PEDANG KAYU HARUM : JILID-34
Pertanyaan lirih sebagai kata-kata pertama yang keluar dari mulut Biauw Eng ini membuat Keng Hong terharu. Dia hanya memandang ketika gadis itu yang siuman dari pingsannya bergerak perlahan, bangkit dan duduk menyandarkan tubuhnya yang masih lemas itu ke batang pohon. Wajah itu pucat, rambut yang kusut itu sebagian menutupi muka, bibirnya agak menggigil pada waktu bertanya dan matanya yang memandang wajah Keng Hong benar-benar merupakan ujung pedang yang menikam jantung bagi Keng Hong.
"Mengapa... Mengapa engkau menolongku? Mengapa tak kau biarkan saja aku mati agar tidak memperpanjang penderitaan hidupku?" Kembali Biauw Eng bertanya dan kini dua butir air mata membasahi kedua pipi yang pucat.
"Biauw Eng, masihkah engkau bertanya lagi dan haruskah aku menjawabnya? Engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat membiarkan engkau terancam bahaya, apa lagi di tangan Cui Im yang jahat. Engkau mengerti bahwa aku... aku mencintamu..."
"Ahhh... Jangan sebut-sebut lagi hal itu...," suara Biauw Eng terisak.
Keng Hong menghela napas. "Aku mengerti bahwa aku tidak berhak mengatakan hal itu karena engkau sudah menjatuhkan pilihan hatimu kepada Sim Lai Sek. Seharusnya aku mengubur cinta kasihku di dalam hati yang terluka... Ah, sudahlah, memang benar bahwa kita tidak boleh lagi bicara tentang hal itu. Di manakah dia? Di mana Sim Lai Sek?"
Dengan air mata masih berlinang, pandang mata kosong serta suara menggetar Biauw Eng menjawab lirih, "Dia... dia telah mati..."
Hampir saja Keng Hong meloncat saking kagetnya. "Heh...?! Mengapa, bagaimana...?"
"Itulah sebabnya aku mengamuk di kota raja, tidak menyangka bahwa Cui Im juga berada di kota raja."
Dengan singkat, dengan suara pilu Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya kepada Keng Hong. Sejak ibunya dibunuh Cui Im dan Siauw Lek, kemudian betapa dia terancam maut oleh racun Cui Im dan betapa Lai Sek sudah menyelamatkan nyawanya dengan mengorbankan sepasang matanya. Biauw Eng menceritakan ini sambil bercururan air mata.
"Sesudah menerima budi dan cinta kasihnya yang begitu suci murni, apakah aku masih dapat menolaknya? Dapatkah aku meninggalkannya?"
Keng Hong merasa terpukul. Cinta kasih yang sedemikian besar dan murninya bagaikan ditusukkan ke dalam matanya! Mengertilah dia sekarang mengapa Biauw Eng memaksa diri untuk mendampingi Lai Sek, dan hal ini kembali menjadi bukti betapa kuat batin gadis ini yang rela mengorbankan perasaannya sendiri demi membalas budi orang!
Alangkah mulia hati gadis ini. Jauh bedanya dengan Cui Im, bagikan bumi dengan langit. Dan masih jauh bedanya dengan dia sendiri! Mengingat akan hal ini, mukanya menjadi merah dan dia berkata,
"Lalu bagaimana, Biauw Eng? Bagaimana kalian bisa sampai di kota raja dan siapa yang membunuh Lai Sek?"
Biauw Eng kemudian melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di kota raja. Ketika menceritakan ini, matanya berapi dan dia menutup ceritanya dengan kata-kata duka.
"Sungguh menyedihkan nasib yang menderita Sim-twako. Akan tetapi aku telah berhasil membalaskan sakit hatinya! Aku sudah puas, dan andai kata aku mati di tangan Cui Im sekali pun, sakit hati Sim-twako sudah terbalas. Sayang... kematian ibuku agaknya tidak mungkin akan dapat kubalas, Cui Im terlalu lihai untukku..."
Diam-diam ada rasa girang yang luar biasa di hati Keng Hong, rasa girang yang membuat dia malu dan merasa berdosa. Mengapa dia bergirang hati mendengar kematian Lai Sek? Ia tidak pernah mengharapkan hal ini terjadi, akan tetapi hal itu terjadi di luar harapan dan pengetahuannya. Betapa pun juga, sudah menjadi kenyataan bahwa Lai Sek telah tewas dan hal ini berarti bahwa Biauw Eng sudah bebas! Bebas hatinya, dan dahulu gadis ini amat mencintanya!
"Biauw Eng..., kenapa engkau berduka akan hal itu? Engkau tahu bahwa aku selalu siap membantumu menghadapi Cui Im, bukan hanya untuk membalaskan sakit hatimu, juga membalaskan sakit hati ibumu sekalian membalaskan segala perbuatan kejinya terhadap dirimu. Betapa dia dahulu berusaha merusak namamu, lalu dia malah mencuri kitab-kitab pusaka suhu. Antara dia dengan aku terdapat perhitungan besar. Biauw Eng, marilah kita bersama-sama menghadapinya dan percayalah mulai saat ini, aku tak akan membiarkan engkau diganggu orang, tidak akan membolehkan engkau hidup menderita dan berduka, dan tak akan membiarkan engkau terpisah lagi dari sampingku. Biauw Eng, engkau tentu maklum betapa sebenarnya selama ini aku mencintamu, semenjak kita berjumpa. Betapa bodoh dan tolol aku dahulu, tidak dapat menghargai cinta kasih seorang gadis sepertimu. Kau maafkan semua kesalahan-kesalahanku yang lalu, Biauw Eng, dan aku bersumpah bahwa sejak saat ini aku Cia Keng Hong akan mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
Biauw Eng mengeleng-geleng kepalanya, air matanya mengucur lagi ketika berkata lirih, "Terlambat, Keng Hong... terlambat sudah..."
Keng Hong memandang kaget dengan penuh kekhawatiran. "Apa maksudmu? Telambat bagaimana, Biauw Eng?" Ia menjadi tegang dan tanpa disadarinya dia memegang kedua tangan gadis itu yang terasa dingin sekali.
Biauw Eng menunduk, membiarkan tangannya di pegang. Diam-diam dia merasa betapa dari dua tangan pemuda yang menggenggam tangannya itu keluar getaran hangat yang menyentuh hatinya, yang mendatangkan rasa bahagia, tenteram dan aman, seolah-olah dalam kelelahan yang hebat tiba-tiba mendapatkan sandaran yang melindungi.
"Terlambat... " Ia memaksa mulutnya bicara lirih. "Engkau pun tahu bahwa sejak dahulu, cintaku hanya untukmu, jiwaku adalah milikmu, akan tetapi tubuhku... sudah kuserahkan kepada Sim Lai Sek, jasmaniku sudah menjadi milik mendiang Sim Lai Sek..."
