PEDANG KAYU HARUM : JILID-65
Memang mereka sudah mematikan rasa, namun nalurinya sebagai seorang wanita yang hendak dinodai kehormatannya membuat mereka memberontak dan hendak mati-matian melawan sebelum saat terakhir. Inilah sebabnya maka mereka lalu menggunakan usaha satu-satunya yang dapat mereka lakukan, yaitu meludah ke arah mata orang yang akan menghina mereka. Dengan pengerahan tenaga dalam, ludah yang menyambar dari mulut mereka tak boleh dipandang ringan.
Mo-kiam Siauw-ong mampu menyelamatkan matanya dan hanya mukanya yang terasa panas seperti tertusuk benda runcing. Akan tetapi pengawal itu merasa sebelah matanya seperti ditusuk-tusuk dan bukan main nyerinya, membuat dia mengaduh-aduh.
"Omitohud..., kesesatan sekejam ini dilakukan oleh manusia, bagaimana pinceng dapat membiarkannya saja?"
Semua orang menjadi terkejut ketika melihat di situ telah berdiri seorang hwesio tua yang entah kapan dan dari mana datangnya, tahu-tahu sudah berada di sana dan hwesio ini sudah melangkah maju mendekati Keng Hong.
"Tiong Pek Hosiang...!" Bhe Cui Im berteriak kaget sekali ketika mengenal hwesio tua itu. "Engkau sudah bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, mau apa engkau datang dan mencampuri urusan kami?"
"Omitohud, Ang-kiam Bu-tek, sudah berkali-kali engkau selalu membuat pertentangan dan permusuhan. Pinceng datang dan mencampuri bukan karena kedudukan atau hubungan. Perbuatan yang dilakukan berdasarkan kedudukan, hubungan atau alasan lahiriah lainnya merupakan perbuatan palsu. Pinceng datang lalu menyaksikan perbuatan manusia yang kejam terhadap manusia lain, tidak mungkin pinceng mendiamkannya saja karena hal itu berarti pinceng turut membantu perbuatan kejam. Hentikanlah kesesatanmu itu, Ang-kiam Bu-tek, masih belum terlambat bagi semua manusia yang tersesat untuk menjadi sadar akan kesesatannya dan kembali ke jalan benar."
"Heh-heh-heh, Ouwyang Tiong, kau manusia sombong! Tidak ingatkah engkau, betapa dahulu engkau sudah mengganggu isteri Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong? Dan engkau masih berani membuka mulut memaki orang lain tersesat?" mendadak Go-bi Thai-houw berteriak mengejek.
Tiong Pek Hosiang berpaling kepada nenek itu dan merangkap dua tangannya ke depan dada. "Omitohud... siapakah yang tidak ingat akan kesesatan yang pernah dilakukannya? Namun, penyesalan saja tidaklah cukup. Oh Hian Wi, kesesatan hanya dapat diatasi oleh kesadaran akan kesesatannya. Orang yang sedang tersesat adalah orang yang sedang sakit, bukan badannya yang sakit melainkan batinnya. Pinceng tidak memaki, juga tidak membenci, hanya menaruh kasihan karena segala kesesatan hanya akan menimbulkan kesengsaran bagi dirinya sendiri.
"Kalau begitu, mengapa kau menentang kami?" Cui Im menuntut.
"Bukan pribadimu yang pinceng tentang, Ang-kiam Bu-tek, melainkan perbuatanmu yang sesat. Sudah merupakan kewajiban pinceng untuk mencegah perbuatan kejam dari siapa pun juga terhadap siapa pun juga tanpa memandang bulu." Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri Keng Hong.
"Berhenti!!" Go-bi Thai-houw berteriak dan sekali dia menggerakkan tangannya, kebutan merah di tangannya tergetar kemudian belasan helai bulu kebutan itu meluncur seperti anak-anak panah kecil menyambar ke arah tubuh bekas ketua Siauw-lim-pai itu.
Namun kakek ini dengan tenang menggunakan tangan kirinya yang berlengan baju lebar mengebut sehingga semua bulu kebutan itu runtuh, sedangkan tangan kanannya meraba ke arah tali pengikat kedua lengan Keng Hong, lantas merenggutnya dengan pengerahan tenaga sakti sehingga putuslah tali yang kuat itu!
"Locianpwe, terima kasih!" kata Keng Hong yang cepat menggunakan kedua tangannya mematahkan semua tali yang membelit-belit tubuhnya, kemudian dia meloncat dengan cekatan, pertama-tama dia membebaskan ikatan isterinya, kemudian membebaskan Yan Cu.
"Kakek yang bosan hidup!" Cui Im berseru nyaring dan menerjang Tiong Pek Hosiang dengan pedang merahnya.
Kakek itu mengelak dan mengebutkan lengan bajunya, melangkah mundur. Pada saat itu, Go-bi Thai-houw juga sudah melayang dari kursinya, sepasang kebutannya menyambar-nyambar dengan serangan maut ke arah Tiong Pek Hosiang. Kakek ini tidak melawan, hanya mengelak sehingga dia terdesak oleh nenek itu dan Cui Im. Ujung kebutan biru yang menyambar ganas masih mengenai pundaknya, membuat kakek itu terhuyung, akan tetapi dia sama sekali tidak balas menyerang.
"Mampuslah!" Go-bi Thai-houw berteriak dan kembali sepasang kebutannya menyambar.
"Plakkk!"
Kursi di tangan Keng Hong hancur terpukul kebutan, namun Tiong Pek Hosiang terbebas dari bahaya maut. Kakek ini segera mundur dan menarik napas panjang sambil berkata,
"Pinceng sudah bersumpah tidak akan bertanding lagi dengan siapa pun juga. Selamat tinggal, mudah-mudahan kalian berhasil, orang-orang muda yang berada di pihak benar. Pinceng menanti di Siauw-lim-si!" Tubuhnya berkelebat keluar.
Beberapa orang pengawal berusaha menyerangnya, namun tubuh mereka itu terpental ke belakang karena seolah-olah ada hawa yang luar biasa melindungi tubuh kakek itu yang meloncat tenang keluar dari gedung itu.
Keng Hong dan Biauw Eng sudah mengamuk, menandingi Go-bi Thai-houw dan Cui Im, sedangkan Yan Cu cepat-cepat menghampiri suaminya dan membebaskan tali-tali yang mengikat tubuh Cong San. Yap Cong San hanya dapat memandang isterinya dengan mata basah, kemudian setelah dia terlepas, dia pun mengeluarkan gerakan seperti seekor harimau terluka dan dengan nekat dia membantu Keng Hong dan Biauw Eng menerjang Cui Im dan Go-bi Thai-houw.
