PEDANG KAYU HARUM : JILID-38
Bagi pemuda yang dipilih, tentu saja hal itu merupakan pengalaman yang tak akan dapat terlupakan, merasa beruntung seperti kejatuhan bulan. Maka tidaklah mengherankan bila mana Cui Im sedang menunggang kuda keliling kota, para pemudanya keluar dari dalam rumah lantas memasang gaya masing-masing di depan pintu. Siapa tahu mereka akan terpilih!
Akan tetapi sekali ini, Cui Im tidak mau memilih pemuda sembarangan saja. Sudah terlalu lama, hampir tiga bulan dia terpaksa menahan nafsunya karena tidak berani keluar dari istana, apa lagi pergi bersenang-senang di pondoknya di luar kota. Karena itu dia ingin memilih seorang pemuda yang benar-benar memenuhi syarat selera hatinya, untuk diajak bersenang-senang sampai sepuasnya sekaligus juga untuk dipergunakan sebagai umpan memancing keluarnya Keng Hong. Jadi, untuk malam istimewa yang direncanakan itu dia harus mendapatkan seorang pemuda yang betul-betul istimewa! Yang montok…..
Hatinya kesal karena dia tidak melihat pemuda yang baru. Dia telah bosan melihat para pemuda yang itu-itu juga berlomba gaya di depan pintu, memasang aksi dan tersenyum-senyum kepadanya. Akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara para pemuda itu yang berani untuk bersikap kurang ajar. Mereka semua sudah mengenal siapa Cui Im, seorang wanita yang di satu saat dapat menjadi seorang bidadari dengan jari-jari tangan halus mesra membelai, akan tetapi di saat lain dapat menjadi iblis yang akan membunuh orang tanpa berkedip mata!
Dengan hati kesal Cui Im menghentikan kudanya di depan sebuah restoran yang paling terkenal di kota raja. Seorang pelayan cepat menuruni anak tangga depan restoran dan sambil terbongkok-bongkok lalu menerima kendali kuda untuk menuntun kuda nona itu ke kandang kuda yang tersedia di belakang restoran. Cui Im melangkahkan kaki dengan sigap dan sikap angkuh memasuki restoran, tak begitu mengacuhkan para pelayan yang menyambutnya dengan senyum-senyum menjilat dan tubuh terbongkok-bongkok.
"Sediakan meja di sudut dalam yang menghadap keluar. Aku ingin makan masakan yang paling enak!" kata Cui Im singkat.
Pengurus rumah makan itu dengan ramah lalu mempersilakan nona ini duduk di meja sudut sebelah dalam. Cui Im duduk dan memandang keluar. Dari tempat duduknya dia tidak hanya dapat melihat semua tamu yang memasuki restoran, bahkan dapat melihat orang-orang yang lewat di jalan besar depan restoran itu.
Dia tidak peduli akan pandangan semua tamu yang menoleh ke arahnya semenjak dia memasuki restoran sampai dia duduk. Di antara mereka ada beberapa orang pria muda yang cukup ganteng, akan tetapi tidak ada yang memenuhi seleranya. Hal ini agaknya disebabkan oleh sikap orang-orang muda itu sendiri yang memandangnya penuh gairah.
Cui Im terlalu sering melihat pandang mata seperti itu sehingga dia menjadi kebal dan terbiasa. Pandangan laki-laki penuh gairah dan kagum kepadanya malah membosankan, bahkan menjemukan hatinya. Dia ingin mencari seorang pria yang betul-betul istimewa, muda atau tua tidak menjadi soal baginya.
Tiba-tiba pandang mata Cui Im berkilat dan seluruh tubuhnya menegang penuh getaran. Semangatnya bangkit hingga setiap urat syaraf pada tubuhnya berdenyut, terbawa oleh jantungnya yang berdebar. Pandang matanya seperti lekat kepada seorang pemuda yang memasuki restoran itu. Begitu melihat wajah pemuda ini, melihat tubuhnya yang sedang dan berpakaian hijau, bertemu pandang dengan sepasang mata tajam di bawah alis yang hitam tebal, nafsu birahinya bangkit, menyala dan berkobar.
Pemuda itu usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya membayangkan kejantanan, akan tetapi gerak-geriknya halus. Alisnya tebal hitam, matanya sangat tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya merah membayangkan kesehatan. Sungguh wajah yang tampan dan membayangkan kehalusan budi. Melihat bentuk pakaiannya yang kehijauan mudah diketahui bahwa dia adalah seorang pemuda terpelajar, seperti pakaian sastrawan pada masa itu, serba longgar dengan lengan baju lebar.
