PEDANG KAYU HARUM : JILID-21


Ia berhasil mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan baju robek-robek berdarah, muka pucat berkeringat serta napas agak terengah karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci wanita curang dan kejam itu.

"Hi-hi-hik-hik, diberi jalan sorga kau memilih neraka! Ditawari kesenangan engkau memilih penderitaan. Engkau tak mau menyambut cintaku, ya? Baiklah, jika begitu engkau boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua karena engkau tak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Ada pun kitab-kitab, pusaka-pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Cia Keng Hong bekas kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini, menikmati pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan engkau boleh mampus sebagai pertapa kesunyian di situ. Hi-hi-hik!"

Cui Im membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu.

Keadaan Keng Hong amatlah buruknya dan kalau saja orang lain yang mengalami mala petaka seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Tetapi pemuda ini masih dapat mempertahankan ketenangannya.

Ia memandang pada sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah panjang jarak jurang antara kedua tepi. Walau pun tergesa-gesa mencari akal, tak akan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan terlambat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang?

Dia lalu berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena kemarahannya terhadap Cui Im, dia lantas pergi ke sumber air untuk mencuci muka dan tubuhnya yang lecet-lecet. Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak ditinggali. Kini dia mendapat kesempatan sangat luas untuk menyelidiki keadaan di situ sampai habis, dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan.

Di mulut lorong sebelah sana, tempat yang dihuni oleh burung-burung walet, mempunyai dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak dapat diduga lebih dulu.

Dengan membawa Siang-bhok-kiam yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti sekali. Karena dia melakukan sangat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu sampai tiga hari untuk bisa memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan, sampai ujung lorong yang dihuni burung-burung walet.

Pada hari ke tiga, sesudah kesabarannya hampir habis, sesudah kepalanya mulai pening karena kegagalan dan tenaganya habis karena mencokel-cokel serta mendorong-dorong setiap bagian dinding dan batu, tiba-tiba dia tertarik dengan bunyi nyaring pada saat dia mengetuk-ngetuk dinding hitam di bagian belakang dengan pedangnya.

Bunyi nyaring ini menjadi tanda bahwa batu yang menjadi dinding itu kosong tidak berisi, atau di balik dinding itu merupakan ruangan kosong! Jantungnya berdebar dan mulailah dia meneliti. Bagian ini gelap karena dindingnya adalah batu -batu berwarna hitam.

Keng Hong menggunakan pedangnya menusuk-nusuk dan tiba-tiba pedang itu menusuk sebuah lubang sampai amblas ke gagangnya! Keng Hong menahan seruannya, kemudian cepat memutar-mutar pedang Siang-bhok-kiam itu ke kanan kiri.

Tiba-tiba terdengarlah bunyi gemuruh di belakang dinding batu itu. Keng Hong mencabut pedangnya dan bunyi gemuruh itu disusul dengan suara bergerit, kemudian dinding itu bergerak dan tampaklah sebuah lubang lima kaki persegi besarnya di dinding batu hitam itu!

"Terima kasih, Siang-bhok-kiam, lagi-lagi engkaulah yang telah menolongku!" Keng Hong mencium Pedang Kayu Harum itu kemudian dia merangkak-rangkak memasuki lubang ini. Siapa tahu kalau di sebelah sana ada jalan yang akan membawanya kepada kebebasan, pikirnya.

Begitu dia menembus dinding batu hitam yang tebalnya ada dua meter itu, dia melihat sebuah kamar lain di balik dinding dan hatinya kecewa. Bukan jalan keluar, kamar ini pun merupakan jalan buntu!

Akan tetapi, kekecewaannya segera lenyap, tertutup oleh keheranan dan kengerian ketika melihat sebuah kerangka manusia yang masih utuh sedang ‘nongkrong’ duduk di sebuah kursi gading! Tengkorak dari rangka itu agak menunduk dan kelihatannya seperti sedang mentertawakannya!

Keng Hong bergidik dan menggoyang-goyang kepalanya. Mimpikah dia? Ataukah karena tiga hari bekerja terus tanpa makan membuat dia tidak dapat lagi menggunakan mata dan pikirannya secara normal? Akan tetapi, betapa pun dia menggoyang kepalanya, ketika dia kembali memandang, rangka itu tetap berada di sana, duduk di atas kursi gading dan di sebelah rangka itu terdapat sebuah meja gading pula.

Kaki meja itu terbuat dari pada gading terukir, permukaannya dari batu putih halus dan di atas meja itu terletak sebuah kitab yang sudah kuning saking tuanya. Sejenak Keng Hong terpesona. Walau pun rangka itu hanyalah sekumpulan tulang manusia, akan tetapi sikap duduknya masih membayangkan sikap tegak dan wibawa, seperti sikap seorang raja atau seorang yang sudah biasa disembah-sembah orang.

Anehnya, bagi Keng Hong timbul perasaan seolah-olah rangka itu merupakan tuan rumah atau pemilik ruangan-ruangan di dalam batu pedang ini, dan dia sendiri sebagai tamu tak diundang. Dia merasa bersalah, dan tanpa disadarinya pula, Keng Hong menekuk kedua lututnya dan berbisik, "Locianpwe, mohon maaf atas kelancanganku..."

Ia berlutut sambil menunduk dan begitu dia menunduk, tampak ukiran huruf-huruf kecil di atas batu lantai di depan lututnya. Huruf-huruf itu terukir amat kecilnya sehingga tak akan dapat dilihatnya kalau dia tidak berlutut sambil menundukkan muka. Jantungnya berdebar apa lagi ketika dia mengenal ukiran huruf-huruf ini serupa benar dengan ukiran-ukiran di gagang pedang Siang-bhok-kiam! Jelas bahwa ukiran huruf-huruf di atas lantai itu dan di gagang pedang dibuat oleh satu orang, yaitu gurunya, Sin-jiu Kiam-ong!

"Terima kasih kepada Thai Kek Couwsu dan maaf bahwa teecu tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai."

