PEDANG KAYU HARUM : JILID-47
"Apakah engkau yang bernama Sie Biauw Eng?" Tiba-tiba suara Yan Cu yang nyaring membuat Keng Hong dan Biauw Eng sadar.
Gadis ini segera memandang kepada Yan Cu. Sejenak pandang matanya mengeluarkan sinar kilat penuh cemburu sehingga mengejutkan Yan Cu. Akan tetapi dara ini tersenyum ketika melihat Biauw Eng mengangguk dan dia bertanya dengan suara wajar.
"Jadi kalau begitu Enci Biauw Eng dan Cici inikah yang sedang mencari-cari Suheng Cia Keng Hong?"
Kembali Biauw Eng mengangguk, tidak bernafsu untuk berbicara dengan dara jelita yang entah mengapa menyebut Keng Hong sebagai suheng-nya itu.
Wajah Yan Cu berseri gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Susah payah kami berdua mencari Enci Biauw Eng sampai ke mana-mana, sekarang dapat bertemu di sini sungguh amat menggirangkan hatiku."
"Hemmm...!" Biauw Eng mengeluarkan suara, sikapnya makin dingin. "Kami mencari dia ada sebab-sebabnya yang penting. Kalian mencari aku ada apakah?"
Heran, pikir Yan Cu. Gadis yang sungguh pun cantik akan tetapi sikapnya sedingin es dan agaknya sangat galak ini bagaimana bisa menjatuhkan hati Keng Hong? Akan tetapi dia tetap tersenyum dan bertanya,
"Enci Biauw Eng, kami mencarimu hanya untuk bertanya apakah Enci Biauw Eng masih mencinta Suheng Keng Hong?"
"Sumoi...!" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Sungguh sumoi-nya ini terlalu sekali, masa pertanyaan seperti itu diajukan secara kasar dan langsung, seperti orang bertanya tentang hal sehari-hari yang biasa saja!
Juga Biauw Eng kaget bukan main. Pertanyaan itu datangnya begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga seakan merupakan serangan tusukan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Wajahnya yang tadinya pucat itu menjadi merah sekali. Ia balas bertanya dengan suara membentak,
"Bocah lancang mulut! Apa sangkut pautnya denganmu?"
Yan Cu memutar bola matanya, mengerling ke arah Biauw Eng. "Lebih baik aku bicara terang-terangan saja, Enci Biauw Eng. Ketahuilah bahwa subo kami sudah memutuskan bahwa aku dan Suheng harus menjadi suami isteri. Tetapi kami berdua masih tidak dapat mengambil kepastian karena kami tidak tahu apakah kami berdua saling mencinta, apa lagi karena Suheng menyatakan bahwa dia mencintaimu. Karena itu kami berdua sengaja mencarimu untuk bertanya dan jika kalian berdua masih tetap saling mencinta tentu saja Suheng hanya dapat menikah dengan engkau. Sebaliknya, bila engkau tak mencintainya, tentu saja Suheng baru akan bisa mengambil keputusan apakah dia akan dapat menikah denganku atau tidak, sedangkan aku sendiri pun baru akan dapat memutuskan apakah aku mencinta dia atau tidak. Apa bila dia mencinta orang lain, tentu saja aku tidak akan membiarkan hatiku mencintainya. Nah, sekali lagi aku bertanya, sebagai seorang wanita terhadap wanita lain, tanpa bermaksud menghinamu. Apakah Enci mencinta dia, ataukah tidak?"
Mau tidak mau, hati Biauw Eng tersentuh rasa gagum terhadap dara jelita ini. Seorang dara yang jujur, tegas dan tidak berpura-pura sehingga bertanya soal cinta secara begini terbuka. Sifat seperti ini memang cocok sekali dengan sifatnya sendiri, namun sekarang, setelah ia menderita racun cinta yang membuatnya bertahun-tahun merana, berduka dan akhir-akhir ini mengisi perasaannya dengan rasa kebencian, membuat hatinya mengeras dan menjawab ketus,
"Pertanyaanmu itu tidak perlu dijawab lagi karena sekarang, Cia Keng Hong tidak akan menikah siapa pun juga, tidak dengan aku atau tidak pula dengan engkau, melainkan dia harus menjadi suami Suci-ku ini!"
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu?" Yan Cu berteriak heran dan juga penasaran.