Akan tetapi pakaian itu kelihatan kotor serta berdebu, tanda bahwa dia adalah seorang pendatang dari luar kota raja dan agaknya baru saja datang dari perjalanan jauh. Ada kelelahan karena perjalanan, tampak dari keadaan pakaian dan sepatunya yang berdebu.
Sebuah buntalan kain kuning yang cukup besar, yang agaknya berisi bekal pakaian dan lain-lain, diletakkan pemuda itu di atas bangku dekat meja. Kemudian ia duduk dan tidak mengacuhkan keadaan sekelilingnya. Dia bukan seorang yang bersikap tinggi hati, akan tetapi jelas tidak merasa rendah berada di restoran, di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah bersih itu. Dengan suara tenang dan halus dia lalu memesan makanan kepada pelayan.
Kebetulan sekali pemuda itu duduknya menghadap ke arah dalam sehingga Cui Im dapat melihat wajahnya dari depan. Debar jantung wanita ini semakin mengencang. Ia merasa amat tertarik. Inilah pemuda yang dicarinya!
Agaknya pandang mata Cui Im yang tajam penuh perasaan itu terasa getarannya oleh pemuda itu karena dia mengangkat muka dan beberapa detik pandang mata mereka bertaut. Pemuda itu cepat menunduk dan Cui Im semakin tersiksa hatinya dan tergugah nafsunya.
Pemuda itu memandang dengan heran, seakan-akan mengherankan kehadiran seorang wanita muda sendirian dalam restoran besar itu. Sama sekali tidak ada pandang mata gairah dan kagum seperti yang didapatkan Cui Im di dalam sinar mata setiap orang pria yang memandangnya. Dia menjadi makin tertarik dan juga penasaran. Begitu angkuhkah pemuda ini sehingga tidak tertarik kepadanya?
Hemm, aku harus mendapatkan engkau. Kau akan kubikin mabuk dengan kecantikanku, dengan sifat kewanitaanku, hingga engkau akan suka bertekuk lutut dan mencium telapak kakiku, demikian bisik hati Cui Im yang menjadi sangat penasaran dan gemas karena baru pertama kali ini dia tidak dipedulikan oleh seorang pria!
Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandang dirinya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, dia menjadi penasaran dan mendongkol!
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, juga banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah.
Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan kepalanya mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang yang hendak makan. Melihat isyarat itu dia lalu menggerakkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai ucapan terima kasih dan sekaligus minta maaf, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Dia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa kagum atau tertarik. Betapa sulitnya mencari pemuda seperti ini, sedangkan pemuda yang memang telah mengaguminya, kadang kala membosankan.
Belum pernah dia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau saja pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah ke dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya.
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan satu macam masakan bersama seguci arak. Sesudah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi sudah menawarinya.
Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja, maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu tengah asyik makan sehingga ia mendapat alasan untuk tidak menawarkan. Akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya sambil tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu! Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan, lalu sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya! Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan.
Cui Im tersenyum lalu berkata lirih, "Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan-masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk kemudian menjawab lirih, "Terima kasih."
Kemudian dia mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang tak akan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus serta lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan pandang matanya yang penuh pancaran kasih.
Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya ia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Ia harus mendapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong.
Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, dia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apa lagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi begitu saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi semakin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tak menyenangkan, sungguh pun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu. Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa.
Karena tertarik, ketika ia selesai makan dan memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk di situ tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda berpakaian hijau itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggelengkan kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."
Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seakan-akan merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah ketika mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu segera mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya…..
********************
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti berlari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya, "Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda itu dapat menduga siapa yang menegurnya meski pun di dalam hati dia merasa terheran. Maka, ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi terkejut. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ahh, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im merasa kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang kemudian menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus.
Akan tetapi dia mengusir keraguannya lantas tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, dia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan tali kendali kuda di tangan ia cepat membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya adalah seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku..." Cui Im menutupi mukanya untuk dapat menyembunyikan senyum lebarnya, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolol-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya...," kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemm..., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah orang yang amat bodoh..."
"Ehh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentu seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini... ehh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong…"
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sebetulnya saya... saya merasa amat malu mengganggu Nona. Apa lagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang berbicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya..."
"Hemmm... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!" Cui Im sengaja menengok sekelilingnya.
Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini."
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan akan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda pelajar itu kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum, "Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam dia menghitung bekalnya yang tidak banyak.
Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok hingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan sebuah kehormatan besar mendapat kunjungan dari Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu sambil tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu. "Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap engkau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San.
Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im, "Banyak terima kasih, Nona."
"Ahhh, di antara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im, "Saya mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Cong San hendak membantah, akan tetapi nona itu sudah melangkah keluar. Di ruangan depan ia kembali menengok sambil tersenyum dan berkata, "Saya akan mengirim utusan mengundangmu, Siangkong." Kemudian dengan langkah ringan dan lincah, Cui Im keluar, meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda pergi dari sana, meninggalkan debu mengepul di halaman hotel.
"Yap-siangkong amat beruntung menjadi sahabat baik Bhe-lihiap," kuasa hotel itu berkata sambil tertawa, "Silakan, Siangkong."
Terpaksa Yap Cong San mengikuti kuasa hotel itu, dipandang oleh para pelayan yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk. Setelah mereka memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap dengan perabotan dan amat bersih, Cong San menjadi khawatir dan berkata,
"Twako, terus terang saja, sahabatku nona Bhe Cui Im itu agak berlebihan. Aku seorang miskin, bagaimana sanggup menyewa sebuah kamar sebesar dan semewah ini? Berikan padaku sebuah kamar yang kecil saja, yang paling murah."
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu? Saya masih sayang kepada nyawa saya, Siangkong. Lihiap sudah menentukan kamar yang terbaik untukmu, mana berani saya melanggar perintah dari Lihiap? Harap Siangkong tidak merendahkan diri. Sebagai sahabat baik lihiap, saat ini Siangkong menjadi tamu agung bagi kami."
"Tapi... tapi..." Cong San memegang lengan kuasa hotel yang hendak pergi meninggalkan kamar itu. "Saya... tak akan kuat membayar! Berapa sewanya sehari semalam, Twako?"
"Ha-ha-ha-ha! Siangkong suka berkelakar! Mana berani saya menerima uang sewa dari Siangkong? Tidak usah bayar, biar sampai sebulan sekali pun. Nah, selamat beristirahat, Siangkong. Pelayan akan siap menjaga di luar dan menanti segala perintah Siangkong."
Cong San berdiri tertegun di tengah kamar, kemudian dia menghela napas panjang dan menutup daun pintu, meletakkan buntalan besarnya di atas meja kemudian dia tertawa seorang diri mengingat segala peristiwa yang sama sekali tidak pernah diduganya!
Benar saja, para pelayan hotel itu bersikap amat hormat kepadanya dan melayani segala keperluan. Cong San juga tidak sungkan-sungkan lagi, malah minta disediakan air panas untuk mandi dan pada sore hari itu dia memesan makanan yang cepat sekali diantar ke kamarnya.
Sesudah makan sore, dengan pakaian yang bersih, sedangkan pakaiannya yang kotor cepat-cepat dicucikan oleh para pelayan, dia duduk di kamarnya membaca buku. Melihat kitab yang dibacanya, yaitu kitab Susi Ngokeng, para pelayan maklum bahwa pemuda ini adalah seorang terpelajar yang datang dari jauh untuk mengikuti ujian negara…..
********************
Sementara itu, Cui Im sudah berunding dengan tiga orang pembantunya, yaitu Siauw Lek, Pak-san Kwi-ong dan Kemutani. Penjagaan di sekitar kamar kaisar diserahkan kepada Gu Coan Kok, Hok Ku dan Cou Seng. Kemudian ketiga orang pembantunya itu diam-diam berangkat keluar dan bersembunyi di dekat pondok merah di luar kota raja sebelah barat. Ada pun Cui Im lalu mengirim seorang pelayan ke rumah penginapan untuk memberi tahu kepada Cong San, melalui sebuah surat yang ditulisnya sendiri.
Ketika Cong San yang sedang membaca kitab di kamarnya itu diberi tahu oleh pelayan hotel dan menerima surat dari pelayan istana, dia terkejut dan cepat merobek sampulnya lalu membaca surat dengan kertas merah wangi dengan tulisan yang tidak terlalu buruk bagi seorang wanita yang begitu ditakuti orang.
Ternyata surat itu memberitahukan bahwa Bhe Cui Im mengundangnya untuk minum arak sambil bicara mengenai sastra di pesanggrahan wanita itu, dan bahwa Cong San diminta untuk bersiap-siap karena akan dijemput sendiri oleh wanita cantik itu!
Cong San, mengangguk-angguk dan berkata kepada pelayan utusan, "Harap sampaikan terima kasihku kepada nona Bhe, dan katakan bahwa aku sudah siap."
