PEDANG KAYU HARUM : JILID-14


"He, orang tua yang lancang mulut! Jangan mencampuri urusan kami!" bentak Lai Ban yang menjadi marah karena pemuda itu mengobrol dengan si kakek bongkok demikian asyiknya seolah-olah puluhan orang Tiat-ciang-pang itu dianggap bagaikan segerombolan pohon saja!

Karena kakek itu tak menjawab dan hanya tersenyum-senyum sambil tetap duduk di atas dahan pohon dengan kedua kaki bergantungan, Keng Hong menoleh kepada Lai Ban dan berkata dingin,

"Lai-pangcu, salah-menyalahkan dalam urusan ini memang tidak ada habisnya dan tidak akan dapat membereskan persoalan. Aku tidak memusuhi Tiat-ciang-pang, dan aku tidak merasa bersalah dalam peristiwa antara anak murid Tiat-ciang-pang dengan anak murid Hoa-san-pai, dan karena tak merasa bersalah, aku tidak mau bila diharuskan menghadap ketua Tiat-ciang-pang untuk menerima hukuman. Kalau Ji-pangcu hendak menggunakan paksaan dan kekerasan, silakan."

Kali ini wakil ketua Tiat-ciang-pang itu benar-benar hilang kesabaran dan menjadi marah sekali. "Orang muda! Engkau betul-betul tidak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan! Boleh jadi engkau lihai, akan tetapi engkau masih seorang muda remaja, masih seorang bocah! Sebetulnya aku merasa sungkan untuk turun tangan menandingi seorang yang sepantasnya menjadi cucu muridku kalau melihat usianya..."

"Ha-ha-ha! Pintar dan bodoh tidak mengenal tua atau muda. Yang makin tua makin tolol sangat banyak, yang muda-muda sudah pintar seperti orang muda ini pun tidak jarang! Siapa sih orangnya yang tahu akan tingginya langit dan dalamnya lautan? Heh-heh-heh!" Kakek bongkok itu tertawa-tawa lagi sambil memberi komentar, seakan-akan dia sedang menonton pertunjukan yang lucu.

Kim-to Lai Ban menjadi semakin marah. "Ehhh, kakek tua yang lancang mulut! Pergilah engkau dari sini, jangan mencampuri urusan orang lain! Kalau tidak, akan kuseret turun engkau!"

"Wah-wah-wah, ini aturan dari mana, ya? Sebelum kalian datang aku masih enak-enakan tidur di pohon ini. Kalian datang lalu membikin ribut sampai aku terkejut dan terjaga dari tidurku. Menurut patut, aku yang menegur kalian. Kalau kalian mengenal malu, pergilah dari sini dan carilah tempat lain untuk main ribut-ribut agar tidak mengganggu orang!"

Kim-to Lai Ban membentak kepada dua orang sute-nya, "Seret dia turun dan tendang dia jauh-jauh dari sini!"

Dua orang sute-nya itu adalah orang-orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi. Di dalam perguruan Tiat-ciang-pang, terdapat sebuah ilmu yang dipakai ukuran tinggi tingkat murid-muridnya, yaitu ilmu Tiat-ciang-kang (Tangan Besi).

Kedua tangan atau sebelah tangan saja, digembleng dan dilatih sedemikian rupa hingga tangan itu menjadi kuat dan kebal seperti besi. Makin hebat latihannya, makin kuat tenaga sinkang si murid, makin kebal dan kuat tangan besinya. Kekuatan tangan besi inilah yang dijadikan ukuran tingkat.

Tingkat pertama tentu saja diduduki oleh ketuanya yang bernama Ouw Beng Kok, sedang tingkat kedua diduduki oleh Kiam-to Lai Ban. Kini, kedua orang sute yang menghampiri pohon di mana duduk kakek bongkok, dan yang menerima tugas untuk menyeret turun kakek itu, adalah orang-orang tinggi besar dan kuat sekali, apa lagi karena mereka telah menduduki tingkat ke empat di Tiat-ciang-pang yang menandakan bahwa ilmu ‘tangan besi’ mereka sudah amat hebat.

"Orang tua bongkok, engkau sudah mendengar permintaan Ji-pangcu kami, harap lekas turun dan pergi dari sini karena kami merasa tidak enak sekali kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang kakek tua seperti engkau," kata seorang di antara dua murid Tiat-ciang-pang tingkat empat itu.

"He-he-heh-heh, apakah sih artinya kekerasan? Kalian hendak menggunakan kekerasan seperti apa? Aku sejak tadi duduk di sini dan hanya tertawa bicara, hanya menggunakan kelemasan, duduk mengandalkan kelemasan kaki, bicara mengandalkan kelemasan lidah, akan tetapi kalian ini agaknya suka sekali akan barang yang serba keras. Agaknya, lebih baik lagi kalau Tiat-ciang (Tangan Besi) ditambah dengan Tiat-sim (Hati Besi)!"

"Kekerasan seperti inilah!" Seorang di antara mereka tiba-tiba menghantamkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke arah bantang pohon itu.

"Kraaakkkkk...!"

Hebat bukan main hantaman tangan yang penuh berisi hawa Tiat-ciang-kang itu. Batang pohon yang besarnya sepelukan orang itu, sekali kena dihantam tangan besi itu, menjadi patah dan tumbang! Tentu saja tubuh kakek bongkok yang duduk di dahan pohon itu ikut pula terbawa roboh ke bawah!

Akan tetapi saat dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu siap hendak menubruk dan menyeret kakek cerewet itu pergi, tiba-tiba hanya tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek bongkok itu sudah berjongkok lagi di atas dahan pohon lain sambil terkekeh-kekeh.

"He-he-he, itukah yang kalian sebut kekerasan? Bagiku, lebih tepat disebut pengrusakan! Pengrusakan ciptaan alam, sungguh besar dosanya!"

Karena merasa bahwa mereka diejek dan ditertawakan, dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu menjadi makin marah. Mereka berlari menghampiri pohon besar di mana kakek itu kini berjongkok di atas dahan, lalu mereka berdua secara berbareng memukul batang pohon yang amat besar itu.

Kembali terdengar suara yang lebih keras dari pada tadi dan batang pohon itu tumbang, membawa dahan-dahan dan daun-daun berikut tubuh si kakek bongkok. Seperti tadi pula, bagaikan seekor burung saja, kakek itu sudah meloncat seperti terbang melayang lantas ‘hinggap’ di atas pohon lainnya. Cara dia bergerak meloncat benar-benar mengagumkan sekali, selain cepat dan ringan, juga aneh gerakannya karena dalam meloncat, kakek ini mengembangkan dan menggerak-gerakkan kedua lengan seperti sayap burung!

