PEDANG KAYU HARUM : JILID-33
Mula-mula Ang-taijin menerima penyuapan berupa gadis-gadis cantik ini hanya sebagai iseng-iseng belaka, akan tetapi dia lupa bahwa segala maksiat di dunia ini dimulai dengan iseng-iseng seperti juga api dimulai dengan bunga api yang lama kelamaan akan menyala menjadi kebakaran besar. Iseng-iseng yang semakin lama akan menjadi ‘hobby’, akan membuat ketagihan. Dan pada waktu itu, Ang-taijin sudah terkenal sebagai seorang yang haus akan wanita cantik!
Bagi seorang berkedudukan seperti dia, cadangan untuk korbannya tidak pernah surut, para penjilatnya dengan senang hati akan selalu menyediakan cadangan baru! Ang-taijin tinggal menunjuk saja kalau melihat wanita cantik dan para penjilat serta kaki tangannya akan berusaha sekuat tenaga, secara halus mau pun kasar, untuk mendapatkan wanita cantik itu, baik dia bersuami atau masih gadis.
Seorang yang sudah menjadi hamba nafsu birahi tidak lagi memiliki perasaan cinta kasih yang murni. Rasa cinta kasihnya sudah hambar dan setiap orang wanita yang berhasil didapatkan, dalam waktu satu dua bulan saja sudah membosankan baginya dan harus diganti yang baru. Bagi seorang penghamba nafsu seperti Ang Joan Ti, wanita tiada lebih hanya sebagai benda yang sesudah dipakai akan membosankan dan perlu diganti yang baru.
Dalam keadaan seperti itulah Ang Joan Ti menerima kunjungan Sim Lai Sek dan Biauw Eng di gedungnya yang sangat megah. Pria berusia empat puluh tahun lebih ini tadinya menerima Lai Sek dengan kening berkerut, hatinya tidak senang harus bertemu dengan putera kawan sekampung, mengingatkan dia akan keadaannya dahulu yang miskin dan rendah.
Akan tetapi begitu melihat Biauw Eng, kemuraman wajahnya sirna seketika, terganti seri dan senyum, kerling mata menyambar penuh gairah karena harus dia akui bahwa selama petualangannya dengan banyak sekali wanita belum pernah dia bertemu dengan seorang yang secantik Biauw Eng, apa lagi kecantikan asli gadis berpakaian sederhana ini tampak menonjol, pakaian yang menutupi bentuk tubuh yang padat dan menyiratkan kehangatan serta kekuatan!
"Aihhh, kiranya Sim Lai Sek! Hampir aku tidak mengenalmu, Hiante! Karena mata... Ehh, mengapa matamu...?"
Sim Lai Sek tersenyum sesudah mengangkat kedua tangan memberi hormat, "Saya tidak lagi dapat melihat, Paman Ang, akan tetapi saya masih ingat akan suara Paman. Mata saya menjadi buta karena serangan penyakit... dan karena keadaan saya inilah maka saya sengaja datang menghadap Paman dengan harapan, sudilah Paman mengingat akan hubungan antara Paman dan mendiang orang tuaku, untuk menolong saya."
Di dalam hatinya Ang-taijin memaki, bukan hanya karena kedatangan orang yang tidak diharapkan dan tak akan mendatangkan keuntungan baginya ini, akan tetapi juga karena sikap pemuda buta ini kepadanya seperti sikap keluarga sekampung, sikap yang sudah terlupa olehnya karena setiap hari semua orang yang berhadapan dengannya bersikap sebagai orang bawahan terhadap atasannya! Pemuda buta ini agaknya lupa bahwa dia kini bukan lagi Ang Joan Ti si sastrawan miskin, akan tetapi Ang-taijin yang terhormat, berkuasa dan kaya raya!
Akan tetapi, sambil mengerling ke wajah manis Biauw Eng yang menundukkan muka, dia tersenyum dan berkata, suaranya penuh keramahan,
"Sim-hiante, mengapa engkau begini sungkan? Kita seperti keluarga sendiri, dan setelah sekarang aku menjadi seorang pembesar, tentu saja aku akan membantu engkau dan... Eh, siapakah adik ini?" Suaranya terdengar mesra sekali ketika dia menyebut ‘siauwmoi’, menyebut adik padahal Biauw Eng lebih patut menjadi anaknya.
Biauw Eng adalah seorang dara remaja yang belum banyak pengalamannya menghadapi pria dengan akal bulus mereka merayu wanita, akan tetapi perasaan kewanitaannya telah membisikkan bahwa lelaki ini tidaklah sejujur seperti yang hendak diperlihatkannya, maka diam-diam dia merasa tidak suka. Akan tetapi demi Lai Sek, dia diam saja.
"Maaf, Paman Ang, saya lupa memperkenalkan. Dia ini adalah Sie Biauw Eng, tunangan saya."
"Tun... Tunanganmu...?!" Ang-taijin tidak dapat menahan seruannya karena benar-benar dia merasa kaget dan heran.
"Benar, Paman. Dia adalah calon isteri saya."
"Ah, kionghi (selamat), Sim-hiante! Engkau beruntung sekali mendapatkan seorang calon isteri yang begini cantik jelita!"
Lai Sek tersenyum, hatinya gembira sekali dan dia menoleh ke arah Biauw Eng sambil berkata, "Eng-moi, haturkan terima kasih kepada Paman Ang."
Biauw Eng menjura kepada pembesar itu dan berkata lirih, "Saya mengucapkan terima kasih atas pujian Ang-taijin."
