DEWI MAUT JILID 075
Gunung itu penuh dengan hutan yang mengandung pohon-pohon lengkap dan subur, akan tetapi sungguh mengherankan, di puncaknya hanya ditumbuhi pohon-pohon cemara belaka. Oleh karena itu maka puncak itu disebut puncak Gunung Cemara, sebuah gunung yang tidak berapa tinggi akan tetapi lerengnya penuh dengan hutan lebat.
Sebuah rumah gubuk kecil terdapat di puncak di antara pohon-pohon cemara yang tinggi, seperti berlindung di bawah pohon-pohon itu, atapnya sudah penuh dengan batang-batang daun cemara yang tebal menutupi atap rumah gubuk.
Tanah di sekitar tempat itupun sudah tertutup batang daun cemara sehingga kalau orang duduk di atasnya, terasa enak dan empuk pula, bersih tidak becek walaupun di waktu hujan.
Kakek itu pakaiannya biasa saja, seperti pakaian seorang petani. Dia sudah tua sekali, tentu sudah ada tujuh puluh tahun usianya, namun wajahnya masih segar dengan kulit kemerahan dan tidak nampak keriput seperti wajah orang-orang muda, sungguhpun semua rambut, jenggot dan kumisnya telah putih semua.
Pada pagi hari itu, kakek ini sedang mengeluarkan banyak tampah-tampah untuk menjemur rempah-rempah dan bahan-bahan obat di bawah sinar matahari pagi. Pekerjaan ini dilakukannya dengan penuh kesungguhan, penuh perhatian dan dengan wajah gembira-ria.
Berbahagialah orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan perasaan kasih di hatinya. Dan pekerjaan apapun yang dilakukan orang, perbuatan apapun yang dilakukannya, apabila berdasarkan cinta kasih, maka perbuatan itu tentu benar adanya!
Sayang sekali bahwa kita pada umumnya sudah tidak lagi mengenal cinta kasih dalam segala perbuatan kita. Perbuatan kita selalu didorong oleh kepentingan diri pribadi lahir batin, demi keuntungan, demi kesenangan, demi kebencian, iri hati, pamrih dan lain-lainnya.
Kalau saja kita dapat melakukan pekerjaan kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi penghasilannya! Kalau saja kita dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih di hati! Betapa akan indahnya hidup ini, betapa akan bahagianya hidup ini.
Bagi kakek tua renta itu, pada saat dia menjemur rempah-rempah itu, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini, tidak ada persoalan, tidak ada pemikiran, tidak ada apa yang disebut waktu, bahkan dia tidak ingat lagi akan dirinya sendiri.
Sinar matahari pagi, hembusan angin pegunungan, kicau burung, keharuman daun cemara dan rempah-rempah yang dijemurnya, pergerakan jari-jari tangannya yang mengatur akar-akaran dan daun-daunan yang dijemur di atas tampah-tampah, semua itu sudah serasi, sudah selaras, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, merupakan bagian dari keadaan, dari kehidupan, dari cinta kasih.
Tanpa disadarinya, terdengar dendang disenandungkan dari mulut kakek yang sudah ompong itu, seolah-olah dia mengikuti irama yang terdengar oleh telinganya, entah dari mana, seperti terbawa oleh angin yang semilir.
Akan tetapi, keheningan yang suci itu segera terganggu dengan munculnya seorang gadis cantik jelita yang membawa sebatang pedang di punggungnya. Gadis ini bukan lain adalah Yap In Hong. Melihat kakek tua renta ini menjemuri obat-obat di depan gubuknya, membiarkan tampah-tampah berisi obat-obat itu ditimpa sinar-sinar matahari yang menerobos turun melalui celah-celah daun cemara, In Hong berhenti sejenak, memandang penuh perhatian lalu menengok ke kanan kiri. Tidak nampak orang lain di tempat itu.
Dia melangkah maju menghampiri
“Kakek, apakah engkau yang berjuluk Setan Obat?”
Kakek itu terkejut, seperti diseret turun dari sebuah dunia lain dimana tidak ada pemikiran, tidak ada persoalan, kini kembali ke dunia yang banyak pertikaian, banyak pertentangan yang ditimbulkan oleh manusia. Dia menoleh, memandang gadis muda itu dan alisnya berkerut merut ketika pandang matanya bertemu dengan sarung pedang di punggung gadis itu. Dia lalu menunduk kembali, mengatur akar-akaran dan daun-daunan obat di atas tampah seolah-olah tidak terjadi sesuatu, akan tetapi kini lenyaplah seri di wajahnnya, lenyaplah senandungnya.
In Hong sudah diberi tahu oleh murid-murid Bu-tong-pai akan keanehan watak kakek ini, maka dia tidak menjadi marah melihat betapa kakek itu seolah-olah tidak mengacuhkannya sama sekali.