Tiba-tiba kedua tangan Keng Hong yang memegang tangan gadis itu terlepas dan seluruh tubuh pemuda itu menjadi lemas, pandang matanya penuh penasaran ditujukan kepada Biauw Eng, hatinya dibakar cemburu dan dia lalu bangkit berdiri dengan gerakan kasar.
"Biauw Eng! Sungguh tidak kusangka... seorang gadis seperti engkau mudah saja untuk menyerahkan diri kepada orang yang belum menjadi suamimu. Ahh... Semua perempuan sama saja di dunia ini... lemah dan mudah dibujuk nafsu...! Engkau perempuan murah...!"
Biauw Eng juga bangkit berdiri, tidak kasar seperti Keng Hong tadi, akan tetapi berdiri perlahan-lahan, pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah pemuda itu, kemudian dia pun berkata, suaranya tidak selemah tadi, melainkan tegas dan nyaring mengandung kemarahan yang ditahan-tahan,
"Sudah kuduga bahwa cintamu kepadaku hanya cinta nafsu belaka, dan hanya tubuhku yang kaucinta, maka kini begitu mendengar bahwa tubuhku telah dimiliki pria lain, engkau menjadi kecewa dan marah! Cia Keng Hong, aku tadi hanya ingin mengujimu, sebelum aku mengambil keputusan dan ternyata bahwa aku mengambil keputusan untuk tidak sudi di sampingmu! Dahulu, setiap hari aku menangisimu, setiap hari bersembahyang untukmu akan tetapi ternyata bahwa pria yang kucinta sepenuh jiwaku, hanyalah seorang laki-laki yang diperhamba nafsu. Aku bukan seperti engkau, Keng Hong, aku tak pernah tergelincir digoda nafsu, dan mendiang Sim Lai Sek adalah seorang laki-laki yang tahu menghormati wanita, tidak seperti engkau..." Teringat akan Lai Sek, kembali Biauw Eng menangis.
Ucapan itu laksana cengkeraman maut yang mencabut semangat dari tubuh Keng Hong. Tahulah dia Biauw Eng hanya mengujinya dan dia yang diuji telah jatuh! Hatinya menjadi gelisah, rasa takut akan kehilangan gadis yang sungguh-sungguh dicintanya ini membuat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng dengan kedua kaki lemas!
"Ah, ampunkan aku, Biauw Eng..., ahh, betapa bodohku selalu mencurigaimu! Ampunkan aku yang mencintamu dengan jiwa ragaku. Aku bersumpah..., hidupku takkan ada artinya kalau engkau meninggalkan aku. Biauw Eng... maafkanlah ucapan dan sikapku tadi, dan ketahuilah bahwa aku dibikin gila oleh rasa cemburu yang besar. Rasa cinta kasih selalu mendatangkan rasa cemburu, Biauw Eng, dan harap engkau dapat mengerti perasaanku ini dan..."
"Cukuplah, Keng Hong. Tadi engkau bilang bahwa engkau mencinta maka engkau bisa cemburu. Sebaliknya aku pun pandai mencintamu harus pula pandai membencimu. Aku pernah mencintamu dengan cinta kasih yang tulus ikhlas dan suci murni, bukan hanya mencinta jasmanimu sehingga biar pun aku tahu betapa jasmanimu bermain gila dengan wanita lain, cinta kasihku kepadamu tidak pernah goyah. Dan sekarang aku... Aku... ben... benci... ahhhhh!" Biauw Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik isak tangis, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Keng Hong.
"Biauw Eng... jangan pergi... engkau tidak membenciku! Biauw Eng, kembalilah... Engkau mencintaku, aku yakin akan itu... ahhh, Biauw Eng...!"
Akan tetapi jeritan hati Keng Hong ini tidak terucapkan. Lehernya seperti tercekik dan dia hanya berdiri bengong dengan muka pucat dan wajah muram, terus memandang ke arah bayangan Biauw Eng yang makin mengecil kemudian lenyap.
Dia menarik napas panjang, menjatuhkan diri di atas tanah dan bersandar kepada batang pohon. Masih terasa olehnya kehangatan bekas tubuh Biauw Eng dan tanpa terasa pula mata pemuda itu menjadi basah.
"Biauw Eng... apa artinya hidup ini bagiku sekarang...?" Ia mengeluh dengan hati hancur.
Kemudian dia menjadi seperti orang beringas. Ditamparnya kedua pipinya sendiri kanan kiri hingga menjadi biru-biru dan membengkak. Setelah matanya berkunang dan tubuhnya tergelimpang miring barulah dia berhenti menampari mukanya sendiri dan dia menangis terisak-isak.
Keng Hong, pemuda gagah perkasa yang memiliki kesaktian jarang ada bandingnya itu menangis seperti anak kecil! Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya, hatinya bagaikan diremas-remas.
"Bodoh! Engkau laki-laki tolol! Rasakan sekarang...!" Seperti orang gila Keng Hong terus memaki-maki dirinya sendiri dan makin dia ingat dan kenangkan, makin sakit rasa hatinya, teringat betapa dia telah melakukan hal-hal yang amat tidak patut dan tidak adil terhadap Biauw Eng.
Teringatlah dia betapa dengan mudahnya dia tergelincir oleh nafsu birahi, betapa mudah dia melayani wanita-wanita bermain cinta. Dan dia telah memaki-maki Biauw Eng sebagai gadis tak tahu malu, bahkan sebagai perempuan murahan karena gadis itu menyerahkan tubuhnya kepada Lai Sek. Andai gadis itu menyerahkan tubuhnya kepadanya, agaknya akan lain lagi sikapnya.
Ah, dan ternyata gadis itu hanya mengujinya, membohong dan sama sekali belum pernah menyerahkan tubuhnya, apa lagi hati serta cinta kasihnya kepada pria lain! Biauw Eng selamanya hanya mencinta dia, dan kalau gadis itu dahulu memilih Lai Sek hanya karena gadis itu hendak membalas budi.
Ah, betapa mulianya gadis itu, betapa mendalam cinta kasihnya. Dan sebaliknya betapa rendahnya dia, betapa cintanya dikotorkan oleh nafsu semata. Dan sampai saat ini, dia tahu benar dan dapat meraba dengan perasaannya, betapa gadis yang merasa sakit hati dan bertekad untuk membencinya itu sesungguhnya masih mencintanya. Bahkan, untuk mengatakan membencinya dengan mulut saja sampai tidak terucapkan.
