PEDANG KAYU HARUM : JILID-30
Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan. Hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang semakin cantik jelita dalam pandangan matanya itu, kini agak kurus dan layu, seakan-akan kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.
"Biauw Eng...!" bisik Keng Hong penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis itu untuk meminta ampun. "Biauw Eng... Kau... kau maafkan aku..." Ucapan ini lirih dan menggetar.
"Keng Hong...!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya.
Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat dua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah pada saat bibirnya melanjutkan bisikan, "...Syukurlah... engkau... engkau... masih hidup..."
Melihat betapa kini dua butir air mata laksana butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis? Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata? Ahhh, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san!
Tiba-tiba saja Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.
"Maafkan aku... Ampunkan aku, Biauw Eng... aku... aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku...?"
"Jangan... jangan berlutut, Keng Hong. Ahhh, Keng Hong... Keng Hong..." Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh.
Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Di antara isaknya dia hanya dapat berbisik, "Keng Hong... Keng Hong...!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka.
Pada waktu merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tidak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah dia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata yang membasahi bulu matanya akhirnya menitik turun ke atas pipinya.
"Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."
"Keng Hong... Keng Hong...!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah dia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.
"Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..."
Mendadak Biauw Eng merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, dia lalu meloncat dan lari menghampiri sambil berseru,
"Sim-koko... ahhh, Koko...!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini dia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia menatap penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di dalam lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im.
"Engkau Sim Lai Sek...!"
"Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju.
Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubuhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai jatuh, kemudian Lai Sek menudingkan jari telunjuknya ke arah Keng Hong sambil berkata dengan suara nyaring penuh kebencian.
"Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau sudah merayu dan membujuk cici-ku, juga menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang bagaikan lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.
"Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak.
Keng Hong tersenyum pahit. "Sim Lai Sek, memang aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh enci-mu!"
"Apa?! Kau tidak membunuhnya?" saking marahnya pemuda itu melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enci-ku, akan tetapi hatimu belepotan darahnya! Apa bila dulu engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuh enci-ku karena cemburu? Karena engkaulah enci-ku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau...!"
Menghadapi pemuda buta yang menudingnya sambil mengucapkan kata-kata keras itu, muka Keng Hong menjadi pucat sehingga dia melangkah mundur dua tindak. Dia merasa jantungnya bagaikan ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.
"Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kau katakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dulu aku seperti buta, bahkan lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu. Tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng..."
"Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enci-ku, sekarang engkau hendak membujuk Biauw Eng? Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biar pun aku buta, akan tetapi aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta. Mari bertanding sampai mati, Keng Hong!"
Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh sangat menggelikan dan sekaligus juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis.
"Sekarang terserah kepadamu, Biauw Eng. Jika engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamaku, menjauhkan diri dari pada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"
Sejenak Biauw Eng bingung. Dia memandang Keng Hong, lalu memandang pemuda yang masih memasang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian dia lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... aku... aku... tidak bisa meninggalkanmu..."
Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang hendak kau lakukan sekarang? Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?"
Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia cepat menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian enci-nya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, lalu berkata halus,
"Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana, telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Kuharap engkau akan hidup bahagia, Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya dapat menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..."
Keng Hong menahan air mata dari kedua matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat.
"Keng Honggggg...!!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema saja di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah!
Betapa pun lihainya gadis ini, tidak kuat dia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa dia ‘memilih’ Lai Sek, dia melakukan hal ini karena mana mungkin dia meninggalkan pemuda yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu? Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata tertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, dia merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Tadi dia sudah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika dia menjeritkan nama Keng Hong, bukan suara yang keluar melainkan darah segar yang dimuntahkannya, kemudian dia roboh pingsan!
"Biauw Eng...!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu.
Dia menjadi bingung, menguncang-guncang, memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.
"Biauw Eng... Biauw Eng...!" Lai Sek terus memanggil-manggil dan dia sudah menduga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya sudah dibunuh orang seperti yang terjadi pada enci-nya!
"Biauw Eng...!"
Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan, kemudian pandang matanya bergerak memandang dua tangan pemuda buta itu yang penuh darah. Darah yang dimuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang serta meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah.
Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek.
"Engkau... engkau kejam!" tiba-tiba dia berkata sambil bangkit duduk.
Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi.
"Biauw Eng, engkau tidak apa-apa...?"
Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Dia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau... manusia kejam...!"
