PEDANG KAYU HARUM : JILID-36


"Aihhhhh...!" Biauw Eng kaget, akan tetapi tidak menjadi gugup.

Dia merendahkan tubuh, tidak mengelak mundur, bahkan cepat dia menyusup ke bawah tubuh harimau yang sedang meloncat. Harimau menggereng, agaknya menjadi bingung dan merasa diakali oleh lawan karena selagi tubuhnya meloncat tidak mungkin membalik. Hanya buntutnya yang dapat digerakkan secara tidak terduga oleh Biauw Eng kemudian tiba-tiba menyabet ke bawah selagi gadis itu menyusup.

Hal ini sungguh tidak terduga oleh Biauw Eng sehingga pundaknya terpukul ekor harimau yang menyambar. Dan ternyata pukulan itu amat keras sehingga Biauw Eng terbanting ke kanan dan pundaknya terasa nyeri seperti dipukul toya oleh lawan yang bertenaga besar!

Sekarang Biauw Eng marah sekali. Dia tidak mempedulikan rasa nyeri pada pundaknya, cepat dia melompat bangun dan pada saat harimau itu melayang turun, sabuk suteranya sudah menyambar ganas, merupakan dua cahaya putih karena yang menyambar adalah kedua ujungnya sedangkan dara itu memegang bagian tengah. Kedua ujung sabuk itu dengan kecepatan kilat sudah menyambar dan membelit keempat kaki harimau itu, ujung pertama membelit kedua kaki belakang, ujung ke dua membelit dua kaki depan.

Harimau menggereng dan meronta, tetapi sia-sia saja karena tubuhnya tiba-tiba terangkat naik tanpa mampu ditahannya lagi. Harimau masih terus meronta-ronta ketika Biauw Eng mengerahkan tenaga menggerakkan tangan. Tubuh harimau yang sudah dibelenggu oleh kedua ujung sabuk itu kini terbanting ke bawah menghantam sebuah batu gunung.

"Desssss…!"

Batu itu remuk dan harimau itu mengerang-erang kesakitan. Kembali tubuhnya terangkat dan kini menghantam sebuah batu lainnya yang lebih besar, hanya kali ini dia terbanting dengan kepala lebih dulu.

"Prokkk!" Kembali batu yang pecah biar pun kepala harimau itu pun terluka dan berdarah.

Biauw Eng menjadi penasaran sekali. Alangkah kuatnya harimau itu. Saking marah dan penasaran, berkali-kali dia membanting tubuh harimau yang sudah tak berdaya itu sampai kepala harimau itu pecah-pecah. Sebelum tewas harimau itu sempat mengeluarkan suara mengaum yang amat dahsyat dan nyaring, menggetarkan gunung.

Biauw Eng lalu melontarkan bangkai harimau itu jauh memasuki jurang. Kemudian Biauw Eng menghampiri bangkai sepasang kijang, berjongkok dan menatap bangkai sepasang kijang itu dengan kening berkerut karena kasihan. Akan tetapi kemarahannya mereda dan sekarang, dalam keadaan tidak panas hatinya, baru ia teringat dan terheran-heran penuh kekaguman akan kelihaian harimau itu.

Baru keadaannya sudah aneh, kepalanya bertanduk, sungguh pun dalam perkelahian tadi dia melihat bahwa benda di kepalanya itu bukan tanduk keras macam lembu, melainkan segumpal daging yang tumbuh di antara kedua telinga. Selain keadaanya yang aneh, juga kini dia teringat betapa gerakan harimau tidak wajar. Gerakan-gerakannya mengandung teknik ilmu silat! Cara kaki depan menangkis dari samping dengan gerakan memutar dan membesut, cara buntut harimau itu menangkis dan menyerang, semua itu adalah gerakan ilmu silat!

Kemudian Biauw Eng termenung memandangi bangkai dua ekor kijang itu dan ia merasa heran teringat akan kelakuannya sendiri. Harimau itu membunuh dua ekor kijang ini akibat lapar, karena kijang-kijang ini akan dijadikan mangsanya. Mengapa dia marah-marah dan membunuh harimau itu? Hal ini tidak biasa ia lakukan. Mengapa ia menjadi marah melihat harimau membunuh kijang? Bukankah hal itu sudah sewajarnya dan dahulu sudah sering kali dia melihat kejadian seperti ini tanpa terpengaruh sedikit pun? Ia memandang lagi dan tiba-tiba mengertilah dia, lalu menghela napas panjang.

Tadi dia melihat dua ekor kijang itu, sepasang kijang yang indah, jantan dan betina yang kelihatan rukun. Hatinya yang baru diobrak-abrik oleh asmara itu tadi merasa mesra dan penuh gairah menyaksikan pasangan kijang ini, mengingatkan dia terhadap Keng Hong. Betapa akan mesra dan bahagianya apa blia dia bersama Keng Hong dapat hidup rukun berdampingan seperti sepasang kijang itu.

