DEWI MAUT JILID 002

 


“Hushh, kalian jangan bicara sembarangan.” Lui Hwa berkata. “Apakah kau kira pangcu juga sudi? Pangcu lebih membenci pria daripada kita semua, ini kalian sudah tahu, mengapa meragukan niat pangcu. Kalau pangcu berkenan pindah ke sini, tentu semua pria akan diusir atau dibasmi habis dari pulau itu dan dari sekitar daerah ini.”


“Bagus!” teriak yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya. “Berikan beberapa belas orang laki-laki itu untuk mampus di tanganku!”

“Ingat, enci, pangcu sudah berkali-kali memperingatkan kita bahwa betapapun bencinya kita kepada kaum pria, kita tidak boleh membunuh mereka begitu saja tanpa sebab. Kita bukanlah kaum penjahat yang haus darah, melainkan segolongan wanita yang telah dirusak hidupnya dan disakitkan hatinya oleh kaum pria dan kini telah dibina oleh pangcu menjadi kesatuan yang kokoh kuat dan tidak lagi sudi menjadi korban keganasan kaum pria. Kita bukanlah lagi menjadi alat pemuas nafsu berahi kaum pria, menjadi budak selama hidup dari kaum pria! Akan tetapi kitapun bukanlah pembunuh-pembunuh keji dan manusia-manusia rendah.”

Empat orang itu memandang kepada Lui Hwa dan kelihatan takut, mengangguk dan tidak berani lagi mengutarakan kebencian mereka terhadap kaum pria secara berlebihan.

Tiba-tiba Lui Hwa memberi tanda, dan mereka berlima cepat meloncat dan dalam sekejap mata saja mereka telah lenyap, bersembunyi dl balik batu besar dan mengintai ke arah telaga. 

Tampak dua perahu kecil meluncur cepat dari pulau menuju ke tengah telaga, membawa alat-alat penangkap ikan seperti jala, dan pancing. Setiap perahu kecil ditumpangi dua orang dan mereka mendayung perahu-perahu itu dengan cepat dan makin mendekati tepi di mana terdapat batu besar itu.

“Kalian pancing mereka agar mendarat di tepi,” Lui Hwa berkata kepada empat orang teman-temannya. “Sembunyikan pedang kalian dan berpura-puralah sebagai pelancong-pelancong daerah lain yang tidak tahu-menahu tentang telaga dan ingin menikmati keindahan telaga ini. Usahakan agar mereka semua dapat keluar dari perahu dan mendarat, baru aku akan muncul dan kita bunuh mereka semua. Kalau tidak dibunuh, mereka bisa membahayakan tugas penyelidikan kita. Mengertikah semua?”

“Adik Lui Hwa, bolehkah aku membunuh seorang di antara mereka?” tanya yang bertahi lalat merah kecil di bawah dagunya.

“Nanti, tunggu komandoku, jangan lancang tangan. Kalau sampai di antara mereka ada yang lolos dan melarikan diri dengan perahu, kita tidak akan mampu mengejar dan menangkapnya.”

Perahu itu makin dekat kini, bahkan yang sebuah sudah berhenti dan dua orang penumpangnya mulai memeriksa jala. Tiba-tiba empat orang penumpang perahu itu terkejut mendengar teriakan-teriakan suara wanita dan mereka bengong terheran-heran ketika menengok ke tepi telaga dan melihat ada empat orang wanita yang berteriak-teriak, memanggil dan melambai-lambai tangan.

“Heiii...! Tukang perahu...!”

“Kami ingin pesiar naik perahu!”

“Kami ingin menyewa perahu kalian!”



“Kami adalah pelancong-pelancong dari luar daerah!”

Empat orang laki-laki itu saling pandang dan tersenyum.

“Aneh,” kata seorang di antara mereka. “Dari mana datangnya empat orang wanita itu?”

“Jangan-jangan mereka itu mata-mata musuh...”

“Ah, tidak mungkin. Mereka adalah wanita-wanita lemah... hemmm, cantik-cantik dan lihat potongan tubuh mereka...!”

“Masih muda-muda lagi, dan tentu bukan wanita kang-ouw, mereka tidak memhawa senjata.”

“Betapapun juga, mereka mencurigakan, sebaiknya kita tangkap dan hadapkan kepada pangcu.”

Sementara itu, empat orang wanita itu melambai-lambaikan tangan dan jelas nampak oleh empat orang anggauta Kwi-eng-pang betapa mereka itu bersikap genit dan tersenyum-senyum manis! 

