PEDANG KAYU HARUM : JILID-16
Pikiran inilah yang membuat Kok Cin Cu tiba-tiba meloncat ke depan menubruk ke arah Keng Hong dan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dengan Ilmu Ang-liong Jiauw-kang yang luar biasa dahsyatnya!
"Keng Hong... awas...!" Sie Biauw Eng menjerit ngeri menyaksikan dahsyatnya serangan tokoh Kong-thong-pai ini dan dari tangannya meluncur sinar putih.
Keng Hong juga maklum akan kelihaian Ang-liong Jiauw-kang, maka dia pun cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya. Akan tetapi karena dia tak ingin membunuh kakek ini, dia pun menggunakan tenaga sinkang-nya untuk mendorong agar tubuh kakek itu terpental. Kini dia tidak marah kepada kakek itu, maka otomatis tenaga sedot yang mukjijat di tubuhnya pun tidak bekerja!
"Dessss...!"
Dua tenaga raksasa yang tidak tampak bertemu di udara. Tubuh Keng Hong tergetar dan bergoyang-goyang, kepalanya pening dan matanya berkunang-kunang. Akan tetapi Kok Cin Cu mengeluarkan keluhan tertahan, tubuhnya terbanting ke belakang dan kakek itu pun roboh tak berkutik lagi!
"Kau... perempuan keji…!"
Keng Hong menoleh ke arah Biauw Eng karena dia dapat melihat jelas betapa ujung sabuk sutera Biauw Eng tadi menotok ke arah jalan darah di belakang kepala tosu itu, sebuah totokan maut yang tak mungkin dapat dielakkan oleh tosu yang sedang mengadu tenaga dahsyat dengan dia tadi. Gerakan sabuk sutera di tangan Biauw Eng sedemikian cepatnya sehingga hanya dia yang bisa melihatnya sedangkan sisa murid Kong-thong-pai tidak ada yang mengetahuinya, menyangka bahwa guru mereka itu tewas di tangan Keng Hong.
Biauw Eng memandang heran. "Keng Hong ..., aku hanya membantumu...!"
"Perempuan rendah! Perempuan tak tahu malu! Siapa membutuhkan bantuanmu? Pergi, muak perutku melihatmu!"
"Kau...! Kau...!"
Biauw Eng terisak dan mukanya pucat sekali, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya lantas berkelebat cepat melarikan diri dari tempat itu dengan meninggalkan isak tertahan. Keng Hong menghela napas panjang, memandang ke arah mayat Kok Cin Cu dan mayat empat orang murid Kong-thong-pai, kemudian dia berkata, suaranya berat.
"Heh, kalian murid-murid Kong-thong-pai, semua ini salahku. Aku sudah membunuh Kok Cin Cu totiang dan empat orang saudara kalian. Nah, tangkaplah aku, belenggu tanganku. Bawa aku ke Kong-thong-pai menghadap para pimpinan kalian agar aku dapat menerima hukumannya secara adil."
Empat orang laki-laki gagah serta dua wanita cantik itu sejenak memandang kepadanya dengan perasaan jeri, benci, marah dan juga heran. Kemudian mereka meloncat maju dan menelikung kedua tangan Keng Hong ke belakang. Salah seorang di antara mereka mempergunakan cambuk baja milik Kok Cin Cu untuk mengikat kedua lengan pemuda itu ke belakang, kemudian mereka menggiring Keng Hong sambil membawa lima jenazah itu.
Mereka menuju ke sebuah dusun kemudian dengan bantuan para penduduk di situ, lima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya turut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih,
"Totiang tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima."
Enam orang Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sambil berkemak-kemik di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci pemuda ini yang sudah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti pula bahwa pemuda itu dapat mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan diri.
Kewajiban mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai lalu menyerahkannya kepada para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa walau pun kedua lengannya telah dibelenggu, apa bila pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah lawannya.
Dua orang wanita anak murid Kong-thong-pai itu, di samping menyimpan rasa benci dan dendam akibat kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua merasa amat kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, juga kagum akan sikapnya yang tenang dan gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan kebagusan bentuk tubuhnya.
Apa lagi bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik berbaju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika dia dan para saudara seperguruannya bersama murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini, bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkang-nya oleh pemuda yang aneh ini. Dia kagum sekali akan kegagahan Keng Hong.
Kiu Bwee Ceng ini adalah seorang janda muda dan usianya mendekati tiga puluh tahun. Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara para suheng-suheng-nya. Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang mampu menandingi suaminya. Bagaimana hatinya tak akan menjadi tertarik?
Apa lagi karena ia dapat pula menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid Lam-hai Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika tadi melihat betapa Keng Hong membentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, dia menjadi makin tertarik.
Ada pun wanita ke dua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoi-nya. Wanita ini masih gadis meski pun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki wajah yang cantik dengan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, akan tetapi gadis ini selalu menolaknya karena tidak ada seorang pun di antara para pelamar itu yang menggerakkan hatinya.
Sekarang bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tiak karuan rasanya. Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yang telanjang sebagian akibat pakaiannya telah robek-robek termakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi.
Melihat kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi sudah menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang yang sangat hebat hingga gurunya sendiri pun tak kuat menghadapinya, hati gadis ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya berdebar tidak karuan.
Bwee Ceng agaknya maklum akan gerak-gerik sumoi-nya. Sebagai seorang wanita yang pernah bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoi-nya, dia dapat menduga bahwa sumoi-nya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri. Diam-diam dia mendekatinya sumoi-nya sehingga mereka berjalan berendeng, agak jauh dari empat orang suheng mereka.
