DEWI MAUT JILID 122
Raja Sabutai bertepuk tangan memuji.
“Cukup...!” teriaknya, “Kami menerima bantuan guru dan murid Giok-hong-pang!”
Biarpun fihak Wang Cin masih penasaran, namun mereka tidak berani melanjutkan pertandingan itu. Apalagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan jerih.
Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang perajurit wanita para anggauta Giok-hong-pang yang sudah siap di luar bentengpun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa.
Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat bicara empat mata.
Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok memegang tangan muridnya dan tertawa girang.
“Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat, kini dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Kalau kelak dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi pula.”
In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
“Begitu mendengar akan peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan membantumu agar engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu...”
“Ehh? Apa maksud subo...?” In Hong terkejut dan memandang gurunya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan makin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
“In Hong, kau kira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu.”
“Tidak... tidak ada apa-apa...”
In Hong menjadi merah sekali mukanya dan dia mencoba untuk menyangkal dan menggeleng kepala.
Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias wajahnya.
“Aihh, muridku. Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba katakan, kemana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau memperoleh pedang di pinggangmu itu?”
“Ini... ini... memang kutukar...”
In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
“Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku setuju dengan pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulang sejarah gurumu. Engkau tidak boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda dahulu. Apa yang telah kau pilih harus kau pertahankan mati-matian. Oleh karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku telah turun tangan menyerang setiap orang wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu.”
“Ohhhh...!” In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. “Jadi... jadi subo telah membunuh orang?”
“Hemm, apa salahnya? Gadis dusun itu kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh.”
In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan benar-benar ada orang terbunuh, hanya yang membunuh adalah subonya yang disangka dia.
“Kenapa, muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?”
In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata,
“Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu...”
“Hi-hi-hik!” Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. “In Hpng, engkau seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana aku tidak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh dengan dia.”
“Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu.”
“Baiklah, sekarang kita bicara tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!”
In Hong terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak suka membantu raja liar itu, apalagi melihat betapa raja itu dibantu oleh orang-orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan teman¬-teman mereka itu. Akan tetapi, dia tidak berani secara berterang menentang subonya, maka tanpa banyak cakap dia mengikuti subonya menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, Khamila yang kelihatan cantik jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasa nampak pada wajah seorang calon ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, karena selain ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
“Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong.” Raja Sabutai berkata dengan girang, “Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila.”
Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, sedangkan Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama kepada In Hong dia memandang kagum.
“Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu paduka,” Yo Bi Kiok berkata.
“Ah, pangcu mengapa bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih dulu?”
“Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka,” kata Yo Bi Kiok.
“Ceritakanlah.”
Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius.
“Menurut pendapat saya, tidak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke selatan.”
“Eh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?”
“Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru.”
“Hehhh...?” Raja Sabutai berseru kaget. “Kenapa tidak ada berita dari para penyelidik kami?”
“Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tidak ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja.”
“Ihhh...!”
Khamila cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan saputangannya, akan tetapi In Hong yang sejak tadi memandangnya, melihat betapa ketika mendengar ucapan gurunya ini, ratu itu menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai menengok kepada isterinya, menyentuh lengan isterinya sebagai tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata,
“Harap kau lanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?”
“Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?”
Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata,
“Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!”
“Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya.
“Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...”
“Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...”
“Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok mengangguk-angguk.
“Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.”
Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk.
“Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.”
In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab,
“Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!”
“Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?”
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas.
“Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh.
Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong,
“Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.”
Biarpun fihak Wang Cin masih penasaran, namun mereka tidak berani melanjutkan pertandingan itu. Apalagi, dua di antara tiga Bayangan Dewa sudah mengenal kelihaian Yo Bi Kiok, dan menyaksikan pukulan terakhir yang dilakukan oleh In Hong tadi, bahkan Bouw Thaisu sendiri menjadi terkejut sekali dan jerih.
Demikianlah, mulai hari itu, In Hong dan Yo Bi Kiok diterima menjadi pengawal-pengawal Raja Sabutai, bahkan lima puluh orang perajurit wanita para anggauta Giok-hong-pang yang sudah siap di luar bentengpun lalu diterima menjadi pasukan pembantu dan diperlakukan dengan hormat di dalam benteng sebagai pasukan istimewa.
Yo Bi Kiok yang seperti juga In Hong telah dapat menarik rasa suka di hati Raja Sabutai, diberi kamar yang mewah tak jauh dari kamar raja sendiri, dan ketua Giok-hong-pang ini lalu mengajak muridnya ke dalam kamarnya agar mereka dapat bicara empat mata.
