PEDANG KAYU HARUM : JILID-62


Yan Cu berlutut. "Suamiku... apa yang terjadi? Aku diberitahu orang, entah siapa, bahwa engkau bertanding dengan seorang wanita... aku khawatir sekali, menduga bahwa tentu iblis betina Cui Im yang menyerangmu. Aku berlari cepat menyusulmu ke telaga, akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Aku cepat pulang dan..."

"Cukuplah!" Cong San berteriak, menjerit karena suara itu adalah jeritan hatinya.

Jika isterinya menangis dan menyatakan penyesalannya, minta ampun dan menceritakan dengan terus terang, agaknya dia akan dapat memaafkan isterinya yang dia cinta. Ia siap melakukan pengorbanan apa pun juga. Akan tetapi isterinya malah membohong! Isterinya yang dia lihat tadi berciuman mesra dengan Keng Hong... pakaian itu, rambut itu... tidak, tidak salah lagi, kini malah membohong seolah-olah matanya buta!

"Yan Cu, tidak perlu membohong dan tidak perlu kiranya bicara lebih panjang kalau hal itu menyakitkan hatimu. Kalau engkau memang benar mencintanya, biarlah aku mengalah, aku mundur..."

"Suamiku! Ucapan apa yang kau keluarkan ini? Apa... apa maksudmu? Demi Tuhan, apa maksudmu?" Yan Cu berteriak-teriak, tidak peduli lagi apakah teriakannya akan terdengar tetangga.

Cong San hampir hilang kesabarannya. Yan Cu masih bermain sandiwara! Ini melampaui batas! Mengapa tidak berterus terang saja? Bukti-bukti sudah cukup. Dia bangkit berdiri, merogoh sakunya mengeluarkan dua buah surat yang selama ini mengganjal hatinya.

"Tulisan siapa ini?" Ia membeberkan surat kecil yang diterimanya dari Cui Im tadi.

Yan Cu memandang pucat, dari tempat ia berlutut ia tidak dapat membaca isi surat, akan tetapi ia mengenal tulisannya sendiri.

"Seperti tulisanku... surat apakah itu?"

Cong San membanting kakinya dengan pengerahan sinkang sehingga kakinya langsung amblas sampai beberapa senti meter di lantai. Tangannya bergerak dan surat Keng Hong melayang ke bawah. "Lihat surat kekasihmu ini! Utusannya datang untuk memberikannya padamu, akan tetapi aku merampasnya. Apakah masih perlu banyak membohong lagi?"

Dengan muka pucat dan mata terbelalak Yan Cu mengambil dua surat itu, membacanya dan wanita itu demikian heran, bingung, dan marahnya sehingga dia mengeluarkan jerit aneh dan terkulai lemas, roboh pingsan!

Hampir saja Cong San menubruk dan memeluk isterinya. Melihat wanita yang dicintainya itu roboh pingsan, hatinya tidak kuat. Akan tetapi, dia tahu bahwa tanpa sepatah pun kata Yan Cu telah mengaku, maka isterinya itu pingsan. Ia menguatkan hatinya, lalu meloncat bangun dan berlari ke dalam menyambar Kun Liong dari gendongan Chie-ma yang berdiri menggigil dan memandang dengan kedua mata terbelalak, menyambar buntalan pakaian anaknya kemudian melesat keluar dari kamar. Chie-ma menjerit dan berlari keluar, hampir menginjak tubuh Yan Cu yang menggeletak di lantai.

"Toanio...! Aihhhh... Toanio, apa yang terjadi ini...?" Chie-ma memeluk tubuh majikannya yang pingsan dan melolong-lolong, merasa seakan-akan dunia kiamat karena dia tidak tahu apa yang menyebabkan semua kejadian hebat ini.

Yan Cu siuman, mengeluh dan teringat. Cepat dia meloncat bangun sehingga Chie-ma terpelanting. "Mana suamiku...?"

"Ahhhh, Toanio... dia... dia membawa Kun Liong, lari..."

"San-koko...! Suamiku...! Semua ini adalah fitnah..!" Ia menjerit-jerit, lari masuk ke kamar, mencari-cari, lari keluar sehingga para tetangga yang kaget mendengar jeritan-jeritan itu keluar rumah. Mereka melihat Yan Cu berlari-larian cepat sekali, ke sana ke mari, tidak tahu hendak mengejar ke mana, kemudian nyonya muda itu terguling roboh, pingsan lagi di pinggir jalan!

Dengan bantuan para tetangga, Chie-ma menggotong tubuh Yan Cu kembali memasuki toko. Setelah siuman, Yan Cu menangis, mengguguk. Kemudian ia turun, mengambil dua surat dan menyimpannya. Ia masih bercucuran air mata, akan tetapi tidak menangis lagi, wajahnya membayangkan sikap dingin yang mengerikan.

"Chie-ma, kau jaga baik-baik rumahku. Aku harus pergi mengejar suamiku," katanya dan tanpa banyak cakap lagi malam-malam itu Yan Cu berlari keluar, mencari dan mengejar suaminya.

Chie-ma yang dikerumuni para tetangga hanya melolong-lolong, tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka karena sesungguhnya dia sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi.

Setelah para tetangga pulang, Chie-ma masih menangis. Cemburu! Tentu itu sebabnya. Cemburu. "Ya Tuhan, lindungilah mereka... aduhh, kebahagiaan mereka hancur oleh hati cemburu..."

Dia menangis lagi hingga semalam suntuk…..

********************

"Nih, kau pondong Giok Keng..."

Biauw Eng cemberut, cemberut buatan, menerima bayi yang baru berusia sebulan itu dari pondongan suaminya. "Ihhh, baru sebentar saja sudah diberikan kepadaku. Apakah kau kecewa mempunyai anak perempuan? Kau mengharapkan anak laki-laki, ya?"

"Wah-wah-wah, omongan apa itu?" Keng Hong lalu mencium pipi anaknya yang montok kemerahan di pondongan Biauw Eng. "Biauw Eng isteriku yang jelita, aku bukan seperti ayah berpendirian usang yang mengutamakan anak laki-laki saja yang kelak akan dapat menjamin kehidupan orang tua pada hari tuanya, hanya anak laki-laki saja yang mampu menyenangkan hati orang tuanya. Pendirian macam itu sungguh pandir dan picik, menilai anak seperti orang menilai barang dagangan saja, diperhitungkan rugi untung dalam soal benda! Betapa keji pandangan itu. Tidak, isteriku, aku sangat sayang kepada anak kita, tiada bedanya andai kata dia laki-laki. Dan aku tidak ingin anak laki-laki saja!"

