DEWI MAUT JILID 003

 

“Tenanglah, kita tidak perlu takut. Kalau memang betul kedatangan kita mereka ketahui, menurut pangcu, nama pangcu tentu dikenal oleh ketua Kwi-eng-pang yang bernama Kiang Ti itu. Kalau nama pangcu tidak menolong, masih ada pedang di tangan kita,” kata Lui Hwa dengan tenang.

Dugaan mereka memang tidak keliru. Laki-laki yang tadi melepas panah berapi adalah anggauta Kwi-eng-pang pula yang bertugas sebagai penjaga di luar telaga dan setelah melepas anak panah berapi, dia lalu mengumpulkan teman-temannya yang bertugas jaga di luar sekitar telaga itu, berjumlah dua belas orang, menggunakan sebuah perahu besar lalu meluncurkan perahu melakukan pengejaran.

Lima orang wanita itu masih mendayung perahu menuju ke pulau dan sedikitpun tidak merasa gentar. Mereka adalah anggauta-anggauta Giok-hong-pang yang berkepandaian tinggi dan mereka mengandalkan nama ketua mereka. 

Seperti semua anggauta Giok-hong-pang, merekapun merupakan wanita-wanita yang amat membenci pria karena semua anggauta Giok-hong-pang adalah wanita-wanita yang pernah disakitkan hatinya oleh kaum pria! Sebagian besar adalah janda-janda yang ditinggalkan atau disia-siakan oleh suaminya, ada pula yang menjadi korban perkosaan, pendeknya semua adalah wanita-wanita yang menaruh dendam hebat terhadap pria, dan setidaknya yang paling ringan adalah wanita yang kecewa sekali dalam percintaannya dengan seorang pria. 

Itulah sebabnya mengapa lima orang wanita ini amat membenci kaum pria, membunuh empat orang lawan itu secara mengerikan dengan membuntungi alat kelamin mereka, bahkan ketika mencari binatang untuk dimakanpun, mereka memilih yang jantan dan merusak alat kelamin binatang jantan itu!

Ketika dua buah perahu yang ditumpangi lima orang wanita Giok-hong-pang itu sudah mendekati pantai pulau dimana terdapat dua batang pohon pek kembar, tiba-tiba dari balik alang-alang muncul sebuah perahu besar yang membawa belasan orang laki-laki dan perahu ini didayung cepat menyambut dua buah perahu kecil.


“Kalian hati-hatilah, sudah ada penyambut yang muncul,” Lui Hwa berkata tenang.

“Dan di belakang juga datang perahu besar yang agaknya mengejar kita,” si tahi lalat berkata setelah tadi dia menengok ke belakang. 

Lui Hwa dan yang lain-lain juga menoleh dan benar saja, dari belakang datang sebuah perahu besar yang meluncur cepat dibantu layar yang berkembang.

“Perahu-perahu di depan, berhenti!” Laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu yang menyambut itu berseru keras sambil mengacungkan golok besarnya. “Kalian ini lima orang wanita asing, siapakah dan mengapa berani melanggar wilayah kami dari Kwi-eng-pang?”

Lui Hwa berkata dengan lantang dan juga tenang, 
“Kami adalah utusan-utusan dari Giok-hong-pang, dan kami ingin bicara dengan ketua kalian yang bernama Kiang Ti untuk menyampaikan pesan pangcu (ketua) kami!”

Laki-laki tinggi besar itu mengerutkan alisnya dan menjawab marah, 
“Kalian sungguh sombong! Siapakah itu ketua Giok-hong-pang yang berani merendahkan pangcu kami?”

Lui Hwa tersenyum mengejek. 
“Kalian tidak berharga untuk mengenal pangcu kami. Biarkan kami bicara dengan Kiang Ti, dan tentu mengenal baik siapa adanya pangcu kami dari Giok-hong-pang. Kami datang dengan baik sebagai utusan, dan jangan menimbulkan kemarahan kami!”





Pada saat itu perahu besar yang mengejar dari belakang sudah tiba, dan laki-laki yang tadi mengirim tanda rahasia dengan panah berapi, segera berseru, 

”Chi-twako (kakak Chi), jangan percaya omongan mereka! Mereka telah membunuh empat orang kawan kita secara keji!”

“Ehh...? Tangkap mereka!” 