Begitu memasuki kamar dan menutupkan pintunya, Yo Bi Kiok memegang tangan muridnya dan tertawa girang.
“Bagus, engkau telah memperoleh kemajuan pesat, kini dapat menjadi pembantu Raja Sabutai. Sungguh tepat tindakanmu ini, muridku. Selagi muda engkau memang harus mencari kedudukan dan aku sudah mendengar akan kekuatan Raja Sabutai yang telah menawan kaisar. Kalau kelak dia berhasil merampas kerajaan dan menjadi kaisar, engkau tentu memperoleh kedudukan tinggi pula.”
In Hong diam-diam merasa terkejut. Sama sekali bukan itulah maksudnya menyelundup ke dalam benteng ini. Dia memasuki benteng ini sesungguhnya dengan niat melindungi kaisar yang tertawan di samping hendak menentang Bun Houw. Akan tetapi dia hanya mendengarkan gurunya bicara terus, tidak berani membantah.
“Begitu mendengar akan peristiwa ini, aku lalu mengajak semua anak buah kita ke sini untuk membantu Raja Sabutai. Inilah saatnya yang amat tepat untuk mencari kedudukan. Setelah berhasil nanti, jangan khawatir, muridku, aku akan membantumu agar engkau dapat menikah dengan pemuda tampan itu...”
“Ehh? Apa maksud subo...?” In Hong terkejut dan memandang gurunya dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Yo Bi Kiok tersenyum lebar sehingga wajahnya yang masih cantik itu kelihatan makin muda. Hanya terhadap muridnya ini saja Yo Bi Kiok dapat bersikap sewajarnya dan dapat bersikap gembira. Terhadap lain orang, bahkan terhadap para anak buahnya, dia selalu memperlihatkan sikap dingin, keras dan ganas.
“In Hong, kau kira aku tidak tahu? Sudah lama aku membayangimu dengan diam-diam, dan aku tahu apa yang terjadi antara engkau dan pemuda she Bun itu.”
“Tidak... tidak ada apa-apa...”
Yo Bi Kiok memandang dengan senyum masih menghias wajahnya.
“Aihh, muridku. Bukankah engkau menganggap gurumu ini sebagai pengganti orang tuamu pula? Coba katakan, kemana perginya burung hong kumala di kepalamu, dan dari mana engkau memperoleh pedang di pinggangmu itu?”
“Ini... ini... memang kutukar...”
In Hong menjawab gugup, tangan kiri meraba rambut di kepalanya, tangan kanan meraba gagang pedang Hong-cu-kiam.
“Hemm... tak perlu kau malu-malu terhadap gurumu, In Hong. Aku setuju dengan pilihanmu itu. Melihat dia seorang pemuda yang baik, bukan seperti pria-pria lain yang berwatak palsu. Engkau jangan mengulang sejarah gurumu. Engkau tidak boleh gagal dalam bercinta. Engkau tidak boleh selemah gurumu di waktu muda dahulu. Apa yang telah kau pilih harus kau pertahankan mati-matian. Oleh karena itu, melihat engkau kurang tegas, aku telah turun tangan menyerang setiap orang wanita yang berani jatuh cinta kepada pemuda pilihanmu itu.”
“Ohhhh...!” In Hong memandang gurunya dengan mata terbelalak. “Jadi... jadi subo telah membunuh orang?”
“Hemm, apa salahnya? Gadis dusun itu kurang ajar dan tak tahu malu, berani dia mencoba-coba untuk menggoda pemuda pilihanmu, dia pantas dibunuh.”
In Hong menunduk, teringat dia akan kemarahan Bun Houw kepadanya. Kiranya tuduhan pemuda itu bukan fitnah kosong belaka, melainkan benar-benar ada orang terbunuh, hanya yang membunuh adalah subonya yang disangka dia.
“Kenapa, muridku? Apakah engkau tidak senang dengan bantuanku?”
In Hong masih menunduk. Dia menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, lalu berkata,
“Teecu hanya tidak ingin subo mencampuri urusan dengan... dia itu...”
“Hi-hi-hik!” Yo Bi Kiok tertawa sambil merangkul muridnya. “In Hpng, engkau seperti anakku sendiri, aku ingin melihat engkau berbahagia. Bagaimana aku tidak boleh mencampuri? Jangan kau khawatir aku akan mengusahakan agar engkau berjodoh dengan dia.”
