DEWI MAUT JILID 107

 Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Tentu saja seorang bocah berusia delapan tabun tidak tahu apa-apa, apalagi memegang tampuk pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar!
Cari lampu penerangan hajat? klik disini
Maka ketika Kaisar Ceng Tung diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri. Sebagai seorang kaisar, yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak biasa. Dia hidup di dalam lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan dan kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada ibu surinya. 

Setelah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang “maha kuasa” di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yaitu bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, dan ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu. 

Karena pandainya membujuk, maka akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal dari utara yang bernama Wang Cin. 
>Cari keripik pisang banten klik disini
Wang Gin mempunyai beberapa orang kaki tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Gin inilah. 

Secara teoritis, Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan segala macam hal, karena apapun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasihat Wang Cin.

Bahkan hampir semua urusan yang melalui tangan kaisar, tanpa diperiksa oleh kaisar ini terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan dan kaisar hanya tinggal menandatangani dan memberi cap saja!

Betapapun juga, semenjak kanak-kanak, Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat seperti Wang Cin untuk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis. 

Tidak, untuk urusan sebesar ini, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik. Melihat betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu menggunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati kaisar. 

Untuk siasat ini, memang Wang Cin telah mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun. 

Pada waktu itu, biarpun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan amat cermat dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik sehingga Azisha menjadilah seorang dara yang selain cantik jelita, namun juga ahli dalam segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!

Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakannya tentang Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, segala kecabulan yang membangkitkan berahi diceritakannya, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam pelukan Azisha yang biarpun masih seorang perawan, namun semenjak kecil telah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!

Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik jelita. Dan kepercayaannya terhadap Wang Cin bertambah, tentu saja atas bujukan Azisha, sehingga dalam tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan semua kekuasaan kepada Wang Cin! 

Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah dan mengatur pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Adapun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan berahi.

Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di istana ini. Mereka khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Keisar Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita yang amat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! 

Mereka ini khawatir kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol!

Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia menganggap dirinya sebagai “darah” keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan kini diam-diam dia merencanakan agar dialah yang membangkitkan kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw!

Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon menghadap kaisar muda itu untuk kembali memegang sendiri urusan kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. 

Akan tetapi, semua peringatan ini tidak ada gunanya dan Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek! Hanya baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur pemerintahan dan juga amat setia kepadanya. 

Tentu saja para pembesar itu hanya menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya kepada kata-kata junjungan mereka yang mereka cinta itu.

Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan bersikap cukup “adil” mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasihat mereka. Sikap ini membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam lalu menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.

Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya, kecuali apabila Azisha sedang berhalangan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai tujuh tahun lamanya, biarpun dia telah memanggil segala macam ahli obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biarpun Azisha berhasil melayani kaisar selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya dalam kandungan Azisha! 

Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang juga seperti dia mempunyai darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh seorang putera dari kaisar agar dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol, kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya! 

Akan tetapi, si tolol Azisha, demikian dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya tidak “becus”, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak! Karena itu, diapun tetap menjadi seorang thaikam, betapapun besar kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara lain agar dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat diri menjadi kaisar!

Maka pada suatu hari, setelah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana terbesar yang diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan “pembersihan” atau pemeriksaan ke daerah perbatasan Mongolia.

“Kekuasaan yang mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap menentang dan memberontak kedaulatan kerajaan paduka. Untuk memperlihatkan kebesaran paduka, hendaknya paduka mengerahkan pasukan dan menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota Huai-lai,” demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.

“Hambapun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia,” Azisha berkata dengan suara merdu dan sikap manja. “Kalau paduka berkenan menginjakkan kaki paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba.”

Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apalagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak sebaiknya diserahkan kepada angkatan perangnya. 

Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang pandai pula mengucurkan air matanya kalau perlu, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya. Diam-diam dia terkesan juga oleh kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah peranakan Mongol, akan tetapi kini Wang Cin mengusulkan untuk membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin kepadanya.

“Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, tentu engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu, kami mengangkatmu dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi dari pasukan kita.”

Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh negara, akan tetapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, mengapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apalagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima tertinggi? 

Hal ini dianggap penghinaan bagi mereka dan hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar! 

Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar, mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun memiliki kegagahan dan wibawa luar biasa dan amat cerdik dan ahli dalam mengatur siasat perang. 

Dan kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal inilah yang melerai rekan-rekannya.

“Kita adalah perajurit-perajurit,” kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. “Seorang perajurit tugasnya adalah mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita mengamat-amati saja dan membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang perajurit pembela kaisar yang setia daripada hidup mulia sebagai pemberontak.”

“Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) tidak meleset seujung rambutpun.” terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. “Sejak nenek moyang kami, semua adalah perajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami.”

Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat menjadi panglima tertinggi justeru memilih para jenderal tua yang setia ini untuk membantunya memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.

Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah biarpun gerak-geriknya seperti seorang wadam! 

Wang Cin mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan Bouw Thaisu! 

Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, berangkat pula Go-bi Sin-kouw!





SELANJUTNYA 

Komentar