Si tinggi besar berteriak marah dan dua buah perahu besar itu lalu mendekati dua perahu kecil dari depan dan belakang! Dari perahu besar depan meloncat tiga orang, dan dari perahu besar di belakang juga meloncat pula tiga orang ke arah dua perahu kecil, dengan golok terangkat dan mereka ini menyerang dengan ganas. 

Akan tetapi segera terdengar pekik mengerikan karena enam orang laki-laki ini begitu meloncat turun, disambut oleh gerakan pedang yang amat kuat dan cepat sehingga mereka terlempar ke air dalam keadaan luka parah! 

Melihat ini, terkejutlah orang tinggi besar she Chi itu. Dia maklum dengan melihat gerakan lima orang wanita itu bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang yang tak boleh dipandang ringan.

“Gulingkan perahu mereka dari bawah air!”

Mendengar ini, kurang lebih dua puluh orang meloncat dari dua buah perahu besar, berenang dan menyelam dari sekeliling dua buah perahu itu. 

Lima orang wanita Giok-hong-pang terkejut sekali. Akan tetapi dengan marah dan sama sekali tidak mengenal takut mereka menjaga perahu mereka dan setiap kali ada gerakan di dalam air dekat perahu, pedang mereka menyambar. Terdengar teriakan-teriakan dan terjadi gerakan-gerakan hebat di sekitar perahu-perahu kecil itu dan air telaga di sekeliling perahu-perahu itu menjadi merah! 

Jelas bahwa banyak juga anggauta Kwi-eng-pang yang menjadi korban kelihaian lima pedang di tangan wanita-wanita itu, akan tetapi kini dua buah perahu itu mulai terguncang hebat! Kiranya para anggauta Kwi-eng-pang berhasil menyelam ke bawah perahu dan berusaha menggulingkan perahu-perahu itu. 

Kini lima orang wanita itu baru terkejut dan khawatir. Mereka berusaha menyerang ke bawah perahu dengan pedang dan dayung yang lebih panjang melalui pinggiran perahu, akan tetapi tentu saja hal ini sukar dilakukan dan kini bahkan si tinggi besar pemimpin anak buah Kwi-eng-pang mengajak sisa teman-temannya untuk terjun ke air dan membantu teman-teman mereka yang sudah banyak yang terluka itu.

Akhirnya, berturut-turut dua buah perahu kecil itu terguling dan lima orang wanita itu menjerit, mau tidak mau terlempar ke air. Terjadilah pergulatan di dalam air. Akan tetapi ternyata bahwa setelah terlempar ke air, lima orang wanita itu kehilangan kelihaiannya. Melawan air saja sudah membuat mereka gelagapan dan terpaksa minum banyak air telaga, apalagi dikeroyok banyak. Mereka dibenam-benamkan oleh banyak tangan sampai lemas dan hampir pingsan.

“Jangan bunuh mereka! Kita tawan dan hadapkan pangcu!” 

Si tinggi besar mamberi perintah dan hal ini menyelamatkan lima orang wanita itu, karena kalau tidak, tentu mereka akan dibenamkan sampai mati oleh para anggauta Kwi-eng-pang yang sudah marah melihat banyak teman-teman mereka terluka dan ada yang tewas itu. Setelah lima orang wanita itu tak dapat bergerak lagi, mereka diseret dan dengan kasar mereka diseret naik ke dalam perahu besar yang segera digerakkan ke pulau.

Lui Hwa siuman lebih dulu daripada empat orang temannya dan dia mendapatkan dirinya bersama empat orang temannya yang sudah menggeletak di atas lantai dalam sebuah ruangan yang luas, menjadi tontonan banyak orang dan tak jauh dari situ terdapat seorang laki-laki yang usianya hampir lima puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan tubuhnya tinggi kurus, muka pucat dan mata sipit. Lui Hwa memandang ke sekeliling. Mereka dikurung banyak orang dan ternyata ruangan itu berada di atas loteng dan di bawah loteng juga tampak banyak laki-laki, juga ada wanitanya, yang memandang penuh perhatian.

Ketika empat orang temannya juga siuman dan berturut-turut bangkit duduk, mereka berempat itu meloncat berdiri dan sambil berteriak mereka hendak mengamuk, akan tetapi Lui Hwa menghadang mereka dan mencegah mereka. 

“Biarkan aku bicara...” bisiknya.

