PEDANG KAYU HARUM : JILID-59
"Hushhh, Cong San, bangkitlah, hapus air matamu, usir semua kedukaan dan penyesalan hatimu. Pengadilan yang telah disidangkan oleh saudara-saudaramu sudah tepat, benar dan adil! Perbuatan sesat mendapat hukuman, ini sudah tepat dan patut. Kenapa harus disusahkan dan disesalkan? Siapa yang mengharuskan kita menyesal dan berduka bila menghadapi sesuatu yang menimpa diri kita? Tidak ada yang mengharuskan dan hanya kesadaran kita sendirilah yang menentukan. Apa yang menimbulkan susah dan senang? Bukan dari luar, muridku, melainkan dari dalam, dari hati kita sendiri yang dicengkeram nafsu mementingkan diri sendiri, nafsu iba diri. Jika dirugikan, kita susah, akan tetapi jika diuntungkan, kita senang."
"Bukankah itu picik sekali? Susah dan senang hanya permainan perasaan sendiri seperti air laut yang pasang surut. Suatu penipuan dari nafsu yang hanya dapat kita atasi dengan kesadaran sebab kesadaran akan mengangkat kita lebih tinggi dari pada permainan susah senang itu, mendatangkan ketenangan dan tidak akan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Andai kata engkau belum dapat mencapai tingkat itu, masih harus memilih antara susah dan senang, kenapa engkau tidak memilih? Susah menimbulkan tangis, ada pun senang menimbulkan tawa. Baik diterima dengan susah atau pun senang, persoalannya tak akan berubah. Mengapa harus menangis? Tangis hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik, karena dapat menimbulkan kelemahan batin sendiri, dapat mendatangkan keharuan pada orang lain. Tangis susah akan mudah mengukirkan dendam dalam hati, melahirkan dosa-dosa lain. Dalam menghadapi sesuatu, sama-sama menggerakkan bibir, mengapa tidak memilih tawa dari pada tangis? Hasilnya lebih baik bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Cong San, ingatlah engkau bahwa yang terpenting dari pada segala dalam menjalani penderitaan hidup ini hanya PENERIMAAN! Penerimaan akan segala hal yang menimpa diri kita disertai kesadaran bahwa segala yang terjadi adalah akibat dari pada perbuatan kita sendiri, sesuai dengan kehendak Tuhan. Kesadaran ini akan menuntun kita supaya menerima segala peristiwa dengan penuh penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, oleh karenanya akan tetap tenang karena sudah waspada bahwa segala peristiwa yang terjadi tak akan dapat dihindarkan oleh kekuasaan manusia yang sesungguhnya hanya makhluk lemah yang selalu menjadi permainan dari nafsu-nafsunya sendiri."
Kakek itu berhenti sebentar dan bukan hanya Cong San yang mendengarkan dengan hati tunduk, melainkan semua anggota Siauw-lim-pai, bahkan Yan Cu pun diam-diam merasa kagum akan kebijaksanaan kakek itu. Dalam hatinya gadis ini melihat seolah-olah kakek itu telah duduk di tempat yang begitu tinggi sehingga tidak akan terseret oleh gelombang penghidupan yang mempermainkan manusia.
"Pinceng merasa bersyukur kepada sidang pengadilan dan pinceng menerima keputusan tadi. Mulai saat ini, pinceng bukan lagi ketua Siauw-lim-pai, dan sesuai dengan peraturan perkumpulan kita, pinceng persilakan kepada para tokohnya agar mengadakan pemilihan ketua baru. Sebagai seorang anggota yang masih berhak, pinceng pribadi mengusulkan agar Thian Kek Hwesio untuk menduduki jabatan ketua. Ada pun pinceng sendiri, pinceng minta agar diperbolehkan menghabiskan usia yang tidak berapa ini untuk bersemedhi di dalam Ruang Kesadaran yang berada di ujung belakang."
"Apa yang Suhu katakan merupakan perintah bagi teecu sekalian," berkata Thian Kek Hwesio. "Karena, biar pun Suhu bukan ketua Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi tetap menjadi guru teecu semua dan teecu mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu demi kebaikan Siauw-lim-pai."
Tiong Pek Hosiang tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia yakin bahwa kalau Siauw-lim-pai dipimpin oleh muridnya tertua ini sebagai ketua, tentu akan mengalami kemajuan. Kemudian dia menoleh kepada Cong San dan Yan Cu.
"Cong San dan Yan Cu, sekarang pinceng mengusir kalian pergi dari Siauw-lim-si, karena tidak boleh orang luar tinggal di sini. Engkau pasti mengerti bahwa pengusiran terhadap dirimu ini hanya merupakan hal yang sudah ditentukan oleh sidang pengadilan dan oleh peraturan yang berlaku di Siauw-lim-pai. Nah, pergilah, Cong San. Engkau bukan murid Siauw-lim-pai lagi, akan tetapi percayalah bahwa Siauw-lim-pai tetap akan menganggap engkau sebagai seorang sahabat baik!"
Biar pun Cong San sudah menerima wejangan suhu-nya, namun dia seorang muda yang masih diombang-ambingkan nafsu dan perasaan yang sedang bergelora, maka tentu saja dia tidak dapat menahan air matanya yang bercucuran. Melihat keadaan suaminya, Yan Cu juga turut menangis sesenggukan. Mereka berdua maju berlutut ke depan Tiong Pek Hosiang.
"Suhu, teecu mohon diri...," Cong San berkata terisak.
Tiong Pek Hosiang tersenyum dan menggerakkan tangan. "Pergilah, muridku yang baik dan berhati-hatilah karena di luar sana menanti banyak cengkeraman-cengkeraman maut yang mengancam seluruh manusia. Yan Cu, semoga Tuhan memberkahi engkau dan suamimu."
Walau pun mulutnya tersenyum, namun sepasang alis yang putih kakek itu agak berkerut karena pandang matanya yang waspada itu sudah melihat ada awan gelap mengancam penghidupan kedua orang muda itu. Diam-diam dia hanya berdoa mohon kepada Tuhan agar melindungi mereka.
"Para suheng, sute dan saudara sekalian, saya mohon diri dan sudilah memaafkan segala kesalahan saya." Cong San memberi hormat kepada semua hwesio yang dibalas oleh mereka dengan tenang.
