DEWI MAUT JILID 098

 Bun Houw menjadi makin gelisah. Bukan gelisah memikirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah karena tidak lagi melihat Kwi Beng dan Kwi Eng, dan Tio Sun agaknya sudah kewalahan dan tentu tak lama lagi akan roboh. 

Celaka, pikirnya dan kini dia benar-benar menyesal mengapa dia menyeret mereka bertiga ke tempat berbahaya ini. Kalau sampai tugasnya gagal, dia tidak begitu menyesal karena dia sudah melakukannya dengan sepenuh hati dan dengan pengorbanan nyawa, akan tetapi kalau sampai tiga orang muda itu tewas, bukan hanya dia yang akan menyesal, bahkan ayah ibunya juga tentu akan menyalahkan dia!

“Ayah...! Ibu...! Maafkan kegagalanku...!” 

Tiba-tiba dia berteriak dan mengamuk makin hebat, pedangnya merobohkan empat orang anak buah Ngo-sian-chung sekaligus sehingga tiga orang tua lihai itu makin berhati-hati.

“Adikku, jangan putus asa. Encimu datang membantumu!” 

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat didahului sinar merah yang panjang yang melakukan totokan ke arah pelipis Hek I Siankouw dan sinar kilat seperti perak menyambar ke arah leher Bouw Thaisu!

“Keng-cici (kakak Keng)...!” 

Bun Houw berteriak, girang bukan main karena biarpun bayangan itu belum kelihatan jelas siapa orangnya, dia sudah mengenal sinar merah panjang dari sabuk merah muda dan sinar pedang Gin-hwa-kiam yang putih seperti perak itu.

Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu terkejut, maklum bahwa serangan itupun tak boleh dipandang ringan, maka mereka cepat mengelak dan membalas. Akan tetapi, Cia Giok Keng, wanita itu, adalah seorang wanita yang luar biasa lincah dan beraninya. Biarpun dibandingkan dengan adiknya, kepandaiannya belumlah dapat menandingi, namun sebagai puteri dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan pendekar wanita Sie Biauw Eng, tentu saja kepandaian Cia Giok Keng cukup hebat.

Kegembiraan hati Bun Houw membuat gerakannya makin kuat dan tamparan tangan kirinya yang penuh dengan tenaga mujijat, Thian-te Sin-ciang menyerempet pundak Hwa Hwa Cinjin, membuat tosu tua itu terhuyung.

“Mampuslah...!” 

Cia Giok Keng melihat tosu itu terhuyung sudah menerjang dengan sabuk sutera dan pedangnya.

“Hayaaaaa...!” 

Hwa Hwa Cinjin terkejut akan kegalakan wanita ini yang sama sekali tidak memberi kesempatan padanya. Akan tetapi dia sudah memutar kebutannya menangkis dan sekaligus membelit ujung pedang Gin-hwa-kiam.
“Plakk!” 

Ujung sabuk sutera merah menotok lehernya membuat tosu itu merasa separoh tubuhnya seperti lumpuh.

“Sratttt...!” 

Giok Keng yang cerdik secara tiba-tiba menarik pedangnya dan ujung tali kebutan putus, bulu kebutannya berhamburan. Hal ini mengejutkan Hwa Hwa Cinjin dan dia meloncat ke belakang, mengambil sikap mempertahankan diri.

“Enci, aku tidak perlu dibantu. Kau bantulah Tio-twako... dia terdesak!” Bun Houw berkata.

Giok Keng menoleh. Dia tidak mengenal siapa pemuda jangkung berpakaian kuning yang didesak oleh seorang kakek dibantu oleh banyak anak buahnya itu. Akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda itu teman adiknya, maka sekali meloncat dia sudah tiba di gelanggang pertempuran di mana Tio Sun terdesak, dan sabuk merahnya yang dikawani pedang peraknya mengamuk, merobohkan tiga orang pengeroyok dalam waktu singkat saja. 

Kepungan ketat terhadap diri Tio Sun menjadi kacau dan kini pertandingan berjalan makin seru dan mati-matian. Tio Sun berterima kasih dan girang sekali sedangkan Liok-te Sin-mo yang sudah hampir dapat mengalahkan Tio Sun menjadi marah sekali, cepat dia meneriaki anak buahnya agar makin ketat mengepung dua orang itu.

