PEDANG KAYU HARUM : JILID-08
"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.
Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan, "Haus..."
"Namaku Biauw Eng, dan kau boleh memanggil aku dengan namaku."
Keng Hong terkejut. Eh, kiranya ada juga sikap manis budi pada diri nona aneh ini. Cepat dia mengangkat muka memandang, mengharapkan ada perubahan muka pada nona itu, perubahan muka yang wajar, yang tersenyum seperti halusnya ucapan yang dikeluarkan. Namun dia kecelik, wajah itu tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak membayangkan sesuatu kehangatan. Ia menghela napas panjang dan berkata.
"Memang aku lapar, dan terutama sekali haus, Biauw Eng."
Song-bun Siu-li atau yang tadi mengaku bernama Biauw Eng, dengan tenang mengambil sebuah bungkusan dari sebelah belakangnya, di atas tempat duduk kereta itu, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah roti kering yang besar. Ia mematah-matahkan roti itu, membagi menjadi tiga, lalu memberi sebagian kepada Keng Hong, sebagian lagi dia lemparkan ke arah Cui Im sambil berseru, "Suci, silakan makan!" dan dia sendiri segera memulai makan bagiannya.
Cui Im menggigit roti kering sambil tertawa dan berkata, "Sayang, sumoi. Satu guci arak Ai-ang-ciu (Arak Merah Asmara) telah dihabiskan sekali teguk oleh bocah itu, hi-hi-hik!"
Sepasang alis yang hitam itu berkerut sebentar, tetapi tidak cukup untuk membayangkan bagaimana perasaan Biauw Eng, apakah kecewa, ataukah marah, ataukah perasaan lain lagi. Hanya saja bibirnya yang tadi tertutup ketika dia mengunyah roti di dalam mulut, kini terbuka sedikit mengeluarkan kata-kata.
"Aku masih ada persediaan air minum, jangan khawatir, suci."
Tangan kirinya meraih ke belakang dan gadis ini sudah mengeluarkan sebuah guci yang mengkilap, berwarna putih, terbuat dari pada porselen yang sangat indah. Melihat bahwa Keng Hong paling dulu menghabiskan rotinya, nona ini lalu menyerahkan guci porselen kepadanya sambil berkata,
"Minumlah dulu."
Keng Hong menerima guci itu, memandang kagum lalu bertanya, "Mana cawannya?"
"Hi-hik-hik! Keng Hong, kau selalu bersopan-sopan mencari cawan. Apakah kau khawatir diracuni? Ahh, jangan takut, sumoi selamanya tak sudi main-main dengan racun, lagi pula segala macam racun jika dimasukkan ke dalam guci pusaka itu maka pengaruhnya akan lenyap." Cui Im tertawa-tawa mengejek sehingga muka Keng Hong menjadi merah sekali.
Dia hanya memegangi guci itu dan tidak minum, menunggu sampai nona di hadapannya menghabiskan rotinya. Biauw Eng juga tidak peduli bahwa pemuda itu belum juga minum dari guci.
"Kau minumlah dulu, nona Biauw Eng...," katanya memberikan guci itu.
Sikap nona ini membuat Keng Hong tidak berani untuk menyebut namanya begitu saja, melainkan menaruh sebutan nona di depannya. Nona ini sikapnya seperti seorang puteri istana saja, begitu halus, angkuh namun dingin.
Biauw Eng tidak menjawab, melainkan menerima guci itu, lantas membuka tutupnya dan mengangkat guci ke atas mukanya yang ditengadahkan, lalu dituangnya air dari guci yang memancur memasuki mulutnya yang dingangakan.
Keng Hong menelan ludah, sama sekali bukan karena melihat orang minum atau melihat air yang amat jernih dan segarnya memasuki mulut orang, melainkan melihat mulut yang menggairahkan itu. Mulut yang terbuka, tampak giginya berderet putih, lidah meruncing merah sekali yang bergerak-gerak pada waktu kejatuhan air jernih. Melihat rongga mulut yang segar kemerahan, yang membayangkan kesedapan serta kenikmatan, Keng Hong diam-diam bergidik dan tidak tahu dari mana datangnya perasaan ini yang timbul sejak dia jatuh oleh godaan asmara Cui Im.
Setelah gadis itu menyerahkan guci kepadanya, barulah dia sadar dan cepat menerima guci itu. Akan tetapi sebelum dia minum air itu, dia teringat kepada Cui Im. Keng Hong selama berada di Kun-lun-pai mempelajari tata susila, sopan santun dan telah membaca banyak kitab, maka sifat sopan santun sebenarnya telah meresap di hatinya.
Kini teringat bahwa Cui Im belum minum, meski pun dia kini merasa muak kepada gadis itu sesudah dia mengenal wataknya yang keji dan bahwa bujuk rayu yang sangat mesra pada malam itu bukan timbul dari hati mencinta melainkan sebagai alat membujuk saja, namun dia merasa tidak enak kalau harus mendahului gadis itu minum airnya.
"Kau minumlah dulu," katanya menyerahkan guci.
Cui Im yang duduk di sebelah depan, memutar tubuhnya sambil memandang Keng Hong dengan mata genit, kemudian menerima guci dan terus diteguknya seperti yang dilakukan sumoi-nya tadi. Kemudian ia mengembalikan guci kepada Keng Hong dan ketika pemuda itu menerimanya, sejenak Cui Im membelai tangan pemuda itu dan mencubit lengannya penuh arti sambil terkekeh.
Keng Hong cepat-cepat menarik tangan dan guci itu sambil melirik ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini diam saja tidak bergerak-gerak, seolah-olah tidak melihat atau memang tidak peduli akan kecentilan suci-nya. Keng Hong menghilangkan rasa kikuknya dengan menenggak air dari dalam guci dan dia kagum sekali.
Roti kering tadi sangat enaknya, gurih dan agak manis, berbau sedap. Akan tetapi air ini lebih lezat lagi. Memang rasanya air biasa, namun mengandung keharuman buah apel dan amat sejuk dan segar. Tanpa bicara dia mengambilkan guci kepada Biauw Eng yang segera menyimpannya kembali dan berkatalah Biauw Eng,
"Kita perlu menghimpun tenaga karena kurasa masih banyak penghalang di depan."
