DEWI MAUT JILID 152

 
“Kita malam ini harus dapat tiba di dusun depan itu,” kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke depan. “Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.”

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, 

“Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihat di sana itu, bukankah itu kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya.”

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. 
“Biarpun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!”

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan agar mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.

Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang di kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu telah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput. Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat tubuhnya disedot ke bawah!

Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan diapun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

“Kalian diam...! Jangan bergerak sedikitpun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!” 

Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu. Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. 

Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi betapapun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

“Satu demi satu!” Kiat Bwee tidak kehilangan akal. “Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!” 

Dua orang yang sudah ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan di ujung tali lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat dan jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Wanita itupun memegangi tali seperti gila, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung.

Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

“Jangan bergerak!” 

Kiat Bwee berseru keras dan marah, akan tetapi wanita itu makin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanyapun terbenam, tinggal kedua lengan yang masih meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itupun tidak lama karena segera kedua tangan itupun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.

Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan itu, dan tiba-tiba wanita kedua itupun menjerit-jerit, 

“Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!”

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya membantu. Dengan pengerahan tenaga, mereka dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sukar mencabut tubuh itu, apalagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit seperti orang gila. 

Akhirnya wanita itu yang meronta-ronta seperti gila akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee dan teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

“Aaihhhhh...!”

“Hiiiiihhhhh...!”

Jeritan-jeritan mengerikan terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di bawah pakaian itu kelihatan banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! 

Dari dada sampai ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu. Pantas saja wanita itu menjerit-jerit, kiranya selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia dikeroyok ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit dan daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak! 

Biarpun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah itu dari tubuh teman mereka, namun wanita itu tidak dapat hidup lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya, tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi berbahaya dan mematikan juga!

Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata, 

“Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus makin berhati-hati.”

Mereka kini menggunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang teman mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata, 

“Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh.”

Rombongan yang sudah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka, sampai akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan mereka sehingga mereka tidak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai saputangan merah dan dicabik-cabiknya saputangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil dan setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan saputangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. 

Memang wanita ini cerdik sekali. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, maka dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua “dinding” alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai! 

Banyak pasang mata pria yang terbelalak dan dengan mulut menyeringai dan mengilar, para anak buah Padang Bangkai memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!

Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu menyerang mereka dengan ganas!

“Awas, mundur...!” 

Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang sejak tadi dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerangnya. Akan tetapi anak buahnya yang terkejut itu menjadi panik dan terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

“Mundur...!” 

Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak, akan tetapi kembali dua orang memekik dan roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang laki-laki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggauta Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee. 

Tentu saja mereka tidak mampu menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu telah dibersihkan oleh anggauta Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.

Terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu sudah kelaparan agaknya. 

Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, dan akhirnya lima ekor harimau buas itu menggeletak mati, akan tetapi di fihak rombongan itupun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran dan gigitan harimau buas itu, belum dihitung beberapa orang yang terluka!

Kemudian terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita dan dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh dan meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, namun segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.

Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka telah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi. Di depan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka ini bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

“Ha-ha-ha-ha!” 

Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

“Inikah pemimpinnya?” terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ, anak buahnya yang wajahnya serem-serem dan bertubuh besar-besar dan yang berdiri menyeringai dengan wajah girang. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

“Benar, twako!” jawab seorang di antara mereka. 

Mereka semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, akan tetapi anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak memperdulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

“Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, mengapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?”

Bhe Kiat Bwee menjawab berani, 
“Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong.”

“Hemm, suamiku, kau memang tolol. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang? Mereka adalah anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?” 

Coa-tok Sian-li berkata, suaranya halus dan ramah sungguhpun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

“Ha-ha-ha, kau benar, isteriku! Kau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?”

“Namaku Bhe Kiat Bwee.”

“Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?”

“Dia adalah pelayan kami.”

“Pelayan? Pelayan saja? Wah, kenapa pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?” Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

“Membunuh mereka sekarangpun belum terlambat, twako.” kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia sudah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

“Plakk! Aduuuuhhh...!” 

Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li, ketika nyonya itu menangkisnya. Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan ketika tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

“Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?” 

Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masih berseri dan mulutnya masih tersenyum.

“Ampunkan saya, twanio...” Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

“Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!” kata pula nyonya itu dan si mata merah mengangguk-angguk, kemudian bersama seorang kawan lain dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

“Ha-ha-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan inipun kelihatannya boleh juga!” Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

“Breeeetttt...!” 

Sekali dia merenggutkan dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

“Ha-ha-ha, benar dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!” perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

“Mereka ini adalah musuh-musuh kita,” kata pula Coa-tok Sian-li, “Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!”

Para anak buah itu bersorak girang dan seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jerit dan rintih di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali! 

Dua belas orang wanita anggauta Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara daging dan arak, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan daripada kebuasan binatang liar manapun juga! 

Sukar untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Makin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, makin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, makin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka sebagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri dan juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buas, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. 

Akan tetapi, kalau dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi. Di dalam kamar ini, suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga sedang berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu berahi yang menjijikkan dimana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka! 

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li telah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee dan dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan dua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu berahi mereka, dalam keadaan setengah sadar mereka itu memenuhi segala keinginan suami isteri itu melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu membuat mereka malu bukan main. Namun, mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka dapat melakukan apapun juga untuk melampiaskan dorongan mujijat yang membangkitkan gairah nafsu berahi mereka.

Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar dan tak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari dua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu, sampai akhirnya teriakan-teriakan itu makin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali dan yang terdengar hanya suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar dan Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. 

Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya!


SELANJUTNYA 

Komentar