DEWI MAUT JILID 041

“Maaf, taihiap.” Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. “Nyonya menyambutnya dengan ramah, dan menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang menanyakan taihiap dengan cara yang kasar sekali. Setelah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi, tidak terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang bertengkar. Kami masih belum berani masuk, hanya kami mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua lalu memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!”

Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!

“Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi sayapun dipukulnya dan saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu daripada aku, ceritakanlah.”

Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. 
“Saya... Saya sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah di lantai dan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula... mandi darah...”

Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. 

“Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!”

“Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!” Giam Tun berkata keras.

“Diam!” Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. “Maaf, paman Giam dan Khiu-ma... eh, bagaimana kalian dapat menduga bahwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?” 

Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa yang lebih mengerti. Memang Kun Liong merasa bingung dan bodoh pada saat itu. Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguhpun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. 

Baru membayangkan isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercaya, apalagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biarpun dia dapat menduga bahwa andaikata bertanding sekalipun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya?

“Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar sejak datang. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?”

“Dan ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguhpun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh...” Khiu-ma memperkuat keterangan Giam Tun.

Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan bertubi-tubi datangnya malapetaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh! Anaknya minggat dan tidak berhasil ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng! 

Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja.

Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantik, demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnya segala sesuatu, baik anaknya, maupun pembunuh isterinya, atau apapun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya telah mati! Cahaya hidupnya telah padam! Sumber kebahagiaannya telah kering!

Semenjak mendengarkan cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya dikuburkan, Kun Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Semua pengurusan penguburan dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu itu. 

Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosong dia melihat betapa peti jenazah isterinya dimasukkan lubang kemudian diuruk dengan tanah sampai hanya tampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.

“Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, taihiap...” 

Giam Tun berkata membujuk tuannya. Khiu-ma hanya mengusap air matanya, terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia seperti mayat hidup saja.

Betapapun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.

Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah tampak olehnnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, dan kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang mencipta bermacam bentuk yang aneh. 

Kemudian, pandang matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seolah-olah terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat isterinya bertanding dengan seorang wanita di antara awan puti, kemudian isterinya terpelanting roboh.

“Ouhhh...!” 

Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, kini dia melihat bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa menggunakan pedang menusuk dada isterinya yang masih rebah terlentang.

“Heiii...!” 

Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seolah-olah dia hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas tanah.

“Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang membunuhmu dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?” dia mengeluh sambil menubruk gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun!

“Duhai... berat nian
derita hidup penuh sengsara
ditinggal pergi orang tercinta
seorang diri sunyi dan hampa.

Kemana harus mencarimu, kekasih?
bila kita dapat saling bersua?
hidup tanpa cinta apa artinya?
dunia tanpa matahari…
gelap gulita!”

Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi amat mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang orang-orang mati yang hidup kembali, tentang roh penasaran yang berkeliaran, rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayal manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.

Kesengsaraan akan SELALU ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka oleh pikiran. Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan kepada diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. 

Apabila kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan BUKAN lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukap KEADAANNYA melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri. 

Orang akan berduka kalau sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidak senangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.

Malam gelap pekat dan hujan turun deras diterima sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. 

Di dalam malam gelap dan hujan lebatpun terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.

Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantupun bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu.

Kalau pada saat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin mendekati tanah kuburan itu. 

Cahaya ini makin dekat dan tampak kini bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya. Dari pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan bulat.

Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! 

Pikiran dapat mempengaruhi semua anggauta badan, terutama sekali mata dan telinga. Kalau pikiran sudah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran setan itu, mendengar suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik seperti monyet itu.

Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan menggigil kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan. 

Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja kakinya melangkah satu-satu menuju ke tempat dimana nyonya majikannya dikubur sore tadi.

Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa tidak akan ngeri memasuki tanah pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek ini nekat memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam hujan itu belum juga pulang.

“Taihiap...!” 

Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.

Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia melanggah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya menggigil.

Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa seperti sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum dan memandang kepadanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya.


  • SELANJUTNYA 

Komentar