DEWI MAUT JILID 092

“Twako, kitapun harus membuka jalan darah!” terdengar Kwi Eng berteriak dan terpaksa Tio Sun tidak membantah. 

Karena kini para pengeroyok menghendaki nyawa mereka, tentu saja mereka bertiga harus pula menjaga dan menyelamatkan diri, kalau perlu dengan jalan membunuh para pengeroyok. 

Tio Sun menggerakkan pedang dan joan-piannya secara hebat, demikian pula Kwi Beng dan Kwi Eng mengamuk dengan pedang mereka dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika beberapa orang perajurit roboh untuk tidak bangun kembali! 

Pertandingan menjadi makin seru dan kini merupakan pertempuran mati-matian, namun karena tiga orang muda itu sudah terluka dan fihak pengeroyok amat banyaknya, mereka makin terdesak dan makin terkurung sehingga ruang gerak mereka menjadi makin sempit.

Pada saat yang amat kritis dan berbahaya bagi keselamatan tiga orang muda itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan keadaan para pengeroyok di sebelah luar menjadi kacau-balau. 

Ketika Tio Sun melirik, dia kaget dan juga kagum sekali melihat seorang pemuda tampan dan gagah mengamuk, hanya menggunakan kedua tangan kosong saja melempar-lemparkan para perajurit seperti orang melempar-lemparkan rumput kering saja, sama sekali tidak memperdulikan hujan senjata tajam yang menyambar ke tubuhnya. 

Para perajurit terkejut dan gentar karena pendatang baru ini benar-benar amat lihai, bacokan-bacokan senjata tajam hanya ditangkis oleh lengan yang kulitnya seperti baja kerasnya dan setiap kali tangan kaki pemuda ini bergerak, mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

“Hai, pemberontak dari mana berani menentang pasukan pemerintah?” 

Komandan pasukan menerjang ke depan, akan tetapi pedangnya ditangkap oleh tangan kiri pemuda itu dan sekali remas pedang itu patah-patah. Kemudian pemuda itu menangkap komandan ini pada pinggangnya dan mengangkatnya, tinggi-tinggi.

“Pasukan pemerintah yang hanya menyalah gunakan kedudukannya tiada bedanya dengan penjahat-penjahat! Pergilah kalian!” 

Pemuda itu melemparkan komandan itu sampai jauh dan jatuh terbanting sampai pingsan. Tentu saja semua perajurit menjadi makin gentar, kurungan mereka melonggar.

“Sam-wi yang terkurung, tidak lekas lari mau tunggu apa lagi?” 

Pemuda tampan itu berseru dan mendahulul lari, cepat diikuti oleh Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng. Karena mereka berempat mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja para perajurit sudah kehilangan jejak mereka.

Di tengah sebuah hutan, empat orang muda itu berhenti. Ketika pemuda tampan itu hendak melanjutkan larinya tanpa memperdulikan tiga orang yang telah ditolongnya, Tio Sun cepat mengejar dan berseru, 

“Sahabat yang gagah harap suka berhenti dulu!”


Pemuda tampan itu menoleh dan melihat pandang mereka penuh harapan, terpaksa dia berhenti.

“Sam-wi sudah beruntung dapat terbebas dari kepungan para pasukan itu, ada urusan apa lagikah dengan aku?”

Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng cepat menghampiri dan kini mereka berhadapan. Sepasang mata pemuda tampan itu terbelalak dan jelas dia kelihatan kaget, heran dan bingung ketika dia memandang kepada Kwi Beng dan Kwi Eng secara bergantian. 

“Aihh... kiranya kalian bukan... bukan...” 

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya merasa sangsi. Melihat pakaian dan bentuk tubuhnya, pemuda tampan dan dara jelita ini jelas orang-orang Han, akan tetapi, mengapa matanya kebiruan dan rambutnya agak pirang?

Kwi Eng adalah seorang gadis peranakan barat yang tak dapat disamakan dengan gadis-gadis pribumi yang biasanya bersikap pendiam dan pemalu. Apalagi dia bersama kakak kembarnya mewakili pekerjaan ayahnya sehingga dia sudah biasa bergaul dan tidak malu-malu lagi, bersikap polos dan jujur di samping juga memiliki kecerdasan sehingga dia sudah dapat maklum mengapa pemuda gagah perkasa yang menolong mereka itu kelihatan begitu kaget, heran dan bingung. 

