DEWI MAUT JILID 100
“Houw-koko, kau... kau telah... menyelamatkan aku... dari malapetaka yang lebih hebat daripada maut... Houw-koko, bagaimana aku dapat membalas budimu...?”
“Hushhhh... perlukah hal itu dibicarakan lagi, moi-moi? Engkau yang membantu aku menghadapi musuh-musuhku, sampai-sampai engkau hampir mengorbankan nyawa, dan sekarang kau bicara tentang budi? Sudahlah, mari kita kembali ke tempat kawan-kawan. Aku yakin semua penjahat telah terbasmi. Tahukah engkau siapa yang datang membantu kita? Enciku Cia Giok Keng dan suhengku Yap Kun Liong!”
Kwi Eng mengangguk dan berusaha untuk berdiri dengan satu kaki.
“Ah, jangan pergunakan kakimu yang patah tulangnya. Mari kupondong.”
Bun Houw lalu menggunakan kedua lengannya, memondong tubuh dara itu. Kwi Eng menyandarkan kepalanya di dada Bun Houw dan sejenak pemuda ini memejamkan matanya ketika hidungnya mencium bau harum dari rambut dan muka yang begitu dekat dengan mukanya.
“Houw-koko...!”
Bun Houw melangkah perlahan dan menjawab,
“Hemmm...?”
Jantungnya berdebar karena tubuh yang hangat itu terasa begitu ketat di kedua lengan dan dadanya, maka dalam keadaan seperti itu sukar dia mengeluarkan kata-kata.
“Di dunia ini...hanya ada dua orang pria yang telah melihatku...yang seorang telah mampus...dan orang kedua adalah engkau... dan aku bersumpah, tidak akan ada laki-laki ketiga yang akan melihatku...”
Bun Houw terkejut, juga bingung.
“Apa... apa yang kau maksudkan, moi-moi?”
Tiba-tiba Kwi Eng sesenggukan lagi dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan merangkul leher pemuda itu. Tentu saja Bun Houw menjadi berdebar-debar, seluruh tubuhnya tergetar oleh gelora darah mudanya.
Otomatis pelukan kedua tangannya makin dipererat seolah-olah dia hendak mendekap tubuh dara yang cantik jelita itu makin ketat. Rasa rindu akan seorang wanita yang selama ini ditahannya, rindunya kepada Yalima, wanita pertama yang dicintanya, kini seolah-olah memperoleh pelepasan pada diri Kwi Eng!
“Koko... engkaulah satu-satunya pria yang melihat aku... seperti tadi... dan hanya engkaulah yang boleh melihatku seperti itu... untuk selama hidupku.”
“Hemmm... maksudmu?”
“Engkau telah menyelamatkan diriku dari bencana yang amat hebat, engkau telah melihat aku dalam keadaan seperti tadi... semua itu hanya dapat kutebus dengan penyerahan jiwa ragaku, koko... jika kau sudi menerimanya...”
Hampir saja pondongan itu terlepas saking kagetnya hati Bun Houw. Kiranya demikian “mendalam” perasaan hati dara ini. Kiranya Kwi Eng hendak menyatakan bahwa dara yang cantik ini jatuh cinta kepadanya!
“Maksudmu... kau... kau cinta padaku?”
Dia menjelaskan sambil memandang. Kwi Eng juga mengangkat muka memandang. Dua muka saling berdekatan. Otomatis langkah kaki Bun Houw terhenti dan tiba-tiba kedua lengan Kwi Eng yang merangkul leher itu menarik leher Bur Houw makin kuat sehingga muka pemuda itu makin menunduk dan tak terhindarkan lagi, sukar dikatakan siapa yang lebih dulu bergerak, muka yang tampan dan cantik itu saling bertemu, dua mulut dengan bibir yang penuh gairah hidup saling berciuman, terdorong oleh getaran perasaan hati mereka.
Mereka lupa diri, lupa keadaan, seperti dalam mabok sehingga seolah-olah ciuman itu takkan pernah berakhir, seolah-olah dalam ciuman itu mereka hendak saling mempersatukan diri, selamanya tidak akan terpisah lagi.
Namun kebutuhan akan napas dan gelora perasaan yang melonjak membuat mereka terpaksa melepaskan bibir dengan napas terengah-engah, sejenak mereka saling pandang, pipi mereka menjadi merah sekali, pandang mata mereka menjadi sungkan dan malu, Kwi Eng menunduk dan Bun Houw menengadah, degup jantung mereka dapat saling mereka rasakan karena dada mereka berdekapan.
“Eng-moi...”