"Akan tetapi, semua orang tua berharap mendapatkan anak laki-laki, bukan hanya karena dianggap sebagai jaminan di hari tua, melainkan juga sebagai penyambung keturunan!" Biauw Eng memancing, untuk yakin akan pendirian suaminya yang sudah sangat ia kenal kebijaksanaannya itu.

"Phuhhh! Apa artinya keturunan? Apakah keturunan dari anak perempuan bukan menjadi keturunan kita pula? Pandangan orang yang pikirannya picik itu terlalu melekat soal she (nama keturunan). Bagiku, sama saja. Laki-laki atau perempuan tetap anak kita, bukan kelaminnya yang membahagiakan orang tua, akan tetapi kelakuan anak itu sendiri. Meski pun perempuan jika menjadi seorang manusia utama yang mengutamakan kebijaksanan, tentu akan menjunjung tinggi nama orang tua dan mendatangkan kebahagiaan lahir batin, sebaliknya walau pun anak laki-laki, kalau menjadi orang rendah (siauw-jin) hanya akan menyeret nama orang tua ke dalam lumpur kehinaan!"

"Wah, wah, wah…! Kau bicara begitu karena kebetulan anakmu perempuan! Apakah kau tidak ingin mempunyai anak laki-laki?"

"Wah, tentu saja! Akan tetapi, usia kita masih muda dan engkau... hemmm, begini cantik, makin jelita setelah mempunyai anak!" Keng Hong merangkul dan mencium bibir isterinya yang dibalas dengan mesra dan bangga oleh Biauw Eng.

"Kalau benar begitu, mengapa kau tidak pernah lama memondongnya?"

Keng Hong memegang dan mempermainkan tangan-tangan kecil anaknya dengan penuh rasa sayang. "Ahhh, aku... takut dan ngeri."

"Hah? Apa maksudmu?"

"Dia begini kecil, kelihatannya begini... ahhh, aku gemetar kalau memondongnya, takut kalau-kalau dekapanku akan menyakitkannya, takut kalau-kalau dia jatuh."

Biauw Eng tertawa. "Engkau canggung sekali dan kaku kalau memondong."

"Lihat, dia tersenyum! Ahhh, senyumnya sudah memikat seperti senyum ibunya. Mulutnya seperti mulutmu, Eng-moi, dan hidungnya juga, dagunya juga, persis kau!"

"Akan tetapi matanya seperti matamu, Hong-ko dan lihat jari-jari tangannya, dan jari-jari kakinya, hi-hi-hik, pendek-pendek seperti jari-jarimu!"

"Wah, sejak kapan kau memperhatikan jari-jari kakiku?" Keng Hong melotot.

"Sejak... ihhh, sejak..."

Mereka tertawa penuh bahagia.

"Eng-moi, berjanjilah."

"Janji apa?"

"Janji bahwa engkau akan memberiku tiga lagi! Tiga orang adik Giok Keng, dua laki-laki dan seorang perempuan lagi, jadi dua laki-laki dua perempuan. Cukup, bukan?"

Biauw Eng menggelengkan kepala. "Tidak cukup. Biar selosin!"

"Hushhh...!"

"Biar kau repot kelak kalau mereka semua merengek minta baju baru dan sepatu baru. Baru tahu rasa kau!"

Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri di atas bangku di taman belakang rumah mereka, lengan kiri menekan siku di atas lutut, telapak tangan kiri menunjang dagu, tangan kanan memijit-mijit pelipis, alisnya berkerut.

"Waduh, anak selosin... dan aku hanya menjadi petani di gunung ini. Mana cukup? Dan mereka semua perlu pendidikan. Kalau kita tidak tinggal di kota dan aku tidak mempunyai penghasilan yang cukup besar, wah, kasihan sekali mereka...! Aihh, kita harus berusaha, isteriku, kalau tidak, kasihan dong mereka."

Biauw Eng memandang dengan mata terbelalak, mulutnya menahan tawa. "Benar sekali, suamiku, tidak sedikit biayanya."

"Dua belas pasang sepatu baru, dua belas pasang pakaian, selosin perut di tambah kita berdua yang setiap hari harus diberi makan, wahh, kalau aku tidak bekerja keras, aduhhh, kasihan sekali mereka...!"

"Stop! Mereka siapa yang kau kasihani itu?"

"Siapa lagi? Anak-anak kita yang selosin itu..."

"Ehh, mabuk atau mimpi kau? Anak kita cuman satu!"

Keng Hong bengong dan akhirnya tertawa, lalu menampar kepalanya sendiri. "Aihhh, aku tidak sadar, merasa seolah-olah kita telah mempunyai selosin orang anak! Wah-wah-wah, kalau begitu jangan membalap, isteriku."

"Membalap apa?"

"Produksi anak itu lho! Lambat-lambat saja."

"Hushhh! Cabul kau, ya?"

Kembali mereka tertawa-tawa. Memang, tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan dalam hubungan suami isteri yang penuh cinta, penuh kasih sayang, penuh pengertian, penuh kepercayaan dan kesetiaan. Apa lagi kalau suami isteri itu sudah dikaruniai anak!

"Cia Keng Hong!"

Keng Hong dan isterinya yang sedang bersenda gurau sambil menimang-nimang anak mereka itu terkejut dan menoleh.

"Cong San...!" Keng Hong melompat dan lari menghampiri Cong San dengan dua tangan dilonjorkan untuk memeluk sahabat baiknya itu, wajahnya berseri-seri dan hatinya girang bukan main.

Tiba-tiba saja dia berhenti dan memandang keadaan sahabatnya dengan mata terbelalak. Wajah Cong San pucat sekali, matanya merah, rambutnya mawut dan pakaiannya tidak karuan.

"Cong San... apa... yang terjadi?"

Saking marahnya, sangat sukar bagi Cong San untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia membentak, "Manusia berhati palsu! Aku datang untuk mengadu nyawa denganmu!"

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cong San menerjang dengan pukulan hebat ke arah Keng Hong. Pendekar ini terkejut bukan main. Gerak refleks dari tubuhnya yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu membuat dia otomatis menangkis, akan tetapi karena dia tidak merasa sedang berhadapan dengan musuh, tangkisan itu dilakukan sama sekali tanpa pengerahan tenaga.