Dua orang tokoh Tiat-ciang-pang makin penasaran sehingga mereka terus mengejar dan memukul tumbang semua pohon yang dijadikan tempat ‘mengungsi’ kakek itu sehingga hanya dalam waktu tak berapa lama, belasan batang pohon telah tumbang!

"Wah-wah-wah, kalian berdua ini bisa menjadi tukang-tukang penebang pohon yang amat baik dan menguntungkan sekali, heh-heh-heh!" Kakek bongkok itu tertawa-tawa.

"Sute, tahan...!" Tiba-tiba Kim-to Lai Ban berseru.

Kedua orang sute-nya itu lalu mundur, akan tetapi muka mereka merah dan mata mereka melotot ke arah kakek bongkok yang kini masih duduk ongkang-ongkang di atas dahan sebuah pohon yang lain, agak jauh dari situ karena pohon-pohon yang berdekatan telah tumbang semua.

"Asal kakek itu tidak mencampuri urusan secara langsung, biarkan saja dia menggoyang lidahnya, setidaknya dia sudah tahu bahwa Tiat-ciang-pang tak boleh dibuat main-main." Kemudian Lai Ban menghadapi Keng Hong dan berkata, "Orang muda, kau sudah melihat sendiri kehebatan pukulan Tiat-ciang-kang dari dua sute-ku. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadapmu. Apa bila kau menyerahkan diri tanpa perlawanan, kami pun akan membawamu ke hadapan pangcu tanpa kekerasan."

Semenjak tadi Keng Hong memandang kakek bongkok dengan penuh perhatian. Ia dapat menduga bahwa kakek itu bukanlah sembarang orang, akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah bunyi kalimat yang merupakan kalimat pertama yang terukir pada pedang Siang-bhok-kiam. Ingin dia bertanya mengenai kalimat itu kepada si kakek bongkok, akan tetapi dia masih menghadapi urusan dengan orang-orang Tiat-ciang-pang ini, dan karena itu dia harus dapat membereskan urusan ini lebih dulu.

Tadi dia melihat kehebatan pukulan dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu dan dia maklum bahwa orang-orang ini benar-benar amat lihai dan memiliki pukulan maut yang amat kuat. Dalam hal ilmu silat tentu saja dia masih kalah jauh sekali, akan tetapi dalam hal sinkang, mereka itu tidak ada artinya baginya. Juga dia mempunyai kecepatan gerakan yang jauh melampaui mereka.

"Lai-pangcu, kedua orang sute-mu telah mendemonstrasikan kelihaian dan hal ini hendak kau gunakan untuk menundukkanku, apa bedanya itu dengan kekerasan? Tidak, Pangcu, karena aku tidak merasa bersalah, aku tetap tidak mau kau bawa pergi menghadap ketua kalian di Tiat-ciang-pang."

"Bocah, kau benar-benar keras kepala!" teriak seorang di antara dua orang sute Lai Ban yang tadi mengejar-ngejar si kakek bongkok. Mereka masih terlalu penasaran dan marah karena merasa dipermainkan oleh si bongkok, dan sekarang mereka seolah-olah hendak menimpakan kemarahan mereka kepada Keng Hong. "Ji-suheng, serahkan saja bocah ini kepada kami, tidak perlu kiranya Ji-suheng turun tangan sendiri!"

Kim-to Lai Ban adalah seorang cerdik. Apa bila tadi dia menyuruh kedua orang sute-nya untuk mundur adalah karena pandang matanya yang awas dapat menduga bahwa kakek bongkok itu bukanlah orang sembarangan. Kalau pemuda yang lihai ini saja belum dapat ditundukkan, sungguh tak menguntungkan jika menambah seorang lawan lagi yang belum dapat diukur sampai di mana kelihaiannya.

Kini, dia harus mengawasi gerak-gerik si bongkok yang dia duga tentu akan membantu Keng Hong, maka dia mengambil keputusan untuk ‘menyerahkan’ Keng Hong pada anak buahnya dan dia sendiri yang akan turun tangan kalau kakek bongkok itu mencampuri urusan ini. Anak buahnya ada puluhan orang, masa tidak akan mampu menangkap Keng Hong. Maka dia lalu mengganggukkan kepala dan berkata,

"Baik, tangkaplah bocah sombong ini! "

Dua orang tokah Tiat-ciang-pang yang tinggi besar itu lalu bergerak dari kanan kiri Keng Hong sambil membentak keras, "Bocah, engkau ikutlah dengan kami!"

Mereka mencengkeram ke arah pundak Keng Hong dari samping kanan dan kiri dengan niat menangkap dan sekaligus membuat pemuda itu tidak berdaya dalam cengkeraman tangan besi mereka.

Keng Hong dapat merasakan sambaran angin pukulan tangan mereka yang sangat kuat dan mantep. Dia tidak takut menghadapi cengkeraman itu karena kalau dia mengerahkan sinkang ke arah sepasang pundaknya, kulit pundaknya akan menjadi kebal dan agaknya tidak perlu takut menghadapi cengkeraman mereka.

Akan tetapi setidaknya bajunya tentu akan menjadi robek-robek dan dia tak menghendaki ini. Pula, dia pun harus memperlihatkan kelihaiannya, maka cepat dia mengangkat kedua tangan ke kanan kiri, mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tolakan dari samping mengadu pergelangan kedua tangannya dengan lengan kedua orang lawannya.

"Plak! Plak!"

Dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu berteriak kaget dan tubuh mereka lantas terdorong ke belakang. Lengan mereka yang tertangkis terasa nyeri dan panas sekali. Hanya dengan pengerahan tenaga saja mereka dapat mencegah tubuh mereka terguling, dan sekarang mereka memandang dengan kemarahan berkobar, sejenak mengelus pergelangan tangan yang terasa senut-senut.

Orang-orang Tiat-ciang-pang menjadi marah sekali dan tanpa menanti komando, mereka sudah menerjang maju dengan senjata di tangan mengeroyok Keng Hong. Hal ini bukan hanya menunjukkan bahwa orang-orang Tiat-ciang-pang suka main keroyok, melainkan karena mereka telah terlatih dalam perang melawan pasukan-pasukan kerajaan sehingga mereka memiliki jiwa setia kawan yang tebal dan setiap melihat seorang kawannya, apa lagi pimpinan, terdesak atau terpukul, tanpa dikomando mereka lalu maju menerjang.

