PEDANG KAYU HARUM : JILID-44


Harus dia akui bahwa kalau tidak ada guru dan murid itu, dia tentu sudah mati di tangan Ang-bin Kwi-bo! Dia berhutang budi, malah berhutang nyawa! Hutang benda seperti yang dilakukan gurunya, dapat dibayar, pusaka-pusaka yang ‘dihutang’ gurunya dapat dia cari kembali dan dia kembalikan. Akan tetapi hutang budi? Hanya dapat dibalas dengan budi pula. Kalau dia menolak, berarti dia akan menjadi orang yang paling tidak mengenal budi di dunia ini!

Dia masih jejaka, belum menikah belum bertunangan. Alasan apa yang dapat dia pakai untuk menolak? Yang mengatur perjodohan adalah isteri gurunya sendiri, berarti berhak untuk mewakili gurunya yang sudah tidak ada. Ada pun jodoh yang demikian cantik jelita, berkepandaian tinggi, berbudi mulia, gadis yang telah menjaga dan merawatnya selama tiga hari tiga malam tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Dari sikap itu saja dia sudah bisa menduga bahwa gadis itu tentu suka kepadanya! Bagaimana dia dapat menolak? Keng Hong menjadi pening kepalanya dan dia duduk sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.

"Suheng...!" Halus merdu sekali suara itu, akan tetapi mendengar itu, kepala Keng Hong menjadi makin pening. Ia mengangkat muka memandang dan matanya terbelalak.

Gadis itu sudah mandi, sudah menyisir rambut dengan rapi, sudah bertukar pakaian yang bersih dan indah, pakaian berwarna serba kuning. Rambutnya yang hitam dan gemuk dikelabang dua, diikat dengan pita sutera kuning pula. Segar dan cantik mempesonakan. Akan tetapi, melihat kecantikan gadis ini, kepalanya berdenyut-denyut rasanya sehingga dia memejamkan mata dan menekankan kedua tangannya keras-keras dari kanan kiri.

"Suheng... apakah kepalamu masih terasa pening...?"

Keng Hong mencium bau yang amat sedap harum. Perlahan-lahan ia membuka matanya dan cepat memejamkannya kembali karena melihat sepasang mata bagaikan dua buah bintang cemerlang menatapnya lekat-lekat di depan mukanya. Ia menggeleng kepalanya dan dengan kedua mata masih terpejam dia bertanya,

"Sumoi, di mana Subo?" Dia heran sendiri mendengar suaranya mendadak menjadi parau dan gemetar, seperti suara orang terserang penyakit demam, suara orang gelisah yang bingung dan kehabisan akal!

"Subo sudah pergi lagi, katanya hendak mencari akar jin-som di puncak paling ujung. Paling cepat lima hari lagi akan kembali. Mengapa. Suheng? Mukamu pucat sekali. Subo sudah bilang, bahwa engkau boleh turun setelah beristirahar sepuluh hari. Baru tiga hari engkau turun. Lebih baik berbaringlah dan mengasolah sampai sembuh, Suheng. Hari ini engkau sudah boleh makan masakan daging. Kutangkapkan kelinci untukmu, ya? Atau engkau lebih senang daging ayam hutan? Ataukah kijang? Aku akan masak yang enak untukmu..."

Keng Hong merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia memaksa diri membuka mata, memandang sumoi-nya itu dengan tajam, lalu bertanya,

"Sumoi, apakah engkau... engkau... tadi mendengar...?"

Gadis itu memandangnya, matanya kini terbuka agak lebar. Mati aku, pikir Keng Hong. Sepasang mata itu luar biasa indahnya! Akan tetapi menikah dengannya? Ahhh, bagai mana mungkin? Biauw Eng...!

"Mendengar apa, Suheng?"

Keng Hong mengerutkan keningnya. Kalau gadis berpura-pura tidak tahu berarti gadis ini memiliki watak yang suka mempermainkan! Akan tetapi kedua mata itu memandangnya begitu jujur, sewajarnya dan tidak menyembunyikan sesuatu apa pun, jelas memang tidak mengerti.

"Itu... tuhhh... tentang... ehh, tentang perjodohan..."

Mendadak gadis itu menundukkan mukanya. Sesudah menunduk, nampak sekali betapa lentik panjang bulu matanya, betapa mancung hidungnya dan betapa runcing dagunya. Bukan main! Keng Hong tidak percaya di dunia ini ada yang lebih manis dari pada wajah di depannya ini!

Gadis ini mengangguk, kemudian terdengar suaranya yang keluar dari bibir yang merah basah tanpa gincu, lebih merah sedikit dari sepasang pipinya yang tiba-tiba menjadi amat merah.

"Aku sudah tahu... bahkan Subo sudah memberi tahu tiga hari sebelumnya, setelah Subo berhasil menusukkan Siang-bhok-kiam itu..."

Keng Hong tertegun. "Kalau begitu... ketika engkau menjaga dan merawatku selama tiga hari tiga malam... ehh… engkau sudah tahu akan perjodohan itu?"

Gadis itu mengangguk dan mengerling sambil tersenyum manis, bukan sikap memikat melainkan agaknya merasa geli dan hendak menggoda. Keng Hong merasa betapa hawa pagi di dalam kamar itu tiba-tiba menjadi panas. Ahh, dia harus bicara dari hati ke hati dengan gadis ini. Kalau dia tidak berani nekat sekarang, nanti akan terlambat dan dia tak akan dapat menghindarkan diri lagi dari ikatan jodoh ini. Dia harus dapat menyelesaikan urusan ini sebelum isteri gurunya itu pulang!

"Sumoi, mari kau ikut bersamaku...!"

"Ehh... ehhh... mau ke mana...?" Yan Cu berkata heran ketika pemuda itu menggandeng tangannya dan menganjaknya lari keluar dari dalam pondok.

Keng Hong tidak menjawab melainkan terus menarik tangan gadis itu. Setelah tiba di luar dia berkata, "Kemana saja, asal jangan di dalam pondok. Aku... aku membutuhkan udara segar, dan aku ingin bicara kepadamu, Sumoi. Bicara dari hati ke hati, bicara sejujurnya demi kebaikan kita bersama, demi masa depan penghidupan kita!"

