang berhak menjadi pasangannya. Yang tidak dicinta harus suka mengalah. Bagaimana pendapatmu?” Kedua pipi Hui Lan berubah kemerahan. Bwe Hwa sudah bicara dari hati ke hati, secara terbuka dan sejujurnya. Dia harus menghargai sikap ini, walau pun terdengar memalukan dua orang gadis membicarakan cintanya terhadap seorang pemuda! Namun dia dapat menghargai kejujuran Bwe Hwa. Dalam urusan hati seperti ini memang sebaiknya kalau mereka berdua bersikap terbuka dan jujur sehingga tidak menimbulkan dendam di antara mereka seperti kalau hal itu tidak dibicarakan sejujurnya dan disimpan menjadi rahasia sehingga mereka berdua akan saling cemburu. “Lega hatiku mendengar keterbukaan, enci Bwe Hwa. Dengan kejujuranmu ini kita berdua tak perlu saling bersaing dan saling cemburu. Aku setuju dengan pendapatmu. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kita lihat saja nanti siapa di antara kita yang dicinta Kong-ko.” “Aku juga girang dengan kejujuranmu, adikku!” Bwe Hwa merangkul Hui Lan dan mereka saling berangkulan dengan hati lega dan terharu. Setelah lama mereka menanti munculnya Si Kong namun pemuda itu belum juga datang, mereka merasa heran. Hui Lan lalu bangkit dan berjalan keluar goa, diikuti oleh Bwe Hwa. “Kong-ko, sudah selesaikah engkau mandi?!” Hui Lan berteriak lantang. Akan tetapi tidak terdengar jawaban. “Kong-ko, di mana engkau?!” teriak Bwe Hwa pula sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh. Akan tetapi teriakan Bwe Hwa ini pun tidak memperoleh jawaban. Suasananya sunyi saja. Matahari telah naik di langit timur dan kedua orang gadis itu saling pandang dengan hati heran. Mereka berdua berseru kembali beberapa kali untuk memanggil Si Kong, namun tetap saja tidak ada jawaban. “Hatiku merasa tidak enak, Lan-moi. Mari kita lihat di pancuran air,” kata Bwe Hwa. Dua gadis itu lalu pergi ke tempat pancuran air di mana mereka tadi mandi dan mencuci pakaian. Akan tetapi tidak nampak Si Kong di sana. Mereka lalu memandang ke kanan kiri sambil berteriak memanggil nama Si Kong. “Enci Bwe Hwa, lihat di sana itu!” kata Hui Lan. Bwe Hwa menengok dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hui Lan. Pada tanah padas yang berbentuk dinding nampak coretan-coretan. Mereka berdua lalu melompat mendekat dan benar seperti dugaan mereka, coretan-coretan itu merupakan huruf-huruf yang diukir pada tanah padas itu. Kedua orang gadis itu berlomba membacanya dengan hati khawatir. “Seekor burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain di udara bebas dan merdeka tak terikat apa pun juga!” Setelah membaca tulisan di tanah padas itu, Hui Lan dan Bwe Hwa merasa betapa tubuh mereka menjadi lemas. Mereka berdua mengerti benar bahwa Si Kong memang sengaja menjauhkan diri dari mereka, karena merasa tidak berharga untuk berdekatan lebih lama dengan mereka yang disebut burng-burung Hong yang mulia. “Kong-ko...!” hampir berbareng mereka menyerukan nama ini, lalu mereka menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil termenung. “Enci Bwe Hwa, agaknya dia... dia telah mendengar percakapan kita di...” Bwe Hwa mengangguk. “Kong-ko adalah seorang pemuda yang sangat rendah hati sekali. Dari tulisannya itu kita tahu bahwa dia tidak mencinta kita, menganggap diri terlalu rendah untuk mencinta kita. Seperti pernah kukatakan, Lan-moi, cinta tidak mungkin dipaksakan! Cinta tidak mungkin hanya terjadi sepihak saja. Sekarang bagaimana kehendakmu, Lan-moi?” “Kita cari pedang Pek-lui-kiam, enci Bwe Hwa.” “Benar, mari kita mencari pedang pusaka itu dan siapa pun yang mendapatkannya harus menyerahkan pedang itu kepada Kong-ko.” “Ahh, betapa mendalam rasa cintamu. Meski pun tidak mendapat sambutan engkau tetap memikirkan dia! Akan tetapi pendapatmu itu memang tepat. Aku pernah mendengar dari Kong-ko bahwa dia hendak mencari pedang itu untuk dikembalikan kepada seorang gadis bernama Tan Kiok Nio yang kini tinggal di kota Ci-bun.” Bwe Hwa mengerutkan alis. “Pedang itu akan diserahkan kepada seorang gadis? Apakah gadis itu...” Dia tidak melanjutkan dan Hui Lan segera menjelaskan. “Jangan menyangka bahwa Kong-ko jatuh cinta kepada gadis itu, enci Bwe Hwa. Gadis itu adalah puteri mendiang Tan Tiong Bu yang tadinya menjadi pemilik pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tan Tiong Bu tewas oleh seseorang dan ada dugaan bahwa pembunuhnya adalah Ang I Sianjin yang kemudian mencuri pedang itu. Nah, gadis itu minta pertolongan Kong-ko untuk mencari pembunuh ayahnya dan merampas kembali pedang pusaka milik mendiang ayahnya itu.” Bwe Hwa mengangguk-angguk. “Tidak mengherankan kalau demikian. Kong-ko memang memiliki watak yang budiman dan tangannya selalu terbuka untuk menolong siapa saja. Kalau begitu sebaiknya kita berpisah, Lan-moi. Kita mendaki secara terpisah dan marilah kita berlomba untuk mendapatkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu. Siapa yang berhasil memperolehnya tentu akan menyerahkannya kepada Kong-ko dan siapa tahu hal itu akan melunakkan hatinya.” Hui Lan tersenyum dan dia makin yakin bahwa cinta Bwe Hwa terhadap Si Kong memang mendalam sekali. Dia hanya menghela napas dan berkata, “Baiklah, mari kita mengambil jalan masing-masing. Aku tidak akan merasa menyesal kalau ternyata engkau yang akan dapat menguasai pedang itu.” Setelah berkemas dua orang gadis itu lalu meninggalkan goa dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan mengambil jalan terpisah. *************** Si Kong berjalan seorang diri sambil termenung. Dia terpaksa meninggalkan dua orang gadis yang sangat dikagumi dan disukanya sesudah mendengar percakapan mereka. Dia mendengarkan itu tanpa disengaja. Ketika sedang mandi dia telah memikirkan bahwa sebaiknya dia berpamit dari mereka dan mencari jalannya sendiri. Akan tetapi ketika dia mendekati goa, dia mendengar dua orang gadis itu bercakap-cakap mengenai dirinya. Dia menjadi bingung dan bersedih sekali. Tak disangkanya dua orang gadis itu menaruh hati kepadanya. Bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta kasih seorang gadis seperti mereka yang menjadi puteri pendekar besar, serba kecukupan? Apalagi diperebutkan antara dua orang gadis yang dikaguminya itu. Dia merasa bahwa sebagai seorang kelana miskin dan yatim piatu seperti dia amat tidak sepadan apabila berpasangan dengan Hui Lan mau pun Bwe Hwa. Dia mengeraskan hatinya dan mengambil keputusan untuk pergi begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi supaya tidak membuat dua orang gadis itu penasaran, dia lalu meninggalkan coretan-coretan di batu padas itu. Dengan pikiran dipenuhi bayangan dua orang gadis itu, Si Kong melanjutkan perjalanan. Niatnya hanya ingin menyelidiki pembunuh pendekar Tan Tiong Bu kemudian merampas kembali pedang pusaka Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepada Tan Kiok Nio. Mengapa dia harus terlibat dalam urusan cinta dengan seorang di antara dua orang gadis itu? Karena tidak ingin tersusul oleh kedua orang gadis itu, Si Kong mengambil jalan ke barat melalui lereng-lereng perbukitan itu. Dia harus mendaki ke puncak melalui lereng sebelah barat agar tidak sampai bertemu dengan Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi sambil melangkah ke depan dia merasa betapa perasaan hatinya amat berat seperti terhimpit perasaan bersalah. Dua orang gadis itu dengan jujur mengatakan bahwa mereka mencintanya. Namun sekarang dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu. Hal ini tentu saja akan membuat mereka bersedih dan kecewa. Berulang kali dia bertanya pada hatinya sendiri, gadis mana di antara keduanya itu yang dia cinta. Jawaban hatinya malah membingungkan. Dia kagum kepada keduanya dan merasa suka kepada keduanya. Apakah dia mencinta mereka? Mencinta seorang di antara mereka? Entahlah, dia menjawab sendiri pertanyaan itu. Dia ragu dan bingung, tak dapat merjawab pertanyaan itu. Dia tidak tahu dan belum mengenal apa itu yang disebut cinta. Dia memang suka kepada mereka, kagum kepada mereka karena mereka adalah dua orang gadis cantik jelita yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan budiman, puteri dari pendekar-pendekar kenamaan. Cinta asmara memang mendatangkan bermacam-macam akibat, dapat membahagiakan seseorang akan tetapi dapat pula menyengsarakan seseorang. Cinta asmara adalah cinta yang diboncengi oleh nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan, memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai. Apa bila semua keinginan ini dipenuhi maka hatinya mengaku cinta. Dilayani, dimanja, disukai, alangkah menyenangkan semua itu. Akan tetapi begitu muncul kenyataan lain, tidak lagi dilayani, tidak lagi dimanja, tidak lagi disenangi, maka cinta asmara pun terbang pergi seperti kabut terkena sinar matahari, dan cinta asmara berganti dengan kebencian. Kegagalan cinta asmara membuat seseorang menjadi kecewa, duka dan merasa sangat sengsara. Bagaimana bila cinta asmara terpenuhi dan disambut dengan baik? Tentu saja mendatangkan kesenangan besar yang dianggap sebagai bahagia. Akan tetapi alangkah pendeknya usia kebahagiaan itu. Betapa rapuhnya hati yang mengaku cinta. Si Kong belum pernah jatuh cinta, maka dia masih belum dapat membedakan antara rasa suka dan rasa cinta. Rasa kagum dan suka tidak menuntut balasan, tak ingin menguasai, memiliki atau ingin menyenangkan diri sendiri. Orang tidak akan pernah patah hati kalau rasa sukanya lenyap atau berubah, karena tidak merasa kehilangan. Rasa suka di antara sahabat tidak ingin memiliki, maka tidak akan merasa kehilangan. Si Kong berhenti melangkah dan seluruh perhatiannya kini dipusatkan kepada mata dan telinganya. Dia mendengar langkah kaki yang datang dari jauh, akan tetapi derap langkah ini sudah terdengar dari situ, seolah yang datang mendekat itu adalah seekor gajah besar yang amat berat! Setelah cukup dekat, Si Kong memandang dengan heran dan kagum karena yang datang menghampirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang usianya lebih dari enam puluh tahun. Pakaiannya ringkas dan mewah, di sabuknya terselip sebuah kantung dan tangan kirinya memegang sebuah kong-ce (tombak cagak), mukanya penuh brewok hingga wajah itu nampak bengis. Karena kakek itu menghampiri sambil memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, Si Kong lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat. Dia dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi. “Selamat siang, locianpwe.” Sepasang mata kakek itu mencorong mengamati Si Kong dari atas yang memakai caping lebar sampai ke kaki yang mengenakan sepatu butut dan pakaiannya yang sederhana. “Hemm, siapa engkau?” tanya kakek itu penuh kecurigaan. “Namaku Si Kong, locianpwe.” “Engkau anggota Kui-jiauw-pang?” “Bukan, locianpwe.” “Hemm, kalau bukan anggota Kui-jiauw-pang, lalu mengapa engkau berada di sini?” “Aku... aku tidak menginginkan apa-apa...,” jawab Si Kong dengan gugup karena dia ragu apakah dia harus berterus terang atau tidak. “Hemm, engkau datang ke Kui-liong-san untuk mencari Pek-lui-kiam, bukan?” Semua orang yang datang ke sini tentu ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam, maka dia pun menjawab sejujurnya. “Benar, locianpwe, namun aku tidak yakin apakah aku mampu...” “Kalahkan aku dahulu kalau engkau mau memperebutkan Pek-lui-kiam di sini!” Kakek itu menggerakkan tangan kanannya, memukul ke arah dada Si Kong dengan cepat dan kuat sekali. Tahu-tahu tangannya yang kanan telah hampir mengenai dada Si Kong. Hawa pukulan yang dahsyat sudah terasa oleh pemuda itu. Dia cepat melangkah mundur satu langkah lalu mendorong pula dengan tangan kanan untuk menyambut pukulan lawan itu. Untuk mengelak sudah tak ada waktu lagi, maka satu-satunya jalan untuk menangkis pukulan yang dipenuhi tenaga sinkang itu hanyalah menyambutnya dengan tangan juga. “Wuuutttt...! Dessss!” Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Si Kong terhuyung mundur lima langkah. Akan tetapi kakek itu juga terhuyung mundur lima langkah. Si Kong merasa betapa dadanya sesak dan tahulah dia bahwa kakek itu menggunakan sinkang yang amat kuat sehingga pertemuan tangan itu membuat isi dadanya terguncang. Maklum bahwa dia sedang menghadapi lawan tangguh yang berbahaya, Si Kong tak ingin melanjutkan perkelahian tanpa sebab yang kuat itu. Maka dia pun lalu melompat dari situ dan pergi melanjutkan perjalanannya. Kakek itu agaknya juga maklum bahwa pemuda itu seorang yang tangguh sekali, maka dia pun tidak melakukan pengejaran. Siapakah kakek tinggi kurus brewok yang amat tangguh ini? Kalau Si Kong mendengar nama julukan kakek itu, tentu dia tahu dengan orang macam apa dia berhadapan. Kakek itu bukan orang sembarangan, melainkan datuk besar dari timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Timur)! Seperti para datuk yang lainnya, dia mendaki Kui-liong-san dengan dua tujuan. Pertama untuk memenuhi undangan Toa Ok dan Ji Ok yang hendak menentukan siapa di antara para datuk besar yang patut dipilih sebagai datuk nomor satu di dunia. Dan kedua, tentu saja untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Ketika bertemu dengan Si Kong, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang di antara orang kangouw yang hendak memperebutkan pedang pusaka. Setiap orang yang hendak memperebutkan pedang itu dianggapnya sebagai musuh yang patut dibunuh agar jumlah saingannya menjadi berkurang. Maka dia lalu menyerang dengan pukulan maut, dan dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja pemuda itu tentu akan mati! Pukulan itu mengandung tenaga sinkang yang panas dan sangat kuat, dilakukan dengan penuh tenaga karena dia bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Akan tetapi segera dia menjadi terkejut bukan main ketika pemuda itu menyambut dorongannya dengan telapak tangan pula dan ketika kedua tangan bertemu, dia terdorong ke belakang sampai lima langkah! Dan dia pun merasa betapa isi perutnya terguncang, maka dia cepat mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi perutnya supaya jangan terluka dalam. Maka dia pun sama sekali tidak mengejar ketika pemuda itu lari dari situ. Sementara itu Si Kong merasa heran dengan munculnya kakek sakti itu dan dia pun tahu bahwa memperebutkan pedang Pek-lui-kiam sungguh merupakan pekerjaan yang sangat sulit dengan adanya orang-orang sakti di tempat itu. Dia berjalan dengan hati-hati karena maklum bahwa perjalanan itu berbahaya, terdapat banyak jurang dan siapa tahu di situ terdapat pula perangkap dan jebakan yang dipasang oleh orang-orang Kui-jiauw-pang. Selagi dia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dia mendengar seruan orang dari belakang. Dia segera menengok dan melihat seorang kakek berlari mengejarnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Tadinya Si Kong mengira bahwa kakek tadi yang mengejarnya. Dia bersiap untuk lari lebih cepat, tetapi ketika dia melihat bahwa kakek yang mengejarnya itu adalah seorang kakek yang bertubuh sedang, tidak memegang tombak cagak seperti tadi, dia merasa lega dan menanti dengan siap siaga. Kakek itu menggunakan ginkang yang hebat sehingga sebentar saja sudah tiba di depan Si Kong. Si Kong memandang penuh perhatian. Kakek ini pun telah berusia enam puluh tahun lebih. Tubuhnya sedang dan tegap. Alisnya tebal dan matanya mencorong membuat wajah yang tampan itu nampak berwibawa. Pada punggungnya terselip sebatang pedang dan di pinggangnya terdapat belasan batang anak panah kecil. Melihat panah itu, Si Kong menjadi terkejut karena dia teringat akan anak panah tangan yang biasa dipergunakan oleh Cu Yin! Dia bisa menduga bahwa kakek ini tentulah datuk besar selatan yang berjuluk Lam Tok! Si Kong tidak mau mencari permusuhan, apa lagi dengan Lam Tok ayah dari Cu Yin yang pernah menjadi sahabat baiknya. Datuk besar ini tentu lihai bukan main, dan keadaannya sendiri belum pulih dari guncangan akibat beradu tenaga dengan kakek tinggi kurus yang amat lihai. Sebab itu lebih baik dia menghindarkan diri dari pada dipaksa harus bertanding melawan Lam Tok. Ketika bertemu kakek pertama, dialah yang menegur lebih dulu, akan tetapi akibatnya dia diserang secara hebat sekali. Siapa tahu Lam Tok juga akan menyerangnya kalau kakek ini menyangka dia hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Watak para datuk besar ini amat aneh. Kalau mereka hendak menguasai Pek-lui-kiam, maka setiap orang yang bermaksud memperebutkan Pek-lui-kiam tentu dianggap musuh yang harus dibunuh! Setelah berpikir begitu Si Kong merasa lebih baik menjauhkan diri dari perkelahian dengan kakek itu. Tiada gunanya melayani para datuk yang suka berkelahi tanpa sebab. Berbeda kalau andai kata dia sudah mendapatkan Pek-lui-kiam, tentu dia akan menghadapi siapa pun yang hendak merampas dari tangannya. “Hei, orang muda. Tunggu dulu!” Lam Tok berteriak sambil meloncat dan mengejar. Akan tetapi Si Kong menggunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar. Lam Tok merasa heran dan penasaran karena tidak dapat mengejar pemuda itu, namun dia tidak mengejar terus