"Aduh, Biauw Eng... bagaimana aku dapat menemukan engkau kembali? Bagaimana aku bisa mendapatkan engkau kembali...?" Keng Hong mengeluh dan menyembunyikan muka di antara kedua lengan yang dia tumpangkan di atas kedua lutut yang dia angkat naik. Sampai lama dia duduk di bawah pohon seperti itu, kedua pipinya membiru dan bengkak-bengkak, pandang matanya kosong dan sayu.
Menjelang senja, setelah duduk seperti itu selama setengah hari, tiba-tiba dia meloncat berdiri dan mengepal tinjunya. Bhe Cui Im! Wanita itulah yang menjadi gara-gara! Wanita itulah yang pertama kali menyeretnya ke dalam gelombang permainan nafsu!
Wanita itu yang menjatuhkan fitnah secara keji terhadap Biauw Eng, bahkan kemudian membunuh ibu Biauw Eng dan hampir membunuh Biauw Eng kalau saja dia tidak ditolong Lai Sek. Wanita itu sebenarnya membuat Biauw Eng berhutang budi kepada Lai Sek dan menjadi biang keladi pertama sehingga timbullah pertentangan dan keretakan dalam cinta kasih antara dia dan Biauw Eng.
Dan Cui Im pulalah orangnya yang harus dia cari, tidak saja untuk mendapatkan kembali semua pusaka yang dicuri gadis itu, yang membuat dia dimusuhi banyak tokoh kang-ouw, juga untuk membunuhnya karena perbuatan-perbuatannya yang kejam dan yang dahulu hampir membunuhnya dalam tempat persembunyian gurunya.
Masih ada urusan di dalam hidupnya! Masih banyak tugas memanggilnya dan pada saat itu, tugas terpenting adalah membasmi Cui Im dan Siauw Lek yang dia kenal dari cerita Biauw Eng tadi, di samping merampas kembali semua benda pusaka yang dicuri Cui Im.
Timbul kembali semangat hidup dalam diri Keng Hong yang tadinya sudah melayu. Dan pada saat itu juga dia segera berlari meninggalkan hutan itu, kembali ke kota raja untuk mencari Cui Im!
Ternyata tidak mudah bagi Keng Hong untuk mendapatkan keterangan tentang Cui Im. Dari sekian banyaknya orang yang menyaksikan pertempuran di gedung bangsawan atau pembesar Ang, tidak ada satu pun yang mengenal Cui Im, hanya semua orang merasa kagum pada wanita cantik yang menunggang kuda dan berhasil mengalahkan pembunuh pembesar Ang itu.
Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti diketahui, Cui Im adalah seorang pengawal rahasia yang memang tidak dikenal oleh orang biasa kecuali para perwira pengawal. Apa lagi karena Cui Im dan Siauw Lek belum lama menjadi pengawal rahasia kaisar.
Setelah melakukan penyelidikan selama tiga hari, barulah Keng Hong berhasil mendapat keterangan dari seorang perwira yang sedang mabuk di dalam salah satu restoran, yang agaknya tergila-gila dan kagum kepada Cui Im.
"Ha-ha-ha, hebat bukan main dia! Kiraku, di antara tujuh orang pengawal rahasia kaisar, dialah orang pertama yang paling lihai! Cantiknya seperti bidadari dan kepandaiannya,... Aahhh... hebat! Juga kepandaiannya dalam hal... Hi-hi-hik, mati pun tidak penasaran bagi seorang pria yang diberi kesempatan mengenalnya luar dalam! Ang-kiam Bu-tek menang dalam segala macam pertandingan, ha-ha-ha!"
Mendengar ocehan perwira mabuk ini, Keng Hong yang juga sedang makan di restoran itu segera mendekat dan bertanya, suaranya dibuat-buat seperti orang yang punya gairah namun takut-takut.
"Saya berkesempatan menonton ketika Ang-kiam Bu-tek mengalahkan pembunuh Ang Taijin. Sungguh saya terpesona dan sekaligus jatuh cinta! Ahh, Tai-ciangkun yang baik, di manakah rumah wanita perkasa itu? Ingin... ingin... aku belajar kenal..."
Dengan mata merah karena mabuk perwira itu memandang Keng Hong. Tentu dia sudah marah kalau saja hatinya tidak terlalu senang disebut tai-ciangkun (panglima besar) tadi.
"Ho-ho-ho, engkau...? Biar pun engkau cukup tampan, akan tetapi untuk mencium telapak kakinya pun jangan harap..., akan tetapi siapa tahu... sekali waktu kalau dia sedang naik kuda berkeliling kota raja dan dia merasa suka! Ahhh... dia pengawal rahasia, tentu saja tempatnya di dalam istana..."
Tiba-tiba perwira itu seperti orang tersentak kaget, agaknya dia telah membuka rahasia yang tidak boleh dibicarakan, maka dia membentak,
"Heh, cacing tanah! Mau apa kau tanya-tanya? Pergi sebelum kutendang mukamu!"
Keng Hong menjura dan cepat mengundurkan diri. Ia tidak marah, malah tersenyum dan berkata, "Terima kasih!" Memang dia berterima kasih karena dari ocehan perwira mabuk ini dia dapat mengetahui ke mana dia harus mencari Cui Im.
Di dalam istana! Memang sangat berbahaya dan besar resikonya, akan tetapi baginya, jangankan harus memasuki istana, walau pun harus menempuh lautan api dia tetap akan mengejarnya juga.
Malam hari itu juga Keng Hong menyelinap di antara kegelapan malam di luar komplek istana, menanti saat baik baginya selagi para peronda baru saja lewat, melompat naik ke atas pagar tembok dan menggunakan kepandaiannya untuk melayang turun di sebelah dalam tembok.
Biar pun para pengawal luar mengadakan penjagaan ketat, namun gerakan Keng Hong yang luar biasa cepatnya itu tak dapat terlihat oleh mereka karena di dalam kegelapan itu, andai kata ada yang kebetulan memandang ke tempat Keng Hong meloncat, tentu hanya akan melihat berkelebat bayang-bayang hitam yang secepat kilat.
Keng Hong menyelinap memasuki taman istana yang berada di sebelah belakang. Cepat dia bersembunyi di balik pohon cemara ketika melihat seorang penjaga, agaknya anggota pasukan pengawal yang menjaga taman, berjalan perlahan, tangan kiri memegang lampu, tangan kanan memegang golok terhunus, celingukan memandang ke kanan kiri sambil menyoroti bagian-bagian gelap dengan lampunya.
Tiba-tiba penjaga ini terkejut melihat bayangan hitam menyambar. Akan tetapi dia tidak sempat bergerak, tidak sempat pula berteriak, bahkan dia tidak tahu mengapa tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Keng Hong cepat menyambar lampu yang terlepas dari tangan penjaga itu, meniup padam lantas menyeret tubuh yang telah ditotok serta dicengkeram pundaknya itu ke balik pohon cemara.