Gadis itu memandang dengan sinar mata heran, akan tetapi ia mengangguk dan berkata. "Marilah. Di puncak sana itu amat indah pemandangannya dan sejuk hawanya. Aku paling suka duduk melamun sendirian di sana!"

Mereka lalu berlari-lari ke puncak yang tadi ditunjuk gadis itu. Keng Hong sengaja hendak menguji ginkang gadis itu, maka dia pun berlari cepat sekali.

"Wah, larimu cepat bukan main, Suheng!" teriak gadis itu.

Akan tetapi Keng Hong mendapat kenyataan bahwa gadis itu mempunyai ginkang yang hebat juga. Setelah mengetahui hal ini, pemuda ini pun tidak mau mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengimbangi kecepatan gadis itu sampai mereka tiba di puncak.

Keng Hong memandang sekeliling dan dia menjadi kagum. Memang indah bukan main pemandangan dari puncak itu. Di sebelah timur tampak menjulang puncak Pegunungan Phu-niu-san, ada pun di sebelah barat menjulang tinggi puncak Pegunungan Cin-ling-san. Di sebelah bawah tampak jurang-jurang yang curam dan anak sungai yang berlika-liku seperti ular naga. Hawanya pun nyaman sekali. Berdiam di tempat seperti inilah yang membuat manusia merasa kecil, dan merasa lebih dekat dengan alam yang maha besar, merasa bahwa dirinya tidak berarti, hanya menjadi sebagian kecil saja dari alam ini.

Mereka lalu duduk di atas rumput yang hijau tebal laksana permadani. Sejenak mereka berpandangan dan gadis itu bertanya,

"Suheng, pandang matamu aneh. Engkau kau hendak bicara apakah?"

"Sumoi, pertama-tama, siapakah namamu?"

Gadis itu membelalakkan matanya kemudian tertawa geli, menutupi mulut dengan lengan bajunya. Hemmm, bukan main manisnya kalau begini, pikir Keng Hong kagum. Ia dapat mengerti kegelian hati gadis itu. Seorang suheng yang tidak tahu nama sumoi-nya! Atau lebih lagi, seorang calon suami yang tidak tahu nama isterinya! Mana ada keduanya di dunia ini?

"Aihhh, kukira Suheng sudah tahu. Jadi belum tahukah?"

Keng Hong tersenyum. Sikap gadis itu sekarang lebih terbuka, lincah dan tidak malu-malu sesudah mereka berdua berada di tempat sunyi yang amat indah itu. Sikap ini menular kepadanya dan dia pun menjadi gembira. "Kalau aku sudah tahu, masa aku bertanya lagi, Sumoi?"

Gadis itu bangkit berdiri dan menjura sambil bersoja, sikapnya lucu dan manis. "Kalau begitu, perkenalkanlah, nama saya Gui Yan Cu!"

"Saya Cia Keng Hong!" Keng Hong juga sudah bangkit berdiri dan cepat-cepat membalas penghormatan sumoi-nya seolah-olah mereka merupakan dua orang yang baru bertemu dan baru berkenalan.

Keduanya saling pandang lalu tertawa bergelak. Kini Yan Cu bahkan tertawa gembira tanpa malu-malu menutupi mulutnya seperti tadi sehingga Keng Hong terpesona melihat deretan gigi yang putih seperti mutiara dan sekilas pandang dapat melihat rongga mulut dan ujung lidah yang merah.

"Yan Cu sumoi, marilah kita duduk dan bicara. Aku tidak main-main lagi, aku ingin bicara denganmu mengenai diri kita dan kuharap kau suka bicara sejujurnya seperti aku, karena ini demi kebahagiaan masa depan kita sendiri."

Ternyata Yan Cu adalah seorang gadis yang selain lincah dan jujur, juga dapat diajak berunding, karena gadis itu sudah cepat menghapus kegembiraannya dan duduk sambil memandang Keng Hong penuh perhatian. Melihat sikap gadis ini, kedua matanya yang bening, sepasang bibirnya yang merah merekah, rambutnya yang melambai tertiup angin gunung, diam-diam Keng Hong membayangkan betapa akan bahagia hidupnya menjadi jodoh gadis seperti ini kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng!

"Sumoi, engkau tentu sudah tahu bukan bahwa Subo telah menetapkan agar kita menjadi pasangan, menjadi calon suami isteri?"

Gadis itu mengangguk dan kembali sepasang pipinya menjadi merah. Akan tetapi karena maklum bahwa suheng-nya berbicara dengan sungguh-sungguh, dia berani menentang pandang mata suheng-nya, bahkan kini pandang matanya sendiri penuh selidik.

"Bagaimana tanggapanmu mengenai urusan itu, Sumoi? Bagaimana perasaanmu ketika Subo menyatakan urusan penjodohan itu kepadamu?"

"Hemmm, apa maksudmu, Suheng? Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana!"

"Jawab saja, apakah engkau girang mendengar itu? Ataukah engkau terpaksa menerima akan tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak suka?"

Gadis itu kelihatan canggung, akan tetapi dia memaksa mulutnya menjawab. "Aku girang dan suka mendengar itu Suheng."

"Sumoi, katakanlah terus terang, apakah engkau... suka padaku? Kenapa engkau merasa girang dan suka mendengar bahwa engkau hendak dijodohkan denganku?"

Wajah yang manis itu menjadi merah sekali. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan dia menyumpahi dirinya sendiri yang dia tahu amat kejam mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang gadis, malah tunangannya sendiri! Akan tetapi dia harus melakukan hal ini, agar urusan yang ruwet itu dapat beres.

"Aku... aku suka padamu, Suheng. Mengapa tidak? Engkau seorang pemuda yang gagah perkasa, yang... eh, amat tampan dan yang baik budi, bahkan engkau murid suami Subo yang terkenal. Apakah engkau tidak suka kepadaku, Suheng?" Kini sepasang mata yang bening dan membayangkan hati yang bersih itu seolah-olah hendak menembus jantung Keng Hong.

Mampus kau sekarang, demikian Keng Hong memaki diri sendiri. Senjata makan tuan! Dia dibalas oleh gadis itu dengan ucapan sederhana, dengan pertanyaan langsung yang menancap di ulu hatinya.

