PEDANG KAYU HARUM : JILID-50


Betapa cemas dan khawatir hati Biauw Eng menyaksikan keadaan suci-nya itu, apa lagi ketika melihat suci-nya mengangguk. Perasaan cemas ini bercampur rasa marah sekali. Dia tahu bahwa Hun Bwee memang menderita penyakit jiwa, akan tetapi selama ini dia merasa yakin bahwa di balik kegilaan Hun Bwee terdapat watak yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut. Kenapa sekarang Hun Bwee berubah seperti itu dan tunduk kepada Cui Im?

Juga, walau pun gila, Hun Bwee biasanya cerdik sekali. Kenapa sekarang tetap menuduh Keng Hong sebagai pemerkosanya, sedangkan tadi begitu yakin bahwa Lian Ci Sengjin bekas tosu Kun-lun-pai itulah pelakunya?

"Suci! Jangan mendengarkan bujukan iblis itu!" Biauw Eng berseru memperingatkan Hun Bwee.

Akan tetapi Hun Bwee menoleh dan melotot kepadanya. "Jangan turut campur! Aku tidak sudi mendengar omonganmu, perempuan tak tahu malu!"

Biauw Eng terkejut setengah mati. Belum pernah suci-nya ini, waras atau sedang kumat, bersikap seperti ini kepadanya. Padahal ketika tadi melotot kepadanya dia melihat bahwa pandang mata suci-nya itu tidak seperti kalau sedang kumat.

Cui Im tertawa, kemudian bertanya kepada Hun Bwee. "Dia menyebutmu Suci? Hi-hi-hik, alangkah lucunya. Sebetulnya, akulah Suci-nya. Apakah dia... ahhhh! Apakah dia menjadi murid Go-bi Thai-houw?"

Hun Bwee mengangguk. "Dia baru saja menjadi murid subo. Akan tetapi mulai sekarang aku tidak sudi mengakuinya sebagai Sumoi lagi. Dia curang, tak bermalu dan palsu!"

Cui Im tersenyum girang. "Mengapa?"

"Dia tahu bahwa Keng Hong sudah memperkosaku dan tadinya kami hendak menangkap Keng Hong lalu memaksa pemuda itu menjadi suamiku. Tapi setelah berhasil menangkap Keng Hong, hemmm... dia ingin memilikinya sendiri!"

"He-he-hi-hi-hik!" Cui Im tertawa senang dan sekali tangannya bergerak, maka bebaslah Hun Bwee.

Sejenak gadis ini mengurut-urut kedua lengannya, kemudian dengan beringas dia segera menghampiri Keng Hong sambil berkata, "Kubunuh engkau, Cia Keng Hong!"

"Hun Bwee, tahan!" Cui Im membentak hingga Hun Bwee menghentikan langkahnya lalu menoleh.

"Dengar baik-baik. Engkau sudah berjanji akan mentaati perintahku, bukan? Nah, perintah pertama engkau tidak boleh membunuh Keng Hong...”

"Akan tetapi dia... dia..."

"Engkau tak boleh mengganggunya tanpa seijin dariku, mengerti? Bila sudah tiba saatnya aku harus membunuhnya, biarlah kuserahkan tugas itu kepadamu. Mengerti?"

Dengan muka kecewa sekali Hun Bwee mengangguk, kemudian berdiri di dekat Cui Im sambil menundukkan muka seperti orang melamun. Cui Im menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, “Mulai sekarang engkau menjadi pembantuku yang setia, Hun Bwee...”

Hun Bwee hanya mengangguk-angguk dan semua ini dipandang oleh Biauw Eng dengan hati panas, akan tetapi bagaimana dia akan dapat menyalahkan suci-nya yang memang tidak waras pikirannya itu? Ia hanya dapat menghela napas panjang. Sesudah Hun Bwee berubah menjadi seperti itu, tentu saja kini menjadi semakin sukar lagi bagi mereka untuk meloloskan diri. Berkurang sudah seorang tenaga yang sangat kuat.

Dalam keputus asaan ini, tak terasa lagi Biauw Eng mengerling ke arah Keng Hong dan betapa heran hatinya melihat Keng Hong yang menyandarkan tubuhnya yang lemas itu ke tiang di mana dia terikat, juga memandangnya dan tersenyum! Pandang mata pemuda itu kepadanya seolah-olah menggantikan kata-kata yang menghibur, yang minta kepadanya agar tidak putus asa!

Tawanan yang kini tinggal empat orang itu lalu dibawa pergi dan dijebloskan ke dalam kamar-kamar tahanan yang amat kuat dan terpisah. Kamar tahanan itu terbuat dari pada dinding batu dan pintu serta jendelanya diberi jeruji besi yang amat kuat.

Empat orang muda-mudi yang ditahan ini masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri. Cong San sangat khawatir akan keselamatan kawan-kawannya, terutama sekali Yan Cu. Ia harus mengakui bahwa baru satu kali ini dia jatuh cinta, yaitu kepada Yan Cu.

Ia tidak khawatir akan keselamatan dirinya sendiri. Sebagai seorang pemuda gemblengan murid ketua Siauw-lim-pai, tentu saja dia memiliki tenaga dan ilmu simpanan dan bila dia menghendaki, dengan pengerahan tenaga sakti, dia akan mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri.

Akan tetapi tadi dia melihat tanda isyarat dari pandang mata Keng Hong dan dia dapat menangkap apa kehendak Keng Hong dengan isyarat itu. Memang benar kalau dia nekat memberontak, hal ini akan membahayakan keselamatan mereka berlima, yang kini hanya tinggal berempat karena wanita gila itu berpihak kepada musuh.

Pihak musuh terlalu kuat dan terlalu banyak. Dia harus menanti saat yang baik, mencari kesempatan agar dengan sekali memberontak saja dapat membebaskan mereka semua. Tentunya Keng Hong juga berpendapat demikian, pikir Cong San yang duduk termenung bersandar dinding di dalam kamar tahanannya yang sempit?

Benarkah pendapat Keng Hong seperti pikiran murid Siauw-lim-pai ini? Hanya sebagian saja demikian. Sebetulnya, banyak hal yang menyebabkan Keng Hong mandah dan diam saja dijadikan tawanan.

Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, kalau dia mau tentu saja dia pada kesempatan pertama sudah dapat menyelamatkan dirinya, sungguh pun belum tentu dia akan dapat menyelamatkan empat orang temannya. Akan tetapi Keng Hong tidak mau melakukan hal itu.