"Desss…!"

Tubuh Keng Hong terlempar sehingga dia jatuh menggulingkan diri, lalu meloncat bangun sambil berseru, "Heiiiiii! Cong San, mengapa...?"

Akan tetapi Cong San telah menerjang lagi, kini dengan tendangan ke arah bawah pusar, tendangan maut! Keng Hong yang masih bingung itu cepat mengelak, akan tetapi kembali dadanya kena dihantam.

"Bukkk!" Tubuhnya terguling-guling untuk kedua kalinya.

"Engkau atau aku yang harus mampus!" Cong San membentak dan meloncat ke depan, mengirim pukulan hebat yang dimaksudkan untuk membunuh.

"Plak-plak-plak-plak-plak!" Bertubi-tubi datangnya pukulan Cong San yang selalu ditangkis oleh Keng Hong.

Kalau Keng Hong menggunakan sinkang-nya, tentu tangkisan itu sudah cukup membuat penyerangnya terjengkang. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu, maka meski pun dia bergerak cepat menangkis terus, karena tidak sungguh-sungguh melawan, kembali sebuah tendangan Cong San mengenai perutnya.

"Desss…!"

Tendangan ini hebat bukan main karena yang dimainkan adalah ilmu menendang dari Siauw-lim-pai yang amat kuat dan cepat. Apa bila orang lain yang terkena tendangan ini, andai kata orang itu memiliki kekebalan juga, tentu isi perutnya mengalami getaran hebat dan akan menderita luka di sebelah dalam. Akan tetapi Keng Hong hanya terlempar dan terbanting lalu bergulingan tanpa menderita luka, luar mau pun dalam.

Pada detik berikutnya, tubuh Cong San sudah meloncat ke depan dan kakinya siap untuk menginjak kepala Keng Hong dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Jangan lagi hanya kepala orang, batu pun akan pecah terkena injakan dahsyat ini.

Dan biar pun Keng Hong seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Cong San, namun dia tidak berani menerima injakan pada kepalanya itu. Dia menjadi sangat penasaran, cepat tangannya menyambar, menangkap kaki Cong San dan sekali ia mengerahkan tenaga mendorong, tubuh Cong San terlempar dan terbanting ke atas tanah!

"Cong San sahabatku yang baik, apakah engkau telah gila?" Keng Hong cepat melompat bangun.

Cong San sudah bangkit lagi dan mencabut senjatanya, sepasang Im-yang-pit hitam dan putih. "Memang aku telah gila! Aku tahu, kepandaianku masih terlalu rendah untuk dapat melawanmu, akan tetapi aku tidak takut. Engkau atau aku yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, Cong San menerjang maju lagi dengan sepasang senjatanya, menotok ke arah jalan darah yang mematikan.

Keng Hong cepat mengelak dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Peristiwa ini sangat mengejutkan dan membuat hatinya berduka sekali sehingga dia tak begitu mementingkan keselamatan dirinya sendiri. Desakan Cong San yang sudah amat marah itu membuatnya membuatnya terhuyung dan melihat ini, Cong San semakin beringas, mengirim serangan maut tanpa memperhatikan penjagaan diri sendiri.

"Cong San...!" Keng Hong berteriak.

Dia merasa terkejut bukan main karena maklum bahwa jurus serangan itu tidak mungkin dielakkan lagi, juga sangat berbahaya dan satu-satunya jalan baginya hanya ‘mendahului’ lawan dengan pukulan atau tendangan. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.

Keadaannya amat berbahaya. Biar pun dia memiliki sinkang kuat, tetapi masih diragukan apakah kekebalannya akan dapat menahan sepasang Im-yang-pit yang amat lihai itu.

Cong San yang wajahnya seperti telah berubah menjadi iblis itu menggerakkan sepasang Im-yang-pit, yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menusuk ke arah ulu hati.

"Trang-trangggggg...!"

Cong San terhuyung ke belakang, sepasang Im-yang-pitnya terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Ternyata Biauw Eng telah berdiri di depannya dengan muka merah dan mata terbelalak seperti menyinarkan api. Dua buah senjata rahasianya, bola-bola berduri, tadi sudah menyambar dan menangkis sepasang Im-yang-pit, dan kini sabuk suteranya yang putih sudah bergerak melayang-layang di atas kepala penuh ancaman.

"Yap Cong San! Kalau engkau sudah gila, aku masih dapat mengampunimu, akan tetapi kalau engkau tidak gila, jangan kira engkau boleh menghina suamiku begitu saja! Apakah engkau sudah demikian jagoan sehingga hendak menjual lagak di sini?" Sikap Biauw Eng seperti seekor singa betina diganggu anaknya, wajahnya yang cantik itu mangar-mangar kemerahan dan sinar matanya berapi-api.

Cong San masih memandang kepada Keng Hong penuh kebencian. Tanpa menoleh ke arah Biauw Eng dia berkata, suaranya dingin, "Sie Biauw Eng, aku tidak memusuhimu, tidak ada urusan sesuatu denganmu. Aku bahkan merasa kasihan padamu. Akan tetapi, aku harus membunuh manusia hina Cia Keng Hong ini, atau aku sendiri yang akan mati di tangannya!" Kembali dia menerjang ke depan, menyerang Keng Hong dengan senjatanya yang digerakkan cepat, menggunakan jurus nekat yang hendak mengadu nyawa.

"Kalau begitu, engkaulah yang mampus!" bentak Biauw Eng.

Dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih menyambar dan tahu-tahu sepasang Im-yang-pit sudah terbang karena terlepas dari kedua tangan Cong San, terampas oleh ujung sabuk yang sangat lihai. Dalam kemarahannya, Biauw Eng kembali menggerakkan tangan dan kedua batang pit yang terlilit ujung sabuknya itu kini meluncur bagaikan dua batang anak panah ke arah tubuh Cong San!

"Eng-moi... jangan...!" Keng Hong berseru, namun terlambat karena sudah tampak sinar hitam dan putih sepasang pit itu meluncur cepat sekali ke arah Cong San.

Keng Hong melempar diri ke depan dan berhasil menyambar pit hitam, akan tetapi karena jaraknya terlampau dekat dan posisinya juga miring, pula dia tidak mengira isterinya akan membunuh Cong San, pendekar ini tidak dapat meloloskan diri dari pit putih yang cepat menyambar kemudian menancap pada pundaknya.

