PEDANG KAYU HARUM : JILID-29
"Hi-hi-hik, hawa sinkang-mu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhh, tubuhku panas... aduhhh, seperti dibakar...!"
"Hentikan, Toanio, hentikanlah..."
"Tidak! Dan jangan kau berani melepaskan tanganmu atau menarik kembali sinkang-mu, hemm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.
"Toanio... lekas hentikan, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan tetapi kalau tidak kau hentikan, kau... kau akan celaka..."
"Hi-hik-hik! Engkau... Aahhh... Hahhh... panas...! Engkau anak kemarin sore... hi-hik-hik... jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kau lepaskan... Engkau lihai, tentu akan menyerangku... heh-heh-heh, akan kusedot sinkang-mu sampai habis... hi-hik-hik... aaahhhhh...!"
Tiba-tiba saja nenek itu mengeluarkan jerit melengking dan mengerikan lalu dari mulutnya tersembur darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan darah.
Ia cepat maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.
"Kau... kau benar... aaahhhh, Cun Hong... Kau tunggulah aku..!" kepala itu terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti.
Keng Hong memeriksa tubuh itu dan melepaskan kembali lengan yang dipegang sambil menarik napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tak kuat menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Dia merasa kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama gurunya.
Ah, nenek bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu menaruh dendam terhadap gurunya, sudah tewas. Bukan karena kesalahannya, sungguh pun nenek itu seolah-olah mati ‘dalam tangannya’ melainkan karena kesalahan nenek itu sendiri.
Kiu-bwe Toanio yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka sehingga hendak memonopoli Ilmu Thi-khi I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi kebenaran. Dia akhirnya mengorbankan jiwanya dalam pelaksanaan perbuatannya sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang!
Dengan hati penuh rasa penyesalan bahwa ‘jalan keluar’ yang ditempuhnya seperti yang dicita-citakannya untuk menebus semua kesalahan gurunya dulu kembali gagal, bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguh pun dia tahu bahwa hal itu bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur jenazah nenek itu sebagaimana mestinya.
Setelah selesai menguburkan jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta memberi penghormatan terakhir, Keng Hong kemudian pergi meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya.
Dia harus dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Keng Hong lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan…..
********************
Di sepanjang perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Dia mendengar bahwa perang sudah selesai dengan kemenangan pihak utara. Raja muda Yung Lo yang memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta Kerajaan Beng-tiauw (1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo memindahkan kota raja ke utara (Peking).
Keng Hong melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati Pegunungan Tapa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui kemudian menginap selama dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pinggiran sebelah utara sungai itu, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Pemuda ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada malam kedua, dia berada sekota dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu bahwa Biauw Eng bersama seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!
Bagaimanakah Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan pada bagian depan, semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengorbankan sepasang matanya yang menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama hidupnya!
Ia merasa berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguh pun hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biar pun ia mendengar kata-kata Cui Im yang seakan menyatakan bahwa Keng Hong masih hidup, akan tetapi kalau pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?
Hari itu ia bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek mempunyai seorang sahabat baik yang sekarang telah menjabat pangkat di kota raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.
"Tidak mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap," demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya. "Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka toko obat, atau dapat membuka bu-koan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia, memiliki anak-anak di sekeliling kita. Ahh, Biauw Eng kekasihku, betapa akan bahagianya kita!"
Biauw Eng menatap wajah tampan yang matanya buta itu dengan hati terharu. Pemuda ini sangat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia, menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan nama Keng Hong.
Lai Sek memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja dengan segala kehendakmu, Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku terletak pada kebahagiaanmu, Koko."
Memang, dia tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Keng Hong seperti sudah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin, hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk membalas budi, satu-satunya jalan hanyalah membahagiakan pemuda ini, dan agaknya itulah kebahagiaanya baginya.
Mereka melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa mengingat keadaan Lai Sek yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kuda dan mereka menunggang kuda. Kuda yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya.
Di sepanjang jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cici-nya, Sim Ciang Bi yang tewas di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatang kara, tiada bedanya dengan Biauw Eng sendiri.
Biauw Eng makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apa lagi ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda ini ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan sesuatu yang terdorong oleh nafsu birahi, betapa pun besar rasa kasih sayangnya kepada dirinya. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya tercurah pada suaranya apa bila berbicara dengannya, atau paling banyak hanya pada sentuhan jari tangannya pada lengan atau pundaknya.
