DEWI MAUT JILID 174
Pohon di tepi padang rumput itu besar dan rimbun sehingga enak duduk beristirahat di dalam bayangannya di siang hari yang terik itu. Akan tetapi kakek tua renta yang sedang duduk di bawah pohon itu agaknya tidak lagi dapat menikmati kesejukan yang diberikan oleh kerindangan pohon itu kepada siapa saja yang berlindung dari panas matahari di bawahnya, karena seluruh perhatian kakek tua renta itu dicurahkan ke atas sebuah papan catur, dan tangannya menjalankan biji-biji catur putih dan hitam silih berganti.
Dia sedang bertanding catur dengan diri sendiri! Kadang-kadang kakek tua renta itu menarik napas panjang seperti orang yang kecewa sekali karena tidak memperoleh musuh bertanding yang tentu akan menggembirakan sekali.
Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir usianya karena sedikitnya tentu sudah ada seratus tiga puluh tahun! Seluruh rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya penuh keriput, pakaiannya serba putih sederhana dan tubuhnya kurus sehingga kelihatan tulang terbungkus kulit yang sudah tipis.
Segala sesuatu pada diri kakek ini kelihatan tua sekali, kecuali sepasang matanya! Sepasang mata itu lembut dan masih jernih, memandang dunia secara terbuka dan seolah-olah tidak ada rahasia lagi bagi sepasang mata yang sudah amat lama memandang dunia ini.
Seorang dara remaja yang cantik duduk di dekatnya. Dara ini usianya kurang lebih lima belas tahun, cantik manis dan pakaiannya juga amat sederhana, bahkan sudah ada dua tambalan di bagian pundaknya. Wajah gadis ini membayangkan bahwa dia memiliki watak yang jenaka dan gembira, namun pandang matanya yang tajam itupun menunjukkan kekerasan hati yang sukar ditundukkan.
Sejak tadi, dara remaja ini menjadi penonton, melihat betapa kakek itu bermain catur sendiri. Akan tetapi lama-kelamaan dia menjadi bosan dan tidak sabar. Kakek ini adalah seorang pemain catur yang ahli, maka biarpun dia sendiri sudah bisa bermain catur, namun dia bukan lawan kakek itu dan dia tidak mau menandingi kakek itu karena akan dapat dikalahkan dengan amat mudah. Kini, sebagai penontonpun dia bosan.
Kembali kakek tua renta itu menarik napas panjang dan wajahnya yang tua itu kelihatan berduka. Kerut-merut di dahinya bertambah dan sepasang matanya ditujukan ke atas papan catur seperti orang melamun. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi dara remaja itu memandang wajahnya dan kelihatan makin tidak sabar.
“Suhu, kalau suhu tidak senang bermain-main catur sendiri, mengapa suhu memaksa diri?”
Teguran ini membuat si kakek seperti orang terkejut dan dia menoleh ke arah dara itu.
“Hemm...? Apa...?” katanya pikun.
“Teecu tahu bahwa suhu suka sekali bermain catur, akan tetapi sudah beberapa hari ini kalau suhu bermain catur, selalu kelihatan berduka dan berulang kali menarik napas panjang. Kalau permainan itu hanya mendatangkan kekecewaan dan kedukaan, mengapa suhu tidak berhenti saja?”
Kakek itu memandang kepada muridnya dan kembali dia menghela napas panjang, lalu bersandar ke batang pohon besar itu dan pandang matanya melayang jauh ke depan. Kakek tua renta ini bukan lain adalah Bun Hwat Tosu, seorang tosu tua sekali yang puluhan tahun yang lalu pernah menjadi ketua Hoa-san-pai, akan tetapi kemudian mengundurkan diri dari dunia ramai dan hidup berkelana ke tempat-tempat sunyi.
