PEDANG KAYU HARUM : JILID-23


Cepat sekali gerakan penjahat itu dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat sangat tinggi sehingga begitu diserang dia lenyap dan tahu-tahu telah berada di belakang lima orang itu sambil tertawa mengejek!

Lima orang itu cepat membalikkan tubuh sambil melintangkan golok, kemudian pemimpin mereka yang teringat bahwa mungkin penjahat ini merupakan utusan sisa-sisa musuh di selatan, segera menahan senjatanya dan bertanya dengan suara nyaring.

"Penjahat hina she Siauw! Sebelum engkau mampus di tangan kami, katakanlah kenapa engkau membunuh puteri The-ciangkun?"

Penjahat itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kalian ingin tahu pula mengenai hal itu? Nah, dengarlah. Aku disebut sebagai Raja Pemetik Bunga dan memang aku suka sekali pada bunga-bunga harum bermadu. Aku seperti seorang kumbang yang mencari madu-madu bunga. Apa bila ada bunga dengan senang hati membuka kelopaknya dan menyerahkan madunya kepadaku, aku akan terbang pergi dengan kenang-kenangan manis. Akan tetapi kalau ada bunga tidak suka menyerahkan madunya, akan kurontokkan dia! Dara di bawah itu tak mau menyerah, bahkan menjerit, maka terpaksa kucekik dia sampai mati. Ada jalan hidup senang dia memilih mati konyol! Kalau tadi dia menyerah, aku akan puas, dia akan hidup dan senang dan... Ha-ha-ha, dasar nasib, kalian pun akan mampus!"

"Keparat hina!" Lima orang harimau gunung utara itu menjadi marah sekali dan kembali lima batang golok mereka menyambar.

Tiba-tiba tampak sinar hitam berkelebat dan disusul suara nyaring lima kali.

“Trang-trang-trang-trang-tranggg…!”

Kelima orang kang-ouw itu terkejut karena pedang hitam di tangan Siauw Lek yang tadi berkelebat telah menangkis golok-golok mereka dan begitu bertemu, golok mereka patah semua!

"Tangkap penjahat...!" Terdengar seruan dari arah bawah dan belasan orang pengawal The-ciangkun yang berkepandaian lumayan sudah melayang naik ke atas genteng.

Akan tetapi terdengar Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek tertawa, tangan kirinya bergerak dan belasan batang senjata berbentuk paku-paku yang disebut Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) meluncur cepat sekali, menyambut tubuh para pengawal yang sedang meloncat sehingga tubuh mereka terkena senjata rahasia dan jatuh kembali ke bawah didahului teriakan-teriakan mengerikan karena sebelum tubuh mereka terbanting ke tanah, mereka itu telah tewas oleh paku-paku yang mengandung racun jahat itu!

"Lima ekor tikus, rebahlah kalian!"

Kini Siauw Lek menggerakkan pedangnya yang berwarna hitam, cepat sekali gerakannya, pedangnya berubah menjadi cahaya panjang yang mengeluarkan suara bercuitan.

Lima orang gagah itu mencoba mengelak sambil menangkis dengan golok buntung, tapi sia-sia belaka karena sinar pedang itu menebas tangan yang memegang golok terus meluncur ke arah leher mereka. Lima orang gagah itu tidak sempat untuk berteriak pula. Tubuh mereka menggelundung dari atas genteng dengan kepala terpisah dari tubuh!

Panglima The yang menjadi marah sekali saat melihat belasan orang pengawalnya roboh binasa termakan oleh paku-paku beracun, sudah memimpin banyak sekali pengawal dan berbareng mereka lantas melompat naik ke atas genteng. Akan tetapi mereka tak melihat sesuatu di atas genteng. Sunyi saja dan tidak tampak bayangan seorang pun manusia.

Panglima ini menjadi marah bukan main melihat kelima orang sahabatnya tewas dengan leher putus, dan malam itu juga dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran untuk mencari si penjahat. Akan tetapi, mereka yang pernah melihat penjahat itu, Lima Harimau Pegunungan Utara dan para pengawal yang meloncat naik pertama kali, semuanya telah tewas. Tidak ada seorang pun di antara yang lain sempat melihatnya. Ke mana hendak mengejar dan mencari? Orangnya pun tidak dikenal!

Kembali dunia kang-ouw menjadi geger dengan terjadinya peristiwa mengerikan itu, dan meski pun tidak ada yang melihat penjahat itu, namun paku-paku hitam beracun itu sudah cukup menyatakan bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu tak lain adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek!

Apa lagi ketika di antara para pengawal yang malam itu masih berada di bawah genteng menyatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya sinar pedang hitam, maka orang-orang di dunia kang-ouw tidak ragu-ragu lagi bahwa pedang itu tentulah pedang Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) senjata penjahat cabul itu.

Memang Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek amat lihai. Kelihaiannya tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa dia adalah murid tunggal Go-bi Chit-kwi yang sangat lihai itu. Go-bi Chit-kwi sebelum mengundurkan diri dari dunia ramai merupakan datuk-datuk hitam yang sangat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw.