Keng Hong menduga-duga. Tidak akan keliru kalau dia menduga bahwa rangka ini adalah rangka dari Thai Kek Couwsu, yaitu pendiri Kun-lun-pai yang dikabarkan dahulu bertapa di Kiam-kok-san dan lenyap bersama raganya sehingga batu pedang dianggap sebagai tempat keramat oleh Kun-lun-pai. Kiranya kakek yang dikabarkan sakti bagaikan dewa itu berada di sebelah dalam batu pedang dan meninggal dunia di tempat yang tersembunyi ini! Dan rangkanya diketemukan suhu-nya, Sin-jiu Kiam-ong!

Ia pun makin menghormat rangka itu dan cepat menyembah delapan kali sambil berkata, "Teecu Cia Keng Hong mohon maaf atas kelancangan teecu pada Couwsu yang mulia."

Kemudian perhatiannya tertarik kepada kitab di atas meja. Tadinya dia ragu-ragu, karena merasa tidak berhak untuk menyentuh kitab itu. Akan tetapi kemudian dia berpikir bahwa gurunya yang amat suka akan ilmu dan suka pula akan kitab-kitab pusaka, mustahil kalau tidak memeriksa kitab itu. Mungkin itukah sebabnya gurunya menghaturkan terima kasih kepada Thai Kek Couwsu?

Tidak ada seorang ahli silat yang tidak akan tertarik untuk membaca kitab peninggalan seorang sakti! Maka dia pun segera bangkit dan menghampiri meja itu, dengan hati-hati sekali mengambil kitab dari atas meja. Tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan rangka itu runtuh dari atas kursi mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

Keng Hong cepat meloncat ke samping, wajahnya pucat saking kagetnya. Akan tetapi dia segera mengerti bahwa apa bila ada sedikit pergerakan saja maka tulang-tulang itu tentu runtuh, sebab memang tidak ada penyambungnya lagi. Bila rangka itu masih dapat duduk sekian lamanya, hal ini adalah karena cara ‘duduk’ tulang-tulang yang merupakan rangka itu sangat tepat, sesuai dengan cara duduk bersemedhi yang dinamakan ‘keseimbangan’. Ia menjadi makin kagum lalu meletakkan kitab di atas meja untuk bisa menyempurnakan sisa-sisa raga Thai Kek Couwsu dengan cara membakar tulang-tulangnya itu.

Tulang-tulang itu sudah sedemikan keringnya sehingga mudah sekali dimakan api, maka sebentar saja raga pendiri Kun-lun-pai itu sudah menjadi abu. Keng Hong mengumpulkan abu ini dan menaburkannya ke dalam jurang di ujung lorong yang dihuni burung-burung walet. Abu tipis beterbangan tertiup angin, memenuhi udara seakan menjadi satu dengan alam di sekelilingnya!

Keng Hong segera kembali lagi ke kamar rangka itu dan begitu mengambil kitab di atas meja, kini tampaklah huruf-huruf terukir pada permukaan meja seperti digurat-gurat benda tajam. Huruf-huruf ini berbeda dengan gaya tulisan Sin-jiu Kiam-ong, maka dia menduga bahwa ini tentulah tulisan Thai Kek Couwsu. Dengan hormat ia pun membaca huruf-huruf terukir itu.

Thai-kek Sin-kun ditinggalkan untuk dia yang berjodoh memasuki tempat ini dan diharap dia suka menjadi ketua Kun-lun-pai.

Keng Hong mengerutkan keningnya dan belum berani membuka kitab yang pada kulit luarnya tertulis namanya: THAI KEK SIN KUN. Ahhh, kini dia pun mengerti akan maksud huruf-huruf di lantai, yang ditulis oleh Sin-jiu Kiam-ong. Tentu gurunya itu telah masuk ke kamar ini dan mempelajari isi kitab maka dia menghaturkan terima kasih, kemudian minta maaf karena tidak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai seperti yang diharapkan oleh Thai Kek Couwsu.

Dia sendiri pun telah masuk ke kamar ini, dan hal itu merupakan jodoh baginya, membuat dia berhak memiliki kitab. Ada pun mengenai menjadi ketua Kun-lun-pai, dia sama sekali tak menghendakinya seperti yang diharapkan oleh pencipta kitab ini. Biarlah seperti suhu akan kupelajari isi kitab ini dan kelak akan kuserahkan kitab ini kepada ketua Kun-lun-pai, pikirnya.

Demikianlah, lupa bahwa agaknya tak ada harapan lagi baginya untuk keluar dari tempat itu, Keng Hong mengambil kitab kemudian meneliti keadaan kamar itu. Ia melihat sebuah peti hitam di sudut kamar dan saat peti itu dibukanya di dalamnya penuh dengan pakaian-pakaian sutera putih dan kitab-kitab tentang Agama To!

Sudah banyak dia membaca kitab-kitab Agama To ketika menjadi kacung di Kun-lun-pai, dan tentang pakaian itu, dia merasa berterima kasih sekali oleh karena memang dia amat memerlukan pakaian sebagai pengganti pakaiannya yang sudah empat tahun tak diganti, dan kini robek-robek ketika dia berjuang melawan maut di tambang tadi.

Setelah makan dan minum untuk memulihkan tenaganya. Terkejut dan giranglah hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab tebal ini terisi petunjuk-petunjuk inti sari ilmu silat tinggi sekali, termasuk petunjuk mengenai penggunaan sinkang, ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang berdasarkan ilmu sakti Thai-kek Sin-kun!

Baru sekarang ia mengerti bahwa kesaktian gurunya sebagian besar disempurnakan oleh isi kitab ini dan dia dapat menduga kenapa gurunya tidak menurunkan ilmu ini kepadanya. Tiada lain adalah karena gurunya merasa tak dapat menjadi ketua Kun-lun-pai maka tidak berhak untuk menurunkan ilmu itu kepada orang lain. Diam-diam dia kagum sekali kepada gurunya yang biar pun merupakan seorang petualangan, namun sesungguhnya memiliki jiwa gagah perkasa yang tidak sudi melanggar janji tak tertulis dan tak terucapkan antara dia dan Thai Kek Couwsu!