"Aku bukan penjahat pengacau istana, juga tak ingin mengganggumu. Akan tetapi, kalau engkau tidak memberi tahu di mana aku dapat bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im pengawal rahasia kaisar yang baru, maka terpaksa aku akan membunuhmu." Setelah berbisik demikian Keng Hong menekan leher si penjaga yang segara dapat mengeluarkan suara kembali. Tubuhnya gemetar ketakutan dan dia berkata gagap.
"Kau... siapa... mau apa...?"
"Aku musuh pribadinya. Aku hanya hendak bertemu dengan dia dan takkan mengacaukan istana. Lekas jawab, di mana dia?" Keng Hong menekan pundak orang itu yang mengeluh kesakitan dan cepat menjawab,
"Pondok para pengawal rahasia... ada di belakang istana sebelah kiri.. ada tirai bambunya berwarna kuning...!"
Keng Hong menotok kembali orang itu sehingga selain tidak mampu bergerak, juga tidak dapat mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya berkelebat ke arah yang ditunjuk penjaga itu. Setelah melewati taman yang luas itu, juga menghindarkan pertemuan dengan para penjaga, akhirnya dia melihat pondok yang bertirai bambu kuning itu.
Dia berindap-indap mendekati dan betapa gembira rasa hatinya ketika dia mengintai dari balik pintu samping, dia melihat Cui Im sedang duduk mengobrol sambil makan minum bersama Siauw Lek, hanya berdua saja di ruang yang luas dan sunyi itu, bahkan pondok ini, sebagai pondok para pengawal rahasia, tentu saja tidak ada pasukan penjaganya.
Saking girang dan lega hatinya dapat menemukan musuh besarnya, Keng Hong langsung meloncat.
"Cui Im, akhirnya aku dapat menemukan engkau di sini!"
Siauw Lek meloncat bangun dan cepat mencabut senjatanya, pedang hitam yang selalu tergantung pada pinggangnya. Tetapi Keng Hong tidak mempedulikan, pandang matanya ditujukan kepada Cui Im yang sama sekali tak kelihatan gugup seperti Siauw Lek, bahkan wanita ini masih duduk, hanya memutar tubuh menengok sambil tersenyum.
"Hi-hi-hi-hik, pancinganku melalui perwira mabuk itu ternyata berhasil, dan napas penjaga taman juga kau caplok Keng Hong? Betapa bodoh engkau!"
Keng Hong terkejut, akan tetapi sikapnya tenang. "Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kita sudah sama mengetahui mengapa aku datang mencarimu. Lekas serahkan kembali semua kitab dan senjata pusaka kepadaku!"
Cui Im tertawa mengejek. "Hi-hi-hik-hik, enak saja kau bicara, Keng Hong. Yang bodoh menjadi makanan yang pintar dan yang lemah menjadi injakan kaki yang kuat, hukum ini sudah berlaku semenjak aku masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni. Engkau bodoh dan lemah, bahkan sampai sekarang pun masih bodoh. Keng Hong, tengoklah, engkau sudah terkurung dan tidak akan dapat menyelamatkan diri. Engkau akan mati sebagai seorang penjahat dan pemberontak yang berani mengacau di istana kaisar!"
Siauw Lek sudah meniup peluitnya dan setiap orang pengawal rahasia membawa peluit semacam ini untuk memanggil teman. Terdengarlah suara berisik dan ketika Keng Hong melirik, ternyata di tempat itu telah muncul Pak-san Kwi-ong dan empat orang kakek yang kelihatan menyeramkan dan memiliki kepandaian tinggi, sedangkan di belakangnya juga sudah muncul pasukan pengawal yang jumlahnya paling tidak ada tiga puluh orang, terdiri dari para pengawal dalam istana!
Keng Hong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, namun dia tidak menjadi gentar. Ancaman bahaya maut bukanlah apa-apa bagi orang yang memperjuangkan kebenaran, apa lagi dalam menghadapi kejahatan, dan kedatangannya adalah untuk menentang Cui Im, untuk merampas kembali pusaka yang menjadi haknya, bahkan pusaka-pusaka yang harus dia kembalikan kepada para partai persilatan besar yang menjadi pemiliknya, serta menghukum Cui Im atas segala kejahatan yang dilakukannya, terutama sekali terhadap diri Biauw Eng dan terhadap dirinya sendiri.
"Ha-ha-ha, bukankah ini murid Sin-jiu Kiam-ong? Ehhh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa bocah ini kesasar sampai di sini?" Pak-san Kwi-ong bertanya.
"Pak-san Kwi-ong, mau apa lagi dia kalau tidak mau membikin kacau? Gurunya dahulu pun seorang pengacau besar, tentu muridnya sama saja!" jawab Cui Im.
Tujuh orang pengawal rahasia yang menjadi jago-jago nomor satu dari istana itu sudah mengurung dengan sikap mengancam. Melihat ini, Keng Hong berkata tenang,
"Pak-san Kwi-ong, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang semacam engkau dan Cui Im, juga Kim-lian Jai-hwa-ong yang nama busuknya sudah kudengar di mana-mana, bisa menjadi pengawal-pengawal dari kaisar yang terkenal bijaksana. Akan tetapi hal itu bukan urusanku dan aku pun tidak peduli. Kedatanganku ke sini tidak ada hubungannya sama sekali dengan para pengawal, juga sama sekali takkan membuat kekacauan. Aku datang khusus untuk menemui Cui Im dan untuk membereskan perhitungan pribadi dengan dia. Harap kalian tidak mencampuri!"
"Ha-ha-ha-ha, bocah lancang! Engkau sudah memasuki istana seperti maling, bagaimana kami tidak akan mencampuri?"
"Bila tidak lekas dienyahkan, bocah ini membahayakan keselamatan kaisar. Serang!" Cui Im yang amat cerdik sudah berseru dan menerjang maju karena kalau Keng Hong diberi kesempatan bicara, mungkin akan mengubah keadaan.
Bersama Siauw Lek dia sudah maju, mencabut pedang merahnya dan Siauw Lek sudah pula mencabut pedang hitamnya. Pak-san Kwi-ong sudah pula menggerakkan senjata rantainya sehingga sepasang tengkorak di ujung rantai beterbangan! Demikian pula Gu Coan Kok Si Iblis Cebol sudah maju dengan tongkatnya, Si Tinggi besar bongkok Hok Ku sudah menyerang dengan cakar besi beracun, Kemutani memainkan sepasang hui-to di kedua tangan, dan Thai-lek Sin Cou Seng sudah menggerakkan pecut bajanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan nyaring.