Bun Houw masih gelisah memikirkan kedua orang saudara Souw. Tio Sun sudah mending keadaannya, karena dia tahu bahwa encinya juga bukan orang sembarangan dan dengan bantuan encinya, tentu Tio Sun dapat membela diri lebih baik.

“Bun Houw, kau terlalu sembrono!” sambil membantu Tio Sun, Giok Keng berteriak menegur adiknya. “Pengecut-pengecut macam ini selalu main keroyok dan curang!”

Bun Houw tersenyum. Kakaknya itu sejak dahulu galaknya bukan main! Masa, baru saja datang dan masih menghadapi pengeroyokan musuh begitu banyaknya, eh, masih ada kesempatan untuk marah-marah dan menegurnya.

“Cici, maaf!” Teriaknya kembali. “Tapi setelah engkau datang, mari kita basmi mereka. Yang kau hadapi itu adalah Liok-te Sin-mo Gu Lo It!”

Mendengar bahwa kakek yang bertubuh tinggi besar, berjubah hitam dan kepalanya memakai topi, ujung lengan bajunya dipasangi baja, yang amat lihai ini adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, Giok Keng terkejut dan kemarahannya memuncak, wajahnya merah, matanya berapi-api. 

“Kiranya Si Iblis Kuburan!” bentaknya dan dia menggerakkan kedua senjatanya makin cepat lagi mendesak Liok-te Sin-mo. 

Kakek ini marah dan mendongkol bukan main. Julukannya adalah Iblis Bumi, akan tetapi wanita yang cantik jelita, gagah dan galak ini memakinya Iblis Kuburan. Belum pernah dia dihina orang seperti ini.

“Keparat, siapa engkau?” bentaknya sambil mengelak dari sambaran ujung sabuk merah dan menangkis tusukan pedang Tio Sun dengan ujung lengan baju kiri.

“Aku she Cia, mewakili ayah untuk memenggal leher Lima Bayangan Monyet!” bentak Cia Giok Keng sambil menyerang makin hebat.

Kini terkejutlah semua tokoh itu. Kiranya wanita ini adalah puteri Cia Keng Hong, dan melihat hubungan antara wanita ini dengan pemuda itu, jelas bahwa pemuda itu kiranya adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas begitu lihai!

“Bagus...! Jadi engkau Cia Giok Keng yang membunuh sahabatku Thian Hwa Cinjin...?”

Tiba-tiba Bouw Thaisu meloncat tinggi, meninggalkan Bun Houw dan dari atas dia sudah mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah kepala dan dada Giok Keng.

“Enci, awass...!” Bun Houw terkejut dan memperingatkan kakaknya.

“Plak-plak, cringgg... bresss...!”

Serangan Bouw Thaisu tadi memang hebat bukan main. Biarpun Giok Keng sudah mengelak, namun ujung lengan baju dari kakek ini seperti hidup. Tio Sun sudah cepat memapaki dengan pedangnya, akan tetapi juga pedangnya terpukul ke samping seperti pedang Giok Keng dan totokan sabuk merah Giok Keng pada pundak kakek itu seperti mengenai baja tebal saja. Ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu sudah mengancam ubun-ubun kepala Giok Keng dengan pukulan maut.

Tiba-tiba saja ujung lengan baju itu terpental kembali dan lengan kakek itu bertemu dengan sebuah lengan lain yang dengan cepat menangkis. Kakek itu terpental dan hampir terbanting roboh. Dia terkejut bukan main dan melihat. Ternyata seorang laki-laki gagah dan tampan, berusia hampir empat puluh tahun, telah berdiri di situ sambil memandangnya dengan sikap tenang.

“Kau...? Huh...!” 

Demikian kata Giok Keng, dan wanita ini tidak memperdulikan lagi laki-laki yang sebenarnya telah menyelamatkan nyawanya itu, dan dengan kemarahan hebat Giok Keng kini menyerang Bouw Thaisu yang masih bengong terlongong dan kaget bukan main. Tangkisan laki-laki yang masih belum tua ini telah membuat seluruh tubuhnya seperti digerayangi tenaga mujijat yang membuat napasnya sesak. Maka ketika Giok Keng menyerang, dia cepat meloncat jauh ke belakang.

“Yap-suheng...!” 

Bun Houw berteriak girang. Biarpun sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan laki-laki gagah perkasa itu, dia masih mengenalnya.

“Sute, engkau sekarang hebat sekali!” 

Yap Kun Liong, pria itu, memujinya sambil tersenyum, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, Kun Liong sudah meloncat dan menyerang Bouw Thaisu yang dia lihat tadi gerakannya paling lihai. 