Sesudah berkata demikian, nona baju putih itu melempangkan punggungnya, kemudian meramkan matanya. Napasnya menjadi semakin lambat sampai akhirnya seperti tidak bernapas lagi. Tahulah Keng Hong bahwa nona ini kembali sudah melatih dirinya dengan semedhi dan ilmu Pi-khi Hoan-hiat.
Ia memandang kagum. Setelah mata itu terpejam, tampak bulu mata yang merapat dan hitam panjang melentik. Jantung Keng Hong berdebar kencang dan cepat dia menekan perasaannya ini. Untuk melawan gelora hatinya dalam menghadapi nona yang luar biasa cantiknya ini, dia pun lalu memejamkan mata menghimpun tenaga.
Untuk apa? Untuk membebaskan diri bila kesempatan muncul, pikirnya. Kalau dia sudah mengikuti nona ini sampai bertemu dengan Lam-hai Sin-ni. Namun, sesudah berhadapan dengan Lam-hai Sin-ni, betapa mungkin dia dapat membebaskan diri? Sedangkan nona Biauw Eng ini saja sudah demikian lihainya dan tak mungkin dapat mengalahkannya, apa lagi ibunya!
Keng Hong diam-diam bergidik ngeri, akan tetapi dia sudah berjanji untuk membalas budi pertolongan nona itu, baru akan membebaskan diri. Hatinya tenteram kembali dan Keng Hong pun segera ‘pulas’ dalam semedhinya walau pun kereta itu melalui jalan yang tidak rata dan berguncang-guncang keras.
Sampai malam tiba, tidak ada lagi rintangan di jalan. Kereta dihentikan di sebuah gunung yang banyak terdapat goa-goanya dari batu. Setelah makan daging kelinci yang ditangkap oleh Cui Im dan minum air gunung, mereka mengaso di luar kereta, di dalam sebuah goa yang agak besar tak jauh dari situ.
Cui Im sudah duduk mendekati Keng Hong, tangannya pun sudah mulai menggerayangi tubuh Keng Hong sedangkan mulutnya membisikkan kata-kata merayu, kadang-kadang hanya mengeluarkan suara seperti seekor kucing memancing belaian.
Akan tetapi Keng Hong tidak mempedulikannya, bahkan menjadi gemas sekali. Ia merasa canggung dan malu sekali karena gadis ini tanpa malu-malu mengajaknya bermain cinta di depan Biauw Eng! Ada pun gadis baju putih itu duduk bersila dan seakan-akan tidak melihat itu semua, tidak mendengar suara merintih-rintih dan meminta-minta yang keluar dari mulut suci-nya.
"Cui Im, kenapa kau tidak bisa diam? Jangan ganggu aku!" akhirnya Keng Hong berkata lirih dan mengibaskan tangan Cui Im.
"Aihh, mengapa engkau berubah, Keng Hong? Setelah berada di depan sumoi yang jauh lebih cantik dariku, engkau pura-pura tidak tahu... hi-hi-hik, masih ingatkah malam mesra itu? Masih terasa olehku, Keng Hong... ahhh..."
"Cui Im, diamlah!" Keng Hong membentak, agak keras karena marah.
Sekarang dia menyesal sekali mengapa malam hari dulu itu dia mau melayani gadis ini. Pengalamannya yang pertama dia hanyutkan begitu saja dengan seorang gadis bermoral bejat seperti ini. Apa bila Cui Im benar-benar mencintanya, dia pun tidak akan menyesal karena dia hanya ingin mengikuti jejak gurunya, melayani cinta kasih setiap wanita yang disukanya. Dan dia memang suka kepada Cui Im seperti rasa sukanya kepada segala yang indah.
Kalau saja Cui Im tidak menggunakan daya tariknya sebagai seorang wanita hanya untuk membujuknya, kalau Cui Im tidak palsu cintanya, tentu dia selamanya akan mengenang pengalamannya dengan Cui Im sebagai kenangan yang manis. Tapi sekarang, dia hanya akan mengenangnya sebagai sebuah kenangan yang memalukan dan menjijikan.
"Suci, jangan ribut. Ada musuh-musuh datang...!" Tiba-tiba Biauw Eng berkata halus.
Kedua orang itu merasa jengah sendiri mengapa mereka ribut-ribut saja sehingga tidak mendengar datangnya ancaman musuh. Pada waktu mereka berdua memandang keluar goa, benar saja, di bawah sinar bintang-bintang yang suram, terlihat berkelebat bayangan belasan orang yang gesit dan ringan.
Bagaikan bayang-bayangan setan, belasan orang itu menerjang kereta dan terdengarlah suara hiruk pikuk, suara senjata-senjata dipukulkan pada kereta sampai kereta itu hancur dan roboh, kudanya pun lari tak karuan. Agaknya orang-orang itu menjadi marah karena mendapatkan kereta itu kosong, kemudian melampiaskan kemarahan mereka pada kereta kosong!
"Kurang ajar! Mereka merusak kereta!" Cui Im berseru marah.
"Tenang, Suci. Mari kita sambut mereka! Dan kau Keng Hong, jangan turut mencampuri urusan kami, kau tinggal saja di sini dan menonton." Sikap Biauw Eng tenang sekali dan kini dia mengajak suci-nya untuk keluar dari goa menyambut belasan orang yang sudah mendengar seruan Cui Im dan kini menyerbu ke arah goa.
Keng Hong hanya duduk bersila di dalam goa, membuka mata memandang bayangan-bayangan itu dan telinganya mendengar suara Biauw Eng yang halus merdu dan tenang.
"Siapa di depan? Mau apa kalian dan mengapa merusak kereta? Di sini Song-bun Siu-li dan Ang-kiam Tok-sian-li!"
Belasan sosok bayangan itu tiba-tiba saja berhenti bergerak, agaknya tertegun dan kaget mendengar nama-nama itu, kemudian terdengar suara.
"Kami empat orang anak murid Hoa-san-pai sedang mewakili suhu-suhu kami Hoa-san Siang-sin-kiam untuk minta diserahkannya tawanan yang bernama Cia Keng Hong!"