Bahkan Bu-tek Su-kwi si empat iblis yang kini menjagoi di antara golongan sesat, masih merupakan orang-orang muda yang belum begitu ternama ketika Go-bi Chit-kwi sudah amat terkenal. Ketika Bu-tek Su-kwi masih muda, mereka pun gentar menghadapi Tujuh Setan Go-bi, dan orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, yaitu Lam-hai Sin-ni, sudah pernah dirobohkan dan hampir diperkosa oleh ketujuh setan ini kalau saja tidak muncul mendiang Sin-jiu Kiam-ong yang menolong wanita itu.

Kini Go-bi Chit-kwi sudah meninggal dunia di sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Akan tetapi sebelum mereka meninggal dunia, mereka telah menurunkan semua ilmunya kepada murid mereka yang hanya seorang, yaitu Siauw Lek.

Untuk menamatkan pelajarannya pada tujuh orang guru itu, Siauw Lek belajar sampai dua puluh tahun. Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, setelah dia berusia tiga puluh tahun, barulah ia turun gunung dan begitu turun gunung maka gegerlah dunia kang-ouw dengan kemunculan seorang jago yang mengumbar nafsunya dengan memperkosa wanita-wanita yang disukainya! Sejak itu muncullah julukan Kim-lian Jai-hwa-ong yang tak pernah dilihat orang, atau pernah pula dilihat orang-orang akan tetapi begitu bertemu dengannya tentu dibunuhnya!

Malam hari itu hati Siauw Lek murung dan tidak puas. Ia gagal bersenang-senang dengan puteri The-ciangkun yang tak mau melayani hasrat hatinya bahkan berani menjerit hingga terpaksa dibunuhnya.

Siauw Lek memang seorang Jai-hwa-ong (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi dia mempunyai kebiasaan aneh yang dia beritahukan kepada lima orang Pak-san Ngo-houw sebelum mereka dia bunuh, yaitu bahwa dia hanya mau memiliki wanita yang bersedia melayaninya! Kalau wanita itu menolak, tentu dibunuhnya!

Banyak wanita yang karena takut dibunuh, atau karena memang tertarik oleh wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar, suka melayaninya dan tentu saja setelah melayani hasrat nafsu penjahat ini, wanita-wanita itu lalu menyimpannya sebagai rahasia besar dan tidak berani menceritakan keadaan penjahat itu kepada orang lain karena hal itu sama saja mengakui bahwa dia telah dinodai penjahat itu! Mereka yang menolaknya pun tidak dapat menceritakan kepada orang lain karena mereka ini tentu sudah dibunuh oleh Siauw Lek.

Ada kalanya Siauw Lek berhasil mendapatkan pelayanan wanita yang memang tertarik kepadanya, akan tetapi ada pula yang harus dia dapatkan dengan cara mengancam dan dalam hal ini dia mempunyai banyak cara yang keji dan tidak mengenal peri kemanusian. Dalam mencengkeram nafsu birahinya sendiri, Siauw Lek kadang-kadang seperti bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang memasuki tubuhnya.

Malam itu dia murung. Dia hanya berhasil membunuh banyak orang, namun dia semakin ditekan serta dihimpit oleh nafsunya sendiri yang belum terpuaskan. Biasanya, sebelum mendatangi korbannya di malam hari, siangnya dia sudah melihat-lihat dan mencari-cari. Malam ini dia tidak ada tujuan tertentu karena siang tadi dia mencurahkan perhatiannya kepada puteri panglima itu. Amat sukat untuk mencari korban pada malam hari seperti itu, karena tidak mungkin pula dia harus mengintai setiap rumah untuk mencari wanita yang disukainya.

"Bedebah!" Ia menyumpahi nasibnya yang dianggapnya sial malam itu.

Penjahat yang berilmu tinggi ini sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang amat gesit gerakannya, yang seakan-akan terbang saja ketika mengikutinya dari jauh. Tiba-tiba saja Siauw Lek berhenti berlari dan bayangan di belakangnya pun cepat menyelinap dan bersembunyi di balik wuwungan rumah.

Kiranya Siauw Lek berhenti bukan akibat sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang, akan tetapi karena dia mendengar suara bayi menangis dari rumah di sebelah depan, sebuah rumah kecil terpencil. Hatinya tergerak.

Hemmm, ada bayinya tentu ada ibunya yang muda, pikir otaknya yang sudah terlalu kotor karena selalu dipenuhi nafsu birahi yang tidak wajar. Dia lalu melompat ke depan, ke atas genteng rumah di depan itu dan kini tangis bayi sudah tak terdengar lagi.

Dari atas genteng, Jai-hwa-ong ini mengintai dengan jalan membuka genteng. Di bawah tampak sebuah kamar yang sederhana namun bersih, diterangi lampu minyak yang cukup terang. Seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun tidur meringkuk di sudut ranjang dengan muka menghadap dinding. Di tepi ranjang itu sendiri, seorang wanita muda sedang duduk menyusui bayinya yang baru berusia beberapa bulan.

Ibu ini masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya dan karena ia menyusui bayinya di dalam kamar sendiri, wanita ini tidak ragu-ragu membuka penutup dadanya lepas-lepas sehingga tampaklah dua buah bukit dada yang berkulit putih halus dan penuh seperti yang biasa dimiliki ibu-ibu muda yang sedang menyusui anaknya.