Mendengar ucapan Biauw Eng, Keng Hong merasa terkejut dan baru sekarang dia sadar bahwa di samping Biauw Eng ada seorang wanita lain yang memakai pakaian merah. Ia cepat mengalihkan pandang matanya dan memandang Hun Bwee. Ia melihat wajah yang cantik dari gadis ini merah sekali, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan air mata.
"Apa artinya ini?" Keng Hong berkata perlahan, "Nona ini siapakah...?"
"Hemmmm... Cia Keng Hong, apakah engkau benar-benar sudah lupa kepada Suci-ku ini, ataukah memang berpura-pura lupa?" Biauw Eng berkata, suaranya penuh kepahitan dan kemarahan ditekan.
"Biauw Eng, aku... aku merasa pernah melihat Nona ini, akan tetapi entah di mana dan kapan. Siapakah dia?"
"Memang beginilah laki-laki yang berwatak bejat! Menganggap wanita seperti boneka atau bunga yang hanya dinikmati keharumannya, setelah dipermainkan lalu menjadi bosan dan akan dilempar dan dilupakan begitu saja!"
"Biauw Eng...!" Keng Hong mengeluh, memprotes.
Biauw Eng tersenyum, senyum yang menikam uluhati Keng Hong. "Hendak menyangkal? Suci-ku ini adalah Tan Hun Bwee, gadis bernasib malang yang dulu telah kau perkosa kemudian kau tingalkan pergi dan kau lupakan begitu saja! Cia Keng Hong, tak kusangka bahwa engkau sekeji itu. Sekarang kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk! Engkau harus menjadi suaminya yang sah!"
"Aaaaaaahhh... Suheng... betulkah ini...?" Yan Cu memandang Keng Hong dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
Keng Hong memandang Hun Bwee dan teringkatlah dia kini akan gadis baju hijau yang dahulu diperkosa oleh Lian Ci Tojin. "Ahhh, kiranya Tan-sioca..."
Ia memandang penasaran, lalu menoleh kepada Biauw Eng, hendak membantah. Namun melihat betapa sinar mata gadis yang dicintanya itu penuh kebencian serta penyesalan yang ditujukan kepadanya, dia menahan kembali protesnya dan menarik napas panjang, lalu memandang Yan Cu dan berkata,
"Sumoi, aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Kuharap engkau dapat percaya kepadaku..."
"Pengecut!" Biauw Eng langsung membentak marah. "Untuk merayu hati gadis ini, tentu saja kau hendak menutupi segala cacatmu, bersikap seolah-olah engkau adalah seorang laki-laki yang baik. Hemmm..., pemuda mata keranjang berhati palsu!"
Keng Hong memandang Biauw Eng, sinar matanya penuh penyesalan dan suaranya lirih sekali ketika dia berkata, "Aku menerima semua penyesalan dan makianmu, Biauw Eng. Memang aku seorang yang sudah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap dirimu. Aku bersedia kau hukum, aku siap kalau engkau hendak membunuhku, akan tetapi aku tetap mencintaimu, Biauw Eng. Mencintaimu seorang dan tidak mungkin aku mencinta orang lain lagi."
Tiba-tiba terdengar jerit melengking yang mendirikan bulu roma dan Biauw Eng terkejut sekali melihat suci-nya karena dia tahu bahwa tiba-tiba penyakit gila suci-nya kumat lagi! Sepasang mata yang tadi mengucurkan air mata itu kini terbelalak liar, lantas mulutnya membentak,
"Sumoi, tukang perkosa ini bukan orang baik-baik! Sudah kukatakan kepadamu, mengapa melayani dia bicara? Hi-hi-hik, akan kusiksa dia sampai mati! Ha-ha-ha-ha-heh-heh, akan kusayat-sayat alat kelaminnya agar dia tidak mampu mengganggu wanita lagi!"
Tiba-tiba Hun Bwee menubruk Keng Hong dengan cengkeraman pada muka pemuda itu. Keng Hong miringkan tubuh mengelak, namun tangan Hun Bwee sudah mencengkeram lagi ke arah bawah pusar! Keng Hong meloncat mundur, dan sambil terkekeh-kekeh Hun Bwee menerjang lagi, kini mengirim hantaman dengan kedua tangan bertubi-tubi, cepat bukan main dan pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang amat kuat.
Diam-diam Keng Hong terkejut juga. Ternyata kepandaian Nona gila ini amat luar biasa, dan pantas saja kalau menjadi suci Biauw Eng! Padahal seingatnya, puteri Tan-piauwsu ini dulu tidaklah begini hebat kepandaiannya.