Bouw Thaisu terpaksa menyambut serangannya dan keduanya segera bertanding mati-matian tidak mempergunakan senjata karena Bouw Thaisu menggunakan sepasang lengan baju sedangkan Kun Liong hanya menggunakan kedua lengannya saja. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika lengan mereka saling bertemu bagaikan dua pasang lengan baja yang amat kuat dan berkali-kali Bouw Thaisu tergetar tubuhnya dan terhuyung ke belakang!

Melihat datangnya wanita dan pria yang gagah perkasa itu, Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut dan takut setengah mati. Dia mengerti bahwa Bun Houw dan Giok Keng adalah putera-puteri ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi, dan setelah mendengar teguran Bun Houw tadi, dia dapat menduga siapa adanya laki-laki perkasa yang kini mendesak Bouw Thaisu. Dia sudah mendengar akan nama Yap Kun Liong, maka gentarlah hatinya dan diam-diam dia memaki sumoi dan sutenya yang tidak nampak batang hidungnya lagi.

“Maju semua...! Kepung dan keroyok...!” teriaknya dan anak buahnya yang sesungguhnya juga merasa gentar, apalagi terhadap sikap Giok Keng yang demikian ganas mainkan pedang dan sabuk merahnya, terpaksa maju mengurung lagi. 

Jumlah mereka masih ada dua puluh orang lebih, maka pengepungan mereka cukup memberi kesempatan kepada Liok-te Sin-mo untuk diam-diam melarikan diri!

Melihat ini Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw mendongkol sekali. Tiga orang dari Lima Bayangan Dewa, fihak yang mereka bantu, diam-diam telah melarikan diri semua. Maka Hwa Hwa Cinjin memberi isyarat kepada tokouw berpakaian hitam itu, lalu merekapun meloncat ke belakang dan melarikan diri.

“Hemm, aku ingin bertemu dan bertanding sendiri kelak berhadapan dengan ketua Cin-ling-pai!” 

Bouw Thaisu berkata dan diapun meninggalkan Kun Liong yang sibuk dikeroyok banyak anak buah Ngo-sian-chung.

“Cici, suheng, harap tahan mereka, aku hendak mencari dan menolong kedua saudara Souw!” 

Bun Houw berteriak dan tubuhnya mencelat dan lenyap dari tempat itu. Melihat ini, Giok Keng girang dan kagum sekali, sedangkan Kun Liong menarik napas panjang. Murid ayah mertuanya itu benar-benar amat lihai sekarang. Kini dengan enak saja Tio Sun, Giok Keng, dan Kun Liong menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih orang-orang Ngo-sian-chung dan Lembah Bunga Merah. 

Diam-diam Kun Liong memperhatikan dan dia merasa lega bahwa biarpun masih kelihatan amat galak dan ganas, akan tetapi Cia Giok Keng bukanlah gadis belasan tahun yang lalu, yang seolah-olah merupakan harimau betina haus darah. Dahulu, menghadapi musuh-musuhnya, apalagi anak buah Lima Bayangan Dewa yang merupakan musuh besar, tentu gadis itu akan memperlihatkan sikap kejam tak mengenal ampun lagi, tentu ujung sabuk merah itu akan mencari sasaran jalan darah kematian, sedangkan pedang Gin-hwa-kiam tentu akan berlepoton darah sampai ke gagangnya. 

Akan tetapi sekarang, biarpun masih ganas, Giok Keng hanya merobohkan para pengeroyok tanpa menimbulkan kematian. Demikian pula Tio Sun membuat Kun Liong diam-diam kagum karena biarpun masih muda, Tio Sun juga jelas tidak menghendaki kematian terhadap para pengeroyoknya, hanya menjatuhkan mereka dengan mematahkan tulang dan mendatangkan luka yang ringan saja.

Sementara itu, Bun Houw sudah mencari di seluruh perkampungan Ngo-sian-chung, namun sia-sia belaka. Akhirnya terpaksa dia menangkap seorang wanita anggauta keluarga anak buah Ngo-sian-chung dan menghardik, 

“Hayo cepat katakan di mana adanya Toat-beng-kauw But Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim!” 

Sengaja menempelkan pedangnya di leher wanita yang tentu saja menjadi ketakutan sekali.

“Hamba... hamba tidak tahu... tadi... mungkin... ke hutan di sebelah sana...”



SELANJUTNYA 

Komentar