Setelah utusan itu pergi, Cong San cepat-cepat berganti pakaian yang paling baik, juga berwarna hijau pupus, kemudian dia menanti di luar kamarnya. Malam telah mulai gelap dan lampu-lampu telah dinyalakan ketika terdengar derap kaki kuda dan seorang pelayan hotel berlari-lari menyampaikan warta bahwa ‘lihiap’ telah menanti di luar.
Cong San menutup pintu kamarnya dan dia berjalan keluar. Diam-diam ia merasa kagum juga melihat Cui Im yang berdandan serba indah, kelihatan cantik serta gagah perkasa, sedangkan bau yang harum semerbak menyambut hidungnya ketika wanita itu mendekat.
"Ahhh…, engkau baik sekali, Siangkong. Ternyata telah siap. Mari kita segera berangkat sebelum malam terlalu gelap."
"Berangkat ke mana? Di manakah pesanggrahan itu, Nona?"
"Tidak jauh kalau berkuda. Marilah, arak dan hidangan telah tersedia di sana! Siangkong duduk di depan atau di belakang?"
Muka Cong San menjadi merah sekali. Untung bahwa cahaya lampu di ruangan depan hotel itu juga merah sehingga warna mukanya tidak terlalu kentara, akan tetapi andai kata ketahuan juga, para pelayan yang berada di situ tidak ada yang berani mentertawainya.
"Maksudmu... kita berboncengan?" tanyanya, agak gugup karena memang selama hidup, meski usianya sudah dua puluh lima tahun, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, apa lagi boncengan menunggang kuda!
Cui Im tertawa senang. Makin sukalah ia kepada pemuda yang masih ‘murni’ itu, dan ia berkata merdu,
"Maaf, Siangkong. Karena tergesa-gesa, saya hanya membawa seekor kuda. Terpaksa kita boncengan!"
"Ahh, mana saya berani, Nona? Biarlah Nona yang menunggang kuda dan aku berjalan kaki saja."
"Mana bisa begitu, Siangkong? Apa Siangkong merasa jijik duduk dekat dengan saya? Ataukah... Siangkong tidak sudi menerima undanganku?"
"Ehh..., ehh, bukan begitu, Nona. Engkau sudah begitu baik... Hanya, saya suka berjalan kaki dan... Saya senang sekali memenuhi undangan Nona..." Cong San berkata gagap.
"Nah, kalau begitu, kita harus boncengan. Jangan khawatir, kudaku ini kuat sekali, biar ditunggangi empat orang juga kuat. Tempat saya itu dekat kalau menunggang kuda, akan tetapi terlalu jauh kalau jalan kaki, di luar kota raja. Siangkong telah melakukan perjalanan jauh, tentu lelah kalau berjalan. Marilah, Siangkong suka di depan atau di belakang?"
Melihat wanita cantik itu bicara terang-terangan di depan banyak pengawal yang tentu ikut mendengarkan, Cong San khawatir kalau menjadi buah tertawaan. Maka dia lalu berkata, "Biarlah... aku di belakang saja, Nona."
Cui Im tertawa dan Cong San merasa betapa pipi dan telinganya panas. Ia sadar akan kebodohannya. Kalau dia di belakang, ahhh, seolah-olah dia merasa senang memangku tubuh yang montok itu. Akan tetapi bagaimana? Masa dia seorang laki-laki harus duduk di depan?
Akan tetapi Cui Im sudah meloncat ke atas punggung kuda, menggeser ke depan dan berkata, "Memang seharusnya Siangkong di belakang, karena saya yang tahu jalan dan saya yang mengendalikan kuda. Marilah, Siangkong!"
Yap Cong San menghampiri kuda dan kelihatan bingung dan malu. "Kuda begitu tinggi…"
"Meloncatlah!" kata Cui Im yang menganggap meloncat ke punggung kuda hanya seperti permainan kanak-kanak saja.
"Saya... Saya tidak bisa...!" Cong San berkata.
Para pelayan yang mendengar ini pun tidak dapat menyalahkan si pemuda karena bagi yang tidak ada kepandaian, apa lagi yang tak biasa menunggang kuda, meloncat setinggi itu bukanlah pekerjaan mudah. Lebih-lebih karena di atas punggung kuda itu sudah ada orangnya!
"Mari tanganmu, kubantu!" Cui Im berkata, kehilangan kesabaran karena dia sudah ingin cepat-cepat berdua dengan pemuda yang menggugah nafsunya ini.
Cong San mengulur tangan, ditangkap oleh tangan kecil halus itu dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas, ditarik oleh tenaga yang hebat bukan main. Tahu-tahu dia telah duduk di belakang tubuh nona itu.