Biasanya, biar mata laki-laki yang bagaimana jalang sekali pun, pemandangan ini, yaitu melihat seorang ibu sedang menyusui anaknya, akan mendatangkan pemandangan yang mengharukan, yang menyentuh perasaan sebab setiap orang pasti pernah menyusu pada ibunya, sebuah pemandangan yang sama sekali jauh dari pada daya perangsang nafsu. Namun tidaklah demikian bagi seorang hamba nafsu birahi yang sudah separah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek.

Hati serta pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan kecabulan. Sudah penuh dengan rangsangan-rangsangan nafsu birahi sehingga pemandangan seorang ibu muda menyusui anaknya itu mendatangkan nafsu yang menyala-nyala dalam dirinya.

Ibu muda yang memang cantik dan terutama sekali berkulit putih kuning dan halus itu, kini agaknya terbangun dari tidur, tampaknya demikian penuh sifat kelembutan seorang wanita. Seketika lenyaplah kemurungan dan kekecewaannya, lenyaplah bayangan puteri Panglima The yang tadi urung dia dapatkan dan terpaksa dia bunuh. Dengan gerakan tangannya yang kuat dia lantas membuka beberapa buah genteng, kemudian tubuhnya menyelinap turun melalui lubang itu dan meloncat ke dalam kamar.

"Aihhhh...!" Wanita itu berseru kaget ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki asing berdiri di depannya.

Akan tetapi dia tidak sempat menjerit lagi karena jari tangan Siauw Lek sudah bergerak cepat menotok leher wanita itu sehingga jeritannya tertahan di kerongkongan, tidak dapat berteriak lagi. Dengan muka pucat wanita itu lalu memeluk bayinya, dirapatkan ke dada, bukan hanya untuk melindungi bayinya, juga untuk menutupi buah dadanya yang polos telanjang.

"Manis, jangan takut. Aku telah melihatmu dan jatuh cinta kepadamu. Kalau engkau mau melayani aku dengan manis, engkau takkan kubunuh, akan tetapi kalau engkau menolak, suamimu ini akan kubunuh lebih dulu!"

Agaknya suami wanita itu mendengar suara ribut-ribut dan menggeliat lalu membalikkan tubuh, mengedipkan matanya yang menjadi terbelalak ketika dia melihat isterinya berdiri ketakutan dan ada seorang lelaki asing berdiri di situ. Akan tetapi dia tak dapat bergerak, hanya dapat memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan kekhawatiran karena pada saat itu pula jari tangan Siauw Lek secepat kilat telah menotok jalan darahnya yang membuat laki-laki di atas ranjang itu lemas dan tak dapat bergerak.

"Jangan kau berteriak, Manis, aku tidak akan menyusahkanmu, tak akan menyakitimu..." Kembali Siauw Lek merayu dan tangannya bergerak menotok leher membebaskan jalan darah wanita itu sehingga dapat mengeluarkan suara lagi.

"Ampunkan saya...," wanita itu berkata lemah.

Siauw Lek tersenyum penuh kemenangan. Dia lalu mengulur tangan menyentuh pundak yang setengah terbuka itu, pundak yang kecil berkulit putih halus. "Engkau tidak bersalah apa-apa, Manis, kenapa minta ampun? Aku hanya akan mencintaimu, kau layanilah aku baik-baik, balaslah cintaku dan aku tak akan mengganggu selembar pun rambutmu yang halus ini..."

"Ohhh, ampun… jangan..." Wanita itu mengeluh penuh kepanikan sambil melirik ke arah suaminya yang rebah miring tak dapat bergerak itu.

Siauw Lek mengikuti pandang mata wanita itu, menoleh ke arah laki-laki di atas ranjang lalu tersenyum. "Ahh, engkau takut kepada suamimu? Tidak usah takut, dia takkan dapat berbuat sesuatu kecuali menonton!"

"Tidak... lebih baik kau bunuh saja aku...!" Mendadak wanita itu menangis terisak-isak sambil mendekap tubuh anaknya. "Aku tidak bisa... aku tidak mau...!"

Sinar bengis dan marah membayangi wajah Siauw Lek. Haruskah dia mengalami dua kali kegagalan dalam semalam? Apakah dia kini sudah terlalu tua dan kurang pandai merayu sehingga dalam satu malam ada dua orang wanita yang menolak cintanya?

"Hemmm, haruskah kubunuh suamimu terlebih dahulu? Lihat, sekali tusuk suamimu akan mampus. Apakah engkau masih berani mengatakan tidak mau?"

Untuk menakut-nakuti, Siauw Lek sudah mencabut pedang hitamnya dan menodongkan pedang itu pada leher suami wanita itu yang segera terbelalak penuh kengerian. Wanita itu memandang dengan muka pucat, hatinya bimbang. Manakah yang harus dia pilih? Melihat suaminya dibunuh ataukah membiarkan dirinya diperkosa di depan pandang mata suaminya?

Ah, lebih baik mati, mati bersama suaminya. Ia tersedu menangis dan berkata. "Bunuhlah kami berdua... bunuhlah suamiku dan aku... aku tidak dapat menuruti kehendakmu... Aku tidak mau...!"