Dalam remang-remang tampak oleh Keng Hong bahwa empat orang yang berkelompok itu adalah tiga orang muda dan yang seorang gadis, kesemuanya memegang pedang. Teringat dia akan dua orang tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, kakak beradik yang hebat ilmu pedangnya itu. Jadi empat orang ini murid-murid mereka? Tentu lihai ilmu silatnya.
"Pinceng bertiga adalah murid-murid Siauw-lim-pai, mentaati perintah ketua kami untuk menangkap Cia Keng Hong!" Tiga orang hwesio gundul Siauw-lim-pai itu masing-masing memegang sebatang toya dan tampaknya mereka itu kuat-kuat.
"Kami sembilan orang adalah murid-murid Kong-thong Ngo-lojin, juga mewakili suhu-suhu kami untuk membawa Cia Keng Hong ke Kong-thong-pai!" Sembilan orang ini pun masih muda-muda dan jika tidak keliru penglihatan Keng Hong di dalam gelap itu, mereka terdiri dari enam orang pemuda dan tiga orang pemudi, dengan senjata bermacam-macam, ada pedang, golok, tombak pendek, ruyung dan cambuk saja.
Diam-diam Keng Hong menjadi gelisah. Bagaimana pun lihainya Cui Im dan Biauw Eng, mana mungkin mereka dapat menang menghadapi pengeroyokan enam belas orang yang semuanya merupakan murid-murid tokoh besar yang sakti?
Akan tetapi, baik Cui Im mau pun Biauw Eng bersikap tenang-tenang saja, bahkan kini terdengar suara Biauw Eng yang halus dan dingin, mengandung ejekan dan tantangan.
"Cia Keng Hong adalah tangkapan yang berada di dalam kekuasaan kami sebagai wakil dari Lam-hai Sin-ni. Tak seorang pun boleh mengganggunya. Kalian ini murid-murid tokoh besar di dunia kang-ouw sungguh tak tahu malu telah merusak kereta kami. Jika memang hendak menggunakan kekerasan, majulah, kami berdua tidak gentar menghadapi kalian!"
"Omitohud, kiranya Song-bun Siu-li masih seorang bocah akan tetapi mulutnya sombong sekali!" bentak seorang murid Siauw-lim-pai.
Dia langsung menerjang maju dengan toyanya, diikuti dua orang sute-nya. Yang lain-lain juga segera berseru keras dan menerjang maju, mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng. Dua orang gadis murid Lam-hai Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi dan tampaklah gulungan sinar pedang merah dari tangan Cui Im yang amat gemilang, disusul gulungan sinar putih dari sabuk sutera Biauw Eng yang lebih gemilang dan lebar lagi. Pertandingan berlangsung dengan seru di malam yang remang-remang itu.
Tingkat kepandaian dua orang murid Lam-hai Sin-ni sesungguhnya lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian murid-murid Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai itu, apa lagi Biauw Eng. Kiranya kalau hanya menghadapi pengeroyokan lima orang lawan saja, Biauw Eng masih ada harapan untuk menang. Ada pun takaran lawan Cui Im kiranya hanya dua atau paling banyak tiga orang lawan saja.
Jadi bila mereka dikeroyok tujuh atau delapan orang, barulah ramai dan seimbang. Akan tetapi kini yang mengeroyok mereka adalah enam belas orang! Tentu saja kedua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi terdesak hebat sehingga terpaksa mereka itu harus saling bela dengan cara berdiri beradu punggung dan memutar senjata secepat mungkin untuk menangkis hujan senjata yang menimpa mereka.
Sekali ini pun sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng berjasa lagi karena sabuk yang panjang itu selain dapat melindungi tubuhnya sendiri, juga dapat membantu suci-nya yang mulai repot. Bahkan beberapa kali Cui Im mengeluarkan teriakan marah pada saat betis kirinya dan pangkal lengan kanannya tercium ujung senjata lawan sehingga walau pun bukan merupakan luka parah, namun cukup merobek baju dan kulit mengeluarkan darah.
"Nona berdua sebaiknya menyerah saja. Kami tidak bermusuhan dengan nona berdua, juga tidak ingin membunuh. Kami hanya ingin menawan Cia Keng Hong karena guru-guru kami mempunyai urusan dengan dia sebagai wakil gurunya yang telah berdosa terhadap partai kami," terdengar seorang pemuda murid Hoa-san-pai berkata nyaring.
"Mulut besar!" Cui Im membentak. "Keng Hong adalah tawanan kami, kalau kalian dapat membunuh kami, baru boleh bicara tentang menawan Keng Hong!"
"Bagus! Memang kaum sesat selalu nekat dan mau menang sendiri!" teriak seorang anak murid Kong-thong-pai dan kepungan lalu diperketat, serangan diperdahsyat sehingga dua orang murid Lam-hai Sin-ni menjadi semakin repot untuk melindungi tubuh mereka dari cengkeraman maut.
Kini cuaca mulai makin terang karena bulan sepotong yang munculnya sudah malam itu mulai memuntahkan sinarnya. Keng Hong yang menyaksikan pertandingan itu menjadi gelisah. Dia maklum bahwa dua orang nona itu sudah pasti akan roboh, kalau tidak tewas sedikitnya tentu terluka hebat.
Dia sedang mempertimbangkan pendiriannya. Harus berpihak yang mana? Pihak enam belas orang itu juga mempunyai pamrih yang sama, yaitu menawannya dan memaksanya menunjukkan tempat simpanan pusaka gurunya seperti juga guru-guru mereka yang dulu memperebutkan Siang-bhok-kiam adalah untuk mencari pusaka gurunya itu.
Sebaliknya, pihak kedua, dua orang murid Lam-hai Sin-ni itu pun sama juga. Jelas bahwa kedua pihak itu tidak ada yang bermaksud baik terhadap dirinya.dan dia merasa kasihan kepada dua orang gadis itu yang dianggapnya berada di pihak yang harus dia bantu.