Di dalam cerita Petualang Asmara diceriterakan bahwa tosu yang amat lihai ini pernah menjadi guru dari pendekar Yap Kun Liong, kemudian dia menghilang dan tidak ada kabar ceritanya lagi, bertapa di puncak-puncak gunung dan di guha-guha tepi laut. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek ini muncul dan telah menolong Yap Mei Lan, puteri dari Yap Kun Liong. Dara remaja itu adalah Yap Mei Lan yang telah setahun lebih lamanya ikut kakek ini dan menjadi muridnya, sama sekali tidak tahu bahwa kakek yang menjadi gurunya ini adalah guru dari ayahnya sendiri!Mendengar ucapan muridnya itu, Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. Kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri, “Melihat kelemahan diri sendiri, siapa yang tidak menjadi sedih? Sudah puluhan tahun aku berhasil melepaskan keduniawian, tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak menginginkan apa-apa lagi, hidup dengan bebas dan bahagia karena tidak dirongrong oleh pikiran dan keinginan sendiri. Akan tetapi sekarang...!”“Sekarang bagaimana, suhu?” dara itu mendesak sambil menatap wajah tua yang menimbulkan rasa iba di dalam hatinya itu.
“Kau lihat sendiri, aku kegilaan bermain catur! Aku rindu akan adanya seorang lawan bertanding catur, seorang lawan yang kuat, persis seperti kesenangan yang kucari-cari puluhan tahun yang lalu ketika aku selalu mencari-cari seorang lawan bermain silat yang kuat. Dan perasaan ingin ini selalu mengejar-ngejarku, bahkan dalam mimpi! Akan tetapi sampai sekarang aku belum juga mendapatkan lawan yang seimbang dan menyenangkan. Bukankah itu menyedihkan sekali? Ini tandanya bahwa aku sebenarnya belum mati, dan kebebasan yang lalu itu bukan lain hanya mimpi belaka. Kini aku terbangun dan melihat bahwa yang lalu itu hanya merupakan mimpi, maka betapa menyedihkan itu!”
“Memang suhu belum mati.” kata si dara yang menjadi bingung oleh kata-kata yang dianggapnya tidak karuan artinya itu.
“Kalau saja sudah, alangkah baiknya!” kakek itu menghela napas panjang. “Akan tetapi kematian jasmani tidaklah terlalu penting, yang terpenting adalah mati dari semua keinginan dan kehendak, mati aku-nya, mati keinginannya mengejar kesenangan.”
Dara remaja yang cantik itu mengerutkan alisnya yang bentuknya indah seperti dilukis.
“Akan tetapi, suhu. Kalau sudah mati keinginannya, sudah mati kehendaknya mengejar kesenangan, kalau sudah tidak butuh kesenangan lagi, bukankah hal itu sama saja dengan hidup seperti sebatang pohon yang suhu sandari itu? Bukankah hidup lalu tidak ada gunanya lagi?”
Kakek itu tersenyum, senyum yang sudah lama tidak nampak oleh dara itu.
“Justeru sebaliknya, muridku. Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kesenangan sajalah yang dapat menikmati kesenangan yang sesungguhnya! Hanya orang yang sudah tidak ingin mengejar kebahagiaan sajalah yang benar-benar bahagia. Orang yang tidak puas saja yang mengejar kesenangan yang dianggapnya akan mengisi kekosongannya, akan memuaskannya. Akan tetapi setelah yang dikejarnya terdapat, ketidak-puasan itu tetap akan menghantuinya, dirinya akan selalu penuh ketidak-puasan dan hidupnya menjadi sengsara selalu.”
“Akan tetapi, apakah kita lalu harus menentang kesenangan dan menjauhi kepuasan?” dara itu mengejar terus, wajahnya membayangkan penasaran.
“Sama sekali bukan, Mei Lan. Bukan menentang kesenangan, bukan menolak kesenangan, melainkan TIDAK MENGEJAR, tidak memanjakan dan tidak memusuhi. Kalau sudah begitu, barulah segala saat dalam hidup merupakan kesenangan karena hidupnya adalah kesenangan itu sendiri! Bukan menjauhi kepuasan, melainkan tidak menginginkan kepuasan karena kalau sudah demikian, barulah setiap saat merasa puas karena hidupnya adalah kepuasan itu sendiri!”
“Akan tetapi, kalau tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi, bukankah itu sama saja dengan mati?”