Keng Hong berdiri tenang, lalu mencabut pit putih dari pundaknya. Dia membiarkan darah muncrat dari lukanya dan menyerahkan kedua pit itu kepada Cong San sambil berkata, "Cong San, ada persoalan dapat dibicarakan. Kalau memang aku bersalah, sesudah kita bicara, masih belum terlambat bagimu untuk membunuhku. Dan percayalah, kalau aku bersalah, aku akan menyerahkan nyawa dengan suka rela."

Cong San menyambar sepasang pit-nya kemudian membentak, "Mau berbicara apa lagi? Kepura-puraanmu ini saja sudah menjadi jawaban, sudah menjadi bukti akan kerendahan budi dan kekotoran watakmu. Hayo, kau bunuh saja aku!"

Biauw Eng menarik tangan suaminya dengan kasar ke belakang, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Cong San sampai dekat sekali. Telunjuk kirinya menuding hampir menyentuh hidung Cong San dan suaranya melengking nyaring tanda bahwa nyonya muda ini sudah kehilangan kesabarannya.

"Yap Cong San, kalau begitu tidak usah banyak bicara lagi! Aku pun muak mendengarkan omonganmu. Bila engkau tidak gila, tentu engkau sudah dibutakan oleh cemburu, engkau manusia tolol. Memang tidak perlu bicara lagi, aku Sie Biauw Eng, saat ini menantangmu untuk mengadu nyawa! Hayo, keluarkan semua kepandaianmu, dan kalau aku tidak bisa membunuh engkau yang telah menghina suamiku, jangan sebut aku Sie Biauw Eng lagi," dadanya bergelombang dan tangannya yang memegang sabuk sutera menggigil, kakinya melakukan gerakan dibanting-banting ke arah tanah.

Wajah Keng Hong menjadi pucat. Celaka, pikirnya, kalau isterinya sudah seperti itu, biar setan pun takkan mampu menahannya dan kalau Cong San melawan, dia sendiri belum tentu akan dapat menyelamatkan Cong San dari tangan maut isterinya.

Akan tetapi Cong San tidak marah, malah menggeleng kepalanya dan suaranya penuh duka, "Sie Biauw Eng, sudah kukatakan tadi, aku tidak memusuhimu, aku malah kasihan kepadamu. Kita berdua menjadi korban, menderita nasib yang sama, bagaimana aku bisa memusuhimu? Aku pun tidak dapat bicara karena aku tak mau merusak kebahagiaanmu. Biarlah karena memandang mukamu, kali ini aku mengundurkan diri. Akan tetapi jagalah engkau, Cia Keng Hong, sekali waktu aku akan menemuimu sendiri, tanpa campur tangan isterimu, dan saat itu aku akan membunuhmu atau engkau terpaksa harus membunuhku. Sampai jumpa!" Cong San membalikkan tubuhnya kemudian lari dari situ. Keng Hong dan Biauw Eng mendengar suara sesenggukan keluar dari mulut orang yang lari itu.

"Kasihan dia... sungguh heran, apakah yang terjadi...?" Keng Hong berkata lirih.

Biauw Eng membalikkan tubuh menghadapi suaminya, matanya masih merah sekali dan dia berkata keras, "Cia Keng Hong, mengapa engkau begini pengecut?"

Keng Hong terbelalak memandang isterinya. "Ahhh? Aku... pengecut? Apa maksudmu?"

Biauw Eng membanting-banting kakinya. "Sungguh memalukan sekali, mempunyai suami seorang yang lemah, seorang pengecut! Engkau dihina orang, engkau diserang, engkau dimaki, dan engkau tak membalas malah menaruh kasihan kepadanya! Ke mana perginya kegagahanmu?"

Keng Hong menghela napas. "Isteriku yang manis, sabarlah..." Keng Hong melangkah maju dan hendak merangkul isterinya, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan pundaknya mengelak dan mulutnya cemberut.

"Sabar apa? Aku dapat menduga bahwa dia itu tentulah cemburu kepadamu!"

"Dia menjadi marah karena mengira yang tidak-tidak, dia menuduh dan hatinya dikacau oleh dugaan yang keliru."

"Akan tetapi engkau yang dituduh, engkau difitnah. Kalau orang tidak bersalah, dia harus melawan! Kalau engkau diam saja dan mengalah, rela dihina, dimaki dan dipukul, hal itu berarti engkau memang bersalah!"

"Wah-wah-wah, apakah engkau pun menuduh aku pula?"

"Sikapmu sendiri yang membuat orang curiga! Kalau memang engkau bersih, mengapa engkau membiarkan dirimu dihina oleh Cong San?"

"Eng-moi, isteriku yang manis..."

"Bukan saatnya merayu! Hatiku sedang panas, tahu? Bicara seperlunya saja!"

Pada saat itu terdengar suara anak menangis dan Biauw Eng sadar dari keadaan marah luar biasa itu. Dia cepat-cepat membalik, meloncat dan memondong anaknya yang tadi ia letakkan di atas rumput ketika dia turun tangan membela suaminya. Sambil memondong anaknya, dia membalik menghadapi suaminya dan biar pun sikapnya masih marah, tetapi matanya tidak lagi berapi-api, kedua lengannya menimang-nimang anaknya yang segera berhenti menangis.

Melihat ini Keng Hong menjadi terharu dan terasa benar olehnya betapa isterinya amat mencintainya, membelanya dan tadi bahkan hendak mengadu nyawa dengan Cong San untuk membelanya.

"Eng-moi, maafkan aku kalau aku mendatangkan penasaran di hatimu. Ketahuilah, aku tadi memang mengalah. Akan tetapi bukan mengalah karena salah bukan pula mengalah karena takut, melainkan mengalah karena sadar, isteriku. Engkau sendiri tahu bahwa dia dalam keadaan tidak normal, seperti gila oleh kemarahannya, mungkin karena cemburu yang tidak berdasar. Nah, setelah aku sadar bahwa dia itu seperti gila, apakah aku pun harus menjadi gila seperti dia dan melayaninya?"

Mata Biauw Eng melotot, dan mata itu bertambah indah dalam pandangan Keng Hong yang tahu bahwa akan ada badai mengamuk dari mata melotot itu. "Apa?!" Badai itu mulai menyerangnya. "Engkau...! Engkau menganggap aku gila...?"