Serangan Hun Bwee amat berbahaya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong tidak tega untuk merobohkannya, juga merasa tak enak bila melawannya, maka dia hanya menggerakkan tubuhnya, mengelak dari serangan Hun Bwee yang bertubi-tubi itu.
"Suci, jangan...!" Biauw Eng mencegah Hun Bwee yang makin lama menjadi makin ganas itu.
"Apa?! Engkau membelanya, Sumoi? Kalau begitu engkau benar mencinta Jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini?" Hun Bwee menunda serangannya dan menoleh ke arah Biauw Eng.
Wajah Biauw Eng menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar keras. Dalam detik itu, hatinya sendiri membisikkan pertanyaan yang sama. Adakah dia masih mencinta Keng Hong? Kata-kata Keng Hong yang menyatakan cinta tadi mencengkeram hatinya, meski pun belum sama sekali menghapus rasa bencinya yang timbul karena sakit hatinya akan sikap Keng Hong yang sudah-sudah terhadap dirinya.
"Suci, aku tidak membelanya. Akan tetapi engkau pun tak boleh membunuhnya. Apakah engkau lupa akan perintah subo untuk menangkapnya hidup-hidup?"
Hun Bwee kelihatan seperti orang terkejut dan dia cepat mundur, akan tetapi matanya tetap memandang kepada Keng Hong dengan liar. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan menjadi terharu sekali.
Dia merasa kasihan melihat Hun Bwee yang agaknya kini menjadi gila karena peristiwa perkosaan dahulu itu, akan tetapi dia pun terheran-heran mengapa dalam gilanya itu Hun Bwee kini menjadi begitu lihai! Kalau begitu Biauw Eng tentu telah memperoleh kemajuan hebat pula dalam ilmu silatnya kalau gadis itu kini menjadi sumoi dari gadis gila ini!
Keng Hong kembali memandang Biauw Eng dan kembali mereka saling pandang dengan perasaan hati yang tidak karuan sehingga sinar mata mereka laksana orang bermimpi. Akhirnya Keng Hong berkata lirih,
"Biauw Eng, aku tak pernah merasa bersalah terhadap siapa pun juga di dunia ini kecuali terhadap engkau, karena itu, kalau engkau yang mengambil keputusan mengenai diriku, sedikit pun aku tak akan membantah atau melawan. Aku menyerah, Biauw Eng, aku siap menyerahkan jiwa raga kepadamu sebagai tebusan atas dosaku yang berkali-kali berbuat salah kepada engkau yang sekarang aku yakin adalah satu-satunya wanita yang kucinta sepenuh hatiku..."
"Tak perlu engkau merayuku!" Biauw Eng membentak dengan hati seperti diremas-remas karena ia menganggap betapa kata-kata yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatinya itu tidak lain hanyalah rayuan kosong belaka dari pemuda yang cintanya palsu ini.
"Aku tidak merayu, dan kalau memang engkau menghendaki bukti, sekarang juga engkau boleh membunuhku dan aku takkan menggerakkan sebuah jari pun untuk melawanmu."
Biauw Eng tersenyum dingin mengejek. "Engkau lupa bahwa tubuhku telah dimiliki orang lain..."
Senyuman dan ucapan itu menusuk jantung Keng Hong. Dia merasa betapa dia dahulu sangat kejam dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Dengan suara tergetar dia menjawab, "Aku tidak peduli akan itu, Biauw Eng". Telah lama aku sadar bahwa cinta bukanlah nafsu semata, jauh lebih tinggi dan lebih agung... seperti cintamu terhadap aku..."
"Cukup!" Biauw Eng membentak, namun bentakannya mengandung isak tertahan. "Aku dan Suci mencarimu untuk menangkapmu atas perintah subo kami. Kalau kau melawan pun boleh, kami hendak menggunakan kekerasan!"
Keng Hong menggelengkan kepalanya, wajahnya penuh duka. "Tidak, Biauw Eng. Sudah kukatakan bahwa aku menyerahkan jiwa raga kepadamu. Kalau orang lain yang hendak menangkapku tanpa kesalahan, demi Tuhan, akan kulawan mati-matian. Akan tetapi jika engkau yang hendak menangkapku, nah, silakan aku tak akan melawanmu..."
"Berlutut!" Biauw Eng membentak sambil mengeluarkan sabuk suteranya. "Engkau harus dibelenggu!"
Keng Hong tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut. Biauw Eng melangkah maju.
"Tidak boleh!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat ke depan Keng Hong dan berdiri tegak dengan sikap melindunginya. "Tidak boleh Suheng ditangkap begini saja tanpa kesalahan!"