“Sudahlah, subo. Teecu tidak suka bicara tentang urusan itu.”
“Baiklah, sekarang kita bicara tentang urusan kita di sini. Kita harus membantu Raja Sabutai sekuat kita. Dan kaisar yang tertawan itu harus dibunuh. Biar aku menemui Raja Sabutai sekarang juga! Mari kau ikut!”
In Hong terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras. Entah apa yang mendorongnya, akan tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan niat gurunya, bahkan dia telah mengambil keputusan bulat untuk melindungi kaisar sedapatnya!
Dia tidak suka membantu raja liar itu, apalagi melihat betapa raja itu dibantu oleh orang-orang yang tidak disukanya seperti Go-bi Sin-kouw, Bayangan Dewa dan teman¬-teman mereka itu. Akan tetapi, dia tidak berani secara berterang menentang subonya, maka tanpa banyak cakap dia mengikuti subonya menghadap Raja Sabutai.
Raja Sabutai yang didampingi oleh isterinya, Khamila yang kelihatan cantik jelita dan wajahnya bercahaya seperti yang biasa nampak pada wajah seorang calon ibu muda, menyambut kedatangan Yo Bi Kiok dan In Hong dengan girang, akan tetapi jelas bahwa raja ini tidak pula melepaskan kewaspadaannya, karena selain ditemani oleh isterinya, juga di dalam ruangan itu nampak Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang duduk seperti arca, dan di sekeliling ruangan itu nampak pula belasan orang pengawal yang melakukan penjagaan.
“Ahhh, silakan duduk, pangcu, dan kau, nona Hong.” Raja Sabutai berkata dengan girang, “Perkenalkan ini adalah isteriku, Khamila.”
Yo Bi Kiok dan muridnya memandang kagum kepada ratu yang muda dan cantik itu, sedangkan Khamila juga mengangguk sambil tersenyum kepada mereka berdua, terutama kepada In Hong dia memandang kagum.
“Harap sri baginda suka memaafkan bahwa saya mohon menghadap dan mengganggu waktu paduka,” Yo Bi Kiok berkata.
“Ah, pangcu mengapa bersikap sungkan? Sebagai pembantu kami, tentu saja kalian boleh menghadap sewaktu-waktu. Akan tetapi apakah tidak beristirahat lebih dulu?”
“Ada keperluan penting sekali yang harus saya sampaikan kepada paduka,” kata Yo Bi Kiok.
“Ceritakanlah.”
Raja Sabutai memandang tajam karena dia dapat melihat betapa sikap ketua Giok-hong-pang itu amat serius.
“Menurut pendapat saya, tidak ada gunanya lagi paduka menahan kaisar sebagai seorang sandera, dan kini tiba saatnya untuk segera berangkat menyerbu ke selatan.”
“Eh, bagaimana kau dapat berkata demikian, pangcu? Apa alasannya?”
“Pertama, karena kini Kerajaan Beng telah mengangkat seorang kaisar baru.”
“Hehhh...?” Raja Sabutai berseru kaget. “Kenapa tidak ada berita dari para penyelidik kami?”
“Memang hal itu dirahasiakan, akan tetapi saya yang baru saja datang dari selatan tahu akan hal itu. Yang diangkat menjadi kaisar adalah Kaisar Ceng Ti. Oleh karena itu, yang paduka tawan sekarang ini bukan lagi kaisar, maka tidak ada harganya lagi untuk dijadikan sandera, lebih baik dibunuh saja.”
“Ihhh...!”
Khamila cepat menutupi mulutnya yang berteriak kecil tadi dengan saputangannya, akan tetapi In Hong yang sejak tadi memandangnya, melihat betapa ketika mendengar ucapan gurunya ini, ratu itu menjadi pucat sekali mukanya, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar.
Raja Sabutai menengok kepada isterinya, menyentuh lengan isterinya sebagai tanda menghibur, kemudian dia menoleh lagi kepada Yo Bi Kiok sambil berkata,
“Harap kau lanjutkan, Yo-pangcu. Bagaimana menurut rencanamu?”
“Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?”
Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata,
“Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!”
“Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya.
“Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...”
“Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...”
“Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.
Yo Bi Kiok mengangguk-angguk.
“Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.”
Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk.
“Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.”
In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab,
“Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!”
“Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?”
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas.
“Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh.
Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.
Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong,
“Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.”
Komentar