"Teecu pun bersumpah tidak akan memperlihatkan kitab ini atau memberitahukan isinya kepada orang lain kecuali ketua Kun-lun-pai," demikian bisik hati Keng Hong dan mulailah dia membaca kitab itu penuh perhatian.

Mulailah dia berlatih dengan tekun sekali dan dengan hati girang dia mendapat kenyataan bahwa semua yang telah dipelajarinya, baik dari mendiang suhu-nya mau pun tambahan-tambahan yang dia dapatkan dari berbagai kitab pusaka peninggalan gurunya yang dia bacakan kepada Cui Im, semua inti sarinya termuat dalam kitab ini, maka semua ilmu itu dapat disempurnakan.

Lebih gembira lagi hatinya ketika mendapatkan petunjuk mengenai cara untuk menguasai tenaga sinkang dan di bagian akhir kitab itu dia menemukan pula cara untuk menguasai tenaga sedot dari sinkang-nya! Tanpa disengaja karena terciptanya tenaga sedot di tubuh Keng Hong memang merupakan suatu kebetulan yang tidak disengaja oleh gurunya mau pun olehnya sendiri, kini ia telah menguasai ilmu yang dianggap sudah musnah dari dunia kang-ouw, yaitu ilmu mukjijat Thi-khi I-beng!

Lam-hai Sin-ni yang mempelajari ilmu ini sampai belasan, bahkan puluhan tahun hanya dapat mengusai kulitnya saja, hanya berhasil menggunakan sepersepuluh bagian tenaga mukjijat ini saja! Akan tetapi Keng Hong, dengan petunjuk kitab pusaka Thai-kek Sin-kun, bisa mengusai seluruhnya. Bagi orang yang tidak mempunyai sinkang yang menciptakan daya sedot, betapa pun saktinya orang itu seperti Sin-jiu Kiam-ong sekali pun, tidak dapat memiliki Thi-khi I-beng biar pun telah membaca kitab peninggalan Thai Kek Couwsu ini.

Setahun lamanya Keng Hong melatih diri menurut petunjuk kitab itu dan sekarang di luar kesadarannya sendiri, dia telah mendapat kemajuan yang jauh melampaui yang diperoleh Cui Im selama berlatih empat tahun!

Setelah dia mempelajari kitab sampai habis dalam waktu setahun, mulailah dia merenung dan sering kali dia duduk di pinggir jurang, memandang jarak yang didudukinya dan tepi jurang di seberang yang kini amat sunyi, tidak lagi terdengar suara ketawa Cui Im, tidak lagi tampak berkelebatnya bayangan merah pakaian gadis cantik dan genit itu. Keningnya berkerut apa bila membayangkan betapa kini semua pusaka dibawa lari Cui Im, terutama sekali kalau membayangkan betapa gadis itu tentu akan melakukan perbuatan-perbuatan yang luar biasa sehingga menggegerkan dunia kang-ouw.

Betapa mungkin keluar dari tempat ini? Sungguh merupakan hal yang amat sukar untuk menyeberang ke sana tanpa jembatan.

Sukar? Bukankah suhu-nya dahulu sering mengatakan bahwa tidak ada hal yang sukar di dunia ini? Ataukah dia yang bodoh? Namun gurunya juga pernah mengatakan bahwa tak ada manusia pintar atau bodoh di dunia ini.

Keng Hong memejamkan matanya dan mengingat-ingat, apa pun yang dikatakan gurunya dahulu tentang sukar dan mudah, tentang bodoh dan pintar. Dia ingat betapa dahulu dia membantah, kemudian betapa dia dapat menangkap inti sari wejangan itu sehingga dapat membenarkannya. Ahhh…, dia ingat sekarang.

"Di dunia ini tidak ada hal yang sukar mau pun yang mudah, muridku. Juga tidak ada atau tidak tepat bila disebut seseorang itu bodoh atau pun pintar. Biasanya, orang berpendapat sukar adalah pendapat orang bodoh dan mudah itu pendapat orang pintar. Sebenarnya tidak demikian. Tidak ada sukar, tidak ada mudah, tidak ada bodoh tidak ada pintar. Yang ada hanya MENGERTI dan BELUM MENGERTI. Yang mengerti tentu bisa dan apa bila sudah bisa menjadi mudah. Yang belum mengerti tentu tidak bisa dan kalau belum bisa menjadi sukar. Jadi, tidak ada hal yang sukar di dunia ini selama orang mau belajar agar mengerti dan bisa. Kalau belum mengerti, carilah, gunakan akal budi yang dianugerahkan kepadamu sebagai manusia. Segala hal pasti akan dapat diatasi!"

Demikianlah wejangan gurunya yang kini terngiang di telinganya. Cari, cari caranya! Pasti akan dia dapatkan! Biar dia terhalang jurang begini lebar, biar pun tampaknya amat sukar dan tidak ada jalan keluar, hal ini hanya karena dia BELUM MENGERTI jalannya maka harus dia cari sampai dapat!

Dengan landasan wejangan gurunya ini, sejak saat itu Keng Hong memutar otak, mencari akal bagaimana dia akan dapat keluar dari tempat itu. Menggunakan ilmu kepandaiannya melompati jurang, tidak akan mungkin. Hal seperti ini tentu hanya mampu dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam dongeng seperti Sun Go Kong atau Kauw Cee Thian si raja kera putih dalam dongeng See-yu saja!

Dapatkah gurunya melompati jurang selebar ini? Kiranya tidak mungkin. Dan bagaimana dengan Thai Kek Couwsu? Apakah kakek yang dikatakan berkepandaian seperti dewa itu dapat melompati jurang ini? Kalau dapat bukan melompat namanya, melainkan terbang! Tidak masuk akal!

Dia terus mencari jalan, terus menggunakan akalnya. Manusia berakal budi, tidak seperti binatang yang telanjang. Manusia berpakaian... ahhh, pakaian..! Keng Hong memandang pakaian yang menutupi tubuhnya.

Pakaian berwarna putih dari sutera yang dia ambil dari dalam peti. Agaknya peninggalan Thai Kek Couwsu. Pakaian putih dari sutera halus dan sangat kuat, lagi ulet dan kuat! Benar! Pakaian-pakaian sutera, sutera ulet itulah!