Bwee Ceng menowel lengan sumoi-nya, dan bicara berbisik-bisik sambil kadang-kadang memandang ke arah tawanan mereka itu. Kelihatan mata Swat Si terbelalak memandang suci-nya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya mengerling tajam sambil membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka, kecuali Keng Hong!
Pada saat itu, Keng Hong sedang berjalan sambil melamun, memikirkan Sie Biauw Eng. Kebenciannya dan penyesalan hatinya terhadap gadis itu makin menghebat. Ia mengerti bahwa gadis itu sangat mencintainya, entah cinta hanya terdorong nafsu birahi belaka, seperti yang terbukti dari pengalamannya malam itu ketika Biauw Eng mendatanginya dan mencurahkan segala kemesraan kepada dirinya, entah cinta yang lain lagi sifatnya sebab buktinya secara diam-diam gadis itu selalu mengikutinya dan membantunya.
Betapa pun sifatnya, dua macam cinta kasih ini tentu saja dapat dia terima dengan hati senang dan puas. Akan tetapi yang membuat dia menyesal dan membenci adalah bahwa setiap kali Biauw Eng turun tangan, tentu terjadi pembunuhan keji dan akibatnya dialah yang dimusuhi orang!
Yang terakhir ini sudah keterlaluan. Kalau saja Biauw Eng tidak turun tangan, tak mungkin empat orang tokoh murid Kong-thong-pai tewas dan seorang tokoh di antara Kong-thong Ngo-Iojin tewas pula!
Dan yang paling memanaskan hatinya akan kekejian gadis itu adalah kematian Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang lemah lembut, yang sama sekali tidak berdosa. Hanya karena gadis Hoa-san-pai itu mencintainya lalu dibunuh secara keji oleh Biauw Eng. Hemmm. demikian kejikah hati seorang wanita yang sudah mencinta? Apakah kalau melihat setiap orang wanita lain mencintanya, lalu turun tangan tangan membunuhnya? Ahhh, ingin dia melihatnya!
Jika memang demikian, dia harus dapat menangkap basah Biauw Eng, dan menyeretnya untuk menerima hukuman dari partai persilatan yang bersangkutan! Biar pun dia memiliki perasaan sayang yang sangat aneh di sudut hatinya terhadap Sie Biauw Eng, akan tetapi mengingat akan kekejian gadis itu, ingin sekali ia menangkap basah Biauw Eng kemudian menyerahkannya kepada Hoa-san-pai atau Kong-thong-pai!
Pada saat dia merenung sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan dua orang wanita yang berjalan sedikit jauh di sebelah belakangnya. Ketika itu Keng Hong sedang termenung dan keadaan orang yang termenung hampir sama dengan keadaannya kalau sedang bersemedhi.
Begitu telinganya dapat menangkap bisikan-bisikan itu, dia menghentikan renungannya dan mencurahkan perhatiannya pada bisikan-bisikan tadi sehingga terdengar cukup jelas oleh Keng Hong yang memang memiliki sinkang yang sangat kuat itu. Muka Keng Hong menjadi merah ketika dia menangkap bisikan-bisikan itu dan dia mengerling ke kanan kiri, ke arah empat orang murid pria Kong-thong-pai yang berjalan di kanan kirinya, akan tetapi hatinya lega melihat mereka ini tidak mendengar apa-apa.
"Suci apa yang kau katakan ini? Jangan menuduh yang bukan-bukan…," terdengar jelas oleh Keng Hong gadis baju biru, Tang Swat Si, berbisik.
"Hi-hik-hik, tak perlu bepura-pura lagi, Sumoi. Aku pun amat tertarik padanya. Dia seorang jantan pilihan, dan kalau saja kita dapat menerima cintanya untuk semalam saja… ahh, selamanya kita tidak akan penasaran...," balas Kiu Bwee Ceng sambil menghela napas.
"Ihhh..! Suci, apa yang kau katakan ini? Sungguh memalukan.."
"Memalukan apa? Sumoi, kita sama-sama wanita dan sama-sama jatuh hati kepadanya. Dia mempunyai sinkang yang kuat luar biasa. Siapa tahu, kalau... satu kali saja dia suka melimpahkan cintanya kepada kita…, sinkang-nya yang kuat itu akan menular kepada kita..."
"Hina dan rendah sekali, Suci.."
"Benarkah? Kurasa tidak demikian isi hatimu. Atau, kalau engkau tidak mau, biarlah aku yang mencobanya asal engkau dapat menutup rahasia ini. Kulihat matanya penuh gairah ketika memandang kita. Mata seperti itu hanya dimiliki oleh pria yang bersemangat dan yang selalu suka kepada wanita. Malam ini... kalau ada kesempatan, kalau engkau mau, lebih baik lagi..., maukah engkau, Sumoi?"
"Ihhhhh, aku... aku malu, Suci. Engkau lebih dulu..."
"Baik, aku lebih dulu dan engkau menjaga. Kalau berhasil, akan kubujuk dia supaya suka melayanimu pula."
Keng Hong tersenyum dalam hatinya, tersenyum geli. Alangkah banyaknya wanita cantik seperti mereka itu di dunia ini. Seperti Cui Im! Bahkan Biauw Eng, yang tadinya disangka lain dari pada yang lain, bukan penghamba nafsu birahi, kiranya juga sama saja! Ahh, dia tidak peduli lagi. Kalau memang mereka menghendaki dia tidak akan menolak. Mereka itu manis-manis dan apakah kata gurunya?
"Uluran cinta kasih wanita merupakan anugerah nikmat yang tidak semestinya dibiarkan sia-sia, tentu saja kalau engkau sendiri tertarik kepadanya. Kalau tidak sekali pun, jangan menolak secara kasar karena hal itu akan menyakiti perasaannya yang halus. Tidak ada sakit hati yang lebih parah bagi seorang wanita dari pada cintanya ditolak oleh seorang pria."