"Selamat jalan, Yap-sicu, sahabat kami!" Thian Kek Hwesio berkata, suaranya lantang dan jelas, seolah-olah dia hendak mengingatkan bahwa hubungan antara Cong San dan Siauw-lim-pai sebagai murid dan perguruan sudah hilang, dan kini terganti oleh hubungan persahabatan!
Cong San kemudian keluar dari Siauw-lim-si diikuti oleh Yan Cu dengan muka pucat dan muram. Setelah mereka agak jauh dari kuil itu dan tidak tampak lagi genteng kuil, Yan Cu memegang tangan suaminya dan berhenti. Wajahnya cerah dan ia tersenyum karena ia melihat kemuraman wajah suaminya dan mengambil keputusan untuk menghiburnya.
"Koko, harap kau jangan besedih lagi. Apa bila kau berduka, aku ikut pula bersedih. Kita harus ingat akan wejangan suhu-mu yang bijaksana. Peristiwa itu telah berlalu, mengapa disedihkan dan ditangisi? Lebih baik kita tertawa dan tersenyum! Senyumlah, Koko! Kita pengantin baru, bukan? Sepatutnya kita bergembira. Hayo, senyumlah!"
Cong San menatap wajah isterinya. Wajah yang cantik jelita seperti bidadari, yang tengah tersenyum-senyum sehingga bibirnya merekah dan tampak ujung deretan gigi yang putih seperti mutiara, mata yang berkaca-kaca meski pun mulutnya tersenyum. Nampak jelas kasih sayang membayang di mata itu, nampak jelas betapa isterinya berusaha menghibur dirinya, berusaha mengusir semua kesedihan hatinya. Hatinya terharu bukan main dan seolah-olah bendungan yang jebol, dia lalu merangkul isterinya dan merintih,
"Yan Cu, isteriku...!" Ia memeluk isterinya, mendekapnya dan terdengarlah isak tangisnya, membuat Yan Cu ikut pula sesenggukan.
"Koko... hu-hu-huuuukkk... jangan menangis, Koko... suamiku..."
"Yan Cu... ahhh, Moi-moi..."
Mereka berpelukan dan bertangisan. Kini legalah hati Cong San setelah segala perasaan duka itu membobol keluar menjadi tangis, dan dia memegang pundak isterinya, didorong perlahan sehingga mereka saling pandang. Kemudian, dengan air mata masih mengalir di sepanjang pipi, keduanya berpandangan dan tertawa lebar!
"Kita berbahagia... tangis kita tangis bahagia...!" bisik Cong San.
Seketika tersapu bersihlah awan kedukaan karena di hadapan mereka terbentang jalan lebar menuju kebahagiaan.
"Suamiku, sekarang kita hendak ke manakah?" Yan Cu sambil merebahkan mukanya di dada suami itu, sikapnya penuh manja dan mesra.
Cong San mengelus rambut yang halus dan harum itu. "Isteriku, kau maafkanlah aku. Oleh karena urusan yang datang bertubi-tubi, aku yang terlalu mementingkan diri sendiri sampai seolah-olah mengabaikan engkau, isteriku yang tercinta, satu-satunya orang di dunia ini yang paling kukasihi. Semua ini gara-gara si iblis betina Bhe Cui Im. Hemmm... sekali waktu aku harus membasminya!"
Yan Cu merangkul leher suaminya, menarik muka suaminya kemudian dengan manja dia menempelkan pipinya di atas pipi suaminya. "Suamiku, kini bukan saatnya bicara tentang dia. Yang penting, kemanakah kita sekarang?"
Dengan jantung berdebar penuh kebahagiaan Cong San mencium bibir isterinya. "Biarlah untuk beberapa hari ini kita berdiam di hutan pohon pek yang berada di depan sana. Di situlah aku dahulu sering kali melewatkan malam sunyi ketika aku masih belajar di Siauw-lim-si. Tempat itu indah sekali, kita hidup bebas di sana, jauh dari keramaian dunia, jauh dari manusia lain, hanya kita berdua! Di sana terdapat sumber air yang membentuk telaga kecil yang airnya jernih sekali. Dulu sering kali aku tidur di pinggir telaga, bertilam rumput tebal, berlindung daun-daun pohon pek yang besar, tidur dan bermimpi sedang bersenda gurau dengan bidadari. Kini mimpi itu menjadi kenyataan dan engkau adalah bidadarinya, isteriku."
"Ihhhh...!" Yan Cu cemberut. "Hidup seperti binatang liar di hutan? Bagaimana kalau ada orang melihat kita?"
"Tempat itu masih termasuk wilayah kekuasaan Siauw-lim-si, tak ada orang yang berani datang ke sana. Para suheng tentu akan menjauhkan diri dan membiarkan kita bersenang di sorga dunia itu. Kita hanya beberapa hari tinggal di sana, kemudian kita pergi ke kota Leng-kok di mana tinggal seorang pamanku. Dari pada kita melewatkan bulan madu di kamar-kamar penginapan yang sempit dan kotor, bukankah lebih senang berada di hutan yang indah bersih, luas dan tidak akan bertemu dengan manusia lain?"
Yan Cu tersenyum. "Aku hanya isterimu, Koko. Aku menurut, ke mana pun kau pergi aku ikut, dan aku akan senang sekali, biar akan kau bawa ke... neraka sekali pun!"
"Husshhhh! Kalau aku pergi ke sorga, engkau kudorong masuk lebih dulu, isteriku, akan tetapi kalau aku ke neraka, engkau akan kutinggalkan, biar aku sendiri yang menderita."
Sambil bergandengan tangan, kedua orang yang sedang dimabuk cinta kasih, sepasang pengantin baru ini berlari-larian memasuki hutan kecil yang berada di sebelah utara kuil Siauw-lim-si. Yan Cu menjadi gembira sekali ketika mendapat kenyataan bahwa hutan itu benar-benar amat indah, sunyi dan bersih.
Telaga kecil yang berada di tengah hutan, tersembunyi antara pohon-pohon pek raksasa, memiliki air yang sangat jernih sehingga nampak dasarnya, nampak ikan-ikan beraneka macam berenang di dalamnya. Tepi telaga ditumbuhi rumput-rumput hijau yang tebal dan lunak laksana permadani hijau. Sunyi sekali kecuali suara air anak sungai yang dibentuk karena air telaga yang meluap, diselingi kicau burung-burung di pepohonan. Benar-benar merupakan sorga kecil.
