PEDANG KAYU HARUM : JILID-64
"Hemmm, bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?"
Cong San kelihatan kaget sekali, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi sudah datang dan menunjukkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu bukanlah surat yang kutulis. Orang yang kusuruh mengantarkan suratku kepada kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula surat yang kau anggap tulisan isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, tetapi dipalsukan orang. Ahh, betapa butanya engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah membuat surat-surat palsu itu?"
"Bohong...!" Cong San membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak belum menjadi isteriku! Bahkan dia... aku... telah..."
"Yap Cong San, katakan saja bahwa pada saat menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan perawan lagi maka engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek.
Kembali Cong San terkejut, kemudian makin marah. "Sesudah engkau tahu akan hal itu, engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?"
"Tutup mulutmu dan jangan kau memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San! Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang memiliki hati serta pikiran kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang telah kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjinah dengan suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san, isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang kini sedang tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya supaya kehilangan tanda keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah! Nah, tahukah engkau sekarang dan insyafkah engkau betapa tolol dan kejinya perbuatanmu terhadap isterimu?"
Cong San menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan. Namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek.
"Hatimu sudah diracuni oleh cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan isterinya. "Engkau sudah cemburu lalu dalam hati menuduh isterimu secara keji sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk menipumu. Memang ada surat yang kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa yang kusuruh antar seseorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tidak pernah pulang dan suratku tentu sudah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau menjadi semakin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!"
Wajah Cong San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata,
"Yap Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tak ada harapan lagi untuk hidup akan berusaha menolong diri sendiri dengan segala macam kebohongan. Bukankah engkau juga telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertemuan antara mereka yang penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?"
Cong San membalik, lalu memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut! Engkau bohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau sudah men... menciumnya... engkau... Ahh… kubunuh engkau!" Ia menerjang maju dan menggerakkan tangan hendak memukul kepala Keng Hong.
"Wuuuttt... plakkk!"
Cui Im sudah melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San memandangnya dengan penuh kemarahan, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya,
"Bodoh! Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!"
"Tidak!" Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku tidak sekejam itu!"
"Hussshhh... engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, terlebih dulu aku hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kau bunuh. Kau bersabarlah sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu."
Cong San menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tidak mungkin dia dapat menundukkan Keng Hong.
"Terserah. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikkan tubuh dan lari memasuki kamarnya.
"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?"
"Iblis betina, kau bunuhlah aku. Siapa takut mati?" jawab Keng Hong.
"Bhe Cui Im, kau bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam permusuhan kita!" kata Biauw Eng.
Cui Im tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat isterinya dipermainkan oleh banyak laki-laki di depan matanya sampai mati, kemudian anaknya akan kuberikan pada segerombolan anjing kelaparan, biar dia juga melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!"
Biauw Eng dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan lagi apa bila mereka membantah, apa lagi kalau mereka minta dikasihani, maka mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi.
Untuk menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil yang sudah berhenti menangis itu, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada salah seorang perempuan pembantunya.
"Jagalah dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika dia dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan jaga dengan kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!"
Dengan kasar dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya,
"Siauw-ong! Siapa pun tidak boleh menjamahnya. Jika nanti hukuman kujalankan, engkau boleh menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng.
Keng Hong menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apa lagi Bhe Cui Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan lubang-lubang kecil, ada pun di depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib isterinya ke tangan Tuhan.
Cui Im mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia pada saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Sudah berjam-jam lamanya dia membujuk Keng Hong, menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng beserta Thai-kek Sin-kun kepadanya.
Namun, bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak mampu menggerakkan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang dibunuh dari pada harus menuruti permintaannya.
"Cui Im, percuma saja kau membujuk. Apa kau kira aku tidak mengenal manusia berhati iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu itu tidak ada harganya sedikit pun juga. Andai kata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kau laksanakan, karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat dari pada ancamanmu, lebih palsu. Tidak, aku tak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!"
Ketika Cui Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa jika Keng Hong mau menuruti permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab,
"Aku setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Jika dia menurut, tetap saja engkau akan membunuh kami. Tidak mungkin aku mengharapkan kebebasan dari seorang iblis macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah bila kami meninggalkan sesuatu untuk orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan kejahatanmu."