Pertama kali, ketika mereka semua tertawan dan dia sendiri telah dibelenggu Biauw Eng, dia sengaja diam saja untuk sekedar mencoba Biauw Eng, akan tetapi tentu saja setiap saat dia siap untuk melindungi teman-temannya apa bila terancam keselamatannya. Tapi ketika melihat bahwa Cui Im hanya menawan mereka, dia pun diam saja, pura-pura tidak berdaya.

Kini, Keng Hong masih belum turun tangan, pertama karena usahanya pertama kali gagal, dan ke dua, di samping melihat kokoh kuatnya penjagaan benteng itu serta banyaknya tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, juga dia harus mengingat akan pusaka-pusaka yang kini kembali terampas oleh Cui Im. Terutama sekali pusaka-pusaka yang harus ia kembalikan kepada partai-partai besar yang memilikinya. Kalau kali ini dia sampai gagal merampas, tentu kelak akan sukar sekali baginya untuk merampas kembali sebab Cui Im tentu akan lebih berhati-hati.

Biauw Eng juga melamun di dalam kamar tahanannya. Hatinya masih penuh penasaran melihat sikap Hun Bwee. Tak diduganya sama sekali bahwa suci-nya itu ternyata adalah seorang yang rendah budi, yang begitu saja menyerah kepada musuh dan mengorbankan teman-temannya, terutama sekali mengorbankan dia, sumoi-nya.

Benarkah bahwa Hun Bwee berbuat seperti itu karena iri hati dan cemburu kepadanya? Karena dia kini kembali menyatakan cinta kasihnya kepada Keng Hong? Dan gadis ini pun mulai meneliti perasaannya sendiri.

Tadinya dia memang benci kepada Keng Hong, tidak saja karena sikap Keng Hong yang lalu, akan tetapi kini ditambah lagi cerita Hun Bwee bahwa pemuda itu memperkosanya. Setelah bertemu dengan Keng Hong kemudian melihat betapa Keng Hong menyatakan penyesalannya atas sikapnya yang dulu terhadap dirinya, bahkan Keng Hong juga telah menyerah dan rela untuk ditawan atau dibunuhnya sekali pun, apa lagi ketika mendengar ucapan Cong San lalu melihat sikap Hun Bwee dan Lian Ci Sengjin yang membongkar perkosaan itu, rasa bencinya semakin membuyar dan timbullah kembali cinta kasihnya terhadap Keng Hong yang memang tak pernah padam.

Dia mencinta Keng Hong, hal ini terjadi semenjak dahulu. Akan tetapi Hun Bwee, yang katanya telah diperkosa oleh Keng Hong, apakah juga mencinta Keng Hong dan cemburu kepadanya? Akan tetapi jika benar demikian, mengapa Hun Bwee kini hendak membunuh Keng Hong? Benar-benar dia menjadi bingung. Apakah Hun Bwee kumat gilanya? Akan tetapi sinar matanya tidak liar seperti biasanya kalau kumat.

Yan Cu juga termenung. Gadis ini merasa menyesal sekali kepada Biauw Eng yang dia anggap menjadi gara-gara sampai mereka tertawan. Akan tetapi ia pun merasa menyesal pada Keng Hong kenapa suheng-nya begitu tolol untuk mengorbankan diri demi cintanya kepada Biauw Eng yang tak dapat menghargai cinta orang itu!

Dan dia teringat akan sikap Cong San kepadanya. Pemuda murid Siauw-lim-pai itu cinta kepadanya! Akan tetapi dia? Ahhh…, sukarlah untuk menjawabnya. Hatinya masih belum dapat melenyapkan perasaan mesranya terhadap Keng Hong, walau pun dia sendiri tidak berani mengatakan apakah dia sesungguhnya mencinta Keng Hong. Sampai saat itu pun Yan Cu masih mencari-cari arti cinta dan belum dapat menemukannya!

Akan tetapi, dia tidak putus asa, juga tidak takut. Selama nyawa masih dikandung badan, dia tidak akan kehabisan akal dan harapan. Pasti akan muncul saat dan kesempatan bagi salah seorang di antara mereka untuk meloloskan diri lalu menolong teman-temannya.

Dia sendiri pun akan mencari kesempatan itu. Apa bila mungkin malam nanti melepaskan ikatannya dan berusaha keluar dari kamar tahanan itu. Atau kalau tidak berhasil, dia akan menanti sampai penjaga mengantarkan makanan. Mungkin dia akan dapat merobohkan penjaga.

Kalau saja Keng Hong tidak begitu lemah terhadap cinta kasihnya yang amat mendalam kepada Biauw Eng! Ia percaya penuh bahwa dengan kelihaiannya, suheng-nya itu akan dapat menolong mereka semua.

Sementara itu, Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong dan semua tokoh yang berada di benteng itu mengadakan perundingan. Cui Im yang dianggap sebagai paling lihai dan paling cerdik di antara mereka, memimpin perundingan.

Mereka sudah mengirim mata-mata dan kurir untuk menyelidiki keadaan kota raja, juga menyelidiki pertemuan para tokoh kang-ouw di puncak Tai-hang-san, dan telah mengirim utusan untuk menghubungi kepala suku bangsa Mongol dan Mancu yang berada di luar Tembok Besar di daerah utara. Mereka itu memutuskan untuk menanti kembalinya para penyedlidik sekalian menanti datangnya utusan Mongol dan Mancu yang mereka undang.

Tan Hun Bwee benar-benar diberi kebebasan. Ia mendapatkan sebuah kamar yang cukup indah dan dia tidak diganggu sama sekali. Akan tetapi Cui Im adalah seorang cerdik. Dia memang ingin mempergunakan gadis gila itu untuk menarik Go-bi Thai-houw bersekutu, akan tetapi diam-dia ia pun selalu menyuruh orang memperhatikan dan menjaga gadis ini.

Akan tetapi dalam beberapa hari itu Hun Bwee kelihatan baik-baik saja, bahkan dia mulai mendekati Lian Ci Sengjin! Hal ini diketahui baik oleh Cui Im dan dia diam-diam tertawa. Lebih baik Lian Ci Sengjin didekatkan kembali dengan gadis yang sudah diperkosanya itu. Dia tahu betapa Lian Ci Sengjin masih tergila-gila padanya dan sering suka menggodanya dengan celaan-celaan dan tuntutan-tuntutan agar dia suka memikirkan lamarannya! Kalau Hun Bwee bisa menghiburnya, tentu godaan bekas tosu itu akan berkurang.