Cepat dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil tersenyum manis sekali dan berkata, 

“Harap saudara yang gagah perkasa dan yang telah menyelamatkan kami tidak menjadi curiga. Biarpun mungkin warna mata dan rambut kami kakak beradik kembar agak berbeda, namun kami berdua adalah berdarah Han, kakak kembarku ini bernama Souw Kwi Beng dan aku sendiri bernama Souw Kwi Eng. Sedangkan dia itu adalah Tio-twako bernama Tio Sun. Kami bertiga telah kena fitnah dan hendak dibawa ke kota raja sebagai tawanan pemberontak, maka pertolonganmu merupakan budi yang amat besar bagi kami.”

Mendengar ucapan lancar dan tidak kaku, pemuda itu merasa lega. Gadis ini luar biasa cantiknya, cantik dan aneh, akan tetapi kata-katanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang Han tulen.

Melihat pemuda yang usianya masih amat muda dan sikapnya seperti pemalu itu namun yang telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya, Tio Sun yang merasa kagum sudah maju dan berkata, 

“Saudara yang muda memiliki kelihaian yang amat mengagumkan hati kami, dan sudah menyelamatkan kami dari bahaya maut. Bolehkan kami mengetahui she dan namamu yang mulia?”

Pemuda itu kelihatan meragu. Dia tadi menolong karena melihat tiga orang muda itu terancam bahaya, sama sekali tidak mempunyai keinginan lainnya. Akan tetapi menyaksikan keramahan mereka, terutama sekali keramahan dara jelita yang dengan mata birunya memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum dan terima kasih, dia merasa tidak enak kalau pergi begitu saja setelah mereka memperkenalkan nama masing-masing. 

Akan tetapi diapun tidak ingin memperkenalkan namanya, maka dia lalu teringat akan nama yang diperkenalkan kepada gadis aneh bernama “Hong” saja yang baru dijumpainya, maka dia lalu menjura dan berkata, 

“Nama saya Houw, she... Bun.”

Pemuda ini bukan lain adalah Cia Bun Houw, putera ketua Cin-ling-pai. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bun Houw berpisah dengan In Hong, atau lebih tepat lagi dara itu yang meninggalkannya karena tidak mau melakukan perjalanan bersama setelah Bun Houw suka mencegahnya membunuh musuh-musuhnya di perjalanan. 

Bun Houw merasa kecewa sekali bahwa dara yang telah menjadi penolongnya itu meninggalkannya, akan tetapi kerena teringat akan tugasnya mencari dan menyelidiki musuh-musuh besarnya, yaitu Lima Bayangan Dewa, diapun melanjutkan perjalanannya dan pada hari itu dia menyeberangi Sungai Huang-ho dan kebetulan melihat tiga orang muda yang terancam bahaya oleh pengeroyokan para perajurit itu, lalu turun tangan menolong mereka.

Tio Sun merasa makin kagum dan heran. Pemuda tampan ini sikapnya begitu sederhana, masih amat muda dan agaknya dia belum pernah mendengar nama pemuda ini di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat kepandaiannya tadi, biarpun hanya bergebrak dengan para perajurit, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, tentulah murid seorang yang sakti.

“Bun-enghiong masih begini muda akan tetapi telah memiliki kepandaian luar biasa, sungguh membuat kami merasa kagum sekali. Kalau sekiranya tidak menjadikan halangan dan kalau kiranya kami cukup pantas menjadi sahabatmu, kami ingin sekali bersahabat dengan Bun-enghiong,” kata Tio Sun.

Souw Kwi Beng yang sejak tadi diam saja kinipun berkata, 
“Kami kakak beradik kembarpun akan merasa terhormat sekali kalau bisa menjadi sahabat Bun-taihiap.”

Bun Houw merasa kikuk sekali. Tiga orang muda ini jelas merupakan orang-orang gagah yang sopan dan terpelajar, maka akan keterlaluanlah di fihaknya kalau dia tidak melayani uluran tangan mereka. Pula, dara bermata biru itu benar-benar mempesonakan! 

Selama hidupnya baru sekarang dia berhadapan dengan seorang dara yang begitu jelita, matanya bening lebar kebiru-biruan dan rambutnya agak pirang dan berkilauan halus.

Bun Houw menjura dengan hormat. 
“Tentu saja saya suka sekali bersahabat dengan sam-wi (kalian bertiga). Mengapakah kalian tadi dikeroyok perajurit di tepi sungai dan dimana sam-wi tinggal?”