Cepat Keng Hong berlari-lari memasuki kamar, membuka peti dan mengeluarkan semua pakaian sutera putih. Ia lalu mengukur-ukur, kemudian merobek-robek semua pakaian itu menjadi robekan-robekan kecil panjang, kemudian memilinnya, menyambung-nyambung sehingga menjadi tali sutera yang panjang sekali, hanya sebesar kelingking akan tetapi amat ulet dan kuat!

Disambungnya terus sampai habis semua pakaian sutera putih yang kini berubah menjadi tali yang amat panjang. Disambungnya tali sutera ini dengan tambang yang masih tersisa setengah jarak jurang itu. Kemudian, dengan jantung berdebar dan hati berdoa kepada Thian, sesudah mengikatkan ujung tali sutera pada batu karang, dia melontarkan ujung tambang yang ada kaitannya ke seberang.

Tenaga lontarannya amat kuat dan baja kaitan itu melayang ke seberang, tepat mengait pada batu di seberang. Tali sutera itu ternyata cukup panjang! Sekarang terbentanglah ‘jembatan’ terbuat dari tambang disambung tali sutera!

Keng Hong hampir berteriak-teriak saking girang hatinya. Akan tetapi dia menekan rasa gembiranya. Dia tidak mabuk kemenangan. Bahaya masih harus ditempuhnya. Sebelum sampai ke seberang, dia harus lebih dulu menyeberang melalui ‘jembatan' ini dan hal itu tidaklah semudah kalau menyeberang tambang seperti setahun yang lalu. Tali sutera itu amat kecil lagi licin dan dia masih harus mempertaruhkan nyawanya karena kalau tali itu kurang kuat dan putus...!

Akan tetapi tak ada jalan lain dan taruhannya hidup selamanya di tempat itu, sampai mati sebagai seorang kakek tua renta dan kurus kering, kemudian mati kesunyian. Apa bila dia menyeberang, andai kata gagal pun dia hanya akan menemui kematian. Akan tetapi kalau berhasil...!

Keng Hong menyelipkan Siang-bhok-kiam di ikat pinggangnya, menyembunyikan pedang itu di balik bajunya yang kebesaran, baju sutera putih, satu-satunya pakaian yang tidak ia robek-robek untuk dijadikan tali penyeberang. Kitab Thai-kek Sin-kun ia masukkan dalam saku baju.

Setelah berdiri mengheningkan cipta di tepi jurang, menengadah dan di dalam hati mohon perlindungan Thian serta mohon bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong, Keng Hong lantas mengerahkan ginkang-nya dan mulai melangkah menginjak tali sutera yang melintang di atas jurang di depannya. Sesudah kedua kakinya menginjak tali sutera dan merasa yakin bahwa tali itu cukup kuat, tidak bergoyang dan tubuhnya dapat berdiri tegak lurus, dia lalu mulai melangkah maju perlahan-lahan.

Menurutkan hasrat hatinya yang hendak cepat-cepat sampai di seberang, ingin dia berlari cepat. Akan tetapi dia menyabarkan hatinya dan tetap menjaga keseimbangan tubuhnya tetap tegak sehingga jembatan itu tidak terlalu bergoyang dan tidak terlalu berat tubuhnya membebani tali sutera. Bahkan bernapas pun agak dia tahan hingga napasnya panjang-panjang dan lambat.

Seolah-olah jarak yang setahun lalu setiap hari ditempuhnya itu kini menjadi lima kali lebih panjang dari biasanya! Seolah-olah dia tak akan pernah sampai di seberang. Akan tetapi kakinya kini tidak menginjak tali sutera lagi, melainkan menginjak tambang, tanda bahwa jarak setengahnya telah dilalui.

Kini dia mempercepat langkahnya dan tak lama kemudian dia melompat ke tepi jurang di mana dahulu Cui Im berdiri mentertawakannya! Keng Hong menjatuhkan diri berlutut ke arah tempat di mana tadi dia mulai menyeberang, seakan-akan dia hendak menghaturkan terima kasih atas bantuan arwah Thai Kek Couwsu dan Sin-jiu Kiam-ong.

Memang sebenarnyalah bahwa dia menerima bantuan kedua orang sakti itu, yaitu dengan mempelajari ilmu-ilmu dari kedua orang sakti itu. Kalau dia tidak mempunyai sinkang yang hebat, dan bila ilmunya tidak diperdalam setahun lagi menurut petunjuk kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, terutama sekali kalau dia tidak menerima peninggalan pakaian sutera putih dari pendiri Kun-lun-pai itu, agaknya tidak secepat itu dia akan dapat menyeberangi jurang!

Dari pengalaman Keng Hong ini ternyata bahwa berharga atau tidaknya sebuah warisan lebih luas lagi, berharga atau tidaknya sebuah benda tergantung dari pada pengetrapan penggunaannya. Kadang kala, benda yang biasanya dianggap tak berharga, sekali waktu pada saatnya yang tepat sangatlah dibutuhkan dan dapat berubah menjadi benda yang amat berharga. Sebaliknya, benda yang biasa dianggap amat berharga, jika sedang tidak diperlukan akan menjadi benda yang sama sekali tidak ada harganya!

Apa artinya segunung emas di padang pasir yang kering tak ada airnya? Manusia yang hampir mati kehausan di situ akan dengan rela dan senang hati menukar setiap bongkah emas dengan seteguk air! Dalam halnya Keng Hong, setumpuk pakaian tua itu ternyata jauh lebih berharga dari pada segala macam pusaka yang diperebutkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw seluruh dunia!

Keng Hong segera berlari memasuki lorong dan memeriksa semua ruangan. Tepat sekali seperti yang sudah dia duga, Cui Im lenyap dan demikian pula semua kitab peninggalan suhu-nya berikut tiga batang pedang pusaka beserta sebagian besar perhiasan-perhiasan yang paling indah. Wanita itu benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memuaskan nafsu ketamakannya!