Malam itu rembulan bersinar penuh. Lian Ci Sengjin keluar dari pondoknya dengan muka merah. Baru saja dia kembali cekcok dengan suheng-nya, Sian Ti Sengjin. Suheng-nya itu sudah beberapa kali mengajaknya agar kembali saja ke Phu-niu-san, di mana mereka berdua sedang membangun serta mengembangkan partai yang mereka bentuk sesudah mereka ‘tidak mendapat angin’ di Kun-lun-pai.

"Suheng, kenapa mesti tergesa-gesa? Bukankah kita membutuhkan bantuan Cui Im untuk membalas sakit hati kita terhadap Kun-lun-pai? Pula, kalau kita berhasil menghancurkan Kun-lun-pai, mana bisa nama kita bersih dari pada noda setelah kita berdua diusir dari sana? Tentu dunia kang-ouw akan mencemoohkan nama partai Phu-niu-san yang akan kita kembangkan!" Demikian dia membantah ajakan suheng-nya.

“Tapi aku merasa ragu-ragu, Sute. Mereka itu... ahh…, bagaimana kita sudah terperosok begini rendah sehingga bersekutu dengan kaum sesat?" Sian Ti Sengjin berkata sambil menarik napas berulang-ulang dan keningnya berkerut.

"Aku pun tidak suka, akan tetapi kita terpaksa, Suheng! Sudahlah, kita sudah terlanjur basah, lebih baik terjun sama sekali!" Dengan kata-kata itu, Lian Ci Sengjin meninggalkan suheng-nya dan keluar untuk mencari hawa sejuk agar mendinginkan hati dan pikirannya yang panas.

Di bawah sinar bulan purnama itu, teringat dia akan wajah-wajah cantik. Ia menengadah, memandang bulan purnama dan bekas tosu Kun-lun-pai yang gagal menguasai nafsunya sendiri itu menghela napas. Bulan yang bundar itu seakan-akan berubah menjadi wajah Cui Im yang tersenyum kepadanya. Ahhh…, tidak ada harapan, pikirnya. Wanita cantik itu terlalu angkuh.

Kemudian bulan itu membayangkan wajah Hun Bwee, dan kembali dia menghela napas. Gadis itu cantik juga dan kalau dia teringat akan peristiwa dahulu pada saat dia berhasil merenggut kehormatan gadis itu, timbul pula gairahnya. Kalau saja dia bisa mendapatkan Hun Bwee untuk menjinakkan nafsunya yang liar bergelora, akan puaslah hatinya.

Sayang bahwa gadis itu agaknya telah berubah ingatannya! Tapi sekarang kelihatan telah waras dan dengan pakaiannya yang merah dan ketat, sungguh tak kalah menariknya oleh Cui Im yang jauh lebih tua. Sungguh pun kelihatan masih cantik, akan tetapi dia dapat menduga bahwa usia Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im sudah mendekati tiga puluh tahun, sedangkan Hun Bwee tentu baru dua puluh tahun lebih!

"Lo-enghiong...!"

Suara halus ini menyadarkan Lian Ci Sengjin dari lamunan dan ketika dia menengok, dia melihat Hun Bwee berdiri sambil tersenyum manis dengan pandang mata begitu indah, seperti sinar bulan purnama sendiri! Pertama-tama dia amat kaget dan siap menghadapi wanita ini kalau hendak mengamuk, akan tetapi melihat senyum dan pandang mata itu, dia pun merasa lega.

"No... Nona..., engkau di sini?"

Hun Bwee tersenyum, senyum yang amat manis dalam pandang mata Lian Ci Sengjin, karena disertai bayangan malu-malu kucing!

"Lo-enghiong... kenapa engkau agaknya selalu menjauhkan diri dariku? Apakah... apakah Lo-enghiong termasuk golongan pria yang berwatak habis manis sepah dibuang?"

Berubah wajah Lian Ci Sengjin, menjadi pucat lalu berubah merah, matanya terbelalak. Tadinya dia menyangka bahwa gadis ini benar-benar menjatuhkan tuduhan perkosaan itu kepada Keng Hong, akan tetapi pertanyaan ini berarti lain?

"Apa... apa maksudmu, Nona?"

Kembali Hun Bwee tersenyum malu-malu dan mengerling. "Lo-enghiong, bukankah aku sudah membersihkan nama baikmu dan menjatuhkan noda kepada Cia Keng Hong yang kubenci? Apakah kau masih tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Marilah kita bicara di taman sana, Lo-enghiong. Sungguh tak menyenangkan dan amat memalukan bagiku bila ada telinga lain yang mendengarnya," kata gadis itu perlahan-lahan.

Timbul kecurigaan di hati Lian Ci Sengjin. "Katakan dulu mengapa kau lakukan itu, baru aku percaya," katanya terus terang.

Hun Bwee menarik napas panjang dan menoleh ke kanan kiri, kemudian melangkah maju mendekat dan berbisik lirih, "Lo-enghiong, aku adalah puteri tunggal Tan-piauwsu. Ayah dan ibuku mendendam sakit hati kepada Sin-jiu Kiam-ong dan aku telah bersumpah akan membalasnya. Karena ayah dan ibuku mati akibat perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, maka aku harus membalas kepadanya namun karena dia pun sudah tidak ada, maka satu-satunya jalan hanya membalas dendam kepada muridnya."

Lian Ci Sengjin mengangguk-angguk. Dia mengenal Tan-piauwsu dan sudah mendengar pula bahwa piauwsu itu adalah salah seorang di antara musuh-musuh Sin-jiu Kiam-ong. "Lalu bagaimana?"

"Aku... ehh, aku telah... menjadi isteri Lo-enghiong... dan... hal itu... amat membahagiakan hati..."

"Hemmm... sungguhkah?" Jantung bekas tokoh Kun-lun-pai yang usianya telah setengah abad kurang sedikit ini berdebar.

"Perlu apa aku bohong? Mengapa Lo-enghiong dahulu itu meninggalkan aku begitu saja? Padahal aku... aku mencari-carimu, maka aku menimpakan noda itu kepada Keng Hong."

"Tapi... tapi mengapa engkau mengancamku ketika murid Siauw-lim-pai itu membuka... rahasia itu?"