"Ahh, nona muda yang baik, di antara orang sendiri, perlu apa sungkan-sungkan? Nah, Sim-hiante, aku akan merasa gembira sekali kalau dapat menolong engkau dan adik ini. Bantuan apakah yang kau perlukan?" Walau pun mulutnya bicara kepada Lai Sek, akan tetapi pandang mata pembesar itu tak pernah meninggalkan wajah dan tubuh Biauw Eng yang makin dipandang makin menggairahkan hatinya dan membangkitkan nafsunya itu.
"Kami berdua hendak memohon pertolongan Paman agar kami berdua dapat membangun rumah tangga di kota raja, dan bisa mendapatkan sekedar usaha sebagai penyambung hidup, terutama sekali agar Paman sudi mewakili kedua orang tua kami yang sudah tidak ada untuk menikahkan kami."
"Ehh, jadi kalian belum menikah, jadi... ehh, belum... belum berhubungan sebagai suami isteri?" tanya pembesar itu dengan hati girang sekali meski pun mata jalangnya sebagai seorang lelaki yang banyak pengalamannya tentang wanita dapat menduga bahwa Biauw Eng adalah seorang yang masih gadis.
Pertanyaan ini membuat wajah Lai Sek menjadi merah saking malu dan wajah Biauw Eng merah karena marah. Akan tetapi gadis ini tetap menunduk dan diam saja, coba menekan perasaan marahnya. Ada pun Lai Sek lalu menjawab malu,
"Belum, Paman. Kami belum menikah..."
"Bagus! Memang begitulah seharusnya sebagai seorang calon suami yang baik. Jangan khawatir, Lai Sek, aku akan membantu kalian. Akan kusuruh carikan sebuah rumah yang layak untuk kalian tinggal sebagai suami isteri, dan tentang pekerjaan nanti kita pikirkan perlahan-lahan. Sekarang lebih baik kalian tinggal dahulu di sini untuk beristirahat sambil menanti didapatkannya rumah. Tentu saja bila sudah mendapatkan rumah, baru aku akan mewakili orang tuamu merayakan pernikahan kalian."
"Ah, Paman Ang baik sekali! Sudah kusangka Paman akan menolong kami! Terima kasih, Paman!" Lai Sek menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi pembesar itu segera membangunkan pemuda buta ini sambil mengerling ke arah Biauw Eng. Biauw Eng mengangkat mukanya sehingga bertemulah pandang mata mereka.
Ang-taijin terkejut dan kagum menyaksikan pandang mata yang demikian tajam seperti ujung pedang, demikian indah seperti mata burung hong. Sedangkan Biauw Eng merasa makin yakin hatinya bahwa di balik segala keramahan dan pelepasan budi pembesar ini terkandung maksud yang hina dan keji terhadap dirinya. Tentu saja dia tak menjadi gentar dan saat mengingat betapa pembesar ini merupakan ancaman bagi dirinya, ia tersenyum dingin. Orang macam itu mau bisa berbuat apakah terhadap dirinya?
Hati Ang-taijin berdebar saking girangnya ketika melihat gadis cantik jelita itu tersenyum. Dia menganggap bahwa senyum itu merupakan ‘janji’ dan ‘kode’ dari si gadis bahwa dia sudah dapat menangkap hasrat hati si pembesar dan sudah siap melayaninya! Dengan hati girang Ang-taijin lalu memanggil pelayan yang tidak ada yang hadir karena maklum bahwa Ang-taijin sedang bicara dengan tamu urusan pribadi.
Dua orang pelayan wanita segera datang berlari dan Ang-taijin lantas berkata, "Antarkan Sim-kongcu dan Sie-siocia ke dalam. Berikan sebuah kamar tamu untuk Sim-kongcu, dan ajak Sie-siocia bermalam di sebuah di antara kamar merah!"
"Baik, Taijin," jawab dua orang wanita pelayan itu sambil tersenyum maklum mendengar bahwa gadis cantik itu diberi sebuah kamar merah!
Di bagian dalam gedung itu terdapat tidak kurang dari sepuluh buah kamar-kamar yang indah dan kecil mungil berwarna merah. Di dalam kamar-kamar inilah Ang-taijin menerima wanita-wanita suguhan yang siap untuk melayaninya. Karena Ang-taijin adalah seorang pembosan, maka penghuni kamar-kamar merah ini sering kali berganti orang, hanya ada satu kamar yang besar yang tak pernah berganti penghuni, yaitu kamar Ang-hujin (nyonya Ang) yang jarang pula menerima kunjungan Ang-taijin, apa lagi pada waktu malam.
Tapi nyonya Ang sudah kebal akan kebiasaan suaminya, maka tak lagi merasa cemburu atau marah, bahkan menganggap kebiasaan suaminya itu adalah ‘hal biasa’ bagi seorang pembesar.
Dengan hati tidak enak namun tabah, Biauw Eng lalu menggandeng tangan Lai Sek dan mengantarkan pemuda ini sampai ke kamar yang disediakan untuknya, kemudian baru meninggalkan pemuda ini sesudah pelayan meyakinkan hatinya bahwa akan ada seorang pelayan yang khusus disediakan untuk melayani segala keperluan pemuda buta itu. Dia pun lalu mengikuti pelayan dan diam-diam dia kagum sekali menyaksikan kamar merah yang disediakan untuknya.
Untuk beberapa hari lamanya, baik Lai Sek mau pun Biauw Eng mendapatkan pelayanan istimewa sehingga setiap kali mereka bertemu, Lai Sek tentu memuji-muji kebaikan hati pamannya. Akan tetapi diam-diam hati Biauw Eng tetap tak enak sehingga dia mendesak agar Lai Sek suka bersama dia keluar saja dari gedung itu dan mencari tempat sendiri.
"Ahh, mana boleh demikian, Moi-moi? Paman Ang telah begitu baik terhadap kita. Biarlah kita bersabar sampai dia mendapatkan rumah untuk kita."