Kini wajah Siauw Lek menjadi merah. Kalau menurutkan nafsu kemarahan hatinya, ingin dia mengelebatkan pedangnya membunuh wanita itu, suaminya dan anaknya. Akan tetapi dia tak mau gagal untuk kedua kalinya malam ini, dan wanita yang baru tiga empat bulan melahirkan dan masih menyusui anaknya, telah menyentuh perasaan hatinya yang keruh oleh nafsu birahi.

Tiba-tiba saja Siauw Lek tertawa dan ketika tangannya bergerak, tahu-tahu dia sudah merampas bayi yang berada di dalam pelukan ibunya tadi. Anak itu menjerit, akan tetapi kalah oleh jeritan ibunya yang amat kaget melihat anaknya dirampas.

"Anakku... kembalikan anakku!"

"Hemm, kau ingin anakmu hidup? Nah, pilihlah. Engkau layani cintaku dengan baik-baik dan manis atau... melihat perut anakmu kubelek dengan ujung pedang ini!"

"Ouuuhhh... jangan... jangan...!" Wanita itu menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kedua kaki Siauw Lek sambil meratap-ratap minta agar anaknya jangan dibunuh.

"Manis, engkau ingin agar anakmu hidup dan tidak kubunuh?" Siauw Lek bertanya penuh nada kemenangan dalam suaranya, sambil menunduk dan memandang wajah ayu yang sedang menengadah penuh permohonan itu.

"Ya... ya..., mohon kau ampuni kami, jangan bunuh anakku..."

"Hemm, mudah saja, aku takkan membunuh anakmu akan tetapi engkau harus menuruti segala kehendakku!" Sambil berkata demikian, Siauw Lek mengangkat tinggi-tinggi tubuh bayi itu dan membuat gerakan seakan hendak membantingnya ke lantai.

Wanita itu tersedak, menelan ludah seperti ada sesuatu mengganjal di kerongkongannya, dan akhirnya mengangguk-angguk dengan mata terbelalak memandang anaknya.

"Ya... ya... ya, apa saja perintahmu... Akan tetapi lepaskan anakku..."

"Nah, Manis, sekarang bangkitlah." Siauw Lek menggunakan sebelah tangannya menarik tubuh wanita itu berdiri dengan bayi masih diangkat tinggi-tinggi di tangan yang lain.

Dan bagaikan tak sadar diri wanita itu bangkit berdiri, seakan-akan tidak merasa betapa tangan yang menariknya bangkit itu menggerayang serta meraba-raba tubuhnya, bahkan pada waktu tangan itu merangkul lehernya dan mulutnya yang masih setengah terisak itu dicium oleh bibir Siauw Lek dengan penuh nafsu, ia seperti tidak merasakannya, matanya masih terbelalak melirik ke arah anaknya yang diangkat tinggi oleh tangan kiri Siauw Lek. Baru setelah matanya mendapat kepastian bahwa anaknya tidak diapa-apakan, dia sadar betapa tubuhnya diremas-remas dan mulutnya dicium penuh nafsu sehingga dia tersedu dan meronta sedikit.

"Hemmm, kau melawan? Engkau tidak mau...?"

"…Tidak... ohhh, bukan... Aku... Aku tidak melawan..." Wanita itu menggagap, kepalanya pening, matanya berkunang dan kedua kakinya menggigil karena sesudah kepanikannya menghadapi ancaman terhadap anaknya lenyap, sekarang ia ngeri menghadapi hal yang mengancam dirinya sendiri.

"Bagus, engkau manis sekali. Nah, kini kau tanggalkan pakaianmu semuanya!" Siauw Lek memerintah, merasa girang sekali menyaksikan betapa korbannya menggigil dan bingung oleh rasa takut dan malu.

Wanita itu benar-benar bingung, kedua tangannya bukan menanggalkan pakaian, bahkan kini ia baru teringat betapa bajunya tadi dibukanya separuh ketika menyusui anaknya, dan kedua tangannya malah menutupkan baju ini. Mukanya sebentar pucat sebentar merah, pandang matanya jelalatan dan hanya lewat saja di muka suaminya, agaknya dia tidak berani bertemu pandang dengan suaminya.

"Ehh, engkau ragu-ragu lagi? Hendak membangkang perintahku?! Hemmm, kalau begitu, lebih baik kubunuh saja anakmu ini..."

"Tidak! Oh, jangan...!" Cepat sekali karena digerakkan oleh rasa ngeri dan khawatir akan keselamatan anaknya wanita itu merenggut lepas baju atasnya hingga ia berdiri setengah telanjang. "Jangan bunuh anakku..."

Siauw Lek tersenyum, mengangguk-angguk puas. "Kalau kau menuruti semua hasratku, kalau kau suka melayani cinta kasihku kepadamu, tentu aku takkan menganggu anakmu, Manis. Hayo, kesinilah...!" Siauw Lek melangkah ke dekat ranjang.

Akan tetapi wanita itu tidak menggerakkan kakinya. Dengan muka pucat ia berkata lemah, "Tidak, harap... kasihani aku.., jangan di sini..."

Siauw Lek menggerakkan alisnya menoleh ke arah suami wanita itu yang rebah miring dengan mata melotot penuh kemarahan dan kebencian, lalu tersenyum. Sebenarnya, dia akan mendapatkan rangsangan lebih besar lagi, mendapat kepuasan lebih penuh bila dia dapat memiliki wanita itu di depan suaminya, di depan mata suaminya yang melotot itu. Alangkah akan senang dan lucunya!