"Berpeganglah kuat-kuat!" kata Cui Im dan kuda itu sudah meloncat ke depan. Cong San memegangi sela kuda dengan kaku, tubuhnya terguncang dan miring-miring.
"Ehhh, awas, engkau nanti jatuh. Berpeganglah padaku, peluk pinggangku," kata Cui Im yang membalapkan kudanya lebih cepat lagi dengan maksud supaya si pemuda menjadi ketakutan.
Benar saja, terpaksa Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sehingga Cui Im diam-diam menjadi girang bukan main. Tubuhnya terasa panas semua oleh karena nafsu birahinya sudah berkobar!
Sela kuda itu legok bagian tengahnya. Karena Cui Im duduk di pinggir depan dan tubuh Cong San duduk di pinggir belakang tentu saja tubuh mereka merosot ke tengah hingga berada di bagian yang melekuk. Cong San yang jauh dari pada pengaruh nafsu, merasa malu dan canggung sekali. Tubuh bagian depannya terpaksa berhimpitan dengan tubuh belakang wanita itu yang lunak, halus dan hangat.
Beberapa kali Cui Im terkekeh genit dan sengaja menggeser makin ke belakang sehingga tubuh mereka merapat berhimpitan! Bahkan kadang-kadang, kalau kuda meloncat, tubuh wanita itu melambung dan terjatuh di atas paha Cong San sehingga tubuh wanita itu seperti dipangkuannya, sedangkan pinggang wanita itu dipeluknya!
Para penjaga pintu gerbang di barat tadinya menghadang, akan tetapi melihat Cui Im, mereka memberi hormat dan tertawa lalu membukakan pintu gerbang, membiarkan kuda wanita itu lewat tanpa gangguan sedikit pun. Sesudah keluar dari pintu gerbang, kuda langsung membalap dengan cepatnya.
Tidak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah pondok merah yang indah dan diterangi lampu-lampu dengan teng berkembang. Tiga orang pelayan yang bertubuh tinggi besar segera menyambut, seorang menerima kuda, dan dua orang mengiringkan Cui Im dan Cong San memasuki pondok merah.
Cong San terbelalak kagum menyaksikan isi pondok yang ternyata sangat mewah dan serba indah. Di dalam pondok terdapat sebuah ruangan dan di situ tampak sebuah pintu terbuka, memperlihatkan sebuah kamar tidur yang mentereng dan bau harum semerbak keluar dari kamar tidur yang terbuka menantang itu. Di dalam ruangan terdapat sebuah meja dengan dua bangku dan hidangan yang masih hangat mengepul sudah tersedia di atas meja.
"Duduklah, Siangkong. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan enak sambil makan minum."
Yap Cong San mengerutkan alisnya sebentar, akan tetapi dia mengangguk dan duduk di atas bangku, berhadapan dengan Cui Im. Dua orang pelayan yang kelihatan kuat dan sigap itu keluar dari ruangan setelah menutupkan pintu ruangan itu.
Sambil tersenyum-senyum Cui Im menuangkan arak ke dalam cawannya dan cawan di depan Cong San sambil berkata, "Siangkong, mari kita minum demi persahabatan kita!"
Cong San mengangkat cawannya dan minum araknya sekali teguk. Cui Im tertawa manis. "Siangkong sungguh amat baik, suka bersahabat dengan seorang kasar seperti saya."
"Ah, Nona. Sebenarnya sayalah yang harus malu. Nona adalah orang yang berpengaruh dan berkuasa, dan... hemm, melihat sikap semua orang, melihat cara Nona menunggang kuda dan tadi menarikku ke atas kuda, saya dapat menduga bahwa tentu Nona seorang yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Bahkan pengurus hotel menyebut Nona lihiap. Sedangkan saya hanya seorang kutu buku yang lemah, seorang pelajar yang canggung dan seorang sasatrawan yang miskin."
"Wah-wah-wah, Siangkong terlalu merendah diri!" Cui Im menuangkan lagi arak dari guci ke dalam cawan mereka. "Silakan minum demi... ehhh…, rasa suka di hatiku terhadap Siangkong!" Ia mengerling tajam penuh arti.
Merah wajah pemuda itu ketika mengangkat cawannya. "Terima kasih, Nona. Aku..., ehh, tidak berharga untuk rasa suka Nona yang gagah perkasa dan terhormat." Akan tetapi ia minum juga araknya.
Setelah meletakkan cawan kosong di atas meja Cong San berkata, "Semenjak dahulu, banyak saya membaca tentang sepak terjang seorang pendekar wanita. Sekarang dapat bertemu, bersahabat, bahkan bercakap-cakap dengan seorang pendekar wanita, betapa bangga dan gembira hati saya. Tentu Nona seorang pendekar yang kenamaan. Maukah Nona menceritakan tentang pengalaman Nona bertualang di dunia kang-ouw seperti yang saya baca di dalam buku-buku?"