Hal ini menimbulkan rasa marah di hati Keng Hong. Tadinya dia tidak marah, hanya ingin berpegang kepada kebenaran menurut faham dan pendapatnya sendiri dalam urusannya dengan orang-orang Tiat-ciang-pang, karena itu dia pun tidak berniat untuk menurunkan tangan maut. Akan tetapi, sekarang melihat betapa puluhan orang itu bergerak seperti semut menggeroyoknya, dia menjadi marah dan membentak keras.

"Kalian manusia-manusia curang tak tahu malu!"

Dan tubuhnya langsung menerjang ke depan. Sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya, Keng Hong menangkis, mencengkeram dan memukul. Karena pengeroyoknya hanyalah para anggota Tiat-ciang-pang tingkat rendahan, maka berturut-turut robohlah enam orang yang mengeroyok dari sebelah depan!

Tiba-tiba angin pukulan yang amat dahsyat menghantam dari arah belakang, dari kanan kiri menuju ke punggung Keng Hong. Pemuda ini terkejut karena angin pukulan ini hebat bukan main. Dia maklum bahwa kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang tukang merobohkan pohon tadi telah menyerangnya dari belakang, menggunakan kesempatan selagi dia sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang dari depan. Kemarahan Keng Hong memuncak dan dia mengeluarkan suara pekik melengking sambil mengerahkan sinkang ke tubuh bagian belakang.

"Bukk...! Bukk...!" Dua kepalan tangan yang amat kuat telah menghantam punggung Keng Hong di kanan kiri.

Akan tetapi pada waktu itu, Keng Hong yang sedang marah sekali sudah mengerahkan tenaganya dan tenaga mukjijatnya segera timbul di luar kehendaknya sehingga begitu dua kepalan itu menyentuh tubuhnya, maka dua kepalan itu melekat pada punggungnya dan tak dapat dilepaskan pula.

Kedua orang itu adalah ahli-ahli pukulan Tiat-ciang-kang, sungguh pun belum mencapai tingkatan paling tinggi, namun sudah cukup hebat dan tenaga sinkang mereka pun sudah amat kuat. Kini, menghadapi kenyataan mengerikan bagi mereka itu, kepalan tidak dapat dilepas dari punggung dan tenaga sinkang mereka molos keluar bagaikan air membanjir akibat tanggulnya bobol, tanpa dapat mereka tahan, mereka menjadi amat kaget dan juga panik.

Cepat mereka menggunakan tangan kiri mereka, mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, dan kini mereka memukul ke kanan kiri lambung. Pukulan ini adalah pukulan maut, karena selain yang memukul adalah kepalan-kepalan tangan yang penuh dengan hawa sakti Tiat-ciang-kang, juga yang dipukul adalah sisi lambung yang biasanya merupakan tempat yang lemah.

Akan tetapi, justru bagian tubuh Keng Hong yang dekat pusar merupakan bagian-bagian yang paling ‘peka’ dan aktif sekali bila tenaga mukjijat yang menyedot itu sedang bekerja. Maka, begitu dua pukulan itu menyentuh lambung, kontan saja tersedot dan melekat!

Dua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu kini menjadi seperti dua ekor lintah yang melekat, tak dapat terlepas pula dan tenaga sinkang mereka terus menerobos keluar melalui sepasang tangan mereka memasuki tubuh Keng Hong yang gerakan-gerakannya menjadi semakin lamban akan tetapi menjadi makin hebat tenaga sinkang-nya.

Dia hanya melangkah perlahan-lahan ke depan, kedua lengannya bergerak perlahan pula, namun kedua tangannya itu mengeluarkan angin bersuitan dan setiap orang pengeroyok yang terdorong oleh angin pukulan ini tentu roboh terjengkang! Hal ini tidaklah aneh kalau dipikir bahwa pada saat itu tenaganya yang memang telah amat kuat, kemudian ditambah lagi oleh tenaga Tiat-ciang-kang dari kedua orang yang menempel yang di tubuhnya dari belakang itu!

"Pemuda iblis!!" Kim-to Lai Ban menjadi marah sekali. 'Lepaskan dua orang sute-ku!" Dia marah dan juga ngeri menyaksikan betapa dua orang sute-nya itu kini telah bergantung pada tubuh Keng Hong dengan lemas, wajah mereka pucat separti mayat.

Sebetulnya hal ini adalah kesalahan dua orang itu sendiri. Tenaga mukjijat yang bergerak di seluruh tubuh Keng Hong adalah tenaga yang hanya mengenal dan menyedot tenaga sinkang dari luar. Andai kata seorang manusia biasa yang tidak pernah berlatih sehingga tenaga sakti dalam tubuh mereka tidak bangkit, membuat mereka itu hanya bertenaga biasa dari otot-otot saja, maka tenaga mukjijat di tubuh Keng Hong takkan dapat berbuat apa-apa, dan orang yang tidak ber-sinkang itu tidak akan dapat terlekat dan tersedot.

Demikian pula bagi mereka yang memiliki tenaga sakti seperti dua orang Tiat-ciang-pang itu, andai kata mereka tidak mempergunakan tenaga sinkang, tentu mereka akan terlepas dengan sendirinya dari tubuh Keng Hong. Tadi mereka memukul dengan tangan kanan, disusul dengan tangan kiri, mempergunakan Tiat-ciang-kang, pukulan yang sepenuhnya didasari tenaga sinkang, tentu saja mereka segera terlekat dan tersedot.

Setelah demikian, mereka meronta-ronta dan mengerahkan tenaga pula untuk berusaha melepaskan diri. Tentu saja usaha pengerahan tenaga ini menjadi ‘makanan empuk’ bagi tenaga mukjijat di tubuh Keng Hong yang bekerja sehingga makin hebat mereka berusaha untuk melepaskan diri makin hebat pula mereka tersedot dan melekat terus!

"Aku... aku tidak bisa melepaskan mereka...!" kata Keng Hong gugup.