Dua melawan enam belas. Mana adil? Pula, pantaslah kalau dia kini berpeluk tangan saja menyaksikan gadis itu terancam bahaya? Bagaimana tindakan suhu-nya kalau suhu-nya menjadi dia? Pernah suhu-nya menasehatinya,
"Kalau menolong orang, tolonglah saja berdasarkan perasaan hatimu. Jangan menengok latar belakangnya, jangan melihat keadaannya, jangan pula memperhitungkan urusannya. Apa bila kau merasa kasihan dan ingin menolong, tolonglah tanpa ada perasaan pamrih lainnya. Jika tidak ada rasa kasihan dan ingin menolong seperti itu, lebih baik kau tinggal tidur dan tidak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain."
Keng Hong segera bangkit berdiri. Mingkinkah dia membiarkan saja dua orang gadis itu tewas? Tidak! Biar pun dia tidak suka kepada Cui Im, merasa sebal menyaksikan tingkah laku gadis itu, akan tetapi harus dia akui bahwa dia telah mengalami kesenangan dengan gadis itu dan dia merasa tidak tega kalau melihat Cui Im tewas di ujung senjata banyak lawan yang mengeroyoknya.
Apa lagi terhadap Song-bun Siu-li yang ternyata bernama Biauw Eng. Gadis ini pernah membebaskan dirinya dari kematian di ujung pedang Cui Im. Tentu saja dia tak akan tega membiarkan gadis ini mati dikeroyok.
Keng Hong lalu melompat ke dekat tempat pertempuran, sebelah tangannya memegang sebatang ranting, dan dia berseru, "Cia Keng Hong berada di sini! Siapa yang hendak menangkap aku, majulah! Mengeroyok anak-anak perempuan kecil, apa tidak malu?"
"Keng Hong, tutup mulutmu yang sombong!" Cui Im memaki marah karena dia dikatakan anak perempuan kecil. Juga dia menjadi sangat gelisah karena sekali Keng Hong keluar, terbukalah kesempatan bagi para pengeroyok untuk melarikan pemuda itu.
Benar saja. Mendengar teriakan ini, sebagian besar para pengeroyok meninggalkan dua orang gadis itu dan mengejar Keng Hong! Kini yang mengeroyok Cui Im dan Biauw Eng hanya tinggal enam orang saja, yaitu seorang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang murid Hoa-san-pai, dan tiga orang murid Kong-thong-pai. Ada pun yang sepuluh orang sudah berlari dan berebutan menubruk Keng Hong dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkap pemuda itu hidup-hidup seperti yang diperintahkan guru masing-masing.
Akan tetapi tubrukan mereka itu disambut sinar yang bergulung-gulung dari ranting yang diputar oleh Keng Hong. Terdengar bunyi plak-plik-pluk pada saat ranting di tangan Keng Hong itu menyabet-nyabet mereka, ada yang terkena pipinya, ada yang terkena lehernya atau lengannya.
Mereka berseru kaget dan cepat meloncat mundur. Tidak mereka sangka bahwa sabetan ranting bisa mendatangkan rasa nyeri yang begitu hebat. Tahulah mereka bahwa murid Sin-jiu Kiam-ong ini tidak boleh dianggap remeh. Sekarang mereka maju lagi dan mulai mengirim pukulan, sungguh pun hal ini masih dilakukan dengan tangan kosong karena mereka ingin menangkapnya hidup-hidup.
Melihat datangnya pukulan-pukulan ini, Keng Hong menggerakkan rantingnya lagi. Tetapi dia merasa kaku sekali untuk memainkan Siang-bhok Kiam-sut dengan ranting itu dalam menghadapi pengeroyokan begini banyak orang.
Hujan pukulan dan cengkeraman itu ada yang dapat ditangkisnya, namun ada pula yang mengenai tubuhnya, bahkan sekarang selimut penutup tubuh belakangnya telah terlepas, bajunya yang kena dicengkeram juga mulai robek-robek. Timbulah kemarahan dalam hati Keng Hong.
"Kalian nekat, ya?!" bentaknya.
Ketika seorang hwesio Siauw-lim yang mempunyai sinkang paling kuat mencengkeram ke arah pundak kirinya dengan ilmu cengkeraman Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda), dia cepat mengulur tangan kanannya memapaki cengkeraman itu hingga kedua telapak tangan itu bertumbukan di udara.
"Plakkk!!"
Hwesio dari Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main, merasa betapa lengannya tergetar dan panas. Dia cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi sia-sia belaka, tangannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu dan alangkah kaget hatinya ketika merasa hawa sinkang dari tubuhnya berserabutan keluar dari tubuh melalui tangannya itu, disedot oleh telapak tangan Keng Hong!
Hwesio itu mengeluarkan teriakan-teriakan aneh dan teriakan-teriakan ini segera disusul teriakan-teriakan lain ketika banyak tangan sudah menempel di tubuh Keng Hong tanpa dapat ditarik kembali! Ada enam orang di antara para pengroyok yang sekarang telapak tangannya menempel di tubuh Keng Hong dan sinkang mereka membocor terus disedot oleh tubuh pemuda yang luar biasa ini.
Yang menjadi paling bingung dan juga jengah sekali adalah seorang murid perempuan Kong-thong-pai dan seorang murid perempuan Hoa-san-pai. Mereka ini adalah dua orang gadis muda yang cantik dan gagah. Kini mereka membetot-betot kedua tangan mereka tanpa hasil.
Padahal mereka tadi menyerang dari belakang sehingga tangan salah seorang di antara mereka menempel pada pinggul Keng Hong yang telanjang, sedangkan yang seorang lagi tangannya menempel pada leher pemuda itu. Dilihat begitu saja seolah-olah mereka ini sedang main gila, sedang main raba dan colek terhadap tubuh si pemuda!
Empat orang gagah yang lainnya ternganga keheranan. Akan tetapi sebagai murid-murid orang sakti mereka dapat pula menduga bahwa si pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong tentu menggunakan ilmu siluman sehingga teman-teman mereka melekat seperti itu. Seorang hwesio Siauw-lim-pai segera berkata,
"Kita kumpulkan sinkang, kemudian berbareng kita membetot!" Ia lalu memegang tangan teman-temannya yang belum tersedot sinkang-nya, kemudian mereka lantas memegang pundak mereka yang tersedot dan bersiap-siap mengerahkan kekuatan secara berbareng untuk menarik. Agar dapat menarik berbareng, hwesio itu memberi aba-aba.