Hal ini saja membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu birahi. Kalau dia buat perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dengan Lai Sek. Keng Hong sangat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu mau melayani cinta birahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi.
Akan tetapi, entah bagaimana, dia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong. Bahkan, setiap kali Lai Sek berbicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di depan matanya terbayang wajah Keng Hong!
Menjelang senja mereka sampai di kota Han-tiong, kemudian bermalam di sebuah rumah penginapan. Seperti biasanya, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan. Karena lelah, setelah makan malam kedua orang ini lalu tidur nyenyak.
Biauw Eng tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali berjalan di depan penginapan dan bahkan sekarang menjaga rumah penginapan itu sambil bicara berbisik-bisik tentang dia!
Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek berangkat meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanannya, dengan tergesa-gesa lima orang hwesio turut berangkat pula meninggalkan kota itu dan dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu.
Biauw Eng dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang termudah untuk menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama sekali tak pernah mau membicarakan tentang segala keindahan itu, maklum bahwa hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya. Diam-diam ia merasa terharu jika mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena dia!
Menjelang tengah hari mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan lebat. Mereka berhenti untuk makan perbekalan mereka. Tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba dia menarik Lai Sek ke pinggir dan diajak duduk di bawah pohon, lalu mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada batang pohon.
Telinganya yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian dia dapat melihat lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw Eng dalam keadaan tegang, sebab sejak turun dari kuda gadis itu tidak bicara sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.
"Ada orang datang...," katanya.
"Kau duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat saja, kalau mereka berniat jahat, biar aku yang melayani mereka."
Hati Lai Sek tenang-tenang saja, ia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan perjalanan di sisi Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cici-nya, meski pun dia belum buta. Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cici-nya ditambah kepandaian dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapa pun juga, oleh karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan terjadi, hatinya menjadi tidak enak.
Setelah para penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemm, tentu ada sesuatu, pikirnya. Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang mendesak sekali.
Betul saja dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu segera menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang sangat sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua inilah yang lantas menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Bukankah nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dahulu menjadi tawanan di Kun-lun-san?"
Biauw Eng memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio ini hadir pula ketika Kun-lun-pai ‘mengadili’ Keng Hong, lalu berkata tenang,
"Benar seperti yang dikatakan Losuhu tadi, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"
"Song-bun Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kami adalah hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."
Biauw Eng mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan pihak Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas dia berkata. "Sungguh aku tidak tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"
Sejenak hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemm, Song-bun Siu-li, perlu apa engkau berpura-pura lagi? Pada saat berada di Kun-lun-san, engkau membela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia. Kami menghendaki kembalinya kitab-kitab kami yang dahulu dicuri Sin-jiu Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah suci-mu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau berkata apa lagi engkau?"
"Ahhh...!" Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena dia benar-benar terkejut mendengar betapa suci-nya sudah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai. Kemudian dia menghela napas dan berkata,
"Tentang... murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan aku... Ahh, aku tidak tahu di mana sekarang dia berada! Aku tidak tahu tentang kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama sekali bukan urusanku. Ada pun mengenai urusan bekas suci-ku Bhe Cui Im yang kini bukan lagi menjadi suci-ku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada sangkut-pautnya. Nah, kini Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apa lagi yang hendak Losuhu lakukan?"
"Omitohud...! Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"
"Tidak...! Tidak boleh! Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, kenapa hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir di dalam persidangan di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama sekali!"
Lima pasang mata memandang kepada Lai Sek yang telah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh semangat itu. Thian Kek Hwesio menatap tajam dan mengingat-ingat, akan tetapi dia tidak mengenal siapa adanya pemuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu dalam persidangan itu terdapat seorang buta.
"Engkau siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara kereng.
"Teecu adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama kedua supek Hoa-san Siang-sin-kiam!"
"Omitohud...! Engkau adalah adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta, tentu dibutakan olehnya!"
"Tidak, tidak... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh Ang-kiam Tok-sian-li yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya..."
"Koko, diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak.
Gadis ini semenjak dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui orang lain, apa lagi kalau kematian itu disebabkan tangan suci-nya sendiri, murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara dia dan Cui Im, dan tidak perlu diketahui orang lain.