Cui Im sudah mabuk berat, bukan mabuk arak melainkan mabuk nafsu birahinya sendiri. Ketika tadi berhimpitan pemuda ini tidak tergerak nafsunya, hal itu menandakan bahwa dia termasuk golongan laki-laki kuat. Dia harus dapat membangkitkan gairahnya, menarik perhatiannya, menggugah birahinya.
Dia tahu dari pengalamannya bahwa laki-laki yang tenang dan kuat seperti ini, bila sekali tergugah birahinya akan seperti laut yang tadinya tenang diamuk badai. Menghanyutkan dan menenggelamkan. Membayangkan hal ini, Cui Im semakin mabuk, maka mendengar pertanyaan Cong San, dia berniat untuk membanggakan diri agar pemuda itu tertarik.
"Yap Cong San, engkau belum mengenal siapakah wanita yang menjadi sahabatmu ini," katanya tersenyum sambil berdiri dan menarik kedua pundaknya ke belakang sehingga dadanya yang penuh membusung ke depan, pakaiannya yang ketat itu membuat bentuk tubuhnya yang ramping padat tampak nyata. "Aku terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Ang-kiam Bu-tek! Bukan julukan kosong karena pedang merahku belum pernah ada yang mampu menandinginya!" Lalu dia duduk kembali, matanya bersinar penuh bafsu birahi dan kegembiraan ketika melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar.
"Wah, tentunya engkau hebat sekali, Nona! Aku belum pernah mendangar nama itu, akan tetapi aku dapat menduga bahwa engkau tentulah murid orang pandai, mungkin murid hwesio-hwesio di Siauw-li-pai yang kudengar merupakan orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti dewa."
"Hi-hi-hi-hi-hik! Hwesio Siauw-lim-pai? Mereka itu bukan apa-apa! Thian Ti Hwesio, tokoh Siauw-lim-pai tingkat dua itu dengan mudah saja roboh dan tewas di ujung pedangku!"
"Aaaahhhhh…!" Pemuda itu berseru kaget.
"Tidak perlu kaget, sahabatku yang tampan! Aku mempunyai banyak musuh dan jangan kau kaget kalau andai kata malam ini ada musuhku yang datang menyerangku, karena pedangku akan siap melindungimu. Nah, katakanlah, wahai pemuda pujaan hati, apakah engkau suka kepadaku?"
Cong San menelan ludah, sukar menjawab dan dia hanya dapat menggangguk. Cui Im diam-diam merasa girang, akan tetapi dia masih belum puas benar karena sikap pemuda itu masih membayangkan bahwa dia belum terangsang.
"Mari kita makan hidangan ini!" Ia mempersilakan dan mereka lalu mulai makan.
Melihat sikap Cong San masih canggung dan belum kelihatan pemuda itu tertarik, Cui Im kembali menuangkan arak, akan tetapi kini dia menuangkan arak dari sebuah guci emas yang kecil dan begitu arak dituang ke dalam cawan, terciumlah bau yang harum dari arak yang berwarna merah itu.
"Minum, sahabatku. Mari kita minum demi... cinta kasih kita!"
Cong San mengangkat cawan dan minum habis arak itu. Cui Im tertawa genit, kemudian menawarkan masakan-masakan lezat, diterima oleh Cong San yang tidak banyak bicara lagi.
Arak yang diminum Cong San adalah arak istimewa, arak buatan Cui Im sendiri yang mengandung obat perangsang yang amat kuat, yaitu Ai-ang-ciu. Selama ini belum pernah Cui Im mempergunakan arak perangsang ini karena setiap orang pria yang di bawanya ke pondok merah itu, tanpa perlu minum obat perangsang pun sudah terangsang hebat oleh keindahan wajah dan tubuh Cui Im. Sekali ini terpaksa dia menggunakan araknya yang lihai karena melihat bahwa Cong San benar-benar merupakan seorang pemuda istimewa yang sukar sekali dibangkitkan gairahnya.
Mereka sudah kenyang makan dan arak di guci sudah habis. Pemuda itu sudah minum secawan penuh Ai-ang-ciu dan belasan cawan arak biasa, arak tua dan harum yang keras. Akan tetapi masih kelihatan ‘dingin’ saja. Hal ini membuat Cui Im yang sudah tidak kuat menahan gelora nafsunya menjadi penasaran sekali.