"Satu... dua... tiga, tarikkk…!"
Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka ketika tiba-tiba saja tangan empat orang yang lain ini pun amblas seperti air dicampurkan ke dalam lautan! Jangan kata menarik teman-teman yang sudah melekat, menarik diri sendiri pun tidak sanggup lagi karena tenaga mereka yang digunakan untuk menarik itu tidak mendapatkan tempat berpijak, melainkan molos mengalir masuk melalui tubuh yang mereka pegang kemudian mengoperkan hawa sinkang ini ke dalam tubuh Keng Hong!
Keng Hong sendiri mulai merasa bingung. Seperti yang pernah dia alami di Kun-lun-pai, kini pun dia merasa betapa tubuhnya kebanjiran hawa sinkang, dadanya serasa hampir meledak-ledak, kepalanya bagai menjadi sebesar gentong beras, terus berdenyut-denyut, matanya merah membelalak dan hampir terloncat keluar dari pelupuknya, seluruh tubuh terasa berdenyutan dan gatal-gatal panas.
Sungguh pun sinkang sepuluh orang ini masih belum menyamai sinkang Kiang Tojin dan beberapa orang sute-nya, namun bagi Keng Hong tetap saja merupakan siksaan yang hebat dan dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk melepaskan mereka. Ia maklum bahwa sekali dia mengerahkan tenaga yang mendesak-desak ini untuk mengibas tubuh mereka, akibatnya tentu hebat seperti yang pernah dia lakukan di Kun-lun-san. Tapi pada waktu itu yang dia robohkan hanyalah belasan batang pohon-pohon raksasa.
Sementara itu, setelah kini Cui Im dan Biauw Eng hanya dikeroyok enam orang lawan, mereka sebentar saja dapat merobohkan semua lawan itu. Cui Im merobohkan dua orang dengan pedangnya, ada pun Biauw Eng membuat empat orang lainnya terguling.
Sekarang dua orang gadis itu berdiri melongo memandang Keng Hong yang digelut oleh sepuluh orang! Memang amat aneh pemandangan ini. Keng Hong berdiri dengan tubuh menggigil di tengah-tengah, sedangkan sepuluh orang itu menggeluti tubuhnya, banyak yang diam tanpa bergerak, ada pula yang masih mencoba untuk membetot-betot, namun semuanya tak berhasil sehingga terdengarlah keluhan dan rintihan putus asa keluar dari mulut sepuluh orang itu.
"Itulah, Sumoi. ilmunya yang mukjijat, menyedot sinkang orang seperti yang kuceritakan kepadamu... heiii! Sekarang aku tahu kenapa sebagian besar sinkang-ku lenyap! Kiranya malam itu... dia... dia telah menyedot hawa sakti tubuhku, kurang ajar!" Cui Im memaki.
"Heran benar. Benarkah dia bisa memiliki Thi-khi I-beng? Menurut ibu, di dunia ini tidak ada lagi yang mengerti ilmu itu. Ibu sendiri hanya mengerti sedikit. Bocah ini hebat, Suci. Jika didiamkan saja, sepuluh orang ini tentu akan mati semua dan ibu tidak akan senang apa bila kita menanam bibit permusuhan dengan partai-partai persilatan besar. Hayo kita lepaskan mereka."
"Mana mungkin, sumoi? Jangan-jangan kau akan ikut tersedot! Hiiihhh... ilmu setan yang mengerikan!"
"Aku mengetahui caranya, suci."
"Kau? Kalau begitu subo telah mengajarmu ilmu ini? Ahh, mengapa aku tidak diberi tahu sama sekali?" Cui Im bertanya dengan cara mencela, penuh iri.
"Hanya mengerti cara membebaskannya, sama sekali aku pun tidak tahu akan ilmu ini. Kalau kau menguasainya, alangkah banyaknya orang-orang yang kau sedot habis!"
Biauw Eng segera memunggut cambuk kuda dari atas tanah di dekat kereta yang sudah hancur.
"Kau pergunakan cambuk ini. Jangan sekali-kali pergunakan tanganmu untuk menyentuh mereka. Kalau kau sudah menotok pergelangan tangan Keng Hong, kau gunakan ujung cambuk untuk membetot tangan-tangan yang menempel di tubuhnya. Mengerti?"
Cui Im mengangguk dan mereka cepat menghampiri sebelas orang yang bergelut tanpa bergerak sambil berdiri itu. Biauw Eng kemudian memutar sabuk sutera putihnya ke atas hingga terdengar suara berdetak-detak, lalu kedua ujung sabuk itu menyambar ke depan, tepat menotok pergelangan kedua tangan Keng Hong.
Dan pada saat itu, selagi Keng Hong merasa seolah-olah kedua lengannya lumpuh dan saluran hawa sakti yang membanjir ke tubuhnya terhenti, Cui Im sudah menggerakkan cambuknya melibat tangan-tangan yang menempel pada tubuh Keng Hong lalu membetot sekuatnya.
Dengan menggunakan sabuk suteranya Biauw Eng juga melakukan hal sama sehingga dalam beberapa saat saja sepuluh orang itu telah terjengkang roboh dan sambil mengeluh mereka itu cepat duduk bersila lalu mengatur napas untuk memulihkan, atau setidaknya mendapatkan sedikit tenaga sehingga mereka tidak roboh pingsan terus tewas.
Keng Hong yang sudah terlepas dari pada kebanjiran hawa sinkang, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Dia memang persis seperti orang mabuk arak, bahkan ketika dia berjalan menghampiri Cui Im dan Biauw Eng, dia berjalan dengan dua kaki diseret, seolah-olah kedua kakinya menjadi kaku dan kejang. Kedua lengannya juga tergantung kaku di kanan kiri, matanya yang memandang dua orang gadis itu dikejap-kejapkan karena dalam pandang matanya yang berkunang-kunang, dua orang gadis itu kini berubah menjadi empat!