Biar pun senjata-senjata pusaka di situ masih banyak, dan juga barang-barang berharga tersebut dari pada emas perak dan permata, namun tidak ada sedikit pun niat di hati Keng Hong untuk membawa satu pun benda pusaka itu. Dia hanya membawa pedang Siang-bhok-kiam dan kitab Thai-kek Sin-kun, kemudian dia terus keluar dari tempat itu melalui lorong atau terowongan kecil sambil merangkak, seperti ketika dia datang dahulu.

Ia masih ingat betapa Cui Im yang merangkak di belakangnya merasa ketakutan, kadang-kadang memegang lengannya, juga kadang-kadang mendorong pinggulnya. Keng Hong tersenyum. Betapa pun marah dan bencinya kepada Cui Im, kadang-kadang hatinya geli juga kalau teringat akan kelakukan gadis itu.

Di ujung lorong, dia melihat batu-batu bertumpuk dan dia dapat menduga bahwa pintu yang menutup terowongan itu hancur akibat gempuran batu-batu dari atas. Tadinya dia memikirkan bagaimana Cui Im akan dapat keluar dari tempat itu tanpa bantuan pedang Siang-bhok-kiam sebagai kunci. Akan tetapi ternyata bahwa batu yang menutupi lubang itu pecah-pecah, agaknya tertimpa batu dari atas dan tentu ketika keluar dari tempat ini, Cui Im telah membongkar batu-batu itu.

Melihat banyaknya batu-batu itu, Keng Hong pun dapat membayangkan betapa sukarnya pekerjaan itu. Tentu makan waktu berhari-hari! Diam-dia ia tersenyum memikirkan betapa Cui Im dengan susah payah membongkar batu-batu yang menimbuni mulut terowongan, dan betapa pekerjaan susah payah itu tanpa disangka-sangka kini digunakan oleh Keng Hong yang dapat keluar tanpa bekerja sedikit pun!

Setelah keluar dari lubang dan berada di lereng batu pedang, Keng Hong menarik napas dalam. Angin gunung meniup mukanya dan ia memicingkan matanya dari sinar matahari. Hatinya terharu. Ia merasa seolah-olah hidup kembali!

Lima tahun lamanya dia berada di sebelah dalam batu pedang, seolah-olah telah terkubur di situ. Dan setahun lamanya dia merasa sudah terjebak tanpa ada jalan keluar. Kini dia telah berada di lereng batu pedang!

Keng Hong mengangkat sebuah batu besar, sebesar kerbau sehingga lubang itu tertutup oleh tumpukan batu-batu besar. Kemudian dia mulai merayap turun dengan hati penuh kegembiraan dan dengan semangat tinggi. Tugas penting terbentang luas di depannya.

Andai kata tidak ada Cui Im yang mengganggu, tentu kini dia telah membawa kitab-kitab dan pusaka-pusaka untuk dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Akan tetapi, semua pusaka itu telah dirampas oleh Cui Im, maka tugas utama dan pertama baginya adalah mencari Cui Im untuk merampas kembali benda-benda itu. Nama besar suhu-nya tetap akan tercemar dan tetap akan dimusuhi dunia kang-ouw sebelum benda-benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak.

Akan tetapi sebelum mencari Cui Im dia akan pergi lebih dahulu mengunjungi Kun-lun-pai untuk menyerahkan Thai-kek Sin-kun peninggalan pendiri Kun-lun-pai dan sekalian minta maaf atas segala kesalahannya yang lalu. Ia percaya bahwa pihak Kun-lun-pai, terutama sekali Kiang Tojin, akan dapat memaafkannya, dan andai kata tidak, dia pun tidak gentar karena dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, dia akan dapat dengan mudah menyelamatkan diri!

Dengan gembira Keng Hong lalu bersenandung, melagukan lagu ciptaannya ketika dia dahulu sering kali bermain suling sambil duduk di punggung kerbaunya, ketika dia masih menjadi kacung Kun-lun-pai.

Keng Hong mengira bahwa turunnya dari batu pedang tentu akan segera dihadang oleh orang-orang kang-ouw yang masih teringat akan semua pengalamannya lima tahun yang lalu. Memang, pengalaman-pengalaman yang paling pahit adalah kenang-kenangan yang paling mengesankan! Ia mereka-reka dan merenungkan bagaimana dia akan menghadapi mereka yang pernah mengejar-ngejarnya lima tahun yang lalu.

Sesudah dia mengalami hal-hal yang pahit dengan Cui Im, kini dia dapat melihat bahwa dibandingkan dengan Cui Im, tokoh-tokoh kang-ouw itu tidaklah begitu jahat dan tamak. Cui Im tega melakukan hal-hal keji hanya semata-mata terdorong oleh nafsunya yang sangat besar. Ada pun para tokoh kang-ouw itu mengejar-ngejarnya dengan mempunyai dasar yang tentu saja mereka itu masing-masing menganggapnya benar.

Mereka yang memperebutkan pusaka peninggalan gurunya, merasa benar sebab mereka itu sudah disakiti hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong dan merasa berhak menagih hutang itu dengan jalan memiliki pusaka peninggalannya. Ada pun mereka yang mengejarnya untuk membunuh dirinya juga merasa benar karena mereka menaruh dendam kepadanya atas kematian murid-murid mereka.

Akan tetapi ketika dia sampai di bawah batu pedang, keadaan di sana sunyi saja, tidak tampak seorang pun manusia. Bahkan ketika dia meneliti dari tempat tinggi ini, melihat ke bawah ke sekililing puncak, tidak ada tampak bayangan manusia, sunyi sekali keadaan di situ. Ah, mungkin kini Kun-lun-pai telah melakukan penjagaan ketat dan melarang semua orang asing mendatangi wilayah Kun-lun!

Ia menuruni puncak Kiam-kok-san, kemudian mendaki ke puncak tertinggi Kun-lun-san di mana markas Kun-lun-pai berada. Di sepanjang jalan sunyi saja, tidak ada pula nampak tosu-tosu Kun-lun-pai melakukan penjagaan.

