DEWI MAUT JILID 120

 Kematian dua orang sekutunya itu selain memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, maka kini dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai dan banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya, 

“Nona muda, siapakah gurumu?”

In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, 

“Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!”

“Hemm, kau sudah mengenal julukanku!”

“Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu...”

“Eh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!”

“Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah curang.”

“Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran.”

“Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa.”

“Kenapa membunuh sumoiku?”

“Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian hendak menjatuhkan fitnah. Majulah, Pat-pi Lo-sian, kalau memang kau berani dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan.”

Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. 
“Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!”

Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat sekali. Begitu tubuhnya menyerbu, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali dan merupakan serangan maut.

“Heiiiiittttt...!” 

In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja. Semua serangan bertubi yang dilakukan Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. 

Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuh ke belakang. Bau ujung sepatu yang kotor tidak enak membuktikan betapa dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!

“Perempuan rendah!” 

Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki, akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biarpun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka diapun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.

“Wirrrr... wuuuuuttttt!” 

Angin dahsyat menyambar mendahului dua kepalan itu, dan In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.

“Haiiiiitt!” 

Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.

In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang amat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. 

Kalau dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, maka untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!

Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggauta tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.

“Plak! Dukkk!” 

Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya sehingga seluruh tangan menjadi lumpuh, pegangannya terlepas.

Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. 

Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan gin-kangnya. Tubuhnya ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biarpun kalau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. 

Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sin-kang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.

Setiap kali tamparannya mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian. Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat di waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini mengurangi kewaspadaan dan berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka. 

Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi daripada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.

Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang hampir membabi buta, tiba-tiba ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.

“Dukkkk!!” 

Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biarpun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia depat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali. 

Betapapun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, maka begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.

“Srattt...!” nampak sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat daripada emas berukir indah. Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, “Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!”

In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang di pinggang kirinya.

Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnva tertarik dan In Hong menggunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarunngya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu. Pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.

Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penub wibawa, 

“Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. 

Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini selain menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.

In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, maka dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya, nampak sinar berkelebat dan tabu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.

Juga Pat-pi Lo-sian memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya, hatinya menjadi jerih karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai. 

Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, 

“Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kamipun hendak maju bersama, dan hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andaikata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja kalau sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua.”

Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia meragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu. 

In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi untuk menolak tantangan itu, tentu saja pantang baginya, apalagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.

“Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?” kata In Hong dan memandang tajam.





SELANJUTNYA 

Komentar