"Baik, kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian, akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya. Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!"
Namun, ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami isteri yang sudah nekat hendak mati bersama, mati bertiga bersama anak mereka itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im lalu kembali ke kamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan dia terlentang sambil termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi, merana dan sengsara!
Hampir saja dia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu kamarnya agar dapat melenyapkan kemarahan hatinya.
"Mau apa kau?!" bentaknya.
Muka pelayan itu menjadi pucat. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah saja membunuh orang yang tak berdosa.
"Hamba... hamba diperintah oleh Coa-kongcu untuk menghadap Paduka..." Saking amat takutnya dia bersikap sangat merendah.
"Disuruh apa? Cepat bicara!"
"Kongcu mohon menghadap..."
"Pergilah! Suruh dia datang, rewel benar!"
Pelayan itu bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San. Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu birahinya yang sudah ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi kekasih pujaan nafsu birahinya itu.
Dalam kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya.
Cong San tak sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San merasa amat gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap-luap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa ia telah mendatangkan mala petaka hebat kepada bekas sahabat itu.
Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya?
Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu.
Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya bagaikan api disiram minyak, berkobar membuat napasnya sesak dan tubuhnya panas.
Dia merasa panas, lalu keluar dari kamarnya memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan.
Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Jika ingin memutuskan hubungan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan.
Ada pun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im supaya dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa!
Keputusan hati ini membuat batin Cong San tidak terasa begitu menderita. Dia merasa terhibur bahwa sebetulnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidak kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena manusia seperti Keng Hong itu memang patut dibunuh!
Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apa lagi keluar dari mulutnya, bahwa dia telah melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat. Dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain.
Mata manusia ditujukan untuk memandang ke luar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah semua kekotoran yang berkecamuk di dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, dari pada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya.
Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam, pasti takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata selalu ditujukan keluar, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang!
Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat dari pada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar sesama manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber dari pada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup.
Kebencian membayangkan kegelapan neraka sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, bahkan akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan.
Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat kalau manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri dari pada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja!
Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda tengah berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget.
Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong baru berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga.
Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang.
Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, setelah mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguh pun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!
Kalau saja laki-laki itu tak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki hingga tak mengherankan jika malam-malam Cui Im memasukkan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar.
Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan biasa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung. Akan tetapi mengapa dia yang sudah beberapa hari berada di situ tidak pernah melihatnya? Melihat pakaian pemuda itu yang mewah bagai pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!
Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum alangkah lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja sudah cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya.
Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu birahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari dalam kamar itu.
"Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dahulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu..."
"Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu... ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan dan begini harum...! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?"
"Ahh, tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman.
"Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang sangat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong... aihhh, benar-benar romantis pada waktu kita bercumbu itu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan..."
"Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!"
Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutaan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan?
"Ya Tuhan...!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat.
Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya dan menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam!
Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!
"Ya Tuhan... apakah yang telah kulakukan semua itu...?"
Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini terdengar amat menjijikkan hatinya.
"Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya... dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja..."
"Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"
"Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali..."
"Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!"
"Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepada tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam..."
"Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong..."
"Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hemmm... biar pun tidak secantik engkau, namun aku mengilar dibuatnya. Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru..."
"Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"
Cong San mengepal kedua tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau dia tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im.
Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang sangat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan terasa lumpuh namun ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan.
Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah sudah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali ahhhh..." Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya yang berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.
Dengan mata sipit karena kantuk serta kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menjadi penghubung antara bangunan belakang dengan bangunan besar, lalu berjalan menuju ke kamarnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dadanya hingga membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.
"Manusia hina, hayo ceritakan apa yang sudah kau lakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.
Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seakan-akan dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab, "Ampun..., aku... aku hanya melakukan perintah Cui Im... aku... aku... aku tidak tahu apa-apa..."
"Jawab pertanyaanku! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"
"Dia... di... dibunuh... aku dipaksa memalsukan suratnya..."
"Dan surat tulisan Yan Cu?"
"Aku... dipaksa menulis surat palsu..., mencontoh tulisan isterimu... dari resep obat..."
"Dan di dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"
Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia sudah tak dapat lagi mengeluarkan suara, hanya mengangguk.