karena dia pun harus berhati-hati berada di pegunungan yang asing baginya itu. Setelah merasa yakin bahwa dia tidak dikejar lagi, barulah Si Kong menghentikan larinya dan menyelinap di balik semak belukar untuk mengaso. Dia menunggu sampai lama akan tetapi tidak ada yang mengejarnya. Legalah hatinya dan kini tenaganya juga sudah pulih kembali karena selama menunggu itu dia bersemedhi mengumpulkan hawa murni untuk menghilangkan bekas pertemuan tenaganya dan tenaga kakek tinggi kurus brewok yang lihai itu. Matahari sudah naik tinggi. Si Kong melanjutkan perjalanannya mendaki puncak, menyelinap di antara pohon-pohon dan semak belukar. *************** Para pimpinan Kui-jiauw-pang di puncak Kui-liong-san sudah siap menyambut kunjungan para tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kedudukan Kui-jiauw-pang kuat sekali. Toa Ok, Ji Ok dan Sam Ok telah mendatangkan banyak bala bantuan. Coa Leng Kun sudah mengundang See-thian Su-hiap, empat orang tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu sihir. Di situ berkumpul pula Bu-tek Ngo-sian, lima orang tangguh yang telah lama menjadi pembantu Toa Ok dan Ji Ok. Mereka merupakan tiga belas orang yang semuanya memiliki ilmu silat yang bisa diandalkan. Selain mereka, masih ada pula seregu pasukan Pek-lian-pai yang jumlahnya kurang lebih seratus orang dan yang kini sudah bergabung dengan pasukan Kui-jiauw-pang sendiri yang berkekuatan seratus orang lebih. Pek-lian-pai telah berhasil menghasut Gubernur Ji dari propinsi Ce-kiang untuk membantu pemberontakan, dengan janji bahwa apa bila pemberontakan mereka berhasil Gubernur Ji akan mereka angkat menjadi kaisar baru, Gubernur Ji setuju dan dia segera bersekongkol dengan Pek-lian-pai dan Kui-jiauw-pang. Karena mereka merasa belum cukup kuat untuk memberontak dan menyerang pasukan kerajaan, maka sekarang mereka berniat hendak mengadu domba orang-orang kangouw dengan umpan pedang Pek-lui-kiam. Selain dilakukan untuk mengacau ketenteraman, hal ini juga untuk melemahkan dunia kangouw yang sebagian besar condong membantu dan mendukung pemerintah kerajaan. Juga untuk memancing para tokoh kangouw membantu persekongkolan mereka dengan menjanjikan kedudukan yang tinggi kalau pemberontakan berhasil. Tiga belas orang itu kini berkumpul mengadakan rapat untuk mengatur siasat. Para anak buah Kui-jiauw-pang disebar untuk mengamati gerakan orang-orang yang mendaki Kui-liong-san, dibantu oleh orang-orang Pek-lian-pai. Toa Ok dan Ji Ok memimpin pertemuan itu di dalam ruangan yang luas dalam rumah induk Kui-jiauw-pang. “Coba ceritakan kembali pertemuan kalian dengan pemuda dan gadis yang amat lihai itu. Benarkah mereka sudah membunuh sepuluh orang anak buah kita dan melukai belasan orang lainnya?” tanya Toa Ok kepada Bu-tek Ngo-sian. Ciok Khi sebagai orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian menjawab. “Ketika itu kami berlima melihat seorang pemuda dan seorang gadis mengamuk serta merobohkan belasan orang anggota Kui-jiauw-pang yang mengeroyok mereka. Kami lantas menyerang mereka, akan tetapi ternyata mereka lihai sekali. Bahkan gadis itu mempunyai ilmu sihir. Terpaksa kami melarikan diri karena tidak kuat melawan mereka.” “Bodoh kalian! Hanya melawan seorang pemuda dan seorang gadis saja tidak mampu mengalahkan mereka!” Toa Ok mengomel dan lima orang itu hanya menunduk saja. Mendengar Toa Ok menegur Bu-tek Ngo-sian dengan marah, See-thian Su-hiap bertukar pandang dan orang tertua dari mereka, Kui Hwa Cu segera berkata. “Harap Toa-pangcu tidak menegur Bu-tek Ngo-sian. Pemuda dan gadis itu memang lihai bukan main. Kami sendiri sudah bertemu dan mengeroyok mereka, dan mereka memang orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Ketika kami mengeroyok nona Pek Bwe Hwa, mereka berdua muncul dan terpaksa kami menggunakan bahan peledak untuk menyingkir. Nona Pek Bwe Hwa dan dua orang muda itu merupakan lawan yang tangguh, Toa-pangcu, dan ini harus kami akui.” Dengan hati lega Bu-tek Ngo-sian mendengarkan pembelaan secara tak langsung ini dan kini Ciok Khi berani membuka mulut melapor. “Ada satu hal lagi yang perlu kami laporkan kepada Sam-wi Pangcu (tiga ketua) bahwa ternyata pemuda dan gadis itu tidak bohong ketika mengatakan bahwa bukan mereka yang membunuh sepuluh orang anggota Kui-jiauw-pang itu.” “Hemmm, bagaimana engkau bisa tahu bahwa bukan mereka pembunuhnya? Lalu siapa yang membunuh?” “Dari para anggota yang melakukan penguburan kami mendengar bahwa sepuluh orang itu tewas terkena anak panah beracun. Kami mendatangi kuburan mereka dan menyuruh gali kembali untuk memeriksa. Dan ternyata mereka itu terkena anak panah yang pada gagangnya terdapat tulisan Lam Tok.” “Ahhh...! Jadi Lam Tok kiranya yang membunuh mereka?” bentak Toa Ok marah. “Agaknya memang benar begitu, Toa-pangcu.” “Keparat Lam Tok. Belum bertemu dengan kami telah turun tangan membunuh anak buah kami. Pasti akan kutegur perbuatannya itu!” Pada saat itu seorang anggota Kui-jiauw-pang masuk dengan muka pucat dan melapor kepada Toa Ok. “Toa-pangcu di lereng sebelah selatan ada seorang gadis dan seorang pemuda sedang mengamuk!” Mendengar laporan ini, Toa Ok marah sekali. “Mari kita semua pergi ke sana! Dua orang muda itu harus dibunuh!” Semua orang bangkit dari tempat duduknya, kemudian serentak mereka berlari menuruni puncak bagian selatan, dan pelapor tadi menjadi penunjuk jalan. Sesudah tiba di lereng bagian selatan, mereka melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan sedang dikeroyok belasan orang anggota Kui-jiauw-pang yang dibantu lima orang anggota Pek-lian-kauw. Sudah ada beberapa orang pengeroyok yang roboh dan dua orang muda itu masih mengamuk, si pemuda memainkan sebatang pedang dan gadis itu pun mengamuk dengan pedangnya. Melihat mereka, See-thian Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian segera berbisik, “Bukan, bukan mereka...!” Mendengar ucapan mereka itu, Toa Ok lalu melompat maju sambil membentak. “Bocah-bocah lancang! Berani benar kalian mengacau di Kui-liong-san!” Bentakan itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat sehingga suara itu seolah-olah menggetarkan bumi. Gadis dan pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin dan Tio Gin Ciong! Mendengar bentakan yang dahsyat itu, Gin Ciong dan Cu Yin maklum bahwa yang datang adalah seorang yang sakti bersama belasan orang lainnya. Cu Yin dan Gin Ciong segera melompat ke belakang dan sekali tangan Cu Yin bergerak, tiga batang anak panah sudah meluncur ke arah Toa Ok! “Sing-sing-singgg...!” Toa Ok menyambut dengan kedua tangannya dan dia telah menangkap tiga batang anak panah itu. Pada waktu dia memeriksa, mata anak panah itu mengandung racun dan pada gagangnya terdapat dua huruf: Lam Tok. Segera dia dapat menduga siapa adanya gadis yang ganas itu. “Hemm, engkau puteri Lam Tok, bukan? Ada urusan apa maka engkau berani mengacau di tempat ini?” cerita silat online karya kho ping hoo Meski pun maklum bahwa tiga belas orang yang datang adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun Cu Yin sama sekali tidak kelihatan jeri. “Aku memang puteri Lam Tok. Aku dan kawanku ini sedang melakukan perjalanan di sini, mengapa orang-orang ini mengeroyok kami? Kalian datang hendak membantu mereka?” “Hemmm, gadis kecil, ayahmu sendiri Si Racun Selatan tidak berani memandang rendah kepada kami! Dan engkau, anak muda. Siapakah engkau?” Toa Ok mengamati wajah Gin Ciong dengan tajam penuh selidik karena tadi pun dia melihat sepak terjang pemuda ini cukup hebat. Gin Ciong tersenyum bangga. “Ayahku adalah Majikan Pulau Beruang!” Toa Ok membelalakkan sepasang matanya. “Jadi engkau putera Tung-giam-ong Si Datuk Timur? Bagaimana kalian dapat berada di sini? Di mana ayah kalian?” Toa Ok mendapat pikiran yang bagus sekali. Gadis dan pemuda ini ternyata adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong. Alangkah baiknya jika dia dapat menarik mereka menjadi sekutu, dengan demikian ada harapan baginya untuk menarik Tung-giam-ong dan Lam Tok agar menjadi sekutu pula. “Bagus sekali! Kiranya kalian adalah puteri dan putera Lam Tok dan Tung-giam-ong yang memang sedang kami tunggu-tunggu sebagai tamu-tamu kami. Nona, siapakah namamu, dan engkau anak muda, siapa namamu?” Melihat sikap ramah kakek yang berkepala botak dan besar itu, Cu Yin lalu mengerutkan alisnya. “Sebelum kami memperkenalkan diri, lebih dulu engkau yang harus mengatakan siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Kui-jiauw-pang?” “Ha-ha-ha-ha-ha!” Toa Ok tertawa bergelak. “Anak Lam Tok ternyata bernyali besar, tidak percuma menjadi puteri Lam Tok. Kalian ingin tahu siapa kami? Aku dan adikku ini adalah datuk-datuk dari barat.” Cu Yin menyipitkan matanya. “Toa Ok dan Ji Ok?” tanyanya. “Ha-ha-ha, bagus kalau engkau telah mengetahuinya. Akan tetapi sekarang kami menjadi ketua Kui-jiauw-pang, aku menjadi Toa Pangcu, adikku menjadi Ji Pangcu, ada pun yang berjubah merah itu adalah Sam Pangcu.” Mendengar bahwa gadis dan pemuda itu adalah anak-anak Lam Tok dan Tung-giam-ong, Bu-tek Ngo-sian segera memperkenalkan diri mereka, “Kami adalah Bu-tek Ngo-sian!” “Perkenalkan, aku adalah Coa Leng Kun.” Leng Kun juga memperkenalkan diri kepada gadis yang cantik molek itu, senyumnya memikat dan pandang matanya bersinar-sinar! “Kami berempat adalah See-thian Su-hiap.” Empat orang tosu itu tak mau kalah, ikut pula memperkenalkan diri. Mendengar sederetan nama julukan itu, diam-diam Cu Yin terkejut bukan main. Baru Toa Ok dan Ji Ok itu saja sudah merupakan dua orang tokoh yang kedudukannya setingkat dengan ayahnya. Dan masih banyak nama julukan yang terkenal mendampingi mereka! Dia pun maklum bahwa terhadap mereka ini dia tidak boleh bersikap kasar karena mereka semua adalah orang-orang tangguh. Cu Yin cukup cerdik untuk mengubah sikap menjadi ramah kepada mereka. ”Aihh, kiranya kalian adalah orang-orang yang menjadi sahabat ayah. Namaku Siangkoan Cu Yin dan temanku putera Tung-giam-ong ini bernama Tio Gin Ciong. Tadi sudah terjadi kesalah pahaman antara orang-orangmu dan kami. Kami dicurigai dan diusir dari tempat ini, maka terjadilah perkelahian.” “Ahh, tidak mengapa, nona. Mereka memang bodoh dan tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa maka berani bertindak kasar. Harap nona beserta kongcu suka memaafkan anak buah kami.” “Hemm, tidak mengapa, paman. Kami pun tidak terluka dan syukur kami tidak membunuh seorang pun dari orang-orangmu. Ehh…, kalau tidak salah, Sam Pangcu ini yang berjuluk Ang I Sianjin, bukan?” Kakek berjubah merah itu mengelus jenggotnya. “Nona Siangkoan ternyata bermata tajam dan cerdik sekali. Aku memang Ang I Sianjin, akan tetapi sekarang aku berjuluk Sam Ok dan berkedudukan sebagai Sam Pangcu di Kui-jiauw-pang.” “Hemm-hemm... aku mendengar bahwa engkau telah membunuh pendekar Tan Tiong Bu yang tinggal di Sia-lin dan telah merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Benarkah kabar itu?” “Ahhh, nona Siangkoan. Aku yang sudah tua ini sebenarnya tidak membutuhkan pedang pusaka itu, walau pun benar bahwa aku telah mengambilnya. Ketahuilah, aku membunuh Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam karena dahulu dia telah membunuh keluargaku dengan menggunakan pedang pusaka itu. Aku sudah tua, pedang pusaka itu lebih pantas menjadi milik seorang muda seperti nona.” “He-he-he, nona Siangkoan. Marilah kita pergi ke rumah perkumpulan agar dapat bicara lebih leluasa. Nona dan kongcu menjadi tamu kehormatan kami. Kami mengundang ji-wi (kalian berdua) untuk menunjukkan penyesalan kami atas sikap anak-anak buah kami.” Cu Yin dan Gin Ciong saling pandang dan dara itu menganggukkan kepalanya, maka Gin Ciong juga menyetujuinya. Siangkoan Cu Yin terlalu percaya kepada diri sendiri dan nama besar ayahnya. Tidak mungkin ada yang berani mengganggunya! Beramai-ramai mereka pun mendaki puncak menuju ke sarang Kui-jiauw-pang. Sebuah perjamuan makan dihidangkan untuk menghormati dua orang muda yang menjadi tamu agung itu. Coa Leng Kun langsung bermanis-manis muka terhadap Cu Yin, bahkan mengambil tempat duduk di sebelah kanan Cu Yin ketika mereka duduk menghadapi meja perjamuan. Diam-diam Gin Ciong merasa tidak senang, tetapi pemuda ini pun tidak dapat mencegah karena Leng Kun bersikap sopan dan agaknya Cu Yin juga menerima uluran persahabatan Leng Kun dengan senang hati,. “Aku pun sependapat dengan Sam Pangcu yang tadi mengatakan bahwa pedang Pek-lui-kiam lebih pantas apa bila berada di tangan seorang pendekar wanita muda seperti nona Siangkoan,” kata Leng Kun sambil tersenyum manis dan mengerling ke arah gadis itu. “Ahhh, tentu tadi Sam Pangcu berkata hanya untuk main-main saja,” kata Cu Yin sambil tersenyum. “Mana mungkin pusaka yang diperebutkan orang-orang kang-ouw itu diberikan begitu saja kepadaku?” “Ha-ha, apa gunanya bagi kami untuk berbohong, nona Siangkoan?” kata Toa Ok sambil mengangkat cawan araknya dan minum habis sekali tenggak. “Kami akan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu dengan senang hati kepada nona, asalkan nona bersedia membantu kami dalam menghadapi orang-orang kang-ouw yang hendak memperebutkan dan merampas pedang pusaka itu. Terhadap puteri Lam Tok kami merasa seperti sedang berhadapan dengan keponakan sendiri dan kalau kami menyerahkan pedang Pek-lui-kiam kepadamu, tentu Lam Tok tidak perlu bersusah payah memperebutkan pusaka itu lagi, bahkan membantu agar pedang pusaka itu tidak terlepas dari tanganmu dan direbut lain orang!” Siangkoan Cu Yin yang sangat cerdik itu segera mengerti bahwa pihak tuan rumah mau menyerahkan pedang tetapi ada syaratnya, yaitu bahwa dia harus membantu mereka. “Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada paman sekalian?” tanya Siangkoan Cu Yin. “Tidak banyak dan tidak sukar, nona. Engkau dan putera Tung-giam-ong harus tinggal di sini sebagai tamu-tamu kehormatan kami dan kalian berdua harus membantu kami dalam menghadapi musuh-musuh kami yang berdatangan dengan niat untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Bagaimana?” “Hemm, menghadapi para tokoh kangouw merupakan pekerjaan berbahaya! Akan tetapi kapankah kalian hendak menyerahkan pedang pusaka itu?” “Sekarang juga kami serahkan kalau nona mau berjanji akan membantu kami!” kata Toa Ok sambil mengeluarkan pedang Pek-lui-kiam. Ia mencabut pedang itu sehingga nampak sinar kilat berkelebat ketika pedang itu terhunus. “Nah, terimalah pedang Pek-lui-kiam ini, nona Siangkoan!” Cu Yin menjadi girang bukan main. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dia akan mendapatkan pedang pusaka itu sedemikian mudahnya! Dia lalu menerima pedang yang sudah disarungkan kembali itu dan untuk meyakinkan hatinya, dia lalu mencabut kembali pedang Pek-lui-kiam itu dan matanya silau melihat sinar berkilat dari pedang itu. Dengan girang dia menyarungkan kembali dan berkata, “Terima kasih, Toa Pangcu. Tentu aku akan membantu kalian, dan kalau bertemu ayah, aku akan meminta ayah membantu pula.” “Itu bagus sekali, nona Siangkoan.” “Aku pun akan membujuk ayah untuk membantu kalau aku bertemu dengan ayah di sini,” kata Tio Gin Ciong, ikut gembira melihat Siangkoan Cu Yin demikian senang hatinya. Malam itu Cu Yin mendapatkan sebuah kamar yang lengkap, dan disebelah kiri kamarnya adalah kamar yang diberikan kepada Gin Ciong. Namun malam itu Cu Yin tidak dapat tidur. Seluruh hati dan pikirannya terkenang kepada Si Kong dan ada rasa rindu yang mendalam terhadap pemuda itu. Dia membayangkan ketika masih menyamar sebagai Siangkoan Ji dia melakukan perjalanan bersama Si Kong dan dia merasa bahagia sekali. Tapi perasaannya langsung terpukul ketika dia teringat betapa Si Kong menolak cintanya. Sakit rasanya dan dia merasa benci sekali kepada Si Kong. Tetapi di lain saat dia merasa rindu. Harus diakuinya bahwa dia mencintai Si Kong dengan sepenuh hatinya, dan dia merasa menyesal mengapa dia muncul sebagai Siangkoan Cu Yin di hadapan Si Kong sehingga pemuda itu tak mau lagi melakukan perjalanan bersamanya. Kalau saja dia masih menjadi pengemis muda, tentu sekarang dia masih bersama Si Kong dan membantu pemuda itu mendapatkan Pek-lui-kiam! Ahh, bagaimana kalau dia menyerahkan Pek-lui-kiam kepada Si Kong? Barang kali saja pemuda itu akan berubah pikiran dan membalas cintanya kalau dia menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya! Dengan pikiran ini Cu Yin dapat juga tidur pulas dan bermimpi tentang Si Kong. *************** Bwe Hwa berjalan seorang diri sambil berpikir tentang pengalamannya yang baru terjadi tadi. Jika diingat kembali timbul rasa malu dan penyesalan di dalam hatinya. Jelas bahwa dia telah jatuh cinta kepada Si Kong. Akan tetapi pantaskah bila dia seperti memaksakan cintanya itu agar dibalas oleh Si Kong? Dan dia merasa begitu cemburu kepada Hui Lan! Kalau memang Si Kong mencintai Hui Lan, pantaskah kalau dia mencampuri dan hendak menghalangi? Berpikir tentang pemuda yang dicintanya itu, dia pun teringat akan sajak yang ditinggalkan Si Kong untuk dia dan Hui Lan. Tak mungkin dia melupakan sajak itu, seolah telah terukir bukan di tanah padas, melainkan di dalam hatinya. Mulut dara ini lantas berkemak-kemik membaca sajak itu. “Seekor burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain di udara bebas dan merdeka tidak terikat apa pun juga!” Bwe Hwa menghela napas panjang dan berkata seorang diri dalam bisikan lirih. “Seekor burung gagak yang papa? Aihh, Kong-ko, betapa engkau telah merendahkan diri sedemikian rupa sehingga merasa tidak pantas berdekatan dengan kami.” Dia lalu membayangkan keadaan pemuda itu sehingga pemuda itu begitu merendahkan dirinya. Si Kong seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, murid mendiang Ceng Lojin. Tidak, Si Kong bukan merendahkan diri karena kepandaian. Kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaiannya atau kepandaian Hui Lan. Akan tetapi dia seorang yatim piatu, tidak bersanak kadang, tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, bahkan tempat tinggal pun dia tak punya. Inilah kiranya yang membuat pemuda itu merasa kehilangan harga diri sehingga begitu merendahkan diri. Kemudian dia teringat akan Hui Lan. Sudah jelas bahwa Hui Lan mencintai Si Kong, dan apakah Si Kong juga mencintai Hui Lan? Sangat boleh jadi demikian, mengingat bahwa Si Kong mau melakukan perjalanan bersama gadis itu. Akan tetapi tulisan sajak Si Kong itu menunjukkan kenyataan lain. Pemuda itu agaknya tidak mencintai mereka berdua dan menganggap dirinya tidak pantas bersanding dengan Hui Lan atau dia! Bwe Hwa yang sedang melamun itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang laki-laki muncul di depannya. Yang muncul itu adalah seorang pemuda dan seorang yang lebih tua berusia kurang lebih empat puluh tahun. Tentu anggota Kui-jiaw-pang atau Pek-lian-pai, pikirnya. Karena merasa dua orang itu tentu hendak menangkapnya dan khawatir kalau yang lain-lain akan segera muncul, tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut Kwan-im-kiam dan tanpa berkata apa-apa dia lalu menyerang mereka dengan dahsyat. Pedangnya berkelebat, membacok leher pemuda itu. Ketika pemuda itu mengelak dengan satu loncatan ke belakang, pedangnya terus menusuk ke arah dada orang yang lebih tua. Akan tetapi orang itu pun dapat mengelak dengan cepat. Melihat gerakan mereka, tahulah Bwe Hwa bahwa dua orang itu memiliki ilmu silat yang tangguh. “Hei, tahan dulu!” bentak orang yang lebih tua. “Kenapa engkau menyerang kami, nona?” Mendengar seruan ini, Bwe Hwa menahan gerakannya sambil melintangkan pedangnya di depan dadanya. Jari telunjuknya yang kiri menuding ke arah mereka. “Kalian tentulah kaki tangan Kui-jiauw-pang! Bersiaplah untuk mati!” bentaknya dan ia pun meloncat ke depan, menerjang dengan cepat dan kuat. Akan tetapi kembali kedua orang itu dapat mengelak dengan lompatan ke belakang. “Tahan dulu nona! Kami berdua sama sekali bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang!” kata pria setengah tua itu. Mendengar ini Bwe Hwa mengerutkan alisnya tanpa menyimpan pedangnya karena dia masih merasa curiga. “Kalau kalian bukan kaki tangan Kui-jiauw-pang, lalu siapakah kalian dan mengapa kalian berkeliaran di sini?” tanyanya sambil mengelebatkan pedangnya. Kini yang muda mengamati pedang di tangan Bwe Hwa dan dia pun berseru, “Bukankah yang kau pegang itu adalah Kwan-im-kiam, nona?” Sekarang Bwe Hwa yang terkejut dan dia memandang penuh selidik kepada pemuda itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun yang berwajah tampan dan gagah. “Bagaimana engkau dapat mengenal pedangku?” tanya Bwe Hwa, semakin curiga. Pemuda itu memandang Bwe Hwa dengan penuh perhatian, lalu dia berkata, “Bukankah engkau nona Pek Bwe Hwa?” Bwe Hwa terkejut dan heran, akan tetapi bertambah curiga dan menduga bahwa pemuda ini tentu ada hubungannya dengan Kui-jiauw-pang maka mengerti namanya dan mengenal pedangnya. “Siapakah engkau?” tanyanya. “Namaku Cang Hok Thian, datang dari kota raja.” Pemuda itu memperkenalkan dirinya. Bwe Hwa segera teringat. Nama keluarga Cang itu adalah keluarga Pangeran Cang Sun. Ayahnya pernah bercerita bahwa Pangeran Cang Sun dikenalnya dengan baik. Pangeran itu sudah menikah dengan dua orang wanita. Yang seorang bernama Mayang dan yang kedua bernama Teng Cin Nio. “Apakah ayahmu bernama Cang Sun?” tanyanya. Wajah yang tampan itu berseri-seri. “Benar sekali, nona. Aku adalah puteranya. Kita tidak pernah saling bertemu akan tetapi telah diceritakan oleh orang tua kita, bukan?” “Mengapa engkau dari kota raja datang pula ke tempat ini? Apakah engkau juga ingin ikut memperebutkan Pek-lui-kiam?” “Tidak, aku datang karena ikut paman Gui Tin ini. Perkenalkan, ini adalah paman Gui Tin, seorang panglima di kota raja yang kini menyamar sebagai petani biasa untuk menyelidiki tentang Kui-jiauw-pang.” Bwe Hwa terkejut sekali lantas memandang kepada orang tua gagah itu dengan pandang mata penuh selidik. “Seorang panglima? Apakah yang hendak paman lakukan di sini?” “Terdapat desas-desus bahwa Kui-jiauw-pang sudah bersekutu dengan Pek-lian-pai untuk melakukan pemberontakan, bahkan mereka telah berhasil menghasut Gubernur Ce-kiang untuk bersekutu dengan mereka. Karena itu kami bertugas untuk melakukan penyelidikan tentang kebenaran berita itu.” “Berita itu benar dan tidak perlu disangsikan lagi, paman.” “Bagaimana engkau dapat begitu yakin, adik Bwe Hwa? Eh, aku boleh menyebutmu adik, bukan?” “Tentu saja, kalau engkau putera bibi Mayang berarti kita adalah orang sendiri. Aku pun akan menyebutmu koko. Tentu saja aku yakin akan kebenaran berita itu karena aku baru saja pergi meninggalkan Kui-jiauw-pang. Tadinya aku disambut dengan baik sebagai tamu terhormat. Akan tetapi kemudian aku mengetahui bahwa mereka adalah kumpulan orang-orang jahat. Ada tokoh-tokoh Pek-lian-kauw di sana, dan kabarnya ada pula sepasukan orang Pek-lian-pai yang sudah siap membantu.” Mendengar ini Cang Hok Thian berpaling kepada Gui Tin lantas berkata, “Paman Gui Tin tidak perlu meragukan lagi. Keterangan adik Bwe Hwa tentu benar, maka sebaiknya kalau kita mempersiapkan pasukan untuk mengepung puncak ini.” “Benar sekali, kita harus segera mempersiapkan pasukan kita,” kata Gui Tin. “Sekarang juga kita berangkat!” “Adik Bwe Hwa, sebaiknya kalau engkau ikut pula dengan kami dan nanti membantu kami menghancurkan para pemberontak itu.” “Biarlah Paman Gui Tin bersama engkau saja yang melakukan persiapan itu, Thian-ko. Aku hendak menyelidiki di mana adanya Pek-lui-kiam yang berada di tangan mereka. Aku harus merampas pusaka itu. Selamat berpisah!” Seteah berkata demikian, Bwe Hwa lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan sekali berkelebat Bwe Hwa sudah lenyap di antara pohon-pohon. Cang Hok Thian memandang dengan kagum ke arah lenyapnya Bwe Hwa. Dia terpesona oleh kecantikan dan kecepatan gerakan dara itu. Gui Tin tersenyum memandang pemuda yang terpesona itu. “Dara itu seorang pendekar wanita yang hebat.” Hok Thian tersadar dari lamunannya dan tergugup berkata, “Ahh, benar sekali paman.” Sambil tersenyum Gui Tin berkata, “Mari kita berangkat, kongcu.” “Ya, baiklah, paman!” Pemuda itu berkata seakan menjadi orang yang canggung sekali. Separuh semangatnya seperti hilang terbawa terbang gadis yang membuatnya terpesona itu. Mereka lalu menuruni lereng untuk bergabung dengan pasukan yang telah disiapkan di lereng terbawah. ***************

jilid 19


Si Kong berindap-indap mendekati suara orang yang berbantahan itu. Dari balik sebatang pohon besar dia mengintai. Jantungnya berdebar ketika dia melihat dua orang kakek itu berdiri saling berhadapan dengan wajah tak senang, bahkan marah. Dia mengenal kedua orang kakek itu yang bukan lain adalah Lam Tok dan Tung-giam-ong! Datuk besar selatan dan datuk besar timur itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago sedang berlagak. “Lam Tok!” seru Tung-giam-ong sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka datuk besar selatan itu. “Kedatangan kita di sini bukan saja untuk menentukan siapa yang paling kuat di antara para datuk empat penjuru, tetapi juga untuk memperebutkan Pek-lui-kiam! Nah, sekarang kebetulan kita saling bertemu di sini, maka kita tentukan siapa di antara kita yang lebih berhak memiliki Pek-lui-kiam!” “Ha-ha-ha, bagus sekali, Tung-giam-ong!” jawab Lam Tok dengan suara menyindir dan mengejek. “Apa kau sangka aku takut menghadapi tua bangka macam engkau? Memang sebaiknya kita tentukan dari sekarang agar kita tidak menghadapi terlalu banyak saingan!” “Lam Tok, pukulan beracunmu itu tak akan meruntuhkan selembar pun rambutku! Tetapi engkau tidak akan dapat menahan pukulan dari Thai-yang Sin-ciang!” “Ha-ha-ha, aku telah mendengar bahwa engkau menyempurnakan pukulan dari tanganmu yang panas, akan tetapi ilmumu itu bagiku seperti permainan kanak-kanak saja! Majulah kalau ingin kuhajar!” “Lam Tok, sombong sekali engkau. Bersiaplah untuk mampus di tanganku hari ini!” “Ha-ha-ha, selain engkau tak mungkin dapat mengalahkan aku, juga kalau engkau sampai dapat membunuhku, berarti engkau membunuh puteramu sendiri!” “Apa maksudmu?” Tung-giam-ong memandang dengan heran dan kaget. “Maksudku, puteramu jatuh cinta dan tergila-gila kepada puteriku! Kalau engkau sampai membunuhku, apa kau kira puteriku sudi berdekatan dengan puteramu? Dia bahkan akan membalas dendam kepadamu!” Ucapan ini betul-betul mengejutkan hati Tung-giam-ong. “Puteraku Gin Ciong jatuh cinta kepada puterimu? Apa buktinya?” “Ha-ha, buktinya? Belum lama ini aku bertemu dengan mereka berdua di pegunungan ini. Puteramu bahkan hendak membantu puteriku untuk mendapatkan Pek-lui-kiam. Lucunya, puteramu itu sungguh tidak tahu malu! Dia tergila-gila kepada puteriku padahal puteriku itu tidak mencintanya, meliankan mencinta seorang pemuda lain! Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Anaknya dan bapaknya sama bodohnya!” “Keparat!” Tung-giam-ong marah dan menerjang dengan pukulannya yang ampuh, yang disebut Thai-yang Sin-ciang yang berhawa panas. Namun pukulan ini dengan mudah dielakkan oleh Lam Tok yang cepat membalas dengan serangannya Lam-hai Sin-ciang (Tangan Sakti Lautan Selatan) yang datangnya bagaikan gelombang lautan. Tetapi Tung-giam-ong juga dapat menghindarkan diri dengan mudah. Si Kong yang menonton pertandingan itu menjadi sangat terkejut. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu menggunakan ilmu-ilmu pukulan yang amat ampuh dan dapat mematikan. Kedua kakek itu memperebutkan Pek-lui-kiam dengan taruhan nyawa. Mengingat bahwa Lam Tok adalah ayah kandung Cu Yin, Si Kong merasa tidak tega jika kakek itu terancam bahaya maut. Maka selagi kedua orang kakek itu bertanding hebat, Si Kong melompat ke tengah-tengah di antara mereka dan mendorong ke kanan kiri. Dua orang kakek itu terkejut sekali ketika merasakan betapa dari dorongan itu terkandung tenaga dahsyat yang membuat mereka mundur dan menahan gerakan berikutnya. “Ji-wi locianpwe, harap jangan berkelahi. Pek-lui-kiam yang akan ji-wi perebutkan berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang!” Dua orang kakek itu mengamati wajah Si Kong, kemudian Tung-giam-ong mengenalnya sebagai pemuda yang dapat menahan pukulan saktinya. “Kiranya engkau, bocah setan!” bentaknya. “Hemm, orang muda, mengapa engkau melerai pertandingan kami? Siapa engkau?” tanya Lam Tok sambil mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. “Saya berani melerai karena yang ji-wi perebutkan itu berada di tangan para pimpinan Kui-jiauw-pang. Jadi tidak ada gunanya berkelahi memperebutkan pedang yang masih berada di tangan orang lain. Hanya merugikan saja.” “Siapa namamu?” LamTok mengulang. Si Kong memberi hormat kepada kakek ini dan mejawab, “Nama saya Si Kong ...” “Jahanam! Jadi engkau yang sudah menghina nama keluargaku?” bentak Lam Tok marah sekali. “Apa maksud locianpwe?” tanya Si Kong kaget karena dia sama sekali tak merasa pernah melakukan penghinaan terhadap keluarga datuk ini. “Hemm, maksudku sudah jelas! Engkau berani menolak cinta anakku Cu Yin, bukankah itu penghinaan namanya? Karena itu sekarang engkau harus mati di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lam Tok langsung menerjang Si Kong dengan sebuah pukulan maut sambil mengerahkan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati)! “Ehh, nanti dulu, locianpwe!” kata Si Kong sambil mengelak ke belakang. “Ternyata engkaulah pemuda yang menghalangi cinta puteraku terhadap puteri Lam Tok! Memang engkau harus mampus!” Tung-giam-ong juga berseru kemudian menyerang Si Kong dari samping, menggunakan pukulan maut dari ilmu Thai-yang Sin-ciang. Akan tetapi Si Kong juga dapat mengelak dan pemuda ini merasa bingung sekali diserang oleh dua orang datuk yang sakti itu! Karena dia tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya, maka dia pun menggunakan Yan-cu Hui-kun untuk mengelak dari serangan ganda itu. Untuk melarikan diri sudah tidak ada kesempatan lagi karena dua orang datuk itu telah menyerangnya secara bertubi. Terpaksa dia mengelak dan menangkis sambil mencoba untuk balas menyerang untuk membendung hujan serangan itu. Dua orang datuk besar itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka berdua sudah menyerang sampai belasan jurus tetapi pemuda itu masih belum dapat mereka robohkan. Karena penasaran, dua orang datuk itu segera berdiri sejajar lalu berbareng menyerang dengan pukulan masing-masing yang amat kuatnya. Tung-giam-ong menyerang dengan ilmu Thai-yang Sin-ciang yang amat panas sedangkan Lam Tok menyerang dengan ilmu Eng-jiauw-kang (Tenaga Cakar Garuda) yang selain sangat kuat juga mengandung racun yang berbahaya. Sedikit saja kulit lawan tergores cakaran ini, maka sudah cukup untuk membunuhnya. Darahnya akan keracunan. Melihat dua pukulan ini, Si Kong menyadari bahwa nyawanya terancam bahaya maut. Dia terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu Hok-liang Sin-ciang. Karena untuk mengelak atau menangkis dua serangan itu amat berbahaya, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan keras dengan keras. Dia berdiri hampir berjongkok, kedua tangannya didorong ke depan menyambut dua serangan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya. “Wuuuutt...! Dessss...!” Dua tenaga dahsyat itu saling bertemu, dan akibatnya tubuh Si Kong terjengkang lantas bergulingan, namun dua orang kakek itu pun terhuyung-huyung ke belakang. Dua orang datuk itu menyangka bahwa Si Kong telah terluka berat, padahal pemuda itu tadi sengaja menggulingkan tubuhnya untuk memunahkan tenaga pukulan yang melanda dirinya. Lam Tok yang melihat Si Kong bergulingan, cepat menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang. Dicabutnya tiga batang anak panah lantas disambitkan dengan sepenuh tenaga ke arah tubuh Si Kong yang bergulingan. “Ayah, jangan...!” Terdengar pekik melengking kemudian sesosok bayangan berkelebat menghadang antara Si Kong dan Lam Tok. Bayangan itu bagaikan perisai yang melindungi Si Kong sehingga tiga batang anak panah itu dengan telak menancap di dadanya dan bayangan itu roboh! “Yin-moi...!” Si Kong berteriak sambil menubruk gadis yang roboh itu. Gadis itu memang Cu Yin dan baru saja dia muncul di situ bersama Gin Ciong. Pada saat Lam Tok menyambitkan anak-anak panahnya, Cu Yin segera tahu bahwa nyawa Si Kong berada dalam bahaya maut. Maka tanpa mempedulikan dirinya, dara itu lalu menghadang dan menjadi perisai sehingga terkena tiga batang anak panah beracun itu. Si Kong menubruk dan memangku kepala gadis itu sambil mengguncang pundaknya. “Yin-moi..., ahh, Cu Yin...!” Si Kong meratap dan baru sadarlah dia betapa sesungguhnya di lubuk hatinya terdapat perasaan kasih sayang yang besar terhadap Cu Yin. “Yin-moi... ahh, Yin-moi...!” Si Kong mendekap kepala itu. Sekali melihat saja maklumlah dia bahwa nyawa gadis itu tidak dapat tertolong lagi. Tiga batang anak panah itu menancap sampai amblas seluruhnya pada dadanya dan seketika tubuh Cu Yin sudah berubah biru kehitaman yang berarti bahwa dia telah keracunan. Cu Yin membuka matanya dan dia tersenyum mendapatkan kenyataan bahwa dia dipangku oleh Si Kong. Dia mengangkat tangan kirinya, mengelus pipi Si Kong. “Kong-ko... ahh, Kong-ko, aku... girang melihat... engkau selamat...” “Yin-moi, kenapa kau lakukan ini? Kenapa engkau mengorbankan nyawamu untukku?” Si Kong menunduk dan menciumi muka gadis itu dengan hati hancur. Tanpa terasa lagi air matanya jatuh berderai membasahi muka Cu Yin. “Koko... aku girang… dapat… melakukan sesuatu... untukmu... aku... aku cinta padamu, koko...” “Cu Yin...! Jangan mati, Cu Yin, aku pun cinta padamu!” Si Kong menangis. Gadis itu tersenyum lebar dan memandang ke arah muka Si Kong. “Engkau... menangis, koko? Menangis untukku...?” “Ya, aku ingin engkau hidup, Yin-moi!” Cu Yin menggerakkan tangannya dan mengambil pedang Pek-lui-kiam dari punggungnya. “Ini... Pek-lui-kiam... kuserahkan kepadamu sebagai bukti cintaku... selamat... selamat... tinggal, koko...” Gadis itu terkulai dan tewas dalam rangkulan Si Kong. “Cu