"Aku... aku... Ah, nanti dulu, Sumoi. Sekarang engkau dulu menjawab pertanyaanku, nanti aku yang mendapat giliran menjawab semua pertanyaanmu."

Yan Cu memandang aneh, lalu menghela napas.

"Engkau aneh, Suheng. Akan tetapi baiklah, kau mau bertanya apa lagi?"

"Pada saat engkau merawatku selama tiga hari tiga malam, apakah hal itu kau lakukan karena... engkau memang kasihan kepadaku, apakah karena suka, ataukah karena kau merasa hal itu menjadi kewajibanmu sebagai… ehh, calon isteri?"

Keng Hong menanti jawaban dari gadis itu dengan hati berdebar tanpa berani memandang wajah Yan Cu. Sampai lama gadis itu tidak menjawab, dan selama itu Keng Hong tidak berani memandang wajahnya. Kemudian terdengar suaranya yang halus namun penuh keheranan,

"Aku tidak mengerti mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh seperti ini, Suheng. Aku merawatmu karena merasa hal itu sudah semestinya, sudah kewajibanku, bukan hanya karena aku menjadi calon isterimu, akan tetapi karena aku kasihan padamu juga suka kepadamu, apa lagi engkau adalah suheng-ku."

Keng Hong menggaruk-garuk kepalanya. Dasar engkau sendiri yang tolol, makinya pada diri sendiri, ingin menjenguk hati gadis yang murni! Mengapa tidak terus terang saja?

“Mengapa tidak terus terang saja, Suheng?"

"Hahhh…?!" Keng Hong terkejut karena pertanyaan yang diajukan Yan Cu begitu tepat dengan suara hatinya sendiri! Siapakah yang bertanya barusan? Benarkah suara Yan Cu, ataukah suaranya sendiri? Dia menjadi bingung sendiri dan memandang kepada Yan Cu dengan mata kosong.

Gadis itu tersenyum geli. "Suheng, jangan-jangan sebagian dari racun Ban-tok Sin-ciang ada yang naik memasuki kepalamu…"

Keng Hong memegangi kepalanya. "Wah... kau menghina...," akan tetapi dia tertawa dan gadis itu pun tertawa geli. Suasana yang tegang membingungkan tadi membuyar.

"Kau terlalu, Sumoi. Apakah kau anggap aku sudah menjadi gila...?"

"Habis, pertanyaan-pertanyaanmu aneh-aneh saja, sih. Bila mana ada sesuatu di hatimu, katakanlah terus terang, Suheng. Bukankah kau tadi mengajak aku untuk bicara dari hati ke hati? Aku tahu bahwa engkau masih terkejut karena keputusan Subo yang tiba-tiba menjodohkan kita. Apakah kau hendak berbicara tentang ini? Ataukah tidak setuju dan terpaksa menerima karena takut kepada Subo?"

Nah, rasakan sekarang! Keng Hong menundukkan mukanya seperti seorang pesakitan mendengarkan tuduhan-tuduhan hakim. Akhirnya dia memberanikan hatinya, mengangkat muka memandang wajah yang jelita itu dan berkata, "Terus terang saja, Sumoi. Memang hal itulah yang membuat hatiku bingung bukan main. Karena berhutang budi kepada Subo yang telah menyelamatkan nyawaku, pula karena mengingat bahwa Subo adalah isteri Suhu yang tentu saja berhak mewakili Suhu, bagaimana aku berani membantahnya?"

"Jadi engkau tidak setuju dan engkau tidak suka kepadaku, Suheng?"

"Wah-wah-wah, nanti dulu, Sumoi. Disaksikan oleh langit dan bumi yang dapat kita lihat sekarang ini, sama sekali tidak demikian. Aku suka sekali kepadamu, Sumoi, dan untuk ke dua kalinya aku bersumpah bahwa belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis secantik, sepandai dan semulia engkau. Aku suka kepadamu, akan tetapi bukan hanya karena suka orang kemudian bisa menjadi suami isteri. Ehh, apakah engkau cin... cinta kepadaku, Sumoi?"

Keng Hong ingin menampar mulutnya sendiri untuk keluarnya pertanyaan ini. Akan tetapi karena sudah terlanjur, maka dia hanya dapat memandang muka gadis itu yang kini mengerutkan kening dan bibirnya diruncingkan, agaknya berpikir keras!

Keng Hong menanti jawaban yang memutuskan ini. Kalau sumoi-nya ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya, berati dia kalah dan harus bertekuk lutut tanpa syarat lagi! Karena bila sumoi-nya ini mencintanya, tentu dia tak akan tega untuk menghancurkan hati dan hidupnya, dan dia akan menyerahkan diri, pasrah bongkokan membiarkan hidungnya diikat dan dituntun seperti kerbau ke meja sembahyang pernikahan! Diam-diam hatinya berdoa agar gadis itu menjawab sebaliknya!

Sampai lama Yan Cu tidak menjawab, melainkan hanya mengerutkan alis dan matanya memandang jauh ke puncak Pegunungan Cin-ling-san yang tertutup awan. Tiba-tiba dia menoleh, sinar matanya seperti dua cahaya menembus dahi Keng Hong dan bertanya,

"Cia-suheng! Apakah engkau mencinta gadis lain?"

Keng Hong tersentak kaget dan matanya terbelalak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka seperti datangnya ujung pedang yang langsung menusuk ulu hati. Ia tergagap dan menjawab seperti orang dikejar harimau atau seperti maling konangan,

"Ehh... wah... ini... ehh, itu... wah bagaimana ya? Ya begitulah, Sumoi. Begitulah..."

"Begitu-begitu bagaimana, Suheng? Kenapa tidak terus terang saja? Apakah ini namanya bicara dari hati ke hati?"

Keng Hong mengangguk-angguk dan menelan ludahnya, baru dia bisa bicara. "Memang benarlah, Sumoi. Aku telah jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Maafkan Sumoi. Aku telah berterus terang, sekarang kuminta Sumoi suka berterus terang pula. Apakah Sumoi cinta padaku?"

Wajah gadis itu berubah agak pucat, sampai lama ia menatap wajah tampan di depannya itu, lalu bertanya, "Dan gadis itu, apakah dia juga mencintamu?"