"Prokkkkk!"
Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas, segera menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuklah tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu birahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian sangat hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman yang mengerikan.
"Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"
Cong San cepat membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau...! Iblis kejam...!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.
Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat ke kanan kiri untuk menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek, "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. Kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat merupakan musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmm... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, jauh lebih menarik dari pada Coa Kun yang sudah kau bunuh itu. Bagaimana?"
"Iblis cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena meski pun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukan seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai.
Betapa pun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apa lagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar pada setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan dapat menimbulkan kelengahan serta menggelapkan akal. Di dalam amarah yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh dari pada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah karena tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.
Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger pada waktu mereka melihat betapa Coa-kongcu sudah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya.
Tampak cahaya merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah pula dengan tenaga sinkang-nya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah sepasang pit di tangan Cong San, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!
Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"
Tidak ada yang berani membantah sehingga tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki dan tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada.
Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan rasa heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tidak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu segera menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ…..
********************
Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakkan kaki dan tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke arah sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangannya terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang.
"Isteriku...!" Naik sedu sedan dari dadanya.
Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing dari pada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San.
"Suamiku..." Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya.
"Yan Cu... aku... aku berdosa padamu... aku... aku...!" Cong San tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi.
"Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama-sama menghadapi kematian... tidak ada apa-apa yang kusesalkan..."
"Yan Cu...!" Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas-remas hati Cong San.
"Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa...," kata pula Yan Cu.
Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan persis seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dengan kaki tangannya terpentang dan terbelenggu. Keng Hong berdiri tidak jauh dari situ, kaki tangannya terikat pula pada sebuah pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
“Keng Hong... aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela bila isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalian dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Bahkan aku sendiri tak dapat mengampuni dosaku..." Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil.
"Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena dulu aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Tetapi yang sangat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!"
"Keng Hong...," Cong San mengguguk, "Kalau engkau dapat melepaskan diri... kau... kau bunuhlah aku... aku akan rela..."
"Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah semua terlambat? Kita semua kembali mengalami seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apa lagi?!" Biauw Eng berteriak.
"Hi-hi-hik!" Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali.
Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tak mengacuhkannya, seperti semuanya itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu.
"Kalian ingin lekas mati supaya segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!"
"Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau sudah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, meski pun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!" Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok amat lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat.
Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong. "Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tetap tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu padaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengarkan baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hik-hik, lalu saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!"
"Cui Im! Yang terhina bukankah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa saja merusak serta mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu birahi dan engkau lebih hina dari pada binatang, lebih sengsara dari pada iblis! Kami tak akan sengsara, karena segala penderitaan badan kami berempat akan berakhir, namun cinta kasih kami tidak akan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!" Biauw Eng berteriak dengan lantang.
Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoi-nya itu tepat sekali seperti apa yang dia rasakan.
"Lekas mulai dengan siksaan!" Dia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong. "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, yaitu seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali. Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng.
Dua orang wanita itu telah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu walau pun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran!
Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, siap untuk menyaksikan hal yang paling hebat. Akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah.
"Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik," tiba-tiba Keng Hong berkata. "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apa pun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang kelihatan oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha."
Akan tetapi, Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya tak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong.
"Jangan...! Cui Im, jangan...! Siksalah aku, bunuh aku, akan tetapi jangan ganggu dia...!" Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja.
Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, sekarang mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, namun sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu.
"Brettttt! Brettttt!!"
Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun.
Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong dari pada menghadapi mala petaka yang menimpa dia dan isterinya.
"Cong San, benar-benarkah engkau sudah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?" Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali sebab tiba-tiba saja Cong San menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakkan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya walau pun hatinya terasa bagaikan ditusuk-tusuk.
Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab, "Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!"
Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum, atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar dari pada kesalahannya terhadap Biauw Eng dulu. Namun, dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tentu saja tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang kini diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu pula!
Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu, dengan ditonton penuh iri hati dan gairah oleh para pengawal lainnya yang harus menanti giliran, kini dengan mata berkilat sudah mengulur tangan lagi untuk melanjutkan pekerjaan mereka, menelanjangi dua orang wanita muda yang cantik jelita itu.....
Komentar