Biauw Eng memandang Yan Cu dengan mata bersinar marah, akan tetapi Yan Cu tidak takut dan membalas pandangan mata Biauw Eng dengan marah pula. Dua orang dara cantik jelita ini saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata berapi.
Keduanya sama cantik, sama gagah, dan sama marahnya hendak memperebutkan Keng Hong! Bukan memperebutkan cintanya, melainkan memperebutkan orangnya. Yang satu ingin menangkapnya, yang lain ingin membebaskannya.
"Hemmmm... kau mau apa?" Biauw Eng bertanya pendek dan suaranya dingin sekali.
Yan Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak lebar penuh rasa penasaran dan kemarahan. "Sie Biauw Eng, engkau ini wanita apa? Hatimu keras seperti batu, dingin seperti es! Padahal di dalamnya mengandung api cinta yang bernyala-nyala dan panas membara terhadap Suheng! Engkau mencinta Suheng! Mengapa...?"
"Tutup mulutmu yang lancang!!" Biauw Eng membentak marah.
Yan Cu tersenyum lebar. "Hemmmm, Enci Biauw Eng, cinta itu bagaikan matahari di hari cerah! Sinarnya memancar ke mana-mana dan biar pun engkau bersikap dingin kasar dan kejam terhadap Suheng, namun sinar matamu, gerak bibirmu, semua mengandung sinar itu! Entah aku yang buta karena salah lihat ataukah engkau yang buta tidak melihat cintamu sendiri, akan tetapi jelas engkau mencinta Suheng dan Suheng pun mencintamu! Tak perlu lagi engkau menawannya karena hati kalian sudah saling menawan! Tidak perlu lagi engkau membelenggunya karena cinta kalian sudah saling membelenggu!"
"Pergilah!" Biauw Eng membentak lantas tangan kirinya menampar. Gerakannya sangat cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali.
Akan tetapi Yan Cu juga bukan orang lemah. Melihat datangnya tamparan ini, dia segera menggerakkan tangan kanannya menangkis.
"Plakkkk!"
Dua buah lengan yang kecil halus saling bertemu dan akibatnya Biauw Eng terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Yan Cu juga terdorong sampai tiga langkah. Biauw Eng mengerutkan keningnya. Ternyata dara jelita ini memiliki kepandaian yang tidak rendah, pikirnya. Yan Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa kuatnya tamparan Biauw Eng tadi.
"Tidak perlu engkau mencampuri urusanku!" Biauw Eng membentak.
Yan Cu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Bila engkau memaksakan kehendakmu untuk menawan Suheng yang tidak melawan, terpaksa akulah yang akan melawanmu!"
Sinar mata Biauw Eng menyambar tajam. Sabuk suteranya yang sudah berada di tangan itu tergetar, siap untuk dipakai menyerang dara yang cantik jelita itu, akan tetapi mulutnya bertanya,
"Bocah! Engkau mencinta Cia Keng Hong?"
Wajah yang halus putih itu menjadi merah, akan tetapi Yan Cu menggeleng kepalanya. "Setelah aku yakin bahwa dia dan engkau saling mencinta, bagaimana aku akan menjadi begitu bodoh untuk mencintanya? Tidak, aku tidak mencintanya seperti cinta seorang wanita terhadap calon suaminya! Kuhilangkan jauh-jauh nafsu jasmani dalam cinta itu dan berubahlah menjadi cinta saudara! Memang aku mencinta dan suka sekali kepada Cia Keng Hong, akan tetapi cinta dan rasa suka seorang sumoi kepada suheng-nya, seorang adik terhadap kakaknya! Sie Biauw Eng, apakah kau kira seorang sumoi akan diam saja melihat suheng-nya akan ditawan? Adakah seorang adik yang akan membolehkan saja kakaknya ditangkap?" Yan Cu menggerakkan tangan mencabut pedangnya.
Keng Hong meloncat ke depan Yan Cu, memegang lengan gadis itu dan berkata, "Sumoi, jangan...! Jangan kau merusak lagi usahaku untuk menebus dosa terhadap Biauw Eng. Apakah engkau mau membuat aku menjadi lebih sengsara lagi? Jangan, Sumoi. Memang aku sengaja membiarkan dia melakukan apa saja terhadap diriku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku terhadapnya."
Wajah Yan Cu menjadi pucat. Biauw Eng begitu dingin dan galak, dalam kebencian tentu dapat berlaku kejam, sedangkan wanita yang seorang lagi adalah seorang gila.