Yan Cu tak mau ketinggalan dan begitu dia maju, sekali pukul saja dia telah merobohkan pengawal yang tadi hendak memperkosanya dengan kepala pecah. Biauw Eng juga telah menerjang Mo-kiam Siauw-ong yang sangat dibencinya karena tadi Mo-kiam Siauw-ong telah menghinanya, merobek baju luarnya dan meraba-raba tubuhnya.
Mo-kiam Siauw-ong melawan dengan nekat, memutar pedangnya. Namun Biauw Eng yang biar pun bertangan kosong itu sudah marah sekali. Sambaran pedang lawan itu ia terima dari samping dengan jepitan jari-jari tangan kanannya.
Mo-kiam Siauw-ong terbelalak, hampir tidak percaya bahwa wanita itu berani menerima pedangnya dengan jari tangannya saja. Dia mengerahkan tenaga hendak menggerakkan pedang supaya tangan lawannya itu terbabat putus, namun pada detik itu juga dia juga mengeluarkan jerit melengking mengerikan karena jari-jari tangan kiri Biauw Eng sudah bergerak ke depan lantas lima buah jari tangannya itu menembus kulit dada memasuki rongga dadanya sampai ke pergelangan tangan, bahkan kelima jari tangan itu kemudian mencengkeram jantungnya! Mo-kiam Siauw-ong roboh berkelojotan dan dengan tangan kiri berlumuran darah amat mengerikan itu Biauw Eng sudah mengamuk lagi, membuat giris hati para pengawal.
Go-bi Thai-houw masih memandang rendah kepada Keng Hong yang bertangan kosong. Dia menyerang dengan kebutannya dari kanan kiri, sedangkan Cui Im yang agak pucat mukanya karena tidak menyangka-nyangka bahwa keadaan akan menjadi demikian, kini menggunakan dua batang pedang.
Di tangan kanannya terpegang pedang merahnya, sedangkan tangan kirinya memegang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong pada saat orang muda itu tertawan. Sepasang pedang itu digerakkan dengan dahsyat, membentuk dua gulungan sinar hijau dan merah yang indah namun berbahaya sekali.
Keng Hong maklum akan kelihaian dua orang wanita iblis itu, karena itu beberapa kali dia berteriak menyuruh Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mundur setiap kali tiga orang itu berusaha membantunya. Akan tetapi, karena para pengawal sudah roboh banyak sekali sedangkan sisanya hanya berani menonton dari pinggiran, tiga orang ini tidak peduli lagi akan larangan Keng Hong dan tetap saja membantu Keng Hong dengan senjata-senjata rampasan.
Cong San membunuh banyak sekali pengawal, mengamuk seperti kerbau gila. Dia kini merampas sebuah golok besar. Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia bukan hanya ahli mempergunakan sepasang pit yang sudah lenyap terampas musuh. Delapan belas macam senjata dapat dia pergunakan dengan mahir. Dengan golok rampasan itu dia lalu membantu Keng Hong, menerjang Cui Im dengan nekat. Golok besar pada tangannya menjadi lingkaran sinar terang dan mengeluarkan bunyi bercuitan.
"Trakkk...!"
"Cong San, mundur...!" Keng Hong berteriak.
Terlambat! Golok itu patah ketika bertemu dengan Siang-bhok-kiam, dan sinar merah dari pedang Cui Im menyambar ke arah leher Cong San. Murid Siauw-lim-pai ini cepat-cepat melempar diri ke samping, tapi tetap saja ujung pedang merah menyerempet pundaknya sehingga terluka kulitnya dan berdarah.
Cong San melempar diri ke belakang, terus ke atas lantai dan bergulingan. Ketika dia meloncat bangun, tangannya sudah menyambar sebatang pedang lain, pedang pengawal yang banyak berserakan di lantai, lalu dia maju lagi.
Karena mengkhawatirkan suaminya, Yan Cu menyerbu ke depan, dibantu Biauw Eng dan kedua orang wanita ini sudah mengeroyok Cui Im. Sungguh pun dengan maju bersama mereka merupakan dua orang lawan yang tidak ringan bagi Cui Im, akan tetapi karena mereka hanya memegang senjata rampasan biasa saja, sedangkan Cui Im bersenjata pedang merah dan Siang-bhok-kiam, maka keduanya tak dapat melawan dengan leluasa dan terpaksa selalu menghindarkan bertemunya senjata mereka dengan kedua pedang pusaka ampuh itu. Hal ini membuat mereka selalu terdesak.
Keng Hong menghadapi Go-bi Thai-houw yang agaknya ingin memonopoli pendekar ini, selain dengan penasaran dia hendak mengalahkan Keng Hong yang bertangan kosong, juga dia hendak mencegah orang muda itu membantu yang lainnya menghadapi Cui Im.
Kedua kebutannya merupakan sepasang tangan maut yang setiap saat siap merenggut nyawa Keng Hong. Namun pemuda itu selalu dapat mengelak, bahkan pada saat di mana dia tidak sempat mengelak lagi, dorongan tangannya yang penuh tenaga sinkang masih dapat menyelamatkannya dan membuat sinar kebutan menyeleweng.
Cong San sudah maju lagi dengan pedangnya. Bukan karena hendak membantu Biauw Eng dan Yan Cu kalau dia kini menyerang nekat ke arah Cui Im, melainkan terutama sekali karena kebenciannya terhadap Cui Im yang membuat matanya merah dan seluruh keinginannya hanya untuk membunuh orang yang telah menimbulkan mala petaka hebat kepada rumah tangganya itu. Dengan bantuan Cong San, kini Cui Im dikeroyok tiga dan mulailah keadaan mereka berimbang.
Beberapa kali Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan alisnya berkerut. Hatinya mulai khawatir. Ia maklum betapa lihainya Go-bi Thai-houw dengan sepasang kebutannya. Jika suaminya memegang Siang-bhok-kiam, dia tentu tidak perlu khawatir lagi.