Dia akan melayani mereka bahkan akan membuka jalan. Hal ini bukan sekali-kali karena dia sudah tergila-gila kepada mereka, atau sudah terlalu mendesak keinginannya untuk bermain cinta dengan mereka. Sama sekali bukan. Terutama sekali karena dia sekarang mendapat jalan untuk memancing Biauw Eng.
Bukankah Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi karena gadis Hoa-san-pai itu mencintai dirinya? Nah, biarlah dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini bermain cinta dengannya supaya Biauw Eng turun tangan pula membunuh mereka. Akan tetapi sekali ini dia akan waspada, tidak akan tertidur pulas dan akan selalu menjaga agar dia dapat menangkap Biauw Eng bila gadis itu berusaha membunuh mereka, dan tentu saja dia akan berusaha mencegah pembunuhan atas diri ke dua orang murid Kong-thong-pai ini.
Malam itu, rombongan murid Kong-thong-pai bermalam di sebuah dusun. Karena mereka tidak ingin mengganggu penduduk dusun itu, dan di dalam dusun kecil itu tidak terdapat rumah penginapan, terpaksa mereka lalu mengaso di dalam sebuah kuil tua yang sudah kosong.
Hati para murid Kong-thong-pai itu tengah risau dan berduka berhubung dengan kematian guru mereka, ada pun Keng Hong merupakan seorang tawanan yang suka rela, tak perlu dijaga lagi karena andai kata mau melarikan diri, biar dijaga sekali pun akan percuma dan tetap akan dapat lari. Maka empat orang murid pria dan dua orang murid wanita itu segera merebahkan diri mengaso di lantai kuil setelah mereka makan malam dan lantai itu disapu bersih oleh Bwee Ceng dan Swat Si.
Tentu saja, seperti biasa, Bwee Ceng dan Swat Si memisahkan diri. Biar pun empat orang itu adalah suheng-suheng mereka, namun sebagai wanita tentu saja mereka merasa tidak leluasa untuk tidur di dalam suatu ruangan dengan mereka, apa lagi di situ terdapat Keng Hong dan lebih-lebih lagi karena mereka berdua diam-diam mempunyai rencana rahasia!
Malam itu, menjelang tengah malam, Bwee Ceng berindap memasuki ruangan belakang di mana Keng Hong tidur. Pemuda ini memang sengaja memilih ruangan terpisah untuk tidur. Dengan suara gemetar Bwee Ceng berbisik,
"Keng Hong.."
Keng Hong memang belum tidur, dia masih duduk bersandar tembok kuil. "Ah, engkaukah itu? Apakah kehendakmu?"
"Aku... aku ingin membuka belenggumu. Amat tidak enak bila tidur dengan kedua tangan terbelenggu."
Keng Hong tersenyum dan mengangkat kedua tangannya yang sudah bebas. Dia sudah membuka sendiri belenggu tangannya yang dia taruh di atas lantai. "Aku sudah bebas dan siap menantimu, nona. Ataukah... perasaan cintamu yang kau bisikkan siang tadi sudah berubah?"
Bwee ceng makin kaget. "Kau… kau dapat mendengarkan percakapan itu...?"
"Tentu saja, dan aku merasa girang sekali. Kalian adalah nona-nona yang cantik manis. Akan tetapi, kita harus keluar dari kuil ini. Tidak enak rasanya apa bila kita bersenang-senang di sini, di mana para suheng-mu sedang tidur. Dan ajaklah sumoi-mu. Kita bertiga berjalan-jalan di kebun belakang kuil. Bagaimana, maukah?"
Dengan dua pipi berubah kemerahan Bwee Ceng hanya mengangguk-angguk, tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian dia tertawa kecil dan berlari-larian pergi untuk memanggil sumoi-nya. Keng Hong sudah melangkah keluar dari kuil menuju ke kebun bunga yang berada di belakang kuil.
Seperti kuil itu sendiri, kebun itu pun tidak terpelihara, namun masih banyak bunga-bunga liar tumbuh di situ dan ditumbuhi rumput tebal. Keng Hong yang hendak mempergunakan pertemuannya dengan dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini sebagai ‘pancingan’ kepada Biauw Eng, memilih tempat terbuka dan duduklah dia di atas tanah yang bertilam rumput hijau tebal. Tak lama dia menanti dan tampaklah Bwee Ceng, janda muda ini yang begitu tiba di tempat itu, lalu menarik sumoi-nya duduk di dekat Keng Hong, kemudian sambil tersenyum dia merangkul Keng Hong yang balas memeluknya.
"Ahh, engkau begini tampan, begini gagah...," Bwee Ceng berbisik.
Karena memang sudah mempunyai dasar batin lemah terhadap godaan nafsu, meski pun tadinya sungkan dan malu, atas desakan Bwee Ceng dan keramahan Keng Hong, pada akhirnya Swat Si mulai berani pula membalas rangkulan Keng Hong.
Pemuda ini melayani kedua orang murid Kong-thong-pai yang dimabuk nafsu itu dengan penuh kesediaan dan keramahan, tetapi dia hanya mencurahkan perhatiannya setengah saja untuk itu, karena sebagian perhatiannya lagi dia kerahkan untuk meneliti keadaan di sekeliling kebun itu, dan untuk dapat ‘menangkap basah’ apa bila Biauw Eng turun tangan melakukan serangan kejam terhadap dua orang nona dalam pelukannya.
Menjelang fajar, Swat Si sudah tertidur kelelahan, dan Bwee Ceng masih membelai dan memeluk Keng Hong. Janda ini benar-benar tergila-gila kepada pemuda perkasa itu dan dia berbisik-bisik mesra,
"Keng Hong, kekasihku... Engkau jangan khawatir, kelak di hadapan para supek-ku, aku akan membelamu dan akan kuceritakan bahwa bukan engkau yang membunuh suhu dan keempat orang suheng-ku, melainkan Song-bun Siu-li. Aku akan bersumpah dan dengan segala daya akan kubela engkau, kekasihku."