Ia bangkit, memindahkan bangkunya ke sebelah Cong San, duduk merapatkan tubuhnya dan berbisik, "Cong San... ahh, Cong San... belum tergerak jugakah hatimu...? Aku suka sekali padamu..."
Dalam gairah nafsunya, Cui Im memegang tangan kanan Cong San, mempermainkan jari-jari tangan pemuda itu yang halus seperti jari tangan wanita, jari tangan yang biasa dimiliki kaum sastrawan, lalu menciumi tangan itu. Melihat pemuda itu masih saja dingin, Cui Im lalu membawa tangan itu ke dadanya, dan dia mencondongkan tubuh ke depan mencium pipi Cong San. Karena gerakan ini, sebelah kakinya bergeser ke depan dan kaki itu menginjak sesuatu yang basah di lantai bawah meja. Cui Im melepaskan pipi yang diciumnya, melongok ke bawah meja.
"Aihhh...!" Ia menjerit lirih.
Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, bangku yang didudukinya terguling sehingga kini tidak menghalangi lagi lantai di bawah meja yang ternyata basah oleh arak!
Pada saat itu pula berkelebat bayangan putih dan terdengar suara bentakan halus penuh kemarahan dan amat berpengaruh, "Cui Im, akhirnya kita dapat berhadapan juga!"
Cui Im cepat memutar tubuhnya dan ia tidak kaget melihat Keng Hong telah berdiri di situ, bahkan dia lantas tertawa terkekeh, kemudian mencabut pedangnya ke arah Keng Hong sambil membentak,
"Cia Keng Hong! Karena mendengar kau masih berkeliaran di sekitar sini, aku memang sengaja datang untuk memancingmu keluar dari tempat sembunyimu. Sekarang kau bisa masuk ke pondok ini, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar sebelum meninggalkan nyawa!"
Keng Hong tersenyum, mengerling ke arah pemuda tampan yang kini mundur-mundur ketakutan dan berdiri di pojok ruangan. "Sobat, seorang terpelajar seperti engkau tidak semestinya dapat terpikat oleh wanita iblis ini!" Kemudian Keng Hong memandang Cui Im dengan sinar mata tajam penuh teguran, "Bhe Cui Im, agaknya setelah engkau mati baru engkau akan menghentikan semua perbuatanmu yang selalu berlandaskan nafsu. Semua perbuatanmu yang busuk! Engkau menjatuhkan fitnah atas diri Biauw Eng, menipuku dan berusaha membunuhku di Kiam-kok-san, membunuh gurumu sendiri, membunuh banyak tokoh kang-ouw yang tidak berdosa, benar-benar membuktikan bahwa engkau bukanlah manusia, melainkan iblis! Akan tetapi, masih belum terlambat bagimu untuk sadar dan bertobat."
"He-he-heh-heh, Keng Hong manusia sombong! Engkau memaki aku jahat seperti iblis, apakah engkau sendiri suci dan bersih seperti dewa? Dulu aku cinta padamu dan telah bersumpah untuk membasmi semua wanita yang berani mencintamu. Biauw Eng ternyata cinta kepadamu! Perbuatanku itu ada dasarnya, yaitu dasar cinta padamu. Apakah kau sendiri tidak sadar bahwa engkau adalah seorang yang tidak mengenal cinta dan budi? Lupakah engkau betapa dulu kita pernah bersama-sama menikmati cinta kita? Kemudian engkau bahkan menghinaku! Dan aku membunuhi tokoh-tokoh besar, apa hubungannya denganmu? Kalau aku tidak membunuh mereka, mana bisa aku disebut Ang-kiam Bu-tek, dan apa gunanya pula susah payah mempelajari semua ilmu, hidup tersiksa selama lima tahun di dalam neraka bersama seorang pria macam engkau yang tiada ubahnya sebuah arca batu? Huh, engkau sekarang mau apa, Keng Hong?"
"Cui Im, mengingat bahwa engkau, biar pun secara tidak resmi adalah murid guruku juga, biarlah aku mengampunimu asal engkau suka memenuhi dua syaratku!"
"Hi-hi-hik! Keng Hong, engkau benar-benar sombong bukan main. Akan tetapi biarlah aku mendengar dulu apa syaratmu itu?"
"Pertama, sekarang juga engkau harus mengembalikan semua pusaka peninggalan suhu. Aku tidak menginginkan benda-benda itu, akan tetapi benda-benda itu menjadi hak milik orang-orang dan partai-partai persilatan lain, tidak boleh kau rampas dan curi begitu saja. Ke dua, mulai detik ini engkau harus bertobat dan menghentikan perbuatan-perbuatanmu yang jahat. Kurasa, dengan bekerja di istana, apa lagi di bawah pengawasan pembesar- pembesar sakti bijaksana seperti The-taijin, engkau akan dapat menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."