Dan harimau itu kemudian muncul, menghancurkan kemesraan yang memenuhi dada. Melihat sepasang kijang rebah menjadi bangkai yang berlumuran darah, dia seolah-olah merasa bahwa si harimau juga menghancurkan kebahagiaannya bersama Keng Hong, maka bangkitlah kemarahannya yang luar biasa.

"Ahh, Keng Hong... engkau membuat aku tidak hanya menjadi merana, juga menjadi... gila!" keluhnya dan kini hatinya mulai merasa menyesal mengapa dia membunuh harimau yang sesungguhnya tidak bersalah apa-apa terhadap dirinya itu.

Tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan keras, teriakan-teriakan yang makin lama makin mendekati tepat itu. Biauw Eng terkejut dan cepat meloncat bangun sambil melibatkan sabuk suteranya di pinggang.

Tidak lama kemudian muncullah tiga belas orang wanita. Mereka muncul dari berbagai jurusan, ada yang berlari-larian dari atas, ada yang meloncat keluar dari jurang. Gerakan mereka gesit-gesit dan mereka memakai pakaian seragam warna kuning. Tangan mereka memegang pedang dan gerakan mereka gesit bukan main. Sambil berteriak-teriak marah mereka mengurung Biauw Eng yang berdiri tegak dengan sikap tenang.

"Dia sudah membunuh tuan muda..!" Beberapa orang di antara mereka berteriak sambil menangis.

"Dia juga menyiksa tubuh tuan muda..., hi-hi-hik!" Beberapa orang lainya berseru sambil... tertawa-tawa.

Melihat sikap mereka, meremang bulu tengkuk Biauw Eng. Wajah tiga belas orang wanita yang berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun itu rata-rata cantik, akan tetapi sinar mata mereka liar seperti mata orang yang miring otaknya! Mereka menangis dan tertawa tidak karuan, meloncat-loncat seperti orang menari mengelilinginya.

"Kalian ini mau apakah?!" Biauw Eng membentak. "Siapa pula yang membunuh tuan muda?"

"Kau yang membunuh siauw-ya (tuan muda)!" salah seorang di antara mereka, yang membiarkan rambutnya terurai dan yang nampak paling tua di antara mereka, juga paling cantik, membentak dengan suara seperti orang menangis, akan tetapi bentakan marah itu disusul suara ketawa cekikikan!

"Aku? Tuan muda yang manakah yang telah kubunuh?" Biauw Eng bertanya, tengkuknya terasa dingin dan hatinya merasa seram.

Mudah diduganya bahwa wanita yang mengurai rambut ini tidak waras pikirannya. Akan tetapi kalau gila, masakah tiga belas orang wanita yang melihat pakaiannya merupakan pasukan berseragam ini gila semua?

"Ehh, engkau masih berpura-pura? Engkau sudah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!" Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.

"Srattttt... Sing-sing...!" Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali.

Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya. Dia mempergunakan ginkang-nya mengelak ke sana-sini sambil berseru,

"Heeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang tadi kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau berbulu hitam karena ia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?"

Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran-heran dan seram, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Kenapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan?

Ternyata hidungnya tidak apa-apa, dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang sambil memegangi perut menahan ketawa.

"Hi-hik-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau sudah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih berani menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!" kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut.

Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, lalu bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan marahlah Biauw Eng. Dia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, maka dia segera meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,

"Kalian ini kumpulan orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!"

Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan. Gadis ini menjadi seram karena baru saja dia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan dia menganggap mereka seperti gila.

Benar gilakah mereka ini? Ataukah... dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tak wajar? Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung.

Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Walau pun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan, cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.

Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang kala gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga ke mana hendak menyerang. Tetapi Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi, maka dengan tenang dia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali.

Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya. Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan ada kalanya seperti tarian manusia-manusia yang liar. Mereka meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah, menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng!

Biauw Eng sangat terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dalam hal ginkang dan tenaga sinkang, dia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah dia saksikan itu, benar-benar dia tak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali.

Setelah melawan dengan pertahanan ketat hingga lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka, Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan yang aneh-aneh dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Semua gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan!

Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar ilmu mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah. Maka sekali ia berseru keras, secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya!

Terdengar jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya kemudian menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah.

Dan tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya sekarang menusuk atau membacok pinggangnya. Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi ketika semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas.

Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka. Dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang telah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah, kemudian sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.

"Wuuuttt... Trang-trang-cringggg...!"

Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi masih ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka lantas terguling roboh dan... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah Kin-ceng Hiat-to dan Tiong-ca Hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tak mengeluh dan tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!

Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing. Sungguh sikap mereka amat menyeramkan.

Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini.

Akan tetapi, selagi dia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengarlah suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan wanita berseragam kuning yang belum roboh dan serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,

"Sian-li datang...!"

Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap. Dia terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi. Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah.

Wanita itu masih muda, hanya sekitar dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah. Matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian berwarna merah dan pada pinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula.

Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya saja sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka dia langsung bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

"Apa yang terjadi di sini?" Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih berhati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.

"Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri," kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.

"Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sian-li. Dia sudah melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, kedua, dia membikin sakit hati Sian-li, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila berambut riap-riapan.

"Bohong!" Biauw Eng berteriak marah dan penasaran. "Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"

"Kau yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.

"Kalian yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.

"Kau...!" Tiga belas orang itu membalas.

"Kalian!" Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila.

Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, maka terpaksa Biauw Eng juga diam. "Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?"

"Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang sudah aku lakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?"

Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.

"Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"

Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biar pun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tidak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, walau pun dia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya,

"Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sian-li dan menyerang kalian?"

"Dosamu ke dua adalah, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sian-li, bukankah berarti engkau sudah menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"

Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Sia-sia saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka dia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,

"Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku telah melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau yang membunuh dua ekor kijang, maka aku lantas membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."

"Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.

"Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng," Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya.

Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,

"Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"

Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan ‘berkabung’ karena pakaiannya yang selalu putih itu. Sekarang pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu dia pun menjawab,

"Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."

"Kenapa engkau memakai pakaian putih?"

Pertanyaan tolol, ataukah gila? Biauw Eng mengerutkan keningnya dan menjawab tak sabar, "Tentu saja berpakaian putih, kan sudah jelas aku berkabung?"

Tiba-tiba saja wanita cantik berpakaian merah itu tertawa, suara ketawanya seperti tadi, nyaring dan merdu sekali. Akan tetapi anehnya, seperti juga tadi, wanita-wanita gila yang mendengar suara ketawa ini segera menundukkan muka seperti orang ketakutan. Apakah suara ketawa itu merupakan tanda bahwa gadis itu sedang marah?

"Mengapa engkau tertawa?" Biauw Eng bertanya, suaranya dingin dan marah.

Gadis baju merah itu tertawa makin nyaring. "Siapa tidak akan tertawa kalau mendengar engkau berkabung memakai pakaian putih? Lihat, aku pun berkabung karena kematian ayah bundaku, dan aku memakai pakaian serba merah. Ini baru benar-benar berkabung!"

Biauw Eng mengangkat muka, kemudian memandang wajah yang cantik manis itu penuh perhatian. Celaka, pikirnya. Agaknya gadis cantik yang tampaknya waras ini pun ternyata tidak kalah gilanya dengan ketiga belas orang pelayannya!

"Hemmm, seluruh dunia mengakui bahwa warna berkabung adalah putih yang berarti suci dan warna duka. Kalau engkau berkabung memakai pakaian merah, terserah kepadamu," jawab Biauw Eng yang menganggap bahwa tidak akan ada gunanya berdebat dengan orang berotak miring.

"Hi-hi-hi-hik-hik, alangkah lucunya! Siapa bilang warna putih itu suci? Apanya yang suci? Mengapa warna putih dianggap sebagai warna berkabung dan duka? Yang berkabung itu hatinya ataukah pakaiannya dan warna pakaiannya?"

Diam-diam Biauw Eng mendongkol karena betapa pun gilanya bantahan itu, memang sulit untuk dijawab. Memang harus ia akui bahwa yang menentukan berkabung atau tidaknya, berduka atau tidaknya, bukanlah warna pakaian melainkan hati orangnya.

"Sesukamulah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol lagi. Aku hendak pergi dari sini!"

Biauw Eng lalu meloncat hendak pergi, gerakannya cepat sekali. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan merah melesat cepat bagaikan kilat menyambar dan tahu-tahu gadis pakaian merah itu sudah berdiri menghadang di depannya.

"Engkau mau apa?!" Bentaknya marah, tidak takut sedikit pun meski dia tahu bahwa gadis itu ternyata memiliki ginkang yang luar biasa.

"Mau apa? Mau membunuhmu! Apakah sepasang kijang itu milikmu?"

"Bukan."

"Nah, engkau telah membunuh kesayanganku, karena itu sekarang engkau harus menjadi penggantinya, menjadi kesayangan dan teman mainku. Jika engkau tidak mau, aku akan membunuhmu."

"Gila! Kau kira aku takut kepadamu?" Biauw Eng tak dapat menahan marahnya lagi dan ia sudah menubruk serta memukul ke arah muka wanita baju merah itu. Gadis itu tertawa, mengangkat tangan dan menangkis.

"Dukkk!"

Dua buah lengan yang berkulit putih halus bertemu dan dua tenaga dahsyat dari sinkang yang kuat bertumbuk. Akibatnya, Biauw Eng terhuyung ke belakang dan tubuh gadis baju merah itu bergoyang-goyang.

"Hi-hi-hik, tenagamu boleh juga!" Gadis berpakaian merah itu tertawa. "Engkau lebih kuat dari pada Tok-kak-houw, pantas dia kalah. Engkau akan menjadi teman main yang lebih menyenangkan."

