DEWI MAUT JILID 166

 “Desss...!” 

Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sin-kangnya molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia terjengkang.

“Ehhhh...!” 

Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, kemudian mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorangpun. 

Bulu tengkuknya meremang. Dia dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apalagi yang dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri!

“Cuattt... cuattt...!” 

Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur seperti kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu. 

Lie Seng berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekalipun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika

Tranggg...! Trakkk!” 

Tiba-tiba dua helai sinar pedang itu manyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di depan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong.

Melihat betapa yang menyambar dua batang pedangnya itu hanya dua buah batu kecil, Bi Kiok hampir tidak dapat percaya dan dia sudah menjadi marah sekali ketika melihat munculnya seorang laki-laki tua sekali yang berkepala gundul dan memakai jubah berwarna merah. 

Seorang pendeta Lama berjubah merah yang muncul dari balik pohon sambil tertawa-tawa aneh dan matanya memandang liar berputaran, mata seorang yang jelas tidak waras alias miring otaknya!

“Pendeta gila, engkau berani main gila padaku?” bentak Bi Kiok sambil melompat ke depan. 

Wanita ini biarpun telah menemukan warisan ilmu yang hebat-hebat dan telah menjadi seorang yang sukar ditemukan tandingannya, namun dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga tidak mau melihat kenyataan bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, jauh lebih pandai daripada dirinya sendiri. 

Dengan kemarahan hebat kedua tangannya bergerak dan menyambarlah sinar hijau yang berbau harum ke arah kakek gundul itu. Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum) yang amat berbisa dan berbahaya sekali.

Bi Kiok terbelalak memandang betapa senjata rahasianya yang berupa pasir itu jelas mengenai tubuh dan bahkan leher serta muka kakek itu, akan tetapi agaknya yang terkena senjata rahasianya itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, jangankan keracunan, bahkan sedikitpun tidak meninggalkan bekasnya. Kakek itu masih tertawa-tawa dan berkata kepada Lie Seng, suaranya besar parau, logatnya kaku seperti lidah asing.

“Anak baik, kenapa mukamu yang tampan menjadi bengkak-bengkak?”

Lie Seng yang masih kecil itu sudah seringkali melihat orang-orang tua yang pandai, bahkan kakeknya sendiri adalah ketua Cin-ling-pai yang sakti. Dia sering mendengar cerita ayah bundanya tentang orang-orang pandai. Tadipun ketika beberapa kali dia berhasil menghantam wanita itu, dia sudah merasa heran, kemudian melihat pisau terbang yang mengancam nyawanya terpukul runtuh lalu muncul seorang kakek gundul, dia sudah menduga bahwa ada orang yang telah menolongnya dan penolong itu tentu bukan lain kakek gundul itu yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Maka dia lalu menjawab, suaranya lantang, 

“Locianpwe, mukaku dipukuli oleh perempuan iblis ini!”

Ketika kakek gundul ini yang bukan lain adalah Kok Beng Lama, datang bersama Kun Liong ke Sin-yang dan memaksa Cia Giok Keng ikut dengannya ke Cin-ling-pai, Lie Seng masih berada di dalam rumah sehingga dia tidak pernah bertemu dengan Kok Beng Lama. Andaikata ketika itu dia melihat pendeta ini, tentu sekarang akan lain lagi sikapnya.

“Ha-ha-ha, orang memukul satu kali harus dibalas sepuluh kali! Tadi kau baru membalas tiga kali, kurang tujuh kali lagi. Hayo kau pukul dia tujuh kali dan karena tadi mukamu yang dipukul, sekarang kau pun harus membalas memukul mukanya!”

Lie Seng merasa gembira sekali. Dia merasa yakin kini bahwa tentu berkat pertolongan hwesio jubah merah inilah, maka dia tadi berhasil memukul dua kali dan menyeruduk satu kali yang sama sekali tidak dapat ditangkis atau dielakkan oleh wanita lihai itu.

“Baik, aku akan membalasnya sampai puas!” teriak Lie Seng dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang ke arah Yo Bi Kiok dengan pukulan-pukulan kedua tangannya ke arah kedua pipi wanita itu. 

Tentu saja Bi Kiok menjadi marah bukan main. Mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali. Mana mungkin dia membiarkan dirinya dihina orang sedemikian rupa. Dia mengerahkan sin-kangnya dan siap menghadapi serangan anak itu. 

Akan tetapi ketika dia menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua tangan dan hawa pukulan yang luar biasa sekali menyerangnya dari arah kakek itu. Dia masih berusaha untuk mengelak, akan tetapi sia-sia belaka karena entah bagaimana caranya, kedua tangan dan kakinya telah menjadi kaku dan dia tidak mampu menggerakkan sin-kangnya lagi. 

Tentu saja dia tidak mampu mengelak atau menangkis ketika kedua tangan Lie Seng menghantam dan menampari kedua pipinya. Terdengar suara plak-plok-plak-plok ketika kedua pipinya yang berkulit halus kemerahan itu menerima tamparan-tamparan Lie Seng yang marah itu sehingga kedua pipiya menjadi merah sekali dan agak bengkak-bengkak! 

Hal ini adalah karena Bi Kiok sama sekali tidak mampu mengerahkan tenaganya maka dia tiada ubahnya seorang wanita biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.