Tiba-tiba dia melihat segunduk tanah seperti kuburan orang, akan tetapi tidak ada batu nisannya dan sebagai gantinya terdapat sebongkah batu kasar yang ada tulisannya, diukir kasar, buruk dan berbunyi: DI SINI THIAN TI HWESIO MATI DI TANGAN ANG-KIAM BU-TEK.

Ia terkejut. Thian Ti Hwesio adalah seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai yang kitabnya dahulu dicuri Sin-jiu Kiam-ong. Hwesio itu lihai sekali, merupakan hwesio tingkat dua dari Siauw-lim-pai. Siapakah Ang-kiam Bu-tek (Pedang Merah Tanpa Tanding) itu?

Tiba-tiba saja jantung Keng Hong berdebar, mukanya panas saking marahnya ketika dia teringat dan menduga keras bahwa Ang-kiam Bu-tek itu tentulah Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im! Siapa lagi jika bukan dia? Untuk dapat membunuh orang seperti Thian Ti Hwesio haruslah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan dia tahu bahwa tingkat Cui Im sekarang amatlah hebat.

Dan julukan itu! Ang-kiam (Pedang Merah) adalah pedang gadis itu, dan agaknya dia kini membuang julukan Tok-sian-li (Dewi Racun) dan menggantinya menjadi Bu-tek (Tanpa Tanding). Memang dalam tingkatnya sekarang ini, Cui Im tidak memerlukan lagi bantuan racun untuk menghadapi lawan. Setiap pukulannya dengan sendirinya sudah merupakan tangan beracun yang amat ampuh, karena gadis itu telah mencampur adukkan ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab peninggalan gurunya dengan ilmu yang pernah diterimanya dari Lam-hai Sin-ni, tentu saja ilmu silat golongan sesat.

"Cui Im, aku akan menghajarmu jika benar-benar engkau yang melakukan pembunuhan itu!" gerutunya di dalam hati.

Ia berjalan terus dan di dalam hutan itu dia melihat sebatang pohon besar yang sebagian kulit batangnya terbuka dan pada kayu pohon yang putih itu terdapat pula ukiran-ukiran huruf yang buruk kasar: DI SINI KIU-BWE TOANIO DIKALAHKAN ANG-KIAM BU-TEK.

Keng Hong menggeleng-gelengkan kepala. Tak salah lagi, semua ini tentu perbuatan Cui Im. Ukiran huruf-huruf itu demikian halus, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang ahli pedang, ada pun bentuk huruf-huruf itu sendiri sangat buruknya yang hanya menunjukkan tulisan seorang setengah buta huruf seperti Cui Im.

Ia kini mengerti mengapa keadaan di situ begitu sunyi, mengapa tidak ada tokoh-tokoh kang-ouw yang menghadangnya. Kiranya mereka itu ada yang menghadangnya setahun yang lalu akan tetapi tentu saja mereka itu hanya berjumpa dengan Cui Im dan celakalah nasib mereka begitu bertemu dengan Cui Im yang bagaikan seekor harimau ganas dan kini telah bertambah sayap itu.

Pemuda itu berjalan terus dan sebelum keluar dari hutan, kembali dia melihat gundukan tanah dan dari batu terukir di situ ternyata adalah Sin-to Gi-hiap yang sudah mati pula dan lagi-lagi di tangan Ang-kiam Bu-tek! Keng Hong membanting kakinya dengan gemas.

Entah siapa lagi yang sudah dikalahkan atau dibunuh oleh Cui Im. Dan mengapa semua pembunuhan ini terjadi di wilayah Kun-lun-pai tanpa ada campur tangan pihak Kun-lun-pai. Bila tujuh murid ketua Kun-lun-pai bersama puluhan orang tosu turun tangan, kiranya tidak akan begitu mudah bagi Cui Im untuk mengganas.

Keng Hong segera menuju ke puncak Kun-lun-pai dan bergegas mendaki puncak tertinggi pegunungan itu yang dijadikan markas partai Kun-lun-pai. Tiba-tiba dia berhenti dan cepat menyelinap di balik pohon pada saat dia mendengar suara orang tertawa-tawa. Cepat dia berindap-indap menggunakan ginkang-nya sehingga dia dapat menghampiri tempat suara dengan cepat namun tidak menimbulkan berisik.

"Sudahlah, Totiang, jangan terlalu lama menahanku di sini, nanti suamiku tahu dan…." terdengar suara wanita.

"Ha-ha-ha, suamimu yang lemah seperti cacing itu? Tahu juga bisa apa dia? Bukankah aku jauh lebih kuat dari suamimu yang kurus kering itu? Ha-ha-ha! Jangan tergesa-gesa, Manis, kita bersenang-senang sampai sepuasnya...!"

Keng Hong terbelalak ketika mengintai dari balik semak-semak dan melihat seorang tosu empat puluh tahun, murid Kun-lun-pai, memeluk seorang wanita muda yang kalau melihat pakaiannya tentulah seorang wanita dusun. Wanita itu cukup manis dan sikapnya genit.

Keng Hong merasa terheran-heran. Betapa mungkin terjadi hal seperti ini? Ada seorang anak murid Kun-lun-pai bermain asmara dengan seorang wanita isteri penduduk dusun? Padahal sepanjang pengetahuannya, para tosu Kun-lun-pai memegang teguh pantangan mengadakan hubungan dengan wanita! Dan dalam urusan itu, para pimpinan Kun-lun-pai memegang teguh peraturan dan berdisiplin keras sekali.

Akan tetapi dia segera teringat akan Lian Ci Tojin yang dulu memperkosa Tan Hun Bwee, maka hatinya menjadi khawatir. Melihat betapa Cui Im dapat mengganas di Kun-lun, dan kini melihat seorang anak murid Kun-lun-pai berani melanggar pantangan di tempat yang begitu dekat dengan markas Kun-lun-pai, bahkan dindingnya pun sudah tampak dari situ, membuat dia menduga bahwa tentu terjadi perubahan di Kun-lun-pai. Kemana perginya Kiang Tojin si orang kuat dari Kun-lun-pai? Dan kenapa Thian Seng Cinjin, ketua Kun-lun yang sakti itu, menjadi begini lemah?

