DEWI MAUT JILID 159

 Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga.

Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga. 

Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!

Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. 
Cari lampu penerangan hajat? klik disiniCari keripik pisang banten klik disini jajanan nikmat ADA di sini

Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.

Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.

“Bukkkk...!” 

Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.

Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! 

Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.

Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring, 

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!”

Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. 

Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.

“Ha-ha-ha, bocah sombong!” 

Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.

“Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!” Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.

Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. 

Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata, 

“Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan cara yang amat tercela? Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan akal pancingan?”

“Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!” Hek-hiat Mo-li mengejek. “Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!”

“Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan seluruh Cin-ling-pai!” kata Bun Houw tenang. “Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!”

Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! 

Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari dua orang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, 

“Subo...”

Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, 

“Si Kwi, ke sinilah engkau!”

Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.

“Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kau bilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!” kata Hek-hiat Mo-li.

“Nanti dulu, Mo-li!” Hek I Siankouw membantah. “Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?”

“Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi...” Dara itu mellrik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.

“Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini, kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan...”

“Bohong...!” Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. “Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!”

“Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, betapa asyiknya... dan sekarang masih memutar balikkan omongan!” kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Benar! Kami berdua melihatnya!” jawab Coa-tok Sian-li dengan tegas.

“Bohonggg...!” Si Kwi menjerit lagi.

“Diam kau, Si Kwi!” Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, “Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!”

“Heh-heh, itu benar sekali!” Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, “Dia benar masih perawan!”

“Hemm...” Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. “Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku telah berjina dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?”

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!

“Akan tetapi dia... dia hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bisa melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?” kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu.

Kembali Hek I Siankouw meragu. 
“Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercayai omongan manusia-manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!” Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.

“Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!”

“Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!” Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. “Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu...”

“Tutup mulutmu, perempuan cabul!” teriak Hek I Siankouw.

“Engkau yang harus tutup mulut!” teriak Coa-tok Sian-li. 

Dua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.

“Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!”

“Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!” kata pula Pek-hiat Mo-ko.

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. 

Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.



SELANJUTNYA 

Komentar