Suaminya kehilangan pedang pusaka itu yang kini berada di tangan Cui Im, dan suaminya juga tak dapat menggunakan Thi-khi I-beng, ilmu mukjijat yang menyedot tenaga sinkang lawan, karena selain Go-bi Thai-houw memiliki sinkang yang tinggi, juga nenek ini sudah tahu akan bahayanya ilmu itu sehingga senjata kebutannya tak dapat dipergunakan Keng Hong sebagai jembatan untuk menyedot sinkang lawan yang lihai itu. Memang benar bahwa Thai-kek Sin-kun yang dimiliki suaminya dapat membentuk gaya pertahanan yang amat kuat, namun akan sukarlah bagi suaminya untuk dapat mengalahkan lawannya.
Kekhawatiran Biauw Eng ini agaknya dapat pula dilihat oleh Cui Im. Kekhawatiran yang banyak menurunkan daya serang Biauw Eng sebagai lawan terlihai di antara ketiga orang pengeroyoknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cui Im dengan baiknya.
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking tinggi yang sangat nyaring, menggetarkan jantung lawan dan mendadak sinar pedang merah dan hijau itu berubah bentuk menjadi lingkaran yang menyambar dari kanan dan kiri, dalam arah yang berlawanan seolah-olah kedua pedang itu akan saling beradu! Hal ini mengejutkan dan mengacaukan tiga orang lawannya.
"Siuuuuuttttt...sing-singgg...!"
Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San berteriak kaget, langsung meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Pedang mereka patah semua, bahkan sinar pedang merah dan hijau sudah menyerempet tubuh mereka.
Bahu kiri Biauw Eng berdarah, mengalir dari bajunya yang robek. Paha Yan Cu juga kena tergurat pedang hingga berdarah, sedangkan Cong San hampir saja celaka karena ujung pedang Siang-bhok-kiam sudah menggurat punggungnya sampai sepanjang dua puluh sentimeter lebih! Pucatlah wajah tiga orang ini dan Cui Im tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakkan kedua pedangnya.
"Yan Cu, pinjamkan sabukmu!" Tiba-tiba Biauw Eng berteriak.
Yan Cu mengerti bahwa Biauw Eng membutuhkan senjata yang cocok, maka tanpa ragu-ragu lagi ia melepaskan libatan sabuk suteranya yang berwarna merah muda. Melihat ini, Cui Im meloncat dan menusuk Yan Cu.
"Trang-trakkk!"
Pedang yang tinggal sepotong di tangan Cong San terbabat patah lagi, tinggal gagangnya saja sedangkan tubuhnya terpental mundur, akan tetapi dia sudah berhasil memberikan kesempatan kepada isterinya melolos sabuk suteranya. Gagang pedang itu dia lontarkan ke arah muka Cui Im yang dapat dielakkan dengan mudah.
Biauw Eng menerima sabuk sutera merah muda dan kini dia melompat maju, didahului sinar merah muda yang panjang dari sabuk di tangannya. Sementara itu Yan Cu sudah mengikat pinggangnya dengan robekan baju luarnya sendiri yang dia sambar dari dipan, kemudian dia memungut sebatang pedang. Cong San juga sudah mengambil sebatang pedang dari lantai.
"Jangan serang! Lindungi saja aku!" Biauw Eng berteriak kepada kedua orang itu.
Yan Cu dan Cong San membatalkan gerakan mereka, dan kini mereka mengikuti gerakan Biauw Eng dari kanan kiri, siap menjaga dan melindungi kalau-kalau Biauw Eng terancam oleh sepasang pedang Cui Im yang amat berbahaya itu.
Dengan senjata yang jauh lebih cocok ini, biar pun tidak selemas sabuknya sendiri yang memang dibuat khusus untuk senjata, kini Biauw Eng seakan-akan merupakan seekor harimau yang diberi sayap! Tentu saja, walau pun selama ini dia sudah digembleng oleh suaminya sendiri, dia masih belum dapat menandingi tingkat Cui Im yang selama ini juga memperdalam ilmunya di bawah asuhan Go-bi Thai-houw. Namun dengan senjata sabuk ini Biauw Eng dapat melakukan perlawanan gigih, dapat pula membalas dengan totokan-totokan ujung sabuknya yang cukup berbahaya bagi Cui Im.
"Biauw Eng, sekali ini kau akan mampus di tanganku!" Cui Im membentak dan sepasang pedangnya bergerak cepat sekali sehingga tubuhnya lenyap terbungkus dua gulung sinar hijau dan merah.
Biauw Eng juga menggerakkan sabuknya. Wanita ini maklum bahwa jika suaminya tidak cepat menerima kembali Siang-bhok-kiam, keadaan mereka berempat akan berbahaya sekali. Tidak saja Cui Im dan Go-bi Thai-houw merupakan dua orang lawan yang amat berbahaya, juga ia melihat bahwa kini semua pasukan pengawal telah mengurung tempat itu. Tentu kepala daerah marah sekali menyaksikan kematian puteranya, Coa Kun, dan mantunya, Mo-kiam Siauw-ong dan akan menangkap atau membunuh empat orang itu.
Dengan gerakan pergelangan tangannya yang telah sangat terlatih, tiba-tiba sinar merah muda bergulung-gulung membentuk lingkaran lebar dan tahu-tahu ujung sabuknya yang menangkis sinar hijau Siang-bhok-kiam sudah berhasil membelit pergelangan tangan dan pedang! Biauw Eng mengerahkan seluruh tenaganya.
"Haiiiiittttt…!"
Teriakannya melengking nyaring dan dia tidak mempedulikan sinar merah menyambar ke arahnya karena seluruh tenaga serta perhatiannya dipusatkan untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!
"Cring-cring... krekk-krekkk!"
Dua batang pedang Yan Cu dan Cong San yang menangkis sinar merah itu patah semua, dan sinar merah masih membabat ke depan. Biauw Eng menjerit, leher dan pundaknya kena serempet sinar merah hingga berdarah, juga Yan Cu dan Cong San terhuyung ke belakang, lengan kanan mereka pun berdarah, akan tetapi Biauw Eng berhasil merampas Siang-bhok-kiam dengan ujung sabuknya.
"Hong-ko, terimalah Siang-bhok-kiam!" Biauw Eng berseru dan pedang di ujung sabuknya itu meluncur ke arah Keng Hong.
Pendekar sakti ini gembira akan tetapi juga terkejut, menyaksikan isterinya terhuyung dan terluka. Ia cepat menyambar pedangnya dan memutar pedang untuk menghalau desakan Go-bi Thai-houw sambil menoleh ke arah isterinya dan dua orang kawannya.
Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San cepat berloncatan ke belakang karena mereka telah menderita luka-luka. Biar pun tidak terlalu berat, namun banyak darah keluar dan terasa perih. Yan Cu dan Cong San sudah menyambar senjata dari lantai dan siap menghadapi terjangan Cui Im yang marah sekali. Biauw Eng sudah siap pula dengan sabuknya.
Akan tetapi Cui Im yang melihat betapa Keng Hong sudah mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam, menjadi marah dan khawatir. Tiga orang itu tidaklah terlalu berbahaya. Kalau Keng Hong dapat dirobohkan, tidak akan sukar baginya merobohkan tiga orang itu. Maka dengan kemarahan meluap ia melompat ke arah Keng Hong yang kini menghadapi Go-bi Thai-houw dengan Siang-bhok-kiam di tangannya.
Begitu dia mainkan Siang-bhok-kiam, Go-bi Thai-houw terkejut bukan main. Hebat sekali sinar pedang itu dan mengeluarkan hawa mukjijat di tangan Keng Hong. Dia langsung menggerakkan sepasang kebutannya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Keng Hong.
"Cring-cringgg...!"
Tangkisan Siang-bhok-kiam mengenai gagang kebutan dari baja, dan tampaklah banyak bulu-bulu kebutan merah dan biru membodol, beterbangan seperti kelopak-kelopak bunga tertiup angin.
"Trangggg...!"
Sinar pedang di tangan Cui Im yang datang menusuk, diterima oleh Siang-bhok-kiam dan kedua pedang itu saling melekat karena dialiri tenaga sinkang mereka.
"Mampuslah!" Cui Im menggunakan tangan kirinya menampar ke arah dada Keng Hong, sedangkan pada saat itu, kebutan merah Go-bi Thai-houw yang bulunya tinggal separuh itu menotok ke arah mata Keng Hong!
Keng Hong menggerakkan tangan kiri, cepat menyambar kebutan merah, mencengkeram bulunya, membetot dan langsung melontarkan bulu-bulu yang tercabut itu ke arah muka Go-bi Thai-houw, ada pun dorongan telapak tangan Cui Im ke dadanya dia terima begitu saja.
"Aihhhhhh...!"
Go-bi Thai-houw memekik dan terjengkang ke belakang, mukanya, mata dan hidungnya tertusuk bulu-bulu kebutannya sendiri. Ia berkelojotan di atas lantai, berusaha bangun dan jatuh lagi.
"Ayaaaaa...!” Cui Im terkejut bukan main ketika tiba-tiba tangannya melekat pada dada Keng Hong dan merasa betapa sinkang-nya lantas membanjir keluar melalui tangannya ke dalam tubuh lawan.
"Celaka...!" Cui Im mengeluh dan berdaya sekuatnya untuk menarik kembali tangannya, namun makin keras ia berusaha, makin banyak sinkang-nya molos keluar.
Go-bi Thai-houw yang sudah sekarat karena bulu-bulu kebutan itu menusuk muka sampai ke dalam kepalanya, mendengar teriakan Cui Im tiba-tiba bangkit dan kebutan biru di tangannya menotok ke arah leher Keng Hong yang pada saat itu sedang mengerahkan tenaga mukjijat untuk mengalahkan Cui Im.
"Cukkk... ahhhh...!" Keng Hong terhuyung dan otomatis tangan Cui Im terlepas.
Cui Im meloncat ke belakang, terpaksa meninggalkan pedangnya yang masih menempel di pedang Siang-bhok-kiam. Secepat kilat otaknya mencari akal untuk menyelamatkan diri karena dia melihat betapa dengan gerakan tangan kanannya, pedang merah rampasan itu meluncur lepas dari Siang-bhok-kiam dan menusuk leher Go-bi Thai-houw sampai tembus.
Nenek iblis itu roboh dan tidak bergerak lagi, kepalanya tidak menyentuh tanah karena ujung pedang merah menancap di lantai, mengganjal kepalanya dengan leher tertembus! Cui Im tidak menyerang lagi, melainkan meloncat cepat ke sebelah dalam gedung.
"Anak kita...!" Biauw Eng menjerit.
Dia cerdik dan maklum akan niat hati Cui Im, maka bagaikan seekor harimau terluka, ia lupa akan luka-luka di tubuhnya dan melesat ke depan, mengejar. Keng Hong yang masih setengah lumpuh pada waktu mendengar teriakan isterinya ini, juga cepat melesat dan mengejar Cui Im.
Cong San dan Yan Cu kini dikurung dan mengamuk dikeroyok banyak sekali pengawal. Pedang rampasan mereka bergerak dan membentuk dua gulungan sinar membuat setiap orang pengeroyok roboh jika terlalu dekat.
Biar pun dengan hati penuh kegelisahan akan keselamatan anak mereka, Biauw Eng dan Keng Hong melakukan pengejaran secepat mungkin. Sukarlah bagi mereka untuk dapat menyusul Cui Im karena mereka kurang mengenal jalan. Cui Im menyelinap dari ruangan yang satu ke ruangan lain, keluar masuk lorong dan kamar sehingga kedua orang yang terus membayanginya itu selalu tertinggal di belakang.
"Cui Im, jangan ganggu anakku!" Biauw Eng menjerit.
"Cui Im, demi Tuhan, bebaskan anak kami maka aku akan mengampunimu lagi!" Keng Hong juga berteriak. Setelah sekarang mereka semua bebas, tentu saja Keng Hong tidak menghendaki anaknya menjadi korban sendiri.
"Hi-hi-hik, biar aku mati, hatiku akan puas kalau sudah menyembelih anak kalian!" Cui Im tertawa sambil terus berlari.
"Ha-ha-heh-heh-heh, kalian terlambat!" Cui Im melompat masuk ke dalam sebuah kamar. Ketika Biauw Eng dan Keng Hong yang pucat mukanya itu menerjang masuk, kamar itu kosong dan Cui Im lenyap!
“Cepat kejar dia... ohhh...!" Biauw Eng terisak dan mereka menerobos masuk melalui pintu belakang kamar itu yang ternyata menembus ke sebuah ruangan lain.
Tiba-tiba Keng Hong memegang tangan Biauw Eng dan memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Mereka berdiri di depan pintu sebuah kamar dan mendengar suara Cui Im dan dalam kamar itu menembus keluar.
"Di mana dia? Di mana...?"
Terdengar jawaban seorang wanita dengan suara gemetar, "Ampun, Toanio... hwesio tua itu... tadi merampasnya dan membawanya pergi..."