Keng Hong mengusahakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih, namun senyumnya berubah menjadi menyeringai menakutkan, dan pandangan matanya menjadi liar sehingga Cui Im dan Biauw Eng yang amat lihai itu pun sampai mudur-mundur akibat ketakutan!
"Heh-heh-heh, terima kasih... terima kasih kepada Ji-wi Siocia (Nona Berdua) yang telah membebaskan diriku dari... hemmm... lintah-lintah itu...!"
Biauw Eng memandang tajam sambil berkata halus, "Keng Hong, kau simpanlah kembali ilmumu menyedot sinkang itu."
Keng Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak bisa... tidak bisa..., disimpan bagai mana? Tubuhku terlalu penuh... dadaku terasa sakit, kepalaku mau meledak..., tenaga ini, mendorong-dorongku... ahhh...!"
Keng Hong memegangi kepalanya dan memejamkan kedua matanya. Ingin dia memukul, menendang, ingin dia merobohkan apa saja, dan keinginan ini timbul secara serentak, mendesak kepadanya menjadi seorang liar yang memuaskan nafsu untuk merobohkan dan membunuh apa saja.
Enam belas orang yang telah terluka semua itu, akan tetapi tidak ada yang tewas karena kedua orang gadis itu memang tidak bermaksud membunuh mereka agar supaya jangan mendatangkan bibit permusuhan, kini juga memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Keadaan pemuda itu memang menyeramkan. Tidak saja mukanya menjadi merah seperti udang direbus, dan matanya jelalatan seperti mata setan, akan tetapi bahkan rambut di kepalanya bagai berdiri satu-satu. Tanpa disadari dan dimengerti oleh Keng Hong sendiri, setelah sekarang tidak ada sinkang orang lain yang membanjiri tubuhnya, otomatis daya sedotnya lenyap dan kini sebaliknya berubah menjadi daya serang yang amat luar biasa.
Memang sebetulnya ketika Sin-jiu Kiam-ong mengoper sinkang-nya kepada Keng Hong, kakek ini tak sempat lagi untuk memberi pelajaran tentang cara menguasai sinkang yang kelebihan di dalam tubuh muridnya. Karena paksaan ini, terjadilah salah susunan salah kerja sehingga sinkang yang membanjiri ke dalam tubuh pemuda itu menjadi liar, ibarat ia ditampung tanpa ada pintu untuk memasukkan dan mengeluarkan, datangnya membanjir secara liar.
Jika saja Keng Hong telah dapat mengusai dirinya sendiri, tentu dia akan dapat mengatur hingga hawa yang masuk dapat disesuaikan dengan tempatnya, dan dapat pula mengatur bagaimana untuk membuka pintu dan menyalurkan sinkang dalam penggunaan hawa itu sesuai dengan keperluannya.
Kini, sesudah secara liar hawa sinkang membanjiri masuk, keadaannya menjadi terbalik. Pintu masuk tertutup dan pintu keluar sukar dibuka apa bila tidak dipaksa dengan pukulan dan tendangan, tidak dipaksa untuk bertanding! Maka hawa itu pun mendesak-desak dan membuat tubuhnya seperti sebuah balon karet yang terlalu penuh diisi hawa, siap untuk meletus setiap saat.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Belasan ekor kuda mendatangi dari depan menuju ke tempat itu. Binatang-binatang itu adalah binatang tunggangan para murid ketiga partai persilatan itu yang tadi meninggalkan kuda mereka di dalam hutan sebelah agar mereka dapat mengepung kereta tanpa mengeluarkan suara.
Kini belasan ekor kuda itu berlari-larian karena dikejutkan oleh serangan seekor harimau, dan dalam keadaan panik belasan ekor kuda itu lari menerjang ke arah orang-orang yang sedang terheran-heran memandang ke arah Keng Hong dengan mata terbelalak.
Biar pun mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi pada waktu itu mereka sedang menderita luka bahkan sebagian besar tenaga sinkang-nya hampir habis tersedot oleh Keng Hong. Maka kini menghadapi pasukan kuda yang menerobos liar ini mereka tidak sempat untuk menghindarkan diri. Dan jangan dianggap remeh rombongan kuda yang sedang panik dan ketakutan ini. Mereka akan menerjang apa saja dan akan menginjak-nginjaknya sampai lumat!
Keng Hong dapat melihat keadaan bahaya ini. Meski pun dia sedang tersiksa oleh hawa sinkang yang memenuhi badannya, melihat keadaan bahaya mengancam orang-orang itu, dia lalu cepat meloncat.
Tubuhnya bagaikan sebuah bola karet penuh gas, begitu digerakkan lalu meluncur cepat sekali menghadang rombongan kuda. Pemuda ini secara aneh sekali telah menjadi buas dan ingin sekali menghancurkan atau menbunuh apa yang merintang di depannya. Hal ini adalah disebabkan dorongan sinkang yang berlebihan itu sehingga dia tersiksa dan ingin melampiaskan rasa marah yang timbul akibat siksaan ini. Keadaannya itu tiada bedanya dengan seorang yang diserang sakit gigi lalu menjadi marah-marah dan ingin mengamuk.
Maka kini melihat betapa rombongan kuda itu mengancam keselamatan orang-orang yang menderita luka akibat dirinya, dia lantas mendorong-dorongkan kedua lengan dan kakinya sambil mengeluarkan seruan-seruan yang aneh bunyinya sebab suara ini digerakkan oleh sinkang yang padat, yang dikeluarkan untuk mengimbangi gerakan-gerakan pukulan dan tendangan itu.
Akibatnya hebat sekali! Belasan ekor kuda itu bagaikan diamuk angin taufan, roboh dan terbanting ke kanan kiri, lantas berkelojotan sambil mengeluarkan suara meringkik-ringkik kesakitan. Di antara suara hiruk-pikuk ini, Keng Hong sudah menerjang maju terus dan terdengarlah gerakan dahsyat.
Dalam waktu beberapa menit saja, belasan ekor kuda sudah menggeletak tak bernapas lagi, dan paling belakang nampak seekor harimau besar berkelojotan sekarat! Ada pun Keng Hong sendiri berdiri tegak, mukanya penuh peluh, muka yang masih merah sekali akan tetapi jalan pernapasannya sudah tenang dan kini wajahnya tidak beringas seperti tadi, melainkan tenang, bahkan kelihatannya lega.