"Lhohhh! Ehhhh... apa lagi ini...?"

"Masih pura-pura lagi! Kau bilang dia gila, yang melawannya sama gilanya, dan aku tadi melawannya, jadi sama saja kau memaki aku gila! Ceraikan saja kalau begitu!" Biauw Eng mengusap air matanya yang menetes turun.

Pucat wajah Keng Hong. Belum pernah dia melihat isterinya menitikkan air mata seperti ini, apa lagi menantang dicerai! Dia menyesal sekali dan maklum bahwa urusan tidaklah sekecil yang dianggapnya semula. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata penuh penyesalan dan permohonan.

"Eng-moi, isteriku yang terkasih, ibu anakku yang tersayang. Ampunkan mulut suamimu yang lancang dan pandangan yang dangkal ini..."

Tiba-tiba Biauw Eng juga berlutut, menggunakan lengan kiri merangkul pundak dan ia pun terisak di atas pundak suaminya. "Engkau yang harus mengampuniku, suamiku..."

Bukan main besar dan bahagianya rasa hati Keng Hong, tetapi juga dia terheran-heran. "Biauw Eng, aku tadi merasa gelisah sekali. Bayangkan saja, engkau begitu marah dan minta cerai!"

"Aku hanya main-main, mengancam karena hatiku jengkel sekali melihat Cong San yang menghinamu. Engkau benar, suamiku. Dia gila dan aku pun tadi hampir gila karena telah melayani seorang gila."

Begitu girangnya hati Keng Hong sehingga dia menghadiahkan ciuman mesra pada mulut yang mengeluarkan kata-kata itu, kemudian dia menciumi kepala puterinya.

"Apa bila aku tadi ketularan kegilaanmu dan aku membalas, benar-benar menceraikanmu bagaimana?"

"Aku akan mati!" jawab Biauw Eng tegas. "Aku hanya mau bercerai darimu kalau mati!"

"Isteriku...!" Keng Hong langsung merangkul isteri dan puterinya dengan kedua lengan, kegelisahannya mengenai Cong San lenyap terselubung kebahagiaan yang dirasakan di saat itu.

"Ehh, pundakmu... harus segera diobati."

Keng Hong menjamah pundaknya yang tadi tertusuk pit. "Tidak apa-apa, lukanya hanya kecil, darahnya telah mengering, sebentar pun sembuh. Pit milik Cong San tidak beracun, tidak berbahaya."

Disebutnya nama ini membuat mereka menjadi termenung, teringat kembali. Keng Hong mengerutkan keningnya, teringat dia akan Yan Cu. "Sungguh heran aku, apakah yang telah menimpa keluarga Cong San dan sumoi?"

Biauw Eng juga termenung. "Cong San telah menjadi seperti gila, bagaimana dengan Yan Cu? Aihhh, aku pun khawatir sekali, suamiku. Tentu terjadi hal yang amat hebat menimpa mereka, dan aku khawatir... hemmmmm... siapa lagi kalau bukan dia yang mengacau..."

Keng Hong mengerti karena dugaannya pun menuju ke sana, "Cui Im?"

Isterinya mengangguk dan mereka berpandangan. Melihat pandang mata isterinya, Keng Hong maklum bahwa isterinya menyesalkan pengampunannya terhadap Cui Im, maka dia berkata perlahan, "Aku tidak akan sudi mengampuninya lagi kalau benar dia masih belum bertobat dan masih mengacau dan merusak kebahagiaan sumoi dan suaminya."

"Suheng...!"

Keng Hong dan Biauw Eng meloncat lantas membalikkan tubuh, memandang terbelalak kepada Yan Cu yang sedang datang berlari-lari. Kalau saja Yan Cu tidak mengeluarkan suara memanggil tadi, tentu mereka berdua akan pangling.

Wajah yang dulunya seperti sekuntum bunga yang sedang mekar, cantik jelita dan selalu riang gembira serta berseri-seri itu kini kotor dan muram, matanya membendul dan merah kebanyakan menangis, air mata di pipi tidak dibersihkan, terkena debu membuat wajah itu cemang-cemong, rambutnya sangat kusut tak disisir, pakaiannya pun kusut dan matanya membayangkan kedukaan hebat.

"Yan Cu...!" Biauw Eng berkata lirih, penuh iba dan kaget.

"Sumoi, kau kenapakah...?” Keng Hong cepat melangkah maju menyambut.

"Jangan dekat! Jangan sentuh aku!" Yan Cu tiba-tiba berhenti ketika melihat Keng Hong melangkah maju menyambutnya.

Keng Hong kaget bukan main dan sejenak timbul kekhawatirannya bahwa jangan-jangan sumoi-nya ini pun menjadi gila!

"Sumoi, ada apakah? Engkau seperti marah dan membenciku, apakah salahku?"

"Suheng, engkau satu-satunya orang yang kumuliakan, satu-satunya orang yang kucinta seperti kakak, seperti pengganti orang tuaku. Mengapa engkau begitu kejam? Mengapa engkau tega merusak kebahagiaan hidupku? Kenapa engkau memisahkan aku dari suami dan anakku? Suheng, jawablah. Di hadapan enci Biauw Eng. Katakanlah terus terang, siapakah yang kau cinta dengan cinta kasih pria terhadap wanita, aku ataukah enci Biauw Eng?"

Apa bila ada halilintar menyambarnya di saat itu, belum tentu Keng Hong akan sekaget ketika mendengar kata-kata sumoi-nya ini. "Sumoi..., Yan Cu... apa artinya semua ini? Aku sungguh tidak mengerti!"

Sambil memondong anaknya Biauw Eng sudah datang mendekat dan berkata, suaranya tegas, dingin dan amat berwibawa, "Yan Cu, tenanglah sebentar, tekan perasaanmu yang meluap-luap dan dilanda kedukaan itu. Kami dapat menduga bahwa tentu telah terjadi mala petaka hebat menimpa keluargamu, akan tetapi kami sama sekali tidak tahu maka ceritakanlah yang jelas. Atau, marilah kita masuk ke rumah di mana kita dapat bicara dengan tenang."

Yan Cu memandang Biauw Eng dan sungguh heran sekali hati Biauw Eng mengapa sinar mata wanita itu penuh iba ketika memandangnya. "Enci Biauw Eng, maafkan aku yang terpaksa melukai hatimu. Aku tidak bisa berbicara banyak, akan tetapi karena perbuatan Suheng yang ternyata dia tak ada bedanya dengan watak gurunya, mendatangkan mala petaka hebat kepada diriku maka terpaksa aku menghancurkan hatimu. Enci Biauw Eng, kau ampunkanlah aku!"