Keng Hong menyingkap semak-semak itu dan berkata nyaring, "Totiang, aku ingin bicara denganmu!" Lalu dia meloncat mundur, memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk membereskan apa yang perlu dibereskan.

Tosu itu meloncat bangun dengan pakaian kedodoran. Sampai sukarlah ia membereskan pakaian saking gugup dan kagetnya sebab mengira bahwa tentulah suami wanita itu yang sekarang datang dan menangkap basah penyelewengan isterinya,. Akan tetapi, dia cepat mengangkat muka membusungkan dada. Suami wanita ini hanyalah seorang dusun, mau apakah? Ia lalu menarik tangan wanita yang menggigil dengan muka pucat itu keluar dari semak-semak dan langsung berteriak-teriak.

"Petani busuk! Pinto sedang berusaha mengusir keluar siluman yang sudah mengganggu isterimu, mengapa kau mengganggu...?" Akan tetapi tosu itu menghentikan kata-katanya dan melongo memandang ke arah Keng Hong yang tersenyum-senyum geli, sedangkan wanita itu tersipu-sipu malu lantas menundukkan mukanya, akan tetapi dengan hati lega karena ternyata pemergok itu bukan suaminya.

"Totiang, engkau bukan mengeluarkan siluman, sebaliknya malah memasukkan setan!" Keng Hong tertawa geli, membuat tosu itu merah mukanya saking malu dan marah.

"Kau...?! Bukankah engkau ini pemuda setan itu…? Celaka, benar engkaulah orangnya!" Tosu itu lalu menerjang maju mengirim pukulan ke arah dada Keng Hong yang diterima oleh pemuda itu dengan mulut tersenyum.

"Krekkk! Auugggh…!"

Tosu itu meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya di dekat pergelangan tangan. Ia marah sekali dan kembali mengirim tendangan dengan kaki kiri, menendang ke arah bawah pusar Keng Hong. Pemuda ini tetap tidak menangkis atau pun mengelak, hanya menekuk sedikit kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah dan tendangan itu mengenai pusarnya.

"Krakkkk! Aduuuu-du-duuuuhhh…!"

Tosu itu kini mengangkat kaki kirinya ke atas, memegangi dengan tangan kirinya sambil berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan. Mulutnya mengaduh-ngaduh dan mendesis-desis kesakitan karena tulang-tulang jari kakinya sudah remuk-remuk!

Wanita itu menggigil dan menahan jerit dengan menutupkan tangan di depan mulut. Keng Hong memandang kepadanya dan berkata halus,

"Engkau pulanglah cepat sebelum terlihat suamimu."

Mendengar ini, wanita itu langsung menggerakkan kakinya berlari menuruni gunung tanpa berani menoleh lagi. Dari belakang tampaklah sepasang buah pinggulnya bergerak-gerak seperti menari-nari dan Keng Hong pun tertawa, sebab mengenal seorang wanita hamba nafsu birahi, seperti Cui Im!

"Totiang, sekarang ceritakanlah dengan sejelasnya keadaan Kun-lun-pai atau jawab terus terang jika Totiang tidak ingin tulang-tulang Totiang patah-patah dan remuk semua. Nah, kumulai. Di manakah adanya Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai?”

Tosu itu agaknya menjadi lapang dadanya. Tadinya dia mengira akan ditanya mengenai perhubungannya dengan wanita dusun itu. Ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tangan kirinya sibuk mengelus-ngelus secara bergantian tangan kanan serta kaki kirinya yang tulangnya patah-patah sehingga rasa nyeri berdenyut-denyut sampai menembus ke ubun-ubun dan jantung.

"Kenapa engkau menanyakan beliau? Thian Seng Cinjin kakek guruku itu telah meninggal dunia setahun yang lalu..."

Keng Hong terkejut, teringat akan Cui Im yang meninggalkannya setahun yang lalu.

"Apa...?! Siapa pembunuhnya...?”

Sambil meringis tosu itu berkata, "Tidak ada yang membunuh, mati karena usia tua."

"Ahhh…!" Lapang rasa dada Keng Hong. "Dan Kiang Tojin di mana?"

"Kiang-supek (uwak guru Kiang)? Ahh, dia kini sudah menjadi seorang hukuman di dalam ruangan hukuman murid-murid Kun-lun-pai!"

"Apa?! Siapa yang menghukumnya?"

"Tentu saja ketua kami..."

"Siapa ketua Kun-lun-pai?"

"Dia? Ehh, dia adalah guru pinto.."

Keng Hong menjadi marah mendengar bahwa Kiang Tojin, tokoh utama di Kun-lun-pai sesudah Thian Seng Cinjin, dihukum di Kun-lun-pai. Mendengar jawaban-jawaban singkat ini, dia segera menggerakkan tangannya dan dicengkeramnya pundak tosu itu. "Jangan main-main. Hayo lekas ceritakan siapa gurumu itu!"

"Aduhhh...! Ampun..., guru pinto adalah Sian Ti Tojin…"

"Aahhhh..!" Keng Hong teringat kepada dua orang tosu itu, Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. "Hayo cepat ceritakan apa yang telah terjadi! Ceritakan seluruhnya kalau kau tidak ingin semua tulangmu kupatahkan!" Keng Hong mengancam.

"Ahh, Keng Hong... ehh, Taihiap. Kasihanilah pinto, tidak ingatkah engkau betapa dahulu aku baik sekali kepadamu?"

Keng Hong tidak ingat lagi kepada tosu ini karena tosu Kun-lun-pai amat banyak, akan tetapi harus dia akui bahwa dahulu ketika dia menjadi kacung di Kun-lun-pai, semua tosu bersikap baik kepadanya.

"Aku tidak akan mengganggumu asal saja kau suka bercerita sejujurnya tentang apa yang telah terjadi setelah Thian Seng Cinjin meninggal dunia dan apa pula yang menyebabkan Kiang Tojin sampai dihukum."