"Losuhu, pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan jika Losuhu tidak percaya omonganku, terserah. Losuhu sekalian mau apa pun, aku tidak takut!"
"Omitohud... Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.
"Suheng, terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan langsung mengurung Biauw Eng.
"Song-bun Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan dapat membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus turun tangan membasmimu dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian Kek Hwesio telah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya sendiri!
"Para Losuhu, harap tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakkan dua tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan! "Nona Sie Biauw Eng tidak bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling mulia di dunia ini…, harap jangan membunuh dia...!"
"Omitohud... orang yang sudah terancun cinta, bukan hanya buta mata namun juga buta hatinya...," kata seorang di antara para hwesio itu sambil menggeleng-gelengkan kepala karena kasihan.
"Koko, kau duduklah! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan para lawan itu.
Thian Kek Hwesio berseru keras dan jubah pada tangannya sudah menyambar dengan kekuatan yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar.
Biauw Eng maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia mengelak ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang dahsyat.
Pada detik berikutnya dua buah toya datang lagi menyambar, yang satu menyerampang kaki, yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil meloncat mundur agak tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.
Thian Kek Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai, maka tentu saja ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Ada pun empat orang hwesio lainnya adalah sute-sute-nya, dan sungguh pun kepandaian serta tenaga sinkang mereka tidak setinggi suheng mereka, namun mereka ini pun termasuk tokoh-tokoh tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi.
Apa lagi ketika itu mereka mengeroyok Biauw Eng. Mereka yang maklum akan kelihaian gadis itu, sudah mempergunakan gerakan-gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seakan-akan kelima orang lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.
Biauw Eng terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk menjaga diri. Dia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, jika dia melawan mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar sangat teratur sehingga dia tidak mampu menekan seorang saja untuk merobohkan ereka seorang demi seorang.
Gadis itu kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu di bagian tengah sehingga kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi amat banyak saking cepatnya gerakannya. Kalau Biauw Eng hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa untuk berloncatan ke sana ke mari, mengelak dan menangkis.
Gerakan Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu tidak akan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini.
Juga ia mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka dia mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Setidaknya dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka. Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara mereka.
Tiba-tiba jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Sesudah tubuhnya mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua batang toya lainnya menghantamnya dari kanan! Cepat dia menggunakan sehelai ujung sabuknya membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkang-nya secara mendadak menarik toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan.
Pada detik itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan perlahan.
Akan tetapi pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk karena jaraknya sudah terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan menangkis jubah itu dengan lengannya.
Kalau jubah itu mengandung saluran sinkang hingga menjadi kaku, tentu saat tertangkis akan menjadi lemas. Akan tetapi, meski pun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk ke belakang dan ujung yang mengandung tenaga sinkang itu memukul punggung Biauw Eng dengan kuatnya.
Biauw Eng mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya tusuk konde bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata dan ulu hati Thian Kek Hwesio! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga tiga buah senjata itu runtuh semua.
Thian Kek Hwesio menghampiri sute-nya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu menotok punggung dan pundak sute-nya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah sembuh kembali.
Sedangkan Biauw Eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya meski pun dia merasa betapa dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia menerjang maju sambil berseru keras.
"Haaaiiiiiitttt…!"
Sabuk sutera berubah menjadi cahaya putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih berduri yang menyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Akan tetapi, kelima orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar putih panjang.
Thian Kek Hwesio yang berpandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang hendak mengadu nyawa. Karena itu dia memberi aba-aba kepada para sute-nya untuk bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan pertahanan yang amat kuat.
Biar pun Biauw Eng lihai, namun dia kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu marah dan terus mengamuk laksana harimau terluka. Namun semua serangannya gagal semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, sudah dilemparkan ke arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, dia mengamuk dengan sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan.
Tetapi karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap dan dielakkan. Sekarang mereka mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa jika tenaga gadis itu sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi bagi dia dan sute-nya untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.
Sim Lai Sek yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang dan kaku, sepasang lengan tergantung di kanan kiri tubuhnya dan jari-jari tangannya bergerak-gerak, kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan matanya karena dia tidak bisa melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat lagi, dia tidak bisa melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh lima orang hwesio yang dia tahu tentu sangat kosen itu. Bagi dia yang hanya dapat mendengarkan, pertempuran itu terasa bukan main lamanya sehingga ketegangan hatinya makin memuncak, apa lagi ketika dia mendengar kekasihnya mengeluh lirih.