Yin... ahh, Yin-moi...!” Si Kong menangis. “Dessss...!” Tiba-tiba sebuah tendangan yang keras membuat tubuhnya terpelanting dan bergulingan. Kiranya yang menendang adalah Gin Ciong, yang hatinya terasa panas oleh api cemburu. Si Kong baru sadar dan bangkit dari lautan duka di mana dia tadi terbenam. Pada saat itu Gin Ciong sudah mengejarnya dan sekali lagi kaki itu terayun, akan tetapi kini mengarah kepala Si Kong, merupakan tendangan maut. Si Kong telah sadar sepenuhnya, maka ketika kaki itu menyambar ke arah kepalanya, dia menggerakkan tangan kanannya, menyambar dan menangkap kaki itu lalu dilontarkannya ke depan. Tubuh Gin Ciong terlempar sampai jauh dan menimpa batang pohon. Berdebuk suaranya dan Gin Ciong terbanting, seketika nanar dan tidak mampu bangkit. Melihat puteranya terlempar dan terbanting, Tung-giam-ong menjadi marah sekali. Akan tetapi Lam Tok lebih marah lagi melihat puterinya tewas. Biar pun puterinya tewas karena anak panahnya sendiri, namun dia menyalahkan Si Kong. “Jahanam, kau sudah membunuh anakku!” teriaknya dan berbareng dengan Tung-giam-ong, dia menerjang maju. Kini Si Kong sudah siap siaga. Mengingat akan kematian Cu Yin, dia pun berseru,” Kalian dua orang tua bangka telah menyebabkan kematian Cu Yin!” Setelah itu dia membabatkan pedang yang diterima dari Cu Yin tadi ke arah kedua orang datuk besar itu. Melihat pedang yang bersinar kilat itu, baik Lam Tok mau pun Tung-giam-ong menjadi terkejut bukan main dan cepat mereka pun mencabut senjata mereka. Lam Tok mencabut pedangnya dan Tung-giam-ong mencabut tombak cagaknya. “Cringgg…! Trakkk...!” Pedang di tangan Si Kong patah-patah ketika bertemu dengan dua senjata itu. Si Kong terbelalak, begitu pula dengan dua orang datuk besar itu. Akan tetapi Gin Ciong yang sudah dapat bergerak kembali berseru kepada ayahnya. “Ayah, pedang itu bukan Pek-lui-kiam, melainkan hanya pedang tiruan!” Mendengar ucapan ini mengertilah Si Kong dan dia membuang pedang itu dengan marah, lantas menyambar sebatang cabang pohon untuk dijadikan senjata tongkat. Sekarang Si Kong dikeroyok tiga. Si Kong maklum bahwa tiga orang itu amat lihai dan berkeras hendak membunuhnya. Dia sendiri marah sekali melihat kematian Cu Yin yang mengorbankan nyawa untuknya, maka dia menyambut serangan tiga orang itu dengan tongkatnya, memainkan Ta-kauw Sin-tung sambil mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya. Akan tetapi, betapa pun lihainya Si Kong, sekarang dia harus melawan pengeroyokan dua orang datuk besar yang masih dibantu pula oleh Gin Ciong yang cukup tangguh. Dia tidak mendapat kesempatan mempergunakan Ilmu Thi-khi I-beng karena tiga orang lawannya semua menggunakan senjata. Thi-khi I-beng hanya boleh diandalkan dalam pertandingan dengan tangan kosong, jika ada persentuhan antara tangan lawan dan anggota tubuhnya. Untung bahwa ilmu tongkat yang dimainkannya, yaitu Ta-kauw Sin-tung memiliki gerakan yang luar biasa. Apa lagi ditambah dengan ilmunya Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) yang membuat tubuhnya bergerak dengan sangat lincah sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka bertanding, namun belum juga pemuda itu dapat dirobohkan. Ini merupakan hal yang luar biasa sekali. Dua orang kakek itu hampir tak dapat percaya bahwa mereka berdua, dibantu Gin Ciong, tidak mampu merobohkan pemuda itu dalam waktu lima puluh jurus lebih! Apabila hal ini diketahui oleh dunia kangouw, maka mereka tentu akan menjadi bahan olok-olok. Si Kong merasa bahwa akhirnya dia akan kehabisan tenaga dan tentu akan kalah kalau perkelahian itu dilanjutkan. Dia ingin melepaskan diri dari pengeroyokan mereka, namun mereka bertiga tidak memberi kesempatan kepadanya. Mereka mengepung ketat sekali. Tiba-tiba muncul banyak orang, ada puluhan orang banyaknya, tidak kurang dari empat puluh orang. Mereka adalah orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai. Melihat mereka, Gin Ciong pun berseru. “Kalian semua bantu kami menangkap pemuda ini!” Puluhan orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai segera menyerbu dengan senjata mereka. Tapi hal ini bukan membuat Si Kong terancam bahaya, bahkan memberi jalan kepadanya untuk meloloskan diri dari ancaman maut. Begitu melihat puluhan anak buah itu mengepung dan menyerangnya, Si Kong langsung meninggalkan tiga orang pengeroyoknya dan melompat ke tengah-tengah puluhan orang anak buah itu. Gerakannya begitu cepat sehingga sesudah merobohkan beberapa orang, dia sudah lenyap di antara mereka sehingga Lam Tok, Tung-giam-ong dan Tio Gin Ciong tidak dapat mengejarnya. Dari dalam kerumunan banyak orang itu Si Kong menyelinap dan akhirnya berhasil keluar dari kepungan lantas melarikan diri secepatnya mempergunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng dan sebentar saja bayangannya telah lenyap ditelan pohon-pohon dalam hutan. Sesudah bayangan Si Kong lenyap, Lam Tok segera menghampiri jenazah puterinya. Dia berjongkok dekat jenazah yang masih hangat itu sambil melamun sedih. Gin Ciong menghampiri ayahnya dan menceritakan betapa dia sudah diterima oleh para pimpinan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai dan bersekutu dengan mereka. Tung-giam-ong Tio Sun adalah datuk besar timur yang tentu saja sudah mengenal nama besar Pek-lian-pai sebagai perkumpulan pemberontak yang kuat. Dia mendengar bahwa puteranya telah bersekutu dengan mereka, maka dia menjadi girang sekali. “Kabarnya Pek-lui-kiam berada di tangan ketua Kui-jiauw-pang,” katanya. “Benar, ayah. Akan tetapi kini Kui-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, yaitu Toa Ok, Ji Ok dan Ang I Sianjin yang sekarang memakai julukan Sam Ok. Toa Ok yang mengatur bahwa yang akan didapatkan oleh para tokoh kangouw hanyalah Pek-lui-kiam palsu, ada pun yang asli tetap berada di dalam kekuasaannya.” “Hemm, aku datang ke sini atas undangan Toa Ok dan Ji Ok untuk menentukan siapa di antara empat datuk besar dari empat penjuru yang pantas memperoleh gelar datuk paling lihai di dunia! Siapa pun yang menang dalam pertandingan nanti berhak memiliki Pek-lui-kiam!” “Ayah, mengenai Pek-lui-kiam harap jangan khawatir. Toa Ok dan Ji Ok telah bergabung dengan Pek-lian-pai dan mereka memiliki cita-cita besar untuk meraih kedudukan tertinggi sesudah kerajaan Beng berhasil kita kuasai. Kalau Ayah menyatakan bersedia membantu gerakan mereka, tentu urusan pedang Pek-lui-kiam menjadi mudah. Tanpa susah payah Ayah akan dapat memilikinya sebagai upah Ayah suka membantu gerakan mereka.” Wajah Tung-giam-ong Tio Sun langsung berseri mendengar ucapan puteranya itu. “Kau pikir begitukah? Dan bagaimana dengan Lam Tok itu? Dia pun ikut diundang dan dia pun menginginkan pedang pusaka Pek-lui-kiam!” Gin Ciong memandang ke arah kakek yang masih duduk di dekat jenazah Cu Yin sambil termenung sedih itu. Pemuda ini mengerutkan alisnya. Cu Yin yang diharapkan menjadi isterinya telah tewas. Tidak ada hubungannya lagi dengan Lam Tok dan bahkan Lam Tok merupakan saingan yang berat, patut disingkirkan lebih dulu. “Ayah, dia pun menghendaki pedang Pek-lui-kiam. Dia musuh kita. Akan tetapi kalau dia suka membantu gerakan kita, dia boleh dijadikan teman.” “Bagaimana kalau dia tidak mau bekerja sama?” tanya kakek tinggi kurus yang mukanya penuh brewok itu. Gin Ciong menggerakkan tangan kanan seperti sebatang golok dan menggorok lehernya sendiri, sebagai tanda bahwa kalau Lam Tok menolak bekerja sama, maka lebih baik dia dibunuh saja! Isyarat ini membuat Tung-giam-ong merasa senang dan dia menyeringai lebar sambil mendekati Lam Tok yang masih duduk bersila dekat jenazah puterinya. “Hemmm, Lam Tok. Yang sudah mati tidak perlu ditangisi, tidak ada gunanya. Lebih baik sekarang engkau bekerja sama dengan aku dan kelak kita tentu akan mampu membalas dendam kepada Si Kong itu!” Lam Tok menoleh dan memandang kepada Tung-giam-ong dengan wajah dingin. “Bekerja sama dengan kamu?” Dia mengulang dalam suaranya terkandung ejekan. “Bukan saja dengan aku, Lam Tok. Akan tetapi terutama sekali membantu Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai.” Tiba-tiba Lam Tok meloncat berdiri. Mukanya berubah merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Telunjuk kirinya menuding ke arah wajah Tung-giam-ong. “Tung-giam-ong, kau kira aku ini orang apa? Engkau mengajak aku bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memberontak? Aku bukan pemberontak dan aku tak sudi membantu Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, tidak sudi bekerja sama dengan pengkhianat macam kamu!” Wajah Tung-giam-ong menjadi pucat, lalu merah sekali. “Jahanam busuk, engkau berani menghinaku?” Sementara itu Gin Ciong telah memberi aba-aba kepada orang-orang Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai. “Bunuh orang tak tahu diri ini!” Ketika itu Tung-giam-ong sudah menyerang Lam Tok dengan senjata tombak cagaknya. Gin Ciong mencabut pedangnya dan dia pun menyerang Lam Tok. Lam Tok yang marah sekali itu sudah pula mencabut pedangnya. Dia segera menangkis penyerangan ayah dan anak itu, kemudian membalas serangan mereka dengan tak kalah hebatnya. Akan tetapi Lam Tok sekali ini menghadapi pengeroyokan yang ketat dan kuat. Baru menghadapi Tung-giam-ong seorang saja kepandaiannya sudah seimbang. Dengan pengeroyokan Gin Ciong saja, Lam Tok telah terdesak, apa lagi di situ masih ada puluhan orang anggota Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai yang turut pula mengeroyoknya, maka dia segera terdesak hebat. Lam Tok mengamuk. Pedangnya diputar dengan begitu hebatnya ketika dia berloncatan meninggalkan pengeroyokan ayah dan anak itu, lantas menerjang kepungan anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sehingga empat orang pengeroyok mati berdarah. Akan tetapi Tung-giam-ong Tio Sun dan Tio Gin Ciong sudah mengejar dan menyerang dengan berbareng, membuat Lam Tok terpaksa harus memutar pedang menangkis. Pada saat itulah sebuah cakar setan dari anggota Kui-jiauw-pang telah mengenai punggungnya. Cakaran itu merobek baju berikut kulit punggungnya, mendatangkan luka memanjang. Lam Tok terkejut lantas membalikkan tubuhya. Tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat memegang lengan penyerangnya itu dan sekali sentakan, tubuh anggota Kui-jiauw-pang itu terangkat ke atas lalu dibanting ke atas tanah. Orang itu tewas seketika. Lam Tok telah memutar pedangnya kembali. Akan tetapi kini pengeroyokan semakin ketat sehingga kembali pundak kirinya terkena goresan cakar setan. Karena luka di punggung dan pundaknya itu terasa nyeri sekali, Lam Tok lalu meniru perbuatan Si Kong tadi. Ia cepat meloncat dan menyerbu di antara para anggota Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, menyelinap di antara mereka sambil merobohkan banyak orang. Akhirnya dia dapat lolos, melarikan diri dan dikejar oleh Tung-giam-ong dan Gin Ciong. Kembali Lam Tok bisa dikejar sehingga terpaksa melayani datuk timur dan puteranya itu. Akan tetapi luka-luka beracun di punggung dan pundaknya membuat gerakannya lambat dan terpaksa dia mundur terus sampai tiba di dekat jurang. Karena tidak mungkin mundur lagi, dia lalu mengamuk menghadapi pengeroyokan dua orang itu hingga akhirnya sebuah pukulan tangan kiri Tung-giam-ong mengenai dadanya. Pukulan itu adalah satu jurus dari Thai-yang Sin-ciang. Dadanya yang terpukul itu terasa panas dan tubuhnya terjengkang masuk ke dalam jurang yang menganga di belakang Lam Tok. Tung-giam-ong dan Gin Ciong menjenguk ke dalam jurang. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tertutup kabut sehingga mereka tidak dapat melihat tubuh Lam Tok. “Ha-ha-ha, lenyaplah sudah seorang sainganku!” Tung-giam-ong tertawa bergelak karena girangnya. Pada waktu terjatuh tadi, pikiran Lam Tok masih terang. Tahulah dia bahwa bahaya maut mengancam dirinya. Dia berusaha untuk menggunakan kedua tangan meraih, kalau-kalau ada sebatang pohon terjulur. Akan tetapi tangannya tidak dapat menangkap apa-apa dan dirinya tenggelam ke dalam kabut. Tidak ada lain jalan baginya untuk menyelamatkan diri kecuali mengerahkan tenaga saktinya melindungi tubuh dari bantingan ke dasar jurang. “Wuuuuttt...! Bukkk...!” Tubuh Lam Tok terbanting di atas dasar jurang itu. Ia telah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi pinggulnya dari bantingan itu, akan tetapi ternyata dia mendarat dengan mulus dan lunak. Kiranya di tempat itu terdapat banyak daun kering, bertumpuk sampai tebal sehingga merupakan tempat lunak seolah dia terbanting ke atas kasur tebal! Akan tetapi rasa nyeri di punggung dan pundaknya karena terluka cakar setan membuat dia pening sekali. Apa lagi bekas pukulan Tung-giam-ong tadi masih terasa panas sekali olehnya, maka setelah merintih satu kali, Lam Tok lalu jatuh pingsan. Lam Tok membuka matanya dan dia langsung teringat bahwa dia habis dikeroyok Tung-giam-ong dan terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat pula bahwa punggung dan pundaknya terluka oleh cakaran setan anggota Kui-jiauw-pang yang mendatangkan rasa nyeri bukan main. Akan tetapi dia merasa heran karena punggung serta pundaknya tidak terasa sakit sama sekali. Juga rasa panas akibat pukulan Tung-giam-ong sudah lenyap! Dan bajunya tersingkap seolah-olah ada orang yang menanggalkan sebagian bajunya. Terdengar gerakan orang di sebelah kirinya dan Lam Tok cepat menengok. Ketika melihat ada seorang pemuda duduk di atas batu di sebelahnya, dia segera bangkit, kaget karena dia mengenal pemuda itu sebagai Si Kong! Dia menoleh ke kanan kiri. Dia tidak lagi berada di dasar jurang, melainkan dalam sebuah hutan, sedang rebah di atas rumput hijau. Lam Tok adalah seorang yang sangat cerdik, maka sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda ini yang telah memindahkannya dari dasar jurang. Dia segera mengerahkan sinkang ke punggung dan pundaknya. Tidak terasa nyeri. Juga dadanya yang tadi terasa panas kini telah biasa kembali. Lam Tok dapat menduga bahwa dia telah ditolong oleh Si Kong. Akan tetapi dia cepat bangkit duduk, memandang kepada Si Kong lantas bertanya, suaranya dingin karena dia masih ingat bahwa pemuda ini yang menyebabkan kematian Cu Yin. “Engkau di sini?” Si Kong memberi hormat dan berkata sopan, “Saya melihat locianpwe rebah pingsan di dasar jurang itu.” Dia menuding ke depan di mana terdapat jurang. “Engkau yang memindahkan aku ke sini dan juga mengobati aku hingga lukaku sembuh?” tanyanya lagi dan pandang mata datuk itu mengamati wajah Si Kong penuh selidik. “Benar, locianpwe. Melihat locianpwe terluka akibat goresan cakar beracun serta pukulan yang berhawa panas, aku lalu mengobati locianpwe dengan menyedot racun dan melawan hawa panas dengan sinkang. Sayangnya aku tidak mempunyai mustika batu giok seperti yang dimiliki nona Tang Hui Lan sehingga bekas racun itu belum bersih benar, akan tetapi dengan pengerahan sinkang, locianpwe tentu akan dapat mengusirnya keluar.” “Hemm, mengapa engkau menolong dan menyelamatkan aku?!” pertanyaan ini dilakukan dengan suara membentak seperti orang menuntut. “Mengapa tidak, locianpwe? Melihat engkau atau siapa saja menggeletak pingsan dalam keadaan terancam bahaya maut, tentu saja aku turun tangan menolongmu.” “Tapi... tadi aku berusaha untuk membunuhmu! Bahkan sudah mengeroyokmu dengan si jahanam Tung-giam-ong itu. Dan engkau pun tentu sudah mati di tanganku kalau saja Cu Yin tidak mengorbankan nyawa untukmu!” Si Kong memejamkan kedua matanya sambil mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara parau penuh permohonan. “Ahh, locianpwe, aku mohon janganlan locianpwe bicara lagi tentang Yin-moi!” Si Kong membuka matanya yang kini sudah basah oleh air mata. Hatinya tertusuk ketika dia teringat akan Cu Yin, gadis yang sesungguhnya dikasihinya itu. “Cu Yin begitu mencintamu, mengapa engkau pernah menolak cintanya?” “Aku tidak menolak, hanya... merasa tidak berharga untuk melakukan perjalanan bersama dia, pula tidak patut dipandang orang bila seorang gadis seperti dia melakukan perjalanan bersama seorang pemuda. Akan tetapi... ahh, semua itu telah berlalu, locianpwe dan aku memang bersalah kepada Cu Yin. Kalau locianpwe masih merasa menyesal dan hendak membunuh aku, silakan. Aku tidak akan melawan.” Melihat pemuda itu demikian sedihnya, kemarahan Lam Tok menghilang, bahkan di dalam hatinya timbul rasa suka terhadap pemuda yang sudah menyelamatkan jiwanya itu. Akan tetapi dia tidak mau menunjukkan kelemahan hatinya ini dan berkata dengan nada keras. “Sudahlah, cepat pergilah, pergi jauh-jauh sebelum aku berubah pikiran. Pergi tinggalkan aku seorang diri!” Si Kong menghela napas dan bangkit berdiri, kemudian memberi hormat kepada datuk itu. “Selamat tinggal, locianpwe.” Lam Tok diam saja, wajahnya dingin dan dia bersila sambil memejamkan matanya untuk menghimpun hawa murni dan menghilangkan sisa racun dari punggung serta pundaknya. Si Kong memandang dengan hati terharu, maklum betapa sedihnya datuk yang baru saja kehilangan puterinya itu. Dia lalu pergi meninggalkan Lam Tok. Si