“Koko...”
“Jangan... tak benar ini...”
“Mengapa tak benar...? Aku rela...”
“Tidak boleh... kita baru saja bertemu dan saling berkenalan...”
“Bagiku engkau sudah selamanya kukenal...”
“Sudahlah, harap kau jangan bicara tentang urusan kita ini dulu, moi-moi. Kau tahu bahwa tugasku masih jauh daripada selesai, aku... aku tidak mungkin bisa membagi perhatian terhadap soal lain. Kita tunda saja dulu urusan ini, maukah kau berjanji?”
Kembali dua pasang mata saling bertemu dan Kwi Eng tersenyum. Senyum penuh kebahagiaan karena ciuman tadi baginya sudah lebih dari cukup sebagai tanda bahwa pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasihnya ini, ternyata juga mencintanya. Kalau tidak demikian, tidak mungkin terjadi ciuman seperti tadi! Terasa benar olehnya menembus sampai ke dasar hatinya. Maka dia mengangguk sambil tersenyum.
Bukan main manisnya dan penuh daya pikat sehingga terpaksa Bun Houw harus mengangkat kepala memandang ke atas. Tidak kuat dia untuk memandang wajah yang demikian manisnya, demikian dekatnya, bibir yang segar merah basah, sedikit terbuka, mulut yang seolah-olah menantang, dan yang diciptakan untuk dicium penuh kasih sayang, memandang kesemuanya ini tanpa menciuminya!
Dan Kwi Eng kembali tersenyum. Senyum kemenangan seorang wanita yang mempunyai naluri kewanitaannya, yang tahu benar saat seorang pria bertekuk lutut tanpa syarat! Rangkulannya makin ketat dan sambil tersenyum-senyum, mata yang masih basah air mata itupun tersenyum malu-malu, dara ini menyembunyikan mukanya di dada kekasih pujaan hatinya!
Pada saat itu, ketika Bun Houw melanjutkan langkahnya dan matanya memandang ke depan, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon. Dia cepat mengejar dengan pandang matanya dan dilihatnya bayangan itu berdiri tegak di samping sebatang pohon, bayangan seorang wanita dengan sinar mata berapi-api yang ditujukan kepada tubuh Kwi Eng yang dipondongnya. Tentu saja dia segera mengenal gadis yang berdiri dengan sinar mata berapi-api itu.
“Hong-moi...!”
Tak terasa lagi dia berseru memanggil. Akan tetapi bayangan itu berkelebat, dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan di tepi sungai itu.
“Eh, kau memanggil siapa, Houw-koko?” Kwi Eng bertanya dan memandang ke kanan kiri.
Bun Houw mengerutkan alisnya.
“Pendekar wanita yang pernah menolongku, Eng-moi. Seperti kulihat dia tadi berkelebat di dalam hutan. Akan tetapi mungkin juga aku salah lihat...”
Namun hatinya merasa yakin bahwa gadis penolongnya itulah yang dilihatnya tadi. Dengan sinar mata tajam penuh kemarahan dan kebencian ditujukan kepada Kwi Eng. Bun Houw mengerutkan alisnya dan makin kuat dugaannya. Tidak salah lagi. Tentu gadis itulah yang pernah menyerang Kwi Eng, dan bahkan yang telah membunuh gadis she Ma itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Andaikata benar demikian, alasannya hanya satu, yaitu cemburu!
Gadis yang bernama Hong itu agaknya selalu membenci setiap orang wanita yang berdekatan dengan dia! Cemburu, berarti gadis itu cinta kepadanya! Bun Houw bergidik dan kalau tadinya dia merasa amat tertarik kepada In Hong, kini dia mulai merasa jijik dan tidak suka. Dicinta oleh seorang wanita yang demikian besar cemburunya, yang demikian kejamnya, sungguh mengerikan. Biarpun cantik seperti dewi, akan tetapi selalu melakukan kekejaman seperti setan, Dewi Maut!
Biarpun gadis itu amat cantik, amat tinggi ilmunya, dan sudah pernah menolongnya, menyelamatkannya dari bahaya maut, akan tetapi kalau sekejam itu perangainya, dia kelak akan menegurnya kalau dia sempat bertemu lagi dengan Si Dewi Maut itu. Akan tetapi... kematian Bu Sit tadi! Siapakah yang melepas pasir beracun dan merobohkan Bu Sit, dengan demikian menyelamatkan Kwi Eng? Apakah bukan Si Dewi Maut itu pula?