"Aihhhhh... Lo-enghiong mengapa tidak tahu akan wanita? Tentu saja aku malu di depan begitu banyak orang dan... sudahlah, mari kita berbicara di taman sana sambil menikmati cahaya bulan dan membicarakan masa depan kita. Ataukah... Lo-enghiong benar-benar berwatak habis manis sepah dibuang?"

Sejenak mereka saling berpandangan di bawah sinar bulan yang terang. Lian Ci Sengjin memandang dengan pandang mata penuh selidik, namun setelah diamuk birahi tentu saja penyelidikannya percuma sehingga makin lama makin menipis sinar menyelidik, terganti seluruhnya oleh sinar mata mesra dan haus, maka akhirnya hanya sepasang mata yang indah, mulut yang manis menggairahkan saja yang nampak olehnya.

Ada pun Tan Hun Bwee memandang bekas tokoh Kun-lun-pai itu dengan mata dikerling, tajam memikat, mulut agak terbuka sehingga di balik sepasang bibir merah basah tampak deretan gigi putih mengkilap dan ujung lidah merah mengintai genit.

Walau pun kini hatinya sudah yakin bahwa gadis ini benar-benar ‘jatuh cinta’ kepadanya karena peristiwa dahulu itu, mulut Lian Ci Sengjin masih bertanya,

"Nona, mana bisa aku percaya begitu saja? Aku sudah tua, engkau masih begini muda, segar dan cantik jelita."

"Ahhh, mengapa engkau berkata demikian, Lo-enghiong? Aku adalah seorang wanita dari keluarga baik-baik. Setelah... setelah menjadi milikmu... bagaimana aku tak mencintamu? Engkau telah memiliki diriku berarti telah memiliki jiwa ragaku...” Hun Bwee menundukkan muka dan kelihatan malu-malu kucing sehingga sikap ini makin membetot jantung Lian Ci Sengjin.

"Tapi... tapi... hatiku belum yakin..."

"Aahhh...!" Hun Bwee tiba-tiba melangkah maju.

Lian Ci Sengjin terkejut dan sudah siap menangkis. Akan tetapi kedua tangan Hun Bwee bergerak mesra sekali merangkul leher Lian Ci Sengjin, kedua lengan yang berkulit halus putih itu seperti dua ekor ular merayap melingkari leher, menarik leher itu sehingga Lian Ci Sengjin terpaksa menundukkan muka.

Muka mereka perlahan saling mendekati, dua pasang mata bertemu pandang, semakin dekat, semakin dekat hingga laki-laki itu merasa napas halus Hun Bwee menyapu pipinya, mencium keharuman yang memabukkan dan masih saja Hun Bwee menariknya sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang sebelumnya hanya pernah dialami Lian Ci Sengjin di dalam alam mimpi!

Hampir pingsan Lian Ci Sengjin dibuatnya! Sepasang matanya terbelalak dan sejenak dia tidak percaya akan pengalamannya, namun diam-diam menikmati permainan perasaan yang amat luar biasa. Betapa sepasang bibir yang lembut, hangat dan basah mengecup-ngecupnya! Betapa gigi yang putih-putih menggigit gemas! Betapa lidah kecil merah itu...!

Lian Ci Sengjin semenjak mudanya menjadi tosu. Seperti juga segala macam agama di dunia ini, agama To juga merupakan agama yang amat baik, amat suci dan merupakan pelajaran bagi manusia supaya tidak menghambakan diri kepada nafsu dan kenikmatan duniawi. Kalau toh ada seorang beragama yang melakukan penyelewengan, hal ini bukan sekali-kali salahnya agama itu sendiri, melainkan kesalahan si orang yang lemah batinnya sehingga menyeleweng dari pada ajaran agamanya!

Agamanya sendiri tetap suci, tetap bersih, namun manusia juga tetap manusia, makhluk yang selemah-lemahnya! Semenjak mudanya, sudah banyak Lian Ci Sengjin digembleng dengan pelajaran-pelajaran Agama To, namun karena batinnya lemah, dia tidak mampu menanggulangi amukan nafsu-nafsu dirinya sendiri, terutama sekali nafsu birahi.

Sekarang pertahanannya yang umpama sebuah tanggul telah bocor, mana kuat menahan nafsu yang membanjir akibat dibangkitkan oleh Hun Bwee! Segala pertahanannya hancur berantakan dan dia pun tenggelam dalam lautan nafsunya sendiri. Geraman seperti suara seekor beruang keluar dari kerongkongan dan dia membalas ciuman Hun Bwee dengan kasar penuh nafsu, memeluk tubuh wanita itu yang seakan hendak ditelannya bulat-bulat pada saat itu juga!

Hun Bwee memegang lengan Lian Ci Sengjin yang menggerayangi pakaiannya sambil berbisik, "Lian Ci koko... jangan... jangan di sini... ohhh...!"

Lian Ci Sengjin merasa seolah-olah terapung di langit ke tujuh mendengar sebutan ‘koko’ ini. Dua lengannya memeluk dan sambil tertawa seperti orang mabuk, dia menggendong tubuh kekasihnya itu dan membawanya lari ke dalam taman di mana terdapat banyak pohon-pohon sehingga mereka akan terlindung dalam kegelapan bayangan pohon…..

********************

Semenjak manusia tercipta, nafsu birahi merupakan nafsu yang paling kuat dan jika nafsu ini telah mencengkeram diri manusia, maka si manusia lupa akan segala hal, kehilangan kewaspadaannya dan seluruhnya menjadi permaianan nafsu. Dapat dilihat dalam catatan sejarah betapa banyaknya kaisar-kaisar yang jatuh karena diperhamba oleh nafsu birahi, orang-orang gagah runtuh karena wanita, dan orang-orang yang hendak menyucikan diri tergoda oleh nafsu yang merupakan godaan terkuat.

Nafsu birahi merupakan anugerah alamiah yang memperindah cinta kasih antara pria dan wanita, mendorong manusia untuk berkembang biak dan sudahlah menjadi hukum alam. Namun apa bila nafsu birahi tidak dikekang dan sudah mencengkeram diri manusia yang telah menciptakan hukum-hukum kesusilaan, maka segala rintangan, segala pantangan akan dilanggar di luar kesadarannya.

Dalam cengkeraman nafsu birahinya yang memuncak, Lian Ci Sengjin lupa bahwa wanita cantik yang kini dipeluknya dan diletakkan dengan mesranya di atas rumput tebal dalam taman itu adalah seorang wanita yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa, jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada dia sendiri, lupa bahwa dia pernah melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap gadis ini.