Apa yang dikhawatirkan Biauw Eng terjadi pada malam kelima semenjak dia tinggal di situ. Malam itu selagi dia merebahkan diri di atas dipan yang mewah, dengan tilam sutera merah muda, rebah termenung memikirkan nasibnya dan terutama sekali membayangkan wajah Keng Hong, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.
Ia cepat melompat dengan sigap terbawa oleh reaksi tubuhnya sebagai seorang ahli silat yang selalu bersiap siaga dan waspada lahir batin. Akan tetapi dia segera bersikap biasa untuk menyembunyikan kepandaiannya, berjalan perlahan menuju pintu lalu membukakan daun pintu.
Ia terheran melihat bahwa yang datang adalah Ang Joan Ti yang berpakaian indah, diikuti oleh empat orang pelayan wanita yang tersenyum-senyum dan masing-masing membawa nampan yang terisi masakan-masakan yang masih panas mengepul dan berbau sedap.
"Taijin mau... apakah...? Biauw Eng bertanya, menindas perasaan dan pura-pura tidak mengerti sungguh pun dari senyum dan pandang mata pembesar itu dia dapat menduga maksud kedatangan orang ini.
Akan tetapi Ang Taijin hanya tersenyum saja, bahkan menoleh pada para pelayan dan berkata, "Cepat atur di atas meja dan segera pergi meninggalkan kami!"
Biar pun suara pembesar itu setengah membentak, yang dibentak tersenyum-senyum dan mengatur makanan di atas meja dalam kamar, kemudian sambil membungkuk-bungkuk dan tertawa-tawa genit mengerling ke arah Biauw Eng, mereka meninggalkan kamar dan menutup daun pintunya.
"Nah, kini aku baru dapat menjawab pertanyaanmu tadi, Siauwmoi. Aku sengaja datang membawa hidangan ini karena aku tahu betapa engkau kesepian. Aku merasa kasihan kepadamu, maka aku ingin mengajakmu makan bersama sambil minum arak wangi untuk menghilangkan kesepian dan kekesalan hatimu. Marilah duduk, Manis, akan kusuguhkan arak untukmu!"
"Taijin, hal ini tidak boleh, tidak layak. Harap Taijin suka keluar dari kamar ini dan jangan menggangguku. Bagaimana Taijin boleh memasuki kamarku seperti ini? Aku adalah calon isteri Sim Lai Sek!"
"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu menjadi isterinya, Manis. Akan kunikahkan engkau dengan si buta itu, ehemmm... tetapi hanya untuk di luarnya saja bukan? Padahal sesungguhnya, ahhhh... kita lebih cocok, dan semenjak aku melihatmu, aku sudah suka sekali kepadamu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, Sie Biauw Eng yang jelita. Engkau akan hidup mewah, apa pun yang kau minta akan kuberikan, asal engkau suka melayani aku. Marilah...!" Pembesar itu mendekat, akan tetapi Sie Biauw Eng melangkah mundur.
"Jangan Taijin, aku adalah tunangan Sim Lai Sek dan dia masih hidup, bagaimana aku sudi berbuat serong? Aku bukanlah perempuan semacam itu! Pergilah Taijin sebelum aku kehabisan kesabaranku."
Ang Taijin tertawa. "Ihhh, pakai malu-malu kucing segala? Aku pun tahu bahwa kau lebih suka kepadaku dari pada pemuda buta yang tak dapat menghargai kecantikanmu dengan matanya...!"
"Cukup!!" Biauw Eng membentak dan saking marahnya ia menusukkan jari-jari tangannya ke permukaan meja.
"Plongggg!"
Jari-jari tangan sebanyak lima buah yang kecil mungil itu amblas menusuk meja sampai tembus ke bawahnya. Ketika diangkat, tampak lima buah lubang kecil bekas tusukan jari. Melihat ini, seketika wajah Ang Taijin menjadi pucat.
"Taijin aku dapat mengusai jari tanganku, akan tetapi kalau kesabaranku hilang dan aku tidak dapat menguasai hatiku, jangan-jangan bukan meja yang kutusuk bolong, melainkan kepala orang. Pergilah!"
"Aihhh... kiranya engkau pandai silat. Hemm... tentu saja, Lai Sek juga seorang ahli silat. Baiklah aku tak akan mengganggumu jika engkau tidak suka melayani orang lain karena Lai Sek masih hidup. Akan tetapi katakanlah Nona Biauw Eng yang manis, andai kata di sana tidak ada Lai Sek, engkau tentu suka menyambut cinta kasihku, bukan?" Agaknya pembesar ini masih tercengang karena belum pernah ada wanita menolak cintanya dan agaknya bagi laki-laki ini merupakan suatu hal yang mustahil kalau ada wanita yang tidak suka menjadi kekasih pembesar Ang.
Biauw Eng sudah hampir tak dapat lagi menahan kemarahannya, maka untuk membuat pembesar itu cepat pergi, ia lalu berkata, "Kalau begitu lain lagi, Nah, pergilah dan jangan pernah berani lagi memasuki kamar ini!"
Pembesar itu menghela napas kemudian pergi meninggalkan kamar Biauw Eng. Setelah pembesar itu pergi, barulah Biauw Eng teringat akan keselamatan Lai Sek dan teringat akan ucapan Ang Taijin. Dia cepat meniup padam lilin di atas meja, kemudian meloncat keluar melalui jendela kamarnya dan membayangi Ang Taijin yang memasuki ruangan tengah.
Di ruangan ini Ang Taijin berbicara perlahan dengan seorang laki-laki berhidung bengkok yang agaknya menjadi penasehatnya. Biauw Eng cepat menghampiri, bersembunyi dan mengintai.
