DEWI MAUT JILID 116

 Memang benar seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio Sun bahwa Kaisar Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan lebih dari itu, kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang dikelilingi taman indah, hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di sekeliling taman itu sehingga tidak ada orang luar yang dapat masuk. 

Akan tetapi, kaisar sendiri dapat berjalan-jalan di dalam taman, dan apapun yang dibutuhkannya dapat segera terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan wanita yang selalu siap melaksanakan perintahnya.

Malam itu bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku sambil termenung menghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak harum bermandikan sinar bulan purnama. 

Hatinya merasa lengang, sunyi dan merana karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan kekasihnya, Azisha yang telah tewas. Malam yang seindah itu mengingatkan dia akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan kehangatan serta kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. 

Kaisar yang baru berusia dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh kerinduan akan belaian dan kasih sayang wanita. Memang benar bahwa para pelayan yang disediakan oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri wanita-wanita muda yang cantik-cantik, akan tetapi sebagai seorang kaisar yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh lebih tinggi daripada kedudukan Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar Ceng Tung tidak sudi merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Pula, setelah selama ini dia setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik Azisha, mana mungkin dia tertarik oleh kecantikan biasa para pelayan itu?

Sinar bulan purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap hari telah dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, mandi cahaya keemasan yang redup dan sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis yang aneh namun indah mempesonakan. 

Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan dan kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya. Dia telah kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya, bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tidak ada usaha datang dari kota raja untuk membebaskannya. 

Baru sekarang dia dapat melihat kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya. Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andaikata umurya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik.

Azisha...! Biarpun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak merayu Sabutai, dan biarpun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan Wang Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat penuh dengan kebahagiaan dan cinta kasih, penuh dengan kenikmatan dan harus diakuinya bahwa dia pernah jatuh cinta mati-matian kepada Azisha.

Tiba-tiba kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena hidungnya mencium keharuman yang lain daripada keharuman bunga di sekelilingnya. Keharuman semerbak yang halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia akan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. 

Cepat dia menoleh ke kiri dan kaisar itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak. Di dalam sinar bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang. Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha?“Azisha...!” 

Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya berdebar penuh kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha telah tewas, dan bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini.

Sosok bayangan wanita itu kini telah tiba di depannya, sejenak wanita ini berdiri dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan senyum, kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri berlutut.

“Azisha...!”

Wanita itu menghela napas panjang, lalu terdengar suaranya halus, lembut, 
“Harap paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha.”

Kaisar Ceng Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau wanita ini Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang menggodanya. Biarpun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak, akan tetapi keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha, dan biarpun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat suara Azisha yang berdarah Mongol. 

Ah, tentu suasana malam terang bulan purnama telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar itu dengan hati merasa malu. Wanita ini tentu hanya seorang di antara para pelayan. Kembali dia memandang penuh perhatian lalu menggeleng kepala, membantah suara hatinya sendiri. Tidak mungkin kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan rambut yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya. Bukan, pasti bukan pelayan biasa!

“Siapa namamu?” perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk sehingga tidak nampak mukanya itu.

“Nama hamba Khamila,” jawab wanita itu lirih pula. 

Suaranya halus dan mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung.

“Engkau seorang pelayan?”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar. Dia bukan pelayan. Habis, siapa? Dan mau apa?

“Kalau begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?” Pertanyaan kaisar mulai mengandung kecurigaan dan penyelidikan.

“Ampunkan hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka...” Gemetar suara itu sekarang.

Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya, tidak mengerti. 
“Melayani aku? Melayani bagaimana maksudmu?”

“Hamba ingin melayani paduka, apapun juga yang paduka kehendaki dari hamba, akan hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba.” 

Kini suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia ingin tahu lebih banyak.

“Akan tetapi, Sabutai telah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala kebutuhanku telah dicukupi. Sudah ada pelayan begitu banyak, perlu apa engkau hendak melayani aku?”

“Mereka itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak akan dapat mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana...”

Kaisar Ceng Tung terkejut, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh kecurigaan. 

“Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan engkau akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang menyuruhmu datang menemuiku di sini?”

Dengan muka masih menunduk wanita itu menjawab, 
“Yang menyuruh hamba adalah perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapapun yang menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu.”

Kaisar Ceng Tung makin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan tenang itu sama sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-katanya teratur baik tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguhpun ada logat asing dalam kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, 

“Kalau begitu, apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?”

“Yang mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan dan kejantanan paduka yang sedikitpun tidak mau menyerah, tidak merasa takut biarpun telah berada di dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat nasib paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka...”

Jantung kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena menganggap hal ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. 

“Bangkitlah dan ke sinilah!” perintahnya.

Wanita itu bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda yang penuh dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai seperti seorang penari, wanita itu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di depan kaisar yang juga telah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya.