Tepat seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng menjadi semakin lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya, kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biar pun masih menyambar-nyambar namun tidak sepanjang tadi.
Kini mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang sangat kuat. Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi para sute-nya untuk segera turun tangan menyerang. Serangan mereka tidak lagi bertubi-tubi terlalu cepat seperti tadi, melainkan secara bergiliran.
Akan tetapi karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Bila mana sesekali menangkis dengan sabuknya, ia lantas merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin sekali sehingga tiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya, sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak mau melepaskan libatannya, tentu bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sendiri yang akan terampas lawan!
Sekarang bagi lima orang hwesio itu tinggal menunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, tetapi hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula, mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju satu-satu, mereka tentu kalah.
Dalam pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio. Karena itu, bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, sudah menjadi ‘kewajiban’ mereka untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!
Karena Biauw Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai Sek yang mendengarkan gerakan kaki serta angin gerakan tubuh dan senjata mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu kini terancam bahaya maut.
Pada saat yang amat kritis bagi Biauw Eng itu, tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan sambaran angin dahsyat yang amat luar biasa membuat lima orang hwesio itu melompat mundur. Tahu-tahu seperti datangnya setan saja, di tengah-tengah tempat itu telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih sederhana.
Melihat pemuda ini, mata Biauw Eng terbelalak. Mukanya yang sudah pucat itu menjadi makin pucat, napasnya yang biar pun tadi telah sesak akan tetapi masih bisa, kini menjadi terengah-engah dan hidungnya kembang-kempis, bibirnya yang pucat itu bergerak seolah meneriakkan sesuatu yang tak ada suaranya. Mulutnya jelas menjerit ‘Keng Hong’ akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya itu.
Pemuda itu memang Keng Hong. Dia pun datang dari kota Han-tiong dan tadinya dia bermaksud dari kota ini mengambil jalan sungai untuk menuju ke selatan, yaitu mengikuti sepanjang Sungai Han-sui. Akan tetapi melihat Cin-ling-san dari jauh, tiba-tiba saja timbul keinginan hatinya untuk mendaki pegunungan itu.
Ketika dia tiba di dalam hutan di lereng itu, dari sebuah puncak dia melihat pertempuran. Hatinya tertarik dan dia cepat berlari menghampiri dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girang hatinya pada waktu melihat bahwa gadis yang dikeroyok oleh lima orang hwesio itu bukan lain adalah Biauw Eng, gadis idaman hatinya yang selama ini selalu dikenangnya dengan hati sedih.
Dia hanya memandang heran sebentar saja kepada pemuda buta yang berdiri gelisah di bawah pohon. Begitu melihat betapa Biauw Eng terdesak dan terhimpit, keadaannya berbahaya bukan main, dia cepat menerjang maju, mempergunakan sepasang tangannya mendorong dengan kekuatan sinkang hingga lima orang hwesio yang mengeroyok gadis itu berlompatan ke belakang.
Keng Hong menahan keharuan hatinya karena bertemu dengan gadis itu, dan kini dia menghadapi para hwesio dengan sikap hormat, menjura dan berkata halus, "Maafkan kalau saya berani lancang tangan mencampuri urusan ini, Ngo-wi Lo-suhu. Akan tetapi, bukankah segala urusan dapat diselesaikan dengan cara dingin dan damai? Apakah perlu sesama manusia saling serang dan berbunuh-bunuhan? Losuhu sekalian yang bijaksana tentunya maklum bahwa tidak ada kesalahan yang sedemikian besarnya sehingga yang bersalah perlu dibinasakan."
Thian Kek Hwesio dan para sute-nya memandang dengan mata terbelalak. Apa bila tadi mereka terkejut menyaksikan tenaga sinkang pemuda yang menengahi pertandingan itu, kini mereka tercengang mendengar ucapan itu. Akan tetapi, tiba-tiba Thian Kek Hwesio berseru,
"Haiiiii! Bukankah engkau bocah murid Sin-jiu Kiam-ong?"