"Akan tetapi dia pandai silat dan bayangkan, sekali tusuk dengan jari tangan dia mampu melubangi meja! Kalau tusukan itu mengenai kepala, celaka! Mana bisa aku memaksa dengan kekerasan?" terdengar suara pembesar itu penuh penyesalan.
"Kenapa harus mengkhawatirkan dia? Ilmu silat seorang gadis cantik itu saja apa artinya? Malam ini juga akan kupanggil Sin-chio Ngo-houw (Lima Harimau Bertombak Sakti) yang menjaga di luar istana untuk mengawal paduka dan kalau perlu menghadapinya."
"Akan tetapi bagaimana agar dia mau? Aku paling tidak suka memperoleh wanita dengan kekerasan. Lebih menyenangkan kalau dia menyerahkan diri dengan suka rela dan suka hati, hemmm...!"
"Begini, Taijin..." Si Hidung Bengkok itu lalu mendekatkan mulut ke telinga pembesar itu, berbisik-bisik sehingga Biauw Eng tidak mampu mendengar apa yang dikatakannya, ada pun pembesar itu mengerutkan keningnya, kadang-kadang menggeleng, kadang-kadang cemberut, akan tetapi kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum.
Biauw Eng sudah tidak peduli lagi. Paling-paling mereka itu sedang mengatur siasat untuk menundukkannya dan hal ini ia anggap remeh karena apa pun yang akan mereka lakukan terhadap dirinya, dia tidak perlu khawatir dan merasa yakin akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Akan tetapi ia mengkhawatirkan keadaan Lai Sek. Biar pun pemuda itu juga bukan orang lemah akan tetapi karena sepasang matanya buta tentu saja tidak dapat menjaga dirinya sendiri dengan baik. Ia lalu meloncat pergi tanpa meninggalkan suara, mendatangi kamar Lai Sek dan mengintai dari atas. Ketika ia melihat Lai Sek sedang tidur pulas dan dalam keadaan selamat, baru ia lega dan kembali ke kamarnya.
Melihat hidangan-hidangan yang masih panas dan ternyata semua merupakan masakan yang lezat, dia tersenyum, menyambar sumpit dan makan beberapa potong daging dan sayur, dipilih yang enak-enak saja sambil kadang-kadang tersenyum mengenang sikap Ang Taijin yang dianggapnya seorang badut yang menggelikan dan juga menyebalkan.
Boleh jadi Biauw Eng seorang gadis gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dalam hal pengalaman menghadapi tipu muslihat dan kejahatan hati manusia, ia masih hijau. Ia tidak mengira bahwa hati laki-laki yang sudah tergila-gila pada seorang wanita dapat menelurkan perbuatan-perbuatan maksiat yang luar biasa keji, tidak pantang melakukan perbuatan apa pun untuk mencapai dorongan nafsu birahinya.
Setelah kejadian itu, tiga malam berturut-turut Biauw Eng tidak pernah diganggu dan dia sudah merasa lega, mengira Ang Taijin tentu jeri oleh ancamannya, maka dia pun tidak menyatakan sesuatu kepada Lai Sek untuk mencegah terjadinya keributan. Akan tetapi pada suatu pagi, di hari keempatnya ia terbangun, ia kaget sekali mendengar jerit tangis wanita disusul tangis melolong-lolong. Ia cepat meloncat turun dan tiba-tiba daun pintunya dibuka dari luar oleh pelayan yang biasa melayaninya. Pelayan itu pun menangis dan serta merta menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis.
"Celaka, Siocia... celaka... ahhh, mengerikan sekali...!"
"Apa yang terjadi?" Biauw Eng bertanya, masih tenang.
"Sim-kongcu... dia... dia membunuh diri di kamarnya...!"
Tiba-tiba tubuh Biauw Eng berkelebat dari tempat itu, dan ketika pelayan itu mengangkat muka, gadis itu telah lenyap. Cepat sekali Biauw Eng tiba di tempat Lai Sek dan di situ dia melihat pelayan wanita yang biasa melayani Lai Sek menangis di atas lantai. Kamar itu penuh orang, ada tiga orang pelayan wanita, dua orang pelayan pria yang dilihat Biauw Eng malam itu, bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang memegang tombak.
Mereka semua memandangnya pada saat dia memasuki kamar Lai Sek. Biauw Eng tidak mempedulikan semua orang, langsung dia berlutut di dekat tubuh Lai Sek yang kini telah menggeletak tanpa nyawa di atas lantai. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pedang, pedang milik Lai Sek, yang sekarang menembus perutnya sampai ke punggung, sedangkan tangan kiri pemuda itu mencengkeram sehelai kertas.
Dengan muka pucat Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar sudah tewas. Dia segera mengambil kertas bertulis dari genggaman tangan kiri Lai Sek, merapikan dan membacanya. Surat itu ditujukan kepadanya dan dia mengenal tulisan Lai Sek.
Eng-moi,
Aku maklum bahwa seorang pemuda yang tak berharga seperti aku hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan hidupmu. Seorang gadis sepertimu berhak untuk hidup mulia sebagai seorang puteri terhormat, di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu. Karena itu, aku mengalah dan lebih baik aku pergi selamanya.
Selamat tinggal, Sim Lai Sek.
"Ahh, Twako...!" Biauw Eng tidak dapat menahan keharuan serta kedukaan hatinya. Dia menangis dan memeluki tubuh Lai Sek yang telah menjadi mayat itu.
Ketika ia menangis dan wajahnya dekat sekali dengan leher pemuda yang telah tewas itu karena ia merebahkan mukanya di dada Lai Sek, pandang matanya tertarik oleh dua titik menghitam di dekat tenggorokan. Ia mengusap air matanya dan mengangkat dagu mayat itu.
