DEWI MAUT JILID 102

 

“Ah, Hui-giakang juga sudah tewas? Sungguh sayang...” Tiba-tiba Bun Houw yang melihat mayat wanita itu berseru.

“Sayang?” Tio Sun bertanya heran. “Mengapa sayang?”

“Tio-twako, aku terpaksa merobohkan Toat-beng-kauw tanpa dapat menanyainya lebih dulu dan sekarang tahu-tahu Hui-giakang juga sudah mati. Padahal aku membutuhkan keterangan mereka tentang Siang-bhok-kiam... akan tetapi, masih ada Liok-te Sin-mo. Tentu suheng dan enci berhasil membekuknya. Mari kita ke sana!”
close
Klik 2x untuk menutup(x)
Selamat Datang Di BLOG SAEPUL ROHMAN YANG ganteng


“Beng-koko, siapa yang membunuh iblis betina itu? Engkau ataukah Tio-twako?” tanya Kwi Eng yang kini dipondong oleh kakaknya sendiri.

“Bukan aku bukan pula Tio-twako, melainkan seorang dewi.”

“Eh? Dewi? Dewi siapakah?”

“Seorang gadis yang amat lihai, dan kalau tidak ada dia yang menolongku, tentu kakakmu ini sudah menjadi mayat.”

“Ihhhh...! Seperti keadaanku, kalau tidak ada Houw-koko...”

Mendengar percakapan itu, Bun Houw bertanya, 
“Adik Kwi Beng, siapakah gadis yang menolongmu dan membunuh Hui-giakang itu?” 

Sebetulnya dia sudah dapat menduganya, akan tetapi dia mendesak untuk merasa yakin.

“Dia seorang yang aneh sekali, setelah membunuh iblis itu lalu pergi dan hanya meninggalkan namanya, yaitu Hong.”

“Aih, dia... ya, tentu saja, siapa lagi...” Bun Houw menggumam.

Kwi Eng mengerutkan alisnya. 
“Houw-koko, apakah yang kau panggil nona Hong tadi?”

Bun Houw mengangguk. 
“Dia seorang pendekar wanita yang amat lihai akan tetapi penuh rahasia, tidak mau mengenal orang.” 

Berkata demikian, Bun Houw meraba hiasan rambut burung hong yang berada di saku bajunya sebelah dalam. Benar-benar seorang nona yang amat aneh, dan lihai, dan ganas, dan... benarkah sekejam itu membunuh gadis she Ma karena cemburu? 

Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri.

“Enci Keng...!” Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.

“Bun Houw...!” Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.

Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. 

Mereka bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.

“Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?” 

Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat.

Kun Liong menggerakkan tangannya. 
“Harap kalian jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?”

Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya! 

“Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap.”

“Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?” Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan-peranakan barat. “Dan siapakah kalian berdua?”

“Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!” Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. “Ayah dan Ibu adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa.”

Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. 
“Siapa? Siapakah ayah bundamu?”

Kini Kwi Beng yang menjawab, 
“Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu...”

“Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka... mereka... kusangka mereka sudah tidak ada lagi...” 

Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk-bujuk kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.

“Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng.”

Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia mengangguk-angguk. 

“Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu... aih, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup...” Suara Kun Liong tergetar karena terharu.

Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng. 
“Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai...” kata Tio Sun, akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua pipinya basah.

“Yap-suheng...!” begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.

“Sudahlah, adikku, sudahlah...!” 

Giok Keng memegang tangan adiknya dan berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus “dosa” encinya yang sebetulnya tidak berdosa. 

Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu.

“Sute, engkau hendak bicara apakah?” 

Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang.

“Yap-suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?”

“Houw-te, jangan... jangan bicara demikian...” Giok Keng merangkul adiknya dan menangis. “Kau... kau tidak tahu...”

“Biarlah, enci!” 

Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya. 
“Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap-suheng sudah berobah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!”

“Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?” 

Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.

“Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!” 

Bun Houw menantang dan melompat ke depan, siap untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya.

“Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?” tanya Kun Liong dengan suara tenang dan sikap sabar.

“Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!”

Kun Liong menarik napas panjang. 
“Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani tantanganmu yang mentah itu...”

Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.

“Yap Kun Liong! Berhenti kau...!”

Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.

“Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah...”

“Tapi, enci...” Bun Houw bersikeras.

“Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?” 

Melihat encinya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya.

“Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu.”

“Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam.” Wanita itu menghapus air matanya, “Dan kau telah berani menghinanya!”

Bun Houw menunduk. 
“Maafkan, enci... maafkan...”

“Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku akan kembali ke Cin-ling-pai melaporkan hal ini kepada ayah.”

“Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka.”

“Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat.”

Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. 

Penuturan encinya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?

“Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu.”

“Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw-koko!” Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan.

Bun Houw tersenyum memandang dara itu. 
“Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku.”

“Aku akan menyertaimu, Houw-te.”

Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik. 

“Terima kasih, twako. Nah, kau bawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali.”

Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.

“Houw-koko...!” Kwi Eng berseru memanggil.

Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!

“Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali,” kata Bun Houw.

Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, 
“Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu...”

Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu.





SELANJUTNYA 

Komentar