Laki-laki tinggi kurus yang duduk di atas kursi itu memandang dengan penuh perhatian gerak-gerik mereka, kemudian tersenyum dan berkata, 

“Aneh, yang termuda dan tercantik agaknya yang menjadi kepala rombongan. Eh, perempuan-perempuan liar, kalian ini siapakah dan mengapa kalian mengacau daerah kami, membunuh beberapa orang anak buah kami?”

Lui Hwa yang sudah berdiri tegak dengan pakaian basah kuyup seperti kawan-kawannya, memandang dengan sinar mata tajam. Pakaian yang basah kuyup itu menempel ketat di tubuh mereka, mencetak tubuh mereka sehingga nampak jelas lekuk lengkungnya, dan rambut yang agak awut-awutan dan basah itu masih terhias burung hong kemala. Dengan lantang Lui Hwa lalu berkata, 

“Kami adalah utusan dari pangcu kami, ketua dari Giok-hong-pang untuk bicara dengan pangcu Kwi-eng-pang. Karena kami diserang, terpaksa kami membela diri dan akibatnya anak buah Kwi-eng-pang ada yang tewas dan terluka.”

Laki-laki tinggi kurus itu meraba-raba jenggotnya. 
“Giok-hong-pang? Aku Hek-tok-ciang Kiang Ti, tidak pernah berurusan dengan perkumpulan yang bernama Giok-hong-pang dan tidak mengenalnya.”

“Hemm, jadi engkaukah pangcu dari Kwi-eng-pang? Pangcu kami berpesan bahwa tentu Kwi-eng-pangcu mengenal pangcu yang dahulu berjuluk Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala)...”

“Aih! Kiranya dia? Bukankah namanya Yo Bi Kiok dan dahulu murid dari si jahanam Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?” teriak Kiang Ti sambil menepuk lengan kursinya. 

Kini dia teringat akan julukan Giok-hong-cu itu. Belasan tahun yang lalu, gurunya, Kwi-eng Nio-cu Ang Hwi Nio, pendiri dan ketua Kwi-eng-pang mempunyai seorang sahabat baik, juga seorang datuk golongan sesat yang barjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Harum) dan wanita iblis ini mempunyai murid yang bernama Yo Bi Kiok, seorang gadis yang amat cantik. 

Gurunya suka kepada gadis ini dan bahkan memberinya sebuah hadiah, yaitu hiasan rambut berupa burung hong kemala, sehingga Yo Bi Kiok akhirnya memperoleh julukan Giok-hong-cu di dunia kang-ouw (baca cerita Petualang Asmara ).

“Benar dugaanmu, Kiang-pangcu,” kata Lui Hwa dengan girang karena dia menduga bahwa ketua Kwi-eng-pang ini tentu mengenal baik pangcunya dan akan bersikap baik pula.

“Hemm, lalu apa maksudnya mengutus kalian mengacau di Kwi-eng-pang dan membunuh banyak anak buahku? Mengapa si cantik bermata indah itu berani memandang rendah kepada Hek-tok-ciang?”

Lui Hwa terkejut juga mendengar dan melihat sikap yang tidak bersahabat ini. Dia membusungkan dadanya sehingga buah dadanya membayang jelas di balik baju yang basah kuyup. 

“Pangcu kami yang mulia mengutus kami untuk memberitahukan bahwa beliau berkenan menggunakan pulau kosong yang dulu pernah ditinggalinya di dekat pulau ini untuk menjadi tempat tinggalnya yang baru, dan mengirim kami untuk memberi tahu kepada Kwi-eng-pang.”

Kiang Ti melotot dan meloncat turun dari kursinya. 
“Keparat! Lancang betul dia! Sepatutnya dia datang berlutut dan memohon kepadaku, baru mungkin aku mempertimbangkan permohonannya. Kalian bersikap sombong dan sudah membunuh orang-orangku, kini sudah tertawan masih berlagak sombong.”

“Huh!” Empat orang teman Lui Hwa meludah ke lantai!

“Kiang Ti, jangan kira bahwa kami takut kepadamu. Engkau toh hanya seorang laki-laki belaka, seorang mahluk yang jahat dan hina!”

“Perempuan iblis, kalian sudah bosan hidup semua!” Kiang Ti membentak marah.