Dua buah perahu itu lalu didayung dan meluncur cepat menuju ke tepi telaga. Perahu berhenti di pinggir dan kini empat orang anggauta Kwi-eng-pang memandang kagum. Setelah dekat, mereka melihat jelas bahwa empat orang wanita itu adalah wanita-wanita yang sudah matang, kurang lebih tiga puluh tahun usianya, berpotongan tubuh yang ramping menggiurkan, berwajah rata-rata manis dan hiasan rambut berbentuk burung hong kemala itu amat menarik hati.

“Siapakah nona sekalian dan bagaimana bisa sampai di tempat sunyi ini?” tanya seorang di antara empat anggauta Kwi-eng-pang.

Wanita bertahi lalat kecil merah di bawah dagu mewakili teman-temannya. Dia adalah yang paling manis di antara empat orang itu dan kini dia berkata dengan sikap menarik, 

“Aihhh... kami adalah pelancong-pelancong dan sesampainya di tepi telaga ini, rombongan kami hendak berburu binatang di pegunungan itu. Kami lelah dan sengaja menanti di sini. Telaga begini indah akan tetapi tidak ada perahu, hati kami kesal. Melihat kalian berperahu, kami ingin menyewa perahu kalian...”

“Kami... kami bukan tukang perahu!”

Wanita itu tersenyum, nampak deretan gigi yang putih dan rapi. 
“Tukang perahu atau bukan, yang penting bagi kami adalah perahu-perahunya. Kalian minta upah berapapun kami sanggup membayarnya.”

“Kami tidak butuh uang!”

“Kalau begitu, minta upah apakah?” 

Si tahi lalat itu tersenyum dan melirik genit, sedangkan tiga orang temannya menjadi merah mukanya. 

Melihat muka mereka merah dan sikap genit itu, empat orang anggauta Kwi-eng-pang berdebar hatinya. Mereka mengira bahwa empat orang wanita ini tentulah wanita-wanita iseng dan kini timbul gairah di tempat sunyi romantis itu, warna merah di pipi mereka dianggapnya sebagai tanda malu-malu kucing, jinak-jinak merpati. Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa warna merah di pipi itu adalah warna kemarahan yang meluap-luap!

“Eh, nona. Benarkah kalian berempat mau memberi upah apa saja kepada kami kalau kami mau membawa nona ke dalam perahu?”

Si tahi lalat menahan ketawa, menutupkan punggung tangan dengan sikap genit ke depan mulutnya yang kecil dan berbibir merah. 

“Hi-hik, bicara soal itu patutkah berteriak-teriak seperti itu? Malu ah, terdengar orang lain. Apakah kalian tidak bisa ke sini, dan bicarakan soal upah itu dengan baik-baik di sini, tanpa berteriak-teriak seperti itu?” 

Setelah berkata demikian, si tahi lalat lalu mundur dan duduk di atas tanah berumput, sengaja duduk dengan gaya memikat dan membusungkan dadanya. Tiga orang temannya juga melakukan hal yang sama, bahkan sengaja duduk agak saling menjauh.

Seperti sekelompok anak kecil dipikat dengan kembang gula, empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu tertawa-tawa dan cepat mendaratkan perahu, mengikat tali perahu ke batang pohon. 

Mereka saling pandang dan saling bermufakat, yaitu satu lawan satu! “Rejeki” nomplok di pagi hari ini seperti hadiah para dewa dan tentu saja tidak mau mereka lewatkan begitu saja. Setelah menikmati tantangan, baru mereka akan memikirkan tentang menawan mereka itu dan menghadapkan mereka kepada ketua, karena kalau sudah berada di depan ketua mereka, tentu tidak mungkin akan terbuka kesempatan baik seperti itu, mengingat bahwa mereka hanyalah anggauta tingkat bawahan saja! 

Sambil tersenyum dan dengan jantung berdebar-debar, mereka lalu berjalan menghampiri empat orang wanita cantik itu, dan seperti telah diatur, masing-masing menghampiri wanita yang telah dipilihnya dari jauh.

Tiba-tiba mereka berempat terkejut sekali ketika melihat bayangan berkelebat cepat ke arah belakang mereka. Ketika mereka membalik, mereka melihat seorang wanita lain yang lebih cantik, kini telah berdiri di belakang mereka, menghadang antara mereka dan perahu mereka, dengan wajah dingin wanita muda ini berkata, 

“Bunuh mereka semua!” Wanita ini bukan lain adalah Lui Hwa yang telah muncul keluar dari tempat sembunyinya.

Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu terkejut dan juga marah bukan main. Tahulah mereka bahwa lima orang wanita ini adalah mata-mata fihak yang memusuhi Kwi-eng-pang.

“Srat-sratt... singggg...!” 

Mereka segera mencabut golok besar yang tergantung di pinggang masing-masing lalu menerjang ke depan, ke arah empat orang wanita itu sambil membentak, 

“Keparat, kalian ternyata adalah mata-mata!”

Akan tetapi, empat orang wanita Giok-hong-pang itu telah menghunus pedang masing-masing yang tadi disembunyikan di balik jubah dan sambil tersenyum mengejek mereka menyambut serbuan empat orang laki-laki yang marah itu.

“Cring-cring-trang-tranggg...!” 

Bunga api berhamburan ketika empat batang golok bertemu dengan empat batang pedang, dan empat orang laki-laki itu terkejut bukan main karena tangan mereka yang memegang golok menjadi tergetar dan hampir saja lengan mereka terluka saking cepatnya wanita-wanita itu menggerakkan pedang melanjutkan tangkisan dengan serangan mereka.

Terjadilah pertempuran yang mati-matian di pinggir telaga yang sunyi itu dan Lui Hwa tidak membantu empat orang temannya karena dia melihat betapa empat orang Kwi-eng-pang itu bukanlah merupakan lawan yang tangguh. 

Akan tetapi, melihat betapa teman-temannya mempermainkan empat orang itu, hanya menggunakan ujung pedang mereka untuk menggores sana-sini sehingga pakaian dan kulit empat orang lawan itu pecah-pecah dan mandi darah, dia membentak tidak sabar, 

“Hayo cepat habiskan mereka, tidak banyak waktu untuk bermain-main!”

“Hi-hik, adik Lui Hwa, engkau tidak sabaran sekali. Habislah kita berpesta kalau begitu!” 

Si tahi lalat merah kecil tertawa dan pedangnya berkelebat disusul jerit mengerikan lawannya yang roboh dan mati seketika karena anggauta kelaminnya terbacok putus bersama robeknya perut bagian bawah. 

Jerit itu disusul oleh tiga orang kawannya. Sambil tersenyum empat orang wanita itu membersihkan pedang pada baju korban masing-masing, lalu menyarungkan pedang sambil meludah ke arah onggokan daging berdarah yang terlepas dari tubuh itu. Empat orang anggauta Kwi-eng-pang itu mati semua dengan luka yang sama, yaitu terbacok putus anggauta kelaminnya. Mereka tewas dalam keadaan mengerikan, mata terbelalak lebar dan mulut menyeringai kesakitan!

Burung-burung beterbangan sambil mengeluarkan bunyi ketakutan, agaknya merasa ngeri menyaksikan kekejaman manusia, kekejaman yang jarang mereka lihat dan yang kini terjadi berturut-turut di tepi telaga itu semenjak lima orang wanita itu muncul. Rumput-rumput yang pagi tadi masih segar kehijauan dihias butiran-butiran embun, kini dihias warna merah dari darah empat orang laki-laki itu. Namun bumi menerima dan menghisap darah itu setenang menghisap air embun yang menyegarkan, tanpa perbedaan karena bagi bumi semua adalah wajari, dan sudah semestinya.

Lui Hwa sudah melepaskan tali perahu dan tak lama kemudian, lima orang wanita itu telah mendayung perahu menuju ke pohon kembar di pulau yang tampak dari situ, mereka menggunakan dua buah perahu, yang sebuah diisi dua orang, yang sebuah lagi diisi tiga orang, dengan Lui Hwa berdiri di kepala perahu. 

Mereka berlima tidak tahu betapa seorang laki-laki setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak menyaksikan semua peristiwa itu dan kini laki-laki itu dengan cepat berlari-lari di sepanjang tepi telaga, kemudian di tempat tertentu melepaskan anak panah berapi ke arah pulau!

“Heii, apa itu...?” 

Lui Hwa menudingkan telunjuknya ke udara. Mereka berlima melihat sinar yang meluncur di atas udara menuju ke pulau itu.

“Seperti panah berapi!”

“Ah, tentu ada yang melihat kedatangan kita!”
  • SELANJUTNYA 


Komentar