“Satu...! Dua...! Tiga...! Empat...!” Kakek gundul itu menghitung sambil tertawa-tawa.

“Enam...! Tujuh...! Cukup sudah...!” 

Lie Seng merasa puas sekali dan dia melihat ke arah muka yang kini pipinya menjadi merah-merah dan agak bengkak itu dengan senyum mengejek.

Bi Kiok juga merasa betapa tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak lagi. Dapat dibayangkan betapa rasa marah dan malunya. Dia telah mengalami penghinaan yang amat hebat! Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa takut biarpun dia kini tahu betul bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dengan kemarahan meluap-luap dia lalu mencabut pedangnya.

“Singgg...!” 

Tampak sinar terang seperti kilat menyilaukan mata ketika pedang itu dicabut. Itulah pedang Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar) yang dahulu dirampasnya dari tangan mendian Liong Bu Kong, putera dari Kwi-eng Nio-cu yang tewas di tangannya dan yang dirampas pedangnya. Sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali.

“Pendeta iblis, mampuslah kau!” bentaknya dan pedangnya lalu digerakkan, dia sudah menyerang dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab yang ditemukan berkat perantaraan bokor emas.

Melihat serangan ini, Kok Beng Lama agak terkejut juga karena dia mengenal ilmu pedang yang amat hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apalagi karena ilmu yang hebat itu dimainkan dengan sebatang pedang pusaka yang ampuh. 

Karena wanita itu kini sudah waspada dan sudah menjaga diri, dia tidak lagi dapat menguasainya dengan serangan jarak jauh dan kalau dia tidak membela diri, dia bisa celaka oleh sinar pedang yang hebat itu. Akan tetapi, kakek ini memang sudah memiliki kepandaian yang sakti dan tidak lumrah manusia, kedua lengan tangannya sudah digembleng sedemikian hebatnya sehingga lengan yang terdiri dari kulit daging dan tulang itu mampu menandingi pedang atau senjata tajam yang bagaimana hebatpun! 

Betapapun juga, Kok Beng Lama yang kelihatannya seperti tidak waras otaknya itu, kini mengelak dan menggunakan ujung lengan bajunya untuk balas menotok dan sekali kedua ujung lengan bajunya menyambar, dia sudah melakukan tiga belas kali totokan ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya, dilakukan berturut-turut dan bertubi-tubi sehingga Bi Kiok menjadi terkejut dan kagum sekali. 

Akan tetapi, setelah kini dia mencurahkan perhatian dan mengeluarkan kepandaiannya, wanita inipun mampu menghindarkan semua totokan itu. Bahkan dengan teriakan panjang melengking, tubuhnya lalu melayang seperti seekor burung walet, didahului sinar pedang seperti kilat menyambar yang bergulung-gulung dan berputaran ke arah tubuh kakek itu.

Kok Beng Lama masih sempat mengelak, akan tetapi pada saat itu, Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kiri dan serangkum sinar hijau melayang ke arah Lie Seng.

“Wanita kejam, kau boleh juga!” 

Kok Beng Lama berseru dan kini dia menubruk, kedua lengan bajunya bergerak berputaran seperti kitiran besar tertiup angin. Bi Kiok berusaha untuk menjatuhkan diri sambil memutar pedang, akan tetapi pedangnya terpental ketika tersampok ujung lengan baju dan dia menjerit kecil ketika pundaknya keserempet ujung lengan baju lawan yang mendatangkan rasa nyeri bukan main. Dia meloncat tinggi dan jauh terus melarikan diri.

Kok Beng Lama hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar rintihan seorang anak. Dia berhenti dan menengok, lalu cepat menghampiri Lie Seng yang sudah roboh terlentang dengan muka berubah kehijauan. Anak ini telah terkena sambaran Siang-tok-swa, yaitu pasir beracun yang amat jahat itu, tepat pada muka, leher dan dadanya! Tentu saja dia menjadi pingsan seketika, keracunan dan napasnya menjadi empas-empis!

“Ah, celaka...!” 

Kok Beng Lama menyambar tubuh anak itu, dipondongnya dan dia lalu mengamuk. Pohon-pohon roboh ditendang dan dicabutnya, batu-batu besar hancur oleh pukulan dan tendangannya, kemudian dia berlari cepat seperti terbang membawa tubuh Lie Seng.

Yo Bi Kiok yang cerdik, setelah meloncat jauh lalu bersembunyi karena dia maklum bahwa kakek gundul yang lihai seperti iblis itu kalau mengejarnya tentu dia tidak akan mampu melarikan diri. Dari tempat persembunyiannya dia melihat betapa kakek itu memondong Lie Seng sambil mengamuk. Bergidik dia menyaksikan amukan kakek itu. Selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang kepandaiannya sehebat itu. 

Kalau dibandingkan dengan lima datuk kaum sesat di waktu dahulu, biarpun mereka itu amat hebat kepandaiannya dan seorang di antara mereka adalah gurunya sendiri, Bu Leng Ci, maka kepandaian lima datuk itu masih kalah jauh oleh kakek gundul yang luar biasa dan yang seperti orang gila ini. 

Setelah kakek itu pergi jauh dan terdengar suara tangisnya yang aneh sampai suara itupun menghilang, barulah Bi Kiok berani keluar dan pergi dari tempat itu dengan hati masih merasa serem.

SELANJUTNYA 

Komentar