DEWI MAUT JILID 070
Bun Houw melihat bayangan berkelebat di atas, cepat dia meloncat dan masih sempat melihat berkelebatnya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir pagi itu.
Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim dan semua tamunya sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya.
“Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-nyambar, ada bayangan orang berkelebatan, dan tahu-tahu kami semua roboh dan tiga orang tawanan itu melarikan diri.”
Orang itu bercerita dengan suara hampir menangis, tidak hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada majikannya ini.
“Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu? Laki-laki atau wanita?”
“Hamba... tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan manusia, melainkan... setan...”
“Dess!”
Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan!
“Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!”
Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu Sit berkata dengan suara mengejek dan melirik ke arah Liok Sun.
“Kalau tadi sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali ke Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yaitu Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!”
Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini.
“Harap Bu-enghiong tidak berkata demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja...”
“Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara. Bukankah begitu? Eh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai itu.”
Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang kepada Si Setan Pedang itu dengan pandang mata penuh pertanyaan dan tuntutan.
Liok Sun menjadi terkejut dan merah sekali karena pertanyaan orang she Bu itu mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!
“Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini? Engkau tahu bahwa aku sama sekali tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya mengusulkan pula agar mereka dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan akan kesalah pahaman yang terjadi sehingga dengan demikian ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya perkara dan menghabiskan permusuhan...”
“Hemm... kalau tidak kau cegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai pun tidak akan tahu apa-apa. Sekarang mereka lolos dan semua ini adalah salahmu, orang she Liok!” Bu Sit berseru marah.
“Toat-beng-kauw, kau sungguh terlalu menuduh orang!” Liok Sun membentak dan mencabut pedangnya.
“Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol dengan orang Bu-tong-pai!”
Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya. Memang orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu dengan Ciok Lee Kim, apalagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee Kim dan dua orang muridnya tergila-gila.
Meliaat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja, karena ia sendiri merasa penasaran dan juga marah dan menyesal melihat lolosnya tiga orang tawanan tadi. Betapapun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat lolos.
“Trang-cring-cringgg...!” berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit.
Pertandingan itu seru dan ramai sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit jauh lebih tinggi karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin menyempit.
“Trangg... cring... srattt...!”
Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Pada saat itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tertawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah ubun-ubun Liok Sun.
Kalau ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu akan berlubang. Liok Sun terkejut, menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunya selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.
“Tar-tar-terrr...!”
Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya!
Liok Sun terhuyung dengan tubuh penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah terlempar entah kemana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.
Ketika melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan mata mendelik dia memaki,
“Keparat busuk, engkaupun sudah bosan hidup!”
Dia mengerahkan sin-kangnya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi kaget, penasaran dan marah sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sampai perutnya mengeluarkan suara melalui kerongkongannya,
“Hekk!” dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun Houw.
“Wirrrr...!”
Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan luar biasa karena tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah kepalanya!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak, mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata! Dia hanya bisa miringkan kepalanya untuk menghindarkan diri.
“Ciuuuttt... tess...!”
“Auuuhhh... aduhhhh... aduhhhh... wah, keparat kau...!”
Bu Sit tentu saja berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala dimana tadi telinga kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur oleh sambaran ujung cambuknya sendiri.
Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim dan Bu Sit sendiri. Mereka berdua sudah tahu betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan tetapi dalam segebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!
“Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke sini...!”
Bu Sit membentak dan dia sudah menerjang kepada Bun Houw dengan kemarahan meluap-luap. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu dapat menghindar ke sana ke mari.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangis setengah maki-makian marah, dan tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di tangan Bu Sit itu.
Melihat keadaan dua orang muridnya, Ciok Lee Kim terkejut dan hanya dengan susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sutenya menyerang pemuda yang ternyata amat lihai itu.
Girang hati Bun Houw.
“Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!” katanya sambil menangkis sambaran ujung saputangan merah yang meluncur ke arah lehernya itu dengan sentilan jari tangannya.
“Prattt...! Aihhh...!”
Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan yang mengenai ujung saputangannya itu membuat saputangannya terpental dan jari-jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali!
“Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo, katakan dimana adanya Tiga Bayangan Dewa lainnya dan dimana pula kalian sembunyikan Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!”
Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali. Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini, mereka berdua berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sin-kang ini, namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu.
“Keparat! Siapa engkau?”
Ciok Lee Kim berseru dan kedua saputangannya berobah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.
“Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!”
Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan. Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua gulungan sinar merahnya menyambut dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan kelihaian pemuda itu membantu sucinya, menubruk dengan lecutan cambuk bajanya.
“Tar-tarrr... suiiiittt...!”
Sebatang cambuk baja dan dua helai saputangan merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki tangannya.
“Dess...! Plakkk...!” Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sutenya terlempar dan terbanting ke kanan kiri!
“Singgg...!”
Sinar hitam menyambar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dua orang Bayangan Dewa ini.
Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya. Namun Hek I Siankouw nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu dapat meloncat ke belakang sambil menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong pula.
“Wuuuttt-wut-wutttt...!”
Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran sinar kemerahan dari samping kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di tubuhnya dengan kecepatan dan tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi daripada serangan pedang hitam si nenek tadi.
Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar. Ketika dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim (kebutan dewa) di tangannya.
Komentar