Jelas kini nampak dua titik menghitam sebesar ujung jari tangan. Dia menyentuhnya dan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemarahan. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan tewas oleh pedang, melainkan tewas atau sedikitnya roboh oleh totokan dua buah jari tangan yang mengandung hawa beracun!
Cepat dia memeriksa luka pada perut yang masih tertancap pedang. Tidak terdapat darah pada luka itu. Hal ini hanya berarti bahwa pedang itu ditusukkan ke perut setelah pemuda ini tewas!
Karena hatinya masih ragu-ragu, ia membuka surat itu kembali dan membacanya melalui air matanya, membacanya kembali dengan penuh perhatian. Sudah dua atau tiga kali dia melihat tulisan tangan Lai Sek dan gaya tulisannya, bentuk huruf-huruf surat ini memang benar seperti tulisan Lai Sek. Akan tetapi... tiba-tiba wajahnya berubah.
Tulisan yang berbunyi ‘di samping orang yang kau cinta dan yang akan dapat memenuhi segala kebutuhan hidupmu’ sangat menarik perhatiannya. Lai Sek sudah mengerti bahwa satu-satunya orang yang dia cinta adalah Keng Hong! Dan Keng Hong adalah seorang sebatang kara yang miskin. Mengapa Lai Sek menyatakan bahwa orang yang dicintanya dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya?
"Aduh..., Siauwmoi... ahhh, kasihan sekali Lai Sek...! Ahhh, bagaimana bisa terjadi mala petaka ini...?"
Ucapan yang keluar dari mulut Ang-taijin yang baru tiba ini mengingatkan Biauw Eng akan segala sikap dan ucapan pembesar ini pada saat hendak menggodanya beberapa malam yang lalu. Gadis ini menekan kemarahannya dan cepat dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya, kemudian memandang pembesar itu dengan mata basah. Akan tetapi sambil mengacungkan surat di tangannya dia cepat bertanya,
"Taijin, aku... aku tidak mengerti... apa maksud tulisannya ini? Siapa yang dia maksudkan dan mengapa dia mengalah?"
"Masa engkau tidak mengerti, Siauwmoi? Dia maksudkan aku, dan tentu dia mengalah sebab merasa takkan mampu membahagiakan engkau... maka, sudahlah jangan berduka, Siauwmoi, di sini ada aku yang..."
Tiba-tiba pembesar itu menghentikan kata-katanya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi beringas, sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar seperti berapi.
"Bagaimana engkau dapat mengetahui isi suratnya?!" Biauw Eng membentak, suaranya melengking penuh kemarahan meluap-luap.
"Aku... Aku sudah membacanya...," Ang-taijin yang menjadi gugup menjawab tanpa dia sadari.
"Engkau baru datang, bagaimana bisa membacanya? Surat ini palsu! Tentu engkau dan kaki tanganmu yang menulisnya dan Sim Lai Sek tidak mati karena membunuh diri, akan tetapi mati terbunuh oleh totokan di lehernya. Tentu engkau... pembesar jahanam berhati palsu dan keji, engkau yang mengatur semuanya ini, keparat!" Sambil berkata demikian, tangan Biauw Eng bergerak ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram baju pembesar itu di bagian dadanya.
"Jangan... ehhh, tolooongg...!"
Laki-laki hidung bengkok yang berdiri di dekat pembesar Ang cepat-cepat menengahi dan berkata, "Nona, bersabarlah... dan jangan kurang ajar terhadap Ang-taijin..."
"Engkau tukang mengatur siasat yang menjijikkan!" Tangan kirinya menyambar dan dia sudah menjambak rambut si hidung bengkok, kemudian dengan kemarahan membakar dada dan kepala, gadis ini menggerakkan kedua tangannya.
"Prokkk!"
Dua buah kepala milik Ang Joan Ti dan si hidung bengkok bertemu keras sekali, beradu dahi dan ternyata kepala si hidung bengkok lebih keras karena kalau kepala Ang Joan Ti pecah hingga pembesar yang celaka oleh nafsunya sendiri itu tewas seketika, Si hidung bengkok hanya menjadi pening dan matanya menjuling saja. Melihat ini, Biauw Eng lalu mengayun tubuh si hidung bengkok, membantingnya ke atas lantai dan terdengar suara keras ketika kepala si hidung bengkok ini pecah berantakan, berbeda dengan kepala Ang Joan Ti yang retak-retak saja.
"Perempuan keji! Pembunuh! Tangkap...!"
Teriakan-teriakan ini terdengar ramai dan keadaan di situ menjadi geger. Pelayan-pelayan perempuan menjerit dan melarikan diri, ada pun lima orang tinggi besar bertombak yang berada di dalam kamar itu, segera menerjang maju dengan tombak mereka.
Biauw Eng yang sudah menjadi mata gelap saking duka dan marahnya melihat nasib Lai Sek, cepat melemparkan mayat Ang-taijin ke arah lima orang pengeroyoknya. Lima orang itu adalah Sin-chio Ngo-houw, lima orang pengawal luar istana yang sengaja diundang oleh si hidung bengkok untuk menghadapi Biauw Eng.
Akan tetapi sungguh di luar persangkaan mereka bahwa gadis itu memiliki kepandaian sedemikian hebat sehingga gerakannya luar biasa cepatnya dan lima orang pengawal itu tidak sempat lagi mencegah pembunuhan yang dilakukan Biauw Eng atas diri Ang-taijin dan penasehatnya.
Kini lima orang pengawal itu menjadi marah sekali. Melihat gadis itu dengan ganasnya membunuh Ang-taijin lalu melemparkan mayatnya pada mereka, salah seorang di antara mereka cepat menerima mayat dengan kedua tangan sedangkan empat orang kawannya segera menerjang Biauw Eng dengan tombak mereka.
"Sim-twako, aku akan membalaskan kematianmu!" Biauw Eng berseru.