Peristiwa seperti ini terulang kembali namun selalu dia menjadi gugup. Apa lagi sekarang bukan hanya dua orang itu yang melekat dan tersedot sinkang-nya, juga ada dua orang lain yang tadinya berusaha membantu kawan mereka, kini turut menempel dan tersedot sinkang-nya. Yang menjemukan adalah, dua orang ini menjerit-jerti seperti dua ekor babi disembelih! Ingin Keng Hong melepaskan diri dari mereka, akan tetapi dia sendiri pun tak tahu bagaimana caranya!

Jawabannya yang memang sesungguhnya itu diterima salah oleh Kim-to Lai Ban, maka dia menjadi makin marah dan dicabutlah golok emasnya. "Terpaksa aku membunuhmu, pemuda iblis!" serunya dan dia menerjang maju, lalu meloncat ke atas dan berteriak keras menyerang Keng Hong.

Pemuda ini maklum betapa hebat dan berbahayanya serangan Kim-to Lai Ban itu. Maka dia pun mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya telah mencelat ke atas, membawa ke udara empat tubuh yang menempel di sebelah belakang tubuhnya sendiri itu.

Menghadapi serangan golok lawan yang sedemikian dahsyatnya, yang berubah menjadi sinar keemasan yang melengkung panjang, Keng Hong sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus In-keng Hong-wi (Awan menggetarkan Angin dan Hujan), yaitu jurus kedelapan atau jurus terakhir, jurus yang paling dahsyat dari pada ilmu silatnya, San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Awan Gunung) yang hanya terdiri dari delapan jurus itu.

Jurus ini amat sulit dimainkan, namun juga amat hebat gerakannya, karena selagi berada di angkasa menyambut terjangan lawan yang juga meloncat ke udara itu, kaki kiri Keng Hong bekerja susul menyusul dalam rangkaian yang selain cepat tak terduga, juga amat aneh dalam kerja sama yang rapi sekali. Kedua kakinya sudah susul menyusul melakukan tendangan ke arah pergelangan tangan Kim-to Lai Ban yang memegang golok dan ke arah pusar, sedangkan kedua tangannya susul menyusul pula melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan yang kanan mengikuti gerakan golok yang ditarik ke belakang karena tendangannya sedetik yang lalu!

"Hayaaaaa..!!"

Selama hidupnya baru sekali ini Kim-to Lai Ban menjadi gugup. Tadinya dia memutar goloknya dan melompat ke atas melakukan serangan dengan jurus yang terampuh dari ilmu goloknya. Ia harus menyelamatkan dua orang sute-nya, maka dia tidak segan-segan lagi menurunkan serangan maut, goloknya membentuk lingkaran dan sasarannya adalah leher lawan, sedangkan tangan kirinya yang terbuka jarinya mencengkeram ke arah lehar Keng Hong.

Akan tetapi, siapa kira, lawannya itu malah meloncat pula dan menyambut serangannya secara terbuka di udara! Tentu saja tubuh mereka bertemu di udara dan dalam beberapa detik ini telah terjadi beberapa gebrakan hebat.

Kim-to Lai Ban terpaksa segera menarik goloknya karena pergelangan tangannya yang membacok itu dipapaki tendangan dari bawah, akan tetapi tangan kirinya berhasil ‘masuk’ dan mengcengkeram leher Keng Hong karena dia menang dulu. Tapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika jari-jari tangannya yang mencengkeram leher itu terasa bagaikan mencengkeram daging yang amat lunak dan sekaligus tenaganya tersedot dan tangannya melekat! Sebelum hilang rasa kagetnya, pusarnya sudah terancam tendangan yang cepat dia elakkan, akan tetapi tiba-tiba goloknya terampas oleh tangan Keng Hong dan juga ubun-ubunnya terancam oleh cengkeraman sebelah tangan pemuda luar biasa itu!

"Celaka..!" Lai Ban berseru keras, berusaha membetot tangannya dan pada detik lain, dia mengirim tusukan dengan dua buah tangannya ke arah mata Keng Hong dan hal ini sama sekali tak dapat dielakkan mau pun ditangkis oleh pemuda itu! Dalam detik itu, nyawa Lai Ban terancam maut oleh cengkeraman pada ubun-ubunnya, ada pun keselamatan Keng Hong terancam kebutaan oleh dua jari tangan Kim-to Lai Ban.

"He-heh-heh, sayang… sayang…!" Terdengar kakek yang duduk nongkrong di atas pohon itu tertawa dan dari tangannya menyambar dua butir buah mentah dari pohon itu.

Yang sebutir menyambar siku lengan Lai Ban yang menusukkan jari tangannya ke arah mata Keng Hong, ada pun yang sebutir lagi melayang ke arah siku lengan Keng Hong yang mencengkeram ke arah ubun-ubun lawannya. Biar pun buah mentah itu tidak keras, namun ternyata tenaga luncuran dan tenaga totokannya dahsyat sekali sehingga tiba-tiba kedua lengan yang tertotok buah-buah mentah itu menjadi lumpuh dan kedua orang itu meloncat turun ke bawah.

Untung bagi Lai Ban bahwa ketika dia tertotok oleh buah mentah yang melayang tadi, kelumpuhannya membuat dia terlepas dari tenaga mukjijat Keng Hong yang menyedot dan menempelnya sehingga dia dapat meloncat ke bawah. Dia terkejut bukan main dan hanya dapat memandang kepada Keng Hong dengan mata terbelalak, ada pun mulutnya menggumamkan bisikan, "Iblis...!"

Kemudian dia terbelalak kaget ketika tubuh dua orang sute-nya beserta dua orang anak buahnya, mereka berempat yang tadi melekat di belakang Keng Hong seperti lintah, kini sudah menggeletak tak bernyawa lagi! Kiranya tadi karena terlalu lama mereka tersedot sinkang-nya dan mereka sama sekali tidak berdaya, hawa sakti tubuh mereka tersedot sampai habis sama sekali sehingga mereka dengan sendirinya terlepas dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Melihat ini, Kim-to Lai Ban menjadi makin marah. Selagi dia bersiap untuk mengerahkan anak buahnya yang amat banyak dan mengeroyok mati-matian untuk menebus kematian dua orang sute-nya, tiba-tiba Keng Hong meloncat pergi, melempar golok rampasannya ke atas tanah sambil berseru,

"Locianpwe, tunggu dulu...!"