Sambil menahan rasa nyeri pada tubuhnya, tosu itu lalu bercerita, "Sesudah kakek guru meninggal dunia setahun yang lalu, terjadilah perebutan kedudukan ketua di antara tujuh orang muridnya. Terutama sekali yang berebut adalah Kiang Tojin di satu pihak dan suhu Sian Ti Tojin bersama susiok Lian Ci Tojin di lain pihak. Empat orang paman guru yang lain berpihak kepada suhu, karena menurut anggapan semua murid-murid Kun-lun-pai, Kiang-supek terlampau keras dan bengis terhadap anak murid Kun-lun-pai!"

"Hemmm, kurasa Kiang Tojin berada di pihak yang benar karena beliau adalah murid tertua, bahkan tadinya mewakili Thian Seng Cinjin. Aku yakin pula Kiang Tojin tidak akan kalah, biar pun menghadapi enam orang sute-nya."

"Memang tadinya tidak kalah. Perebutan kedudukan itu menjadi pertandingan dan tidak seorang pun di antara suhu dan para susiok dapat mengalahkan Kiang-supek yang amat lihai, akan tetapi…"

"Akan tetapi apa? Hayo lanjutkan!"

"Selagi suhu dan para sute-nya terdesak oleh Kiang-supek, tiba-tiba muncullah Ang-kiam Bu-tek..."

"Apa? Bagaimana? Teruskan..!" Kali ini Keng Hong benar-benar amat terkejut mendengar munculnya Cui Im di Kun-lun-pai.

"Wanita cantik jelita itu sungguh-sungguh hebat! Hebat bukan main! Tidak hanya hebat kecantikannya, hebat bentuk tubuhnya, akan tetapi hebat pula ilmu pedangnya sehingga Kiang-supek langsung terluka begitu dia turun tangan membantu suhu serta para susiok. Kiang-supek terluka hingga terpaksa menyerah, lalu dihukum dan suhu diangkat menjadi ketua Kun-lun-pai, sedangkan Lian Ci susiok amat beruntung, selain menjadi wakil ketua juga agaknya dapat bersahabat baik sekali dengan wanita yang seperti bidadari itu."

"Katakan, mengapa wanita itu membantu suhu-mu menentang Kiang Tojin."

"Ketika itu dia memaki-maki Kiang-supek, mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu Kiang-supek pernah menangkapnya dan hal itu dianggap penghinaan. Maka dia datang membalas dendam dan merobohkan Kiang-supek. Dia hebat sekali dan..."

Akan tetapi tubuh Keng Hong sudah berkelebat lenyap dari depan tosu itu yang menjadi melongo saking kagum dan herannya, lupa akan rasa nyeri tubuhnya. Akan tetapi setelah keheranannya mereda, kaki tangannya yang patah tulangnya itu senut-senut, rasa nyeri menyusup tulang sumsum sehingga dia merintih-rintih lalu merangkak karena tidak dapat berjalan.

Keng Hong yang menjadi amat marah mendengar betapa Kiang Tojin dirobohkan Cui Im yang membantu tosu-tosu sesat semacam Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, berlari cepat sekali mendaki puncak menuju ke dinding Kun-lun-pai yang sudah dekat dari tempat itu. Dia harus menolong Kiang Tojin, apa pun yang terjadi, sebagai pembalasan atas segala kebaikan Kiang Tojin kepadanya. Karena ginkang yang dimiliki Keng Hong sekarang telah mencapai tingkat tinggi sekali, maka tidak lama kemudian dia telah tiba di pintu gerbang dinding tebal Kun-lun-pai yang terjaga oleh beberapa orang tosu.

Munculnya Keng Hong menggegerkan para tosu yang segera dapat mengenali pemuda berpakaian putih ini. Cepat mereka bersiap untuk menyerang sedangkan seorang penjaga cepat-cepat berlari masuk untuk menyampaikan pelaporan mengenai munculnya pemuda yang sudah dikabarkan mati itu.

"Totiang sekalian, aku datang bukan untuk memusuhi pihak Kun-lun-pai, aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin!" Keng Hong berkata dengan suara nyaring.

"Kamu tunggu di luar! Tidak boleh kamu masuk mengotorkan dan mencemarkan lantai Kun-lun-pai dengan kakimu yang kotor!" bentak seorang tosu.

Keng Hong memandang ke arah kedua kakinya yang tak bersepatu dan memang kotor, lalu dia menjawab, "Kaki kotor mudah saja dibersihkan dengan air, Totiang. Akan tetapi batin yang kotor sukar dicuci bersih! Apa lagi kalau orang itu tidak merasa betapa kotor batinnya!"

"Wah, masih saja amat sombong bocah ini!" teriak para tosu yang tetap melarang Keng Hong melewati pintu gerbang. Mereka telah berbaris menghadang di pintu dengan senjata mereka ditodongkan, siap untuk menyerang apa bila Keng Hong memaksa.

Diam-diam pemuda itu mengeluh. Betapa banyaknya perubahan pada partai Kun-lun-pai yang tadinya merupakan partai besar itu, menjadi tempat bertapa para tosu yang kasar dan galak ini. Kelakuan tosu yang tadi dia patahkan tulang kakinya lebih pantas menjadi kelakuan dan sikap anak buah perampok! Hanya dalam waktu lima tahun saja, alangkah banyaknya perubahan terjadi di Kun-lun-pai.

Keng Hong menjadi makin penasaran dan dia lalu berkata dengan suara tegas, "Totiang sekalian, Keng Hong bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Aku telah berhutang budi dan di antara semua tosu di Kun-lun-pai, terutama sekali aku berhutang budi pada Kiang Tojin. Kuharap Totiang sekalian suka melaporkan kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin karena aku hendak bicara dengan mereka berdua. Aku tak ingin menggunakan kekerasan terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi bila Totiang sekalian mencegah aku dengan kekerasan, apa boleh buat, aku akan memaksa masuk!"

Dengan pandang matanya yang tajam Keng Hong dapat melihat bahwa yang bersikap keras dan memandang kepadanya dengan sinar mata menentang hanya beberapa orang saja, sedangkan yang lain-lain ketika dia menyebut nama Kiang Tojin telah menundukkan pandang mata mereka seolah-olah mereka menyimpan atau menyembunyikan perasaan hati mereka.....

Komentar