Keng Hong lalu menciumnya sambil tersenyum. "Engkau baik sekali, Bwee Ceng. Terima kasih."
Pada saat itu, Keng Hong cepat melepaskan pelukan Bwee Ceng dan tubuhnya bergerak ke depan, menangkap dua benda yang mengeluarkan sinar putih dan yang menyambar cepat ke arah pelipis Bwee Ceng dan Swat Si. Tepat seperti dugaannya, Biauw Eng turun tangan menyerang dengan senjata rahasianya, yaitu bola-bola putih berduri!
"Biauw Eng, perempuan keji...!" Keng Hong cepat meloncat ke arah dari mana datangnya senjata-senjata rahasia itu, tidak peduli bahwa tubuhnya masih telanjang. Akan tetapi tak tampak bayangan seorang pun manusia.
Keng Hong cepat-cepat kembali dan mengenakan pakaian, sedangkan dua orang wanita itu sudah cepat kembali ke dalam kuil. Karena tidak berhasil menangkap Biauw Eng, Keng Hong dengan hati panas kembali ke ruangan belakang kuil, lalu tertidur sampai pagi.
Pada keesokan harinya, dengan wajah berseri dan kedua pipi kemerahan, Bwee Ceng dan Swat Si sudah memasak makanan. Pagi-pagi benar mereka telah membeli beberapa ekor ayam dan gandum dari penduduk dusun, bahkan Bwee Ceng membawa pula seguci arak.
Keng Hong yang melihat betapa wajah mereka berseri, diam-diam harus mengakui bahwa mereka itu cantik-cantik dan manis, maka hatinya menjadi makin girang. Apa lagi melihat Swat Si yang menahan senyum dan dengan malu-malu kadang-kadang mengerling ke arahnya, dia mengakui gadis ini dan membandingkannya dengan Ciang Bi. Untung bahwa dia bersikap waspada, kalau tidak, tentu dua orang wanita cantik ini sekarang sudah menjadi mayat, pelipis mereka telah pecah oleh dua bola putih berduri korban keganasan Biauw Eng. Ia makin marah dan benci kepada Biauw Eng.
"Wah, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) sungguh rajin, sepagi ini sudah mendapatkan makanan pagi yang lengkap!" Keng Hong berseru gembira sambil mendekati salah seorang murid Kong-thong-pai minta dibukakan belenggunya.
Murid Kong-thong-pai itu lalu membuka belenggu tangannya untuk memberi kesempatan Keng Hong ikut makan pagi.
"Ehh, ada araknya pula. Dari mana Ji-wi bisa mendapatkan arak?"
Swat Si tidak dapat mengeluarkan suara. Ia masih merasa malu dan jengah dan sehingga khawatir kalau-kalau suaranya akan gemetar. Bwee Ceng tersenyum dan menjawab,
"Kebetulan sekali ada seorang wanita petani membawa hendak ditawarkan kepada kita. Aku lalu membelinya dan araknya baik sekali, wangi."
Setelah masakan gandum dan ayam matang, makanlah Keng Hong bersama enam orang murid Kong-thong-pai itu dan kalau melihat keadaan mereka itu, Keng Hong sama sekali bukan seperti seorang tawanan, melainkan seorang sahabat baik. Bahkan empat orang murid laki-laki Kong-thong-pai kini sudah mulai mengajaknya bercakap-cakap dan kadang kala berkelakar.
Ketika Bwee Ceng membagikan arak dan menuangkan arak pada cawan masing-masing yang diambilnya dari bungkusan perbekalan mereka, tercium bau arak yang wangi dan sedap sekali. Mereka menjadi gembira dan segera mengangkat cawan arak dan minum arak yang ternyata manis dan enak sekali.
Akan tetapi, mendadak Keng Hong mengerutkan alisnya ketika arak itu melalui lidahnya. Mulutnya yang sudah sangat peka itu dapat merasakan ada racun yang amat kuat berada di dalam arak, racun yang sama sekali tidak berbau dan tidak ada rasanya. Akan tetapi begitu tersentuh racun itu lidahnya sudah dapat merasakan dan tahulah dia bahwa dia hendak di racun!
Keng Hong tersenyum ketika dia mengerling ke arah Swat Si yang kebetulan mengerling ke arahnya pula dari balik cawannya. Hemm, tentu cawan untuknya itu saja yang diberi racun. Diam-diam dia mengeluh hatinya.
Agaknya kedua orang wanita itu, ataukah Bwee Ceng itu karena dia tidak percaya bahwa Swat Si yang begitu halus dan mesra akan suka meracuninya, sengaja ingin membunuh dia karena khawatir kalau-kalau peristiwa semalam akan terbongkar dan diketahui orang lain. Kalau Keng Hong mati, tentu rahasia itu takkan pernah dapat terbongkar lagi. Begini kejamkan wanita? Keng Hong hanya mengeluh dalam hatinya, akan tetapi terus meneguk habis araknya karena baginya, racun itu tidak akan ada bahayanya.
Tiba-tiba Keng Hong meloncat bangun ketika melihat perubahan pada wajah enam orang itu. Mendadak saja wajah enam orang itu berubah. Mendadak saja wajah mereka yang tadinya duduk di atas lantai itu menjadi biru.
"Aduhhh... Keng Hong..!" Swat Si mengeluh.