Melihat sinar-sinar berkelebat menyerangnya, dan semuanya merupakan senjata-senjata ampuh dan berbahaya digerakkan oleh tangan-tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat, maklum bahwa serangan-serangan itu dahsyat, Keng Hong cepat mencabut Siang-bhok-kiam, memutar pedang itu sehingga segera tampak berkelebatnya sinar hijau menyilaukan mata dan dia pun menggunakan tangan kirinya mendorong ke depan.
Terdengar berturut-turut suara nyaring disusul teriakan-teriakan kaget ketika tujuh orang itu merasa senjata mereka membalik dan disusul angin dorongan yang kuat sekali ke arah mereka!
"Aku Cia Keng Hong tidak bermaksud mengacau istana, juga tidak ingin memusuhi para pengawal, melainkan hendak berurusan dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im!" Seruan Keng Hong ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang, keluar dari pusarnya dan terdengar amat nyaring hingga menggema di seluruh istana, mengejutkan semua penjaga yang tidak berada di tempat itu, dan menggetarkan jantung para pengurung yang menjadi bengong dan berubah wajahnya.
"Serang pemberontak!" Kembali Cui Im berseru sehingga semua pengawal yang tadinya merasa terkejut itu sudah siap mengurung Keng Hong.
Pada saat itu pula terdengar suara yang berwibawa, "Hentikan pertempuran!"
Semua orang menengok dan para pengawal terkejut ketika melihat hadirnya tiga orang yang mereka tahu sangat berpengaruh dan sangat dekat dengan kaisar, yaitu Laksamana The Ho yang menjadi panglima besar yang menguasai armada, Ma Huan seorang sakti dan terpelajar beragama Islam yang diperbantukan pada laksamana itu dalam perantauan yang akan datang, dan Tio Hok Gwan, si tinggi kurus sederhana yang selalu mengantuk dan berjuluk Ban-kin-kwi, pengawal pribadi Laksamana The Ho.
"The-tai-ciangkun, dia adalah seorang pemberontak yang masuk istana seperti penjahat!" Cui Im berusaha mempengaruhi pembesar itu.
Akan tetapi The Ho mengangkat tangannya dan berkata, "Harap para pengawal minggir semua dan biarkan aku bicara dengannya. Aku datang atas nama sendiri!" Mendengar ucapan ini, semua pengawal lalu minggir.
The Ho menatap Keng Hong yang masih berdiri tegak. Ketika Keng Hong memandang dan melihat sinar mata pembesar ini, dia terkejut sekali. Cepat-cepat dia menyimpan Siang-bhok-kiam dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, lalu berdiri kembali.
"Orang muda yang gagah, engkau siapakah?"
Tadi begitu bertemu pandang dengan The Ho, Keng Hong segera mengenal seorang sakti, kini melihat sikap dan mendengar suaranya, dia benar-benar menjadi kagum dan tunduk. Diam-diam dia merasa heran sekali kenapa di bawah naungan kekuasaan kaisar, terdapat pengawal-pengawal macam ketujuh orang itu di samping pembesar seperti ini. Betapa mungkin kuda yang baik dapat bekerja sama dengan harimau yang ganas, betapa burung hong dapat terbang bersama dengan burung-burung gagak.
Mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara halus itu, dia segera menjawab dengan singkat dan hormat. "Hamba Cia Keng Hong."
"Cia Keng Hong, engkau bukan seorang pekerja istana, telah berani memasuki istana di waktu malam tanpa ijin. Apa kehendakmu?"
Dengan sikap penuh hormat Keng Hong menjawab, "Mohon maaf kepada Paduka, Taijin, hamba mengaku sudah berbuat lancang. Akan tetapi hamba tidak bermaksud mengacau istana, melainkan hendak bertemu dengan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im yang menjadi musuh besar hamba."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara The Ho menegur, "Cia Keng Hong, sungguh lancang dan besar dosamu! Kalau aku tidak melihat engkau seorang muda yang gagah perkasa, tentu engkau akan kusuruh tangkap dan menerima hukuman berat. Tapi karena engkau belum melakukan sesuatu yang merusak, biarlah atas nama kaisar kami ampuni. Pergilah sekarang dari tempat ini dan jangan sekali-kali engkau berani lagi masuk tanpa ijin karena tidak ada pengampunan dosa dua kali!"
Suara ini berwibawa sekali, maka di dalam hatinya Keng Hong sudah tunduk dan tidak berani melanggar. Tapi karena dia masih merasa penasaran melihat betapa orang-orang macam Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong bisa menjadi pengawal kaisar, dia lalu bertanya,
"Jadi, hamba tidak boleh menganggu musuh besar hamba ini?" Ia memandang ke arah Cui Im yang tersenyum mengejek.
"Tidak boleh! Dia adalah pengawal yang berada dalam istana, bagaimana engkau boleh menganggunya?"
"Kalau begitu... apakah istana melindungi orang-orang jahat dan keji macam Bhe Cui Im, Siauw Lek dan..."
"Cia Keng Hong!" The Ho membentak, suaranya keras mengguntur, bukan mengandung kemarahan, melainkan mengandung bantahan dan peringatan.
"Bukalah matamu, pergunakan pikiranmu dan lihatlah kenyataan! Istana mempergunakan orang-orang pandai menjadi pengawal, bukan membutuhkan riwayat hidupnya, melainkan tenaganya! Istana tidak akan mempedulikan urusan pribadi semua petugasnya, dan tidak mengenal siapa keji siapa tidak sebelum menjadi petugas istana! Urusan pribadi antara engkau dan dia sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan istana. Apa bila engkau hendak menyelesaikan urusan pribadimu itu di luar lingkungan istana, di luar pelaksanaan tugas di istana, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan istana. Akan tetapi, kedatanganmu malam-malam tanpa ijin memasuki istana, hal ini adalah urusan istana! Mengertikah engkau ataukah pura-pura tidak mengerti?!"
Keng Hong terkejut sekali, merasa mukanya seperti ditampar dan matanya seperti dibuka lebar-lebar oleh ucapan yang keluar dari mulut The Ho ini. Betapa lancang dan bodohnya dia yang mencari Cui Im ke dalam istana sehingga dia sudah membuat kesalahan dan perbuatannya ini saja sudah cukup untuk mendatangkan maut baginya, dapat dianggap pemberontakan. Dan walau pun pembesar yang mempunyai pandang mata begitu tajam berwibawa ini seakan-akan marah kepadanya, namun ternyata sudah menginsyafkannya dan telah mengampuninya. Tak terasa lagi Keng Hong menjatuhkan diri memberi hormat kepada The Ho dan berkata,
"Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih pada Paduka atas kemurahan hati Paduka yang telah memberi ampun." Setelah berkata demikian, Keng Hong bangkit, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Tunggu dulu, Cia Keng Hong!" Tiba-tiba The Ho berkata. Keng Hong cepat membalikkan tubuh, memandang tajam akan tetapi menanti dengan sikap tenang.