Dalam keadaan telanjang bulat, bagaikan seekor binatang buas dia menubruk gadis yang dianggapnya kekasihnya itu, dan gerengnya dahsyat keluar dari kerongkongannya. Akan tetapi gerengan dahsyat ini berubah menjadi pekik kaget yang tertahan. Untuk terkejut pun dia tidak sempat lagi, karena tahu-tahu tubuhnya telah menjadi lemas, tertotok oleh dua ujung jari Hun Bwee yang amat lihai.

Tubuh Lian Ci Sengjin tergelimpang tak berdaya di atas rumput dan hanya matanya yang memandang betapa gadis dengan tubuh yang bagaikan terselaput emas di bawah sinar bulan purnama itu kini tidak tampak lagi oleh Lian Ci Sengjin karena seolah-olah gadis itu telah berubah menjadi setan yang amat menyeramkan baginya.

"Hi-hi-hik, he-he-heh-heh-heh!" Hun Bwee merenggut pakaiannya dan tidak tergesa-gesa mengenakan pakaiannya menutupi tubuhnya yang telanjang di depan pandang mata Lian Ci Sengjin, bagaikan orang yang sedang bersolek dan memikat. Setelah semua pakaian dikenakannya, dia menyanggul kembali rambutnya yang tadi terlepas dalam pergumulan mesranya dengan Lian Ci Sengjin!

Lian Ci Sengjin maklum bahwa dia telah terjebak, maklum akan bahaya maut mengancam dirinya. Cepat dia membuka mulut hendak menjerit agar dapat menarik perhatian kawan-kawannya.

Tetapi secepat kilat Hun Bwee menampar mulutnya, lalu mencengkeram mulut itu dengan tangan kiri ada pun tangan kanannya menyambar pakaian Lian Ci Sengjin yang tergeletak berceceran di situ. Celana bekas tokoh Kun-lun-pai itu kini disumbatkan ke dalam mulut sampai hampir memenuhi kerongkongan!

"Hi-hi-hik! Lian Ci Sengjin, ataukah Lian Ci Tojin? Enak benar ya dulu kau memperkosa aku? Hi-hi-hik, sekarang tiba saatnya engkau menerima hukumanku!"

Lian Ci Sengjin hanya membelalakkan dua matanya dengan penuh rasa ngeri dan seram, kemudian saking takutnya, air keluar dari atas dan bawah! Ia terkencing-kencing saking takutnya, dan air matanya mengalir turun, pandang matanya minta dikasihani bagai mata seekor lembu yang sudah ditelikung akan disembelih. Akan tetapi tentu saja keadaannya ini bukan menimbulkan rasa iba di hati Hun Bweee, bahkan menambah kemarahan gadis yang gilanya sudah kumat lagi itu!

"Singggg...!" Sinar hitam berkelebat ketika Hek-sin-kiam dicabut.

"Apamu dulu yang harus dihukum? Hi-hi-hik-hik!" Hun Bwee mengelebatkan pedangnya di depan hidung Lian Ci Sengjin. "Mula-mula tanganmu, ya? Tanganmu mencengkeramku, merenggut lepas pakaianku, membelaiku. Benar, tanganmu yang lebih dulu kurang ajar."

Sinar hitam berkelebat dan andai kata mulut Lian Ci Sengjin tidak disumbat, tentulah dia akan melolong-lolong saking nyerinya. Satu demi satu jari-jari tangannya dibabat buntung oleh sinar pedang hitam, tinggal setengah jari saja! Dapat dibayangkan betapa nyerinya, kiut-miut rasanya, pedih perih seperti jarum-jarum ditusukkan ke ulu hatinya.

Hebatnya, gadis itu kini menari-nari di depan Lian Ci Sengjin! Menari-nari sambil tertawa terkekeh-kekeh kegirangan seperti seorang anak kecil bermain-main.

"Bagus! Bagus! Hi-hi-hik-hik, kini tanganmu tidak dapat menggerayangi tubuh wanita lagi! Sekarang apamu?" Tiba-tiba Hun Bwee berhenti menari, menengadah dan mengerutkan kening, mengingat-ingat. Dahulu ketika dia diperkosa, dia berada dalam keadaan pingsan, atau setengah pingsan sehingga dia hanya ingat secara remang-remang saja.

"Hemmm, engkau menciumku! Hidungmu menciumi seluruh tubuhku, kemudian mulutmu yang bau bangkai itu menggigit bibirku dan leherku!"

Kembali sinar hitam berkelebat dua kali seperti kilat menyambar dan... ujung hidung Lian Ci Sengjin terbabat putus disusul dengan kedua bibirnya! Tentu saja wajah yang mulutnya tersumbat itu tampak buruk mengerikan sekali. Tampak dua buah lubang hidungnya yang sudah kehilangan bukit hidung, dan giginya yang besar-besar kuning tampak pula setelah sepasang bibir penutupnya robek.

Lian Ci Sengjin memejamkan matanya, dahinya berkerut-kerut saking nyeri yang hampir tak tertahankan lagi. Darah membasahi tubuh dan lehernya, darah dari kedua tangan dan dari mukanya. Pada waktu dia membuka mata lagi, sepasang biji matanya berputar-putar liar penuh ketakutan.

"Hi-hi-hik! Engkau makin buruk saja, menjijikan! Orang macam engkau ini hendak menjadi kekasihku? Heh-he-heh! Sekarang giliran bagian tubuhmu yang paling menjijikan harus dibuang!"

Pedang berkelebat dan Lian Ci Sengjin memejamkan mata, maklum bahwa maut akan datang merenggut nyawanya. Akan tetapi pedang tidak jadi dibacokkan dan Hun Bwee tertawa-tawa.

"Ahh, nanti dulu, hi-hi-hik-hik! Keenakan engkau kalau mati sekarang! Engkau pun telah menyiksaku dan sampai kini aku masih hidup, hu-hu-huuuuuk!" Gadis itu menangis. Lian Ci Sengjin makin mengkirik ngeri.

Tiba-tiba Hun Bwee tertawa lagi. "Ha-ha-hi-hi-hik! Benar! Matamu itu, ahhh…, kalau saja matamu bukan yang kau pakai sekarang ini, belum tentu kau akan melakukan perkosaan kepadaku. Matamu itu mata keranjang, maka lebih baik dibuang saja!" Dua kali pedang berkelebat dan sepasang biji mata Lian Ci Sengjin tercongkel keluar!

