DEWI MAUT JILID 035

“Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal...”


“Aahhh...!” 

Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran. Sampai lama nenek itu tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja, dia telah dikunjungi oleh Hek I Sinkouw dan Lima Bayanga Dewa, dimintai bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya. 

Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit kalau dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu telah membalik dan tidak mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggauta keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Kini dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, maka dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

“Sungguh hal yang amat kebetulan sekali...!” gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu. 

Betapa kebetulan sekali dia bertemu dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Apalagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw sehingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu. 

Namun Yalima menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

“Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu di depan kakimu!”

Yalima terbelalak kaget. 
“Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!”

“Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!”

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tidak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tidak berani menyatakan ketidak sukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, setelah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subonya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal tokoh-tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. 

Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan ingin bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena diapun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu ikut bersamaa Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. 

Malaikat Copet ini sama sekali tidak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali. Seketika timbul kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. 

Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru dan In Hong melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya, yang sebelah kiri dimana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu, sedangkan di sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hidangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. 

Untuk sumbangan yang berupa barang biasa saja, para tamu menyambutnya dengan senyum, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

“Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw...” 

Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan. Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! 

Go-bi Sin-kouw mengangguk dan tersenyum dengan mulutnya yang nyamprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang memandang dan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kalah kini oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang murah!

“Eihh, kenapa begitu pelit,?” terdengar suara orang.

“Maklumlah, baru habis kecurian hebat!”

“Memang pelit, pedangnyapun pedang-pedangan dari kayu!”

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi, semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas dimana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang tajam, mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa. 

“Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!”

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenal tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. 

“Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta, sungguh memalukan kita!”

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

“Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?” seorang diantara mereka berkata.

“Memang kami hanya mengatakan apa adanya!” kata orang kedua.

“Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?” kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali. 

“Plok! Plok! Plok!” 

Tiga orang itu terpelanting, mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. 
“Harap lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini.” Dan diapun menghadapi para tamu. “Perkara barang sumbangan, harap tidak dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut.”

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. 
“Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian bertiga!” katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alisnya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak den angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

“Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!” 

Terdengar pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

“Inilah baru bingkisan namanya!” terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata. 

“Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?”

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

“Maaf, aku pergi dulu karena... takut!”

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah itu dari tangan piauwsu mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, 

“Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!”

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.

Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, 

“Sejak tadi ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!”

Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. 

Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.


  • SELANJUTNYA 

Komentar