Laksamana yang bermata tajam berwibawa itu tersenyum. "Kedatanganmu amat menarik hatiku, orang muda. Engkau tidak bisa pergi begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu."
Keng Hong memandang dengan alis berkerut. Apa pula kehendak pembesar yang sangat berwibawa ini?
"Apakah yang harus hamba tinggalkan?" tanyanya, sikapnya tenang sekali sehingga The Ho dan Ma Huan, dua orang yang mempunyai pandang mata waspada itu, diam-diam merasa kagum sekali.
Jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda seperti ini dan diam-diam menyesalkan bahwa pemuda seperti ini kini seolah-olah menjadi seorang pelanggar. Betapa pun juga, mereka tadi hanya menyaksikan sepak terjang Keng Hong segebrakan saja dan ingin mereka menyaksikan kelihaian pemuda ini.
"Aku bukan seorang yang menginginkan benda milik orang lain," jawab The Ho tertawa. "Akan tetapi aku mempunyai semacam penyakit, yaitu kalau bertemu orang pandai, hatiku belum merasa puas jika belum menyaksikan kepandaiannya. Karena itu, sebagai imbalan keputusanku mengampunimu, aku minta agar engkau meninggalkan pertunjukan ilmu silatmu dan suka melayani pengawalku barang sepuluh jurus! Tio Hok Gwan, kau cobalah kelihaian Cia Keng Hong ini, akan tetapi hati-hatilah, sekali ini engkau bertemu tanding."
Tio Hok Gwan si pengantuk itu mengangguk lantas melangkah lebar menghadapi Keng Hong. Pemuda ini merasa serba salah. Bila menolak berarti dia tidak menghargai sikap pembesar yang baik itu, tapi kalau dia menerima berarti dia harus melawan si tinggi kurus yang baru langkahnya saja mendatangkan kesan bahwa si pengantuk ini tentu seorang ahli Iweekeh yang memiliki sinkang kuat sekali.
Juga dia tidak dapat menerka apa yang dikandung dalam hati pembesar itu di balik ‘ujian’ ini. Maka dia lalu menjawab, "Baiklah, karena hamba telah melanggar dan berada di sini, hamba tidak dapat membangkang perintah Paduka. Akan tetapi hendaknya Paduka tidak menganggap hamba kurang ajar dan ingin memamerkan kepandaian, karena sebenarnya hamba tidak memiliki kepandaian apa-apa. Mana dapat dibandingkan dengan Locianpwe ini yang menjadi pengawal Paduka?" Setelah berkata demikian, Keng Hong berdiri tegak dan siap menghadapi Tio Hok Gwan.
Sejenak kedua orang ini berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter, saling memandang penuh perhatian seolah-olah dengan pandang mata mereka itu mereka hendak mengukur keadaan lawan.
"Cia Keng Hong, sambutlah!" Tiba-tiba saja Tio Hok Gwan berseru dan tubuhnya sudah bergerak ke depan, sekaligus mengirim pukulan dengan tangan kiri ke arah dada Keng Hong.
"Wuuuttttt!"
Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan sebelum kepalan itu datang, Keng Hong sudah merasakan hawa pukulannya. Tidak salah dugaannya, pengawal yang mukanya seperti orang kurang tidur ini memiliki sinkang yang hebat. Cepat dia mementang kedua kaki, lalu memutar tubuh miring ke kiri untuk mengelak dan secara kontan dia membalas dengan pukulan tangan kiri ke arah lambung lawan.
Tio Hok Gwan agaknya betul-betul hendak mengandalkan kemenangan tenaga. Dia tidak mengelak seperti Keng Hong, melainkan cepat menggerakkan tangan kanan dengan jari terbuka menerima hantaman Keng Hong.
"Desssss!"
Dua telapak tangan bertemu dan mengeluarkan bunyi keras. Akibatnya, tubuh Keng Hong terpental ke belakang sedangkan tubuh Tio Hok Gwan terdorong tiga tindak ke belakang!
"Hebat...!" Terdengar The Ho berseru karena dari pertemuan tenaga kedua orang itu pembesar yang sakti ini dapat mengukur bahwa Keng Hong benar-benar memiliki sinkang yang dapat mengatasi pengawalnya!
Hok Gwan menjadi penasaran. Selama dia menjadi pengawal The Ho, belum pernah dia menemui tanding yang dapat melawan sinkang-nya. Dalam hal ilmu silat, mungkin banyak tokoh-tokoh, umpamanya ketujuh orang pengawal rahasia kaisar, yang dapat menandingi bahkan mungkin melebihinya. Akan tetapi dalam hal kekuatan sinkang, dia berani diadu dengan siapa pun juga dan merasa yakin bahwa dia akan lebih kuat. Siapa kira, pemuda ini dapat menandinginya, bahkan diam-diam dia merasa sangsi apakah dia lebih kuat dari pada pemuda ini.
Karena merasa penasaran, dia lantas membuat gerakan miring dan mengirim tendangan dari samping, diikuti pukulan kedua tangannya ke arah muka dan perut lawan! Cepat dan kuat bukan main gerakan Hok Gwan ini hingga Keng Hong terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya, meloncat ke arah berlawanan dengan datangnya tendangan lawan sambil mengibaskan kedua tangan ke bawah dan atas untuk menangkis pukulan tangan lawan.
Kembali kedua tangan saling bertemu hingga membuat mereka berdua terhuyung. Keng Hong tidak mau mengalah. Karena maklum akan kekuatan lawan, dia cepat membalas dengan pukulan tangan miring menuju tengkuk selagi leher lawan miring.
Tetapi sambil memutar tubuhnya kembali Hok Gwan dapat menangkis, bahkan langsung membarengi dengan jotosan lurus ke arah bawah ketiak lawan yang lengannya sedang terangkat itu. Keng Hong kembali mengelak karena pemuda ini maklum bahwa kalau dia mengandalkan sinkang untuk selalu menandingi kekuatan lawannya, maka hal itu berarti keras lawan keras dan tentu akan mengakibatkan luka-luka dalam di antara mereka.
Hal ini tidak dia kehendaki. Pertama karena dia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Tio Hok Gwan, kedua karena dia ingin pergi dari situ tanpa meninggalkan kesan buruk.
Karena menemui tandingan yang seimbang, Hok Gwan dan Keng Hong menjadi gembira dan mereka beradu kelihaian sampai lebih dari lima puluh jurus tanpa ada yang terdesak! Keng Hong yang baru saja mewarisi kepandaian dari gurunya dan juga dari Thai Kek Couwsu, diam-diam juga menjadi penasaran. Kalau dia kalah oleh pengawal The Ho yang amat lihai ini, bukanlah merupakan hal yang besar baginya, akan tetapi karena Cui Im, Siauw Lek dan Pak-san Kwi-ong hadir di situ dan menonton, dia tidak ingin kalah di depan mereka!