"Tidak sudi!" Biauw Eng membentak.

Tentu saja dia marah sekali. Masa dia hendak disamakan seekor harimau yang menjadi binatang peliharaan? Karena maklum akan kelihaian lawan, Biauw Eng sudah meloloskan sabuk suteranya dan ia menggerakkan pergelangan tangan.

"Hi-hi-hik, bagus sekali! Mari kita main-main!" Si nona berpakaian merah tertawa dan sinar hitam berkelebat ketika ia mencabut pedangnya.

"Wuuuttt.. wirrrr... cringgg...!"

Sinar putih dan sinar hitam itu pecah membuyar, dan masing-masing menarik kembali senjatanya setelah ujung sabuk sutera bertemu pedang hitam, membuat tangan mereka tergetar. Biauw Eng terkejut bukan main. Gila atau tidak, ternyata gadis baju merah itu benar-benar mempunyai sinkang yang kuat, ginkang yang tinggi dan senjata pedang yang ampuh!

"Bagus, engkau lihai juga, Sie Biauw Eng! Jagalah pedangku ini!"

Gadis baju merah itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking ketawa yang sangat aneh sehingga Biauw Eng merasa jantungnya berdebar dan sinar bergulung-gulung berwarna hitam datang menyambar seperti badai datang mengamuk. Biauw Eng kaget sekali, cepat memutar sabuk suteranya dan bertandinglah dua orang gadis cantik itu dengan seru.

Tiga belas orang wanita yang sikapnya seperti gila itu ternyata sangat senang menonton pertandingan silat. Kini mereka bangkit berdiri dan menonton, bahkan yang tadi sudah dirobohkan Biauw Eng juga menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Mata yang tadinya liar berputar itu kini kehilangan sifat liarnya, seperti mata orang waras dan memang hanya dalam hal ilmu silat saja mereka ini dapat mengerahkan perhatian maka dapat mempelajari ilmu silat sampai mencapai tingkat tinggi.

Betapa pun juga, kini menyaksikan pertandingan hebat itu pandang mata mereka menjadi kabur dan kepala mereka terasa pening. Yang tampak oleh mereka hanyalah sinar hitam dan putih bergulung-gulung dan mereka mendengar suara ketawa merdu dari wanita baju merah diselingi pujian-pujian akan kelihaian Biauw Eng.

Puteri Lam-hai Sin-ni makin lama menjadi makin kaget dan juga kagum sekali. Memang banyak sudah ia bertemu tanding yang lihai, akan tetapi selain bekas suci-nya yang kini amat lihai, belum pernah ia bertemu dengan wanita sebaya yang mempunyai kepandaian seperti wanita baju merah ini.

Hatinya panas mendengar pujian-pujian dan suara tawa yang keluar dari mulut lawannya. Dia sudah mandi keringat dan harus mengerahkan semua tenaga serta mengeluarkan semua kepandaiannya, juga tak berani memecah perhatian. Akan tetapi lawannya masih dapat tertawa-tawa sambil memujinya. Pujian itu bagi telinganya merupakan ejekan yang memanaskan hati.

Maka ia melengking nyaring dan mengeluarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-pian (Ilmu Cambuk Awan Putih). Ilmu silat ini sebenarnya diperuntukkan bagi senjata joan-pian, yaitu ruyung lemas atau senjata seperti cambuk. Akan tetapi karena senjata Biauw Eng yang istimewa adalah sabuk sutera, maka kini ilmu itu dimainkannya dengan sabuk dan ibunya dahulu sengaja menciptakan ilmu yang khusus untuk sabuknya diambil dari dasar-dasar Pek-in Sin-pian itu. Segera sabuknya mengeluarkan suara bercuitan dan diakhiri dengan ledakan-ledakan yang keluar dari ujung sabuk yang dilepas kemudian ditarik tiba-tiba seperti orang membunyikan cambuk.

"Hi-hi-hik, ilmu cambuk yang luar biasa!" Wanita baju merah itu berseru keras.

Akan tetapi seruannya itu segera disusul pekik kaget ketika tiba-tiba pedangnya terlibat ujung sabuk dan tanpa dapat ia tahan lagi, pedang itu terlepas dari tangannya direnggut sabuk dan terlempar ke atas tanah! Pada detik berikutnya, wanita baju merah itu sudah menyambar ujung sabuk sutera dan terjadillah perebutan ketika mereka saling membetot sabuk sutera.

Biauw Eng maklum bahwa jika mereka berdua berkeras mengeluarkan tenaga, sabuknya akan putus dan hal ini tak akan menguntungkannya. Maka tiba-tiba ia melepas sabuknya sehingga ujung yang tadi dipegangnya melecut ke arah muka lawan.

Tetapi wanita itu lihai sekali. Dia melepaskan ujung sabuk sambil menggulingkan tubuh di atas tanah. Sabuk sutera itu melayang ke belakangnya dan dia tidak mau mengambilnya. Bahkan dia lalu tertawa-tawa dan meloncat maju menghadapi Biauw Eng dengan tangan kosong.