Keng Hong mengangkat muka dan memandang Thian Kek Hwesio penuh perhatian. Baru sekarang dia teringat. Hwesio berkulit hitam ini ialah seorang di antara dua orang hwesio yang memusuhi gurunya, bahkan hadir pula ketika dia diadili di Kun-lun-san! Cepat dia menjura dengan hormat dan berkata,
"Ahhh…, kiranya Locianpwe dari Siauw-lim-pai yang berada di sini? Maaf, maaf...! Benar Locianpwe, saya adalah Cia Keng Hong, murid suhu Sin-jiu Kiam-ong. Nona ini adalah nona Sie Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni dan..."
"Yang dulu sudah kau tuduh sejahat-jahatnya dan telah membunuh banyak orang bukan? Mengapa sekarang kau membelanya?"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. "Ahhh, maaf, Locianpwe. Dahulu saya adalah orang yang sebodoh-bodohnya, tidak dapat membedakan mana yang benar mana yang salah, tidak dapat membedakan mana yang suci mana yang kotor! Sekarang baru terbuka mata saya bahwa nona Sie Biauw Eng adalah seorang gadis yang tidak berdosa. Saya berani menanggungnya, maka harap Locianpwe sudi memaafkan apa bila dia bersalah."
"Omitohud...! Kalau ada hal yang lebih aneh dari ini, benar-benar pinceng masih kurang pengalaman! Gadis yang kau bela ini jahat, ibunya datuk hitam, dan suci-nya... Si iblis betina itu telah membunuh sute-ku, Thian Ti Hwesio. Kalau ibunya seperti itu, suci-nya seperti itu, mana bisa diharapkan dia ini seorang yang baik? Suci murni katamu! Heh, Cia Keng Hong, perempuan ini harus mati di tangan kami yang selain bertugas menyebarkan ajaran tentang mencari kebenaran, juga bertugas membasmi segala kejahatan sampai ke akar-akarnya! Dan engkau sendiri, apa bila engkau tidak dapat mengembalikan kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri suhu-mu, engkau pun harus pula dibasmi. Kami tidak berhasil membunuh Sin-jiu Kiam-ong yang jahat, kini kami dapat membunuh muridnya, hal itu sudah cukup baik!" suara Thian Kek Hwesio terdengar kereng dan berwibawa.
Keng Hong tersenyum sabar, walau pun hatinya merasa penasaran sekali. "Locianpwe, bukankah ajaran yang Locianpwe sebarkan adalah pelajaran yang didasarkan kasih yang luas? Cinta kasih barulah murni kalau diberikan tanpa dikehendaki balasan, tanpa pamrih. Contohnya, adalah cinta kasih dari Tuhan sehingga diberikanNya hawa untuk kita isap, diberikanNya sinar matahari untuk menghidupkan kita. Demikian suci murni cinta kasih Tuhan sehingga siapa pun juga manusia mau pun binatang, manusia yang disebut baik mau pun yang jahat, yang berdosa mau pun yang tidak, dapat mengecap kenikmatannya dari pada cinta kasihNya. Adakah matahari kehilangan sinarnya apa bila menimpa tubuh orang-orang berdosa dan dianggap jahat? Adakah manfaat hawa menjadi berkurang bila terisap oleh manusia yang dianggap berdosa? Locianpwe, kalau Locianpwe menyebarkan pelajaran berdasarkan cinta kasih yang sejati, mengapa cinta kasih itu luntur lalu berubah menjadi kebencian dan nafsu membunuh setelah Locianpwe bertemu dengan orang-orang seperti nona Sie Biauw Eng dan saya?"
Sejenak kelima orang hwesio itu tercengang, akan tetapi kemudian Thian Kek Hwesio menjadi marah sekali. Ia melompat ke depan dan membentak,
"Bocah! Kau tahu apa tentang kasih Tuhan dan kasih manusia? Kalau ada manusia jahat, kita mengenyahkannya bukan karena kita membencinya, namun karena kita mengingat akan manusia-manusia lain yang terancam keselamatannya oleh si jahat itu, sehingga kita membunuh si jahat justru berdasarkan cinta kasih kita kepada manusia!"
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Keng Hong tak dapat menahan dorongan hatinya dan dia tertawa bergelak. Lima orang hwesio itu kaget dan memandangnya dengan mata terbelalak.