Sesudah mencabut pedang yang menancap di perut mayat Lai Sek, gadis ini kemudian mengamuk sambil bercucuran air mata, menghadapi pengeroyokan lima orang Sin-chio Ngo-houw yang sudah mengurungnya. Ada pun para pelayan sudah menyingkir dengan ketakutan dari kamar itu. Pertandingan berlangsung dengan seru di dalam kamar maut itu di mana menggeletak tiga buah mayat.
Dalam deretan tingkat para pengawal istana tentu saja tingkat pertama diduduki pengawal pribadi rahasia, kemudian para pengawal pribadi kaisar menduduki tingkat ke dua. Ada pun tingkat ke tiga diduduki oleh para pengawal dalam istana dan pengawal luar istana, seperti Sin-chio Ngo-houw, adalah pengawal tingkat empat. Mereka ini sudah termasuk ahli-ahli silat kelas tinggi bagi ahli silat umumnya. Akan tetapi tentu saja mereka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Biauw Eng.
Gadis yang menjadi amat berduka dan marah ini menggerakkan pedang Lai Sek dengan cepat, ganas dan kuat sekali sehingga biar pun lima orang pengawal itu mengeroyoknya dengan tombak mereka yang terkenal ampuh, tetap saja dalam belasan jurus Biauw Eng telah merobohkan tiga orang di antara Sin-chio Ngo-houw sehingga jumlah mayat dalam kamar itu bertambah menjadi enam!
Akan tetapi tiba-tiba keadaan di luar gedung itu menjadi berisik sekali dan ternyata bahwa sepasukan penjaga keamanan telah datang menyerbu. Kota raja menjadi geger pada saat mendengar bahwa ada seorang gadis telah mengamuk di dalam rumah gedung pembesar Ang, bahkan membunuh pembesar Ang dan banyak pembantunya.
Melihat betapa pasukan pengawal menyerbu, Biauw Eng menjadi semakin marah. Akan tetapi suaranya terdengar dingin menyeramkan ketika dia berkata,
"Puaskanlah hatimu, Sim-twako. Nyawamu akan mendapat tebusan banyak sekali nyawa musuh!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng menubruk maju dan pedangnya bergerak cepat, merobohkan dua orang sisa Sin-chio Ngo-houw dan mendesak mundur pasukan pengawal yang sudah tiba di depan pintu kamar itu.
Biauw Eng maklum bahwa apa bila menghadapi pengeroyokan banyak orang, berbahaya sekali kalau dia terus bertahan di dalam kamar yang sempit itu. Maka ia menerjang keluar dan di bawah teriakan-teriakan hiruk-pikuk serta hujan senjata para pengeroyok, Biauw Eng mengamuk di ruangan tengah yang luas.
Terjadilah apa yang dikatakan Biauw Eng kepada mayat Sim Lai Sek sebelum dia pergi meninggalkan kamar maut itu. Biauw Eng mengamuk dengan pedang itu sehingga para pengeroyok yang amat banyak jumlahnya itu roboh seperti rumput di babat. Mereka, para penjaga keamanan, berteriak-teriak dan mengurung, tetapi mereka ini seperti sekumpulan laron menerjang api, siapa yang berani mendekati Biauw Eng tentu roboh disambar sinar pedang gadis ini.
Ruang yang luas dan biasanya bersih itu kini menjadi tempat yang menyeramkan. Banjir darah di lantai dan di dinding, sedangkan mayat berserakan, bertumpuk, ada yang masih berkelojotan, lebih dari dua puluh orang banyaknya!
Melihat betapa pasukan pengeroyok makin banyak, Biauw Eng pun maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, pula dia tidak biasa mainkan pedang yang berat. Maka dia lalu melolos sabuk suteranya, meninggalkan pedang yang menancap di dada salah seorang pengeroyok.
Begitu sinar sabuknya yang bergulung-gulung putih mengamuk, para pengeroyok mundur dan menjauh. Jangkauan sabuk sutera yang lebih panjang dari pada pedang itu membuat para pengeroyok ngeri. Kesempatan ini lalu dipergunakan oleh Biauw Eng untuk meloncat dan lari keluar dari gedung dengan maksud untuk melarikan diri.
Tidak perlu lagi ia mengamuk. Kematian Lai Sek sudah cukup dibalas dan kalau terlambat dia tentu akan celaka, tidak mungkin kuat menghadapi pengeroyokan pasukan keamanan yang amat besar jumlahnya dan yang semakin banyak berdatangan itu.
Sabuk sutera di tangan Biauw Eng memang merupakan senjatanya yang khusus dan bila tadi ketika memegang pedang Biauw Eng dapat diumpamakan seekor harimau marah, sekarang memegang sabuk suteranya dia laksana harimau yang tumbuh sayap! Dengan membuka jalan darah ia berhasil keluar sambil terus mengamuk sampai di luar gedung, di mana telah menanti banyak penjaga keamanan yang terus mengurungnya.
Namun Biauw Eng mengamuk terus, sekarang tidak lagi mengamuk untuk melampiaskan kemarahan dan sakit hatinya karena kematian Lai Sek, akan tetapi dia mengamuk untuk menyelamatkan diri. Sabuk sutera putih itu berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung melindungi tubuhnya sehingga tak ada satu pun senjata para pengeroyoknya yang dapat menyentuhnya, bahkan sekali-kali bila ada pengeroyok yang kurang hati-hati, senjatanya akan terlibat ujung sabuk dan terampas, lalu dilemparkan sampai jauh.
Para pengeroyok berteriak-teriak saling menganjurkan kawan, dan biar pun mereka tidak mampu merobohkan Biauw Eng, sedikitnya mereka berhasil mengurung rapat sehingga sukarlah bagi Biauw Eng untuk dapat meloloskan diri.