Melihat wajah Swat Si, hati Keng Hong penuh keharuan dan kekhawatiran. Dia cepat meloncat dekat dan merangkul leher gadis itu. Wajah gadis itu menjadi agak menghitam, tubuhnya berkelojotan, akan tetapi matanya memandang wajah Keng Hong dan mulutnya agak tersenyum walau pun giginya yang kecil rata dan putih mengkilap itu menggigit bibir bawah menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk perut.
"Swat Si... kenapa...?" Keng Hong yang mendekapnya bertanya khawatir.
"Keng Hong... jangan lupakan aku…" Swat Si berbisik kemudian tubuhnya menjadi lemas, matanya mendelik.
Tak salah lagi, tentu arak itu! Dan Bwee Ceng yang membelinya! Ia melepaskan tubuh Swat Si yang sudah sekarat lalu membalik menubruk Bwee Ceng, mengangkat tubuh itu yang lalu di rangkulnya.
Seperti juga Swat Si, ketika memandangnya, Bwee Ceng berusaha untuk tersenyum.
"Keng Hong... arak... itu... ada racun.. aku tidak penasaran... setelah semalam..." Ia tidak dapat melanjutkan karena tubuhnya berkelojotan dan matanya mendelik pula.
Keng Hong segera melepaskan Bwee Ceng dan memeriksa keempat orang murid pria Kong-thong-pai. Semua sama keadaannya, merasa sekarat dan dalam perjalanan maut.
Arak beracun! Seorang wanita petani menjual seguci arak kepada Bwee Ceng! Seperti kemasukan setan Keng Hong meloncat dan lari memasuki dusun. Hari masih pagi sekali akan tetapi seperti kebiasaan dusun-dusun, sepagi itu para penduduk telah bangun.
Melihat Keng Hong berlari-lari, mereka semua merasa terkejut dan amat heran. Bukankah pemuda ini yang kemarin menjadi tawanan enam orang gagah yang bermalam di dalam kuil? Pemuda tampan ini tentulah seorang penjahat, maka menjadi tawanan enam orang pendekar itu.
"Siapa yang sudah menjual seguci arak kepada kami?" Keng Hong berteriak-teriak seperti orang gila.
Seorang wanita setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak melangkah maju dan berkata, "Saya yang menjual seguci arak kepada mereka tadi pagi. Ada apakah orang muda? Arakku hanya ada seguci itu, kalau mau tambah lagi harus pergi ke kota..!"
Wanita itu menghentikan kata-katanya, berganti mengaduh-aduh sebab Keng Hong telah mencekeram lengannya. Tadinya pemuda ini mengira bahwa nenek yang telah meracuni mereka tentu mempunyai kepandaian lihai, akan tetapi ketika memegang lengannya dan mendapat kenyataan bahwa wanita ini tidak bisa apa-apa dan sangat lemah, dia segera mengendurkan cengkeramannya dan membentak,
"Lekas katakan! Dari mana engkau mendapat arak itu? Awas kalau membohong, kubunuh kau!"
Para penduduk dusun itu menjadi marah menyaksikan kekasaran Keng Hong terhadap seorang wanita. Mereka itu, yang laki-laki, sudah menyerbu sambil memaki, "Orang gila! Kenapa datang-datang mengamuk? Engkau adalah seorang tawanan, tentu seorang yang jahat!" Melayanglah pukulan dan tendangan ke tubuh Keng Hong.
Tapi pemuda ini tidak mempedulikan mereka semua dan tetap memegangi lengan wanita setengah tua yang menggigil ketakutan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika serangan itu mengenai tubuh Keng Hong, disusul teriakan-teriakan mengaduh-ngaduh para penyerang itu sendiri karena kaki tangan mereka bertemu dengan tubuh yang kerasnya seperti baja!
"Dia setan...!"
"Siluman...!" teriakan-teriakan mereka yang mengaduh-ngaduh ini membuat suasana di situ menjadi gaduh sekali.
"Saudara-saudara jangan bertindak sembrono!" Keng Hong berteriak lantang, "arak yang dijual oleh wanita ini mengandung racun karena semua sahabatku yang meminum arak itu kini mati semua!"
Mendengar penjelasan ini, orang-orang dusun itu menjadi pucat mukanya dan otomatis mereka melangkah mundur lalu memandang ke arah wanita itu dengan mata terbelalak. Wanita itu sendiri kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Aku tidak tahu apa-apa... Aku tidak tahu tentang arak dan tentang racun. Seguci arak itu aku terima dari seorang puteri dengan pesan supaya kuberikan kepada rombongan yang menginap di kuil... Dan… karena niocu (nona) itu berbaik hati memberi hadiah uang..., tentu kuterima…"
Keng Hong melepaskan cengkeraman tangannya dan mendorong tubuh wanita setengah tua itu yang terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan yang terasa nyeri, menangis dengan muka pucat.
"Lekas katakan, seperti apa macamnya nona yang memberi arak kepadamu itu?"
"Dia masih muda, cantik sekali bagaikan dewi... pakaiannya serba putih, suaranya halus dan..."
Akan tetapi Keng Hong sudah meloncat pergi dan sebentar saja sudah lenyap dari depan para penduduk yang melongo keheranan. Keng Hong tidak lagi merasa heran mendengar keterangan wanita dusun itu karena memang sudah disangkanya. Tangan keji Biauw Eng lagi! Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng yang menggunakan racun membunuh enam orang Kong-thong-pai itu?
Pagi tadi, menyaksikan dua orang gadis Kong-thong-pai dilayani bercinta kasih oleh Keng Hong, dalam cemburunya gadis berwatak iblis itu lalu menyerang dengan senjata rahasia. Kemudian, karena ada Keng Hong yang menghalangi niat kejinya, dia lalu menggunakan racun secara keji dan cerdik sekali. Tentu gadis itu tahu bahwa Keng Hong kebal akan racun, akan tetapi enam orang Kong-thong-pai tidak!