"Suheng, aku tetap tidak percaya bahwa engkau bersalah terhadap Enci Biauw Eng. Dan aku sama sekali tidak percaya bahwa engkau sudah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap Enci berpakaian merah itu. Mereka tidak boleh mengganggumu, Suheng..."
"Hushhh, engkau adikku, bukan? Adik harus menurut kata-kata kakaknya! Syukur engkau tidak mempercayai hal itu, akan tetapi engkau menurutlah kata-kataku, Sumoi. Kau harus mewakili aku untuk membagi-bagikan benda pusaka ini kepada mereka yang berhak. Berjanjilah engkau akan melakukan tugas berat ini dengan taruhan nyawamu."
Sejenak Yan Cu memandang wajah suheng-nya, lalu menarik napas panjang, menyimpan kembali pedangnya dan mengangguk. Karena anggukan ini, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.
"Baiklah, Suheng."
Keng Hong lalu merogoh saku bajunya, mengeluarkan pusaka-pusaka yang dicurinya dari kamar Cui Im itu satu demi satu sambil menerangkannya kepada Yan Cu.
"Pedang ini adalah pusaka Hoa-san-pai, harap kau sampaikan lebih dahulu kepada ketua Hoa-san-pai karena aku sudah menjanjikannya. Kitab ini adalah kitab milik Go-bi-pai, dan karena tempatnya jauh, biarlah kau kembalikan ke sana paling akhir saja. Ada pun tujuh buah kitab pusaka peninggalan suhu ini harap kau simpan dahulu, boleh juga dititipkan subo. Jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain."
Yan Cu menerima benda-benda pusaka itu sambil mengangguk dan menyimpannya ke dalam baju.
"Dan perhiasan-perhiasan ini..." Keng Hong segera teringat, lalu membalikkan tubuhnya dan menyerahkan sekotak kecil perhiasan itu kepada Hun Bwee sambil berkata, "Nona Tan, perhiasan-perhiasan inilah yang dulu dirampas oleh mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dari tangan ayah bundamu, Tan-piauwsu dan isterinya. Sekarang kukembalikan padamu. Bukankah Nona dahulu mencari suhu untuk mendapatkan kembali perhiasan ini?"
Pada waktu tutup kotak kecil itu dibuka dan pandang mata Hun Bwee bertemu dengan benda-benda terbuat dari emas permata itu, matanya segera terbelalak dan terdengarlah isak tangisnya ketika ia menerima kotak itu. Matanya yang tadi liar kini berubah, ia terharu dan memeluk kotak kecil itu sambil menangis.
"Ayah... ibu..."
Keng Hong terharu. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Nona Tan, saya mengembalikan barang-barang itu disertai permohonan maaf atas perbuatan mendiang suhu terhadap ayah bunda Nona, dan mudah-mudahan dengan mengembalikan ini, semua rasa permusuhan lama dapatlah dihabiskan."
Hun Bwee mengangkat mukanya memandang. Dari kedua matanya bercucuran air mata, akan tetapi ketika dia memandang Keng Hong, terbayanglah pengalamannya yang amat menyakitkan hatinya, betapa ia dalam keadaan pingsan itu diperkosa dan setelah sadar ia melihat pemuda yang dikaguminya itu menyangkal telah melakukan perbuatan itu.
Akan tetapi kembali teringat oleh pikirannya yang kacau bahwa pemuda ini akan dipaksa menjadi suaminya. Tiba-tiba pandang matanya kembali aneh dan liar seperti tadi dan ia tersenyum dengan air mata masih bercucuran!
"Kau... kau memberikan ini sebagai emas kawin...? Ahhhh, terima kasih..." Dengan sikap manja seperti anak kecil mendapat barang mainan, Hun Bwee membuka kotak, berlutut dan mengeluarkan perhiasan-perhiasan itu, terus saja dipakainya.
Sepasang anting-anting batu giok berbentuk kupu-kupu, hiasan rambut berbentuk burung hong terbuat dari mutiara, kalung, gelang, cincin, serta ikat pinggang dari emas ditaburi intan. Semua perhiasan dipakainya, kemudian ia bangkit berdiri, memasang aksi di depan Biauw Eng sambil berkata,
"Lihat, Sumoi. Dengan perhiasan ini sebagai pengantin, bukankah aku kelihatan cantik sekali?"