Memang kini dadanya telah lapang, sinkang yang menggelora di dalam tubuhnya sudah dia salurkan keluar melalui pukulan dan tendangan yang mengakibatkan tewasnya enam belas ekor kuda ditambah seekor harimau besar!
Biauw Eng dan Cui Im terbelalak, terpesona dan penuh kekaguman mereka memandang Keng Hong. Kini mereka berdua maklum bahwa kalau Keng Hong menghendaki, pemuda itu tentu dapat membebaskan diri dari mereka dan jika mereka menggunakan kekerasan, mereka tidak akan dapat menangkap pemuda aneh itu.
Akan tetapi pemuda itu tidak pernah melawan dan menurut saja menjadi orang tangkapan mereka berdua! Teringat akan ini, Cui Im dan Biauw Eng bergidik.
Pada saat itu, terjadilah hal yang sama dalam hati dua orang murid Lam-hai Sin-ni, yaitu bahwa cinta kasih mereka jatuh terhadap Keng Hong! Cui Im yang telah berhasil merayu Keng Hong sehingga pemuda yang mewarisi ilmu kepandaian juga mewarisi pula sifat mendiang Sin-jiu Kiam-ong itu pernah melayaninya bermain cinta, sekarang benar-benar menghedaki pemuda itu menjadi kekasihnya untuk selamanya.
Bukan hanya karena Keng Hong seorang pemuda yang tampan dan gagah, pula seorang yang masih jejaka sebelum bertemu dengannya, juga terutama sekali karena Keng Hong mempunyai ilmu kepandaian mukjijat, di samping ini menjadi pewaris pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Jika dia dapat memiliki pemuda ini sampai selamanya, atau paling tidak sampai dia dapat mengoper semua ilmu dan pusaka itu, alangkah akan senang hatinya!
Ada pun perasaan cinta kasih yang mulai bersemi di hati Biauw Eng adalah cinta kasih yang wajar dari seorang gadis yang selamanya belum pernah jatuh cinta pada seorang pemuda yang amat menarik hatinya. Biauw Eng melihat adanya sifat luar biasa pada diri Keng Hong, sifat kegagahan yang aneh dan sukar dicari keduanya.
Hatinya jatuh, akan tetapi sesuai dengan sifatnya yang pendiam, dingin dan keras, tentu saja tak ada sesuatu pun terbayang pada wajah atau pandang matanya, berbeda dengan Cui Im yang memandang Keng Hong penuh nafsu menyala-nyala, yang terbayang pada wajahnya yang menjadi kemerahan dan sinar matanya yang bersinar-sinar.
Enam belas orang anak-anak murid partai persilatan besar itu kini merasa putus harapan untuk dapat merampas murid Sin-jiu Kiam-ong seperti yang mereka harapkan semula, sesuai dengan tugas yang mereka terima dari guru-guru mereka. Tadinya menghadapi dua orang murid Lam-hai Sin-ni, mereka masih mempunyai harapan untuk berhasil.
Biar pun mereka itu terdiri dari empat orang murid Hoa-san-pai, tiga orang murid Siauw-lim-pai, dan sembilan orang murid Kong-thong-pai, namun karena semuanya berasal dari partai-partai persilatan yang bersahabat, mereka sudah bersatu untuk merampas Keng Hong agar semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dapat ditemukan sehingga selain mereka dapat mengambil benda-benda pusaka yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong, juga mendapat bagian pusaka-pusaka lain sebagai ‘bunganya’.
Akan tetapi sesudah mereka menyaksikan betapa murid Sin-jiu Kiam-ong yang menjadi tawanan kedua orang murid Lam-hai Sin-ni itu turun tangan dan ternyata memiliki ilmu yang mengerikan dan amat lihai seperti iblis sendiri, bahwa pemuda aneh itu membantu dua orang nona yang menawannya, mereka pun kehilangan harapan untuk melanjutkan perampasan dengan kekerasan.
Dengan hati penuh kemarahan mereka berpendapat bahwa tentu murid Sin-jiu Kiam-ong ini berwatak seperti mendiang gurunya dan kini tergila-gila kepada dua orang murid iblis betina yang cantik itu sehingga malah membantunya.
"Omitohud..., mendiang Sin-jiu Kiam-ong mempunyai dua sifat, yaitu sifat pendekar besar yang gagah perkasa dan sifat kenakalan lain yang sangat buruk sehingga beliau memiliki banyak musuh. Kini muridnya agaknya tidak mewarisi sifat yang baik itu melainkan hanya mewarisi sifat buruknya!" berkata salah seorang di antara tiga murid Siauw-lim-pai yang berpakaian pendeta dan berkepala gundul.
Keng Hong tersenyum, akan tetapi hatinya panas. Gurunya adalah seorang yang amat dihormat dan disayangnya, merupakan orang satu-satunya yang amat baik terhadapnya. Kini gurunya sudah mati akan tetapi masih saja dipercakapkan orang! Ia lalu memandang hwesio itu dan menjawab,
"Losuhu, sudah jamak bahwa manusia itu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Baik dan buruk yang hanya disebut mulut manusia dan menurutkan penilaian manusia pula, tentu saja disesuaikan dengan sifat ingin enak sendiri. Bila menguntungkan bagi dirinya disebut baik, yang merugikan disebut buruk. Aku tak akan menyangkal, seperti juga suhu, bahwa aku pun tentu mempunyai sifat-sifat buruk selain sifat-sifat baik. Setidaknya, orang-orang seperti mendiang suhu dan aku masih mau berterus terang, mengakui kelemahan sendiri. Dan sebaliknya, Losuhu dan anak murid Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang tergolong sebagai pemeluk-pemeluk serta pemimpin agama yang memiliki kewajiban membimbing manusia ke arah kebaikan. Sekarang Sam-wi Losuhu (Bapak Pendeta Bertiga) bukan membawa kitab suci untuk meberi wejangan, tapi sebaliknya membawa-bawa toya untuk menghantam dan membunuh orang! Apakah pakaian pendeta serta dibuangnya rambut kepala itu hanya untuk kedok belaka?"
