DEWI MAUT JILID 148
Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam. Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!
Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri.
Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apapun juga!
Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka!
Setelah menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung!
Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinai isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu.
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.
Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda.
Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.
Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.
Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang.
Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya.
Sekarang dia melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah memperlihatkan sikap manis.
Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!
Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung menuju ke istana dimana terdapat kamar kaisar!
Yang lain-lain dia tidak perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar! Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik.
Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu!
Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu telah menerjang pintu kamar kaisar!
“Sing-sing-singgg...!”
Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!
“Sri baginda, cepat lari...!”
In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.
“Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!”
Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang berbahaya.
Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!
“Desss...!”
Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.
“Sri baginda, cepat lari...!”
In Hong berseru lagi. Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan kaisar dan menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.
“Dukkkk!”
Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa dalam melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.
Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.
“Lari...! Lari...!” teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.
“Celaka...!” In Hong berteriak ngeri.
“Krakkk!!”
Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu.
“Aihhhh...!”
Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali! Kiranya “kaisar” itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu!
Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li.
Biarpun orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan orang seperti dewa saktinya itu!
“Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!”
Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara kaisar ini!
In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata,
“Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!”
Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta.
“Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!”
“Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemm, kita tangkap saja dia!” Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.
“Dessss!”
In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.
In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang.
Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan andaikata tadi jarum dari dalam kepala kaisar itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.
“Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!” nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.
Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.
“Dukk! Desss!”
Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai dada dan lambung, akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, malah cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.
“Plakkk!”
Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak mampu bergerak.
Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi berserabutan masuk dari pintu dan jendela.
“Mo-ko, kau pondong dia!” teriak Hek-hiat Mo-li sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya, Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.
“Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!” teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu.
Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan dan terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.
“Kejar...!”
Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Namun gerakan kakek dan nenek itu memang hebat sekali, gin-kang mereka jauh lebih sempurna daripada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.
“Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!”
“Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!”
Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panahpun tidak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang berkepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu, namun dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!
Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong dan memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorangpun pengawal yang berani menyerang mereka!
Dengan “perisai” hidup istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara inipun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap.
Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!
“Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!” antara lain kaisar yang marah itu berkata. “Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Kalau dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!”
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang seperti iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga dan dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai?
Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja!
Komentar