DEWI MAUT JILID 084

 Sang ayah kini mengerti bahwa anak perempuannya menjadi kebiadaban para kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.

“Bukkk…!” Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikitpun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkang jauh.

“Ayahhh………!”

“Keparat……!” Tio Sun melangkah maju.

“Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk……!” Nelayan itu berkata ketakutan.

Tio Sun menjadi marah sekali. Dia bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah ketakutan. 

“Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan orang-orang asing biadab ini, kalian sama sekali tidak mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir, dan lebih celaka lagi, kalian melarang aku untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?”

Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini. Orang-orang kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apalagi dalam hal perdagangan. 

Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, apalagi kalau dihalangi kehendak mereka, keramahan berobah menjadi kekerasan dan kekejaman. Dan rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut. 

Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara pembesar-pembesar setempat dengan orang-orang bule tinggi besar itu. Dan kenyatannya memang demikian. 

Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksasa ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasihat agar sebagai “tuan rumah” para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi “rakyat” ini. 

Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.

Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tidak ada seorangpun berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.
Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. 
“Setan, engkau perlu dihajar!” bentaknya dan dia sudah menerjang Tio Sun dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras sekali!

Tio Sun tentu saja sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit saja namun cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya itu menyambar angin kosong belaka. 

Ketika pukulan yang kesekian kalinya meluncur mengarah dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.

“Dukkkk... aughhhh...!” 

Si rambut merah berteriak kesakitan dan memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang lebih kuat daripada tulang atas lengan, biarpun keduanya terlatih sekalipun, apalagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lengannya retak-retak rasanya.

Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya agak membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan tubuh atas Tio Sun.

Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan amat mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.

“Ngekkk!”

Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga kini kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. 

Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata istimewa ini. 

“Mampus kamu! Wuuutttt... siyuuuutt...!” 

Kembali si rambut merah menyerang dengan ganas. Kedua matanya sudah menjadi merah dan lagaknya persis seekor lembu jalang yang mengamuk karena terluka.

Kalau tadi si rambut merah menggunakan cara bertinju menurut aturan karena dia merasa yakin bahwa dengan kepandaiannya bermain tinju dia akan dapat mengalahkan lawan yang kelihatan kecil lemah ini, kini dia tidak lagi memperhatikan aturan dan menggunakan segala akal curang dalam cara berkelahi untuk mencari kemenangan, maka kini dia tidak lagi memukul ke arah tubuh atas saja, melainkan dia memukul ke arah lambung, pusar dan lain-lain, bahkan kedua kakinya yang memakai sepatu boot itupun ikut pula menyerang. 

Betapapm juga, bagi Tio Sun, gerakan raksasa ini masih terlalu lambat dan kacau tidak teratur, pokoknya asal menyerang saja maka sudah tentu amat mudah dihadapi oleh pemuda gemblengan ini. Dia membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai dia mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat sekali, dia melangkah maju sehingga kini dia berada di sisi belakang lawan. Cepat kakinya bergerak menyentuh lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk.

Si rambut merah kembali terjungkal, kini roboh dan menyeringai kesakitan, kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang dan dia melihat ribuan bintang beterbangan di sekelilingnya, dan kakinya yang kanan menjadi salah urat di bagian lutut sehingga dia tidak mampu bangun kembali.

Semua nelayan yang menyaksikan pertempuran ini dari tempat aman, melongo dan terheran-heran mengapa ada pemuda yang begitu berani menentang si rambut merah yang terkenal kuat dan pemberani itu. Bahkan raksasa rambut merah ini pernah dikeroyok oleh belasan orang nelayan pribumi tanpa merasa takut dan tidak kalah pula! 

Juga si rambut pirang bengong keheranan, hampir tidak percaya bahwa temannya yang cukup jagoan itu dikalahkan sedemikian mudahnya oleh si pemuda kecil lemah ini. Keheranannya berobah menjadi kemarahan besar ketika dia tahu bahwa temannya itu terluka cukup parah karena buktinya tidak mampu bangkit kembali. Dia lalu mencabut sebatang pisau belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tio Sun dengan senjata pisaunya yang mengkilap. Melihat ini, para nelayan menjadi pucat wajahnya. Pemuda itu tentu akan tewas!

Akan tetapi tentu saja serangan pisau yang menyambar ke arah perutnya itu merupakan serangan yang tidak ada artinya bagi Tio Sun. Akan tetapi pemuda ini juga sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk membunuh dua orang ini, karena dia masih menganggap bahwa kesalahan mereka itu hanya timbul karena mungkin terjadi salah pengertian belaka. 