Semua orang memandang dengan hati terharu sekali. Diam-diam Yan Cu sendiri merasa terharu sekali, dalam hati dia mengutuk orang yang telah memperkosa gadis itu. Dia tidak sangsi lagi bahwa tentulah Hun Bwee mengalami guncangan batin hebat hingga menjadi gila, akan tetapi dia tetap merasa yakin bahwa perbuatan terkutuk itu bukan Keng Hong yang melakukannya.
Keng Hong juga memandang terharu. Diam-diam dia merasa menyesal kenapa dia tidak mendapat kesempatan untuk menyeret Lian Ci Tojin, kemudian memaksanya mengakui perbuatannya yang terkutuk atas diri gadis bernasib malang ini. Dia hanya memandang dengan kening berkerut.
Di dalam hati kecilnya, Biauw Eng juga masih belum percaya kalau Keng Hong yang melakukan perkosaan itu. Semenjak bertemu pemuda ini dan hatinya tertarik sekaligus jatuh cinta, dia merasa yakin bahwa murid ayahnya ini adalah seorang yang tidak mau melakukan perbuatan keji. Kalau toh akhirnya ia melihat pemuda ini selalu melayani cinta setiap orang wanita yang tergila-gila kepadanya, hal ini masih tidak dapat disamakan lagi dengan perbuatan memperkosa yang merupakan perbuatan jahat dan keji terkutuk.
Perbuatan Keng Hong yang menyambut uluran cinta para wanita, baginya adalah hanya menandakan kelemahan hati dan watak romantis yang sudah menjadi watak mendiang ayahnya pula. Hal itu memang menyakitkan hatinya, namun ia telah memaafkannya asal saja Keng Hong mencintanya dengan cinta kasih murni, tidak dengan cinta birahi seperti terhadap wanita-wanita itu!
Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Keng Hong membuktikan cintanya itu tidak murni, bahkan menghadapinya dengan kemarahan dan kebencian ketika mendengar bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Sim Lai Sek, padahal pernyataan itu hanya sebagai ujian belaka. Biauw Eng merasa sakit hati sekali.
Kini ditambah pengakuan Hun Bwee bahwa dia sudah diperkosa Keng Hong. Kalau hal ini benar, tentu saja dia tidak akan dapat mengampuni Keng Hong dan akan memaksanya mengawini Hun Bwee atau... membunuhnya dengan tangannya sendiri!
"Sudahlah, Suci. Marilah kita pulang dan membawa tawanan ini!" Kemudian dia menoleh kepada Keng Hong. "Berlututlah!"
Dengan hati sakit seperti disayat-sayat Yan Cu melihat betapa suheng-nya itu berlutut di depan Biauw Eng sambil memandang nona itu dengan tersenyum dan pandang matanya penuh kasih sayang! Biauw Eng juga melihat pandang mata ini, namun dia mendengus, membuang muka dan menggunakan sabuk suteranya mengikat kedua lengan Keng Hong di belakang tubuhnya.
"Mari kita berangkat, Suci!" Kemudian kepada Keng Hong yang dibelenggu kedua tangan dengan ujung sabuk dipegang Biauw Eng, gadis ini menghardik, "Hayo jalan!"
Yan Cu berdiri dengan muka pucat, melihat suheng-nya yang gagah perkasa itu berjalan dengan kedua tangan terbelenggu, bagaikan seekor kerbau dituntun. Gadis ini mengepal tangannya, menekan hatinya yang hendak memaksa dia menerjang maju menyerang dua orang gadis itu dan membebaskan suheng-nya.
"Suheng...!" Ia terisak dan hendak mengejar maju.
Keng Hong menoleh dan tersenyum kepadanya, "Sumoi, engkau pergilah dan penuhilah permintaanku tadi. Pergilah dan selamat berpisah. Percayalah bahwa biar sampai mati sekali pun, kalau mati di tangan Biauw Eng, aku rela dan tidak akan merasa penasaran. Selamat tinggal, Sumoi, semoga kelak dalam cintamu engkau lebih berbahagia dari pada aku!"
Yan Cu menutupi mulutnya untuk menahan isak tangis, sejenak memandang Keng Hong dengan air mata berlinang, kemudian memandang Biauw Eng dengan marah, akhirnya dia meloncat pergi dari tempat itu sambil menangis.
Keng Hong menoleh dan memandang ke arah berkelebatnya bayangan Yan Cu, namun tiba-tiba saja terdengar suara bergeletar.
"Tar-tar!" dan ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng sudah menampar pipinya dibarengi bentakan gadis itu. "Berangkat!"