Ketika Lai Ban memandang lebih teliti, kiranya pemuda iblis itu telah lari mengejar kakek bongkok yang juga telah melarikan diri amat cepatnya. Kim-to Lai Ban menggeget giginya sambil memandang jauh ke depan sampai dua bayangan itu lenyap, kemudian menghela napas dengan penuh duka sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sungguh tak dia sangka bahwa hari ini nama besarnya, juga nama besar Tiat-ciang-pang akan hancur hanya oleh seorang bocah yang tak ternama! Dengan hati penuh penasaran dan dendam terhadap Keng Hong, Kim-to Lai Ban segera menyuruh para anak buahnya mengangkut empat jenazah itu dan membawa pergi dari tempat itu.

Dia maklum bahwa mengejar pemuda itu takkan ada gunanya. Sudah dia saksikan betapa ilmu berlari cepat pemuda itu amat hebatnya ketika mengejar si kakek bongkok, bagaikan terbang saja. Dan ilmu kepandaiannya pun mukjijat. Belum lagi diingat kakek bongkok itu yang juga memiliki kesaktian.

Biarlah untuk sekali ini Tiat-ciang-pang boleh mengaku kalah, akan tetapi urusan ini tidak akan habis sampai di situ saja! Pada suatu saat, dendam ini harus terbalas! Demikianlah tekad hati Lai Ban sambil mengiring jenazah ke empat orang kawan, atau lebih tepat, dua orang sute dan dua orang anak buah itu kembali ke pusat Tiat-ciang-pang yang berada di sebuah di antara puncak-puncak pegunungan Bayangkara…..

********************

Kakek kecil pendek yang bongkok itu ternyata dapat lari cepat sekali. Tadinya kakek itu menggunakan ilmu berlari cepat secara melompat-lompat sepert katak, sekali melompat ada sepuluh meter jauhnya dan begitu kakinya tiba di atas tanah terus melompat lagi ke depan.

Akan tetapi Keng Hong yang oleh mendiang gurunya digembleng terutama sekali untuk tenaga dan kecepatan, dapat bergerak lebih cepat lagi. Tubuh pemuda yang kini terlalu penuh dengan hawa sinkang ‘rampasan’ dari orang-orang Tiat-ciang-pang tadi, sekarang ringan seperti sebuah balon karet penuh hawa, maka dia dapat berlari cepat dan ringan sekali mengejar sambil berteriak, makin lama makin dekat.

"Locianpwe, tunggu dulu...!" Mendengar ini, kakek itu berlari makin cepat lagi.

"Heiii, Locianpwe yang bongkok, tunggu...!" Suara Keng Hong makin keras.

Ketika kakek itu menoleh dan melihat betapa pemuda itu mengejarnya dengan cara yang sama, yaitu melompat-lompat seperti katak, akan tetapi dengan lompatan yang lebih jauh dari pada lompatannya, dia terkejut sekali dan cepat mengubah caranya berlari. Kini dia tidak berlompatan lagi, namun berlari dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga kedua kakinya itu lenyap bentuknya dan tampak seperti kitiran berputar sehingga terlihat bagaikan roda. Langkah-langkahnya pendek-pendek, sesuai dengan kedua kakinya yang pendek-pendek, namun gerakannya cepat sekali sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti seekor kuda membalap.

"Heh-heh-heh, tak mungkin kau dapat mengejarku lagi, bocah bandel" Kakek itu terkekeh dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari secepat mungkin.

Beberapa lamanya kakek itu berlari sampai dia merasa yakin bahwa pemuda itu kini tentu telah tertinggal jauh dan kalau dia teruskan, napasnya mungkin akan putus meninggalkan tubuhnya yang sudah amat tua. Selagi dia hendak memperlambat larinya, tiba-tiba dekat sekali di belakangnya terdengar teriakan Keng Hong.

"Heiii, Locianpwe, mengapa melarikan diri? Saya hendak bicara..!"

Kakek bongkok itu menengok dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa kini pemuda itu pun berlari cepat seperti dia, cepat sekali seperti terbang melayang saja. Karena merasa bahwa lari pun tidak ada gunanya, kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh menanti sampai Keng Hong tiba di depannya.

Muka pemuda itu masih merah sekali, sampai matanya pun masih merah sebagai akibat dari pada kebanjiran sinkang pada tubuhnya, akan tetapi dia sudah agak tenang karena kelebihan hawa sakti itu tadi sudah banyak dia pergunakan untuk melakukan pengejaran terhadap kakek yang amat cepat larinya itu, dan juga pada sepanjang jalan Keng Hong sempat menggunakan tangannya mendorong roboh beberapa batang pohon besar.

"Ehh, bocah yang keji seperti setan. Apakah engkau masih belum kenyang sehingga terus mengejarku untuk menyedot habis sinkang-ku dengan ilmu sesatmu Thi-khi I-beng?" Dia bertanya sambil memandang tajam. "Seekor lintah sudah puas dengan hanya menyedot darah sampai kenyang, akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai empat orang mati masih belum puas, sungguh jauh lebih keji dari pada seekor lintah!"

Keng Hong mengerutkan alisnya dengan hati risau. "Locianpwe, benarkah ada ilmu yang dinamai Thi-khi I-beng itu? Apakah benar tenaga menyedot yang keluar dari tubuhku itu tadi Ilmu Thi-khi I-beng?"

Kakek itu membusungkan dada menegakkan kepala dan memandang Keng Hong dari bawah dengan sikap seorang guru memandang muridnya, kemudian dia menunjuk hidung sendiri sambil berkata,

"Aku Siauw-bin Kuncu (Budiman Berwajah Ramah) selamanya tidak suka membohong. Seorang kuncu (budiman) tidak akan membohong! Terang bahwa kau tadi menggunakan ilmu menyedot sinkang lawan, apa lagi namanya jika bukan Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari permukaan bumi dan dibawa lari ke neraka untuk dijadikan ilmu para iblis dan setan? Akan tetapi kini ternyata engkau memilikinya. Hihh, sungguh mengerikan, sungguh keji menakutkan!"

Sesudah berkata demikian, dia bergidik dan mengangkat guci araknya, terus menuangkan isi guci ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelogok. Kemudian dia menutup mulut guci, mukanya menjadi merah dan wajahnya tertawa-tawa lagi.

"Heh-heh-heh, seteguk arak mengusir semua kerisauan hati! Biar pun engkau mempunyai ilmu iblis, tentu tak akan kau pergunakan untuk menyedot hawa dari tubuhku, bukan?"