"Sumoi, katakanlah, tidak perlu disembunyikan. Katakan semua, apa yang telah terjadi? Dosa hebat apakah yang telah kulakukan sehingga mala petaka menimpa keluargamu?" Keng Hong yang biasanya dapat menahan kesabaran itu, kini berseru keras karena dia gelisah sekali, menduga-duga apa gerangan yang terjadi sehingga dia dibenci Cong San dan kini dipersalahkan sumoi-nya sendiri.

Dengan muka pucat dan mulut terisak menahan tangis, Yan Cu mengeluarkan dua buah surat dari balik bajunya, dua buah surat yang dahulu dilemparkan suaminya kepadanya. Kini dia melemparkan dua buah surat itu kepada Keng Hong sambil berkata penuh duka,

"Mengapa engkau menulis surat macam itu kepadaku? Dan apa pula artinya pemalsuan surat dariku itu?" Yan Cu lalu menangis tersedu-sedu, kedua kakinya terasa lemas dan ia terjatuh, duduk di atas tanah sambil menangis.

Keng Hong menyambar kedua lembar surat itu. Matanya segera tertarik oleh tulisannya sendiri dan cepat dibacanya. Biauw Eng yang melihat betapa mata suaminya terbelalak dan mukanya berubah merah penuh kemarahan, cepat menghampiri dan ikut membaca. Matanya pun terbelalak ketika bibirnya bergerak-gerak membaca surat itu.

Yan Cu sumoi yang tercinta,

Setengah tahun kita saling berpisah. Aku mengharapkan beritamu dengan hati penuh rindu. Kuharap engkau hidup bahagia dengan suamimu. Kami tinggal di Cin-ling-san dan berhasil membangun kembali rumah mendiang subo, dan sekarang tempat kami menjadi sebuah dusun yang ditinggali petani-petani Pegunungan Cin-Ling-san.

Sumoi, betapa rinduku kepadamu. Kini aku yakin bahwa hanya engkaulah yang kucinta. Bilakah kita dapat berjumpa kembali, berdua seperti dahulu memadu kasih?

Sampai jumpa, sumoi yang tercinta, dan balaslah, karena kalau tidak aku akan selalu menyuratimu.

Penuh cinta dan rindu dari,
Cia Keng Hong.

Sampai beberapa kali Keng Hong serta Biauw Eng membaca surat itu. Sekilas terasa bahwa amarah yang amat hebat membakar dada Biauw Eng karena dia mengenal betul tulisan suaminya! Akan tetapi melihat sikap suaminya, dia dapat menekan kemarahannya dan mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.

Tidak cocoklah isi surat dengan sikap suaminya. Kalau suaminya menulis seperti itu dan kini suratnya terbaca olehnya, tidak mungkin suaminya akan bersikap seperti itu, penuh rasa penasaran, kemarahan, kekagetan dan juga keheranan. Kalau benar-benar menulis seperti itu tentu berusaha agar jangan terbaca olehnya.

"Iblis terkutuk! Tulisanku dipalsu orang. Ini surat palsu, Sumoi!"

"Tulisannya persis dengan tulisanmu. Aku sendiri pun akan berani bersumpah bahwa itu tulisanmu, Hong-ko," Biauw Eng berkata.

"Sumoi, telah terjadi hal yang hebat. Aku mengerti sekarang... hemmm..." Kini Keng Hong membuka surat ke dua, tulisan tangan Yan Cu juga dia baca bersama Biauw Eng. Akan tetapi karena mereka kini sudah merasa yakin bahwa ada pemalsuan surat, mereka tidak begitu terkejut lagi membaca tulisan tangan Yan Cu yang membuat Cong San menjadi seperti gila itu.

Suheng, kekasihku.

Suheng, harap temui aku sore ini di tempat biasa. Aku tak tahan lagi. Dia agaknya mulai curiga. Suheng, tolonglah aku, mati hidup aku ikut bersamamu, Suheng, kekasihku.

"Suheng, jadi engkau tidak menulis suratmu kepadaku itu? Dan... dan surat dariku ini? Aku tidak pernah menulisnya, akan tetapi huruf-hurufnya... serupa benar dengan gaya tulisanku..."

"Tenanglah, Yan Cu. Dan ceritakan sekarang, apakah engkau pernah menerima surat kami beberapa bulan yang lalu, yang diantar oleh seorang pesuruh kami?"

Yan Cu menggeleng kepala. "Tidak pernah ada utusan kalian datang membawa surat."

Biauw Eng memandang pada suaminya dan alisnya berkerut. Hemmm, ini cocok dengan keanehan sikap A-liok yang aneh, yang tidak kembali dan hanya berpesan tidak pulang ke kampung.

"Surat kita agaknya terjatuh ke tangan orang jahat dan tulisanmu dipelajari untuk mereka pakai membuat surat palsu ini. Tak salah lagi. Suratmu itu dipalsu, kemudian surat palsu ini diserahkan kepada Cong San di luar tahu Yan Cu."

"Akan tetapi A-liok...? Dia amat boleh dipercaya." Keng Hong membantah, sungguh pun dia percaya akan kecerdikan isterinya.

Biauw Eng menggelengkan kepala. "Aku mempunyai dugaan bahwa A-liok telah terbunuh orang, surat kita dipalsukan. Yang menyampaikan berita bahwa dia tidak pulang ke sini itu tentu bukanlah A-liok, melainkan kaki tangan penjahat. Aku dahulu sudah curiga bahwa tak mungkin A-liok berani berbuat seperti itu, akan tetapi karena tidak ada terjadi sesuatu, aku pun tidak peduli. Sekarang aku baru tahu bahwa kecurigaanku terhadap peristiwa itu benar."

Keng Hong mengepal tinju dan menghadapi Yan Cu yang mendengarkan dengan penuh perhatian. "Sumoi, sekarang engkau yakin bahwa bukan aku yang menulis surat beracun ini kepadamu. Akan tetapi, tulisanmu ini..., kau bilang serupa benar dengan tulisanmu akan tetapi bukan tulisanmu?"