“Yok-mo.” dia berkata sambil melangkah maju dan menghadapi kakek itu. “Aku Yap In Hong, datang untuk mohon pertolonganmu memberi obat untuk seorang yang telah terluka hebat oleh racun kelabang hitam.”
Setelah mengulang kata-katanya sampai tiga kali dengan suara sabar, akhirnya kakek itu mengangkat muka memandang dan In Hong terkejut melihat betapa kakek tua renta ini selain berwajah segar dan muda, juga memiliki sepasang mata yang bersinar jernih seperti mata kanak-kanak.
“Wanita muda, apakah kau datang untuk membunuh orang?” tiba-tiba kakek itu bertanya dengan suara lantang.
Tentu saja In Hong terkejut dan terheran mendengar pertanyaan ini. Dia cepat menggeleng kepala.
“Kalau begitu, mengapa engkau datang membawa-bawa sebatang pedang? Untuk apalagi orang membawa-bawa pedang kalau tidak ada niat terkandung di hati untuk menyerang dan membunuh orang lain?”
In Hong makin terkejut. Biarpun dia sudah mendengar bahwa kakek ini seorang aneh, akan tetapi dia tidak menyangka akan diserang dengan kata-kata seperti itu. Akan tetapi dia tidak menjadi gugup dan cepat menjawab,
“Kakek yang baik, setiap orang yang melakukan perjalanan, apalagi kalau dia mengerti ilmu silat, tentu membawa sebatang senjata. Apa anehnya hal itu? Membawa senjata bukan berarti hendak menyerang orang.”
“Huh! Semua orang yang membawa senjata, mana ada yang baik iktikadnya? Senjata adalah alat untuk membunuh, siapa yang membawanya berarti sudah siap untuk menyerang dan membunuh orang lain. Setiap orang manusia mesti mati, mengapa kalian ini orang-orang yang haus darah tidak membiarkan semua orang mati seperti semestinya dan wajar, akan tetapi menuruti nafsu untuk saling membunuh? Engkau yang mempunyai hati kejam, yang selalu membawa pedang dan setiap saat siap membunuh orang lain, sekarang tidak malu datang kepadaku minta obat untuk menyelamatkan nyawa orang? Bukankah sudah menjadi kesenanganmu melihat orang mati?”
In Hong mengerutkan alisnya. Sungguh berabe menghadapi orang seperti ini, pikirnya.
“Kakek yang aneh, senjata tajam belum tentu untuk menyerang dan membunuh orang, aku membawanya untuk menjaga diri dari ancaman bahaya. Coba saja kau pikir, kalau aku melakukan perjalanan seorang diri, lalu muncul seekor binatang buas yang menyerangku, bagaimana aku harus membela diri? Bahkan harimaupun mempunyai taring, ular mempunyai racun, semua binatang mempunyai senjata untuk membela diri, mengapa manusia tidak?”
“Binatang tidak akan menyerang manusia kalau tidak diganggu atau lapar. Binatang merupakan mahluk yang lebih baik daripada manusia! Manusia adalah mahluk paling jahat dan kejam di permukaan bumi ini. Tidak ada binatang yang membunuh untuk kesenangan, atau membunuh karena permusuhan dan kebencian. Binatang membunuh untuk dapat hidup, membunuh karena dorongan perut lapar. Akan tetapi manusia membunuh apa saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan membunuh sesama manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh karena permusuhan dan kebencian. Phahh!”
“Akan tetapi, Yok-mo, aku tidak akan sembarangan memusuhi orang, tidak sembarangan membenci orang, apalagi tidak akan sembarangan menyerang atau membunuh orang lain. Semua itu tentu ada sebab-sebabnya. Seperti sekarang ini, aku sama sekali tidak mempunyai niat membunuh siapapun juga, bahkan kedatanganku ingin minta bantuanmu agar kau suka memberi obat kepada seorang yang menjadi korban kejahatan manusia lain yang amat jahat.
Tentu saja keadaan ini bisa berobah sama sekali. Andaikata engkau lalu tiba-tiba menyerang dan hendak mencelakakan aku, tentu saja aku akan membela diri dan mungkin membunuhmu dalam pertempuran. Jadi, menyerang, membenci, memusuhi atau membunuh sekalipun tentu ada sebab-sebab yang mendorongnya, bukan semata-mata manusia adalah mahluk yang suka membunuh.”
“Memang ada manusia yang tidak suka sama sekali untuk membunuh, baik dengan alasan apapun juga, akan tetapi engkau termasuk manusia yang suka membunuh, dan hal ini dibuktikan dengan adanya pedang di punggungmu. Dan manusia tukang bunuh seperti engkau ini datang untuk minta bantuan kepadaku? Huh, aku tidak sudi!”
Merah wajah In Hong. Hatinya mulai marah. Kakek ini kasar dan sombong, pikirnya.