"Sungguh amat lucu alasan yang kau kemukakan itu, Locianpwe! Aku tak percaya bahwa dalam pelajaran sebuah agama terdapat pendirian seperti itu! Wewenang apakah yang ada pada dirimu maka Locianpwe boleh memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang harus mati? Dari siapakah Locianpwe mendapatkan wewenang untuk membunuh dengan alasan demi untuk kasih. Tidak mungkin menegakkan kasih dengan pembunuhan! Betapa palsunya! Betapa lucu dan menjemukan manusia yang mempergunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, mencapai kemuliaan duniawi. Alangkah munafiknya manusia yang bahkan memaksa Tuhan supaya bersekutu dengannya demi tercapainya nafsu pribadi. Ha-ha-ha, benar ucapan suhu dulu bahwa dunia ini merupakan panggung dan para manusia ini tiada lain hanyalah kumpulan badut-badut yang menggelikan akan tetapi juga menjemukan, sekumpulan badut yang sebagian besar memakai topeng-topeng menutupi muka mereka. Ngo-wi Locianpwe, apakah Ngo-wi juga memakai topeng jubah pendeta dan kepala tanpa rambut? Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba, Keng Hong berhenti tertawa dan baru sadarlah dia betapa dia telah tertawa dan bicara seolah-olah di luar kesadarannya. Rasa girang yang luar biasa sekali ketika melihat Biauw Eng berada dalam keadaan selamat dan sehat telah membuat hatinya ringan dan dadanya lapang, dan sifatnya yang gembira seperti dulu kumat kembali.
Dia sama sekali tidak bermaksud menghina para hwesio itu, melainkan bicara sebenarnya seperti yang keluar dari hatinya karena memang dia merasa penasaran dan geli hatinya mendengar alasan yang dikemukakan Thian Kek Hwesio yang hendak membunuh Biauw Eng dan dia sendiri.
Thian Kek Hwesio menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Keng Hong, kemudian dia membentak, "Bocah! Kiranya engkau malah lebih menyeleweng dan lebih jahat dari pada gurumu senadiri! Engkau sudah patut dihukum mati agar rohmu dihukum dalam neraka tingkat paling rendah! Jangan mengira bahwa pinceng adalah tukang membunuh dan suka membunuh! Akan tetapi, kalau dapat pinceng umpamakan, perempuan itu dan engkau adalah dua ekor ular yang berbisa dan berbahaya sekali bagi keselamatan umum. Demi untuk mengamankan manusia-manusia lain, pinceng berlima berusaha untuk membunuh dua ekor ular itu! Nah, kini kau bersiaplah, bocah yang sombong dan jahat, yang berani menghina agama!"
Thian Kek Hwesio yang sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya, menerjang maju dengan senjata jubahnya, dihantamkannya jubah itu ke arah kepala Keng Hong. Empat orang sute-nya juga sudah mengurungnya dengan toya melintang di depan dada.
Sambaran jubah itu dengan mudah dapat dielakkan oleh Keng Hong, akan tetapi ketika empat batang toya menyambar dari berbagai jurusan, pemuda ini menggerakkan kedua tangannya menangkis toya-toya itu dengan lengan.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"
Empat orang hwesio itu terkejut dan melompat ke belakang. Toya mereka tadi membalik dan telapak tangan mereka terasa panas dan pedas, hampir saja mereka melepaskan toya mereka.
"Locianpwe sekalian merupakan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, namun hendak menggunakan kepandaian untuk membunuh orang. Akan tetapi aku pun mempunyai kepandaian yang hendak kupergunakan untuk membela diri! Dan hendaknya diingat bahwa aku bukanlah seorang lemah yang mudah saja dibunuh. Aku sudah mempelajari ilmu-ilmu yang kiranya akan bisa mengatasi kepandaian Ngo-wi dan membatalkan niat buruk hendak membunuh orang dan memaksa Ngo-wi pulang kembali ke Siauw-lim-si untuk bertapa dan berdoa bagi keselamatan dan perdamaian di dunia."
Ucapan Keng Hong ini sungguh-sungguh, akan tetapi oleh lima orang hwesio itu dianggap sebagai sindiran dan penghinaan. Thian Kek Hwesio berseru panjang dan menerjang lagi, diikuti keempat orang sute-nya yang merasa penasaran. Serangan mereka hebat sekali, datang bagaikan angin taufan mengamuk.
Sekali lagi Keng Hong menggerakkan kedua tangannya menangkis sambil memutar tubuh sehingga kedua lengannya merupakan sepasang toya dan sekaligus menangkis empat toya dan sebuah jubah yang menghantamnya. Kembali lima orang lawannya terpental ke belakang sambil berteriak kaget.