Akan tetapi, kalau dia memaksa, tentu hal ini akan menjadi penghalang besar bagi si wanita untuk melayaninya dengan leluasa, dan kalau terjadi demikian dia pun tentu tidak akan merasa puas. Sambil tertawa dia lalu menghampiri wanita itu dengan bayi masih menangis dan diangkat tinggi-tinggi.

"Kalau begitu di mana?"

"Di kamar depan..." Wanita itu berkata sambil menundukkan muka, tak berani sama sekali melirik ke arah suaminya.

"Baiklah, Manis. Hayo kau tunjukkan di mana kamarnya," Siauw Lek berkata.

Tanpa menoleh ke arah suaminya, wanita itu segera membalikkan tubuh dan melangkah keluar dari kamar dengan kaki gemetar dan lesu. Siauw Lek menggerakkan tangan dan sebatang paku hitam menyambar, kemudian menancap di antara sepasang mata yang terbelalak melotot memandangnya itu, membuat suami itu tewas dalam detik itu pun juga tanpa dapat mengeluh sedikit pun juga. Peristiwa ini terjadi cepat dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara hingga wanita itu pun tidak tahu sama sekali bahwa suaminya telah dibunuh orang.

Kamar depan itu pun sederhana sekali, hanya terisi sebuah dipan dan sebuah meja, di terangi lilin yang dinyalakan oleh wanita itu dengan tangan gemetar.

"Anakku... biar kususui dia supaya tidak menangis..." Akhirnya wanita itu berkata dengan suara pilu karena sejak tadi anaknya menangis saja.

Sambil tersenyum Siauw Lek memberikan bayi itu kepada ibunya, kemudian dia duduk di atas bangku menonton wanita itu yang kini tidak berbaju lagi menyusui anaknya. Laki-laki yang berwatak iblis ini menonton sambil kadang-kadang menelan ludah.

Melihat bayi itu menyusu dada ibunya menimbulkan birahi yang sangat besar baginya, seolah-olah dia sendiri dapat merasai kesegaran susu ibu muda itu. Akan tetapi, bayi itu selalu gelisah dan tidak mau diam, bahkan tidak dapat menyusu dengan tenang, diseling tangis.

"Dia sudah kenyang, memang rewel dia!" cela Siauw Lek. "Aku dapat menidurkannya. Kesinikan…"

Ibu itu mendekap anaknya. "Jangan... Jangan menganggunya..."

"Ihhh, Manis, mengapa kau tidak percaya kepadaku? Aku mencintaimu, dan aku memiliki ilmu untuk menenangkan bocah. Kuelus-elus kepalanya sebentar saja pasti ia akan tidur. Biarkan dia tidur agar tidak menganggu kita. Nah kesinikanlah, biar dia tidur di situ nanti, dan bantal itu... hemmm, kita tidak memerlukannya. Nah, marilah, Manis, jangan khawatir, anakmu akan pulas."

Ibu muda itu yang memang merasa bingung melihat anaknya menangis terus sehingga dia khawatir kalau-kalau laki-laki itu menjadi marah lantas membunuh anaknya, akhirnya menyerahkan bayinya yang masih menangis. Siauw Lek tersenyum dan mengelus-elus kepala bocah itu.

Benar saja, tidak lama kemudian anak itu tidak menangis lagi dan dengan gerakan halus Siauw Lek lalu menidurkan bocah itu di atas meja yang sudah ditilami kain dan disediakan bantal oleh si ibu muda yang tentu saja hatinya menjadi lega melihat bayinya tidur pulas. Akan tetapi segera rasa lega ini tersusul dengan rasa panik dan ngeri ketika Siauw Lek membalikkan tubuh dan menghadapinya dengan senyum penuh nafsu.

"Nah, bukankah benar sekali kata-kataku, Manis? Anakmu sudah tidur pulas dan kini kita dapat bersenang-senang tanpa ada yang mengganggu. Wah, engkau sungguh jelita dan montok. Marilah, Manis…"

Wanita itu terisak dan perlahan melangkah maju dengan muka tunduk. Patahlah seluruh pertahanannya sebagai wanita karena ia maklum bahwa kalau ia menolak, tentu anaknya akan dibunuh. Bagai orang yang kehilangan semangat, seperti mayat hidup, ia melangkah maju dan menyerah saja pada saat kedua tangan Siauw Lek memeluk dan mendekapnya, ketika mukanya yang basah oleh air mata dihujani ciuman-ciuman bernafsu.

Tiba-tiba saja Siauw Lek melepaskan tubuh wanita itu, bahkan meloncat bangun sambil berteriak kaget, "Setan...!"

Pada saat, nampak sesosok tubuh menerjang memasuki kamar dan langsung menubruk Siauw Lek. Tentu saja penjahat yang lihai ini dengan mudah mengelak ke kiri kemudian mengirim tendangan yang tepat mengenai dada orang yang menubruknya.

Orang itu terjengkang kemudian roboh terlentang di depan dipan, di dekat wanita yang terbelalak kaget. Ketika melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh suaminya yang sudah mati, yang mukanya penuh darah merah yang mengucur dari luka di antara kedua matanya, wanita itu menjerit kaget dan memeluk tubuh suaminya.