Mereka bersenda gurau, menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing semenjak kecil, diseling pelukan, ciuman dan cubitan manja. Ketika perut telah kenyang oleh daging kelinci yang ditangkap Cong San dan dipanggang Yan Cu, Cong San mengajak isterinya mandi. Yan Cu menggelengkan kepala dengan muka merah.
"Tak tahu malu!" Ia pura-pura marah membentak. "Kalau kau mau mandi, sana jangan dekat-dekat. Mana boleh laki-laki dan wanita mandi bersama, bertelanjang bulat di sini tak mengenal malu? Sungguh tidak sopan!"
"Eh! Eh! Eh! Kita memang laki-laki dan wanita, akan tetapi kita pun suami isteri! Mengapa tidak boleh? Dan malu terhadap siapa? Tidak ada yang melihat kita. Masa tidak sopan? Hayolah, bukankah engkau isteriku dan aku suamimu? Enak sekali mandi di sini, bila kau tidak pandai renang, di pinggir dangkal, hanya setinggi perut. Dan biar aku yang mengajar kau berenang!" Cong San mulai menanggalkan bajunya.
Melihat dada suaminya yang bertelanjang, semakin merah muka Yan Cu dan jantungnya berdebar tidak karuan.
"Ehh, mengapa kau masih belum membuka pakaian?" Cong San menegur setelah selesai menanggalkan pakaian atasnya.
Yan Cu menunduk dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mandi...!"
"Wah, aku yang celaka! Punya isteri tidak pernah mau mandi!"
Yan Cu tertawa dan tangannya bergerak mencubit.
“Aduhh! Ampun! Aku menarik kembali kata-kataku, kau isteri yang selalu mandi sehingga kulitmu bersih, putih halus seperti salju, keringatmu berbau harum seperti bunga setaman. Nah, hayolah!"
"Aku akan mandi dengan berpakaian!"
"Mana bisa? Kita tidak membawa bekal, kalau pakaianmu basah, kau masuk angin, wah, aku yang repot! Ehhh, Yan Cu, setelah menjadi isteriku, kenapa engkau masih sungkan dan malu?"
"Tidak...! Tidak mau...!"
"Kupaksa!"
Sambil tertawa Yan Cu lalu meloncat dan lari, dikejar oleh Cong San. Sejenak mereka berlarian memutari pohon-pohon seperti dua orang anak kecil bermain-main, tertawa-tawa dan akhirnya Yan Cu yang sengaja membiarkan dirinya ditangkap itu hanya menutup kedua matanya, napasnya terengah-engah ketika suaminya membantunya menanggalkan semua pakaiannya, kemudian dia memekik manja ketika suaminya memondongnya dan membawanya terjun ke dalam telaga!
Mereka berenang, bersenda gurau, bergelut di dalam air, saling bersiram-siraman sambil tertawa-tawa atau kadang kala hanya berdiri di air setinggi perut sambil saling pandang, terpesona oleh keindahan tubuh masing-masing, tubuh manusia lain kelamin yang baru pertama kali itu selama hidup mereka lihat.
Cong San mentertawakan Yan Cu yang dengan malu-malu berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan, dengan rambut. Ikan-ikan di dalam telaga berenang cepat melarikan diri, terkejut ketakutan menyaksikan dua makhuk besar itu berdekapan, berciuman, agaknya mereka merasa iri hati dan ikan-ikan jantan mulai mengejar-ngejar ikan betina!
Benar-benar bahagia, penuh madu asmara kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh sepasang pengantin baru. Pertemuan antara dua makhluk lawan kelamin, pertemuan lahir batin, badan dan jiwa, bebas lepas tidak ada rasa bersalah, tak ada rasa malu karena di antara mereka tidak terdapat pelanggaran suatu hukum atau larangan.
Pertemuan asyik masyuk seperti ini hanya dirasakan oleh laki-laki dan wanita yang sudah disyahkan oleh hukum manusia. Kasihanlah mereka yang mengadakan pertemuan lahir batin seperti ini dengan melanggar larangan susila, yang melakukan hubungan di luar hukum berupa pernikahan syah. Karena, biar pun badan mereka bertemu, batin mereka merasa bersalah, merasa berdosa dan melakukan pelanggaran sehingga kebahagiaan sesaat mereka itu tak sepenuhnya, bahkan sesudahnya akan menimbulkan penyesalan, ketakutan dan kecewa. Hanya sepasang suami isteri yang sudah sah pernikahannya saja yang akan dapat menikmati pertemuan pertama antara dua badan dan jiwa itu.
Setelah cuaca menjadi remang-remang karena matahari mulai surut ke barat, Cong San meloncat ke darat memondong tubuh isterinya. Yan Cu tak menolak, hanya memejamkan mata setengah pingsan akibat ketegangan, kebahagiaan, dan rasa malu namun dengan penuh pemasrahan ia menyerahkan badan dan jiwanya kepada pria yang dicintainya, pria yang menjadi suaminya dan yang berhak penuh atas dirinya.
Hanya pohon-pohon raksasa yang melindungi atas kepala mereka yang menjadi saksi, bersama bulan yang muncul mengintai dari balik awan, air telaga yang sunyi, rumput hijau tebal halus yang menjadi tilam tubuh mereka, diiringi bunyi-bunyi merdu gemerciknya air anak sungai dan desau angin mempermainkan pohon-pohon rumput, dan rambut Yan Cu yang panjang dan menyelimuti tubuh mereka berdua.
Yan Cu mengerang lirih penuh kelegaan hati, menggerakkan bulu matanya akan tetapi merasa terlalu malas untuk membuka mata. Tubuhnya terasa nyaman dan nikmat, lega, dan puas seperti hanya dirasakan oleh orang yang dapat tidur nyenyak tanpa gangguan mimpi. Belum pernah dia merasa begitu lega dan nikmat, begitu kenyang tidur seperti ketika dia terbangun di pagi hari itu. Ia teringat dan bibirnya tersenyum, mukanya tiba-tiba terasa panas terdorong rasa malu dan jengah bercampur bahagia.
"Koko...!" Ia berbisik dan tanpa membuka mata lengannya merangkul ke sebelah kirinya.