Mengerikan sekali keadaan bekas tokoh Kun-lun-pai itu. Bila mana tadi dia masih dapat memperlihatkan rasa takut dan rasa nyeri yang luar biasa melalui pandang matanya, kini dia hanya dapat berkelojotan saja. Dan hanya gerakan berkelojotan lemah ini saja yang menandakan bahwa dia belum mati, juga belum pingsan dan masih menderita penyiksaan yang hanya sanggup dilakukan seorang yang sudah gila itu, gila karena berubah ingatan atau juga gila karena diamuk dendam.

Hun Bwee masih terkekeh-kekeh dan berkali-kali pedangnya berkelebat berubah menjadi sinar hitam. Mula-mula sepuluh buah jari kaki Lian Ci Sengjin dibabat buntung kemudian kedua telinganya dan semua anggota tubuh yang ‘menonjol’, dibuntungi semua satu demi satu.

"Heh-heh-heh, engkau tidak merintih. Ohhh, sumbat mulutmu!"

Hun Bwee yang agaknya merasa kurang puas karena melihat korbannya tidak dapat mengeluarkan suara itu, menyambar dan membuka sumbat yang dijejalkan ke mulut Lian Ci Sengjin. Begitu sumbat mulutnya dibuka terdengar rintihan dari mulut itu, rintihan yang tidak karuan bunyinya, akan tetapi masih dapat ditangkap kata-katanya,

“Ampun... ampun... ampun...!"

"Hi-hi-hik! Bagus sekali...!" Tiba-tiba pedang menyambar ke bawah pusar Lian Ci Sengjin.

"Auggghhhhrrrrr...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari kerongkongan Lian Ci Sengjin sangat nyaring, juga amat mengerikan sebab jeritan itu merupakan pekik kematian yang mungkin dibarengi dengan melayangnya nyawa dari tubuhnya. Lian Ci Sengjin baru mati setelah dia disiksa selama hampir setengah jam.

Namun agaknya Hun Bwee belum merasa puas. Pedangnya masih terus menyambar-nyambar dan membacoki tubuh yang sudah menjadi mayat itu sehingga sekarang tubuh itu terpotong-potong dicacah-cacah sampai tidak ada potongan yang panjangnya lebih besar dari setengah kaki. Kepalanya dibelah menjadi empat potong dan anggota tubuh yang paling dibenci Hun Bwee dan paling membuatnya jijik itu telah dicacah-cacah seperti daging bahan bakso!

Sekarang Hun Bwee tidak tertawa-tawa lagi, melainkan menjerit-jerit menangis diselingi tawa sambil membacoki terus! Pakaian merahnya penuh dengan percikan darah, namun tak dipedulikan. Pedang hitamnya juga sudah basah oleh darah.

Dalam keadaan seperti itulah lima orang anak buah Pat-liu Sian-ong yang pada waktu itu kebetulan sedang meronda di taman mendapatkan gadis itu. Lima orang anak buah ini cepat-cepat lari mendekati dan mereka terbelalak penuh kengerian ketika melihat gadis itu membacoki mayat yang sudah menjadi onggokan daging berceceran. Hanya ketika mereka melihat pakaian Lian Ci Sengjin di atas rumput saja yang membuat mereka sadar bahwa yang dibacoki itu adalah bekas tubuh Lian Ci Sengjin!

"Celaka...!" Seorang di antara mereka berseru kaget.

Mendengar ini, Hun Bwee menengok dan sambil berteriak ganas ia menerjang ke depan, menggerakkan pedangnya. Lima orang itu cepat menggunakan senjata menangkis, akan tetapi dalam sekejap mata saja, empat orang di antara mereka telah roboh dengan nyawa melayang, dan hanya seorang yang terluka pada pundaknya masih sempat lari sambil berteriak-teriak sekerasnya.

Hun Bwee mengejarnya. Dua bayangan orang berkelabat dan muncullah Si Iblis Cebol Gu Coan Kok dan si raksasa Kerait yang bernama Hok Ku. Melihat keadaan Hun Bwee, dua orang di antara iblis-iblis Tembok Besar ini cepat menyerangnya.

Gu Coan Kok menyerang dengan tongkatnya yang panjang, gerakannya cepat dan aneh sekali, menyodokkan tongkatnya ke arah perut Hun Bwee. Pada saat itu juga, Hok Ku si raksasa tinggi besar bongkok telah menggerakkan senjatanya berbentuk cakar besi yang beracun dan yang disambung dengan dua tangannya, menyerangnya dengan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dengan tangan kanan ke arah dada Hun Bwee.

Hun Bwee menjadi marah sekali. Mulutnya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang sekaligus menangkis tongkat yang menyodok perut dan cakar yang mencengkeram dada, sedangkan tangan kirinya dengan berani menyampok cakar yang mencengkeram kepalanya.

"Cring! Tranggg! Plakkk!"

Kedua orang jagoan Tembok Besar terkejut sekali karena tangkisan pedang itu membuat senjata mereka terpental, sedangkan cakar besi beracun itu ketika disampok tangan kiri Hun Bwee, membuat Hok Ku hampir terguling! Padahal raksasa bongkok ini mempunyai tenaga yang amat besar. Tahulah mereka bahwa wanita gila ini ternyata lihai luar biasa.

Mereka bersilat dengan hati-hati sekali, apa lagi ketika Hun Bwee kini membalas dengan serangan yang bertubi-tubi dan gerakannya mirip gerakan ngawur, asal bacok dan tusuk saja bukan seperti gerakan dari seorang ahli pedang. Justru gerakan ngawur inilah yang menyembunyikan kelihaian ilmu pedang ajaran Go-bi Thai-houw si nenek gila.

Serangan yang ngawur ini benar-benar mengacaukan gerakan dua orang jagoan Tembok Besar. Kelihatannya ngawur, namun dari gerakan itu memancar keluar bahaya-bahaya maut sehingga mereka tidak berani memandang ringan dan cepat menggerakkan senjata untuk menangkis.

"Hi-hi-hik!" Hun Bwee terkekeh dan tiba-tiba tubuhnya jatuh terpelanting sendiri karena kakinya yang kacau itu membuat ia kehilangan keseimbangan tubuh!

Melihat wanita baju merah itu terguling miring dan pedangnya terhimpit tubuhnya sendiri, tentu saja dua orang jagoan Tembok Besar menjadi girang bukan main. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi dan melihat keadaan lawan, mereka tahu bahwa kini mereka tentu akan dapat menundukkan lawan aneh itu.