Sementara itu, Siauw Lek kaget setengah mati sampai mukanya pucat. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kaget dan seram seperti saat itu. Dia sudah yakin benar bahwa suami wanita itu telah dibunuhnya, bahkan ketika orang itu menubruknya dan dia merobohkannya kembali dengan tendangan dia tahu bahwa yang menubruknya adalah sesosok mayat! Benarkah ada mayat orang bisa hidup kembali karena merasa sakit hati melihat isterinya diganggu orang lain?

Ah, tak mungkin ini! Dia tidak percaya dan tiba-tiba Siauw Lek tertawa. Yang sudah mati tetap mati, dan kalau ada gerakan-gerakan, hal ini pasti dilakukan oleh orang yang masih hidup. Dia menendang meja dan tubuh bayi itu pun mencelat jatuh ke atas lantai, akan tetapi sama sekali tidak bergerak, tidak terbangun biar pun terbanting karena sebetulnya bayi ini telah mati pula! Mati oleh jari tangan Siauw Lek yang ‘mengelus-elus’ ubun-ubun kepala anak itu tadi, mengelus-elus sambil menekan sehingga bayi itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa dan disangka tidur oleh ibunya.

Ketika melihat bayinya terbanting dari atas meja, wanita muda itu menjerit keras, segera meninggalkan mayat suaminya dan cepat menubruk anaknya, terus diangkat, dipeluk dan didekapnya. Akan tetapi dia pun tersentak kaget, memandang muka bayinya dan tiba-tiba terdengar suaranya melengking tinggi menyayat hati dan akhirnya robohlah wanita muda itu dengan tubuh lemas, roboh pingsan dengan mayat bayinya masih didekap di dalam pondongannya!

Siauw Lek sudah meloncat bangun ke tengah kamar, tak mempedulikan keadaan wanita muda itu lagi. Pandang matanya berkilat ketika ditujukan ke arah pintu kamar dari mana tadi ‘mayat hidup’ itu menyerangnya.

"Siapakah berani bermain gila dengan aku?!" bentaknya, menyangka bahwa tentu ada orang pandai mengejarnya dari rumah gedung panglima she The yang dikacaunya tadi.

Akan tetapi mata yang menyinarkan kemarahan itu berubah terbelalak penuh keheranan dan kekaguman ketika tampak oleh Siauw Lek bahwa yang muncul dari pintu itu adalah seorang wanita yang sangat cantik jelita dan yang memasuki kamar itu dengan langkah lambat, dengan tubuh bergerak-gerak bagaikan menari ketika kedua kaki itu melangkah bergantian rapat-rapat, pinggul yang lebar melenggang-lenggok, pinggang yang ramping seperti patah-patah, wajah yang cantik itu tersenyum manis dengan dua mata menyambar penuh tantangan, akan tetapi di balik senyum itu tampak sikap memandang rendah.

Wanita itu mengenakan pakaian sutera berkembang yang ketat membungkus tubuh, pada punggungnya tampak gagang pedang yang beronce merah. Sukar menaksir usia wanita ini. Masih kelihatan amat muda seperti gadis remaja dua puluhan tahun, namun senyum bibir manis dan pandang mata tajam itu sudah amat masak sehingga patutnya dia berusia tiga puluh tahun kurang sedikit.

Wanita itu bukan lain adalah Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im! Secara kebetulan saja dia melihat Siauw Lek menimbulkan kekacauan di rumah Panglima The pada malam hari itu ketika dalam perjalanan malamnya Cui Im lewat di kota itu. Ia merasa amat tertarik ketika mendengar bahwa lelaki tampan gagah itulah yang bernama julukan Kim-lian Jai-hwa-ong, julukan yang sudah banyak dia mendengarnya.

Jadi inikah murid Go-bi Chit-kwi yang dulu menjadi musuh besar gurunya, karena dahulu gurunya Lam-hai Sin-ni pernah hampir diperkosa tujuh orang setan Go-bi itu. Ia menjadi kagum ketika menyaksikan cara Siauw Lek merobohkan lawan-lawannya, maka secara diam-diam dia membayangi penjahat cabul itu. Ia ingin mencoba kepandaian murid Go-bi Chit-kwi dan juga sikap serta kepribadian Siauw Lek yang penuh kejantanan itu sangat menarik hatinya, menyentuh kewanitaannya dan membangkitkan birahinya.

Ketika dia membayangi laki-laki itu, Cui Im dapat menduga bahwa dalam hal kelincahan dan keringanan tubuh, dia sendiri hanya menang sedikit saja, dan bahkan kiranya tingkat kepandaian ginkang Siauw Lek tidak kalah jika dibandingkan dengan seorang di antara Bu-tek Su-kwi! Ia menjadi makin kagum dan membayangi terus.

Pada saat Cui Im yang mengintai perbuatan Siauw Lek di dalam pondok sederhana itu melihat kekejaman Siauw Lek membunuh suami beserta bayi dari wanita yang hendak diperkosanya itu, ia pun tersenyum. Bukan main pria ini, pikirnya. Cerdik dan pandai, juga amat gagah perkasa, tidak gentar melakukan pembunuhan betapa pun kejamnya! Orang seperti ini amat ia butuhkan.