Kini Lai Sek terkejut bukan main. Suara gadis itu terdengar menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang amat hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang penuh darah. Darah yang mengucur dari hati Keng Hong. Engkau kejam sekali!"
"Ehh, Biauw Eng…! Apa... apa kesalahanku...?"
"Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu? Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang bahkan lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Kenapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan sehingga membuat Lai Sek lebih bingung lagi.
"Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia sudah menyebabkan kematian enci-ku, yaitu satu-satunya orang yang kumiliki saat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andai kata aku tidak buta dan andai kata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."
"Tetapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh enci-mu, dan dia pun tidak pernah memperkosa enci-mu. Bila sampai terjadi hubungan cinta, tentu enci-mu yang tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng semakin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.
"Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enci-ku?"
"Aku hanya bicara sebenarnya!"
Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, malah kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... mencinta Keng Hong?"
"Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini," kata Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.
Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut. Garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu, mata yang dipejamkan rapat-rapat, dan urat di kedua pelipisnya berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,
"Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong? Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja? Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu..."
Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah dia betapa sikapnya sangat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguh pun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.
"Koko, maafkan aku, Koko...!" Dia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!"
Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."
"Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku kuserahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!"
"Apa... Apa katamu...?" Lai Sek terkejut.
Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"
Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus, "Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta birahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enci-ku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tak akan menggunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku dari pada perbuatan perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalah gunakan kepercayaanmu."
Biauw Eng menangis dalam pelukan pria ini. Betapa mulianya hati Lai Sek, betapa jauh bedanya dengan Keng Hong. Bila Keng Hong yang diserahi tubuh dengan wanita-wanita lain, tentu akan diterima oleh Keng Hong dengan segala kesenangan hati, dengan kedua tangan terbuka dan hati terbuka, siap selalu melayani cinta berani! Pikiran ini membuat Biauw Eng cemburu dan memudahkan dia untuk melupakan Keng Hong.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan di sepanjang jalan Lai Sek yang bijaksana tak mau menyebut-nyebut tentang Keng Hong. Juga Biauw Eng berusaha untuk mengimbangi sikap yang penuh cinta kasih dari pemuda itu dengan pencurahan perhatian kepada pemuda yang buta ini…..
********************
Bagi orang muda, di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa dari pada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tak nyenyak, makan tak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi meski pun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh selalu lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang.
Sejak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung. Wajahnya pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Dia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek.
Pada suatu pagi, akhirnya dia terkulai lemas di bawah sebatang pohon dan perutnya yang menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa kalau penderitaan yang dia buat sendiri ini dibiarkan berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Dia lalu mencari buah-buahan pengisi perut. Setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.
Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis itu kepadanya? Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain?
Seorang laki-laki yang biar pun tampan dan gagah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta? Ahh, mengapa Lai Sek buta? Ia meloncat bangun lalu duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya. Agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan ‘pemindahan’ cinta dari hati Biauw Eng!
Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di dalam hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Biarlah dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Enci-nya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya!
Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan enci-nya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!
Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai ‘perhitungan’ yang belum beres dengan suhu-nya, yaitu ketika suhu-nya bermain cinta dengan seorang murid wanita dari Hoa-san-pai, kemudian suhu-nya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula.
Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan semua itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang sudah dilarikan Cui Im.
Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih suka bersemedhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi, maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san Siang-sin-kiam. Dua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang.
Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu sembilan murid ketua Hoa-san-pai amat terkenal dan mereka boleh dibilang menjadi ‘tiang’ Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid sembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya sudah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.
Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang sehingga terdengar bergema sampai jauh. Beberapa detik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban.
Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia sudah menghentikan langkahnya. Dia maklum bahwa dia sekarang berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menunggu perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai.
Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai.
Keng Hong yang menanti di bawah pohon bersikap tenang. Tidak lama dia menunggu, karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan pada punggung mereka tampak terselip sebatang pedang.
Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di hadapannya. Dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata,
"Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte."
"Cia Keng Hong...?!"
"Srat-srat-sing-singgggg...!"
Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang sudah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka lalu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali.
Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, namun siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."
"Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" mendadak seorang di antara tiga orang wanita gagah itu bertanya, nadanya mengejek dan marah.
"Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat?” seorang murid pria bertanya, nadanya marah.
"Guru dan murid sama saja, bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnya lebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintang di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong.
Perlahan-lahan tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.
