DEWI MAUT JILID 068
Bun Houw terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.
“Akan tetapi... aku... ji-wi berdua... kita...” Sukar baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua orang wanita ini akan menemani tidur!
Akan tetapi dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentafsirkan kata-kata dan kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka.
“Heh-heh, Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi sudah biasa hidup akur dan saling membagi apa saja,” kata yang lebih tua.
“Benar, adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami yang lebih lihai... hi-hi-hik!” kata yang muda.
Bun Houw melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda itu telah menanggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang memikat sekali. Kini mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah muda dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak ditutup apa-apa lagi di bawah pakaian dalam itu.
Sang suci (kakak seperguruan perempuan) sambil tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu, mengangkat lengannya ke atas dan ke belakang kepala untuk melepaskan sanggul dan mengurai rambut.
Gerakan ini tentu saja menonjolkan bagian depan dadanya yang nampak membayang di balik kain tipis itu. Adapun sang sumoi yang pakaian dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang lemah gemulai untuk menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di waktu melenggang membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang bukit pinggulnya menari-nari!
Bun Houw merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia melihat itu semua dan berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya berdebar dan lehernya terasa kering.
“Harap ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso...” Dia membantah.
Akan tetapi dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil tersenyum dan Bun Houw memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu sedang mengancamnya dan hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Adik Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu agar kita dapat mengaso dengan enak...” kata sang sumoi.
“Dan biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante...” Sang suci juga berkata dengan suara merayu.
Bun Houw mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasan. Gara-gara dua orang wanita yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan gagal. Dia akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar itu.
Akan tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk bergerak turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kamar itu terdengar suara laki-laki,
“Ai-kwi dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?”
Bun Houw terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya yang tadi sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah pintu, dan yang lebih tua menjawab,
“Ah, Bu-susiok (paman guru Bu) di luar? Benar, kami berada di sini menemani tamu!”
Daun pintu kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang saking tidak sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu berahi itu. Bun Houw menjadi merah sekali mukanya saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti monyet, kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, aku mencari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di sini. Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup seorang sajapun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu kepadamu, mari kau temani pamanmu yang kesepian.”
Setelah berkata demikian, si muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra.
Sang suci mengerutkan alisnya dan tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah yang cantik itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut.
“Aihh... susiok, biar sumoi saja malam ini menemanimu...” Wanita itu membantah halus.
“Siapa? Ai-kiauw...? Ah, Ai-kwi, aku rindu padamu, sudah lama benar... heh-hehm, dan Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!” Dia menarik dan memaksa wanita itu.
Ai-kwi bersungut-sungut dan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan membiarkan dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar setelah dia melempar pandang mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw.
“Hi-huuuuuhh...!”
Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke arah pintu, menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan meloncat, menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan.
“Sekarang kita hanya berdua, orang tampan...!”
Wanita itu lalu menghujankan ciuman ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan. Sejenak Bun Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh nafsu berahi dari wanita ini membuat dia merasa muak?
“Enci, jangan begitu...!” Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar panggilan dari luar pintu.
Mendengar suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke sudut kamar. Bun Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian luarnya. Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Kiranya Hui-giakang Ciok Lee Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu!
“Maaf, subo. Subo memanggil teecu?” Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat.
Sepasang mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik, kemudian pandang matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan. Agaknya keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan dan memuaskan hati wanita ini. Dia mengangguk dan berkata,
“Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo Liok Sun, kau temani dia!”
Jelas betapa Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main.
“Akan tetapi... teecu kira... subo dan dia...”
“Cerewet, pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda agar yang muda bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi perintah!” Ciok Lee Kim membentak.
“Baik, subo...”
Ai-kiauw mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari kamar itu dengan kepala ditundukkan.
Ciok Lee Kim menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil tersenyum genit. Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena dia pandai bersolek dan memang dahulunya dia adalah cantik.
“Muridku memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun? Kalau dia mengganggumu, biar kuhukum dia di depanmu.” Sepasang mata itu memandang wajah Bun Houw dengan sinar aneh.
Sejak tadi Bun Houw sudah merasa makin muak menyaksikan tingkah laku dua orang murid dan guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah jelas dapat dinilai orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam dia merasa girang karena kini musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia harus mencarinya di kamarnya.
Dia akan membekuk wanita ini dan memaksanya mengaku tentang tiga orang musuhnya yang lain dan tentang pedang Siang-bhok-kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan pergi dari tempat itu untuk mencari tiga orang yang lain dan pedang Siang-bhok-kiam.
Bun Houw menggeleng kepalanya.
“Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu saya.” jawabnya.
“Syukurlah kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan baik, karena itu aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda. Marilah, mari kita rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu. Kau menarik hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-sungkan, ke sinilah...”
Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia menggapai mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.
Bun Houw hampir tak dapat menahan kemarahannya.
“Tidak...!” Dia menggeleng kepalanya. “Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya, akan tetapi saya... saya bukanlah laki-laki seperti itu...!”
Ucapan ini membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba wanita ini menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak.
“Wirrrr...!”
Bun Houw terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah kepadanya dan menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu menyambar ke arah jendela kamar itu, menembus jendela dan terdengar jatuh berkerontangan di luar kamar.
“Keparat jangan lari kau!”
Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan yang ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela dan tubuhnya sudah mencelat keluar.
Barulah pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela. Dia merasa heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau mendengarnya. Hal ini adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-wanita tadi, hati Bun Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini mengurangi kewaspadaannya. Andaikata dia berada dalam keadaan biasa, tentu sebelum Ciok Lee Kim mendengar sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya.
“Tangkap penjahat...!”
Terdengar teriakan wanita itu di luar. Bun Houw juga meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat betapa Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga Kiam-mo Liok Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di situ dengan pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar tidur oleh teriakan Ciok Lee Kim tadi.
Mereka semua ini mengurung tiga orang yang berdiri di tengah ruangan dengan pedang di tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat itu, juga tampak anak buah Lembah Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari sebelah luar. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Tiga orang itu biarpun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda, usia mereka antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik, tampan, dan gagah dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung dan menghadapi kepungan banyak orang itu.
Diam-diam Bun Houw kagum menyaksikan kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela kecerobohan mereka, berani secara sembrono memasuki guha harimau yang amat berbahaya ini.
“Hemm, kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!” Ciok Lee Kim mengejek kepada mereka. “Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan mengapa kalian berani memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa nama!”
Pemuda yang mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini dengan sinar mata berapi-api.
“Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang hendak menuntut balas atas kematian suheng kami seminggu yang lalu di luar hutan Lembah Bunga Merah.”
“Siapa suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?” Ciok Lee Kim mengerutkan alisnya. Semenjak dia bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima Bayangan Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-hati, tidak menanam permusuhan dengan lain golongan, bahkan berusaha mencari teman-teman untuk diajak bersama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar murid-murid Bu-tong-pai memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut.
Komentar