"Biauw Eng, engkau sungguh jahat!" Keng Hong berkata dengan hati penuh penyesalan dan duka ketika dia tiba di dalam kuil dan berdiri memandang ke arah enam sosok mayat murid-murid Kong-thong-pai itu.
Dengan perasaan berat Keng Hong kemudian menggali lubang di pekarangan kuil dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah selesai dia meninggalkan kuil dan baru mendapat kenyataan bahwa banyak penduduk menonton dari jauh dan secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia melangkah dekat, mereka melarikan diri dan terdengar suara mereka,
"Pembunuh...! Pembunuh keji…!"
Keng Hong menghela napas panjang. Semua murid-murid Kong-thong-pai dibunuh Biauw Eng, dan kembali dialah yang tertuduh. Dia tak menyalahkan orang-orang dusun itu yang menuduhnya, dan ia merasa tak ada gunanya untuk memberi penjelasan kepada mereka. Semakin keras hasrat hatinya untuk cepat kembali ke Kiam-kok-san, di mana dia tak akan berhubungan lagi dengan dunia ramai, takkan terlibat segala urusan manusia yang hanya membuat kegetiran-kegetiran dan permusuhan.
Dia berjalan terus mendaki lereng Pegunungan Kun-lun-san…..
********************
Keng Hong berhenti melangkahkan kakinya dan memandang ke kiri dengan rasa kagum. Gadis itu, dia berani menduga bahwa bayangan tubuh ramping gesit itu tentulah seorang gadis, berlari dengan cepat sekali.
Tadinya jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas karena mengira bahwa gadis itu Biauw Eng. Akan tetapi setelah agak dekat dan pakaian gadis itu hijau muda, tidak putih seperti pakaian Biauw Eng, dia menduga-duga. Jelas bukan Biauw Eng, bukan pula Cui Im, sungguh pun gerakan gadis itu menunjukkan ginkang yang sudah tinggi.
Yang jelas berbeda dan tampak dari jauh adalah cara gadis ini menyanggul rambutnya, disanggul tinggi di atas kepala seperti sebuah menara yang bergoyang-goyang ketika dia berlari cepat. Di punggungnya tampak sebatang pedang dalam sarung pedang merah.
Ketika gadis yang ternyata cantik manis dengan pandang mata tajam dan penuh gairah hidup itu tiba di dekat Keng Hong yang duduk di bawah pohon, gadis itu kelihatan kaget, akan tetapi dia bahkan langsung menghampiri Keng Hong. Sejenak gadis itu memandang tajam kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan ketika dia bertanya,
"Maafkan kalau aku yang sesat jalan mengganggu Twako dengan pertanyaan."
Keng Hong tersenyum. Senang hatinya menyaksikan sikap gadis yang membayangkan kegagahan ini ternyata sangat peramah dan sopan santun. Dia cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatannya, kemudian menjawab,
"Sudah sewajarnya apa bila dua orang yang saling jumpa di tempat sesunyi ini saling bertanya. Nona hendak bertanya tentang apakah?"
Gadis itu kembali tertegun. Agaknya dia sama sekali tak mengira bahwa pemuda tampan yang duduk mengaso di pohon itu adalah seorang yang demikian halus tutur sapanya, membayangkan seorang yang tahu akan kebudayaan dan sama sekali bukanlah seorang penduduk pegunungan yang buta huruf. Maka pandang matanya menjadi semakin tajam dan penuh selidik.
"Aku hendak bertanya jalan yang menuju ke Kiam-kok-san.."
Kini Keng Hong yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera bisa menekan perasaannya dengan pengertian bahwa sekarang ini Kiam-kok-san agaknya menjadi mercu suar bagi orang-orang kang-ouw, menjadi seperti sebuah lampu yang menarik datangnya laron dan kupu-kupu.
Ia menarik napas panjang, kemudian mencari jalan untuk mengetahui siapakah gerangan nona muda ini yang juga ikut-ikutan memperebutkan pusaka Kiam-kok-san. Karena hanya orang yang ingin memperoleh pusaka-pusaka milik suhu-nya sajalah yang bertanya-tanya tentang Kiam-kok-san!
"Pertanyaanmu sangat mengejutkan hati, Nona. Kiam-kok-san bukan sebuah tempat yang dikenal oleh semua orang. Bolehkah aku mengetahui namamu dan keperluannya mencari tempat seperti itu? Perkenalkan, aku she Cia..."
"Harap engkau suka berbaik hati menunjukkan jalan itu kalau kau mengetahuinya ..ehhh, Cia-twako. Namaku ialah Tan Hun Bwee dan tentang keperluanku dengan Kiam-kok-san adalah urusan pribadiku. Apa bila engkau mengetahui tempat itu dan dapat menunjukkan jalan untukku, aku akan berterima kasih sekali. Kalau engkau tidak mengetahui, biarlah aku pergi mencari sendiri, tidak perlu terlalu lama di sini.."
Keng Hong tersenyum. "Aku sudah tahu mengapa Nona datang mencari Kiam-kok-san. Bukankah Nona puteri Ketua Hek-houw Piawkiok bernama Tan Kai Sek?"
Nona itu terkejut sekali, kemudian tangannya bergerak secara otomatis hendak meraba pedangnya sambil bertanya dengan suara nyaring, "Engkau siapakah?" Apakah engkau murid Kun-lun-pai dan hendak menghalangi aku mencari Kiam-kok-san?"
Keng Hong tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi nona itu, menghampiri pohon dan duduk kembali di bawah pohon yang teduh. Setelah duduk menghadapi nona itu dia berkata, "Tenanglah, Nona dan tidak perlu mencabut pedang itu. Aku bukan murid Kun-lun-pai dan juga tidak akan menghalangi orang. Marilah duduk di sini dan dengarlah dulu kata-kataku, baru kutunjukkan padamu jalan ke Kiam-kok-san."