Keng Hong menggeleng kepala. Sejenak terjadi perang di hatinya. Dulu memang Biauw Eng mencintanya, bahkan mengaku cinta di depan ibunya sendiri, di depan banyak tokoh, secara terang-terangan.

Akan tetapi dalam pertemuan terakhir Biauw Eng sudah menyatakan benci kepadanya! Apakah bedanya antara cinta dan benci? Sulit membedakan kalau dia teringat akan sikap Biauw Eng.

"Tidak, dia malah... membenciku, Sumoi!"

Gadis itu menunduk, agaknya menahan senyum karena kembali dia merasa geli hatinya melihat sikap dan mendengar jawaban Keng Hong. Dia merendahkan kepalanya untuk mengintai muka yang tunduk itu, keningnya berkerut kemudian dia tertawa.

"Kenapa kau tertawa, Sumoi? Kau malah menertawakan aku yang dibenci padahal aku mencinta, sedangkan dahulu aku yang benci dia dan dia mencintaku dan..."

Tiba-tiba saja Keng Hong sendiri tak dapat menahan ketawanya melihat betapa gadis itu terbatuk-batuk menahan ketawa dan keduanya lalu tertawa-tawa sambil memegangi perut karena geli!

"Wah, kalau begini terus kita berdua bisa gila, Suheng!" Gadis itu menahan ketawa sambil mengusap air matanya. Saking geli hatinya ia tadi tertawa sampai keluar air mata.

Keng Hong juga mengusap dua butir air mata yang dia tidak tahu lagi apakah karena tertawa ataukah karena hatinya sakit mengingat Biauw Eng. "Baiklah, Sumoi. Memang sebagai manusia-manusia sadar kita berdua mestinya membicarakan urusan perjodohan kita ini sebelum terlanjur. Percayalah, Sumoi. Andai kata di sana tidak ada gadis itu yang aku tidak tahu entah cinta entah benci kepadaku, demi Tuhan, ajakan perjodohan ini akan kusambut dengan kebahagiaan besar sekali. Oleh karena itu, agar urusan ini dapat kita pecahkan bersama dengan kesadaran sehingga yang kita lakukan adalah hal yang sudah kita ketahui jelas dan tidak secara membuta, katakanlah sesungguhnya apakah engkau cinta kepadaku!"

"Aku mengerti maksudmu, Suheng, dan hal ini malah menambah kekagumanku padamu. Engkau laki-laki yang jujur dan memang sebaiknya berterang begini, apa lagi menghadapi urusan perjodohan yang akan mengikat kita satu sama lain untuk selama hidup. Tentang cinta, terus terang saja aku sendiri tidak tahu dan tidak mengerti. Aku suka kepadamu, Suheng, dan kiranya kalau dipaksa harus memilih di antara seribu orang pemuda untuk menjadi jodohku, tanpa ragu-ragu lagi aku akan memilihmu. Akan tetapi tentang cinta...? Hemmm, Suheng, mungkin engkau yang sudah lebih berpengalaman dari pada aku dapat menjelaskan, apakah sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana? Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu apakah aku cinta kepadamu atau tidak? Coba kau jelaskan padaku, Suheng. Apa sih cinta itu?"

Keng Hong mengerutkan alisnya. Berabe, pikirnya. Itu bukan jawaban namanya! Dan dia malah harus memberi kuliah tentang cinta, sedangkan dia sendiri mengenai urusan cinta kasih masih kelas nol! Urusan cintanya dengan Biauw Eng saja kacau-balau tidak karuan. Akan tetapi, dia harus menjawab! Maka dia kemudian mengurut-urut dahinya seperti aksi seorang guru besar hendak memberi kuliah,

"Cinta? Apa itu yang dinamakan cinta? Hemmm... cinta itu asmara... cinta itu kasih, cinta itu sayang... hemmm, cinta itu ya cinta, aku sendiri pun tidak mengerti!" Dia memandang wajah Yan Cu yang semenjak tadi mendengarkan penuh perhatian seolah-olah pandang matanya tergantung pada bibir Keng Hong.

Ketika mendengar kalimat terakhir ini, Yan Cu terkekeh dan mencubit lengan Keng Hong dengan gemasnya, sampai Keng Hong teraduh-aduh kesakitan.

"Engkau mempermainkan aku, Suheng!" kata Yan Cu gemas.

"Wah, lihat kulit lenganku sampai biru. Kau memiliki kuku yang lebih jahat dari pada kuku Ang-bin Kwi-bo!"

Mereka berdua kembali tertawa-tawa geli.

"Aihhh, kiranya orang yang hendak kumintai kuliah mengenai cinta juga menghijau, tidak lebih pintar dan tidak lebih bodoh dari aku sendiri. Suheng, apakah pernikahan itu harus disertai cinta?"

Kembali Keng Hong memasang muka sungguh-sungguh. "Harus! Mutlak! Syarat utama!"

"Tapi engkau tidak tahu apa itu cinta!"

"Cinta sukar dimengerti, hanya dapat dirasakan oleh hati," Keng Hong membantah.

Yan Cu bangkit berdiri dan berjalan maju lima langkah. Pakaiannya yang berwarna kuning terbuat dari sutera halus itu berkibar tertiup angin, juga rambutnya berkibar. Indah sekali pemandangan ini. Cantik jelita luar biasa gadis ini! Keng Hong benar-benar kagum dan kembali dia menghela napas. Kalau saja di sana tidak ada Biauw Eng…

Kemudian dia mendengar dara jelita itu bernyanyi, suaranya merdu sekali dan kata-kata dalam nyanyian itu membuat Keng Hong bengong terlongo:

Cinta kasih asmara
begitu indah mempesona
begitu rumit berbahaya
manis mengatakan madu
pahit mengatakan empedu
dapat mencipta sorga
juga menyeret ke neraka!

Cinta kasih asmara
perpaduan rasa mesra suka sayang dan iba.
Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya
Ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya
Ingin mengikat dan diikat hidupnya
Harus mencakup seluruhnya satu pun tak boleh kurang
Lengkap mendatangkan bahagia mencipta sorga di dunia
Kurang satu saja menjadi goyah berantakan gugur
Menimbulkan derita sengsara
Menyeret ke neraka penuh duka!

