DEWI MAUT JILID 064
Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga repot sekali menghadapi Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang menggunakan senjatanya berupa tasbeh hijau. Dia terdesak dan sudah dua kali terkena hantaman tasbeh di pundak dan punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguhpun dia masih melawan mati-matian dan sedikitpun tidak kelihatan gentar atau turun semangat.
Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali kena sambaran pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit, namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak memperdulikan akan rasa nyeri karena luka-lukanya yang mengucurkan darah.
Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak terkenal yang telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu daripada diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus.
Namun akhirnya, berturut-turut empat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu, tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang melihat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja membuat dia dan tiga orang temannya celaka, maka tiba-tiba dia berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi.
Wanita itu memandang semua itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dari tubuh Hong Khi Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie Seng dan mengulur tangan hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian!
Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan dan baru setelah dia mengatur pernapasan serangan hawa panas itu menghilang.
Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia dan kawan-kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian.
Ketika dia menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi penghias rambut wanita itu, dia terkejut sekali.
”Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?”
Dia terkejut ketika teringat akan berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang pernah bertemu dengan In Hong dan merasakan kelihaian dara cantik itu, juga kaget sekali karena dia mengira bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini.
Maka dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata,
“Toanio tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Kalau benar demikian, kita bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?”
Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.
“Hemmm, Yap In Hong adalah muridku.”
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena diapun telah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat diapun menjura dan berkata,
“Ah, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang ternyata masih amat muda namun telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah...”
“Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat di antara Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw. Justeru karena kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah itu?”
Pat-pi Lo-sian tertawa bangga.
“Tidak banyak orang yang akan mampu melakukan itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Kami telah merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai.”
“Bagus! Nah, kau serahkan pedang itu kepadaku.”
“Ah, mana mungkin itu? Toanio sebagai seorang pangcu (ketua) tentu maklum betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan merampasnya.”
“Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Kalau tadi aku tidak datang, apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena kalian telah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang itu kepadaku sebagai imbalan pertolonganku tadi.”
“Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa kami serahkan begitu saja kepada pangcu?” Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. “Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apalagi kalau perintah itu datang dari seorang wanita muda seperti toanio.”
Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia berkata lirih,
“Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah, rasakanlah ini!”
Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang terkejut setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbeh hijau di tangannya untuk menangkis.
“Rrriiikk... desss...!”
Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Biarpun jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya, baru bertemu dengan tasbehnya, namun tenaga mujijat yang amat kuat menyerangnya melalui tasbehnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sin-kang yang amat dahsyat.
“Toanio, jangan sombong engkau!”
Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak teman sudah meloncat ke depan dan menggerakkan senjata joanpiannya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas.
“Tar-tar-tarrrr...!”
Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok.
Namun Yo Bi Kiok dengan tenang sekali miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk baja itu.
Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali tidak dapat terlepas! harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki gin-kang kilat dan sin-kang kuat, akan tetapi kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mujijat yang menjepit ujung cambuknya.
“Haiiiitttt...!”
Tiba-tiba Bu Sit membentak dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya.
“Siuuuttt... tarrr...!”
Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Ketika dia mlihat dengan muka pucat, ternyata ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk bajanya itu hanya terbuat dari tanah liat saja!
“Hebat sekali engkau, pangcu!”
Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.
“Hemm, pergilah kau!”
Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya. Gu Lo It yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun. Apalagi hanya dua lengan tangan wanita yang berkulit halus itu!
“Plakk! Plakk! Ehhh...!”
Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya.
Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian wanita ini benar-benar amat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan diapun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang temannya tadi. Cepat dia menjura sambil berkata,
“Memang bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami kagum sekali dan mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya urusan sebatang pedang kayu saja kami seyogyanya mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayang, hal itu tidak mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicuri orang lain.”
“Hemmm...”
Yo Bi Kiok mendengus kecewa akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak membohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi.
“Aku melihat kalian tadi hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?”
Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng dan tersenyum.
“Pangcu, urusan dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?”
Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan biarpun pandang matanya tetap dingin tak acuh.
“Tentu saja. Perkelahian disini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu kalian maka sudah sepantasnya aku mendengar pula mengapa kalian hendak menangkap bocah ini.”
Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebetulnya, biarpun tiga orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, namun dia sendiri belum kalah apalagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya kalau dia menanam permusuhan dengan fihak lain.
Apalagi fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula. Sebaliknya, dia harus menarik semua fihak yang kuat sebagai sahabatnya agar dapat membantunya kalau dia terpaksa kelak menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jerih menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama empat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah demikian tangguhnya, apalagi gurunya! Dan wanita cantik inipun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan.
“Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin mengerti. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya...”
“Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak menghadapi ketua Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu apa-apa?”
Yo Bi Kiok mengejek. Biarpun wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang pria lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, namun dia sama sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia tujukan kepada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita.
Kini wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan matanya terbelalak penuh rasa penasaran.
“Pangcu dari Giok-hong-pang, kau anggap kami ini orang-orang apa yang akan mengganggu anak-anak?” Teriaknya akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. “Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai mempunyai banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya agar datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami.”
Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng.
“Bagus kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian amat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian ambillah Siang-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan disana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Bi Kiok telah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya.
Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berobah, sebentar merah sebentar pucat. Baru sekali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apalagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik!
“Si keparat...!” Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. “Kalau saja tidak ingat akan kedudukan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!”
“Dia memang sombong sekali,” kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi telah dibikin malu. “Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman dan menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!”
Pat-pi Lo-sian menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Betapapun juga, urusan dengan dia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!”
“Habis, apa yang akan kau lakukan, twako?” tanya Liok-te Sin-mo Gu Lo It kepada temannya yang tertua itu.
“Tidak ada jalan lain, kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu,” jawab yang ditanya.
“Ah…., akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!” Hok Hosiang berseru.
“Sam-te (adik ketiga) jangan salah sangka, sebaliknya malah, dengan mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi kita. Kita boleh siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan demikian Cia Keng Hong akan mencari ke sana dan memusuhinya pula. Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah.”
Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini keadaannya amat mengerikan itu, dimana menggeletak mayat empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan mayat kakek Hong Khi Hoatsu.
Dan kalau orang melihat ke belakang rumah itu, disana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang telah dibunuh lebih dulu oleh empat orang Bayangan Dewa tadi.
Komentar