"Apa...?! Dan kau membiarkan anak itu dibawa pergi?"
"Ampunkan hamba... hamba... tidak tahu bagaimana, tahu-tahu anak itu melayang dari pondongan hamba dan..."
Terdengar jerit mengerikan dan Keng Hong bersama Biauw Eng sudah menerjang pintu kamar itu sehingga roboh. Mereka melihat Cui Im berdiri membalikkan tubuh memandang mereka dan di situ menggeletak tubuh wanita pelayan dengan kepala pecah! Hati Keng Hong dan Biauw Eng lega bukan main. Mereka tahu bahwa tentulah Tiong Pek Hosiang yang telah membawa pergi anak mereka!
"Cui Im, iblis betina, engkau hendak lari ke mana sekarang?" Biauw Eng membentak dan sabuk sutera merah muda di tangannya bergerak melayang ke atas lalu meluncur ke arah kepala Cui Im.
"Kalian ampunkan aku...," mendadak Cui Im menangis, "aku... aku melakukan semua itu karena aku... aku cinta kepadamu, Keng Hong...!"
Ucapan ini membuat Biauw Eng menjadi makin marah. Sabuknya menyambar turun dan ketika Cui Im mengangkat kedua tangannya menangkap ujung sabuk sutera, Keng Hong maklum bahwa bahaya besar mengancam isterinya. Dia cepat-cepat melontarkan Siang-bhok-kiam ke arah Cui Im dengan gerakan yang amat cepat.
Pada saat itu, ujung sabuk sutera telah membelit kedua tangan Cui Im yang terangkat ke atas dan melesatnya Siang-bhok-kiam tak dapat dielakkan lagi oleh Cui Im yang tenaga sinkang-nya sudah banyak berkurang akibat terkena ilmu Thi-khi I-beng dari Keng Hong tadi.
"Cappppp...!"
Pedang Siang-bhok-kiam tepat menusuk ulu hati Cui Im lalu menembus ke belakang, dan tenaga lontaran itu membuat tubuh Cui Im terlempar ke belakang sampai ujung pedang menancap di tembok kamar di mana tubuh itu terpaku!
Keng Hong berdiri terbelalak, mukanya pucat sekali memandang ke arah Cui Im. Wanita itu memandang kepada Keng Hong dan darah menetes dari dada dan mulutnya, akan tetapi dia masih sempat berkata,
"Aku... aku cinta padamu, Keng Hong...!" Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang.
Biauw Eng melirik ke arah suaminya dan melihat dua titik air mata menetes turun ke pipi suaminya. Ia menggerakkan sabuk yang terlepas dari kedua tangan Cui Im, ujung sabuk menyambar ke depan, melibat gagang Siang-bhok-kiam kemudian mencabutnya. Siang-bhok-kiam dibawa melayang ke hadapan Keng Hong yang menerima dengan mata masih terus menatap tubuh Cui Im yang kini roboh terguling dan terlentang di atas lantai.
"Mari kita membantu Yan Cu!" Biauw Eng berkata agak ketus dan barulah Keng Hong sadar, memandang isterinya. Ia melihat sinar mata berkilat dari isterinya, maka dia cepat berkata,
"Maafkan aku, isteriku. Aku hanya teringat dia sebagai bekas sumoi-ku, seorang pewaris kepandaian suhu..."
Keduanya lalu melompat keluar dan menyerbu ke dalam ruangan di mana Yan Cu dan Cong San masih mengamuk.
"Kita keluar dari sini! Cepat!" Keng Hong berkata sambil membuka jalan darah dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya.
Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengikutinya dan sepak-terjang mereka yang hebat itu membuat para pengeroyok cerai-berai dan merasa jeri. Tak lama kemudian, empat orang itu sudah lari ke luar dari kota, dikejar pasukan pengawal yang dipimpin oleh Coa-taijin sendiri.
Akan tetapi, setibanya di luar tembok kota, tampak datang sebuah pasukan dari selatan. Coa-taijin terkejut ketika mengenal pembesar atasannya, maka cepat dia menyambut. Kiranya pasukan itu adalah pasukan seorang panglima dari kota raja yang datang untuk mengadili Coa-taijin karena menerima laporan Tiong Pek Hosiang bahwa kepala daerah Sun-ke-bun telah bersekutu dengan para bajak sungai. Coa-taijin menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja dalam sebuah gerobak kerangkeng dan di sepanjang jalan disambut dan disoraki rakyat yang sudah lama tertindas pembesar lalim itu…..
********************
Mereka berempat berhenti berlari di sebuah hutan yang sunyi, terengah-engah dan saling pandang. Keng Hong memandang Cong San yang terus berdiri bagaikan patung sambil menundukkan kepala, lalu pendekar ini menarik napas panjang, menghampiri isterinya dan tanpa bicara dia lalu menaruh obat di luka isterinya, membalutnya dengan robekan jubahnya.
Sejenak Yan Cu berdiri mengatur napas yang memburu, memandang pada suaminya, kemudian ia pun melangkah maju mendekat suaminya, tanpa mempedulikan luka-lukanya sendiri, mengeluarkan bubuk obat dari ikat pinggangnya dan hendak mengobati luka pada pundak suaminya.
Akan tetapi baru saja tangannya menyentuh pundak, mendadak Cong San mengangkat muka memandang, mukanya pucat, sepasang matanya mencucurkan air mata dan dia melompat ke belakang.
"Jangan sentuh aku...!"
Yan Cu terkejut dan berdiri memandang terbelalak. Keng Hong dan Biauw Eng menoleh dan memandang dengan alis berkerut, kemudian Keng Hong membentak dengan marah,
"Cong San! Apakah engkau masih tetap gila?"
Dengan muka menunduk Cong San menjawab, suaranya terisak menangis, "Memang aku gila dan masih gila, aku tidak layak... tidak layak...!" ia tersedu.
Yan Cu melangkah maju, kedua pipinya basah air matanya yang mengalir turun.
"Engkau suamiku..., dan aku tidak sakit hati akan semua yang telah terjadi. Mari kuobati lukamu, Koko..."
Kembali Cong San melompat ke belakang. "Jangan...! Jangan... kau sentuh aku... aku... aku tidak tahan lagi... aku terlalu kotor... tak layak kau sentuh... kau terlalu suci dan aku... tanganmu akan menambah penderitaan batinku. Aku... aku manusia laknat, anjing pun terlalu bersih untuk mendekatiku..."