Keng Hong meloncat dan memegang lengan gadis itu dari belakang, menarik tubuhnya hingga membalik. Mereka berhadapan, beradu pandang. Keng Hong mencela sumoi-nya, "Wah, ternyata engkau adalah seorang guru besar mengenai cinta! Sajakmu tadi indah sekali, Sumoi."

Yan Cu menggelengkan kepala dan kembali mereka duduk di atas rumput berhadapan.

"Keliru dugaanmu, Suheng. Sajak itu memang indah, akan tetapi aku hanya membacanya dari sebuah kitab, entah kitab apa aku lupa lagi. Akan tetapi biar pun indah, sayang sekali, aku tidak mengerti artinya sehingga sampai sekarang pun aku tidak mengerti apa itu yang disebut cinta!"

"Aku juga belum mengerti betul, Sumoi. Memang agaknya urusan cinta ini hanya dapat dimengerti karena pengalaman. Marilah kita mencoba mempelajarinya dari sajakmu tadi."

"Seharusnya engkau yang coba menjelaskan kepadaku, Suheng. Setidaknya engkau tentu lebih berpengalaman dari pada aku yang sama sekali tidak tahu."

Merah wajah Keng Hong. Teringat dia akan pengalamannya dengan Bhe Cui Im yang merupakan wanita pertama yang merenggut tubuhnya, akan tetapi terang itu bukan cinta melainkan nafsu birahi semata. Teringat pula dia akan pengalamannya dengan Sim Ciang Bi, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Mungkin sekali di antara tiga orang wanita yang telah tewas itu ada perasaan cinta, akan tetapi dia tidak menganggap peristiwa itu merupakan cinta kasih baginya, melainkan nafsu birahi pula, sungguh pun tidak sekasar pengalamannya dengan Cui Im. Kemudian dia teringat kepada Biauw Eng dan kembali dia menjadi bingung lagi.

"Sajakmu menyatakan bahwa cinta dapat mencipta bahagia dan mencipta sengsara, itu tepat sekali. Memang demikianlah, seperti yang kualami sendiri. Sekarang cinta sedang menyeret aku ke neraka sehingga gadis yang dulu mencintaku itu sekarang membenciku! Dikatakan pula dalam sajak itu bahwa cinta adalah perpaduan antara rasa suka, sayang dan iba. Nah, tadi engkau bilang suka kepadaku, Sumoi, akan tetapi apakah engkau juga merasa sayang dan iba?"

Gadis itu mengerutkan alis dan berpikir, lalu menggelengkan kepala. "Aku suka padamu, Suheng, dan aku merasa iba ketika engkau sakit. Kalau engkau sehat dan segar bugar begini, kenapa mesti menaruh iba?"

Keng Hong mengangguk-angguk sambil tersenyum. Lagaknya seperti seorang guru yang merasa senang mendengar jawaban yang tepat dari muridnya. "Nah, itu tandanya bahwa engkau tidak mencinta aku! Sekarang kita lanjutkan. Cinta itu adalah rasa ingin memiliki dan dimiliki tubuhnya, hemm, pernyataan ini tentu ada hubungannya dengan nafsu. Ingin menyenangkan dan disenangkan hatinya, hemmm, ini tentu timbul dari rasa sayang dan iba yang timbal balik. Ingin mengikat dan diikat hidupnya, wah… yang ini tentu timbul dari kesadaran berkewajiban dan dari perasaan cemburu! Nah, sekarang kau coba menyelidiki hatimu sendiri, Sumoi. Pertama, apakah... apakah timbul... ehh, nafsu birahimu kalau kau melihat aku?"

Semenjak kecil Yan Cu tinggal di puncak gunung bersama subo-nya, urusan cinta dia gelap sama sekali. Apa lagi mengenai pertanyaan itu yang hanya dapat ia kira-kira artinya oleh perasaan kewanitaannya, akan tetapi tentu saja sulit sekali untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya dan bibirnya yang merah basah itu cemberut.

"Hemmm, agaknya sukar bagimu, Sumoi. Sekarang kuajukan pertanyaan ini dengan cara yang jelas. Begini!" Keng Hong mengerutkan alisnya yang tebal, mendekatkan mukanya dan matanya memandang tajam seolah-olah hendak menyihir gadis itu, lalu dia bertanya, "Apakah bila engkau berdekatan dengan aku, engkau mempunyai perasaan ingin sekali... ehh…, kupeluk dan kucium...?"

Sepasang mata yang indah itu mendadak membelalak dan mukanya ditarik ke belakang seolah-olah takut kepada muka Keng Hong yang mendekat itu. Akan tetapi akhirnya Yan Cu menjawab juga,

"Kalau hatiku sedang gembira, hemmm... mungkin ada juga perasaan itu karena aku suka padamu dan engkau tampan, Suheng. Akan tetapi sekarang ini... melihat engkau begini kusut, kotor, berhari-hari tidak berganti pakaian... hemm, tentu saja sama sekali tidak ada perasaan itu, Suheng!"

Keng Hong membelalakkan mata dan meloncat bangun. "Wah, celaka, aku sampai lupa..! Nanti dulu, Sumoi... Aku... aku mau mencuci muka dulu...!" Keng Hong lalu berlari cepat meninggalkan gadis itu mencari air di lereng gunung.

Yan Cu tertawa geli, bahkan terkekeh-kekeh seorang diri setelah Keng Hong pergi, akan tetapi dia mengakhiri kegelian hatinya dengan duduk bersunyi sendiri, termenung sambil memikirkan keputusan yang diambil gurunya.

Dia mengerti bahwa agaknya tidaklah sukar baginya untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Keng Hong. Akan tetapi kalau pemuda yang menjadi suheng-nya itu telah terang-terangan menyatakan mencinta gadis lain, dan hatinya sendiri tidak merasa sakit mendengar pengakuan itu, dia tahu bahwa dia barulah tertarik dan suka, tapi belum jatuh cinta. Untung suheng-nya telah berterus terang sehingga rasa sukanya tidak berlarut-larut menjadi cinta. Akan tetapi subo-nya telah menentukan hal itu, bagaimana baiknya?

