DEWI MAUT JILID 141

 Mereka berdiri, saling berhadapan dan sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.

“Kau...”

“Kau...”

Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.

“Hemm, kiranya engkau Cia Bun Houw!” 

In Hong kemudian berkata dan membuang pandang mata ke atas, ke arah daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.

“Ya...”

“Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!”

“Ya...”

“Engkau pura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa.”

“Ya...”

“Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai akupun tertipu.”

“Ya... tapi...”

“Sungguh cerdik sekali!”

“Hemm...”

“Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau berpakaian kulit domba.”

“Ahh...”

“Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada...”

“Kepada seorang dara pendekar yang lihai...”

“Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!”



“Eh, aku salah lihat... eh, salah duga...”

“Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!”

“Eh, dengar dulu...”

“Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama...”

“Ya, suhu Kok Beng Lama.”

“Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?”

“Ya...”

“Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!”

“Heiii...”

“Cia Bun Houw itu adalah seorang laki-laki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!”

“Eh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan.”

“Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh...”

“Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ah, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?”

“Siapa menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa.”

“Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya menyangka engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Kiranya subomu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan.”

“Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat selamanya?”

“Ehhh...?” 

Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja. 

“Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan.”

Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. 
“Cia Bun Houw! Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tak tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?” 

Wajah In Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.

Akan tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab, “Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tidak menerima ikatan jodoh dengan gadis manapun dan tentang gadis yang kau katakan kurayu dan kutinggalkan dan lupakan...”

“Hemm, sungguh berani mati. Tidak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san.” In Hong menantang.

Bun Houw makin terheran dan terkejut. 
“Cin-ling-san?” 

Tentu saja dia terkejut. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia ke sana?

“Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai...”

“Eh, kau maksudkan menjumpai ayah dan ibuku?” Bun Houw tentu saja menjadi girang sekali.

“Ya dan engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabmu!”

Bun Houw menjadi girang sekali. 
“Baik, mari kita pergi. Aku memang ingin kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu tentu akan girang sekali menerima kedatanganmu.”

“Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan...” In Hong tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima dan hatinya menjadi panas lagi.

“Melainkan... apa, Hong-moi?”

“Kaulihatlah saja nanti!” 

In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka, membuat Bun Houw makin terheran-heran akan sikap gadis ini. Akan tetapi betapapun juga, hatinya gembira bukan main karena dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.

Akan tetapi, perjalanan itu ternyata tidaklah begitu menyenangkan seperti yang dibayangkannya. Benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapapun dia berusaha untuk menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-ling-san. 

Sikap yang dingin kaku dari gadis ini dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga dan mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima. Apakah Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di Tibet, mana mungkin bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali gadis dusun itu melakukan perjalanan sejauh itu. 

Pula, tidak mungkin Yalima berani selancang itu menyusulnya ke Cin-ling-san. Pula, sesungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan Yalima. Hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah, betapapun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang.

Ketika pada suatu pagi mereka tiba di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini karena terjadi keraguan di hati masing-masing. In Hong yang teringat akan kunjunganya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia, kekurang-ajarannya, merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda itu. 

Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-ling-san.

Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu tampak oleh Kwee Siong, seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia sudah tahu bahwa kakaknya, Kwee Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw pulang. Diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.

“Twako... twako... celaka, twako...!” 

Kwee Siong yang berusia lima belas tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.

“Eh, adik Siong, ada apakah?” Kwee Tiong bertanya khawatir. “Apa yang terjadi?”

“A Siong, kau kenapakah?” kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.

“Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang...”

“Ahhh...!”

“Ihhh...!”

Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu amat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata, 

“Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kau tunggu saja di sini.”

“Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, yang bertanggung jawab kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu akan dapat memaafkan kita.”

“Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...” cegah sang suami.

“Dan hatikupun tidak akan tenteram membayangkan engkau sendirian menghadapi kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan matipun bertiga!”




SELANJUTNYA 

Komentar