"Mengapa serupa sekali, akan tetapi engkau mengerti bahwa tidak mungkin aku menulis surat seperti itu, Suheng."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku mengerti adikku. Engkau bukanlah seorang wanita seperti ini dan engkau amat mencinta suamimu. Akan tetapi bagaimana tulisanmu sampai dapat dipalsukan orang lain?"

Yan Cu menggigit bibir dan mengepal tinjunya. "Tadinya tak terpikir olehku, sekarang aku ingat. Orang tua yang minta dituliskan resep baru itu! Hemmmm... dari resep obat yang kutulis, seorang ahli tentu saja akan dapat menirukannya! Akan tetapi kenapa...? Kenapa ada pemalsuan-pemalsuan ini? Kenapa sikap suamiku selalu dingin dan murung? Kenapa ada yang hendak menghancurkan rumah tanggaku? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Cui Im!" Keng Hong berkata marah. "Aku akan mencarinya. Dia harus mempertanggung jawabkan ini. yang kukhawatirkan hanyalah Cong San. Dia pergi dari sini seperti orang yang sudah berubah jiwanya..."

"Suheng...! Dia... dia ke sini...? Dan bersama Kun Liong...?"

"Kun Liong? Siapa dia?"

"Anak kami! Dia pergi membawa anak kami..., maka aku mengejar ke sini..."

Keng Hong menggeleng kepala dan memandang sumoi-nya penuh rasa iba. "Dia datang seorang diri dan hendak membunuhku."

"Karena suheng-mu mengalah dan terancam, terpaksa aku turun tangan menandinginya. Dia lari meninggalkan ancaman maut kepada Suheng-mu. Jadi engkau telah mempunyai seorang putera? Di manakah dia? Dibawa ke mana?"

Akan tetapi wajah Yan Cu sudah menjadi pucat sekali mendengar betapa suaminya telah datang hendak membunuh Keng Hong dan tidak tampak anaknya bersama suaminya itu.

"Su... sudah lamakah dia pergi?"

"Baru saja, belum ada dua jam, dia berlari ke arah sana...," Biauw Eng menjawab dan menunjuk ke utara.

Tanpa menjawab dan tanpa pamit Yan Cu meloncat dan berkelebat cepat lari ke utara hendak menyusul suaminya.

"Sumoi...!" Keng Hong hendak mengejar, akan tetapi Biauw Eng memegang lengannya menahan.

"Suamiku, tenanglah. Dalam keadaan seperti ini kita harus bersikap tenang dan tidak boleh semberono. Kini kita sudah mengerti mengapa Cong San menjadi seperti gila dan bersikeras hendak membunuhmu. Kiranya dia memang sudah gila oleh cemburu. Tidak mengherankan jika dia membaca dua surat ini dan mungkin sekali dia juga menyaksikan hal-hal yang menambah besar cemburunya. Bila engkau membantu Yan Cu mencarinya, kemudian bertemu dengannya, bukankah kedatanganmu berdua Yan Cu itu hanya akan menjadi minyak yang disiramkan kepada api yang berkobar? Tidak, hal itu bahkan akan menambah ruwet persoalan."

"Habis, bagaimana baiknya? Mungkinkah kita melihat kesengsaraan mereka dan berdiam diri saja melihat rumah tangga mereka hancur berantakan?"

"Tentu saja tidak, suamiku. Kita bertiga harus menyusul mereka dan kita bereskan urusan itu, kita sadarkan Cong San yang gila oleh cemburu. Terutama sekali, kita mencari biang keladinya yang kurasa bukan lain tentulah Cui Im."

"Bertiga?"

"Tentu saja, bersama Giok Keng."

"Ihhh! Perjalanan ini penuh bahaya, apa lagi kalau diingat bahwa besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan iblis betina itu. Mengajak Giok Keng berarti membahayakan keselamatan anak kita."

"Hemmmm, kalau kita tinggalkan di sini tanpa kita jaga, apakah hal itu malah tidak lebih berbahaya lagi? Kalau kita mampu menjaga diri sendiri, masa tidak mampu melindungi anak kita? Sebaliknya kalau kita berdua binasa, siapa pula yang akan dapat menjaga anak kita? Kita pergi bertiga, hari ini juga, Hong-ko."

Mau tak mau Keng Hong terpaksa harus membenarkan ucapan isterinya itu. Lagi pula, menghadapi urusan Cong San benar-benar amat ruwet dan rumit, dia seorang diri belum tentu mampu memecahkannya. Dia harus mengandalkan kecerdikan isterinya untuk mengatasi perkara itu, maka dia tidak banyak membantah dan berangkatlah suami isteri pendekar sakti itu bersama puteri mereka setelah menyerahkan pengurusan rumah mereka kepada para petani tetangga mereka…..

********************

Tubuh Cong San terhuyung-huyung, akhirnya roboh di bawah pohon besar dalam hutan. Terdengar dia menangis mengguguk. Selama hidup baru kali ini pendekar itu menangis, hati dan pikirannya kacau balau, kehilangan pegangan. Ia berduka kehilangan cinta kasih isterinya, dia marah karena merasa tertipu melihat kenyataan bahwa sejak dulu isterinya adalah kekasih Keng Hong.

Dia kini yakin bahwa isterinya menikah dengannya bukan sebagai seorang perawan lagi, bahkan dia meragukan apakah Kun Liong itu anaknya! Lebih hebat lagi, dia sudah mau melupakan semua itu, melupakan semua peristiwa yang sudah-sudah, menuruti nasehat Thian Kek Hwesio, namun semua itu ternyata tidak ada gunanya karena sampai sekarang pun isterinya masih melanjutkan hubungan jinah dengan Keng Hong!

Dunia serasa hancur lebur bagi Cong San. Yang lebih menyakitkan hati, dia tidak mampu membalas, tidak mampu membunuh Keng Hong, bahkan dia menanam permusuhan pula dengan Biauw Eng! Dia tidak mau melawan Biauw Eng, bukan hanya karena wanita itu pun memiliki ilmu kesaktian yang lebih tinggi dari padanya, namun terutama sekali karena dia merasa kasihan kepada Biauw Eng!

Di luar kesadarannya, Biauw Eng juga menjadi korban watak kotor suaminya, dan wanita itu sama sekali tidak bersalah. Betapa mungkin dia melawan mati-matian terhadap Biauw Eng? Tidak, dia tak akan mengangkat senjata terhadap Biauw Eng, akan tetapi, dia harus membunuh Keng Hong! Membunuh manusia busuk itu atau mati dalam usahanya ini!