Yan Cu masih termenung ketika Keng Hong datang kembali. Pemuda itu sudah mencuci muka, bahkan rambutnya masih basah, wajahnya nampak segar. Yan Cu memandang dengan hati geli. Keng Hong duduk lagi menghadapi sumoi-nya itu dan berkata,

"Nah, aku sudah bersih, tidak menakutkan lagi sekarang. Bagaimana, Sumoi?"

"Bagaimana apa?"

"Apakah sekarang ada perasaan di hatimu, ingin kupeluk dan kucium?"

Yan Cu menggelengkan kepalanya. Keng Hong mengangguk-angguk girang. "Bagus, itu tandanya kau tidak cinta padaku. Sekarang pertanyaan yang merupakan ujian terakhir! Engkau dengarkan baik-baik, Sumoi! Aku... ehh…, terus terang saja... aku... aku pernah melakukan hubungan jasmani dengan Bhe Cui Im si iblis betina, pernah pula melakukan hubungan hanya berdasarkan nafsu birahi dengan tiga orang gadis lain!"

Wajah Yan Cu mendadak menjadi merah sekali. Mulutnya cemberut, sedangkan matanya memandang marah. "Ihhh, cabul! Kenapa engkau ceritakan hal semacam itu kepadaku, Suheng?"

"Jawablah! Sesudah mendengar ini, ditambah lagi aku mencinta seorang gadis bernama Sie Biauw Eng, aku mencintanya setengah mati, nah, setelah kau mendengar ini semua bagaimana rasanya hatimu?"

Yan Cu menjawab cemberut. "Rasanya muak mendengar yang pertama, dan aku terharu mendengar yang ke dua."

"Kau.. kau tidak marah? Aku bermesra-mesraan dengan gadis-gadis lain itu, bagaimana?"

"Bagaimana... bagaimana maksudmu? Aku muak mendengarnya!"

"Tidak cemburu? Tidak iri?"

"Mengapa mesti cemburu dan iri? Kau ingin bermesraan dengan seluruh monyet betina di gunung ini pun silakan!"

Keng Hong tertawa bergelak, memegang pundak Yan Cu, menarik gadis itu berdiri dan berjingkrakan menari-nari saking gembiranya. "Kau tidak cinta kepadaku! Kau tidak cinta kepadaku! Aduh, Sumoi-ku yang baik, engkau telah menolongku!"

Yan Cu menarik tangan Keng Hong. "Jangan bergirang-girang dulu, Suheng. Subo sudah memutuskan perjodohan itu. Bagaimana?"

Keng Hong menjadi serius kembali dan sambil menarik tangan Yan Cu, dia lalu mengajak gadis itu duduk kembali di atas rumput, berhadapan dan saling pandang dengan wajah serius. "Benar, Subo telah mengancam bahwa jika aku menolak, dia akan membunuhku!" Keng Hong menggigit-gigit kuku telunjuk kanannya, kedua alisnya berkerut.

"Bagaimana baiknya, Suheng?"

"Menolak perintahnya berarti aku akan menjadi orang yang paling hina, tidak ingat budi, apa lagi kalau aku melawannya. Menurut perintahnya, hemmm.. tanpa cinta, kita berdua kelak akan terseret ke neraka penderitaan, di samping menghancurkan hati Biauw Eng, yaitu kalau dia benar mencintaku. Sumoi, baiknya kita mengambil jalan tengah saja!"

"Jalan tengah bagaimana, Suheng?"

"Kita menghadap Subo dan menyatakan secara terus terang bahwa kita berdua hendak membuktikan dulu apakah kita berdua saling mencinta. Tanpa cinta kita berdua rela mati di tangan Subo. Aku juga akan menyatakan terus-terang bahwa yang menjadi penghalang sambungan cinta kita adalah karena aku mencinta Biauw Eng, meski pun aku belum tahu apakah gadis itu mencintaku ataukah membenciku. Kita berdua akan mencarinya, kalau sudah bertemu dan kita mendapatkan bahwa Biauw Eng memang membenciku, kita akan kembali ke sini dan menerima keputusan Subo. Karena, jika Biauw Eng tidak mencintaku, maka sudah pasti aku akan menumpahkan seluruh cinta kasihku kepadamu, Sumoi!"

"Aihhh, mengapa cinta kasih hendak kau pindah-pindahkan seenakmu saja seperti orang memindahkan kursi atau meja, Suheng?"

"Bukan begitu, Sumoi. Cinta kasih memang tak akan bisa dipindah-pindahkan seperti itu. Akan tetapi seperti dalam sajak tadi, cinta kasih itu harus berimbang dari kedua pihak, saling memberi dan saling meninta, kurang satu saja menimbulkan sengsara. Walau pun aku mencinta Biauw Eng, apakah aku harus menggerogoti hatiku sendiri sampai coplok? Di atas segala macam perasaan, termasuk perasaan cinta, masih ada kesadaran yang paling tinggi, Sumoi, yang akan menuntut kita mengatasi segala akibat perasaan hingga mencegah kita melakukan hal yang bukan-bukan, misalnya karena asmara gagal lantas minum racun tikus dan lain-lain perbuatan rendah dan keji untuk membunuh diri! Eh, kita melantur lagi. Bagaimana pendapatmu, Sumoi? Setujukah engkau?"

Gadis itu mengangguk-angguk. "Baiklah, Suheng. Memang selain engkau harus yakin dulu akan cintamu terhadap gadis itu aku sendiri juga harus mempelajari dulu bagaimana sebetulnya perasaanku terhadap dirimu. Mudah-mudahan saja kalau kelak ternyata kau tidak dapat melanjutkan tali cintamu dengan gadis itu dan hendak ‘pindah’ kepadaku, aku bisa menerimanya. Siapa tahu, kelak aku jatuh cinta kepada orang lain sehingga tidak dapat membalas cintamu."

"Wah, celaka kalau begitu... Biauw Eng putus, engkau pun luput..., habis bagaimana nanti dengan aku?" Keng Hong menggaruk-garuk kepalanya hingga Yan Cu tertawa. Gadis ini sudah mendapatkan kembali kegembiraannya.