Kini Keng Hong bertolak pinggang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh, matanya bersinar-sinar dan keningnya berkerut, "Losuhu, aku mengerti bahwa mendiang guruku berhutang dua buah kitab kepada Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab Seng-to Cin-keng serta I-kiong Hoan-hiat. Dan kuberitahukan kepada Losuhu bahwa kedua buah kitab itu sudah dicuri orang. Akan tetapi aku bersumpah demi roh suhu-ku bahwa aku akan mencari pencuri itu, akan merampas kembali kedua buah kitab dan akan kuantarkan kembali ke Siauw-lim-si disertai maafku terhadap Siauw-lim-pai atas perbuatan suhu. Nah, kuharap Ngo-wi dapat mengerti dan suka menghabiskan pertandingan yang tidak ada manfaatnya ini."
"Siapa percaya ocehanmu?"
Thian Kek Hwesio menyerang lagi, dan empat orang sute-nya juga menerjang maju, kini menggunakan jurus-jurus mematikan sambil mengerahkan seluruh tenaga sinkang dalam menggerakkan senjata mereka.
Tiba-tiba saja tubuh Keng Hong berkelebat, sedetik lenyap dari pandang mata lima orang pengeroyoknya saking cepatnya. Pada detik-detik berikutnya, terdengarlah seruan-seruan kaget Thian Kek Hwesio beserta empat orang sute-nya karena tiba-tiba saja kedua lengan mereka menjadi lemas dan senjata-senjata mereka terampas dari tangan mereka. Ketika mereka membalik dan memandang, ternyata sebuah jubah dan empat batang toya itu kini telah berada di tangan pemuda itu!
"Sudah jelas bahwa Ngowi Losuhu tidak dapat menandingi aku, dan sudah kunyatakan dengan sumpah bahwa aku akan mencari dua buah kitab itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-pai, mengapa Ngo-wi masih berkeras saja? Beginikah sikap orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang terkenal di seluruh dunia?" Keng Hong berkata.
Sekali tangannya bergerak, jubah dan empat batang toya itu melayang kepada pemilik masing-masing. Lima orang hwesio itu cepat menyambar senjata mereka dan Thian Kek Hwesio yang menyambut jubahnya terhuyung dua langkah, ada pun empat orang sute-nya terhuyung-huyung sampai lima langkah ketika menyambut toya masing-masing.
Diam-diam Thian Kek Hwesio terkejut dan kagum bukan main. Setelah lenyap di puncak Kiam-kok-san, kini pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini telah menjadi seorang yang sangat lihai, dan menurut penilaiannya, biar pun hanya bertanding dua gebrakan saja, pemuda ini malah lebih lihai dari pada mendiang Sin-jiu Kiam-ong! Maka dia kemudian menjura dan berkata,
"Pinceng berlima tidak buta, bisa melihat lawan yang jauh lebih pandai. Pinceng mengaku kalah dan akan melaporkan semua ini kepada ketua Siauw-lim-pai. Tetapi hendaknya kau ketahui orang muda, bahwa Siauw-li-pai bukan perkumpulan yang boleh kau permainkan begitu saja. Kalau kelak engkau tidak memenuhi janjimu, akhirnya sudah dapat dipastikan bahwa engkau akan tewas di tangan kami!"
Sesudah berkata demikian, Thian Kek Hwesio lalu mengenakan jubah yang tadi dia pakai sebagai senjata, kemudian menghampiri kudanya dan meloncat ke punggung kuda, pergi meninggalkan tempat itu diikuti empat orang sute-nya yang juga sudah menunggang kuda masing-masing. Derap kaki kuda terdengar makin menjauh dan setelah bayangan mereka lenyap, barulah Keng Hong membalikkan tubuhnya, memandang Biauw Eng.
Sejak tadi Biauw Eng berdiri bagai kena pesona, tidak bergerak-gerak hanya memandang Keng Hong ketika pemuda ini menghadapi lima orang hwesio Siauw-lim-pai itu, lupa akan keadaan, lupa kepada Lai Sek yang juga berdiri dan agak miringkan kepala untuk dapat mendengar lebih seksama, dan keningnya berkerut ketika dia mengetahui bahwa yang datang adalah Cia Keng Hong, musuh besarnya, orang yang dia anggap telah membunuh cici-nya.....
Komentar