"Hi-hi-hik, bagus sekali. Engkau teman main yang menyenangkan. Mari kita main-main dengan tangan kosong!"

Melihat datangnya pukulan, Biauw Eng mengelak dan balas menendang, tetapi lawannya sudah meloncat ke belakang sambil terkekeh. Biauw Eng kini merasa ragu-ragu. Agaknya lawan yang dianggapnya gila dan jahat ini belum tentu benar-benar jahat, karena siapa tahu maksud kata-katanya teman main adalah teman berlatih.

Mungkin sekali harimau tanduk satu yang juga lihai itu selain menjadi binatang peliharaan, juga menjadi temannya berlatih silat! Agaknya dia bukan dihina, bukan hendak dijadikan binatang peliharaan teman bermain-main, tapi dijadikan teman berlatih silat. Berkuranglah kemarahannya, akan tetapi dia pun merasa amat penasaran.

Dalam pertandingan tadi, dialah yang sesungguhnya terdesak karena ilmu pedang wanita itu benar-benar luar biasa sekali. Kalau ia tadi berhasil merampas pedang, hal itu mungkin karena lawannya merasa terkejut dan bingung menyaksikan perubahan permainan sabuk suteranya, atau mungkin juga lawannya sengaja menyerahkan pedang untuk merampas sabuk sutera! Dan hasil pertandingan mengadu senjata tadi masih sama kuat, belum ada yang kalah karena keduanya sama-sama kehilangan senjata.

Dalam hal ilmu silat tangan kosong, Biauw Eng juga amat lihai, maka ia tidak menjadi jeri dan menghadapi lawannya penuh semangat. Akan tetapi, sesudah lewat tiga puluh jurus saling menyerang, saling mengelak dan menangkis, tiba-tiba Biauw Eng terkejut sekali menyaksikan perubahan luar biasa pada permainan silat lawan.

Kini lawannya itu bersilat dengan aneh bukan main, gerakan-gerakannya kadang-kadang lemas dan indah melebihi keindahan orang menari, kadang-kadang amat kaku dan buruk seperti monyet pincang menari! Dan kadang-kadang bahkan secara tiba-tiba menjatuhkan diri duduk dan membanting-banting kedua kaki sambil menangis laksana seorang bocah nakal sedang ngambek! Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ketika diserang tiba-tiba dia mencelat dan membalas serangan dengan lebih hebat! Makin aneh gerakan wanita baju merah itu, makin sukar pula dilawan karena Biauw Eng menjadi bingung sekali.

Lima puluh jurus telah lewat dan beberapa kali Biauw Eng tertegun dan berhenti setengah jalan dalam penyerangannya sebab melihat gerakan lawan yang terlalu aneh. Ia mencoba untuk menyatukan pikiran dan tidak mempedulikan lagi sikap lawan yang luar biasa itu. Sambil berteriak dia menerjang maju, memukul ke arah perut lawan.

Nona baju merah menangkis dan karena posisinya miring dia lalu terhuyung. Biauw Eng terus mendesak, akan tetapi tiba-tiba lawannya itu berteriak keras sekali. Biauw Eng siap menghadapi terjangan balasan lawan karena teriakan itu biasanya mendahului serangan yang dahsyat. Karena ia tidak berani memandang rendah lawan yang ia tahu amat lihai, mendengar teriakan itu ia siap membela diri.

Wanita baju merah itu benar saja menggerakkan kedua tangan, yang kiri ditudingkan ke depan, ke arah hidung Biauw Eng, mulutnya tertawa dan tangan kanannya dikepal, terus dihantamkan ke arah... mukanya sendiri!

Gerakan Biauw Eng terhenti, matanya terbelalak lebar saking herannya. Meski pun hanya sedetik dua detik dia terpesona dan terheran, akan tetapi yang sedetik dua detik ini sudah cukup mendatangkan bencana baginya karena tahu-tahu kaki lawan sudah ‘menyelonong’ dan ujung sepatu merah menyentuh lututnya. Tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuh Biauw Eng roboh miring dan sebuah totokan di pundak dan punggung membuat dia tidak dapat berkutik lagi!

Sambil tertawa-tawa lima orang anggota pasukan baju kuning menubruk lantas mengikat tubuh Biauw Eng seperti orang mengikat seekor domba yang hendak disembelih, lalu beramai-ramai mereka mengangkat dan menggotong tubuh Biauw Eng, dibawa naik ke atas sebuah puncak sambil tertawa-tawa gembira.

Sikap mereka mengingatkan Biauw Eng akan sikap serombongan pemburu yang pulang membawa seekor harimau hasil buruan. Dia pun bergidik. Akan diapakankah dia? Segala kemungkinan bisa saja terjadi atas dirinya di tangan orang-orang gila ini. Apakah mereka nanti akan memanggangnya seperti orang memanggang domba di atas api sampai kulit dagingnya menjadi setengah matang untuk diganyang dengan teman arak wangi?