“Orang tua, melihat sikapmu ini, andaikata aku sendiri yang terluka dan terancam maut, akupun tidak akan sudi minta pertolongan kepadamu! Akan tetapi yang terluka adalah orang lain, dan dia menjadi korban dari kejahatan manusia iblis, dia dilukai dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam, kalau tidak mendapatkan obat yang mujarab, dalam waktu tiga hari tiga malam tentu mati.”
“Orang yang terluka itu tentu seorang tukang bunuh pula. Tidak! Biarkan dia mampus, sesuai dengan kesukaannya membunuh manusia lain, aku tidak sudi menolongnya!”
“Ha-ha-ha-ha, tidak mau menolong orang yang terancam maut, bukankah seorang pembunuh pula? Ha-ha-ha, engkau kakek yang bernama Yok-mo? Engkaupun seorang pembunuh! Seorang pembunuh yang licik dan curang!”
Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang datangnya dari jauh, bergema akan tetapi begitu kalimat terakhir habis, orangnyapun nampak muncul seperti setan, seorang kakek pendeta Lama tinggi besar seperti raksasa, berjubah merah dan memanggul tubuh seorang anak laki-laki yang seluruh tubuhnya sudah kehitaman karena racun yang amat hebat!
Yok-mo memutar tubuhnya dan In Hong terkejut bukan main. Melihat munculnya kakek yang didahului sambaran angin dahsyat, dan suaranya yang jelas dikerahkan dengan kekuatan khi-kang yang hebat sekali, jelas bahwa pendeta Lama ini bukanlah orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Akan tetapi Yok-mo sudah marah sekali. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka pendeta gundul itu dan membentak,
“Pendeta-pendeta malah merupakan manusia-manusia yang lebih jahat lagi, seperti srigala-srigala berkedok domba. Seperti engkau ini, mulutmu lancang sekali mengatakan bahwa aku pembunuh! Selama hidupku aku belum pernah membunuh.”
“Ha-ha-ha, kalau begitu engkau manusia yang paling jahat!”
Pendeta berjubah merah itu tertawa bergelak dan hal ini tentu saja membuat Yok-mo dan In Hong memandang dengan mata terbelalak. Yok-mo marah sekali, akan tetapi In Hong terheran-heran karena omongan pendeta ini malah lebih aneh dan nekat daripada Yok-mo!
“Eh, hwesio sesat! Jangan bicara sembarangan kau! Aku melihat engkau membawa anak laki-laki yang terkena racun hebat, tentu engkaupun tukang berkelahi dan tukang bermusuhan dengan manusia lain. Aku tidak bisa berhubungan dengan orang-orang macam engkau!”
“Ha-ha-ha, Yok-mo, membunuh dan membunuh ada dua macam. Ada membunuh yang baik dan membunuh yang tidak baik. Kau harus obati muridku ini!”
“Tidak, aku tidak sudi!”
Kakek gundul itu melepaskan tubuh anak yang kehitaman itu ke atas tanah. In Hong memandang ke arah anak itu dengan penuh perhatian dan dia terkejut bukan main melihat gejala anak itu seperti korban keganasan racun Siang-tok-swa!
Dugaannya memang betul karena anak itu adalah Lie Seng yang menjadi korban Siang-tok-swa gurunya, yaitu Yo Bi Kiok dan kakek gundul itu bukan lain adalah Kok Beng Lama.
“Yok-mo, kata-katamu membuktikan bahwa memang ada dua macam sifat membunuh, yang baik dan yang jahat. Kau adalah pembunuh yang jahat, sedangkan nona ini dan aku adalah pembunuh-pembunuh yang baik. Kalau engkau tidak mau mengobati muridku, berarti muridku mati dan engkau menjadi pembunuh yang jahat karena sebetulnya engkau akan mampu mengobatinya. Kalau engkau tidak mau, aku akan membunuhmu dan aku adalah pembunuh yang baik karena manusia seperti engkau sudah sepatutnya dibunuh agar tidak membunuh orang-orang lain seperti sekarang. Ha-ha-ha!”
In Hong menjadi bingung. Kata-kata kakek gundul ini tidak karuan dan melihat sinar matanya, kakek gundul ini seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan tetapi, anehnya, ucapan itu membuat Yok-mo termenung-menung dan meraba-raba jenggotnya yang sudah putih semua, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas bangku, bengong melamun dan mulutnya berkali-kali mengeluarkan kata-kata lirih,
“Aku... pembunuh? Benarkah aku pembunuh? Pembunuh...?”
“Ha-ha-ha! Kau pembunuh licik dan curang. Aku selalu membunuh orang lain dengan adil, memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Akan tetapi engkau! Engkau membunuh orang tanpa memberi kesempatan orang itu membela diri. Lihat, kau sedang membunuh muridku itu, nah, bukankah engkau pembunuh yang curang dan licik? Biar aku menunggu disini melihat bagaimana engkau membunuhnya dengan kejam, setelah itu, aku akan membunuhmu dengan adil, memberi kau kesempatan untuk membela dirimu.”
Komentar