Kosong! Tangannya meraba-raba akan tetapi hanya rumput tebal yang terasa oleh jari-jari tangannya. Dia membuka matanya, mengejap-ngejapkan mata, kemudian membukanya lebar-lebar. Rumput di sisinya masih rebah bekas tertindih tubuh Cong San, akan tetapi suaminya tidak ada di situ.
Suaminya! Betapa mesra sebutan ini sekarang di hatinya. Cong San adalah suaminya, suami dalam arti kata sepenuhnya. Bukan hanya sebutan seperti beberapa hari yang lalu, semenjak mereka menikah lalu tertimpa peristiwa yang hebat. Sekarang Cong San adalah suaminya sepenuhnya. Akan tetapi ke manakah dia? Tumpukan pakaian suaminya tidak ada.
Yan Cu menggigil, terasa dingin dan baru sadar bahwa tubuhnya tidak berpakaian, bahwa api unggun hanya tinggal asapnya saja. Cepat dia meloncat bangun, menyambar lantas mengenakan pakaiannya, matanya mencari-cari. Cong San tidak berada di tempat itu!
"Ah, tentu dia mencari bahan sarapan," pikirnya dan Yan Cu duduk melamun dengan bibir tersenyum-senyum bahagia.
Cinta kasihnya terhadap Cong San makin mendalam setelah orang muda itu kini menjadi suami sepenuhnya semenjak malam tadi. Teringat ia akan senda gurau mereka di telaga dan Yan Cu memandang ke arah air telaga dengan pandang mata mesra, seolah-olah ia berterima kasih kepada telaga itu.
Terkenang ia akan semua yang terjadi kemarin, mereka berkejaran, ia berusaha menolak harus menanggalkan pakaian untuk mandi bersama, kemudian betapa mereka saling menggoda di air, dan akhirnya betapa dua lengan yang kuat dari suaminya memondong tubuhnya keluar dari telaga, betapa di atas tilam rumput yang halus bagaikan permadani, mengalahkan segala kasur yang termewah di dunia ini, mereka memadu asmara suami isteri yang syah. Yan cu menarik napas panjang, penuh bahagia dan tiba-tiba ia terkejut.
Dia belum mencuci muka, rambutnya terlepas. Aihhh! Suaminya tidak boleh melihat dia seperti ini! Tergesa-gesa karena khawatir kalau-kalau suaminya datang kembali sebelum ia siap, isteri muda ini lalu lari ke pinggir telaga dan mencuci mukanya, membasahi sedikit rambutnya dan membereskan rambutnya, digelung rapi, membereskan pakaian kemudian dia bercermin di air telaga yang jernih.
Baru sekarang dia sibuk mempersolek diri, membasahi dan menggosok bibirnya sampai menjadi merah sekali, menggosok kedua pipinya, menata rambut di dahinya, anak rambut halus yang melingkar menghias dahi dan depan sepasang telinga. Dengan ujung lidahnya yang kecil merah dibasahinya bibirnya sehingga bibir itu nampak merah basah seperti buah anggur merah.
Ahhh, lama benar suaminya. Ke manakah perginya? Yan Cu melihat gerakan di balik tetumbuhan dan melihat beberapa ekor kelinci berlari. Mengapa suaminya pergi begitu jauh dan lama untuk mencari bahan sarapan kalau di depan mata terdapat banyak kelinci gemuk? Yan Cu tertawa dan tangannya sudah bergerak hendak menyambar batu dan merobohkan beberapa ekor kelinci, akan tetapi segera ditahannya dan dibatalkan niatnya.
Aihhh, hampir saja aku lancang, pikirnya. Suami sedang pergi mencari bahan sarapan, kalau nanti datang membawa binatang buruan lalu melihat bahwa dia sudah menangkap beberapa ekor kelinci, bukankah akan membikin suaminya kecewa sekali? Biarlah, dia akan menanti, menanti dengan sabar. Bukankah termasuk kewajiban seorang isteri untuk menanti suaminya dengan penuh kesabaran, kesetiaan dan cinta kasih?
Yan Cu tersenyum lagi dan melanjutkan mempersolek diri, menata rambut dan merapikan pakaian, mereka-reka bagaimana dia harus bersikap dan berbicara nanti kalau suaminya kembali. Dia merasa malu sekali setelah malam tadi dan membayangkan betapa pandang mata suaminya tentu akan berbicara banyak, betapa tanpa kata-kata pun pandang mata suaminya akan dapat menggodanya. Jantungnya berdebar penuh kebahagiaan, penuh ketegangan dan rasa malu.
Kalau saja Yan Cu tahu! Kalau saja isteri muda yang menunggu penuh kebahagiaan ini mengetahui bahwa suaminya sama sekali bukan pergi mencari bahan sarapan. Aihhh…, akan tetapi, bagaimana dia bisa tahu…..?
********************
Pagi itu Cong San meninggalkan isterinya, setelah mengenakan pakaian dia berlari cepat seperti gila menuju ke kuil Siauw-lim-si. Wajahnya keruh sekali, pandang matanya muram dan rambutnya awut-awutan, kadang-kadang pandangan matanya liar penuh kemarahan dan rasa penasaran. Pandang mata ini diiringi kepalan kedua tangan sampai otot-ototnya berbunyi dan giginya yang menggigit-gigit berkerot.
"Ah, Yap-sicu... masih pagi seperti ini datang berkunjung, ada keperluan apakah?" Hwesio penjaga pintu depan kuil menyambut kedatangan Cong San dengan pandang mata yang terheran-heran.
"Aku ingin bertemu dengan suhu!"
Hwesio itu merangkap kedua tangannya di depan dada. "Seingat siauwceng, Sicu tidak mempunyai suhu di Siauw-lim-si..."
"Persetan dengan segala kepura-puraan ini! Aku minta menghadap Tiong Pek Hosiang! Ada keperluan yang amat penting sekali!"
"Akan tetapi, Tiong Pek Hosiang sedang bersemedhi, beliau sudah memasuki Ruangan Kesadaran, tidak boleh diganggu."
"Aku tidak akan mengganggunya, hanya ingin menyampaikan sesuatu. Sudahlah, harap jangan mempersulit aku. Biarlah aku pergi sendiri dan mencarinya di Ruang Kesadaran!" Cong San lalu melangkah maju, akan tetapi hwesio penjaga pintu itu berdiri menghalang dengan pandang mata heran.
"Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai apakah Sicu tidak tahu akan peraturan di sini? Orang luar tidak boleh memasuki kuil begitu saja tanpa seijin para pimpinan!"
Cong San mengerutkan kening. "Aku tidak berniat buruk dan aku perlu sekali menghadap suhu... ehh, Tiong Pek Hosiang. Kepentingan ini akan kupertaruhkan dengan nyawa dan apa bila terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan memasuki kuil untuk menghadap beliau!"
Mendadak terdengar suara yang kereng dan nyaring, "Hemmmm, ada apakah ribut-ribut sepagi ini?"
Yang muncul adalah Thian Kek Hwesio, hwesio tua tinggi besar yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu, sikapnya tenang namun kereng dan penuh wibawa, membuat Cong San serta merta menjatuhkan diri berlutut.
"Suheng... ahh, maaf... Losuhu... mohon perkenan agar supaya teecu boleh menghadap Locianpwe Tiong Pek Hosiang..., penting sekali... mohon perkenan sekali ini saja."
Sejenak kedua mata hwesio tua itu memandang penuh perhatian, lalu dia menggerakkan tangan menggapai. "Mari masuklah, Yap-sicu, kita bicara di dalam."
Cong San tidak berani membantah, bangkit dan mengikuti hwesio tua itu memasuki ruang tamu di mana tidak terdapat hwesio lainnya. Sesudah dipersilakan duduk, hwesio tua itu bertanya,
"Nah, sekarang katakanlah. Ada keperluan apakah Sicu pagi-pagi mendatangi kami?"
"Suheng... ahh, Losuhu, teecu sedang bingung sekali. Teecu ingin menghadap Tiong Pek Hosiang, ingin mohon nasehatnya... ah, perkenankanlah, sekali ini saja karena urusan ini menyangkut penghidupan teecu..."
"Yap-sicu, pinceng ingin sekali mengabulkan permintaanmu, namun tidak mungkin karena suhu telah memasuki Ruangan Kesadaran dan akan bertapa di sana sampai saat terakhir tiba. Beliau tidak boleh dan tidak dapat diganggu karena andai kata Sicu menghadapnya juga, suhu tidak akan dapat melayanimu. Suhu sudah melepaskan diri dari segala urusan dan ikatan dunia, dan urusan suhu itu pun sangat penting bagi jiwanya. Apakah dengan urusanmu ini Sicu tega mengganggu dan menggagalkannya?"
"Tapi... tapi..."
"Yap-sicu. Engkau adalah orang muda yang gagah perkasa dan sudah pernah menerima gembelengan lahir batin yang cukup, mengapa begini lemah? Tidak ada kesulitan di dunia ini yang tidak dapat di atasi manusia, asalkan si manusia itu mempunyai dasar ikhtikad baik. Apa lagi kalau diingat bahwa segala kesulitan adalah akibat dari perbuatan sendiri, maka untuk mengatasinya harus pula dicari sebab di dalam diri sendiri. Yap-sicu, pinceng melihat awan gelap menyelubungi dirimu, penyesalan, kemarahan, kekecewaan nampak menggelapkan nuranimu. Keadaanmu ini amat berbahaya, Sicu, dan bisa menjadi sebab timbulnya perbuatan-perbuatan yang penuh penyelewengan. Pinceng prihatin sekali kalau sampai Sicu melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran karena Sicu adalah... sahabat baik kami. Karena itu, cobalah ceritakan kepada pinceng apa yang telah mengeruhkan hati Sicu, semoga saja Tuhan memberi kekuatan kepada pinceng untuk memasukan penerangan dalam hatimu, mengusir kekeruhan dan kegelapan."
Cong San menjadi bingung dan ragu-ragu. Ia maklum bahwa gurunya tak dapat diganggu lagi, apa lagi mendengar bahwa gurunya akan bersemedhi hingga datang kematian kelak, bagaimana dia tega mengganggu gurunya dengan segala urusan duniawi yang hanya menyangkut kepentingan pribadi?
"Tetapi... urusan ini... tidak boleh diketahui oleh siapa pun... maka teecu lari ke... suhu... ahhhh..." Dia menjadi bingung dan menundukkan muka, keningnya berkerut dan matanya dipejamkan.
Biar pun wataknya kasar, polos, jujur dan tenang, namun hati Thian Kek Hwesio merasa kasihan juga kepada sute-nya ini, yang sudah kehilangan keanggotaan dari Siauw-lim-pai bukan oleh kesalahannya, tetapi oleh keadaan. Di dalam hatinya, dia masih menganggap pemuda itu sebagai sute-nya sendiri yang dikasihinya.
"Yap-sicu, pandanglah pinceng. Pinceng adalah seorang kakek yang pantas pula menjadi kakekmu. Dalam menanggapi dan memandang persoalan dunia, mata batin pinceng telah terbuka lebar, mengapa Sicu merasa segan menyampaikan kepada pinceng kalau Sicu tak segan-segan menyampaikannya kepada suhu? Nah, orang muda, engkau perlu sekali mendapat penerangan, maka ceritakanlah peristiwa apa yang mendatangkan kegelapan hebat seperti hawa siluman itu di hatimu."
Lenyaplah keraguan di hati Cong San. Apa bila dia tidak dapat menumpahkan perasaan hatinya yang membuatnya seperti gila itu, tentu dia akan menjadi gila dan benar seperti ucapan bekas suheng-nya ini, dia akan melakukan hal-hal yang mengerikan. Suhu-nya tidak dapat diharapkan, maka satu-satunya orang yang kiranya akan dapat menolongnya dengan nasehat adalah pendeta tua inilah. Serta merta dia segera turun dari kursi dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Kek Hwesio.
Pendeta ini memandang pada bekas sute-nya sambil tersenyum tenang, membiarkannya saja tidak membangunkannya karena maklum bahwa pemuda itu harus menumpahkan seluruh perasaan yang menghimpitnya.
"Losuhu, teecu... bersama isteri teecu... memakai hutan pohon pek untuk melewatkan malam..."