Dia harus menang dan pikiran ini membuat Keng Hong makin lama makin cepat dan kuat gerakannya. Mula-mula kedua orang itu mengandalkan tenaga, kini karena Keng Hong mengerahkan kecepatannya, terpaksa Hok Gwan harus pula mengerahkan ginkang-nya yang ternyata tidak sehebat Keng Hong.
Mulailah bayangan dua orang itu berkelebat cepat dan berubah menjadi bayangan yang bergulung menjadi satu! Akan tetapi dalam pandangan mata para tokoh yang berada di situ, jelas tampak betapa Keng Hong mulai mendesak Tio Hok Gwan dengan serangan-serangan kilatnya.
"Hiaaaaaaahhhhh…!" Tiba-tiba Hok Gwan mengeluarkan teriakan keras.
Gerakannya kini berubah, tidak cepat lagi akan tetapi gerakan merupakan benteng yang amat kuat sehingga semua serangan Keng Hong menemui jalan buntu. Kalau serangan Keng Hong yang cepat itu seperti air mengalir, pertahanan Hok Gwan seperti tanggul dari baja yang menahan banjirnya air! Melihat ini, Keng Hong terkejut dan maklum bahwa lawannya sudah bersungguh-sungguh dan kini mengeluarkan ilmu simpanannya.
"Haaaiiitttttt…!” Keng Hong pun memekik.
Kini caranya bersilat juga berubah pula. Gerakan-gerakannya juga lambat, namun setiap gerakan mendatangkan tenaga yang dahsyat, dan kedua lengannya melakukan gerakan membentuk lingkaran-lingkaran! Inilah Thai-kek Sin-kun yang ia pelajari dari kitab pusaka peninggalan Thai Kek Couwsu! Inilah ilmu silat sakti yang digerakkan dengan inti tenaga sinkang!
Menghadapi ilmu silat ini, Hok Gwan menjadi sangat terkejut dan tampak bingung, bahkan gerakan-gerakannya menjadi agak kacau.
"Ahh..., gerakan-gerakan membuat lingkaran itu... Lihat... delapan macam gerakan tangan dengan mengarah delapan jurusan... ehhh…, apakah ini Pat-kwa Kun-hoat? Akan tetapi berbeda benar... Dan lingkaran-lingkaran itu, ahh..." Terdengar The Ho berseru kaget dan kagum sekali setelah menyaksikan Keng Hong bersilat Thai Kek Sin-kun sampai belasan jurus yang membingungkan Hok Gwan.
"Akan tetapi, Taijin, harap Taijin lihat gerakan kakinya. Bukankah berdasarkan Ngo-heng? Gerakan kakinya seperti Ilmu Silat Ngo-heng Kun Hoat, akan tetapi gerakan atasnya lain. Dan lingkaran-lingkaran itu amat aneh...!" Demikian Ma Huan berkata.
Saking kagum dan tertariknya, dua orang ini bicara dengan suara keras sambil menonton, lupa bahwa di tempat itu ada tujuh orang pengawal rahasia yang juga menonton dengan bengong dan kagum.
Kata-kata kedua orang pembesar itu tidak terlepas dari pendengaran Keng Hong dan pemuda ini terkejut. Sungguh pun tidak dapat menebak dengan tepat, namun pernyataan kedua orang itu sudah mendekati rahasia Ilmu Silat Thai Kek Sin-kun! Hal itu sudah cukup membuktikan bahwa The Ho dan Ma Huan tentu bukan sembarang pembesar, melainkan orang-orang yang sakti, dan mungkin lebih lihai! Maka dia berlaku hati-hati sekali.
"Sambutlah!" Tiba-tiba Hok Gwan mengirim tendangan kilat.
Itulah ilmu tendangan yang sangat terkenal di Tiongkok Utara yang disebut Soan-hong-twi atau Tendangan Angin Taufan yang datangnya amat cepat dan susul-menyusul, ada pun yang diarah oleh kedua kaki adalah bagian atas tubuh.
Pada waktu kaki lawan menendang ke arah tenggorokannya dengan cepat sekali, Keng Hong lalu membuat gerakan yang indah. Kaki kirinya diluruskan ke depan dengan tumit menempel lantai, sedang kaki kanan berjongkok ketika dia mengelak dari tendangan yang menyambar lewat di atas kepalanya. Tangan kiri yang tadinya melingkar di depan pusar itu membuat gerakan melingkar ke atas sehingga mengangkat tubuh menjadi tegak, ada pun tangan kanan yang tadinya melingkar di depan dada secara tiba-tiba mendorong ke depan dengan tangan kiri ditarik ke atas kepala.
Inilah jurus yang disebut ‘Bidadari Meneropong’ dari Ilmu silat Thai-kek Sin-kun! Gerakan yang sederhana, akan tetapi karena dilakukan sebagai lanjutan mengelak tendangan, dan pukulan dengan tangan kanan mendorong itu mengandung tenaga sinkang yang hebat luar biasa, membuat Hok Gwan yang tendangannya luput tadi terkejut. Ia masih dapat menjatuhkan diri ke kanan dan bergulingan, namun dia mengalami kekagetan dan ketika melompat bangun dia lalu menyerang lagi dengan hati-hati, lebih mengerahkan tenaga dan perhatian untuk bertahan!
Pertandingan antara dua jago sakti ini berlangsung sampai seratus jurus lebih dan para pengawal yang menonton pertandingan itu menahan napas. Bahkan Cui Im sendiri lalu merasa penasaran sekali menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimainkan Keng Hong. Ia menjadi bingung dan menduga-duga.
Dari mana Keng Hong mendapatkan ilmu ini? Semua kitab telah dibacanya, dipelajarinya, bahkan kitab-kitab itu telah dibawanya. Apakah guru pemuda itu, Sin-jiu Kiam-ong, masih mempunyai simpanan kitab lain yang tak dilihatnya? Diam-diam dia menyumpah di dalam hati dan merasa menyesal mengapa dahulu di tempat rahasia dia tergesa-gesa berusaha melenyapkan Keng Hong. Kini menyaksikan kelihaian Keng Hong dia merasa ragu-ragu apakah dia akan dapat mengatasi pemuda yang makin lihai itu.
Biar pun Tio Hok Gwan ternyata amat lihai dan pertahanannya amat kuat, namun makin lama dia semakin terdesak hebat. The Ho dan Ma Huan menonton dengan gembira, dan biar pun The Ho maklum bahwa pengawalnya tidak akan dapat menangkan Keng Hong, akan tetapi dia tidak mau menghentikan pertandingan itu saking tertariknya dan hendak menonton sepuasnya!