“Nah, itulah! Mati dalam hidup! Jasmaninya memang hidup dan baru benar-benar hidup kalau semua keinginan yang timbul dari si aku yang selalu mengejar keenakan dan kesenangan itu telah mati. Dan celakanya, aku sendiri belum mati, yang kusangka sudah mati puluhan tahun ini hanya mimpi belaka! Dan semua gara-gara papan catur ini!” Dia berkata gemas memandang ke arah papan caturnya. “Aku menjadi kegilaan bermain catur, menjadi pecandu catur, bahkan di dalam hati aku telah bersumpah bahwa aku tidak akan mau mati sebelum bertemu dengan seorang lawan catur yang setingkat!”
“Aihhh, sungguh aku seorang tua yang tolol!” Bun Hwat Tosu yang biasanya bersikap halus itu, kini menengadahkan mukanya ke atas, mengepal tinju dan berteriak keras, “Haii, segala dewa! Turunlah dan mari bertanding catur melawan aku!”
Tiba-tiba terdengar suara yang bergema, tidak jelas dari mana datangnya.
“Bagus! Aku datang memenuhi tantanganmu, tua bangka sinting!”
Tentu saja Mei Lan menjadi terkejut bukan main dan biarpun dia tergolong seorang anak yang pemberani dan tidak mudah merasa ngeri atau takut, sekali ini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Benarkah muncul setan atau dewa di tengah hari yang terang dan terik itu? Benarkah suara dewa dari angkasa yang menyambut tantangan suhunya itu? Dia bangkit dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja. Ketika dia menoleh kepada suhunya, dia melihat kakek itu tersenyum memandang ke depan.
Mei Lan mengikuti arah pandang mata gurunya dan dia melihat betapa rumpun ilalang jauh di depan itu bergerak-gerak ujungnya dan nampak bayangan orang berkelebat seperti terbang melayang di atas rumpun ilalang itu! Dia memandang terbelalak penuh kekaguman. Manusiakah yang datang itu? Ataukah dewa? Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia sakti yang sudah pandai terbang di atas rumput, semacam ilmu gin-kang yang sudah mencapai puncak, akan tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan gurunya!
Setelah tiba dekat, ternyata orang itu gerakannya memang bukan main cepatnya dan tahu-tahu di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala gundul, jubahnya yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta!
Pendeta miskin agaknya, menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan keberanian dengan sepasang mata tajam.
Begitu tiba di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya yang lebar itu agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi ketawanya aneh, dan dia sudah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang duduk bersila menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di mulutnya, pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.
“Sobat, benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain catur?”
Bun Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang pandang mata yang aneh, tajam dan agak liar itu.
“Ha-ha-ha, kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi bermain catur denganmu? Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau pemain catur jagoan dan patut dilawan.”
“Ha-ha, sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur,” Bun Hwat Tosu berkata, girang sekali.
“Ahli? Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak ada yang dapat mengalahkan aku!”
Bun Hwat Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali ini dia benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang dirindukannya selama ini! Dan sejenak dua orang kakek itu saling pandang setelah pendeta Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan anak laki-laki yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan, setelah melempar pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh!
Dua orang anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya, antara orang tua mereka masih terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-jaki yang baru datang itu bukan lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya, Cia Giok Keng.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh Giok-hong-cu Yo Bi Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama. Biarpun Lie Seng hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi Kiok, namun akhirnya gurunya dapat memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat tinggal Yok-mo (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie Seng menjadi murid dari Kok Beng Lama.
Seperti kita ketahui, setelah mendengar akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama menjadi sinting dan setengah gila. Maka pada tengah hari itu, secara kebetulan dia lewat di dekat tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat Tosu kepada dewa, maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu.
Adapun di antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biarpun keduanya merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling mengenal dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara kebetulan saja. Andaikata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu bermain catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling berjumpa.
“Ha-ha, kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik, sungguh hatiku girang sekali, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang jago catur seperti engkau.”
“Tosu tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita sudah sama-sama tua bangka, sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih dulu.”
Sambil berkata demikian, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya untuk meraih biji catur yang berwarna putih.
Komentar