Memang tidak keliru dugaan Bun Houw. Bayangan yang berkelebat di antara pohon-pohon dan yang tadi sejenak memandang tajam ke arah Bun Houw yang memondong Kwi Eng, adalah In Hong. Baru saja gadis perkasa ini juga menyelamatkan Kwi Beng dari ancaman maut di tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Seperti kita ketahui, Kwi Beng, seperti juga Kwi Eng yang dipancing menjauhi gelanggang pertempuran oleh Bu Sit, juga dipancing oleh Hui-giakang Ciok Lee Kim si nenek cabul yang tergila-gila oleh ketampanan pemuda itu. Kemudian pemuda itupun roboh pingsan dan dipondong serta dilarikan oleh Ciok Lee Kim, dibawa ke dalam hutan di belakang dusun Ngo-sian-chung.
Ketika tiba di tempat sunyi, Ciok Lee Kim menyandarkan pemuda itu dan dia merayu Kwi Beng. Makin dipandang, makin tergila-glia Si Kelabang Terbang itu kepada pemuda ini.
Kwi Beng yang sudah siuman akan tetapi dalam keadaan lemas tertotok, memandang marah dan memaki,
“Perempuan iblis, setelah aku kalah, kau bunuhlah aku!” bentaknya dan berusaha menggerakkan kaki dan tangannya, akan tetapi anggauta badannya itu seperti lumpuh.
Ciok Lee Kim membelai pipi dan leher pemuda itu.
“Aihh, sayang kalau orang seperti engkau ini dibunuh. Orang muda yang ganteng, aku suka sekali kepadamu. Kau layanilah aku dan bersumpah akan menjamin keselamatanmu dan selamanya engkau akan menjadi kekasihku, sahabatku, dan muridku.”
“Cih, perempuan tak tahu malu!” Kwi Beng memaki. “Kau sudah gila!”
“Hi-hik, memang aku sudah gila, tergila-gila kepadamu, sayang. Apa perlunya mati sia-sia dalam usia begini muda? Biarpun aku lebih tua darimu, aku adalah seorang ahli dalam permainan cinta, dan kau akan menjadi muridku, kau akan menikmati hidup dan apapun permintaanmu akan kupenuhi, sayang.”
Ciok Lee Kim berlutut, merangkul dan menciumi. Dia benar-benar sudah tergila-gila melihat mata kebiruan dan rambut agak pirang itu. Sepuluh jari tangannya yang sudah mulai keriputan itu kini mulai meraba-raba.
“Bedebah! Tua bangka gila! Pergilah, atau bunuhlah aku!”
Kwi Beng merasa jijik dan muak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencegah jari-jari tangan wanita itu menggerayangi tubuhnya, hal yang membuat pemuda itu merasa ngeri dan jijik sekali.
Sudah sejak tadi ada sepasang mata jeli dan tajam yang menonton peristiwa ini. Bahkan sejak Ciok Lee Kim memasuki hutan memondong tubuh Kwi Beng yang pingsan, pemilik mata jeli itu sudah membayanginya.
In Hong yang melihat peristiwa ini, diam-diam merasa kagum kepada Kwi Beng. Untuk ke sekian kalinya dia tercengang, dan setelah dia kagum melihat murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa, kemudian melihat Bun Houw yang lebih baik mati daripada tunduk kepada rayuan wanita, kini dia melihat Kwi Beng yang sama sekali tidak mau tunduk terhadap rayuan Ciok Lee Kim.
Rasa kagum dan simpatinya sudah timbul dan tentu saja sekaligus menimbulkan perasaan muak dan marah kepada Si Kelabang Terbang itu. Memang sudah lama dia merasa benci kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim yang dianggapnya wanita tak tahu malu, jahat dan keji.
Kini, melihat betapa Ciok Lee Kim secara tak tahu malu menggerayangi tubuh pemuda yang terang-terangan menolak rayuannya itu, dan betapa jari-jari tangan nenek itu mulai membuka kancing baju Kwi Beng, In Hong tidak dapat menahan rasa jijiknya.
“Iblis betina cabul tak tahu malu!” bentaknya sambil meloncat dekat
Ciok Lee Kim terkejut bukan main, segera diapun meloncat berdiri sambil membalikkan tubuhnya.
Di antara Lima Bayangan Dewa yang pernah bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini hanyalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Ciok Lee Kim belum pernah melihatnya, maka kini melihat bahwa yang muncul hanya seorang gadis muda belia yang cantik jelita, dia memandang rendah dan menjadi marah bukan main, kemarahan yang didorong rasa jengah dan malu karena perbuatannya merayu pemuda itu ketahuan orang lain.
Komentar