"Jika memang kelak terjadi begitu yaaaahhh, engkau rasakan saja, Suheng, hitung-hitung engkau melanjutkan nasib mendiang gurumu. Ehh, kurasa tidak baik kalau kita menanti Subo. Aku mengenal watak Subo. Di waktu dia sedang marah, hatinya keras bukan main dan mungkin kita akan dibunuhnya seketika. Sebaliknya, bila mana hatinya lagi lunak, dia merupakan orang yang paling sabar. Sebaiknya kita jangan mempertaruhkan nyawa kita. Lebih baik kita pergi saja sebelum dia pulang dan kita meninggalkan surat kepadanya, menjelaskan segala maksud kita. Walau pun dia marah, kalau kita tidak ada, akhirnya hatinya akan lunak dan dia akan memaafkan kita."

Keng Hong memegang kedua lengan gadis itu, memandang dengan mata bersinar-sinar gembira dan berkata, "Yan Cu, kalau di sana tidak ada Biauw Eng dan kalau kita sudah jelas saling mencinta, saat ini kau sudah kupeluk dan kugigit bibirmu yang manis ini!"

"Ihhh! Pantas kalau Biauw Eng membencimu! Engkau... genit sih!" Gadis itu melepaskan tangannya dan berlari cepat menuruni puncak, kembali ke pondok diikuti Keng Hong.

Mereka berdua lalu membuat surat dan pada hari itu juga pergilah mereka meninggalkan tempat itu. Tentu saja pusaka peninggalan gurunya yang telah dia rapas dari Cui Im, dia bawa, demikian pula pedang Siang-bhok-kiam…..

********************

Sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali di atas wuwungan rumah gedung Kwan Taijin. Bayangan ini berhenti dan mendekam di balik wuwungan lalu dengan matanya dia menyapu ke bawah dan mata itu bersinar gembira saat dia melihat bahwa keadaan di situ amat sunyi. Maklumlah bahwa saat itu telah menjelang tengah malam.

Bayangan ini lalu bangkit dan berindap-indap ke wuwungan sebelah belakang, kemudian bagaikan seekor burung garuda terbang, dia meloncat ke bawah dan kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika menginjak lantai di ruangan belakang.

Bayangan hitam itu ternyata adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih akan tetapi masih kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya serba mewah dan indah, di punggungnya tampak pedang yang gagangnya terukir indah. Dia adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, penjahat cabul yang telah melarikan diri dari istana bersama Cui Im.

Mereka lari secara berpencaran karena mereka takut kalau-kalau pihak istana melakukan pengejaran. Setelah gagal mengejar kemuliaan di istana dengan menjadi pengawal akibat perbuatan Cui Im yang hendak memancing Keng Hong akan tetapi gagal, penyakit lama Siauw Lek yang kini merantau seorang diri telah kambuh lagi dan mulailah dia melakukan kekejiannya yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-ong (Raja Pemetik Bunga), yaitu dengan menculik dan memperkosa wanita-wanita cantik!

Pada malam itu dia mencari korban di rumah gedung pembesar Kwan yang tinggal di kota Cin-an, sebuah kota besar yang terletak di tepi Sungai Huang-ho. Siauw Lek yang sudah berpengalaman dalam perbuatan keji seperti ini, menanti sampai para penjaga keamanan yang meronda lewat di ruangan belakang itu, kemudian dia mendongkel jendela samping dan masuk ke ruangan dalam. Dilihatnya anak tangga yang menuju ke loteng dan dia tersenyum. Biasanya, para wanita tinggal di tingkat atas itu. Tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat ke atas.

Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela kamar besar dan melihat pembesar Kwan yang setengah tua itu di samping isterinya. Ia lalu mengintai kamar sebelah dan matanya berkilat ketika dia melihat dua orang wanita cantik tidur di kamar yang indah itu. Dia dapat menduga bahwa dua orang wanita muda itu tentulah selir si pembesar. Melihat tubuh muda dan wajah cantik itu, maka timbul gairahnya dan tanpa menimbulkan suara berisik, Siauw Lek telah berhasil membuka jendela dan tubuhnya meloncat ke dalam, lalu ditutupnya kembali jendela kamar.

Dengan sikap tenang karena dia memang sudah biasa melakukan perbutan terkutuk ini, Siauw Lek mengambil lilin dari atas meja dan menyingkap kelambu yang menutup tempat tidur itu. Dia tadi hanya dapat mengira-ngira saja akan kecantikan dua orang wanita itu karena tertutup kelambu yang tipis, dan kini dia hendak memeriksa dulu calon korbannya.

Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dugaannya benar. Mereka berdua itu adalah wanita-wanita muda, tentu selir bangsawan Kwan, wajah mereka amat menggairahkan. Dengan halus dan mesra Siauw Lek menggunakan telunjuknya meraba dan membelai-belai bibir yang setengah terbuka dari wanita yang tidur di pinggir, yang memakai pakaian dalam berwarna hijau pupus.

Wanita itu membuka matanya dan memandang, lalu mulutnya sudah bergerak hendak berteriak. Akan tetapi jari-jari tangan Siauw Lek menahan bibir merah itu dan Siauw Lek tersenyum, menggelengkan kepala memberi isyarat agar wanita itu jangan menjerit.

Sejenak wanita itu terbelalak, memandang wajah Siauw Lek penuh perhatian, wajah yang tampan dan ganteng, jauh lebih menarik dari pada pembesar Kwan, kemudian pandang mata wanita itu menurun, menyapu tubuh Siauw Lek yang tinggi besar dan kokoh kuat, jauh bedanya dengan tubuh pembesar Kwan yang perutnya gendut itu.

Pandang mata Siauw Lek bicara banyak, selir ini pun bukan seorang wanita yang bodoh, maka dia tersenyum lebar dan bangkit berdiri, menarik telunjuk ke depan bibirnya yang merah seolah-olah memberi isyarat kepada Siauw Lek supaya tidak berisik, kemudian ia menuding ke arah tubuh temannya dan memegang tangan Siauw Lek lalu menariknya ke sudut kamar itu.

Siauw Lek mengembalikan lilin ke atas meja. Begitu dia membalikkan tubuh menghadapi wanita itu, selir berpakaian dalam warna hijau ini sudah merangkul lehernya dan mencium bibirnya seperti seekor harimau kelaparan! Siauw Lek mendengus marah, tangan kirinya bergerak ke atas.