Kaisar memandang rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan hidungnya mencium keharuman yang aneh. 

“Angkat mukamu...” katanya perlahan

Wanita itu mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika melihat wajah seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang bersinar-sinar, yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih yang jelas nampak di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum malu-malu, raut muka yang amat cantik, sikap yang menantang.

“Kau... kau cantik sekali...” Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak gemetar.

Wanita itu tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini. 
“Terima kasih, dan hamba... hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk melayani paduka, menghibur paduka...” 

Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat itu diapun merasa tegang dan berdebar jantungnya. Jelas bahwa dia bukanlah seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita yang sudah biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan seorang wanita cabul penjaja cinta. 

Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan sampai lama dia yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu, wajah seorang wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas tahun!

Bulan purnama bercahaya sepenuhnya memenuhi taman itu. Menurut dongeng, Dewi Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara mengirimkan kekuasaan mujijatnya melalui sinar bulan purnama ke permukaan bumi. Sinar bulan yang sudah mengandung kekuasaan mujijat ini akan mempengaruhi setiap mahluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan kelamin, mendorong rangsangan berahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara untuk memperlancar semua mahluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya.

Dongeng itu entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas, melihat wajah cantik jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar Ceng Tung terpesona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan sedang dalam keadaan duka merana dan penuh kerinduan karena kehilangan Azisha, kekasihnya. Kini, menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh Azisha, yang datang-datang menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu telah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras.

“Kau...kau cantik jelita...” kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium wanita itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan malu-malu namun jelas memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda ini. “Akan tetapi...kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai untuk merayuku... aku akan berobah benci padamu...”

Wanita itu membalik dan merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan sepasang matanya yang bening lembut lalu berkata, 

“Mengapa peduka masih tidak percaya? Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani bersumpah...”

“Khamila, siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk bertemu dengan aku? Kalau Sabutai mengetahui...”

“Tidak akan ada yang berani mengganggu hamba, apalagi para penjaga itu, bahkan Sabutai sendiripun tidak akan mengganggu hamba...”

“Bagaimana engkau begitu yakin? Siapakah engkau ini yang begitu besar kekuasaannya?”

“Apakah paduka belum dapat menduga? Hamba adalah isteri Sabutai...”

“Ahhh...!” 

Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya sehingga tubuh Khamila terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, akan tetapi dia melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu.

“Harap paduka maafkan hamba... sesungguhnya hamba melakukan ini bukan sebagai penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran dan juga sepengetahuan suami hamba, Sabutai...”

“Apa...?” Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik. Melihat wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul rasa iba di hatinya, apalagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu tadi dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh. “Ke sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya.”

Khamila bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk oleh kaisar yang duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa, dan bahwa dia sama sekali tidak mencinta suaminya itu.

“Akan tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai sekarang hamba belum mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia tidak mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba tidur dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh keturunan.”

“Ahhh...?” Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini.

“Hamba tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan keturunannya? Dan hamba ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba melihat paduka yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan halus, seketika hamba jatuh cinta dan hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa kalau hamba diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya padukalah orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena paduka adalah seorang raja yang jauh lebih besar daripada dia.”

Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu. Gairahnya berkobar ketika wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tak lama kemudian, kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, dan Khamila hanya merangkulkan lengan ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau hubungan di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh Sabutai!

Dengan penuh kemesraan, mulai malam hari itu, setiap malam Khamila datang mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta kasihnya kepada seorang pria.

Kurang lebih satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng Tung menjadi gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman dengan hati penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di atas bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dengan wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai!

Cepat kaisar berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang muncul sendirian itu. Sedikitpun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya kecewa melihat bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui, melainkan musuhnya ini.

Sabutai tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. 
“Saya datang untuk mengucapkan terima kasih!”

Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya. 
“Apa maksudmu?” tanyanya tenang.

“Karena paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang anak, keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan mati, juga saya merasa makin hormat kepada paduka.”

Kaisar Ceng Tung memandang dengan mata terbelalak. 
“Dia... dia tidak akan mati? Apa maksudmu?”

Kembali Sabutai tersenyum. 
“Tidak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka dengan taruhan nyawa? Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu satu bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jina, dan mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapapun juga, syukur dia telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih.” Sabutai menjura lagi, kemudian pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri.

Beberapa saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri seperti patung, kemudian dia menjatuhkan diri di atas bangku dengan tubuh lemas. Berkali-kali dia menghela napas panjang, merasa hatinya kosong dan berduka. Rasa cintanya terhadap Khamila makin mendalam. 

Wanita itu telah mengandung keturunannya! Betapa mesra dan lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertemu dengan wanita itu. Sabutai tentu akan melarang keras. Dan dia tidak dapat berbuat sesuatu! 

Memperjuangkan haknya sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila? Tidak mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri. Tak terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini.





SELANJUTNYA 

Komentar