Kembali ia bergidik dan meramkan matanya, tidak tahan memandangi wajah yang semua cantik-cantik akan tetapi yang menyeringai seperti muka kuda sakit gigi itu!

Akan tetapi, setelah rombongan aneh ini membawanya tiba di puncak, mata Biauw Eng terbelalak memandang ke depan dan kembali ia meragukan apakah mereka itu yang gila ataukah dia sendiri yang sudah berubah pandang mata dan pikirannya sehingga hal-hal yang sebenarnya biasa dan wajar dia anggap aneh dan gila. Jangan-jangan dia sendiri yang telah gila. Ingin ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi tidak dapat karena kedua tangan dan kedua kakinya dibelenggu pada kayu pikulan di mana ia digotong bagai seekor domba.

Yang membuat ia terbelalak keheranan adalah ketika ia melihat adanya bangunan besar di puncak itu. Bangunan itu besar dan megah, akan tetapi bentuknya sungguh tak lumrah bangunan manusia. bentuknya pletat-pletot, bulat bukan persegi pun bukan. Tiang rumah yang biasanya dan seharusnya lurus itu berbentuk bengkang-bengkong tidak karuan, tembok yang biasanya rata itu brenjal-brenjol tinggi-rendah tidak karuan pula.

Lantainya tidak rata, namun penuh lekuk-lengkung sehingga jika tidak hati-hati berjalan di situ bisa tersandung atau terjeblos! Pintunya sekecil jendela, sebaliknya jendelanya malah selebar pintu. Daun pintu bangunan itu tidak dibuka dengan engsel pada kanan kiri, atau terbuka dengan mengangkat daun pintu ke atas, melainkan daun pintunya justru amblas ke dalam lantai.

Pendeknya, selama hidup belum pernah dia melihat rumah seperti itu. Agaknya pembuat bangunan itu adalah orang-orang dengan pikiran kanak-kanak atau pikiran tidak waras! Ataukah... pikirannya sendiri dan pandang matanya yang kini telah berubah sehingga dia melihat sesuatu yang wajar akan tetapi kelihatan aneh?

Para pemikulnya melemparkannya di depan pintu gedung aneh itu, dan mereka semua, termasuk gadis pakaian merah berdiri di pinggiran. Tiga belas orang pelayan itu berlutut dan menyembah dengan muka mencium tanah, sedangkan gadis berpakaian merah itu berlutut dengan sebelah kaki.

Tak lama kemudian terdengar suara ketawa dari dalam gedung. Suara ketawa terkekeh aneh dan menyeramkan, seperti suara ketawa kuntilanak. Tubuh ketiga belas orang anak buah pasukan baju kuning tidak ada yang bergerak, muka mereka tetap menempel tanah, sedangkan gadis baju merah yang berlutut dengan kaki kiri itu menunduk, sikapnya penuh hormat.

Hati Biauw Eng berdebar-debar tidak karuan. Makhluk apakah yang tertawa seperti itu? Mengingatkan dia akan suara burung hantu yang berbunyi pada tengah malam di tengah tanah kuburan. Apakah dia akan diserahkan kepada makhluk ajaib yang kemudian akan mengganyangnya mentah-mentah? Ia bergidik lagi dan membuka mata lebar-lebar penuh perhatian ke arah lubang pintu yang hitam gelap.

Suara ketawa disusul suara batuk-batuk serak dan agak lega hati Biauw Eng. Betapa pun juga, yang dapat batuk-batuk seperti itu tentulah seorang manusia. Akan tetapi manusia macam apakah? Terdengar bunyi kaki diseret dan ketukan tongkat, tidak rata bunyinya. Biauw Eng mengerti bahwa orang yang berjalan di atas lantai berlekuk-lengkung seperti itu, mana bisa rata langkahnya? Tentu sambil berloncatan kalau tidak mau tertelungkup.

Kini muncullah orang yang tertawa dan batuk-batuk itu. Kiranya seorang nenek yang tua sekali, mukanya sudah kempot peyot dan karena ia tertawa lebar, tampak mulutnya tidak bergigi sama sekali. Matanya sipit hampir tertutup keriput, rambutnya sudah putih semua, muntel seperti kapas basah, seluruh kulit tubuhnya yang tampak, dari muka, leher dan tangan, penuh keriput karena kelebihan kulit kekurangan daging.

Biar pun nenek itu sudah kelihatan tua sekali, akan tetapi pakaiannya amat mewah dan indah, terbuat dari pada sutera halus dari barat dan berkembang-kembang lima macam warna, kuning merah biru hitam dan putih!

Sepatunya sulaman dan rambut yang putih tinggal sedikit itu dihias dengan burung hong emas bertabur mutiara! Nenek ini memegang tongkat dan tongkatnya pun terbuat dari pada gading yang kepalanya diukir indah merupakan kepala liong. Sukar ditaksir berapa usia nenek ini, tentu sedikitnya ada seratus tahun.