"Omitohud...! Juga mulutnya jahat seperti gurunya!" teriak pendeta Siauw-lim-pai ke dua.
Cui Im tertawa hingga terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan. "Bagus sekali, Keng Hong! Memang mereka itu monyet-monyet berbulu berkedok ular! Kepalanya gundul akan tetapi hatinya berbulu, hi-hi-hik!"
Wajah Keng Hong menjadi merah. Ucapan dan sikap Cui Im tak menyenangkan hatinya. Dia tadi mengeluarkan ucapan dari hatinya untuk membela gurunya, bukan seperti Cui Im yang semata-mata mengejek. Maka dia segera menjura kepada tiga orang hwesio itu dan berkata,
"Aku tahu bahwa mendiang suhu mempunyai hutang kitab-kitab Seng-to Cin-keng dan I-kiong Hoan-hiat kepada Siauw-lim-pai. Aku berjanji, bila kelak aku berhasil mendapatkan kitab-kitab itu, pada suatu hari aku akan mengembalikannya kepada Siauw-lim-pai."
Tiga orang hwesio itu hanya mendengus dan seorang di antara mereka berkata, "Pinceng bertiga hanya memikul tugas, kesemuanya akan pinceng laporkan kepada suhu." Setelah berkata demikian, mereka lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan kepala tunduk.
"Ihhh, kenapa begitu bodoh, Keng Hong? Dari pada kedua kitab penting itu diserahkan kepada setan-setan gundul itu, lebih baik kau berikan kepadaku!" kata Cui Im pula dengan sikap genit, sama sekali tidak peduli bahwa di sana masih ada tiga belas orang lain. Dia sama sekali tidak menyembunyikan sikapnya yang terang-terangan merayu pemuda itu dengan senyum bibir dan kerling mata memikat.
Salah seorang murid Hoa-san-pai, yakni wanita cantik yang berbaju hijau, melihat ini lalu mengeluarkan suara mendengus tanda jijik dan berkata, "Murid Sin-jiu Kiam-ong memang tidak ada bedanya dengan gurunya! Gurunya laki-laki cabul muridnya mana bisa berhati bersih? Kalau dia ini seorang bersih dan gagah, tentu menginsyafi kebiadaban gurunya terhadap Hoa-san-pai, sedikitnya tentu akan mengembalikan pedang pusaka Hoa-san-pai yang telah dicurinya. Akan tetapi, ia malah bersahabat dengan murid iblis betina Lam-hai Sin-ni. Mengharapkan apa lagi? Burung gagak tak akan berkawan dengan burung hong, orang jahat tentu memilih kawan kaum sesat! Lebih baik kita pergi dan melaporkan hal ini kepada suhu!"
Jika saja murid perempuan Hoa-san-pai itu hanya memaki-makinya, Keng Hong tentu tak akan mengambil pusing. Akan tetapi gadis itu juga membawa-bawa nama gurunya, malah memaki-maki gurunya. Keng Hong memandang dengan mata marah, lalu dia tersenyum sindir dan berkata,
"Nona yang baik, kalau aku tidak salah sangka, bibi atau bibi tuamu yang bernama Cui Bi dan yang lari dari Hoa-san-pai karena cintanya kepada mendiang suhu, tentu jauh lebih manis dari padamu, baik mukanya mau pun budinya! Kalau tidak begitu, mana suhu mau membalas cintanya? Tentang pedang Hoa-san-pai, jangan khawatir, apa bila aku berhasil mendapatkannya, pasti kukirim kembali ke Hoa-san-pai! Aku bersahabat dengan siapa pun juga, adalah hak kebebasanku dan tentang kaum bersih dan kaum sesat, aku tidak tahu. Yang kutahu bahwa engkau pun kurasa tidak begitu jijik untuk bercinta, buktinya pinggulku yang tidak tertutup ini masih terasa panas karena kau pegang-pegang dengan telapak tanganmu yang halus. Nah, kini mukamu menjadi merah. Semua orang melihat belaka betapa tadi engkau memegang-megang pinggulku. Hayo katakan, mau apa kau pegang-pegang pinggul orang?"
"Cih, laki-laki cabul...!" Wanita murid Hoa-san-pai itu menjerit lalu membalikkan tubuhnya dan lari, diikuti oleh tiga orang suheng-suheng-nya.
"Heh-heh-hi-hi-hik, mulutmu benar lihai sekali!" Cui Im kembali bertepuk tangan, bahkan Biauw Eng juga tersenyum sedikit, akan tetapi alisnya yang hitam melengkung panjang itu berkerut. Terlalu tajam mulut pemuda ini, pikirnya.
Kini tinggallah sembilan orang anggota Kong-thong-pai dan mereka itu merasa ragu-ragu untuk membuka mulut, karena mendapat kenyataan bahwa selain ilmunya tinggi, pemuda itu mulutnya juga lihai sekali. Melihat keadaan mereka, Keng Hong sudah mendahului dengan ucapan yang serius.
"Cui-wi enghiong adalah orang-orang gagah dari Kong-thong-pai yang tentu saja memiliki pandangan luas. Seperti Cu-wi tentu telah mendengar penuturan orang-orang tua, urusan yang timbul di antara mendiang suhu dengan Kong-thong-pai adalah karena dahulu suhu pernah menewaskan lima orang anak murid Kong-thong-pai. Sebab dari pada bentrokan itu adalah karena kedua pihak berbantahan dalam sebuah rumah judi, sehingga urusan itu adalah urusan pribadi yang tidak menyangkut perkumpulan. Apa lagi jika diingat bahwa suhu telah meninggal dunia, begitu pula lima orang anggota Kong-thong-pai itu. Setelah kedua pihak yang bermusuhan sudah tewas semua, apakah kita yang tidak tahu apa-apa harus terseret ke dalam permusuhan? Apakah yang kita perebutkan?"
Para murid Kong-thong-pai dapat mengerti alasan ini. Diam-diam mereka ini kagum juga mendengar ucapan Keng Hong yang mengandung pendapat yang dalam dan pandangan yang luas.....
Komentar