PEDANG KAYU HARUM : JILID-54
Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak memandang ke arah perutnya seakan-akan tidak percaya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.
"Aihhhhh...!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtim-nya menyambar ke arah Biauw Eng.
Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik. Pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu segera patah menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras.
Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas.
Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya sambil berkata kepada Biauw Eng, "Kau bantulah teman-teman!"
Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya sangat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini.
Pantas saja gadis ini berani menamakan dirinya Ang-kiam Bu-tek, Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu agaknya sukarlah mencari lawan yang sanggup menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya takkan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya, Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im!
Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan oleh Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuh Cui Im, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapa pun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im juga bisa dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa!
Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar sangat sukar karena dengan serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im? Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.
Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapa pun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, akan tetapi karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga tiap orang terpaksa harus menghadapi empat atau lima orang lawan, maka mulailah pihak mereka terdesak dan keadaan mereka menjadi berbahaya sekali.
Korban kedua pihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling oleh suara bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul dengan sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari Tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan pihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Sekarang jumlah pihak pemberontak kalah banyak sehingga mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan.
Bagi golongan sesat, perang tanding yang terjadi selama setengah hari lebih di puncak Tai-hang-san itu merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di pihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.
Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum mampu merobohkan Cui Im padahal perang sudah terhenti karena semua musuh telah terbasmi habis.
"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.
"Trang-trang-cringgg…!"
Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.
"Wuuutttttt…!"
Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.
"Keng Hong, engkau selalu menjadi penghalang untukku. Engkau satu-satunya manusia di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, peluhnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.
"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.
"Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.
Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu dan menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.
"Keng Hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.
Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia tengah menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tak mau membunuh lawan, namun pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lainnya akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan pada saat pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menangkis sekuat tenaga.
"Trakkk!"
Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.
"Aihhhhh…!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.
Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Sinar itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas suci-nya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.
"Takkkk…!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.
"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.
Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuh dia? Dia bekas suci-mu sendiri dan jika kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoi-ku sendiri karena dia sudah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan segala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."
"Tapi... tapi... dia telah membunuh ibuku!"
"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam suatu pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia pernah melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan dia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan saja lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."
Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang kini sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andai kata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"
"Aku tak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat itu, Keng Hong memandang sedih.
"Cia-taihiap benar!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi, pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"
"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia adalah bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak lagi mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.
"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian Cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.
Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.
"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.
Cui Im bangkit berdiri. Tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan dan wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat daripada pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya sangat menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!
Setelah sosok bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di dalam kantungnya. Ia menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,
"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kukembalikan kepada yang berhak, maka kumohon sudilah para Locianpwe untuk memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya tersisa sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku, tetapi kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."
Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya. Semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik pihak sendiri mau pun pihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san.
Hanya Kiang Tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong. Pada waktu pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, tosu ketua Kun-lun-pai ini menggelengkan kepala dan memegang pundak pemuda itu,
"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk sekali padamu. Memang semua manusia ini pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain, dan mengakibatkan… ah, semua pembunuhan antar manusia ini..." Tosu itu kelihatan menyesal sekali.
Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut sambil menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.
Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan hanya karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?”
Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,
"Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang lalu menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Jika di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."
"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."
"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, merupakan manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Apa bila orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu masih belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Sesudah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian tetap melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Apa bila di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik akan tetapi tetap dilakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakan oleh manusia sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."
Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, bagi kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"
"Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu adalah pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, suka terdorong oleh nafsunya sendiri hingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."
"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."
Kiang Tojin membuka matanya kemudian tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya juga tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."
Demikianlah, mempergunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan.
Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti ketika Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,
"Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."
Kiang Tojin memandang kereng, sejenak pandang matanya penuh teguran, akan tetapi kemudian melunak dan dia pun berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya dari pada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto sudah mendengar semua mengenai dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."
Keng Hong lalu meninggalkan dua kakak beradik seperguruan yang sudah kembali rujuk untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak itu. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San serta Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.
Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para tokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng masih tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ.
Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suheng-nya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu juga tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.
Setelah semua orang pergi, maka sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran itu tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk pula kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.
Biauw Eng merasa amat kasihan dan terharu mengenang nasib suci-nya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka. Ia duduk bersila di depan makam suci-nya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini kemudian mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing.
Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya!
Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja, masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang berupa diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw!
Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andai kata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang.
Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan bercampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka lebar, nenek ini cepat menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!
"Ha-ha-ha-heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, tetapi mengapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Ehh, bocah lucu, apakah engkau begini?"
Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika dia diejek dan dianggap gila. Cepat dia meloncat sambil memukul dada nenek itu.
"Dessssss…!"
Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.
"Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"
"Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"
Tiba-tiba saja Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan dapat tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"
Biar pun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu, "Di mana murid-muridku?"
"Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"
"Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau!"
Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tubuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian, padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.
"Bedebah!" Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa kemudian melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.
Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,
"Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"
Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!
"Subo...!" Biauw Eng berlari lalu berlutut di hadapan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!"
"Ehh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.
Biauw Eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa dan kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi sekarang dia tak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... tewas..."
"Aku sudah tahu!" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"
Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."
"Wuuuuuttttt…!"
Nenek itu sudah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, cepat mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mukjijat!
"Bagus, murid Sie Cun Hong, engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.
Keng Hong kembali mengelak. "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuh muridmu..."
"Cerewet! Membunuh atau pun tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerakannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana ke mari.
"Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!" Sekarang nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu, tampak kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.
Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.
"Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu dan menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"
"Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia adalah murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.
"Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"
Nenek itu tertawa. "He-he-heh, justru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"
Keng Hong memandang kepada Biauw Eng dengan penuh keharuan, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu pada saat dia hendak dibunuh oleh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang ini, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ahh, Biauw Eng... hatinya menjerit.
"Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"
"Apa? Kau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"
"Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."
"Heh...?!!" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan dia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?”
"Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya, apa lagi aku cinta kepada murid ayahku..."
"Iblis!" Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.
"Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.
"Locianpwe, harap sabar...!"
"Mampus kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya.
Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biar pun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.
Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat sambil mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan dia meloncat ke belakang sambil memaki.
"Aku tidak mengakui engkau sebagai murid, engkau musuhku!"
"Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku sudah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Maka tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama sekali ibuku!" Biauw Eng juga membentak marah dan kembali dia menyerang.
Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping sambil mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki sambil menyeling tangis dan tawa.
Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,
"Jangan pergunakan senjata!"
Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran. "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"
"Justru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya, Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."
Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.
Pukulan-pukulan empat orang muda itu kalau mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat dia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong mempergunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.
Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis tiga serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan dia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!
"Celaka...!" Cong San berseru kaget.
Dengan nekat Cong San menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang sedang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja!
Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu, Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi sangat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!
Nenek itu mendengus-dengus dan tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila yang digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,
"Hian Wi...!" Apa yang kau lakukan ini...?"
Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut bukan main. Wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika dia melihat seorang nenek tua lainnya berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut!
"Ahhhhh... Nyonya... am... ampunkan hamba... hamba tidak apa-apa...!"
Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung itu adalah Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"
"Baik... baik..., Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!
"Subo...!" Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.
"Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapa?" Yan Cu yang memang berwatak jenaka begitu bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah.
Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw sudah menimbulkan kenang-kenangan yang sangat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak dia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang sedang bermimpi dia menjawab pertanyaan Yan Cu.
"Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi dan semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Walau pun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, bahkan diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi..." Nenek itu lalu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, setelah ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya, maka dia ketakutan berjumpa denganku..."
Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untunglah nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia!
Tung Sun Nio agaknya masih terharu. Perjumpaan dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak. Namun tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,
"Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"
"Subo, teecu ingin mencari pengalaman, karena itu teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu.
"Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."
"Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teeculah yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.
"Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.
Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan muram itu tersenyum. "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"
"Tidak...!" Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.
"Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan segera menikah. Hayo jawab!"
"Tidak, Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan saja sambil menonton dengan hati tegang.
"Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"
"Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Sumoi karena teecu mencinta gadis itu!" kata Keng Hong sambil menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.
"Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"
"Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... dia... dia adalah puteri suhu sendiri."
"Apa?!" Sepasang mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri... Sie Cun Hong?"
"Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dengan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."
Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatinya amat terguncang. Kemudian dia menunduk, memandang Yan Cu dan membentak,
"Dan engkau, Yan Cu?"
"Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena..." Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seakan-akan hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..."
"Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.
"Dia itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San.
Pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba saja sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!
Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan. "Siapa pemuda ini?"
"Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."
Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"
"Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.
"Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.
"Desss…!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.
"Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.
"Subo, jangan...!"
"Kau pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi.
Apa bila Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.
"Desss…!" tubuhnya pun terlempar.
"Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya.
Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah.
"Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" bentaknya dan sekali melompat dia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, lalu menendang lagi.
Biauw Eng menggerakkan tangannya menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang.
"Desss…!" Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput.
Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan.
Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar lagi oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!
"Subo, pernikahan tidak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang lagi peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?"
Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini. Wajahnya menjadi semakin merah dan matanya laksana mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata, kemudian dia menjerit,
"Apa...?!!" Tangannya meraba gagang pedang dan cahaya maut membayangi pandang matanya!
"Omitohud...! Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum mau insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus.
Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah sudah berubah menjadi patung, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Suhu...!" Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai!
Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.
"Tiong-koko...!" Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak. "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa sangka... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."
"Omitohud...! Tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang sangat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap, sekaligus untuk melupakanmu."
Nenek itu menangis semakin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi peristiwa yang aneh dan tidak terduga-duga.
"Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar kelak dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memang begitulah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Jika saja Sie Cun Hong dapat bersikap bijaksana di dalam hubungan suami isteri, agaknya perlahan-lahan Sun Nio akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang di dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan hatinya semakin condong terhadap pinceng! Mala petaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!" Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya bisa terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ahhh…, sungguh kasihan dia...!"
"Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali.
Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak lantas menubruk subo-nya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih.
"Begitulah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni memerlukan kesadaran dan kebijaksaan sebab mempunyai cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori oleh nafsu birahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tak hanya menuntut disenangkan, akan tetapi terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau saja cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, bisa mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri."
Yan Cu memandang kepada hwesio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri... Cong San!
"Sun Nio. Engkau sudah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua sudah berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, dan kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?"
Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Dia menganggung-angguk, lalu dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"
"Benar, Subo."
"Baiklah, Tiong-koko... Eh, bukankah sekarang namamu adalah Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."
Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut ikut bicara, "Subo, teecu sudah tidak memiliki orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan orang satu-satunya yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"
Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe."
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang sudah memberi kebahagiaan ini kepada kita!"
Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit kemudian memelukya sambil menangis.
"Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."
Maka turunlah dua pasang orang muda bersama sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajar manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia pada waktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas!
Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tanpa ada hentinya sampai berakhir dengan gugur serta rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya.
Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng, dan Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng gunung Tai-hang-san, di belakang nenek dan kakek itu. Mereka tersenyum-senyum, kadang kala saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira!
Memang, hasrat hati yang tercapai akan menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggelam di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran.....
********************
Komentar