DEWI MAUT JILID 169
“Suheng kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua orang murid Lembah Bunga Merah.”
“Hemmm...”
Ciok Lee Kim memandang ke sekelilingnya, ke arah para anak buah Lembah Bunga Merah.
“Subo, kami yang melukainya!” Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju.
Ciok Lee Kim memandang dua orang muridnya itu dengan alis berkerut.
“Apa yang terjadi?” tuntutnya.
“Pemuda itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang Lembah Bunga Merah adalah orang-orang cabul yang tak tahu malu. Kami bertanding melawan dia dan dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa dia itu murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang ajar.”
“Bohong!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu berseru marah. “Kam-suheng menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian perempuan-perempuan jalang yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana sudi menuruti kehendak cabul kalian? Karena suheng menolak, kalian mengeroyok dan melukainya!”
Wajah kedua orang murid Ciok Lee Kim berubah merah.
“Subo, kalau manusia itu tidak menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Subo mendengar sendiri betapa busuk mulut orang-orang ini menghina kita!”
“Perempuan jalang dan cabul!”
Gadis murid Bu-tong-pai yang sesungguhnya adalah pacar dan calon isteri suhengnya sendiri yang tewas itu sudah memekik dan dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini mengelak lalu membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.
Para orang tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai terkenal bagus gayanya dan kuat serta cepat, dan kini Ai-kwi dan Ai-kiauw yang juga menggunakan pedang, setelah lewat lima puluh jurus, terdesak hebat oleh pedang tiga orang murid Bu-tong-pai itu.
“Bu-sute, kau wakili aku tangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!”
Melihat betapa dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-kauw Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju. Biarpun Lima Bayangan Dewa itu tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan hubungan segolongan dan terutama sekali sama-sama menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak mereka memakai nama Lima Bayangan Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak seperguruan.
“Tar-tar-tarrr...!”
Joap-pian atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit meledak-ledak ketika dia menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan dengan keringanan seekor burung, dan tahu-tahu joan-pian di tangannya sudah melecut-lecut dan menyambar-nyambar ganas.
“Tar-tar-tringggg...! Aihhhh...!”
Seorang gadis Bu-tong-pai menjerit dan pedangnya terhempas, dia memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena tangan kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan oleh Ciok Lee Kim untuk menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan robohlah dia terkena totokan wanita yang berjuluk Kelabang Terbang itu.
Dua orang murid Bu-tong-pai yang lain menjadi marah sekali. Mereka berdua saling beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, siap untuk bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu.
“Heh-heh-heh, kalian bocah-bocah ingusan sungguh tidak tahu diri!” Ciok Lee Kim terkekeh mengejek. “Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar guru kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar seperti kalian di hadapan kami.”
“Hemm, kami tidak perduli dengan siapa kami berhadapan!” Pemuda Bu-tong-pai itu membentak sambil melirik sumoinya yang roboh tertotok tadi. “Kami datang untuk menuntut balas atas kematian subeng kami dan untuk itu, kami siap mengorbankan nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!”
“Ciok-suci, bereskan saja mereka ini, habis perkara!” Bu Sit berkata sambil mengayun-ayun joan-pian di tangannya.
“Nanti dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau partai manapun. Ingat?” kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit mengangguk.
“Bocah-bocah Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai dan mau mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian,” kata Ciok Lee Kim.
“Huh, tidak sudi!” Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah.
“Agaknya kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku sendiri saja belum tentu akan dapat kalian menangkan andaikata kalian maju dengan teman-teman kalian sebanyak dua puluh orang! Dia dengan joan-pian mautnya ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan ini, ya? Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di dunia kang-ouw, sedangkan beliau yang ini adalah Hek I Sinkouw, sejajar nama dan terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini? Beliau adalah datuk dari seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang kepandaiannya setinggi Gunung Thai-san! Masih ada sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan Pedang.”
Dua orang murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu lalu menjawab setelah wanita musuhnya berhenti bicara.
“Biarpun engkau akan mengundang semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapi untuk membela kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!”
“Suci, bocah-bocah sombong macam ini kalau tidak dihajar akan makin besar kepala saja!” ucapnya Bu Sit disusul bunyi pecut baja di tangannya yang meledak-ledak dan sinar-sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang murid muda Bu-tong-pai itu.
“Cringgg...! Cringgg...!”
Bunga api berhamburan ketika joan-pian itu tertangkis oleh dua batang pedang, akan tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki gin-kang tinggi sekali itu sudah menyerang lagi, gerakannya cepat bukan main, joan-pian di tangannya lenyap berobah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan mengurung kedua orang muda itu.
Dua orang murid Bu-tong-pai itu terkejut juga, maklum bahwa si muka monyet ini benar-benar lihai, maka mereka memutar pedang melindungi tubuh mereka sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang.
Akan tetapi karena memang tingkat mereka kalah tinggi, gin-kang mereka jauh kalah cepat dan tenaga lwee-kang merekapun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus saja mereka sudah terhimpit dan terancam hebat oleh sinar senjata joan-pian itu.
Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang saputangan suteranya, ujung kedua saputangan menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan saputangan merah. Mereka mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terguling dengan lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.
“Ciok-suci, sebaiknya dibunuh saja mereka ini!” kata Bu Sit sambil mangamang-amangkan joan-piannya.
“Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!” Ciok Lee Kim mencegah.
“Ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di sana!”
Bu Sit berkata dan kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang gadis cantik murid Bu-tong-pai itu. Di dalam benaknya yang kotor terbayang betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan.
“Mengapa mereka harus dibunuh?” Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara. “Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak murid Bu-tong-pai, sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu.”
Bun Houw sejak tadi sebetulnya sudah siap. Andaikata dia melihat tiga orang murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi dia sudah siap-siap untuk membantu dan menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Kalau urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja dengan penuh perhatian.
Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan mata disipitkan, alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah,
“Ciok-suci, engkau sendiri tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan pendapat orang lain!”
Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata,
“Sebaiknya mereka ditahan dulu dan mari kita bicara hal ini di dalam saja,” katanya sambil memberi isyarat dan orang-orangya lalu dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw menyeret tubuh tiga orang murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat.
Kemudian dua orang murid Ciok Lee Kim setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah untuk menjaganya, lalu kembali ke ruangan karena mereka ingin mendengarkan kelanjutan percakapan tadi.
Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena mereka merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek itu!
Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya. Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk membawa buntalannya.
Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba terdengar suara tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi dan Ai-kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa. Kemudian kedua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!
“Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka memanggil kami...!” Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.
“Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!”
Ai-kiauw juga berkata sambil berebut dengan sucinya untuk menciumi wajah yang tampan itu.
“Plak! Plak!” kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung kedua orang wanita itu.
Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang ujung hidung merupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja menjadi remuk dan lenyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka.
Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw sudah menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan tanpa mampu mengeluarkan suara sebelumnya. Cepat Bun Houw menotok jalan darah mereka, dan setelah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu, khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu disiksa atau dibunuh.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan yang telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dan luka-luka hebat, ada yang patah tulang, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata,
“Tahanan... lari... ditolong setan...!”
Komentar