"Koko... engkau suamiku...!" Yan Cu menangis dan akan menubruk, akan tetapi Cong San mengelak dan melompat mundur.
"Jangan...! Demi Tuhan... jangan sentuh aku atau engkau pun akan menjadi kotor. Aku... dosaku tak mungkin dapat diampuni oleh siapa pun...!" Cong San menangis tersedu-sedu seperti anak kecil dan dia menjambak-jambak rambutnya.
Keng Hong hendak meloncat, akan tetapi ditahan oleh Biauw Eng yang memberi isyarat dengan mata agar suaminya diam saja dan tidak mencampuri urusan itu.
"San-koko... ingatlah. Aku Gui Yan Cu, telah bersumpah menjadi isterimu. Aku isterimu, sejak dahulu sampai selamanya... aku cinta padamu dan aku tidak menaruh dendam atas segala kesalah pahaman..."
"Kesalah pahaman? Aihhh, kalau saja benar demikian. Tidak...! Tidaaaaaak...! Aku sudah buta, gila oleh cemburu! Aku sudah menghina, menyiksa hatimu. Aku sudah menuduhmu secara keji... aku... aku tidak layak kau sentuh... tidak layak untuk hidup lagi...!"
Seperti orang gila, rambutnya awut-awutan, mukanya basah air mata, tiba-tiba Cong San mencabut pedang rampasannya tadi.
"Suamiku...! Jangan...! Jangan kau lakukan itu...! Ingat anak kita..., Kun Liong...!" Yan Cu menjerit dan meloncat ke depan hendak merampas pedang.
Akan tetapi Cong San kembali meloncat menjauhi dengan pedang telanjang di tangan, sikapnya tidak seperti orang waras lagi.
"Jangan halangi aku! Jangan menambah dosa dan penderitaanku! Biarkan aku mati, aku tidak patut menjadi suamimu, tidak patut menjadi ayah Kun Liong, tidak patut menjadi sahabat Keng Hong! Tidak patut hidup lagi..., aku manusia iblis...!"
Mendadak Yan Cu mencabut pedang rampasannya pula. "Begitukah? Kau hendak nekat memilih mati? Baiklah, suamiku. Aku sebagai isteri harus mentaati semua kehendakmu, dan sebagai isteri yang setia dan mencinta, aku harus mengikutimu ke mana pun engkau pergi. Biarlah aku pergi dahulu untuk mencarikan jalan..." Setelah berkata demikian, Yan Cu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah lehernya sendiri!
"Trangggg…!"
Pedang di tangan Yan Cu terlepas dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangannya sambil menangis. Cong San yang tadi menangkis pedang isterinya dengan sekuat tenaga berdiri seperti patung, pucat sekali mukanya, kemudian dia meloncat ke belakang sambil berkata, suaranya gemetar penuh penyesalan,
"Yan Cu, menyebut namamu saja sudah tidak layak bagiku. Jangan kau bersikap seperti ini, karena hal itu hanya menambah perih hatiku, menambah besarnya dosaku. Dosaku bertumpuk-tumpuk terhadap dirimu yang suci, dan percayalah, aku tidak ingin melihat engkau menderita lagi hanya karena aku, seorang manusia yang tidak berharga sama sekali. Aku harus mati, dan hanya jalan ini saja yang akan membebaskanmu dari pada ikatan seorang suami yang tidak berharga sama sekali. Selamat tinggal!"
"Suamiku...!" Yan Cu menjerit, namun Cong San sudah menusukkan pedang itu ke arah dadanya sendiri.
"Trakkk!" Pedang Cong San patah dan terpental, bahkan dia sendiri terhuyung. Demikian hebat tangkisan Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, saking marahnya pendekar ini.
"Keng Hong, kenapa... kenapa...?" Cong San menegur, penuh rasa heran melihat orang yang sudah dikhianatinya, yang sudah difitnahnya, sudah diserang, dimaki dan dihinanya, bahkan hampir dibunuhnya itu menghalangi dia membunuh diri.
"Pengecut laknat!" Keng Hong menyarungkan pedangnya lagi lantas membentak marah. "Sesudah melakukan hal yang memalukan dan gila, sekarang engkau takut menghadapi akibatnya, takut menghadapi penyesalan sehingga ingin melarikan diri dengan kematian yang pengecut dan menjijikkan. Beginikah seorang laki-laki? Kau patut dihajar!"
"Plakkkk!"
Tamparan Keng Hong mengenai pipi Cong San, membuat dia terpelanting roboh. Cong San terkejut sekali dan ketika dia mencoba untuk bangkit, sebuah tendangan mengenai dadanya, membuat dia terjengkang lagi. Namun Cong San meloncat bangun dan tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Terima kasih, Keng Hong. Hajarlah aku! Bunuhlah aku untuk membalas kejahatanku terhadapmu, agar ringan hatiku, ha-ha-ha!"
"Laki-laki keparat dan pengecut! Mestinya engkau minta ampun kepada Yan Cu sumoi, mestinya engkau menebus dosa dengan membahagiakan dia, sebaliknya engkau malah hendak menghancurkan harapannya. Setan! Plak! Plak!"
Dua tamparan membuat Cong San terguling kembali dan kedua pipinya sudah bengkak-bengkak membiru. Keng Hong mengejar dan terus menamparinya sampai tubuh Cong San terguling-guling dan terhuyung ke kanan kiri.
"Jangan serang suamiku!" seperti seekor singa betina diganggu anaknya, tiba-tiba Yan Cu meloncat dan mencengkeram pundak Keng Hong menarik tubuh Keng Hong ke belakang lalu menghantam dada Keng Hong penuh kemarahan.
"Bukkk!"
Keng Hong terjengkang ke belakang.
"Yan Cu, jangan...!" Cong San terkejut sekali dan cepat menubruk isterinya yang masih hendak menyerang Keng Hong.
Keng Hong meloncat bangun. Itulah yang dikehendakinya dan kini dia pun berkata, "Nah, buka matamu lebar-lebar, Yap Cong San! Isterimu demikian setia, demikian mencintamu hingga rela dia melindungimu dan memukul suheng sendiri! Apakah untuk seorang isteri yang begini bijaksana, begini mencinta, engkau masih ingin menghancurkan harapan dan kebahagiaannya?"