Mendadak terdengar bentakan nyaring suara wanita, "Semua mundur! Biarkan aku yang menangkap dia!"
Para pengeroyok menengok dan ketika melihat bahwa yang membentak adalah seorang wanita cantik bersama seorang laki-laki tampan, keduanya menunggang kuda, dan sama sekali tidak mereka kenal, para pengeroyok tidak mau ambil peduli.
Akan tetapi tiba-tiba seorang perwira pengawal luar istana yang mengenal dua orang ini cepat memberi aba-aba, "Semua pasukan mundur!"
Aba-aba ini tentu saja ditaati oleh semua pengeroyok yang menjadi terheran-heran dan segera terbukalah jalan yang lebar sehingga Biauw Eng kini berhadapan dengan kedua orang penunggang kuda itu. Wajah Biauw Eng menjadi merah, matanya mengeluarkan sinar berapi saking marah dan bencinya ketika dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Bhe Cui Im dan laki-laki itu adalah Siauw Lek!
Tujuh orang pengawal rahasia kaisar mengatur penjagaan secara bergilir, maka terbuka kesempatan bagi Cui Im dan Siauw Lek di waktu bebas tugas untuk berjalan-jalan. Pada pagi hari itu mereka berdua juga sedang bebas tugas, karena itu mereka jalan-jalan di kota raja dengan menunggang kuda dan kebetulan sekali mereka mendengar berita akan mengamuknya seorang gadis di gedung pembesar Ang. Karena ingin menonjolkan jasa, cepat mereka mendatangi tempat itu dan ketika mereka melihat bahwa yang mengamuk adalah Biauw Eng, Cui Im terkejut dan cepat menyuruh para pengeroyok mundur.
Biauw Eng berdiri dengan sabuk sutera di tangan, maklum bahwa dia sedang berada di dalam cengkeraman bahaya maut. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Dan sebenarnya, apa sih arti kematian baginya? Tadinya dia sudah merupakan seorang yang hampir mati, hanya karena kenekatan dan pembelaan Sim Lai Sek yang mencintanya dan yang mengorbankan matanya maka dia masih hidup sampai sekarang.
Dia adalah seorang manusia yang seolah-olah hidup kembali dari kematian, hidup untuk kedua kalinya yang sedianya akan dia lewatkan untuk membalas budi Lai Sek. Hidupnya yang pertama telah lenyap dan mati bersama... sama Keng Hong. Hidupnya yang kedua pun sekarang tidak ada artinya lagi setelah Lai Sek mati. Mengapa dia takut menghadapi kematian?
Hatinya menjadi dingin sekali dan dia menghadapi Cui Im dengan senyum dingin yang membuat Cui Im meremang bulu tengkuknya. Melihat bekas sumoi-nya itu dalam keadaan seperti itu, pakaiannya banyak yang robek dalam pertempuran tadi, rambutnya kusut dan mukanya membayangkan kedukaan besar, melihat mulut yang tersenyum dingin, tiba-tiba Cui Im teringat akan perhubungan antara mereka di waktu kecil.
Tanpa turun dari kudanya ia berkata, "Biauw Eng, engkau telah terlalu banyak menderita. Mengingat hubungan lama, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau mau menyerah. Aku yang akan mengusahakan agar supaya perkaramu di sini diperiksa dan engkau akan mendapat hukuman ringan."
Makin dingin senyum Biauw Eng ketika bibirnya merekah makin lebar. "Bhe Cui Im, aku tidak butuh pengampunanmu, dan jika engkau hendak membunuhku, coba majulah. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah takut kepadamu, perempuan durhaka, murtad dan khianat. Kalau aku tidak dapat membunuhmu saat ini, lebih baik aku mati di tanganmu!"
Wajah Cui Im menjadi merah sekali. "Perempuan rendah yang tidak tahu kebaikan orang! Mampuslah!"
Tiba-tiba saja tubuhnya mencelat dari atas kuda dan berubah menjadi sinar merah karena dalam kemarahannya Cui Im sudah mencabut pedang merahnya dan sambil meloncat itu, dia menerjang dan menyerang dengan pedangnya, dengan gerakan yang hebat dan luar biasa dahsyatnya!
Silau juga mata Biuaw Eng menyaksikan gulungan sinar pedang yang menerjangnya itu. Kedukaan karena kematian Lai Sek ditambah pertandingan ketika dia dikeroyok membuat tubuhnya lemah dan lemas.
Akan tetapi semangatnya bangkit ketika ia melihat Cui Im, musuh besar yang membunuh ibunya. Biar pun dia maklum bahwa dia bukan tandingan Cui Im yang sekarang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, akan tetapi dia tidak gentar dan cepat sabuk suteranya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak ketika dia menyambut terjangan Cui Im.
"Cring... Brettttt!" Biauw Eng terkejut dan cepat melompat ke belakang ketika pertemuan sabuknya dengan sinar merah membuat sabuknya terbabat putus ujungnya!
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, bersiaplah untuk mampus!" Cui Im mengejek dan menyerang lagi. Pedangnya yang sudah berubah menjadi gulungan sinar merah itu mengeluarkan suara berdesing-desing.
Tiap kali Biauw Eng menangkis, Cui Im sengaja mengerahkan tenaga dan kepandaiannya sehingga sabuk itu terbabat putus. Sampai enam kali sabuknya terbabat putus sehingga panjangnya tinggal satu kaki lagi. Ia terpaksa membuang sabuknya itu dan tangan kirinya bergerak melepas senjata rahasia bola-bola putih berduri.
Akan tetapi Cui Im hanya tertawa, kemudian dengan mudahnya dia membabat dengan pedangnya sambil mendesak. Bola-bola itu terpukul runtuh dan sinar pedang merah terus mengejar Biauw Eng.