Mungkin karena kurang pandai bicara atau belum begitu menguasai bahasa daerah, orang-orang asing ini salah menduga dan mengira gadis nelayan itu seorang perempuan pelacur yang boleh dipermainkan sesukanya asalkan dibayar! 

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan mabok seperti itu, dua orang asing ini memang menganggap semua perempuan pribumi suka kepada mereka dan boleh mereka ajak bermain cinta dengan hadiah uang.

Karena tidak ingin membunuh, maka Tio Sun juga hanya mengelak dari sambaran pisau itu. Sampai lima kali dia terus mengelak sambil berkata, 

“Kau pergilah dan jangan ganggu wanita!”

Akan tetapi mana mungkin si rambut pirang yang sudah marah dan mabok itu mau menerima begitu saja? Dia menyerang makin ganas karena terbawa oleh rasa penasaran, betapa lawannya dapat mengelak dengan mudah, bahkan sambil menasihatinya! 

Pada saat itu, kelasi barat yang berambut merah sudah berhasil bangkit, terpincang-pincang dan meniup peluitnya. Terdengar bunyi peluit melengking nyaring berkali-kali dan para nelayan yang mendengar peluit ini menjadi terkejut. Mereka maklum apa artinya bunyi peluit ini. Kelasi asing itu memanggil kawan-kawannya dan mereka menjadi takut kalau-kalau terbawa-bawa, maka mereka lalu melarikan diri dari pantai itu untuk pergi melapor kepada yang berwajib agar pemuda itu tidak sampai dikeroyok dan mati secara mengerikan.

Tadinya Tio Sun tidak mengerti apa artinya tiupan peluit nyaring itu. Akan tetapi ketika dia melihat belasan orang asing datang berlarian ke tempat itu, dia mengerti bahwa itu tentulah teman-teman dua orang ini yang datang memenuhi panggilan suara peluit tadi. Marahlah hatinya dan dia berkata kepada dua orang itu, 

“Gadis itu dan ayahnya sudah pergi. Perlu apa ribut-ribut lagi? Mundurlah, kalian dan aku tidak akan memperpanjang urusan ini!”

Ucapan Tio Sun itu dianggap sebagai sikap ketakutan oleh dua orang asing itu, maka si rambut pirang memperhebat serangan pisaunya, dan si rambut merah terpincang-pincang memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar lebih cepat datang.

“Keparat!” 

Tio Sun membentak dan pada saat pisau menyambar untuk ke sekian kalinya, dia hanya miringkan sedikit tubuhnya, pada saat pisau itu meluncur dekat dadanya dia cepat menggerakkan tangannya yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang pisau itu.

“Dukkk... plak!” 

Pisau terpental dan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparannya yang mengenai bawah telinga lawan. Si rambut pirang terpelanting dan mengaduh-aduh, kepalanya seperti pecah rasanya.

Pada saat itu, sebelas orang kulit putih lain yang merupakan anak buah dua orang kelasi jagoan ini, sudah tiba di situ dan tanpa banyak cakap lagi mengepung dan menyerang Tio Sun dari berbagi jurusan, dengan senjata macam-macam, besi pelindung kepalan, pisau dan rantai.

“Kalian orang-orang biadab yang jahat!” 

Tio Sun berseru dan kini pemuda ini mengamuk. Gerakannya tangkas dan cepat, membagi-bagi pukulan dan tendangan di antara mereka, sehingga ramailah pertempuran itu. 

Para pengeroyok itu jatuh bangun dan setiap kali kaki atau tangan Tio Sun bergerak pasti ada seorang pengeroyok yang terjungkal atau terpelanting, setidaknya terhuyung-huyung sambil mengaduh-aduh. 

Tidak ada yang tahu betapa sejak tadi ada sepasang mata jeli yang menonton pertempuran keroyokan itu dengan mata berseri-seri dan mulut mengeluarkan kekagumannya melihat ketangkasan Tio Sun. Mata jeli ini milik seorang dara muda yang memiliki kecantikan yang khas. 

Melihat pakaiannya, dia adalah seorang dara pribumi yang berkecukupan, akan tetapi kalau orang memperhatikan dia di tempat terang, tidak di tempat gelap seperti sekarang ini karena senja telah tua, orang akan melihat bahwa sepasang matanya lebar, tidak seperti dara wanita pribumi, dan warnanya kebiruan! Juga rambutnya tidaklah hitam seperti biasa, melainkan agak keemasan! 

Mata dan rambutnya seperti orang asing itu, akan tetapi bentuk tubuhnya seperti wanita pribumi, demikian pula pakaiannya! Karena inilah maka dia memiliki kecantikan yang khas dan aneh, memiliki daya tarik tersendiri, berbeda dari dara-dara umumnya.

SELANJUTNYA 

Komentar