Dia perlu mempunyai seorang pembantu seperti ini, yang berilmu tinggi, yang berwatak keras dan dingin. Dengan seorang pembantu seperti itu, barulah dia akan dapat menjagoi dunia sebagai tokoh nomor satu! Hanya ada satu hal yang masih ia ragukan, apakah pria ini patut menjadi temannya dalam petualangan cintanya?

Sementara itu, Siauw Lek yang biasanya memandang rendah orang lain, yang biasanya tidak gentar menghadapi siapa pun juga, kini merasa bulu tengkuknya bangun berdiri. Sungguh dia tidak pernah bermimpi bahwa dia akan berhadapan dengan seorang wanita secantik ini, yang bisa ‘menghidupkan’ mayat, dan agaknya sejak tadi telah membayangi dirinya tanpa dia ketahui sama sekali, yang begitu cantik akan tetapi juga mendatangkan sikap dingin yang mengerikan dan tersembunyi di balik kehangatan dan kegairahan yang panas membakar dan menantang!

"Eh.. siapakah engkau...?" Siauw Lek merasa heran sendiri mengapa dia tiba-tiba menjadi gugup dan kehilangan ketenangannya. Mengapa biar pun gairahnya terhadap ibu muda itu lenyap tapi sama sekali tak kecewa melihat kenyataan bahwa kembali kesenangannya terganggu?

Cui Im tersenyum dan mempergunakan senyum memikat yang sudah terlatih, setengah senyum setengah tawa hingga cukup lebar untuk memperlihatkan deretan gigi putih bagai mutiara dan sekilas pandang ujung lidahnya yang merah mencuat keluar di antara deretan gigi mutiara.

"Engkau Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek, engkau murid Go-bi Chit-kwi bukan? Hemmm, bagus sekali semua perbuatan yang kau lakukan malam ini, sejak dari gedung panglima sampai pondok ini. Ehh, orang she Siauw, apakah engkau tidak takut akan dosa dan tidak ngeri memikirkan neraka yang kelak akan menyiksamu?"

Melihat sikap dan mendengar ucapan wanita cantik ini, perlahan-lahan lenyap ketegangan di hati Siauw Lek. Kini dapatlah dia menduga bahwa wanita cantik ini bukanlah seorang anggota golongan lawan, melainkan agaknya juga seorang petualang, seorang yang tidak asing akan dunia hitam, dan mulailah pandang matanya penuh nafsu birahi menjelajahi bentuk tubuh yang ramping padat dan menjanjikan kemesraan yang lebih merangsang dari pada ibu muda tadi.

"Nona, engkau sungguh nakal sekali, membikin aku kaget setengah mati. Kenapa engkau main-main dengan mayat itu? Tadi kusangka betul-betul ada mayat hidup! Engkau sudah mengenal namaku, itu baik sekali. Sekarang tinggal aku yang belum mengenalmu. Kalau nona suka memperkenalkan diri, agaknya kita dapat menjadi sahabat-sahabat yang baik sekali. Bukankah begitu pendapatmu, nona yang cantik seperti bidadari?"

Cui Im mengangguk-angguk senang. Suara pria ini mendatangkan kesan baik, suaranya merdu dan mengandung rayuan yang sama mesranya dengan kata-katanya, laki-laki yang pandai bicara, pandai menyenangkan hati wanita. Akan tetapi ia hanya tersenyum, tidak menjawab memperkenalkan diri, bahkan berkata dengan sikap memandang rendah,

"Aku harus melihat lebih dulu apakah engkau pantas menjadi kawanku, Jai-hwa-ong. Kita tunda dulu tentang namaku karena aku ingin melihat apakah engkau memiliki kepandaian seperti yang terkenal di dunia kang-ouw, ataukah hanya nama kosong belaka."

Sepasang mata Siauw Lek berkilau penuh kegembiraan. Ia tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan wanita seperti ini. "Aha, hebat sekali kesombonganmu ini, Nona. Engkau masih belum percaya akan nama besarku dan hendak mencoba kepandaianku, begitukah yang kau maksudkan?"

Cui Im mengangguk. "Bukan mencoba, hanya ingin membuktikan isi dari nama besarmu."

Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaannya kepada diri sendiri pulih. Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang sangat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan sanggup menundukkan nona manis ini.

"Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!"

"Hadiah apa?"

"Peluk-cium!" Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu.

Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahan wanita itu karena di dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti telah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, maka kemarahannya akan mengurangi kelihaiannya.

Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab, "Hemm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi bila aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"

Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.

"Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."

Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. "Nah, aku telah siap. Majulah!"

Sekali lagi Siauw Lek tertegun. "Di sini? Kamar ini sangat sempit untuk dipakai tempat mengadu silat!"

Cui Im tersenyum mengejek. "Tidak ada tempat sempit mau pun luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"

"Siapa yang takut? Lihat, kutangkap engkau, nona yang menggemaskan hati!" Siauw Lek tertawa.

Akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya telah menubruk maju, jari-jari tangan kirinya terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im adapun yang kanan secepat kilat menerkam pundak. Serangan tangan kosong ini hebat dan cepat sekali, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im.

Gadis ini diam-diam menjadi kagum. Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi dia tak menjadi gentar. Andai kata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkang-nya tentu kalah jauh.

Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan sepasang tangannya segera menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil mengerahkan tenaganya. Pertemuan dua pasang lengan itu membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas. Pada saat itu pula kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.

"Aihhh..!" Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main.

Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya sekarang sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi sudah menjadi ‘mayat hidup’.

"Engkau hebat sekali...!" Dia memuji, lebih penasaran dari pada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini?

"Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!"

Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan dua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!

"Hayaaa..!" Siauw Lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut!

Dia cepat mengelak, berloncatan ke sana-sini di dalam kamar sempit itu. Tetapi bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengejar sambil menghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.

"Celaka...!" Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek.

Baru kini terbuka matanya, betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadis ini benar-benar mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang mau pun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri!

Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga serta mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi, dia lantas melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, oleh karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya akan terancam bahaya maut!

Kini dia tak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh dari pada itu, namun menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya!

Sesudah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan barulah dia dapat mengimbangi kedahsyatan gerakan Cui Im. Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang.

Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum.

Menyaksikan gadis yang dilawannya mati-matian itu masih bisa tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Ia telah mati-matian, sampai napasnya terengah-engah dan kepalanya pening, tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali!

"Robohlah...!" Tiba-tiba Siauw Lek membentak.

Dan dia langsung menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua tepak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apa lagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu.

Tetapi Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas, dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa dua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.

"Buuukk...! Plakkk..!"

Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek langsung tergelimpang dan dia pun roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu birahinya tadi!

"Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan dengan nada mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.

Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya? Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita.

Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda teringat akan suami dan anaknya. Dia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya.

Siauw Lek menjadi amat gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahkannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuh wanita itu.

"Eiiit! Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im mencegah dengan suara mencela.

Siauw Lek tak jadi memukul, menoleh ke arah Cui Im sambil meraba gagang pedangnya. "Nona, boleh jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!"

"Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau amat mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah.

Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak, tangan kanannya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam.

"Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!"

Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dia melihat tangan kiri wanita sakti ini juga telah menggenggam senjata rahasianya, yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya.

"Ang-kiam (Pedang Merah)...! Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah..., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau adalah Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni?"

Lam-Hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya kenapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini!

Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar. "Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek ada pun Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya. Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"

Ucapan Cui Im itu amat sombong dan takabur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek di samping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja!

Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im. Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, lalu memutarnya. Tampaklah sinar bagaikan payung yang menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring, lantas sinar hitam terpental ke belakang.

Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata.

Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa berbicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiringi tangisan ibu muda yang tak mempedulikan pertandingan itu oleh karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.

"Tranggg... Cringgg..!"

Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik iitu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.

"Srat-sratt-srattt...!" Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im.

Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang di depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, ada pun enam batang paku lain yang menyerangnya dari dada ke bawah, dia diamkan saja. Paku-paku itu mengenai tubuhnya, dan… runtuh! Sedikit pun tidak melukainya.

Siauw Lek melongo dan tiba-tiba dia harus memutar pedangnya melindungi tubuh ketika ada titik-titik sinar merah meluncur ke arah tubuhnya. Semua jarum dapat dia runtuhkan dengan pedangnya, akan tetapi dia maklum bahwa serangan jarum-jarum itu bila disusul oleh serangan pedang gadis itu, maka dia tentu akan menghadapi bahaya maut.

Untung baginya dan legalah hatinya ketika dia melihat bahwa gadis itu tidak melanjutkan serangannya, bahkan sudah menyimpan kembali pedang merahnya dan kini hanya berdiri sambil tersenyum-senyum. Kini mengertilah Siauw Lek bahwa gadis itu betul-betul hanya ingin menguji kepandaiannya, sama sekali bukan ingin membalas dendam terhadap dia sebagai murid Go-bi Chit-kwi. Maka dia lalu menjura dengan hormat setelah menyimpan pedangnya dan berkata,

“Aku Siauw Lek mengaku kalah. Nona betul-betul amat lihai, baik dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu pedang dan senjata rahasia. Belum pernah aku bertemu dengan lawan sehebat Nona. Aku mengaku kalah!”

“Tak usah penasaran bahwa engkau kalah dariku, karena aku ingin mengalahkan seluruh jago silat di dunia kang-ouw ini, termasuk Bu-tek Su-kwi! Aku akan suka sekali memiliki seorang pembantu seperti engkau, Siauw-twako (kakak Siauw), asal saja engkau suka tunduk kepadaku dan menuruti segala kata-kataku. Bagaimana, maukah engkau menjadi pembantuku?”

Siauw Lek tersenyum. Nona ini lihai bukan main, dan juga amat cantik, serta pandai pula mengambil hati, buktinya kini memanggilnya twako! Dia harus bersikap cerdik, tidak menentang orang yang lebih pandai dari padanya, lebih baik pura-pura tunduk dan melihat perkembangan selanjutnya.

“Baiklah, aku suka membantumu, Nona.”

“Dan kau akan mentaati segala perintahku?”

Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, sekarang berubah menjadi mentaati segala perintahnya!

"Baik, saya akan taat."

"Kalau begitu, kenapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apanyakah pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?"

Siauw Lek lantas menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya, wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Dia menangis hingga buah dadanya bergoyang-goyang. Air mata mengalir keluar membasahi mukanya.....

Komentar