Melihat datangnya tusukan ke dadanya, Biauw Eng berlaku nekat dan hendak mengadu nyawa. Biar dia mati asal dia dapat membawa serta nyawa Cui Im! Dia sengaja bergerak lambat dan tiba-tiba dia mendoyongkan tubuh ke kiri, mengempit pedang lawan di bawah ketiak kanan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut Cui Im! Meski pun gerakan tiba-tiba ini sangat membahayakan dirinya sendiri, akan tetapi sekali tangannya berhasil mencengkeram perut, tentu perut itu akan pecah!
"Setan!" Cui Im mendengus kaget.
Terpaksa dia menjatuhkan tubuh ke kiri, melepaskan gagang pedangnya dan rambutnya menyambar ke depan menotok ke arah leher Biauw Eng! Gadis ini miringkan tubuh, akan tetapi ujung rambut masih menampar pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang.
Akan tetapi Biauw Eng telah melepaskan kempitan pedang merah dan kini ia menyambar gagang pedang itu. Namun pada detik berikutnya, tangannya yang memegang pedang itu ditendang Cui Im dengan cara menendang yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Tubuh Biauw Eng yang masih terhuyung-huyung itu kehilangan keseimbangan, pedang rampasannya mencelat dan dia pun terguling.
Sambil tertawa-tawa Cui Im yang berkepandaian luar biasa itu telah menyambar kembali pedangnya, kemudian dengan langkah perlahan dan pedang ditodongkan ia menghampiri Biauw Eng yang masih nanar oleh tamparan rambut Cui Im.
Sinar merah berkelebat cepat sekali, membuat sinar kilat di depan mata Biauw Eng yang sukar mengikuti ke mana pedang hendak menyerang. Gadis ini yang merasa tak mungkin lagi dapat menyelamatkan diri hanya memandang sambil tersenyum dingin penuh ejekan. Pedang merah menusuk ke arah dada Biauw Eng secepat kilat!
"Tranggggg...!"
"Aiiihhhhh...!"
Cui Im kaget bukan main karena pedang itu hampir terlepas dari tangannya. Cepat dia meloncat ke belakang dan dengan mata terbelalak dia melihat bahwa yang menangkisnya adalah Keng Hong yang menggunakan Pedang Kayu Harum!
Dengan sikap tenang namun cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar tubuh Biauw Eng yang setengah pingsan, kemudian sepasang matanya bagaikan dua ujung pedang menembus jantung Cui Im ketika dia memandang wanita itu sambil berkata,
"Cui Im, perempuan sejahat-jahatnya perempuan! Tak boleh engkau mengganggu seujung rambut pun dari wanita yang kucinta sepenuh jiwaku!"
Setelah berkata demikian, dengan menggunakan kesempatan selagi semua orang masih terbelalak heran dan terkejut, tubuhnya meloncat tinggi melampaui kepala orang ke atas genteng, memondong tubuh Biauw Eng yang sudah pingsan ketika mendengar ucapan Keng Hong tadi.
"Keng Hong, manusia menjemukan! Kejar! Tangkap!"
Cui Im menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar merah dari senjata rahasia jarumnya menyambar ke arah tubuh Keng Hong yang masih melayang. Tapi dengan menggerakkan tangan kanan yang memegang Siang-bhok-kiam, hanya dengan angin sambaran pedang ini saja sudah cukup membuat sinar merah jarum-jarum itu lenyap karena jarum-jarumnya runtuh ke bawah.
Sebelum Cui Im sempat menyerang lagi, Keng Hong telah menghilang di balik wuwungan istana. Kemudian pemuda perkasa ini mengerahkan seluruh ginkang-nya berloncatan dari rumah ke rumah sampai berhasil keluar dari kota raja.
Cui Im meloncat ke atas genteng hendak mengejar, disusul oleh Siauw Lek, tetapi mereka berdua tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Keng Hong sehingga jauh sebelum Keng Hong keluar dari kota raja, mereka berdua sudah kehilangan jejaknya. Terpaksa Cui Im dan Siauw Lek kembali ke tempat tadi dengan sikap murung.
Apa lagi Cui Im yang menjadi gelisah setelah melihat munculnya Keng Hong yang ia tahu merupakan satu-satunya orang yang berbahaya dan terlalu lihai baginya. Baru tangkisan tadi saja sudah membuktikan bahwa Keng Hong benar-benar amat lihai, memiliki sinkang yang tak terlawan, kemudian gerakan Keng Hong ketika melarikan diri juga membuktikan jelas keunggulannya.
"Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Sebelum manusia itu dapat kubunuh, hidup ini tidak tenteram bagiku," kata Cui Im kepada Siauw Lek yang sudah mendengar dari Cui Im tentang diri murid Sin-jiu Kiam-ong itu.
"Kenapa khawatir?" katanya memandang rendah. "Dengan kepandaian kita berdua belum tentu kita kalah olehnya. Apa lagi di sana ada lima orang rekan kita yang berilmu tinggi."
"Phuhhh! Apa kau kira manusia macam Pak-san Kwi-ong dan yang lain-lain itu akan suka membantu aku?"
"Kalau kita menggunakan akal sehingga Keng Hong dianggap berbahaya untuk istana, tentu saja mereka mau tak mau akan membantu kita menghadapi Keng Hong. Kalau kita bertujuh sudah maju mengeroyoknya, biar Keng Hong mempunyai tiga kepala dan enam lengan, masa kita tidak mampu membinasakannya?"
Ucapan Siauw Lek itu sedikit banyak menghibur hati Cui Im, akan tetapi wanita ini maklum bahwa mulai saat itu, dia tidak akan dapat menikmati makan lezat tidur nyenyak lagi.....
********************
Komentar