Dengan cepat Keng Hong menggelengkan kepala. "Locianpwe telah menolong saya, telah menyelamatkan nyawa saya dengan sambitan tadi, mengapa saya hendak mengganggu locianpwe yang budiman? Tidak sama sekali, bahkan saya mengejar locianpwe agar bisa menghaturkan terima kasih atas pertolongan itu dan .."

"Tidak ada tolong menolong! Siapa suka menolong orang yang semuda ini telah memiliki ilmu begitu keji sehingga tidak segan-segan membunuh orang? Seekor lintah menyedot darah hanya secukupnya saja, setelah kenyang akan melepaskan diri. Akan tetapi engkau menyedot hawa orang sampai orang-orang itu mati. Aku tidak menolong siapa-siapa, aku hanya tidak suka melihat pembunuhan-pebunuhan."

"Ahh, akan tetapi saya tidak sengaja membunuh mereka, Locianpwe..."

"Bohong! Ingat, membohong itu tidak baik dan aku, Siauw-bin Kuncu selamanya tidak sudi membohong! Kebohongan itu perbuatan berantai, sekali berbohong engkau harus selalu membohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang terdahulu."

Keng Hong menahan senyumnya, "Saya tak perlu berpura-pura, Locianpwe, sekali waktu, kalau perlu saya akan membohong. Akan tetapi sungguh saya tidak pernah mempunyai niat di hati untuk membunuh siapa pun juga. Dan ilmu Thi-khi I-beng yang tadi Locianpwe sebut-sebut itu sama sekali saya tidak mengerti dan tak pernah mempelajarinya. Tenaga penyedot yang berada di dalam tubuh saya ini bukan saya pelihara dan bergerak di luar kesadaran saya."

"Eh, ehh, ehh, mengapa begitu? Aku melihat engkau seorang bocah yang baik, maka aku condong memihakmu ketika engkau ribut-ribut dengan orang-orang Tiat-ciang-pang. Akan tetapi aku kecewa melihat engkau mempergunakan ilmu yang sesat itu. Dan sekarang kau mengatakan tidak sadar akan ilmu itu? Sungguh luar biasa...!"

"Sudahlah, Locianpwe. Sesungguhnya selain hendak menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe, saya hendak mohon penjelasan, hendak bicara dengan Locianpwe…"

"Hemm, boleh. Bicara tentang apa?"

"Tentang air!"

Kakek itu melongo. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi karena terbuka lebar kelihatan lucu, sepasang matanya terbelalak, tangan kirinya perlahan-lahan diangkat ke atas lantas menggaruk-garuk bagian atas kepalanya yang botak kelimis.

"Eh, orang muda, apakah kau sudah gila?" tanyanya, pertanyaan yang sungguh-sungguh dengan wajah serius, bukan main-main atau memaki.

Timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Pemuda ini memang mempunyai dasar watak gembira, maka walau pun kelihatannya pendiam, setiap kali bertemu dengan orang yang bersikap riang dan lucu, tentu dia akan mudah terbawa riang pula.

Kakek ini selain aneh, lihai, juga amat lucu dan gembira. Melihat sikap sungguh-sungguh ketika kakek yang nama julukannya saja sudah aneh itu bertanya apakah dia gila, Keng Hong tidak dapat menahan kegelian hatinya dan dia tertawa bergelak, membuat kakek itu makin curiga, makin keras mengira bahwa pemuda ini benar-benar telah gila!

"Tidak, Locianpwe. Aku belum gila dan mudah-mudahan tak akan gila," jawab Keng Hong. "Yang kumaksudkan dengan air adalah kalimat yang Lociapwe berikan pada saya sebagai nasehat menghadapi orang-orang Tiat-ciang-pang. Kalimat yang sangat menarik hati saya dan yang ingin sekali saya tanyakan kepada locianpwe tentang artinya."

"Kalimat apa?"

"Yang seperti bunyi ujar-ujar kuno yang suci, mengenai air." Keng Hong sengaja bicara berputar untuk memancing.

"Sangat banyak ujar-ujar suci yang membawa-bawa air sebagai wejangan. Yang mana yang kau maksudkan? Nasehat apakah yang kuberikan tadi? Aku sudah tidak ingat lagi. Pertanyaan-pertanyaanmu aneh dan membikin aku bingung. Eh, benar-benarkah engkau tidak miring otak, ya?"

"Tidak, Locianpwe. Kalau locianpwe lupa, biarlah saya mengulang kalimat yang locianpwe ucapkan tadi. Begini bunyinya: ‘Kebijaksanaan tertinggi seperti air’."

"Heh-heh-heh! Betul sekali! Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Kalimat lengkapnya begini: Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang memberi manfaat kepada segala sesuatu dan mengalir ke tempat rendah yang tak disukai orang karena itu sifatnya berdekatan dengan To…"

"Eh bukankah itu ayat di kitab To-tik-keng bagian ke delapan?" Keng Hong berseru girang dan heran.

Sebaliknya, kakek bongkok itu memandang Keng Hong dengan mata berseri, "Hayaaaa! Engkau ini benar-benar bocah yang kukoai (aneh) sekali! Mengerti dan hafal pula dengan ayat-ayat di kitab To-tik-keng?"

"Tentu saja hafal karena saya sudah sering kali menghafalnya, Locianpwe. Tadi saya lupa dan... ahhh, hal ini tidak perlu. Yang penting sekarang apakah Locianpwe mengenal pula kalimat yang berbunyi seperti ini: Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan."

"Apakah engkau maksudkan tulus dan sungguh mengabdi kebajikan seperti air keluar dari sumbernya? Dan juga sewajarnya seperti munculnya matahari dan bulan atau sewajarnya seperti empat musim yang datang bergantian? Ujar-ujar itu lengkapnya berbunyi begini: Phouw Phek Yan Coan, Ji Si Chut Ci."

"Wah, itu adalah ujar-ujar pasal tiga puluh satu ayat dua dari kitab Tiong-yong!" kembali Keng Hong berseru girang sekali karena mengenal ujar-ujar itu yang seluruh isi kitabnya pernah dihafalnya di luar kepala.

Sekali lagi kakek bongkok itu bengong dan kagum. "Engkau juga pandai ujar-ujar Nabi Khongcu? Wah, bocah apakah engkau ini? Kalau gila terang belum! Akan tetapi, engkau menguasai ilmu sesat Thi-khi I-beng, ginkang-mu luar biasa sekali dapat menandingi aku, sinkang-mu menakjubkan, dan engkau hafal akan kitab-kitab To-tik-keng dan Tiong-yong! Siapakah sesungguhnya engkau ini bocah aneh?"