"Pinceng sudah tahu akan hal itu Sicu. Hwesio peronda telah melaporkan dan pinceng juga sudah memerintahkan supaya mereka membiarkan kalian berdua dan meninggalkan kalian, karena sebagai sahabat baik, kalian berdua berhak menggunakan tempat itu untuk berbulan madu. Lalu, apakah yang terjadi?"
Setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya Cong San bisa juga mengeluarkan perasaan melalui mulutnya, "Losuhu, mala petaka hebat menimpa diri teecu... malam tadi... ah, bagaimana teecu harus menceritakan? Malam tadi... adalah merupakan malam pertama bagi teecu berdua sebagai suami isteri... semenjak pernikahan kami yang tergangu di Cin-ling-san..."
"Hemmmm, dapat pinceng maklumi. Selamat atas kebahagiaan kalian suami isteri, Sicu."
"Losuhu! Harap jangan memberi selamat kepada teecu yang celaka ini! Malam tadi... baru teecu ketahui dan... ah, Losuhu... ternyata banwa isteri teecu itu bukanlah perawan lagi!"
Tadinya Cong San merasa betapa hatinya amat terhimpit, akan tetapi setelah dia berhasil mengeluarkan hal yang menjadi racun di hatinya itu, dia merasa agak lega, menyangka bahwa tentu bekas suheng-nya itu akan terkejut sekali, lalu mengucapkan doa dan ikut merasa penasaran dan marah karena dia maklum betapa besar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya. Akan tetapi, tidak ada akibat apa-apa, bahkan tidak ada suara keluar dari mulut suheng-nya.
Ia tercengang dan cepat mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Ternyata kakek itu tetap tenang, duduk dengan muka cerah dan mulut tersenyum. Sejenak mata mereka berpandangan dan ketika Cong San kelihatan semakin terheran-heran, kakek itu berkata halus,
"Yap Cong San, bangkit dan duduklah!"
Seperti orang kehilangan semangat, Cong San bangkit dan duduk menghadapi Thian Kek Hwesio. Sampai beberapa lama hwesio itu tidak berbicara sehingga mereka hanya saling pandang, Cong San masih merasa tertekan dan bercampur heran, sedangkan hwesio tua itu memandang penuh selidik, sinar matanya seakan-akan menembus ke dalam untuk menjenguk isi hati Cong San.
"Yap-sicu, sekarang dengarlah semua ucapan pinceng dan jawablah segala pertanyaan pinceng sesuai dengan isi hatimu." Cong San hanya mengangguk, seluruh perhatiannya dicurahkan.
"Yap-sicu, apakah engkau benar-benar mencintai Gui Yan Cu yang kini sudah menjadi isterimu?"
Pertanyaan yang aneh! Mengapa mesti ditanya lagi? Kenyataan bahwa dia suka menjadi suami gadis itu tentu saja sudah cukup membuktikan bahwa dia mencinta Yan Cu!
Akan tetapi dia harus menjawab semua pertanyaan, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab, "Tentu saja, Losuhu! Teecu mencinta Yan Cu dengan sepenuh hati dan jiwa teecu!"
"Engkau mencintanya semenjak sebelum kalian menjadi suami isteri dan dikawinkan di Cin-ling-san?"
"Benar, Losuhu. Teecu jatuh cinta kepadanya semenjak pertemuan kami yang pertama kali."
"Cinta lahir batin?"
"Benar!" Cong San menjadi semakin tidak mengerti dan menatap wajah tua itu penuh pertanyaan.
"Dan sekarang, setelah mendapat kenyataan bahwa dia bukan perawan lagi, perasaan bagaimanakah yang terdapat di hatimu?"
"Teecu marah, teecu benci, menyesal, kecewa dan dendam tercampur aduk menjadi satu. Teecu... ah, teecu tidak tahu lagi apa yang teecu rasakan! Teecu ingin... bunuh diri saja!"
Senyum di wajah tua itu melebar. "Yap Cong San, kalau engkau benar mencinta Gui Yap Cu, maka yang baru saja mengucapkan kata-kata itu bukanlah hatimu, bukanlah dirimu yang sejati, melainkan nafsu-nafsumu. Kalau pinceng percaya akan kata-katamu yang terakhir tadi, kalau betul kata-katamu keluar dari hatimu yang sejati, maka berarti bahwa selama ini engkau bukanlah mencinta Gui Yan Cu, melainkan hanya mencinta... tanda keperawanannya!"
Cong San terlongo, matanya terbelalak. "Apa... apa yang Suheng maksudkan?" Saking kaget dan bingung, dia sampai lupa dan menyebut suheng kepada hwesio itu. Thian Kek Hwesio tidak mencela, melainkan berkata, suaranya jelas dan penuh ketenangan.
"Apa bila engkau mencinta Gui Yan Cu, tentu pribadinya yang kau cinta, lahir batinnya, segala pada dirinya termasuk kebaikan dan cacad yang ada pada dirinya. Kalau engkau kehilangan dia, barulah engkau akan berduka dan menyesal. Akan tetapi karena yang kau cinta adalah tanda keperawanannya, maka begitu engkau kehilangan tanda itu, engkau menjadi berduka dan menyesal. Betapa picik dan rendahnya cintamu, Yap-sicu. Cinta berada di dalam hati, bukan pada kulit dan daging! Cinta yang hanya sedalam kulit daging hanyalah cinta birahi! Tanda keperawanan hanyalah merupakan persoalan kulit daging belaka. Jika betul engkau mengaku cinta kepada isterimu, maka cintamu itu adalah palsu, cintamu itu hanyalah cinta birahi kalau kini engkau meributkan soal perawan atau bukan! Memilih seorang isteri bukanlah seperti memilih seekor ayam yang hendak disembelih, kemudian merasa kecewa dan menyesal setelah mendapat kenyataan bahwa ayam itu sakit! Sama sekali bukan! Memilih seorang isteri berarti memilih jodoh, memilih teman hidup selamanya berdasarkan cinta kasih yang murni dan siap untuk hidup berdampingan selamanya, senang sama dinikmati, susah sama diderita. Tetapi kalau kenyataan bahwa isterimu bukan perawan lagi bisa melenyapkan cintamu, maka cintamu itu bukanlah cinta murni, melainkan cita yang semata-mata didasarkan pada hubungan jasmaniah saja!"