Kong berlari cepat ke tempat di mana pertempuran tadi berlangsung. Dan seperti yang diharapkannya, jenazah Cu Yin masih menggeletak di situ, tidak ada yang mengurus, ada pun mayat-mayat para anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah dibawa rekan-rekan mereka. Dia merasa kasihan sekali kepada Cu Yin. Tak disangkanya nasib gadis jenaka itu begini menyedihkan. Tewas di tangan ayah kandungnya sendiri dan jenazahnya terlantar tanpa ada yang mengurusnya. “Maafkan aku, Yin-moi. Baru sekarang aku bisa mengurus jenazahmu. Semoga arwahmu mendapat tempat yang layak di alam baka.” Si Kong lalu menggali sebuah lubang yang cukup dalam. Dengan hati kasihan dan terharu terpaksa dia menguburkan jenazah itu dengan amat sederhana, tanpa peti, tanpa upacara sembahyang, tanpa apa-apa. Setelah merebahkan jenazah itu di dalam lubang, dari atas dia melihat jenazah itu dan kembali kedua matanya basah. Cu Yin yang nampak demikian cantik rebah di lubang itu, seperti orang sedang tidur pulas saja. “Selamat berpisah, Yin-moi, semoga kita dapat saling bertemu kembali di alam lain.” Dia menguatkan batinnya, lalu menutupi jenazah itu dengan daun-daun kering sehingga tidak nampak lagi dan barulah dia tega untuk menutup lubang itu dengan tanah kembali. Setelah selesai, dia mengambil sebuah batu besar yang digulingkannya ke depan makam itu supaya dapat menjadi semacam nisan atau tanda. Dengan mengerahkan sinkang-nya, dia kemudian mengukir beberapa huruf di permukaan batu yang berbunyi: 'Yang tercinta Siangkoan Cu Yin'. cerita silat online karya kho ping hoo Setelah duduk bersila di depan batu nisan itu selama setengah jam, Si Kong lalu bangkit dan sekali lagi memandang ke arah gundukan tanah, berbisik, “Selamat tinggal Yin-moi.” Dia lalu mengerahkan tenaganya dan sebentar saja lenyap dari tempat itu, berlari cepat sekali di antara pohon-pohon besar. *************** Tiga orang ketua Kui-jiauw-pang bergembira menerima Tung-giam-oang yang diajak oleh puteranya menjadi tamu kehormatan Kui-jiauw-pang. Toa Ok semakin senang mendengar bahwa Lam Tok sudah tewas oleh Tung-giam-ong. Lam Tok adalah salah satu di antara para datuk yang disegani dan sekarang datuk itu telah tewas. “Kami mengucapkan selamat untuk kemenangan Tung-giam-ong atas Lam Tok. Mari kita minum secawan arak untuk menghormati Tung-giam-ong sekalian menghaturkan selamat datang!” Semua orang minum arak untuk menyambut ucapan selamat dari Toa Ok itu. Tung-giam-ong sendiri juga dengan gembira minum araknya. “Sebagai ayah dari sahabat baik kami Tio-kongcu, kami harap agar Tung-giam-ong suka berterus terang mengenai tujuan perjalanannya ke sini,” kata pula Toa Ok. “Ha-ha-ha, Toa Ok masih pura-pura bertanya lagi!” Tung-giam-ong tertawa, memandang kepada semua yang hadir dan minum lagi arak dari cawannya. Mereka semua lengkap duduk di meja perjamuan itu. Toa Ok, Ji Ok, Sam Ok, Coa Leng Kun, Tio Gin Ciong, kelima Butek Ngo-sian serta empat orang tokoh Pek lian-kauw See-thian Su-hiap. “Biar pun kami sudah dapat menduga, tetapi akan lebih baik bila engkau mengatakannya kepada kami, karena sebagai seorang tamu kehormatan, kami harus dapat melayanimu sebaik-baiknya, Tung-giam-ong!” Kembali Tung-giam-ong tertawa, lalu menoleh kepada puteranya dan berkata, “Puteraku sudah mengadakan hubungan dengan Kui-jiauw-pang, itu saja sudah menunjukkan bahwa kedatanganku adalah sebagai sahabat, bukan musuh. Akan tetapi aku mengingatkan Toa Ok dan Ji Ok. Kalian sudah mengundang para datuk termasuk aku untuk mengadakan pertandingan di sini, untuk menentukan siapa yang terlihai di antara para datuk. Karena undangan itulah aku datang, dan kedua, aku pun tertarik oleh berita tentang Pek-lui-kiam, maka aku pun hendak memperebutkannya pula!” Kini dia memandang kepada Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan sinar mata menantang. “Bagus, memang telah kami duga, Tung-giam-ong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah ayah dari Tio-kongcu, kami mengajak engkau untuk bekerja sama. Pertama-tama, engkau bantulah kami untuk mengusir para datuk dan tokoh-tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Setelah semua datuk dapat kita kalahkan, barulah di antara engkau dan kami berdua bertanding untuk menentukan siapa datuk yang paling lihai,” kata Toa Ok. “Ha-ha-ha-ha! Aku orang tua tidak begitu berminat untuk mengejar nama. Tanpa menjadi datuk paling lihai di dunia aku pun sudah dikenal orang. Tapi bagaimana kalau pemenang pertandingan bukan saja menjadi datuk terlihai, akan tetapi juga berhak memiliki pedang pusaka Pek-lui-kiam?” Toa Ok dan Ji Ok saling pandang, lantas tertawa bergelak. Toa Ok kembali mengangkat cawannya dan berkata “Tung-giam-ong, mari kita minum untuk perjanjian itu. Kami setuju sekali karena sebagai datuk terlihai, tentu saja berhak menjadi pemilik Pek-lui-kiam!” Bukan main girang rasa hati Tung giam-ong. Tentu saja baginya jauh lebih ringan apa bila memenuhi syarat yang diajukan Toa Ok dari pada kalau dia sendiri harus memperebutkan Pek-lui-kiam itu di antara para datuk dan tokoh kangouw. Dia lalu menerima ajakan minum arak sampai tuga cawan penuh. Selagi mereka minum dengan gembira, mendadak seorang penjaga berlari masuk dengan wajah pucat. Toa Ok memandang penjaga itu dengan marah. “Berani benar engkau mengganggu kami! Apa kau tidak takut untuk dihukum mampus?” “Ampun, Toa-pangcu,” penjaga itu melapor, “di luar terdapat seorang pemuda yang minta bertemu dengan pangcu, dan… dan puncak ini sudah terkepung pasukan yang berjumlah besar!” Semua orang menjadi kaget mendengar ini. Tanpa banyak kata-kata lagi Toa Ok memberi isyarat kepada para pembantunya dan Tung-giam-ong juga cepat bangkit dan ikut keluar. Serombongan orang yang menjadi pimpinan itu keluar membawa senjata masing-masing. Toa Ok berjalan di depan, diikuti Ji Ok dan Sam Ok, lalu Tung-giam-ong. Mereka terkejut dan terheran sekali melihat bahwa yang datang hanya seorang pemuda saja. Namun Tung-giam-ong dan Bu-tek Ngo-sian mengenal pemuda itu dan sudah tahu akan kelihaiannya, maka mereka memandang dengan alis berkerut, tidak gentar karena mereka kini ditemani tiga pangcu dari Kui-jiauw-pang dan yang lain-lain. “Hemmm, orang muda, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak bertemu dengan kami?” Aku datang untuk menantang pembunuh pendekar Tan Tiong Bu di kota Sia-lin dan minta kembali Pek-lui-kiam yang dirampasnya!” kata Si Kong sambil memandang tajam kepada Sam Pangcu atau Ang I Sianjin yang berjubah merah. Mendengar tantangan ini, semua orang tersenyum mengejek. Pemuda itu hanya seorang diri sedangkan mereka terdiri dari lima belas orang jagoan. “Ha-ha-ha, katakan siapa engkau sebelum kami membunuh engkau, jangan sampai mati tanpa nama!” gertakToa Ok. Si Kong tersenyum. Pemuda perkasa ini tentu tidak begitu tolol untuk mendatangi sarang harimau itu seorang diri pula. Dia telah bertemu dengan Pek Bwe Hwa dan Hui Lan, juga telah diperkenalkan kepada Panglima Gui Tin dan Cang Hok Thian yang sudah memimpin pasukan mendaki puncak serta mengepung puncak yang menjadi sarang Kui-jiauw-pang itu. Dia muncul seorang diri, akan tetapi teman-temannya sedang menanti di belakangnya dan siap untuk turun tangan kalau dia dikeroyok! “Toa Ok, biarkan Ang I Sianjin melawan aku, ataukah engkau sendiri yang akan maju?” Toa Ok mengerutkan alisnya. “Bocah sombong! Katakan siapa namamu!” “Toa Ok, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat, ketika engkau bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah, kita sudah pernah saling berhadapan, akan tetapi kalian begitu pengecut sehingga melarikan diri!" Toa Ok terbelalak dan mengingat-ingat. Kini teringatlah dia akan pemuda yang membawa tongkat bambu dan hendak menerjangnya ketika mereka sudah terluka oleh perlawanan Ceng Lojin. “Hemm, kiranya engkau bocah di Pulau Teratai Merah itu?” “Benar, aku bernama Si Kong. Aku menantang Ang I Sianjin atau siapa saja yang hendak menghalangiku untuk merampas kembali Pek-lui-kiam.” “Engkau akan mampus dikeroyok!” kata Gin Ciong yang sangat membenci pemuda yang pernah dicinta Cu Yin itu. Si Kong tersenyum sambil menatap tajam wajah Toa Ok yang kelihatan masih ragu-ragu. Kemudian dia berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ. “Toa Ok, jangan mencoba untuk main keroyokan! Aku menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Bila kalian mau main keroyokan, di belakangku terdapat banyak kawan-kawanku, dan juga pasukan kerajaan telah mengepung sarang Kui-jiauw-pang ini!” Toa Ok adalah seorang datuk yang amat cerdik. Dari laporan penjaga tadi, dia tidak perlu menyangsikan kebenaran kata-kata Si Kong, bukan gertakan kosong belaka. Akan tetapi dia ditemani banyak orang pandai, apa bila bertanding satu lawan satu belum tentu kalah. Dia cepat melihat ke bawah, dan di belakang Si Kong, teraling pohon-pohon dan semak-semak, kelihatan bayangan beberapa orang. “Si Kong, apakah engkau benar-benar akan menepati janjimu untuk bertanding satu lawan satu dan tidak mengerahkan pasukan?” “Pasukan kerajaan akan maju apabila pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai bergerak, dan kawan-kawanku akan maju kalau teman-temanmu maju pula! Engkau sebagai orang nomor satu di sini, ayo majulah dan tandingi aku, murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!” tantang Si Kong yang sudah marah sekali. Mendengar pemuda itu menyebut diri sebagai murid Pendekar Sadis, agak gentarlah rasa hati Toa Ok, maka dia lalu menoleh kepada Ji Ok dan berkata, “Ambilkan Pek-lui-kiam!” Ji Ok melompat pergi memasuki rumah induk. Si Kong yang mendengar ini tersenyum. “Bagus, pergunakanlah Pek-lui-kiam kalau engkau merasa jeri kepadaku. Aku hanya akan menggunakan tongkat bambu ini!” kata Si Kong sambil menyilangkan tongkat bambu yang sudah dibawanya ke depan dada. Tak lama kemudian Ji Ok datang lagi sambil membawa pedang pusaka Pek-lui-kiam. Toa Ok menerima pedang itu lalu digantungkan di punggungnya, sedangkan tangan kanannya memegang senjatanya yang sangat istimewa, yaitu sebatang tongkat berbentuk ular yang setinggi sepundaknya. Agaknya dia sengaja membawa pedang pusaka itu supaya jangan sampai dirampas orang lain dan juga agar dia dapat menggunakannya dan mengandalkan keampuhannya kalau sampai dia terdesak. Selain itu, kalau pihaknya terdesak sehingga dia terpaksa melarikan diri, maka dia dapat membawa serta pedang pusaka itu. “Bocah sombong, sekarang tibalah saatnya bagimu untuk mampus di tanganku!” Toa Ok membentak untuk mengecilkan hati lawannya. Akan tetapi Si Kong tersenyum mengejek. “Toa Ok, ketika dulu engkau menyerbu Pulau Teratai Merah, masih untung guruku memberi maaf kepadamu sehingga tidak mencabut nyawamu. Akan tetapi sekarang aku tidak akan memberi maaf lagi karena kejahatanmu sudah meningkat dengan pemberontakan!” Mendengar ucapan ini, Toa Ok menjadi marah bukan main dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya menerjang maju. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Si Kong, dibarengi dengan menyambarnya tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan sinkang yang panas. Tangan kiri ini ampuh sekali, tak kalah dahsyatnya dibandingkan tongkatnya. Tapi Si Kong telah siap siaga. Dia maklum akan kelihaian datuk dari barat ini. Tongkatnya diputar secara aneh menangkis tongkat ular lantas menyambar ke bawah menotok tangan kiri lawan yang terbuka dan didorongkan kepadanya. Toa Ok kaget sekali karena dari kedudukan menyerang sekarang mendadak dia diserang! Tongkat ularnya mental kembali saat bertemu tongkat bambu yang mengandung getaran kuat itu dan sekarang telapak tangan kirinya terancam totokan tongkat bambu. Dia cepat menarik kembali tangan kirinya dan tongkatnya sudah menyambar ke arah kedua kaki Si Kong. Dengan gerakan ringan bagaikan burung walet tubuh Si Kong meloncat ke atas sehingga tongkat ular itu lewat di bawah kakinya. Ketika tubuhnya masih terbang ke atas, tongkat bambunya sudah menyambar ke bawah, menotok ke arah belakang kepala Toa Ok. Kembali Toa Ok terkejut karena serangan balik Si Kong itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Memang di situlah letak kelihaian ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, gerakannya sukar diduga lebih dahulu dan amat aneh, tidak seperti ilmu tongkat pada umumnya. Ilmu tongkat Pemukul Anjing ini memang amat hebat dan pernah dengan ilmu itu Yok-sian Lo-kai malang melintang di dunia kang-ouw sehingga menjadi tokoh nomor satu di antara seluruh kaipang (perkumpulan pengemis). Toa Ok harus memutar tubuhnya sambil melindungi dengan tongkat ularnya untuk dapat terhindar dari bahaya maut. Tongkatnya menangkis tongkat bambu yang menotok ke arah tengkuknya itu. “Trakkkk!” Tongkat ular bertemu tongkat bambu dan tongkat ular mental kembali dengan kuatnya. Memang tongkat bambu ini amat cocok untuk ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, seolah-olah pada ruas-ruas tongkat yang kosong itu kini terisi tenaga sinkang yang kuat sekali hingga membuat tongkat bambu itu terasa keras dan berat ketika bertemu tongkat ular. Mendadak Toa Ok melompat ke belakang dan sambil melompat itu tangannya bergerak. Sinar hitam menyambar ke arah Si Kong. Melihat sambaran senjata-senjata rahasia itu hebat sekali, Si Kong langsung melepaskan capingnya lantas sekali melemparkan caping itu, topi lebar itu berputar dan semua jarum hitam itu menancap pada caping dan runtuh ke atas tanah. Si Kong cepat menerjang ke depan dengan tongkatnya sehingga Toa Ok harus melindungi dirinya dengan putaran tongkat ularnya yang membentuk perisai melindungi seluruh tubuhnya. Melihat betapa Toa Ok sudah maju dan bertanding dengan serunya melawan pemuda itu, hati Tung-giam-ong menjadi tak enak. Yang dikhawatirkan adalah kalau Toa Ok kalah dan pedang Pek-lui-kiam asli yang di punggung Toa Ok itu sampai berpindah tangan terampas oleh pemuda lihai itu. Dia tidak dapat membantu Toa Ok karena sebelumnya telah berjanji akan bertanding satu lawan satu. Akan tetapi dia ingin mengetahui kekuatan pihak lawan, maka dia pun meloncat ke depan sambil menantang. “Siapa yang akan melayani aku? Marilah kita bertanding satu lawan satu!” Sebelum Hui Lan atau Bwe Hwa menyambut tantangan Datuk Besar Timur itu, dari arah kiri meloncat seorang laki-laki tua yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan sikapnya gagah. Orang ini bukan lain adalah Lam Tok Siangkoan Lok, datuk dari selatan itu. Begitu muncul, dia langsung menghadapi Tung-giam-ong Tio Sun sambil tersenyum lebar. “Tua bangka dari timur yang curang dan pengecut. Tentu engkau menyangka bahwa aku sudah mati, bukan? Tidak, aku tidak mati sebelum mencabut nyawamu yang rendah itu!” Setelah berkata demikian, Lam Tok sudah mencabut pedangnya. Tung-giam-ong Tio Sun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat Lam Tok seperti orang melihat setan, melihat orang mati yang hidup kembali! Bagaimana mungkin Lam Tok masih dapat hidup dan segar bugar setelah menerima cakaran-cakaran beracun dari cakar setan, menerima pukulan sinkang-nya dan kemudian bahkan terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam? “Kau... kau masih… hidup?” kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya masih terbelalak dan mulutnya ternganga. Akan tetapi secara diam-diam majikan Pulau Biruang itu sudah mengerahkan tenaga Thai-yang Sin-ciang pada tangan kirinya, siap untuk menyerang dengan pukulan jarak jauh. “Hemm, andai aku sudah mati sekali pun, aku akan hidup kembali hanya untuk mencabut nyawamu!” kata Lam Tok dan dia menggerakkan tangan kirinya. Tiga batang anak panah meluncur seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tung-giam-ong. Akan tetapi pada saat itu Tung-giam-oang sudah siap siaga dan dia segera memukulkan tangan kirinya ke depan. Hawa pukulan yang sangat kuat menyambut tiga batang anak panah itu sehingga ketiga batang anak panah beracun itu runtuh ke atas tanah. Lam Tok menerjang ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya siap melancarkan pukulan Jeng-kin-lat (Tangan Seribu Kati). Tung-giam-ong bisa melihat serangan yang dahsyat dan berbahaya ini, maka dia pun menggerakkan senjata tombak cagaknya untuk menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya. “Tringg...! Cringgg...!” Dua senjata itu bertemu dua kali dan kedua orang datuk itu terhuyung mundur beberapa langkah. Akan tetapi Lam Tok telah menerjang kembali dengan hebatnya. Dia menyerang dengan pedangnya, memainkan ilmu silat Lam-hai Sin-ciang yang datang bergelombang, dan tangan kirinya juga membentuk cakar garuda mengirim serangan bergantian dengan pedangnya. Tung-giam-ong terpaksa harus memutar tombak cagaknya untuk melindungi dirinya. “Tranggg...!” Kembali pedang berdentang ketika bertemu dengan tombak bercagak, dan pada saat itu tangan kiri Lam Tok menyambar ke arah dada lawannya. Bukan main hebatnya serangan tangan kiri ini karena mempergunakan tenaga seribu kati dan tangan kiri yang ampuh itu mengandung racun yang berbahaya sekali. Maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli racun yang lihai, Tung-giam-ong terpaksa menghindarkan diri dengan elakan ke kiri sambil menusukkan tombak cagaknya ke arah lambung Lam Tok “Cringgg...!” Kembali kedua senjata saling bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya kembali saling serang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika Ji Ok melihat betapa kakaknya mulai terdesak melawan Si Kong, dia cepat meloncat ke depan dengan maksud untuk mengeroyok. Memang biasanya Toa Ok dan Ji Ok maju bersama dan pasangan ini merupakan lawan yang amat tangguh. “He-he, tidak boleh main keroyokan! Engkau adalah lawanku, Ji Ok!” terdengar bentakan dari samping kemudian seorang kakek tinggi besar berkepala botak telah melompat dan menyambut Ji Ok dengan melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan sikapnya menantang. Ji Ok segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pai Ong Loa Thian Kun. Kakek ini dijuluki Pai Ong (Raja Utara) karena semua orang kang-ouw di utara menganggap dia sebagai rajanya dunia kang-ouw. “Pai Ong! Jangan mencampuri urusan kami!” Ji Ok membentak marah. “Heh-he-heh! Engkau dan Toa Ok yang mengundang kami semua naik ke sini. Sekarang aku sudah datang dan aku tak mau ketinggalan melihat ramai-ramai mengadu kepandaian ini. Toa Ok sudah mendapatkan lawan, kalau engkau maju, maka akulah lawanmu untuk menentukan siapa yang lebih lihai di antara kita dan siapa yang lebih berhak memperoleh Pek-lui-kiam!” Ji Ok adalah seorang datuk besar dari barat, tentu saja dia tidak gentar melawan Pai Ong. Dia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang tadi sebagian terurai ke depan, kini tergantung di belakang punggungnya sampai ke pinggang. Wajahnya yang menyeramkan seperti muka monyet penuh rambut itu terlihat marah, matanya kemerahan dan hidungnya mendengus-dengus. Tangannya meraih ke punggung dan dia telah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang pecut penggembala yang berekor panjang. “Pai Ong, jangan mengira bahwa aku takut melawanmu!” “Tar-tarr-tarrr...!” Pecutnya meledak-ledak di udara sehingga nampak asap mengepul saking kuatnya pecut itu melecut, lalu di lain saat dia sudah menyerang Pai Ong dengan pecutnya. Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya dan menyambut lecutan itu dengan gerakan menggunting dengan sepasang goloknya. Ji Ok tidak membiarkan pecutnya digunting dua batang golok. Ditariknya kembali pecutnya dan kini secara tiba-tiba dia menyerang kedua kaki lawan dengan sabetan pecutnya. Pai Ong melompat ke atas, akan tetapi dari atas menyambar sinar hitam yang bukan lain adalah rambut panjang Ji Ok yang segera menyambar begitu dia menggerakkan kepala. Ternyata Ji Ok dapat menggunakan rambutnya untuk menyerang dengan amat cepat dan berbahaya karena rambut itu mengandung tenaga sinkang yang kuat. Pai Ong kembali menangkis dengan golok kirinya, dengan maksud untuk menyabet putus rambut Ji Ok, sementara golok kanannya sudah membacok ke arah pinggang lawan. Dari kedudukan menyerang kini Ji Ok malah terserang hebat. Maka dia mencelat ke belakang untuk mengelak, lalu memutar tubuh dan kembali menyerang dengan pecutnya. Dua orang datuk itu sudah terlibat dalam pertandingan yang amat hebat. Setiap serangan mereka merupakan serangan maut yang berbahaya. Melihat betapa Toa Ok dan Ji Ok sudah maju dan berkelahi dengan para pendatang itu, Sam Ok atau Ang I Sianjin menjadi marah sekali. Bagaimana pun juga puncak Kui-liong-san tadinya adalah sarang dari perkumpulannya. Dialah tuan rumah di situ. Kini agaknya perkumpulannya terancam oleh Si Kong beserta kawan-kawannya, bahkan Lam Tok dan Pai Ong, dua orang datuk besar itu, menentang Kui-jiauw-pang seperti berpihak kepada Si Kong. Dia merasa berbesar hati karena betapa pun juga dia memiliki seratus orang lebih anggota Kui-jiauw-pang serta seratus orang lebih anggota Pek-lian-pai. Apabila dia mengerahkan semua pembantunya maju, maka pihaknya tidak akan kalah. Agaknya Tio Gin Ciong mempunyai pendapat yang sama dengan Sam Ok. Melihat betapa ayahnya, Tung-giam-ong kini sudah dilawan oleh Lam Tok, dia menjadi marah sekali. Dia pun meloncat ke depan dengan maksud untuk membantu ayahnya menghadapi Lam Tok. Akan tetapi pada saat itu pula muncul Pek Bwe Hwa dan Hui Lan. Hui Lan melompat ke depan saat Sam Ok dan Gin Ciong maju sehingga dara ini menghadapi dua orang lawan. Tanpa banyak cakap lagi Sam Ok dan Gin Ciong segera menggunakan senjata masing-masing untuk menerjang Hui Lan. Sam Ok menggunakan kipas di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, sedangkan Gin Ciong juga menggunakan pedangnya. Walau pun dara itu diserang oleh dua orang lawan, akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar. Hok-mo Siang-kun (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) sudah berada pada kedua tangannya dan begitu dia memainkan sepasang pedang itu, nampaklah sinar hitam bergulung-gulung laksana sepasang naga bermain di angkasa. Begitu dara itu memainkan sepasang pedangnya, Sam Ok dan Gin Ciong menjadi terkejut bukan main dan terpaksa main mundur, mencoba untuk mengepung gadis itu dari kiri dan kanan. Segera dua orang pengeroyok itu melakukan serangan bertubi-tubi, tetapi semua serangan itu terpental kembali begitu bertemu dengan dua gulungan sinar hitam itu. Coa Leng Kun merasa tidak enak kalau tinggal diam saja. Dia melompat ke depan untuk membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Bwe Hwa melompat ke depannya dengan muka kemerahan karena gadis ini sudah marah sekali melihat Coa Leng Kun. Bwe Hwa teringat betapa dia hampir celaka karena dipengaruhi sihir empat orang tokoh Pek-lian-kauw, kemudian dia dikeroyok oleh Leng Kun dan See-thian Su-hiap. Tadinya dia mulai tertarik dan merasa kagum kepada Leng Kun, akan tetapi ternyata hanya ditipu saja oleh pemuda berpakaian serba putih dan yang bersenjata suling itu! “Jahanam Coa Leng Kun, sekarang tiba saatnya aku membasmi manusia berwatak hina dan rendah seperti kamu!” Melihat munculnya Pek Bwe Hwa, Leng Kun terkejut bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, maka dia lalu menoleh ke arah See-thian Su-hiap dan berkata, “Su-wi totiang, bantulah aku!” See-thian Su-hiap memang telah siap untuk bertanding, oleh karena itu begitu mendengar permintaan Leng Kun, mereka segera berlompatan dan mengepung gadis itu. Melihat ini, Cang Hok Thian juga melompat ke depan dan membantu Bwe Hwa. Dua orang muda ini berhadapan dengan lima orang lawan dan mereka segera bergerak mengamuk, membuat lima orang pengeroyok itu mengepung dengan hati-hati. Pertempuran itu menjadi semakin hebat ketika Bu-tek Ngo-sian maju pula mengeroyok. Dua orang dari mereka membantu Toa Ok yang sudah terdesak oleh Si Kong, dua orang lagi membantu Ji Ok yang juga kerepotan menghadapi serangan Pai Ong, dan satu orang lagi membantu Tung-giam-ong yang sedang bertanding melawan Lam Tok. Panglima Gui Tin melihat betapa pertandingan itu sudah tidak adil lagi, melainkan main keroyokan. Maka dia pun memberi aba-aba kepada pasukannya. Beratus-ratus pasukan kerajaan menyerbu dan mengepung sarang Kui-jiauw-pang, yang langsung disambut oleh pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai. Maka terjadilah pertempuran sengit dan hiruk-pikuk di puncak Kui-liong-san. Akan tetapi pasukan kerajaan berjumlah tiga sampai empat kali lebih banyak dibandingkan pasukan pemberontak, maka pertempuran itu menjadi berat sebelah. Gui Tin yang berpengalaman dalam pertempuran segera melihat bahwa pasukannya akan menang dengan mudah. Dia lalu memilih belasan orang pembantunya yang memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membantu para pendekar yang dikeroyok. See-thian Su-hiap dan Bu-tek Ngo-sian tidak dapat lagi membantu kawan-kawan mereka karena mereka sendiri harus menghadapi pengeroyokan para prajurit. Sekarang Si Kong berhadapan satu lawan satu dengan Toa Ok. Pada saat dia mendapat kesempatan, pemuda itu memutar tongkat bambunya hingga melibat tongkat ular lawan. Selagi mereka saling betot, Si Kong menggunakan Hok-liong Sin-ciang untuk menyerang dengan tangan kirinya. Ilmu silat Hok-liong Sin-ciang ini merupakan ilmu silat istimewa dari mendiang Ceng Lojin. Pukulan yang dilakukan tangan kiri Si Kong itu mendatangkan hawa pukulan yang amat dahsyat. Karena tongkat mereka seolah menjadi satu sama lain, maka tidak ada jalan lain bagi Toa Ok kecuali menangkis dengan dorongan tangan kiri pula. “Plakkk!” Dua telapak tangan bertemu, akan tetapi Si Kong telah menyimpan tenaga Hok-liong Sin-ciang dan menggantikan dengan ilmu Thi-khi I-beng! Seketika Toa Ok merasa betapa tenaga sinkang-nya membocor keluar dari tangan kirinya, tersedot oleh telapak tangan kiri Si Kong. Dia terkejut sekali dan teringat akan ilmu Thi-khi I-beng yang amat berbahaya itu. Cepat dia menyimpan kembali tenaga sinkang-nya. Sesudah tidak menggunakan sinkang lagi, daya tempel telapak tangan itu lenyap dengan sendirinya. Akan tetapi pada saat itu tangan kiri Si Kong menghantam ke arah tongkat ular dengan tangan miring seperti sebatang golok. “Krekkk!” Tongkat berbentuk ular itu patah menjadi dua potong. Marahlah Toa Ok. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu lalu mencabut pedang di punggungnya. Tampak sinar terang berkilat ketika pedang tercabut dan sekali ini Si Kong maklum bahwa yang berada di tangan Toa Ok itu adalah pedang Pek-lui-kiam yang asli dan karena itu ampuh sekali. Dari samping sinar terang itu menyambar ke arah leher Si Kong. Dia cepat menggetarkan tongkat bambunya untuk menangkis. “Crokkk!” Tongkat bambunya putus menjadi dua potong. Si Kong terkejut sekali. Tongkat bambunya itu tidak akan putus bertemu dengan senjata tajam yang mana pun juga. Akan tetapi sekali ini, begitu bertemu Pek-lui-kiam lalu putus, padahal dia sudah mengerahkan tenaga sinkang-nya! Terdengar Toa Ok tertawa mengejek dan kakek itu terus menyerang dengan gencarnya. Si Kong menggunakan dua potongan bambu di tangan kanan dan kiri untuk menyambut, akan tetapi berturut-turut tongkat bambu yang telah menjadi pendek itu putus kembali. Dia membuang potongan tongkat bambu itu, lantas menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran Pek-lui-kiam. Biar pun Toa Ok menyerang dan mendesak dengan pedang pusakanya, namun gerakan Si Kong terlampau gesit sehingga semua serangannya hanya mengenai tempat kosong saja. Semakin cepat Toa Ok menyerang, semakin cepat pula Si Kong bergerak mengelak karena dia telah menggunakan ilmu silat Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya seperti seekor burung walet saja gesitnya.....

jilid 20


Si Kong mendapatkan kesempatan yang baik setelah lewat lima puluh jurus sejak Toa Ok mencabut Pek-lui-kiam. Secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang. Tangan kiri Toa Ok melakukan pukulan dengan sinkang panas ke arah dada Si Kong dalam jarak dekat, namun Si Kong menerima pukulan itu dengan dadanya. “Bukkk!” Telapak tangan Toa Ok melekat pada dada Si Kong dan seketika hawa sinkang membanjir keluar dari tangan kiri Toa Ok, tersedot oleh ilmu Thi-khi I-beng! Toa Ok terkejut bukan kepalang, akan tetapi Si Kong sudah mengerahkan tenaganya dan menggunakan tangan kanannya untuk merenggut pedang Pek-lui-kiam dari tangan kanan Toa Ok. Karena Toa Ok sedang sibuk hendak melepaskan tangan kirinya, maka dia tidak dapat mempertahankan pedang itu yang dapat terampas oleh Si Kong. Toa Ok menggereng marah dan menggerakkan tangan kirinya tanpa pengerahan sinkang. Akan tetapi dia terlambat. Si Kong sudah memukulnya dengan jurus Hok-liong Sin-ciang dan pukulan itu tepat mengenai ulu hatinya. ”Dessss...!” Tubuh Toa Ok terlempar seperti bola dan jatuh terbanting ke atas tanah tanpa bergerak lagi. Isi dadanya sudah remuk oleh pukulan yang amat hebat itu! Pada saat yang hampir bersamaan, Hui Lan juga sudah merobohkan Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan pedang hitamnya. Dada Ang I Sianjin tertusuk pedang dan dia pun roboh dan tewas seketika. Setelah merobohkan Sam Ok, Hui Lan lalu mengamuk dan robohlah Tio Gin Ciong dan Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap. Mendengar teriakan maut puteranya, Tung-giam-ong terkejut dan perhatiannya terpecah sehingga Lam Tok berhasil memukul dada datuk besar timur itu dengan tangan kirinya. Pukulan itu hebat sekali dan mengandung racun yang mematikan sehingga tubuh Tung-giam-ong terjengkang keras dan dia pun tewas seketika. Dapat dibayangkan betapa paniknya Ji Ok yang masih dapat bertahan melawan Pai Ong. Tetapi karena hatinya sudah merasa gentar melihat robohnya teman-temannya, terutama robohnya Toa Ok, dia hanya main mundur dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Dia memutar pecutnya dengan cepat, membentuk perisai lebar yang menutupi tubuhnya, dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan. Tiga batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Pai Ong. Datuk utara ini cepat mengelak sambil meloncat ke kiri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ji Ok untuk melarikan diri. Akan tetapi baru lima langkah dia berlari, Pai Ong sudah menggerakkan tangan kirinya dan golok di tangan kirinya itu meluncur lantas menancap di punggung Ji Ok sampai tembus ke dadanya. Ji Ok pun roboh dan dia tewas seketika. Yang masih bertahan terhadap Bwe Hwa hanya Coa Leng Kun. Pemuda ini masih dapat bertahan karena dia dibantu oleh dua orang dari Bu-tek Ngo-sian yang amat lihai. Melihat betapa Bwe Hwa belum dapat merobohkan lawan yang mengeroyoknya, Hui Lan segera melompat dan membantu Bwe Hwa. Sekarang pertempuran itu menjadi berat sebelah dan dengan mudah pedang Kwan-im-kiam di tangan Bwe Hwa menyambar dan melukai leher Coa Leng Kun. Dua orang Bu-tek Ngo-sian itu, orang pertama Ciok Khi dan orang kedua Sia Leng Tek, menjadi gentar akan tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri. Ada pun tiga orang adik mereka juga sudah terdesak oleh pengeroyokan banyak prajurit. Mereka berdua menjadi nekat melawan dua orang gadis perkasa itu. Akan tetapi karena hati mereka sudah merasa gentar, maka permainan pedang mereka menjadi lemah dan hampir berbareng mereka roboh oleh tusukan pedang Hui Lan dan pedang Bwe Hwa. Para anggota Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah banyak yang tewas ketika melawan pasukan kerajaan yang tiga empat kali lebih banyak jumlahnya. Tiga orang dari See-thian Su-hiap dan tiga orang dari Bu-tek Ngo-sian masih bertahan, akan tetapi Si Kong, Hui Lan serta Bwe Hwa menerjang mereka dan dalam waktu singkat saja mereka semua sudah roboh dan tewas. Apa lagi karena Si Kong mempergunakan Pek-lui-kiam yang amat ampuh sehingga sepak terjangnya menggiriskan. Begitu sinar berkelebat, sudah ada seorang lawan yang tewas! Melihat ini, sisa anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menjadi ketakutan dan mereka membuang senjata dan berlutut menyerah. Panglima Gui Tin segera menyuruh pasukannya untuk menangkapi mereka, kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk mundur. Setelah memeriksa keadaan pasukannya, dia lalu memerintahkan pasukannya untuk bekerja, mengubur semua jenazah dan mengobati mereka yang terluka. Sementara itu Lam Tok sudah berhadapan dengan Pai Ong. Mereka saling pandang dan Lam Tok yang lebih dulu berkata, “Ha-ha-ha, kita berdua saja yang masih hidup di antara empat orang datuk besar. Apakah engkau masih ada hasrat untuk menjadi datuk paling lihai di kolong langit ini?” Pertanyaan ini mengandung tantangan. Pai Ong tertawa pula, “Ha-ha-ha, ucapanmu benar, Lam Tok! Karena kita berdua memilih pihak yang benar, tidak menuruti hasutan Toa Ok dan Tung-giam-ong yang bersekongkol dengan pemberontak, maka kita masih hidup. Ini berarti kita memilih pihak yang benar.” “Tepat sekali, Pai Ong! Memang Pek-lian-kauw selalu membujuk dan menghasut tokoh-tokoh kangouw sehingga terseret ke dalam pemberontakan melawan pemerintah. Apa bila seorang datuk masih bisa terbujuk omongan manis, maka dia tak berhak menjadi seorang datuk yang berpendirian gagah perkasa dan bebas. Akan tetapi mengingat sekarang yang tinggal hidup hanyalah Pai Ong datuk dari utara dan aku Lam Tok datuk dari selatan, lalu bagaimana pendapatmu?” “Lam Tok, aku sudah merasa malas untuk memperebutkan sebutan Datuk Nomor Satu di Dunia. Kalau yang ada tinggal dua orang datuk saja, apa artinya mendapat sebutan Datuk Nomor Satu? Tidak, kau boleh memakai sebutan Datuk Terlihai itu karena aku tidak ingin merebutnya. Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam, itulah yang dapat diperebutkan!” “Tepat sekali! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih berhak mendapat pedang pusaka Pek-lui-kiam!” kata LamTok. “Bagus, aku setuju!” teriak Pai Ong. “Siapa pemilik Pek-lui-kiam, biar tanpa sebutan apa pun, menjadi bukti bahwa dialah yang terlihai!” Pada saat itu Si Kong melangkah maju menghampiri dua orang datuk yang saling tantang itu, lantas memberi hormat kepada mereka. “Ji-wi locianpwe, pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tanganku.” “Bagus, Si Kong. Serahkan pedang pusaka itu padaku. Sejak melihat engkau mengubur jenazah puteriku, aku sudah berubah pikiran dan membantumu menentang mereka yang menjadi musuh-musuhmu. Karena engkau tidak termasuk seorang datuk, maka serahkan pedang Pek-lui-kiam kepadaku!” kata Lam Tok. Sekarang dia mengerti mengapa puterinya dahulu jatuh cinta kepada pemuda perkasa ini. Dia berterima kasih sekali ketika melihat Si Kong mengubur jenazah Cu Yin dan timbullah rasa sukanya terhadap pemuda ini “Bukan diserahkan kepada Lam Tok. Itu kurang adil karena di sini ada dua orang datuk yang masih hidup. Orang muda, serahkan pedang itu kepada siapa di antara kami yang memenangkan pertandingan memperebutkan Pek-lui-kiam,” kata Pai Ong. Si Kong kembali memberi hormat kepada dua orang datuk itu. sekarang pandangannya terhadap dua orang datuk itu pun sudah berubah. Dua orang datuk itu tidak seperti yang lain, tidak tunduk kepada pemberontak Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, malah menentang mereka. Dia beranggapan bahwa dua orang datuk ini masih memiliki jiwa pahlawan dan berpendirian, biar pun mereka memiliki watak yang aneh dan menurut kehendak mereka sendiri. “Ji-wi locianpwe, pedang pusaka ini adalah milik pendekar Tan Tiong Bu, karena itu tidak dapat dimiliki siapa pun, harus kukembalikan kepada yang berhak.” “Akan tetapi Tan Tiong Bu telah mati, terbunuh oleh Ang I Sianjin!” tegur Lam Tok. “Benar, locianpwe. Akan tetapi dia masih memiliki seorang anak perempuan dan kepada anaknya itulah pedang Pek-lui-kiam ini akan kuserahkan. Dara itulah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam sebagai peninggalan ayahnya.” “Ahh, mana bisa begitu?” Pai Ong cepat mencela. “Siapa yang terkuat dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam. Karena itu kita bertiga akan membuktikan siapa yang terkuat, dan dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam!” Akan tetapi Lam Tok menghela napas panjang dan berkata, “Apa yang dikatakan Si Kong itu benar! Apa gunanya kita memperebutkan sebuah pusaka yang sesungguhnya menjadi hak milik orang lain? Memalukan saja! Apa engkau senang kalau disebut sebagai seorang pencuri? Aku tidak! Sudahlah, Si Kong, aku tidak akan memperebutkan pusaka Pek-lui-kiam itu. Dan engkau, Pai Ong, apabila engkau masih penasaran untuk memperebutkan kedudukan datuk nomor satu, kupersilakan engkau datang ke tempat tinggalku di Lembah Sungai Heng-kiang. Selamat tinggal!” Sesudah berkata demikian, Lam Tok meloncat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon. “Bagaimana, locianpwe? Apakah engkau tidak sependapat dengan locianpwe Lam Tok?” tanya Si Kong kepada Pai Ong. “Tentu saja tidak. Sebelum engkau dapat mengalahkan aku dalam perandingan, aku tidak rela kalau engkau membawa pergi Pek-lui-kiam! Kalahkan aku dulu, baru engkau berhak menentukan apa yang akan kau lakukan dengan Pek-lui-kiam!” “Locianpwe, sesungguhnya aku sendiri tidak ingin memiliki pedang pusaka ini. Aku hanya hendak mempertahankan karena pusaka ini harus aku serahkan kepada puteri pemiliknya yang sejati, yaitu sebelum pusaka itu dibawa pergi oleh Ang I Sianjin.” “Kalau begitu, mari kalahkan aku dulu!” Kakek tinggi besar berkepala botak ini mencabut sepasang goloknya. “Akan tetapi engkau berbuat licik kalau engkau hendak menghadapi sepasang golokku dengan pedang pusaka itu.” Si Kong tersenyum, lantas memungut sebatang kayu dari bawah pohon. Dia membuang ranting dan daun kering dari cabang kayu itu dan memegangnya sebagai tongkat. “Aku tidak akan menggunakan pedang Pek-lui-kiam untuk melawanmu, locianpwe. Cukup dengan sebatang kayu ini saja. Kalau aku kalah terhadap locianpwe, maka pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan.” Pai Ong tersenyum dan wajahnya berseri-seri. “Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan dapat dipercaya. Marilah kita tentukan siapa di antara kita yang berhak membawa pergi Pek-lui-kiam. Mulailah, Si Kong.” “Aku telah siap, locianpwe. Yang lebih tua harus mulai lebih dulu.” “Bagus, lihat golok!” Kakek tinggi besar itu sudah menggunakan sepasang goloknya untuk menyerang. Serangannya memang dahsyat sekali karena dia telah menggunakan seluruh tenaga dan kecepatannya. Karena maklum bahwa biar pun masih muda lawannya memiliki ilmu silat yang tinggi, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh. Golok kanan membacok miring dari atas ke bawah ke arah leher Si Kong, ada pun golok kiri bergerak dari lain jurusan menyambar pinggang. Si Kong tidak berani memandang rendah lawannya yang dia tahu merupakan orang yang tingkat ilmu silatnya tak berada di bawah tingkat mendiang Toa Ok. Dengan ringan sekali Si Kong mengelak mundur hingga serangan sepasang golok itu mengenai tempat kosong. Ketika datuk itu memutar goloknya untuk menyerang lagi, Si Kong mendahuluinya dengan serangan balasan. Ujung tongkatnya tergetar, kemudian sekali bergerak laksana ular-ular mematuk, ujung tongkatnya sudah mengarah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Pai Ong. “Hemmm...!” Pai Ong menggereng dan dua goloknya sibuk menangkis totokan itu dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu terpotong oleh goloknya. Namun meski pun ditangkis sepasang golok yang tajam, tongkat itu tidak terpotong melainkan terayun dan membuat gerakan melingkar menyerang lagi dengan totokan ke arah lambung kakek tinggi besar itu. Pai Ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu dapat menggerakkan tongkatnya demikian cepat dan tak terduga. Karena tidak sempat menangkis, dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan cepat itu. Kemudian, setelah memutar kedua goloknya, dia menyerang kembali dengan dahsyat. Namun gerakan tubuh Si Kong terlampau cepat baginya, juga sangat aneh sehingga dia menjadi bingung. Makin lama permainan tongkat Si Kong semakin banyak perubahannya yang sama sekali tidak tersangka-sangka sehingga sesudah lewat lima puluh jurus kakek tinggi besar itu mulai terdesak. Si Kong tidak berniat buruk terhadap Pai Ong. Bagaimana pun juga datuk utara ini sudah menunjukkan bahwa dia tidak sudi menjadi pengkhianat seperti Tung-giam-ong dan Toa Ok. Biar pun dia disebut datuk besar dunia kangouw, tapi dia masih memiliki kegagahan. Karena itu Si Kong tidak ingin mencelakainya. Melihat lawannya telah terdesak, Si Kong lalu mempercepat gerakan tongkatnya sehingga Pai Ong menjadi semakin bingung. Seolah-olah tongkat itu telah berubah menjadi banyak sekali, mengurung dirinya dari berbagai penjuru. Karena bingung menghadapi tongkat itu, Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, bermaksud untuk menggunting tongkat yang ampuh itu agar terpotong. Suatu saat dia melihat bayangan tongkat itu dan secepat kilat sepasang goloknya menggunting dari atas ke bawah. Si Kong sengaja memperlambat gerakan tongkatnya sehingga tampaknya hampir terjepit sepasang golok. Pai Ong sudah merasa girang sekali, akan tetapi pada saat terakhir tiba-tiba tongkat itu hilang dan sepasang goloknya bertemu sendiri di udara. “Traanggg...!” Pada saat itu pula ujung tombak Si Kong bergerak dua kali menotok ke arah pergelangan tangan Pai Ong sehingga kedua tangan itu kehilangan kekuatannya dan sepasang golok itu pun terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Si Kong melompat mundur, memberi kesempatan kepada Pai Ong untuk memungut sepasang goloknya kembali. Pai Ong terbelalak, wajahnya berubah sedikit pucat. Dia harus mengakui kekalahannya, akan tetapi hatinya masih penasaran sekali. Harus diakuinya bahwa pemuda itu memiliki ilmu tongkat yang sangat hebat, akan tetapi mungkin dalam perkelahian tangan kosong pemuda itu tidak akan mampu mengalahkannya. Untuk menebus rasa malu karena kalah dalam pertandingan menggunakan senjata, tanpa memungut sepasang goloknya Pai Ong berkata. “Harus kuakui bahwa engkau mempunyai ilmu tongkat yang luar biasa dan aku mengaku kalah dalah permainan senjata. Akan tetapi aku baru mengakui kekalahanku bila engkau mampu menandingi aku dalam pertandingan tangan kosong dan penggunaan sinkang.” Si Kong tersenyum maklum. Kakek tinggi besar itu dikenal sebagai seorang datuk besar. Tentu saja dia sukar mengakui kekalahannya terhadap seorang pemuda sepertinya. Dia dapat memaklumi hal ini dan sambil tersenyum dia menjawab, “Kalau locianpwe mengajak bertanding dengan tangan kosong, akan kulayani, akan tetapi harap locianpwe suka mengalah dan tidak menjatuhkan tangan yang terlalu keras bagiku.” Pai Ong memandang kagum. Pantas saja Lam Tok enggan bermusuhan dengan pemuda ini. Sungguh seorang pemuda yang luar biasa. Sudah jelas dapat mengalahkannya, akan tetapi tetap merendahkan diri. “Engkau terlalu merendahkan diri, Si Kong. Mari kita uji kekuatan masing-masing.” “Aku sudah siap, locainpwe,” kata Si Kong sambil membuang tongkatnya. Dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. Pai Ong mengerutkan alisnya dan bersungguh-sungguh karena dalam pertandingan ini dia harus mempertahankan kedudukannya sebagai datuk besar yang patut disegani semua orang. Akan tetapi Si Kong kelihatan tenang-tenang saja dengan bibir tersenyum, seakan-akan dia sudah merasa pasti bahwa dia tidak akan kalah oleh lawannya. Sikap percaya diri ini ditanamkan mendiang Pendekar Sadis kepadanya bersama ilmu-ilmu yang dipelajarinya. “Lihat serangan!” terdengar Pai Ong membentak karena dia melihat pemuda itu agaknya tidak mau mendahului menyerang. Tubuhnya menerjang maju dan dia sudah mengirimkan pukulan yang mendatangkan hawa panas sekali. Inilah ilmu pukulan Hwe-ciang (Tangan Api) yang mengandung sinkang amat kuat. Si Kong mengenal pukulan ampuh, maka dia pun mengelak dan selanjutnya memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) sehingga tubuhnya bergerak sangat cepat. Dengan penuh penasaran Pai Ong melancarkan serangan bertubi-tubi, namun tidak satu pun dari semua pukulannya mengenai sasaran. Dengan seluruh tenaga serta kepandaiannya Pai Ong menyerang, dan agaknya tidak mau memberi kesempatan kepada Si Kong untuk membalas serangannya. Kakek datuk utara ini memang hebat sekali. Serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Bahkan orang yang berdiri dalam jarak sepuluh meter dari tempat pertandingan itu terpaksa mundur menjauh karena mereka dapat merasakan sambaran angin yang panas. Si Kong sama sekali tak mampu membalas. Setiap kali dia mengelak dari satu serangan lawan maka serangan lain telah menyusul sebagai sambungan seolah jurus-jurus itu telah dirangkai dan tiada putusnya. Diam-diam pemuda ini merasa kagum bukan main. Tingkat kepandaian datuk utara ini bahkan lebih unggul dibandingkan tingkat kepandaian Tok Ok. Andai kata pertandingan Pai Ong dan Lam Tok diadakan, tentu Pai Ong akan merupakan lawan tangguh dari Racun Selatan itu. Hampir seratus jurus sudah lewat dengan cepatnya dan belum juga ada pukulan Pai Ong yang mengenai tubuh Si Kong. Pai Ong sudah mulai lelah tetapi dia semakin penasaran. Pada suatu saat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah dada Si Kong dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Si Kong yang tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang, menganggap sudah cukup dia memberi kesempatan kepada lawannya. Dia pun segera menggerakkan kedua tangannya menyambut dua serangan Pai Ong itu. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambut pukulan ke arah dadanya dan tangan kanannya mengibas ke bawah untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan. “Plakk! Plakk!” Dua pasang tangan bertemu di udara dan mata Pai Ong terbelalak. Dia merasa betapa sepasang tangannya bertemu benda lunak yang langsung menghisap tenaga sinkang-nya. Tenaga sinkang-nya membanjir keluar disedot telapak tangan yang lunak itu. Tentu saja dia terkejut setengah mati. Dalam dunia persilatan hanya para hwesio Siauw-lim-pai yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu mereka yang dapat menggunakan tenaga dalam untuk menyedot tenaga lawan. Akan tetapi dia teringat akan ilmu menyedot sinkang seperti itu yang pernah dimiliki oleh mendiang Pendekar Sadis. Maka tanpa sadar mulutnya mengeluarkan apa yang terasa di hatinya. ”Pendekar Sadis...?” Si Kong yang tidak bermaksud mencelakai lawan memang sudah hendak menarik kembali ilmu Thi-khi I-beng. Ketika mendengar disebutnya nama gurunya, dia melepaskan kedua tangannya dan meloncat mundur ke belakang. Pai Ong memejamkan mata sambil menghirup hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Beberapa saat kemudian barulah dia membuka matanya. Kakek ini pun maklum bahwa jika lawannya yang muda itu menghendaki, dengan mudah lawan akan mengirim pukulan maut selagi dia tak berdaya tadi. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya. “Si-taihiap (Pendekar besar Si), aku Pai Ong Loa Thian Kun mengaku kalah dan dengan kekalahanku ini, engkaulah yang berhak memakai gelar Jago Silat Nomor Satu di dunia dan pedang pusaka Pek-lui-kiam memang pantas menjadi milikmu.” Si Kong cepat-cepat membalas penghormatan datuk utara itu. “Locianpwe, harap jangan bersikap seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin disebut Jago Nomor Satu, aku pun sama sekali tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam untuk pribadi. Sungguh aku berterima kasih sekali karena locianpwe telah mengalah kepadaku.” Wajah Pai Ong menjadi kemerahan. “Ahh, alangkah bodohnya kami yang menyebut diri sebagai datuk besar persilatan, betapa sombongnya seperti katak dalam tempurung! Aku telah mendapat pelajaran yang amat berharga, orang muda. Mulai saat ini Loa Thian Kun hanya seorang biasa, tidak ada lagi Pai Ong. Selamat tinggal!” Orang tua itu kemudian melompat dan lenyap di antara pohon-pohon besar di bawah puncak. Si Kong menarik napas panjang dan diam-diam bersyukur bahwa mendiang gurunya telah mewariskan ilmu-ilmu yang bisa menundukkan orang-orang sakti seperti para datuk besar itu. Mereka semua sudah bubaran. Setelah menguburkan semua jenazah, Panglima Gui Tin dan juga Cang Hok Thian segera menarik mundur semua pasukan kerajaan untuk kembali ke kota raja. Cang Hok Thian yang amat terpesona oleh Bwe Hwa mencoba untuk membujuk gadis ini agar mau ikut pulang bersamanya karena ingin dia perkenalkan kepada ayah bundanya, namun usahanya sia-sia belaka. Bwe Hwa menolak halus dan minta agar Cang Hok Thian meninggalkannya. Hok Thian terpaksa ikut Panglima Gui Tin pulang. Dalam hatinya ia mengambil keputusan bahwa dia harus berjodoh dengan gadis itu atau tidak akan menikah dengan gadis lain. Sesudah semua orang pergi, Si Kong juga melakukan perjalanan seorang diri menuruni puncak. Akan tetapi baru tiba di lereng bawah puncak, gerakan dua orang telah membuat dia membalikkan tubuh dan ternyata yang mengejarnya adalah Bwe Hwa dan Hui Lan! Dia berhenti dengan jantung berdebar. Tadi dia telah berpamit dari dua orang gadis ini dan kini mereka mengejarnya. Apa yang mereka kehendaki? Hatinya menjadi tegang dan gelisah, akan tetapi dia menekan hatinya sehingga kelihatan tenang saja ketika dua orang gadis itu tiba di depannya. “Lan-moi dan Hwa-moi, ada urusan apakah maka kalian mengejarku?” Si Kong bertanya sambil memandang ke kiri. Tanpa disengaja dia berhenti tak jauh dari makam Siangkoan Cu Yin ketika dua orang gadis itu menyusulnya! cerita silat online karya kho ping hoo Dua orang pendekar wanita itu adalah puteri-puteri para pendekar yang gagah perkasa dan keduanya mewarisi watak ibu mereka yang terkenal keras dan terbuka. Mendengar pertanyaan Si Kong, Hui Lan lalu menjawab, “Kong-ko, kami berdua mengejarmu karena ingin menanyakan sesuatu yang kami harap Kong-ko akan menjawab dengan sejujurnya dan terbuka, sesuai dengan watak kita yang menghargai kebenaran dan kejujuran!” Debar jantung di dada Si Kong makin menggebu. “Pertanyaan tentang apakah?” Sekarang Bwe Hwa yang melangkah maju. “Kong-ko, ketika dulu engkau meninggalkan kami berdua di goa, kenapa engkau meninggalkan sajak itu? Aku masih ingat bunyinya!” kata Bwe Hwa yang lalu membacakan sajak itu. “Seekor burung gagak yang papa tidak pantas berdekatan dengan sepasang burung Hong yang mulia! Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain di udara bebas dan merdeka tak terikat apa pun juga!” “Nah, kenapa engkau meninggalkan sajak itu dan meninggalkan kami tanpa pamit? Kong-ko, apakah engkau tidak menghargai perasaan kami terhadapmu?” tanya Hui Lan secara terbuka sehingga wajah Si Kong berubah kemerahan. “Engkau harus menjawab sejujurnya, Kong-ko. tak perlu ada rahasia di antara kita, semua harus dijelaskan agar tidak terkandung pikiran buruk satu sama lain. Apakah kami berdua yang kau maksudkan dengan Sepasang Burung Hong itu dan engkau menganggap dirimu seekor burung gagak yang papa, yang tidak pantas berdekatan dengan kami?” Si Kong harus menelan ludah berulang kali untuk menenteramkan hatinya yang berdebar gelisah menghadapi dua orang gadis yang bicara secara terbuka itu. Lebih gelisah dari pada harus menghadapi dua ekor singa betina yang marah! “Ehh… hemmm... aku... terus terang saja aku telah mendengar percakapan kalian ketika aku habis mandi. Hatiku menjadi gelisah dan bingung sekali. Aku merasa tidak berharga bagi kalian, merasa tidak pantas, dan aku tidak ingin melihat kalian berduka atau kecewa, maka kupikir… sebaiknya aku pergi meninggalkan kalian. Percayalah, Lan-moi dan Hwa-moi, tak ada maksudku untuk membikin kalian berduka. Aku… aku merasa lebih baik aku menjauhkan diri, aku sungguh tidak berharga untuk kalian...” “Kong-ko, tidak perlu kami sembunyikan bahwa kami berdua merasa kagum dan tertarik kepadamu. Karena itu buanglah keraguanmu bahwa pilihanmu akan membuat seorang di antara kami menderita kecewa atau berduka. Kami telah saling menceritakan rahasia hati kami masing-masing dan kami berani menghadapi kenyataan dengan hati terbuka,” kata Hui Lan. “Benar, Kong-ko. Andai kata engkau memilih Hui Lan, aku pun tidak akan merasa sakit hati atau mendendam kepada kalian,” kata Bwe Hwa. “Dan andai kata engkau memilih enci Bwe Hwa, aku pun rela dan menganggap bahwa engkau bukan jodohku,” kata pula Hui Lan. “Engkau boleh menganggap kami sebagai wanita tidak tahu malu membicarakan urusan cinta kami, akan tetapi kami sudah bersikap terbuka dan jujur, maka harap engkau juga bersikap terbuka dan jujur terhadap kami,” sambung Bwe Hwa. Si Kong mengeluarkan keringat dingin. Tentu saja di dalam pikirannya sedikit pun tidak terdapat pendapat bahwa dua orang gadis itu tidak tahu malu, bahkan dia kagum sekali terhadap keterbukaan mereka. Kalau di dunia ini semua orang bersikap terbuka dan jujur, tentu dunia tidak seperti sekarang, penuh pertikaian dan kesalah pahaman. “Aihh, Lan-moi dan Hwa-moi, apakah yang harus aku katakan?” Si Kong menghela napas panjang dan sekali lagi dia menengok ke kiri, ke arah kuburan Cu Yin. “Kepada kalian aku merasa sangat kagum dan hormat. Bagiku kalian merupakan pendekar-pendekar wanita yang gagah dan patut dikagumi, selain berilmu tinggi juga berbudi luhur. Perasaan kalian terhadap diriku sungguh merupakan kehormatan yang berlebihan bagiku.” “Tidak perlu berbelit-belit, Kong-ko!” kata Hui Lan. “katakan saja, siapakah di antara kami berdua yang kau cinta? Ataukah, engkau tidak mencinta kami berdua?” Si Kong menggelengkan kepala dan menarik napas lagi. ”Cintaku telah terbawa mati oleh Cu Yin yang kini bermakam di sana. Kalian terlampau tinggi untukku. Aku hanya merasa kagum dan hormat, tetapi terus terang saja, sayangku terhadap kalian bukan seperti yang kalian duga. Maafkan keterus teranganku ini, akan tetapi sebenarnya tidak ada perasaan cinta asmara dalam hatiku.” Dua orang gadis itu saling pandang. Wajah mereka menjadi agak pucat, akan tetapi cepat menjadi kemerahan kembali. “Kong-ko, siapa itu Cu Yin?” tanya Hui Lan sambil menoleh dan memandang makam baru itu. “Ya, siapa gadis yang sudah mampu menjatuhkan hatimu itu, Kong-ko?” tanya Bwe Hwa penasaran. Si Kong menarik napas. “Sebelum dia tewas aku pun tidak tahu bahwa aku mencintainya. Kasihan Cu Yin. Ia tidak berkedudukan tinggi seperti kalian. Dia hanyalah puteri Lam Tok yang tewas oleh anak panah ayahnya sendiri ketika dia berkorban untukku, menghadang anak-anak panah yang ditujukan kepadaku.” Dua orang gadis itu menunduk, merasa terharu. Mereka adalah dua orang gadis perkasa yang berwatak gagah, maka keterus terangan Si Kong tak membuat mereka merasa sakit hati. Mereka menerimanya dengan wajar dan dapat menekan perasaan sendiri. Mereka maklum bahwa cinta asmara tak mungkin terjadi sepihak saja, dan juga cinta tidak dapat dipaksakan. Mereka tidak marah, tidak sakit hati dan hanya pandangan mereka terhadap Si Kong berubah. Kini mereka melihat pemuda itu sebagai seorang sahabat yang mereka kagumi, tidak lagi mengharapkan balasan cinta darinya. “Menyedihkan sekali...,” kata Hui Lan sambil memandang ke arah kuburan itu. “Kasihan gadis itu...,” kata Bwe Hwa. Sikap kedua orang gadis itu yang bisa menerima keterus terangannya yang menolak cinta mereka membuat Si Kong semakin kagum kepada mereka. Demikian bijaksana. Pantas kalau mereka berdua disebut gadis pendekar yang berbudi luhur dan tidak mementingkan kesenangan diri sendiri. “Nah, selamat tinggal, Lan-moi dan Hwa-moi. Aku hendak melanjutkan perjalanan untuk menyerahkan Pek-lui-kiam ini kepada yang berhak.” “Selamat berpisah, Kong-ko,” kata Hui Lan. “Selamat tinggal, Kong-ko,” kata Bwe Hwa. Kedua orang gadis itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mereka dapat menerima kenyataan yang betapa pahit pun dengan tabah dan gagah, tanpa penyesalan, melainkan penuh keikhlasan dan kemakluman. Setelah dua orang gadis itu pergi, Si Kong menghela napas panjang. Dia telah berbohong dalam usahanya agar tidak membuat salah seorang dari mereka kecewa dan menyesal. Kalau hanya seorang saja yang mencintanya, alangkah mudah baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi dia maklum bahwa jika dia memilih salah satu, maka yang lain akan merasa kecewa dan menyesal. Lagi pula dia melihat betapa buruk nasib Cu Yin, gadis yang mencintainya. Dia tidak ingin kalau kedua orang dara perkasa itu mengalami nasib buruk pula. Dengan perlahan dia menghampiri makam Cu Yin, lalu duduk bersila di depan makam itu hingga hampir satu jam lamanya. Setelah itu barulah dia pergi menuruni gunung Kui-liong-san untuk melanjutkan perjalanannya menuju kota Ci-bun, di mana Tan Kiok Nio tinggal mondok di rumah pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Sesudah tiba di kota Ci-bun, Si Kong langsung saja menuju ke rumah Hartawan The Kun. Hari masih pagi sekali, akan tetapi di depan rumah keluarga hartawan itu telah menunggu banyak pengemis besar kecil lelaki perempuan. Setiap hari rumah itu pasti didatangi para pengemis yang minta sumbangan dan tidak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Melihat ini Si Kong mengangguk-angguk dan tersenyum senang. Kalau semua hartawan di dunia ini bermurah hati seperti hartawan The Kun, akan berkuranglah kesengsaraan di dunia. Hartawan The Kun bahkan merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang pada waktu musim panen gagal. Dia membuka tangannya untuk memberi atau menyumbang, bahkan yang memerlukan sesuatu dapat meminjam darinya tanpa dikenakan bunga. Ketika Si Kong memasuki pekarangan, seorang tukang kebun yang sedang menyapu di pekarangan itu menyambutnya dan tukang kebun ini bertanya ramah. “Kongcu mencari siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?” Si Kong tersenyum pula. Kalau majikannya murah hati, tidak mungkin para pembantunya galak dan sombong.Tukang kebun ini pun ramah dan hormat sekali. “Maaf kalau aku mengganggu, paman. Aku ingin bertemu dengan The-wan-gwe. Apakah paman dapat menolongku melaporkan ke dalam?” “Apabila kedatangan kongcu mengenai urusan sumbangan, sebaiknya kongcu menunggu sebentar,” kata tukang kebun itu dengan sikap ramah dan halus. “Ahh, tidak, paman. Aku memilikii urusan lain yang amat penting dengan The-wan-gwe.” “Kalau begitu harap tunggu sebentar, biar kulaporkan dahulu ke dalam.” Tukang kebun itu melepaskan sapunya lalu melangkah memasuki rumah besar itu. Tidak lama kemudian tukang kebun itu sudah keluar bersama seorang kakek yang dikenal Si Kong sebagai The-wan-gwe. Si Kong segera memberi hormat kepada hartawan itu. “Engkau siapakah orang muda dan ada keperluan apakah hendak bertemu dengan aku?” kakek itu memandang wajah Si Kong dengan penuh selidik. Si Kong tersenyum. “Apakah The-wan-gwe sudah lupa kepadaku? Aku pernah membantu membagi-bagi beras di sini.” Si Kong mengingatkan dan hartawan itu segera teringat. “Ah, kiranya engkau, Si Kong...! Aku, aku sudah tua dan menjadi pelupa. Mari masuk, kita bicara di dalam!” Hartawan itu menawarkan dengan sikap ramah sekali. “Baik, loya (tuan tua) dan terima kasih.” “Ha-ha-ha, engkau jangan menyebut loya kepadaku, cukup kau sebut paman saja. Semua manusia di dunia ini merupakan satu keluarga yang besar, bukan?” Si Kong semakin kagum. Dalam kehidupan sehari-hari orang tua ini melaksanakan ujar-ujar. Banyak orang yang hafal akan ujar-ujar bijaksana itu dan mampu menirukan dengan suara lantang dan indah. ‘Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!’ dan ada pula ujar-ujar yang berbunyi, ‘Cintailah orang lain seperti kamu mencintai diri sendiri!’ Akan tetapi semua itu tinggal menjadi slogan belaka. Apa bila dengan saudara sendiri saja sudah bertengkar, bagaimana dapat menganggap manusia di empat penjuru sebagai saudara? Kalau kepada saudara sendiri saja kita tidak dapat mengasihi, bagaimana mungkin mencintai orang lain? Tapi dalam kehidupannya sehari-hari agaknya The-wan-gwe sudah melaksanakan segala pelajaran yang bijaksana itu. Dia yang dulu pernah bekerja kepada hartawan itu, sekarang diterima sebagai anggota keluarga! Setelah tiba di ruangan tamu, dengan sikap ramah Hartawan The mempersilakan Si Kong duduk. Mereka duduk berhadapan dan hartawan itu lalu bertanya, “Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu Si Kong?” Si Kong tersenyum. Baru pertanyaan itu saja sudah menunjukkan sikap yang murah hati dari hartawan itu. “Sebetulnya saya tidak mempunyai keperluan apa pun dengan paman The, melainkan dengan nona Tan Kiok Nio. Akan tetapi rasanya tidak pantas kalau saya minta tolong kepada tukang kebun tadi untuk memanggilkan nona itu.” Hartawan The tersenyum lebar. “Kiok Nio? Dia berada di dalam. Tentu dia akan merasa heran mendengar engkau berkunjung kepadanya.” Untuk menghilangkan prasangka yang bukan-bukan Si Kong cepat-cepat berkata, “Dalam pertemuan kami dahulu, nona Tan Kiok Nio minta kepadaku untuk menyelidiki mengenai pembunuh ayahnya dan pencuri pedang pusaka milik ayahnya.” “Ahh, itukah? Dan engkau telah berhasil?” Si Kong mengangguk dengan wajah berseri. “Bagus!” kata hartawan itu. “Tentu Kiok Nio akan senang sekali mendengar hal ini! Kau tunggu sebentar, aku akan memanggilnya untuk menemui engkau di sini!” Hartawan itu lalu masuk ke dalam dan Si Kong menanti di atas kursinya. Tidak lama dia menanti. Terdengar suara langkah kaki yang halus sehingga dia segera memandang ke arah pintu sebelah dalam. Muncullah Tan Kiok Nio, gadis yang cantik manis itu. Dengan pandang mata penuh harapan gadis itu menghampiri Si Kong. Pemuda ini segera bangkit untuk memberi hormat. “Tan-siocia...,” katanya lembut. “Ahh, Si-taihiap. Engkau sudah datang? Dan bagaimana dengan pembunuh itu?” “Harap nona suka duduk dahulu. Ceritanya agak panjang, akan tetapi aku sudah berhasil menemukan pembunuh itu, sekaligus membawa pedang Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepadamu. Nah, terimalah pedang ini, nona Tan Kiok Nio.” Si Kong mengulurkan tangan menyerahkan pedang itu. Melihat pedang itu, Tan Kiok Nio menerimanya lalu mendekap pedang itu dengan kedua mata basah. Akan tetapi dia tidak sempat menangis karena sudah cepat menelan kembali tangisnya. “Terima kasih, taihiap. Akan tetapi bagaimana ceritanya sampai engkau bisa menemukan kembali pedang ini dan bagaimana pula dengan pembunuh itu? Siapakah dia?” “Pembunuh itu berjuluk Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang di Kui-liong-san. Akan tetapi dia sudah tewas dan beruntung sekali aku dapat berhasil merampas pedang pusaka milik ayahmu ini. Ceritanya panjang, nona.” “Ceritakanlah, taihiap!” Si Kong lalu menceritakan pengalamannya hingga Ang I Sianjin sampai tewas dan pedang itu dapat dirampasnya. Tentu saja dia hanya menceritakan garis besarnya saja yang ada hubungannya dengan Ang I Sianjin dan pedang Pek-lui-kiam. “Begitulah, nona.” Si Kong mengakhiri ceritanya. “Pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan orang itu akhirnya dapat kurampas kembali dan aku segera ke sini untuk menyerahkan pedang itu kepadamu.” Kini Kiok Nio tidak mampu menahan keharuan hatinya. Dia mendekap pedang itu sambil menangis dan terdengar dia berkata seperti berdoa, “Ayah... Ibu... tenang-tenanglah ayah ibu beristirahat di alam baka. Pembunuh ayah ibu telah terbalas, dan pedang Pek-lui-kiam telah dikembalikan kepadaku...” Pada saat itu hartawan The memasuki ruangan tamu dan ketika melihat keponakannya menangis sambil mendekap pedang, dia pun bertanya, “Hei, pedang itukah milik ayahmu? Sekarang sudah kembali, mengapa engkau menangis, Kiok Nio?” Kiok Nio menghapus air matanya. “Aku... aku terharu, paman. Pembunuh ayah ibu sudah dapat ditewaskan dan pedang ayah dapat dikembalikan!” “Hemm, sepatutnya engkau bersyukur dan berterima kasih kepada Si Kong, bukan malah menangis.” Kiok Nio memandang kepada Si Kong dengan mata kemerahan bekas tangisnya. “Terima kasih, taihiap...” Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Kong. Pemuda itu sangat terkejut dan dia pun cepat berlutut. “Jangan begini nona. Sebenarnya tanpa bantuan banyak pendekar lainnya, belum tentu aku akan dapat merampas pedang ini. Bangkitlah, nona.” Kiok Nio bangkit dan Si Kong juga bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadapan, lalu Kiok Nio berkata dengan suara gemetar, “Taihiap, engkau terimalah pedang pusaka ini!” Kiok Nio menyerahkan pedang itu, dan dengan bingung Si Kong terpaksa menerimanya karena pedang itu sudah dilepaskan dari pegangan Kiok Nio. “Tapi pusaka ini harus kembali kepada yang berhak, nona. Aku tidak dapat menerimanya! Yang berhak memiliki adalah engkau, nona.” “Tidak, bukan aku yang berhak, melainkan engkau, Si-taihiap. Ketahuilah, dahulu ayahku pernah memberi tahu kepadaku bahwa sebenarnya pusaka ini adalah milik seorang sakti bernama Pek In Losian yang tinggal di Pulau Bayangan. Aku tak berhak menyimpannya, dan karena engkau yang berhasil merampasnya dari Ang I Sianjin, maka engkaulah yang berhak memilikinya. Sekali lagi terima kasih, taihiap. Sampai mati aku takkan melupakan budi kebaikanmu ini.” Gadis itu terisak lalu berlari masuk. Si Kong masih memegang pedang itu dengan kedua tangannya sambil termenung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. “Ha-ha-ha-ha!” The-wan-gwe tertawa. “Tidak tahukah engkau, Si Kong, mengapa Kiok Nio berlari masuk sambil menangis?” “Saya... saya tidak mengerti, paman.” “Si Kong, berapakah usiamu sekarang ini?” “Dua puluh satu atau dua puluh dua, paman. Mengapa?” “Dan engkau belum terikat, maksudku belum menikah atau bertunangan?” Hartawan The Kun bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu. “Belum,” Si Kong menggeleng kepalanya dengan bingung. “Bagus sekali! Sudah cocok kalau begitu! Kiok Nio berusia sembilan belas tahun dan dia pun belum mempunyai calon suami. Si Kong, kami sekeluarga akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dan Kiok Nio dapat menjadi jodoh masing-masing.” Si Kong terbelalak. “Ahh, mana mungkin? Aku... aku seorang yatim piatu...” “Sama dengan Kiok Nio. Dengar, Si Kong. Aku tidak mempunyai anak dan Kiok Nio sudah kami anggap anak sendiri. Aku sudah tua, malas berusaha. Kalau engkau menjadi suami Kiok Nio, kalian akan mewarisi seluruh hartaku dan engkau dapat melanjutkan usahaku.” “Tapi... tapi...” “Tidak ada tapi, Si Kong. Kiok Nio pasti setuju. Ketika dia berlari masuk sambil menangis, aku sudah tahu. Karena itulah maka ia menyerahkan pedang pusaka ayahnya kepadamu. Anggaplah itu sebagai tanda pengikat perjodohan, ha-ha-ha!” Hartawan The Kun tertawa girang sekali karena dia tidak melihat alasan bagi Si Kong untuk menolak perjodohan itu. Kiok Nio cantik sekali, berilmu tinggi, dan menjadi pewaris hartawan itu pula. Maka bisa dibayangkan betapa kaget dan kecewa hatinya ketika Si Kong berkata dengan suara tegas. “Tidak, paman. Maafkanlah aku. Aku merasa amat terhormat sekali dengan penawaranmu, akan tetapi aku tidak bisa menerimanya. Aku sama sekali belum memiliki keinginan untuk berjodoh, aku masih hendak berkelana. Aku mendengar keterangan nona Kiok Nio tadi, maka aku hendak mengembalikan pedang pusaka ini kepada yang berhak, yaitu pemiliknya yang berjuluk Pek In Losian di Pulau Bayangan itu.” “Si Kong, jangan mengecewakan hatiku. Aku sungguh berharap engkau akan menerima tali perjodohan ini!” “Maafkan jika aku mengecewakan hatimu, paman. Akan tetapi perjodohan adalah urusan hati pribadi, tak mungkin dapat dipaksakan. Selamat tinggal, paman!” Si Kong melangkah keluar dengan cepat. Ketika dia tiba di pekarangan, ada sesuatu yang memaksa dia menoleh dan memandang ke atas. Dan di sana, di jendela loteng yang menghadap ke pekarangan, dia melihat Kiok Nio memandang kepadanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya. Ada rasa haru menusuk hatinya. Namun dia cepat mengeraskan hatinya dan melanjutkan langkahnya, keluar dari pekarangan rumah Hartawan The Kun, terus keluar dari kota Ci-bun! Setelah tiba diluar kota Ci-bun, dia merasa hatinya ringan dan bebas. Dia memang ingin bebas, tidak terikat. Dia ingin menjadi pengelana, menjelajahi banyak tempat, bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru. Seekor burung gagak yang papa terbang naik ke angkasa sendirian bermain di udara bebas dan merdeka tak terikat apa pun juga…! T A M A T

Komentar