Akan tetapi Keng Hong yang sudah mengenal dua di antara tiga baris kalimat yang terukir di pedang Siang-bhok-kiam, menjadi begitu girang sehingga dia tidak mempedulikan lagi pertanyaan kakek itu, melainkan cepat dan menahan napas ketika dia berkata lagi,

"Satu lagi, Locianpwe. Satu lagi mohon bantuanmu. Dengarkanlah kalimat ini: Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka."

Tiba-tiba sikap kakek itu berubah. Dia selamanya tidak bisa marah, akan tetapi sekarang berpura-pura marah, atau memasang muka seperti orang marah. Betapa pun juga, karena mukanya itu muka lucu, meski memasang muka marah tidak kelihatan menyeramkan atau menakutkan, malah menggelikan!

"Bocah sombong! Apakah engkau hendak menantang aku? Apakah enkau tidak percaya akan julukanku Siauw-bin Kuncu? Aku berjuluk Kuncu, tentu saja aku seorang bijaksana yang telah mengenal seluruh ayat di permukaan bumi ini! Apakah engkau sengaja hendak mengujiku? Sekaligus kau mengeluarkan tiga ayat dari tiga macam agama, apa kau kira aku berjuluk kuncu hanya untuk main-main dan palsu belaka? Kalau memang kau hendak menantangku berdebat tentang filsafat agama-agama di dunia ini, kau bilang saja terus terang, dan akan kulayani sampai engkau keok!"

Keng Hong menahan kegelian hatinya, dia maklum bahwa kakek ini seorang tokoh yang amat aneh dan agaknya memang seorang ahli kitab-kitab suci. Jika dipaksa dan dibujuk, biar dia menyembah-menyembahnya tentu tak akan sudi memenuhi permintaannya, maka jalan satu-satunya hanya menantangnya!

"Ha-ha-ha-ha, kusangka tadinya julukanmu hanya kosong belaka, siapa kira ternyata lebih kosong dari pada yang kosong!" berkata Keng Hong untuk memanaskan hati kakek itu. "Memang aku menantangmu berdebat tentang filsafat. Kalimat terakhir tadi tentu tidak kau kenal, maka engkau mencari-cari alasan, kakek bongkok!"

Anehnya kakek itu tidak marah malah tertawa-tawa. "He-he-heh, engkau memujiku terlalu tinggi, orang muda. Siapa namamu tadi? Cia Keng Hong? Ahh, aku mulai suka kembali kepadamu. Di dalam to-kauw terdapat paham bahwa yang kosong itu lebih berguna dari pada yang isi, maka kau menyebut aku lebih kosong dari pada yang kosong. Pujian apa lagi yang lebih hebat dari pada ini?"

Celaka, pikir Keng Hong. Kakek ini benar angin-anginan dan mencampur adukkan isi filsafat dengan ucapan-ucapan biasa. Akan tetapi dia tidak kekurangan akal. "Locianpwe, ada maksud saya dengan menjajarkan tiga ayat itu, karena dua ayat terdahulu sudah dapat Locianpwe tebak, harap tidak berlaku kepalang dan suka mengenal ayat terakhir tadi. Saya ulangi lagi. Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka."

Kakek itu tertawa lalu bersenandung,

"Tukang-tukang pembuat saluran air mengalirkan airnya ke mana mereka suka;
para pembuat panah meluruskan anak panahnya;
tukang kayu melengkungkan sebatang kayu;
para bijaksana mengendalikan diri pribadi!
"

Keng Hong meloncat dan berjingkrak-jingkrak saking senangnya. "Ha-ha-ha! Itulah ayat ke delapan puluh dari kitab Jalan Suci Kebajikan (Dharmapada)!"

Kakek itu melangkah dekat dan menantang, "Tak perlu mengejek! Kalau engkau memang seorang ahli dalam filsafat dari isi kitab suci dari tiga agama, mari berdebat dengan aku. Kalau aku kalah, aku akan membuang julukan Kuncu dan akan mengaku engkau sebagai guru!"

Keng Hong yang tadinya menari-nari kegirangan karena merasa dapat memecahkan arti tiga baris kalimat yang terukir di atas pedang Siang-bhok-kiam, tiba-tiba saja terdiam dan mengasah otaknya. Jika sudah dapat mengenal, lalu bagaimana lanjutannya? Bagaimana artinya yang berhubungan dengan rahasia penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan dari gurunya? Dia mendapat akal dan ingin mempergunakan pengertian yang mendalam dari kakek yang berjuluk Siauw-bin Kuncu itu untuk mencoba-coba membongkar rahasia yang tersembunyi di balik tiga baris kalimat itu.

"Baiklah, Locianpwe. Akan tetapi karena Locianpwe yang menantang, harap Locianpwe yang lebih dulu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang sulit-sulit. Kalau Locianpwe tidak dapat menjawab berarti Locianpwe kalah satu angka. Nanti kita saling perhitungkan, siapa yang mendapat angka terbanyak dia menang."

"Akur! Dapat menjawab mendapat satu angka, tak dapat menjawab dipotong satu angka. Majukan pertanyaanmu, bocah yang menyenangkan hati!"

"Pertanyaan pertama. Apakah bedanya antara ketiga pelajaran yang Locianpwe sebutkan tadi, yaitu mengenai kalimat-kalimat yang saya sebutkan. Untuk jelasnya, apa bedanya antara tiga kalimat ini. Kebijaksanaan tertinggi seperti air! Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan! Tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka!"

"Heh-heh-heh, pertanyaan kanak-kanak. Amat mudahnya, lebih baik kau tanyakan yang lain dan yang lebih sulit. Baiklah kujawab. Ketiganya tak ada perbedaannya dan ketiganya mengandung nasehat agar manusia meniru sifat air yang sangat bijaksana. Mengapa air disebut bijaksana dalam ayat-ayat suci itu? Pertama, karena air selalu bergerak secara wajar, tidak memaksa sesuatu tidak menentang sesuatu, menurut sifat alam, keluar dari sumbernya kemudian mengalir menuju ke tempat rendah, menyerahkan diri untuk segala macam benda yang membutuhkannya dan memanfaatkannya, tanpa pamrih, dan selalu menempatkan diri di tempat yang paling rendah. Itulah inti pelajaran itu dan ketiganya menggunakan sifat air sebagai contoh."