Lui Hwa berteriak dan menyerang Kiang Ti, akan tetapi ketua Kwi-eng-pang ini sekali menangkis membuat Lui Hwa terpelanting ke atas lantai! Hal ini mengejutkan dan membikin marah empat orang wanita yang lain. Sambil berteriak seperti empat ekor kucing terpijak ekornya, mereka menyerang. Akan tetapi, Kiang Ti menggerakkan tangannya empat kali dan mereka inipun terpelanting! Tidak kuat mereka menghadapi kedahsyatan Si Tangan Racun Hitam itu!

Para pembantu Kiang Ti sudah menubruk dan membuat lima orang wanita itu tidak berdaya. 

“Hukum mereka! Bunuh mereka... eh, nanti dulu...!” 

Kiang Ti yang marah sekali itu memandang kepada Lui Hwa, menjambak rambut wanita itu dan menariknya dekat-dekat, dipandanginya seluruh tubuh dan muka Lui Hwa.

“Seret yang empat ke luar dan kebawah, kuberikan kepada kalian, siapa saja yang suka, nikmati mereka di ruangan bawah, aku akan menonton dari sini dan biarkan yang satu ini menemaniku. Sudah, kalian semua boleh keluar!”

Terdengar sorak-sorai para anggauta Kwi-eng-pang dan empat orang itu diseret turun dari atas ruangan loteng. Mereka itu tidak menangis, melainkan memaki-maki dan meronta-ronta namun apa daya mereka menghadapi begitu banyak orang. Kiang Ti sendiri lalu memeluk dan menjambak rambut Lui Hwa, diseret ke pinggir ruangan loteng itu dari mana dia dapat menyaksikan apa yang terjadi di bawah loteng.

“Lihat, ha-ha-ha, lihat baik-baik. Begitulah nasib wanita-wanita yang berani memandang rendah Kwi-eng-pang dan yang telah membunuh beberapa orang anak buahku. Ha-ha-ha-ha!

Dalam keadaan dipeluk dan dihimpit, Lui Hwa terpaksa memandang ke bawah. Matanya terbelalak ngeri, mukanya pucat sekali, apa yang disaksikan di bawah itu benar-benar mengerikan!

“Bunuh saja mereka! Bunuh saja kami. Kami sudah kalah dan tertawan, kami tidak takut mati!” teriak Lui Hwa.

“Ha-ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja. Mereka akan mati, tentu saja. Akan tetapi mereka harus membalas lebih dulu semua perbuatan mereka, harus menebus hutang mereka dengan tubuh mereka. Dan engkau...hemm, engkau pun akan mampus, kecuali kalau engkau bisa melayani aku dan bisa menyenangkan hatiku, ha-ha-ha! Atau engkau lebih suka ikut bersama dengan teman-temanmu, mengalami nasib seperti mereka?”

Lui Hwa memandang lagi dan bergidik, memejamkan matanya. Empat orang kawannya itu meronta-ronta dan memaki-maki, direjang oleh banyak laki-laki, pakaian mereka dirobek-robek dan mereka mengalami penghinaan yang paling mengerikan bagi seorang wanita, diperkosa dan digagahi oleh banyak orang di tempat umum seperti itu! Padahal mereka adalah wanita-wanita yang paling muak dan membenci kaum pria! 

Membayangkan betapa dirinya, tubuhnya diperlakukan seperti empat orang kawannya itu, air matanya menetes dan Lui Hwa menggelengkan kepalanya. Dia maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya dan kalau dia nekat sampai tewas, maka kematiannya dan kematian teman-temannya merupakan mati konyol dan tidak akan ada yang membalas sehingga mereka akan menjadi setan-setan penasaran. 

Tidak, kematian teman-temannya, terutama sekali penghinaan ini harus dibalas dan dia tahu bahwa satu-satunya orang yang dapat membalas hanyalah pangcunya! Oleh karena itu, dia harus hidup untuk dapat menyampaikan dendam ini kepada ketuanya. Maka, sambil memejamkan mata dan air matanya menetes turun, dia mengangguk dan berkata lirih, 

“Jangan berikan aku kepada mereka... aku... aku akan melayanimu dan mentaati semua perintahmu...”

Matanya dipejamkannya makin rapat ketika dia merasa betapa mulutnya dicium dengan penuh nafsu oleh Kiang Ti dan dia tidak melawan ketika dia dipondong pergi.


  • SELANJUTNYA 

Komentar