DEWI MAUT JILID 161
“Bagaimana ji-wi locianpwe?” Bun Houw mengejek. “Kalian memilih aku mengamuk dan membunuhi semua orang disini ataukah menukar aku dengan nona itu?”
Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan.
“Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,” kata Pek-hiat Mo-ko.
“Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,” kata Hek-hiat Mo-li.
“Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.”
Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan,
“Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.”
Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan.
“Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,” kata Pek-hiat Mo-ko.
“Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,” kata Hek-hiat Mo-li.
“Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.”
Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan,
“Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.”
Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat.
“Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah.”
Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina.
“Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mau menyerah?”
“Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjani dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!”
“Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!” kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. “Mo-li, bebaskan nona ini!”
“Eh, eh, nanti dulu, Moli!” Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. “Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!”
“Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!” Hek-hiat Mo-li menjawab. “Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!”
Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.
Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.
Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya.
“Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu.” Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.
Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw.
“Houw-ko... tidak boleh begini...” katanya dengan suara berbisik.
“Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!”
“Tapi... tapi... kau...?”
“Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua keselahanku yang sudah-sudah...”
“Houw-koko!” In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. “Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!”
“Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka.”
“Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?” bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.
“Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu,” kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.
Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.
“Nah, sekarang aku menyerah.”
“Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!” Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.
“Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!” kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.
Bun Houw mengangguk.
“Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja.”
Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya,
“Biar kuikat saja dengan ini.”
Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Bebaskan dia!”
“Hong-moi...!”
Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong!
Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.
“Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!”
Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang.
Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.
“Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!”
Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa.
Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.
“Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?”
Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.
“Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?” Pek-hiat Mo-ko berkata.
Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru.
“Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!”
Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab,
“Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!”
Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.
“Hong-moi, pergilah...!” kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka.
Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu.
Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena kemanapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!
In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.
Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus!
Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!
“Mundur!” teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.
Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula.
Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!
“Dukk! Dukk!”
Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, dan kedua orang muda itu mengeluh dan tak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka telah pingsan.
Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan setelah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekalipun!
“Mengapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe,”
Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko setelah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.
Pek-hiat Mo-ko tersenyum.
“Biarpun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang amat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman.”
Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang amat hebat.
“Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!”
Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan.
“Ampun... maafkan kalau saya salah bicara...”
Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat dengan mukanya.
“Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!” Dia lalu mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. “Sekarang, engkau dan isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!”
Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu mempunyai tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.
Komentar