Mengertilah kini Cong San mengapa Keng Hong tadi menghajarnya. Sama sekali bukan untuk membalas penghinaannya, melainkan untuk memancing kemarahan Yan Cu yang setia. Ia terisak, air matanya bercucuran, lalu memeluk Yan Cu dan berkata,
Isterinya, kau... kau... sudi mengampuni dosa-dosaku...?"
"San-koko...! Suamiku...! Yan Cu balas memeluk dan menangis terisak di dada suaminya.
Cong San menciumi isterinya, kemudian menarik isterinya maju berlutut. Ia menjatuhkan diri di hadapan Keng Hong sambil berkata terputus-putus, "Taihiap... aku... aku mohon ampun... ampunilah semua kesalahanku...!"
Keng Hong mengejap-ngejapkan mata menahan air matanya, lalu mengangkat bangun kedua orang itu, lalu dirangkulnya. "Cong San, aku tidak pernah benci kepadamu karena aku tahu betapa jahatnya perasaan cemburu kalau sudah menguasai hati manusia. Dan jangan menyebut Taihiap segala... kita masih sahabat seperti dahulu, bahkan keluarga..."
"Keng Hong...!" Cong San merangkul pendekar sakti itu dan menangis seperti anak kecil. Yan Cu merangkul Biauw Eng yang menghampiri mereka dan kedua orang wanita ini pun bertangis-tangisan, tangis penuh rasa haru dan bahagia.
"Cong San, mintalah ampun kepada isterimu." Keng Hong berbisik di telinga sahabatnya.
Cong San merenggangkan diri, memandang wajah Keng Hong kemudian mengangguk. Dia lalu menghampiri Yan Cu yang masih berpelukan dengan Biauw Eng.
"Isteriku, Yan Cu..."
Dua orang wanita itu saling melepas rangkulan dan Biauw Eng segera meninggalkan Yan Cu, menghampiri suaminya sambil menghapus air mata dengan sabuk merah muda milik Yan Cu yang tadi dipergunakan sebagai senjata.
Cong San dan Yan Cu saling berpandangan. Yan Cu menggerak-gerakkan bibirnya yang menggigil dan mencoba tersenyum, akan tetapi air mata tetap menitik turun.
"Yan Cu, aku mohon ampun padamu..." Tiba-tiba Cong San yang teringat akan kata-kata Keng Hong ketika mereka tertawan, menubruk kaki isterinya dan menciumi ujung sepatu Yan Cu, mencuci sepatu yang kotor berlumpur itu dengan air mata dan bibirnya!
Yan Cu sejenak mengangkat muka ke atas, matanya terpejam, kedua lengan berdekapan seperti sedang mengucapkan terima kasih kepada langit, tetapi tubuhnya bergerak-gerak terayun dan tentu roboh pingsan kalau saja Cong San tidak cepat-cepat meloncat dan memeluknya.
"Suamiku... kau tertipu orang..."
"Tidak, kau harus mengampuni aku, isteriku, barulah tercuci penyesalan di hatiku..."
"San-ko, aku ampunkan engkau... suamiku..."
"Terima kasih, terima kasih, isteriku..."
Sesudah keharuan mereka mereda dan saling menghujankan peluk cium pelepas rindu dendam yang selama ini menjadi jurang pemisah oleh cemburu, mereka saling mengobati luka masing-masing dengan muka masih basah melepas isak yang menyesak dada.
"Omitohud, di mana-mana manusia menangis..."
Mereka berempat lalu memandang dan kiranya yang mengucapkan kata-kata itu adalah seorang hwesio tua tinggi besar berkulit hitam, bermata lebar dan memondong seorang anak laki-laki. Di sebelah kanannya terdapat seorang hwesio tua lain, yang juga sedang memondong seorang anak perempuan. Kedua anak itu tadinya tertidur, akan tetapi kini mereka terbangun dan seperti dikomando, keduanya menangis!
"Kun Liong...!" Yan Cu cepat berlari dan menerima puteranya dari pondongan Thian Kek Hwesio yang kini menjadi ketua Siauw-lim-pai.
"Giok Keng...!" Biauw Eng juga cepat lari menerima puterinya dari pondongan Thian Lee Hwesio. Dua orang ibu muda itu lalu menyusui anak masing-masing yang segera terdiam dan menyusu dengan lahapnya.
"Omitohud...! Di antara semua tangis, hanya tangis kedua orang anak ini, seperti tangis semua anak-anak lain di dunia, yang murni dan suci! Mereka menangis dengan wajar, tidak sedikit pun dicampuri perasaan hati dan pikiran. Betapa beningnya dan merdu tangis mereka, betapa bedanya dengan tangis orang-orang tua yang pinceng dengar. Kalian menangis karena penyesalan, terharu dan bahagia."
"Suheng...!" Cong San menjatuhkan diri berlutut. "Di mana suhu...?"
"Yap-sicu, harap diingat bahwa Sicu bukanlah murid Siauw-lim-pai. Suhu-mu menitipkan anak-anak ini kepada pinceng dan karena pinceng tidak menghendaki Siauw-lim-pai turut terbawa-bawa oleh urusan orang luar, terpaksa pinceng menyusulkan mereka ke sini. Suhu-mu juga menangis sedih ketika pinceng pergi. Ahhh, dunia penuh dengan tangisan manusia!"
Cong San terkejut sekali. "Suhu... menangis...?"
Thian Kek Hwesio menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Ya, dia menangis karena terpaksa membantu kalian melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tidak ada pilihan lain baginya, tidak menolong berarti kalian terbunuh, menolong pun berarti kalian membunuh. Sungguh pilihan yang amat sulit bagi orang tua itu dan makin membuka mata batin bahwa dunia ini penuh dengan makhluk-makhluk paling buas yang selalu saling bermusuhan dan saling membunuh, yaitu manusia!"
"Akan tetapi, Locianpwe!" Biauw Eng membantah. "Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang yang jahat! Cui Im beserta kaki tangannya adalah manusia-manusia iblis yang patut dibasmi!"