Ucapan itu bagaikan halilintar di siang hari menyambar kepala Cong San. Dia terbelalak, matanya tak pernah berkedip memandang wajah hwesio yang tenang dan mulutnya tetap tersenyum, akan tetapi sinar matanya amat tajam berpengaruh itu. Akan tetapi dia masih penasaran dan membantah.
"Akan tetapi, Losuhu. Cinta yang murni harusnya disertai kesetiaan, tidak boleh dikotori dengan perjinahan! Sudah terang bahwa dia sudah berjinah dengan orang lain, dan ini merupakan penipuan terhadap teecu. Sebuah penipuan yang amat kotor menjijikkan!" Berkata demikian, terbayanglah wajah Cia Keng Hong di depan mata Cong San, dadanya menjadi panas penuh dendam dan kemarahan, napasnya menjadi terengah-engah.
Thian Kek Hwesio mengangkat tangan ke atas, seolah-olah hendak mencegah pemuda itu berlarut-larut kemudian terdengar dia berkata,
"Kata-katamu itu memang benar dan tepat, Yap-sicu. Namun, kesetiaan itu hanya berlaku kepada mereka yang telah saling mengikat dengan cinta kasih, terutama dengan sebuah pernikahan. Kalau dahulu, pada saat kalian saling bercinta, kemudian ternyata bahwa dia melakukan hubungan baik perjinahan mau pun cinta kasih dengan pria lain, itu berarti bahwa dia menyeleweng dan mengingkari hubungan cinta yang sudah merupakan ikatan janji dan tentu saja kalau terjadi demikian, engkau berhak, bahkan sebaiknya bila engkau memutuskan hubungan cinta itu. Kalau setelah menjadi suami isteri, isterimu melakukan penyelewengan dan berjinah dengan pria lain, maka engkau pun berhak untuk merasa menyesal dan marah, berhak untuk menceraikannya. Akan tetapi, dalam hal ini, tidak terjadi pelanggaran seperti itu. Apa bila isterimu itu dahulu, sebelum bertemu denganmu, melakukan hubungan dengan pria lain, hal ini bukanlah berarti dia menipumu, dia tidak bersalah kepadamu atau melanggar ikatan apa-apa denganmu. Waspadalah, Yap-sicu dan berpikirlah secara bijaksana. Kalau benar kenyataan bahwa isterimu bukan perawan itu berarti dia pernah melakukan hubungan badani dengan pria lain, maka hal itu terjadi dahulu dan merupakan peristiwa yang sudah lalu, sama sekali tidak ada sangkut-paut dengan hubungan cinta kasih di antara kalian."
Agak dingin rasa panas di hati Cong San. Sampai lama dia diam saja, otaknya diperas, terjadi perang di hatinya. Terbuka mata hatinya bahwa memang dia tidak adil sekali kalau harus membenci Yan Cu karena isterinya bukan perawan lagi. Sejak pertemuan pertama Yan Cu sudah bukan perawan lagi, dan sekarang hanyalah pembukaan rahasia itu. Akan tetapi mengapa gadis itu tidak berterus terang? Itu berarti menipunya!
Ah, mana mungkin seorang gadis mengaku dan bicara tentang keperawanannya? Akan tetapi mengapa bersikap seakan-akan masih perawan, masih belum pernah melakukan hubungan jasmani dengan pria lain? Habis, apakah ia harus berteriak-teriak memamerkan ketidak perawanannya?
Terjadi perbantahan di hati Cong San. Akan tetapi tiba-tiba terngiang di telinganya semua ucapan Cui Im ketika mereka bertanding di Cin-ling-san dulu. "Yan Cu bukan perawan lagi, dia adalah bekas Keng Hong, hi-hi-hik! Tan Cong San, engkau pemuda tolol!"
Panas lagi hati Cong San, panas oleh cemburu! Matanya melotot, mukanya merah sekali. Dia akan membunuh Keng Hong! Dia juga akan membunuh Yan Cu! Kemudian dia akan membunuh diri sendiri!
"Yap-sicu, tenanglah dan kalahkan nafsu di hatimu sendiri," tiba-tiba saja terdengar suara Thian Kek Hwesio yang tenang, sabar dan penuh wibawa.
Cong San dapat mengendalikan hatinya kembali, akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya lagi, "Losuhu! Apakah Losuhu hendak mengatakan bahwa seorang gadis yang melakukan hubungan badani dengan seorang pria di luar pernikahan bukan merupakan perbuatan kotor, hina, menjijikkan dan terkutuk?"
"Semua perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran adalah hal terkutuk, Sicu, terkutuk oleh kesadarannya sendiri melahirkan hukum karma. Kalau benar bahwa isterimu pernah melakukan pelanggaran itu, maka sama saja dengan dia menanam benih yang kelak setelah bersemi, buahnya akan dia petik sendiri. Sama sekali tak ada hubungannya dengan dirimu, dan... hemmm, andai kata Sicu melakukan perbuatan yang bukan-bukan menurutkan nafsu marah dan bertindak terhadapnya, nah…, hal itu dapat saja dianggap sebagai karma atau akibat perbuatannya yang sesat. Mengertikah engkau, Sicu? Akan tetapi, jangan lupa pula bahwa kalau Sicu melakukan sesuatu yang mengerikan terhadap urusan ini, sicu juga tersesat, tidak berbeda dengan yang telah dilakukan isteri Sicu, dan kesesatan ini pun kelak akan berbuah."
"Akan tetapi, Losuhu. Kalau saja seorang perempuan telah begitu merendahkan dirinya, sebagai seorang gadis berjinah di luar nikah, perempuan seperti itu apakah masih dapat dipercaya akan menjadi seorang isteri yang baik?"