Keng Hong merasa pipinya pedas, akan tetapi dia malah tersenyum. Kelirukah kalau dia menduga bahwa tamparan ini tadi timbul dari rasa cemburu? Ia masih merasa yakin akan kemurnian cinta kasih Biauw Eng dan percaya bahwa akan tiba saatnya gadis ini akan dapat memaafkannya.
Memang jika disuruh memilih, dia akan lebih suka memilih mati di tangan Biauw Eng dari pada hidup menjadi musuh gadis yang dicintanya ini. Sekarang makin jelaslah dia bahwa di dalam sanubarinya, sesungguhnya hanya kepada Biauw Eng seoranglah dia mencinta dengan seluruh jiwa raganya! Hanya kepada Biauw Eng-lah ada rasa hormat dan cinta murni dalam hatinya, tidak ingin mempermainkan, dan rasa cinta ini jauh lebih tinggi dan murni dari pada rasa nafsu birahi yang ditimbulkan pada waktu dia menghadapi rayuan gadis-gadis cantik seperti Cui Im, mendiang Sim Ciang Bi, dan kedua orang murid wanita Kong-thong-pai!
"Sumoi, jangan siksa calon suamiku!" tiba-tiba Hun Bwee berkata.
Keng Hong tersenyum pahit. Dia tidak tahu nasib apa yang akan dia alami. Persoalannya menjadi ruwet. Hun Bwee yang kini sudah menjadi gila itu merasa yakin bahwa dia yang memperkosanya. Agaknya Biauw Eng percaya akan hal ini, maka hendak memaksanya mengawini Hun Bwee!
Jalan satu-satunya hanyalah meyakinkan Hun Bwee bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu bukan dia melainkan Lian Ci Tojin, akan tetapi untuk meyakinkan hati gadis itu tidaklah mudah. Terutama harus dapat menangkap Lian Ci Tojin. Akan tetapi kalau dia membebaskan diri untuk mencari tosu itu, tentu Biauw Eng akan merasa makin sakit hati! Biarlah, dia menyerahkan diri ke tangan Biauw Eng, hanya tentu saja dia akan menolak mati-matian kalau hendak dinikahkan dengan Hun Bwee.
Maka berangkatlah rombongan yang aneh ini menuju ke tempat tinggal Go-bi Thai-houw, melakukan perjalanan yang sangat jauh. Di sepanjang jalan, Biauw Eng bersikap dingin, sukar dijajaki hatinya karena air mukanya tidak membayangkan sesuatu. Keng Hong tetap tenang-tenang saja dan Hun Bwee kadang-kadang memperlihatkan sikap membenci dan marah-marah kepada Keng Hong, akan tetapi kadang-kadang mesra sekali…..
********************
“Suheng... ahhh, Suheng...!"
Yan Cu jalan sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua pipinya. Semenjak kecil gadis ini sudah ikut dengan subo-nya belajar ilmu, belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suheng-nya itu, menganggapnya seperti kakaknya sendiri.
Gadis yang memiliki watak periang dan jenaka ini sama sekali tidak merasa cemburu atau iri hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya. Dia akan merasa girang sekali andai kata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng Hong.
Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut saja! Maka ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada suheng-nya. Dia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya dengan rela kepada mereka berdua!
Makin diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri tidak mau di tolong.
Setelah berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali kepada subo-nya? Selain akan mendapat marah, juga tentu saja dia tidak akan betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan merantau bersama Keng Hong.
Melaksanakan tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara sia-sia?
Yan Cu berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama ia ikut dengan gurunya semenjak kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya.
Hidup ini merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan merantau bersama suheng-nya ia mulai menikmati kesenangan. Oleh karena itu sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena kehilangan!
Memang senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati sang manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka, karena kalau sesuatu yang amat disayang atau disuka itu hilang, maka akan timbullah rasa sedih. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apa bila hilang pun tidak akan menimbulkan kesedihan yang besar.
Kalau saja Yan Cu tidak suka kepada Keng Hong, tentulah perpisahan itu tidak akan menyusahkan hatinya, bahkan menyenangkan! Akan tetapi dia suka sekali kepada Keng Hong, suka kagum dan kasihan. Perasaannya terhadap Keng Hong itu akan mudah saja berubah menjadi cinta kasih.
