DEWI MAUT JILID 027

 

“Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?” Maling tua itu berteriak.

“Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!” In Hong mengangkat tinggi buntalannya. “Begini ringan, tentu ada yang kau ambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!”

Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya sakit, juga kecewa karena wanita muda yang cantik ini tidak dapat diakali. Dengan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel. 

“Celaka tiga belas! Benar makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dengan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dengan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka.”

In Hong terkejut dan kagum. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu dapat menduga hampir persis jumlah isinya!


“Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Mengapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!”

“Apakah artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!” Maling itu hendak mengelak.

“Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Mengapa kau lakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?”

Maling itu menarik napas panjang. 
“Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan awakku! Baiklah, harap lihiap, dengarkan baik-baik pengakuanku. Nama saya Can Pouw dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw dan di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah...”

“Jangan memutarbalikkan omongan, pakai mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!” In Hong membentak tak sabar.


“Yaahh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya mempergunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dengan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dengan paksa, berbeda dengan kami yang bekerja dengan halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?”

“Cerewet! Kau hendak main-main dangan aku, ya?” In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.

“Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai dimana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa kira, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu hanya merupakan minyak wangi saja agaknya bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!”






“Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?”

“Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnyapun?”

“Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?” 

In Hong membentak, makin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.

“Eh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang...”


“Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!” In Hong membentak tidak sabar.

“Iya, ya... jika seorang pencopet, maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... eh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tidak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!”

“Mereka telah mampus semua!” 

In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.

Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. 

“Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina...”

“Hayo ceritakan mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!”

Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. 

“Huh! apa-apaan lagi engkau ini?”

“Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang...”

Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya. 
“Nah, kau terimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan malapetaka kepadamu!” 

In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.


“Heiiiii... lihiap, tungguuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi”

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. 

“Bukan main kehebatan gin-kang dari lihiap.”

“Hayo ceritakan, berita apakah itu?”

“Lihiap begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.…”

Mendengar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. 

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sebetulnya karena saya sudah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dengan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguhpun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah menduga bahwa tentu lihiap seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang.”

“Dugaanmu benar, paman Can Pouw. Aku adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang.”

“Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!” 

Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.

“Mengapa?” In Hong terheran.

“Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia...”

“Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?”

“Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya Siang-bhok-kiam, bukan?”


In Hong terkejut. Dia memang tertarik oleh urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu. 

“Kalau benar demikian, mengapa?”

“Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang sudah mengampuni saya, sudah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!”

In Hong terkejut lagi. 
“Bagaimana engkau bisa tahu?” tanyanya curiga, takut kalau dibohongi lagi.

“Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!” Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. “Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tidak ada berita yang lebih menarik daripada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya berjuluk Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki.”

“Hemm, apa anehnya itu? Akupun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa.”

“Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya lima orang sakti itu dan terutama sekali dimana mereka itu berada?”

In Hong benar-benar tertarik. 
“Dan engkau tahu, paman Can Pouw?”

“Tentu saja! Dengar baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang kesemuanya merupakan musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Melihat julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!”

“Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu.”


“Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti daripada mendiang suhengnya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Adapun orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak dan kepalanya merupakan senjata ampuh.”

In Hong mencatat dalam hatinya. Biarpun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

“Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya dan beracun, apalagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!”

In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka dan tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah bicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersendau-gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.

“Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit, dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap.”

In Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. 
“Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku.”

“Ada yang lebih penting lagi!” Can Pouw berseru. “Yaitu sarang mereka!”

“Dimana?”

“Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal di sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. 

Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukan penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan bahkan menjadi pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggautanya melakukan pekerjaan dagang. Ketika kami dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang dapat keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!”

In Hong mengerutkan alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, 

“Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa.”

In Hong tersenyum. Baru sekali ini selama dia meninggalkan Kwi-ouw, dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya sungguh tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah! 

“Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.” 

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari depan Can Pouw yang menjadi bengong. Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri memiliki gin-kang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seolah-olah dara itu pandai menghilang seperti setan!

“Demi dewa...!” Ia berkata lirih, “berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!”

Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat dan bersembunyi di atas pohon mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu. 

Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia kalau yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekalipun julukan itu? Setelah maling tua itu pergi, barulah In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. 

Timbul suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana kalau dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!

********

  • SELANJUTNYA 

Komentar