"Aihh..." Dia mengeluh, duduk bersandar pohon, lalu mengusap air matanya. "bagaimana aku dapat membunuh iblis itu? Ilmunya luar biasa tinggi, dan di sampingnya masih ada Biauw Eng yang membelanya. Aaaaaahhh..., mengapa Thian menyiksaku seperti ini? Di mana ada keadilan?"

Kalau saja pohon raksasa tua di mana Cong San bersandar itu dapat bergerak bagaikan manusia, tentu akan menggelengkan kepala mendengar keluhan Cong San ini. Keluhan seorang manusia yang lajim terdengar di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini.

Manusia selalu mengeluh kalau tertimpa sesuatu yang tidak berkenan di hatinya, kalau terjadi sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatinya, dengan bayangan di dalam pikirannya. Lalu dia merasa menderita, merasa sengsara dan berduka. Lalu timbul rasa penasaran. Lebih celaka lagi, dia lalu mempersekutu Thian di dalam keadaan mabuk oleh iba diri.

Cong San lupa akan pelajaran-pelajaran kebatinan yang telah diterimanya semenjak kecil. Oleh rasa iba diri yang menimbulkan pertentangan mencipta kemarahan dan kebenciaan, dia lupa bahwa dia telah melakukan hal yang amat kotor. Dia ingin menarik Tuhan agar berpihak kepadanya untuk dapat membalas Keng Hong! Ia baru akan merasa puas, baru akan menganggap Tuhan Maha Adil kalau Tuhan suka membantunya membunuh Keng Hong!

Betapa picik pendapatnya yang melahirkan perbuatan setelah dikuasai oleh rasa sayang diri dan iba diri. Perasaan ke-akuan ini membuat setiap orang ingin agar segala sesuatu di alam mayapada ini, dari yang tampak sampai yang tidak tampak, dari segala setan iblis, dewa malaikat sampai kepada Tuhan, semua bergerak demi kepentingan dan keuntungan si Aku.

Berbahagialah manusia yang dapat mengenal diri pribadi, bisa menujukan pandang mata dan mendengarkan telinga ke dalam, bukan selalu keluar. Dapat mengenal isi pikiran dan melihat betapa pikiran selalu membayangkan hal-hal lampau yang penuh kenikmatan dan kesenangan sehingga timbul keinginan-keinginan, dapat mendengarkan suara hati yang terdorong oleh nafsu-nafsu yang timbul dari kenangan dan bayangan, dapat berdiri di atas itu semua tanpa penentangan, tanpa pengekangan paksa, namun dengan penguasaan sehingga semua itu akan mencair dan musnah dengan sendirinya, tanpa paksaan, tanpa pertentangan, bergulung menjadi satu ke dalam cahaya Cinta Kasih Murni.

"Yap Cong San, seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, kenapa bersemangat lembek dan lemah?"

Cong San melompat bangun, membalik dan menghadapi Bhe Cui Im dengan mata berapi penuh kebencian serta amarah. Wanita yang amat cantik jelita, yang berpakaian mewah dan indah, pakaian yang ketat membungkus tubuh yang mempunyai lekuk-lengkung yang menggairahkan, yang menghamburkan bau harum dari seluruh rambut dan pakaiannya, tersenyum-senyum manis memandang padanya. Akan tetapi, bagi Cong San, kecantikan itu menyembunyikan bayangan iblis yang mengerikan.

"Iblis betina!" ia membentak.

Cepat dia telah mencabut sepasang Im-yang-pit di tangannya, langsung menubruk dan menyerang ke depan, mengirim totokan-totokan maut secara bertubi-tubi. Namun sambil tersenyum simpul dan dengan gerakan yang sangat indah, Cui Im dapat menghindarkan diri dengan amat mudah sehingga semua totokan itu mengenai angin saja.

"Cong San, alangkah bodohnya engkau. Apa bila engkau melawan aku, engkau tak akan menang dan betapa mudah bagiku membunuhmu. Akan tetapi aku takkan membunuhmu dan engkau pun tidak boleh menyerangku. Aku butuh engkau, dan engkau pun butuh aku, Cong San."

Dalam keadaan seperti itu, Cong San tak mampu berpikir panjang, maka ucapan ini dia hubungkan dengan sifat mata keranjang dan gila laki-laki dari iblis betina ini. Amarahnya memuncak dan dia menerjang lagi lebih nekat!

"Plak-plak... Cusss!"

Dua batang pit itu bertemu dengan telapak tangan Cui Im. Cong San merasa seolah-olah dua batang senjatanya berikut tenaga sinkang-nya amblas ke dalam suatu benda lunak dan kehilangan tenaganya, lalu sebuah totokan jari tangan yang halus runcing menyentuh pundak, membuat dia terguling dan seluruh tubuh atasnya menjadi lumpuh. Namun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya, berhasil membuyarkan pengaruh totokan, melompat berdiri dan siap menerjang lagi.

"Cong San, aku tahu engkau gagah dan tidak takut mati. Akan tetapi, tidak sayangkah bila engkau mati dalam tanganku sebelum engkau mampu membunuh Keng Hong yang telah menghancurkan kebahagiaanmu?"

Cong San tertegun. Dia tidak ingin mati sebelum sempat membalas Keng Hong! Akan tetapi dia pun tidak sudi menyerah terhadap iblis betina ini, maka dia cepat menghardik, "Urusanku dengan dia tidak ada sangkut pautnya denganmu!"

Cui Im tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih rata seperti mutiara. "Tidak ada sangkut pautnya, akan tetapi kita senasib! Keng Hong telah menghancurkan kebahagiaanmu, juga dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Engkau mendendam dan hendak membunuhnya, aku pun demikian. Engkau tak berhasil, aku pun demikian, karena dia memang sangat lihai. Karena itu, mengapa kita saling serang sendiri? Tadi kukatakan bahwa kita saling membutuhkan. Kalau kita bekerja sama menghadapi laki-laki mata keranjang itu, tentu kita akan berhasil membalas dendam."

Cong San meragu, menunduk. Dia tahu bahwa wanita di depannya ini, yang jahat dan keji seperti iblis, memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, bahkan wanita ini adalah sumoi dari Keng Hong. Wanita inilah satu-satunya orang yang ikut mempelajari kitab-kitab rahasia peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah tingkat Keng Hong.....

Komentar