Tubuh Yan Cu yang lelah dan lapar, tidak kuat menahan tekanan kesusahan itu. Setelah puas menangisi Keng Hong, Yan Cu tertidur pulas di bawah pohon itu! Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki hutan sambil menangis, ada sepasang mata yang memandangnya dengan penuh heran dan kasihan, dan tidak tahu pula betapa pemilik mata itu seperti orang terkena pesona, seperti disihir membayanginya, dan ketika dia menangis di bawah pohon, orang itu mendekam di balik semak-semak, memandang melongo dengan dada penuh sesak ikut berduka dan ingin menangis pula!
Yan Cu tidak tahu pula betapa setelah dia tidur, ada tiga belas pasang mata orang yang memandangnya dari balik pohon-pohon, mata yang liar memandangnya penuh gairah dan diikuti mulut-mulut yang menyeringai seperti mulut anjing kelaparan melihat daging.
Ketiga belas pasang mata itu merupakan milik tiga belas orang perampok yang memang bersarang di hutan itu. Ketika mereka melihat seorang gadis demikian cantiknya tertidur pulas di bawah pohon, tentu saja perampok ini menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang sekali.
Mereka adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda yang cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Telah gatal-gatal tangan mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu, dan mereka bagaikan sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekor tikus.
Akan tetapi, gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka, yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat, tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri!
Bila sudah terjadi begini, maka terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijadikan pesta-pora sampai mati seperti yang sering kali terjadi!
Sambil menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat sembunyi, berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang amat lucu dan menyenangkan hati. Memang, jantung orang-orang kasar ini sudah berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti seekor harimau yang menubruk seekor domba.
Selain dua belas pasang mata anak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang. Sepasang mata ini mengeluarkan sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apa bila dara itu terancam bahaya.
Yan Cu yang sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang, bahkan kadang terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang menawannya, kemudian dia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulurkan tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suheng-nya itu menyentuh jari tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suheng-nya yang minta tolong itu, dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan, "Suheng Cia Keng Hong...!"
Yan Cu tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!
"Ihhh! Siapa engkau...?!" Bentaknya dan sekali renggut saja dia sudah dapat melepaskan tangannya sambil melompat berdiri.
Kepala perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Sekarang ia terbelalak kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa orang wanita yang menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!
"Ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha-ha-ha!"
Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi dia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau..."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala perampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.
Yan Cu memandang sekeliling dan dia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.
"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."
"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah menggangguku? Aku tidak mempunyai barang berharga."
Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhmu merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... apa bila engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang..."
"Apa...?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagian kecil karena jengah dan sebagian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Ehhh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini giliran si kepala perampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"
Hati Yan Cu sedang berduka, dia kehilangan kegembiraan. Andai kata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang dia menarik napas panjang, dan berkata jengkel, ""Kepala perampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekat dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"
Yan Cu memang terlalu cantik dan sikapnya terlalu halus sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, kedengarannya lebih lucu dari pada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun bahkan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini.
Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul akibat kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang sudah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya dia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegah mereka menawan Keng Hong.
Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan dapat ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.
"Krakkk!"
"Wadouhhhhhh... aaahhhhh...!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangannya menekan-nekan dadanya sambil berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!
Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan seperti segerombolan anjing serigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.
Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu semakin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tidak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu sudah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!
Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya sambil matanya mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan.
Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas sekali. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.
Dia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan begitu teringat kepada Keng Hong tak terasa ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong di situ, kiranya dia tak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, biar pun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.
"Keng Hong suheng...! Mengapa engkau mau saja ditawan...? Suheng... Keng Hong... mengapa engkau begitu lemah...?"
Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam satu gebrakan saja mampu merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali telah membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia semakin tertarik, maka kini diam-diam dia pun membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis.
Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, pada waktu menyebut nama suheng-nya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.
Yan Cu sedang berduka, akan tetapi pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang, melihat sesosok bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang memiliki kepandaian tinggi.
Akan tetapi kali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.
Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Sesudah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong Hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng dari tangan Keng Hong, pemuda ini segera membawa dua buah kitab itu kepada suhu-nya.
Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio.
Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu sudah menerjang maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!
"Ehhh... jangan serang, Nona...!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.
Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu semakin marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!"
Lalu dia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!
Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawan keras, khawatir melukai lengan berkulit halus itu, tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget sehingga cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak...!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.
Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa dia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat dia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi dia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,
"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, jahat dan keji, tidak sopan, tukang merampok dan memperkosa..."
"Wah, wah, wah... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat...!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.
Yan Cu tertawa mengejek.
Serrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras.....!
Komentar