“Mari kita duduk di tempat yang teduh agar leluasa bicara,” kata Tio Sun dan mereka lalu memilih tempat di bawah pohon yang rindang, duduk di atas batu-batu di bawah pohon itu.

Secara singkat Kwi Eng yang pandai bicara itu lalu menceritakan urusannya, mula-mula dengan Tokugawa ketika kepala bajak itu menculik kakak kembarnya dan dia dengan bantuan Tio Sun berhasil menyelamatkan kakaknya. Kemudian betapa dia difitnah oleh pembesar setempat sebagai pemberontak dan pembunuh kaum nelayan yang bukan lain hanya bajak-bajak laut. Sampai mereka ditangkap dan akan dikirim ke kota raja, kemudian mereka berusaha meloloskan diri dan dikeroyok di tepi Sungai Huang-ho.

Bun Houw menarik napas panjang. 
“Sudah kudengar akan kekacauan yang mulai terjadi di mana-mana karena lemahnya pemerintah pusat di kota raja. Jadi ji-wi adalah putera-puteri seorang ayah bangsa barat dan ibu bangsa pribumi? Pantas saja keadaan ji-wi agak lain.”

“Biarpun kedua saudara Souw ini putera orang barat, akan tetapi ayahnya bukan orang sembarangan, karena ayahnya adalah Yuan de Gama, seorang tokoh bangsa barat yang disegani dan dihormati. Apalagi ibunya. Ibunya adalah pendekar wanita terkenal, Souw Li Hwa murid mendiang Panglima Besar The Hoo...”

“Ahhhh...!” 

Bun Houw kaget bukan main mendengar ini. Tentu saja diapun sudah pernah mendengar dari ayah dan ibunya tentang Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang dikabarkan mati tenggelam secara gagah bersama kapalnya.

“Kau pernah mendengar nama ayah dan ibu, Bun-taihiap?” tanya Kwi Eng sambil memandang tajam.

Bun Houw menggeleng kepala. 
“Saya terkejut mendengar nama mendiang Panglima Besar The Hoo.” Kemudian dia memandang kepada Tio Sun. “Tio-twako agaknya juga bukan keturunan sembarangan dan ternyata engkau seorang pendekar yang suka menolong orang lain yang sedang tertimpa malapetaka seperti yang telah kau lakukan terhadap kedua orang saudara Souw ini.”

Merah wajah Tio Sun menerima pujian ini, dan dia menarik napas panjang. 
“Persoalan yang kuhadapi tadi benar-benar membuat aku bingung, Bun-hiante. Terus terang saja, ayahku adalah seorang bekas pengawal kepercayaan Panglima Besar The Hoo, ayahku bernama Tio Hok Gwan...”

“Ban-kin-kwi...?” 

Bun Houw kelepasan bicara karena tentu saja mengenal baik nama ini, nama seorang sahabat baik ayahnya!

“Kau sudah mendengar pula julukan ayah? Ayah seorang bekas pengawal yang setia, tentu saja akupun segan untuk melawan perajurit pemerintah. Akan tetapi melihat sikap Ciang-tikoan yang sewenang-wenang, terpaksa aku menentangnya. Sekarang, setelah terjadi peristiwa ini, kedua orang saudara Souw tidak mungkin lagi kembali ke Yen-tai, dan inilah yang membikin aku menyesal sekali.”

“Ah, mengapa menyesal, twako? Kami berdua tidak menyesal. Biarlah kami tidak dapat kembali ke Yen-tai dan menanti sampai ayah ibu pulang dari barat. Kami berdua malah telah mengambil keputusan untuk membantu Tio-twako dalam mencari musuh-musuh Cin-ling-pai itu dan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mencari Lima Bayangan Dewa yang menjadi musuh-musuh besar Cin-ling-pai. Ayah dan ibu tentu akan bangga kalau mendengar akan sikap kami ini,” kata Kwi Eng.

Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati Bun Houw mendengar percakapan mereka itu. Dan sampai bengong memandang mereka tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. 

Kwi Eng yang kebetulan memandang kepada pemuda itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan menunduk karena melihat betapa pemuda tampan itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!

“Bun-taihiap, engkau... mengapakah?” Kwi Eng yang tidak pemalu itu menegur halus.




SELANJUTNYA 

Komentar