DEWI MAUT JILID 189
Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil.
Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti dimana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!
Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek dan nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.
Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mujijat.
“Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?”
Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.
“Dimana kalau menurut dugaan locianpwe?” tanya Cia Keng Hong sambil menoleh.
Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh.
“Dan dugaan taihiap?” tanya pula Kok Beng Lama.
Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, “telapak kaki”. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.
“Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw,” kata Cia Keng Hong.
Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau,
“Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak di telapak kaki mereka.”
Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?
Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongan sesat, yang berbeda dengan latihan ilmu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sin-kang yang kuat.
Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa.
Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat.
Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri telapak kakinya. Kini, melihat betapa punggung, pantat dan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan!
Jadi, kalau seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.
Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengar bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.
Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi.
Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya.
Baik dalam hal ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.
In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai.
Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur
Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal.
Untuk melindungi dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.
Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya.
Tadi dia menganggap tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki.
Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bertempur dalam jarak yang lebih berdekatan.
Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya.
Cepat bukan main serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.
“Haiiiiitttt...!”
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.
“Hemmm!”
Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kirinya digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.
“Plakk! Krekkk...!”
Tubuh Pek-hiat Mo-ko untuk ke sekian kalinya terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah.
Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah. Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya!
Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya. Bun Houw juga sudah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.
“Ihhh!”
Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah. Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tidak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itupun tidak akan mampu menangkap, maka dia tertawa mengejek.
“Ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?”
“Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana kau dapat melepaskan peganganku!”
Bun Houw juga mengejek dan memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!
Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itupun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang kini memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggap sebagai pertanda akhir hidupnya, kakek yang marah ini menjadi nekat.
Komentar