Cui Im membanting kakinya dan mengelebatkan pedangnya hingga tampak sinar merah, "Keng Hong, syarat-syaratmu adalah syarat yang hendak menang sendiri. Kau katakan aku merampas dan mencuri pedang. Hendak kutanya, bagaimana pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain bisa berada di tangan Sin-jiu Kiam-ong gurumu itu? Bukankah dia juga dahulu merampas dan mencurinya? Kau bilang sendiri bahwa aku juga murid Sin-jiu Kiam-ong, nah, jika benar begitu, akulah murid yang berbakti dan setia, melanjutkan cita-cita dan perbuatan guruku. Sebaliknya engkau hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu kepada pemilik-pemiliknya, berarti kau hendak menentang perbuatan mendiang guru sendiri! Tidak, aku tidak akan menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali tidak kepada engkau! Dan soal ke dua, kau mengatakan aku melakukan perbuatan jahat! Yang mana? Apakah bersenang-senang dengan dia itu kau anggap jahat? Bagai mana dengan engkau sendiri dengan Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai, dengan Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si murid-murid Kong-thong-pai itu?"
"Cui Im, perempuan iblis! Engkau yang membunuh mereka, masih berani menyebut nama mereka?"
"Engkau mau apa?" Cui Im menantang dan mengejek.
"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu!" bentak Keng Hong yang sudah marah sekali.
Cui Im mengeluarkan suara tawa melengking tinggi sambil memutar pedangnya sehingga sinar merah bergulung-gulung menyilaukan mata. "Engkau sudah kutunggu-tunggu!"
Agaknya suara ketawa melengking itu dijadikan tanda rahasia, karena tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari jendela dan Siauw Lek bersama Pak-san Kwi-ong sudah berada di ruangan itu.
Keng Hong tidak kaget melihat ini. Walau pun dia tidak tahu bahwa dia dipancing, namun dia sudah menduga bahwa kalau Cui Im berani muncul di malam hari itu, tentu wanita itu mempunyai andalan dan ternyata Cui Im diam-diam membawa dua orang lihai ini untuk mengeroyoknya.
"Bagus! Pak-san Kwi-ong dan Kim-lian Jai-hwa-ong memang bukan manusia baik-baik. Membunuh mereka sangat berjasa bagi manusia!" kata Keng Hong sambil mengeluarkan Siang-bhok-kiam dengan gerakan tenang.
"Sombong...!" teriak Siauw Lek.
Dan begitu tangannya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Keng Hong dan ternyata laki-laki ini sudah membacokkan pedang Hek-liong-kiam ke arah kepala Keng Hong dari samping. Tanpa menoleh Keng Hong mengangkat Pedang Kayu Harum di tangannya.
"Cringggg…!"
Hek-liong-kiam tergetar hebat sehingga hampir saja tidak bisa dipertahankan oleh Siauw Lek. Cepat dia memutar pedangnya sehingga getaran itu terhenti, barulah dia melangkah mundur.
Pak-san Kwi-ong sudah meloloskan senjatanya pula, yaitu rantai panjang yang di kedua ujungnya bergantung dua buah tengkorak. Sambil memutar-mutar tengkorak pada ujung rantai, Pak-san Kwi-ong melangkah miring, demikian pula Cui Im menggerakkan kakinya sehingga Keng Hong terkurung oleh tiga orang lawannya.
Dengan kedua tangan gemetar Yap Cong San yang berdiri di pojok ruangan menuangkan isi guci arak ke dalam cawan di tangan kirinya. Entah kapan dia mengambil guci beserta cawan itu, mungkin tadi dia meninggalkan meja dengan kedua tangan masih memegang guci cawan, dan kini menyaksikan ketegangan di hadapan mata yang membuat kakinya seperti terpaku di lantai, dia ingin menenangkan hatinya dengan minum arak!
Benar-benar sial bagi pemuda sastrawan ini. Dia mundur-mundur sehingga punggungnya menempel daun pintu untuk lebih menjauhkan diri dari mereka yang hendak bertanding, akan tetapi baru saja dia menuangkan arak, tiba-tiba daun pintu terbuka dari luar.
Daun pintu itu menumbuk punggung Cong San, membuat pemuda ini kaget dan hampir terperosok ke depan. Ia terhuyung-huyung dan menoleh marah saking kagetnya.....
Komentar