Tan Hun Bwee, gadis itu, menjadi curiga, namun karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dia tidak merasa takut dan menghampiri lalu duduk agak jauh di atas sebuah batu, menghadapi pemuda yang ia dapat menduga tentu bukan orang sembarangan itu. Orang yang tahu akan adanya Kiam-kok-san kiranya bukan sembarangan orang.
"Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal ayahku?"
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku she Cia dan tentang ayahmu, pernah aku bertemu dan berkenalan. Aku tahu bahwa ayah beserta ibumu pernah mendatangi Kiam-kok-san untuk memusuhi Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi gagal karena dikalahkan oleh kakek itu. Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan urusan itu?"
Kembali gadis itu terkejut dan terheran-heran. Bagaimana pemuda tampan dan halus tutur sapanya ini mengetahui akan hal itu? Ia tak suka urusan pribadi orang tuanya dibicarakan orang lain, maka dia pun menjawab singkat, "Dendam besar antara keluarga kami dengan Sin-jiu Kiam-ong adalah urusan pribadi, tidak perlu aku membicarakannya dengan orang lain. Apa bila engkau mengetahui jalan ke Kiam-kok-san dan suka menunjukkannya kepadaku, harap katakan sekarang juga."
"Nanti dulu, Nona. Kenapa Nona berkeras hendak mendatangi Kiam-kok-san? Kakek yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong itu sudah meninggal dunia, dengan demikian maka urusan yang ada antara beliau dan orang tua Nona sudah terhapus..."
Sepasang alis menjelirit hitam itu bergerak-gerak, sangat indah dalam pandangan Keng Hong, lantas bibir yang merah itu bergerak cepat, "Terhapus bagaimana? Enak saja! Dia seorang yang amat jahat, seorang manusia sombong dan keji, yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga ayahku!"
"Ah, terlalu keras engkau menjatuhkan keputusan, Nona. Aku pun telah mengetahui akan urusan antara Sin-jiu Kiam-ong dan orang tuamu. Bukankah dahulu orang tuamu sebagai piauwsu dari Hek-houw Piauwkiok pernah dirampok oleh kakek itu yang lalu merampas benda-benda perhiasaan milik seorang pembesar tinggi?"
"Bukan itu saja! Bahkan dia berani mengganggu puteri dari menteri..."
"Hemmm, bukan mengganggu, karena keduanya sama suka. Puteri itu tadinya ditawan dengan maksud dimintakan uang tebusan dan Sin-jiu Kiam-ong melakukan hal ini sebagai pelajaran oleh karena sang menteri adalah seorang pejabat tinggi yang di samping korup juga menindas rakyat mengandalkan kekuasaan. Akan tetapi puteri itu jatuh cinta kepada Sin-jiu Kiam-ong sehingga terjadilah hubungan cinta kasih antara mereka. Urusan itu ada sangkut pautnya dengan orang tuamu?"
"Piauwkiok ayahku menjadi tercemar namanya, dan menyeret pula nama besar ayahku. Pendeknya, aku tidak terima! Biar pun Sin-jiu Kiam-ong telah menginggal, tapi dia masih berhutang kepada ayahku, dan aku harus mendapatkan kembali harta pusaka yang dia rampok karena itu menjadi hakku, di samping pusaka lainnya yang ditinggalkannya. Aku akan menggeledah Kiam-kok-san!"
Keng Hong tersenyum lebar. "Nona, berpikirlah masak-masak. Dendam digerakkan oleh benci, dan siapa yang membenci orang lain berarti membenci diri sendiri. Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia, kenapa engkau masih menaruh dendam? Padahal, engkau sendiri tidak mempunyai urusan dengan dia, bahkan mengenal pun tidak. Apa perlunya dendam dibawa hingga menurun dari ayahmu kepadamu? Menurutkan dendam sama saja engkau mengikatkan dirimu dengan tali temali karma yang sangat ruwet, Nona. Bukankah dengan begitu engkau hanya akan menyia-nyiakan waktu hidupmu? Perlukah engkau memenuhi permintaan orang tuamu yang begitu tega menyuruh seorang gadis muda seperti Nona menempuh bahaya besar, hendak mendatangi Kiam-kok-san yang tidak dapat didatangi oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw? Orang tuamu benar-benar berpemandangan picik...”
"Ayah ibuku telah meninggal dunia..!"
"Ahh, maaf... aku tidak tahu..."
"Mereka telah meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri. Mereka meninggal karena tekanan batin, karena tidak mampu membalas kepada musuh besar kami. Aku sebagai puterinya harus melanjutkannya, harus dapat merampas kembali benda-benda berharga yang dahulu dirampas oleh Sin-jiu Kiam-ong. Aku akan… ehh, engkau ini siapakah yang tahu akan segala hal?"
"Tentu saja aku tahu, mendiang Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku.."
"Bagus..! Ada yang mewakili untuk menerima pembalasan keluarga Tan...!"
Sambil berkata demikian, gadis itu telah meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Gerakannya cepat sekali maka Keng Hong dapat menduga bahwa tentu gadis itu sudah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya. Ia diam saja, hanya duduk sambil memandang gadis itu dengan wajah tenang.
"Hayo bangkitlah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong! Bangkitlah supaya segala perhitungan lama dapat dibereskan saat ini!" Gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke arah hidung Keng Hong yang masih duduk tenang tak bergerak dari tempatnya.