Cepat mereka berdua menubruk, seperti berlomba, menggerakkan senjata. Betapa pun juga, karena mereka ingin menawan wanita gila ini hidup-hidup, senjata tongkat bergerak menotok jalan darah sedangkan kedua cakar besi hanya mencengkeram pundak. Mereka berdua tidak mengirim pukulan maut karena keadaan lawan yang sudah tidak berdaya seperti tiu, dengan penyerangan mereka itu pun pasti mereka akan berhasil.

Kedua orang jagoan Tembok Besar itu boleh jadi sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman bertanding yang amat matang, akan tetapi tentu saja mereka belum pernah bertemu dengan lawan yang mempunyai ilmu dari Go-bi Thai-houw yang luar biasa, ilmu yang diciptakan oleh orang yang miring otaknya sehingga akal-akal yang terdapat dalam ilmu silatnya kiranya hanya akan dapat diduga dan diperhitungkan oleh orang sinting pula.

Jatuhnya tubuh Hun Bwee sehingga rebah sendiri bukanlah memang sewajarnya, meski pun tampaknya demikian, melainkan gerak tipu yang berbahaya sekali! Pada saat ujung senjata kedua orang sudah hampir berhasil, secara tak tersangka-sangka dan tiba-tiba tubuh gadis itu terguling menelungkup dan kedua kakinya bergerak menendang, bukan menendang seperti biasa, melainkan ‘menyepak’ ke belakang seperti kaki belakang kuda mengarah anggota rahasia pusar kedua orang lawan!

Bukan main kagetnya Gu Coan Kok dan Hok Ku! Apa bila serangan mereka itu mereka lanjutkan, tentu akan mengenai lawan, akan tetapi tidak sampai menimbulkan kematian. Sebaliknya, sepakan gadis itu pun akan mengenai sasaran dan akibatnya tentu sangat hebat. Akan tetapi, untuk menarik kembali serangan mereka, sudah tak keburu lagi maka mereka berusaha mengelak.

Masih untung bahwa mereka adalah dua orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dalam keadaan tubuh sudah condong ke depan dan menyerang itu mereka masih sempat meloncat ke belakang sehingga sepakan yang cepat dan kuat itu tidak mengenai sasaran secara tepat dan hanya mengenai paha mereka.

Dua orang itu berteriak dan masih dapat meloncat terus ke belakang, paha mereka terasa panas kena dicium belakang kaki Hun Bwee. Ada pun serangan mereka yang tadi hanya sempat menyentuh tubuh Hun Bwee, sama sekali tidak mendatangkan kerugian apa-apa bagi gadis itu.

Sambil terkekeh girang Hun Bwee sudah meloncat bangun lantas memutar pedangnya, mendesak dengan tikaman-tikaman berantai ke arah dua lawannya. Terpaksa dua orang jagoan Tembok Besar ini menggerakkan senjata mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh sehingga berkali-kali terdengar suara nyaring bertemunya pedang dengan tongkat dan cakar besi. Dalam belasan jurus saja dua orang itu terdesak hebat oleh gulungan sinar pedang hitam.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Perempuan gila! Engkau telah membunuh Lian Ci Sengjin?"

Bentakan ini disusul dengan bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar dan ternyata sekarang di tempat itu telah muncul Pat-jiu Sian-ong sendiri beserta Thai-lek Sin-mo Cou Seng yang menggerakkan pecut bajanya sehingga menimbulkan suara bagai halilintar itu. Selain mereka berdua, juga Sian Ti Sengjin ikut datang karena mendengar bahwa sute-nya terbunuh orang.

Kini bekas tokoh Kun-lun-pai itu berdiri dengan muka pucat dan sepasang mata terbelalak memandang pada bekas tubuh sute-nya yang sudah menjadi cacahan daging berceceran tidak karuan. Tak terasa lagi air mata menetes-netes turun membasahi pipinya yang mulai kisut.

"Sute… ahhh, Sute...!" Ia mengeluh dan terbayanglah segala pengalamannya bersama sute-nya.

Lian Ci Sengjin adalah sute-nya yang paling dicintanya, bahkan akhir-akhir ini menjadi sekutunya ketika mereka menentang Kiang Tojin, suheng mereka. Melihat sute-nya telah menjadi daging berceceran seperti itu, hati Sian Ti Sengjin menjadi ngeri dan dia segera mengingat-ingat, dosa apa gerangan yang dilakukan sute-nya hingga sekarang menemui kematian yang demikian mengenaskan.

Kini pertandingan dilanjutkan dengan sangat hebat, akan tetapi setelah Pat-jiu Sian-ong muncul di situ, keadaan Hun Bwee terdesak hebat sekali. Tentu saja kalau dibandingkan dengan Pat-jiu Sian-ong kakek kate kecil berkepala besar yang menjadi seorang di antara Bu-tek Su-kwi, Hun Bwee kalah jauh.

Betapa pun juga, andai kata dia hanya menghadapi kakek ini satu sama satu, belum tentu Pat-jiu Sian-ong akan dapat merobohkannya karena gadis ini memiliki ilmu yang amat aneh sehingga Pat-jiu Sian-ong sendiri menjadi bingung dibuatnya. Dan andai kata gadis itu hanya dikeroyok oleh kedua orang jagoan Tembok Besar, yaitu Gu Coan Kok yang bersenjata tongkat dan Hok Ku yang bersenjata cakar baja, agaknya Hun Bwee masih akan dapat mengalahkan mereka dengan akal-akalnya yang aneh.

Akan tetapi sekarang dia dikeroyok empat dan terutama sekali senjata kebutan hudtim dari Pat-jiu Sian-ong dibarengi pukulan-pukulan sinkang tangan kiri kakek ini yang amat ampuh membuat Hun Bwee kewalahan.

Setelah lewat lima puluh jurus di mana Hun Bwee membela diri mati-matian, tiba-tiba saja ujung hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong berhasil membelit pedang Hek-sin-kiam sehingga dua orang ini saling berkutetan mengadu tenaga untuk mempertahankan senjata mereka masing-masing. Saat itu digunakan oleh Cou Seng untuk menyambar pecut bajanya ke arah kepala Hun Bwee dan dari depan, tongkat Gu Coan Kok menyodok dada sedangkan cakar baja Hok Ku mencengkeram muka!