Hok Gwan diam-diam merasa sangat penasaran. Sepanjang hidupnya, baru sekali ini dia bertemu tanding yang membuatnya kehabisan akal hingga terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk membela diri, membentuk pertahanan yang amat kuat. Namun, ilmu silat yang melakukan gerakan-gerakan tangan melingkar-lingkar itu amat membingungkannya dan pengawal lihai ini pun maklum bahwa kalau dilanjutkan, lambat laun dia tentu akan roboh. Gerakan yang aneh dari lawannya sudah beberapa kali hampir dapat menyusup dan membobolkan pertahanannya.
Ia merasa malu kalau harus menderita kekalahan di depan junjungannya. Tak lama lagi junjungannya akan memimpin barisan menyerang lautan dan dialah yang selalu akan diandalkan untuk melindungi pembesar itu. Kalau kini dia kalah oleh seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, bukankah dia akan kehilangan muka?
Sebab itu, tiba-tiba pengawal ini mengeluarkan pekik yang menyerupai gerengan harimau marah, kedua tangannya membalas dengan pukulan nekat. Biar pun dia maklum bahwa dengan mengubah gerakan bertahan menjadi menyerang ini berarti membuka sebagian pertahanannya dan dia dapat celaka, namun dia yakin bahwa apa bila lawan melakukan penyerangan, sebuah dari pada kedua tangannya akan mengenai sasaran pula dan kalau perlu dia akan roboh bersama lawannya. Pokoknya asal dia tidak kalah. Kalau keduanya roboh, berarti tidak ada yang menang!
Keng Hong tadinya bersilat dengan tekun dan sabar. Maklum akan pertahanan lawan yang sangat kuat, dia tahu bahwa kalau akan menjatuhkan lawan tanpa melukainya, dia harus membuat lawan lelah dan pening. Akan tetapi tiba-tiba saja dia melihat lawannya menyerang hebat, tidak begitu mempedulikan lagi pertahanannya. Ia terkejut, tahu bahwa lawan menjadi nekat dan pantang kalah. Satu-satunya jalan untuk mencapai kemenangan harus melancarkan pukulan maut mendahului kedua tangan lawan.
Posisi tubuhnya saat itu lebih baik karena dia dalam keadaan menekan. Kedua tangan lawannya menyambar lurus menuju dada dan lehernya sehingga penjagaan tubuh lawan di bagian bawah terbuka. Kalau dia merendahkan diri, membuat gerakan melingkar dan menyerang perut dan pusar lawan, dia yakin pasti menang. Akan tetapi kalau hal ini dia lakukan, berarti Tio Hok Gwan akan menderita luka berat dan mungkin sekali tewas. Padahal dia tidak menghendaki hal ini terjadi.
Dia maklum bahwa pembesar yang memiliki wibawa luar biasa itu tidak bermaksud buruk pada dirinya, dan kalau kini mengujinya semata-mata memang ingin sekali menyaksikan kepandaiannya. Hal ini terbukti ketika dia tadi melirik ke arah dua orang pembesar itu, mereka itu menonton dengan wajah berseri dan pandang mata kagum, sama sekali tidak menjadi khawatir atau penasaran melihat pengawalnya didesak.
"Haaaiiittttt!"
Pukulan tangan kanan Hok Gwan menghantam pundaknya, sedang pukulan tangan kiri menghantam lehernya. Namun Keng Hong kini menghentikan gerakannya sama sekali, hanya mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan tenaga mukjijatnya yang tidak akan dia keluarkan seandainya keadaan tidak seperti itu.
"Bukkk! Desssssss…!" Dua pukulan itu tiba pada saat yang hampir bersamaan, hanya setengah detik selisihnya.
The Ho dan Ma Huan berseru kaget. Mereka benar-benar kaget dan menyesal karena mereka tadi hanya ingin menguji, sama sekali tidak bermaksud menyuruh pengawal itu membunuh pemuda yang amat lihai itu. Mereka juga terkejut melihat betapa pemuda itu yang tadinya sudah ‘menang angin’ kini menerima pukulan begitu saja tanpa mengelak atau menangkis.
Mereka cukup maklum betapa hebatnya pukulan kedua tangan Hok Gwan yang mampu memukul pohon menjadi remuk di dalam batangnya tanpa melecetkan kulit batang pohon! Tembok yang ditutup kertas tipis akan hancur oleh pukulan ini tanpa merobek kertasnya!
Akan tetapi kekagetan kedua orang pembesar ini disusul keheranan yang sangat besar sehingga mereka melongo. The Ho adalah seorang pembesar sakti dan sudah mengalami banyak hal aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan yang seaneh itu. Jelas bahwa kedua kepalan tangan Hok Gwan mengenai leher dan pundak Keng Hong, akan tetapi pukulan-pukulan itu bagaikan dua buah batu besar dilempar ke permukaan telaga yang dalam dan amblas tanpa bekas!
Tangan Hok Gwan yang kiri masih menempel pada leher Keng Hong, sedangkan tangan kanannya masih melekat pada pundak. Akan tetapi pengawalnya itu kini membelalakkan sepasang mata yang biasanya sipit mengantuk itu, seolah-olah dia bangun tidur karena disiram air, mukanya pucat dan mulutnya mengeluarkan suara merintih!
Kedua tangan itu tidak bisa ditariknya kembali seperti biasa dilakukan oleh ahli silat yang setiap memukul tentu menggunakan sasaran untuk menendang balik pukulannya. Kedua tangan itu melekat pada leher dan pundak Keng Hong sedangkan pemuda yang dipukul itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah tidak merasa sesuatu.
"Aihhh... Thi-khi I-beng...!" Cui Im berseru kaget karena dia maklum bahwa ilmu yang dimiliki Keng Hong itu adalah ilmu yang tidak wajar, yaitu yang dimiliki Keng Hong bukan berdasarkan ilmu, melainkan karena sesuatu keanehan dan biasanya pemuda itu tidak tahu bagaimana harus membebaskan lawan yang telah tersedot sinkang-nya.
Sejenak teringatlah wanita ini betapa dulu, tanpa disengaja, Keng Hong telah ‘menyedot’ pula sinkang-nya secara halus ketika mereka memadu asmara! Sedetik mukanya menjadi merah sekali dan dia sudah melangkah maju hendak membantu Hok Gwan. Akan tetapi pada waktu sinar matanya bertemu dengan pandang mata The Ho, dia mundur lagi. Jelas tampak bahwa pembesar itu melarang dia turun tangan.
Memang sesungguhnya The Ho sendiri tidak tahu akan keadaan pengawalnya sungguh pun dia heran mengapa pengawalnya tidak bergerak dan wajah pengawalnya itu menjadi pucat sekali.....
Komentar