"Mendiang guruku tidak pernah merasa menjadi musuh orang tuamu, apa lagi musuhmu, Nona. Dan aku pun tidak pernah merasa menjadi musuh keluarga Tan-piauwsu, karena itu bagiku tidak ada perhitungan apa-apa yang harus dibereskan. Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis perkasa seperti Nona tidak akan membunuh orang yang tidak mau melawannya, apa lagi kalau orang itu selama hidupnya tidak pernah ada urusan dengan Nona mau pun orang tua Nona. Akan tetapi apa bila dugaanku keliru dan ternyata Nona adalah seorang wanita yang berhati keji dan haus darah, boleh saja Nona tusuk dada ini sampai tembus, aku pun tidak akan melawanmu!"
Pedang di tangan gadis itu nampak menggigil, akan tetapi tidak turun dari depan hidung Keng Hong. "Aku mendengar penuturan dari orang tuaku bahwa Sin-jiu Kim-ong adalah seorang laki-laki yang bermulut tajam, pandai membujuk dan menipu. Siapa tahu kalau muridnya pun mewarisi kepandaian itu!"
Keng Hong bukanlah seorang bodoh yang membiarkan dirinya terancam maut begitu saja sehingga dia mengeluarkan ucapan tadi. Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapan-ucapannya, dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak mungkin mau membunuhnya begitu saja kalau dia tidak mau melawan. Kini dia tertawa dan menjawab,
"Nona, biar pun kau buka dada ini, engkau takkan mendapatkan niat buruk dalam hatiku terhadapmu. Aku tidak membujuk, hanya bicara sesungguhnya bahwa aku tidak pernah memusuhimu dan tidak suka bermusuhan denganu karena memang tidak ada sebab yang mengharuskan kita saling bermusuhan. Apa lagi setelah sekarang suhu tidak ada, juga kedua orang tuamu tidak ada, mengapa kita harus melanjutkan sikap bermusuhan orang tuamu? Percayalah bahwa kelak apa bila aku berhasil menemukan simpanan suhu, tentu benda-benda itu akan kukembalikan kepadamu. Bukan hanya benda-benda dari orang tuamu, bahkan benda milik semua orang yang pernah diambil suhu akan kukembalikan. Dengan jalan itu aku hendak menebus semua perbuatan suhu yang sudah menimbulkan sikap bermusuhan dari orang-orang gagah terhadap suhu."
Ujung pedang yang menodong itu menurun, perlahan-lahan. Kemudian tubuh gadis yang menegang itu menjadi agak lemas ketika dia berkata perlahan, seperti mengeluh.
"Ahh, mengapa engkau tidak mau bangkit melawan saja? Supaya terpenuhi kebaktianku kepada kedua orang tuaku. Kenapa engkau tidak menjadi murid berbakti dari gurumu dan mempertahankan nama gurumu dengan menghadapi musuhnya?"
Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Engkau keliru dalam mengartikan sikap berbakti, Nona. Melanjutkan perbuatan orang tua baru dapat dikatkan berbakti kalau perbuatan itu sendiri benar. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak benar, maka kewajiban seorang berbakti adalah membetulkan perbuatan itu, tidak melanjutkannya. Mengerti engkau, Nona?"
Gadis itu menunduk, perlahan-lahan menyimpan kembali pedangnya. "Biar pun aku tidak suka mengakui, namun aku percaya kepadamu."
Tiba-tiba Keng Hong mengangkat muka memandang ke kanan dan terdengarlah suara. "Siancai..! Bocah keparat ini sama sekali tidak boleh dipercaya!"
Tan Hun Bwee cepat memutar tubuh memandang ke arah suara itu dan tahu-tahu di situ muncul dua tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditugaskan untuk mencari dan menangkap Keng Hong yang telah menipu Kun-lun-pai dengan menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.
Melihat kedua orang tosu ini, Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia maju, menjatuhkan diri berlutut.
"Kiranya Ji-wi Totiang yang datang, harap menerima penghormatan teecu," kata Keng Hong penuh hormat.
Sejak kecil Keng Hong hidup di Kun-lun-pai dan tidak pernah dia kehilangan rasa terima kasihnya kepada Kun-lun-pai, terutama kepada Kiang Tojin yang telah menolong jiwanya dan telah memeliharanya. Dua orang tosu ini adalah adik seperguruan Kiang Tojin, tentu saja dia bersikap amat hormat.
"Cia Keng Hong! Tahukah engkau akan dosamu terhadap Kun-lun-pai?" bentak Sian Ti Tojin sambil menggerakkan ujung lengannya yang panjang dan sikapnya kereng.
"Teecu telah banyak menerima budi kebaikan Kun-lun-pai dan belum sempat membalas. Hal itu sudah merupakan dosa."
"Tidak usah memutar lidah!" bentak Lian Ci Tojin yang seperti suheng-nya, sangat marah kalau mengingat betapa Kun-lun-pai sampai bentrok antara saudara sendiri, dan betapa Kun-lun-pai didatangi oleh banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggu. Apa lagi bila teringat akan penipuan pedang palsu.
"Engkau telah menipu kami dan menipu guru kami dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu. Apakah kau hendak menyangkal dosa besar ini?"
Keng Hong menundukkan mukanya dalam keadaan masih berlutut. "Teecu tidak pernah menyangkal, karena memang hal itu benar telah teecu lakukan. Kini teecu bersedia untuk menghadap Kiang Tojin serta para locianpwe di Kun-lun-pai untuk mohon pengampunan atas perbuatan teecu yang tidak patut itu."
"Enak saja kau bicara tentang minta ampun setelah kekacauan yang dulu kau ciptakan di Kun-lun-pai!" bentak Sian Ti Tojin sambil melangkah maju dan tangan kirinya menampar.
"Plakk!"
Pipi kanan Keng Hong ditamparnya keras sekali sehingga tubuh pemuda itu terguncang miring dan hampir roboh.....
Komentar