"Sicu bicara hanya menurutkan nafsu iba diri yang mempergunakan kemarahan untuk membakar hati Sicu! Berjinah adalah satu dari sekian banyaknya perbuatan menyeleweng dari manusia, akan tetapi janganlah Sicu menempelkan sebuah perbuatan menyeleweng pada diri seseorang dan selanjutnya memastikan sebagai penyeleweng seumur hidupnya! Yap-sicu, manusia di dunia ini siapakah yang tidak pernah menyimpang dari kebenaran? Macam-macam penyelewengannya, hanya kebetulan sekali perjinahan dianggap sebagai penyelewengan terbesar untuk kaum wanita, akan tetapi tiap penyelewengan adalah hal manusiawi, timbul dari kelemahan batin manusia. Betapa pun juga, tidak boleh menilai seseorang dari perbuatan sesaat untuk dijadikan tanda selama hidupnya! Contohnya, maaf, suhu, terpaksa teecu membawa nama suhu untuk menyadarkan Yap-sicu, adalah suhu kita sendiri. Beliau pernah melakukan penyelewengan yang itu, akan tetapi apakah selanjutnya beliau juga hidup sebagai seorang yang menyeleweng dari kebenaran? Sama sekali tidak, sungguh pun hukum karma masih selalu mengikuti beliau! Sama saja dengan isterimu, Sicu. Seorang yang melakukan penyelewengan dari kebenaran, adalah seorang yang sedang sakit. Bukan jasmaninya yang sakit, melainkan batinnya! Dan harus diingat bahwa yang sakit dapat sembuh! Sebaliknya harus selalu menjadi ingatan kita bahwa yang sesat dapat saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Maka, selagi dalam sehat lahir batin, janganlah kita menekan terlalu berat kepada mereka yang sedang sakit lahir batinya, karena mereka itu dapat sembuh dan kita dapat jatuh sakit. Mengertikah, Sicu?"
Cong San menunduk. Semua wejangan itu meresap di hatinya dan dapat dia mengerti sepenuhnya. Hanya hati yang panas itu, betapa sukarnya menindas hati sendiri!
"Mohon petunjuk, Losuhu. Bagaimana teecu harus bersikap terhadap isteriku itu? Betapa teecu dapat melupakan perbuatannya, melupakan kenyataan bahwa isteri teecu bukan perawan lagi!"
"Cinta kasih yang murni akan dapat melenyapkan semua kekecewaan hati, Sicu. Cinta kasih yang murni akan memperbesar kesabaran dan memperkaya maaf di hati dengan kesadaran bahwa tak ada manusia tanpa cacad, maka segala cacad orang yang dicinta tentu akan mudah dimaafkan. Menerima seseorang harus dengan mata terbuka, dengan kesadaran sehingga akan mudah menerima orang itu berikut semua cacad-cacadnya dan kelemahan-kelemahannya karena tahu bahwa diri sendiri pun bukanlah orang yang tanpa cacad."
"Akan tetapi, bagaimana teecu akan bisa melupakan tekanan batin ini? Apakah sebaiknya teecu secara terus terang menanyakan hal itu dan menuntut supaya dia menceritakan penyelewengannya yang lalu?'
Hwesio itu menggeleng kepala. "Tidak bijaksana kalau Sicu berbuat demikian. Seorang wanita memiliki perasaan yang sangat peka, mudah tersinggung. Kalau Sicu mengajukan pertanyaan itu, apa pun kenyataannya, Sicu akan menderita akibatnya. Kalau ternyata dia tidak berdosa, dia akan tersinggung dan menganggap Sicu tidak percaya kepadanya dan hal ini mengakibatkan dia pun berkurang kepercayaannya kepada Sicu. Sebaliknya, andai kata dia berdosa, dia akan mengambil dua macam sikap, pertama dia bisa merasa malu dan rendah diri, bahkan luka di hatinya itu, setiap penyelewengan tentu membekas dan menimbulkan luka penyesalan di dalam hati, akan terbuka dan kambuh kembali, dia akan menganggap Sicu memandang rendah dan tidak menghargai, dia dan hal ini hanya akan mengingatkan dia akan pria pertama yang pernah merebut hati dan tubuhnya. Kedua, kalau dia seorang yang tinggi hati, dia akan nekat dan malah menantang Sicu dengan perbuatan yang seolah-olah tidak peduli dan tak mengindahkan lagi ikatan pernikahannya dengan Sicu karena dia menganggapnya toh sudah rusak. Sebaiknya, Sicu menenangkan diri, mengubur diri dengan cinta kasih dan penuh maaf, didasari perasaan iba kepada isteri yang pernah menyeleweng dari kebenaran hingga harus menanti datangnya hukum karma."
"Losuhu berkata bahwa kalau dia tidak berdosa. Mungkinkah itu? Sudah jelas semalam... bahwa..."
"Pinceng sudah berusia tujuh puluh tahun lebih, sudah tahu apa yang Sicu maksudkan. Yap-sicu, tanda keperawanan seorang wanita bukan hanya dapat dibuktikan pada waktu malam pengantin pertama. Banyak hal yang dapat terjadi, yang memungkinkan wanita kehilangan tanda itu diluar hubungan jasmani dengan pria, misalnya karena sakit, karena jatuh dan sebagainya. Terutama sekali harus diingat bahwa isterimu itu adalah seorang wanita yang berilmu tinggi, yang sejak kecil telah digembleng dengan ilmu silat, dengan gerakan-gerakan ketangkasan, maka kehilangan tanda keperawanannya bukanlah hal yang aneh lagi. Sekali lagi, kalau memang Sicu mencintanya, mengapa ribut-ribut urusan tanda keperawanan yang tidak berarti? Jangan lupa, cinta kasih tempatnya di hati, bukan di... ehhh…, maaf, bukan di situ!"
Wajah Cong San menjadi terang kini. Sejak tadi dia mengalami perdebatan dan perang di hatinya, dan wejangan-wejangan itu sudah membantunya sehingga akhirnya kesadaran memperoleh kemenangan. Sekarang seperti baru terbuka mata hatinya betapa tolol dia tadi, betapa gobloknya, hendak mengorbankan ikatan cinta kasih murni antara dia dan Yan Cu hanya oleh soal sepele saja. Soal perawan atau bukan! Aihhh terlalu lama dia meninggalkan Yan Cu!
"Losuhu..., Suheng ... terima kasih... terima kasih...!" Karena teringat akan isterinya, Cong San berkelebat dan sekali meloncat telah lenyap dari ruangan itu.
Thian Kek Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul sambil tertawa, kemudian dia merangkap tangan di depan dada, memejamkan mata dan mengerutkan keningnya.
"Omitohud... semoga Yap-sute mendapatkan penerangan di hatinya dan dapat menyingkir dari bahaya kegelapan."
Dia berkemak-kemik membaca doa karena hatinya prihatin sekali. Dengan mata batinnya yang waspada, dia pun dapat melihat awan gelap menyelubungi diri sute-nya itu…..
********************
Komentar