DEWI MAUT JILID 143

 
“Ahhh...!”

Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri!

Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu menggeleng-geleng kepalanya. 

“Jadi kembali gara-gara cinta...” Nenek Sie Biauw Eng berbisik. “Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka.”

“Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga.”

Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.

“Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?” Cia Keng Hong bertanya.

“Benar, ayah.”

“Dan Siang-bhok-kiam...”

“Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku.”

“Eh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?” Ibunya membentak.

“Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu.”

“Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan.” Cia Keng Hong mengomel.

“Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam.”

Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. 
“Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?”

“Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!” bantah isterinya.


“Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, perduli apa kita?” Cia Keng Hong membantah.

“Tapi...” bantah isterinya.

“Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?”

“Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai bertanggung-jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!”

“Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab dan aku yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini.”

Ibunya mengerutkan alis. 
“Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh malang sekali nasib encimu, Houw-ji.”

“Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana.”

“Ahh! Dimana cucuku itu?” Cia Keng Hong bertanya girang.

“Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong.”

Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.

“Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu...” 

Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan batin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk.

“Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku,” kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. 

Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!

Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman. 

Percakapan tertunda sebentar, setelah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, 

“Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahmu baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, disini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka.” 

Dia berhenti dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.

“Siapa, ibu?”

“Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The Hoo dan...”

“Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng si kembar itu!”

Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.

“Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka,” kata pula Sie Biauw Eng.

“Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!” kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan!

“Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!” 

Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.

Ibunya tertawa. 
“Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji.”

“Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai.”

“Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan dia cerdas sekali, juga gagah perkasa seperti ibunya, selain itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu...”

“Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?” 

Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.

Disini ayahnya turun tangan mencampuri. 
“Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh...”

“Ehh? Ikatan jodoh...?” Hati Bun Houw berdebar keras.

“Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!”

“Ibu...!” 

Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepada puteranya untuk menenangkan diri. 

Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian... kemudian teringatlah dia betapa mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung.

“Houw-ji...!” 

Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya.

“Maaf, ayah dan ibu...”

“Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata,” kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.

“Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu...”

Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia! Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah “bertunangan” dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!

“Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih,” sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. “Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya.”

“Ibu...!” Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.

“Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu,” sambung pula ibunya.

“Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?” Keng Hong berkata dengan tenang mendesak.

“Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan.”

“Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?” Ayahnya mencela. “Ikatanmu dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih.”

“Akan tetapi jangan lama-lama, anakku,” kata Biauw Eng. “Aku sudah ingin sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!”

Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya.

“Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu.”

“Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!” ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. “Engkau hampir tidak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama Tibet sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat pergi!”

“Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kau selesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga.”

Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.


SELANJUTNYA 

Komentar