Bukan main, pikir Biauw Eng, setengah geli akan tetapi juga heran dan hatinya merasa ngeri. Inilah agaknya sang ratu yang menjadi peran utama di tempat ini!

Ia mengingat-ingat akan penuturan ibunya dulu tentang nama tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw bagian utara. Akan tetapi seingatnya ibunya belum pernah menyebut-nyebut seorang nenek yang masih pesolek seperti ini, yang tinggal di rumah gila dan mempunyai pasukan wanita gila pula! Seingatnya, seorang di antara Bu-tek Su-kwi atau empat iblis tanpa tanding yang disebut pula empat datuk hitam, yang menguasai daerah utara adalah Pat-jiu Sian-ong, di timur Ang-bin Kwi-bo dan di selatan adalah ibunya sendiri.

Ada pun tokoh-tokoh di Go-bi-san, yang ia dengar adalah Go-bi-pai atau partai persilatan Go-bi-san yang ilmu pedangnya amat tersohor akan tetapi termasuk golongan putih dan pimpinannya adalah hwesio-hwesio dari barat. Di samping Pak-san Kwi-ong, memang ada tokoh-tokoh Go-bi-san yang tergolong tokoh sesat, yaitu Go-bi Chit-kwi (Tujuh Iblis Go-bi) yang dulu pernah hampir memperkosa ibunya akan tetapi mereka dipukul mundur oleh Sin-jiu Kiam-ong, sehingga ibunya yang masih gadis menjadi tergila-gila kepada pendekar itu. Akan tetapi Go-bi Chit-kwi sudah mati dan kini yang ada hanya muridnya, yaitu Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang menjadi sahabat bekas suci-nya. Akan tetapi nenek gila dan aneh ini? Dia belum pernah mendengarnya!

"Heh-heh-heh-heh! Hun Bwe muridku yang hebat, dewiku yang cantik, untuk apa engkau membawa pula hasil buruan seperti ini? Hi-hi-hi, dagingnya tentu tidak enak dan kalau dipelihara, dia ini gila, bukan?"

"Dia gila segila-gilanya, Thai-houw...!" Tiga belas orang anak buah pasukan baju kuning menjawab serentak.

"Dia mengatakan hamba semua gila, hi-hi-hik, ha-ha!" Perempuan dengan rambut berurai berkata sambil tertawa.

"Hush, aku tidak tanya kamu! Mengapa mulutmu terbuka? Bau!" Sang ratu itu memencet hidungnya.

Melihat ini hampir saja Biauw Eng tidak dapat menahan ketawanya. Benar-benar dia telah memasuki dunianya orang gila.

"Apa engkau pagi tadi menyikat gigimu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya kepada si rambut riap-riapan.

"Sudah, Thai-houw."

"Perlihatkan gigimu!"

Wanita itu meringis sehingga deretan giginya yang putih bagai mutiara itu tampak semua. Nenek itu menggangguk-angguk.

"Baik, akan tetapi awas, kalau gigimu kotor dan bau, akan kucabuti semua. Gigiku dahulu tinggal sebuah, kuning dan bau maka kucabut sekalian. Sekarang bersih. Nah, lihat, bagus dan tidak bau, kan?" Nenek itu meringis hingga tampak gusinya yang kemerahan dan gundul tanpa gigi.

Biauw Eng tak dapat menahan ketawanya. Biar pun kaki tangannya masih terbelenggu, gadis ini cekikikan, tidak dapat menahan kegelian hatinya. Melihat ini, nenek itu mencela muridnya yang berpakaian merah.

"Hun Bwe, bagaimana ini? Kulihat dia waras! Dapat tertawa sehat!"

Gadis berpakaian merah itu cepat menjawab, "Dia memang gila, Subo, akan tetapi bisa disembuhkan."

"Hemmm, begitukah? Eh, kenapa dia dibelenggu? Bila mau dipelihara, harus dibebaskan agar dia senang."

"Dia lihai sekali subo. Teecu khawatir dia memberontak."

"Di depanku mana bisa memberontak?" Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

Biauw Eng terkejut bukan main. Tongkat itu menyambar bagaikan kilat ke arah tubuhnya. Dia cepat memejamkan mata, siap menerima datangnya pukulan maut. Ia maklum bahwa menghadapi pukulan tongkat yang anginnya mendatangkan rasa dingin sekali itu, dia tak akan dapat menyelamatkan diri.

Akan tetapi betapa herannya ketika tiba-tiba kaki tangannya sudah terbebas dari pada belenggu! Ia kagum bukan main, membuka matanya dan melihat betapa tali-tali kuat yang tadi mengikatnya sudah putus seperti dibabat pedang tajam. Padahal tongkat di tangan nenek itu runcing pun tidak, melainkan tumpul. Cepat ia meloncat bangun dengan sigap, siap untuk mempertahankan diri dan membela diri mati-matian sebelum menyerah.

