DEWI MAUT JILID 046
Para remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadang-kadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak.
Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka.
Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya, dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi!
Biar dia mati di jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!
Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yang hebat, ditambah selama empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.
Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.
“Ibuuu...!”
Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.
Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah.
Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring!
Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.
Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa.
Di balik rasa ngeri dan takutnya yang hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.
“Plakkk! Desss...!”
Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh!
Seorang diantara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.
Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penuh dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya.
Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya kembali dengan paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.
Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa,
“Nona kecil, engkau amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!”
Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab,
“Aku mau tidur.”
“Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!”
Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya,
“...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!”
Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.
“Nona, bangunlah...!”
Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman dan pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun!
Ketika dia bangkit dan duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar dan tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat.
“Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah.”
Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap dan baunya sedap sekali.
Seperti dalam mimpi rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya.
Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah.
“Arak wangi berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kau minumlah arak itu, nona.”
Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut.
Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung racun.
Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya. Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun.
Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat! Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya menjaga disitu.
“Ehh...!”
tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.
“Nona... kau minumlah arak itu... minumlah... minumlah...!”
Suaranya mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak,
“Minumlah sendiri!”
Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya menghadapi tiga orang itu.
Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga yang amat dahsat karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang ketiga itu.
“Desss... auughhh...!”
Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja!
Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher.
Mei Lan menundukkan muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kiri itu mengarah dada lawan.
Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara itu bisa “menghilang” seperti setan pula!
Komentar