"Prakkk!"

Tanpa mengeluh lagi wanita itu roboh terkulai dengan nyawa melayang karena kepalanya sudah retak oleh hantaman jari tangan Siauw Lek! Memang watak Siauw Lek aneh dan kejam sekali. Dia paling tidak suka akan wanita yang genit, wanita yang menyambutnya dengan rayuan. Dia lebih senang memperkosa wanita yang melawannya!

Benar-benar manusia ini mempunyai watak binatang. Seperti seekor kucing yang kalau menangkap tikus selalu mempermainkan dan menyiksanya dulu sebelum memakannya, makan daging tikus sebelum mati sehingga di mulut dapat terasa betapa tubuh tikus itu menggeliat-geliat dan meronta-ronta. Demikianlah watak penjahat cabul itu. Maka dia lalu membunuh begitu saja ketika selir berpakaian hijau itu menyambutnya dengan mesra dan penuh nafsu birahi.

Setelah membunuh wanita itu, tanpa menengoknya lagi Siauw Lek segera menghampiri tempat tidur dan sekali tangannya meraih…

“Brettt!” terdengar suara dan pakaian merah yang dipakai wanita kedua telah direnggutnya robek.

Wanita itu terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak, kemudian menjerit sekuatnya! Siauw Lek tidak jadi menotoknya ketika melihat bahwa wanita ini kalah cantik dibandingkan wanita yang dibunuhnya tadi. Memang wanita ini cukup muda dan cantik, berusia paling banyak tiga puluh tahun, akan tetapi karena kalah cantik oleh wanita yang dibunuhnya tadi, maka tampak buruk dalam pandangan matanya.

Jari tangannya yang tadi siap menotok urat gagu wanita itu agar tidak sempat berteriak, kini menyelonong ke arah tenggorokan dan…

“Krekkk!” terdengar suara yang disusul rebahnya tubuh telanjang itu dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Suara ribut-ribut di luar kamar, yaitu suara para penjaga yang terkejut mendengar jeritan tadi, membuat Siauw Lek cepat melompat dan tubuhnya sudah menerobos langit-langit dan berada di atas genteng.

"Jaga kamar Siocia...!" terdengar suara orang.

Siauw Lek melihat ada beberapa orang penjaga lari ke sebuah kamar di ujung kiri. Dia cepat meloncat mendahului mereka, menendang daun jendela dan girang sekali hatinya ketika melihat seorang gadis muda yang amat cantik telah terbangun dari tidur dan duduk di ranjang dengan mata terbelalak ketakutan.

Melihat Siaw Lek, gadis itu kaget dan hendak lari. Akan tetapi sekali sambar saja Siauw Lek sudah menotok lumpuh lalu mengempit tubuh gadis itu dan menerjang ke pintu yang didobrak dari luar oleh para penjaga yang melihat penjahat itu memasuki kamar melalui jendela. Empat orang pengawal itu roboh oleh tendangan kaki Siauw Lek.

Dalam sekejap mata saja tubuh Siauw Lek sudah berloncatan ke atas genteng, dikejar oleh beberapa orang pengawal. Tentu saja para pengawal itu jauh kalah cepat sehingga mereka hanya dapat berteriak-teriak bingung ketika bayangan penculik itu lenyap.

Kekecewaan hati Siauw Lek terobati pada waktu dia mengempit tubuh yang hangat itu, membawanya lari keluar dari kota Cin-an. Sekali ini dia tidak mau gagal. Dia tahu bahwa karena yang diculiknya adalah puteri seorang pembesar, tentu para penjaga keamanan akan mengerahkan pasukan mencarinya. Maka dia terus melarikan diri ke pinggir Sungai Huang-ho.

Di sebuah tempat yang sunyi dia membangunkan tukang perahu, menodong dada tukang perahu itu dengan pedangnya. Tukang perahu yang kaget terbangun melihat dia ditodong ujung pedang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mengempit seorang wanita yang agaknya pingsan, seketika menggigil seluruh tubuhnya.

"Hayo lekas seberangkan aku ke sana!"

Tukang perahu tidak berani membantah. Siauw Lek meloncat ke perahu dan tukang perahu itu lalu mendayung perahunya ke tengah menyeberang Sungai Huang-ho yang lebar. Di dalam perahu, Siauw Lek duduk dan memangku tubuh gadis yang tidak dapat bergerak karena ditotoknya tadi. Hatinya girang bukan main.

Lampu di perahu itu kecil sekali, akan tetapi cukup untuk menerangi tubuh gadis yang montok dan padat dan wajahnya yang cantik manis. Dia akan menikmati korbannya ini, tanpa gangguan. Karena itu diperintahkannya tukang perahu untuk menyeberangkannya ke bagian seberang yang sunyi.

Malam telah terganti pagi ketika perahu kecil itu mendarat di pantai yang penuh pohon, sebuah hutan yang sunyi dan tak tampak sebuah pun perahu di situ. Siauw Lek menyuruh tukang perahu mengikatkan perahu pada sebatang pohon, kemudian sekali pedangnya berkelebat dan tubuh tukang perahu itu roboh mandi darah, kemudian mencelat ke sungai oleh tendangan kaki Siauw Lek.

Sambil tersenyum Siauw Lek melihat mayat tukang perahu yang terbawa air, kemudian dia memodong tubuh gadis itu dibawa ke dalam hutan. Melihat betapa tempat itu sunyi sekali dan di pinggir sungai itu terdapat rumput yang hijau tebal, Siauw Lek pun tertawa, membebaskan totokan gadis itu dan melepaskan tubuh itu ke atas rumput. Dia sendiri duduk memandang sambil tersenyum.

Gadis itu mengeluh, tubuhnya masih kaku-kaku, kemudian dia bangkit duduk. Pada waktu menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar yang memandangnya seperti seekor harimau memandang kelinci, dia mengeluarkan jerit tertahan, meloncat berdiri dan lari!

Siauw Lek tertawa bergelak. Dia membiarkan gadis itu berlari-lari di atas rumput sampai belasan langkah-langkah kecil, kemudian tubuhnya bergerak mengejar.....

Komentar