"Tepat sekali, Locianpwe dan biarlah untuk jawaban ini Locianpwe mendapatkan angka satu. Sekarang pertanyaan kedua. Ada hubungan apakah antara ketiga ayat itu?"

Kakek itu mengernyitkan alisnya. Pertanyaan ini sulit sekali karena tidak mengandung maksud pemecahan filsafat, lebih condong kepada pertanyaan teka-teki. Akan tetapi dia tidak mau kalah karena kalau dia tidak dapat menjawab berarti dia kehilangan nilai satu angka!

Memang Keng Hong sengaja mengajukan pertanyaan ini untuk memecahkan rahasia Siang-bhok-kiam. Ia maklum bahwa tiga kalimat di pedang itu diambil dari tiga bagian ayat To-tik-keng, Tiong-yong dan Dharmapada, dan jika di dalam kalimat-kalimat itu terdapat rahasia yang sifatnya filsafat, maka sudah tentu akan dapat dipecahkan oleh kakek bongkok yang ternyata seorang ahli dalam segala macam agama. Kalau kakek bongkok ini tidak mampu memecahkannya, apa lagi dia yang dahulu hanya menghafal saja segala kitab itu, belum dapat menyelami maknanya yang sangat dalam. Kalau tidak mempunyai maksud tersembunyi yang dalam, juga akan dapat dia pelajari dari jawaban kakek itu.

"Hubungannya hanya penggunaan air sebagai contoh nasehat. Tiada hubungan apa-apa lagi kecuali persamaan yang menyebut air itu. Kalau dipaksakan hubungannya, tiada lain hanya air dan memang oleh air, seluruh dunia ini dipersatukan dan jika mengingat akan air, tidak ada lagi yang terpisah-pisah, segala sesuatu di dunia ini sambung-menyambung dan sesungguhnya hanya satu, seperti air samudera, walau pun terdiri dari titik-titik air, namun tak dapat dibedakan karena merupakan kesatuan yang tiada bedanya."

Keng Hong mengangguk-angguk, akan tetapi sesungguhnya di dalam hatinya dia menjadi bingung. Agaknya, ketika menuliskan kalimat-kalimat itu, gurunya maksudkan AIR! Akan tetapi, apa artinya air yang hendak ditunjukkan gurunya itu? Air di puncak Kiam-kok-san? Apa maksudnya? Air selalu mengalir ke tempat rendah!

Dan di puncak itu ada sebuah kolam kecil yang menampung semua air yang jatuh dari langit, baik air hujan mau pun air dari embun dan dari kolam ini, air mengalir ke bawah seperti sebuah sungai kecil, hanya dua kaki lebarnya, terus ke bawah melalui celah-celah batu karang.

"Bagus sekali jawabanmu, Locianpwe. Biarlah aku kalah dua nilai. Sekarang pertanyaan ketiga. Kalau ada orang menuliskan tiga buah kalimat tadi bersambung, dengan niat untuk memberitahukan sesuatu yang rahasia, yaitu hendak menunjukkan suatu tempat rahasia, apakah maksudnya?"

Mata kakek itu terbelalak. "Eh, orang muda. Benar-benarkah engkau tidak gila?"

Keng Hong tersenyum lebar, "Masih belum, Locianpwe. Kalau kelak sudah gila, tentulah akan kuberi tahu kepada Locianpwe. Sekarang aku belum gila!"

"Kita berdebat mengenai filsafat, akan tetapi kau selalu mengajukan pertanyaan seperti anak-anak penggembala kerbau bermain teka-teki! Aku tidak sudi menjawab kalau kau hendak mempermainkan aku orang tua!"

"Ahh, sungguh mati saya tidak mempermainkan Locianpwe. Pertanyaan saya ini amatlah penting bagi saya. Percayalah, Locianpwe, hanya satu pertanyaan itu lagi saja. Setelah itu, saya akan bertanya kepada Locianpwe mengenai filsafat yang amat tinggi dan yang belum tentu bisa dijawab oleh dewa sekali pun, yaitu tentang mati dan hidup dan isinya!"

"Bagus! Nah, pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang seharusnya kudengar! Ayo lekas ajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mati atau hidup itu."

"Nanti dulu Locianpwe. Saya minta Locianpwe menjawab lebih dulu pertanyaan saya tadi. Apakah kira-kira yang dimaksudkan oleh orang yang merangkai ketiga kalimat itu untuk menunjukkan sebuah tempat rahasia?"

Kakek itu meraba-raba dagunya, kemudian menggaruk-garuk botaknya. "Hemmm, kau keras kepala. Akan tetapi agaknya orang yang meninggalkan tanda seperti itu adalah seorang yang suka bergurau, seorang yang merasa kesepian sehingga melihat air pun kemudian timbul pikiran yang bukan-bukan untuk mempermainkan orang lain. Tentu dia maksudkan air yang mengalir. Mungkin tempat yang dia rahasiakan itu dapat dicari kalau menurutkan air yang mengalir ke bawah. Dan karena di dalam kalimat itu tidak terdapat angka-angka, maka mungkin sekali angka-angka sebagai ukuran tempat itu diambil dari nomor-nomor ayat dan bagian dari ketiga ayat suci itu. Kebijaksanaan tertinggi seperti air, terdapat dalam To-tik-keng bagian ke delapan. Tulus dan sungguh mengabdi kebajikan adalah sifat-sifat kuncu seperti dinasehatkan dalam kitab Tiong-yong bagian tiga puluh satu ayat dua, ada pun yang terakhir tukang saluran mengalirkan airnya ke mana dia suka terdapat di dalam kitab Dhammapada pasal enam ayat delapan puluh. Bila mana diambil angka-angka dalam ketiga ujar-ujar itu, maka terdapatlah angka delapan, tiga puluh satu, dua, enam, dan delapan puluh. Kalau dijumlahkan akan menjadi seratus dua puluh tujuh. Mungkin itulah rahasianya, tempatnya mengikuti aliran air, dan jumlah ukurannya seratus dua puluh tujuh!"

Keng Hong hampir berjingkrak-jingkrak dan menari-nari lagi. Itulah agaknya! Tak ada lain tafsiran dan perhitungan lagi. Itu tentu yang dimaksudkan mendiang suhu-nya. Rahasia Siang-bhok-kiam! Rahasia tempat penyimpanan pusaka! Rahasia tiga baris kalimat pada Pedang Kayu Harum itu.....

Komentar