Keng Hong masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh. Dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!
"Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?"
Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, lalu menjawab, "Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai sehingga kami seluruh anak murid Hoa-san-pai boleh dicuci dengan darahmu!"
Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang mempunyai watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan.
Akan tetapi, dendam dapat membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata,
"Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, siauwte dapat bersikap seperti cu-wi, dengan mudah dan dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Namun kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, karena itu kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri, akan tetapi setelah itu harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"
Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu yang berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid dari tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka?
"Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, apa bila engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."
Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia lantas berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"
Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada.
Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-murid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sebenarnya agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong. Kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan jauh lebih mudah. Akan tetapi dia harus mampu menundukkan hati mereka, karena itu akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil!
"Cu-wi, awas seranganku!"
Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri, melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar yang cepat mengelebatkan pedang membacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga saling bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba saja Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua pengeroyoknya dan benar saja dugaannya.
Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke depan dengan sinkang yang amat kuat. Angin dorongan dari kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Karena keadaan mereka kacau-balau akibat kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba saja ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu pedang mereka telah terampas oleh Keng Hong.
Pemuda lihai ini cepat membalik. Melihat pedang saudara-saudaranya sudah dirampas, ketiga orang yang kini berada di belakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Trang-trang-trangg…!"
Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-pai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar dan menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan... pedang-pedang itu seperti melekat di pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu. Kini semua pedang milik tiga belas murid Hoa-san-pai itu sudah berada dalam pondongan lengan kirinya!
Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana mendadak lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas!
Sebenarnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat sehingga andai kata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguh pun dia sudah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhu-nya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun, kiranya tak akan mudah pula baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas semua pedang sesudah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka.
Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkang-nya yang amat hebat itu, yang dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian menggunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi untuk menotok pundak dan merampas pedang!
"Sudah siauwte katakan bahwa siauwte bukan datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai."
Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jeri, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata,
"Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami."
Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang tadi menyangka bahwa pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong,
"Silakan, cu-wi, bila mana cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena Keng Hong bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak.
Makin tinggi ke puncak, semakin banyaklah anak murid Hoa-san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu dianggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan ‘niat baik’. Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi pada saat pemuda ini sudah berhadapan dengan guru-guru mereka.
Seorang murid sudah terlebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap dan telah menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang hanya dengan tangan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih.
Mengingat akan pentingnya persoalan yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apa lagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersemedhi di dalam kamarnya.
Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali. Apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini.
Hati Keng Hong terasa gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilingi pagar hidup berupa anak-anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan, semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul di situ dia taksir tak kurang dari seratus orang!
Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat yang terbuat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan kereng. Secara diam-diam Keng Hong berdoa di dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini!
Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan bergabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu di luar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sampai berkata,
"Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andai kata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata.
"Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.
Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Dia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.
"Siancai... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?"
"Maafkan saya, Locianpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh, juga sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua salah paham itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai di sini saja."
"Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.
Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, lalu memandang pada Keng Hong sambil mengangguk-angguk.
"Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang sudah dilakukan oleh gurumu dan engkau sendiri?"
Keng Hong masih bersikap tenang. Dia pun maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan hati kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau sampai dia gagal, maka dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini.
"Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, oleh karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dengan pihak Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..."
"Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong.
Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe? Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..."
Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang dia lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi tidak dilarikan secara paksa."
"Memang demikianlah, baik dilarikan mau pun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, dahulu suhu pernah mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai beserta ramuan obat."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Locianpwe, semua perbuatan suhu memang salah, akan tetapi karena beliau kini sudah meninggal dunia, apakah sepatutnya jika dia masih terus dikejar-kejar, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"
"Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tak perlu dibicarakan lagi, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak mungkin bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai."
Keng Hong mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan memang sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi kini pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"
"Ahhhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya.
"Sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, saya merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"
"Apakah sumpahmu ini akan kau penuhi, orang muda?"
"Locianpwe, kalau saya tidak berniat memenuhi sumpah saya, untuk apa sekarang saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah? Kalau kelak saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap sebagai musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhu-nya sudah dapat dia bereskan, walau pun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan pihak Hoa-san-pai terhadap suhu-nya.
"Sekarang bagaimana pertanggung jawabanmu mengenai perbuatan dirimu sendiri, orang muda? Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya.
Diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot bagai kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.....
Komentar