Hun Bwee yang masih berkutetan mempertahankan pedang, cepat berjongkok sehingga pecut baja Cou Seng bertemu dengan cakar besi, ada pun tongkat Gu Coan Kok yang menyodok telah ditangkis oleh tangan kirinya. Akan tetapi pada saat itu, tahu-tahu tubuh Cou Seng yang bulat besar telah menubruknya dari belakang dan telah memeluk dengan kedua lengannya yang besar berbulu sehingga Hun Bwee tidak mampu berkutik lagi!

Cou Seng ini selain merupakan seorang ahli bermain pecut baja, juga berjuluk Thai-lek Sin-mo (Iblis Sakti Bertenaga Besar), tenaganya hebat bukan main seperti tenaga seekor gajah, dan dia adalah seorang ahli gulat maka pelukannya bukanlah sembarang pelukan. Kedua lengannya yang besar kuat itu menelikung Hun Bwee melalui bawah ketiak gadis itu dan terus membelit ke belakang leher di mana jari-jari tangannya yang kuat saling membelit. Pelukan maut!

"Ahhhhh...! Uuhhhh...!" Gadis itu meronta-ronta namun percuma saja, sedikit pun ia tidak mampu melepaskan diri.

Melihat keadaan gadis yang sudah tidak berdaya ini, Pat-jiu Sian-ong lalu mengerahkan tenaganya membetot hudtim, akan tetapi dia menjadi terkejut dan kagum sekali karena gadis itu tetap mampu mempertahankan pedangnya. Ada pun dua orang jagoan Tembok Besar yang lain kini tertawa saja melihat bahwa lawan yang lihai itu telah kena ditelikung.

Tiba-tiba saja Coa Seng mengeluarkan teriakan memaki secara tidak terduga-duga sama sekali. Ternyata Hun Bwee menundukkan muka dan menggigit lengan yang melingkari lehernya melalui bawah ketiak, sedang tangan kirinya dengan jari-jari lurus dan mengeras penuh tenaga sinkang ditusukkan ke belakang melalui pundak ke arah mata Cou Seng yang berada di belakangnya!

Cou Seng yang merasa lengannya sakit karena kulit lengan robek dihujam gigi putih kecil yang kuat, menarik kepala ke belakang untuk menyelamatkan mata. Akan tetapi kiranya jari-jari tangan itu tidak jadi menusuk mata, melainkan menusuk jalan darah di lehernya! Kaget sekali hati Thai-lek Sin-mo dan karena kaget, lingkaran lengannya mengendor dan dia miringkan tubuh.

Kesempatan ini digunakan oleh Hun Bwee yang tiba-tiba menggerakkan kaki kanannya, kembali bagai seekor kuda ‘menyepak’ ke belakang, tungkak (tumit) kakinya mengancam anggota tubuh paling lemah dari setiap pria, yaitu di bawah pusar!

"Celaka...!" Cou Seng cepat merenggangkan tubuh.

Detik itulah yang dinanti Hun Bwee yang seperti seekor belut saja tiba-tiba menggeliat dan melempar tubuh ke bawah sehingga lingkaran lengan yang merupakan pelukan maut itu terlepas. Hun Bwee membalik dan menendang. Cou Seng mengelak, namun tetap saja tulang keringnya kena ditendang.

"Wadouuuwwwww...!"

Raksasa ini langsung meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil memegang kaki kirinya. Berdenyut-denyut rasanya saking nyerinya. Kalau tulang kering kakinya itu patah sekali, tidaklah akan sedemikian nyerinya. Akan tetapi patah tidak, utuh pun tidak, mendekati retak-retak, bukan main nyerinya sampai terasa menembus jantung!

Akan tetapi, pada saat itu kebutan di tangan Pat-jiu Sian-ong sudah melepaskan belitan dan menyambar kepala Hun Bwee. Gadis ini sudah membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil memutar pedangnya.

"Cringgg...! Tranggggg...!"

Tongkat Gu Coan Kok serta tangan yang berselubung cakar besi Hok Ku ditangkisnya dengan tepat. Karena kedudukan badannya sedang berjungkir-balik sambil menangkis, maka dia tidak mampu lagi mengelakkan datangnya hudtim dari Pat-jiu Sian-ong. Ujung kebutan meledak dan menotok punggungnya.

Untung Hun Bwee masih dapat mengerahkan sinkang yang aneh, yang membuat jalan darah yang tertotok itu seolah-olah ‘mati’ sehingga ketika totokan mengenai sasaran, dia hanya roboh terguling dengan bantingan cukup keras. Tetapi cakar besi Hok Ku segera menyambar dan sungguh pun dia sudah menggulingkan tubuh di atas tanah, tetap saja bahunya robek berikut kulit dan daging terkena cakaran, sedangkan tongkat Gu Coan Kok menghantam pundak kirinya hingga tulang pundak kirinya patah!

Hun Bwee menjerit lalu tertawa bergelak, tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pat-jiu Sian-ong seperti orang minta ampun! Melihat ini, kakek yang merupakan salah seorang di antara datuk-datuk golongan sesat ini tertegun. Hanya beberapa detik tertegun namun cukuplah bagi Hun Bwee. Tangan kirinya yang pundaknya sudah patah itu masih dapat bergerak dan tanah berdebu menyembur ke atas.

"Celaka...!"

Pat-jiu Sian-ong yang tadi menunduk, cepat mengelak tanpa berani memejamkan mata sebab memejamkan mata pada saat menghadapi lawan merupakan pantangan besar. Hal inilah yang membuat matanya kemasukan debu. Sambil berseru keras hudtim-nya lantas menyambar ke depan sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke belakang, matanya untuk sementara tak dapat melihat.

Namun Hun Bwee sudah mengelak, meloncat jauh dan berlari sambil terkekeh-kekeh. Di antara para pengeroyoknya, yang hebat kepandaiannya adalah Pat-jiu Sian-ong, maka dalam keadaan terluka seperti itu satu-satunya jalan baginya untuk dapat melarikan diri haruslah membuat kakek lihai itu tidak berdaya lebih dulu.

Benar saja, karena Pat-jiu Sian-ong membersihkan kedua matanya yang kelilipan debu, hanya tiga orang jagoan Tembok Besar yang melakukan pengejaran. Akan tetapi Cou Seng mengejar sambil terpincang-pincang, maka mereka bertiga tak mampu menandingi ginkang Hun Bwee yang sudah menghilang ditelan bayang-bayang pohon yang gelap.....

Komentar