"Heh, di depan ratumu engkau berani berdiri? Hayo berlutut!" Nenek itu membentak.

Biauw Eng adalah seorang gadis yang berhati keras dan tabah, tentu saja dia tidak sudi berlutut di depan nenek gila ini, biar pun nenek ini menamakan dirinya seorang ratu. Akan tetapi sebelum dia membantah, tampak sinar kuning berkelebat ke arah kakinya.

Biauw Eng hanya melihat sinar tapi dapat menduga bahwa dia diserang, maka cepat dia meloncat untuk mengelak. Akan tetapi sinar yang ternyata adalah tongkat nenek itu lalu mengejar ke atas, lantas kakinya ditotok dan dia pun roboh kembali ke atas tanah!

"Heh-heh-heh, berlutut... rebahlah...!" Nenek itu berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Merah seluruh wajah Biauw Eng, merah saking malu dan marahnya. Ia meloncat bangun lagi, akan tetapi kali ini bukan sinar kuning tongkat nenek itu yang menyambar, melainkan tangan kiri nenek yang kurus itu mendorong ke depan. Biauw Eng cepat-cepat mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi seperti juga tadi, percuma saja dia meloncat ke kiri karena pukulan jarak jauh itu tetap saja mengenai tubuhnya dan sekali lagi dia roboh terguling!

"Nenek iblis!" Biauw Eng memaki sambil meloncat bangun lagi karena biar pun dia roboh, ternyata hawa pukulan nenek itu tidak melukainya, hanya membuatnya terjengkang saja karena hawa pukulan itu amat kuat.

"Bagus, terima kasih, nona manis! Aku memang nenek iblis, juga nenek ratu! Pujianmu kuterima dengan hati terbuka!" Nenek itu berjingkrak kegirangan bagaikan seorang anak kecil mendapat pujian.

Melihat ini, Biauw Eng tercengang. Benar-benar nenek yang miring otaknya dan agaknya nenek ini lihai sekali. Bila ia tidak cepat merobohkan nenek ini, tentu takkan ada harapan lagi baginya terlepas dari tangan orang-orang gila ini. Pasukan baju kuning dapat ia atasi, sedangkan gadis baju merah biar pun lihai, dapat pula ia tahan karena tidak selihai nenek ini.

Dia menggunakan kesempatan selagi nenek itu menari-nari dan memutar tubuh. Secepat kilat ia menghantam punggung nenek itu dari belakang.

"Wuuuuuuttt... bleggg!"

Pukulan Biauw Eng tepat mengenai punggung nenek itu, dan sekali ini dia mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dilatih sambil merendam tangan dalam godokan lima macam racun karenanya dinamai Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Tadi dalam pertandingan melawan gadis baju merah dia tidak tega menggunakan tangan beracun itu, akan tetapi kini menghadapi nenek yang demikian lihainya, yang perlu ia pukul mati supaya ia dapat bebas, ia terpaksa mengeluarkan pukulan ini, bahkan memukul dari belakang.

Pukulannya mengenai punggung dengan tepat. Nenek itu mengeluh dan terguling miring, dari mulutnya mengeluarkan darah hitam, tanda bahwa pukulan itu mengenai sasaran dan jantung nenek itu telah keracunan. Namun anehnya, baik nona baju merah mau pun tiga belas orang perempuan baju kuning diam saja seperti patung.

Kesempatan ini segera digunakan oleh Biauw Eng untuk memutar tubuh dan hendak lari meninggalkan puncak. Akan tetapi baru dia melangkah beberapa tindak, terdengar suara ketawa,

"Heh-heh-heh, dewiku yang manis, kau hendak terbang ke mana?"

Biauw Eng terkejut mengenal suara nenek itu dan pada saat itu pun dia terguling roboh karena kedua kakinya kena diserampang tongkat gading. Biauw Eng menggulingkan diri mendekati tambang yang tadi dipergunakan mengikat tubuhnya. Ia melihat nenek yang tadinya roboh mati oleh pukulannya itu kini telah berdiri lagi dan terkekeh-kekeh.

Kiranya nenek itu tidak apa-apa dan tadi hanya mempermainkan dirinya saja. Akan tetapi mengapa mulutnya keluar darah hitam? Biauw Eng bergidik, maklum bahwa nenek ini luar biasa lihainya, memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia, mungkin lebih lihai dari pada ibunya sendiri.

Sabuk suteranya telah lenyap ketika ia bertanding melawan nona baju merah tadi, maka ia teringat akan tambang yang tadi mengikat dirinya. Tambang itu pun merupakan benda lemas, maka dapat dia gunakan sebagai senjatanya. Begitu ia meraba tambang, ia cepat meloncat ke arah tubuh nenek itu, sekaligus ujung tambang menotok ketiga belas jalan darah yang mematikan pada bagian depan tubuh.....

Komentar