Sepasang mata yang lebar itu memandang tajam. "Pendirian seperti itulah yang hanya menimbulkan segala permusuhan. Menentang! Kata-kata itu seharusnya lenyap dari batin setiap manusia, kalau manusia ingin hidup di dalam dunia yang aman dan damai. Sekali mengambil sikap menentang berarti telah menanam permusuhan. Menentang yang jahat? Apakah yang jahat itu? Apakah yang baik itu? Bukankah yang mengatakan baik atau jahat itu sang aku yang mendasarkan pendapatnya dengan rugi untung? Kalau sang aku diuntungkan lahir mau pun batinnya, maka baiklah bagi sang aku. Kalau dirugikan, maka jahatlah bagi sang aku. Wahai orang-orang muda, mulai saat ini belajarlah kalian, belajar mengenal diri pribadi. Kenalilah bahwa yang kalian sebut Aku itu bukanlah aku yang sejati, melainkan aku yang palsu, aku yang sebetulnya hanyalah kedok belaka dari nafsu badani! Aku yang palsu, kedok nafsu badani selalu penuh gairah hendak menyenangkan dan memuaskan badan yang tak kunjung puas seperti sebuah gentong yang dasarnya berlubang, tak mungkin dapat terpenuhi dan selalu kosong dan haus. Semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan AKU yang sejati. Manusia menjadi hamba dari pada nafsunya sendiri sehingga seperti buta oleh loba dan tamak, mementingkan sang aku. Aku jangan diganggu, manusia lain sedunia masa bodoh. Milikku jangan diganggu, milik manusia lain sedunia masa bodoh. Dan karena setiap orang manusia yang menjadi hamba dari sang aku palsu ini, maka timbullah pertentangan kemudian mengakibatkan permusuhan, benci membenci, dendam mendendam, tipu menipu, sakit menyakiti bahkan bunuh membunuh. Karena itulah maka Tiong Pek Hosiang menangis dalam kamar semedhinya!" Kakek itu menengadah dan menarik napas panjang.
"Suheng... eh, Locianpwe, setelah saya sadar, setelah saya mendapat pengampunan dari isteri saya, sudilah Locianpwe menjelaskan mengapa saya sampai dapat menjadi gila oleh cemburu, padahal saya amat mencinta isteri saya?" Cong San yang melihat hwesio itu hendak pergi, cepat menahannya dengan pertanyaan ini.
Hwesio itu memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak mohon penerangan dari alam, kemudian terdengar dia berkata,
"Nafsu badani yang berkedok AKU amatlah berbahaya dan kuat! Semua sifat baik dapat dikotorinya dan dipalsukannya. Bahkan cinta kasih yang murni, sifat termulia di antara segala sifat, dapat pula dipalsukan dan dikotorkan! Yap-sicu, pinceng percaya bahwa Sicu mencinta isterimu, dengan cinta kasih yang murni, namun Sicu terpedaya oleh sang aku. Yang menciptakan cemburu bukanlah cinta kasih yang murni, melainkan nafsu sayang diri yang berkedok sang aku itulah! Cinta kasih yang murni membuat orang ingin melihat yang dicintanya berbahagia, bukan? Apakah Sicu mempunyai keinginan di hati untuk melihat isteri Sicu bahagia hidupnya?"
Cong San mengangguk. "Tentu saja, Locianpwe."
"Nah, itulah cinta kasih yang murni, bebas dari kepentingan sang aku! Andai kata terbukti bahwa isteri Sicu mencinta orang lain, andai kata isteri Sicu merasa berbahagia untuk hidup berdampingan dengan laki-laki lain, maka cinta kasih murni di hati tak akan terluka, tentu Sicu, dengan dasar cinta kasih yang ingin melihat kebahagiaan isteri Sicu itu, akan mengalah dan membiarkan isteri Sicu berbahagia! Akan tetapi, Sicu menjadi cemburu. Mengapa? Karena cinta kasih Sicu telah dipalsu dan dikotori oleh sang aku palsu itulah! Maka timbullah kemarahan karena Sicu yang diganggu, Sicu yang dirugikan, isteri Sicu, milik Sicu, yang hendak direbut orang. Jadi, perasaan cemburu, sakit hati dan marah itu timbul bukan demi cinta kasih terhadap isteri Sicu, melainkan demi cinta diri, demi cinta yang berkedok sang aku. Mengertikah, Sicu?"
"Ohhh...! Betapa bodohnya aku...! Dan betapa murni cinta kasih Yan Cu yang rela hendak mengorbankan nyawa demi kebahagiaanku, suaminya yang tidak berharga ini..." Cong San mengeluh dan merangkul isterinya yang masih menyusui puteranya.
"Cinta kasih murni tak mengenal cacad, berharga atau tidak, pendeknya, cinta kasih murni tidak membuat penilaian!" kakek itu berkata lagi dengan mata separuh terpejam. "Lihatlah cinta kasih Tuhan kepada manusia dan segala makhluk. Cahaya matahari diberikanNya kepada siapa pun juga, baik pengemis mau pun hartawan, pencuri mau pun pendeta, dari semut sampai gajah, sinar matahari itu merupakan curahan kasih suci yang bebas dari penilaian. Itulah cinta kasih murni! Lihatlah cinta kasih ibu terhadap anaknya, dari semua makhluk! Tiada penilaian apakah anaknya itu baik ataukah buruk, cinta kasih seorang ibu tetap tak akan berubah! Itulah cinta kasih murni manusia. Aaahhh, pinceng telah terlalu banyak bicara, pinceng sudah melaksanakan pesan Tiong Pek Hosiang mengembalikan anak-anak kalian. Selamat tinggal dan semoga kalian memperoleh kesadaran." Kakek itu bersama Thian Lee Hwesio meninggalkan hutan, berjalan dengan langkah lebar tanpa menoleh ke kanan kiri.
Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang, demikian pula Cong San dan Yan Cu. Meski pun kata-kata Thian Kek Hwesio itu hanya sederhana saja, akan tetapi mereka merasa terpesona dan membuat mata batin mereka terbuka, merasa ngeri bila mengingat kembali perbuatan mereka yang sudah lalu.
"Semoga anak-anak kita akan menjadi manusia-manusia yang lebih sadar dari pada kita," Keng Hong berbisik.
"Semoga demikian..." Cong San menyambung.
"Dan semoga seluruh manusia di dunia ini, bersama-sama saya, akan suka belajar untuk mengenal diri sendiri, sedikit demi sedikit menggosok bersih debu-debu nafsu yang bisa mengeruhkan dan menjadi penghalang dari SINAR API yang berada di dalam diri sendiri manusia, sehingga sinar itu akan menyorot keluar dan menerangi dunia, mendatangkan suasana DAMAI penuh KASIH dalam kehidupan manusia," demikian berkata pengarang sebagai penutup cerita ‘Pedang Kayu Harum’ ini.
“Hmmm, semoga lanjutan cerita ini cepat-cepat dapat dibaca,” demikian pikiran pembaca. Ya, kan…..?
Komentar